ARITMIA
Transcript of ARITMIA
ARITMIA
DEFINISIAritmia adalahkelainan dalam kecepatan, irama, tempat asal dari impuls /
gangguan konduksi yang menyebabkan perubahan dalam urutan normal aktivasi
atrium sampai ventrikel.
PEMBAGIAN KLINIS
1. Takiaritmia
Frekuensi ventrikuler > 100 kali / menit berdasarkan fokus
-supraventrikuler terjadi pada atrium
- Ventrikuler terjadi pada ventrikel
2. Bradiaritmia Frekuensi ventrikuler < 60 kali / menit
3. Braditakiaritmia Timbulnya takiaritmia dan bradiaritmia secara bergantian
ETIOLOGI
1. Gangguan sirkulasi koroner
- Iskemia miokard
- Infark miokard
2. Peradangan jantung
- Demam rematik
- Miokarditis
3. Gangguan Kerusakan Struktur Jantung
-Gagal jantung
- Kardiomiopati
4. Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basah
-Hiperkalemia / hipokalemia
- Asidosis / alkalosis
5. Gangguan endokrin : Hipertiroid
6. Intoksikasi obat : digoksin, obat antiaritmia, dll
7. Gangguan susunan saraf otonom / pusat
8. Irama abnormal dari pacu jantung
9. Pergeseran pacu jantung dari nodus sinus ke bagian lain dari jantung
10. Blok pada tempat-tempat yang berbeda sewaktu menghantarkan impuls
melalui jantung
11. Jalur hantaran impuls yang abnormal melalui jantung
12. Pembentukan yang spontan dari impuls abnormal pada hampir semua bagian
jantung
GEJALA
Gejala umum aritmia antara lain :
- Pusing, Sesak napas, Kelelahan, Kelemahan, Nyeri dada, Pingsan
MEKANISME
- Pengaruh persyarafan autonom yang mempengaruhi HR ( Heart Rate )
- Nodus SA mengalami depresi sehingga fokus irama jantung diambil alih yang
lain
- Fokus yang lain aktif dari nodus SA dan mengontrol irama jantung
- Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat keluar ( sinus arrest ) atau
mengalami hambatan dalam perjalanannya keluar nodus SA ( SA block)
- Terjadi hambatan perjalanan impuls sesudah keluar nodua SA, misalnya di
daerah atrium,
berkas His, ventrikel, dll
PEMERIKSAAN FISIK
- Pemeriksaan nadi dan detak jantung
- Menentukan ada atau tidaknya aritmia ( tidak bisa menentukan jenis aritmia )
- Pemeriksaan vital sign derajat kegawatan aritmia
- Pemeriksaan Thoraks tidak spesifik
PEMERIKSAAN ECG
Jenis pemeriksaan :
1. Konvensial EKG 12 lead
2. Monitoring EKG
3. Holter monitor
4. Exercise Stress test ( treatmill test )
5. Electrophysiology study (Kateterisasi)
TATALAKSANA ARITMIA
Tujuan :
- Konversi aritmia irama sinus
- Tujuan alternatif mengendalikan frekuensi ventrikular yang optimal ( 60 – 100
kali /
menit )
- Terapi penyakit dasarnya
Indikasi
Aritmia yang simptomaik dan aritmia dengan gangguan hemodinamik
MACAM-MACAM TERAPI ARITMIA
- Psikoterapi
- Vagal manouver
- Obat Antiaritmia
- Direct current ( DC ) Counter shock ( alat kejut jantung ) untuk mengkonversi
takiaritmia dengan gangguan hemodinamik
- Radio frequency catheter ablation
- Automatic implantable defibrillator
- Pace maker temporer / permanent
TERAPI NON FARMAKOLOGIS
- Kurangi merokok
- Kurangi stress
- Kurangi minuman beralkohol
- Diet
TERAPI FARMAKOLOGIS
OBAT ANTIARITMIA ( MENURUT VAUGHAN WILLIAMS )
1. Kelas I : Golongan Penyekat Na
Ia : Quinidin, Procainamid, Disopyramid
Ib : Lidocain, Mexiletin, Phenitoin
Ic : Propafenon, Flecainamid, Moricizin
2. Kelas II : Golongan Penyekat Beta ( MK : memblok reseptor β adrenergik )
Ex : Propanolol, Bisoprolol, Atenolol, Menoprolol
Indikasi : Aritmia jantung, angina pektoris, dan hipertensi
3. Kelas III : Golongan obat yang memperpanjang potensial aksi dan repolarisasi (
paling
aman )
Ex : Amiodaron, Sotalol, Bretilium, Dofatilide, Ibutilide
MK : Memblok kanal kalium
Indikasi : AF, PAF, PSVT, VA parah, VF
4. Kelas IV : Golongan Ca – antagonis , ex : verapamil, diltiazem
MK : Memblok kanal kalsium
Indikasi : Supraventrikular aritmia (pada pasien Hipertensi)
OBAT ARITMIA KELAS I : meningkatkan waktu repolarisasi, interval QTc,
dan resiko TdP
KELAS II DAN IV : menurunkan denyut jantung, menurunkan kekuatan
kontraksi ventrikel, menurunkan stroke volume, memperpanjang interval PR.
KELAS IB : hanya bekerja pada jarinagn ventrikuler
KELAS IC : tidak boleh digunakan setelah MI, atau pada pasien dengan HF, atau
hipertrofi ventrikuler kiri.
TERAPI MEKANIS
- Kardioversi : mencakup pemakaian arus listrik unutk menghentikan disritmia
yang memiliki
kompleks GRS, biasanya merupaka prosedur elektif.
- Defiblrilasi : Kerdioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat
darurat.
- Defibrilator Kardioverter Implantable : suatu alat untuk mendeteksi dan
mengakhiri
episode takikardi ventrikel yang mengancam jiwa atau pada pasien yang resiko
mengalami
fibrilasi vantrikel.
- Terapi Pace maker : alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik
berulang ke otot
jantung untuk mengontrol frekuensi jantung.
FAKTOR RESIKO
- Hipertensi
- Stress karena meningkatnya produksi adrenalin yang bekerja pada pembukuh
darah
sehingga tekanan darah meningkat.
- Diabetes
- Bahan-bahan kimia tertentu, ex : Cofein gol. Xantin
http://wailineal.blogspot.com/2011/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
Askep Decompensasi Cordis
Askep Decompensasi Cordis
Decompensasi CordisA. PengertianDecompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad ramali.1994)
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung (Tabrani, 1998; Price, 1995).Askep Decompensasi Cordis
B. EtiologiMekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomiyopati.
Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil (Price. Sylvia A, 1995).Askep Decompensasi Cordis
C. KlasifikasiBerdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri,gagal jantung kanan,dan gagal jantung kongestif.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort,fatigue,ortopnea,dispnea nocturnal paroksismal,batuk,pembesaran jantung,irama derap,ventricular heaving,bunyi derap S3 dan S4,pernapasan cheyne stokes,takikardi,pulsusu alternans,ronkhi dan kongesti vena pulmonalis.
Pada gagal jantung kanan timbul edema,liver engorgement,anoreksia,dan kembung.Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung kanan,heaving ventrikel kanan,irama derap atrium kanan,murmur,tanda tanda penyakit paru kronik,tekanan vena jugularis meningkat,bunyi P2 mengeras,asites,hidrothoraks,peningkatan tekanan vena,hepatomegali,dan pitting edema.
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas :1. Kelas 1;Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.2. Kelas 2;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari tanpa keluhan.3. Kelas 3;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
4. Kelas 4;Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan harus tirah baring.
Askep Decompensasi Cordis
D. PatofisiologiKelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup,dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal jantung,ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat :• Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik,• Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron, dan• Hipertrofi ventrikel.Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif. Meurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan medulla adrenal.Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung.Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus,2. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus,3. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I,4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,5. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan6. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding.Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium;tergantung dari jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung,sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial.Respon miokardium terhadap beban volume,seperti pada regurgitasi aorta,ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding.Askep Decompensasi Cordis
E. Tanda dan gejalaDampak dari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau sisitem pulmonal antara lain :• Lelah
• Angina• Cemas• Oliguri. Penurunan aktifitas GI• Kulit dingin dan pucatTanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balikdari ventrikel kiri, antara lain :• Dyppnea• Batuk• Orthopea• Reles paru• Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru.Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :• Edema perifer• Distensi vena leher• Hari membesar• Peningkatan central venous pressure (CPV)
F. Pemeriksaan penunjangFoto polos dada• Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang, cefalisasi arteria pulmonalis.• Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atriumkiri dan pembesaran ventrikel kanan.
2. EKGIrama sinus atau atrium fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium fibrilasi.
3. Kateterisasi jantung dan Sine AngiografiDidapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol. Selain itu dapat dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.Askep Decompensasi Cordis
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Decompensasi Cordis
A. Pengkajian1. Aktivitas dan Istirahat• Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.Mengeluh sulit tidur (ortopneu, dispneu paroksimal nokturnal, nokturia, keringat malam hari).• Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu, dispneu.
2. Sirkulasi• Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital: kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi, serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock hipovolema.• Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.
3. Integritas Ego• Tanda: menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna, kepribadian neurotik.
4. Makanan / Cairan• Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.• Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising terdengar krakela dan mengi.
5. Neurosensoris• Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing• Tanda: Kelemahan
6. Pernafasan• Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.• Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah, gelisah.
7. Keamanan• Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi• Tanda: Kelemahan tubuh
8. Penyuluhan / pembelajaran• Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.• Tanda: Menunjukan kurang informasi.
B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin muncul1. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.
2. Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.
