Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

45
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Manusia memang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang dihasilkannya. Mereka membentuk berbagai ide dan gagasan dalam upayanya untuk menjaga keberadaan mereka dan sebagai usaha untuk menghargai keberadaan alam di sekitarnya. Mereka juga menciptakan berbagai sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang harus ditaati. Sistem ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Selain itu, mereka juga menciptakan berbagai benda yang merupakan kreasi mereka dalam usaha untuk mncurahkan imajinasinya terhadap ide, gagasan serta sistem yang telah mereka tentukan dan terapkan. Dalam sistem sosial, untuk menunjang kegiatan kemasyarakatan manusia berinteraksi ke sesama, maka dibangunlah perumahan. Pembangunan perumahan atau rumah ini merupakan sebuah hasil kreasi manusia terhadap sistem sosial mereka. Rumah merupakan suatu hasil daya pikir manusia yang menyesuaikan terhadap keadaan lingkungan di sekitarnya. Pada jaman purba, begitu manusia menemukan api, begitu juga manusia menumukan dapur maka pada saat itulah dikenal rumah sebagai Apresiasi Budaya 1

description

Pengertian BudayaWujud KebudayaanPengertian Perumahan Tradisional BaliRumah Tempat TinggalFilosofi Tata Ruang Perumahan Bali Tri Hita Karana Panca Maha Bhuta Tri Angga Ulu Teben dan Sangamandala Bapa Akasa Ibu Pertiwi

Transcript of Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Page 1: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia memang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang dihasilkannya. Mereka

membentuk berbagai ide dan gagasan dalam upayanya untuk menjaga keberadaan mereka

dan sebagai usaha untuk menghargai keberadaan alam di sekitarnya. Mereka juga

menciptakan berbagai sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang harus ditaati.

Sistem ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia

dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Selain itu, mereka juga

menciptakan berbagai benda yang merupakan kreasi mereka dalam usaha untuk mncurahkan

imajinasinya terhadap ide, gagasan serta sistem yang telah mereka tentukan dan terapkan.

Dalam sistem sosial, untuk menunjang kegiatan kemasyarakatan manusia berinteraksi

ke sesama, maka dibangunlah perumahan. Pembangunan perumahan atau rumah ini

merupakan sebuah hasil kreasi manusia terhadap sistem sosial mereka. Rumah merupakan

suatu hasil daya pikir manusia yang menyesuaikan terhadap keadaan lingkungan di

sekitarnya. Pada jaman purba, begitu manusia menemukan api, begitu juga manusia

menumukan dapur maka pada saat itulah dikenal rumah sebagai tempat berlindung dan

mengahangatkan diri. Begitu juga fungsi rumah pada zaman sekarang yang masih berfungsi

sebagai tempat berlindung terhadap gangguan cuaca dan juga terdapat fungsi-fungsi lainnya.

Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya

oleh masyarakat Bali yang mengeras kedalam bentuk-bentuk bangunan dengan ragam hias

yang dikenakannya. Bentuk-bentuk ragam hias yang ditampilkan mengambil berbagai bentuk

alam. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai bentuk ragam hias. Selain itu, berbagai

ragam hias yang digunakan memiliki makna tersendiri. Penempatan ragam hias juga tak

boleh dilakukan dengan sembarangan. Hal ini harus disesuaikan dengan kaidah yang telah

ditentukan.

Apresiasi Budaya 1

Page 2: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang di atas, antara

lain :

1. Bagaimana bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang mulai terjadi

perubahan budaya?

2. Apa makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku civitas rumah?

3. Pada bagian mana sajakah terjadi perubahan budaya pada rumah tradisional Bali

yang terdapat di Penatih ini ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang sudah

terjadi perubahan budaya.

2. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku

civitas rumah.

3. Untuk mengetahui letak perubahan budaya pada rumah tradisional Bali yang

terdapat di Penatih.

1.4 Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam pembuatan laporan ini antara lain,

yaitu :

1. Metode Observasi

Yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang akan dikaji.

2. Metode Literatur

Yaitu menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan penulisan ini.

3. Metode Wawancara

Yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dengan subjek penulisan

ini.

Apresiasi Budaya 2

Page 3: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN : menguraikan tentang latar belakang pemilihan masalah

yang menjadi dasar dalam penulisan laporan ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : menguraikan tentang berbagai teori yang berhubungan

dengan masalah yang diangkat dalam penulisan laporan

ini.

BAB III TINJAUAN OBJEK : menguraikan tentang objek yang dibahas pada laporan ini

serta menganalisa berbagai rumusan permasalahan yang

telah diajukan.

BAB IV SIMPULAN : menguraikan simpulan dari keseluruhan penulisan ini

serta kemungkinan saran yang diajukan.

Apresiasi Budaya 3

Page 4: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Budaya

2.1.1 Pengertian Budaya

Budaya atau kebudayaan, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “buddhayah” yang

merupakan bentuk jamak dari “buddhi” (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang

berkaitan dengan budi dan akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,

yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan

juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan

sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Ada beberapa versi definisi dari kebudayaan, antara lain :

Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan adalah seluruh gagasan / pikiran,

tindakan / karya dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

tidak berakar pada nalurinya, dan karenanya hanya bisa dicetuskan setelah melalui

proses belajar.

