Anestesi

24
LAPORAN KASUS ANESTESI SPINAL PADA OPERASI OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF) REFRAKTUR FEMUR Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter di RSUD Tidar Kota Magelang Diajukan Kepada : dr. Budi Aviantoro, Sp.An Disusun Oleh Shaina Metadilla Putri (20080310030) SMF BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD TIDAR KOTA MAGELANG FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN 1

description

anes

Transcript of Anestesi

LAPORAN KASUSANESTESI SPINAL PADA OPERASI OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION (ORIF) REFRAKTUR FEMURDisusun untuk Memenuhi SyaratMengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter

di RSUD Tidar Kota Magelang

Diajukan Kepada :

dr. Budi Aviantoro, Sp.AnDisusun Oleh

Shaina Metadilla Putri (20080310030)

SMF BAGIAN ILMU ANESTESIRSUD TIDAR KOTA MAGELANG

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2014HALAMAN PENGESAHAN

Disusun untuk Mengikuti Ujian Stase Ilmu Anastesidi RSUD Tidar Kota Magelang

Disusun Oleh:

Shaina Metadilla Putri2008.031.0030Telah dipresentasikan pada tanggal April 2014dan telah disetujui oleh :

Pembimbing Klinik,

dr. Budi Aviantoro, Sp.AnBAGIAN ILMU ANESTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

LAPORAN KASUS ILMU ANESTESII. IDENTITAS PASIENNama

: Tn. AchmadiUmur

: 53 TahunJenis Kelamin

: Laki-lakiPekerjaan

: Pedagang Agama

: Islam

Alamat

: Plembangan RT 2 RW 2 Banyuwangi, Bandongan Tanggal operasi : 29 Maret 2014Diagnosis Masuk: Refraktur femur dextra II. ANAMNESISa. Keluhan UtamaKaki kanan bengkak dan sulit digerakkan.b. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan kaki kanannya bengkak dan sulit digerakkan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien pernah mengalami KLL 3 bulan yang lalu dan mengalami patah tulang paha kanan. Pasien sudah pernah menjalani operasi pemasangan plate post KLL 3 bulan yang lalu tetapi pasien tidak rutin kontrol dan hanya sekali kontrol ke RS. Beberapa hari yang lalu pasien menggunakan kedua kakinya untuk menapak ke lantai dan terpeleset saat hendak wudhu. Setelah kejadian itu beberapa luka jahitan pada paha kanan terlepas sehingga tampak daging yang menonjol ke luar. Sejak saat itu pasien mengeluh kaki kanan menjadi sulit digerakkan dan bengkak.

c. Riwayat penyakit dahulu

KLL 3 bulan yang lalu Riwayat hipertensi (-)

Riwayat diabetes mellitus (-) Riwayat penyakit jantung (-) Riwayat alergi obat (-)

Riwaayat operasi sebelumnya saat 3 bulan yang lalud. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama. Riwayat asma, hipertensi, DM, penyakit jantung disangkalIII. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umun: Cukup Kesadaran

: Compos mentis

GCS: E4 V5 M6Vital Sign

: Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi

: 88 x/menit

Suhu

: 36,50 C

RR

: 16x/menitBB

: 50 kgKepala

: Normochepal, vulnus (-)Wajah

: pucat (-)Mata

: Conjungtiva Anemis -/-, Sklera ikterik -/-

pupil isokor 2 mm, reflek cahaya langsung (+/+)Hidung

: Sekret -/-, Nafas Cuping Hidung -/-

Leher

: Limfonodi tak teraba, JVP tidak meningkat

Thorak

: Simetris, Retraksi -/-, Ketinggalan gerak -/-

Cor

: S1S2 reguler, Bising jantung (-)Pulmo

: Suara dasar vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)Abdomen

: Bising usus normal, supel, timpani, nyeri tekan (-),Ekstremitas :Akral Hangat, CRT < 2 detik, edema tungkai (+/-), ROM terbatas (+/-), nyeri (+/-), varises (-/-), regio femur dextra tampak eritema dan oedema, turgor kulit baik.IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG1) Darah Rutin

