ATURAN HUKUM ATAS AZAS CONTRADICTOIR DELIMINATIE …

22
ATURAN HUKUM ATAS AZAS CONTRADICTOIR DELIMINATIE DALAM PENDAFTARAN TANAH Mudji Rahayu 1 Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang Abstraksi: Penerapan aturan hukum atas azas contradictorie delimitatie dalam pendaftaran tanah sudah memadai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.Inti dari sahnya perjanjian penetapan batas tanah adalah kesepakatan. Perjanjian bagi para pihak harus kehendak yang bebas dari cacat kehendak (wilsgebrek); yakni "dwaling" (kesesatan, kekeliruan, kekhilafan), "dwang" (tekanan, paksaan) dan "bedrog" (penipuan). Sebaliknya, bila terjadi gugatan mengenai perjanjian kebijaksanaan (kewenangan) yang dilakukan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Hal yang digugat adalah; (1) isi perjanjian; (2) asas kepercayaan (het vertrouwensbeginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play) dari asas- asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Alasan gugatan adalah keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf adalam kaitannya dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009.Gugatan tersebut menjadi kompetensi hakim tata usaha negara karena berkaitan dengan kewenangan publiknya untuk melaksanakan penetapan batas tanah dan kewenangan pemerintahannya dengan menerbitkan besluit (keputusan tata usaha negara) berupa sertipikat. Kata kunci: azas contradictoire delimitatie, pendaftaran tanah, akibat hukumnya 1 Alamat Korespondensi : Rahayu22-2@gmail. com

Transcript of ATURAN HUKUM ATAS AZAS CONTRADICTOIR DELIMINATIE …

ATURAN HUKUM ATAS AZAS CONTRADICTOIR

DELIMINATIE DALAM PENDAFTARAN TANAH

Mudji Rahayu1

Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

Jl. Danau Sentani 99 Kota Malang

Abstraksi: Penerapan aturan hukum atas azas contradictorie delimitatie dalam pendaftaran tanah sudah

memadai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

tanah.Inti dari sahnya perjanjian penetapan batas tanah adalah kesepakatan. Perjanjian bagi para

pihak harus kehendak yang bebas dari cacat kehendak (wilsgebrek); yakni "dwaling" (kesesatan,

kekeliruan, kekhilafan), "dwang" (tekanan, paksaan) dan "bedrog" (penipuan). Sebaliknya, bila

terjadi gugatan mengenai perjanjian kebijaksanaan (kewenangan) yang dilakukan Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota. Hal yang digugat adalah; (1) isi perjanjian; (2) asas kepercayaan

(het vertrouwensbeginsel), asas kejujuran atau asas permainan yang layak (fair play) dari asas-

asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Alasan gugatan adalah keputusan tata usaha negara

yang dikeluarkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan

ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf adalam kaitannya dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 tahun

2009.Gugatan tersebut menjadi kompetensi hakim tata usaha negara karena berkaitan dengan

kewenangan publiknya untuk melaksanakan penetapan batas tanah dan kewenangan

pemerintahannya dengan menerbitkan besluit (keputusan tata usaha negara) berupa sertipikat.

Kata kunci: azas contradictoire delimitatie, pendaftaran tanah, akibat hukumnya

1 Alamat Korespondensi : Rahayu22-2@gmail. com

2 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

A. Pendahuluan

Peranan tanah bagi pemenuhan

kebutuhan manusia semakin

meningkat, baik sebagai tempat

bermukim maupun tempat kegiatan

usaha sehubungan dengan hal

tersebutakan meningkat pula

kebutuhan akan jaminan kebutuhan

hukum di bidang pertanahan.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria menentukan agar diadakan

pendaftaran tanah dalam rangka

menjamin kepastian hukum yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 yang dirubah

dengan Peraturan Pemerintah Nomor

24 tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah yang hingga kini menjadi dasar

kegiatan pendaftaran tanah di

Indonesia.

Kegiatan pendaftaran dalam hak

atas tanah merupakan realisasi dari

salah satu tujuan UUPA yang

outputnya adalah surat tanda bukti

atas tanah yang dinamakan sertipikat.

Dalam praktik salah satu faktor

yang menyebabkan masyarakat masih

enggan mendaftarkan adalah prosedur

dan biaya yang kurang transparan

serta jangka waktu penyelesaian

sertipikat yang dirasa tidak pasti.Se

lain faktor di atas, ada juga

kendala–kendala lain yang

sehubungan dengan persertipikatan

tanah seperti: (1). banyaknya muncul

sertipikat cacat hukum dikalangan

masyarakat, seperti adanya penerbitan

dua atau lebih sertipikat tanah

terhadap sebidang tanah yang sama,

dikenal dengan sertipikat ganda atau

tumpang tindih(overlapping);

keadaan tersebut membawa

ketidakpastian hukum bagi pemegang

hak atas tanah; (2) sertipikat palsu

dan sertipikat asli tapi palsu.

Sebelum pelaksanaan kegiatan

pengukuran tanah atas suatu bidang

tanah, terlebih dahulu petugas ukur

menetapkan batas-batas sebidang

tanah yang bersangkutan dan

memasang tanda batas pada setiap

sudut tanah.Penetapan batas tanah

berdasar azas contradictorie

delimitatie2, yakni penatapan batas

tanah yang bersangkutan, kesepakatan

para pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan dan para pemegang hak

atas yang berbatasan.

Dengan tujuan agar sertifikat

yang terbit sesuai denga objek dan

subjek hak atas tanah yang ada di

lapangan.

2Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 3

B. Pembahasan

1. Azas Contradictoire Deliminatie

dan Pendaftaran Tanah

Beberapa pendapat mengenai

pengertian Azas Contradictoire

Delimitatie antara lain:

Contradict/Contradiction berarti

pembantahan: penyangkalan:

pertentangan. Delimitatie berarti

penentuan batas pembatasan.

Contradictoire Delimitatie adalah

memberikan penyangkalan atau

bantahan dalam penentuan batas oleh

pihak-pihak yang berbatasan.

