Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 1

59
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Manusia memang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang dihasilkannya. Mereka membentuk berbagai ide dan gagasan dalam upayanya untuk menjaga keberadaan mereka dan sebagai usaha untuk menghargai keberadaan alam di sekitarnya. Mereka juga menciptakan berbagai sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang harus ditaati. Sistem ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Selain itu, mereka juga menciptakan berbagai benda yang merupakan kreasi mereka dalam usaha untuk mncurahkan imajinasinya terhadap ide, gagasan serta sistem yang telah mereka tentukan dan terapkan. Dalam sistem sosial, untuk menunjang kegiatan kemasyarakatan manusia berinteraksi ke sesama, maka dibangunlah perumahan. Pembangunan perumahan atau rumah ini merupakan sebuah hasil kreasi manusia terhadap sistem sosial mereka. Rumah merupakan suatu hasil daya pikir manusia yang menyesuaikan terhadap keadaan lingkungan di sekitarnya. Pada jaman purba, begitu manusia menemukan api, begitu juga manusia menumukan dapur maka pada saat itulah dikenal rumah sebagai tempat berlindung dan mengahangatkan diri. Begitu juga fungsi APRESIASI BUDAYA 1

description

Pengertian BudayaWujud KebudayaanPengertian Perumahan Tradisional BaliRumah Tempat TinggalFilosofi Tata Ruang Perumahan Bali Tri Hita Karana Panca Maha Bhuta Tri Angga Ulu Teben dan Sangamandala Bapa Akasa Ibu Pertiwi

Transcript of Appresiasi Budaya Rumah Tradisional Bali 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia memang tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang dihasilkannya. Mereka membentuk berbagai ide dan gagasan dalam upayanya untuk menjaga keberadaan mereka dan sebagai usaha untuk menghargai keberadaan alam di sekitarnya. Mereka juga menciptakan berbagai sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari yang harus ditaati. Sistem ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Selain itu, mereka juga menciptakan berbagai benda yang merupakan kreasi mereka dalam usaha untuk mncurahkan imajinasinya terhadap ide, gagasan serta sistem yang telah mereka tentukan dan terapkan.

Dalam sistem sosial, untuk menunjang kegiatan kemasyarakatan manusia berinteraksi ke sesama, maka dibangunlah perumahan. Pembangunan perumahan atau rumah ini merupakan sebuah hasil kreasi manusia terhadap sistem sosial mereka. Rumah merupakan suatu hasil daya pikir manusia yang menyesuaikan terhadap keadaan lingkungan di sekitarnya. Pada jaman purba, begitu manusia menemukan api, begitu juga manusia menumukan dapur maka pada saat itulah dikenal rumah sebagai tempat berlindung dan mengahangatkan diri. Begitu juga fungsi rumah pada zaman sekarang yang masih berfungsi sebagai tempat berlindung terhadap gangguan cuaca dan juga terdapat fungsi-fungsi lainnya. Arsitektur Tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya oleh masyarakat Bali yang mengeras kedalam bentuk-bentuk bangunan dengan ragam hias yang dikenakannya. Bentuk-bentuk ragam hias yang ditampilkan mengambil berbagai bentuk alam. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai bentuk ragam hias. Selain itu, berbagai ragam hias yang digunakan memiliki makna tersendiri. Penempatan ragam hias juga tak boleh dilakukan dengan sembarangan. Hal ini harus disesuaikan dengan kaidah yang telah ditentukan. 1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan berdasarkan latar belakang di atas, antara lain :

1. Bagaimana bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang mulai terjadi perubahan budaya?

2. Apa makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku civitas rumah?

3. Pada bagian mana sajakah terjadi perubahan budaya pada rumah tradisional Bali yang terdapat di Penatih ini ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk dan fungsi dari rumah tradisional Bali yang sudah terjadi perubahan budaya.2. Untuk mengetahui makna yang terkandung di dalam perubahan budaya perilaku civitas rumah.3. Untuk mengetahui letak perubahan budaya pada rumah tradisional Bali yang terdapat di Penatih.1.4 Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam pembuatan laporan ini antara lain, yaitu :

1. Metode Observasi

Yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang akan dikaji.

2. Metode Literatur

Yaitu menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan penulisan ini.

3. Metode Wawancara

Yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dengan subjek penulisan ini.1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN: menguraikan tentang latar belakang pemilihan masalah yang menjadi dasar dalam penulisan laporan ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA: menguraikan tentang berbagai teori yang berhubungan dengan masalah yang diangkat dalam penulisan laporan ini.

BAB III TINJAUAN OBJEK: menguraikan tentang objek yang dibahas pada laporan ini serta menganalisa berbagai rumusan permasalahan yang telah diajukan.

BAB IV SIMPULAN: menguraikan simpulan dari keseluruhan penulisan ini serta kemungkinan saran yang diajukan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Budaya

2.1.1 Pengertian Budaya

Budaya atau kebudayaan, berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Ada beberapa versi definisi dari kebudayaan, antara lain :

Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan adalah seluruh gagasan / pikiran, tindakan / karya dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak berakar pada nalurinya, dan karenanya hanya bisa dicetuskan setelah melalui proses belajar.

Menurut Van Peursen (1977), kebudayaan adalah endapan dari kegiatan dan karya manusia.

Menurut Soewondo BS (1982), kebudayaan pada hakekatnya merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan. Jika kebudayaan sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan maka dengan sendirinya kebudayaan akan hilang. Jadi kebudayaan mendasari dan mendorong terwujudnya suatu kelakuan sebagai pemenuhan kebutuhan yang timbul.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 170), Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Menurut Arnold Toynbee, kebudayaan adalah segala ciptaan manusia pada hakekatnya hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian alam, sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya dan kebudayaan universal yaitu kebudayaan yang unsur-unsurnya bisa didapatkan di dalam semua kebudayaan dari semua bangsa di mana pun di dunia.

