askep KPD
-
Upload
yudha-wirawan -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
Transcript of askep KPD
1. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Definisi ketuban pecah dini (KPD)
Ketuban pecah dini adalah ketuban yang pecah spontan yang terjadi pada
sembarang usia kehamilan sebelum persalinan di mulai (William,2001)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu yaitu apabila
pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm
(mohtar,1998)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan di tunggu satu jam belum di mulainya tanda persalinan
(manuaba,2001)
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air dari vagina setelah
kehamilan berusia 22 minggu sebelum proses persalinan berlangsung dan dapat
terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan
aterm. (saifudin,2002).
B. Etiologi
Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum
diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan
faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang
lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi
adalah:
1) Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD.
2) Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena
kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage).
3) Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh
beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun
amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.
4) Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah.
5) Keadaan sosial ekonomi
Faktor lain
1) Faktor golongan darah.
Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan
kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban.
2) Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
3) Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
4) Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C)
Faktor risiko ketuban pecah dini persalinan preterm
1) kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%)
2) riwayat persalinan preterm sebelumnya
3) perdarahan pervaginam
4) pH vagina di atas 4.5
5) Kelainan atau kerusakan selaput ketuban.
6) flora vagina abnormal
7) fibronectin > 50 ng/ml
8) kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya pada
stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm
9) Inkompetensi serviks (leher rahim)
10) Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
11) Riwayat KPD sebelumya
12) Trauma
13) servix tipis / kurang dari 39 mm, Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm)
pada usia kehamilan 23 minggu
14) Infeksi pada kehamilan seperti bakterial vaginosis
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan partus preterm:
1. iatrogenik : hygiene kurang (terutama), tindakan traumatic
2. maternal : penyakit sistemik, patologi organ reproduksi atau pelvis, pre-
eklampsia, trauma, konsumsi alkohol atau obat2 terlarang, infeksi intraamnion
subklinik, korioamnionitis klinik, inkompetensia serviks, servisitis/vaginitis akut,
Ketuban Pecah pada usia kehamilan preterm.
3. fetal : malformasi janin, kehamilan multipel, hidrops fetalis, pertumbuhan janin
terhambat, gawat janin, kematian janin.
4. cairan amnion : oligohidramnion dengan selaput ketuban utuh, ketuban pecah
pada preterm, infeksi intraamnion, korioamnionitis klinik.
5. placenta : solutio placenta, placenta praevia (kehamilan 35 minggu atau lebih),
sinus maginalis, chorioangioma, vasa praevia
6. uterus : malformasi uterus, overdistensi akut, mioma besar, desiduositis, aktifitas
uterus idiopatik
Menurut Taylor menyelidiki bahwa ada hubungan dengan hal-hal berikut :
1) Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah.
Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis, sevisitis dan vaginitis terdapat
bersama-sama dengan hipermotilitas rahim ini.
2) Selaput ketuban terlalu tipis ( kelainan ketuban )
3) Infeksi ( amnionitis atau korioamnionitis )
4) Factor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah : multipara, malposisi,
disproporsi, cervix incompetent dan lain-lain.
5) Ketuban pecah dini artificial ( amniotomi ), dimana ketuban dipecahkan
terlalu dini.
C. Insidensi
Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil
yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan. Hal
yang menguntungan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak
terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar
95 %, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan
preterm terjadi sekitar 34 % semua kekahiran prematur.
KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang
bulan, dan mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada
bayi yang kurang bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu
sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya
prematuritas dan RDS.
D. Patofisiologi
Kantung ketuban adalah sebuah kantung berdinding tipis yang berisi cairan
dan janin selama masa kehamilan. Dinding kantung ini terdiri dari dua bagian.
Bagian pertama disebut amnion, terdapat di sebelah dalam. Sedangkan, bagian
kedua, yang terdapat di sebelah luar disebut chorion.
Cairan ketuban adalah cairan yang ada di dalam kantung amnion. Cairan
ketuban ini terdiri dari 98 persen air dan sisanya garam anorganik serta bahan
organik. Cairan ini dihasilkan selaput ketuban dan diduga dibentuk oleh sel-sel
amnion, ditambah air kencing janin, serta cairan otak pada anensefalus. Pada ibu
hamil, jumlah cairan ketuban ini beragam. Normalnya antara 1 liter sampai 1,5 liter.
Namun bisa juga kurang dari jumlah tersebut atau lebih hingga mencapai 3-5 liter.
Diperkirakan janin menelan lebih kurang 8-10 cc air ketuban atau 1 persen dari
seluruh volume dalam tiap jam.
