Asas Pendidikan Indonesia

16
ASAS-ASAS POKOK PENDIDIKAN Paper Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan Semester 093 Tahun 2010 Oleh: Dewi Mulia Istuningsih (8105101852) Faisal Pinem (8105102877) B Reguler 2010 Pendidikan Ekonomi Ekonomi dan Administrasi Universitas Negeri Jakarta 2010

description

dari tadi nungguin

Transcript of Asas Pendidikan Indonesia

Page 1: Asas Pendidikan Indonesia

ASAS-ASAS POKOK PENDIDIKAN

Paper

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan

Semester 093 Tahun 2010

Oleh:

Dewi Mulia Istuningsih (8105101852)

Faisal Pinem (8105102877)

B Reguler 2010

Pendidikan Ekonomi

Ekonomi dan Administrasi

Universitas Negeri Jakarta

2010

Page 2: Asas Pendidikan Indonesia

ASAS-ASAS POKOK PENDIDIKAN

Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan

berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusus di

Indonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan

melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas tersebut bersumber baik dari kecenderungan

umum pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman

sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia. Diantara asas tersebut adalah Asas Tut

Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan Asas Kemandirian dalam Belajar. Ketiga

asas itu dianggap sangat relevan dengan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa

dating. Oleh karena itu, setiap tenaga kependidikan harus memahami dengan tepat ketiga

asas tersebut agar dapat menerapkannya dengan semestinya dalam penyeleenggaraan

pendidikan sehari-hari.

1. Asas Tut Wuri Handayani

Asas Tut Wuri Handayani merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh Ki

Hajar Dewantara seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional. Tut Wuri

Handayani mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari

belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari

jalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya (Hamzah,

1991:90). Gagasan tersebut dikembangkan Ki Hajar Dewantara pada masa penjajahan dan

masa perjuangan kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan gagasan tersebut serta merta

diterima sebagai salah satu asas pendidikan nasional Indonesia (Jurnal Pendidikan, No.2:24).

Asas Tut Wuri Handayani yang kini menjadi semboyan Depdikbud, pada awalnya

merupakan salah satu dari “Asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional

Taman Siswa (didirikan 3 Juli 1922).

Agar diperoleh latar keberlakuan awal dari asas Tut Wuri Handayani, perlu

dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa yang merupakan asas

perjuangan untuk menghadapi Pemerintah colonial Belanda sekaligus untuk

mempertahankan kelangsungan hidup dan sifat yang nasional dan demokrasi. Ketujuh asa

tersebut yang secara singkat disebut ”Asas 1922” adalah sebagai berikut:

a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat

tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum.

Page 3: Asas Pendidikan Indonesia

b. Bahwa pengajaran harus member pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir

dan batin dapat memerdekakan diri.

c. Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.

d. Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.

e. Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupu n

batin hendaknya diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apapun

dan dari siapapun yang mengikat baik berupa ikatan lahir maupun ikatan batin.

f. Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus

membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.

g. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk

mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-

anak.

Sebagai asas pertama, Tut Wuri Handayani merupakan inti dari sitem Among

perguruan, di mana guru memperoleh sebutan pamong yang berdiri di belakang dengan

semboyan tut wuri handayani. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini

kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono (fisuf dan ahli bahasa) dengan

menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo

Mangun Karso (Raka Joni, et. Al., 1985:38; Wawasan kependidikan Guru, 1982: 93).

Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu:

1. Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh)

2. Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)

3. Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan)

