Artikel ilmiah
-
Upload
nurmala-sari-irsyad -
Category
Documents
-
view
125 -
download
4
Transcript of Artikel ilmiah
![Page 1: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/1.jpg)
Fenomena Mahkluk Fantasi sebagai Tokoh Imajiner dalam Novel
Terjemahan Twilight karya Stephanie Meyer dan Need karya Carrie Jones.
Oleh:Sheila Novelia
Latar Belakang
Tahun-tahun belakangan ini, fenomena Novel bergenre supranatural
thriller yang menghadirkan makhluk fantasi seperti vampir, naga, peri, drakula
dan semacamnya menjadi tren yang digemari para penikmat cerita fiksi yang
kebanyakan remaja. Suatu cerita dalam prosa fiksi selalu didukung oleh sejumlah
tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mendukung peristiwa sehingga
mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh. Sebagaimana pendapat Atar Semi
(1988: 36) bahwa kehadiran penokohan dan perwatakan dalam sebuah karya fiksi
sangat penting, dan bahkan diceritakan tidak mungkin ada cerita tanpa tokoh yang
bergerak dan akhirnya membentuk alur cerita. Fiksi sering pula disebut cerita
rekaan hasil pengolahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan
penilaian tentang peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi ataupun pengolahan
tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung dalam khayalan (Semi, 1988:
31).
Pasca boomingnya Twilight’s Meyer, novel-novel serupa dengan mahluk
fantasi sebagai tokoh imajiner mulai bermunculan, salah satu diantaranya adalah
Need karya Carrie Jones. Meski genrenya serupa dan sama-sama menghadirkan
sosok fantasi, novel Need dan Twilight disajikan berbeda dan khas dengan
menggunakan tokoh andalannya masing-masing. Meyer dan Jones menghadirkan
sosok fantasi sebagai bagian dalam cerita dan meletakan dunia fantasi dan dunia
nyata secara berdampingan. Tema sentral dalam kedua novel ini merupakan
perjalanan tokoh wanita yang berasal dari dunia nyata yang kemudian masuk ke
dunia lain dikelilingi mahluk fantasi. Twilight dan Need dimasukan kedalam
kategori fairy-story karena latar dunia fantasi yang dibangun dalam kedua novel.
![Page 2: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/2.jpg)
Novel Twilight dan Need menjadi pilihan saya karena sangat menarik
untuk dikaji. Kelebihan novel ini terletak pada masing-masing tokoh imajiner
yang berupa makhluk fantasi sekaligus ceritanya yakni tentang pelarian seorang
manusia dan sebuah dilema antara tetap pada dunia nyata atau dunia fantasi.
Dalam beberapa literatur fantasi ada satu alur yang sering digunakan. Alur ini
dimulai dengan perjalanan seseorang yang berasal dari dunia nyata kemudia
disengaja atau tidak pergi ke sebuah dunia fantasi tempat ia mengalami berbagai
petualangan. Teks yang memiliki alur seperti ini antara lain The Chronicles of
Narnia oleh C.S Lewis, Alice in Wonderland oleh Lewis Carrol, Harry Potter
oleh JK Rowling dan yang paling terkenal saat ini adalah Twilight Saga oleh
Stephanie Meyer dan disusul Need karya Carrie Jones.
Karya Carrie Jones, yang satu ini telah terdaftar dalam perkumpulan buku-
buku fiksi terbaik VOYA. Karya sebelumnya adalah Jones's Girl, Hero yang
berkisar tentang siswa yang juga seorang aktris dengan kehidupan yang
bermasalah, karya ini dirilis tahun 2008 dan mendapatkan penghargaan dari
Lembaga Sastra Untuk Remaja, The Assembly on Literature for Adolescents.
