Anestesi Pada Asma

download Anestesi Pada Asma

of 9

Transcript of Anestesi Pada Asma

ANESTESI PADA ASMA

1. Pengelolaan Preoperatif

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang reversibel adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversibel dengan bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor.Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat bronkodilator yang berisi -adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan kortikosteroid.Pada pasien dengan serangan asma keseimbangan cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.

2. Premedikasi a. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.b. Narkotik (Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil.c. Antikolinergik. Pemberian dilakukan jika terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi. Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena tindakan intubasi.d. H2 antagonis (Simetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan bronkokonstriksi.e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau kortikosteroid inhaler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi. Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Methilprednisolon 40-80 mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi.Bronkodilator harus diberikan sampai proses pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi adrenal. Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100 mg/8 jam selama 1-3 hari post operasi.f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT. Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.

3. Pengelolaan intraoperatif

Sesuai dengan bidang cabang anestesi, suatu pemahaman patofisiologi yang mendasar lebih penting pada pilihan tekhnik anestesi khusus atau pilihan obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, pasien mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, untuk mengendalian nyeri postoperatif.

a. Regional AnestesiSpinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedahan ektremitas bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah (T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi tekhnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelektasis. Pada prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi, batuk spontan dan tidak terkendali.

b. Anestesi UmumWaktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.

1) Agent Inhalasi

Agent inhalasi anestesi seperti halotan akan menyebabkan bronkodilatasi dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halotan berpengaruh pada diameter jalan napas dengan cara memblok reflek jalan napas dan efek langsung relaksasi otot polos jalan napas. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas.

2) Obat-Obat Induksi Intravena

Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton, propofol, dan ketamin. Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan bronkokonstriksi melalui reseptor 2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor 2 dapat menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan),propofol dan ethomidat sebagai alternatif.

Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui penekanan langsung aktivitas otot polos jalan napas. Dari hasil suatu penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.

Propofol dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan akhir cepat pula.Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva dan trakeobronkial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue seperti atropin ataupun gycopyrrolate. Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratrakeal 1-2 mg/kgBB. Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergik (atropin 2 mg atau glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.

Kontroversi kemampuan thiopental untuk menyempitkan saluran udara jika diberikan dalam dosis rendah, dosis besar dapat menghalangi bronkospasme yang diinduksi oleh iritasi ETT, tetapi meningkatkan resiko hipotensi. Meskipun mungkin cocok untuk intubasi elektif dari asma stabil,mungkin tidak sesuai untuk pasien dengan status parah.

3) Muscle Relaksan

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaksan adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran ACH endogen, inhibitor kolinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis muskarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma.

4. Pengelolaan bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya. Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme. Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta adrenergik agonist baik secara aerosol atau inhaler kedalam jalur inspirasi dari sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi dengan pembacaan massa spectrometer).Tekhnik pemberian ini adalah secara matered dose inhaler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin (0,25 mg) atau keduanya.

Pasien yang tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6 mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit dan diberikan dosis pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.

Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi bronkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi juga meyakinkan tekanan partial oksigen dalam alveoli.

Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan dosis lanjutan 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.

5. Pengelolaan post operatif

Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar. Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi kriteria sebagai berikut ; Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit Mampu menahan naps selama 5 detik atau lebih Kapasitas vital > 15 ml/kgbb Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai PEFR 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk priaPada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase dan tidak menimbulkan brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.Masalah berikut yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA disebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada nervus phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia. Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial, penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan mengurangi hambatan batuk dan napas dalam serta mempermudah mobilisasi.Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU : Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support FEV atau PEV < 50% PCO2 > 50 mmHg PO2< 50 mmHg Pasien nampak bingung dan lemah Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi disertai instabilitas hemodinamika Pasien major trauma yang dilakukan prosedurDamage Control Surgery Pasien yang menjalani major surgery