Asma

91
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA LAPORAN KASUS ASMA BRONKHIAL PERSISTEN SEDANG Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa Diajukan Kepada : Pembimbing : dr. Hascaryo Nugroho, SpPD Disusun Oleh : Bunga Cyntya Yospita 1322201156 Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN ”VETERAN” JAKARTA Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

description

sadasd

Transcript of Asma

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

LAPORAN KASUSASMA BRONKHIAL PERSISTEN SEDANGDisusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit DalamRumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada :Pembimbing : dr. Hascaryo Nugroho, SpPD

Disusun Oleh :Bunga Cyntya Yospita1322201156

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran UPN VETERAN JAKARTARumah Sakit Umum Daerah AmbarawaPERIODE Januari - Maret 2015

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

Presentasi Laporan Kasus dengan judul :

Asma Bronkhial Persisten SedangDisusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit DalamRumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:Bunga Cyntya Yospita1322201156

Telah disetujui oleh Pembimbing: Nama pembimbing Tanda TanganTanggal dr. Hascaryo Nugroho, SpPD ............................. .............................

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan hidayah - Nya sehingga saya dapat tepat waktu menyelesaikan laporan kasus ini.Dalam referat ini tentunya terdapat banyak kekurangan. Namun dengan kerendahan hati, saya memohon kritik dan saran apabila terdapat sesuatu hal dalam laporan kasus ini yang dirasa kurang tepat.Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan laporan kasus ini maupun dalam proses pembelajaran saya.Terima kasih.

Ambarawa, Februari 2015

(Penulis)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISI iiiBAB I PENDAHULUAN 1 BAB II LAPORAN KASUS 2BAB III PEMBAHASAN 5BAB IV TINJAUAN PUSTAKA 16Definisi 16Etiologi dan Faktor Resiko 16Epidemiologi 16Patogenesis 18Patofisiologi 23Manifestasi Klinis 24Diagnosis 25Diagnosis Banding 28Klasifikasi 29Penatalakanaan 32Komplikasi 58Prognosis 59Pencegahan 59DAFTAR PUSTAKA 61

BAB IPENDAHULUANAsma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting danmerupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkandisability(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti hidup.Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak daridata berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma.Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan olehNational Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI)bekerja sama denganWorld Health Organization (WHO)bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikandengan kondisidan permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di layanankesehatandengan fasiliti minimal di daerah perifer, maupun di rumah sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusatkota.

BAB IILAPORAN KASUSI. IDENTITASNama : Tn.SJenis kelamin: Laki-lakiUmur: 42 tahunStatus: Sudah menikahPekerjaan: PetaniAgama : IslamSuku Bangsa: JawaAlamat: Kropoh 7/5 Gogodalem Bringin, Kabupaten SemarangMRS: 8 Februari 2015No. RM : 048977

II. DATA DASARA. ANAMNESISDilakukan Autoanamnesis pada tanggal 9 Februari 2015Keluhan Utama :Sesak sejak 1 hari SMRS

Riwayat penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan secara tiba-tiba. Sesak mempengaruhi aktivitas. Pasien sering kali terbangun tengah malam akibat sesak. Pasien saat ini masih bisa diajak berbicara dan mengucaokan kalimat. Saat pasien sesak timbul disertai suara ngik. Pasien mengeluh batuk disertai dengan lendir berwarna putih sejak 2 hari yang lalu. Tidak disertai darah. Tidak ada demam, mual, muntah, serta tidak nyeri ulu hati. Nafsu makan biasa dan tidak terjadi penurunan berat badan. Tidak ada riwayat keluar keringat pada malam hari. BAK : lancar, berwarna kuning jernih, tidak ada darah, tidak ada batu atau pasir. BAB : biasa, berwarna cokelat

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah beberapa kali berobat jalan di rumah sakit dan didiagnosis asma sejak 1 tahun terakhir. Riwayat alergi terhadap cuaca dingin dan hujan Tidak memiliki riwayat DM dan hipertensi Tidak memiliki riwayat jantung dan kolesterol

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa dengan pasien Tidak memiliki riwayat DM dan hipertensi Tidak memiliki riwayat jantung dan kolesterol

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan Pasien bekerja sebagai petani, tidak merokok, dan tidak minum alkohol.

Pemeriksaan Umum- Kesadaran : Komposmentis- Keadaan umum: tampak sakit sedang- Tekanan Darah: 110/70 mmHg- Nadi: 80x/menit- Napas: 31x/menit- Suhu: 36,4 C Keadaan Umum: tampak sesak, gelisah, duduk membungkuk.Interpretasi: Sesak napas yang dialami oleh pasien merupakan penyebab kegelisahan, karena pasien menjadi sulit untuk bernapas.Keadaan umum yang dialami oleh pasien maka menunjang hipotesis yaitu asma bronkiale. Kesadaran: Compos mentis TD= 110/70 , N= 80x/menit FP= 31x/menit, mengi (+); ekspirasi memanjang; S=36.4 Mata: Tidak pucat, tidak ikterikInterpretasi: Normal Hidung: Obstruksi -/-; sekret -/- Bibir: mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-/-) Leher: Deviasi Trakhea (-), KGB membesar (-), Nyeri Tekan (-), Pembesaran Tiroid (-), JVP tidak meningkat Toraks Paru DepanBelakangInspeksiKiriretraksi retraksiKananretraksi retraksiPalpasiKirifremitus vokal & taktil kiri = kananKananfremitus vokal & taktil kiri = kananPerkusi KirisonorsonorKanansonorsonorAuskultasiKiri SP vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+ KananSP vesikuler +/+ , Rh +/+, Wh +/+

- Jantung :Inspeksi: iktus kordis tidak terlihatPalpasi: iktus kordis teraba luas 2 jari lateral LMCS RICV Perkusi: Batas jantung kanan : Linea parasternalis dekstraBatas jantung kiri : 2 jari lateral LMCS RIC V sinistraAuskultasi: Suara jantung normal, bising (-) AbdomenInspeksi:Perut membuncit, Simetris, Sikatriks (+)PalpasiDinding perut:Nyeri Tekan (-), NL (-)Hati:tidak teraba membesarLimpa:tidak teraba membesarGinjal:Ballotement (-)Lain lain:Tes undulasi & shifting dullness (-)Perkusi:Timpani di keempat kuadran Auskultasi:BU (+) normalRefleks dinding perut:Defans Muskular (-)Anggota Gerak LenganKananKiriOtotTonus:NormalNormalMassa:Eutrofi EutrofiSendi:Baik, Nyeri (-)Baik, Nyeri (-)Gerakan:Bebas BebasKekuatan:Baik BaikLain lain:-- Tungkai & KakiLuka:--Varises:--Otot (tonus & massa):NormalNormalSendi:Baik, Nyeri (-)Baik, Nyeri (-)Gerakan:Terbatas TerbatasKekuatan:BaikBaikEdema:(-)(-)Lain lain:--