Dale McGarrigle dari Bangor Daily News menyatakan bahwa meskipun Need
memiliki daya tarik untuk remaja dan merupakan yang terbaik dalam genrenya,
novel ini akan menarik pembaca dewasa juga, serta akan memenuhi kebutuhan
bagi banyak orang. Jika dilihat dari karya-karya sebelumnya, Need merupakan
karya pertama dengan mahluk fantasi, Jones tidak menghadirkan makhluk fantasi
pada karya-karya sebelumnya. Sedangkan, Stephanie Meyer selalu menghadirkan
makhluk fantasi sebagai tokoh imajiner dalam karyanya disamping Twilight, yaitu
The Host.
Tokoh utama yang dipasangkan dan berdampingan dengan makhluk
fantasi dalam sebuah cerita menjadi sesuatu yang selalu menarik, dan fenomena
tersebut tidak terlepas dari psikologi sastra.
Bagaimanapun juga artikel ini adalah sebuah kritik seni yang ditulis oleh
seorang penikmat cerita fiksi bergenre supranatural thriller. Kritik seni ini baru
sampai pada tahap deskripsi dimana penulis mengumpulkan data karya seni
![Page 3: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/3.jpg)
berupa cerita fiksi kemudian menghubungkan sebuah karya dengan karya lain
yang sejenis, untuk menentukan kadar artistik dan faedah estetiknya.
Pendekatan Psikologi Sastra
Dari uraian diatas telah terlihat bahwa fenomena tersebut terkait dengan
psikologi. Hal ini tidak lepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa
manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Penelitian yang menggunakan
psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman atas penafsiran
karya sastra dari sisi lain (Paryanto, 2003: 17). Orang dapat mengamati tingkah
laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau drama dengan pertolongan psikologi.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang
berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung
dalam sastra. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama
psikologi sastra sebab semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan
dicangkokkan dan diinvestasikan. Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan
dua cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi diadakan analisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi
yang dianggap relevan untuk melakukan analisis (Ratna, 2004: 344). Pada
penelitian ini menggunakan cara yang kedua, yakni dengan menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian menentukan teori-teori psikologi
yang dianggap relevan untuk melakukan analisis.
Siswantoro menyatakan sastra berbeda dengan psikologi sebab
sebagaimana kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi,
dan esay yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk pada
studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental.1 Meski berbeda
keduanya memiliki titik temu atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya,
dengan demikian gejala kejiwaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh dalam
sebuah karya sastra. Sastra dan psikologi mempunyai hubungan fungsional yaitu
sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala
1 Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Sebelas
Maret University Press, hlm.31.
![Page 4: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/4.jpg)
dan diri manusia dalam sastra adalah imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah
manusia-manusia riil (nyata). Keduanya dapat saling melengkapi dan mengisi
untuk memperoleh pemaknaan yang mendalam terhadap kejiwaan manusia
(Nawang, 2007: 23).
Psikologi ditafsirkan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik batin tokoh-
tokoh dalam sebuah karya sastra secara tuntas. Dengan demikian, pengetahuan
psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam menelusuri sebuah karya sastra
secara tuntas (Darmanto, 1985: 164). Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra
ditopang oleh tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yaitu aspek
psikologi kajian penulis dalam proses kreativitas yang terproyeksi lewat karya
sastra, (2) pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam
sebuah karya sastra, (3) pendekatan reseptif pragmatik yang mengkaji aspek
psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya yang
dinikmatinya serta proses kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks
(Aminuddin, 1990: 89). Dalam hal ini, fenomena makhluk fantasi sebagai tokoh
imajiner dalam novel Twilight dan Need, menggunakan pendekatan tekstual yaitu
mengkaji aspek psikologi tokoh utama dalam sebuah karya sastra. Dalam hal ini,
karya sastra merupakan gambaran kejiwaan manusia yang menciptakan karya
sastra itu sendiri.