Menurut Effendie Perangin Angin,

Azas Contradictoire Delimitatie

adalah merupakan batas-batas tanah

yang ditetapkan atas dasar

persesuaian pendapat antara para

pemilik tanah-tanah yang

berbatasan.3Irawan Soerodjo

berpendapat Azas Contradictoire

Delemitatie adalah merupakan

penetapan batas bidang tanah yang

sudah dipunyai dengan suatu hak

yang belum terdaftar atau yang sudah

terdaftar,tetapi belum ada surat

ukur/gambar situasinya atau surat

ukur atau gambar situasinya tidak

sesuai lagi dengan keadaan yang

3Effendi Perangin-Angin 1997.Perkembangan Terbatas

Sertipikat (Tanah, Tanggungan, dan Condominium), Jakarta: Mediatama Saptakarya.

sebenarnya, maka berdasarkan Pasal

18 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 dilakukan

berdasarkan penunjukan batas-batas

oleh pemegang hak yang

bersangkutan dan sedapat mungkin

disetujui oleh para pamegang hak atas

tanah yang berbatasan.Azas

Contradictoire Delimitatie

merupakan suatu azas yang

menghendaki bahwa setiap bidang

tanah yang hendak diukur harus

disaksikan dan disetujui batas-

batasnya agar tidak terjadi

kesalahan;batas tanah yang diukur

adalah batas tanah yang

sebenarnya.4Penerapan Azas

Contradictoire Delimitatie dapat

menjamin kepastian hukum hak atas

tanah terutama kepastian berapa luas

tanah, mengenai obyek hak atas

tanah,letak tanah serta batas-batas

tanah,sehingga pemegang hak atas

tanah merasa aman dan terlindungi

mengenai status kepemilikannya.

Pendaftaran berasal dari kata

cadastre(bahasa belanda kadaster)

suatu istilah teknik untuk suatu

record(rekaman)yang menunjukkan

luas,nilai,dan pemilikan (atau lain-

4IrawanSoerodjo, 2002, Kepastian Hukum Atas Tanah di

Indonesia, Penerbit Arloka Surabaya.

4 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

lain atas hak) terhadap suatu bidang

tanah.Dalam arti yang tegas, cadastre

adalah record(rekaman) dalam lahan-

lahan,nilai dari tanah dan pemegang

haknya,serta untuk kepentingan

perpajakan.

Pendaftaran tanah diatur dalam

Pasal 19 Undang-Undang Pokok

Agraria Nomor5 Tahun 1960 yang

menentukan bahwa pendaftaran tanah

dilakukan oleh pemerintah untuk

menjamian kepastian hukum.Kegiatan

pendaftaran tanah adalah merupakan

kewajiban yang harus dilaksanakan

pemerintah secara terus menerus

dalam rangka mengiventarisasikan

data-data, yang terkait dengan hak-

hak atas tanah menurut UUPA dan

Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 yang diganti dengan

Peraturan Pemerintah Nomor24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Penerapan aturan hukum atas

azas Contradictoire Delimitatie

diyakini dapat menjamin kepastian

hukum hak atas tanah terutama

kepastian mengenai obyek hak atas

tanah. Hal ini disebabkan karena

dapat diketahui secara pasti berapa

luas tanah, dimana letak tanah, serta

batas-batas tanah yang bersangkutan,

sehingga pemegang hak atas tanah

merasa aman dan terlindungi

mengenai status kepemilikan

tanahnya.

2. Azas Pendaftaran Tanah

Pelaksanaan pendaftaran

tanah dimulai tahun 1961 dengan

diberlakukannya Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,

pelaksanaannya dilakukan secara

bertahap. Dalam Pasal 19 UUPA

ditentukan bahwa:

- Ayat (1): Untuk menjamin

kepastian hukum oleh

pemerintahdiadakan pendaftaran

tanah diseluruh wilayah Republik

Indonesia menurut ketentuan-

katentuan yang diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

- Ayat (2) : Pendaftaran tersebut

dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a. Pengukuran, perpetaan dan

pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah

dan peralihan hak-hak tersebut;

c. Pemberian surat-surat tanda

bukti hak yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.

Berdasarkan penjelasan Pasal 19

UUPA, dapat diketahui bahwa

pendaftaran tanah akan

diselenggarakan dengan cara yang

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 5

sederhana dan mudah dimengerti,

serta dijalankan oleh rakyat yang

bersangkutan. Dalam Penjelasan

Umum IV UUPA bahwa pendaftaran

tanah di Indonesia bersifat

rechtkadaster, yang berarti bertujuan

untuk menjamin kepastian hukum;

dengan pendaftaran tanah, seseorang

dapat dengan mudah memperolah

keterangan yang erat kaitannya

dengan sebidang tanah, suatu misal;

mengenai hak yang dipunyai, letak,

luas, dan hak-hak yang ada diatasnya.

Dalam pendaftaran tanah dikenal

beberapa azas, antara lain: a. Azas

Publisitas (Adanya data-data yuridis

tentang hak atas tanah, seperti subyek

haknya, apa nama haknya, peralihan

dan pembebanannya) dan b. Azas

Spesialisasi (Adanya data-data fisik

tentang hak atas tanah, seperti luas

tanah, letak tanah dan penunjukan

batas-batas tanah secara tegas).

Azas Publisitas dan Azas

Spesialisasi ini dimuat dalam daftar

umum yang dapat memberikan

kemudahan bagi siapa saja yang ingin

mengetahui data-data mengenai suatu

bidang tanah; dengan demikian,

penyelidikan secara langsung ke

lokasi tanah yang bersangkutan sudah

tidak diperlukan lagi mengingat

semua data yang diinginkan dapat

dilihat di Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat.

Azas pendaftaran tanah menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 diatur dalam Pasal 2,

yakni dilaksanakan berdasarkan azas

sederhana, aman, terjangkau,

mutakhir dan terbuka.

Di dalam Pasal 1 angka (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 ditetapkan bahwa

pendaftaran tanah adalah rangkaian

kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus-menerus

berkesinambungan dan teratur

meliputi pengum- pulan, pengolahan,

pembukaan dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data

yuridis dalam bentuk peta dan daftar

mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun termasuk

pemberian sertipikat sebagai surat

tanda bukti hanya bagi bidang-bidang

tanah yang sudah ada haknya ada hak

milik atas satuan rumah susun serta

hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pada dasarnya, data-data yang

dihimpun meliputi 2 (dua) bidang,

yakni: a. Data fisik, yang

menghimpun data-data tentang

tanahnya; lokasi, batas, luas bangunan

6 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

dan tanaman yang ada diatasnya.