Menurut R. Soekmono, kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.2.1.2 Wujud Kebudayaan

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

Gagasan (Wujud ideal)Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

Aktivitas (Tindakan)Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

Artefak (Karya)Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan.

Menurut Koentjoroningrat (1974), kebudayaan dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu:

Wujud ideal meliputi gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dsb,

Wujud sistem sosial yang merupakan pola kelakuan manusia dalam masyarakatnya,

Wujud fisik yang merupakan benda-benda hasil karya manusia, termasuk produk arsitektur.

Menurut LA. White (1949), kebudayaan merupakan sistem terpadu dan terorganisir yang dapat dirinci dalam tiga bagian yaitu :

Sistem teknologi (peralatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pokok, perlindungan fisik dalam arti luas, peralatan berperang/pertahanan).

Sistem sosial sebagai perangkat untuk mewujudkan kehidupan komunal manusia sebagai mahluk sosial (pola-pola tingkah laku kolektif maupun individual yang menghasilkan sistem organisasi masyarakat, sistem kemiliteran, sistem pembagian kerja, dll).

Sistem ide sebagai perangkat untuk menafsirkan lingkungannya (gagasan, kepercayaan, dan pengetahuan yang tercermin dalam percakapan, kepercayaan, kesusasteraan, filsafat, dll).2.1.3 Unsur Kebudayaan Universal

Beberapa ahli telah merumuskan unsur-unsur kebudayaan pokok. Para ahli tersebut, di antaranyaMelville J. Herskovitsyang menyampaikan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik. Sementara ituBronislaw Malinowski menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antaranggota masyarakat sebagai upaya menguasai alam sekitarnya.

Organisasi ekonomi.

Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan, termasuk keluarga sebagai lembaga pendidikan yang utama.

Organisasi kekuatan.

Adapun C. Kluckhohn dalam karyanya Universals Categories of Culture memaparkan ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap cultural universals, yaitu sebagai berikut.

1. Sistem kepercayaan (sistem religi). Agama atau religi menurut Haviland dapat diapandang sebagai kepercayaan atau pola perilaku yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahuinya untuk mengetahui keterbatasan itu orang berpaling pada kekuatan supernatural. Sistem keyakinan dalam keagamaan menurut Koentjaraningrat dapat berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat sifat Tuhan, tentang wujud adri alam gaib/ kosmologi, tentang terwujudnya alam dan dunia/ kosmogoni, tentang jaman akhirat/ syatologi. Sistem keyakinan juga menyangkut tentang sistem nilai dan sistem keagamaan, ajaran kesusilaan, ajaran doktrin lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Kemudian sarana yang dikatakan sebagai alat pemujaan menurut Koentjaraningrat dapat berupa gedung gedung pemujaan seperti Pura, Masjid, Gereja dan lain lain. 2. Sistem kemasyarakatan

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.Menurut Koentjaraningrat suatu kelompok adalah suatu kesatuan individu yang terikat oleh paling sedikit enam unsur sebagai berikut:1. suatu sistem norma norma yang mengatur kelakuan warga kelompok

2. suatu rasa kepribadian kelompok yang disadari semua anggotanya

3. kegiatan kegiatan berkumpul dari anggota kelompok secara berulang ulang

4. suatu sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara anggota kelompok

5. suatu pimpinan atau pengurus yang mengorganisasi kegiatan kelompok

6. suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta produktif, harta konsumtif dan harta pusaka tertentu.3. Sistem Ilmu pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988) Konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi (Shapere, 1974), Pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz, 1962) Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi.4. Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi.

Dalam masyarakat selalu ada mata pencaharian atau sistem ekonomi, seperti pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya.

5. Bahasa, baik lisan maupun tulisan.

Masyarakat mana yang tidak memiliki bahasa? Tentunya tidak ada masyarakat yang tidak memiliki bahasa, baik bahasa lisan maupun tulisan.6.Kesenian, baik seni rupa, seni suara, maupun seni lainnya. Setiap masyarakat mempunyai berbagai macam seni yang tentunya berbeda dengan masyarakat lainnya.7. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.

Setiap masyarakat juga memiliki pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, alat-alat produksi, senjata, dan sebagainya.

2.2 Perumahan Tradisional Bali

2.2.1 Pengertian Perumahan Tradisional Bali

Pengertian Desa Tradisional Bali atau secara tradisional disebut desa (adat) merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat terdiri atas 3 unsur, yaitu unsur khayangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah) (Sulistyawati, 1958 :3). Menurut Gelebet (1986 : 48), perumahan atau permukiman tradisional merupakan tempat tinggal yang berpola tradisional dengan perangkat lingkungan dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional.Desa tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti hubungan yang harmonis antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cacupu, Tri hita Karana, Tri Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang meberi arahan tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan (desa). Hasil dari penurunan konsep tata ruang ini sangat beragam, namun Ardi P. Parimin (1986) menyimpulkan adanya 4 atribut dalam perumahan tradisional Bali, yaitu :

Atribut Sosiologi menyangkut sisitem kekerabatan masyarakat Bali yang dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem banjar, sistem subak, sekeha, dadia dan perbekalan.

Aspek Simbolik berkaitan dengan orientasi perumahan, orientasi sumbu utama desa, orientasi rumah dan halamannya.

