artikel

21

Click here to load reader

Transcript of artikel

Page 1: artikel

ogram Bimbingan Berbasis Neuro Linguistic Programming untuk Mereduksi Distres pada Peserta Didik di Jenjang Pendidikan SD sampai PT

(oleh: Juntika Nurihsan)

Abstrak

Permasalahan substantif yang dihadapi siswa di dunia pendidikan dikenal dengan istilah stres akademik. Perwujudan dari stres akademik antara lain adalah siswa enggan dan malas mengerjakan tugas-tugas kurikuler, sering bolos sekolah dengan berbagai alasan, dan mencontek atau mencari jalan pintas dalam mengerjakan tugas. Stres akademik yang menjangkit hampir di semua jenjang pendidikan membutuhkan penanganan serius. Secara umum penelitian bertujuan untuk merumuskan program bimbingan berbasis neuro linguistic programming untuk mereduksi distres pada peserta didik di jenjang pendidikan SD sampai PT. Program bimbingan dirumuskan berdasarkan telaah empiris tentang gejala spesifik distres, faktor-faktor penyebab distres, kecenderungan umum peta kognitif peserta didik, dan layanan bimbingan yang sangat diperlukan oleh peserta didik mengalami distres. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya program bimbingan berbasis Neuro Linguistic Programing yang dapat digunakan oleh pembimbing untuk mereduksi distres pada siswa dari jenjang pendidikan SD sampai PT. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diarahkan pada telaah gejala distres pada siswa, sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkap faktor-faktor distres dan kebutuhan siswa terhadap layanan bimbingan. Sampel penelitian berjumlah 30 orang yang teridentifikasi mengalami gejala distres pada kategori distres tinggi dan sangat tinggi.

Alat pengumpul data yang digunakan adalah angket mengenai gejala distres dan pedoman wawancara untuk mengungkap faktor penyebab distres dan kecenderungan umum peta kognitif yang mempengarui distres pada siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum distres peserta didik berada pada kategori sedang. Dominasi aspek distres pada siswa jenjang pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berada pada aspek emosi, sedangkan pada siswa jenjang pendidikan sekolah menengah atas, kejuruan dan perguruan tinggi berada pada aspek pikiran. Melalui teknik uji perbedaan dua rata-rata diketahui bahwa terdapat perbedaan antara nilai pretest dan post-test siswa. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa program bimbingan berbasis NLP efektif untuk mereduksi distres siswa pada jenjang SD sampai PT.

Kata kunci : Program Bimbingan Berbasis Neuro Linguistic Programming; Distres pada peserta didik.

PERMASALAHAN

Manusia memiliki kapasitas otak yang luar biasa. Nggermanto (2001:37) menyatakan bahwa setiap individu memiliki 100 milyar sel otak aktif sejak lahir. Kemudian masing-masing sel berkembang dan membuat jaringan hingga 20.000 sambungan setiap detiknya. Dengan kapasitas sebesar ini, otak mampu menghafal seluruh atom yang ada di alam semesta. Kemampuan memori otak adalah 10800, sedangkan jumlah atom di alam semesta adalah sekitar 10100” sehingga bukanlah hal yang muluk jika Tracy (2001) menyatakan bahwa keandalan teknik accelerated learning mampu meningkatkan kemampuan belajar manusia hingga 300-400% lebih hebat dari kemampuan belajar aktualnya.

Hasil studi Bloom (Makmun, 2000) menunjukkan bahwa persentase taraf kematangan dan kesempurnaan IQ (Intelegence quotient) seseorang mencapai 92 %-nya sejak usia 13 tahun. Ini berarti saat

Page 2: artikel

siswa duduk di bangku SLTP, mereka telah memiliki kapasitas belajar yang cenderung mapan, namun kemampuan dan kapasitas belajar siswa di Indonesia justru berkembang sebaliknya. Penelitian Drost (Kompas, 21 Oktober 2001) terhadap sampel siswa SMA menunjukkan bahwa angka keterpahaman kurikulum 1994 sebesar 30% saja.

