ANGEL FISH ( AKU DAN ANAKKU )
-
Upload
mhs-x-class-ebook-project -
Category
Documents
-
view
226 -
download
3
description
Transcript of ANGEL FISH ( AKU DAN ANAKKU )
ANGel FISh
M muhyiddin arasma
Hei, Dengarkan aku.
Apakah kalian tau cerita tentang Ikan Jantan mencari anaknya?
Hah?
Pernah?
Aku beritahu, ya. Cerita itu cuman bualan dan, sama sekali tidak seru.
Tentu saja, karena Pengalaman hidupku lebih menegangkan dari itu. Perlu kalian tahu, ya, aku
juga kehilangan anak. Dan aku mencarinya sampai kemari.
Ya, ya. Kalian boleh berpendapat apa saja. Tetapi simak dahulu ceritaku. Setelah itu, terserah
kalian mau percaya atau tidak.
Jadi begini. Aku bertemu dengan betina ini beberapa puluh purnama lalu. Dia sangat menawan.
Banyak sekali yang menyukai dirinya. Hingga aku harus bertarung mati-matian untuk
mendapatkannya.
Tentu saja aku berhasil. Seperti yang kau lihat, Siripku kuat, Ekorku Kekar, dan Gigi-gigiku Tajam
tanpa cela.
Sayangnya, kelompok betina itu tidak menyukaiku. Mereka mencemooh, membenciku. mereka
bilang, “Kau sirip punggung putih pembawa sial.”
Mereka memusuhi kami.
Karena itulah, setelah melahirkan seekor anak, betina itu meninggalkanku. Dia tidak tahan
hidup bersamaku dengan semua itu.
Oh, sampai sekarang aku tidak mengerti mengapa mereka melakukan itu padaku. Aku tidak
pernah membawa sial pada siapapun.
Ah, sudahlah. Saat itu aku tidak peduli. Yang terpenting adalah aku memiliki anak sehat, dengan
sirip punggung putih sama denganku.
Aku memberinya nama, Bulrp. Nama yang bagus, ‘kan?
Aku mengasuhnya seorang diri. Dia tumbuh menjadi sosok ikan sesuai dengan harapanku.
Saat dia masih sepanjang ekorku, anak itu sudah bisa menerobos hamparan rumput laut tanpa
terjerat sekalipun. Dan setelah dia sudah setengah ukuran tubuhku, Burlp mengarungi arus
hangat bersamaku ketika anak-anak lainnya masih bermain di antara karang-karang kecil.
Namun, beberapa purnama lalu, akhirnya dia mendengar sesuatu dari anak-anak ikan lainnya
perihal masa laluku.
Ya. Dia menyalahkanku, tentang bagaimana aku tidak pernah bercerita soal masa laluku,
bagaimana aku tidak bisa mempertahankan ibunya, hingga dia besar sebagai anak piatu. Dia
marah padaku, karena telah menurunkan kesialan yang membuatnya dihina. Dia membenciku
karena telah menjadikan dirinya ada.
Dia pun mulai menjauhiku. Hingga akhirnya suatu waktu aku tidak menemukannya di manapun.
Aku merasa bersalah dan panik.
Aku mencari Burlp di mana-mana: tepi palung tempatnya sering menggoda ikan-ikan raksasa,
kapal tua di mana dia sering mendengarkan cerita dari hantu-hantu manusia…. Aku bertanya
pada apa saja. Tidak ada yang melihatnya di sana.
Hanya arus hangat yang belum aku periksa, tempat terakhir dalam bayangku. Arus hangat bisa
membawa anakku ke mana saja. Jika Burlp masuk ke sana, aku mungkin tidak akan pernah bisa
menemukannya.
Ketika aku meratap di dekat arus hangat, ada kura-kura tua menghampiriku. Katanya dia sudah
menungguku, hendak memberitahu kalau anakku telah masuk ke arus hangat saat purnama
merah lalu. Dia meluncur bersama Bulrp yang mengomel tentangku, dan mengambil arus balik
saat tiba di persimpangan hanya untuk memberitahukanku.
Katanya, dia sudah hidup ribuan bulan untuk bisa mengetahui bagaimana perasaanku sekarang.
Karenanya dia menawarkan bantuan, menjadi pemandu. Lagipula hanya dia yang tahu
persimpangan mana saja yang dilalui anakku.
