Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Sisa Makanan Pd Px Rawat Inap RSUD Kota Semarang
Askep Pd Px Kritis
-
Upload
ayu-dessye-mey -
Category
Documents
-
view
252 -
download
5
description
Transcript of Askep Pd Px Kritis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Insiden cidera kepala meningkat dari tahun ketahun seiring dengan meningkatnya
mobilitas penduduk. Dibanding dengan trauma lainnya, cidera kepala menduduki tingkat
morbiditas dan mortalitas tertinggi, oleh karena itu diperlukan pemahaman dan pengelolaan
yang lebih baik terutama untuk petugas kesehatan yang berada digaris depan, dimana sarana
diagnostik dan sarana penunjang untuk tindakan operasi tidak memadai.
Pada fasilitas-fasilitas kesehatan, dimana tidak dapat dilakukan tindakan diagnostik
ataupun operatif yang memadai, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : Penanganan
A,B,C,D, dan E, pencegahan cidera otak sekunder dan merujuk penderita secepat mungkin
bila keadaan memungkinkan.
Kurang lebih ada 500.000 kasus cedera kepala yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahun. Kira –kira 10 % diantaranya meninggal dunia sebelum tiba di Rumah Sakit. Dari
seluruh pasien cedera kepala yang mendapat perawAtan di rumah sakit dapat dikategorikan
sebagai cedera kepala ringan sebanyak 80%, cedera kepala sedang 10 % dan cedera kepala
berat 10 %.
Setiap tahun lebih dari 100.000 pasien ini mengalami berbagai tingkat kecacatan
akibat cedera otak.
Cedera susunan saraf pusat merupakan penyebab lebih dari 40% kematian personil
militer. Oleh karena itu dengan pengurangan sedikit saja angka morbiditas (kesakitan) dan
angka mortalitas (kematian) pada kasus – kasus cedera kepala telah dapat memberikan
dampak yang sangat besar dan berarti dalam kesehatan masyarakat.
Maka dari itu sangat diperlukan bagaimana komunikasi teraufetik yang dilakukan
para perawat yang menangai pasien yang mengalami cidera kepala berat dirumah sakit.
Sehingga dengan itu dapat membantu kesembuhan pasien.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah yang berhubungan dengan komunikasi dengan
pasien kritis ( cidera kepala berat ) yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahuai betapa pentingnya komunikasi dengan pasien yang kritis ( cidera
kepala berat)
2. Mengetahui teknik-teknik dalam berkomunikasi dengan pasien yang kritis ( cidera
kepala berat )
3. Mengetahui prinsip-prinsip berkomunikasi dengan pasien yang kritis ( cidera
kepala berat)
C. Rumusan masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat masalah mengenai sebagai berikut :
1. Apa fungsi berkomunikasi dengan pasien yang kritis ( cidera kepala berat) ?
2. Bagaimana berkomunikasi dengan pasien yang kritis ( cidera kepala berat) ?
3. Bagaimana prinsip-prinsip berkomunikasi dengan pasien yang kritis ( cidera
kepala berat) ?
BAB II
KONSEP TEORI
A. TEORI KASUS
1. Definisi
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi -
decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada
percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala
dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai
kepala yakni benturan dan goncangan ( Gernardli and Meany, 1996).
cidera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera
kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9 – 12,
Cidera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia,
maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak
dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”,
sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi
verbal diberi nilai “T”.
Cidera kepala berat adalah : Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam dan Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
a. Minor
SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2. Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasa
3. Manifestasi Klinis
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebungungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
4. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak
tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel,
takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi .
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak
tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
Gegar kepala ringan
Memar otak
Laserasi
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
Hipotensi sistemik
Hipoksia
Hiperkapnea
Udema otak
Komplikasi pernapasan
infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak
tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel,
takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak
tidak begitu besar.