Semuanya dihimpun dalam suratukur.

b. Data Yuridis, yang menghimpun

data-data tentang haknya: haknya apa,

siapa pemegang haknya, ada atau

tidak adanya hal pihak lain, peralihan

dan pembebanannya jika ada.

Semuanya dihimpun dalam Buku

Tanah.

Urutan kegiatan pendaftaran

tanah adalah pengumpulan data,

pengolahan atau processing,

penyimpanan, dan penyajian.Bentuk

penyimpanannya dapat berupa

tulisan, gambar/peta dan angka-angka

diatas kertas, mikro film, atau dengan

menggunakan bantuan komputer.

Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi

data pendaftaran untuk pertama kali

dan pemeliharaanya kemudian; yang

termasuk dalam pengertian penyajian

disini adalah penerbitan dokumentasi

informasi kepada pihak yang

memintanya berdasarkan data yang

dihimpun, yang untuk selanjutnya

diterbitkan surat tanda bukti hak atas

tanah.

Setelah berlakunya UUPA

tanggal 24 September 1960, transaksi

atau perjanjian atau apapun namanya

dengan maksud untuk memindahkan

kepemilikan hak atas tanah harus

dibuktikan dengan suatu akta otentik

yakni akta jual beli yang dibuat

dihadapan dan oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat

yang berwenang, tidak lagi dihadapan

kepala desa/suku.

Pasal 19 UUPA menentukan

bahwa untuk menjamin kepastian

hukum dan kepastian hak atas tanah,

telah ditentukan adanya keharusan

untuk melaksanakan pendaftaran

tanah diseluruh wilayah Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari pada hal

tersebut, dikeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah, yang

kemudian digantikan dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Dasar alasan digantikannya

Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 adalah bahwa Peraturan

Pemerintah yang telah berusia 42

Tahun tersebut dirasa belum dapat

mencapai sasaran yang dituju dengan

baik dalam kehidupan masyarakat.

Hal ini dapat dibuktikan dengan

masih banyaknya tanah dengan status

bukti kepemilikan hak milik yang

berupa petok D, yang berarti tanah-

tanah tersebut belum didaftarkan

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 7

untuk mendapatkan sertipikat hak atas

tanahnya.

3. Tujuan Pendaftaran Tanah

Tujuan pendaftaran tanah

menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA

adalah untuk menjamin kepastian

hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah

Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur

dengan Peraturan Pemerintah. Tujuan

pendaftaran tanah menurut Pasal 3

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 antara lain:

a. Untuk memberikan kepastian

hukum dan perlindungan hukum

kepada pemegang hak atas suatu

bidang tanah, satuan rumah susun

dan hak-hak lain yang terdaftar

agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi

kepada pihak-pihak yang

berkepentingan, termasuk

Pemerintah agar dengan mudah

dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan

perbuatan hukum mengenai

bidang-bidang tanah dan satuan-

satuan rumah susun yang sudah

terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib

administrasi pertahanan.

Berdasarkan penjelasan Pasal 3

Peraturan Pemerintah di atas,

ditetapkan bahwa tujuan pendaftaran

tanah sebagaimana tercantum pada

huruf a merupakan tujuan utama

pendaftaran tanah yang diperintahkan

Pasal 19 UUPA. Di samping

terselenggaranya pendaftaran tanah

juga dimaksudkan agar dapat tercipta

suatu pusat informasi mengenai

bidang-bidang tanah, sehingga pihak

yang berkepentingan termasuk

pemerintah dapat memperoleh data

yang diperlukan dengan mudah, dalm

rangka mengadakan perbuatan hukum

mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan-satuan rumah susun yang

sudah didaftar. Terselenggaranya

pendaftaran tanah secara baik dan

benar merupakan dasar dan

perwujudan tertib administrasi

pertanahan; dengan demikian

pendaftaran tanah bukan sekedar

suatu perbuatan admininstrasi belaka,

melainkan mempunyai peran dan arti

yang sangat penting menyangkut hak-

hak keperdataan seseorang.

4. Obyek Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah atau land

registration menimbulkan kesan

8 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

seakan-akan obyek utama dalam

pendaftaran tanah. Apabila dilihat dan

ditinjau dari pengumpulan hingga

penyajian data fisik, yang berisi

kepastian mengenai letak tanah dalam

peta pendaftaran tanah, yang

kemudian disajikan dalam daftar

tanah merupakan obyek

pendaftarannya. Tetapi pada

kenyataannya dari pengumpulan

hingga penyajian data yuridis, bukan

tanahnya yang didaftarkan, melainkan

hak-hak atas tanah yang menentukan

status yang membebani hak-hak. Di

dalam pendaftaran tanah yang

menggunakan 8egara pendaftaran

akta, bukan haknya yang didaftar

melainkan aktanya yakni merupakan

dokumen-dokumen yang

membuktikan diciptakannya hak yang

bersangkutan dan dilakukan

perbuatan-perbuatan 8egar mengenai

hak tersebut. Obyek dalam

pendaftaran tanah diuraikan dalam

Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 antara lain: a.

Bidang-bidang tanah yang

dipunyainya dengan Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

dan hak Pakai; b. Tanah Hak

Pengelolaan; c. Tanah Wakaf; d. Hak

Milik atas Satuan Rumah Susun; e.

Hak Tanggungan; f. Tanah Negara.

Di dalam Pasal 9 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 ditetapkan bahwa dalam

hal tanah negara sebagai obyek

pendaftaran tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf f,

pendaftarannya dilakukan dengan

cara membukukan bidang tanah yang

merupakan tanah 8egara dalam daftar

tanah. Di dalam penjelasan Pasal 9

ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997, pendaftaran tanah

yang obyeknya adalah bidang tanah

yang berstatus tanah 8egara dilakukan

dengan mencatatnya dalam daftar

tanah dan tidak diterbitkan sertipikat;

sehingga untuk tanah 8egara tidak

disediakan buku tanah dan karenanya

juga tidak diterbitkan sertipikat.