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Penunjang09/02/2015Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin13.913.5 17.5 gr/dl

Hematokrit 41.040 50 %

Eritrosit 4.934.5 5.8 juta/uL

Leukosit 5.94 10 /uL

Trombosit 274000150.000400.000/uL

MCV83.282 98 fl

MCH28.2 > = 27 pg

MCHC33.932 36 g/dl

RDW12.810 16

MPV7.57 11

Limfosit 1.91.0 4.5

Monosit 0.40.2 1.0

Eosinofil 0.70.04 0.8

Basofil0.0 0 0.2

Neutrofil 2.91.8 7.5

Limfosit %32.1 25 40

Monosit %6.32 8

Eosinofil %11.7 H2 4

Basofil %0.40 1

Neutrofil %49.5 L50 70

PCT0.2060.2 0.5

PDW14.310 18

D

Clotting Time3.00 3 5

Bleeding Time2.00 1 3

Golongan DaarahO

KIMIA KLINIK

Glukosa Sewaktu10070 100

SGOT130 50

SGPT120 50

Ureum20.510 50

Kreatinin 0.660.62 1.1

Total Protein 5.186 8

Albumin 3.333.4 4.8

Globulin 1.85 L2.0 4.0

Asam urat 4.782 -7

Cholesterol169< 245

Trigliserida 49 L70 140

HbsAgNon Reactive

Foto Thorax

Pada kasus ini ditemukan :Pada pemeriksaan foto thorax yang dilakukan pada pasien tampak simetris.

Spirometri

Diagnosis Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboraturium, dan pemriksaan foto thoraks kelompok penulis menyimpulkan diagnosis pada pasien ini adalah asma bronkiale.Tata LaksanaOksigenisasi kanul 3 lpmNebulizer Ventolin 3x1Infus RL 20 tpmInjek ceftriaxone 2x1 ampSalbutamol 3x1Injek dexamethasone 2x1 ampAmbroxol 2x1 tab

Follow Up Senin, 9 Februari 2015S : sesak, batuk berdahak berwarna putihO : TD : 100/60N : 60S : 36R : 32 x/menitP : SDV +/+Ronkhi +/+, Wheezing +/+A : Asma Bronkhial persisten sedang P : Oksigenisasi kanul 3 lpmNebulizer Ventolin 3x1Infus RL 20 tpmInjek ceftriaxone 2x1 ampTeofilin 3x1Injek dexamethasone 2x1 ampAmbroxol 2x1 tabSelasa, 10 Februari 201S : sesak, batuk berdahak berwarna putihO : TD : 100/70N : 60S : 36.5R : 32 x/menitP : SDV +/+Ronkhi +/+, Wheezing +/+A : Asma Bronkhial persisten sedangP : Terapi Lanjut Rabu, 11 Februari 2015S : sesak, batuk berdahak berwarna putihO : TD : 80/60N : 85S : 36R : 34 x/menitP : SDV +/+Ronkhi +/+, Wheezing +/+A : Asma Bronkhial persisten sedangP : terapi lanjut

Kamis, 12 Februari 2015S : sesak berkurang, batuk berdahak berwarna putihO : TD : 90/60N : 98S : 36R : 32 x/menitP : SDV +/+Ronkhi +/-, Wheezing +/+A : Asma Bronkhial persisten sedang

Jumat, 13 Februari 2015S : sesak berkurang, batuk berkurang berdahak berwarna putihO : TD : 100/60 N : 60S : 36R : 32 x/menitP : SDV +/+Ronkhi +/-, Wheezing +/-A : Asma Bronkhial persisten sedang

SOAP pulang Sabtu, 14 Februari 2015S : sesak berkurang, batuk berkurang, dahak (-)O : TD : 100/60N : 60S : 36R : 32 x/menitP : SDV +/+Ronkhi +/+, Wheezing +/+A : Asma Bronkhial persisten sedangP : terapi lanjut

BAB IIIPEMBAHASANPada pasien ini ditegakkan diagnosis asma bronkial dengan derajat persisten sedang karena adanya keluhan sesak napas yang dipicu oleh adanya perubahan cuaca. Sesak napas dirasakan setiap hari serta dirasakan pula saat malam. Sesak mengganggu aktivitas dan tidur pasien. Pasien merasa paling nyaman dalam posisi duduk. Hal ini sesuai dengan kriteria klasifikasi derajat asma persisten sedang berdasarkan gambaran klinis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya ekspirasi memanjang dan whezing pada kedua lapangan paru. Sementara pada pemeriksaan penunjang rontgen thoraks didapatkan corakan lapangan paru yang normal.Asma bronkial dicirikan sebagai suatu penyakit kesulitan bernapas, batuk, dada sesak dan adanya wheezing episodik. Gejala asma dapat terjadi secara spontan ataupun diperberat dengan pemicu yang berbeda antar pasien. Frekuensi asma mungkin memburuk di malam hari oleh karena tonus bronkomotor dan reaktifitas bronkus mencapai titik terendah antara jam 3-4 pagi, meningkatkan gejala bronkokontriksi.Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan napas dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (2-agonis dan antikolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang lebih awal.

BAB IVTINJAUAN PUSTAKAASMA BRONKHIALDEFINISIAsma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkalibersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKOAsma bronkial terjadi di segala usia, tetapi dominan pada anak-anak. Menurut etiologinya, asma merupakan penyakit heterogen. Faktor genetik (atopik) dan lingkungan, seperti virus, paparan pekerjaan, dan alergen, memiliki kontribusi dalam inisiasi dan kontinuasi.Atopi merupakan faktor resiko yang paling banyak dalam perkembangan asma. Asma alergik seringkali dihubungkan dengan riwayat penyakit individu dan/atau keluarga seperti rhinitis, urtikaria, dan eksim; dengan reaksi bengkak dan rasa terbakar pada kulit terhadap injeksi ekstrak antigen dari udara secara intradermal; dengan peningkatan kadar IgE dalam serum; dan/atau dengan respon positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik. Penderita asma tanpa riwayat alergi individu maupun keluarga, dengan tes kulit yang negatif, dan dengan kadar IgE serum yang normal, yang oleh karena itu tidak dapat dikelompokkan menurut mekanisme imunologis yang telah dijelaskan sebelumnya, disebut asma idiosinkratik atau asma nonatopik. Pada umumnya, asma yang terjadi pada usia anak-anak memiliki komponen alergik yang kuat, sedangkan asma yang berkembang kemudian memiliki etiologi nonalergik atau campuran.EPIDEMIOLOGIa. SURVEI KESEHATAN RUMAH TANGGA (SKRT)Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.b. PENELITIAN LAINBerbagai penelitian menunjukkan bervariasinya prevalensi asma , bergantung kepada populasi target studi, kondisi wilayah, metodologi yang digunakan dan sebagainya.

