Aspek aspek biofarmasi
Transcript of Aspek aspek biofarmasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuannya dalam tubuh,
yaitu tempat kerjanya atau targetsite, obat harus mengalami banyak proses. Secara
umum, proses-proses ini dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu fase biofarmasi,
fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.
Biofarmasi adalah bagian ilmu yang bertujuan menyelidiki pengaruh
pembuatan sediaan obat atas kegiatan terapeutisnya. Efek obat tidak hanya
bergantung pada faktor farmakologi saja, tetapi juga dari bentuk pemberian dan
terutama dari formulasinya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Biofarmasi?
2. Bagaimanakah konsep formulasi Obat dan Pharmaceutical Ability?
3. Bagaimanakah konsep biological availability?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Biofarmasi adalah ilmu yang bertujuan mempelajari pengaruh – pengaruh
pembuatan sediaan farmasi terhadap efek terapeutik obat. Sekitar tahun 1960 para
ahli mulai sadar bahwa efek obat tidak hanya tergantung pada faktor farmakologi,
melainkan juga pada bentuk pemberian dan terutama pada faktor formulasinya.
Faktor-faktor formulasi yang dapat merubah efek obat dalam tubuh adalah:
Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, kehalusannya)
Keadaan kimiawi (ester, garam, garam kompleks dsbnya)
Zat-zat pembantu (zat pengisi, pelekat, pelicin, pelindung dan sebagainya)
Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan
Sebelum obat yang diberikan kepada pasien tiba pada tujuannya dalam tubuh, yaitu
tempat kerjanya atau reseptor, obat harus mengalami beberapa proses. Secara garis
besar proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat yaitu:
Fasa biofarmasi
Fasa Farmakokinetik
Fasa Farmakodinamik
2
Skema
Keterangan Skema :
Fasa Biofarmasi atau Farmasetika adalah fase yang meliputi waktu mulai
penggunaan obat melalui mulut sampai pelepasan zat aktifnya kedalam cairan
tubuh. Fase ini berhubungan dengan ketersediaan farmasi dari zat aktifnya dimana
obat siap diabsorbsi.
Fasa Farmakokinetika adalah fase yang meliputi semua proses yang
dilakukan tubuh, setelah obat dilepas dari bentuk sediaannya yang terdiri dari
absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.
3
Fasa Farmakodinamika adalah fase dimana obat telah berinteraksi dengan
sisi reseptor dan siap memberikan efek.
Dalam biofarmasi ini kita akan mengenal beberapa istilah yang berhubungan
dengan aspek-aspek yang kita pelajari :
a) Ketersediaan farmasi (Farmaceutical Availability)
Adalah ukuran waktu yang diperlukan oleh obat untuk melepaskan diri dari
bentuk sediaannya dan siap untuk proses resorpsi. Kecepatan melarut obat
tergantung dari berbagai bentuk sediaan dengan urutan sebagai berikut:
Larutan – suspensi – emulsi – serbuk – kapsul – tablet – enterik coated – long
acting.
b) Ketersediaan hayati (Biological Availability)
Adalah prosentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu dosis yang
diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapeutiknya.
c) Kesetaraan terapeutik (Therapeutical Equivalent)
Adalah syarat yang harus dipenuhi oleh suatu obat paten yang meliputi
kecepatan melarut dan jumlah kadar zat berkhasiat yang harus dicapai di dalam
darah. Kesetaraan terapeutik dapat terjadi pada pabrik yang berbeda atau pada batch
yang berbeda dari produksi suatu pabrik.
d) Bioassay dan standardisasi
Bioassay adalah cara menentukan aktivitas obat dengan menggunakan
binatang percobaan seperti kelinci, tikus, kodok dan lain-lain.
Standarisasi ialah kekuatan obat yang dinyatakan dalam Satuan Internasional atau
IU (International Unit) yang bersamaan dengan standart-standart internasional
4
biologi dikeluarkan oleh WHO. Ukuran-ukuran standart ini disimpan di London dan
Copenhagen.
Tetapi setelah metode Fisiko-Kimia dikembangkan, bioassay mulai
ditinggalkan, begitu pula dengan penggunaan satuan biologi dan selanjutnya kadar
dinyatakan dalam gram atau miligram.
Obat yang kini masih distandarisasi secara biologi adalah insulin
(menggunakan kelinci), ACTH (menggunakan tikus), antibiotik polimiksin dan
basitrasin, vitamin A dan D, faktor pembeku darah, preparat-preparat antigen dan
antibody, digitalis dan pirogen.
Faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah:
bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, dan kehalusannya);
keadaan kimiawi (ester, garam, kompleks, dan sebagainya);
zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan lain
sebagainya);
proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan mesin tablet,
alat emulgator, dan lain sebagainya).
B. Formulasi Obat dan Pharmaceutical Ability
Pharmaceutical ability (FA) merupakan ukuran bagian obat yang secara in
vitro dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,
misalnya dari tablet, kapsul, srbuk, suspensi, supositoria, dan sebagainya. Dengan
5
kata lain, FA menyatakan kecepatan larut (dan jumlah) dari obat yang tersedia
secara in vitro dari sediaan farmaseutisnya.
Bentuk Tablet
Banyak penelitian mengenai FA telah dilakukan dengan tablet sebagai
bentuk sediaan paling umum. Setelah ditelan, tablet akan pecah (desintegrasi) di
lambung menjadi banyak granul kecil, yang terdiri dari zat akif dan zat pembantu
(gom, gelatin, tajin). Setelah granul pecah, maka zat aktif akan dibebaskan. Bila
daya larut zat aktif tersebut cukup besar, zat aktif akan melarut dalam cairan
lambung/usus, tergantung dimana obat saat itu berada. Hal ini ditentukan oleh
waktu pengosongan lambung (gastric emptying time), yang umumnya berkisar
antara 2 sampai 3 jam setelah makan. Setelah melarut, obat tersedia dan proses
resorpsi oleh usus dapat dimulai; peristiwa inilah yang disebut farmaceutical
availability.
Urutan Pelarutan
Untuk obat yang tahan getah lambung, kecepatan melarut dari berbagai
bentuk sediaan menurun sesuai urutan berikut:
larutan - suspensi - serbuk - kapsul - tablet - tablet salut film - dragee (tablet salut
gula) - tablet e.c. - tablet sustained release
Hal ini berarti tablet, walaupun murah dan praktis, agak lebih rendah efektivitasnya
sebagai bentuk sediaan dibandingkan dengan larutan, serbuk, atau kapsul. Inilah
sebabnya pula tablet tertentu harus dikunyah dahulu sebelum ditelan.
6
Kehalusan Serbuk
Obat yang berbentuk kristal harus digiling sehalus mungkin agar
mempercepat pelarutannya dalam getah usus, sehingga dapat diserap dengan cepat.
Telah dibuktikan bahwa obat yang sangat halus dengan ukuran partikel 1-5 mikron
(microfine) mengahasilkan kadar darah 2-3 kali lebih tinggi. Dengan demikian
dosisnya dapat diturunkan 2-3 kali, misalnya griseofulvin, spironolakton, dan
digoksin. Zat amorf resorpsinya jauh lebih baik daripada kristal, sehingga pada
pembuatan suspensi harus dipilih metode khusus agar obat tetap berbentuk amorf,
misalnya suspensi sulfa atau kloramfenikol. Pada pembuatan obat untuk
penggunaan rektal (suppositoria), obat yang dihaluskan sering kali mengakibatkan
perlambatan dari ketersediaan biologisnya (BA, bioavailability). Syarat kehalusan
tidak berlaku bagi obat yang ditujukan untuk penggunaan lokal dalam usus dan
tidak boleh diserap, misalnya obat cacing (piperazin) atau kemoterapeutika untuk
melawan infeksi usus (kanamisin, neomisin).
Zat-Zat Pembantu
Pada tahun 1971, di Australia terjadi peristiwa difantoin (fenitoin), yaitu
ketika banyak pasien yang menelan tablet anti-epilepsi yang justru menimbulkan
gejala keracunan. kadar fenitoin tablet tersebut tepat, akan tetapi zat pengisi tablet,
kalsiumsulfat, telah diganti dengan laktosa. Akibat perubahan ini, BA fenitoin
meningkat, yang mengakibatkan kenaikan resorpsi dengan dosis toksis. Adanya zat-
zat dengan kegiatan permukaan (tween, span) atau zat hidrofil yang mudah larut
dalam air (polivinilpirolidon, carbawax) dapat mempercepat melarutnya zat aktif
dari tablet.
7
Efek kebalikan terjadi bila zat-zat hidrofob (tidak suka air) digunakan pada
produksi tablet sebagai zat pelicin untuk mempermudah "mengalirnya" campuran
tablet ke tempat cetakan mesin dan mencegah pelekatan pada stempel. Zat-zat ini
(asam/magnesium stearat, dan lain sebagainya) dapat menghambat melarutnya zat
aktif. Oleh karena itu, sebaiknya zat-zat ini sesedikit mungkin dipakai pada
pembuatan tablet, kapsul, atau serbuk. Kini, sering digunakan aerosil (asam silikat
koloidal) sebagai zat pelicin dan anti lekat karena tidak menghambat melarutnya zat
aktif.
Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (suspensi) seperti gom, gelatin,
dan tajin, umumnya juga memperlambat pelarutan obat, sedangkan desintegran
(berbagai jenis tepung, amilum) justru mempercepat. Maka semakin keras
pencetakan tablet, artinya menggunakan tekanan mesin yang tinggi, semakin sukar
zat aktif melarut. Begitu pula tablet yang disimpan lama sering kali mengeras dan
lebih sukar melarut.
Pengaruh zat pembantu penting dalam pembuatan suppositoria.
Dahulu,sediaan ini dibuat dengan oleum cacao sebagai basis. Namun, lemak ini bila
dicairkan pada suhu yang sedikit tinggi, sangat sukar untuk membeku kembali.
Oleh karena itu basis sintetis kini lebih disukai, seperti estarin, suatu ester dari
propilenglikol dengan asam lemak yang cocok sekali penggunaannya untuk daerah
tropis. Akan tetapi, ada beberapa obat yang sukar terbebas dari basis ini, seperti
obat rematik indometasin dan obat tidur khloralhidrat yang FA0nya lebih baik bila
digunakan dalam basis hidrofil (carbowax). Sebaliknya, suppositoria aminofin
sebaiknya dibuat dengan oleum cacao.
8
Keadaan Fisiko-Kimia
Telah dibuktikan bahwa zat hidrat yang mengandung air kristal dalam
molekulnya lebih lambat di-resorpsi daripada zat tanpa air kristal, seperti
ampisilintrihidrat (Penbritin) dibandingkan ampisilin (Amfipen). Natriumedetat
(EDTA) dapat membentuk kompleks dengan banyak zat dan dengan demikian
mempercepat resorpsinya oleh usus, misalnya manitol dan heparin. Hormon
kelamin yang diuraikan getah lambung dapat diberikan peroral sebagai esternya
yang stabil, seperti etinilestradiol dan testerondekanoat, begitu pula eritromisin
yang diberikan sebagai esternya (stearat, estolat).
C. Biological Availability
Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu
dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapeutisnya. Di beberapa
negara (AS, Jerman), BA mencakup pula kecepatan obat muncul di sirkulasi darah.
Biasanya, efek obat baru mulai terlihat setelah obat melalui sistem pembuluh porta
serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah besar yang mendistribusikannya ke
seluruh jaringan.
BA dapat diukur secara in vivo (Dalam tubuh) dengan menentukan kadar
plasma obat seseudah teracapai steady state. Pada keadaan ini terjadi
kesetimbangan antara kadar obat di seluruh jaringan tubuh dan kadar darah yang
praktis konstan, karena jumlah zat yang diserap dan dieliminasi adalah sama. Kadar
plasma dan efek terapeutis pada umumnya memiliki suatu hubungan korelasi yang
9
baik. Pengecualian terjadi pada obat hipertensi yang masih memiliki efek walaupun
kadarnya dalam plasma sudah tidak dapat diukur lagi.
Kadar dalam Air Liur
Telah dilakukan percobaan untuk menentukan kadar obat dalam air liur
secara lebih mudah dan sederhana daripada penentuan dalam plasma. Hal ini
dikarenakan pada sejumlah obat terdapat korelasi yang baik antara kadar obat dalam
air liur dan dalam plasma. Misalnya, perbandingan untuk fenitoin adalah lebih
kurang 1:10 bila contoh air liur diambil pagi hari sebelum menelan obat.
Perbandingan ini hampir sama dengan persentase obat bebas dalam plasma yang
tidak terikat antipirin, digoksin, barbital, dan protein, yaitu 10%. Hal ini berlaku
pula bagi hormon kelamin estron dan (dihidro)-testosteron.
Sebaliknya, FA hanya dapat ditentukan in vitro dalam laboratorium dengan
mengukur kecepatan melarutnya zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution rate).
Pengukuran ini dilakukan dengan metode dan alat khusus menurut USP XVIII guna
meniru sejauh mungkin keadaan alami dalam saluran lambung-usus. Akan tetapi
cara penentuan yang mudah dan praktis ini hasilnya jarang menunjukkan korelasi
dengan kadar obat dalam plasma in vivo yang lebi sulit pelaksanaannya.