5. Pemeriksaan diagnostic
CT Scan : tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
Analisa Gas Darah : medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intracranial
6. Asuhan keperawatan pasien/keluarga
A. Pengkajian
Riwayat kesehatan : waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian
Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf : -
Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan
penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi
suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola
makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak
volunter, ROM, kekuatan otot.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas
berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan
meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma
kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
C. Intervensi Keperawatan
Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya
tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau
kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera
lakukan pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15
– 30 derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat,
kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan
tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala,
valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction,
perkusi).
tekanan pada vena leher.
pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena
leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota
badan, fleksi (harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan
therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai
program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat
meningkatkan edema serebral.
Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan
nutrisi.
Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak
menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh bersih, tidak ada iritasi pada
kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan
pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan
BAB.
Libatkan keluarga dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan
demonstrasikan
Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau dehidrasi yang
ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam
batas normal.
Intervensi :
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata
cekung dan out put urine.
Berikan cairan intra vena sesuai program.
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan
intrakranial.
Tujuan : terbebas dari injuri.
Intervensi :
Kaji status neurologis klien: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri,
menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Monitor tanda-tanda vital setiap jam atau sesuai dengan protokol.
Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
Berikan analgetik sesuai program.
Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan tidak mengeluh nyeri, dan tanda-
tanda vital dalam batas normal.
Intervensi :
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya,
serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
Mengatur posisi sesuai kebutuhan untuk mengurangi nyeri.
Kurangi rangsangan.
Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan : Klien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi :
Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala,
demam, muntah dan kenjang.
Kecemasan keluarga berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan : Klien dan keluarga akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan
tidak gelisah dan keluarga dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam
perawatan klien.
Intervensi :
Jelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur yang akan dilakukan, dan
tujuannya.
Anjurkan keluarga untuk selalu berada di samping klien.
Ajarkan klien dan keluarga untuk mengekspresikan perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit
tetap utuh.
Intervensi :
Lakukan latihan pergerakan (ROM).
Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi klien.
Kaji area kulit: adanya lecet.
B. TEORI KOMUNIKASI TERAUFETIK TERHADAP PASIEN CEDERA KEPALA
Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk menciptakan
hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan
menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh
karena itu komunikasi terapeutik memegang peranan penting memecahkan masalah yang
dihadapi pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi proposional yang
mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien pada komunikasi terapeutik terdapat dua
komponen penting yaitu proses komunikasinya dan efek komunikasinya.
Komunikasi teraupetik termasuk komunikasi untuk personal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antar petugas kesehatan dengan pasien.komunikasi terapeutik
merupakan bentuk keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan dalam
artian wawancara digunakan pada saat petugas kesehatan melakukan pengkajian member
penyuluhan kesehatan dan perencaan perawatan.
Adapun fungsi komunikasi dengan klien dalam proses perawatan adalah sebagai
berikut :
a. Mengendalikan perilaku
Pada klien yang cidera kepala berat karakteristik pasien ini adalah tidak memiliki
respond an klien tidak ada perilaku, jadi komunikasi dengan pasien ini tidak berfungsi
sebagai pengendali perilaku. Secara tepatnya pasien hanya memiliki satu perilaku yaitu
pasien hanya berbaring. Imobilitas dan tidak melakukan suatu gerakan yang berarti. Walupun
dengan berbaring ini pasien tetap memiliki perilaku negative yaitu tidak mandiri.
b. Perkembangan motivasi
Pasien cedera kepala berat terganggu pada fungsi utama mempertahankan kesadaran,
tetapi klien masih dapat merasakan rangsangan pada pendengarannya. Perawat dapat
menggunakan kesempatan ini untuk berkomunikasi yang berfungsi untuk pengembangan
motivasi pada klien. Motivasi adalah pendorong pada setiap klien, kekuatan dari diri klien
untuk menjadi lebih maju dari keadaan yang sedang ia alami.
Contoh : Perawat memberikan suatu dorongan atau motivasi kepada pasien melalui ucapan
yang lemah lembut,berhati-hati agar pasien tidak putus asa dalam menjalani masa kritisnya.
Fungsi ini akan terlihat pada akhir, karena kemajuan pasien tidak lepas dari motivasi
kita sebagai perawat, perawat yang selalu ada di dekatnya selama 24 jam.