WBC: 8,6

N: 4,8-10.8

RBC: 4,3

N: 4,2-5,4

HGB: 11,8

N: 12-16

HCT: 36,1

N: 37-47

MCV: 84,0

N: 79-99

MCH: 27,4

N: 27-31

MCHC: 32,7

N: 33-37 PLT: 590

N:150-450 2) Gula Darah Sewaktu: 87 mg/dL3) Fungsi GinjalUreum

: 21,2 mg/dl

Creatinin: 0,77 mg/dl

4) Fungsi Hati

SGOT

: 21,5 U/L

SGPT

: 9,4 U/lHbsAg

: Negatif5) Ro Thorax Kesan: Cord an Pulmo dbnV. DIAGNOSISa. Diagnosis Preoperatif: Refraktur Femur Dextrab. Status operatif :

-Teknik: spinal anastesi; obat induksi: bupivacaine (Decain Spinal), Morfin-ASA: 1 (Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang akan dioperasi)c. Vital Sign

:

Tekanan Darah : 130/80 mmHg Nadi: 88 x/menit

Suhu

: 36,5 0C RR : 16x/menitVI. TINDAKAN ANESTESIa. Keadaan Pre Operatif:

Pasien menjalani program puasa 6 jam sebelum operasi dimulai. Ketika sudah ada di ruang operasi dilakukan penggukuran vital sign dan didapatkan hasil TD 130/80, nadi 88x / menit, dan didapatkan SPO2 = 97%b. Jenis Anestesi:

Spinal anastesi, spontan respirasi dengan O2 untuk maintenance

c. Anestesi yang diberikan:

Induksi anestesi ( jam 09.20 )

Untuk induksi digunakan bupivacaine 3 cc (Decain Spinal) dicampur dengan Morfin 0,2 cc sebagai analgesik narkotik.

Teknik analgesia spinal yang dilakukan :

1.Sebelum dilakukan induksi terlebih dahulu dilakukan loading cairan dengan menggunakan RL sebanyak 1000 cc. Setelah tensimeter terpasang dan dimonitor pasien diposisikan duduk di meja operasi. Pasien diminta menegakkan badannya dan menunduk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba.

2.Tempat tusukan disterilkan dengan semprotan betadine

3.Setelah itu menentukan tempat yang akan dilakukan penusukan kemudian menyuntikkan jarum lumbal no.27, pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal kearah cranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater-subarachnoid.

4.Setelah itu stylet jarum spinal dicabut dan setelah cairan likuor serebrospinalis sudah menetes keluar, campuran decain spinal-morfina dimasukkan menggunakan spuit yang dipasang pada jarum spinal, spuit diaspirasi untuk memastikan LCS telah keluar kemudian obat anastesi disuntikkan secara perlahan-lahan. Setelah obat anastesi masuk, jarum spunal dicabut kemudian pasien dibaringkan.

5.Pasien siap dioperasi bila telah merasa kakinya berat dan tidak bisa digerakkan.Maintenance

Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan nadi dikontrol setiap 15 menit. Pengontrolan dilakukan pada nadi dan saturasi berkisar antara 72 88 x/mnt & 97 100%, tekanan darah berkisar antara 106-120/ 86-75. Infus RL diberikan pada penderita sebagai cairan rumatan. Diberika inhalasi O2 agar pasien merasa nyaman. Dilakukan pemberian obat-obat maintenace selama operasi yaitu piralen (antiemetik), ketamin 25 cc, dan orasic.Keadaan Post Operasi

Operasi selesai dalam waktu 60 menit (pkl. 11.00). Pasien dalam keadaan stabil saat operasi selesai. TD 117/74, nadi 88x/menit, SPO2 = 100.