Teori Kepribadian Humanistik Abraham Maslow
Psikologi humanistik diperkenalkan oleh sebagian sekelompok ahli
psikologi pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Maslow
dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atau pemikiran
intelektual dalam psikologi (Koeswara, 1986: 112). Psikologi humanistik adalah
sebuah sebuah gerakan yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia
baik dari psikoanalisis maupun behaviorisme, yakni gambaran manusia sebagai
makhluk yang bebas dan bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan
segenap potensi yang dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan (Koeswara,
1986: 109). Sebagaimana yang kita ketahui yang menjadi pemimpin atau bapak
dari psikologi humanistik adalah Abraham Maslow.
Teori Abraham Maslow tentang motivasi dapat diterapkan pada hampir
seluruh aspek kehidupan pribadi serta kehidupan sosial. Orang biasa
![Page 5: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/5.jpg)
dimotivasikan dengan serba kekurangan. Ia berusaha memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasarnya akan rasa aman, rasa memiliki, rasa kasih sayang,
penghargaan serta harga diri. Orang yang sehat terutama dimotivasikan oleh
kebutuhan untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-
kemampuan serta kapasitaskapasitasnya secara penuh. Dengan kata lain, orang
yang sehat terutama digerakkan oleh hasrat untuk mengaktualisasikan diri.
Banyak tingkah laku manusia yang dapat diterangkan dalam memperhatikan
tendensi individu untuk mencapai tujuan-tujuan personal yang membuat
kehidupan bagi individu yang bersangkutan penuh makna dan memuaskan
(Maslow dalam Koeswara, 1986: 118).
Maslow melukiskan manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berada
dalam keadaan yang sepenuhnya puas. Manusia dimotivasikan oleh sejumlah
kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan
berasal dari sumber genetis dan naluriah. Bagi manusia, kepuasan itu sifatnya
sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan-kebutuhan lainnya
akan menuntut kepuasan. Dengan demikian, kebutuhan-kebutuhan itu juga
bersifat psikologis bukan semata-mata fisiologis. Maslow mengajukan gagasan
bahwa kebutuhan yang ada pada manusia adalah pembawaan, tersusun menurut
tingkatan. Oleh Maslow (dalam Koeswara, 1986: 117-118) kebutuhan manusia
yang tersusun bertingkat itu dirinci ke dalam lima tingkatan kebutuhan, yaitu
a. kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis,
b. kebutuhan akan rasa aman,
c. kebutuhan akan cinta dan memiliki,
d. kebutuhan akan harga diri,
e. kebutuhan akan aktualisasi diri.
Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan fisiologis adalah sekumpulan
kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung
dengan pemeliharaan biologis dan keberlangsungan hidup. Kebutuhan-kebutuhan
dasar fisiologis yang dimaksud, yaitu kebutuhan akan makanan, miniman, tempat
berteduh, seks, tidur, dan oksigen. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan
yang paling mendesak dan didahulukan pemuasannya oleh individu. Jika
kebutuhan fisiologis ini tidak terpenuhi atau tidak terpuaskan, individu tidak akan
![Page 6: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/6.jpg)
bergerak untuk bertindak memuaskan kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi.
Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan, dalam diri individu akan
muncul kebutuhan yang dominan terhadap individu dan menuntut pemuasan akan
kebutuhan rasa aman.
Yang dimaksud oleh Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman ini adalah
suatu kehutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman,
kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungan. Kebutuhan akan rasa cinta
dan memiliki adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk
mengadakan hubungan efektif ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan
sesama jenis maupun dengan yang berlawanan jenis, di lingkungan keluarga
ataupun lingkungan kelompok masyarakat.
Kebutuhan akan rasa harga diri dibagi menjadi dua kebutuhan, yakni harga
diri dan penghargaan dari orang lain (Maslow, dalam Surpatiknya, 1991: 76).
Bagian pertama kebutuhan harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri,
kompetisi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan.
