Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

68
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung mempunyai beberapa fungsi antara lain sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalansi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi reflek tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung. 1.2 Tujuan Setelah mempelajari embriologi, anatomi, fisiologi, pemeriksaan hidung serta dua penyakit terbanyak dari hidung diharapkan dokter muda dapat menjelaskan mengenai 1

Transcript of Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Page 1: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari

biasanya, merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung mempunyai beberapa fungsi antara

lain sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalansi agar dapat digunakan paru-

paru, mempengaruhi reflek tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara.

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung

perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar

atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta

fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu

diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.

1.2 Tujuan

Setelah mempelajari embriologi, anatomi, fisiologi, pemeriksaan hidung serta

dua penyakit terbanyak dari hidung diharapkan dokter muda dapat menjelaskan

mengenai mekanisme penyakit-penyakit yang tersering guna menambah pengetahuan

dokter muda sehingga mudah dalam menangani kasus yang ada.

1

Page 2: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi dan Embriologi Hidung

Pada embriologi hidung yang berasal dari neural crest cell minggu ke-4, terletak

di daerah muka tengah bagian bawah (caudal midface) dimana membentuk 2

placodes yang berkembang simetris yaitu :

- medial (septum, philtrum, dan premaxilla)

- lateral (sisi hidung)

- inferior (stomodeum)

- Nasobucalè choane pada minggu ke 10

Koane merupakan pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian belakang yang

menghubungkan dengan nasofaring.

Selama minggu keenam, lubang hidung makin bertambah dalam sehingga

karena pertumbuhan tonjolan-tonjolan hidung sekitarnya dan sebagian lagi

karena penembusan ke dalam mesenkim di sekitarnya. Pada mulanya membrana

oronasalis memisahkan lubang hidung dari rongga mulut sederhana, tetapi

setelah selaput ini pecah, bilik – bilik hidung sederhana bermuara ke dalam

rongga mulut melalui lubang – lubang yang baru terbentuk, yaitu choana

sederhana. Choanae ini terletak pada sisi kanan dan kiri garis tengah dan tepat

di belakang langit primer. Kelak dengan terbentuknya langitan sekunder dan

perkembangan bilik – bilik hidu ng sederhana selanjutnya, choanae tetap terletak

pada peralihan antara ronga hidung dan pharynx.

Sinus paranasalis berkembang sebagai divertikula dinding lateral

hidung dan meluas ke dalam tulang maxilla, ethmoidalis, frontalis dan

sphenoidalis. Sinus – sinus ini mencapai luas maksimumnya pada masa pubertas

dan dengan demikian sangat mendukung bentuk wajah yang tetap.

2

Page 3: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

1) Pangkal hidung (bridge),

2) Dorsum nasi,

3) Puncak hidung,

4) Ala nasi,

5) Kolumela dan

6) Lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung

(os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal,

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis

superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior

kartilago septum.

3

Page 4: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke

belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi

kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares

anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang

letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anteriror, disebut

vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,

lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina

perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os

palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)

dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium

pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan

dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral

hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah

konka. Yang terbesar dan letaknya

4

Page 5: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka

media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut

konka suprema.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila

dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan

bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus

superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka mediaterdapat

muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

2.2. Perdarahan Hidung

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.

5

Page 6: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang

disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah

cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada

anak.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina

yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki

rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena

di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk

mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

2.3. Persarafan Hidung

6

Page 7: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Ganglion sfenopalatinum, memberikan persarafan sensoris, dan juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Dia

menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari

n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus

profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung

posterior konka media.

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal

dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan

bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu

pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.4. Histologi Hidung

7

Page 8: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah

karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut

lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat

pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia

yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.

Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri

dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.

Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan

tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan

pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari

anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang

dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya

sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan

darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan

demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil,

yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi

pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.

Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan

menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga

hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh

epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar non

ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang,

sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat

kekuningan.

2.5. Fisiologi Hidung

8

Page 9: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Fungsi hidung ialah untuk jalan

napas, alat pengatur kondisi udara

(air conditioning), penyaring udara,

sebagai indra penghidu, untuk

resonansi suara, turut membantu

proses bicara dan refleks nasal.