Catatan anestesi selama proses pembedahanJamParameter yang dipantauKeteranganObatcairan

NadiSpO2

09.2072100Mulai induksiDecain Spinal, morfinRL

09.307897Mulai operasiSedacum, ketesse, granon

09.457499

10.0076100RL

10.157998

10.3077100RL

10.458899

11.00Operasi Selesai

Recovery :

Pasien dipindahkan ke ruang recovery dan diobservasi Aldrette score-nya. Bila pasien tenang dan Aldrette Score 8 tanpa nilai 0, pasien dapat dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrette Score pasien = 8 dengan perincian :1.Pernafasan

Bernafas dalam dan teratur bernilai 2

2.Kesadaran

Kesadaran bernilai 2 yaitu pasien sadar penuh dan orientasi baik

3.Sirkulasi

Sirkulasi bernilai 2 berarti tekanan darah 20 % dari tekanan darah pre anestesi

4.Motorik

Aktivitas bernilai 1 yaitu ektremitas atas dapat digerakkan dengan bebas.

5.Warna Kulit

Warna kulit cerah bernilai 2Program post operasi:

Setelah pasien pulih dengan Aldrette Score 8, pasien dipindahkan ke bangsal instruksi lanjutan di bangsal:

1. Awasi Vital Sign, kesadaran, perdarahan

2. IVFD RL 20 tts/menit

3. Posisi tiduran dengan bantal selama 24 jam

4. Kaki dapat digerakkan minum bertahap

5. Pemberian analgesik : Ketorolac

6. Pemberian antiemetik: vometraz

7. Terapi lain sesuai dokter bedah

PEMBAHASANSPINAL ANESTESIA. Pengertian Nyeri

Nyeri menurut International Association for Study of Pain (IASP) adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan actual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

B. Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor, secara anatomis nosiseptor ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

1. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

2. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.C. Perjalanan nyeri

1. Gerbang spinalis

Impuls dari suatu rangsangan nyeri pada daerah perifer dihantarkan oleh serabut saraf C tidak bermielin atau serabut saraf A bermielin, dan tersambung pertama kali pada medulla spinalis di substansia gelatinosa kornu dorsalis. Jika rangsangan tiba-tiba dan secara tidak disadari berjalanan melalui sambungan atau gerbang yang diperantarai oleh neurotransmitter peptide substansi P, dan berjalanan ke atas medulla menuju ke otak, sepanjang traktus spinotalalamikus. Rangsangan juga dapat memulai reflex spinalis jenis penarikan diri yang menimbulkan kontraksi otot. Maka spasme dapat menyertai nyeri. Jika rangsangan menyakitkan telah diketahui sebelumnya aliran rangsangan melalui gerbang, dan reflex penarikan diri mungkin dapat dihambat dengan sinyal retrograde yang bermula pada mesensefalon atau pada korteks serebri. Rangsangan balasan perifer, seperti mengusap-usap daerah yang terkena juga menutup gerbang oleh rangsangan yang dihantarkan ke medulla spinalis dari serabut A.

2. Medula

Jika impuls nyeri berjalan melalui gerbang, maka rangsangan itu dihantarkan ke medulla spinalis dan medulla oblongata. Di medulla oblongata rangsangan secara reflektif memulai suatu fenomena otonom yang berkaitan dengan nyeri melalui pusat medula, seperti menarik nafas;peningkatan respirasi dan denyut jantung; ketidakteraturan denyut jantung dan muntah.