C. Inetrvensi1. Diagnosa Keperawatan 1. :Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil
Tujuan :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal, PO2 80-100 mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2
Tindakan• Kaji kerja pernafasan (frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya)• Berikan tambahan O2 6 lt/mnt• Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA)• Koreksi kesimbangan asam basa• • Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi fowler)• Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam• Lakukan balance cairan• Batasi intake cairan• Eavluasi kongesti paru lewat radiografi• Kolaborasi :• RL 500 cc/24 jam• Digoxin 1-0-0• Furosemid 2-1-0
Rasional• Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas.• Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.• Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya proses pertukaran gas.• Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan.• Meningkatkan ekpansi paru• Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.• Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi timbulnya odem sehingga dapat mecegah ganggun pertukaran gas.• Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.
2. Diagnosa Keperwatan 2. :Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.Tujuan :Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60), Frekwensi jantung normal.Tindakan• Pertahankan pasien untuk tirah baring• Ukur parameter hemodinamik• Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.• Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4• Periksa BGA dan saO2• Pertahankan akses IV• Batasi Natrium dan air• Kolaborasi :• ISDN 3 X1 tab
• Spironelaton 50 –0-0
Rasional• Mengurangi beban jantung• Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP, CVP sebagai indikator peningkatan beban kerja jantung.• Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi curah jantung.• Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole.• Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer.• Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.• Mencegah peningkatan beban jantung• Meningkatkan perfisu ke jaringan• Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung. http://muhsetong.blogspot.com/
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DIC adalah efek dalam koagulasi yang ditandai dengan perdarahan dan
koagulasI simultan. DIC adalah hasil stimulasi abnormal dari proses koagulasi
normal sehingga selanjutnya terbentuk trombi mikrovaskular yang tersebar luas
dan kehabisan faktor pembekuan. Sindrom ini dipicu oleh berbagai penyakit
seperti sepsis, trauma multipel, luka bakar, dan neoplasma. DIC dapat dijelaskan
sebagai dua proses koagulasi yang terkendali dengan tepat yang menjadi
terakselerasi dan tidak terkendali.
Koagulasi intravascular diseminata (KID) merupakan salah satu
kedaruratan medis,karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan
segera. Tetapi tidak semua KID digolongkan dalam darurat medis,hanya KID
fulminan atau akut sedang KID derajat yang terendah atau kompensasi bukan
suatu keadaan darurat. Namun perlu di waspadai bahwa KID derajat rendah dapat
berubah menjadi KID fulminan,sehingga memerlukan pengobatan segera
Banyak penyakit yang sudah di kenal dan sering mencetuskn KID. Akibat
banyaknya penyakit yang dapat mencetuskannya gejala klinis KID menjadi sangat
bervariasi pula. Hal ini juga mungkin salah satu penyabab mengapa banyak istilah
yang dipakai untuk KID seperti konsumsi koagulopati,hiperfibrinolisis,defibrinasi
dan sindrom
trombohemoragik. Istilah yang paling akhir ini lebih menggambarkan
gejala klinis karena dihubungkan dengan patofisiologis. Istilah yang paling umum
diterima sekarang ini adalah KID. Trombohemoragik menggambarkan terjadinya
thrombosis bersamaan dengan perdarahan. Kedua manifestasi klinik ini dapat
terjadi bersamaan pada KID. Tetapi para dokter lebih sering memperhatikan
perdarahan daripada akibat thrombosis padahal morbiditas dan mortalitas lebih
banyak dipengaruhi thrombosi
Keberhasilan pengobatan selain ditentukan keberhasilan mengatasi
penyakit dasar yang mencetuskan KID juga ditentukan oleh akibat KID itu sendiri
Dalam makalah ini akan disajikan penanganan yang obyektif mengenai diagnosis
klinis dan laboratorium,etiologi,patofisiologi,menentukan berat KID,menilai
respons terhadap pengobatan,dan tatalaksana pada umumnya.
1.2 Rumusan masalah
1.apa pengertian DIC?
2.Bagaimana mekanisme hemostasis normal?
3.bagaimana etiologi DIC?
4. bagaimana manifestasi klinis DIC?
5.bagaimana patofisiologi DIC?
6.bagaimana komplikasi DIC?
7.Siapa saja yang resiko tinggi menderita penyakit DIC?
8. bagaimana pemeriksaan hemostasis DIC?
9.bagaimana penatapelaksanaan DIC?
10.bagaimana asuhan keperawatan DIC?
1.3 Tujuan
1.untuk mengetahui pengertian DIC
2.untuk mengetahui etiologi DIC
3.untuk mengetahui mekanisme hemostasis normal DIC
4.untuk mengetahui manifestasi klinis DIC
5.untuk mengetahui patofisiologi DIC
6.untuk mengetahui komplikasi DIC
7.untuk mengetahui resiko tinggi yang menderita penyakit DIC
8.untuk mengetahui pemeriksaan hemostasis DIC
9.untuk mengetahui penatapelaksanaan DIC
10.untuk mengetahui asuhan keperawatan DIC
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 DEFINISI DIC
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana
bekuan- bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan
yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. (medicastore.com).
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom yang
ditandai dengan adanya perdarahan/kelainan pembekuan darah yang disebabkan
oleh karena terbentuknya plasmin yakni suatu spesifik plasma protein yang aktif
sebagai fibrinolitik yang di dapatkan dalam sirkulasi (Healthy Cau’s)
Secara umum Disseminated Intavascular Coagulation (DIG) didefinisikan
sebagai kelainan atau gangguan kompleks pembekuan darah akibat stirnulasi yang
berlebihan pada mekanisme prokoagulan dan anti koagulan sebagai respon
terhadap jejas/injury (Yan Efrata Sembiring, Paul Tahalele)
Kesimpulan : DIC adalah penyakit dimana faktor pembekuan dalam tubuh
berkurang sehingga terbentuk bekuan-bekuan darah yang tersebar di seluruh
pembuluh darah.
2.2 Mekanisme Hemostasis normal
Sistem pembuluh darah membentuk suatu sirkuit yang utuh yang
mempertahankan darah dalam keadaan cair. Jika terdapat kerusakan pada
pembuluh darah, trombosit dan sistem koagulasi akan menutup kebocoran atau
kerusakan tersebut sampai sel pada dinding pembuluh darah memperbaiki
kebocoran tersebut secara permanen. Proses ini meliputi beberapa tahap/faktor,
yaitu;
1. Interaksi pembuluh darah dengan struktur penunjangnnya
2. Trombosit dan interaksinya dengan pembuluh darah yang mengalami kerusakan
3. Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi
4. Pengaturan terbentuknya bekuan darah oleh inhibitor/penghambat faktor
pembekuan dan sistem fibrinolisis
5. Pembentukan kembali (remodeling) tempat yang luka setelah perdarahan
berhenti.
Tahap 1 dan 2 dikenal sebagai hemostasis primer. Sel endotel pada
dinding pembuluh darah mempunyai mekanisme untuk mengatur aliran darah
dengan cara vasokontriksi atau vasodilatasi, sedangkan membran basal subendotel
mengandung protein-protein yang berasal dari endotel seperti kolagen,
fibronektin, faktor von Willebrand dan lain-lain, yang merupakan tempat
melekatnya trombosit dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat
hemostasis melalui proses:
1) adhesi (adhesion), yaitu melekat pada dinding pembuluh darah:
2) agregasi atau saling melekat di antara trombosit tersebut, yang kemudian
menjadi dilanjutkan dengan proses koagulasi.
Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor pembekuan dan kofaktor
yang berinteraksi pada permukaan fosfolipid membran trombosit atau sel endotel
yang rusak untuk membentuk darah yang stabil. Sistem ini dibagi menjadi jalur
ekstrinsik yangn melibatkan faktol jaringan (tissue factor) dan faktor VII, dan
jalur instrinsik (starface-contact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan,
yang diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi (sel pembuluh darah atau
monosit) berkontak dengan faktor VII aktif (a) yang bersikulasi, membentuk
kompleks yang selanjutnnya akan mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan
seterusnya hingga membentuk trombus/fibrin yang stabil (fibrin ikat silang /cross-
linked fibrin)
Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan untuk mengatur
dan membatasi pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding
pembuluh darah yang rusak tersebut. Sistem ini terdiri dari antirombin (AT)-III,
protein S, serta heparin kofaktor II, alfa-1 antirifsin dan alfa-2 makroglobulin.
Antirombin bekerja menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa, XIIa,
Xia, Xa, dan Ixa. Tanpa adanya heparin, kecepatan inaktivasi ini reelatif lambat.
Heparin mengikat dan mengubah AT dan meningkatkan kecepatan inaktivasi AT.
Sedangkan protein C menghambat faktor Va dan VIIIa, dengan bantuan protein S
sebagai kofaktor
Fibrinolisis atau pemecahan fibrin merupakan mekanisme pertahanan
tubuh untuk mempertahankan patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran
darah. Enxim yang berperan dalam sistem ini adalah plasminogen, yang akan
diubah menjadi plasmin dan kemudian akan memecah fibrinogen dan fibrin
menjadi fibrinogen(atau fibrin) degradation product (FDP), sedangkan produk
pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer.
2.3 ETIOLOGI
Perdarahan terjadi karena hal-hal sebagai berikut:
1. Hipofibrinogenemia
2. Trombositopenia ( merupakan penyebab tersering perdarahan abnormal, ini dapat
terjadi akibat terkurangnya produksi trombosit oleh sum-sum tulang atau akibat
meningkatnya penghancuran trombosit).
3. Beredarnya antikoagulan dalam sirkulasi darah
4. Fibrinolisis berlebihan.
Penyakit- penyakit yang menjadi predisposisi DIC adalah sebagai berikut:
1. Infeksi ( demam berdarah dengue, sepsis, meningitis, pneumonia berat, malaria
tropika, infeksi oleh beberapa jenis riketsia). Dimana bakteri melepaskan
endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
2. Komplikasi kehamilan ( solusio plasenta, kematian janin intrauterin, emboli cairan
amnion).
3. Setelah operasi ( operasi paru, by pass cardiopulmonal, lobektomi, gastrektomi,
splenektomi).