Asas Tut wuri Handayani merupakan inti dari asas pertama (butir a) dalam asas 1922

yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf-

veschikkingsrecht) dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum. Dari

asasnya yang pertama ini jelas bahwa tujuan asas Tut Wuri Handayani yaitu:

a. pendidikan dilaksanakan tidak menggunakan syarat paksaan,

b. pendidikan adalah penggulowenthah yang mengandung makna: momong, among,

ngemong (Karya Ki Hajar Dewantara, hal. 13). Among mengandung arti

mengembangkan kodrat alam anak dengan tuntutan agar anak didik dapat

mengembangkan hidup batin menjadi subur dan selamat. Momong mempunyai arti

mengamat-amati anak agar dapat tumbuh menurut kodratnya. Ngemong berarti kita

Page 4: Asas Pendidikan Indonesia

harus mengikuti apa yang ingin diusahakan anak sendiri dan memberi bantuan pada

saat anak membutuhkan,

c. pendidikan menciptakan tertib dan damai (orde en vrede),

d. pendidikan tidak ngujo (memanjakan anak), dan

e. pendidikan menciptakan iklim, tidak terperintah, memerintah diri sendiri, dan berdiri

di atas kaki sendiri (mandiri dalam diri anak didik).

Semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada

hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidak ada unsur perintah,

paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak

untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain, pendidik setiap saat siap

member uluran tangan apabila diperlukan oleh anak.

Ing Ngarsa Sung Tuladha

Ing ngarsa sung tuladha (di depan member contoh) adalah hal yang baik mengingat

kebutuhan anak maupun pertimbangan guru. Di bagian depan, seorang guru akan membawa

buah pikiran para muridnya itu ke dalam sistem ilmu pengetahuan yang lebih luas. Ia

menempatkan pikiran / gagasan / pendapat para muridnya dalam cakrawala yang baru, yang

lebih luas. Dalam posisi ini ia membimbing dan memberi teladan. Akhirnya, dengan filosofi

semacam ini, siswa (dengan bantuan guru dan teman-temannya} mengkonstruksi

pengetahuannya sendiri di antara pengetahuan yang telah dikonstruksi oleh banyak orang

termasuk oleh para ahli.

Ing Madya Mangu Karsa

Ing madya mangu karsa (di tengah membangkitkan kehendak) diterapkan dalam

situasi ketika anak didik kurang bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau

tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat motifasi. Dan, guru maju ke tengah-

tengah (pemikiran) para muridnya. Dalam posisi ini ia menciptakan situasi yang

memungkinkan para muridnya mengembangkan, memperbaiki, mempertajam, atau bahkan

mungkin mengganti pengetahuan yang telah dimilikinya itu sehingga diperoleh pengetahuan

baru yang lebih masuk akal, lebih jelas, dan lebih banyak manfaatnya. Guru mungkin

mengajukan pertanyaan, atau mungkin mengajukan gagasan/argumentasi tandingan.

Mungkin juga ia mengikuti jalan pikiran siswa sampai pada suatu kesimpulan yang keliru dsb.

Pendek kata, di tengah seorang guru menciptakan situasi yang membuat siswa berolah pikir

Page 5: Asas Pendidikan Indonesia

secara kritis untuk menelaah buah pikirannya sendiri atau orang lain. Guru menciptakan

situasi agar terjadi perubahan konsepsional dalam pikiran siswa-siswanya. Yang salah diganti

yang benar, yang keliru diperbaiki, yang kurang tajam dipertajam, yang kurang lengkap

dilengkapi, dan yang kurang masuk akal argumentasinya diperbaiki.

Dalam pembelajaran, seorang guru dapat meposisikan dirinya baik di belakang, di

tengah maupun di depan (pengetahuan) para muridnya. Dalam posisi dibelakang, guru

mengajukan berbagai pertanyaan dengan tujuan menggali pengetahuan yang telah dimiliki

murid-muridnya tentang suatu topik yang sedang dipelajari saat itu. Dalam konteks

pendidikan dewasa ini disebut students' preconceptions, students' misconceptions atau yang

bernuansa demokratis disebut student alternative framework. Pengetahuan ini diperoleh

para murid dari berbagai sumber belajar sebelum ia mengikuti pelajaran di kelas itu. Dalam

posisi ini guru menjadi pendengar yang baik sekaligus membantu para muridnya agar dapat

mengungkapkan pendapat / gagasan / jalan pikirannya sendiri dengan baik. Selanjutnya,

pendapat-pendapat ini dipakai sebagai batu loncatan untuk menuju ke bagian tengah.