Menurut Van Peursen (1977), kebudayaan adalah endapan dari kegiatan dan karya

manusia.

Menurut Soewondo BS (1982), kebudayaan pada hakekatnya merupakan alat untuk

memenuhi kebutuhan. Jika kebudayaan sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan

maka dengan sendirinya kebudayaan akan hilang. Jadi kebudayaan mendasari dan

mendorong terwujudnya suatu kelakuan sebagai pemenuhan kebutuhan yang

timbul.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 170),

- Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia

seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.

- Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial

yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang

menjadi pedoman tingkah lakunya.

Apresiasi Budaya 4

Page 5: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Menurut Arnold Toynbee, kebudayaan adalah segala ciptaan manusia pada

hakekatnya hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi bentuk serta

susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani dan

rohaninya dan kebudayaan universal yaitu kebudayaan yang unsur-unsurnya bisa

didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di mana pun di dunia.

Menurut R. Soekmono, kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa

benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai,

norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan

lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri

khas suatu masyarakat.

Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,

yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai

anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana

hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat diperoleh pengertian mengenai

kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang

terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu

bersifat abstrak. sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang

diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-

benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,

organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk

membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Apresiasi Budaya 5

Page 6: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

2.1.2 Wujud Kebudayaan

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,

aktivitas, dan artefak.

Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;

tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-

kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut

menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan

ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga

masyarakat tersebut.

Aktivitas (Tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia

dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem

sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,

mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola

tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam

kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Artefak (Karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,

dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang

dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara

ketiga wujud kebudayaan.

Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga

kelompok, yaitu:

- Wujud ideal meliputi gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb,

- Wujud sistem sosial yang merupakan pola kelakuan manusia

dalam masyarakatnya,

- Wujud fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia,

termasuk produk arsitektur.

Apresiasi Budaya 6

Page 7: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Menurut LA. White (1949), kebudayaan merupakan sistem terpadu dan

terorganisir yang dapat dirinci dalam tiga bagian yaitu :

- Sistem teknologi (peralatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pokok,

perlindungan fisik dalam arti luas, peralatan berperang/pertahanan).

- Sistem sosial sebagai perangkat untuk mewujudkan kehidupan komunal manusia

sebagai mahluk sosial (pola-pola tingkah laku kolektif maupun individual yang

menghasilkan sistem organisasi masyarakat, sistem kemiliteran, sistem pembagian

kerja, dll).

- Sistem ide sebagai perangkat untuk menafsirkan lingkungannya (gagasan,

kepercayaan, dan pengetahuan yang tercermin dalam percakapan, kepercayaan,

kesusasteraan, filsafat, dll).

2.2 Perumahan Tradisional Bali

2.2.1 Pengertian Perumahan Tradisional Bali

Pengertian Desa Tradisional Bali atau secara tradisional disebut desa (adat)

merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat terdiri atas 3 unsur, yaitu unsur

khayangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah)

(Sulistyawati, 1958 :3). Menurut Gelebet (1986 : 48), perumahan atau permukiman

tradisional merupakan tempat tinggal yang berpola tradisional dengan perangkat

lingkungan dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional.

Desa tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti hubungan yang harmonis

antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cacupu, Tri hita Karana, Tri

Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang meberi arahan

tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan (desa). Hasil dari

penurunan konsep tata ruang ini sangat beragam, namun Ardi P. Parimin (1986)

menyimpulkan adanya 4 atribut dalam perumahan tradisional Bali, yaitu :

Atribut Sosiologi menyangkut sisitem kekerabatan masyarakat Bali yang

dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem banjar, sistem subak, sekeha,

dadia dan perbekalan.

Aspek Simbolik berkaitan dengan orientasi perumahan, orientasi sumbu utama

desa, orientasi rumah dan halamannya.

Apresiasi Budaya 7

Page 8: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Atribut Morfologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan ini

(core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing

memmpunyai fungsi dan arti pada perumahan tradisional Bali.

Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumagan tardisional Bali pada

dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya

3 pura desa.

2.2.2 Rumah Tempat Tinggal

Dari kehidupan goa sampai kehidupan kota manusia bertempat tinggal di rumah

rumah sederhana elemen alam, berkembang sampai ke rumah rumah flat super modern.

Arsitektur tradisional rumah tempat tinggal di Bali pada masa masa bali mula, abli aga,

dan bali arya berkembang pesat setelah para arya dari majapahit berkuasa di Bali

disertai tokoh tokoh budayawan juga dalam bidang arsitektur. Tingkatan kasta, status

social dan pernannya di masyarakat merupakan fakor factor tingkat perwujudan rumah

tempat tinggal utama, madya, dan sederhana. Pengelompokan rumah rumah tempat

tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang , tipe

bangunan, fungsi, bentuk, bahan penyelesainnya.