Angka tersebut menunjukkan rendahnya keterpahaman siswa terhadap kurikulum yang tentu berimplikasi terhadap pencapaian keterpahaman kurikulum pada level yang lebih tinggi, terlebih jika dikaitkan dengan kurikulum berbasis kompetensi yang diberlakukan sebagai suplementatif kurikulum 1999. Pengalaman peneliti selama melakukan praktik PLBK (Praktik Layanan Bimbingan dan Konseling) di SMA kota Bandung menemukan banyak gejala stres pada siswa yang berakumulasi menjadi kondisi distres. Indikator distres yang dialami siswa antara lain frekeunsi ketidakhadiran di luar batas toleransi, tidak terselesaikannya pekerjaan rumah (PR), dan rendahnya tingkat keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Penelitian Herlina (1998) menunjukkan bahwa masalah penyesuaian diri terhadap tugas-tugas sekolah menyerap persentase yang cukup besar yaitu 32,38% dan merupakan masalah kedua setelah masalah masa depan dan karir, kemudian disusul oleh masalah pribadi psikologis dengan persentase 26,02 %. Penelitian Huliati (1994) menunjukkan beberapa perilaku siswa yang tidak produktif seperti: 1) kurang peduli terhadap materi yang harus kuasainya; 2) sulit mengambil keputusan ketika menghadapi pelajaran yang sulit pahamii; 3) mengambil jalan pintas dalam mengerjakan soal-soal/ulangan; 4) kurang inisiatif dan kreatif dalam memanfaatkan waktu luang; 6) mudah merasa bosan dalam mengikuti pelajaran; 7) sulit memusatkan perhatian pada pelajaran apalagi jika materinya kurang menarik dan penjelasan guru bertele-tele; dan 8) kurang motivasi dalam mengerjakan tugas (Apip, 2001).

Permasalahan substantif yang dihadapi siswa di dunia pendidikan dikenal dengan istilah stres akademik. Perwujudan dari stres akademik antara lain adalah siswa enggan dan malas mengerjakan tugas-tugas kurikuler, sering bolos sekolah dengan berbagai alasan, dan mencontek atau mencari jalan pintas dalam mengerjakan tugas. Stres akademik yang menjangkit hampir di semua jenjang pendidikan membutuhkan penanganan serius, apalagi merujuk pada pandangan Surya (2003) yang menyatakan bahwa ‘Learning has become the ciricen’s first duty. ‘Stop learning and you stop living.’

Secara umum penelitian bertujuan untuk merumuskan program bimbingan berbasis neuro linguistic programming untuk mereduksi distres pada peserta didik di jenjang pendidikan SD sampai PT. Program bimbingan dirumuskan berdasarkan telaah empiris tentang gejala spesifik distres, faktor-faktor penyebab distres, kecenderungan umum peta kognitif peserta didik, dan layanan bimbingan yang sangat diperlukan oleh peserta didik mengalami distres. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperolehnya program bimbingan berbasis Neuro Linguistic Programing yang dapat digunakan oleh pembimbing untuk mereduksi distres pada siswa dari jenjang pendidikan SD sampai PT.

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diarahkan pada telaah gejala distres pada siswa, sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengungkap faktor-faktor distres dan kebutuhan siswa terhadap layanan bimbingan. Sampel penelitian berjumlah 30 orang yang teridentifikasi mengalami gejala distres pada kategori distres tinggi dan sangat tinggi.

Alat pengumpul data yang digunakan adalah angket mengenai gejala distres dan pedoman

Page 3: artikel

wawancara untuk mengungkap faktor penyebab distres dan kecenderungan umum peta kognitif yang mempengarui distres pada siswa. Angket gejala distres berbentuk skala deskriptif model summated-ratings (Likert) dengan lima alternatif yaitu ”Sangat Merasakan”, ”Cukup Merasakan”, ”Merasakan”, ”Kurang Merasakan” dan ”Tidak Merasakan” dengan pola skoring 5, 4, 3, 2 dan 1. Artinya, semakin tinggi alternatif jawaban yang dipilih siswa maka semakin tinggi pula gejala distres yang dirasakan, sebaliknya semakin rendah alternatif jawaban yang dipilih maka semakin rendah pula gejala distres yang dirasakan oleh siswa.

Untuk mengungkap gejala distres pada responden SD, digunakan butir pernyataan dengan skala 3 yaitu ”Merasakan”, ”Kadang-kadang” dan ”Tidak Merasakan” dengan pola skoring 3, 2 dan 1. Artinya, semakin tinggi alternatif jawaban yang dipilih maka semakin tinggi gejala distres yang dirasakan siswa, sebaliknya dan semakin rendah alternatif jawaban yang dipilih maka semakin rendah pula gejala distres yang dirasakan oleh siswa. Untuk mengungkap faktor-faktor penyebab distres dan peta kognitif siswa digunakan pedoman wawancara yang mengungkap faktor internal (meliputi Time, Language, Mamories, Decisi, Meta Program, Value & Beliefe, Attitude) dan faktor eksternal (keluarga, sekolah, dan masyarakat).