Arus hangat bukanlah tempat yang nyaman. Airnya menghantam tubuh, meremas insang, dan
menggores-gores kulit. Hingga jika salah menentukan posisi atau terlalu lama, kalian akan mati
kelelahan. Itu belum termasuk jika kalian salah mengambil tikungan dan jatuh ke laut dalam.
Tubuh kalian bisa melesak dan hancur seketika.
Namun kura-kura tua itu memaksa. Padahal dia baru saja meluncur di arus hangat.
Sekali lagi aku merasa bersalah. Sudah kuduga, setelah melewati persimpangan arus terakhir,
kura-kura tua itu kelelahan. Dia tidak bisa mempertahankan posisinya dan berkata,
“Persimpangan di depan adalah jalanmu. Aku hanya bisa sampai di sini.” Dia lantas tertawa.
“Aku juga kehilangan anak kebanggaanku. Aku tidak pernah melihatnya lagi. Tidak akan pernah
bisa. Maka, buatlah keajaiban. Temukan dan jagalah anakmu.”
Dia tersenyum padaku sebelum memejamkan mata dan jatuh, menghilang di laut dalam.
Oh, kasihan dia.
Hah, maafkan aku. Aku selalu sentimentil saat mengingatnya. Dia kura-kura tua yang baik. Tapi
aku baik-baik saja—tanpa mengurangi rasa hormatku padanya.
Baiklah, aku lanjutkan ceritanya.
Setelah keluar di persimpangan berikutnya, aku sampai di laut asing. Airnya tidak enak. Ada
rasa pahit jika kau menahannya di balik insang. Warnanya pun keruh, gelap.
Laut itu sangat dekat dengan tepian air. Wilayah berbahaya. Banyak sekali kapal-kapal manusia
berlalu lalang. Sebagian besar dari mereka menebar jaring. Para hantu manusia pernah
bercerita soal tempat seperti itu, dan aku tidak menyangka bisa melihatnya secara langsung.
Mengerikan. Banyak ikan-ikan di permukaan terperangkap, berteriak dan meronta-ronta ketika
tubuh mereka ditarik ke atas.
Maka aku menjauh meski belum seluruh tempat itu kujelajahi. Kuharap Bulrp tidak tersesat di
sana.
Aku berputar-putar di luar wilayah kapal-kapal manusia itu selama hampir setengah siklus
purnama. Tidak ada tanda-tanda anakku di sana. Tidak seekor ikanpun bisa diajak bicara.
Sampai aku bertemu dengan paus pemburu itu.
Paus itu sendirian. Tidak seperti paus-paus pemburu lainnya. Katanya, dia tidak suka bergaul
dengan teman-teman yang egois. Oh, saat itu aku mendukungnya untuk berenang sendiri—kau
tahu kenapa, kan?
Aku langsung merasa bersyukur ketika dia menawarkan bantuan untuk mencari Bulrp.
Terutama karena dia melihat anakku yang ternyata pergi ke wilayah paling banyak dilalui kapal-
kapal manusia. Tubuh paus pemburu cukup besar, tidak mungkin bisa dikalahkan oleh jaring-
jaring itu. Dengannya aku aman.
Hanya saja perjalanannya tidak semudah itu juga. Aku masih harus berenang sekuat tenaga
untuk menyamai kecepatan paus pemburu itu. Dia berkata kalau anakku mengikuti salah satu
kapal tanpa jaring, hingga kami harus mengejar sebelum jejak baunya menghilang. Oh,
penciuman paus pemburu lebih baik dariku di dalam air laut asing ini.
Sialnya, setelah beberapa lama berkelok-kelok menghindari jaring-jaring, sesekali berenang di
tepi permukaan, dan mengikuti arah panduan paus itu, aku menyesal bukan kepalang. Saat aku
kelelahan, paus itu tertawa dan berkata kalau dia sudah selesai bermain-main dan ingin
memakanku.
Aku begitu bodoh hingga lupa kalau jenis mereka suka mempermainkan mangsanya, licik
dengan dengan segala tipu daya. Dalam keadaan prima aku mungkin bisa sedikit memberi
perlawanan sampai menemukan celah untuk menghindar dari paus itu. Tetapi tenagaku sudah
hampir tidak bersisa.