Asma pada anakWoolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesionerInternational Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,80,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan 18 tahun 4 bulan,didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% denganrecent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma )8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.

Asma pada dewasaTahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo, Surabaya melakukan penelitian di lingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS yaitu Proyek Pneumobile Indonesia danRespiratory symptoms questioner of Institute of Respiratory Medicine, New South Wales,dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alatpeak flow meterdan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13-70 tahun (rata-rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7%, dengan rincian laki-kali 9,2% dan perempuan 6,6%.RUMAH SAKITData dari RSUD dr. Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, menunjukkan kasus rawat interval 4 tahun, yaitu tahun 1986, 1990, dan 1994. Didapatkan frekuensi proporsi rawat inap asma menurun, hal tersebut kemungkinan karena keberhasilan penanganan asma rawat jalan dan pemberian penyuluhan sehingga kasus asma yang dirawat menurun.

PATOGENESISAsma terjadi akibat status inflamasi subakut yang persisten pada saluran pernapasan. Bahkan pada pasien yang asimptomatik, saluran pernapasan dapat menjadi edematus dan diinfiltrasi oleh eosinofil, neutrofil, dan limfosit, dengan atau tanpa peningkatan komposisi kolagen pada membran basalis epitelial. Secara keseluruhan, terdapat peningkatan selularitas berhubungan dengan meningkatnya kepadatan kapiler. Mungkin juga terdapat hipertrofi kelenjar dan penggundulan epitel. Perubahan ini dapat bersifat persisten tergantung dari penanggulangan dan seringkali tidak berhubungan dengan derajat penyakit ini.Tampilan fisiologis dan klinis asma berasal dari interaksi antara jaringan dengan sel radang yang berinfiltrasi pada epitel permukaan saluran napas, mediator radang, dan sitokin. Sel yang memiliki peranan yang penting dalam respon radang adalah sel mast, eosinofil, limfosit, dan sel epitel saluran napas. Setiap jenis sel tersebut dapat mengeluarkan mediator dan sitokin untuk menginisiasi dan mengamplifikasi inflamasi akut dan juga perubahan patologis dalam jangka panjang. Mediator yang dilepaskan menghasilkan reaksi radang yang cepat dan hebat melibatkan konstriksi bronkus, kongesti vaskular, pembentukan edema, meningkatkan produksi mukus, dan menghambat transport mukosiliaris. Reaksi cepat tersebut dapat diikuti dengan reaksi yang kronis. Gabungan lain dari faktor-faktor kemotaktik (faktor anafilaksis eosinofil dan neutrofil dan leukotrien B4) juga membawa eosinofil, platelet, dan leukosit polimorfonuklear ke lokasi reaksi. Epitel saluran napas merupakan target dan kontributor dalam rangkaian proses radang. Jaringan ini mengamplifikasi konstriksi bronkus dan meningkatkan vasodilatasi dengan melepaskan nitrogen oksida, prostaglandin E2, faktor stimulasi granulosit-koloni makrofag, interleukin 1, faktor pertumbuhan epidermal, IGF (insulin-like growth factor), PDGF (platelet derived drowth factor). Eosinofil memiliki peran yang penting dalam komponen infiltratif. Interleukin (IL) 5 menstimulasi pelepasan sel-sel ini ke dalam sirkulasi dan bertahan. Jika telah teraktivasi, sel-sel ini menjadi sumber kaya leukotrien, dan melepaskan protein granuler dan radikal bebas derivat oksigen mampu merusak epitel saluran napas, kemudian masuk ke lumen bronkial dalam bentuk badan Creola. Disamping menghilangkan fungsi sawar dan sekretori, kerusakan tersebut merangsang pengeluaranan sitokin kemotaktik, yang menimbulkan peradangan lebih lanjut.Limfosit T juga memiliki peran penting dalam respon radang. TH2 teraktifasi ditemukan meningkat pada saluran napas dan menghasilkan sitokin seperti IL1-4 yang menginisiasi respon imun humoral (IgE). Menurut data yang telah dikumpulkan, asma mungkin memiliki hubungan dengan ketidakseimbangan antara respon imun TH1 dengan TH2, tetapi kesimpulan yang pasti belum ditetapkan. Pertimbangan GenetikPemindaian terhadap keluarga untuk kandidat gen telah mengidentifikasi beberapa bagian kromosom yang berhubungan dengan atopi, peningkatan kadar IgE, dan saluran napas yang hiperresponsif. Kromosom 5q mengandung klaster sitokin (IL1-4, IL-5, IL-9, dan IL-13). Bagian lain dari kromosom 5q mengandung reseptor -adrenergik dan glukokortikoid. Kromosom 6p memiliki bagian yang penting dalam penyajian antigen dan mediasi respon radang. Kromosom 12q mengandung dua gen yang berpengaruh pada atopi dan hiperresponsi saluran napas, termasuk nitrit oksida sintase Stimulus Pencetus AsmaRangsangan yang dapat mencetus serangan asma dapat dikelompokkan dalam tujuh kategori besar: alergenik, farmakologik, lingkungan, pekerjaan, infeksi, berhubungan dengan olahraga, dan emosional.Alergen Alergen pada asma alergik bergantung pada respon IgE yang dikontrol oleh limfosit T dan B dan diaktivasi oleh interaksi antigen dengan ikatan sel mast IgE. Setelah menerima imunogen, interaksinya dengan sel T membentuk TH2. Proses ini bukan hanya membentu memfasilitasi radang pada asma, tetapi juga menyebabkan pengalihan produksi IgG dan IgM oleh limfosit B menjadi produksi IgE. Sebagian besar alergen asma tersawa oleh udara, dan untuk menghasilkan status sensitivitas membutuhkan waktu yang cukup lama. Setelah terjadi sensitisasi, pasien dapat menampakkan respon yang hebat, bahkan kontak dalam hitungan menit dapat menghasilkan eksaserbasi signifikan pada penyakit ini. Asma alergik biasanya musiman, paling banyak ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Sedangkan yang bukan musiman dapat ditimbulkan dari alergi terhadap bulu, serpihan kulit binatang, kutu debu, jamur, dan antigen lingkungan lain yang ada secara kontinyu. Rangsangan FarmakologisObat yang paling sering berhubungan dengan fase akut asma adalah aspirin (NSAIDs), zat warna seperti tartazin, antagonis -adrenergik, dan senyawa sulfit. Tipe yang sensitif aspirin terutama pada orang dewasa, walaupun terdapat juga pada anak-anak. Terdapat reaktivitas silang antara aspirin dengan NSAIDs yang menginhibisi prostaglandin G/H sintase 1. Pasien dengan sensitivitas terhadap aspirin dapat didesensitisasi dengan pemberian aspirin harian, sehingga terjadi toleransi silang dengan NSAIDs lainnya.Antagonis -adrenergik pada individ dengan asma dapat menghambat saluran napas dengan meningkatkan reaktivitas saluran napas dan harus dihindari. Bahkan antagonis -adrenergik selektif beta 1 memiliki kecenderungan tersebut dalam dosis yang lebih tinggi. Terdapat fakta bahwa penggunaan lokal penghambat beta 1 pada mata untuk mengobati glaukoma berhubungan dengan memburuknya asma.Senyawa sulfit, yang digunakan secara luas pada makanan dan industri farmasi sebagai zat untuk sanitasi dan pengawet, dapat menimbulkan penyumbatan saluran napas bagi orang