5. Penerapan Azas Contradictoire

Delimitatie

Penerapan azas contradictoire

delimitatie dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 10 tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah dapat

dilihat dalam:

1. Pasal 3 ayat (2):“sebelum

sebidang tanah diukur, terlebih

dahulu diadakan (a)

penyelidikan riwayat bidang

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 9

tanah itu; dan (b) penetapan

batas-batasnya”.

2. Pasal 3 ayat (4):bahwa hasil

penyelidikan dan penunjukan

batas tanah yang bersangkutan

ditulis dalam daftar isian dan

ditandatangani oleh anggota-

anggota serta oleh panitia yang

berkepentingan atau wakilnya,

hal tersebut menunjukkan

bahwa di dalam penentuan batas

tanah perlu disyahkan oleh

panitia Kepala jawatan

Pendaftaran Tanah dan anggota-

anggotanya.

3. Pasal 11 ayat (2) huruf g: “surat

ukur selain memuat gambar

tanah yang melukiskan batas

tanah tanda-tanda batas,gedung-

gedung,jalan-jalan,saluran air,

dan lain-lain benda yang

penting harus memuat pula

orang-orang yang menunjukan

batas-batasnya”.

Berdasarkan uraian di atas,

dalam pembuatan surat ukur selain

memuat batas tanah juga harus

menunjukkan orang-orang yang telah

menetapkan batas-batas tanah yang ia

miliki yang berbatasan dengan

pemohon sertipikat tanah. Pasal

tersebut masih dapat ditafsirkan

berbeda, apabila diperhatikan sekilas

nampak telah adanya pengaturan

mengenai saksi batas yang

menunjukan batas-batas tanahnya,

namun masih belum ada penegasan

mengenai apakah diperlukan

persetujuan dari saksi batas sebelum

penentuan batas tanah. Hal tersebut

untuk mengantisipasi misalnya:

pemilik tanah berbatasan tidak

diketahui nama, alamat atau

keberadaannya bahkan tidak tertutup

kemungkinan sudah meninggal dunia,

sehingga tidak memungkinkan

diminta kesaksiannya apalagi

tandatangannya. Dalam keadaan

seperti di atas, apakah proses

permohonan sertipikat harus ditunda,

hal tersebut merugikan pihak yang

mengajukan permohonan tanah dan

menghambat proses hukum

administrasi pertanahan.

Penerapan Azas Contradictoire

Delimtatie berdasarkan ketetapan

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997, khususnya pasal 18,

dapat disimpulkan bahwa penerapan

aturan hukum atas Azas

Contradictorie Delimitatie dalam

pendaftaran tanah sudah memadai

dengan dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997

10 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

tentang Pendaftaran tanah terutama

Pasal 18 yang menyempurnakan

aturan pendaftaran tanah dalam

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun

1961 terutama Pasal 3 ayat (4) yang

menetapkan bahwa yang perlu hadir

dan mendatangani saat penentuan

batas tanah adalah petugas Jawatan

Pendaftaran Tanah beserta anggota,

namun di dalam Pasal 11 ayat (2)

dalam surat ukur harus memuat pula

orang-orang yang menunjukan batas-

batasnya. Di dalam Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran tanah Pasal 19

ayat(1) Jika dalam penetapan batas

bidang tanah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18 ayat (1) tidak

diperoleh kesepakatan antara

pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan dengan pemegang hak

atas tanah yang berbatasan,

pengukuran bidang tanahnya

diupayakan untuk sementara

dilakukan berdasarkan batas-batas

yang menurut kenyataannya

merupakan batas-batas bidang-bidang

tanah yang bersangkutan. Pasal di

atas ditindaklanjuti dengan Peraturan

Menteri Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1997, yang menetapkan bahwa

persetujuan dan penetapan batas dari

para pihak dituangkan dalam suatu

berita acara, yaitu Risalah Penelitian

Data yuridis dan penetapan Batas.

Apabila dalam penetapan batas

tersebut tidak tercapai suatu

kesepakatan dari para pihak, Kantor

Pertanahan dapat meminta bantuan

kepada Kepala Desa setempat untuk

menyelesaikannya secara damai

melalui musyawarah antara pemegang

hak atas tanah dengan para pemegang

hak atas tanah yang berbatasan

dengan tanah yang akan diukur.

Di dalam Pasal 20 ayat 2

Peraturan Menteri Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997, juga menetapkan:

apabila sampai saat akan

dilakukannya penetapan batas dan

pengukuran bidang tanah usaha

penyelesaian secara damai melalui

musyawarah tidak berhasil, maka

ditetapkan batas sementara

berdasarkan batas-batas yang menurut

kenyataannya merupakan batas-batas

bidang tanah yang bersangkutan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997, dan kepada

pihak yang merasa berkeberatan,

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 11

diberitahukan secara tertulis untuk

mengajukan gugatan ke Pengadilan.

6. Akibat Hukum Dilanggarnya

Prosedur Pengukuran dalam

Pendaftaran Tanah

a. Sistem Publikasi dan Peran

Informasi dalam Pendaftaran

Tanah

Dalam melaksanakan kegiatan

pendaftaran tanah, terdapat beberapa

jenis sistem publikasi, yang antara

lain:

1). Sistem Positif

Menurut sistem ini, sertipikat

tanah yang diberikan berlaku sebagai

tanda bukti hak atas tanah yang

mutlak, dan merupakan satu-satunya

tanda bukti hak atas tanah. Ciri pokok

dari pada sistem ini adalah bahwa

pendaftaran tanah/pendaftaran hak

atas tanah menjamin suatu nama yang

terdaftar dalam buku tanah dengan

sempurna dan tidak dapat di bantah,

walaupun nama yang tersebut di

dalamnya bukanlah nama pemilik

yang berhak atas suatu tanah. Hal ini

berarti Sistem Positif menganut suatu

kepercayaan mutlak pada buku tanah,

meskipun ternyata pemegang

sertipikat bukan merupakan pemilik

tanah yang sebenarnya. Apabila ada

pihak ketiga yang beritikad baik

bertindak berdasarkan suatu bukti

berupa sertipikat tanah sebagaimana

yang dimaksud diatas, maka

berdasarkan sistem ini, pihak ketiga

akan mendapatkan suatu jaminan

mutlak, walaupun ternyata semua

keterangan yang tercantum didalam

sertipikat tanahnya tidak benar.