Ditinjau dari nama, rumah tempat tinggal sesuai dengan tingkat kasta yang

menempatinya. Puri rumah tinggal utama, gria, jero dan umah adalah madya dapat pula

utama dan sedikit kemungknan sederhana. Kubu atau pakubon tergolong sederhana.

Untuk rumah tempat tinggal nama namanya ditentukan oleh fungsi kasta

penghuninya. Nama nama bangunan ditentukan pula oleh fungsi juga tipe bangunannya

Griya

Rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana disebut griya yang umumnya

menempati bagian utama dari suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan brahmana

selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang griya sebagai rumh

tempat tinggal brahmana disesuaikan dengan keperluan keperluan aktivitasnya.

Puri

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan disebut

puri yang umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat

desa. Umumnya puri dibangun dengan tata zoning yang berpola sangamandala

Apresiasi Budaya 8

Page 9: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

semacam papan catur berpetak sembilan. Bangunan bangunan puri sebagian besar

mengambil tipe utama. Antara zona satu dengan lainnya dari petak ke petak

dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing masing bagian antara lain untuk:

ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri untuk masuk ke puri.

Sumanggen, untuk area upacara pitra yadnya

Rangki, untuk area tamu tamu paseban sidang, pemeriksaan dan pengamanan.

Pewaregan, untuk area dapur dan perbekalan.

Lumbung, untuk area penyipanan dan pengolahan bahan perbekalan.

Saren kaja, area tempat tinggal istri istri raja.

Saren kangin, untuk tempat tinggal raja.

Paseban, untuk area pertemuan atau sidang kerajaan.

Pamerajan agung untuk are tempat suci parhyangan.

Jero

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang pemerintahan

secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan bangunannya umumnya

lebih sederhana dari puri. Sesuai fungsinya pola ruang jero dirancang dengan tri

angga. Pamerjanan sebagai parhyangan, jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan

jabaan sebagai tempat pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana puri, jero

juga menempati zoning utama kaja kangin atau kaja kangin yang umumnya di pusat

desa. Dilihat dari status sosial penghuni sebagai akibat dari kasta dan peranannya di

masyarakat, griya, puri dan jero umumnya merupakan rumah tempat tinggal uatama.

Identitas kasta dan peranannya cenderung ditampakkan lewat bangunan tempat

tinggalnya.

Umah

Rumah tempat tinggal dari kasta weisya disebut umah lokasiu umah dalam

perumahan di suatu desa dapat menempati di sisi sisi utara selatan timur atau barat

dari jalan desa, pusat pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale

banjar di pusat pusat sub lingkungan. Unit umah dalam perumahan berorientasi ke

natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tangga. Umah di dalama perumahan

tradisional merupakan susunan massa massa bangunan di dalam suatu pekarangan

yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan dengan kori pintu masuk ke

Apresiasi Budaya 9

Page 10: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

pekarangan. Masing masing ruang dapur, tempat kerja, lumbung dan tempat tidur di

bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa massa bangunan

umah tempat tiunggal menempati bagian utara , selatan, timur, barat membentuk

halaman natah ditengah. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian

besar adalah petani, maka rumah tempat tinggal nya umumnya berpada di tingkatan

madya. Di desa desa yang kondisi pertaniannya kurang menguntungkan umah nya

pun dalam keadaan sederhana.

Kubu

Rumah tempat tinggal diluar pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau

tempat tempat kehidupan lainnya disebut kubu ataupakubon. Penghuni rumah tempat

tinggal pakubon adalah petani atau nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah

dengan kehidupan yang sederhana. Pola ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa

pula dengan pola umah masing masing ruang, dapur tempat kerja lumbung dan

tempat tidur dibawah satu atap untuk masing masing massa bangunan. Komposisi

massa massa membentuk halaman natah di tengah sebagai pusat orientasi dan

aktivitasnya. Dalam fungsinya untuk kegiatan spiritual pengurusan tatu bentuk bentuk

kehidupan tertentu pakubon disebut padukuhan.

2.3 Filosofi Tata Ruang Perumahan Bali

2.3.1 Tri Hita Karana

Untuk menyelaraskan antara bhuana agung/alam semesta dengan bhuana alit/manusia,

maka setiap lingkungan kehidupan dibuat senilai dengan unsur-unsur yang utuh, yakni Tri

Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna, Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran,

baik, gembira, senang, dan lestari, sedangkan Karana berarti sebab, sumber (penyebab). Jadi

Tri Hita Karana memiliki arti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :

Atma (roh/jiwa)

Prana (tenaga)

Angga (jasad/fisik)

Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling

makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia).

Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Tang Maha Esa), tenaga adalah berbagai

Apresiasi Budaya 10

Page 11: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

energi alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam kaitannya dengan banjar, Atma

(jiwa) dari banjar adalah parahyangan (pura banjar), Prana (tenaga) adalah pawongan (warga

banjar) dan Angga (jasad) adalah palemahan (wilayah banjar). Sedangkan dalam diri

manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah sthula

sarira/tubuh manusia.