yang sensitif. Paparan terjadi karena memakan makanan dan obat-obatan yang mengandung zat-zat tersebut. Lingkungan dan Polusi UdaraPenyebab asma dari lingkungan biasanya berkaitan dengan kondisi iklim yang meningkatkan konsentrasi polutan dan antigen atmosfir. Kondisi ini terdapat pada wilayah indutri berat dan perkotaan padat dan seringkali nerhubungan dengan perubahan suhu atau siluasi lain yang menimbulkan udara tidak mengalir. Dalam keadaan ini, walaupun populasi secara umum dapat mengalami gangguan pernapasan, pasien dengan asma dan penyakit pernapasan yang lain dapat terpengaruh lebih buruk.Faktor pekerjaanObstruksi saluran parnapasan akut dan kronis telah dilaporkan berkaitan dengan paparan sejumlah besar senyawa yang digunakan dalam berbagai macam industri (umumnya senyawa dengan berat molekul tinggi). Senyawa dengan berat molekul tinggi menimbulkan asma dengan menghasilkan reaksi imunologis, sedangkan senyawa dengan berat molekul rendah merupakan senyawa yang memiliki efek konstriktor bronkus.Infeksi Infeksi saluran napas merupakan rangsangan yang paling sering menimbulkan eksaserbasi akut pada asma. Virus saluran napas dan bukan bakteri atau alergi terhadap mikroorganisme adalah faktor etiologi yang paling utama. Pada anak yang masih kecil, penyebab infeksi yang paling penting adalah virus pernapasan sinsisial dan virus parainfluenza. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, Rhinovirus dan virus influenza merupakan patogen yang dominan. Mekanisme induksi eksaserbasi asma oleh virus berhubungan dengan produksi sitokin oleh sel T yang membantu infiltrasi sel radang pada saluran napas. OlahragaBiasanya serangan timbul setelahnya, dan tidak timbul selama olahraga.Semakin tinggi tingkat ventilasi dan semakin dingin udara menentukan parahnya obstruksi saluran napas. Mekanisme yang ditimbulkan oleh olahraga dalam menimbulkan obstruksi berhubungan dengan hiperemia yang dipengaruhi suhu dan kebocoran kapiler pada dinding saluran napas. Stres EmosionalFaktor psikologis yang dapat memperburuk atau meringankan asma. Perubahan pada diameter saluran napas berhubungan dengan aktivitas eferen n. vagus, tetapi mungkin juga endorfin memiliki peran. Peran faktor psikologis mungkin bervariasi antara satu pasien dengan yang lain dan antara satu serangan dengan serangan yang lain. PATOLOGIPerubahan morfologi pada asma adalah pengembangan menyeluruh yang berlebihan karena overinflasi dan bisa terdapat daerah kecil atelektasis (pembesaran paru). Perubahan yang paling mencolok adalah banyaknya sumbatan pada bronkus sampai bronkiolus terminalis oleh lendir yang kental berisi gelungan epitel-epitel yang terlepas disebut spiral Curschmann. Terdapat banyak eosinofil dan kristal Charcot-Leyden (kumpulan kristaloid yang terbentuk dari protein membran eosinofil). Ciri histologis asma yang lain adalah : Penebalan membrana basalis epitel bronkus. Edema dan infiltrasi sel-sel inflamasi dalan dinding bronkus, eosinofil yang paling mencolok yang terdiri dari 5-50% dari infiltrat seluler. Pembesaran kelenjar submukosa. Hipertrofi otot polos bronkus, yang menggambarkan bronkokonstriksi yang sudah lama.Obstruksi saluran napas terutama disebabkan oleh bronkokonstriksi otot, tapi edema dinding saluran napas dan penebalan akibat inflamasi juga ikut berperan. Perubahan emfisematus kadang terjadi, dan jika terdapat infeksi bakterial kronis maka dapat terjadi bronkitis.PATOFISIOLOGITanda patofisiologis asma adalah pengurangan diameter jalan napas yang disebabkan kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental yang lengket. Hasil akhirnya adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan volume ekspirasi paksa (Forced Expiratory Volume) dan kecepatan aliran, hiperinflasi paru dan toraks, peningkatan kerja pernapasan, perubahan fungsi otot pernapasan, perubahan rekoil elastik (Elastic Recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal serta perubahan gas darah arteri. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali pada elektrokardiografi ditemukan hipertrofi ventrikel kanan dan hipertensi paru. Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity) cenderung 50 % dari nilai normal. Volume ekspirasi paksa satu detik (1-S Forced Expiratory Volume, FEV1) rata-rata 30 % atau kurang dari yang diperkirakan. Sementara rata-rata aliran midekspiratori maksimum dan minimum (Maximum and Minimum Midexpiratory Flow Rates) berkurang sampai 20 %. Untuk mnegimbangi perubahan mekanik, udara yang terperangkap dalam paru-paru (Air Trapping) ditemukan berjumlah besar. Pada pasien yang sakit berat, volume residual (RV) sering mendekati 400 % nilai normal, sementara kapasitas residual fungsional menjadi berlipat ganda. Serangan berakhir secara klinis bila RV turun sampai 200 % dari nilai yang diperkirakan dan bila FEV1 naik sampai 50 %.Hipoksia merupakan temuan umum sewaktu eksaserabsi akut tetapi gagal ventilasi relatif tidak biasa ditemukan. Sebagian besar pasien asma mengalami hipokapnia dan alkalosis respiratorik. Bila ditemukan asidosis metabolik pada asma akut, hal ini merupakan petunjuk obstruksi berat. Biasanya tidak ada gejala klinis yang menyertai perubahan gas darah. Sehingga tingkat hipoksia tidak dapat ditentukan. Sianosis merupakan tanda akhir. Jadi kita tidak boleh menilai status ventilasi seorang pasien berdasarkan gejala klinis saja. Sehingga tekanan gas darah arteri harus diukur.PENCEGAHANSerangan eksaserbasi akut asma dapat dicegah dengan menghindari faktor pencetus asma yang tergantung pada penyebab asma masing-masing pasien. Identifikasi dan penghindaran alergen di rumah dan tempat kerja harus sebisa mungkin dilakukan. Penghindaran yang benar-benar terhadap paparan tungau debu rumah, hewan-hewan peliharaan, dan faktor pekerjaan berhubungan dengan perbaikan nyata pada gejala-gejala pernapasan, fungsi paru-paru dan hiperresponsivitas saluran napas. Membuang hewan peliharaan, terutama kucing, dari dalam rumah akan sangat efektif bila disertai pembersihan dan pencucian rumah untuk menghilangkan alergen yang mungkin tertinggal yang bisa tetap berada pada konsentrasi yang cukup untuk merangsang asma dalam waktu yang lama. MANIFESTASI KLINISGejala dan tanda klinis sangat dipengaruhi oleh berat ringannya asma yang diderita. Bisa saja seorang penderita asma hampir-hampir tidak menunjukkan gejala yang spesifik sama sekali, di lain pihak ada juga yang sangat jelas gejalanya. Gejala dan tanda tersebut antara lain:a. Batukb. Nafas sesak (dispnea) terlebih pada saat mengeluarkan nafas (ekspirasi) c. Wheezing (mengi) d. Nafas dangkal dan cepat e. Ronkhi f. Retraksi dinding dada g. Pernafasan cuping hidung (menunjukkan telah digunakannya semua otot-otot bantu pernafasan dalam usaha mengatasi sesak yang terjadi) h. Hiperinflasi toraks (dada seperti gentong) Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.Gejala klasik dari asma ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, takikardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.