4. keganasan ( karsinoma prostat, karsinoma paru, leukimia akut).
5. Penyakit hati akut ( gagal hati akut, ikterus obstruktif).
6. Trauma berat terjadi palepasan jaringan dengan jumlah besar ke aliran pembuluh
darah. Pelepasan ini bersamaan dengan hemolisis dan kerusakan endotel sehingga
akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah dalam jumlah yang besar
kemudian mengaktivasi pembekuan darah secara sistemik.
KID merupakan mekanisme perantara berbagai penyakit dengan gejala klinis tertentu. Berbagai penyakit dapat mencetuskan KID fulminan atauderajat rendah seperti di bawah ini:
1. Penyakit yang disertai KID fulminan
a. Bidang obstetric: emboli cairan amnion,abrupsi plasenta,eklamsia,abortusb. Bidang hematologi: reaksi transfusi darah,hemolisis berat,transfuse massif, leukemia M3 & M4c. Infeksi 1. Septicemia,gram negative (endotoksin),gram negative (mikro polisakarida)2. Viremia : HIV,hepatitis,varisela,virus sitomegalo,demam dengue3. Parasit : Malaria 4. Trauma5. Penyakit hati akut : gagal hati akut ,ikterus obstruktif6. Luka bakar7. Alat prosthesis : shunt leveen shunt denver,alat bantu balon aorta8. Kelaian vascular
2. Penyakit di sertai KID derajat
1. Keganasan 2. Penyakit kardiovaskular3. Penyakit autoimun 4. Penyakit ginjal menahun 5. Peradangan 6. Graft versus host disease7. Penyakit hati menahun
2.4 MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang sering timbul pada klien DIC adalah sebagai berikut:
1. Perdarahan dari tempat – tempat pungsi, luka, dan membran mukosa pada klien
dengan syok, komplikasi persalinan, sepsis atau kanker.
2. Perubahan kesadaran yang mengindikasikan trombus serebrum.
3. Distensi abdomen yang menandakan adanya perdarahan saluran cerna.
4. Sianosis dan takipnea akibat buruknya perfusi dan oksigenasi jaringan.
5. Hematuria akibat perdarahan atau oliguria akibat menurunnya perfusi ginjal.
6. Trombosis dan pra gangrenosa di jari, genetalia, dan hidung
2.5 PATOFISIOLOGI
Tubuh mempunyai berbagai mekanisme untuk mencegah pembekuan
darah dengan terdapatnya kecepatan aliran darah. Selain itu, aktifitas faktor
pembekuan darah bisa dibawah normal hingga tidak menyebabkan pembekuan.
Peranan hati membersihkan faktor-faktor pembekuan dan mencegah
pembentukkan trombin, antara lain dengan anti trombin III. Dalam beberapa
keadaan, misalnya aliran darah yang lambat atau oleh karena syok, kegagalan hati,
dan hipoksemia dapat menyebabkan DIC.
Dalam keadaan ini, terjadi fibrinolisis disebabkan plasminogen diubah
menjadi plasmin dan terjadilah penghancuran fibrinogen. Akibatnya, faktor V dan
VII yang menstabilkan darah dalam pembuluh darah tidak aktif, sehingga dapat
terjadi DIC. Pada diatesis hemoragik, seluruh trombosit dan faktor koagulasi
digunakan untuk bembekuan darah, sehingga tidak terdapat faktor yang
mempertahankan integritas pembuluh darah sebagai akibatnya darah menembus
keluar pembuluh darah.
Emboli cairan amnion yang disertai KID sering mengancam jiwa dan dapat
menyebabkan kematian. Gejala KID karena emboli cairan amnion yaitu gagal
nafas akut, dan renjatan. Pada sindrom mati janin dalam uterus yang lebih dari 5
minggu yang ditemukan KID pada 50% kasus. Biasanya pada permulaan hanya
KID derajat rendah dan kemudian dapat berkembang cepat menjadi KID
fulminan.Dalam keadaan seperti ini nekrosis jaringan janin, dan enzim jaringan
nekrosis tersebut akan masuk dalam sirkulasi ibu dan mengaktifkan sistem
koagulasi dan fibrinolisis,dan terjadi KID fulminan.
Pada kehamilan dengan eklamsia ditemukan KID derajat rendah dan
sering pada organ khusus seperti ginjal dan mikrosirkulasi plasenta. Namun perlu
diingat bahwa 10-15% KID derajat rendah dapat berkembang menjadi KID
fulminan. Abortus yang diinduksi dengan garam hipertonik juga sering disertai
KID derajat rendah, sampai abortus komplet,namun kadang dapt menjadi
fulminan.
Hemolisis karena reaksi transfusi darah dapat memicu sistem koagulasi
sehingga terjadi KID. Akibat hemolisis,sel darah merah (SDM) melepaskan
adenosine difosfat (ADP) atau membrane fosfolipid SDM yang mengaktifkan
sistem koagulasi baik sendiri maupun secara bersamaan dan menyebabkan KID.
Pada septikimia KID terjasi akibat endotoksin atau mantel polisakarida
bakteri memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan factor F XII menjadi FXIIa,
menginduksi pelepasan reaksi trombosit,menyebabkan endotel terkelupas yang
dilanjutkan aktivasi F XII men F X-Xia,dan pelepasan materi prokoagulan dari
granulosit dan semuanya ini dapat mencetuskan KID.
Terakhir dilaporkan bahwa organism gram positif dapat menyebabkan
KID dengan mekanisme seperti endotoksin, yaitu mantel bakteri yang terdiri dari
mukopolisakarida menginduksi KID
2. 6 KOMPLIKASI
ü Syok
ü Edema Pulmoner
ü Gagal Ginjal Kronis
ü Gagal Sistem Organ Besar
ü Konvulsi
ü Koma
ü Hipovolemia
ü Hipoksia
ü Hipotensi
ü Asidosis
ü Perdarahan intracranial
ü Gastrointestinal
ü Iskemia
ü Emboli paru
ü Penyakit kardiovaskuler
ü Penyakit autoimun
ü Penyakit hati menahun
2.7 Gejala Klinis
Gejala klinis bergantung pada penyakit dasar,akut atau kronik,dan proses patologis yang mana lebih utama,apakah akibat thrombosis mikrovaskular atau diathesis hemoragik. Kedua proses patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat ditemukan dalam waktu yang bersamaan.
Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat. Dapat terlihat sebagai petekie, ekimosis,perdarahan gusi,hemoptisis,dan kesadaran yang menurun sampai koma akibat perdarahan otak. Gejala akibat thrombosis mikrovaskular dapat berupa kesadaran menurun sampai koma,gagal ginjal akut,gagal napas akut dan iskemia fokal,dan gangrene pada kulit. Mengatasi perdarahan pada KID sering lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis pada mikrovaskular yang menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan kerusakan organ yang menyebabkan kematian.
Komplikasi
- Acute respiratory distress syndrome (ARDS)- Penurunan fungsi ginjal - Gangguan susunan saraf pusat - Gangguan hati - Ulserasi mukosa gastrointestinal : perdarahan - Peningkatan enzyme jantung : ischemia, aritmia - Purpura fulminan - Insufisiensi adrenal- Lebih dari 50% mengalami kematian
Insiden
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:
- Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai
komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
- Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang
menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan
- Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun
prostat.
Orang-orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC:
- Penderita cedera kepala yang hebat
- Pria yang telah menjalani pembedahan prostat
- Terkena gigitan ular berbisa.
\
Diagnosis Laboratorium
Karena rumitnya patofisiologi KID,hasil laboratorium yang di dapat
sangat bervariasi. Rumit dan sukar diinterpretasi jika patofisiologi tidak jelas
dimengerti dan pemeriksaan yang dilakukan tidak cukup. Tetapi jika pemeriksaan
yang diminta cukup dan interpretasi tepat akan dapat memberikan criteria
diagnosis yang objektif. Saat ini banyak metode baru tersedia,untuk uji
laboratorium klinis yang memudahkan pemeriksaan pasien dengan KID. Dibawah
ini dijelaskan laboratorium yang objektif yang diperlukan untuk diagnosis
KID,yang didasarkan atas pengetahuan patofisiologi KID.
2.8 PEMERIKSAAN HEMOSTASIS
A. Masa Protombin
Masa protrombin bias abnormal pada KID, dapat disebabkan beberapa hal.
Karena masa protrombin yang memanjang bisa karena hipofibrinogenemia,
gangguan FDP pada polimerisasi fibrin monomer dan karena plasmin
menginduksi lisis faktor V dan faktor IX. Masa protrombin ditemukan
memanjang pada 50-75% pasien KID sedang pada kurang 50% pasien bias dalam
batas normal atau memendek. Normal atau memendeknya masa protrombin ini
terjadi karena
(1) beredarnya faktor koagulasi aktif seperti trombin atau F Xa yang dapat
mempercepat pembentukan fibrin,
(2) hasil degradasi awal dapat mempercepat pembekuan oleh thrombin atau
sistem pembekuan gel yang cepat. Masa protrombin umumnya kurang bermanfaat
dalam evaluasi KID
B. Partial Thrombin Time (PTT)
PTT diaktifkan seharusnya juga memanjang pada KID fulminan karena
berbagai sebab sehingga parameter ini lebih berguna pada masa protrombin.
Plasmin menginduksi biodegradasi F V, VIII, IX dan XI, yang seharusnya juga
menyebabkan PTT memanjang. Selain itu sama halnya dengan masa protrombin,
PTT juga akan memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari 100 mg%.
PTT juga memanjang pada KID Karena pada FDP menghambat
polimerisasi fibrin monomer. Namun PTT yang memanjang dapat ditemukan pada
50-60% pasien KID, dan oleh sebab itu PTT yang normal tak dapat dipakai
menyingkirkan KID. Mekanisme terjdinya PTT normal atau memendek pada 40-
50% pasien KID sama seperti pada masa protrombin.