Penyelarasan antara bhuana agung dengan bhuana alit yang dikenal dengan Tri Hita

Karana pada banjar Wangaya Kaja dapat dilihat dari penyelarasan hubungan manusia

dengan Tuhan (parahyangan) dengan terdapatnya sebuah Mrajan di banjar yang terletak pada

arah orientasi Kaja-Kangin, hubungan manusia dan manusia (pawongan) teraplikasikan

dengan warga banjar itu tersendiri, sedangkan untuk palemahannya yaitu bangunan banjar itu

sendiri.

Rumah Parhyangan

(Sanggah/Pamerajan)

Pawongan

(Penghuni

rumah)

Palemahan

(Pekarangan

rumah)

2.3.2 Panca Maha Bhuta

Agama Hindu memiliki suatu kepercayaan

terhadap hubungan manusia dengan alam,

bhuana alit dan bhuana agung yang terbentuk

oleh unsure-unsur yang sama yang dikenal

dengan panca mahabutha. Kedua alam ini (macro

dan microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan

yang sama. Segala yang kental, padat dank keras

pada alam maupun tubuh manusia terbentuk oleh

Pertiwi (zat padat), segala yang cair terbentuk

oleh Apah (zat cair), segala yang bercahaya

panas terbentuk oleh Teja (cahaya), angin, hawa

dan gas pada macrocosmos serta nafas pada mahluk terbentuk oleh unsur Bayu (gas), adapun

kekosongan baik pada micro dan macrocosmos disebabkan oleh unsur Akasa (ether).

Apresiasi Budaya 11

Gbr. 1 Unsur Panca Maha Bhuta pada tubuh

manusia

Sumber : www.kaladarshan.arts.ohio-state.edu

Page 12: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Selanjutnya hubungan harmonis antara bhuana alit dan bhuana agung diimplikasikan

pada sisitem pendimensian bangunan, baik parahyangan, pawongan maupun palemahan,

bahwa yang menjadi patokan dalam sisitem pendimensian adalah ergonomic dari pemilik

rumah untuk tempat tinggal dan ergonomic pemangku untuk parhyangan, pelinggih-

pelinggih (tempat bersthananya dewa-dewa).

2.3.3Tri Angga

Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan

manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan

konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti

badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista

Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur

Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan

secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah dan

nista pada posisi terendah/kotor.

Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung)

sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki

nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan,

Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku

dalam skala rumah dan manusia.

Pada banjar Wangaya Kaja konsep Tri Angga ini dapat dilihat dari bentuk bangunannya.

Tri Angga pada bangunan terdiri dari atap pada Utama Angga, kolom/dinding pada Madya

Angga dan lantai/bataran pada Nista Angga. Ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan

yang membentuk aplikasi dari susunan makro kosmos ke mikro kosmos.

Apresiasi Budaya 12

Page 13: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

2.3.4 Ulu Teben dan Sangamandala

Selain memberikan nilai secara vertikal, konsep Tri Angga juga memiliki tata nilai Ulu-

Teben, yang merupakan tata nilai dalam mencapai keselarasan antara bhuana agung/alam

semesta dan bhuana alit/manusia. Konsep Ulu-Teben ini kemudian mempunyai beberapa

orientasi-orientasi, antara lain :

Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh.

- Kangin (matahari terbit)-luan, nilai utama

- Kauh (matahari terbenam)-teba, nilai nista

Orientasi dengan konsep sumbu bumi/natural Kaja-Kelod

- Kaja (ke arah gunung)-luan, nilai utama

- Kelod (ke arah laut)-teba, nilai nista

Penggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan sumbu nilai mengghasilkan

konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang

lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan

arah mata angin di tambah satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta.

Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak

bangunan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur Tradisional

Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan diletakkan di daerah Utamaning

Utama, dan kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Nista, sedangkan

kegiatan diantaranya diletakkan di tengah atau yang kita kenal dengan pola Natah.

Apresiasi Budaya 13

Page 14: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Gbr.2 Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala

Sumber: Eko Budihardjo (1986)

2.3.5 Bapa Akasa Ibu Pertiwi

Dalam konsep Bapa Akasa, langit dianggap bermuatan positif sedangkan ibu pertiwi

(tanah) dianggap bermuatan negatif yang memiliki daya tarik (grafitasi) sehingga Tuhan

sebagai Bapa Akasa turun menuju ibu pertiwi. Dengan dasar konsep ini manusia bisa berdiri

tegak dimuka bumi ini, jika ibu pertiwi tidak memiliki daya tarik, manusia akan ditarik oleh

kekuatan planet lain pada antariksa ini. Sehingga dalam arsitektur tradisional Bali selalu

terdapat bataran-bataran yang tinggi merupakan simbul dari ibu pertiwi.