DIAGNOSISDiagnosis dari asma umunya tidak sulit, diagnosis asma didasari oleh gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.11a. AnamnesisRiwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap asma, riwayat keluarga dan riwayat adanya alergi.b. Pemeriksan fisikPemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran nafas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernafasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang disertai ronki kering, mengi (wheezing) dapat dijumpai pada pasien asma.c. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan sputumPemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.2. Pemeriksaan darah Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.Pemeriksaan penunjang1. Pemeriksaan radiologiGambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.2. Pemeriksaan tes kulitDilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.3. ElektrokardiografiGambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu : Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBBB ( Right bundle branch block). Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.4. Scanning paruDengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.5. SpirometriUntuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversibel, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.Hasil pemeriksaan spirometri pada penderita asma: Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) menurun Kapasitas vital paksa (FVC)menurun Perbandingan antara FEV1 dan FEC menurun. Hal ini disebabkan karena penurunan FEV1 lebih besar dibandingkan penurunan FVC Volume residu (RV) meningkat Kapasital fungsional residual (FRC) meningkat 6. Uji kecepatan aliran puncak ekspiratoir (APE)Tes ini merupakan tes sederhana dengan menggunakan alat pengukur aliran puncak Wright. Bila hasil pengukuran menunjukkan: Kecepatan APE mula-mula kurang dari 60 liter/menit, atau Peningkatan APE terhadap standar (sesudah diberikan terapi selama 1 jam) kurang dari 50% maka pasien dianjurkan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit.

Diagnosis Bandinga. Bronkitis kronis Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sediknya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disetai sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.b. Emfisema paruSesak nafas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya.c. Gagal Jantung kiri Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari disebut paroxysmal noctrunal dispnea. Pasien tiba-tiba terbangun pad malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.d. Emboli paruHal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung. Disamping gejala sesak nafas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).KLASIFIKASIAsma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan;dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat.Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 6 menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatanyang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat. Contoh seorang penderita dalam pengobatan asma persisten sedang dan gambaran klinis sesuai asma persisten sedang, maka sebenarnya berat asma penderita tersebut adalah asma persisten berat. Demikian pula dengan asma persisten ringan. Akan tetapi berbeda dengan asma persisten berat dan asma intemiten (lihat tabel 6). Penderita yang gambaran klinis menunjukkan asma persisten berat maka jenis pengobatan apapun yang sedang dijalani tidak mempengaruhi penilaian berat asma, dengan kata lain penderita tersebut tetap asma persisten berat. Demikian pula penderita dengan gambaran klinis asma intermiten yang mendapat pengobatan sesuai dengan asma intermiten, maka derajat asma adalah intermiten.Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis(Sebelum Pengobatan)Derajat AsmaGejalaGejala MalamFaal paru

I. IntermitenBulananAPE80%

* Gejala < 1x/minggu* Tanpa gejala di luarserangan* Serangan singkat*2 kali sebulan* VEP180% nilai prediksiAPE80% nilaiterbaik*Variabiliti APE < 20%

II. Persisten RinganMingguanAPE > 80%

* Gejala > 1x/minggu,tetapi < 1x/ hari* Serangan dapatmengganggu aktivitidan tidur* > 2 kali sebulan* VEP180% nilai prediksiAPE80% nilai terbaik* Variabiliti APE 20-30%

III. Persisten SedangHarianAPE 60 80%

* Gejala setiap hari* Serangan menggangguaktiviti dan tidur*Membutuhkanbronkodilatorsetiap hari*> 1x / seminggu*VEP160-80%nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik* Variabiliti APE> 30%

IV. Persisten BeratKontinyuAPE60%

* Gejala terus menerus* Sering kambuh* Aktivitifisik terbatas* Sering* VEP160% nilai prediksiAPE60% nilai terbaik* Variabiliti APE > 30%

. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatanTahapan Pengobatanyang digunakan saat penilaian

Gejala dan Faal paru dalam PengobatanTahap I IntermitenTahap 2 Persisten RinganTahap 3 Persisten sedang

Tahap I : IntermitenGejala < 1x/ mggSerangan singkatGejala malam < 2x/ blnFaal paru normal di luar seranganIntermitenPersisten RinganPersisten Sedang

Tahap II : Persisten RinganGejala >1x/ mgg, tetapi 2x/bln, tetapi 1x/mgg60%2000 ug>500 ug>2000 ug