3. Sistem pengaktifan retikular (RAS)

Adalah jaringan difus serabut saraf dan sinaps yang menerima, mengubah, dan menyalurkan kembali pesan rangsangan nyeri. Hasilnya memulai, memperkuat dan menghambat fenomena reflex penarikan diri sebagai mekanisme perlindungan diri dan gerakan menjauhi sumber nyeri. Impuls yang menyebar dari RAS menyebakan pelepasan analgetik alami yaitu enkefalin, endorphin dari pusatnya yaitu korteks serebri, hipotalamus dan daerah lain sistem saraf pusat serta galndula hipofisis. Hormon-hormon seperi kortisol juga dilepaskan untuk mengawali tanggapan stress metabolik terhadap nyeri. RAS dapat dibandingkan dengan suatu pusat informasi dengan sistem komputer yang rumit, yang menerima, memilah dan mengatur kembali penjalaran informasi untuk berespon.

4. Talamus dan korteks diam

Jika impuls nyeri sampai pada sistem ini, nyeri secara kasar ditafsirkan pada bagian otak ini. Impuls kemudian berjalan ke korteks somatosensorikdiam, tempat impuls itu dinilai, ditentukan tempatnya dan disimpan dalam ingatan.

5. Sistem limbik

Di area ini tanggapan emosi segera terhadap nyeri timbul.6. Korteks frontalis

Area ini akan menafsirkan impuls tersebut sebagai nyeri dan secara sadar mengawali pemilahan emosi dan tanggapan fisik untuk melawan penyebabnya.D. Spinal Anestesi1.Definisi

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas,kehamilan,dan penyebaran obat.

Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertamakaliakanpulih.

Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.

2.Indikasi

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.

3.Kontraindikasi

Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.

Persiapan pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.4.Perlengkapan

Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, tindakan resusitasi.

Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37C cairan serebrospinal memiliki berat jenis.

Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.5.Teknik Anestesi Spinal

Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antaralain:

Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada dimeja operasi. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrat lumbalis (interlumbal).

Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.

Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10-30 terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.

Sunyang tikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.6.Komplikasi

Komplikasi mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.

E.Obat-Obat Spinal Anestesi1.Bupivakain

Bupivakain (marcaine) adalah derivate-butil yang k.l 3 kali lebih kuat dan bersifat long-action (5-8jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0,25-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat relaksasinya terhadap otot tergantung pada kadarnya. PP-nya sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi pipekololsilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan utuh, sebagian kecil sebagai PPX dab sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma-t1/2-nya 1,5-5,5 jam.

Bupivakain disebut juga obat golonngan amida yang digunakan pada anestesi spinal. Obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik. Bupivakain mempunyai efek penurunan tekanan arteri rerata lebih sedikit dibanding dengan menggunakan lidokain.

2.Morfin

Morfin memiliki efek terapeutik, akan tetapi juga memiliki efek terhadap sistem saraf pusat ( otak dan medula spinalis ), terhadap saluran pencernaan, serta sistem lainnya. Efek terhadap SSP meliputi analgesik, sedasi, perubahan sifat, depresi pernapasan, mual dan muntah, pruritus, serta perubahan ukuran pupil. Morfin juga berpengaruh terhadap sekresi lambung, motilitas usus, serta memiliki efek terhadap endokrin, saluran kencing, sistem saraf autonom. Morfin memiliki efek yang menyerupai opioid endogen, dengan cara bekerja sebagai agonis pada reseptor 1 dan2.dan dipertimbangkan sebagai agonis standar terhadap agonis lainnya.

VIII.KESIMPULAN

Pada kasus ini pasien dianestesi menggunakan anestesi spinal dikarenakan tindakan pembedahan yang akan dilakukan adalah pada bagian femur dan merupakan salah satu indikasi dilakukan anestesi spinal. Selain itu anestesi spinal merupakan salah satu pilihan teknik anestesi yang cukup aman. Pemahaman tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan denyut jantung penting untuk merawat perubahan kadiovaskuler terkait dengan bupivakain sebagai obat yang digunakan pada anestesis spinal.DAFTAR PUSTAKA

Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC : Jakarta.

Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FK UI:Jakarta.

Guyton dan Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC:Jakarta.Latief A.S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Bagian anestesiologi dan terapi intensif FKUI: Jakarta.Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga:Jakarta.

16