asma -GINA

54
ASMA Definisi Asma merupakan kelainan yang ditentukan berdasarkan karakteristik klinis, fisiologis, dan patologis. Gambaran klinis yang paling menonjol pada asma yaitu adanya sesak nafas yang episodik, terutama pada malam hari, dan seringkali disertai dengan batuk. Seringkali juga ditemukan mengi pada auskultasi. Gambaran fisiologis utama asma yaitu adanya obstruksi jalan nafas yang ditandai dengan terbatasnya aliran udara ekspiratori. Gambaran patologis pada asma adalah inflamasi jalan nafas, kadang – kadang disertai dengan perubahan struktural. Asma memiliki komponen genetik dan lingkungan yang signifikan, namun karena patogenesisnya belum jelas maka definisi asma lebih bersifat deskriptif, yaitu : “ asma merupakan inflamasi kronis pada jalan nafas di mana banyak sel dan elemen seluler yang berperan. Inflamasi kronik tersebut berhubungan dengan hiperresponsif sehingga menyebabkan episode mengi, sesak nafas, “chest tightness” dan batuk yang rekurens terutama pada malam hari atau awal pagi hari. Episode ini biasanya verhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada paru yang menyebar, namun variabel dan seringkali reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan” Karakteristik pada asma yang biasa ditemukan adalah atopi (adanya prick test positif atan respon klinis terhadap allergen lingkungan yang umum), hiperresposif jalan nafas (kecenderungan jalan nafas untuk menyempit secara berlebihan sebagai respon terhadap pencetus yang

description

Asma

Transcript of asma -GINA

Page 1: asma -GINA

ASMA

Definisi

Asma merupakan kelainan yang ditentukan berdasarkan karakteristik klinis, fisiologis, dan patologis.

Gambaran klinis yang paling menonjol pada asma yaitu adanya sesak nafas yang episodik, terutama

pada malam hari, dan seringkali disertai dengan batuk. Seringkali juga ditemukan mengi pada auskultasi.

Gambaran fisiologis utama asma yaitu adanya obstruksi jalan nafas yang ditandai dengan terbatasnya

aliran udara ekspiratori. Gambaran patologis pada asma adalah inflamasi jalan nafas, kadang – kadang

disertai dengan perubahan struktural.

Asma memiliki komponen genetik dan lingkungan yang signifikan, namun karena patogenesisnya belum

jelas maka definisi asma lebih bersifat deskriptif, yaitu :

“ asma merupakan inflamasi kronis pada jalan nafas di mana banyak sel dan elemen seluler yang

berperan. Inflamasi kronik tersebut berhubungan dengan hiperresponsif sehingga menyebabkan

episode mengi, sesak nafas, “chest tightness” dan batuk yang rekurens terutama pada malam hari atau

awal pagi hari. Episode ini biasanya verhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada paru yang

menyebar, namun variabel dan seringkali reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan”

Karakteristik pada asma yang biasa ditemukan adalah atopi (adanya prick test positif atan respon klinis

terhadap allergen lingkungan yang umum), hiperresposif jalan nafas (kecenderungan jalan nafas untuk

menyempit secara berlebihan sebagai respon terhadap pencetus yang tidak memiliki efek ataupun

memiliki sedikit efek pada individu normal), dan pengukuran sensitisasi alergi lain.

Saat ini, manifestasi klinis asma – gejala, gangguan tidur,terbatasnya aktivitas sehari – hari, gangguan

fungsi paru, dan penggunaan obat – obatan darurat—dapat dikontrol dengan pengobatan yang tepat.

Ketika asma terkontrol, rekurensi menjadi rendah dan eksaserbasi yang berat jarang sekali terjadi.

Prevalensi, Morbiditas, dan Mortalitas

Asma merupakan masalah yang mendunia dan mengenai kira –kira 300 juta individu dengan prevalensi

global sebanyak 1 – 18 % yang menurun pada Amerika Utara dan Eropa Barat serta meningkat pada

Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Asia. WHO memperkirakan 15 juta disability-adjusted life years

Page 2: asma -GINA

(DALYs) hilang setiap tahun karena asma, sebanyak 1% dari total tanggungan penyakit global. Kematian

pada penderita asma sekitar 250.000.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma

Faktor yang mempengaruhi resiko asma dapat dibagi 2, menjadi : faktor yang menyebabkan

perkembangan asma, yaitu faktor pejamu (biasanya genetik), dan faktor yang mencetuskan gejala asma,

yaitu faktor lingkungan.

Faktor Pejamu

Genetik. Asma memiliki komponen yang diturunkan dan banyak gen yang terlibat dalam pathogenesis

asma dan gen tersebut berbeda untuk seitap kelompok etnik. Gen yang berhubungan pada

perkembangan asma difokuskan pada 4 daerah mayor, yaitu : produksi antibody IgE yang allergen

spesifik (atopi), ekspresi hiperresponsif jalan nafas, pembentukkan mediator inflamasi (sitokin, kemokin,

dan growth factor) dan penentuan rasio antara respon imun Th1 dan Th2.

Selain berpengaruh terhadap perkembangan asma, gen tersebut juga berpengaruh terhadap respon

terhadap pengobatan.

Page 3: asma -GINA

Obesitas. Obesitas merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin, dapat

mempengaruhi fungsi jalan nafas dan meningkatkan keecnderungan perkembangan asma.

Jenis kelamin, Jenis kelamin pria merupakan faktor resiko asma pada anak – anak, terutama sebelum

usia 14 tahun (2: 1). Ketika bertambah dewasa, resiko asma lebih banyak pada wanita. Alasan perbedaan

yang berhubungan dengan jenis kelamin belum jelas. namun, ukuran paru – paru pria lebih kecil

daripada wanita pada saat lahir tetapi lebih besar saat dewasa.

Faktor Lingkungan

Allergen. Walaupun allergen telah diketahui dengan baik menyebabkan eksaserbasi asma namun peran

spesifiknya dalam perkembangan asma belum diketahui sepenuhnya. Beberapa allergen yang biasanya

mencetuskan asma diantaranya adalah : tungau, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), kecoa, jamur,

ragi, serbuk sari.

Infeksi. Ketika bayi, beberapa virus berhubungan dengan fenotipe asmatik. RSV dan virus parainfluenza

menghasilkan pola gejala termasuk bronkhiolitis yang parallel dengan gambaran klinis asma pada anak –

anak. Sekitar 40% anak yang dirawat di RS karena RSV tetap mengi atau mendapatkan asma hingga

setelah masa anak – anak. Namun, di sisi lain, beberapa bukti juga mengindikasikan bahwa infeksi

pernafasan, termasuk campak dan bahkan RSV saat awal kehidupan dapan memproteksi terhadap asma.

Infeksi parasit tidak memproteksi terhadap asma namun infeksi dengan cacing tambang dapat

menurunkan resiko.

“Hygiene hypothesis” asma menjabarkan bahwa infeksi pada awal kehidupan mempengaruhi

perkembangan sistem imun pada jaras non-allergenik sehingga menurunkan resiko asma dan penyakit

alergi lainnya. Walaupun hipotesis ini sedang diselidiki secara kontinu, mekanisme ini dapat menjelaskan

hubungan antara jumlah anggota keluarga, urutan lahir, perawatan di tempat penitipan anak, dan resiko

asma. Sebagai contoh, anak yang memiliki kakak dan anak yang dirawat di penitipan anak memiliki

resiko infeksi yang lebih besar namun memiliki proteksi terhadap perkembangan penyakit alergi,

termasuk asma.