Mengkomunikasikan motivasi tidak lain halnya dengan pasien yang sadar, karena klien masih
dapat mendengar apa yang dikatakan oleh perawat.
c. Pengungkapan emosional
Pada pasien cedera kepala berat, pengungkapan emosional klien tidak ada, sebaliknya
perawat dapat melakukannya terhadap klien. Perawat dapat berinteraksi dengan klien.
Perawat dapat mengungkapan kegembiraan, kepuasan terhadap peningkatan yang terjadi dan
semua hal positif yang dapat perawat katakan pada klien.
Contoh : Perawat menunjukkan wajah yang ceria dan memberikan asuhan
keperawatan dengan ikhlas, dan tidak boleh berwajah murung di depan pasien dan keluarga
karena itu akan mengganggu psikologis pasien maupun keluarga.
Pada setiap fase kita dituntut untuk tidak bersikap negatif terhadap klien, karena itu
akan berpengaruh secara tidak langsung/langsung terhadap klien. Sebaliknya perawat tidak
akan mendapatkan pengungkapan positif maupun negatif dari klien. Perawat juga tidak boleh
mengungkapkan kekecewaan atau kesan negatif terhadap klien.
Pasien ini berkarakteristik tidak sadar, perawat tidak dapat menyimpulkan situasi
yang sedang terjadi, apa yang dirasakan pada klien pada saat itu. Kita dapat menyimpulkan
apa yang dirasakan klien terhadap apa yang selama ini kita komunikasikan pada klien bila
klien telah sadar kembali dan mengingat memori tentang apa yang telah kita lakukan
terhadapnya.
d. Informasi
Fungsi ini sangat lekat dengan asuhan keperawatan pada proses keperawatan yang
akan kita lakukan. Setiap prosedur tindakan keperawatan harus dikomunikasikan untuk
menginformasikan pada klien karena itu merupakan hak klien. Klien memiliki hak penuh
untuk menerima dan menolak terhadap tindakan yang akan kita berikan.
Pada pasien kritis ini, kita dapat meminta persetujuan terhadap keluarga, dan
selanjutnya pada klien sendiri. Pasien berhak mengetahui apa saja yang akan perawat lakukan
pada klien. Perawat dapat memberitahu maksud tujuan dari tindakan tersebut, dan apa yang
akan terjadi jika kita tidak melakukan tindakan tersebut kepadanya.
Contoh : Perawat menyampaikan informasi pada pasien atau keluarga tentang penyakit yang
di derita dengan hati-hati dan jangan membuat pasien terkejut
Hampir dari semua interaksi komunikasi dalam proses keperawatan menjalankan satu
atau lebih dari ke empat fungsi di atas. Dengan kata lain, tujuan perawat berkomunikasi
dengan klien yaitu untuk menjalankan fungsi tersebut. Dengan pasien tidak sadar sekalipun,
komunikasi penting adanya. Walau, fungsi yang dijalankan hanya salah satu dari fungsi di
atas. Dibawah ini akan diuraikan fungsi-fungsi berkomunikasi dengan klien, terhadap klien
tidak sadar.
Untuk dipertegas, walau seorang pasien tidak sadar sekali pun, ia merupakan seorang
pasien yang memiliki hak-hak sebagai pasien yang harus tetap kita penuhi.
Perawat itu adalah manusia pilihan Tuhan, yang telah terpilih untuk membantu
sesama, memiliki rasa bahwa kita sesama saudara yang harus saling membantu. Perawat akan
membantu siapapun walaupun ia seorang yang tidak sadar sekalipun. Dengan tetap
memperhatikan hak-haknya sebagai klien.