Menurut sistem positif, hubungan

hukum antara hak dari orang yang

namanya terdaftar dalam buku tanah

dengan pemberi hak sebelumnya

terputus sejak hak tersebut

didaftarkan.

Kebaikan dari pada sistem

positif antara lain:Adanya kepastian

dari buku tanah, Adanya peran aktif

dari Pejabat Balik Nama Tanah,

Mekanisme kerja dalam penerbitan

sertipikat tanah mudah dimengerti

oleh masyarakat luas. Sedangkan

Kelemahan dari pada sistem positif

ini antara lain: Peran aktif dari pada

Pejabat Balik Nama tanah akan

memakan waktu yang lama; Pemilik

tanah yang sebenarnya berhak atas

tanah akan kehilangan haknya karena

adanya kepastian dari pada buku

tanah; Wewenang pengadilan

diletakkan pada wewenang

administratif

2). Sistem Negatif

12 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

Sistem negatif menyatakan

bahwa segala apa yang tercantum

dalam sertipikattanah dianggap benar

sampai dapat dibuktikan sebaliknya

(tidak benar) oleh pengadilan. Dalam

sistem ini, azas peralihan hak atas

tanah menggunakan azas memo plus

yuris, yang berarti bahwa terdapat

suatu perlindungan bagi pemegang

hak atas tanah yang sebenarnya dari

tindakan orang lain yang mengalihkan

haknya tanpa diketahui oleh

pemegang hak sebenarnya.

Ciri pokok sistem negatif adalah

bahwa pendaftaran tanah/pendaftaran

hak atas tidak menjamin suatu nama

yang terdapat dalam buku tanah

dengan sempurna dan dapat dibantah,

walaupun nama yang tersebut adalah

merupakan pemilik tanah yang

sebenarnya. Hak dari nama yang

terdaftar ditentukan oleh hak dari

pemberi hak sebelumnya, perolehan

hak tersebut merupakan mata rantai

perbuatan hukum dalam pendaftaran

hak atas tanah. Kebaikan dari pada

sistem negatif adalah terdapat suatu

perlindungan hukum bagi pemegang

hak sejati.

Kelemahan sistem negatif

antara lain:Pejabat Balik Nama Tanah

yang bersifat pasif menyebabkan

tumpang tindihnya sertipikat tanah;

Mekanisme kerja dalam proses

penerbitan sertipikat tanah kurang

dimengerti oleh orang awam.

Effendie Perangin menjelaskan,

sistem yang dipergunakan dalam

pendaftaran tanah saat ini adalah

sistem negatif yang bertenden positif,

artinya kelemahan sistem negatif

dikurangi dengan cara yang

sedemikian rupa sehingga kepastian

hukum dapat tercapai. Hal ini

mengandung maksud bahwa segala

hal yang substansial dalam sistem

negatif yang dirasa sudah tidak

relevan lagi dengan keadaan sekarang

diganti dengan cara memasukan hal-

hal substansial dari sistem yang

dianggap relevan dengan

perkembangan zaman.

Sistem pendaftaran tanah dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 adalah Sistem Publikasi

Negatif. Hal ini dapat terlihat pada

Pasal 32 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 tahun 1997,

yakni:

“Dalam hal atas suatu bidang

tanah sudah diterbitkan sertipikat

secara sah atas nama orang atau

badan hukum yang memperoleh

tanah tersebut dengan itikad baik

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 13

dan secara nyata menguasainya,

maka pihak lain yang merasa

mempunyai hak atas tanah itu

tidak dapat lagi menuntut

pelaksanaan hak tersebut apabila

dalam waktu 5 (lima) tahun sejak

diterbitkannya sertipikat itu telah

tidak mengajukan keberatan

secara tertulis kepada pemegang

sertipikat dan Kepala Badan

Pertanahan Nasional gyang

bersangkutan ataupun tidak

menagjukan gugatan kepengadilan

mengenai penguasaan tanah atau

penerbitan sertipikat tersebut.”

Sistem Publikasi Negatif dalam

penjelasan Pasal 32 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,

pendaftaran tanah yang

penyelenggaraanya diperintahkan

UUPA tidak menggunakan Sistem

Publikasi Positif yang kebenaran data

yang disajikan dijamin negara,

melainkan menggunakan Sistem

Publikasi Negatif, dimana negara

tidak menjamin kebenaran data yang

disajikan.

Menurut Sistem Torrens ,

sertipikat tanah merupakan alat bukti

pemegang hak atas tanah yang paling

lengkap dan tidak dapat diganggu

gugat.Untuk mengubah buku tanah

adalah tidak mungkin terkecuali

pemegang sertipikat tanah

memperoleh tanah dengan cara-cara

yang tidak benar, semisal adalah

tindakan penipuan dan pemalsuan

dokumen.

Kelebihan Sistem Torrens bila

dibandingkan dengan Sistem Negatif

diuraikan oleh Sir Robert Torrens

antara lain:Ketidakpastian diganti

dengan kepastian; Biaya-biaya

peralihan berkurang dari pound

menjadi shilling, dan waktu

berkurang dari bulan menjadi

hari;Ketidak jelasan dan berbelitnya

uraian menjadi singkat dan

jelas;Persetujuan-persetujuan

disederhanakan menjadi sedemikian

rupa, sehingga setiap orang akan

dapat mengurus kepentingannya

sendiri; Penipuan sangat dihalangi;

Banyak hak-hak milik atas rumah

yang kurang nilainya dikarenakan

ketidak pastian hukum hak atas tanah,

telah dikembalikan kepada nilai yang

sebenarnya;Sejumlah proses

(prosedur) dikurangi dengan

meniadakan beberapa hal.

