Biofarmasi- biowaiver

34
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG BCS atau Biopharmaceutical Classification System merupakan hasil dari usaha berkelanjutan dalam analisis matematika berkaitan dengan proses kinetika dan dinamika obat dalam saluran pencernaan untuk memebuhi NDA dan ANDA. Sistem ini mengurangi tahapan dalam proses pengembangan obat baru, secara langsung maupun tidak langsung, mengurangi uji klinik yang sebenarnya tidak diperlukan, mendukung penggantian uji bioekuivalen dengan uji disolusi secara in vitro. BCS merupakan panduan umum untuk memprediksi absorpsi obat dalam usus yang dibuat oleh FDA US. Ide untu membuat BCS diungkapkan oleh Gordon Amidon, yang mendapat hadiah Distinguished Science Award pada Agustus 2006 pada Kongres International Pharmaceutical Federation di Salvador Brazil. Dalam upaya penyembuhan masyarakat yang sakit, peran obat yang sangat penting harus diimbangi dengan keterjangkauan obat. Harga obat harus terjangkau sehingga masyarakat dengan tingkat ekonomi yang paling bawah pun dapat membeli obat tersebut dan akhirnya kesehatan masyarakat tetap terjaga. Harga obat yang terjangkau hanya bisa dihasilkan oleh produsen obat bila produsen tersebut tidak mengeluarkan biaya investasi yang mahal untuk memproduksi obat tersebut. Semakin mahal biaya investasi untuk memproduksi obat tersebut, maka harga obat yang dhasilkan pun akan semakin mahal. Sebaliknya, semakin sedikit biaya investasi yang diperlukan untuk 1

Transcript of Biofarmasi- biowaiver

BAB IPENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANGBCS atau Biopharmaceutical Classification System merupakan hasil dari usaha berkelanjutan dalam analisis matematika berkaitan dengan proses kinetika dan dinamika obat dalam saluran pencernaan untuk memebuhi NDA dan ANDA. Sistem ini mengurangi tahapan dalam proses pengembangan obat baru, secara langsung maupun tidak langsung, mengurangi uji klinik yang sebenarnya tidak diperlukan, mendukung penggantian uji bioekuivalen dengan uji disolusi secara in vitro.BCS merupakan panduan umum untuk memprediksi absorpsi obat dalam usus yang dibuat oleh FDA US. Ide untu membuat BCS diungkapkan oleh Gordon Amidon, yang mendapat hadiah Distinguished Science Award pada Agustus 2006 pada Kongres International Pharmaceutical Federation di Salvador Brazil.Dalam upaya penyembuhan masyarakat yang sakit, peran obat yang sangat penting harus diimbangi dengan keterjangkauan obat. Harga obat harus terjangkau sehingga masyarakat dengan tingkat ekonomi yang paling bawah pun dapat membeli obat tersebut dan akhirnya kesehatan masyarakat tetap terjaga. Harga obat yang terjangkau hanya bisa dihasilkan oleh produsen obat bila produsen tersebut tidak mengeluarkan biaya investasi yang mahal untuk memproduksi obat tersebut. Semakin mahal biaya investasi untuk memproduksi obat tersebut, maka harga obat yang dhasilkan pun akan semakin mahal. Sebaliknya, semakin sedikit biaya investasi yang diperlukan untuk memproduksi obat tersebut, maka harga obat yang dihasilkan akan semakin murah.Salah satu faktor yang mempengaruhi besar kecilnya biaya investasi dalam memproduksi obat adalah biaya untuk pengembangan obat. Untuk pengembangan suatu obat baru diperlukan biaya yang sangat mahal. Namun biaya ini hanya berlaku untuk produsen yang melakukan inovasi obat baru. Beberapa produsen obat lain yang tidak memiliki biaya yang cukup untuk melakukan pengembangan obat baru, dapat meniru obat baru tersebut bila masa paten obat tersebut sudah habis dan produk copy yang dibuat harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan itulah yang diatur oleh suatu system yang disebut Biopharmaceutical Classification System (BCS). Sebelum BCS dibuat, produk copy yang dihasilkan tetap memerlukan biaya tambahan untuk melakukan uji bioekuivalensi pada manusia. Setelah adanya gagasan dari Gordon Amidon untuk membuat BCS, maka biaya yang diperlukan produsen untuk membuat produk copy menjadi lebih berkurang jika dibandingkan dengan saat BCS belum dibuat karena dengan adanya BCS, uji yang awalnya menggunakan manusia sebagai subjek penelitian dapat digantikan dengan uji secara in vitro di laboratorium penelitian independen yang ditunjuk, sehingga akhirnya biaya yang dikeluarkan akan menjadi lebih sedikit. Biowaiver adalah Suatu justifikasi yang dilakukan sehingga obat tersebut tidak perlu dilakukan uji bioekuivalensi (BE), hanya dilakukan uji disolusi terbanding (UDT)

2. RUMUSAN MASALAHAdapun masalah dari latar belakang diatas yaitu1. Apa yang dimaksud dengan BCS?2. Bagaimana Karakteristik Umum & Sifat Fisikokimia Quinidine sulfate dyhidrate?3. Bagaimana farmakokinetik Quinidine sulfate dyhidrate ?4. Bagaimana dosis dan performance Quinidine sulfate dyhidrate ?