Interaksi antara atopi dan infeksi virus merupakan hubungan yang kompleks di mana status atopi dapat

mempengaruhi respon jalan nafas bawah terhadap infeksi viral dan infeksi viral dapat mempengaruhi

perkembangan sensitisasi alergi. interaksi ini dapat terjadi ketika individu terpapar secara simultan oleh

allergen dan virus.

Page 4: asma -GINA

Occupational sensitizer. Sekitar 300 substansi berhubungan dengan asma okupasional yang

didefinisikan sebagai asma yang disebabkan oleh paparan zat yang berada di lingkungan kerja. Substansi

– substansi ini termasuk molekul kecil yang reaktif seperti isosianat, iritan yang dapat mengakibatkan

perubahan responsivitas jalan nafas, beberapa imunogen seperti garam platinum dan produk tumbuh –

tumbuhan serta produk biologis hewan dapat menstimulasi produksi IgE.

Asma okupasional terutama terjadi pada orang dewasa dan occupational sensitizer mengakibatkan 1 di

antara 10 orang yang terkena asma pada usia kerja. Asma juga merupakan gangguan pernafasan yang

paling sering pada negara industri. Pekerjaan yang berhubungan dengan resiko tinggi asma okupasional

termasuk peternak dan agricultural, melukis, pekarya kebersihan, dan pabrik plastik.

Page 5: asma -GINA

Sebagian besar asma okupasional dimediasi oleh imunologis dan memiliki periode laten beberapa bulan

hingga beberapa tahun setelah onset terpapar. Reaksi alergi yang dimediasi IgE dan respon allergi yang

dimediasi sel termasuk di dalamnya.

Paparan yang sangat tinggi terhadap iritan yang terhirup dapat mengakibatkan “irritant induced

asthma” yang dapat terjadi walaupun pada orang non atopi. Atopi dan merokok dapat meningkatkan

sensitisasi okupasional namun skrining individu terhada atopi memiliki nilai yang terbatas dalam

pencegahan asma okupasional. Metode pencegahan asma okupasional yang paling penting adalah

eliminasi atau menurunkan paparan terhadap occupational senisitizer.

Merokok. Merokok berhubungan dengan akselerasi penurunan fungsi paru pada orang dengan asma,

meningkatkan beratnya asma, dan dapat menurunkan respon obat inhalasi dan glukokortikoid sistemik,

serta menurunkan kecenderungan asma untuk terkontrol.

Paparan terhadap rokok prenatal dan setelah lahir berhubungan dengan resiko yang lebih besar

terhadap gejala seperti asma pada awal masa anak – anak. Pada ibu yang merokok saat kehamilan

diketahui dapat mempengaruhi perkembangan paru anak dan meningkatkan resiko 4 kali lipat terhadap

penyakit dengan mengi pada tahun pertama kehidupan. Paparan terhadap rokok (perokok pasif)

meningkatkan resiko penyakit salurah nafas bawah pada bayi dan anak – anak.

Polusi udara outdoor/indoor. Peran polusi outdoor dalam menyebabkan asma masih controversial.

Anak – anak yang dibesarkan pada lingkungan yang terpolusi memiliki penurunan fungsi paru namun

hubungannya dengan perkembangan asma belum diketahui.

Outbreak eksaserbasi asma terjadi ketika terdapat peningkatan polusi udara dan hal ini mungkin

berhubungan dengan peningkatan kadar polutan ataupun allergen spesifik secara menyeluruh.

Walaupun demikian, peran polutan terhadap perkembangan asma masih belum diketahui dengan jelas,

Hubungan yang sama juga terjadi pada pollutan indoor seperti gas dan asap dari bahan bakar pemanas

ataupun pendingin, dan infestasi kecoa.

Diet. Hubungan diet terutama pada ASI berhubungan dengan perkembangan asma. Pada bayi yang

mengkonsumsi susu formula atau protein kedelai memiliki insidensi yang lebih tinggi terhadap penyakit

mengi pada masa awal anak – anak dibandingkan dengan bayi yang disusui dengan ASI.

Beberapa data juga mengindikasikan karakterisik diet barat seperti meningkatnya konsumsi makanan

yang diproses dan menurunnya antioksidan (buah – buahan dan sayuran), meningkatnya asam lemak

Page 6: asma -GINA

tidak jenuh n-6 (margarine dan minyak sayur), dan menurunnya asam lemak tidak jenuh n-3 (minyak

ikan) berkontribusi terhadap peningkatan penyakit asma dan atopi lainnya.

MEKANISME ASMA

Asma merupakan penyakit inflamasi pada jalan nafas yang melibatkan beberapa sel inflamatoris dan

mediator – mediator inflamasi sehingga mengakibatkan perubahan patofisiologis. Walaupun belum

dimengerti secara menyeluruh, pola inflamasi ini berhubungan dengan hiperresponsivitas jalan nafas

dan gejala asma.

Inlamasi Jalan Nafas pada Asma

Spektrum klinis asma sangat variabel dan melibatkan beberapa pola seluler yang berbeda, namun

adanya inflamasi jalan nafas merupakan hal yang konsisten. Inflamasi tersebut terjadi secara persisten

walaupun gejala yang terjadi bersifat episodic dan hubungan antara beratnya serangan asma dan

intensitas inflamasi belum ditegakkan secara jelas. Inflamasi ini meliputi semua jalan nafas namun efek

fisiologisnya lebih menonjol pada bronchi yang berukuran sedang. Pola inflamasi yang terjadi sama pada

semua bentuk klinis asma, alergi maupun non alergi, atau diinduksi aspirin, dan pada semua kelompok

umur.

Sel – sel inflamasi. Pola inflamasi khas pada penyakit alergi terlihat pada asma, dengan aktivasi sel mast,

meningkatnya eosinofil yang teraktivasi dan meningkatnya jumlah reseptor sel T seperti NK sel dan Th2

yang mengeluarkan mediator yang berkontribusi terhadap gejala – gejala yang terjadi. Sel – sel

struktural pada jalan nafas juga memproduksi mediator inflamasi, dan berkontribusi terjadap persistensi

inflamasi pada jalur yang bervariasi.

Page 7: asma -GINA
Page 8: asma -GINA

Mediator Inflamasi. Lebih dari 100 mediator inflamasi dikenali berperan dalam asma dan memediasi

respon inflamasi kompleks pada jalan nafas.

Perubahan Struktural pada Asma. Selain terjadi respon inflamasi, perubahan struktural yang khas juga

terjadi pada pasien asma. Perubahan – perubahan ini berhubungan dengan beratnya penyakit dan dapat

menyebabkan penyempitan jalan nafas yang ireversibel.

Page 9: asma -GINA

Patofisiologi

Penyempitan jalan nafas merupakan jaras akhir yang mengakibatkan gejala dan perubahan fisiologis

pada asma. Beberapa faktor berkontribusi terhadap perkembangan penyempitan jalan nafas pada asma.

Hiperresponsivitas Jalan Nafas. Hal ini merupakan abnormalitas fungsional yang khas pada asma yang

mengakibatkan penyempitan jalan nafas sebagai respon terhadap stimulus yang tidak berpengaruh pada

individu normal. Penyempitan ini berhubungan dengan inflamasi dan perbaikan jalan nafas yang

Page 10: asma -GINA

reversibel dengan terapi. Namun mekanisme hiperresponsivitas jalan nafas ini belum dimengerti secara

menyeluruh.