Apresiasi Budaya 14

Page 15: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Selain terdapatnya bataran-bataran tinggi sebagai simbul dari ibu pertiwi konsep Bapa

Akasa dan Ibu Pertiwi juga terdapat pada sebuah ruang kosong sebagai pertemuan antara

unsur langit dan bumi yang sering diebut dengan natah. Natah tersendiri memiliki beberapa

pengertian yaitu sebagai ruang, tempat dan kekosongan, dari pengertian tersebutlah natah

difungsikan sebagai tempat yang sakral dimana upacara keagamaan dilaksanakan di dalam

natah.

Apresiasi Budaya 15

Page 16: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

BAB III

DATA & IDENTIFIKASI GEJALA PERGESERAN

3.1 Gambaran Umum

Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara merupakan rumah tradisional Bali yang terletak di

Banjar Saba Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Rumah ini

merupakan rumah peninggalan orang tua dari bapak I.G.N. Jayanegara yang dari dahulu hingga

sekarang telah banyak terjadi perubahan dari berbagai aspek.

Apresiasi Budaya 16

Gbr. 3 Peta Lokasi

Page 17: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

3.2 Pola Tata Ruang Pada Rumah

Rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini memiliki pola tata ruang yang berpegangan

teguh terhadap konsep Ulu-Teben dan Sangamandala. Pada rumah ini telah mengalami

gejala pergeseran bentuk dan fungsi yang dilihat dari beberapa bentuk bangunan yang

bertambah pada pola penataan tata ruang rumah tersebut. Hal ini dikarenakan dengan

semakin berkembangnya zaman maka tuntutan ruang akan sebuah rumah di suatu

pekarangan pun bertambah.

3.2.1 Pola Tata Ruang Rumah Lama

Keterangan:

A. : tempat suci/ merajan

B. : wantilan kecil

C. : Bale Tempat menyimpan arca

D. : Kandang

E. : Bale Daja

F. : merajan natah

G. : Bale Gede

H. : Paon

I. : Bale meten

J. : Natah

K. : Sumur

L. Angkul angkul

3.2.2 Pola Tata Ruang Rumah Sekarang

Apresiasi Budaya 17

Gbr. 4 Pola tata ruang rumah lama

Sumber : hasil wawancara

Page 18: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Keterangan:

A. Merajan

B & C: Bale Penyimpan benda Seni

D. Paon

E. Bale daja

F. Bale bengong

G. Merajan natah

H. Bale Gede

I. Bale Delod

J. Bale Meten

K. Natah

L. Garasi

M. Bale Dauh

N. Angkul angkul

3.3 Bentuk dan Fungsi Bagian Bangunan Pada Rumah

Apresiasi Budaya 18

Gbr.5 Pola tata ruang rumah sekarang

Sumber : hasil survei

Page 19: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

3.3.1 Pamerajan

Pura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah Pamerajan

atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah tangga ada

Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin. Pamerajan alit diperuntukan

untuk keluarga kecil atau rumah tanggab dan Pamerajan Agung atau Sanggah Gede untuk

keluarga besar.

Pada rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini bentuk Pamerajannya bersifat pamerajan

alit yang terdiri dari :

Letak dari bangunan suci ini berorientasi pada arah timur untuk bangunan Gedong,

Kemulan dan Ratu Ngurah dengan arah hadap ke barat dan untuk pelinggih Taksu

berorientasi pada arah utara dengan arah hadap ke selatan.

Apresiasi Budaya 19

Gbr. 6 Pola peletakkan pelinggih (bangunan suci) pada rumah

Sumber : hasil survei

Page 20: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

3.3.2. Angkul-angkul

Angkul-angkul adalah sejenis pintu masuk rumah atau pekarangan untuk

bangunan bali yang diberi atap yang meng- ungkuli/unkul-ungkul (berada diatas

kepala) terhadap orang yang lewat. Menurut Arinton Puja, istilah pamesuan muncul

sesuai dengan fungsinya untuk pintu masuk dan keluar. Namun, istilah ini hanya untuk

pintu masuk dan keluar yang lebih sederhana dari kori. Untuk tempat-tempat yang

disucikan istilah pamesuan disebut dengan kori agung, dan pamedal adalah istilah

yang sama untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. Massa

angkul-angkul bisa dianggap sebagai lubang masuk berangkap. Untuk pekarangan

yang luas atau perumahan utama atau madya juga dibangun pintu sehari-hari, karena

alam perkembangannya angkul-angkul dianggap sebagai pintu masuk formal, yang

disebut betelan atau peletasan.

Dimensi

Angkul-angkul sangat besar dipengaruhi status sosial penghuninya, selain kondisi

perekonomiannya, berdasarkan dimensinya, angkul-angkul dibedakan atas vertikal dan

horizontal.

Dimensi Horizontal

Angkul-angkul memiliki lubang pintu dengan lebar selebar orang yang sedang

bertolak pinggang(mapejengking). Dimensi lebar juga dapat diperoleh dari 3 tapak

kaki ditambah satu tapak ngandang(3+1/2 telapak kaki pemilik rumah). Lubang pintu

yang sempit mengajak orang untuk melangkah hati-hati, tertib, dan penuh hormat.