C. Kadar Faktor Pembekuan
Pemeriksaan kadar faktor pada pembekuan memberikan sedikit informasi
yang berarti pada pasien KID. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya pada
kebanyakan pasien KID fulminan faktor pembekuan yang aktif beredar dalam
sirkulasi terutama F Xa, IXa dan trombin. Pemeriksaan faktor yang didasarkan
atas standar PTT dan masa protrombin dengan teknik menggunakan difisiensi
substrat akan memberikan hasil yang tidak dapat diinterpretasi. Sebagai contoh
jika F VIII diperiksa dengan pasien KID dengan disertai peningikata F Xa, jelas F
VIII yang dicatat akan tinggi karena dalam uji sistem F Xa melintas kebutuhan F
VIII sehingga terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin dengan cepat dengan
waktu yang dicatat dalam kurva standar pendek, dan ini akan diinterpretasi
sebagai kadar F VIII yang tinggi.
.D. FDP
Kadar FDP akan meningkat pada 85-100% kasus KID. Hasil degradasi ini
akibat biodegradasi fibrinogen atau fibrin oleh plasmin, jadi secara tidak langsung
menunjukkan bahwa jumlah plasmin melebihi jumlah normal dalam darah.
Tes protamin sulfat atau etanol biasanya positif bila dalam sirkulasi darah
ada fibrin monomer soluble. Tetapi sama sepert FDP, tes ini bukan sebagai sarana
diagostik, karena fibrin monomer soluble juga terlihat pada situasi klinis lain,
sama seperti pada situasi klinis lain, seperti pada wanita dengan kontrasepsi oral,
pasien dengan emboli paru, pada beberapa pasien infark miokard, pasien dengan
penyakit ginjal tertentu, pasien dengan thrombosis vena atau arteri, dan pasien
dengan tromboemboli.
E. D- Dimer
suatu test terbaru untuk KID adalah D-Dimer.D-Dimer merupakan hasil
degradasi fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin kemudian
diaktifkan oleh factor XIII. Dari periksaan atau tes yang paling banyak dilakukan
untuk menilai KID. D-Dimer tamapaknya merupakan tes yang paling dapat
dipercaya untuk menilai kemungkinan KID, Menunjukkan adanya D-Dimer
apnormal pada 93% kasus, kadar AT III apnorml pada 89% kasus, kadar fibri
nopeptida apnormal pada 88% kasus, dan titer FDP abnormal pada 75 % kasus
Kadang-kadang titer FDP dan reaksi para koagulasi dapat negative pada KID.
Hal ini disebabkan pada KID akut jumlah plasmin yang beredar sngat
banyak dan fibrinolisis sekunder mengakibatkan degradasi Fragmen D & E,
padahal fragmen inilah yang dideteksi sebagai FDP. Selain itu penglepasan
protease granulosid, kolagenase dan elastase yang berlebihan dapat juga
mengakibatkan dekradasi pada semua sisa fragmen D & E dan akhirnya
memberikan hasil FDP negative. Jadi FDP yang negative belum dapat
menyingkirkan diagnosis KID. Dengan tersedianya pemeriksaan D-Dimer,
pemeriksaan FDP dan tes protamin sulfat menjadi terbatas perannya dalam
mendiagnosis KID.
F. Plasmin
Pemeriksaan system fibrinolisis yang tersedia sekarang dalam
laboratorium klinis yang berguna pada KID yaitu pemeriksaan plasminogen dan
plasmin. Fibrinolisi sekunder merupakan respon tubuh untuk mencegah
thrombosis, dalam upaya tubuh menghindarkan kerusakan organ yang ireversibel
pada pasien dengan KID.
Jika terjadi gangguan system fibrinolisi, morbiditas dan mortalitas akan
meningkat sebagai akibat terjadinya kerusakan organ. Aktivasi system fibrinolisis
dapat dinilai dengan mengukur kadar plasminogen dan plasmin dengan teknik
subtract sintesis. Masa lisis euglobulin memberikan sedikit atau kurang
bermanfaat untuk menilai system fibrinolisis pada KID.
G. Trombosit
Trombositopenia khas pada KID. Jumlah trombosit bervariasi mulai dari
yang paling rendah 2000-3000 sampai lebih dari 100000/mm3. Pada kebanyakan
pasien KID trombosit yang diperiksa dalam sediaan apus dari tepi pada umumnya
jumlahnya rata-rata 60.000/mm3.
Uji fungsi trombosit seperti masa perdarahan, agregasi trombosit biasanya
terganggu pada KID. Gangguan ini disebabkan FDP menyelubungi membran
trombosit. Jadi tidak ada alasan dan tidak perlu melakukan uji fungsitrombosit
pada KID. Factor 4 trombosit (PF4) dan β – tromboglobulin.
Merupakn petanda terjadinya reaktivasi dan penglepasan trombosit,
danbiasanya meningkat pada KID. Bila pada KID kadar PF4 dan β-
tromboglobulin meningkat dan kemudian menurun sesudah pengobatan , hal ini
menunjukkan pengobatan berhasil.Meningkatnya PF4 dan β-tromboglobulin pada
KID selain merupakan bukti tidak langsung adanya aktivitas prokoagulan, juga
bermanfaat dalam pemantauan pengobatan.
Diagnosis laboratorium KID dapat dibagi dalam 4 kelompok :
(1) aktifasi system prokoagulan,
(2) aktivasi system fibrinolisis,
(3) konsumsi penghambat,
(4) kerusakan atau kegagalan organ
1.Aktivasi system prokoagulan meliputi, protrombin, fragmen 1+ 2,
fibrinopeptida A, Fibrinopeptida B, kompleks thrombin – anti thrombin (TAT),
dan D-Dimer. semuanya ini meningkatkan pada KID
2. Aktivasi system fibrinolisis meliputi D-Dimer, FDP, Plasmin dan plasmin
antiplasmin kompleks (PAP), semuanya meningkat pada KID.
3.Konsumsi penghambat ada yang menimgkat dan ada yang menurun. Yang
meningkat : kompleks TAT, kompleks PAP. Yang menurun L anti thrombin α2
antiplasmin, heparin, kofaktor II, protein C & S.
4.Kerusakan ataau kegagalan organ. Yang meningkat adalah laktat dehidrogenase,
kreatinin, dan menurun pH dan PaO2.
Untuk menentukan diagnosis KID berdasarkan criteria laboratorium
tersebut diperlukan satu kelainan dari kelompok 1,2 dan 3, sedang kelompok 4
diperlukan 2 kalainan. Dari data tersebut diatas terlihat bahwa D-Dimer
merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menentukan diagnosis KID.
System skor KID didasarkan atas nilai uji laboratorium ke 4 kelompok
tersebut diatas, ditambk keadaan klinis dan hemodinamik pasien. Nilai skor KID
didapat dari hasil 100 di kurangi jumlah nilai seluruh kolom. Berdasarkan nilai
skor maka sejak permulaan dapat ditentukan derajat beratnya KID.
Kriteria derajat berat KID :
1. Skor > 90, KID tidak mungkin
2. Skor 75-89 KID ringan
3. Skor 50- 79 KID sedang
4. Skor < 49 KID berat
Pemakaian system skor ini bermanfaat dalam perawatan pasien rutin untuk
menilai manfaat pengobatan pada KID walaupun pencetusnya (penyakit
dasarnya ) berbeda. Manfaat skor dalam menilai dan menentukan pengobatan:
1. Ada respon pengobatan.skor bertambah 10 atau lebih dalam 48 jam. KID ada
perbaikan. N Pengobatan dengan anti koagulan diteruskan (Heparin atau AT III)
2. KID menetap. Kenaikan skor ≤ 9 selama 48 jam KID menetap.
antikoagulan (Heparin, AT III) diteruskan.evaluasi 48 jam lagi
3. Terapi gagal. Skor berkurang selama 72 jam. Antikoagulan dihentikan,
demikian juga pengobatan subtitusi.
2.9 PENATALAKSANAAN
Mengenai pengobatan KID fulminan masih belum ada keseragaman dan
kadang kontrofersial.hal ini disebabkan,sangat sukar untuk melakukan percobaan
pengobatan klinis maupun penilaian hasil percobaan krna etiologi beragam dan
beratnya KID juga bervariasi.dalam pengobatan pasien ada 2 prinsip yang perlu
diperhatikan,
(1) khusus:pengobatan KID bersifat individual atau kasus demi kasus,
(2) umum:mengobati pembekuan darah dalam,dan mengatasi perdarahan.
Walaupun masih controversial tetapi langkah pendekatan penatalaksanaan
pada KID yang disepakati sekarang ini sebagai berikut:
1. Khusus pengobatan individu:mengatasi keadaan yang khusus dan yang
mengamcam nyawa
2. Bersifat umum:
a. Mengobati atau menghilangkan proses pencetus
b.Menghentikan proses patalogis pembekuan intravascular
c. Terapi komponen atau substitusi
d. Menghentikan sisa fibrinolisis
Terapi Individu
Berhubung banyak macam penyakit yang mencetuskan KID dan derajat
penyakit maupun KID bervariasi,pengobatan kasus demi kasus perlu mendapat
perhatian yang besar.Mungkin hanya dengan pendekatan pengobatan etiologi saja
untuk satu pasien sudah cukup sedangpasien yang lain tidak.Atau pemberian
heparin pada kasus yang stu sangat diperlukan,sebaiknya pada kasus yang lain
sama sekali tidak.Jadi harus selalu dilihat pada setiap individu keuntungan dan
keruggian suatu pengobatan.