Mekanisme Khusus

Eksaserbasi Akut. Perburukan asma yang berlangsung sementara dapat terjadi sebagai akibat paparan

faktor resiko asma atau mencetuskan asma, seperti olah raga, polutan udara, dan perubahan musim.

Perburukan yang lebih lama dapat terjadi dan biasanya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas

oleh virus terutama rhinovirus dan RSV atau paparan allergen yang meningkatkan inflamasi pada saluran

nafas bawah yang dapat menetap selama beberapa hari atau minggu.

Asma Nokturnal. Mekanisme yang terjadi pada perburukan asma di malam hari belum diketahui secara

menyeluruh namun dapat disebabkan oleh irama sirkadian hormon yang berada dalam sirkulasi seperti

epinefrin, kortisolm dan melatonin, serta mekanisme neural seperti kolinergik. Peningkatan inflamasi

jalan nafas pada malam hari telah dilaporkan. Hal ini dapat mencerminkan adanya penurunan

mekanisme anti inflamasi endogen.

Keterbatasan Aliran Udara Ireversibel. Beberapa pasien dengan asma berat dapat terjadi keterbatasan

aliran udara yang tidak reversibel dengan terapi. Hal ini dapat mengindikasikan adanya perubahan

struktur jalan nafas pada asma kronik.

Kesulitan untuk Mengobati Asma. Alasan mengapa pada beberapa pasien asma susah ditangani dan

tidak sensitif terhadap efek glukokortikoid sistemik kurang dapat dimengerti. Hal – hal yang biasanya

berhubungan adalah kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan dan masalah psikologis serta psikiatris.

Page 11: asma -GINA

Walaupun demikian, faktor genetik juga dapat berkontribusi pada beberapa kasus. Pada pasien – pasien

ini terjadi kesulitan untuk mengobati sejak onset asma terjadi. Selain itu penutupan jalan nafas dapat

mengakibatkan terperangkapnya udara dan hiperinflasi. Walaupun secara patologis, mirip dengan

bentuk asma lain, pada pasien – pasien ini terjadi peningkatan neutrofil, keterlibatan jalan nafas yang

lebih kecil, dan lebih banyak perubahan struktural.

Merokok dan Asma. Merokok mengakibatkan asma lebih sulit dikontrol dan mengakibatkan eksaserbasi

yang lebih sering dan akselerasi penurunan fungsi paru serta meningkatkan resiko kematian. Pasien

asma yang merokok dapat memiliki inflamasi yang didominasi oleh neutrofil pada jalan nafas dan kurang

responsive terhadap glukokortikoid.

Page 12: asma -GINA

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis yang tepat pada asma diperlukan untuk pemberian pengobatan. Gejala asma dapat intermiten

dan non spesifik sehingga dapat terjadi kesalahan diagnosis.

DIAGNOSIS KLINIS

Gejala. Diagnosis klinis asma biasanya berdasarkan gejala – gejala seperti sesak nafas episodic, mengi,

batuk, dan “chest tightness” yang biasanya terjadi setelah paparan allergen ataupun perubahan musim.

Adanya riwayat asma dan penyakit atopi pada keluarga juga dapat berguna untuk diagnosis. Diagnosis

asma bersifat variabel, dipresipitasi oleh iritan non spesifik seperti asap, parfum, bau yang menyengat

atau olah raga; memburuk pada malam hari ; dan berrespon terhadap terapi asma yang tepat.

Beberapa pertanyaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis asma tercantum pada tabel di bawah

ini :

Cough – Variant Asthma. Pada pasien dengan cough-variant asthma mengalami batuk kronik sebagai

gejala yang menonjol. Seringkali terjadi pada anak – anak dan lebih berat pada malam hari sehingga

evaluasi pada siang hari dapat normal. Untuk pasien – pasien seperti ini, dokumentasi fungsi paru atau

hiperresponsivitas jalan nafas dan pencarian eosinofil sputum penting dilakukan. Cough – variant

asthma ini harus disingkirkan dari bronchitis eosinofilik di mana pada pasien tersebut terdapat batuk

dan eosinofil sputum namun dengan fungsi paru normal dan jalan nafas yang tidak hiperresponsif.

Diagnosis lain yang perlu dipikirkan adalah batuk yang diinduksi oleh ACE inhibitor, GERD, postnasal drip,

sinusitis kronis dan disfungsi pita suara.

Bronkhokonstriksi yang Diinduksi Olah Raga. Aktivitas fisik merupakan penyebab yang penting pada

pasien asma. Bronkhokonstriksi yang diinduksi olah raga secara tipikal terjadi 5 – 10 menit setelah

Page 13: asma -GINA

selesai berolah raga (jarang terjadi selama berolah raga). Pasien mengalami gejala asma atau kadang –

kadang batuk yang terus menerus yang mereda secara spontan setelah 30 – 45 menit. Beberapa jenis

olah raga seperti berlari merupakan pencetus yang poten. Bronkhokonstriksi yang diinduksi olah raga

dapat terjadi pada setiap kondisi iklim, terutama bila udara kering, dingin dan jarang pada udara panas

dan lembab.

Hilangnya gejala post – olah raga yang cepat setelah penggunaan β2 – agonist atau pencegahan dengan

inhalasi β2 – agonist mendukung diagnosis asma. Pada anak – anak, asma dapat terjadi hanya saat olah

raga. Untuk menegakkan diagnosis ini, dapat dilakukan tes lari selama 8 menit.

Pemeriksaan Fisik

Karena gejala asma bervariasi, pada pemeriksaan fisik sistem pernafasan dapat normal. Penemuan

pemeriksaan fisik abnormal yang sering ditemukan adalah wheezing pada ekspirasi yang

mengkonfirmasi adanya keterbatasan aliran udara. Walaupun demikian, pada beberapa orang dengan

asma, wheezing dapat tidak ada atau hanya dapat dideteksi bila melakukan ekspirasi maksimum

ataupun pada keterbatasan aliran udara yang signifikan. Kadang – kadang, ada eksaserbasi berat asma,

wheezing dapat tidak ada karena adanya penurunan aliran udara dan ventilasi. Walaupun demikian,

pasien seperti ini memiliki tanda fisik yang merefleksikan eksaserbasi dan beratnya eksaserbasi tersebut,

seperti sianosis, susah berbicara, takikardia, hiperinflasi, penggunaan otot – otot aksesorius, dan resesi

interkostal.

Tanda klinis yang lain dapat hanya muncul pada pemeriksaan saat periode simtomatik. Hiperinflasi

terjadi karena pasien bernafas dengan volume paru yang lebih besar untuk meningkatkan retraksi

‘outward’ jalan nafas dan menjaga patensi jalan nafas yang lebih kecil (yang menyempit karena

kontraksi otot polos pernafasan, edema , dan hipersekresi mucus). Kombinasi hiperinflasi dan

keterbatasan aliran nafas pada eksaserbasi asma meningkatkan kerja pernafasan.