Apresiasi Budaya 20

Gbr. 7 Pelinggih (bangunan suci) pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survei

Page 21: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Perhitungan menggunakan ukuran badan kepala keluarga. Ukuran ini menyebabkan

pintu rumah tidak disiapkan untuk dilalui hewan peliharaan atau kendaraan.

Dimensi Vertikal

Pintu angkul-angkul memiliki tinggi yang berbeda, secara garis besar adalah 2,5xlebar

angkul-angkulnya.

Transformasi:

Transformasi yang terjadi pada angkul angkul adalah adanya perubahan dimensi

dari angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan

berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan jaman perubahan

dimensi pada angkul angkul tampak pada ukuran lebar angkul angkul yang dapat

dilalui kendaraan bermotor.

Selain itu transformasi yang terjadi adalah adanya perubahan unsur material

pembentuk angkul angkul. Pada masa kini material yang digunakan adalah

penggunaan beton pada strukturnya, sedangkan unsur ragam hiasnya/ ornamen tampak

pada penggunaan bata gosok merah dan perpaduan paras.

3.3.3 Bale Meten

Sakutus

Apresiasi Budaya 21

Gbr. 7 Perubahan dimensi angkul-angkul pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survei

Page 22: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Fungsi

Sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih yang tinggal di

satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada

Letak

- Zona Uttamaning Madya

- Terletak di sebelah utara dan menghadap ke selatan

Karakteristik

Dinding bangunan tertutup pada 4 sisi bangunan sehingga bangunan bersifat

privat dan hanya digunakan untuk orang yang dianggap tetua di suatu keluarga

atau juga sebagai tempat tinggal dari Ida Pedanda yang tinggal di dalam suatu

pekarangan tersebut.

Bahan

Atap :

- Penutup atap dari genteng

- Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari

bahan kayu.

Dinding :

Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan

bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.

Tiang/Sesaka :

Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya dan terdiri dari 8 buah saka di

bagian luar bangunan.

Pondasi :

Menggunakan susunan batu alam

sedangkan bebaturannya

menggunakan batu,

paras dan bata.

Apresiasi Budaya 22

Page 23: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

3.3.4

Bale Daja

Seperti yang dijelasankan sebelumnya fungsi bale Daja sebagai tempat tidur bagi

perempuan yang masih perawan atau belum menikah. Fungsi ini berubah sekarang,

hanya saja Bale Daja pada saat sekarang ini tidak saja hanya sebagai tempat tidur bagi

kaum perempuan yang belum menikah, tetapi bisa juga sebagai tempat tidur bagi

anggota keluarga lainnya. Bale daja yang diperuntukan bagi orang yang dianggap tua

pada keluarga ini dan letaknya sebelah barat dari merajan. Bale Daja sekarang ini

sekarang ini dibangun tanpa menggunakan lagi ukuran tradisional yang pasti. Bentuk

bale pada umumnya mengambil konsep Tri Angga seperti bangunan tradisional Bali

lainnya yang terbagi atas kepala, badan, dan kaki. Konsep bentuk ini masih dipegang

teguh oleh masyarakat Penatih sampai saat sekarang ini terutama pada rumah ini, hanya

saja perubahan dapat dilihat dari bentuk –bentuk dengan memakai ukuran yang modern

bukan lagi menggunakan ukuran tradisional Bali. Perubahan dapat dilihat pada adanya

teras tambahan pada bangunan Bale Daja ( bale Meten ) yang difungsikan sebagai

tempat duduk – duduk dengan tambahan saka, sebagai penopangnya. Initinya bentuk

dari sebuah bale daja yang sangat sederhana berkembang menjadi bentuk yang lebih

kompleks seiring dengan pertambahan ruang dalam bangunan.

Apresiasi Budaya 23

Gbr. 8 Perubahan material bangunan pada Bale Meten Sakutus dari rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survei

Page 24: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Gbr. 9 Bale Daja pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survei

Perubahan tata letak Bale Daja di jaman modern saat ini. Perubahan terjadi adalah

Bale Daja agak ke barat atau agak ke timur, tidak selalu tepat dengan arah utara (kaja)

namun tetap menghadap ke selatan. Karena keterbatasan lahan terutama biasa terjadi

pada daerah urban seperti desa Penatih, Bale daja di bangun pada lahan kosong yang

tersedia, pada bangunan ini terletak di sebelah agak ke sebelah timur. Banyak

masyarakat modern sekarang ini memiliki pemikiran bahwa yang penting dalam

rumahnya terdapat Bale Daja entah itu peletakannya di mana saja selama masih ada

pekarangan di rumahnya, bahkan pada rumah tinggal masa kini jarang terdapat bale

daja.

Pola bangunan tradisional bale daja umumnya disesuaikan dengan tingkat

golongan utama, madya, sederhana. Bentuk terkecil dari bale daja adalah saka 8 atau

bertiang delapan. Pada pekarangan ini bale daja menggunakan tiang 8, pada bagian

dalamnya terdapat 4 saka dan bagian luarnya terdapat 4 saka. Pada saat ini penggunaan

bahan – bahan tradisional di atas sudah sedikit mengalami perubahan, hal ini

didasarkan atas tingkat perekonomian masyarakat Bali yang semakin meningkat , serta

semakin sulitnya memperoleh beberapa bahan alami tersebut. Faktor estetika juga

menjadi salah satu pertimbangan berubahnya penggunaan bahan tersebut.