Atribut Morfologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan ini (core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing memmpunyai fungsi dan arti pada perumahan tradisional Bali. Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumagan tardisional Bali pada dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya 3 pura desa.2.2.2 Rumah Tempat Tinggal

Dari kehidupan goa sampai kehidupan kota manusia bertempat tinggal di rumah rumah sederhana elemen alam, berkembang sampai ke rumah rumah flat super modern. Arsitektur tradisional rumah tempat tinggal di Bali pada masa masa bali mula, abli aga, dan bali arya berkembang pesat setelah para arya dari majapahit berkuasa di Bali disertai tokoh tokoh budayawan juga dalam bidang arsitektur. Tingkatan kasta, status social dan pernannya di masyarakat merupakan fakor factor tingkat perwujudan rumah tempat tinggal utama, madya, dan sederhana. Pengelompokan rumah rumah tempat tinggal ke dalam tingkatan utama ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang , tipe bangunan, fungsi, bentuk, bahan penyelesainnya.

Ditinjau dari nama, rumah tempat tinggal sesuai dengan tingkat kasta yang menempatinya. Puri rumah tinggal utama, gria, jero dan umah adalah madya dapat pula utama dan sedikit kemungknan sederhana. Kubu atau pakubon tergolong sederhana.

Untuk rumah tempat tinggal nama namanya ditentukan oleh fungsi kasta penghuninya. Nama nama bangunan ditentukan pula oleh fungsi juga tipe bangunannya

Griya

Rumah tempat tinggal untuk kasta brahmana disebut griya yang umumnya menempati bagian utama dari suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan brahmana selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang griya sebagai rumh tempat tinggal brahmana disesuaikan dengan keperluan keperluan aktivitasnya.

Puri

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang memegang pemerintahan disebut puri yang umumnya menempati bagian kaja kangin di sudut perempatan agung di pusat desa. Umumnya puri dibangun dengan tata zoning yang berpola sangamandala semacam papan catur berpetak sembilan. Bangunan bangunan puri sebagian besar mengambil tipe utama. Antara zona satu dengan lainnya dari petak ke petak dihubungkan dengan pintu kori. Fungsi masing masing bagian antara lain untuk:

ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri untuk masuk ke puri.

Sumanggen, untuk area upacara pitra yadnya

Rangki, untuk area tamu tamu paseban sidang, pemeriksaan dan pengamanan.

Pewaregan, untuk area dapur dan perbekalan.

Lumbung, untuk area penyipanan dan pengolahan bahan perbekalan.

Saren kaja, area tempat tinggal istri istri raja.

Saren kangin, untuk tempat tinggal raja.

Paseban, untuk area pertemuan atau sidang kerajaan.

Pamerajan agung untuk are tempat suci parhyangan. Jero

Rumah tempat tinggal untuk kasta ksatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan bangunannya umumnya lebih sederhana dari puri. Sesuai fungsinya pola ruang jero dirancang dengan tri angga. Pamerjanan sebagai parhyangan, jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan jabaan sebagai tempat pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana puri, jero juga menempati zoning utama kaja kangin atau kaja kangin yang umumnya di pusat desa. Dilihat dari status sosial penghuni sebagai akibat dari kasta dan peranannya di masyarakat, griya, puri dan jero umumnya merupakan rumah tempat tinggal uatama. Identitas kasta dan peranannya cenderung ditampakkan lewat bangunan tempat tinggalnya. Umah

Rumah tempat tinggal dari kasta weisya disebut umah lokasiu umah dalam perumahan di suatu desa dapat menempati di sisi sisi utara selatan timur atau barat dari jalan desa, pusat pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale banjar di pusat pusat sub lingkungan. Unit umah dalam perumahan berorientasi ke natah sebagai halaman pusat aktivitas rumah tangga. Umah di dalama perumahan tradisional merupakan susunan massa massa bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan dengan kori pintu masuk ke pekarangan. Masing masing ruang dapur, tempat kerja, lumbung dan tempat tidur di bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa massa bangunan umah tempat tiunggal menempati bagian utara , selatan, timur, barat membentuk halaman natah ditengah. Sesuai dengan status sosial dari penghuninya yang sebagian besar adalah petani, maka rumah tempat tinggal nya umumnya berpada di tingkatan madya. Di desa desa yang kondisi pertaniannya kurang menguntungkan umah nya pun dalam keadaan sederhana.

Kubu

Rumah tempat tinggal diluar pusat pemukiman di ladang, di perkebunan atau tempat tempat kehidupan lainnya disebut kubu ataupakubon. Penghuni rumah tempat tinggal pakubon adalah petani atau nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah dengan kehidupan yang sederhana. Pola ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa pula dengan pola umah masing masing ruang, dapur tempat kerja lumbung dan tempat tidur dibawah satu atap untuk masing masing massa bangunan. Komposisi massa massa membentuk halaman natah di tengah sebagai pusat orientasi dan aktivitasnya. Dalam fungsinya untuk kegiatan spiritual pengurusan tatu bentuk bentuk kehidupan tertentu pakubon disebut padukuhan.2.3 Filosofi Tata Ruang Perumahan Bali

2.3.1 Tri Hita KaranaUntuk menyelaraskan antara bhuana agung/alam semesta dengan bhuana alit/manusia, maka setiap lingkungan kehidupan dibuat senilai dengan unsur-unsur yang utuh, yakni Tri Hita Karana. Tri Hita Karana memiliki makna, Tri berarti tiga, Hita berarti kemakmuran, baik, gembira, senang, dan lestari, sedangkan Karana berarti sebab, sumber (penyebab). Jadi Tri Hita Karana memiliki arti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :

Atma (roh/jiwa)

Prana (tenaga)

Angga (jasad/fisik)

Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Tang Maha Esa), tenaga adalah berbagai energi alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam kaitannya dengan banjar, Atma (jiwa) dari banjar adalah parahyangan (pura banjar), Prana (tenaga) adalah pawongan (warga banjar) dan Angga (jasad) adalah palemahan (wilayah banjar). Sedangkan dalam diri manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah sthula sarira/tubuh manusia.Penyelarasan antara bhuana agung dengan bhuana alit yang dikenal dengan Tri Hita Karana pada banjar Wangaya Kaja dapat dilihat dari penyelarasan hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan) dengan terdapatnya sebuah Mrajan di banjar yang terletak pada arah orientasi Kaja-Kangin, hubungan manusia dan manusia (pawongan) teraplikasikan dengan warga banjar itu tersendiri, sedangkan untuk palemahannya yaitu bangunan banjar itu sendiri.