Silia/reseptor berdiri diatas

tonjolan mukosa yang dinamakan

vesikel olfaktorius dan masuk ke

dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria. Diantara sel-sel reseptor (neuron)

terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus (mengandung air,

mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam dan protein pengikat bau (G-

protein). Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang dapat

berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat transduksi). Kecepatan aliran udara

pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam menyebabkan molekul

udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium.

syarat zat-zat yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu :

- Harus mudah menguap mudah masuk ke liang hidung

- Sedikit larut dalam air mudah melalui mukus

- mudah larut dalam lemaksel-sel rambut olfaktoria dan

ujung luar sel-sel olfaktoria td dari zat lemak .

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus

yang berada pada permukaan membran. Pada inspirasi, udara masuk melalui

nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke

bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau

arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan

9

Page 10: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara

memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain kembali ke

belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari

lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan

sebelumnya.

Mengatur suhu. fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh

darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,

sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara

setelah melalui hidung kurang lebih 37 oC. Fungsi hidung sebagai pengatur

kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam

alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur kelembaban udara dan

mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir

(mucous blanket).

Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu

dan bakteri dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia,

serta palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut

lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah

enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau

hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh

lidah, bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut

tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. Hidung juga

bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap

rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

10

Page 11: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

menarik napas dengan kuat.

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung

menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.6. Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus

etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.

Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus

sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila

dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir,

sedangkan sinus frontal berkembang dari

dari sinus etmoid anterior pada anak yang

berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi

sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun

dan berasal dari bagian postero-superior

rongga hidung. Sinu-sinus ini umumnya

mencapai besar maksila 15-18 tahun.

2.7. Kompleks Ostio-Meatal

Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal

dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks

ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang

11

Page 12: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior

dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

2.8. Fungsi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus

paranasal. Beberapa pendapat:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan

mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah

karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus

dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi

dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi

orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan

pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak

bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak

memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak

12

Page 13: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan

tingkat rendah.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mukus

Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung,

namun efektif untuk membersihkan partikel..

2.9 Pemeriksaan hidung dan Sinus Paranasal

Ada 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung dan

sinus paranasalis, yaitu :Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi.

o Rinoskopia anterior.

o Rinoskopia posterior.

o Transiluminasi (diaphanoscopia).

o X-photo rontgen.

o Pungsi percobaan.

o Biopsi.

Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, &

sitologi.

2.9.1. Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar

13

Page 14: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi

hidung & sinus paranasalis, yaitu :

o Kerangka dorsum nasi (batang hidung).

o Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.

o Bibir atas.

Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita

temukan pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

- Lorgnet pada abses septum nasi.

- Saddle nose pada lues.

- Miring pada fraktur.

- Lebar pada polip nasi.

- Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem

di tempat tersebut.

Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan

inspeksi hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang

berasal dari sinusitis dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang penting kita

perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

- Dorsum nasi (batang hidung).

- Ala nasi.

- Regio frontalis sinus frontalis.

- Fossa kanina.

- Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung)

dapat kita temukan pada palpasi hidung. Deformitas

dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis.

14

Page 15: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda

ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi. Ada 2 cara kita melakukan

palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita menekan lantai sinus frontalis

ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara

sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua sinus frontalis tersebut

memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut

patologis. Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga

optimal dan simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen

supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga juga menimbulkan reaksi

sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara pertama diatas. Palpasi fossa

kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus maksilaris. Syarat dan

penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan

foramen infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.

Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan

apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama

dengan syarat-syarat palpasi.

2.9.2 Rinoskopia Anterior

Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :

- Cermin rinoskopi posterior.

- Pipa penghisap.

- Aplikator.

- Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).

- Spekulum hidung Hartmann.

- Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik.

15

Page 16: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Cara kita memakainya juga unik meliputi cara memegang, memasukkan dan

mengeluarkan.

Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan

tangan kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral

sedangkan mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam

kavum nasi (lubang hidung) pasien.

Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang

tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita

membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.

Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam

kavum nasi (lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan

menutup mulut spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut

keluar.

Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita

lakukan, yaitu :

- Pemeriksaan vestibulum nasi.

- Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.

- Fenomena palatum mole.

- Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.