Pengembangan instrumen penelitian mengikuti langkah-langkah standar yaitu; 1) validasi teoretis oleh pakar untuk mengetahui ketepatan materi, konstruk dan redaksi instrumen dan uji keterbacaan; 2) uji reliabilitas instrumen menggunakan rumus Spearman-Brown. Berdasarkan hasil perhitungan statistik dengan bantuan Program SPSS 11.0 diketahui reliabilitas instrumen gejala distres pada siswa SD (0,782), SMP (0,837), SMA (0,798), SMK (0,659), dan PT (0,69). Pengujian validitas alat pengumpul data menggunakan rumus korelasi product-moment dengan angka kasar. Dari 105 item yang diujicobakan diperoleh 44 item yang memenuhi kriteria penerimaan, 10 indikator hanya diwakili oleh 1 item dan 1 indikator yang tidak terwakili sama sekali.

Terdapat dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian yaitu data kuantitatif dan kualitatif. Untuk menganalisis data kuantitatif digunakan analisis statistik, sedangkan untuk menganalisis data kualitatif digunakan analisis non-statistik. Analisis statistik menggunakan perhitungan statistik seperti rata-rata hitung (mean), persentil, dan standar deviasi. Adapun analisis non statistik dilakukan dengan mendeskripsikan dan memberi makna terhadap data, kemudian dilakukan interfensi logis.

HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum distres yang Dialami Siswa Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi

Page 4: artikel

Tabel 1

Gambaran Umum Gejala Distres Siswa SD

Kategori Rentang Skor Frekuensi Persentase (%)

Sangat Tinggi 117-131 6 3

Tinggi 102-116 49 18

Sedang 87-101 60 41

Rendah 72-86 27 33

Sangat Rendah 57-71 4 5

Total 146 100

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebanyak 3% siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat tinggi; 18% siswa masuk pada kategori tinggi; 41% siswa masuk pada kategori sedang; 33% siswa masuk pada kategori rendah; dan 5% siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat rendah.

Secara rinci, aspek distres yang dialami siswa disajikan sebagai berikut.

Tabel 2

Deskripsi setiap Aspek Distres pada Siswa SD

No Aspek (%)

1 Fisik 24,42

2 Perilaku 21,80

3 Pikiran 22,79

4 Emosi 30,99

Tabel 2 menunjukkan bahwa aspek distres yang dominan dialami oleh siswa adalah aspek emosi (30,99), diikuti oleh aspek fisik (24,42); aspek pikiran (22,79) dan terakhir aspek perilaku (21,80

Tabel 3

Gambaran umum gejala distres siswa SMP

Kategori

Rentang Skor Frekuensi Persentase

Page 5: artikel

Sangat Tinggi 144-158 7 2,8 %Tinggi 117-143 43 17,3 %

Sedang 95-116 87 35,1 %Rendah 73-94 85 34,3 %

Sangat rendah 55-72 26 10,5 %Total 248 100 %

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebanyak 2,8 % siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat tinggi; 17,3 % siswa pada kategori tinggi; 35,1 % siswa pada kategori sedang; 34,3 % siswa pada kategori rendah; dan 10,5 % siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat rendah.

Uraian lebih jelas tentang aspek distres siswa disajikan sebagai berikut.

Tabel 4

Deskripsi Masing-Masing Aspek Distres Pada Siswa SMP

No

Aspek Aspek-Aspek Distres Persentase (%)

1 Aspek 1 Fisik 22,632 Aspek 2 Perilaku 24,953 Aspek 3 Pikiran 26,044 Aspek 4 Emosi 26,36

Tabel 4 menunjukkan bahwa aspek distres yang dominan dialami oleh siswa adalah aspek emosi (26,36), diikuti oleh aspek pikiran (26,04), aspek perilaku (24,95) dan terakhir aspek fisik (22,63).

Tabel 5

Gambaran Umum Gejala Distres Siswa SMA

Kategori

Rentang Skor Frekuensi Persentase

Sangat Tinggi 134-154 14 5,2 %Tinggi 113-133 58 21,56 %

Sedang 92-112 104 38,67 %Rendah 71-91 81 30,11 %

Sangat rendah 50-70 12 4,5 %Total 269 100 %

Tabel 5 menunjukkan bahwa sebanyak 5,2 % siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat tinggi; 21,56 % siswa pada kategori tinggi; 38,67 % siswa pada kategori sedang; 30,11 % siswa pada skala rendah; dan 4,5 % siswa mengalami gejala distres pada kateogri sangat rendah.