3. TUJUANAdapun tujuan dari makalah ini yaitu agar dapat memahami 1. Mengetahui apa yang dimaksud BCS2. Mengetahui Karakteristik Umum & Sifat Fisikokimia Quinidine sulfate dyhidrate3. Mengetahui farmakokinetik Quinidine sulfate dyhidrate4. Mengetahui dosis dan performance Quinidine sulfate

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1.DefinisiBiopharmaceutical Classification System (BCS) adalah kerangka ilmiah untuk mengklasifikasikan senyawa obat berdasarkan kelarutannya dalam air dam permeabilitas dalam usus (Amidon et al., 1995). Ketika dikombinasikan dengan karakteristik disolusi secara in vitro dari produk obat, ada tiga faktor yang mempenngaruhi BCS yaitu : kelarutan, permeabilitas, dan kecepatan disolusi, dimana ketiga hal tersebut menentukan kecepatan dan luas absorpsi obat oral dari bentuk sediaan lepas cepat dosis oral. BCS dapat dikategorikan kedalam empat kelompok berdasarkan kelarutan dan permeabilitasnya pada mukosa saluran pencernaan.Kelarutan adalah suatu senyawa obat diklasifikasikan sebagai senyawa obat yang mudah larut jika kekuatan dengan dosis tertinggi dapat larut dalam 250 mL air atau kurang pada rentang pH dari 1-7,5 pada suhu 37C (Lindeberg, et al., 2002).Klasifikasi kelarutan obat dalam BCS berdasarkan kekuatan dosis tertinggi obat dalam sebuah produk lepas cepat. Senyawa obat dikatakan memiliki kelarutan yang tinggi ketika konsentrasi tertinggi dari obat tersebut larut dalam dalam 250 mL media atau kurang pada kisaran pH 1.0-7.5, jika tidak senyawa obat tersebut dikatakan memiliki kelarutan rendah. Volume media digunakan sebanyak 250 mL diambil dari protokol studi bioekuivalensi yang meresepkan pemberian produk obat untuk relawan puasa dengan segelas (sekitar 8 ons) air. Permeabilitas adalah suatu senyawa obat diklasifikasikan dengan tingkat permeabilitas yang tinggi jika tingkat absorbsi dalam tubuh manusia lebih besar dari 90% dari dosis yang diminum, bedasarkan pada kesetimbangan masa atau dibandingkan dengan referensi dosis intravena (USP, 1994).Klasifikasi permeabilitas dilakukan secara langsung berdasarkan pada luas absorpsi usus suatu senyawa obat dalam tubuh manusia atau secara tidak langsung berdasarkan pengukuran kecepatan perpindahan massa melewati membran usus manusia. Senyawa obat dikatakan memiliki permeabilitas tinggi ketika luas absorpsi usus mecapai 90% atau lebih, jika tidak senyawa obat tersebut memiliki permeabilitas rendah. Suatu produk obat IR dikarakterisasi sebagai sebuah produk disolusi yang cepat ketika tidak kurang dari 85% jumlah obat yang tertera pada label larut dalam waktu 30 menit menggunakan peralatan I USP pada 100 rpm atau peralatan II USO pada 50 rpm dalam jumlah 900 mL atau kurang dengan media masing-masing : 1) media asam, seperti HCl 0.1 N atau simulasi cairan lambung USP tanpa enzim2) buffer pH 4.5, dan 3) buffer pH 6.8 atau simulasi cairan usus tanpa enzimUntuk mengerti pembatasan permeabilitas gastrointestinal secara alami, terdapat metode dan teknik untuk mengetahui dan memberi nilai pada karakteristik tersebut. Metode yang sering dipakai dalam penentuan permeabilitas adalah sebagai berikut (Gothoskar, 2005): Studi pada ManusiaStudi kesetimbangan massa farmakokinetikStudi bioavaibilitas absolut, metode perfusi intestinal Metode permeabilitas intestinalStudi perfusi in vivo intestinal pada manusiaStudi perfusi in vivo intestinal pada binatangEksperimen permeasi in vitro dari potongan jaringan intestinal manusia atau binatang Eksperimen permeasi in vitro melalui sel epitel monolayer (sepertisel Caco-2 atausel TC-7)Disolusi adalah suatu produk obat diklasifikasikan cepat terdisolusi jika 85% atau lebih dari jumlah yang terlabel dari suatu senyawa obat dalam waktu 30 menit menggunakan alat uji disolusi tipe 1 atau 2 dalam volume 900 mL atau kurang dari larutan dapar (USP, 1994).Komposisi formulasi dan proses manufaktur secara umum mempengaruhi disolusi obat secara in vitro. BCS mengklasifikasikan produk obat dapat terdisolusi secara cepat jika tidak kurang dari 85% dari jumlah senyawa obat yang tertera terlarut dalam 30 menit menggunakan (Polli, et al., 2004): Alat uji disolusi tipe 1 (basket) pada 100 rpm atau alat uji disolusi tipe 2 (gayung) pada 50 rpm Medium disolusi pada volume 900 mL atau kurang masing-masing menggunakan1. 0,1 N HClataucairanlambungbuatantanpaenzim2. Dapar pH 4,53. Dapar pH 6,8 ataucairanususbuatantanpaenzim Profil faktor kemiripan (f2) untuk perbandingan sampel versus standar sebaiknya lebih besar dari 50 (nilai f2 diantara 50 dan 100 menunjukkan bahwa kedua profil disolusi adalah mirip.

Dimana Rt dan Tt adalah persentase kumulatif terlarut para waktu t untuk standar dan sampel, dan n adalah jumlah pengambilan sampel.Berdasarkan pada panduan BCS, profil disolusi sampel dan standar ditentukan mirip apabila kedua produk memiliki sekurang-kurangnya 85% jumlah zat yang terdisolusi dalam 15 menit atau jika profil perbandingan dari f2 hasil sampel dan nilai f2 sekurang-kurangnyaa dalah 50. Untuk dapat menggunakan data rata-rata, koefisien variasi tidak boleh lebih dari 20% pada waktu awal (misal pada 10 menit) dan tidak boleh lebih dari 10% pada waktu yang lain.