Pada ibu hamil, air ketuban ini berguna untuk mempertahankan atau
memberikan perlindungan terhadap bayi dari benturan yang diakibatkan oleh
‘lingkungannya’ di luar rahim. Selain itu air ketuban bisa membuat janin bergerak
dengan bebas ke segala arah. Tak hanya itu, manfaat lain dari air ketuban ini adalah
untuk mendeteksi jenis kelamin, memerikasa kematangan paru-paru janin, golongan
darah serta rhesus, dan kelainan kongenital (bawaan), susunan genetiknya, dan
sebagainya. Caranya yaitu dengan mengambil cairan ketuban melalui alat yang
dimasukkan melalui dinding perut ibu.
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut :
1) Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat
lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
2) Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler
korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol
oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika
ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan
prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi
depolimerisasi kolagen pada selaput korion / amnion, menyebabkan selaput
ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
Patofisiologi Pada infeksi intrapartum :
1) Ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung
antara ruang intraamnion dengan dunia luar.
2) Infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan
penjalaran infeksi melalui dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang
intraamnion.
3) Mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar
melalui plasenta (sirkulasi fetomaternal).
4) Tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam
yang terlalu sering, dan sebagainya, predisposisi infeksi.
E. Pemeriksaan Klinis
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu awal
atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa
yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi
yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu
diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :
1) Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak
secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok.(1,3,9,15) Cairan berbau khas, dan perlu
juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his belum teratur atau
belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah.
2) Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan
lebih jelas.
3) Pemeriksaan dengan spekulum.
pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari
orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri
ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava,
atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri
dan terkumpul pada fornik anterior.
4) Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi.
Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada
kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan
pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan
mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal.
Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam
vagina hanya diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang
dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboraturium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH
nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine
atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak
berubah warna, tetap kuning.
Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah
dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.
Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek
dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran
daun pakis.
2) Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum
uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering
terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion. Walaupun pendekatan
diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD
sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.
F. Komplikasi
1) Tali pusat menumbung
2) Prematuritas, persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm.
3) Oligohidramnion, bahkan sering partus kering (dry labor) karena air ketuban
habis.
4) Infeksi maternal : infeksi intra partum (korioamnionitis) ascendens dari vagina
ke intrauterine, korioamnionitis (demam >380C, takikardi, leukositosis, nyeri
uterus, cairan vagina berbau busuk atau bernanah, DJJ meningkat), endometritis
5) penekanan tali pusat (prolapsus) : gawat janin kematian janin akibat hipoksia
(sering terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang), trauma pada waktu
lahir dan Premature.
6) komplikasi infeksi intrapartum
a. komplikasi ibu : endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia,
atonia), sepsis CEPAT (karena daerah uterus dan intramnion memiliki
vaskularisasi sangat banyak), dapat terjadi syok septik sampai kematian ibu.
b. komplikasi janin : asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian janin.
G. Penatalaksanaan
Ketuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalan dalam
mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan
mortalitas ibu maupun bayinya.
Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama
masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan,
kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau
menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus
KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa
tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk
memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi
yang akan memperjelek prognosis janin.
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur
kehamilan tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi
(USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering
pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh
karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan
waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih
biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada
janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada
kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya
selaput ketuban atau lamanya perode laten.
1) Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD
keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian
infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan
permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin
muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya.
Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan
dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan
dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah bila dalam 24 jam setelah kulit
ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi
persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu.
Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun
pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya
sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian
antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan
pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah
terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.
Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera
diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi
inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD
dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus
tindakan dapat dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat
terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan
komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi
yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi
semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan
mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5,
dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio
sesaria.
2) Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)
Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak
dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian
antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi
Penderita perlu dirawat di rumah sakit ditidurkan dalam posisi
trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah
terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-
obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses
persalinan.
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid
pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan
paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut
muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa
memandang umur kehamilan
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung
dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-
komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat
terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban,
dan juga mungkin terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan
bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan
bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin
tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak,
gawat janin, partus tak maju, dll.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif.
Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang
berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan
pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap
kemungkinan infeksi intrauterine.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari,
pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan
denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan
selanjutnya stiap 6 jam.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan
secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health
(NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD
pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri
atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau
dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.
1. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Identitas ibu
2. Riwayat penyakit
a. Riwayat kesehatan sekarang : ibu datang dengan pecahnya ketuban
sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa
komplikasi
b. Riwayat kesehatan terdahulu
Adanya trauma sebelumnya akibat efek pemeriksaan amnion.
Sintesis, pemeriksaan pelvis, dan hubungan seksual
Kehamilan ganda, polihidramnion
Infeksi vagina/serviks oleh kuman streptokokus.