Tabel 6

Gejala Distres Siswa SMA

No

Aspek Aspek-Aspek Distres Persentase (%)

1 Aspek 1 Fisik 22

Page 6: artikel

2 Aspek 2 Perilaku 233 Aspek 3 Pikiran 314 Aspek 4 Emosi 24

Tabel 6 menunjukkan bahwa aspek distres yang dominan dialami oleh siswa adalah aspek pikiran (31%), diikuti oleh aspek emosi (24 %), aspek perilaku 23 %; dan terakhir aspek fisik sebesar 22 %

Tabel 7

Gambaran Umum Gejala Distres Siswa SMK

Kategori

Rentang Skor Frekuensi Persentase

Sangat Tinggi 145-160 4 0,88 %Tinggi 123-144 65 14,41 %

Sedang 101-122 237 52,54 %Rendah 79-100 143 31,70 %

Sangat rendah 57-78 12 2,66 %Total 451 100 %

Tabel 7 menunjukkan, bahwa sebanyak 0,88 % siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat tinggi; 14,41 % siswa pada kategori tinggi; 52,54 % siswa pada skala sedang; 331,70 % siswa pada kategori rendah; dan 2,66 % siswa mengalami gejala distres pada skala sangat rendah.

Uraian lebih jelas tentang aspek dari variable distres siswa, disajikan sebagai berikut

Tabel 8

Deskripsi Masing-Masing Aspek Distres Pada Siswa SMK

No

Aspek Aspek-Aspek Distres Persentase (%)

1 Aspek 1 Fisik 21,62 Aspek 2 Perilaku 25,983 Aspek 3 Pikiran 29,254 Aspek 4 Emosi 23,12

Tabel 8 menunjukkan bahwa aspek distres yang dominan dialami oleh siswa adalah aspek pikiran (29,25 ), diikuti aspek perilaku (25,98), aspek emosi (23,12), dan terakhir aspek fisik (21,6).

Tabel 9

Gambaran Umum Gejala Distres Mahasiswa

Kategori

Rentang Skor Frekuensi Persentase

Sangat Tinggi 134-149 10 4,80 %Tinggi 120-133 31 14,9 %

Sedang 105-119 77 37,01 %

Page 7: artikel

Rendah 90-104 69 33,17 %Sangat rendah 75-89 21 10,09 %

Total 408 100 %

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 4,80 % siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat tinggi; 14,9 % siswa pada kategori tinggi; 37,01 % siswa pada kategori sedang; 33,17 % siswa pada skala rendah; dan 10,09 % siswa mengalami gejala distres pada kategori sangat rendah.

Uraian lebih jelas tentang aspek dari variable gejala distres mahasiswa disajikan sebagai berikut.

Tabel 10

Deskripsi Masing-Masing Aspek Distres Pada Mahasiswa

No

Aspek Aspek-Aspek Distres Persentase (%)

1 Aspek 1 Fisik 242 Aspek 2 Perilaku 253 Aspek 3 Pikiran 284 Aspek 4 Emosi 21

Tabel 10 menunjukkan bahwa aspek distres yang dominan dialami oleh mahasiswa adalah aspek pikiran 28 %; diikuti aspek perilaku 25 %; aspek fisik 24 %; dan terakhir aspek emosi 21 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum distres peserta didik berada pada kategori sedang. Dominasi aspek distres pada siswa jenjang pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama berada pada aspek emosi, sedangkan pada siswa jenjang pendidikan sekolah menengah atas, kejuruan dan perguruan tinggi berada pada aspek pikiran.

2. Gambaran Umum Faktor yang Menjadi Penyebab Utama Distres pada Peserta Didik

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 orang siswa dari setiap jenjang pendidikan yang mengalami gejala distres pada kategori Tinggi dan Sangat Tinggi, terungkap bahwa faktor internal yang menjadi penyebab distres pada siswa jenjang pendidikan Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi adalah penggunaan bahasa, keyakinan, memori, sikap, dan kesiapan siswa dalam menghadapi tuntutan dengan kadar yang bervariasi.