PRINSIP

Prinsip yang melatarbelakangi BCS adalah jika hasil produk dua obat memiliki profil konsentrasi yang sama mendekati saluran pencernaan akan menghasilkan profil konsentrasi profil plasma setelah administrasi obat. Konsep ini dirangkum oleh persamaan Ficks J = Pw Cw Dimana J adalah aliran melewati dinding usus, Pw adalah permeabilitas dinding usus terhadap obat, dan Cw adalah profil konsentrasi pada dinding usus. Dalam bioekuivalensi, prinsip tersebut diasumsikan sebagai permeabilitas yang tinggi, kelarutan yang tinggi suatu obat dalam pelarutan produk obat yang cepat akan bioekuivalen, kecuali perubahan dapat dilakukan pada formulasi, data disolusi dapat digunakan sebagai wakil untuk data farmakokinetika untuk memperlihatkan bioekuivalensi dari kedua produk obat.

FUNGSI OBAT BCSBCS dikembangkan untuk meningkatkan kegunaan pengetahuan ilmiah pada evaluasi zat aktif, seperti prediksi perilaku in vivo, hingga membantu badan pengatur untuk menyetujui obat baru dan pada industri farmasi dalam memperoleh registrasi produk.

TUJUAN OBAT BCS untuk mendiskusikan tentang uji disolusi intrinsik sebagai alat untuk menentukan kelarutan dari suatu obat dalam cakupan Biopharmaceutics Classification System (BCS). membentuk alat pengatur untuk mengganti beberapa uji bioekivalensi pada uji kelarutan in vitro, sehingga memungkinkan pengurangan waktu dan biaya dalam proses pengembangan pengobatan, dan tidak perlu menggunakan manusia sebagai subjek selama studi in vivo

PENGKLASIFIKASIAN DAN KARAKTERISTIK OBAT BCSBCS diklasifikasikan berdasarkan parameter-parameter seperti kelarutan, permeabilitas dan disolusi untuk menentukan identifikasi dan determinasi kelas BCS (Lindeberg, et al., 2002). Berikut adalah klasifikasi BCS :Top of Form Kelas 1 : Obat pada kelas ini memiliki permeabilitas yang bagus kecuali mereka tidak stabil pada saluran pencernaan atau jika obat melewati metabolisme pertama. Karena obat tersebut juga memiliki daya larut yang baik, faktor keterbatasan untuk absorpsinya adalah waktu pengosongan gastric. Bentuk pelepasan segera dosis padat yang mengandung obat dengan karakteristik ini berpotensi menjadi biowaiver untuk studi bioekivalensi.Contoh obat: Ketoprofen, naproxen, Carbamazepine, propanolol, Metoprolol, Diltiazem, Verapamil Kelas 2 : Meskipun memiliki permeabilitas yang baik, klasifikasi obat pada grup ini menunjukkan masalah daya larut, sehingga daya larut menjadi faktor keterbatasan pada absorpsi. Penggunaan formulasi yang bagus atau teknik farmasetika, seperti kompleksasi dengan cyclodextrins atau pengurangan ukuran partikel diantara yang lain, dapat mendukung daya kelarutan dan meningkatkan bioavaibilitas oral. Tetapi, daya kelarutan in vitro harus mencerminkan daya kelarutan in vivo yang sempurna.Contoh obat: Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedinpine, felodipin, nicardipine, NisoldipineMetode meningkatkan kelarutan Penggunaan surfaktan Kompleksasi Pembuatan produk tersebut Pemilihan polimer yang digunakan Penggunaan garam dari asam lemah dan basa lemah Menggunakan Buffeirng pH lingkungan Kelas 3 : Obat yang memiliki daya kelarutan yang baik dan mengurangi permeabilitas; yang terakhir dipertimbangkan faktor keterbatasan untuk absorpsi. Penting bahwa bentuk dosis yang mengandung obat jenis ini melepas secara cepat untuk memaksimalkan waktu kontak dengan epitelium intestinal; namun, absorpsi dapat dipengaruhi oleh variabel fisik seperti waktu tinggal intestinal dan konten luminal.Contohnya obat: Acyclovir, Alendronate, Captopril, Enalaprilat Neomycin B Kelas 4 : Kelas ini adalah yang para peneliti temukan paling menantang, karena obat-obatnya menunjukkan masalah biovaibilas oral karena berkurangnya daya kelarutan dan permeabilitas.Contoh termasuk : Chlothaizude, Furosemide, Tobramycine, Sefuroksim dll