Uji untuk Diagnosis dan Monitoring

Pengukuran Fungsi Paru. Diagnosis asma biasanya berdasarkan adanya gejala yang khas. Walaupun

demikian, pengukuran fungsi paru dan terutama demonstrasi adanya abnormalitas fungsi paru yang

reversibel dapat meyakinkan diagnosis. Hal ini karena pasien asma seringkali kurang mengenali gejala –

gejala yang terjadi dan memiliki persepsi yang kurang terhadap berat ringannya gejala, terutama pada

asma yang lama terjadi. Penilaian gejala seperti dyspnea dan wheezing oleh dokter juga dapat kurang

Page 14: asma -GINA

akurat. Pengukuran fungsi paru dapat menyediakan pengukuran berat ringannya keterbatasan aliran

udara, reversibilitasnya, dan variabilitasnya dan juga konfirmasi diagnosis asma. Walaupun pengukuran

ini tidak berkorelasi kuat dengan gejala atau pengukuran lain untuk mengontrol asma, perngukuran ini

memberikan informasi mengenai aspek lain dalam pengontrolan asma.

Beberapa metode digunakan untuk menilai keterbatasan aliran udara, anmun ada 2 metode yang dapat

diterapkan pada pasien usia 5 tahun ke atas yaitu dengan pengukuran FEV1 (forced expiratory volume

dalam 1 detik) dan FVC (forced vital capacity) serta pengukuran PEF (peak expiratory volume).

Istilah reversibilitas dan variabilitas merujuk pada perubahan gejala yang terjadi seiring dengan

perubahan keterbatasan aliran udara yang terjadi secara spontan ataupun sebagai respon terapi.

Reversibilitas diaplikasikan secara umum sebagai peningkatan FEV1 (atau PEF) yang cepat, dalam

hitungan menit, setelah inhalasi bronchodilator kerja cepat atau kemajuan yang bertahap selama

beberapa hari ataupun minggu setelah diberikan controller seperti glukokortikoid inhalasi.

Variabilitas merujuk pada perkembangan ataupun perburukan gejala dan fungsi paru dalam jangka

waktu tertentu. Variabilitas dapat terjadi dalam 1 hari (diurnal), hari ke hari, bulan ke bulan, ataupun

musiman. Mendapatkan riwayat variabilitas merupakan komponen penting dalam diagnosis asma.

Variabilitas merupakan bagian dari peniliaian dalam pengontrolan asma.

Spirometri direkomendasikan sebagai metode untuk mengukur keterbatasan aliran udara dan

reversibilitas untuk menegakkan diagnosis asma. Derajat reversibilitas pada FEV1 yang mengindikasikan

diagnosis asma yaitu > 12% dan > 200 ml dari nilai pre-bronkhodilator. Reversibilitas seringkali tidak

ditemukan pada pasien asma sehingga kadang diperlukan beberapa kali test.

Pada penilaiand dengan spirometri diperlukan penjelasan pada pasien untuk melakukan forced

expiratory maneuver dan hasil yang diambil adalah hasil tertinggi dari 3 kali penilaian. Nilai spirometri

berbeda pada etnis yang berbeda sehingga diperlukan pengukuran rasio FEV1 dan FVC. Nilai normal

rasio FEV1/FVC adalah lebih dari 0,75 – 0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada anak – anak. Nilai yang lebih

rendah mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara.

Pengukuran Peak Expiratory Flow dilakukan menggunakan peak flow meter dan merupakan alat yang

penting untuk diagnosis dan monitoring asma. Walaupun spirometri merupakan metode yang lebih

sering dipilih untuk mendokumentasikan keterbatasan aliran udara, peningkatan 60L/menit (> 20%

prebronkhodilator PEF) setelah inhalasi bronchodilator ataupun variasi diurnal PEF > 20% (dengan 2 kali

Page 15: asma -GINA

pembacaan dalam 1 hari, > 10%) menegakkan diagnosis asma. Selain itu PEF dapat pula untuk

mengidentifikasi penyebab gejala asma dengan pengukuran PEF setiap hari atau setelah terpapar faktor

resioko atau selama olah raga atau aktivitas lain yang dapat mencetuskan asma, dan pada saat periode

tidak terpapar.

Pengukuran Responsivitas Jalan Nafas. Untuk pasien dengan gejala yang konsisten dengan asma namun

dengan fungsi paru normal, perlu dilakukan pengukuran responsivitas jalan nafas dengan direct airway

challeng seperti methacholine inhalasi dan histamine atau indirect airway challenge seperti mannitol

inhalasi ataupun challenge dengan olah raga. Pengukuran ini merefleksikan sensitivitas jalan nafas

terhadap faktor yang dapat menyebabkan gejala asma, dan kadang – kadang disebut ‘trigger’ atau

pencetus dan hasil tes biasanya diekspresikan sebagai dosis/konsentrasi provokatif mengakibatkan

penurunan FEV1 (biasanya 20). Test ini sensitif untuk asma namun memiliki spesifisitas yang rendah. Hal

ini berarti hasil negative dapat mengekslusi diagnosis persisten asma pada pasien yang tidak

mendapatkan inhalasi glukosotikoid namun hasil positif tidak selalu berarti pasien memiliki asma. Hal ini

terjadi karena hiperresponsif juga rejadi pada rhinitis alergi dan keterbatasan aliran udara lain seperti

pada fibrosis kistik, bronkiektasis, dan PPOK.

Marker Non – Invasif pada Inflamasi Jalan Nafas

Evaluasi inflamasi jalan nafas yang berhubungan dengan asma dapat dilakukan dengan penilaian sputum

yang diinduksi oleh larutan garam hipertonis ataupun sputum spontan untuk melihat adanya inflamasi

eosinofil atau neutrofil. Selain itu, kadar nitric oksida (FeNO) dan karbon monoksida (FeCO) merupakan

marker non – invasive inflamasi jalan nafas pada asma. Kadar FeNO meningkat pada asma (yang tidak

menggunakan glukokortikoid inhalasi) namun tidak spesifik untuk asma. Pengukuran eosinofilia pada

sputum dan FeNO berguna untuk menentukan terapi yang optimal.

Penilaian Status Alergi

Karena hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi, adanya alergi, penyakit alergi dan rhinitis

alergi meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada pasien dengan gejala respiratori. Adanya alergi

pada pasien asma (tes kulit dengan allergen atau IgE serum) dapat membantu identifikasi faktor resiko

yang mengakibatkan gejala asma.

Page 16: asma -GINA

DIAGNOSTIC CHALLENGE DAN DIAGNOSIS BANDING

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat dengan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel dan

variabel (spirometri) dapat mengkonfirmasi diagnosis asma. Kategori berikut ini perlu juga dipikirkan,

yaitu :

- Sindrom hiperventilasi atau serangan panic

- Obstruksi jalan nafas atas dan benda asing yang terinhalasi

- Disfungsi pita suara

- Bentuk lain penyakit paru obstruktif

- Penyakit paru non obstruktif seperti penyakit parenkim paru

- Gejala yang tidak disebabkan oleh pernafasan seperti gagal jantung kiri

Orang tua

Asma yang tidak terdiagnosis seringkali merupakan gejala pernafasan padan orang tua dan adanya

komorbid memperberat diagnosis. Mengi, sesak nagas dan batuk karena gagal jantung kiri seringkali

disebut sebagai cardiac asma. Peningkatan gejala dengan olah raga dan saat malam hari dapat

mengakibatkan kebingungan dalam diagnosis apakah asma atau gagal jantung kiri. Penggunaan beta

blocker sering ditemukan pada kelompok usia ini. Namun anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat

serta EKG dapat memudahkan diagnosis. Pada orang tua, sulit untuk membedakan asma dengan PPOK

dan memerlukan percobaan pengobatan dengan bronkodilator ataupun glukokortikoid.