1. Dimensi hubungan yang membantu
Komunikasi yang dilakukan perawat bertujuan untuk membentuk hubungan saling
percaya, empati, perhatian, autonomi dan mutualitas. Pada komunikasi dengan pasien tidak
sadar kita tetap melakukan komunikasi untuk meningkatkan dimensi ini sebagai hubungan
membantu dalam komunikasi terapeutik.
a. Rasa percaya
Rasa percaya dapat didefenisikan sebagai kepercayaan bahwa orang lain akan
memberi bantuan ketika membutuhkan, selalu ada jika sedang diperlukan. Hubungan yang
mempercaya ini tidak dapat berkembang kecuali jika klien percaya bahwa perawat ingin
merawat demi kebaikan klien sendiri.
Contoh : Sebelum melakukan tindakan keperawatan, sebaiknya perawat melakukan informed
consent pada pasien ataupun keluarga agar timbul rasa saling percaya.
Komunikasi perawat dengan klien yang tidak sadar rasa percaya dapat tumbuh pada
klien jika perawat dapat menunjukan semua tindakan ingin membantu klien serta dengan
komunikasi yang baik pula. Untuk meningkatkan rasa percaya klien, perawat harus bertindak
secara konsisten, dapat dipercaya dan kompeten. Kejujuran dalam memberikan informasi
kepada klien juga dapat membantu terjadinya rasa percaya.
b. Empati
Empati telah diterima secara luas sebagai komponen klinis dalam hubungan
membantu. Rasa empati yaitu merasakan, memahami kondisi klien pada saat itu. Rasa empati
ini sangat membantu hubungan terapeutik perawat dengan klien. Dari point ini perawat dapat
menjadi pemotivasi terhadap klien dengan adanya rasa empati, hubungan yang terjalin akan
menjadi lebih efektif.
Contoh : Perawat menunjukkan wajah yang prihatin akan penyakit yang diderita pasien dan
seolah-olah perawat adalah keluarga pasien
c. Perhatian
Perhatian adalah memiliki penghargaan positif terhadap orang lain, merupakan dasar
untuk hubungan yang membantu. Perawat menunjukkan perhatian dengan menerima klien
sebagaimana mereka adanya dan menghargai mereka sebagai individu. Perawat menghargai
pasien yang tidak sadar selayaknya pasien yang sadar, bahwa klien tetap mengetahui apa
yang perawat komunikasikan selayaknya ia sadar.
Contoh : Perawat memberikan perhatian yang focus terhadap penyakit yang diderita pasien
dan perawat menyadari betapa beratnya rasa sakit yang diderita pasien.
Klien akan merasakan bahwa perawat menunjukan perhatian dengan menerima klien
sebagaimana mereka adanya. Perhatian juga meningkatkan rasa percaya dan mengurangi
kecemasan. Penghilangan kecemasan dan stress akan meningkatkan daya tahan tubuh dan
membantu penyembuhan.
d. Autonomi
Autonomi adalah kemampuan mengontrol diri. Perawat dituntut untuk tidak
menyepelekan hal ini. Setiap manusia itu unik dan tiada yang sama. Perawat harus berusaha
mengontrol diri terhadap hal-hal yang sensitif terhadap klien. Pada pasien yang tidak sadar,
perawat harus berhati-hati untuk berbicara hal yang negatif di dekat klien, karena hal itu
sangat berpengaruh terhadap klien.
e. Mutualitas
Mutualitas meliputi perasaan untuk berbagi dengan sesama. Perawat dan klien bekerja
sebagai tim yang ikut serta dalam perawatan. Perasaan untuk merasakan bahwa kita saling
membutuhkan dapat menumbuhkan hubungan yang membantu dalam komunikasi terapeutik.
Akan terjalin rasa percaya pada klien terhadap perawat yang dapat membantu penyembuhan
klien
2. Cara berkomunikasi dengan pasien cedera kepala berat
Cara berkomunikasi dengan klien dalam proses keperawatan adalah berkomunikasi
terapeutik. Pada klien tidak sadar perawat juga menggunakan komunikasi terapeutik.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan klien. Dalam berkomunikasi kita dapat
menggunakan teknik-teknik terapeutik, walaupun pada pasien tidak sadar ini kita tidak
menggunakan keseluruhan teknik. Teknik terapeutik, perawat tetap dapat terapkan. Adapun
teknik yang dapat terapkan, meliputi:
a. Menjelaskan
Dalam berkomunikasi perawat dapat menjelaskan apa yang akan perawat lakukan
terhadap klien. Penjelasan itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan kepada klien.