Pengobatan harus didasarkan atas eteologi KID,umur,keadaan
hemodinamik,tempat dan beratnya pendarahan,tempat beratnya thrombus,dan
gejala klinis yang ada hubungannya.
a. Pengobatan factor pencetus
Pengobatan yang sangat penting pada KID fulminan yaitu mengobati
secara progresif dan menghilangkan penyakit pencetus KID. Dengan mengobati
factor pencetus, proses KID dapat dikurangi atau berhenti. Mengatasi renjatan,
mengeluarkan janin mati, memberantai infeksi (sepsis), dan mengembalikan
volume dapat menghentikan proses KID.
b. Meghentikan koagulasi
Menghentikan atau menghambat proses koagulasi dapat dapat dilakukan
dengan memberikan antikoagulan misalkan heparin
Indikasi pemberian heparin:
- Bila penyakit dasar tidak dapat dihilangkan dalam waktu yang singkat
- Pasien yang masih disertai perdarahan walaupun penyakit dasar sudah
dihilangkan. Hal ini karena KID sendiri menggangu proses koagulasi
- Bila ada tanda/ditakutkan terjadi thrombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal,
gagal hati, sindrom gagal nafas.
Cara pemberian heparin klasik pada KID dimulai dengan dosis permulaan
100-200π/kgBB intravena dan dosisi selanjutnya ditentukan berdasarkan APTT
atau masa pembekuan (MP) yang diperiksa 2-3 jam sesudah pemberian heparin.
Target APTT 1,5-2,5 kali control atau masa pembekuan (MP) 2-3 kali control.
Bila APTT kurang dari 1,5 kali control atau MP kurang dari 2 kali control, dosis
heparin dinaikkan. Bila lebih dari 2,5 kali APTT control atau MP lebih dari 3 kali
control maka diulang 2 jam. Kemudian bila APTT atau MP tetap lebih dari 2,5-3
kali control maka dosis dinaikkan sedangkan bila kurang, dosis diturunkan.
Heparin diberikan tiap 4-6 jam dan dosis diberikan berkisar 20.000-30.000 µ/hari
c. Terapi subtitusi
Bila perdarahan masih berlangsung terus sesudah mengobati penyakit
dasar dan sesudah pemberian antikoagulan kemungkinan penyebabnya adalah
penurunan komponen darah yaitu kekurangan factor pembekuan. Untuk ini dapat
diberikan plasma beku segar (Fresh frozen plasma) atau kriopresipitat. Bila
trombosit turun sampai 25.000 atau kurang pemberian trombosit konsentrat perlu
diberikan.
d. Antifibrinolisis
Antifibrinolisis seperti asam traneksamik atau epsilon amino caproic acid
(EACA) hanya diberikan bila jelas thrombosis tidak ada dan fibriolisis yang
sangat nyata. Antifibrinolisis tidak diberikan bila KID masih berlangsung dan
bahkan merupakan kontraindikasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
1. Kaji adanya faktor- faktor predisposisi
a. Septikemia
b. Komplikasi obstetrik
c. Sindrom distres pernafasan dewasa / ARDS
d. Luka bakar berat dan luas
e. Neoplasia
f. Gigitan ular
g. Penyakit hepar
h. Bedah kardiopulmonal
i. Trauma
2. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan hal-hal dibawah ini
a. Perdarahan
1. Hematuria
2. Rembesan darah dari sisi pungsi vena dan luka
3. Epistaksis
4. Perdarahan GI tract ( hematemesis melena)
b. Kerusakan perfusi jaringan
1. Serebral : perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental, atau sakit kepala
2. Ginjal : penurunan pengeluaran urine
3. Paru-paru : dispnea, ortopnea
4. Kulit : akrosianosis ( ketidakteraturan bentuk bercak sianosis pada lengan
perifer atau kaki )
3. Pemeriksaan diagnostik
a. Jumlah trombosis rendah
b. PT (Protombin time) dan PTT memanjang
c. Degradasi produk fibrin meningkat
d. Kadar fibrinogen plasma darah rendah
3.2 DIAGNOSA
1. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi
sekunder terhadap DIC
2. Resiko cidera berhubungan dengan perubahan status koagulasi, trombositpeni.
3. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan defisit volume intravaskuler,
trombosis.
3.3 INTERVENSI
1. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi
sekunder terhadap DIC.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan perfusi jaringan dapat adekuat
a. Tidak ada manifestasi syok
b. Tetap sadar dan berorientasi
c. Tidak ada perdarahan
d. Nilai laboratorium dalam rentang normal
e.
Intervensi Keperawatan
a. Pantau hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital dan perdarahan baru.
b. Waspadai perdarahan.
c. Kolaborasi pemberian :
1. Terapi heparin à perhatikan pembentukan tanda-tanda antibodi antitrombosit
oleh penurunan tiba - tiba dari jumlah trombosit.
2. Berikan transfusi darah sesuai dengan prosedur dan evaluasi dengan ketat
terhadap manifestasi reaksi transfusi. Hentikan transfusi bila terjadi reaksi.
d. Jelaskan tentang semua tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan yang
akan dilakukan
e. Lakukan pendekatan secara tenang dan beri dorongan untuk bertanya serta
berikan informasi yang dibutuhkan dengan bahasa yang jelas.
2.Resiko cidera berhubungan dengan perubahan status koagulasi, trombositpeni.
Tujuan :
a. Bleeding precautions & bleeding reduction.
b. Surveillance safety
Intervensi Keperawatan
a. Monitor perdarahan dan identifikasi penyebab perdarahan.
b. Monitor status cairan
c. Monitor hasil laboratorium untuk PT, PTT, Fibrinogen, FDP, AT
d. Pertahankan tirah baring selama perdarahan aktif
e. Intruksikan klien untuk meningkatkan intake makanan yang mengandung
vitamin K dan menghindari aspirin/antikoagulan lain.
f. Monitor gangguan fisik/kognitif yang dapat mendorong perilaku tidak aman.
g. Tentukan tingkat pengawasan yang dibutuhkan klien.
h. Sediakan pengawasan untuk monitoring klien dan tindakan terapeutik.
3. Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan defisit volume intravaskuler,
trombosis.
Tujuan
v Circulatory care
Intervensi keperawatan
a. Kaji derajat ketidaknyamanan/ nyeri
b. Lakukan pengkajian komperhensif terhadap sirkulasi perifer ( nadi perifer,
edema, warna, dan temperatur ekstrimitas ).
c. Dorong latihan ROM selama tirah baring
d. Ganti posisi pasien tiap 2 jam
e. Pertahankan hidrasi adekuat
f. Monitor status cairan.
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pelaksanaan sesuai dengan DIC dengan intervensi yang sudah ditetapkan
(sesuai dengan literature).
5. EVALUASI
Penilaian sesuai dengan criteria standart yang telah ditetapkan dengan
perencanaan.
BAB IVPENUTUP
4.1 Kesimpulan
Penyakit Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau yang lebih
dikenal sebagai Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu
gangguan pembekuan darah yang didapat, berupa kelainan trombohemoragic
sistemik yang hampir selalu disertai dengan penyakit primer yang mendasarinya.
DIC merupakan salah satu kedaruratan medik, karena mengancam nyawa dan
memerlukan penanganan segera.
Dapat disimpulkan bahwa Disseminated intravascular coagulation (D.I.C)
adalah suatu keadaan hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan oleh bermacam
penyakit atau keadaan, dimana pada suatu saat darah merah bergumpal didalam
kapiler diseluruh tubuh. Gangguan DIC ini disebabkan oleh hipofibrinogenemia,
rombositopenia, beredarnya antikoagulan, dalam sirkulasi darah, fibrinolisis
berlebihan, Infeksi, komplikasi kehamilan, setelah operasi, trauma berat,
keganasan. Bila penyakit sudah parah dapat terbentuk banyak bekuan yang
menyebabkan hambatan aliran darah di semua organ tubuh. Dapat terjadi
kegagalan organ yang luas. Angka kematian lebih dari 50 %.
4.2 Saran
Mengetahui DIC berbahaya maka harus sedini mungkin agar tidak
menyebabkan akibat buruk seperti kematian dan tenaga kesehatan harus memberi
penyuluhan tentang penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gofir Abdul. 2003. Diagnosa dan Terapi kedokteran. Salemba Medika: JakartaSuyono Selamet. 2001. Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi ketiga.Balai Penerbit
FKUI: JakartaDianec Buughman. 1997. Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Baker WF. 1989. Clinical of disseminated intravascular coagulation syndrome. Balai Penerbit FKUI: Jakarta
Http:www.google.com
ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG (HEART FAILURE)
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GAGAL
JANTUNG
1. DEFINISI
Penyakit Gagal Jantung yang dalam istilah medisnya disebut dengan
"Heart Failure atau Cardiac Failure", merupakan suatu keadaan darurat medis
dimana jumlah darah yang dipompa oleh jantung seseorang setiap menitnya
{curah jantung (cardiac output)} tidak mampu memenuhi kebutuhan normal
metabolisme tubuh.
Gagal jantung kongestif terjadi sewaktu kontraktilitas jantung berkurang
dan vetrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk selama
diastole. Hal ini menyebabkan volume diastolic akhir ventrikel secara progresif
bertambah. (Elizabeth J. Corwin)
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu lagi
memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk
metabolisme jaringan tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung
masih cukup tinggi. (http//:www,askepgagaljantung,com)
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien
dan oksigen. Mekanisme yang mendasar tentang gagal jantung termasuk
kerusakan sifat kontraktil dari jantung, yang mengarah pada curah jantung kurang
dari normal. Kondisi umum yang mendasari termasuk aterosklerosis, hipertensi
atrial, dan penyakit inflamasi atau degeneratif otot jantung. Sejumlah faktor
sistemik dapat menunjang perkembangan dan keparahan dari gagal jantung.