Faktor eksternal yang menjadi penyebab distres berasal dari keluarga, sekolah dan masyarakat. Untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, faktor eksternal yang menjadi penyebab distres adalah beban studi yang padat. Pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, faktor eksternal yang berpengaruh adalah lingkungan sosial. Pada jenjang pendidikan sekolah menengah atas dan kejuruan, faktor eksternal yang sangat berpengaruh adalah lingkungan keluarga. Pada jenjang pendidikan tinggi faktor eksternal yang sangat berpengaruh adalah lingkungan kampus khususnya beban akademik

3.       Kebutuhan khusus yang Diperlukan Peserta Didik yang Mengalami Distres

Page 8: artikel

Beberapa kebutuhan khusus yang dirasakan oleh peserta didik yang mengalami distres antara lain adalah: 1) penggunaan metode pengajaran yang bervariasi oleh guru bidang studi, misalnya penggunaan multimedia dalam proses belajar mengajar di kelas, 2) penambahan fasilitas sekolah seperti internet, perpustakaan dan fasilitas olah raga.

4.       Kecenderungan Umum Peta Kognitif Distres Peserta Didik

Hasil wawancara terhadap 30 orang siswa yang mengalami distres kategori tinggi dan sangat tinggi, terungkap bahwa kecenderungan pola kognitif peserta didik yang mengalami distres secara umum adalah sebagai berikut:

a.       Language, secara umum peserta didik yang mengalami distres menggunakan kata-kata yang bermakna destruktif seperti “bosan”, “malas’, “jenuh”, dan “pusing” .

b.       Beliefe, peserta didik yang mengalami distres cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

c.       Memory, secara umum peserta didik yang mengalami distres terbelenggu oleh kegagalan masa lalunya.

d.       Time, peserta didik yang mengalami distres cenderung tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan.

e.       Decision, peserta didik yang mengalami distres cenderung menghindari tantangan.

f.        Attitude, secara umum peserta didik yang mengalami distres cenderung memiliki sikap yang negatif dalam menghadapi sebuah persoalan.

5. Layanan Bimbingan yang sangat Diperlukan oleh Siswa yang Mengalami Distre

Hasil wawancara terhadap 30 orang siswa yang teridentifikasi mengalami distres kategori tinggi dan sangat tinggi, terungkap bahwa layanan bimbingan yang sangat diperlukan oleh peserta didik yang mengalami distres pada jenjang pendidikan dasar adalah layanan bimbingan pribadi dan belajar. Pada jenjang pendidikan menengah pertama adalah layanan bimbingan sosial, jenjang pendidikan menengah atas adalah layanan bimbingan pribadi-sosial. Pada jenjang pendidikan menengah kejuruan adalah layanan bimbingan karir dan pada jenjang pendidikan tinggi adalah layanan bimbingan karir dan belajar.

6.       Efektivitas Model Bimbingan Berbasis NLP Untuk Mereduksi Stres Pada Siswa SD Sampai PT

Melalui teknik uji perbedaan dua rata-rata diketahui bahwa terdapat perbedaan antara nilai pretest dan post-test siswa. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa program bimbingan berbasis NLP efektif untuk mereduksi distres siswa pada jenjang SD sampai PT

Page 9: artikel

PEMBAHASAN

1. Gambaran Distres Siswa

Penelitian terhadap siswa kelas V SDN Banjarsari menunjukkan bahwa tingkat distres mereka masuk pada kategori sedang dengan proporsi 41%. Hal ini jelas berpotensi untuk berkembangn menjadi distres pada kategori yang lebih tinggi, seandainya siswa tidak memperoleh program intervensi secara sistematis. Aspek distres siswa yang utama pada dimensi emosi dengan indikator cemas, gugup, gelisah, merasa tidak berharga, kesulitan menanggapi situasi humor, tidak menikmati hidup, mudah menangis, merasa diabaikan, cepat marah, takut, mudah tersinggung, murung, ketakutan tanpa alasan, moody, mudah mengeluh dan panik

Penelitian terhadap siswa kelas II SMPN I PGRI Cimahi menunjukkan bahwa tingkat distres siswa masuk pada kategori sedang dengan proporsi 35,15 %. Aspek distres utama adalah dimensi emosi dengan indikator gelisah, mudah marah, takut, mudah menangis, merasa diabaikan, mudah tersinggung, cemas, tidak merasakan kepuasan, kebahagiaan dan kedamaian, mudah panik, tidak memiliki “sense of humor”.