Implikasi Dari Penerapan Asas Tut Wuri Handayani

Asas Tut Wuri Handayani memberi kesempatan anak didik untuk melakukan usaha

sendiri, dan ada kemungkinan mengalami berbuat kesalahan, tanpa ada tindakan (hukuman)

pendidik (Karya Ki Hajar Dewantara, 1962:59). Hal itu tidak menjadikan masalah, karena

menurut Ki Hajar Dewantara, setiap kesalahan yang dilakukan anak didik akan membawa

pidananya sendiri, kalau tidak ada pendidik sebagai pemimpin yang mendorong datangnya

hukuman tersebut. Dengan demikian, setiap kesalahan yang dialami anak tersebut bersifat

mendidik.

Maksud tut wuri handayani adalah sebagai pendidik hendaknya mampu menyalurkan

dan mengarahkan perilaku dan segala tindakan sisiwa untuk mencapai tujuan pendidikan

yang dirancang. Implikasi dari penerapan asas ini dalam pendidikan adalah sebagai berikut :

a. Seorang pendidik diharapkan memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengemukakan ide dan prakarsa yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan.

b. Seorang pendidik berusaha melibatkan mental siswa yang maksimal didalam

mengaktualisasikan pengalaman belajar, upaya melibatkan siswa seperti ini yang sering

dikenal dengan cara belajar siswa aktif (CBSA).

Page 6: Asas Pendidikan Indonesia

c. Peranan pendidik hanyalah bertugas mengarahkan siswa, sebagai fisilitator, moitivator

dan pembimbing dalam rangka mencapai tujuan belajar.

d. Dalam proses belajar mengajar dilakukan secara bebas tetapi terkendali,

interaksi pendidik dan siswa mencerminkan hubungan manusiawi serta merangsang

berfikir siswa, memanfaatkan bermacam-macam sumber, kegiatan belajar yang

dilakukan siswa bervariasi, tetapi tetap dibawah bimbingan guri.

Dalam kaitan penerapan asas Tut Wuri Handayani, dapat dikemukakan beberapa

keadaan yang ditemui sekarang, yakni:

a. peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan yang

diminatinya di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan yang disediakan oleh

pemerintah sesuai peran dan profesinya dalam masyarakat. Peserta didik bertanggung

jawab atas pendidikannya sendiri,

b. peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan kejuruan yang

diminatinya agar dapat mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja bidang

tertentu yang diinginkannya

c. peserta didik memiliki kecerdasan yang luar biasa diberikan kesempatan untuk

memasuki program pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan gaya dan irama

belajarnya,

d. peserta didik yang memiliki kelainan atau cacat fisik atau mental memperoleh

kesempatan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan cacat yang

disandang agar dapat bertumbuh menjadi manusia yang mandiri,

e. peserta didik di daerah terpencil mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan

dan ketrampilan agar dapat berkembang menjadi manusia yang memiliki kemampuan

dasar yang memadai sebagai manusia yang mandiri, yang beragam dari potensi dibawah

normal sampai jauh diatas normal (Jurnal Pendidikan,1989)

2. Asas Belajar Sepanjang Hayat

“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimat. Tuntutlah ilmu

sejak buaian sampai lubang kubur. Tiada amalan umat yang lebih utama

daripada belajar”.

Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi

lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendididkan seumur hidup

Page 7: Asas Pendidikan Indonesia

merupakan a concept (P. Lengrad, 1970) yang new significance of an old idea (Dave, 1970)

tetapi universally acceptable definition is difficult (Cropley,1979).

Istilah pendidikan seumur hidup erat kaitannya dan kadang-kadang digunakan saling

bergantian dengan makna yang sama dengan istilah belajar sepanjang hayat. Kedua istilah

ini memang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan istilah “belajar”

adalah perubahan perilaku (kognitif/afektif/psikomotor) yang relatif tetap karena pengaruh

pengalaman, sedang istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar dan sistematis

untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan pengaruh pengalaman tersebut

lebih efisien efektif, dengan kata lain, lingkungan yang membelajarkan subjek didik.