- Pemeriksaan septum nasi.

- Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia Anterior

Sebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum

nasi, kita melakukan pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang penting

kita perhatikan pada pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu :

- Posisi septum nasi.

- Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah.

- Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.

- Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien

dengan menggunakan ibu jari.

16

Page 17: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi berguna

untuk melihat keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi. Sisi

medial vestibulum nasi dapat kita periksa dengan cara mendorong spekulum ke arah

medial. Untuk melihat sisi lateral vestibulum nasi, kita mendorong spekulum ke arah

lateral. Sisi superior vestibulum nasi dapat terlihat lebih baik setelah kita mendorong

spekulum ke arah superior. Kita mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat

lebih jelas sisi inferior vestibulum nasi.

Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum

hidung, kita perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden.

Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah pada rinoskopia anterior. Cara kita

memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan mengarahkan

cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang searah dengan

konka nasi media.

Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang

hidung) bagian bawah, yaitu :

Warna mukosa dan konka nasi inferior.

Besar lumen lubang hidung.

Lantai lubang hidung.

Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina.

Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan

mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara

tegak lurus. Normalnya kita akan melihat cahaya lampu yang terang benderang.

Kemudian pasien kita minta untuk mengucapkan “iii”.

17

Page 18: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap akibat

gerakan palatum mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala

tidak tegak lurus masuk ke dalam dinding belakang nasofaring.

Setelah pasien mengucapkan “iii”, palatum mole akan kembali bergerak ke

bawah sehingga benda gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan

terang kembali.

Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien

mengucapkan “iii” dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas

dan dinding belakang nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena

palatum mole negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak

adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring tetap

terang benderang.

Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu:

Paralisis palatum mole pada post difteri.

Spasme palatum mole pada abses peritonsil.

hipertrofi adenoid

Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses

retrofaring, dan adenoid.

Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia

Anterior

Cara kita memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian atas yaitu dengan

mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) bagian atas

pasien.

Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi

(lubang hidung) bagian atas, yaitu :

Kaput konka nasi media.

Meatus nasi medius : pus dan polip.

Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi.

Fissura olfaktorius.

18

Page 19: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita

temukan sampai menekan konka nasi media pasien.

Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia Anterior

Kita dapat menemukan septum nadi berbentuk krista, spina dan huruf S.

2.9.3 Rinoskopia Posterior

Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane

dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita

tempatkan dalam nasofaring.

Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :

Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring

untuk menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien

tetap berada dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan

bantuan spatula (spatel). Penempatan cahaya harus ada jarak yang cukup lebar antara

uvula dan faring milik pasien sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin

dapat masuk dan menerangi nasofaring.

Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.

Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Cermin kecil.

Spatula.

Lampu spritus.

Solusio tetrakain (- efedrin 1%).

Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior,

yaitu :

Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan

menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan

punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan.

Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut,

19

Page 20: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.

Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada punggung

lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian

kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin

kecil dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan

antara faring dan palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan

menggunakan cahaya lampu kepala.

Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih

dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.

Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior,

yaitu :

Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan. Posisi awal cermin berada di

paramedian yang akan memperlihatkan kepada kita keadaan kauda konka nasi media

kanan pasien. Tangkai cermin kita putar kemudian ke medial dan akan tampak margo

posterior septum nasi. Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan, berturut-turut

akan tampak konka nasi terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda konka

nasi superior, meatus nasi medius, ostium dan dinding tuba.

Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri. Tangkai cermin kita putar ke medial, akan

tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Tangkai cermin terus kita putar

ke kiri, akan tampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan.

Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring. Kembali kita putar tangkai cermin

ke medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Setelah itu kita

memeriksa atap nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin sedikit lebih

dalam atau cermin agak lebih kita rendahkan.

Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior. Kita memeriksa kauda

konka nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau tangkai cermin sedikit

direndahkan. Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali mengalami

hipertrofi yang akan tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul).

Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu :

20

Page 21: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi

superior, adenoiditis, dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda

TBC).

Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma.

Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu :

- Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula.

- Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah.

- Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.

Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah

seoptimal mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada

diri pasien. Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat

jelas oleh pemeriksa.

Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan

kepala pasien berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke

pangkal lidah apalagi sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks

muntah.

Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada

dibawah spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas

dagu sedangkan jari V dibawah dagu pasien.

Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia

posterior ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang

memegang cermin kecil, tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi

cahaya dari lampu kepala yang akan menyinari cermin dalam faring, dan kejelian

mata kita melihat bayangan pada cermin kecil dalam faring.

Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi

pasien. Mereka harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka.

Ada beberapa pasien yang memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita

buat. Kita bisa memberikannya tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.

21

Page 22: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada

beberapa pasien karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah.

Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu

panas menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin menimbulkan

kekaburan pada cermin yang mengganggu penglihatan kita.

Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai

menyentuh faring pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini.

2.9.4. Transiluminasi (Diaphanoscopia).

Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah

adanya ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan

6 volt dan bertangkai panjang (Heyman).

Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk

mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus

tersebut tentu saja berbeda.

Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis

yaitu kita menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya

yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis

normal bilamana dinding depan sinus frontalis tampak terang.

Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada

sinus maksilaris, yaitu :

Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada

margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup

dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum

homolateral berwarna terang.

Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah

diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian

kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup

22

Page 23: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang

berbentuk bulan sabit.

Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya

perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan

keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya

cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan

keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh

tebalnya tulang mereka.

2.9.5. X-Photo Rontgen

Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-

photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan

batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak.

2.9.6. Pungsi Percobaan

Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan

menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya

jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan

irigasi sinus maksilaris.

2.9.7. Biopsi

Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di

meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.

2.9.8. Sinoskopi

Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop

dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania.

Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip,

jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah

ostiumnya terbuka.

23

Page 24: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

2.10 PENYAKIT TERBANYAK

2.10.1. RINITIS ALERGI

A. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan

ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,

rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh Ig E.

B. Epidemiologi

Penyakit ini merupakan masalah kesehatan global yang menyerang

kira-kira 10-50% penduduk dunia, yang dapat mengganggu kualitas hidup,

kualitas pendidikan di sekolah dan produktvitas kerja. (atopi). RA merupakan

penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit RA pada beberapa

Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika,

merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai.

Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai

menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria

dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi

genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi

kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua

menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya.

24

Page 25: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

C. Patofisiologi Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat

(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam

setelahnya

2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag

atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa

hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida

dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kom-plek peptida

MHC kelas II (Major Histo-compatibility Complex) yang kemudian

dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas

sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan ThO untuk

berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin

seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya

di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan

memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke

jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil

(sel mediator) sehingga ke dua sei ini menjadi aktif. Proses ini disebut

sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa

yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua

rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecah-nya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia

yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama his-tamin. Selain

25

Page 26: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin

D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin,

Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,

GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah

yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menim-bulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin

juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain

histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan

pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion

Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik

yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.

Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan

mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan

penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,

basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3,

IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)

dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbul-nya gejala hiperaktif atau

hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),

Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan

Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),

iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,

bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

26

Page 27: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

D. Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular

bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga

pembesaran ruang inter-seluler dan penebalan membran basal, serta

ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus

menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi

perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan

hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara penapasan, misalnya

tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D.farinae, B.tropicalis), kecoa,

serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda

grass ) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,

misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepting dan kacang-

kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin dan sengatan iebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,

sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang

memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.

27

Page 28: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang

secara garis besar terdiri dari :

1. Respons primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini

bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak

berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons

sekunder.

2. Respons sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan

ialah sistem imunitas selular atau humoral atau kedua-nya di bangkitkan.

Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih

ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi

berlanjut menjadi respons tertier.

3. Respons tertier:

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh.

Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergan-tung dari daya

eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu

1. tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),

2. tipe 2, atau reaksi sitotoksik/sitolitik,

3. tipe 3, atau reaksi kompleks imun dan

4. tipe 4, atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang

THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.

28

Page 29: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

E. Klasifikasi Rinitis Alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever,polinosis).

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara

yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu

tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat

ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak

ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa

variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang

paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan

alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah

(indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering

merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala

alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan

fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan

golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya

lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi

dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari , 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4

minggu.