Penelitian terhadap siswa kelas II SMAN I Cimahi menunjukkan bahwa pada umumnya distres siswa masuk pada kategori sedang dengan proporsi 38,67%. Aspek distres terumata pada dimensi pikiran dengan indikator mudah lupa, tidak memiliki tujuan atau makna hidup, tidak bisa menentukan prioritas dalam hidup, bingung atau pikirannya sering kacau, prestasi cenderung menurun, tidak bisa menentukan pilihan, kehilangan harapan, berfikiran negatif dan merasa diri tidak berguna serta merasa tidak menikmati hidup.

Penelitian terhadap siswa kelas II SMKN 1 Cimahi menunjukkan bahwa distres yang dialami siswa masuk pada kategori sedang dengan proporsi 52,54 %. Aspek distres yang utama adalah dengan indikator mudah lupa, tidak memiliki tujuan atau makna hidup, tidak bisa menentukan prioritas dalam hidup, bingung atau pikirannya sering kacau, prestasi cenderung menurun, tidak bisa menentukan pilihan, kehilangan harapan, berfikiran negatif dan merasa diri tidak berguna serta merasa tidak menikmati hidup.

Penelitian terhadap mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP PUI Tingkat II, III dan IV menunjukkan distres masuk pada kategori sedang dengan proporsi 37,01. Aspek distres utama adalah dimensi pikiran dengan indikator mudah lupa, tidak memiliki tujuan atau makna hidup, tidak bisa menentukan prioritas dalam hidup, bingung atau pikirannya sering kacau, prestasi cenderung menurun, tidak bias menentukan pilihan, kehilangan harapan, berfikiran negatif dan merasa diri tidak berguna serta merasa tidak menikmati hidup

2.       Faktor Penyebab Distres

Secara umum faktor penyebab distres peserta didik terbagi atas dua yakni aspek internal dan aspek eksterna. Aspek internal berkenaan dengan penggunaan bahasa, keyakinan, memori, sikap, dan kesiapan siswa dalam menghadapi tuntutan dengan kadar yang bervariasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor dominan penyebab distres adalah faktor internal. Hal ini senada dengan pernyataan Robin (2006) bahwa individu memiliki kuasa atas dirinya (pikirannya).

Faktor-faktor yang merupakan sumber distres pada siswa, diantaranya: a) faktor keluarga, meliputi gangguan mental dan kepribadian orang tua, ketidakharmonisan pernikahan orang tua, kurangnya kasih sayang, kontrol dan disiplin, orangtua yang menaruh harapan tinggi dan tidak realistis terhadap anak,

Page 10: artikel

persaingan yang tidak sehat antar saudara kandung dengan kata lain terjadinya disharmonisasi antara anggota keluarga khususnya antara saudara kandung; b) faktor sekolah dan kurikulum, meliputi; pengharapan yang tingi dari sekolah, disiplin di sekolah, dan kegiatan ujian-ujian; c) faktor masyarakat, meliputi pengaruh buruk dari masyarakat di sekitar tempat tinggal, penolakan dari masyarakat, dan ejekan dari teman

3.       Kebutuhan Khusus yang Diperlukan Peserta Didik yang Mengalami Distres

Beberapa temuan kebutuhan khusus peserta didik yang mengalami distres adalah penggunaan metode pengajaran yang bervariasi oleh guru bidang studi. Hal ini dikarenakan siswa yang mengalami distres merasakan adanya stagnasi dari rutinitas proses pembelajaran yang monoton. Menurut Dilts (2002) pembelajaran akan semakin efektif jika melibatkan modalitas belajar individu (visual, auditori dan kinestetik).

Hal lain yang menjadi kebutuhan khusus siswa adalah kelengkapan fasilitas sekolah. Kelengkapan fasilitas sekolah akan memudahkan siswa untuk belajar secara mandiri sehingga ia tidak bergantung pada guru bidang studi. Selain itu fasilitas sekolah akan menunjang ketercapaian tujuan pendidikan,.

4.       Kecenderungan Umum Peta Kognitif Distres

Peta kognitif distres peserta didik pada intinya berkenaan dengan bagaimana cara peserta didik mengelola informasi yang datang dari luar dirinya. Tad (2003) mengungkapkan bahwa mekanisme berfikir individu sangat dipengaruhi oleh pilihan kata yang digunakan (language), keyakinan yang dimiliki (belief), sikap (attitude), memory, kesiapsediaan (time).

Peserta didik yang mengalami distres pada jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi memiliki kesamaan pola dalam mekanisme berfikirnya yakni cenderung menggunakan bahasa yang destruktif, memiliki kepercayaan diri yang rendah, tidak siap menerima perubahan, memiliki sikap yang negatif. Maka dari itu pengembangan model lebih diarahkan pada pembentukan mekanisme berfikir yang positif dan efektif.