MEDIA KELARUTAN Top of Form UNTUK BERBAGAI MACAM KELAS DARI OBAT BCS1. Kelas 1 : media yang digunakan untuk zat yang tergolong dalam golongan kelas 1 memiliki kelarutan yang baik dengan air dan dapat diangkut melalui mukosa GI. Bioavailabilitas pada setelah pemberian oral biasanya dekat dengan 100%, asalkan tidak membusuk di GIT dan tidak di bawah pergi ekstensif pertama lulus metabolisme. Setelah pemberian dosis Bentuk cepat masuk ke dalam perut dan biasanya hancur di dalam perut pula, untuk itu diperlukan menggunakan cairan yang mencerminkan kondisi lambung. Cairan pencernaan (SGF) tanpa enzim cocok untuk berbagai bentuk sediaan pelepasan segera kelas ini. Untuk beberapa kapsul, enzim (pepsin) dapat harus ditambahkan ke media untuk memastikan waktu kelarutan.2. Kelas II : media yang digunakan untuk zat yang termasuk kelas II memiliki kelarutan yang kecil dengan air tetapi mudah diangkut melintasi GI mukosa. Contohnya adalah :a. SGFsp ditambah surfaktan (misalnya, Triton X-100), untuk mensimulasi pada keadaan berpuasa di perut. Ini media secara khusus berguna untuk obat dasar yang lemah, karena ini adalah yang paling larut dalam kondisi asam. Kehadiran surfaktan dalam lambung dapat berperan dalam membasahi dan melarutkan larut asam yang buruk di perut. b. Memastikan susu sebagai media yang dapat meningkatkan kelarutan obat termasuk solubilisasi obat di bagian lemak dari cairan media ini mengandung rasio serupa protein / lemak / karbohidrat.c. FaSSIF (Fasted state simulated intestinal fluid) dan FeSSIF (Fed state simulated intestinal fluid) yang baru-baru ini dikembangkan untuk mensimulasikan kondisi usus. Kedua media sangat berguna untuk meramalkan kelarutan obat yang buruk secara invivo dari berbagai formulasi untuk menilai potensi makanan pada efek kelarutan secara invivo. d. Campuran Hydroalcoholic sebagai Media disolusi yang populer untuk kelarutan obat yang buruk. Khususnya signifikansi ini media selama surfaktan berisi media adalah bahwa mereka tidak menimbulkan busa, yang membuat deaeration dan penyesuaian volume agak kurang baik.3. Kelas III : Meskipun kelarutan yang baik berair mereka, zat yang termaksud golongan kelas III tidak mencapai bioavailabilitasyang sempurna pada dosis oral karena memiliki permeabilitas membran yang rendah. Dapat digunakan media air yang sederhana.4. Media untuk Kelas IV : menggabungkan obat yang sukar larut dengan permeabilitas yang rendah. Oleh karena itu, mirip dengan obat kelas III, mereka biasanya tidak mendekati bioavailabilitas. Dua kompendial Media yaitu SGFsp & SIFsp dengan penambahan surfaktan untuk memastikan pelepasan lengkap obat dari formulasi dapat digunakan.

SELEKSI TINGKAT KECEPATANSebuah kecepatan rotasi yang tepat harus dipilih. Jika kecepatan rotasi terlalu rendah, coining mungkin terjadi, mengarah ke artifactually tingkat kelarutan rendah. Jika Tingkat rotasi terlalu cepat, tes tidak akan dapat membedakan antara diterima dan tidak dapat diterima batch. Rotasi kecepatan dalam kisaran 50-75 rpm tampaknya cocok dalam hal metode dayung. Pembubaran senyawa kelas pertama relatif intensif untuk variasi dalam kisaran kecepatan dan bahkan untuk Kelas II senyawa efeknya minimal. Jika metode keranjang yang digunakan cocok pada kecepatan rotasi rpm 75-100.APLIKASI SISTEM KLASIFIKASI BIOFARMASETIK Aspek PengaturanBCS terutama digunakan dalam identifikasi obat secara tepat untuk menggantikan uji in vivonya dengan uji disolusi secara in vitro. Saat ini telah diketahui bahwa obat BCS kelas I dilepaskan dari bentuk sediaannya dengan sangat cepat secara in vivo dan pengosongan lambung akan menjadi batasan pada proses absorbsi. Dengan demikian, bioavailabilitas tidak tergantung pada sifat biofarmasetik dan oleh karena itu pemeriksaan secara in vivo dapat diabaikan (bio-waiver). Kriteria untuk persyaratan bio-waiver adalah obat harus stabil pada cairan GI dan tidak termasuk dalam golongan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, siklosporin) (1,4). Obat-obat dengan permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah (kelarutan dalam air tinggi hanya pada pH 6,8; BCS kelas II asam lemah) dapat juga dibebaskan dari uji BE secara in vivo (4). Namun dalam beberapa kasus obat BCS kelas II penerapan bio-waiver tidak dianjurkan (2).Bio-waiver juga dapat diterapkan pada obat BCS kelas III karena obat golongan ini memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dan juga karena bioavailabilitas kurang dipengaruhi oleh sifat pelepasan formulasi obat terhadap permeabilitas secara in vivo. Alasan yang mendasari penerapan bio-waiver pada obat BCS kelas III ditunjukkan bahwa jika dua produk mengandung bahan obat yang sama, memiliki profil konsentrasi-waktu yang sama pada permukaan membran usus tentu akan memiliki kecepatan dan tingkat bioavailabilitas yang sama. Akan tetapi hal ini tidak selamanya benar karena ternyata untuk bahan obat kelas III, eksipien dari formulasi obat dapat mempengaruhi pengambilannya. Hal ini akan mengubah bioavailabilitas. Kesimpulan yang sama juga dapat ditarik terhadap obat BCS kelas I bahwa jika laju disolusinya cepat maka akan menunjukkan reaksi yang sama dengan larutan obat oral secara in vivo. Konsekuensinya adalah selama belum ditetapkannya suatu metode validasi yang memperkirakan efek eksipien dalam formulasi terhadap sitem transpor obat, bio-waiver tidak dapat diterapkan (1,2).

Karakterisasi Obat Berdasarkan Proses Eliminasi Dalam TubuhMolekul obat dengan permeabilitas dan/atau kelarutan yang rendah biasanya memiliki bioavailabilitas yang rendah dan tidak tetap. Telah ditunjukkan bahwa bahan obat BCS kelas I dan II dieliminasi terutama melalui jalur metabolisme, sedangkan BCS kelas III dan IV dieliminasi secara utuh terutama ke dalam urin dan empedu. Tingginya permeabilitas bahan obat kelas I dan II menunjukkan bahwa obat tersebut akan memiliki akses yang cepat ke enzim metabolisme dalam hati. Bahan obat secara umum mengalami biotransformasi menjadi senyawa yang lebih polar sehingga menjadi lebih mudah untuk diekskresi.