- Untuk bagian bawah atau pondasi tetap menggunakan batu kali sebagai strukturnya.

Perubahan yang terjadi adalah pada bagian bantaran yang saat ini kebanyakan telah di

Apresiasi Budaya 24

Page 25: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

tempeli keramik. Hal ini merupakan ekspresi dari tingkat perekonomian si pemilik yang

semakin meningkat.

- Untuk bagian tengah, terutama bagian bale-bale dan sesaka masih menggunakan bahan

kayu. Perubahan yang terjadi pada bangunan dinding dimana penggunaan bahan dinding,

dimana penggunaan tanah polpolan sudah di tinggalkan. Kini dinding menggunakan

bahan batu bata dilapisi plesteran kemudian di finishing dengan cat.

- Pada bagian atas tetap menggunakan bahan kayu pada struktur atapnya, hal ini berarti

struktur atap tradisional bali masih tetap digunakan yang berubah adalah penutup atap

yang saat ini adalah bahan genteng dan asbes karena bahan alang-alang semakin sulit

diperoleh dan harganya cukup mahal.

Ornamen merupakan salah satu estetika yang mendukung keberadaan Bale Daja.

Pada Bale Daja mulanya ornamen bersifat pelengkap dan bentuknya sangat sederhana,

namun pada perkembangannya sekarang ini Bale Daja dibuat semegah mungkin dengan

menambah ornament-ornamen yang dapat menambah nilai estetika Bale Daja, baik pada

bagian atapnya, dindingnya maupun pada bagian lantainya yang disesuaikan pada tingkat

ekonomi pemiliknya. Pada ukir-ukirannya dapat dilihat pada saka-sakanya dengan ukiran

berbagai bentuk yang di finishing dengan prada (pada bale daja meten).

3.3.5 Bale Dauh

Fungsi

Sebagai tempat tidur bagi orang tua dan tempat menerima tamu.

Letak

- Zona Madyaning Nista.

- Terletak di sebelah barat (kauh), menghadap ke timur (kangin).

Apresiasi Budaya 25

Page 26: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Bahan

Dinding :

Anyaman bambu besar (tidak seperti gedeg) sehingga terdapat pori-pori yang

memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (meskipun relatif kecil). Pada bangunan

yang telah mengalami modernisasi, dinding bangunan terbuat dari pasangan batu

bata.

Dinding batur :

Bahan batu kali.

Tiang bangunan :

Bahan kayu (bersifat struktural). Elemen-elemen struktur tiang: sineb –lambang,

canggahwang, dan bale-bale memakai bahan kayu dan seseh (batang kelapa),

kecuali untuk alas bale-bale (galar) memakai bahan bambu.

Sendi-sendi :

Bahan batu padas dan batu kali (merupakan media penerusan beban bangunan,

yang hubungannya dengan tiang/saka).

Lantai bangunan :

Lantai tanah. Pada Bale Dauh yang telah mengalami modernisasi, pemakaian

bahan beralih ke semen dan tegel/keramik

Transformasi :

Sesuai dengan tuntutan zaman bale dauh pada masa kini sudah berubah fungsi

menjadi ruang tidur. Karena bertambahnya jumlah penghuni dari rumah tinggal di

Apresiasi Budaya 26

Gbr. 10 Bale Dauh yang terletak pada arah kauh (barat) yang menghadapa ke arah kangin (timur)

Sumber : hasil survei

Page 27: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

penatih tersebut maka rumah tersebut dijadikan sebagai rumah modern. Namun

sesuai dengan filosofinya bale dauh tetap sebagai tempat beristirahat, walaupun

hirarkinya telah berubah dari tempat istirahat orang tua berubah menjadi tempat

istirahat keluarga. Material yang digunakan juga telah mengalami perubahan yang

cukup signifikan. Penggunaan material yang dahulunya menggunakan mterial

alami seperti bahan batu padas dan batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar,

bahan kayu dan seseh (batang kelapa). Material yang digunakan pada masa kini

adalah penggunaan material beton bertulang pada unsur strukturalnya, sedangkan

atap menggunakan atap genteng. Unsur modern terdapat pada unsur pelapis lanati

berupa keramik.

3.3.6 Bale Gede

Letak

Terdapat dalam pola natah menjadi satu unit hunian. Terletak di timur (kangin) dari

halaman/natah, dengan sisi yang lebih lebar menghadap Utara (memanjang ke arah

timur-barat). Berhadapan dengan Bale Daja.

Jumlah tiang

12 tiang penyangga (2 bale).

Fungsi

Tempat untuk mempersiapkan kegiatan upacara keagamaan (terutama upacara manusia

yadnya dan pitra yadnya).

Karakteristik

Dinding bangunan tertutup pada 2 sisi (sisi timur dan selatan) sehingga dapat

memberikan kebebasan gerak dalam kegiatan upacara dengan struktur sebagai dinding

pemisah dan memikul bebannya sendiri serta tidak mempengaruhi struktur utama.