5.       Layanan Bimbingan yang Sangat Diperlukan oleh Peserta Didik yang Mengalami Distres

Secara umum layanan bimbingan yang diperlukan oleh peserta didik yang mengalami distres meliputi empat bidang layanan bimbingan yaitu bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir. Keempat bidang bimbingan ini disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Untuk jenjang pendidikan dasar, layanan bimbingan pribadi dan belajar lebih dibutuhkan oleh siswa yang mengalami distres karena melalui bimbingan siswa akan mampu menemukan dan memahami serta mengembangkan pribadi yang positif. Sedangkan melalui bimbingan belajar, membantu siswa SD untuk mengembangkan kebiasaan belajar yang baik dan mengatasi masalah-masalah belajar dengan positif.

Bagi siswa yang mengalami distres pada jejang pendidikan SMP, bidang bimbingan yang diperlukan adalah bimbingan sosial karena dapat membantu siswa berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, terutama dengan teman-teman sebayanya. Jenjang pendidikan SMA lebih menekankan pada bidang bimbingan pribadi yang akan membantu siswa untuk memahami, menerima, mengarahkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Untuk siswa yang mengalami distres pada jenjang pendidikan SMK, bidang bimbingan yang lebih ditekankan adalah bimbingan karir. Hal ini dimaksudkan untuk membantu siswa dalam merencanakan kehidupan masa depannya (Juntika, 2002). Untuk mahasiswa yang

Page 11: artikel

mengalami distres, bidang bimbingan yang sesuai adalah bimbingan pribadi dan belajar. Hal ini dikarenakan kurangnya kesiapan mereka dalam menjalani kehidupan akademik di bangku kuliah. Dengan adanya keempat layanan bimbingan tersebut, maka diharapkan muncul individu-individu yang unggul dan handal dalam menghadapi setiap perubahan.

6.       Efektifitas Program Bimbingan Berbasis NLP dalam Mereduksi Distres

Semua individu berpeluang untuk mengalami stres. Stres terjadi bila tubuh bereaksi terhadap sebuah situasi yang nyata ataupun yang di bayangkan (Haney: 2004, 1). Situasi yang menyebabkan timbulnya reaksi stres disebut stresor. Stres yang menguntungkan membantu individu untuk tetap siaga dan menghasilkan prestasi yang terbaik. Menurut Selye (2004,1-2) stres dapat menguntungkan, namun juga stres dapat merusak. Stres yang merusak dikenal dengan istilah distres. Menurut Lazarus & Folkman (1984:19) stres diartikan sebagai tekanan yang kuat dari rasa sakit atau duka, kesedihan yang mendalam, kelelahan atau keletihan yang amat sangat. Gejala yang tampak pada individu yang mengalami distres diantaranya terlihat pada kondisi fisik, pikiran, emosi dan perilaku.

Salah satu solusi untuk mengintervensi individu yang mengalami distres adalah dengan menggunakan program bimbingan berbasis NLP. NLP membantu individu berkomunikasi dengan diri, mengurangi ketakutan tanpa alasan, mengontrol emosi negatif dan kecemasan (Elfiky: 2000:12). NLP akan membantu jutaan orang untuk hidup lebih bahagia dan menjalani kehidupan yang seimbang lepas dari keterbatasan dan perasaan negatif.

Dalam perspektif NLP stres merupakan sesuatu yang natural muncul sebagai konsekuensi dari suatu perubahan lingkungan. Menurut Dilts (2002) stres sangat ditentukan oleh sistem dalam otak individu yang telah terpogram, yang secara otomatis akan merespon stimulus tertentu. Peran NLP disini adalah mempelajari bagaimana mekanisme kerja otak dan hal apa saja yang mempengaruhi sistem tersebut sehingga dengan mengetahui cara kerjanya individu dapat menentukan respon positif terhadap stres. Dalam sudut pandang NLP stres negatif yang dikenal dengan distres terjadi karena individu terfokus pada pengalaman yang kurang menyenangkan sehingga menimbulkan reaksi tertentu terhadap situasi tersebut. NLP mampu menciptakan pengalaman yang kurang menyenangkan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi individu.

DAFTAR PUSTAKA

Andreas, S & Faulkner C. (1998). NLP The New Technology of Achievement”. Alih Bahasa. Jakarta: Pustaka Delapratasa.