7. Akibat Hukum Dilanggarnya

Prosedur Pengukuran

Non Litigasi dapat dilakukan

misalnya apabila pada waktu yang

14 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

telah ditentukan, pemegang hak atas

tanah yang bersangkutan atau para

pemegang hak atas tanah yang

berbatasan dengan tanah yang akan

diukur tidak hadir setelah dilakukan

pemenggilan, maka pengukuran

bidang tanahnya untuk sementara

dilakukan berdasarkan batas-batas

yang menurut kenyataannya

merupakan batas-batas tanah yang

bersangkutan, misalnya dinding atau

tanda lain yang menunjukkan batas

penguasaan tanah oleh orang

bersangkutan. Apabila ada tanda-

tanda semacam itu, maka persetujuan

dari pemegang hak atas tanah yang

berbatasan tidak mutlak diperlukan.

Penetapan dan pengukuran

batas sementara dicantumkan dalam

Risalah Penelitian Data Yuridis dan

Penetapan Bata, yang kemudian

dicatat dalam gambar ukur. Gambar

ukur sebagai hasil pengukuran

sementara, sehingga kegiatan

pengukuran dan pemetaan tidak perlu

ditangguhkan.Apabila dalam

menyelesaikan sengketa batas secara

musyawarah untuk mufakat tersebut

dapat dicapai suatu kata sepakat,

maka penetapan batas tersebut

dituangkan dalam risalah

penyelesaian sengketa batas.

Pengaturan mengenai azas

contradictoire delimitatie pada

Peraturan Menteri Agraria adalah

sebagai berikut:

- Pada Pasal 19 ayat (1) huruf (b)

menetapkan bahwa pemegang hak

atas bidang tanah dan pihak yang

menguasai bidang tanah yang

bersangkutan diwajibkan

menunjukan batas-batas yang

bersangkutan. Hal tersebut

menunjukan bahwa terdapat

kewajiban bagi para pihak yang

berkepentingan untuk

menunjukan batas-batas bidang

tanah tersebut. Ketentuan tersebut

hanya mengatur mengenai

kewajiban untuk menunjukan

batas, sedangkan mengenai

kehadiran maupun perizinan atau

kesepakatan dari pemilik tanah

berbatasan tidak diatur di dalam

Peraturan Menteri Agraria No. 3

Tahun 1997 tersebut.

- Disisi lain di dalam Peraturan

Menteri Agraria No. 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 tahun 1997 Pasal 19

ayat (3) menetapkan: “dalam hal

pemohonan pengukuran atas

pemegangan hak atas tanah tidak

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 15

dapat hadir pada waktu yang

ditentukan untuk menunjukan

batas-batas bidang tanahnya,

maka penunjukan batas itu dapat

dikuasakan dengan klausa tertulis

kepada orang lain”. Hal tersebut

menunjukan peraturan yang tidak

diatur di dalam Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah ada

kemudahan baik kepada pemohon

pengukuran maupun kepada

pemegang hak atas tanah dengan

cara pada saat penunjukan batas

dapat dikuasakan secara tertulis

kepada orang lain; namun di

dalam Peraturan Menteri Agraria

tersebut tidak diatur mengenai

siapa yang berhak menerima

kuasa apakah dari pihak sendiri

perwakilan para pihak atau cukup

dari panitia ajudikasi.

- Di dalam Peraturan Menteri

Agraria No. 3 Tahun 1997; Pasal

20 menetapkan sebagai berikut:

menurut pasal 20 ayat 1 yaitu

“Dalam hal terjadi sengketa

mengenai batas bidang-bidang

tanah yang berbatasan, Panitia

Ajudikasi dalam pendaftaran

tanah secara sistematik atau

Kepala Kantor

Pertanahan/petugas pengukuran

yang ditunjuk dalam pendaftaran

tanah secara sporadik berusaha

menyelesaikannya secara damai

melalui musyawarah antara

pemegang hak dan pemegang hak

atas tanah yang berbatasan, yang,

apabila berhasil,penetapan batas

yang dihasilkannya dituangkan

dalam Risalah Penyelesaian

Sengketa Batas (daftar isian

200).”

Litigasi dapat dilakukan melalui

Pengadilan Negeri yaitu dalam hal

terjadi sengketa batas, tetap

menggunakan cara yang ditetapkan

yakni melalui; pertama diupayakan

diselesaikan melalui musyawarah;

kedua, diselesaikan melalui putusan

pengadilan sebagaimana yang

ditetapkan di dalam Pasal 19 ayat (5)

dan pasal 20 Peraturan Pemerintah

No. 24 Tahun 1997 yang

kesimpulannya pada dasarnya inti

dari sahnya perjanjian penetapan

batas tanah adalah kesepakatan.

Perjanjian bagi para pihak harus

kehendak yang bebas dari cacat

kehendak(wilsgebrek); yakni

"dwaling" (kesesatan, kekeliruan,

kekhilafan), "dwang" (tekanan,

paksaan) dan "bedrog" (penipuan).

16 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

Penjelasan di atas didasarkan atas

ketentuan Pasal 1321 BW: pasal 1322

BW; Pasal 1323; 1324 BW; Pasal

1325 BW; Pasal 1449 BW; Pasal

1328 BW; dan Pasal 1452 BW.

Berdasarkanuraian di

atasdapatdisimpulkancacat kehendak

(wilgebrek); yakni "dwaling"

(kesesatan, kekeliruan, kekhilafan),

"dwang" (tekanan, paksaan) serta

"bedrog" (penipuan), merupakan

alasan-alasan hokum untuk

pembatalan suatu

perjanjian.Pembatalan suatu

perjanjian membawa konsekwensi

perjanjian yang diadakan dianggap

tidak pernah ada dan keadaan

dipulihkan seperti keadaan sebelum

perjanjian dibuat.