Aku tidak berdaya ketika dia mendorong tubuhku ke permukaan, melemparku keluar berkali-
kali, sembari terkekeh dan mengejek.
Jujur, aku hampir putus asa. Bukan karena takut dimakan olehnya, melainkan kehilangan
kesempatan satu-satunya untuk bertemu dengan anakku kembali.
Aku teringat akan perkataan kura-kura tua. “Buatlah keajaiban.” Jika keajaiban itu ada, maka
aku benar-benar berharap saat itu dia datang.
Dan ternyata dia benar-benar datang.
Sebelum paus itu menerkamku dengan gigi-giginya, seekor ikan putih bening melintas di
hadapan kami. Dia berdiam diri, tak tampak ada rasa takut atau ngeri. Paus pemburu itu
terpaku sejenak.
Saat itulah kapal raksasa melintas, menutupi kami dengan bayangan gelap, sebelum akhirnya
meluncurkan tombak ke arah paus pemburu.
Aku ingat hantu manusia pernah berkata kalau kaum mereka sudah bisa menaklukkan ikan-ikan
besar, bahkan raksasa dari palung laut, dengan kapal-kapal besar dan tombak-tombak mereka.
Tubuh paus pemburu itu tertarik ke permukaan, membeku dengan tatapan tidak percaya.
Aku tidak melihat nasib paus itu selajutnya karena terlalu lelah. Aku hanya bisa menjatuhkan
diri ke dasar dan berbaring di permukaan pasir. Aku lapar. Aku tidak makan
selama beberapa waktu.
Dan kalian tahu apa yang kemudian terjadi?
Oh, tentu saja aku tidak mati. Mana mungkin aku bisa bercerita pada kalian sekarang ini kalau
aku sudah mati. Tidak ada ikan yang bisa menjadi hantu seperti manusia, kecuali….
Jadi, hal berikutnya ini sungguh membuatku terkejut.
Masih ingat ikan putih yang kukatakan barusan? Ya, ikan itu mendekat padaku. Aku bisa dengan
jelas melihat bentuknya yang aneh. Dia tembus pandang. Seperti hantu manusia.
Kalian mungkin tidak percaya, namun aku benar-benar melihatnya. Sirip-siripnya bergerak,
tetapi tidak terpengaruh atau mempengaruhi air di sekitarnya. Kedua matanya menatap, jauh
lebih dalam dari cara paus bongkok melihatmu. Dan sisik-sisiknya bercahaya seperti purnama
putih.
Dia berkata padaku, “Paus itu tidak sepenuhnya berbohong. Anakmu berada di kapal manusia.”
Dia terdiam sejenak. “Makanlah aku. Dan lanjutkan pencarianmu ke tepi batas laut, tempat
kapal-kapal manusia berkumpul. Percayakan pada takdirmu. Kau akan bertemu dengan
anakmu.”
Apakah lantas aku memakannya?
Tentu saja tidak. Membuka mulut saja aku sudah tak kuat.
Tetapi anehnya, ikan itu malah menyelinap masuk ke mulutku dan mengisi perutku dengan
tubuhnya. Tiba-tiba saja aku seperti telah makan seekor tongkol dewasa. Perutku penuh.
Tenagaku perlahan-lahan kembali.
Ya, aku tetap harus istirahat setelahnya. Hanya saja tidak butuh waktu lama sebelum aku bisa
kembali berenang dan mencari anakku di tepi batas laut.
Oh, tentu saja aku percaya pada ikan itu. Dia itu sebuah keajaiban. Dan tidak pernah ada
keajaiban menuntunmu ke tempat yang salah, ‘kan?
Di tepi batas laut aku ditangkap oleh manusia. Dan di sinilah aku, bersama kalian, di dalam laut
kecil di balik karang tembus pandang dan tatapan anak-anak manusia.
Apakah aku bertemu dengan anakku?
Tidak. Tapi manusia menemukannya. Aku melihatnya saat manusia membawaku kemari. Dan
aku yakin Bulrp akan… Oh, lihat! Itu dia anakku.
Aku harus pergi dahulu, menemui anakku. Dan, santai sajalah. Hantu manusia pernah berkata
padaku kalau sebagian dari kaum mereka lebih memilih melihat kita di lautan bebas. Kita bisa
kembali. Masih ada yang namanya keajaiban. Jika kau mau percaya.