Asma Okupasional

Seringkali diagnosis asma okupasional terlewat , karena onsetnya yang mendadak seringkali didiagnosa

sebagai bronchitis kronis ataupun PPOK. Adanya gejala baru rhinitis, batuk, dan atau mengi terutama

pada orang yang tidak merokok perlu dicurigai. Deteksi asma okupasional ini memerlukan adanya

riwayat paparan sensitizing agent, tidak adanya gejala asma sebelum bekerja,atau adanya perburukan

asma setelah bekerja.

Karena penatalaksanaan asma ini memerlukan penggantian pekerjaan, dan memperngaruhi

sosioekonomi, diagnosis harus objektif dan memerlukan te provokasi bronchial. Selain itu dapat juga

menggunakan monitor PEF setidaknya 4X dalam 1 hari selama 2 minggu saat bekerja dan saat tidak

bekerja.

Page 17: asma -GINA

Menyingkirkan Asma dengan PPOK

PPOK memiliki cirri khas yaitu keterbatasan aliran udara yang tidak reversibel dan biasanya progresif

serta berhubungan dengan respon inflamasi abnormal terhadap partikel atau gas tertentu. Namun

individu asma yang terpapar gas seperti rokok dapat juga berkembang menjadi keterbatasan aliran

udara yang menetap seperti PPOK. Dan bila telah terjadi hal ini, akan sulit dibedakan dengan asma.

KLASIFIKASI ASMA

Etiologi

Banyak yang mengklasifikasikan asma berdasarkan etiologi, terutama sensitizing agents di lingkungan.

Namun klasifikasi ini terbatas pada asma tanpa penyabab lingkungan.

Berat Ringannya Asma

Klasifikasi asma menurut GINA berdasarkan berat ringannya gejala, keterbatasan aliran udara, dan

variabilitas fungsi paru, yaitu : intermitten, mild persistent, atau severe persistent. Klasifikasi ini berguna

untuk penatalaksanaan saat penilaian pasien.

Page 18: asma -GINA

Kontrol Asma

Kontrol asma dapat didefinisikan dalam beberapa cara. Secara umum, istilah control mengindikasikan

adanya pencegahan penyakit maupun penyembuhan. Walaupun demikian, pada asma istilah ini berarti

adanya kontrol terhadap manifestasi penyakit dan juga abnormalitas fungsi paru.

karakteristik Terkontrol

(semua)

Sebagian terkontrol

(beberapa gejala

muncul beberapa

minggu)

Tidak terkontrol

Gejala di siang hari Tidak ada (<2/minggu) >2 x/minggu > 3 gejala ‘sebagian

terkontrol’ pada

beberapa minggu

Keterbatasan aktivitas Tidak ada Ada

Gejala nocturnal / Tidak ada Ada

Page 19: asma -GINA

terbangun

Perlunya

reliever/pengobatan

segera

Tidak ada (<2x/minggu) >2x/minggu

Fungsi paru (PEF atau

FEV1)

Normal < 80%

eksaserbasi Tidak ada < 1 / tahun 1 dalam beberapa

minggu

PENGOBATAN ASMA

Tujuan dari pengobatan asma adalah untuk mengontrol keadaan klinis asma. Pengobatan

asma di klasifikasikan menjadi controller dan relievers. Controller adalah obat-obatan yang

digunakan sehari-hari dalam jangka panjang untuk menjaga asma tetap dalam kondisi klinis yang

terkontrol. Obat-obatan ini memiliki efek antiinflamasi. Yang termasuk golongan ini adalah

glukokortikosteroid sistemik ataupun inhalasi, leukotriene modifiers, long-acting inhaled 2-

agonists yang dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, sustained-release

theophylline, cromones, anti-IgE dll. Yang paling efektif adalah glukokortikosteroid inhalasi.

Sedangkan relievers adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi

bronkokonstriksi dan mengobati gejala-gejala asma. Yang termasuk obat-obatan golongan ini

adalah rapid acting Inhaled 2-agonists,antikolinergik inhalasi, short acting theophylline dan

short acting oral 2-agonists.

Cara Pemberian

Cara pemberian dapat berupa inhalasi, oral, parenteral ( IM, subkutan, atau IV ).

Keuntungan dari pengobatan yang diberikan secara inhalasi adalah obat dapat langsung masuk

ke saluran nafas, yang dapat meningkatkan konsentrasi lokal obat dalam saluran napas dan

memiliki risiko sistemik yang sangat minimal.

Page 20: asma -GINA

Contoh jenis obat yang diberikan secara inhalasi : pressurized metered-dose inhalers

(MDIs), breath-actuated MDIs, dry powder inhalers (DPIs), soft mist inhalers, and nebulized or

“wet” aerosols.

Pressured MDI membutuhkan training dan keterampilan untuk penggunaannya. Obat-

obat terdapat dalam bentuk suspense dengan chlorofluorocarbon (CFC) atau larutan dalam

hydrofluoroalkanes (HFAs)

A. PENGOBATAN CONTROLLER

a. Glukokortikosteroid Inhalasi

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat anti inflamasi yang paling efektif untuk

asma. Obat ini dapat mengurangi gejala-gejala asma, meningkatkan kualitas hidup,

meningkatkan fungsi paru-paru, mengurangi airway hiperresponsiveness, mengontrol inflamasi

jalan nafas, mengurangi frekuensi kekambuhan dan keparahan eksaserbasi serta menurunkan

mortilitas. Namun obat-obatan jenis ini tidak dapat menyembuhkan asma.

Page 21: asma -GINA

Efek samping dari obat-obatan jenis ini adalah:

Efek samping lokal : kandidiasis orofaring, dysphonia, batuk yang disebabkan oleh iritasi

saluran nafas bawah.

Efek samping sistemik (jika digunakan dalam jangka waktu lama dan dosis yang tinggi) :

mudah memar, supresi adrenal, penurunan BMD, katarak, dan glaucoma. Risiko

terjadinya efek samping sistemik ini tergantung dari dosis dan potensi obat, cara

pemberian, bioavailabilitas sistemik, first-pass metabolism di hati, waktu paruh obat yang

diabsorpsi secara sistemik. Ciclesonide, budesonide, dan fluticasone propionate memiliki

efek samping sistemik yang minimal.

b. Leukotriene Modifier

Obat-obatan golongan ini adalah cysteinylleukotriene 1 (CysLT1) receptor antagonists

(montelukast, pranlukast, and zafirlukast) dan 5-lipoxygenase inhibitor (zileuton). Leukotriene

modifier memiliki efek bronkodilator yang minimal, dapat mengurangi gejala batuk,

meningkatkan fungsi paru, mengurangi inflamasi jalan nafas dan eksaserbasi asma. Dapat

digunakan sebagai terapi alternatif untuk pasien mild persistent asthma dan pasien yang sensitif

terhadap aspirin. Jika digunakan tanpa kombinasi, efek obat ini lebih rendah dibandingkan

dengan glukokortikosteroid inhalasi. Leukotriene modifier yang dikombinasikan dengan

glukokortikosteroid inhalasi dapat mengurangi dosis glukokortikosteroid yang digunakan dan

dapat meningkatkan pengontrolan asma pada pasien yang tidak dapat dikontrol dengan

glukokortikosteroid.