RumahParhyangan (Sanggah/Pamerajan)Pawongan (Penghuni rumah)Palemahan (Pekarangan rumah)

2.3.2 Panca Maha Bhuta

Agama Hindu memiliki suatu kepercayaan terhadap hubungan manusia dengan alam, bhuana alit dan bhuana agung yang terbentuk oleh unsure-unsur yang sama yang dikenal dengan panca mahabutha. Kedua alam ini (macro dan microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang sama. Segala yang kental, padat dank keras pada alam maupun tubuh manusia terbentuk oleh Pertiwi (zat padat), segala yang cair terbentuk oleh Apah (zat cair), segala yang bercahaya panas terbentuk oleh Teja (cahaya), angin, hawa dan gas pada macrocosmos serta nafas pada mahluk terbentuk oleh unsur Bayu (gas), adapun kekosongan baik pada micro dan macrocosmos disebabkan oleh unsur Akasa (ether).

Gbr. 1 Unsur Panca Maha Bhuta pada tubuh manusia

Sumber : www.kaladarshan.arts.ohio-state.eduSelanjutnya hubungan harmonis antara bhuana alit dan bhuana agung diimplikasikan pada sisitem pendimensian bangunan, baik parahyangan, pawongan maupun palemahan, bahwa yang menjadi patokan dalam sisitem pendimensian adalah ergonomic dari pemilik rumah untuk tempat tinggal dan ergonomic pemangku untuk parhyangan, pelinggih-pelinggih (tempat bersthananya dewa-dewa).

2.3.3Tri Angga

Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor.

Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung) sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah dan manusia.

Pada banjar Wangaya Kaja konsep Tri Angga ini dapat dilihat dari bentuk bangunannya. Tri Angga pada bangunan terdiri dari atap pada Utama Angga, kolom/dinding pada Madya Angga dan lantai/bataran pada Nista angga. Ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan yang membentuk aplikasi dari susunan makro kosmos ke mikro kosmos.

2.3.4 Ulu Teben dan SangamandalaSelain memberikan nilai secara vertikal, konsep Tri Angga juga memiliki tata nilai Ulu-Teben, yang merupakan tata nilai dalam mencapai keselarasan antara bhuana agung/alam semesta dan bhuana alit/manusia. Konsep Ulu-Teben ini kemudian mempunyai beberapa orientasi-orientasi, antara lain :

Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-Kauh.

Kangin (matahari terbit)-luan, nilai utama Kauh (matahari terbenam)-teba, nilai nista Orientasi dengan konsep sumbu bumi/natural Kaja-Kelod Kaja (ke arah gunung)-luan, nilai utama

Kelod (ke arah laut)-teba, nilai nistaPenggabungan konsep sumbu bumi (Kaja-Kelod) dengan sumbu nilai mengghasilkan konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang lahir dari sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar di delapan arah mata angin di tambah satu di tengah dalam menjaga keseimbangan alam semesta. Konsep Sanga Mandala ini menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur Tradisional Bali. Kegiatan utama atau yang memerlukan ketenangan diletakkan di daerah Utamaning Utama, dan kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nistaning Nista, sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah atau yang kita kenal dengan pola Natah.

Gbr.2 Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga MandalaSumber: Eko Budihardjo (1986)2.3.5 Bapa Akasa Ibu Pertiwi

Dalam konsep Bapa Akasa, langit dianggap bermuatan positif sedangkan ibu pertiwi (tanah) dianggap bermuatan negatif yang memiliki daya tarik (grafitasi) sehingga Tuhan sebagai Bapa Akasa turun menuju ibu pertiwi. Dengan dasar konsep ini manusia bisa berdiri tegak dimuka bumi ini, jika ibu pertiwi tidak memiliki daya tarik, manusia akan ditarik oleh kekuatan planet lain pada antariksa ini. Sehingga dalam arsitektur tradisional Bali selalu terdapat bataran-bataran yang tinggi merupakan simbul dari ibu pertiwi.

Selain terdapatnya bataran-bataran tinggi sebagai simbul dari ibu pertiwi konsep Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi juga terdapat pada sebuah ruang kosong sebagai pertemuan antara unsur langit dan bumi yang sering diebut dengan natah. Natah tersendiri memiliki beberapa pengertian yaitu sebagai ruang, tempat dan kekosongan, dari pengertian tersebutlah natah difungsikan sebagai tempat yang sakral dimana upacara keagamaan dilaksanakan di dalam natah.

BAB III

TINJAUAN OBJEK3.1 Gambaran Umum

Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara merupakan rumah tradisional Bali yang terletak di Banjar Saba Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kotamadya Denpasar. Rumah ini merupakan rumah peninggalan orang tua dari bapak I.G.N. Jayanegara yang dari dahulu hingga sekarang telah banyak terjadi perubahan dari berbagai aspek.