Apresiasi Budaya 27

Gbr. 11 Bale Gede pada rumah bapak I.G.N.Jayanegara

Sumber : hasil survei

Page 28: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Bahan

Atap :

- Penutup atap dari alang-alang, bambu, sirap bambu atau anyaman daun

kelapa.

- Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari

bahan bambu.

- Langit-langit yang mengikat iga-iga pada puncak atap memakai bahan

kayu jenis ketewel/kayu nangka.

- Lambang sineb sebagai pengikat dan pemersatu saka, menggunakan

batang kelapa/seseh.

- Pemeteng dan saka pada Bale Gede menggunakan bahan kayu, untuk jenis

kayu yang digunakan disesuaikan dengan fungsi bangunannya.

Dinding :

Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan

bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.

Tiang/Sesaka :

Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya.

Pondasi :

Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu,

paras dan bata.

3.3.7 JINENG

Jineng adalah bangunan traditional Bali yang berfungsi sebagai tempat untuk

menyimpan padi. Bangunan penyimpanan padi dengan denah persegi empat, memiliki

4 kolom, dengan atap pelana lengkung. Letak Jineng umumnya berdekatan dengan

paon, sehingga ruang bale Jineng dapat difungsikan sebagai perluasan dari kegiatan

paon. Jineng jika dilihat dari strukturnya merupakan bangunan bertingkat, dengan

ruang penyimpanan padi di atas. Langki kepala tiang dengan lantai selasar berbatas sisi

Apresiasi Budaya 28

Page 29: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

dalam atap lengkung, dan balai di bagian bawah untuk tempat duduk, istirahat, atau

tempat bekerja. Sesuai dengan fungsi aslinya dan adanya ruang bertingkat, maka

konstruksi Jineng dibuat dengan kolom yang cukup besar, bukan hanya satu rai seperti

umumnya bangunan tradisional Bali lainnya.

Pergeseran Fungsi Jineng

Pergeseran sektoral dari pertanian ke sector lainnya terutama ke sector jasa telah

mempengaruhi perubahan system mata pencaharian sebagian besar masyarakat Bali.

Hal ini mempercepat tergesernya keberadaan bangunan tradisional Bali khusunya

Jineng yang tidak lagi memenuhi fungsi sesuai dengan tuntutan nilai masa kini, di mana

kebutuhan terhadap bangunan hunian meningkat sehingga keberadaannya banyak

terbengkalai dengan kondisi yang menyedihkan. Pada pekarangan ini Jineng hanya

berfungsi sebagai hiasan dan sebagai penunjuk status social.

Gbr. 12 Jineng sebagai status sosial pada rumah bapak I.G.N. Jayangera

Sumber : hasil survei

3.3.8 PAON

Dalam rumah I. G. N. Jayanegara, bentuk paon pada masa lalu berbentuk

bangunan sakanem. Bentuk sakanem segi empat panjang, dengan panjang sekitar tiga

kali lebar. Luas bangunan sekitar 6 meter x 2 meter, mendekati dua kali luas sakapat.

Apresiasi Budaya 29

Page 30: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

Konstruksi atap pada masa lalu adalah kampiah. Material bangunan yang dipergunakan

pada paon pada rumah ini adalah tembok dari tembok popolan/ tanah dengan atap dari

genteng serta lantai dari tanah.

Perubahan kondisi paon terjadi pada rumah I. G. N. Jayanegara, perubahan yang

terjadi berupa perubahan tata letak. Pada masa lalu Paon terletak pada posisi kelod

(selatan). Posisi tersebut bergeser ke arah timur yakni ke arah kandang. Sehingga kini

posisi paon tersebut terletak pada posisi kangin kelod (timur selatan) dari rumah

tersebut.

Gbr. 13 Paon pada rumah bapak I.G.N Jayanegara yang bergandengan dengan Bale Delod

Sumber : hasil survei

Apresiasi Budaya 30

Page 31: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adanya era modernisasi membuat rumah tradisional Bali juga ikut berkembang, mulai

dari bahan, warna sampai dengan bentuk. Tidak sedikit faktor ini menyebabkan pergeseran nilai-

nilai tradisional yang telah di anut. Karena itu, dalam perkembangan arsitektur tradisional Bali

ke depannya, perumahan tata ruang perumahan Bali merupakan dasar yang harus dipegang kuat

dalam membangun.

4.2 Saran-saran

Penyusun sadar bahwa paper ini jauh dari sempurna akibat dari keterbatasan penyusun.

Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak yang

bersifat membangun demi kesempurnaan paper ini. Semoga paper memberikan manfaat bagi

pembaca.

Apresiasi Budaya 31

Page 32: Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 2

DAFTAR PUSTAKA

Sumintardja. Djauhari, Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan

I Nyoman Gelebet. 1985. Pengantar Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.

Dwijendra. N.K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar : Udayana

University Press

http://id.wikipedia.org/wiki/budaya

Apresiasi Budaya 32