Efek samping yang ditimbulkan obat ini minimal. Zileuton dapat menyebabkan liver

toxicity, oleh karena itu, fungsi hepar harus dimonitor selama terapi. Leukotriene modifier

berhubungan dengan Churg-Strauss Syndrome.

c. Long acting inhaled ß2 agonist

Long acting inhaled ß2 agonist seperti formoterol dan salmeterol, sebaiknya tidak

digunakan sebagai monoterapi karena obat-obatan ini tidak terlalu mempengaruhi inflamasi jalan

nafas, sangat efektif jika dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi dan merupakan

Page 22: asma -GINA

terapi pilihan jika pengobatan dengan glukokortikosteroid dosis medium gagal dalam mengontrol

asma. Penambahan long acting inhaled ß2 agonist dalam regimen harian glukokortikosteroid

inhalasi dapat meningkatkan symptom score, menurunkan nocturnal asthma, meningkatkan

fungsi paru, mengurangi penggunaan rapid-acting inhaled ß2 agonist, mengurangi frekuensi

eksaserbasi serta memiliki efek klinis yang lebih cepat dibandingkan dengan glukokortikosteroid

yang diberikan tanpa kombinasi. Obat yang dikombinasikan adalah fluticasone propionate +

salmeterol, budesonide + formoterol. Long acting inhaled ß2 agonist juga dapat mencegah

timbulnya exercise-induced bronchospasm.

Efek samping sistemik seperti stimulasi system kardivaskular, tremor dan hipokalemi

yang ditimbulkan lebih sedikit dibandingkan dengan terapi oral.

d. Theophylline

Merupakan bronkodilator dan jika diberikan dalam dosis rendah memiliki efek

antiiflamasi. Sediaan yang ada adalah sustained-release. Obat ini efektif jika dikombinasikan

dengan glukokortikosteroid inhalasi, namun kurang efektif dibandingkan dengan long acting

inhaled ß2 agonist.

Efek samping timbul apabila digunakan dalam dosis tinggi (> 10 mg/kgBB/hari). Efek

samping antara lain : GI symptoms, BAB jarang, aritmia, kejang, bahkan kematian. Mual muntah

merupakan efek samping yang paling sering. Kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi

metabolism theophylline adalah febris, kehamilan, pengobatan anti TB, penyakit hepar,

dekompensatio kordis, obat-obatan : cimetidine, quinolone, makrolida, dapat meningkatkan

toksisitas.

e. Cromones : sodium cromoglycate dan nedocromil sodium

Obat ini memiliki efek anti inflamasi yang lemah dan kurang efektif dibandingkan

dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Efektif pada pasien dengan mild persisten

asthma dan exercise-induced bronchospasm. Efek samping antara lain batuk dan sakit

tenggorokan. Nedocromil sodium memiliki rasa yang tidak enak.

f. Long acting oral ß2 agonist

Page 23: asma -GINA

Penggunaan long acting oral ß2 agonist adalah apabila dibutuhkan bronkodilator

tambahan. Jenis obatnya antara lain slow released salbutamol, terbutaline, bambuterol (prodrug

terbutaline). Efek samping yang ditimbulkan lebih banyak dibandingkan sediaan inhalasi antara

lain takikardi, cemas, dan tremor. Kombinasi obat ini dengan theophylline dapat menimbulkan

efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak boleh diberikan secara monoterapi, harus

dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi.

g. Anti IgE

Obat ini terbatas digunakan pada pasien dengan peningkatan kadar IgE serum. Indikasi

nya adalah pada pasien asma alergi yang parah yang tidak dapat dikontrol dengan

glukokortikosteroid inhalasi. Anti IgE aman digunakan untuk tambahan dalam terapi.

h. Glukokortikosteroid Sistemik

Penggunaan glukokortikosteroid oral > 2 minggu dibutuhkan pada kasus asma yang berat

dan tidak terkontrol, namun memiliki efek samping yang besar. Sediaan oral lebih dipilih

daripada parenteral untuk terapi jangka panjang. Efek samping yang ditimbulkan antara lain

osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi hypothalamicpytuitary-adrenal axis, obesitas, katarak,

glaucoma, penipisan kulit, mudah memar, serta kelemahan otot. Harus hati-hati menggunakan

glukokortikosteroid sistemik pada pasien-pasien dengan TB, infeksi parasit, infeksi virus herpes,

osteoporosis, glaucoma, diabetes, depresi yang parah atau ulkus peptikum.

i. Sedian Anti-alergi Oral

Digunakan untuk pengobatan mild to moderate allergic asthma. Obat-obatnya adalah

tranilast, repirinast, tazanolast, pemirolast, ozagrel, celatrodast, amlexanox, and ibudilast. Efek

anti asma obat ini terbatas, dapat digunakan pada terapi asma jangka panjang. Efek sampingnya

adalah sedasi.

j. Obat Controller lainnya

Obat-obat ini dapat menurunkan dosis glukokortikosteroid oral yang diperlukan pada

pasien severe asthma. Jika digunakan, harus dalam supervisi spesialis, karena efek samping yang

besar. Contoh obatnya adalah metrotrexate, cyclosporin, troleandromycin (makrolida).

Page 24: asma -GINA

Efek samping makrolida dapat menyababkan mual, muntah, nyeri abdomen serta liver

toxicity. MTX menyebabkan GI symptoms, hepatic dan diffuse pulmonary parenchymal disease

serta efek pada hematologi dan teratogenik.

k. Allergen specific immunotherapy

Kegunaannya dalam terapi asma masih terbatas. Terapi ini dapat menurunkan symptom

score asma dan obat-obatan yang dibutuhkan serta memperbaiki airway hiperresponsiveness.

Immunoterapi spesifik hanya dapat diberikan pada pasien yang sudah benar-benar menjauhi

faktor-faktor pencetus asma yang ada di lingkungan dan jika glukokortikosteroid inhalasi tidak

dapat mengontrol asma. Efek samping : reaksi yang ditimbulkan pada tempat injeksi, nyeri, serta

respon alergi tipe lambat.

Page 25: asma -GINA
Page 26: asma -GINA

B. PENGOBATAN RELIEVER

Pengobatan reliever dapat secara cepat menyembuhkan bronkokonstriksi ada gejala-

gejala akut yang menyertainya.

a. Rapid acting inhaled ß2 agonist

Rapid acting inhaled ß2 agonist merupakan terapi pilihan untuk menyembuhkan

bronkospasme selama eksaserbasi akut asma dan sebagai pretreatment dari exercise-induced

bronchoconstriction. Yang termasuk obat-obatan golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,

fenoterol, reproterol, dan pirbuterol. Formeterol, long acting ß2 agonist, dipilih untuk

menghilangkan gejala karena memilki onset kerja yang cepat, namun hanya digunakan pada

pasien yang sudah rutin menggunakan terapi controller dengan glukokortikosteroid inhalasi.

Rapid acting inhaled ß2 agonist hanya digunakan jika diperlukan saja dengan dosis yang paling

rendah dan frekuensi ynag sesuai. Kegagalan dalam menyembuhkan gejala dalam waktu yang

singkat dalam menggunakan ß2 agonist selama eksaserbasi mengindikasikan diperlukanannya

terapi jangka pendek dengan glukokortikosteroid oral.

Efek samping dari obat ini tidak sebanyak efek samping yang ditimbulkan jika

menggunakan sediaan oral (tremor, takikardi).

Page 27: asma -GINA

b. Glukokortikosteroid Sistemik

Glukokortikosteroid sistemik umumnya tidak dianggap sebagai terapi reliever, namun

sangat bermanfaat untuk terapi eksaserbasi akut asma yang berat karena obat ini dapat mencegah

progresi dari eksaserbasi asma, dapat mengurangi risiko di pasien rujuk ke UGD dan di rawat,

mencegah relapse setelah perawatan gawat darurat, dan dapat menurunkan morbiditas penyakit.