Gambar 3. Kemungkinan Teknik Formulasi Berdasarkan BCS Interaksi Obat dan MakananTelah diketahui bahwa makanan mempengaruhi bioavailabiltas obat. Efek makanan terhadap bioavailabilitas obat dapat ditentukan berdasarkan BCS. Hasil observasi bahwa paparan obat BCS kelas II (kelarutan rendah, permeabilitas tinggi) dengan makanan tinggi lemak dapat meningkatkan kelarutan karena pemberian tambahan makanan dapat menstimulasi peningkatan volume cairan GI dan/atau karena sifat pelarutan oleh empedu sehingga meningkatkan laju disolusi. Obat BCS kelas III menunjukkan penurunan drastis pada absorbsi ketika pemberian makanan tambahan. Hal ini dikarenakan makanan dapat membentuk suatu barier fisik tambahan pada membran usus sehingga dapat mempengaruhi permeabilitasnya (1,2). Korelasi in vitro -in vivo (IVIVC)Uji disolusi secara in vitro penting sekali dalam pengembangan sediaan obat padat, demikian pula pada kontrol kualitas bets. Tujuan uji disolusi adalah untuk melihat bahwa obat larut baik dalam saluran GI dan tersedia untuk proses absorbsi. Oleh karena itu sebaiknya uji in vitro menyediakan data yang memiliki korelasi baik dengan keadaan in vivo. Disolusi obat dan permeabilitas usus adalah parameter dasar yang mengatur laju dan tingkat absorbsi. Akan tetapi, pencapaian IVIVC seringkali gagal karena IVIVC dapat tercapai hanya pada batas-batas tertentu.Pada kasus obat BCS kelas I, waktu pengosongan lambung menjadi batasan karena faktor ini tidak termasuk dalam uji disolusi secara in vitro. Dengan demikian IVIVC seharusnya tidak dapat dicapai selama pelepasan obat lebih cepat dari waktu pengosongan lambung.Obat kelas II memiliki disolusi yang terbatas. Dengan demikian jenis obat ini IVIVCnya dapat tercapai dengan menggunakan uji disolusi yang tepat. Tetapi terdapat dua kasus di mana IVIVC obat kelas II tidak dapat ditentukan dengan mudah. Pertama, terdapat sejumlah formulasi yang mempertinggi laju disolusi. Dalam kasus ini, persyaratan seperti pada kelas I harus dipenuhi. Kedua, ketika absorbsi dibatasi oleh terjadinya kejenuhan dalam saluran GI yang lebih cepat dari laju disolusi. Pada kondisi ini konsentarsi obat dalam saluran GI mendekati titik jenuh dan mengubah laju disolusi sehingga tidak akan mempengaruhi konsentrasi plasma dan biovailabilitas in vivo. Pada obat kelas III absorbsinya dibatasi oleh permeabilitas usus. Dengan demikian, ketika proses ini tidak dikondisikan pada uji disolusi secara in vitro, IVIVC tidak akan tercapai. Untuk obat kelas IV dengan kelarutan dan permeabilitas rendah kemungkinan tercapainya IVIVC sangat rendah. Secara keseluruhan IVIVC hanya dapat diperoleh setelah memahami dengan tepat sifat fisika kimia, demikian pula mekanisme pengambilan dan eliminasi dari senyawa obat (1,2,5).

2.2.Karakteristik Umum & Sifat Fisikokimia Quinidine sulfate dyhidrate1. Karakteristik UmumSebelum dijelaskan mengenai BCS Quinidine sulfate dyhidrate lebih lanjut, terlebih dahulu dipaparkan mengenai monografi dari Quidine sulfate dyhidrate:

Struktur senyawa Quidinide sulfate dyhidrate

a) Tata namaQuinidine sulfate dihydrate memiliki nama kimia adalah cinchonan-9-ol, 60-methoxy-,(9S)-, sulfate (2:1). Nama IUPAC Quinidine sulfate dihydrate adalah (S)-[(5S/7R) -5- ethenyl-1- azabicyclo [2.2.2] octan-7-yl]- (6-methoxyquinolin-4-yl) methanol; sulfuric acid dehydrate. Quinidine sulfate dihydrate memiliki rumus molekul C40H48N4O4 _ H2SO4 _ 2H2O. Bobot molekul Quinidine sulfate dihydrate adalah 782.96 dimana sebanyak 82,9% adalah quinidine basa. Quinidine merupakan diastereomer dari Quinine.b) Indikasi TerapiQuinidine diindikasikan dalam pengobatan fibrilasi atrium, aritmia ventrikel serta pengobatan malaria. Dosis yang biasa digunakan adalah 200-400 mg setiap 4-6 jam. Namun, selama tidak ada efek samping yang teramati, dosis dapat ditingkatkan secara hati-hati untuk pencapaian efek terapi.c) Indeks TerapiHubungan antara kadar Quinidine dalam plasma dengan efek atau toksisitas sulit untuk ditentukan karena perbedaan pengukuran yang diterapkan, hal ini karena adanya metabolit aktif dari dihydroquinidine sebagai produk impurity. Level serum terapeutik diketahui sebesar 2-6 mg / mL (6,2-18,5 mmol / L), namun plasma atau serum dapat meningkat secara optimal dan berada diluar kisaran tersebut pada beberapa orang. Hal ini karena,quinidine terikat sehingga konsentrasinya lebih rendah. d) ToksisitasToksisitas dapat terjadi pada konsentrasi yang lebih tinggi dari 5-8 mg / mL. Ada beberapa kasus kematian balita setelah mengkonsumsi 5 g dosis quinidine, sementara seorang remaja selamat setelah mengkonsumsi 8 g dosis quinidine. Overdosis dari quinidine ini dikaitkan dengan terjadinya aritmia ventrikel, cinchonism, dan seprai tension. Telah terdaftar di FDA untuk kapsul quinidine sulfat tablet dan tablet extended release sebagai produk obat dengan jendela terapi sempit.