Peningkatan laju metabolic ( misalnya ;demam, koma, tiroktoksikosis), hipoksia
dan anemia membutuhkan suatu peningkatan curah jantung untuk memenuhi
kebutuhan oksigen.(Diane C. Baughman dan Jo Ann C. Hockley, 2000)
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi
jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Braundwald )
Jadi gagal jantung adalah suatu kegagalan pemompaan (di mana cardiac
output tidak mencukupi kebutuhan metabolik tubuh) sedangkan tekanan pengisian
ke dalam jantung masih cukup tinggi, mekanisme yang mendasar tentang gagal
jantung termasuk kerusakan sifat kontraktilitas jantung yang berkurang dan
vetrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk selama
diastole. Hal ini menyebabkan volume diastolic akhir ventrikel secara progresif
bertambah. Hal yang terjadi sebagai akibat akhir dari gangguan jantung ini adalah
jantung tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada sebagi organ.
2. EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit gagal jantung semakin meningkat sesuai dengan
meningkatnya usia harapan hidup, salah satunya gagal jantung kronis sebagai
penyakit utama kematian di negara industri dan negara-negara berkembang.
Penyakit gagal jantung meningkat sesuai dengan usia, berkisar kurang dari l %
pada usia kurang dari 50 tahun hingga 5% pada usia 50-70 Tahun dan 10% pada
usia 70 tahun ke atas. Penyakit gagal jantung sangatlah buruk jika penyebab yang
mendasarinya tidak segera ditangani, hampir 50% penderita gagal jantung
meninggal dalam kurun waktu 4 Tahun. 50% penderita stadium akhir meninggal
dalam kurun waktu 1 Tahun, di Indonesia prevalensi gagal jantung secara nasional
belum ada sebagai gambaran di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta,
pada tahun 2006 diruang rawat jalan dan inap didapat 3,23% kasus gagal jantung
dari total 11,711 pasien, sedangkan di Amerika pada tahun 1999 terdapat kenaikan
kasus gagal jantung dari 577.000 pasien menjadi 871.000 pasien. Gagal jantung
merupakan penyebab kematian kardiovaskuler, dan kondisi seperti ini juga
menurunkan kualitas hidup, karena itu peburukan akut pada gagal jantung kronik
harus di cegah secara dini, pada lansia diperkirakan 10% pasien di atas 75 Tahun
menderita gagal jantung, angka kematian pada gagal jantung kronik mencapai
50% dalam 5 tahun setelah pertama kali penyakit itu terdiagnosis, (Kompas, 9 juni
2007).
3. ETIOLOGI
Penyebab gagal jantung mencakup apapun yang menyebabkan
peningkatan volume plasma sampai derajat tertentu sehingga volume diastolic
akhir meregangkan serat-serat ventrikel melebihi panjang optimumnya. Penyebab
tersering adalah cedera pada jantung itu sendiri yang memulai siklus kegagalan
dengan mengurangi kekuatan kontraksi jantung. Akibat buruk dari menurunnya
kontraktilitas, mulai terjadi akumulasi volume darah di ventrikel. Penyebab gagal
jantung yang terdapat di jantung antara lain :
Terjadinya gagal jantung dapat disebabkan :
a. Disfungsi miokard (kegagalan miokardial)
b. Beban tekanan berlebihan-pembebanan sistolik (systolic overload)
Beban sistolik yang berlebihan diluar kemampuan ventrikel (systolic overload)
menyebabkan hambatan pada pengosongan ventrikel sehingga menurunkan curah
ventrikel atau isi sekuncup.
c. Beban volume berlebihan-pembebanan diastolic (diastolic overload)
Preload yang berlebihan dan melampaui kapasitas ventrikel (diastolic overload)
akan menyebabkan volum dan tekanan pada akhir diastolic dalam ventrikel
meninggi. Prinsip Frank Starling ; curah jantung mula-mula akan meningkat
sesuai dengan besarnya regangan otot jantung, tetapi bila beban terus bertambah
sampai melampaui batas tertentu, maka curah jantung justru akan menurun
kembali.
d. Peningkatan kebutuhan metabolic-peningkatan kebutuhan yang berlebihan
(demand overload)
Beban kebutuhan metabolic meningkat melebihi kemampuan daya kerja jantung
di mana jantung sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi keadaan gagal
jantung walaupun curah jantung sudah cukup tinggi tetapi tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan sirkulasi tubuh.
e. Gangguan pengisian (hambatan input).
Hambatan pada pengisian ventrikel karena gangguan aliran masuk ke dalam
ventrikel atau pada aliran balik vena/venous return akan menyebabkan
pengeluaran atau output ventrikel berkurang dan curah jantung menurun.
f. Kelainan Otot Jantung
Gagal jantung paling sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
menyebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup arterosklerosis koroner, hipertensi
arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.
g. Aterosklerosis Koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
h. Hipertensi Sistemik / Pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertropi
serabut otot jantung.
i. Peradangan dan Penyakit Miokardium
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
j. Penyakit jantung
Penyakit jantung lain seperti stenosis katup semilunar, temponade perikardium,
perikarditis konstruktif, stenosis katup AV.
k. Faktor sistemik
Faktor sistemik seperti hipoksia dan anemia yang memerlukan peningkatan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia atau anemia juga
dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis dan abnormalitas elektrolit
juga dapat menurunkan kontraktilitas jantung.
Semua situasi diatas dapat menyebabkan gagal jantung kiri atau kanan. Penyebab
yang spesifik untuk gagal jantung kanan antara lain:
- Gagal jantung kiri
- Hipertensi paru
- PPOM
4. Patofisiologi
Kelainan fungsi otot jantung disebabkan oleh aterosklerosis koroner,
hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi. Aterosklerosis
koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah
ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat).
Infark Miokardium biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Hipertensi
sistemik/ pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan
pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung. Efek tersebut
(hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena akan
meningkatkan kontraktilitas jantung. Tetapi untuk alasan tidak jelas, hipertrofi
otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara normal, dan akhrinya terjadi gagal
jantung.
Peradangan dan penyakit miokarium degeneratif berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah.
Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal ventrikel kanan. Gagal
ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut. Karena curah ventrikel
berpasangan/ sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat mengakibatkan
penurunan perfusi jaringan.
Gagal jantung dapat dimulai dari sisi kiri atau kanan jantung. Sebagai
contoh, hipertensi sitemik yang kronis akan menyebabkan ventrikel kiri
mengalami hipertrofi dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan
menyebabkan ventrikel kanan mengalami hipertofi dan melemah. Letak suatu
infark miokardium akan menentukan sisi jantung yang pertama kali terkena
setelah terjadi serangan jantung.
Karena ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke
atrium, lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka jelaslah
bahwa gagal jantung kiri akhirnya akan menyebabkan gagal jantung kanan. Pada
kenyataanya, penyebab utama gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri.
Karena tidak dipompa secara optimum keluar dari sisi kanan jantung, maka darah
mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya adalah semakin
berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan darah serta
perburukan siklus gagal jantung.
5. KLASIFIKASI
Menurut derajat sakitnya:
1. Derajat 1: Tanpa keluhan - Anda masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari-hari
tanpa disertai kelelahan ataupun sesak napas
2. Derajat 2: Ringan - aktivitas fisik sedang menyebabkan kelelahan atau sesak
napas, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan pun hilang
3. Derajat 3: Sedang - aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan atau sesak
napas, tetapi keluhan akan hilang jika aktivitas dihentikan
4. Derajat 4: Berat - tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari, bahkan pada
saat istirahat pun keluhan tetap ada dan semakin berat jika melakukan aktivitas
walaupun aktivitas ringan.
Menurut lokasi terjadinya :
1. Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak
mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam
sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong kejaringan paru. Manifestasi klinis
yang terjadi meliputi dispnea, batuk, mudah lelah, takikardi dengan bunyi jantung
S3, kecemasan kegelisahan, anoreksia, keringat dingin, dan paroxysmal nocturnal
dyspnea,ronki basah paru dibagian basal
2. Gagal jantung kanan
Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah kongesti visera dan jaringan
perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan
volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah
yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak
meliputi : edema akstremitas bawah yang biasanya merupakan pitting edema,
pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena leher,
asites (penimbunan cairan didalam rongga peritonium), anoreksia dan mual, dan
lemah.
6. Manifestasi klinis
Peningkatan volume intravaskular (gambaran dominan)
Ortopnue yaitu sesak saat berbaring
Dipsneu on effort (DOE) yaitu sesak bila melakukan aktifitas
Paroxymal noctural dipsneu (PND) yaitu sesak nafas tiba-tiba pada malam hari
disertai batuk
Berdebar-debar
Lekas lelah
Batuk-batuk
Peningkatan desakan vena pulmonal (edema pulmonal) ditandai oleh batuk dan
sesak nafas.
Peningkatan desakan vena sistemik seperti yang terlihat pada edema perifer umum
dan penambahan berat badan.
7. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi ialah :
- Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis darah.
- Syok kardiogenik akibat disfungsi nyata dari jantung.
- Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.
8. Pemeriksaan Fisik
1. Auskultasi nadi apikal, biasanya terjadi takikardi (walaupun dalam keadaan
berustirahat)
2. Bunyi jantung, S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa.
Irama gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah ke atrium yang
distensi. Murmur dapat menunjukkan inkompetensi / stenosis katup.
3. Palpasi nadi perifer, nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi
dan pulsus alternan (denyut kuat lain dengan denyut lemah) mungkin ada.
4. Tekanan darah
5. Pemeriksaan kulit : kulit pucat (karena penurunan perfusi perifer sekunder) dan
sianosis (terjadi sebagai refraktori Gagal Jantung Kronis). Area yang sakit sering
berwarna biru/belang karena peningkatan kongesti vena
9. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
1. EKG (elektrokardiogram): untuk mengukur kecepatan dan keteraturan denyut
jantung
EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san
kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial.
Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard
menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2. Echokardiogram: menggunakan gelombang suara untuk mengetahui ukuran dan
bentuk jantung, serta menilai keadaan ruang jantung dan fungsi katup jantung.
Sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis gagal jantung.
3. Foto rontgen dada: untuk mengetahui adanya pembesaran jantung, penimbunan
cairan di paru-paru atau penyakit paru lainnya.
4. Tes darah BNP: untuk mengukur kadar hormon BNP (B-type natriuretic peptide)
yang pada gagal jantung akan meningkat.
5. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
6. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan
dinding.
7. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau
insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan
kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan
kontrktilitas.
10. Therapy
Diuretik: Untuk mengurangi penimbunan cairan dan pembengkakan
Penghambat ACE (ACE inhibitors): untuk menurunkan tekanan darah dan
mengurangi beban kerja jantung
Penyekat beta (beta blockers): Untuk mengurangi denyut jantung dan
menurunkan tekanan darah agar beban jantung berkurang
Digoksin: Memperkuat denyut dan daya pompa jantung
Terapi nitrat dan vasodilator koroner: menyebabkan vasodilatasi perifer dan
penurunan konsumsi oksigen miokard.
Digitalis: memperlambat frekuensi ventrikel dan meningkatkan kekuatan
kontraksi, peningkatan efisiensi jantung. Saat curah jantung meningkat, volume
cairan lebih besar dikirim ke ginjal untuk filtrasi dan ekskresi dan volume
intravascular menurun.
Inotropik positif: Dobutamin adalah obat simpatomimetik dengan kerja beta 1
adrenergik. Efek beta 1 meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium (efek
inotropik positif) dan meningkatkan denyut jantung (efek kronotropik positif).
Sedati: Pemberian sedative untuk mengurangi kegelisahan bertujuan
mengistirahatkan dan memberi relaksasi pada klien.
11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan gagal jantung kongestif dengan sasaran :
1. Untuk menurunkan kerja jantung
2. Untuk meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard
3. Untuk menurunkan retensi garam dan air.
a. Tirah baring
Tirah baring mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung
dan menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume intra vaskuler
melalui induksi diuresis berbaring.
b. Oksigen
Pemenuhan oksigen akan mengurangi demand miokard dan membantu memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh.
c. Diet
Pengaturan diet membuat kerja dan ketegangan otot jantung minimal. Selain itu
pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau mengurangi
edema.
d. Revaskularisasi koroner
e. Transplantasi jantung
f. Kardoimioplasti
12. Pencegahan
Kunci untuk mencegah gagal jantung adalah mengurangi faktor-faktor risiko
Anda. Anda dapat mengontrol atau menghilangkan banyak faktor-faktor risiko
penyakit jantung - tekanan darah tinggi dan penyakit arteri koroner, misalnya -
dengan melakukan perubahan gaya hidup bersama dengan bantuan obat apa pun
yang diperlukan.
Perubahan gaya hidup dapat Anda buat untuk membantu mencegah gagal jantung
meliputi:
Tidak merokok
Mengendalikan kondisi tertentu, seperti tekanan darah tinggi, kolesterol
tinggi dan diabetes
Tetap aktif secara fisik
Makan makanan yang sehat
Menjaga berat badan yang sehat
Mengurangi dan mengelola stres
13. Prognosis Gagal Jantung
Pada sebagian kecil pasien, gagal jantung yang berat terjadi pada hari/ minggu-
minggu pertama pasca lahir, misalnya sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia
aorta, koarktasio aorta atau anomali total drainase vena pulmonalis dengan
obstruksi. Terhadap mereka, terapi medikmentosa saja sulit memberikan hasil,
tindakan invasif diperlukan segera setelah pasien stabil. Kegagalan untuk
melakukan operasi pada golongan pasien ini hampir selalu akan berakhir dengan
kematian. (1,3)
Pada gagal jantung akibat PJB yang kurang berat, pendekatan awal adalah
dengan terapi medis adekuat, bila ini terlihat menolong maka dapat
diteruskan sambil menunggu saat yang bik untuk koreksi bedah. (1,4)
Pada pasien penyakit jantung rematik yang berat yang disertai gagal
jantung, obat-obat gagal jantung terus diberikan sementara pasien
memperoleh profilaksis sekunder, pengobatan dengan profilaksis sekunder
mungkin dapat memperbaiki keadaan jantung. (1)
Konsep dasar asuhan keperawatan
A. Pengkajian
Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan
memberikan keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik
dan teraupetik berlnjut . GJK selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan
mortalitas.
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri
dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah pad
aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung ,
bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak
kaki, abdomen.
b. Tanda :
1) TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
2) Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
3) Irama Jantung ; Disritmia.
4) Frekuensi jantung ; Takikardia.
5) Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah
6) posisi secara inferior ke kiri.
7) Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
8) terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.
9) Murmur sistolik dan diastolic.
10) Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
11) Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
12) kapiler lambat.
13) Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
14) Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
15) Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting
16) khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan
mudah tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala : Bising usus mungkin meningkat atau juga normal.
5. Makanan/cairan
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan
signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak,
diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic.
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta
edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6. Higiene
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit
pada otot.
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.
9. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis,
penggunaan bantuan pernapasan.
b. Tanda :
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan.
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus
dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3) Sputum :Merah muda/berbuih (edema pulmonal)
4) Bunyi napas : Mungkin tidak terdengar.
5) Fungsi mental: Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit : Pucat dan sianosis.
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangan kekuatan/tonus otot.
11. Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
12. Pembelajaran/pengajaran
a. Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya :
penyekat saluran kalsium.
b. Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek batuk,
penumpukan secret.
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
4. Gangguan pola nafas berhubungan dengan sesak nafas
5. Penurunan perfusi jaringan behubungan dngan penurunan O2 ke organ
6. Nyeri berhubungan dengan hepatomegali, nyeri abdomen.
7. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi
glomerulus, meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
8. Gangguan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia &
mual.
9. Intoleran aktivitas berhubungan dengan fatigue
10. Sindrom deficit perawatan diri berhubungan dengan sesak nafas
11. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pitting edema.
12. Cemas berhubungan dengan sesak nafas, asites.
Rencana keperawatan
No. Diagnosa keperawatan Tujuan dan criteria hasil Intervensi
1. Penurunan curah jantung
berhubungan dengan Perubahan
kontraktilitas miokardial/perubahan
inotropik.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
tanda vital dalam batas yang
dapat diterima (disritmia
terkontrol atau hilang) dan
bebas gejala gagal jantung.
Kriteria hasil:
Melaporkan penurunan
episode dispnea, angina.
Ikut serta dalam aktivitas
yang mengurangi beban
kerja jantung
1. Auskultasi nadi apical, observasi frekuensi,
irama jantung
2. Catat bunyi jantung.
3. Palpasi nadi nadi perifer
4. Pantau TD
5. Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis.
6. Tinggikan kaki, hindari tekanan pada bawah
lutut.
7. Berikan oksigen tambahan dengan nasal
kanula atau masker sesuai indikasi.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan penurunan
reflek batuk, penumpukan secret.
Setelah diberikan askep
diharapkan kepatenan jalan
nafas pasien terjaga dengan
Kriteria hasil :
RR dalam batas normal
Irama nafas dalam batas
normal
Pergerakan sputum keluar
dari jalan nafas
Bebas dari suara nafas
tambahan
Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi
nafas, missal mengi, krekels, ronki.
Pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio
inspirasi dan ekspirasi.
Diskusikan dengan pasien untuk posisi yang
nyaman misal peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau
bibir.
Memberikan air hangat.
3. Kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan edema paru
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
pasien dapat
Mempertahankan tingkat
oksigen yang adekuat untuk
keperluan tubuh.
Kriteria hasil :
Tanpa terapi oksigen, SaO2
95 % dank lien tidan
mengalami sesak napas.
1. Kaji frekuensi,kedalaman pernafasan
2. Tinggikan kepala tempat tidur,bantu pasien
untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas.dorong nafas dalam secara perlahan
sesuai dengan kebutuhan/toleransi individu.
3. Kaji/awasi secara rutin kulit dan warna
membrane mukosa.
4. Auskultasi bunyi nafas,catat area penurunan
Tanda-tanda vital dalam batas
normal
o Tidak ada tanda-tanda
sianosis.
aliran udara /bunyi tambahan.
5. Awasi tingkat kesadaran/status mental.selidiki
adanya perubahan.
6. Awasi tanda vital dan irama jantung
Kolaborasi
7. Awasi /gambarkan seri GDA dan nadi
oksimetri.
8. Berikan oksigen tambahan yang sesuai
dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
3. Gangguan pola nafas berhubungan
dengan sesak nafas
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
Pola nafas efektif dengan
kriteria hasil RR Normal ,
tak ada bunyii nafas
tambahan dan penggunaan
otot Bantu pernafasan. Dan
GDA Normal.
1. Monitor kedalaman pernafasan, frekuensi, dan
ekspansi dada.
2. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan
otot Bantu nafas
3. Auskultasi bunyi nafas dan catat bila ada
bunyi nafas tambahan
4. Kolaborasi pemberian Oksigen dan px GDA
5. Pantau tanda vital (tekanan darah, nadi,
frekuensi, pernafasan).
4. Penurunan perfusi jaringan
behubungan dngan penurunan O2 ke
otak
Setelah diberikan asuhan
keperawatan gangguan
perfusi jaringan berkurang /
tidak meluas selama
dilakukan tindakan
perawatan di RS dengan
kriteria hasil:
Daerah perifer hangat
Tak sianosis
Gambaran EKG tak
menunjukan perluasan infark
RR 16-24 x/ menit tak
terdapat clubbing finger
kapiler refill 3-5 detik, nadi
60-100x / menit. TD 120/80
mmHg
1. Pantau TD, catat adanya hipertensi sistolik
secara terus menerus dan tekanan nadi yang
semakin berat.