3.2 Pola Tata Ruang Pada RumahRumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini memiliki pola tata ruang yang berpegangan teguh terhadap konsep Ulu-Teben dan Sangamandala. Pada rumah ini telah mengalami gejala pergeseran bentuk dan fungsi yang dilihat dari beberapa bentuk bangunan yang bertambah pada pola penataan tata ruang rumah tersebut. Hal ini dikarenakan dengan semakin berkembangnya zaman maka tuntutan ruang akan sebuah rumah disuatu pekarangan pun bertambah. 3.2.1 Pola Tata Ruang Rumah Lama

Keterangan:

A. : tempat suci/ merajan

B. : wantilan kecil

C. : Bale Tempat menyimpan arca

D. : Kandang

E. : Bale Daja

F. : merajan natah

G. : Bale Gede

H. : Paon

I. : Bale meten

J. : Natah

K. : SumurL. Angkul angkul

3.2.2 Pola Tata Ruang Rumah Sekarang

Keterangan:

A. Merajan

B & C: Bale Penyimpan benda Seni

D. Paon

E. Bale daja

F. Bale bengongG. Merajan natah

H. Bale Gede

I. Bale Delod

J. Bale Meten

K. Natah

L. Garasi

M. Bale DauhN. Angkul angkul

3.3 Unsur Kebudayaan Universal yang Mempengaruhi Bentuk Arsitektur Rumah Bapak

I.G.N. Jayanegara

3.3.1 Sistem Religi

Perwujudan dari unsur kebudayaan berupa sistem religi ini, dapat ditunjukkan oleh adanya Merajan atau Sanggah pemujaan keluarga pada rumah milik I G N Jayanegara. Keberadaan merajan tersebut tidak terlepas dari sistem religi yang dianut dan dipercayai oleh keluarga I G N Jayanegara yakni agama Hindu. Pada merajan dari I G N Jayanegara ini terdapat beberapa bangunan yakni pelinggih sebagai tempat pemujaan. Pada rumah milik bapak I.G.N Jayanegara ini bentuk Pamerajannya bersifat pamerajan alit yang terdiri dari :

Gbr.6 Pola peletakkan pelinggih (bangunan suci) pada rumah

Sumber : hasil survei

Letak dari bangunan suci ini berorientasi pada arah timur untuk bangunan Gedong, Kemulan dan Ratu Ngurah dengan arah hadap ke barat dan untuk pelinggih Taksu berorientasi pada arah utara dengan arah hadap ke selatan. Selain pada merajan wujud fisik kebudayaan berupa sistem religi tampak dari adanya benda fisik berupa pelangkiran yang terdapat dalam setiap bangunan di rumah tersebut. Posisi dari pelangkiran terletak pada posisi kaja kangin yang merupakan posisi yang dianalogikan sebagai pertemuan gunung dan arah terbitnya matahari.

3.3.2 Sistem Organisasi Sosial

Perwujudan sistem sosial pada rumah dari I G N Jayanegara ini tampak pada adanya struktur sosial keluarga tersebut. Yang terdiri dari ayah ibu, anak, menantu, kakek, nenek, dan lain lain. Dalam satu rumah pada rumah ini terdapat 2 keluarga kecil yang pada intinya terdapat satu keluarga yang merupakan keluarga pokok yang mendiami rumah ini. Secara fisik perwujudan sistem sosial ini tampak pada pola natah, dimana setiap bangunan pada rumah tersebut memiliki orientasi ke tengah. Pola tersebut mengindikasikan bahwa natah tidak hanya sebagai ruang terbuka, makna lainnya yang terkandung adalah sebagai sarana komunikasi secara visual. Dengan adanya komuikasi tersebut terjadi hubungan atau interaksi antar anggota keluarga yang dengan sendirinya menimbulkan sistem organisasi dari keluarga tersebut.

Gbr.7 Natah sebagai wujud sistem kemasyarakatan pada rumah bapak I.G.N. JayanegaraSumber : hasil survei

3.3.3 Sistem Ilmu PengetahuanIlmu pengetahuan dalam arsitektur tradisional Bali sangat terkait dengan nilai dasar dalam membangun. Nilai dasar tersebut diwujudkan dalam filosofi tata ruang perumahan Bali. Sistem ilmu pengetahuan yang berkaitan tentang perwujudan arsitektur tradisional Bali pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara ini dapat di lihat pada berbagai kasus bangunan yang berada pada rumah tersebut, yaitu : PamerajanPura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah Pamerajan atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah tangga ada Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin sesuai dengan filosofi Ulu Teben. Angkul-angkulTerjadi perubahan dimensi pada angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan perubahan dimensi pada angkul angkul menyesuaikan ukuran lebar angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan bermotor. Bale DajaBale daja yang diperuntukan bagi orang yang dianggap tua pada keluarga ini dan letaknya sebelah barat dari merajan. Bale Daja sekarang ini sekarang ini dibangun tanpa menggunakan lagi ukuran tradisional yang pasti. Bentuk bale pada umumnya mengambil konsep Tri Angga seperti bangunan tradisional Bali lainnya yang terbagi atas kepala, badan, dan kaki. Konsep bentuk ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Penatih sampai saat sekarang ini terutama pada rumah ini. Bale Dauh

Bale ini berfungsi sebagai ruang tidur bagi keluarga. Berada di Zona Madyaning Nista. Terletak di sebelah barat (kauh), menghadap ke timur (kangin) sesuai dengan filosofi Ulu Teben. perubahan dapat dilihat dari bentuk bentuk dengan memakai ukuran yang modern bukan lagi menggunakan ukuran tradisional Bali.

Bale Meten Gunung RataFungsi bale ini sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih yang tinggal di satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada pada zona Uttamaning Madya di sebelah utara dan menghadap ke selatan yang sesuai dengan filosofi Ulu Teben. PaonPerubahan yang terjadi berupa perubahan tata letak. Pada masa lalu Paon terletak pada posisi kelod (selatan). Posisi tersebut bergeser ke arah timur yakni ke arah kandang. Sehingga kini posisi paon tersebut terletak pada posisi kangin kelod (timur selatan) dari rumah tersebut.3.3.4 Sistem Bahasa

Bahasa merupakan sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Dalam hal unsur kebudayaan ini yang berkaitan dengan arsitektur yakni bahasa proksemik yaitu pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Hubungan Nilai Rumah Bapak IGN Jayanegara dengan Sistem BahasaKeterangan:

A. Merajan

B & C: Bale Penyimpan benda Seni

D. Paon

E. Bale daja

F. Bale bengongG. Merajan natah

H. Bale Gede

I. Bale Delod

J. Bale Meten

K. Natah

L. Garasi

M. Bale DauhN. Angkul angkul

Gbr.8 Denah rumah yang telah berubah

Sumber : hasil survei

Terlihat adanya pengelompokan massa Bale Meten, Bale Daja dan Bale Dauh sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai tempat istrahat dengan subjek yang berbeda. Namun dari adanya kedekatan ini, dengan maksud agar hubungan antar individu dekat. Dengan memberikan tingkat privasi dari jaraknya dari angkul-angkul yang tidak terlalu dekat. Angkul-ngkul

Adanya penambahan pagar pada angkul-angkul agar menjaga keamanan dari pemilik rumah. Memberi kesan privat, sehingga memberi jarak antara penghuni rumah dan orang di luar rumah. Bale Meten Sakutus

Bale ini berfungsi sebagai tempat tidur bagi orang tua atau Ida Pedanda Resi Penatih yang tinggal di satu pekarangan milik bapak I.G.N. Jayanegara berada nampak dari karakteristik bangunannya dengan dinding bangunan tertutup pada 4 sisi bangunan sehingga bangunan bersifat privat dan hanya digunakan untuk orang yang dianggap tetua di suatu keluarga. Bale Daja

Terlihatat adanya penambahan teras bangunan Bale Daja ( bale Meten ) yang difungsikan sebagai tempat duduk duduk (media interaksi) dengan tambahan saka, sebagai penopangnya. Initinya bentuk dari sebuah bale daja yang sangat sederhana berkembang menjadi bentuk yang lebih kompleks seiring dengan pertambahan jumlah penghuni sejalan dengan pertambahan interaksi penghuni ruang dalam bangunan. Bale Gede

Karena fungsinya sebagai tempat untuk mempersiapkan kegiatan upacara keagamaan (terutama upacara manusia yadnya dan pitra yadnya) maka karakteristik bangunan dengan dinding bangunan tertutup pada 2 sisi (sisi timur dan selatan) sehingga dapat memberikan kebebasan gerak dalam kegiatan upacara (terjadi interaksi satu dengan yang lainnya.

3.3.5 Sistem Kesenian

Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya mempersembahkan bakti yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan. Tarian dan karawitan diciptakan untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut turunnya para Dewata disaat upacara di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam lukisan dan pahatan selalu tampil dalam berbagai kelengkapan sajen sebagai media untuk menyambung komunikasi spiritual sedangkan nyanyian kidung dikumandangkan untuk mengungkapkan puja dan puji atas kesejahteraan yang dilimpahkan oleh para Dewata.

Dalam rumah I. G. N. Jayanegara menerapkan kesenian masyarakat bali yaitu asta kosala kosali dalam penataan bangunan. Rumah tinggal I. G. N. Jayanegara ini tidak dijadikan satu, disini dibagi menjadi beberapa ruangan yang dimana bangunannya dipisah. Selain dari penataan bangunan sebagai sistem kesenian masyarakat Bali yang terwujud pada rumah Bapak I.G.N Jayanegara ini, sistem kesenian juga terwujud pada pemberian Bale Gong sebagai wujud kegiatan seni yang berlangsung di rumah tersebut. Wujud Bale Gong ini merupakan suatu apresiasi kesenian masyarakat Bali terhadap kegiatan keagamaan yang berlangsung pada suatu area.

Gbr. 9 Bale GongSumber : hasil survei

3.3.6 Sistem Mata Pencaharian Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas bercocok tanam, pada dataran yang curah hujannya yang cukup baik, pertenakan terutama sapi dan binatang sebagai usaha penting dalam masyarakat pedesaan di Bali, baik perikanan darat maupun laut yang merupakan mata pecaharian sambilan, kerajinan meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran, percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini untuk memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk. Karena banyak wisatawan yang mengunjungi bali maka timbullah usaha perhotelan, travel, toko kerajinan tangan.

Rumah dari bapak I.G.N. Jayanegara ini juga dipengaruhi mata pencaharian dari bapak I.G.N. Jayanegara sendiri. Di mana kita dapat melihat perubahan wujud arsitektur bangunan pada saat masih mata pencahariannya petani dan sekarang telah menjadi wakil walikota. Hal ini dapat kita lihat dari angkul-angkul, jineng dan garasi pada rumah ini.

Transformasi yang terjadi pada angkul angkul adalah adanya perubahan dimensi dari angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan jaman perubahan dimensi pada angkul angkul tampak pada ukuran lebar angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan bermotor.

Gbr. 10 Angkul-angkul dengan perubahan dimensi

Sumber : hasil survey

Pada bangunan Jineng sendiri merupakan apresiasi pemilik rumah terhadap sistem mata pencaharian mayoritas masyarakat Bali sebagai petani, jadi peletakkan Jineng pada rumah ini tidak berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian. Selain itu pada pekarangan ini Jineng hanya berfungsi sebagai hiasan dan sebagai penunjuk status sosial pemilik rumah.

Gbr. 11 Jineng sebagai penunjuk status sosial

Sumber : hasil survei

Penambahan garasi pada rumah ini dipengaruhi juga dari sistem mata pencaharian yang meningkatkan pendapatan ekonomi pemilik rumah. Pada umumnya Arsitektur Tradisional Bali tidak mengenal bangunan garasi, akan tetapi karena tuntutan dari meningkatknya ekonomi suatu keluarga yang memungkinkan memilik sebuah atau lebih mobil maka garasi pun merupakan suatu kebutuhan.