29

Page 30: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi

menjadi:

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

F. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering-kali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari

anamnesis saja Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan

bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal,

terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar

debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses

membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama

merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai

akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang

encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-

kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali

gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang

keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya

gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat

atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,

mukosa inferior tampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat

dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah

terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena

30

Page 31: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic

shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,

karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai

allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga

bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan

lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan

pertumbuhan gigi-geligi (fades adenoid). Dinding posterior faring tampak

granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding Jateral faring

menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

G. Pemeriksaan penunjang :

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Demikian pula peme-riksaan IgE total (prist-paper radio immuno-sorbent

test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada

pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya se-!ain rinitis alergi juga

menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga

dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE

spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme

Linked Immuno Sorbent /Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, .walaupun

tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan

31

Page 32: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

pelengkap. Ditemukannya eosinofil daiam jumlah banyak menunjukkan

kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan

alergi makanan, sedang-kan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya

infeksi bakteri.

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit

kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal~atau berseri .Skin End-

point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan

menyuntikkan aiergen dalam berbagai konsentrasi yang ver-tingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain aiergen penyebab juga derajat alergi

serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-skhir ini banyak dilakukan

adalah Intracutaneus ^rovocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun

sebagai baku emas dapat dilakukan dengan ;iet eliminasi dan provokasi

("Challenge Test").

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari.

Karena itu pada "Challenge Test", makanan yang dicurigai; berikan pada

pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada

diet eliminasi, jenis makanan setiap kali : hilangkan dari menu makanan

sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis

makanan.

32

Page 33: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

H. Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan

aiergen pe-nyebabnya (avoidance) dan eliminasi

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini

pertama pengobatan rinitis alergi, Pem-berian dapat dalam kombinasi

atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan. yaitu golongan

antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Anti-

histamin generasi-1 bersifat lipofilik, se-hingga dapat menembus sawar

darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai

efek kolinergik. Yang ter-masuk kelompok ini antara lain adalah

difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang

dapat di-berikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2

bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat

selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti-

kolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).

Antihistamin di-absorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif

untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin,

gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada

fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan

menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan

terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap

jantung tersebut disebabkan repolarisasi jan-tung yang tertunda dan dapat

menye-babkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian

mendadak (sudah diterik dari peredaran). Kelompok kedua adalah

loratadin, setirisin, fexofenadin, deslora tadin dan levosetirisin.

33

Page 34: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh

untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis

medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan

hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat

lain.Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,

budesonid, flunisolid, flutikason, mo-metason furoat dan triamsinolon).

Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada

mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,

mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini me-

nyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan

alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium

kromoglikat topikal bekerja men-stabilkan mastosit (mungkin

menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat.

Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi

dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil

terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,

bermanfaat untuk me-ngatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor

kolinergik pada permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast / montelukast), anti IgE, DMA rekombinan.

34

Page 35: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka

inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty

perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNOS 25% atau triklor

asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada, inhalan dengan gejala yang

berat sudah berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberi

hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan

IgG blc: antibody dan penurunan IgE. Ada 2 imunoterapi yang umum

dilakukan intradermal dan sublingual.

I. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip

hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif utama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

35

Page 36: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

36

Page 37: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

2.10.2 SINUSITIS

Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang

terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis ethmoid, sinusitis frontal,

dan sinusitis sfenoid. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan

bila mengenai semua sinus paranasal disebut pan sinusitis.

a. Etiologi

(1) Rinitis akut

(2) Infeksi faring, seperti faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut

(3) Infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3, serta P1 dan P2 (dentogen)

(4) Berenang dan menyelam

(5) Trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal

(6) Barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa.

b. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran

klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu

mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi

sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.

Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga

mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak

dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan

tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi

atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya

cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh

tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini

akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret

akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang

37

Page 38: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa

berlanjut, akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang.

Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid

atau pembentukan polip dan kista.

c. Faktor Predisposisi

Deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta

tumor di dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis.

Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus

serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya

bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain ialah lingkungan berpolusi, udara dingin serta

kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia.

d. Gejala Subyektif

Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Lokal pada hidung terdapat ingus

kental yang kadang – kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan

hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah sinus yang terkena, serta kadang – kadang

dirasakan juga ditempat lain karena nyeri alih (referred pain).