Selaput amnion yang lemah/tipis.
Posisi fetus tidak normal.
Kelainan pada otot serviks atau genital seperti panjang serviks
yang pendek.
Multiparitas dan peningkatan usia ibu serta defisiensi nutrisi.
c. Riwayat kesehatan keluarga : ada tidaknya keluhan ibu yang lain yang
pernah hamil kembar/turunan kembar.
3. Pemeriksaan fisik
a. Kepala dan leher.
Mata perlu diperiksa dibagian sclera, konjungtiva.
Hidung : ada/tidaknya pembengkakan konka nasalis.
Ada/tidaknya hipersekresi mukosa
Mulut : gigi karies/tidak, mukosa mulut kering, dan warna
mukosa gigi.
Leher berupa pemeriksaan JVP, KGB, dan tiroid.
b. Dada
Thorak
Inspeksi kesimetrisan dada, jenis pernafasan thorak abdominal,
dan tidak ada retraksi dinding dada. Frekuensi pernafasan normal
16-24 x/menit. Iktus kordis terlihat/tidak
Palpasi : payudara tidak ada pembengkakan.
Auskultasi : terdengar BJ I dan II di IC kiri/kanan. Bunyi nafas
norma vesikuler
Abdomen
Inspeksi : ada/tidaknya bekas operasi, striae, linea.
Palpasi : TFU, kontraksi ada/tidak, posisi, kandung kemih
penuh/tidak.
Auskultasi : DJJ ada/tidak
c. Genitalia
Inspeksi: keberhasilan, ada/tidaknya tanda-tanda REEDA (Red,
Edema, Discharge, Approximately), pengeluaran dari ketuban
(jumlah, warna, bau), dan lender merah muda kecoklatan.
Palpasi: pembukaan serviks (0-4).
Ekstremitas: edema, varises ada/tidak.
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hitung darah lengkap untuk menentukan adanya anemia, infeksi.
b. Golongan darah dan factor Rh.
c. Rasio lesitin terhadap spingomielin (rasio US): menentukan maturitas janin.
d. Tes verning dan kertas nitrazine: memastikan pecah ketuban.
e. Ultasonografi: menentukan usia gestasi, ukuran janin, gerakan jantung janin,
dan lokasi plasenta.
f. Pelvimetri: identifikasi posisi janin
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi maternal berhubungan dengan prosedur invasif,
pemeriksaan vagina berulang, dan rupture membrane amniotic.
2. Kerusakan pertukaran gas pada janin berhubungan dengan adanya penyakit.
3. Resiko tinggi cedera pada janin berhubungan dengan melahirkan bayu
premature/tidak matur.
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman pada diri sendiri/janin.
5. Resiko tinggi penyebaran infeksi/sepsis berhubungan dengan adanya infeksi,
prosedur invasif, dan peningkatan pemahaman lingkungan.
6. Resiko tinggi keracunan karena toksik berhubungan dengan dosis/efek samping
tokolitik.
7. Resiko tinggi cedera pada ibu berhubungan dengan intervensi pembedahan,
penggunaan obat tokolitik.
8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan hipersensitifitas otot.
9. Resiko tinggi kekurangan vaolume cairan berhubungan dengan penurunan
masukan cairan.
Intervensi Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi maternal berhubungan dengan prosedur
invasif, pemeriksaan vagina berulang, dan rupture membrane
amniotic.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan infeksi maternal
tidak terjadi
Kriteria hasil : ibu menyatakan/menunjukan bebas dari tanda-tanda infeksi.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri:
Lakukan pemeriksaan vaginal awal,
ulangi bila pola kontraksi atau perilaku
ibu menandakan kemajuan.
Pengulangan pemeriksaan vagina
berperan dalam insiden infeksi saluran
asendens.
Gunakan teknik aseptic selama
pemeriksaan vagina.
Mencegah pertumbuhan bakteri dan
kontaminasi pada vagina.
Anjurkan perawatan perineum setelah
eliminasi setiap 4 jam dan sesuai
indikasi.
Menurunkan resiko infeksi saluran
asendens.
Pantau dan gambarkan karakter cairan
amniotic.
Pada infeksi, cairan amnion menjadi
lebih kental dan kuning pekat serta
dapat terdeteksi adanya bau yang kuat.
Pantau suhu, nadi, pernapasan, dan sel
darah putih sesuai indikasi.
Dalam 4 jam setelah membrane
rupture, insiden korioamnionitis
meningkat secara progresif sesuai
dengan waktu yang ditunjukkan
melalui TTV.
Tekankan pentingnya mencuci tangan
yang baik dan benar.