2. Sifat Fisikokimia

Quinidine sulfate anhydrate memiliki sifat fisikokimia sebagai berikut:

a) Garam, Ester, Polymorph, HydrateQuindine sulfat yang dimaksud dalam jurnal ini adalah dalam dihidrat dengan perbandingan 2: 1 garam quinidine dan sulfat, juga dikenal sebagai quinidine bisulfat, glukonat dan polygalacturonate diketahui digunakan secara parenteral atau formula sustained release, tetapi di luar lingkup monografi ii terbatas untuk bentuk sediaan padar IR quinidine sulfat. Tidak ada referensi terhadap bentuk polimorfik diidentifikasi. b) Kelarutan

Quinidine sulfat diketahui dapat terlarut sebanyak 1 g zat terlarut dalam 90 mL air. Tanpa ada pernyataan suhu tertentu.c) pKaQuinidine berisi dua atom nitrogen dengan nilai pKa 4,2 dan 8,8. Meskipun nilai pKa dalam literatur bervariasi untuk tingkat tertentu, nilai pKa tetap pada pH 6,8.d) Koefisien DisitribusiSecara eksperimental log P dan C log P untuk quinidine adalah 2.36 dan 2.79. Distribusi dalam media organik seperti oktanol terjadi pada tingkat yang cukup besar dalam kisaran pH yang relevan dari pH 5-7. Nilai log D untuk quinidine menunjukkan peningkatan eksponensial antara pH 4,5 dan pH 8. Dalam studi yang sama, log D (pH 6.5) menjadi sekitar pH 1,0-1,1 Tabel koefisien distribusi (D) dari kuinidin dalam oktanol / buffer pada nilai pH yang berbeda-beda pada suhu 37-18C.pHD (Approximate Values)

40.4

52

613

729

830

930.5

e) Dosis & Kekuatan Dosis FormulaDosis yang digunakan dinyatakan dalam bentuk garam, tapi lebih sering dinyatakan sebagai jumlah yang setara anhidrat quinidine basa atau quinidine sulfat dihidrat. Quinidine sulfat (dihidrat) 241 mg, dan Quini-dine sulfat (anhidrat) 230 mg masing-masing setara dengan sekitar 200 mg quinidine (anhy-drous). Kuinidin sulfat tercantum dalam daftar obat dari WHO sebagai obat antiarrhytmic 200 tablet mg. Quinidine sulfat dalam bentuk sediaan immediate-release (IR) tersedia dalam kekuatan dari 100, 200, dan 300 mg quinidine sulfat.f) Stabilitas ObatQuinidine sulfat diketahui stabil sampai 60 hari dalam formulasi larutan oral. Ada beberapa referensi tentang ketidakstabilan quinidine di saluran gastrointestinal (GI).

2.3. Farmakokinetik

Permeabilitas dan AbsorpsiPermeabilitas quinidine bergantung pada pH dan konsentrasinya. Permeabilitas dapat ditentukan dengan Caco-2 sel pada apikal ke basolateral (ab) dengan kecepatan kurang lebih 1 x10-6 cm/s pada pH apikal 5 dan meningkat menjadi sekitar 60x 10-6 cm/s pada pH 8 (lihat Tab. 1 untuk rincian) dengan transpor ba selalu melebihi transpor ab. Dalam permeabilitas jejunum tikus untuk quinidine berkisar dari sekitar 15x10-6 cm/s pada pH 4.5 dan 30x10-6 cm/s pada pH 7.4 pada konsentrasi quinidine tertinggi 300 M dan dari 3 sampai 6x10-6 cm/s untuk konsentrasi uji terendah (3 M), lihat Tabel 1.