Selanjutnya pendidikan sepanjang hayat didefinisikan sebagai tujuan atau ide formal

untuk pengorganisasian dan perstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan

perstrukturan ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda

sampai yang paling tua. (cropley: 67). Pendidikan sepanjang hayat bukan merupakan

pendidikan yang berstruktur namun suatu prinsip yang menjadi dasar dalam menjiwai

seluruh organisasi system pendidikan yang ada. Dengn kata lain pendidikan sepanjang hayat

menembus batas-batas kelembagaan, pengelolaan, dan program yang telah berabad-abad

mendesakkan diri pada system pendidikan.

Di dalam tulisan Cropley dengan memperhatikan masukan dari beberapa ahli

mengemukakan alansan, antara lain: keadilan, ekonomi, perubahan perencanaan,

perkembangan teknologi, factor vosionla, kebutuhan orang dewasa, dan kebutuhan anak-

anak masa awal.

Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah

seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yaitu membelajarkan peserta didik

dengan efisien dan efektif, dan serentak dengan itu meningkatkan kemauan dan

kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang hayat. Ditinjau dari

pendidikan sekolah, masalahnya adalah bagaimana merancang dan mengimplementasikan

suatu program belajar mengajar sehingga mendorong belajar sepanjang hayat, dengan kata

lain, terbentuklah manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar.

Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus

dirancang diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi:

a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan

antartingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa

depan.

Page 8: Asas Pendidikan Indonesia

b. Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar

di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.

Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh sebagaimana gambaran manusia

Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-niai Pancasila, Indonesia menganut asas pendidikan

sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap warga negara Indonesia:

a. mendapat kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan kemandirian sepanjang

hidupnya,

b. mendapat kesempatan untuk memanfaatkan layanan lembaga-lembaga pendidikan

yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan yang ditawarkan dapat bersifat formal,

informal, non formal,

c. mendapat kesempatan mengikuti program-program pendidikan sesuai bakat, minat,

dan kemampuan dalam rangka pengembasngan pribadi secara utuh menuju profil

Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945; dan

d. mendapat kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang,

dan jenis pendidikan tertentu sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 1989.

Keadaan Yang Ditemui Sekarang

Dalam kaitan asas belajar sepanjang hayat, dapat dikemukakan beberapa keadaan

yang ditemui sekarang:

a. usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar telah mengalami peningkatan.

Terbukti dengan semakin banyaknya peserta didik dari tahun ke tahun yang dapat

ditampung baik dalam lembaga pendidikan formal, non formal, dan informal; berbagai

jenis pendidikan; dan berbagai jenjang pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi,

b. usaha pemerintah dalam pengadaan dan pembinaan guru dan tenaga kependidikan

pada semua jalur, jenis, dan jenjang agar mereka dapat melaksanakan tugsnya secara

proporsional. Dan pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hasil pendidikan di

seluruh tanah air. Pembinaan guru dan tenaga guru dilaksanakan baik didalam negeri

maupun diluar negeri

c. usaha pembaharuan kurikulum dan pengembangan kurikulum dan isi pendidikan agar

mampu memenuhi tantangan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang

berkualitas melalui pendidikan,

Page 9: Asas Pendidikan Indonesia

d. usaha pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang semakin meningkat:

ruang belajar, perpustakaan, media pengajaran, bengkel kerja, sarana pelatihan dan

ketrampilan, sarana pendidikan jasmani,

e. pengadaan buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program pendidikan masyarakat

yang bertujuan untuk: (a) meningkatkan sumber penghasilan keluarga secara layak dan

hidup bermasyarakat secara berbudaya melalui berbagai cara belajar, (b) menunjang

tercapainya tujuan pendidikan manusia seutuhnya,

f. usaha pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda: kepemimpinan dan

ketrampilan, kesegaran jasmani dan daya kreasi, sikap patriotisme dan idealisme,

kesadaran berbangsa dan bernegara, kepribadian dan budi luhur,

g. usaha pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada anggota masyarakat untuk melakukan berbagai

macam kegiatan olahraga untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi

di bidang olahraga,

h. usaha pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita dengan memberikan

kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan

bahagia; peningkatan ilmu pngetahuan dan teknologi, ketrampilan serta ketahanan

mental.