Dengan menjelaskan pesan secara spesifik, kemungkinan untuk dipahami menjadi lebih besar
oleh klien.
b. Memfokuskan
Memfokuskan berarti memusatkan informasi pada elemen atau konsep kunci dari
pesan yang dikirimkan. Perawat memfokuskan informasi yang akan diberikan pada klien
untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam komunikasi.
c. Memberikan informasi
Fungsi berkomunikasi dengan klien salah satunya adalah memberikan informasi.
Dalam interaksi berkomunikasi dengan klien, perawat dapat memberi informasi kepada klien.
Informasi itu dapat berupa intervensi yang akan dilakukan maupun kemajuan dari status
kesehatannya, karena dengan keterbukaan yang dilakukan oleh perawat dapat menumbuhkan
kepercayaan klien dan pendorongnya untuk menjadi lebih baik.
d. Mempertahankan ketenangan
Mempertahankan ketenangan pada pasien tidak sadar, perawat dapat menujukkan
dengan kesabaran dalam merawat klien. Ketenagan yang perawat berikan dapat membantu
atau mendorong klien menjadi lebih baik. Ketenagan perawat dapat ditunjukan kepada klien
yang tidak sadar dengan komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal dapat berupa
sentuhan yang hangat.
Contoh : Dalam berkomunikasi dan melakukan asuhan keperawatan dengan pasien atau
keluarga, seorang perawat sebaiknya tidak panic agar terciptanya suasana yang tenang.
Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa kata-kata, merupakan salah satu cara yang
terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan pasan kepada orang lain. Sentuhan adalah bagian
yang penting dari hubungan antara perawat dan klien.
Pada dasarnya komunikasi yang akan dilakukan pada pasien tidak sadar adalah
komunikasi satu arah. Komunikasi yang hanya dilakukan oleh salah seorang sebagai
pengirim dan diterima oleh penerima dengan adanya saluran untuk komunikasi serta tanpa
feed back pada penerima yang dikarenakan karakteristik dari penerima sendiri, yaitu pada
point ini pasien tidak sadar.
Untuk komunikasi yang efektif dengan kasus seperti ini, keefektifan komunikasi lebih
diutamakan kepada perawat sendiri, karena perawat lah yang melakukan komunikasi satu
arah tersebut.
3. Prinsip-prinsip berkomunikasi dengan pasien yang tidak sadar
Pada saat berkomunikasi dengan klien yang tidak sadar, hal-hal berikut perlu
diperhatikan, yaitu:
a. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat klien, karena ada keyakinan
bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang mengalami penurunan
penerimaan, rangsangan pada klien yang tidak sadar. Klien yang tidak sadar
seringkali dapat mendengar suara dari lingkungan walaupun klien tidak mampu
meresponnya sama sekali.
b. Ambil asumsi bahwa klien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan
mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi ucapan
yang perawat sampaikan dekat klien.
c. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh klien. Sentuhan diyakini dapat menjadi salah
satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada klien dengan penurunan kesadaran.
d. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu klien
fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi
cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan
oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan
(deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau
hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan
berkurangnya kemampuan autoregulasi pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia
(peningkatan volume darah dan PTIK).
Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar
yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala adalah
hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala
adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan
terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.
B. Saran
Dalam melakukan komunikasi dengan pasien, seorang perawat sebaikny
menggunakan bahasa yang baik dan tidak mmbuat psikolog pasien ataupun keluarga
terganggu oleh ucapan atau komunikasi perawat. Sebagai seorang perawat professional
seharusnya menerapkan komunikasi teraufetik dengan pasien ataupun keluarga. Dengan
itu juga dapat membantu kesembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan
Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.
Doenges Marilynn,dkk.2000.rencana Asyhan Keperawatan,edisi 3.EGC : Jakarta
www.Komunikasi Teraufetik.com