Tabel 1. Data Permeabilitas Quinidine

Peningkatan permeabilitas terjadi pada pH yang lebih tinggi sesuai dengan hipotesis pH partisi, karena keseimbangannya bergeser ke arah deprotonized dan lebih bersifat lipofilik. Karena quinidine adalah P-glikoprotein (P-gp) substrat, juga salah satu substrat yang digunakan untuk mempelajari obat P-gp yang dimediasi interaksi oleh FDA, tergantung konsentrasi penyerapan dapat berasal kejenuhan P-gp penghabisan. Pada konsentrasi quinidine 300 M, P-gp memediasi transport yang hampir sepenuhnya jenuh seperti yang diperkirakan oleh penghambatan dengan verapamil pada jejunum tikus. Baik di Caco-2 sel dan jejunum tikus, permeabilitas quinidine pada salah satu pH lebih rendah daripada permeabilitas tinggi, metoprolol atau propranolol. Untuk konsentrasi rendah (3-10 M) permeabilitas quinidine berada di kisaran rendah pada permeable referensi zat (furosemid, hydrochlorothiazide), sedangkan untuk konsentrasi tinggi dan pH netral permeabilitas jauh lebih dekat dengan bahan referensi permeabilitas tinggi propranolol. Mori et al. menyelidiki absorpsi quinidine dalam tikus dengan menentukan recovery quinidine di daerah yang berbeda dari saluran pencernaan pada waktu yang berbeda dan menyimpulkan bahwa quinidine secara cepat diserap dari usus proksimal setelah rilis dari lambung dan hanya sejumlah kecil ysng mencapai intestine distal. Dalam literatur ilmiah tampaknya akan disepakati bahwa quinidine hampir sepenuhnya diserap dari usus setelah pemberian oral (kurang dari 5% quinidine mencapai tinja setelah konsumsi oral). Selanjutnya, penyerapan quinidine dari larutan terjadi dengan cepat dengan quinidine muncul dalam sirkulasi sistemik biasanya dalam 5-15 menit setelah pemberian dan mencapai tingkat puncak pada sekitar 45 menit. Penyerapan dari tablet yang berbeda terjadi dengan jeda waktu sekitar 10-20 menit dan konsentrasi puncak sekitar 80-90 menit. Hal ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas mutlak sekitar 70-80% tetapi menunjukkan besar intraindividual (50-80%) dan antarindividu (50-100%). Penurunan 20-30% di BA setelah pemberian oral dibandingkan dengan i.v. mungkin dapat berasal first-pass metabolism di sebagian besar pasien. Linearitas Qunidine menunjukkan farmakokinetik linear. Namun, dalam beberapa individu tampaknya terjadi farmakokinetik yang nonlinear, kemungkinan disebabkan karena perbedaan metabolisme oksidatif. Distribusi Disposisi Quinidine dapat dijelaskan dengan model dua kompartemen terbuka. Meskipun plasma binding protein 80-90%, volume distribusi steady state (Vdss: 3.03 0,25 L/kg) dan volume kompartemen tengah (Vc: 0,398-0,908 L / kg) menunjukkan distribusi ke jaringan ekstravaskular. Selanjutnya, quinidine juga didistribusikan ke eritrosit. Metabolisme dan Ekskresi Quinidine dimetabolisme utama di hati oleh sitokrom P450 di bawah partisipasi CYP3A4. Metabolit utamanya adalah 3-hydroxyquinidine, 2-quinidinone, dan quinidine-N-oxide. Beberapa metabolit ini aktif secara farmakologid.Sementara untuk eliminasi terjadi pada metabolisme hati (60-85% dari total clearance) dan ekskresi ginjal pada obat yang tersisa utuh (15-40%). Efek makanan Makanan tidak mempengaruhi tingkat penyerapan yang diukur dengan AUC. Namun, peningkatan 44% pada tmax telah diamati setelah administrasi quinidine dengan makanan. Woo et al. Menemukan penurunan tmax dan Cmax saat hanya serum unbound quinidine yang diukur, sementara ketika pengukuran serum total quinidine tidak ada perbedaan yang signifikan pada Cmax dan tmax yang diteliti. Dinyatakan bahwa serum protein postprandial yang lebih tinggi akan mengurangi fraksi dari unbound quinidine. Asupan diet garam dapat meningkatkan first pass metabolism hati pada quinidine. Selanjutnya, konsumsi secara bersamaan jus grapefruit (jeruk besar) dapat mengubah farmakokinetik quinidine. Makanan mungkin memiliki efek yang berbeda pada modifikasi pelepasan bentuk sediaan, namun, monografi ini tidak terkait dengan modifikasi rilis formulasi.Penentuan Parameter Farmakokinetik (Bauer, 2008; Robertson and Shilkofski, 2005).Tabel 2. Kondisi Penyakit yang menyebabkan perubahan farmakokinetik quinidinKondisiWaktu ParuhVolume DistribusiKeterangan

Dewasa, fungsi hati normal7 jam (rentang : 6-8 jam)2.4 L/kg (rentang : 2-3 L/Kg)Quinidin memiliki rasio ekstraksi hepatic moderate -30%, jadi aliran darah di hati, fraksi obat bebas dalam darah, dan klirens intrinsik merupakan faktor penting dalam laju klirens. 20% Quinidin dieliminasi dalam bentuk utuh di urin

Dewasa, sirosis hati9 jam3.8 L/KgQuinidin dimetabolisme 80% oleh enzim mikrosomal hati dan menjadi substrat P-glikoprotein. Klirens obat total meningkat pada sirosis tapi klirens intrinsik menurun. Vd menjadi lebih besar karena penurunan alpha-acid glycoprotein dan produksi albumin oleh hati yang menurunkn aktivitas pengikatan obat dalam plasma

Dewasa, gagal hati7 jam1.7 L/kgPenurunan aliran darah ke hati menurunkan output cardiac dan menurunkan klirens quinidin. Vd menjadi lebih sedikit akibat peningkatan pengikatan asam glikoprotein dengan obat dalam plasma.

Dewasa, obesitas (>30% IBW)Sesuai dengan kondisi kesehatan pasienSesuai dengan kondisi kesehatan pasienDosis quinidin seharusnya didasarkan pada IBW pasien dengan berat >30% melebihi IBW

2.4. Dosis dan Performance(bagian kg furqan)

KESIMPULAN Obat yang mengandung hanya bahan pengisi saja memiliki kemungkinan nonequivalen lebih rendah dan juga tidak mempengaruhi nilai permeabilitas. Sifat kelarutan dan permeabilitas untuk memastikan tingkatan BCS dari quinidin belum dapat disimpulkan akibat adanya keterbatasan data dan kondisi pengujian. Quinidin juga merupakan obat dengan indeks terapi sempit sehingga obat seperti ini tidak biowaivers dan sulit untuk diterima pasien. Perlu dilakukan pengujian BE secara in vivo.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Guideline For Industry; Waiver of In Vivo Bioavailability and Bioequivalence Studies for Immediate-Release Solid Oral Dosage Forms Based on a Biopharmaceutics Classification System. New York: Food and Drug Administration.