AnakDosis rendahDosis mediumDosis tinggi

ObatBeklometason dipropionatBudesonidFlunisolidFlutikasonTriamsinolon asetonid100-400 ug100-200 ug500-750 ug100-200 ug400-800 ug400-800 ug200-400 ug1000-1250 ug200-500 ug800-1200 ug>800 ug>400 ug>1250 ug>500 ug>1200 ug

Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaanspacer, atau mencuci mulut dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah inhalasi. Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik bergantung kepada dosis dan potensi obat yang berkaitan dengan biovailibiliti,absorpsi di usus, metabolisme di hati (first-pass metabolism), waktu paruh berkaitan dengan absorpsi di paru dan usus; sehingga masing-masing obat steroid inhalasi berbeda kemungkinannya untuk menimbulkan efek sistemik.b. Glukokortikosteroid sistemikCara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efeksistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang. Jangka panjang lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan misalnya pada keadaan asma persisten berat yang dalam terapi maksimal belum terkontrol (walau telah menggunakan paduan pengoabatn sesuai berat asma), maka dibutuhkan steroid oral selama jangka waktu tertentu.Hal itu terjadi juga pada steroid dependen. Di Indonesia, steroid oral jangka panjang terpaksa diberikan apabila penderita asma persisten sedang-berat tetapi tidak mampu untuk membeli steroid inhalasi, maka dianjurkan pemberiannya mempertimbangkan berbagai hal di bawah ini untuk mengurangi efek samping sistemik. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral :a. gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae pada otot minimalb. bentuk oral, bukan parenteralc. penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hariEfek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesiti, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot. Perhatian dan supervisi ketat dianjurkan pada pemberian steroid oral pada penderita asma dengan penyakit lain seperti tuberkulosis paru, infeksi parasit, osteoporosis, glaukoma, diabetes, depresi berat dan tukak lambung. Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela, maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan.d. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi(bukti B). Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi .e. MetilsantinTeofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan studi menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asmaberat. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.Teofilin atau aminofilin lepas lambatdapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lamasehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (10 mg/kgBB/ hari atau lebih); hal itu dapat dicegah dengan pemberian dosis yang tepat dengan monitor ketat. Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardia, aritmia dan kadangkala merangsang pusat napas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. Di Indonesia, sering digunakan kombinasi oral teofilin/aminofilin dengan agonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator; maka diingatkan sebaiknya tidak memberikan teofilin/aminofilin baik tunggal ataupun dalam kombinasi sebagai pelega/bronkodilator bila penderita dalam terapi teofilin/ aminofilin lepas lambat sebagai pengontrol.Dianjurkan memonitor kadar teofilin/aminofilin serum penderita dalam pengobatan jangka panjang. Umumnya efek toksik serius tidak terjadi bila kadar dalam serum < 15 ug/ml, walau terdapat variasi individual tetapi umumnya dalam pengobatan jangka panjang kadar teoflin serum 5-15 ug/ml (28-85uM) adalah efektif dan tidak menimbulkan efek samping.. Perhatikan berbagai keadaan yang dapat mengubah metabolisme teofilin antara lain. demam, hamil, penyakit hati, gagal jantung, merokok yang menyebabkan perubahan dosis pemberian teofilin/aminofilin. Selain itu perlu diketahui seringnya interaksi dengan obat lain yang mempengaruhi dosis pemberian obat lain tersebut misalnya simetidin, kuinolon dan makrolid.f. Agonis beta-2 kerja lamaTermasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyaiwaktu kerja lama (> 12 jam).Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.Kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil. Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik dibandingkan preparat oral.Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2OnsetDurasi (Lama kerja)

SingkatLama

CepatFenoterolProkaterolSalbutamol/ AlbuterolTerbutalinPirbuterolFormoterol

LambatSalmeterol

Agonis beta-2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia)yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral. Bentuk oral juga dapat mengontrol asma, yang beredar diIndonesiaadalah salbutamol lepas lambat, prokaterol dan bambuterol. Mekanisme kerja dan perannya dalam terapi sama saja dengan bentuk inhalasi agonis beta-2 kerja lama, hanya efek sampingnya lebih banyak.Efek samping berupa rangsangan kardiovaskular, ansieti dan tremor otot rangka.g. Leukotriene modifiersObat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida danexercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.Berbagai studi menunjukkan bahwa penambahanleukotriene modifiersdapat menurunkan kebutuhan dosis glukokortikosteroid inhalasi penderita asma persisten sedang sampai berat, mengontrol asma pada penderita dengan asma yang tidak terkontrol walau dengan glukokortikosteroid inhalasi(bukti B). Diketahui sebagai terapi tambahan tersebut,leukotriene modifierstidak seefektif agonis beta-2 kerja lama(bukti B).Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Penderita denganaspirin induced asthmamenunjukkan respons yang baik dengan pengobatanleukotriene modifiers.Saat ini yang beredar diIndonesiaadalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). Efek samping jarang ditemukan. Zileuton dihubungkan dengan toksik hati, sehingga monitor fungsi hati dianjurkan apabila diberikan terapi zileuton.Pelegaa. Agonis beta-2 kerja singkatTermasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasiyang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripadaoral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak dapat/mungkin menggunakan terapi inhalasi.b. MetilsantinTermasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis beta-2 kerja singkat(bukti A). Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untukrespiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu dengan berikutnya.Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikanpada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .c. AntikolinergikPemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna(bukti B).Oleh karena disarankan menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti takikardia, aritmia dan tremor.Efek sampingberupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.d. AdrenalinDapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak respons dengan agonis beta-2 kerja singkat.Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).Metode alternatif pengobatan asmaSelain pemberian obat pelega dan obat pengontrol asma, beberapa cara dipakai orang untuk mengobati asma. Cara`tersebut antara lain homeopati, pengobatan dengan herbal,ayuverdic medicine, ionizer, osteopati dan manipulasichiropractic, spleoterapi, buteyko, akupuntur, hypnosis dan lain-lain.Sejauh ini belum cukup bukti dan belum jelas efektiviti metode-metode alternatif tersebut sebagai pengobatan asma.Tahapan penanganan asmaPengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma seperti telah dijelaskan sebelumnya (lihat klasifikasi), agar tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan sesuai derajat asma termasuk glukokortikosteroid oral dan atau glukokortikosteroid inhalasi dosis penuh ditambah dengan agonis beta-2 kerja lama untuk segera mengontrol asma(bukti D); setelah asma terkontrol dosis diturunkan bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol. Cara itu disebutstepdown therapy. Pendekatan lain adalahstep-up therapyyaitu memulai terapi sesuai berat asma dan meningkatkan terapisecara bertahap jika dibutuhkan untuk mencapai asma terkontrol.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankanstepdown therapyuntuk penanganan asma yaitu memulai pengobatan dengan upaya menekan inflamasi jalan napasdan mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin, dan menurunkan terapi sampai seminimal mungkin dengan tetap mengontrol asma. Bila terdapat keadaan asma yang tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah 1 bulan terapi), maka pertimbangkan untuk evaluasi kembali diagnosis sambil tetap memberikan pengobata asma sesuai beratnya gejala.