Melalui Pengadilan Tata Usaha

Negara, prosedur merupakan salah

satu aspek keabsahan atas suatu

tindak pemerintahan. Kesalahan

dalam prosedur berakibat keputusan

tata usaha negara yang dikeluarkan

cacat sehingga dinyatakan tidak sah

dan dapat dibatalkan. Ketetapan yang

batal dapat dibedakan yakni:

ketetapan yang batal karena hukum,

batal dan dapat dibatalkan. 3 (tiga)

ketetapan tidak sah tersebut adalah:

1. ketetapan yang batal karena

hukum (nietigheid van

rechtswege);

2. ketetapan yang batal (nietig,

juga: batal absolut, absoluut

nietig);

3. ketetapan yang dapat dibatalkan

(vernietigbaar)5

Ketika terjadi sengketa antara

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

dan pemilik tanah dalam penetapan

batas tanah yang dilakukan dengan

adanya suatu gugatan harus dilihat

dahulu tipe perjanjian yang

diperjanjikan. Apabila pelanggaran

tersebut mengenai perjanjian

kebijaksanaan (kewenangan)

tentunya menjadi kompetensi hakim

tata usaha negara. Indroharto

menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan perjanjian mengenai

wewenang pemerintahan adalah

perjanjian antara badan atau pejabat

tata usaha negara dengan warga

masyarakat dan yang diperjanjikan

adalah mengenai cara badan atau

pejabat tata usaha negara

menggunakan wewenang

pemerintahannya6.

Perjanjian kebijaksanaan

(kewenangan) adalah perjanjian atau

5E. Utrecht, Op. cit, h. 109

6Indroharto, Perbuatan…, h.119

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 17

cara Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota menggunakan

wewenang pemerintahannya untuk

mengambil langkah menetapkan

batas tanah dan menerbitkan besluit

berupa sertipikat. Perjanjian

kebijaksanaan (kewenangan)

dilakukan karena bidang pertanahan

adalah kewenangan Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia yang

didasarkan Undang-Undang Pokok

Agraria dan Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 26 Tahun

1988 jo Peraturan Presiden Republik

Indonesia (PERPRES RI) Nomor 10

Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional. Berdasar uraian di atas,

yang diperjanjikan dalam penetapan

batas tanah adalah cara Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota

menggunakan wewenang

pemerintahannya yang disamping

terikat dengan isi perjanjian, terikat

juga dengan asas kepercayaan (het

vertrouwensbeginsel), asas kejujuran

atau asas permainan yang layak (fair

play) dari asas-asas umum

pemerintahan yang baik yang

mengikat Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.

Pengaturan hukum atas Azas

Contradictorie Delimitatie dalam

pendaftaran tanah sudah memadai

dengan dikeluarkannya

PeraturanPemerintah No. 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran tanah

terutama Pasal 18 yang

menyempurnakan aturan pendaftaran

tanah dalam PeraturanPemerintah No.

10 Tahun 1961 Di dalam

PeraturanPemerintah No. 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran tanah Pasal

19 ayat(1) Jika dalam penetapan batas

bidang tanah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18 ayat (1) tidak

diperoleh kesepakatan antara

pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan dengan pemegang hak

atas tanah yang berbatasan,

pengukuran bidang tanahnya

diupayakan untuk sementara

dilakukan berdasarkan batas-batas

yang menurut kenyataannya

merupakan batas-batas bidang-bidang

tanah yang bersangkutan. Pasal di

atas ditindaklanjuti dengan Peraturan

Menteri Agraria/ KepalaBadan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1997, yang menetapkan bahwa

persetujuan dan penetapan batas dari

para pihak dituangkan dalam suatu

berita acara, yaitu Risalah Penelitian

Data yuridis dan penetapan Batas.

18 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

Dalam hal terjadi sengketa

batas,tetap menggunakancara yang

ditetapkan yakni melalui; pertama

diupayakan diselesaikan melalui

musyawarah;kedua, diselesaikan

melalui putusan pengadilan

sebagaimana yang ditetapkan di

dalam Pasal 19 ayat (5) Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

Inti dari sahnya perjanjian

penetapan batas tanah adalah

kesepakatan. Perjanjian bagi para

pihak harus kehendak yang bebas dari

cacat kehendak (wilsgebrek); yakni

"dwaling" (kesesatan, kekeliruan,

kekhilafan), "dwang" (tekanan,

paksaan) dan "bedrog" (penipuan).

Sebaliknya, bila terjadi gugatan

mengenai perjanjian kebijaksanaan

(kewenangan) yang dilakukan Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota. Hal

yang digugat adalah; (1) isi

perjanjian; (2) asas kepercayaan (het

vertrouwensbeginsel), asas kejujuran

atau asas permainan yang layak (fair

play) dari asas-asas umum

pemerintahan yang baik (AUPB).

Alasan gugatan adalah keputusan tata

usaha negara yang dikeluarkan

bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat

(2) huruf adalamkaitannyadenganPasal

53 ayat(1) Undang-UndangNomor 5

tahun 1986 joUndang-UndangNomor

9 tahun 2004 jo Undang-

UndangNomor51tahun 2009. Gugatan

tersebut menjadi kompetensi hakim

tata usaha negara karena berkaitan

dengan kewenangan publiknya untuk

melaksanakan penetapan batas tanah

dan kewenangan pemerintahannya

dengan menerbitkan besluit

(keputusan tata usaha negara) berupa

sertipikat.

C. Penutup

Dari apa yang telah diuraikan

diatas maka dapat diambil kesimpulan

bahwa: Apabila terjadi gugatan

mengenai perjanjian kebijaksanaan

(kewenangan) yang dilakukan Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota. Hal

yang digugat adalah; (1) isi

perjanjian; (2) asas kepercayaan (het

vertrouwensbeginsel), asas kejujuran

atau asas permainan yang layak (fair

play) dari asas-asas umum

pemerintahan yang baik (AUPB).

Alasan gugatan adalah keputusan tata

usaha negara yang dikeluarkan

bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

sesuai dengan ketentuan Pasal 53 ayat

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 19

(2) huruf adalam kaitannya dengan

Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1986 jo Undang-

Undang Nomor 9 tahun 2004.

Gugatan tersebut menjadi

kompetensi hakim tata usaha negara

karena berkaitan dengan kewenangan

publiknya untuk melaksanakan

penetapan batas tanah dan

kewenangan pemerintahannya dengan

menerbitkan besluit (keputusan tata

usaha negara) berupa sertipikat.