Sesuai dengan uraian di atas, maka secara singkat pemerintah secara lintas sektoral

telah mengupayakan usaha-usaha untuk menjawab tantangan asas pendidikan sepanjang

hayat dengan cara pengadaan sarana dan prasarana, kesempatan serta sumber daya

manusia yang menunjang.

3. Asas Kemandirian dalam Belajar (Self Regulated Learning)

Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat

kaitannya dengan asa kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya

bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar.

Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar

itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan

ketika diperlukan. Selanjutnya asa sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila

didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena

tidak mungkin seorang belajar asepanjang hayatnya apabilaselalu tergantung dari bantuan

guru atau orang lain.

Page 10: Asas Pendidikan Indonesia

Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktifitas belajar yang berlangsung lebih

didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari

pembelajaran.

Pengertian tantang belajar mandiri sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para

ahli. Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti

dipaparkan Abdullah (2001:1-4) sebagai berikut:

1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab

dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-

management (manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan)

dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi

belajarnya) (Bolhuis; Garrison).

2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai

dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan

kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga

tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).

3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke

siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan

tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey,

& Firestone).

Jika para ahli di atas memberi makna tentang belajar mandiri secara sepotong-

sepotong, maka Haris Mujiman (2005:1) mencoba memberikan pengertian belajar mandiri

dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang

didorong oleh niat atau motif untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu

masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang dimiliki.

Penetapan kompetensi sebagai tujuan belajar, dan cara pencapaiannya – baik penetapan

waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar, cara belajar, maupun evaluasi

belajar – dilakukan oleh siswa sendiri. Di sini belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha

siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai suatu

kompetensi tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dan beberapa pertimbangan di atas, maka

belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk melakukan kegiatan belajar

secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk

Page 11: Asas Pendidikan Indonesia

menguasai suatu materi dan atau kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk

memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.

Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran

utama sebagai fasilitator dan motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang

dalam melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).

CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif) merupakan salah satu pendekatan yang memberi peluang itu,

karena siswa dituntut mengambil keputusan dan atau memikul tanggungjawab tertentu

dalam belajar mengajar sekolah. Disamping itu beberapa jenis kegiaan belajar mandiri akan

sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemandirian dalam proses belajar tersebut

seperti belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram dan sebagainya.

Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep

pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan

oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003

ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar

mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah

dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa.

Pembahasan istilah kemandirian belajar berhubungan dengan beberapa istilah lain di

antaranya self regulated learning, self regulated thinking, self directed learning, self efficacy,

dan self-esteem. Pengertian kelima istilah di atas tidak tepat sama, namun mereka memilki

beberapa kesamaan karakteritik. Dalam tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan, praktisi

pendidikan banyak dipengaruhi oleh pandangan behaviourist seperti Watson dan Skinner.

Kemudian muncul pandangan teori belajar sosial Bandura, yang memandang belajar dari

sudut pandang kognitif. Long (Kerlin, 1992) misalnya, memandang belajar sebagai proses

kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan individu, pengetahuan

sebelumnya, sikap, pandangan individu, konten, dan cara penyajian. Satu sub-faktor penting

dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar adalah self-regulated learning. Sebagai

terjemahan dari istilah self-regulated learning atau disingkat SRL.

Sejumlah pakar (Butler, 2002, Corno dan Mandinah, 1983, Corno dan Randi, 1999,

Hargis, http:/www.smartkidzone.co/, Kerlin, 1992, Paris dan Winograd, 1998, Schunk dan

Zimmerman, 1998, Wongsri, Cantwell, dan Archer, 2002), menguraikan pengertian istilah

SRL, merelasikannya dengan beberapa istilah lain yang serupa, memeriksa efek SRL terhadap

pembelajaran sains melalui internet, serta memberikan saran untuk memajukan SRL pada

Page 12: Asas Pendidikan Indonesia

siswa/mahasiswa Dalam artikel-artikel di atas, istilah SRL didefinisikan agak berbeda, namun

semuanya memuat tiga karakteritik utama yang serupa, yaitu merancang tujuan, memilih

stategi, dan memantau proses kognitif dan afektif yang berlangsung ketika seseorang

menyelesaikan suatu tugas akademik.