Pengobatan berdasarkan derajat berat asmaAsma IntermitenTermasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula penderitaexercise-induced asthmaatau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal.Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma persisten sedang(bukti B).Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan(bukti A),atau sebelumexercisepadaexercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atauleukotriene modifiers(bukti B);atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin(bukti B).Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Jikadibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan,maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.Asma Persisten RinganPenderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah bera; sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah(bukti A).Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hariatau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari(bukti B).Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan berikutnya.Asma Persisten SedangPenderitadalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap hariuntuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hariatau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari(bukti A). Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/spacerpada inhalasi bentuk IDT/MDIataukombinasi dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah.Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan , tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.Asma Persisten BeratTujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/ hariatau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari(bukti A).Kadangkala kontrol lebihtercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari(bukti A).Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral danleukotriene modifiersdapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi)(bukti B).Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligussingle dosepagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan pemberian oral,padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang.Indikator asma tidak terkontrolAsma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asmaKunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akutKebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atauexercise-induced asthma)Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda (indikator) tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka tetapkan langkah terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak.Penanganan Asma MandiriHubungan penderita-dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk terjadi kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma. Dengan kata lain dokter penting untuk berkomunikasi dengan penderita/ keluarga, dengarkan mereka, ajukan pertanyaan terbuka dan jangan melakukan penilaian sebelumnya, lakukan dialog sederhana dan berikan nasehat atau komentar sesuai kemampuan/ pendidikan penderita.Komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan penderita adalah kunci keberhasilan pengobatan.Rencanakan pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik/ memungkinkan bagi penderita dengan maksud mengontrol asma. Bila memungkinkan, ajaklah perawat, farmasi, tenaga fisioterapi pernapasan dan lain-lainnya untuk membantu memberikan edukasi dan menunjang keberhasilan pengobatan penderita.Pelangi asmaPelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiri

Hijau Kondisi baik, asma terkontrol Tidak ada / minimal gejala APE : 80 - 100 % nilai dugaan/ terbaikPengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi

Kuning Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut/ eksaserbasi Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk, mengi, dada terasa berat baik saat aktiviti maupun istirahat) dan/ atau APE 60 - 80 % prediksi/ nilai terbaikMembutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi

Merah Berbahaya Gejala asma terus menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari. APE < 60% nilai dugaan/ terbaikPenderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati dokter-penderita secara tertulis.Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit.

Sistem penanganan asma mandiri membantu penderita memahami kondisi kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita memantau kondisinya sendiri, identifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan medis/ dokter. Penderita diperkenalkan kepada 3 daerah (zona) yaitu merah, kuning dan hijau dianalogkan sebagai kartu menuju sehat balita (KMS) atau lampu lalu lintas untuk memudahkan pengertian dan diingat penderita. Zona`merah berarti berbahaya, kuning hati-hati dan hijau adalah baik tidak masalah. Pembagian zona berdasarkan gejala dan pemeriksaan faal paru (APE) .Agar penderita nyaman dan tidak takut dengan pencatatan tersebut, maka diberikan namapelangi asma. Setiap penderita mendapat nasehat/ anjuran dokter yang bersifat individual bergantung kondisi asmanya, akan tetapi aturan umum pelangi asma.

PENATALAKSANAAN SERANGANAKUTSerangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau mengancam jiwa.Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain penanganan asma ditekankan kepada penanganan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang tepat.Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut (lihat tabel 6). Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain)Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma.Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat serangan di darurat gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat, penilaian respons pengobatan yang kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnyamenjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal.Klasifikasi berat serangan asma akutGejala danBerat Serangan AkutKeadaan