Gbr. 12 Garasi sebagai pengaruh perubahan mata pencaharian

Sumber : hasil survei

3.3.7 Sistem TeknologiDalam teknologi tradisional dikenal 8 (delapan) macam sistem perlatan dan kebudayaan fisik yang dipakai oleh manusia yang hidup dalam masyarakat kecil berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian, yaitu :1. Alat-alat produksi

2. Alat membuat api

3. Senjata

4. Wadah

5. Makanan

6. Pakaian

7. Tempat berlindung atau pemukiman

8. Alat transportasi

Dari segi arsitektur sistem teknologi yang termasuk yaitu tempat berlindung atau permukiman. Pada rumah bapak I.G.N Jayanegara ini sistem teknologi pada perumahannya dilihat dari segi material dan sistem konstruksi masing-masing bangunan.

PamerajanPura untuk tempat pemujaan keluarga dari satu unit keluarga besar di sebuah Pamerajan atau Sanggah. Untuk tempat pemujaan di tingkat keluarga di setiap rumah tangga ada Pamerajan atau Sanggah yang terletak di daerah Kaja-Kangin. Pamerajan alit diperuntukan untuk keluarga kecil atau rumah tanggab dan Pamerajan Agung atau Sanggah Gede untuk keluarga besar. Pada pemerajan perubahan teknologi yang terjadi tidak signifikan, karena pemerajan merupakan tempat suci sehingga pemilik rumah tidak melakukan perubahan baik dari tata letak maupun material.

Angkul-angkulAngkul-angkul adalah sejenis pintu masuk rumah atau pekarangan untuk bangunan bali yang diberi atap yang meng- ungkuli/unkul-ungkul (berada diatas kepala) terhadap orang yang lewat. Menurut Arinton Puja, istilah pamesuan muncul sesuai dengan fungsinya untuk pintu masuk dan keluar. Namun, istilah ini hanya untuk pintu masuk dan keluar yang lebih sederhana dari kori. Untuk tempat-tempat yang disucikan istilah pamesuan disebut dengan kori agung, dan pamedal adalah istilah yang sama untuk perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. Massa angkul-angkul bisa dianggap sebagai lubang masuk berangkap. Untuk pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madya juga dibangun pintu sehari-hari, karena alam perkembangannya angkul-angkul dianggap sebagai pintu masuk formal, yang disebut betelan atau peletasan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, yaitu mobil sebagai sarana transportasi maka dimensi angkul angkul berubah. Transformasi yang terjadi pada angkul angkul adalah adanya perubahan dimensi dari angkul angkul. Pada masa lalu angkul angkul pada rumah ini berukuran dengan berpatokan pada dimensi manusia. Namun dengan perkembangan jaman perubahan dimensi pada angkul angkul tampak pada ukuran lebar angkul angkul yang dapat dilalui kendaraan bermotor. Selain itu transformasi yang terjadi adalah adanya perubahan unsur material pembentuk angkul angkul. Pada masa kini material yang digunakan adalah penggunaan beton pada strukturnya, sedangkan unsur ragam hiasnya/ ornamen tampak pada penggunaan bata gosok merah dan perpaduan paras.

Bale Meten Gunung Rata Pada Bale Meten Gunung Rata ini mengalami perubahan teknologi yaitu pada penggunaan material yang hamper seluruhnya berubah. Hal ini disebabkan karena adanya material material baru yang lebih kuat dari segi struktur dan lebih mudah didapat dibandingkan dengan material material lama.Bahan

Atap :

Penutup atap dari genteng

Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari bahan kayu. Dinding :

Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan

bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.

Tiang/Sesaka :

Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya dan terdiri dari 8 buah saka di

bagian luar bangunan.Pondasi :

Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu, paras dan bata. Bale Daja

Pada Bale Daja aspek teknologi yang mengalami peruabahan yaitu pada material, hal ini didasarkan atas tingkat perekonomian masyarakat Bali yang semakin meningkat serta semakin sulitnya memperoleh beberapa bahan alami tersebut. Faktor estetika juga menjadi salah satu pertimbangan berubahnya penggunaan bahan tersebut.

Untuk bagian bawah atau pondasi tetap menggunakan batu kali sebagai strukturnya. Perubahan yang terjadi adalah pada bagian bantaran yang saat ini kebanyakan telah di tempeli keramik. Hal ini merupakan ekspresi dari tingkat perekonomian si pemilik yang semakin meningkat.

Untuk bagian tengah, terutama bagian bale-bale dan sesaka masih menggunakan bahan kayu. Perubahan yang terjadi pada bangunan dinding dimana penggunaan bahan dinding, dimana penggunaan tanah polpolan sudah di tinggalkan. Kini dinding menggunakan bahan batu bata dilapisi plesteran kemudian di finishing dengan cat.

Pada bagian atas tetap menggunakan bahan kayu pada struktur atapnya, hal ini berarti struktur atap tradisional bali masih tetap digunakan yang berubah adalah penutup atap yang saat ini adalah bahan genteng dan asbes karena bahan alang-alang semakin sulit diperoleh dan harganya cukup mahal.

Gbr. 16 Bale Daja pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survei

Ornamen merupakan salah satu estetika yang mendukung keberadaan Bale Daja. Pada Bale Daja mulanya ornamen bersifat pelengkap dan bentuknya sangat sederhana, namun pada perkembangannya sekarang ini Bale Daja dibuat semegah mungkin dengan menambah ornament-ornamen yang dapat menambah nilai estetika Bale Daja, baik pada bagian atapnya, dindingnya maupun pada bagian lantainya yang disesuaikan pada tingkat ekonomi pemiliknya. Pada ukir-ukirannya dapat dilihat pada saka-sakanya dengan ukiran berbagai bentuk yang di finishing dengan prada (pada bale daja meten). Bale Dauh Pada Bale Dauh transformasi teknologi yang terjadi juga pada material. Material yang digunakan juga telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Penggunaan material yang dahulunya menggunakan material alami seperti bahan batu padas dan batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar, bahan kayu dan seseh (batang kelapa). Material yang digunakan pada masa kini adalah penggunaan material beton bertulang pada unsur strukturalnya, sedangkan atap menggunakan atap genteng. Unsur modern terdapat pada unsur pelapis lanati berupa keramik.