D. Kesetaraan Terapeutis
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa dua tablet dengan zat aktif dan
dosis yang sama tetapi pabrik berlainan tidak selalu menghasilkan kadar obat dalam
darah dan efek yang sama pula. Sebagai akibat dari salah satu faktor tersebut, maka
10
BA masing-masing tablet dapat berbeda. Bahkan adakalanya tablet dari satu pabrik
tetapi dari batch berlainan dapat berbeda BA-nya.
Kesetaraan terapeutis (therapeutical equivalence) dapat didefinisikan
sebagai kesetaraan pola kerja (kadar dan kecepatan resorsi) dari dua obat yang
berisi zat aktif dengan dosis yang sama. Hal ini sangat penting bagi sediaan obat
yang luas terapinya sempit, yang aktivitasnya tergantung pada kadar plasma yang
tetap. Contohnya adalah digoksin, antikoagulansia, dan deksametason.
Banyak kejadian mengenai variasi BA menyebabkan syarat-syarat produk
tablet dipertajam. Selain itu diperkuat pula oleh farmakope yang memuat syarat-
syarat standar pemerikasaan tablet, tidak hanya mengenai kadar zat aktif dan
kesamaan kadar (content uniformity), melainkan juga mengenai kecepatan
pecahnya (dalam larutan getah lambung buatan) dan kecepatan larutnya dalam
getah usus buatan (dissolution rate).
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, kesulitannya adalah jarang
sekali terdapat hubungan langsung antara dissolution rate in vitro dengan BA in
vivo. Hanya pada beberapa obat saja telah ditemukan korelasi ini, antara lain
digoksin, asetosal, griseofulvin, dan riboflavin. Cara satu-satunya untuk menjamin
efek terapeutis yang sama adalah melakukan tes klinis pada semua sediaan industri
dengan menentukan kadar darah pada orang-orang percobaan.
Oleh karena itu, di banyak negara Barat, misalnya di AS dan Belanda, obat
generik diharuskan memenuhi persyaratan ketat mengenai antara lain identitas,
kemurnian dan potensinya. Obat generik harus memperlihatkan efek klinis dan
11
profil efek samping yang setara dengan obat patennya dan demikian harus dapat
menggantikannya pada semua indikasi yang teregistrasi.
Pada tahun 1980, Food & Drug Administration A.S. (FDA) telah
menerbitkan The Orange Book yang berisi obat-obat resmi dengan penilaian
Kesetaraan Terapeutis, yaitu obat-obat paten dengan obat-obat generiknya yang
secara terapeutis adalah ekivalen.
Nilai "A" (rating) diberikan pada obat generik bila kesamaan zat aktif dan dosisnya
telah dibuktikan secukupnya, sehingga tepat identik dengan obat paten yang
bersangkutan, dan memenuhi standar FDA yang sama mengenai bentuk sediannya
(dosage form).
Kode "AB" diberikan pada obat yang memiliki kesetaraan farmasetis dan
bioequivalensi dengan obat patennya. Bioekivalensi yang dimaksud adalah
kesetaraan farmasetis ditambah dengan bio-availability (BA).
Seperti telah dibicarakan, BA menentukan kecepatan dan derajat absorpsi obat pada
pemberian dalam dosis sama dan keadaan eksperimental yang sama pula.
Nilai "B" diberikan pada sediaan obat yang tidak atau belum tuntas dibuktikan
mengenai kesetaraan terapeutisnya; obat-obat ini masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut sebelum dapat ditingkatkan ke nilai "A".
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Biofarmasi adalah ilmu yang bertujuan mempelajari pengaruh – pengaruh
pembuatan sediaan farmasi terhadap efek terapeutik obat. Sekitar tahun 1960 para
ahli mulai sadar bahwa efek obat tidak hanya tergantung pada faktor farmakologi.
Pharmaceutical ability (FA) merupakan ukuran bagian obat yang secara in
vitro dibebaskan dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,
misalnya dari tablet, kapsul, srbuk, suspensi, supositoria, dan sebagainya.
Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu
dosis yang diberikan dan tersedia untuk melakukan efek terapeutisnya.
B. Saran
Melalui makalah yang singkat ini penulis menyarankan kepada segenap
pembaca agar merujuk kepadas sumber-sumber lain yang relevan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.
13
DAFTAR PUSTAKA
Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.
Hakim, Lukman. 2002. Farmakokinetika. Bursa Buku. Yogyakarta
R, Husniah. 2007. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta
14