Corno dan Mandinah (1983), Hargis (http:/www.jhargis.co/) dan Kerlin, (1992)

mendefisikan SRL sebagai upaya memperdalam dan memanipulasi jaringan asosiatif dalam

suatu bidang tertentu, dan memantau serta meningkatkan proses pendalaman yang

bersangkutan Definisi tersebut menunjukkan bahwa SRL merupakan proses perancangan

dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam

menyelesaikan suatu tugas akademik. Dalam hal ini, SRL itu sendiri bukan merupakan

kemampuan mental atau keterampilan akademik tertentu seperti kefasihan membaca,

namun merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasi kemampuan mental ke

dalam keterampilan akademik tertentu (Hargis, http:/www.jhargis.co/). Mengacu pada

pendapat Corno dan Mandinach (1983), Kerlin (1992) mengklasifikasi SRL dalam dua katagori

yaitu: (1) proses pencapaian informasi, proses transformasi informasi, proses pemantauan,

dan proses perancangan, serta (2) proses kontrol metakognitif.

Agak berbeda dengan definisi Corno dan Mandinach (1983), Bandura (Hargies,

http:/www.jhargis.co/) mendefinisikan SRL sebagai kemampuan memantau perilaku sendiri,

dan merupakan kerja-keras personaliti manusia. Selanjutnya Bandura menyarankan tiga

langkah dalam melaksanakan SRL yaitu: (1) Mengamati dan mengawasi diri sendiri: (2)

Membandingkan posisi diri dengan standar tertentu, dan (3) Memberikan respons sendiri

(respons positif dan respons negatif). Strategi SRL memuat kegiatan: mengevaluasi diri,

mengatur dan mentranformasi, menetapkan tujuan dan rancangan, mencari informasi,

mencatat dan memantau, menyusun lingkungan, mencari konsekuensi sendiri, mengulang

dan mengingat, mencari bantuan sosial, dan mereview catatan. Berkaitan dengan SRL,

Hargies (http:/www.jhargis.co/) melaporkan bahwa mahasiswa menunjukkan SRL yang tinggi

ketika belajar sains melalui internet, dan mereka memperoleh peningkatan skor sains

setelah pembelajaran. Demikian pula Yang (Hargis, http:/www.jhargis.co/) melaporkan

bahwa siswa yang memiliki SRL yang tinggi: (1) cenderung belajar lebih baik dalam

pengawasannya sendiri dari pada dalam pengawasan program, (2) mampu memantau,

mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif; (3) menghemat waktu dalam

menyelesaikan tugasnya; dan (4) mengatur belajar dan waktu secara efisien.

Page 13: Asas Pendidikan Indonesia

Hampir serupa dengan definisi Bandura yaitu berkaitan dengan kontrol diri dalam

belajar, Schunk dan Zimmerman (1998) mendefinisikan SRL sebagai proses belajar yang

terjadi karena pengaruh dari pemikiran, perasaan, strategi, dan perilaku sendiri yang

berorientasi pada pencapaian tujuan. Menurut Schunk dan Zimmerman (1998) terdapat tiga

phase utama dalam siklus SRL yaitu: merancang belajar, memantau kemajuan belajar selama

menerapkan rancangan, dan mengevaluasi hasil belajar secara lengkap. Serupa dengan

Schunk dan Zimmerman (1998), Butler (2002) mengemukakan bahwa SRL merupakan siklus

kegiatan kognitif yang rekursif (berulang-ulang) yang memuat kegiatan: menganalisis tugas;

memilih, mengadopsi, atau menemukan pendekatan strategi untuk mencapai tujuan tugas;

dan memantau hasil dari strategi yang telah dilaksanakan.