Bagian kedua, penghargaan dari orang lain meliputi prestise, pengakuan,
penerimaan, perhatian kedudukan, nama baik, serta penghargaan. Kebutuhan akan
aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling penting dalam teori
Maslow tentang motivasi pada manusia. Kebutuhan akan aktualisasi diri
sendiri adalah hasrat untuk makin menjadi diri sepenuhnya sesuai dengan
kemampuan dan potensi yang ada pada dirinya.
Keterkaitan Tokoh Imajiner dengan Tokoh Utama
Dalam novel Twilight’s Meyer, tokoh Bella pada akhirnya memilih untuk
hidup dalam dunia fantasi dan meninggalkan jati dirinya sebagai manusia dari
dunia nyata tempat ia berasal, sang tokoh utama kemudian hidup berdampingan
tokoh imajiner dan menjadi bagian dari vampir yang merupakan makhluk fantasi.
Hal serupa juga terjadi dalam Need’s Jones karena tokoh Zara juga memilih untuk
berdampingan dengan dunia fantasi tempatnya mengalami berbagai petualangan.
Dilihat dari fenomena mengapa sang tokoh lebih memilih berdampingan dengan
sang tokoh imajiner, pada kehidupan dari dunia nyata tempat asal mereka, Bella
dan Zara sama-sama mengalami keterpurukan, perasaan tidak mendapatkan
tempat di dunia, tidak menemukan jati diri mereka sebagai manusia dan pelarian
![Page 7: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/7.jpg)
terhadap sesuatu. Karakter mereka hampir sama, sama-sama takut menghadapi
sekolah baru, teman-teman baru dan kekhawatiran kesulitan untuk bersosialisasi.
Ini berkaitan dengan teori kepribadian humanistik oleh Abraham Maslow yang
telah dibahas sebelumnya. Berikut adalah kutipan yang menggambarkan karakter
Bella, sang tokoh utama.
“Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan
tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi
hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk
menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika
aku harus memikirkan esok pagi.
Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid yaitu 357-sekarang
ada aku berarti 358, sementara murid SMP di tempat asalku dulu ada lebih dari
tujuh ratus orang. Semua murid disini tumbuh bersama-sama-kakek nenek mereka
menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan menjadi anak perempuan baru dari
kota besar, mengundang penasaran, orang aneh.
Barangkali takkan begitu jadinya bila aku berpenampilan seperti layaknya
anak perempuan dari Phoenix . tapi secara fisik aku tak pernah cocok berada
dimanapun.
Memandangi pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui
sedang membohongi diri sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok.
Dan kalau aku tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus
orang, kesempatan apa yang kupunyua disini?
Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali
sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan
ibuku, orang terdekat denganku dibandingkan dengan siapapun di dunia ini, tak
pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadang-kadang aku
membayangkan apakah aku melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain
di dunia ini”(Twilight. Hal.21-22).
Dari kutipan diatas tergambar karakter Bella sebagai tokoh utama, seorang
yang tidak percaya diri, merasa dirinya aneh, khawatir terhadap berbagai hal,
bahkan phobia sepert juga pada karakter Zara yang tercermin dalam kutipan
berikut.
![Page 8: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/8.jpg)
“Mnemophobia adalah suatu ketakutan yang nyata. Aku tidak
mengarangnya. Aku bersumpah. Kau bisa merasa takut terhadap kenangan-
kenanganmu. Tidak ada tombol untuk mematikan otakmu secara mudah. Pasti
rasanya akan sangat, sangat menyenangkan jika ada tombol semacam itu.
Jadi aku menusukkan jari-jariku ke kedua kelopak mataku, berusaha untuk
memaksa diriku agar berhenti mengingat-ingat sesuatu. Aku berfokus kepada
masa kini, saat ini. Seperti itulah yang selalu diperintahkan orang-orang talk-
show kepadamu: hidup untuk hari ini.
Aku membelitkan benang putih di sekeliling jariku saat ayahku meninggal.