Gbr. 17 Bale Dauh yang terletak pada arah kauh (barat) yang menghadapa ke arah kangin (timur)Sumber : hasil survei

Bahan

Dinding :

Anyaman bambu besar (tidak seperti gedeg) sehingga terdapat pori-pori yang

memungkinkan terjadinya sirkulasi udara (meskipun relatif kecil). Pada bangunan yang telah mengalami modernisasi, dinding bangunan terbuat dari pasangan batu bata.

Dinding batur:

Bahan batu kali.

Tiang bangunan :

Bahan kayu (bersifat struktural). Elemen-elemen struktur tiang: sineb lambang, canggahwang, dan bale-bale memakai bahan kayu dan seseh (batang kelapa), kecuali untuk alas bale-bale (galar) memakai bahan bambu.

Sendi-sendi :

Bahan batu padas dan batu kali (merupakan media penerusan beban bangunan,

yang hubungannya dengan tiang/saka).

Lantai bangunan :

Lantai tanah. Pada Bale Dauh yang telah mengalami modernisasi, pemakaian

bahan beralih ke semen dan tegel/keramik

Bale Gede Perubahan aspek teknologi yang terjadi juga pada pengguaan material banguanan. Penggunaan material yang dahulunya menggunakan material alami seperti bahan batu padas dan batu kali, bahan kayu, anyaman bambu besar, bahan kayu dan seseh (batang kelapa). Material yang digunakan pada masa kini adalah penggunaan material beton bertulang pada unsur strukturalnya, sedangkan atap menggunakan atap genteng. Unsur modern terdapat pada unsur pelapis lanati berupa keramik. Bahan

Atap :

Penutup atap dari alang-alang, bambu, sirap bambu atau anyaman daun kelapa.

Pendukung penutup atap terdiri atas rangkaian iga-iga/usuk, terbuat dari bahan bambu.

Langit-langit yang mengikat iga-iga pada puncak atap memakai bahan kayu jenis ketewel/kayu nangka.

Lambang sineb sebagai pengikat dan pemersatu saka, menggunakan batang kelapa/seseh.

Pemeteng dan saka pada Bale Gede menggunakan bahan kayu, untuk jenis kayu yang digunakan disesuaikan dengan fungsi bangunannya.Dinding :

Jaman dulu menggunakan bahan tanah polpolan. Jaman sekarang menggunakan bata merah dan batu paras bahkan terkadang diplester dengan semen.

Tiang/Sesaka :

Bahan kayu jati karena kekuatan dan keawetannya.

Pondasi :

Menggunakan susunan batu alam sedangkan bebaturannya menggunakan batu, paras dan bata.

Gbr. 18 Bale Gede pada rumah bapak I.G.N.Jayanegara

Sumber : hasil survei

JINENG

Perubahan teknologi yang terjadi pada jineng adalah pada bagian material bangunannya. Hal ini dikarenakan jineng ini sudah berubah fungsinya, bukan lagi sebagai tempat penyimpan padi, tetapi sekarang berfungsi hanya sebagia penunjuk status social yaitu sebagai hiasan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan material atap yang dulunya menggunakan atap alang alang , tetapi sekarang sudah menggunakan material genteng dan finishing bangunannya lebih halus karena mementingkan estetika bangunan jineng tersebut.

Gbr. 19 Jineng yang sudah berubah pemakaian material atapnya pada rumah bapak I.G.N. Jayangera

Sumber : hasil survei

PAONPerubahan teknologi pada paon mengalami perubahan yang signifikan yaitu pada bagian material. Hal ini dikarenakan untuk kebersihan paon tersebut. Konstruksi atap pada masa lalu adalah kampiah. Material bangunan yang dipergunakan pada paon pada rumah ini adalah tembok dari tembok popolan/ tanah dengan atap dari genteng serta lantai dari tanah.

Gbr.20 Paon pada rumah bapak I.G.N Jayanegara

Sumber : hasil surveiBAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Adanya era modernisasi membuat rumah tradisional Bali juga ikut berkembang, mulai dari bahan, warna sampai dengan bentuk. Tidak sedikit faktor ini menyebabkan pergesaran nilai-nilai tradisional yang terlah di anut masyrakat Bali. Karena itu dalam perkembangan arsitktur tradisional Bali di perlukan sikap bagaimana menghargai hasil kebudayaan Bali pada masa lampau demi dan menyesuaikan pada kehidupan yang sekarang sehingga tata ruang perumahan Bali dapat sebagai dasar yang harus dipegang kuat dalam membangun perumahan.

4.2 Saran

Penyusun sadar bahwa makalah ini jauh dari sempurna akibat dari keterbatasan penyusun. Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang mebangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca

DAFTAR PUSTAKA

Sumintardja. Djauhari, Kompedium Sejarah Arsitektur, Yayasan Lembaga Penyelidikan

I Nyoman Gelebet. 1985. Pengantar Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.Dwijendra. N.K. Acwin. 2008. Arsitektur Rumah Tradisional Bali. Denpasar : Udayana

University Press

http://id.wikipedia.org/wiki/budayaGbr. 4 Pola tata ruang rumah lama

Sumber : hasil wawancara

Gbr.5 Pola tata ruang rumah sekarang

Sumber : hasil survei

Gbr. 14 Perubahan dimensi angkul-angkul pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survey

Gbr. 3 Peta Lokasi

Gbr. 13 Pelinggih (bangunan suci) pada rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survei

Gbr. 15 Perubahan material bangunan pada Bale Meten Sakutus dari rumah bapak I.G.N. Jayanegara

Sumber : hasil survei

APRESIASI BUDAYA26