Selanjutnya, Schunk dan Zimmerman (1998), merinci kegiatan yang berlangsung pada

tiap phase SRL sebagai berikut:

a. Pada phase merancang belajar berlangsung kegiatan: menganalisis tugas belajar,

menetapkan tujuan belajar, dan merancang strategi belajar.

b. Pada phase memantau berlangsung kegiatan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri:

Apakah strategi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana? Apakah saya kembali kepada

kebiasaan lama? Apakah saya tetap memusatkan diri? Dan apakah strategi telah

berjalan dengan baik?

c. Phase mengevaluasi, memuat kegiatan memeriksa bagaimana jalannya strategi: Apakah

strategi telah dilaksanakan dengan baik? (evaluasi proses); Hasil belajar apa yang telah

dicapai? (evaluasi produk); dan Sesuaikah strategi dengan jenis tugas belajar yang

dihadapi?

d. Pada phase merefleksi: Pada dasarnya phase ini tidak hanya berlangsung pada phase

keempat dalam siklus self regulated learning, namun refleksi berlangsung pada tiap

phase selama silkus berjalan.

Paris dan Winograd (The National Science Foundation, 2000), mengemukakan

karakteristik lain yang termuat dalam self regulated thinking (SRT) dan SRL yaitu: kesadaran

akan berfikir, penggunaan strategi, dan motivasi yang berkelanjutan. Menurut Paris dan

Winograd, SRL tidak hanya berfikir tentang berfikir, namun membantu individu

menggunakan berfikirnya dalam menyusun rancangan, memilih strategi belajar, dan

menginterpretasi penampilannya sehingga individu dapat menyelesaikan masalahnya secara

Page 14: Asas Pendidikan Indonesia

efektif. Selanjutnya Paris dan Winograd menyatakan bahwa pemikir yang strategik tidak

hanya mengetahui strategi dan penggunaannya, tetapi lebih dari itu mereka dapat

membedakan masalah yang produktif dan yang tidak produktif, mereka mempertimbangakn

lebih dulu berbagai pilihan sebelum memilih solusi atau strategi. Paris dan Winograd juga

mengidentifikasi motivasi yang berkelanjutan merupakan aspek yang penting dalam SRL.

Rochester Institute of Techonology (2000), mengidentifikasi beberapa karakteristik lain

dalam SRL, yaitu: memilih tujuan belajar, memandang kesulitan sebagai tantangan, memilih

dan menggunakan sumber yang tersedia, bekerjasama dengan individu lain, membangun

makna, memahami pencapaian keberhasilan tidak cukup hanya dengan usaha dan

kemampuan saja namun harus disertai dengan kontrol diri.

Istilah lain yang berelasi dengan SRL, dikemukakan oleh Lowry (ERIC Digest No 93,

1989), yaitu self directed learning (SDL): yang didefinisikan sebagai suatu proses di mana

individu: berinisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan orang lain; mendiagnosa kebutuhan

belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajar; mengidentifikasi sumber belajar yang dapat

digunakannya; memilih dan menerapkan strategi belajar, dan mengevaluasi hasil belajarnya.

Definisi lain tentang self-direction on learning atau SDL dkemukakan Wongsri,

Cantwell, Archer (2002) yaitu sebagai proses belajar di mana individu memiliki rasa tanggung

jawab dalam: merancang belajarnya, dan menerapkan, serta mengevaluasi proses

belajarnya. Definisi di atas menggambarkan karakteristik internal dimana individu

mengarahkan dan memusatkan diri pada keinginan belajarnya sendiri, serta mengambil

tanggung jawab dalam belajarnya. Wongsri, Cantwell, Archer (2002) mengemukakan bahwa

kemampuan SDL harus dimiliki setiap individu terutama yang mengikuti pendidikan tersier