Aku terus memakainya untuk mengingatkanku, bahwa aku pernah merasa marah,
pernah memiliki seorang ayah, yang hidup.
Ibuku mengirimkan aku kesini karena selama empat bulan aku tidak
mampu tersenyum. Selama empat bulan aku tidak mampu menangis, merasakan
atau melakukan apapun”(Need. Hal.5-7)
Fantasi memiliki fungsi positif bagi mereka yang masuk ke dalamnya.
Fairy-story dianggap sebagai literatur eskapis karena mampu membuat para
pembacanya melarikan diri sejenak dari masalah yang dihadapi. Tolkien dalam
hal ini kemudian menyamakan pembacaan dan penciptaan literatur fantasi sebagai
perjalanan ke dunia fantasi. Para penikmat fantasi dapat dianggap seolah-olah
sebagai seseorang yang melakukan perjalanan dan petualangan di dalamnya. Hal
ini kemudian dihubungkan dengan perjalanan Bela dan Zara ke dalam dunia
fantasi yang senada dengan pendapat Tolkien tersebut. Seiring dengan itu pula
maka tindakan kedua tokoh ini sekilas memperlihatkan eskapisme keduanya.
Dunia fantasi sering dianggap sebagai media eskapis yang bernada negatif
karena fantasi seperti menyediakan tempat bagi mereka yang ingin melarikan diri
dari dunia nyata dan menghindarkan kenyataan hidup yang dihadapi. Hal ini
kemudian membuat fantasi dianggap sebagai sesuatu yang kekanak-kanakan
sehingga harus dijauhi (Day, 2003:14).
Tokoh Edward yang merupakan vampir menjadi pilihan Stephanie Meyer
sebagai tokoh imajiner dalam Twilight. Sosok vampir disini digambarkan sebagai
manusia rupawan, kuat dan terkesan cool. Lihat saja kutipan dalam Twilight
berikut ini “Tentu saja ia tidak tertarik padaku, pikirku marah, mataku perih-jelas
![Page 9: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/9.jpg)
nukan karena irisan bawang. Aku tidak menarik. Sementara Edward benar-benar
menarik ...dan pintar...dan misterius...dan sempurna....dan tampan......dan
barangkali bisa mengangkat van berukuran besar dengan satu tangan.”
(Twilight. Hlm.91)
Sosok hero merupakan sosok yang tidak asing dan selalu menjadi pilihan
bagi setiap penulis cerita semacam ini. Tokoh imajiner yang merupakan makhluk
fantasi ini seolah berperan sebagai hero dalam kehidupan sang tokoh utama.
Namun tak semua makhluk fantasi tersebut mendukung peran tokoh utama. Ada
juga beberapa dari mereka yang menjadi rival dari tokoh utama. Dalam novel
Twilight, tidak semua vampir dapat hidup berdampingan dengan manusia tanpa
membunuh, begitu juga dalam Need, peri dalam novel tersebut tidak berperan
sebagai hero melainkan musuh dari tokoh utama sendiri.
Pilihan makhluk fantasi menjadi daya tarik tersendiri bagi Stephanie
Meyer, Carrie Jones maupun penulis cerita fiksi lainnya. Makhluk fantasi menjadi
sesuatu yang berbeda yang tentunya tidak dapat kita temukan dalam kehidupan
nyata. Semuanya kembali kepada kita sebagai pembaca dan penikmat fiksi,
bacaan seperti Twilight dan Need bisa menjadi pilihan untuk melepas penat ari
rutinitas sehari-hari, membangkitkan daya imajinasi dan menghibur dalam artian
positif. Setuju dengan pendapat Tolkien yang menyampaikan bahwa imajinasi
tidak boleh dikungkung dan harus dibiarkan bebas karena hal inilah yang
membuat seseorang hidup. Tidak selamanya fiksi menggambarkan hal-hal yang
tidak nyata, ada juga objek lazim seperti matahari, rumput dan laut, kesemuanya
itu adalah objek nyata yang kita temui sehari-hari, objek tersebut memiliki pesona
dibaliknya, dan yang bisa melihat pesona dibaliknya hanyalah orang-orang yang
tersihir yaitu mereka yang mampu melihat makna dibalik keberadaan objek
tersebut. Imajinasi adalah suatu hal yang penting karena dengan imajinasi,
manusia bisa menyadari dan menghargai kehidupan.