Efek utama dari glukokortikosteroid sistemik pada serangan akut asma dapat terlihat setelah 4

sampai 6 jam. Dosis glukokortikosteroid oral untuk eksaserbasi adalah 40-50 mg, prednisone

diberikan tiap hari sampai 5-10 hari tergantung dari berat nya eksaserbasi. Jika gejala sudah

berkurang dan fungsi paru sudah membaik, maka dosis di tapering off.

Efek samping yang ditimbulkan dari terapi glukokortikosteroid sistemik jangka pendek

dalam dosis yang tinggi adalah gangguan metabolism glukosa, meningkatnya nafsu makan,

retensi cairan, penambahan berat badan, moon face, perubahan mood, hipertensi, ulkus peptikus,

dan aseptic necrosis pada femur.

c. Anti kolinergik

Efek dari antikolinergik adalah bronkodilator. Preparat yang digunakan untuk asma

adalah iprapropium bromide dan oxitropium bromide. iprapropium bromide inhalasi kurang

efektif sebagai terapi reliever dibandingkan dengan rapid acting inhaled ß2 agonist.

Antikolinergik dapat meningkatkan fungsi paru dan menurunkan risiko untuk dirawat di RS.

Obat golongan ini diberikan sebagai terapi alternative pada pasien yang mengalami efek samping

jika menggunakan rapid acting inhaled ß2 agonist.

Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan secara inhalasi antara lain mulut kering,

dan bitter taste.

d. Theophylline

Short-acting theophylline digunakan untuk menyembuhkan gejala-gejala asma. Kegunaan

theophylline dalam eksaserbasi asma masih menjadi kontroversi. Throphylline tidak memiliki

efek bronkodilator tambahan dibandingkan rapid acting inhaled ß2 agonist.

Efek samping theophylline dapat dihindari dengan menggunakan dosis yang sesuai dan

monitoring terapi. Short-acting theophylline tidak boleh diberikan pada pasien yang sudah dalam

terapi sustained-release theophylline.

Page 28: asma -GINA

e. Short-acting oral ß2 agonist

Short-acting oral ß2 agonist tepat diberikan pada beberapa pasien yang tidak dapat

menggunakan sediaan inhalasi. Namun, efek samping yang ditimbulkan sangat berat.

C. PENGOBATAN ALTERNATIF

Keuntungan pengobatan alternatif pada pasien asma masih diragukan. Yang termasuk

pengobatan ini antara lain akupuntur, homeopathy, terapi herbal, terapi ayurvedic, ionizer,

osteopathy dan chiropractic manipulation.

Page 29: asma -GINA

PENATALAKSANAN

Studi klinis telah menunjukkan bahwa asma dapat terkontrol secara efektif dengan

mengurangi proses inflamasi pada asma dan juga mengobati bronkokonstriksi serta gejala-gejala

lainnya. Intervensi awal untuk mencegah paparan terhadap faktor pencetus dapat membantu

mengontrol asma dan mengurangi penggunaan obat-obatan asma.

Tujuan dari penatalaksanaan asma adalah untuk:

- mencapai dan mempertahankan kontrol dari gejala asma

- mempertahankan kemampuan aktivitas normal, termasuk dalam latihan jasmani

- mempertahankan fungsi paru-paru sedekat mungkin dengan fungsi normalnya

- mencegah eksaserbasi asma

- menghindari efek samping yang diperoleh dari pengobatan asma

- mencegah kematian

Penatalaksanaan asma tergantung pada lima komponen berikut:

a. Kerjasama pasien-dokter

b. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko

c. Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma

d. Penanganan eksaserbasi asma

e. Pertimbangan khusus

A. Kerjasama pasien-dokter

Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk menjadikan pasien asma memperoleh

pengetahuan, kepercayaan, dan kecakapan dalam penatalaksanaan asma.

Page 30: asma -GINA

Penatalaksanaan ini memerlukan hubungan yang baik antara pasien asma dan

pelayan kesehatan atau keluarga pasien sekiranya pasien merupakan anak kecil.

Komponen ini bertujuan membentuk pasien yang kemampuan mengawal kondisi asma

mereka dengan dibantu oleh tenaga pelayanan medis yang profesional. Cara ini dapat

dicapai melalui persefahaman pasien tentang sasaran pengobatan, membuat jadwal

pengobatan dan monitoring secara mandiri dan follow-up yang rutin dengan tenaga

pelayanan medis. Penyuluhan ke pasien ini merupakan pendekatan inti antara kerjasama

dokter dan pasien dan relevan pada pasien asma untuk semua peringkat umur. Tindakan

mandiri pasien asma dapat membantu pasien mengubah pola pengobatan sekiranya

terdapat perubahan dalam tingkat keparahan asma pasien. Ini berpandukan pada gejala

dan/atau volume espirasi maksimal berserta panduan bertulis dari tenaga medis yang

profesional.

B. Mengidentifikasi dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko

Pencegahan Asma

Pencegahan timbulnya asma dapat dengan cara mencegah sensitisasi oleh alergen

(faktor risiko) atau mencegah terjadinya perkembangan penyakit asma pada orang yang

telah tersensitisasi. Telah diketahui bahwa sensitisasi alergi dapat timbul sejak masa

prenatal, tetapi belum ada data mengenai dosis dan waktu paparan dari alergen yang

akan menimbulkan sensitisasi prenatal ini, dan belum ada cara yang tepat untuk

mencegah hal ini.

Pencegahan Gejala dan Eksaserbasi Asma

Eksaserbasi asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang disebut sebagai

pencetus (trigger). Pencetus dapat berupa alergen, infeksi virus, polutan, dan obat.

Mengurangi paparan pasien terhadap faktor-faktor tersebut akan meningkatkan kontrol

terhadap asma dan mengurangi kebutuhan akan penggunaan obat asma. Pemberian obat

yang tepat untuk mengontrol asma adalah berperan penting, karena pasien akan menjadi

kurang sensitif terhadap faktor pencetus apabila gejala asmanya berada dalam kontrol

yang baik.

Page 31: asma -GINA

C. Penilaian, pengobatan, dan monitor gejala asma

Penilaian, pengobatan, dan pemantauan gejala asma digunakan untuk penatalaksanaan

jangka panjang pada penderita asma.

Penilaian Kontrol Asma

Penilaian untuk kontrol pasien asma dapat dilihat pada tabel berikut:

Page 32: asma -GINA

Tabel 4.Tingkat Kontrol Dari Asma

Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol

Gejala harian - ( 2x/minggu) 2x/minggu Tiga atau lebih

karakteristik dari

tingkat terkontrol

sebagian dapat

(+)/minggu

Keterbatasan dalam

aktivitas fisik

- (+)

Gejala malam hari - (+)

Penggunaan reliever - ( 2x/minggu) 2x/minggu

Fungsi paru (APE

atau VEP1)

Normal < 80% prediksi/nilai

terbaik

Eksaserbasi - 1x/tahun 1x

Pengobatan Untuk Mengontrol Asma

Tingkat kontrol asma dari seorang pasien dan pengobatan yang didapat

sebelumnya menentukan pemilihan obat untuk mengontrol asma. Jika asma tidak

terkontrol dengan regimen pengobatan sebelumnya, maka pengobatan ditingkatkan

sampai asma terkontrol. Jika kontrol asma dapat dipertahankan selama paling sedikit 3

bulan, maka pengobatan dapat diturunkan untuk mencapai dosis serendah mungkin dalam

mengontrol asma.