Berdasarkan keseluruhan uraian

upaya hukum melalui peradilan

umum dan upaya hukum melalui

peradilan tata usaha negara dalam

menetapkan batas tanah atau dalam

menganalisis sengketa-sengketa yang

menggunakan instrumen hukum

campuran (gemeenschapelijkrecht)

antara perjanjian keperdataan dan

perjanjian kebijaksanaan

(kewenangan), dapat disimpulkan;

pertama, dibutuhkan keahlian dan

kecermatan dalam penalaran hukum

atau legal reasoning. Dengan kata lain

diperlukan ars (ketrampilan ilmiah).7

Keadaan tersebut hanya mungkin

dilakukan oleh ahli hukum (yuris)

7Philipus M. HadjondanTatiek Sri

Djatmiati, ArgumentasiHukum,

Gadjahmada Univ. Press, Yogyakarta, 2005,

h.7 dan 12.

yang hasilnya adalah kebenaran

hukum. Dengan demikian diketahui

batasan-batasan, kapan suatu sengketa

perjanjian masuk dalam lapangan

hukum administrasi dan kapan masuk

dalam lapangan hukum perdata. A

Contrario, ketidakahlian dan

ketidakcermatan dalam penalaran

hukum atau legal reasoning, selain

merugikan pihak yang bersengketa

dan terganggunya keadilan secara

yuridis,8 juga tidak mewujudkan

kepastian hukum dan penegakan

hukum sehingga tujuan hukum9

menjadi tidak tercapai; kedua,

pentingnya penggunakan metode

induksi dan metode deduksi dalam

penalaran hukum.10

DAFTAR PUSTAKA

Buku

8Kepastian hokum menurut L.J. van Apelldorn

berarti : dapat ditentukan hukum apa yang berlaku

untuk masalah-masalah konkret. Kepastian hukum

berarti perlindungan hukum. Dengan perlindungan

hukum bagi para pihak yang bersengketa dapat

dihindarkan dari kesewenangan penghakiman. 9Tujuan hukum adalah untuk menciptakan

ketertiban dan keadilan atau sesuatu yang ingin

dicapai oleh hukum. L.J. van Apelldorn menyebut

tujuan hukum adalah untuk mempertahankan

ketertiban masyarakat. (dalam P.van Dijk, van

Apelldorn’s Inleiding tot de Studie van het

Nederlandse Recht, Tjeenk-Willijnk, 1985 p.10-

12 10Metode induksi adalah merumuskan fakta yang

merupakan langkah pertama dalam penanganan

perkara. Metode deduksi berpangkal dari

pengajuan premis mayor, kemudian diajukan

premis minor. Premis mayor adalah aturan

hukum, premis minor adalah fakta hukum Dari

kedua hal tersebut kemudian ditarik suatu

konklusi.

20 MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 Hal. 1-21

Perangin-Angin, Effendi 1997.

Perkembangan Terbatas

Sertipikat (Tanah, Tanggungan,

dan Condominium), Jakarta:

Mediatama Saptakarya.

Soerodjo, Irawan, 2002, Kepastian

Hukum Atas Tanah di Indonesia,

Penerbit Arloka Surabaya.

Hadjon, Philipus M. 1996.

Pengantar Hukum Administrasi

Indonesia . Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Indroharto. 1991. Usaha Memahami

Undang-Undang Tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.

Jakarta : Sinar Harapan.

Marbun, SF. & Mahfud MD. 2000.

Pokok–Pokok Hukum

Administrasi Negara,

Yogyakarta: Liberty.

Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan

Daerah Pasang Surut Hubungan

Kewenangan antara DPRD dan

Kepala Daerah, Bandung :

Alumni

Marbun, SF. 1977,

PeradilanAdministrasi Negara

dan UpayaAdministratif di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta

;Liberty

Sadjijono, 2008,

MemahamiBeberapaBabHukumA

dministrasi, Yogyakarta:

Laksbang Prescindo

HR, Ridwan, 2002,

HukumAdministrasi Negara,

Yogyakarta: UII Press.

Setiawan, Yudhi, 2009. Instrumen

Hukum Campuran

(Gemeenschapelijkrecht) Dalam

Konsolidasi Tanah, Rajawali

Pers, Jakarta

Setiawan, Yudhi , Hukum Pertanahan

Teori dan Praktik, Bayumedia,

Malang

Notonagoro, Politik Hukum dan

Pembangunan Agraria di

Indonesia, Pancuran Tujuh, Jkt,

1974

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Setiawan, Dimas, Kesalahan

Prosedur Dalam Penerbitan

Sertipikat HakAtas Tanah

Redistribusi dan Akibat

Hukumnya, Jurnal Magister

Hukum Persfektif Vol.2 No 2

Prawirohamidjojo, R. Soetojo,

Keabsahan Perbuatan Hukum,

Airlangga, majalah Fakultas

Hukum Universitas Airlangga,

tanpa tahun

Aturan Hukum

UNDANG-UNDANG DASAR

Rahayu, Aturan Hukum Atas Azaz Contradictoir Deliminatie dalam Pendaftaran Tanah 21

Undang-Undang Dasar 1945

(Amandemen Kesatu, Kedua, Ketiga

dan Keempat) Tahun 2002

UNDANG-UNDANG

Burgelijk Wetboek (BW), S, 1847-23,

Terjemahan R. Subekti dan R.

Tjitrosudibio, Cet, XII, Pradnya

Paramitha, Jakarta, 1980

Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria

(LembaranNegara Tahun 1960

Nomor 104Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia

Nomor 2043).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara Jo Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004

(Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 35,

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor

4380).

PERATURAN PEMERINTAH

Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

PERATURAN PRESIDEN

Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2006

Tanggal 11 April 2006 tentang Badan

Pertanahan Nasional.

KEPUTUSAN PRESIDEN

Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 26 Tahun 1988

tentang Badan Pertanahan Nasional.

PERATURAN

MENTERI/KEPALA LEMBAGA

PEMERINTAH NON

KEMENTRIAN

Peraturan Kepala Badan pertanahan

Nasional Nomor 4 Tahun 1991

tentang Konsolidasi Tanah.

Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah

PMDN Nomor 2 tahun 1970 tanggal

14 Mei 1970; Pelaksanaan

Konversi diatur dalam PMA

Nomor 2 tahun 1960 tanggal 10

Oktober 1960 jo PMA Nomor 2

tahun 1962 tanggal 1 Agustus

196