Penggambaran tokoh Edward sebagai makhluk fantasi dengan perannya
sebagai hero bagi tokoh utama dalam Twilight dapat dalam kutipan berikut.
“Aku predator terbaik di dunia, bukankah begitu? Segala sesuatu tentang
diriku mengundangmu mendekat suaraku, wajahku bahkan aromaku.” Tak
disangka sangka ia sudah bangkit berdiri, pergi, langsung lenyap dari
![Page 10: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/10.jpg)
pandangan, dan muncul kembali di bawah pohon yang sama seperti sebelumnya,
setelah mengelilingi padang rumput hanya dalam setengah detik.
“seolah kau bisa kabur dariku saja”, ia tertawa getir.
Ia mengulurkan satu tangannya, dan tanpa kesulitan mematahkan dahan
yang sangat tebal dari batang pohonnya, hingga menimbulkan bunyi patahan
yang mengerikan. Beberapa saat ia menimbang-nimbangnya dengan tangannya,
lalu melemparnya begitu cepat, menghempaskannya ke pohon besar lain. lalu ia
sudah berada di hadapanku lagi, setengah meter dariku, kaku bagai batu.
(Twilight. Hlm.279).
Tokoh Nick yang merupakan manusia serigala juga digambarkan sebagai
hero bagi tokoh utama, karena dalam cerita, keadaan psikologis Zara tidak
begitu baik setelah kematianj sang ayah.
“Empat bulan setelah kematian mendadak ayah tiri kesayangannya, Zara
seperti tidak menjadi dirinya sendiri. Dia tidak bisa merasakan apa-apa, benar-
benar hampa, bahkan rasa takut pun tidak dia rasakan. Ibu Zara yang khawatir
terhadap keadaan emosional Zara yang semakin memburuk, berpikir perubahan
akan memperbaiki keadaan. Zara yang menjadi seorang pemurung akhirnya
terbang ke Maine untuk tinggal bersama neneknya, Betty, asal usulan sang ibu.
Zara tidak setuju. Maine merupakan kota terpencil yang dingin, populasinya
sedikit, penuh dengan orang asing dan jauh dari rumah yang selama ini dia
tempati di Charleston, South Carolina.
Kekecewaan demi kekecewaan mulai melingkupi hati Zara di sekolah
barunya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memilah siapa yang teman dan
siapa yang lawan. Nick yang atletis dan kuat, Ian yang ambisius dan menarik
adalah kategori yang bisa disebut teman oleh Zara. Disisi lain, ada Megan, si
cantik dan populer yang bersikap kurang bersahabat tanpa alasan yang jelas.
Zara berupaya untuk berdamai dengan kematian ayahnya dan
menciptakan beberapa langkah untuk hidup normal. Selain bergabung dengan tim
lari sekolah, dia pun kembali aktif menulis surat kepada Amnesti Internasional
demi mengkampanyekan bantuan untuk sesama.
Dalam misinya menyelamatkan dunia seperti yang ayah tirinya ajarkan,
kengerian mulai terjadi ketika Zara menyadari bahwa lelaki asing yang diduga
![Page 11: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/11.jpg)
menguntitnya bukan hanya sosok dalam imajinasinya saja. Ia melihat pria aneh
itu dimana-mana, keganjilan pun terus bermunculan, anak lelaki yang hilang
secara misterius, serbuk emas yang selalu ditinggalkan oleh si penguntit, suara
suara yang memanggil namanya di hutan serta sikap aneh teman-temannya yang
mempercayai legenda tentang pixie - peri. Maine memiliki berbagai makhluk luar
biasa diluar habitat manusia dan mereka tampaknya membutuhkan sesuatu-
sesuatu seperti Zara.”(Need-Carrie Jones).