2. Pantau frekuensi jantung, catat adanya
Bradikardi, Tacikardia atau bentuk Disritmia
lainnya.
3. Pantau pernapasan meliputi pola dan
iramanya.
4. Catat status neurologis dengan teratur dan
bandingkan dengan keadaan normalnya
5. Nyeri berhubungan dengan
hepatomegali, nyeri abdomen.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
nyeri dada hilang atau
terkontrol dengan KH:
Pasien mampu
mendemonstrasikan
penggunaan teknik relaksasi.
Pasien menunjukkan
menurunnya tegangan, rileks
dan mudah bergerak.
1. Pantau atau catat karakteristik nyeri, catat
laporan verbal, petunjuk nonverbal, dan respon
hemodinamik (meringis, menangis, gelisah,
berkeringat, mencengkeram dada, napas cepat,
TD/frekwensi jantung berubah).
2. Ambil gambaran lengkap terhadap nyeri dari
pasien termasuk lokasi, intensitas (0-10),
lamanya, kualitas (dangkal/menyebar), dan
penyebarannya.
3. Observasi ulang riwayat angina sebelumnya,
nyeri menyerupai angina, atau nyeri IM.
Diskusikan riwayat keluarga.
4. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri
dengan segera.
5. Berikan lingkungan yang tenang, aktivitas
perlahan, dan tindakan nyaman (mis,,sprei
yang kering/tak terlipat, gosokan punggung).
Pendekatan pasien dengan tenang dan dengan
percaya.
6. Bantu melakukan teknik relaksasi, mis,, napas
dalam/perlahan, perilaku distraksi, visualisasi,
bimbingan imajinasi.
7. Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat
narkotik.
Kolaborasi :
8. Berikan obat sesuai indikasi, contoh:
Antiangina, seperti nitrogliserin (Nitro-
Bid, Nitrostat, Nitro-Dur).
Penyekat-B, seperti atenolol
(tenormin); pindolol (visken);
propanolol (inderal).
Analgesik, seperti morfin, meperidin
(demerol)
Penyekat saluran kalsium, seperti
verapamil (calan); diltiazem
(prokardia).
6, Kelebihan volume cairan
berhubungan dengan menurunnya
laju filtrasi glomerulus,
meningkatnya produksi ADH dan
retensi natrium/air.
Setela diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
Keseimbangan volume
cairan dapat dipertahankan
selama dilakukan tindakan
keperawatan selama di RS
Kriteria hasil:
Mempertahankan
keseimbangan cairan seperti
dibuktikan oleh tekanan
darah dalam batas normal,
tak ada distensi vena perifer/
vena dan edema dependen,
paru bersih dan berat badan
ideal ( BB idealTB –100 ±
10 %)
1. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah
dan warna saat dimana diuresis terjadi.
2. Pantau/hitung keseimbangan pemaukan
dan pengeluaran selama 24 jam
3. Pertahakan duduk atau tirah baring
dengan posisi semifowler selama fase
akut.
4. Pantau TD dan CVP (bila ada)
5. Kolaborasi pemberian diuretic sepert
furosemid (lasix, bumetanide (bumex).
7. Gangguan nutrisi, kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia & mual.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan pola
nafas efektif setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selam di RS,
RR Normal
Tak ada bunyii nafas
tambahan
Penggunaan otot bantu
pernafasan.
1. Observasi kebiasaan diet, masukan
makanan saat ini. Catat derajat
kesulitan makan. Evaluasi berat badan
dan ukuran tubuh.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Berikan perawatan oral sering, buang
sekret, berikan wadah khusus untuk
sekali pakai dan tissue.
4. Berikan makanan porsi kecil tapi
sering
5. Hindari makanan penghasil gas dan
minuman karbonat
6. Hindari makanan yang sangat panas
atau sangat dingin.
7. Timbang berat badan sesuai indikasi
8. Intoleran aktivitas berhubungan
dengan fatigue
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
Terjadi peningkatan toleransi
pada klien setelah
dilaksanakan tindakan
keperawatan selama di RS
Kriteria hasil :
frekuensi jantung 60-100 x/
menit
TD 120-80 mmHg
Kaji respon pasien terhadap aktifitas,
perhatikan frekuensi nadi lebih dari 20 kali
permenit diatas frekuensi istirahat ;
peningkatan TD yang nyata selama/ sesudah
aktifitas (tekanan sistolik meningkat 40 mmHg
atau tekanan diastolik meningkat 20 mmHg) ;
dispnea atau nyeri dada;keletihan dan
kelemahan yang berlebihan; diaforesis; pusing
atau pingsan.
Instruksikan pasien tentang tehnik
penghematan energi, mis; menggunakan kursi
saat mandi, duduk saat menyisir rambut atau
menyikat gigi, melakukan aktifitas dengan
perlahan.
Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas/
perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi,
berikan bantuan sesuai kebutuhan
9. Sindrom perawatan diri
berhubungan dengan sesak nafas
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
terdapat perilaku
peningkatan dalam
pemenuhan perawatan diri
dengan kriteria hasil :
klien tampak bersih dan
segar
Klien dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi sesuai
1. Observasi kemampuan
kebutuhan sehari-hari
2. Pertahankan dukungan,sikap yang tegas. Beri
pasien waktu yang cukup untuk mengerjakan
tugasnya.
3. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap
usaha yang dilakukan atau keberhasilannya.
dengan batas kemampuan
klien dapat memenuhi
kebutuhan toileting sesuai
toleransi
4. Berikan pispot di samping
tak mampu ke kamar mandi.
5. Letakkan alat-alat makan dan alat-alat mandi
dekat pasien.
6. Bantu pasien melakukan perawatan dirinya
apabila diperlukan.
10. Kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan pitting edema.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
kerusakan integritas kulit
Kriteria hasil:
klien dapat
Mendemonstrasikan
perilaku/teknik mencegah
kerusakan kulit.
Mempertahankan integritas
kulit,
1. Ubah posisi sering ditempat tidur/ kursi, bantu
latihan rentang gerak pasif/ aktif.
2. Berikan perawatan kulit sering, meminimalkan
dengan kelembaban/ ekskresi.
3. Periksa sepatu kesempitan/ sandal dan ubah
sesuai dengan kebutuhan
4. Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya
edema, area sirkulasinya terganggu/pigmentasi
atau kegemukan/kurus.
5. Pijat area kemerahan atau yang memutih
.
11. Cemas berhubungan dengan sesak
nafas, asites.
Setelah diberikan asuhan
keperawatan diharapkan
pasien menyatakan
penurunan cemas dengan
1. Identifikasi dan ketahui persepsi pasien
terhadap ancaman/situasi. Dorong pasien
mengekspresikan dan jangan menolak
perasaan marah, kehilangan, takut, dll.
KH:
mengenal perasaannya
mengidentifikasi penyebab
dan faktor yang
mempengaruhinya secara
tepat.
Mendemonstrasikan
pemecahan masalah positif.
2. Catat adanya kegelisahan, menolak, dan/atau
menyangkal (afek tak tepat atau menolak
mengikuti program medis).
3. Mempertahankan gaya percaya (tanpa
keyakinan yang salah).
4. Observasi tanda verbal/non verbal kecemasan
pasien. Lakukan tindakan bila pasien
menunjukkan perilaku merusak.
5. Terima penolakan pasien tetapi jangan diberi
penguatan terhadap penggunaan penolakan.
Hindari konfrontasi.
6. Orientasi pasien atau orang terdekat terhadap
prosedur ruyin dan aktivitas yang diharapkan.
Tingkatkan partisipasi bila mungkin.
7. Jawab semua pertanyaan secara nyata. Berikan
informasi konsisten; ulangi sesuai indikasi.
8. Dorong pasien atau orang terdekat untuk
mengkomunikasikan dengan seseorang,
berbagi pertanyaan dan masalah.
.
9. Kolaborasi
Berikan anticemas/hipnotik sesuai indikasi
contoh, diazepam (valium); fluarazepam
(dalmane); lorazepam (ativan).
EVALUASI
Diagnosa 1 :
Melaporkan penurunan episode dispnea, angina.
Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung
Diagnosa 2 :
RR dalam batas normal
Irama nafas dalam batas normal
Pergerakan sputum keluar dari jalan nafas
Bebas dari suara nafas tambahan
Diagnosa 3 :
RR Normal ,
Tak ada bunyi nafas tambahan dan penggunaan otot Bantu pernafasan.
GDANormal
Diagnosa4:
RR 16-24 x/ menit tak terdapat clubbing finger kapiler refill 3-5 detik, nadi 60-
100x / menit.TD120/80mmHg
Daerah perifer hangat
Tak sianosis
Gambaran EKG tak menunjukan perluasan infark
Diagnosa5:
Pasien mampu mendemonstrasikan penggunaan teknik relaksasi.
Pasien menunjukkan menurunnya tegangan, rileks dan mudah bergerak.
Diagnosa6:
Mempertahankan keseimbangan cairan seperti dibuktikan oleh tekanan darah
dalam batas normal
Tak ada distensi vena perifer/ vena dan edema dependen
Paru bersih
Berat badan ideal ( BB idealTB –100 ± 10 %)
Diagnosa7:
Penggunaan otot bantu pernafasan.
RR Normal
Tak ada bunyii nafas tambahan
Diagnosa8:
Frekuensi jantung 60-100 x/ menit
TD 120-80 mmHg
Diagnosa9:
Klien tampak bersih dan segar
Klien dapat memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai dengan batas kemampuan
Klien dapat memenuhi kebutuhan toileting sesuai toleransi
Diagnosa10:
Klien dapat Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.
Mempertahankan integritas kulit,
Diagnosa11:
Mengenal perasaannya
Mengidentifikasi penyebab dan faktor yang mempengaruhinya secara tepat.
Mendemonstrasikan pemecahan masalah positif.