Mengurangi perkembangan
mikroorganisme
Kolaborasi:
Berikan cairan oral dan parenteral
sesuai indikasi. Berikan enema
pembersih bula sesuai indikasi.
Meski tidak boleh sering dilakukan,
namun evaluasi usus dapat
meningkatkan kemajuan persalinan dan
menurunkan resiko infeksi.
Berikan antibiotic profilaktik bila
dindikasikan.
Antibiotic dapat melindungi
perkembangan korioamnionitis pada
ibu beresiko.
Dapatkan kultur darah bila gejala
sepsis ada.
Mendeteksi dan mengidentifikasi
organisme penyebab terjadinya infeksi.
2. Gangguan kerusakan pertukaran gas pada janin berhubungan
dengan proses penyakit.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan pertukaran gas
pada janin kembali normal.
Kriteria hasil:
a. klien menunjukkan DJJ dan variabilitas denyut per denyut dalam batas
normal.
b. Bebas dari efek-efek merugikan dan hipoksi selama persalinan.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri:
Pantau DJJ setiap 15-30 menit. Takikardi atau bradikardi janin adalah
indikasi dari kemungkinan penurunan
yang mungkin perlu intervensi..
Periksa DJJ dengan segera bila terjadi
pecah ketuban dan periksa 15 menit
kemudian, observasi perineum ibu
untuk mendeteksi prolaps tali pusat.
Mendeteksi distress janin karena
kolaps alveoli.
Perhatikan dan catat warna serta
jumlah cairan amnion dan waktu
pecahnya ketuban.
Pada presentasi vertex, hipoksia yang
lama mengakibatkan caira amnion
berwarna seperti mekonium karena
rangsangan fagal yang merelaksasikan
spingter anus janin.
Catat perubahan DJJ selama kontraksi.
Pantau aktivitas uterus secara manual
atau elektronik. Bicara pada ibu atau
pasangan dan berikan informasi
tentang situasi tersebut.
Mendeteksi beratnya hipoksia dan
kemungkinan penyebab janin rentan
terhadap potensi cedera selama
persalinan karena menurunnya kadar
oksigen
Kolaborasi:
Siapkan untuk melahirkan dengan cara Dengan penurunan viabilitas mungkin
yang paling baik atau dengan
intervensi bedah bila tidak terjadi
perbaikan.
memerlukan kelahiran seksio caesarea
untuk mencegah cedera janin dan
kematian karena hipoksia.
3. Ansietas berhubungan dengan situasi kritis, ancaman pada diri
sendiri/janin.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kecemasan klien
berkurang
Kriteria hasil : Pasien diharapkan:
a. Menggunakan teknik pernapasan dan relaksasi yang efektif.
b. Berpartisipasi aktif dalam proses persalinan
Pada panggul yang normal, pada waktu pembukaan lengkap, janin harus segera
dilahirkan. Pada letak sungsang, janin harus dilahirkan dengan ekstraksi kaki,
pada letak lintang dilakukan versi ekstraksi. Sedangkan pada presentasi belakang
kepala dilakukan dengan tekanan yang cukup pada fundus uteri ketika HIS, agar
kepala janin masuk dalam rongga panggul dan segera dapat dilahirkan, bila perlu
tindakan ini dapat dibantu dengan melakukan ekstraksi cunam.
Pada keadaan dimana janin sudah meninggal, tidak ada alasan untuk
menyelesaikan persalinan dengan segera. Persalinan diawasi, sehingga
berlangsung spontas dan tidak hanya dilakukan jika diperlukan demi kepentingan
ibu. Ibu ditidurkan dengan posisi trendelenburg dengan harapan bahwa ketuban
tidak pecah terlalu dini dan tali pusat masuk kembali ke dalam kavum uterus.
Selama menunggu denyut jantung janin diawasi dengan seksama, sedangkan
kemajuan persalinan hendaknya selalu dinilai dengan pemeriksaan dalam untuk
menentukan tindakan yang perlu dilakukan selanjutnya.
Evaluasi:
Merupakan hasil perkembangan ibu dengan berpedoman pada hasil dan tujuan
yang hendak dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/23903855/Asuhan-Keperawatan-Ibu-Hamil-Dengan-
Masalah-Ketuban-Pecah-Dini
http://kaeperawatanmaternitas.blogspot.com/2008/09/ketuban-pecah-dini.html
http://medlinux.blogspot.com/2009/02/ketuban-pecah-dini-kpd.html
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika
ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU
DENGAN KETUBAN PECAH DINI
OLEH:
KELOMPOK 9
AYU KOMANG DIAN CAHYANTI 083210121
DEWA AYU ALIT PERTIWI 083210124
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA PPNI BALI
2010/2011