Page 33: asma -GINA

Monitor dan Mempertahankan Kontrol Asma

Ketika kontrol asma telah tercapai, monitoring lebih lanjut diperlukan untuk

mempertahankan kontrol dan meminimalisir biaya serta memaksimalkan keamanan dari

pengobatan. Pengobatan harus disesuaikan secara berkala, sesuai dengan tingkat kontrol

asma pasien.

Page 34: asma -GINA
Page 35: asma -GINA

D. Penanganan eksaserbasi asma

Bagan 2. Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah Sakit

Dinilai setelah satu jam

Pemeriksaan fisik, APE, saturasi O2, dan pemeriksaan lain yang diperlukan

Pengobatan awal

Oksigen untuk mencapai saturasi O2 ≥ 90 %Inhalasi agonis β2 kerja, kontinu selama satu jamGlukokortikosteroid sistemik jika tidak ada respon, atau pasien sedang dalam penggunaan glukokortikosteroid sistemik, atau serangan asma beratPenggunaan sedatif merupakan kontraindikasi pada keadaan eksaserbasi

Kriteria episode sedang:

- APE 60-80% prediksi/nilai terbaik- Pemeriksaan fisik: gejala serangan asma

sedang, penggunaan otot nafas bantu- Pengobatan:

a. oksigen

b. beta-2 agonis hirup dan antikolinergik

hirup setiap 60 menit

Kriteria episode berat:

- Riwayat faktor risiko pencetus asma- APE <60% prediksi/nilai terbaik- Pemeriksaan fisik: gejala serangan

asma berat, retraksi otot dinding dada- Tidak ada perbaikan setelah

pengobatan awal

Penilaian awal

Anamnesis dan pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, denyut jantung, frekuensi nafas), APE atau VEP,

PulangAPE>60%

prediksi/terbaik.Pengobatan oral atau inhalasi

Dirawat di ICUBila tidak perbaikan

dalam 6-12 jam

Perbaikan Tidak perbaikan

Dinilai setelah 1-2 jam

Page 36: asma -GINA

Respon baik setelah 1-2 jam:

- respon (+) dalam 60 menit setelah pengobatan terakhir

- pemeriksaan fisik: normal, tidak ada distres

- APE >70%- Saturasi O2 >90%

Respon buruk dalam 1-2 jam:

- Faktor risiko- Pemeriksaan fisik:

gejala berat, mengantuk, gelisah

- APE <30%- PCO2 > 45 mmHg- P O2 <60 mmHg

Respon inkomplit dalam 1-2 jam:

- faktor risiko- pemeriksaan fisik:

gejala ringan – sedang- APE <60%- Saturasi O2 tidak

membaik

Dirawat di RS:

- oksigen- beta-2 agonis hirup

antikolinergik- glukokortikosteroid

sistemik- Mg i.v- Monitor APE, saturasi

O2, denyut nadi

Dirawat di ICU:

- oksigen- beta-2 agonis +

antikolinergik- glukokortikosteroid

i.v- pertimbangkan beta-

2 agonis i.v- pertimbangkan

teofilin i.v- intubasi dan

ventilasi mekanik

Perbaikan: Kriteria pulang:

- APE > 60% prediksi/nilai terbaik

- Pengobatan oral/inhalasi

Pengobatan di rumah:

Ada perbaikan

Respon buruk:

- masuk ICU

Respon inkomplit dalam 6-12 jam:

Penilaian ulang

Page 37: asma -GINA

E. Pertimbangan khusus

Pertimbangan khusus dibutuhkan untuk penanganan asma pada: kehamilan; pembedahan;

rinitis, sinusitis, dan polip nasal; asma karena pekerjaan; infeksi saluran respiratorik; refluks

esofageal; asma terinduksi aspirin; dan anafilaksis.

Page 38: asma -GINA

Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat ditinjau dari berbagai

pendekatan, seperti:

1. Mencegah ikatan alergen-IgE

Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan hiposensitisasi.

2. Mencegah pelepasan mediator

Antara lain dengan pemberian natrium kromolin, agonis beta 2, maupun teofilin.

3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator

- Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah agonis beta 2,

dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Epinefrin subkutan diberikan pada

serangan asma berat, dianjurkan hanya untuk anak atau dewasa muda.

- Aminofilin: digunakan pada serangan asma akut

- Kortikosteroid: bukan golongan bronkodilator, tetapi secara tidak langsung dapat

melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi

pemeliharaan.

- Antikolinergik

4. Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas

Dapat diberikan natrium kromolin atau dengan kortikosteroid baik per oral, parenteral

atau inhalasi.

Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi:

a. Pencegah (controller)

Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga agar gejala

asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk golongan ini antara lain

Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers, beta 2 agonis inhalasi kerja panjang

Page 39: asma -GINA

dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin lepas lambat, kromon, dan anti IgE.

Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan pencegah yang paling efektif saat ini.

b. Penghilang gejala (reliever)

Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi bronkokonstriksi

dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk golongan ini adalah beta 2

agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin kerja cepat, dan beta 2 agonis oral

kerja cepat.

Pengobatan Farmakologis Berdasarkan Anak Tangga

Derajat Klinis Sebelum

Pengobatan

Nilai VEP1 Obat Pencegah Harian

Asma

Intermiten

- gejala intermiten 1x

seminggu

- serangan singkat

(jam-

hari)

- serangan malam

2x/bulan

>80% (var:

<20%)

Tidak diperlukan

Bila timbul serangan dapat

digunakan agonis beta 2 hirup, bila

serangan berat timbul, ditambahkan

pemberian glukokortikoid sistemik.

Asma

Persisten

Ringan

- gejala >2x seminggu

(<1x per hari)

- serangan mengganggu

aktivitas & tidur

- serangan malam

>2x/bulan

80%

(var: 20-

30%)

Glukokortikoid hirup dosis rendah

Alternatif: teofilin lepas lambat,

kromolin, anti-leukotrien,

nedokromil

Asma

Persisten

-gejala (+) setiap hari > 60%-< Glukokortikoid dosis rendah-sedang

hirup dan agonis beta-2 hirup kerja

Page 40: asma -GINA

Sedang-serangan mengganggu

aktivitas & tidur

-serangan malam

>1x/minggu

80%

(var: >30%)

panjang.

Alternatif: anti-leukotrien atau

teofilin

Asma

Persisten

Berat

-gejala terus menerus,

sering mendapat

serangan

-aktivitas fisik terbatas

karena gejala asma

-serangan malam sering

60%

(var: > 30%)

Glukokortikoid hirup dosis tinggi

dan beta-2 agonis hirup kerja

panjang, dan jika perlu ditambahkan

glukokortikoid tablÿÿ atau sirup

kerja panjang (2 mÿÿkgÿÿ/hari,

maks. 60 mg/hari).

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma Management And Prevention.

MRC Vision Inc. 2008.

2. Kasper, D. L., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine: Asthma. 16th Edition.

McGraw-Hill Professional. 2004.

Page 41: asma -GINA

Clinical Science Session

ASMA

Disusun oleh :

Hanna Tetty E.S 1301 – 1209 – 0086

SUB-BAGIAN PULMONOLOGI

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FK UNPAD / RS dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

Page 42: asma -GINA

2010