(pendidikan tinggi). Pengertian SDL di mana individu mengatur secara aktif proses

belajarnya, merupakan proses internal yang dimiliki dan dilaksanakan oleh individu yang

sedang belajar. Kemampuan individu dalam memaksimumkan SDL bukan merupakan bakat,

namun dapat ditingkatkan melalui program belajar yang relevan. Hoban, Sersland, Raine

(Wongsri, Cantwell, Archer, 2002) merelasikan istilah SDL dengan istilah self-efficacy yang

didefinisikan sebagai pandangan individu terhadap kemampuan dirinya dalam bidang

akademik tertentu. Pandangan self efficacy individu berpengaruh terhadap pilihan dan

kegiatan perkuliahan yang diikutinya. Keadaan tersebut melukiskan bahwa pada dasarnya

individu merupakan peserta aktif dalam belajarnya. Selanjutnya, Hoban, Sersland, Raine

(Wongsri, Cantwell, Archer, 2002) mengemukakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan SDL,

Page 15: Asas Pendidikan Indonesia

tujuan berprestasi dalam belajar, atribusi, SRL, dan volition. Dalam studinyai mereka

.menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki derajat self-efficacy yang tinggi menunjukkan

derajat SDL yang tinggi juga.

Serempak dengan perkembangan iptek ada beberapa lasan yang memperkuat

konsep kemandirian dalam belajar mengemukakan alasan sebagai berikut:

1. Perkembangan iptek yang semakin pesat

2. Penemuan iptek tidak mutlak benar 100%

3. Peserta didik lebih mudah memahami contoh-contoh

4. Tidak lepas dari penananman nilai

Penerpan Asas Kemandirian Dalam Belajar Di Indonesia

SMP Terbuka merupakan bagian dari sistem pendidikan formal yang ditujukan bagi

anak didik usia sekolah SMP yang oleh karena sesuatu hal tidak dapat menempuh

pendidikannya. Penyelenggaraan program ini didasarkan pada satu premise bahwa untuk

mencapai hasil yang sama pada peserta didik yang kondisi berbeda maka diperlukan

perlakuan yang berbeda pula.

Kurikulum SMP Terbuka ini sama dengan kurikulum SMP Reguler. Bahan belajar

dikembangkan dengan mengacu pada Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar dan Garis Besar

Isi Program Media. Bahan belajar dikemas dalam modul, dengan didukung fasilitas belajar

lainnya seperti siaran radio, kaset. Proses belajar dilakukan secara mandiri dengan

menggunakan modul, dalam kelompok “Tempat Kegiatan Belajar”. Proses belajar dibimbing

oleh guru bina, dan setiap satu minggu sekali dilakukan pertemuan untuk membahas materi

belajar.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tahun 1985. SMP Terbuka ini memiliki

beberapa keuntungan :

a. Mengatasi hambatan geografis

b. Mengoptimalkan sumber belajar lokal

c. Mengatasi kekurangan ruang kelas dan guru

d. Inklusif

e. Mengembangkan kemampuan belajar mandiri

Page 16: Asas Pendidikan Indonesia

f. Mengembangkan konsep belajar sepanjang hayat

Di samping keuntungan tersebut, secara kuantitatif SMP Terbuka mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1990 baru ada 15 tempat di 9 propinsi, dan

pada tahun 1996 sudah mencapai 956 di 27 Propinsi dengan jumlah siswa 172.082 orang.

PERBEDAAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN

Asas-asas pendidikan terdiri dari Tut wuri handayani, belajar sepanjang hayat, dan

belajar mandiri. Dalam asas asas tersebut terdapat perbedaan yang mencolok walaupun asas

asas tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam asas tut wuri

handayani menekankan pada peran pendidik dan anak didik dalam kegiatan belajar namun

dalam asas belajar sepanjang hayat menekankan pada peran anak didik dalam belajar. Anak

didik dalam asas belajar sepanjang hayat bukan berarti anak didik yang selalu

membutuhkan pendidik dalam belajar, melainkan semua orang yang ingin belajar seumur

hidupnya. Sedangkan asas kemandirian dalam belajar menekankan pada proses belajar yang

harus mandiri dan tidak selalu tergantung dengan orang lain.