Dari pembahasan diatas terlihat bahwa dalam kedua novel, tokoh utama
selalu memiliki masa lalu yang tidak begitu menyenangkan sehingga perlu
dipertemukan dengan makhluk fantasi seperti vampir maupun manusia serigala
atau peri untuk membebaskan mereka dari keterpurukan, dari sesuatu yang jahat
dan semacamnya, makhluk fantasi inilah yang seolah diharapkan membawa
keajaiban.
Kesimpulan
Fenomena makhluk fantasi sebagai tokoh imajiner dalam beberapa novel
bergenre supranatural-thriller seperti Twilight dan Need bukan kali pertama dan
bukanlah sesuatu yang baru, karena sebelumnya kita mengenal Harry Potter karya
JK Rowling dan banyal novel lainnya yang bergenre sama. Pemilihan vampir
maupun peri dan manusia serigala sebagai tokoh imajiner juga bukan sesuatu yang
baru, hanya saja masing-masing penulis mengemasnya menjadi cerita yang
berbeda dan memiliki kekhasan tersendiri.
Kehidupan manusia saat ini sudah semakin maju dan modern, semua serba
mengandalkan teknologi dan mesin, adanya hal-hal yang tidak biasa atau diluar
akal sehat seperti kemampuan super yang dimiliki oleh makhluk fantasi sebagai
tokoh imajiner dari kedua novel tersebut, mungkin bisa dianggap sebagai pelarian
dalam artian positif, lepas sejenak dari kehidupan nyata yang penat. Bacaan
semacam ini bukan hanya menghibur dengan imajinasi yang memukau namu
terselip begitu banyak pesan moral serta berguna untuk semacam phobia-therapy.
Dengan imajinasi yang ditawarkan penulis, pembaca bisa merasakan
berbagai emosi seperti kebahagian, ketegangan, rasa putus asa-pulih kembali,
![Page 12: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/12.jpg)
ketakutan dan lainnya seolah melakukan perjalanan sebagai tokoh utama,
menggembirakan tetapi bisa juga dijadikan sebagai sebagai meditasi akan rasa
takut yang biasa dialami remaja yang masih labil misalnya dalam Need. Mencari
tahu akan jati diri dan mengenal dunia yang sebenarnya terkadang merupakan
proses yang menakutkan, bahkan pada saat kita merasa cukup yakin tentang siapa
diri kita dan apa yang kita percayai, sebuah ketakutan saja mampu untuk
menggoyahkan semuanya. Ketakutan dapat merubah perspektif kita dan dari
situlah ujian yang sesungguhnya dimulai. Hal unik diselipkan dalam setiap
subjudul dalam Need, Carrie Jones menuliskan beberapa istilah phobia sebagai
subjudul didalamnya. Bagaimanapun juga sebuah eskapis atau pelarian tidak
melulu negatif dengan menikmati novel bertokoh imajiner makhluk fantasi
dibandingkan eskapis lainnya yang banyak terjadi di sekitar kita seperti memakai
narkoba dan lain-lainnya yang tentu merusak diri.
![Page 13: Artikel ilmiah](https://reader030.fdokumen.com/reader030/viewer/2022020116/5571f9b24979599169903344/html5/thumbnails/13.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Sayuti, Suminto.A.. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta : Gema Media.
Semi. M. Atar. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa,1993
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori sastra. Jakarta : Grasindo, 2008.
Siswantoro. 2004. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Teeuw. A. Membaca dan Menilai Sastra. (Gramedia,1991).
Tim Estetika FBS UNJ, Estetika Sastra, Seni dan Budaya. Jakarta : UNJ
Press,2008.