Amidon GL, Lennernas H, Shah VP, and Crison JR, A theoretical basis for a biopharmaceutics drug classification: The correlation of in vitro drug product dissolution and in vivo bioavailability, Pharm. Res., 1995, 12, 413420.

Badan POM. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Pedoman Uji Bioekivalensi. Badan POM RI. Jakarta. 2004.

Bauer. 2008. Applied clinical pharmacokinetics. McGrawHill. New York.

Brodin, B., Steffansen, B., Nielsen, C.U. 2009. Molecular Biopharmaceutics: Passive Diffusion of Drug Substances: The Concepts of Flux and Permeability. 135-152.

Chan, H.O. 2001. Biopharmaceutics Classification System: An Industrial Experience. Capsugel Library. 1-10.

Dressman JB, Lennernas H. Oral Drug Absorption, Prediction and Assessment. Marcel Dekker. New York. 2000.

FDA. 1999. Guidance for Industry: Waiver of In Vivo Bioavailability and Bioequivalence Studies for Immediate Release Solid Oral Dosage Forms Containing Certain Active Moieties/Active Ingredients Based on a Biopharmaceutics Classification System. CDER draft.

FDA. 1997. Extended Release Oral Solid Dosage Forms: Development, Evaluation, and Application of In Vitro/In Vivo Correlations. Center for Drug Evaluation and Research.

Grube, S, et al., 2008, Biowaiver Monographs for Immediate Release Solid Oral Dosage Forms: Quinidine Sulfate, Journal of Pharmaceutical Sciences, (98)7:2238-2251.

Gothoskar, A. V. Biopharmaceutical classification of drugs. Pharm. Rev. [Online] 2005, 3 (1). http://www.pharmainfo.net/reviews/biopharmaceutical-classification-drugs (accessed 24th September 2014).

Issa, Michele G. and Humberto G. Ferraz. 2011. Intrinsic Dissolution as a Tool for Evaluating Drug Solubility in Accordance with the Biopharmaceutics Classification System. [Online]. Available at: http://www.dissolutiontech.com/DTresour/201108Articles/DT201108_A01.pdf (Accessible 24th September 2014).Kumar, K.K.V., Kartnati, S., Reddy, M.B., Chandramouli, R. 2010. CaCo-2 Cell Lines In Drug Discovery- An Update Perspective. Journal of Basic and Clinical Pharmacy. 001: 63-69.

Martin, A.N., Swarbrick, J., Cammarata, A. 1993. Physical Pharmacy 4th ed. Philadelphia: Lea and Febiger. 855.

Mishra V., Gupta U., Jain N. K. 2010. Biowaiver: an alternative to in vivopharmacokinetic bioequivalence studies. Pharmazie. 2010 Mar;65(3):155-61.

RTI. 2006. In Vitro Permeability Models. New York : RTI International.

Robertson J, Shilkofski N. 2005. The Harriet Lane handbook: a manual for pediatric house officers. 17th ed. St. Louis, MO: Mosby.

Sacham, N. K.; Bhattacharya, A.; Pushkar, S.; Mishra, A. Biopharmaceutical classification system: A strategic tool for oral drug delivery technology. Asian J. Pharm.2009, 3 (2), 7681.

Shargel, L., Yu A.B.C. 2005. Biofarmasetika dan Famakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Shargel L, Pong SW, and Yu ABC. Applied Biopharmaceuticals and Pharmacokinetics. 5th Edition. McGraw-Hills. California. 2004.

Shivajinagar, Gangapur. Sistem klasifikasi biofarmasi : ilmiah dasar mengenai biowaiver

Steffansen B, Brodin B, and Nielsen CU. Molecular Biopharmaceutics, Aspects of Drug Characterisation, Drug Delivery and Dosage Form Evaluation. Pharmaceutical Press. London. 2010.

Polli, J. E.; Yu, L. X.; Cook, J. A.; Amidon, G. L.; Borchardt, R. T.; Burnside, B. A.; Burton, P. S.; Chen, M. L.; Conner, D. P.; Faustino, P. J.; Hawin, A.; Hussain, A. S.; Joshi, H. N.; Kwei, G.; Lee, V. H. L.; Lesko, L. J.; Lipper, R. A.; Loper, A. E.; Nerurkar, S. G.; Polli, J. W.; Sanvordeker, D. R.; Taneja, R.; Uppoor, R. S.; Vattikonda, C. S.; Wilding, I.; Zhang, G.Summary workshop report: Biopharmaceutics classification system-implementation challenges and extension opportunities. J. Pharm. Sci. 2004, 93 (6), 13751381.United States Pharmacopeia and National Formulary USP 23NF 18; The United States Pharmacopeial Convention, Inc.: Rockville, MD, 1994

Yu, L. X.; Amidon, G. L.; Polli, J. E.; Zhao, H.; Mehta, M. U.; Conner, D. P.; Shah, V. P.; Lesko, L. J.; Chen, M. L.; Lee, V. H. L. Biopharmaceutics classification system: The scientific basis for biowaiver extensions. Pharm. Res. 2002, 19 (7), 921925.

Waterbeemd and Testa B. Drug Bioavailability, Estimation of Solubility, Permeability, Absorption and Bioavailability. 2nd Edition. Wiley-VCH. Jerman. 2009.

Woo E, et al, 1980, Effect of food on enteral absorption of quinidine, Clin Pharmacol Ther 27:188193.

9