Arikunto, S. (2003). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Astiyanti, N, et.al. (2003). Aplikasi Camp Counseling untuk Mengatasi Kejenuhan belajar Siswa SMA. Bandung: tidak diterbitkan.

Babu, S. (2000). NLP. Artikel [Online] tersedia di http://www. Lifepositive.com/mind/personal-growth/nlp/nlp-

Page 12: artikel

effect.asp. Up date: 29 Maret 2006

Bandler, R. (1997). Faqs About NLP’TM. Artikel [Online] tersedia di http://www. Nlp.net.com. Up date: 21 Maret 2001.

Cavanagh, M. (2000). The Counseling Experience: A Theoritical and Practical Aproach.California: Wadsworth, Inc

Chaplin, J.P. (1993). Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan. Jakarta: Rajawali Press.

Desller, G. (2003). Human Resource Management. Flirida: Prentice International, Inc.

Dilts, R. & Delozier, J A. (2000). Ensyclopedia of Sistemic Neuro-Linguistic Programming and NLP New Coding. USA: NLP universitypress.

Farhati, F. et.al. (1996). Karakterisik Pekerjaan, Dukungan Sosial, dan Tingkat Burnout Pada Non Human Service Corporation. Jurnal Psikologi No. 1, 1-12.

Harefa, A. (2002). Sekolah Saja Tak Pernah Cukup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: ERLANGGA.

Kartadinata, S. (2005). “Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional: Proposisi Historik-Futuristik”. Kumpulan Makalah Seminar Bimbingan dan Konseling Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Moh. Djawad Dahlan. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kroth, J. (1973). Conseling, Psychology and Guidance. USA: Charles C. Thomas Publisher.

Lazarus, R.S & Folkman, S. (1976). Pschology Of Adjustment. New York: Springer Publishing Comapany.

Lowe, E. (2004). Student stress levels build up to burn out. Artikel [Online] tersedia di http://www.isubengal.com/home Up date: 21 April 2006.

Makmun, A. (2000). Psikologi Kependidikan. Edisi Revisi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya

Miller, FW. (1978). Guidance: Principles and Services. Columbus Ohio: Charles E. Merrill Books, Inc.

Nggermanto, A. (2001). Quantum Quotient. Bandung: Nuansa.

Nurihsan, J (1998). Bimbingan Komprehensif: Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum. Bandung: Disertasi UPI Tidak Diterbitkan.

_________. (2002). Pengantar Bimbingan dan Konseling. Bandung: PPB UPI.

Page 13: artikel

_________. (2005). Manajemen Bimbingan dan Konseling di SMP. Jakarta: GRASINDO.

Rachman, A. (2006). “Agar Tak Membosankan, Kurikulum Pendidikan Harus Kontekstual”. Pikiran Rakyat (29 Mei 2006)

Robbins, A. (2000). Unlimited Power. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Delapratasa.

Ronodirjo, R. (2005). Hipnotis dan NLP- dari Penyembuh Fobia, Percepatan Belajar Hingga Kesaktian. Artikel [Online] tersedia di htttp://enjoysharing.multiply.com. Up date: 5 Juni 2006.

Rose, C. (2002). Accelerated learning. Bandung: Nuansa.

Santrock, J. 1995. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jilid 2. Jakarta: ERLANGGA.

Surya, M.(2003). “Peluang dan Tantangan Global bagi Profesi Bimbingan dan Konseling: Implikasinya bagi Strategi Organisasi dan Stadarisasi Bimbingan dan Konseling”. Kumpulan makalah Konvensi Nasional XIII ABKIN.Bandung: Tidak diterbitkan.

Suryabrata, S. (1999). Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suryaman, M. (2005). Pendidikan dan Kenaikan Harga BBM. Artikel [Online] tersedia di www.bayhaqi.blogpspot.com. Up to date: 29 Maret 2006.

Suherman, U. (1998). Evaluasi dan Pengembangan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Bandung: PPB UPI.

Syaodih, N. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda.

Tracy, B. (2001). Techniques of Accelerated Learning. Artikel [Online] tersedia di www.cultureshift.com. Up date: 21 Maret 2001.

Tad,J. (2003). What is NLP : A model of Comunication and Personality. Artikel. [Online]. Tersedia di : www.nlp.com.. Up date: 13 Januari 2006.

Waringin, T. (2003). Financial Revolution. Jakarta: Gramedia.

Winkel, WS. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

Nn. (2005). Anak Saya Bukan Anak Jenius. Artikel [Online] tersedia di www.kompas.com. Up date: 8 Maret 2006.