Pada sinusitis maksila nyeri dibawah kelopak mata dan kadang – kadang

menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan

didepan telinga.

Rasa nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius.

Kadang – kadang dirasakan nyeri di bola mata atau dibelakangnya, dan nyeri akan

bertambah bila mata digerakkan. Nyeri alih dirasakan di pelipis (parietal). Pada

sinusitis frontal rasa nyeri terlokalisasi di dahi atau dirasakan nyeri diseluruh kepala.

Rasa nyeri pada sinusitis sfenoid di verteks, oksipital, dibelakang bola mata dan

didaerah mastoid.

38

Page 39: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

e. Gejala Obyektif

Pembengkakan pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah,

pada sinusitis frontal di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang

timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi. Pada rinoskopi anterior tampak

mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan

sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan

pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari

meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal

drip).

f. Diagnosis

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:

1. Kriteria Mayor :

- Sekret nasal yang purulen

- Drenase faring yang purulen

- Purulent Post Nasaldrip

- Batuk

- Foto rontgen (Water’sradiograph atau air fluid level) : Penebalan lebih

50% dari antrum

- Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi dari mukosa sinus

2. Kriteria Minor :

- Sakit kepala - Edem periorbital

- Nyeri di wajah - Sakit gigi

- Nyeri telinga Sakit tenggorok - Nafas berbau

- Bersin-bersin bertambah sering - Demam

- Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri

- Ultrasound

39

Page 40: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :

Gejala dan tanda : 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2 kriteria minor

g. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga

tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal. Pemeriksaan radiologik

yang dibuat adalah posisi Waters, PA dan lateral. Posisi Waters terutama untuk

melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior

anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal,

sphenoid dan etmoid.

Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal

adalah pemeriksaan CT-scan.

h. Pemeriksaan Mikrobiologi

Sebaiknya untuk pemeriksaan mikrobiologik diambil sekret dari meatus

medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam – macam bakteri yang

merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti Pneumococcus,

Streptococcus, Stphylococcus dan Haemophylus influeanzae. Selain itu mungkin juga

ditemukan virus atau jamur.

i. Terapi

Medikamentosa berupa antibiotika selama 10 – 14 hari, meskipun gejala

klinik telah hilang. Antibiotika yang diberikan adalah golongan penisilin. Diberikan

juga obat dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus.

Boleh diberikan analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri. Terapi pembedahan pada

sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau

intrakranial; atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.

40

Page 41: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

j. Komplikasi Sinusitis

CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat

infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus

rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.

1. Komplikasi orbita

Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang

tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,

namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat

menimbulkan infeksi isi orbita.

Terdapat lima tahapan :

Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat

infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada

anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis

sering kali merekah pada kelompok umur ini.

Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi

isi orbita namun pus belum terbentuk.

Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang

orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi

orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga

proptosis yang makin bertambah.

Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui

saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu

tromboflebitis septik.

41

Page 42: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :

a. Oftalmoplegia.

b. Kemosis konjungtiva.

c. Gangguan penglihatan yang berat.

Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan

dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.

2. Mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam

sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut

sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis kista ini dapat membesar

dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat

bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat

menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan

diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel

meskipun lebih akut dan lebih berat.

Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua

mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

3. Komplikasi Intra Kranial

42

Page 43: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah

meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang

saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding

posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel

udara ethmoidalis.

Abses dural adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,

sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga

pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu

menimbulkan tekanan intra kranial.

Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau

permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.

Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka

dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi

komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara

bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran

infeksi.

4. Osteomielitis dan abses subperiosteal

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis

adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala

sistemik berupa malaise, demam dan menggigil

DAFTAR PUSTAKA

43

Page 44: Anatomi Hidung Dan Sinus Paranasal

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga

hidung tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3

2. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari

www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html

3. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku

Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI,

Jakarta 2002, 115 – 119.

4. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis

5. Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997

6. Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati

setiawan, ed. 9, 1997, Jakarta: EGC

7. Spanner, Spalteholz, Atlas Anatomi Manusia, Bagian ke II, edisi 16, Hipokrates,

Jakarta,1994.

8. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher edisi 5, FK UI, 2006.

44