TandaRinganSedangBeratMengancam jiwa

Sesak napasBerjalanBerbicaraIstirahat

PosisiDapat tidur terlentangDudukDuduk membungkuk

Cara berbicaraSatu kalimatBeberapa kataKata demi kata

KesadaranMungkin gelisahGelisahGelisahMengantuk, gelisah, kesadaran menurun

Frekuensi napas 30/menit

Nadi< 100100 120> 120Bradikardia

Pulsus paradoksus-10 mmHg+ / - 10 20 mmHg+> 25 mmHg-Kelelahan otot

Otot Bantu Napas dan retraksi suprasternal-++Torakoabdominal paradoksal

MengiAkhir ekspirasi paksaAkhir ekspirasiInspirasi dan ekspirasiSilent Chest

APE> 80%60 80%< 60%

PaO2> 80 mHg80-60 mmHg< 60 mmHg

PaCO2< 45 mmHg< 45 mmHg> 45 mmHg

SaO2> 95%91 95%< 90%

Penatalaksanaan di Rumah sakitSerangan akut berat adalah darurat gawat dan membutuhkan bantuan medis segera, penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/ gawat darurat.PenilaianBerat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru; untuk selanjutnya diberikan pengobatan yangtepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankanpemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan keterlambatan dalam pengobatan/ tindakan.Riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan yang telah digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu:a. Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi/ ventilasi mekanisb. Riwayat perawatan di rumah sakit atau kunjungan ke darurat gawat dalam satu tahun terakhirc. Saat serangan, masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru sajamenghentikan salbutamol atau ekivalennyad. Dengan gangguan/ penyakit psikiatri atau masalah psikososial termasuk penggunaan sedasie. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma.Pemeriksaan fisis dan penilaian fungsi paruDinilai berdasarkan gambaran klinis penderita (lihat klasifikasi berat serangan). Pada fasiliti layanan kesehatan sederhana dengan kemampuan sumber daya manusia terbatas, dapat hanya menekankan kepada posisi penderita, cara bicara, frekuensi napas, nadi, ada tidak mengi dan bila dianjurkan penilaian fungsi paru yaitu APE. Pada serangan asma, VEP1atau APE sebaiknya diperiksa sebelum pengobatan, tanpa menunda pemberian pengobatan. Pemantauan saturasi oksigen sebaiknya dilakukan terutama pada penderita anak, karena sulitnya melakukan pemeriksaan APE/ VEP1pada anak dan saturasi O292 % adalah prediktor yang baik yang menunjukkan kebutuhan perawatan di rumah sakit. Pemeriksaan analisis gas darah, tidak rutin dilakukan, tetapi sebaiknya dilakukan pada penderita dengan APE 30-50% prediksi/ nilai terbaik, atau tidak respons dengan pengobatan awal, dan penderita yang membutuhkan perawatan. Demikian pula dengan pemeriksaan foto toraks, tidak rutin dlakukan, kecuali pada keadaan penderita dengan komplikasi proses kardiopulmoner (pneumonia, pneumomediastinum, pneumotoraks, gagal jantung, dan sebagainya), penderita yang membutuhkan perawatan dan penderita yang tidak respons dengan pengobatan.PengobatanPengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut.Oksigen:Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen90% dan dipantau dengan oksimetri.Agonis beta-2:Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT danspaceryang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah di darurat gawat(bukti A).Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi (bukti B) dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di rumah sakit(bukti A)dan perbaikan faal paru (APE dan VEP1)(bukti B). Alternatif pemberian adalah pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring). Alternatif agonis beta-2 kerja singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnyamaka dosis diturunkan setengahnya; untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam.GlukokortikosteroidGlukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan(bukti A), terutama jika:a. Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidakmemberikan responsb. Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatanc. Serangan asma beratGlukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka dianjurkan pemberian intravena.Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat(bukti B).Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari . Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu(bukti B).AntibiotikTidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit/ gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram positif dan atipik; yaitu makrolid , golongan kuinolon dan alternatif amoksisilin/ amoksisilin dengan asam klavulanat.Lain-lainMukolitik tidak menunjukkan manfaat berarti pada serangan asma, bahkan memperburuk batuk dan obstruksi jalan napas pada serangan asma berat.Sedasi sebaiknya dihindarkan karena berpotensi menimbulkan depresi napas. Antihistamin dan terapi fisis dada (fisioterapi) tidak berperan banyak pada serangan asma.Kriteria untuk melanjutkan observasi (di klinik, praktek dokter/ puskesmas), bergantung kepada fasiliti yang tersedia :Respons terapi tidak adekuat dalam 1-2 jamObstruksi jalan napas yang menetap (APE < 30% nilai terbaik/ prediksi)Riwayat serangan asma berat, perawatan rumah sakit/ ICU sebelumnyaDengan risiko tinggi (lihat di riwayat serangan)Gejala memburuk yang berkepanjangan sebelum datang membutuhkan pertolongan saat ituPengobatan yang tidak adekuat sebelumnyaKondisi rumah yang sulit/ tidak menolongMasalah/ kesulitan dalam transport atau mobilisasi ke rumah sakitKriteria pulang atau rawat inapPertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat inap) pada penderita di gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respons pengobatan baik klinis maupun faal paru. Berdasarkan penilaian fungsi,pertimbangan pulang atau rawat inap, adalah:Penderita dirawat inap bila VEP1atau APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/ prediksi; atau VEP1/APE < 40% nilai terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal diberikanPenderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 40-60% nilai terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak lanjut adekuat dan kepatuhan berobat.Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE > 60% nilai terbaik/ prediksi, umumnya dapat dipulangkanKriteria perawatan intensif/ ICU :Serangan berat dan tidak respons walau telah diberikan pengobatan adekuatPenurunan kesadaran, gelisahGagal napas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu Pa O2< 60 mmHg dan atau PaCO2> 45 mmHg, saturasi O290% pada penderita anak.Gagal napas dapat terjadi dengan PaCO2rendah ataumeningkat.Intubasi dan Ventilasi mekanisIntubasi dibutuhkan bila terjadi perburukan klinis walau dengan pengobatan optimal, penderita tampak kelelahan dan atau PaCO2meningkat terus. Tidak ada kriteria absolut untuk intubasi, tetapi dianjurkan sesuai pengalaman dan ketrampilan dokterdalam penanganan masalah pernapasan. Penanganan umum penderita dalam ventilasi mekanis secara umum adalah sama dengan penderita tanpa ventilasi mekanis, yaitu pemberian adekuat oksigenasi, bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik.

KOMPLIKASIBerbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :1. Status asmatikus2. Atelektasis3. Hipoksemia4. Pneumothoraks5. EmfisemaPROGNOSISAngka kematian akibat asma adalah kecil. Gambaran terakhir menunjukkan kurang dari 5.000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota yang memiliki fasilitas kesehatan terbatas.PENCEGAHANSerangan eksaserbasi akut asma dapat dicegah dengan menghindari faktor pencetus asma yang tergantung pada penyebab asma masing-masing pasien. Identifikasi dan penghindaran alergen di rumah dan tempat kerja harus sebisa mungkin dilakukan. Penghindaran yang benar-benar terhadap paparan tungau debu rumah, hewan-hewan peliharaan, dan faktor pekerjaan berhubungan dengan perbaikan nyata pada gejala-gejala pernapasan, fungsi paru-paru dan hiperresponsivitas saluran napas. Membuang hewan peliharaan, terutama kucing, dari dalam rumah akan sangat efektif bila disertai pembersihan dan pencucian rumah untuk menghilangkan alergen yang mungkin tertinggal yang bisa tetap berada pada konsentrasi yang cukup untuk merangsang asma dalam waktu yang lama. Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan prognosis yang baik, terutama pada penderita dengan penyakit asma ringan dan asma pada anak-anak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosa awal bervariasi antara 26-78%, rata-rata 46 %, persentasi anak-anak yang berlanjut dengan penyakit yang berat relatif rendah yaitu 6-19 %.Walaupun ada laporan pasien asma mengalami perubahan ireversibel pada fungsi paru-paru, pasien-pasien ini biasanya memiliki stimulus komorbid seperti merokok. Walaupun tidak diobati, penderita asma tidak berkembang dari bentuk ringan menjadi bentuk berat selama perjalanan waktu. Perjalanan kliniknya terdiri dari eksaserbasi dan remisi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 % pada pasien yang menderita penyakit asma pada saat sudah dewasa, dan kira-kira 40 % dapat diharapkan membaik dengan serangan yang lebih ringan dan lebih jarang saat pasien menjadi semakin tua.

DAFTAR PUSTAKA1. http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html2. Arif Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan. : Pneumonia. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2 Edisi 3. Media Aesculapius FKUI. Jakarta. 2000. P. 465 7.3. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 9814. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 335-54.5. Dahlan Z. Pneumonia. dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2196.6. Danusantoso,Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates, 20007. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi kedua . Jakarta: Penerbit FKUI;20028. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson.1994. Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4.Jakarta: EGC.9. Kumar, Abbas, Fausto. 2005. Robin and Cotran Pathologic Basics of Disease 7th Edition : Elseiver Saunders10. Kasper Dennis L. et.al. 2004. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Edition: McGraw-Hill Professional