anastesi
-
Upload
niken-faradila-kartika-utami -
Category
Documents
-
view
24 -
download
5
description
Transcript of anastesi
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. N
Umur : 20 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Magelang
Diagnosis Pre-Op : Apendisitis Akut
Tindakan Op : Apendektomi
Jenis anestesi : Anestesi Regional Spinal
Tanggal masuk : 22 September 2015
Tanggal Operasi : 23 September 2015
II. PEMERIKSAAN PRE OPERASI
BB : 45 kg IMT : 19.9
TB : 155 cm
Anamnesis Bedah
a. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
4 jam sebelum masuk rumah sakit pasien merasa nyeri pada perut bagian
kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan hilang timbul.
Nyeri berawal ketika pasien sedang berjalan, nyeri berkurang ketika pasien
berbaring. Nyeri dirasakan berawal di daerah ulu hati kemudian nyeri
berpindah ke perut kanan bawah. Pasien merasa sedikit demam setelah nyeri
perut dirasakan. Pasien sempat berobat ke Puskesmas dan diberi obat. Sakit
perut sempat sedikit membaik namun timbul lagi. Pasien belum pernah
mengalami sakit seperti ini sebelumnya. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Mual dirasakan pasien sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit tetapi tidak
1
muntah. Riwayat trauma dan riwayat operasi di daerah perut disangkal oleh
pasien.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal. Riwayat penyakit kencing manis
disangkal. Penyakit Asma disangkal. Penyakit jantung disangkal. Pasien tidak
pernah melakukan operasi apapun sebelumnya.
d. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit kencing
manis, tekanan darah tinggi, jantung dan asma dalam keluarga
e. Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pelajar, pasien memiliki kebiasaan makan makanan
pedas. Kebiasaan merokok di sangkal oleh pasien
f. Riwayat pengobatan
Pasien belum mengobati keluhannya yang dirasakan sekarang
Anamnesis Pre-op
- A : Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-)
- M : Riwayat pengobatan sebelumnya (-)
- P : Riwayat Asma (-), Riwayat DM (-), Riwayat Hipertensi (-),
merokok (-), konsumsi alkohol (-), riwayat trauma dan MRS (-),
riwayat operasi (-)
- L : Makan/minum terakhir pukul 22.00 22 September 2015
- E : Pasien mengeluh mual sejak 1 jam SMRS. Mual disertai nyeri perut
kanan bawah dan demam.
Objektif
a. B1
- RR 20 x/menit
- Teeth : tidak ada kelainan
- Tongue : tidak ada kelainan
- Tonsil : T0-T0
- Tumor : tidak ada
2
- Tiroid : tidak ada kelainan
- Tempura madibua joint : tidak ada kelainan
- Tiromental distance : tidak ada kelainan
- Trakea : tidak ada kelainan
- Tortikolis vertebrae : normal
- Mallampati score : Skor kelas II
- Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : SDV +/+, rhonki /, wheezing /
b. B2
- BP : 110/70 mmHg
- HR : 88 x/menit
- Capillary refill time : ≤ 2 detik
- T = 37.30 C
- Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba,
Perkusi : Batas atas ICS III linea parasternal sinistra, Batas kiri
ICS V linea axila anterior sinistra, Batas kanan ICS IV
linea parastemal dextra
Auskultasi : BJ S1> S2 reguler, murmur (), gallop ()
- Riwayat hipertensi disangkal, penyakit jantung disangkal
- Hasil lab darah :
PARAMETER HASIL NILAI NORMAL
WBC 9.8 4.0 – 12.0
RBC 4.40 4.00 – 6.20
HGB 13.0 11.0 – 17.0
3
HCT 32.6 35.0 – 55.0
MCV 74.3 80.0 – 100.0
MCH 29.5 26.0 – 34.0
MCHC 39.8 31.0 – 35.0
RDW 13.3 10.0 – 16.0
PLT 257 150 – 400
MPV 12.9 7.0 – 11.0
PCT 0.33 0.20 – 0.50
PDW 9.7 10.0
c. B3
- GCS 15 (E4M6V5)
- Pemeriksaan sistem saraf pusat:
o N.Olfaktorius, N.Optikus, N.Akustikus, N.Glosofaringeus, N.Vagus,
N. Asesorius, N. Hipoglosus, N.Trigeminus, N. facialis : tidak
dilakukan
o N. Okularis : Pupil isokor +/ +, reflek cahaya direk +/+, reflek cahaya
indirek +/+
- Pemeriksaan meningeal sign: tidak dilakukan
d. B4
- DC (-)
- BAK (+) normal, tidak ada keluhan
- Nyeri suprapubik (-)
- Nyeri ketok pinggang (-)
e. B5
- Mual (), muntah ()
- BAB (+) lancar, tidak ada keluhan
- Abdomen
Inspeksi : Supel
Auskultasi : Bising usus (+) normal
4
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) pada perut kanan bawah, hepar
dan lien tidak teraba
f. B6
Akral hangat +/+/+/+
Edema ///
Sianosis ///
Deformitas ///
Fraktur -/-/-/-
AssesmentPasien perempuan, usia 20 tahun dengan diagnosis Appendisitis Akut ASA I
PlanningJenis Pembedahan : Apendektomi
Jenis Anestesi : Regional Anestesi – Spinal
Permasalahan
Permasalahan medis Nyeri perut kanan bawah
Permasalahan bedah Perdarahan
Infeksi
Permasalahan anestesi Dehidrasi
Muntah
Aspirasi
III. PERSIAPAN PRE-OPERASI
1. Persiapan pasien :
a. Informed Consent
b. Pasien puasa 6 – 12 jam pre op
c. Infuse RL
5
d. Tanda vital
2. Persiapan alat anestesi :
a. STATIC :
S : ScopeStetoskop, laringoskop
T : Tubes pipa trakea. Dipilih sesuai dengan usia. Usia <5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway)
T : Tape plester
I : Introducer mandrin atau stilet
C : Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia
S : Sucstion
b. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, saturasi, EKG
c. Spinal set
1) Jarum spinal ujung tajam / jarum spinal dengan ujung tumpul beserta silet
2) Kassa, betadine dan alkohol
3) Spuit 5cc
3. Persiapan obat anestesi:
a. Lidocain 2%
b. Bupivacain 0,5%
c. Pethidin 100 mg/ 2cc amp
d. Fentanyl 0,05 mg/ cc amp
e. Propofol 200 mg/ 20 cc amp
f. Ketamin 100 mg/ cc vial
g. Succinilcholin 200 mg/ 10 cc vial
h. Tramus 10 mg/cc amp
i. Efedrin HCl 50 mg/ cc amp
j. Sulfas atropin 0,25 mg/cc amp
k. Ondansentron 4 mg/ 2cc amp
6
l. Aminofilin 24 mg/ cc amp
m. Dexamethason 5 mg/ cc amp
n. Adrenalin 1 mg/ cc amp
o. Neostigmin 0,5 mg/ cc amp
p. Midazolam 5 mg/ 5 cc amp
q. Ketorolac 60 mg/ 2 cc amp
r. Difenhiframin 5 mg/ cc amp
IV. DURANTE OPERASI
a. Anastesi : Lidocain 2 ml, Bupivacain 4 ml
b. Lama operasi : 12.35 – 13.15
c. Lama anestesi : 12.35 – 12.45
d. Obat yang digunakan
1) Pre-Medikasi :
Inj. Midazolam 2mg
Inj. Fentanyl 50 mg
Inj. Ondansetron 4 mg
Inj. Ketorolac 30 mg
2) Induksi Bupivacaine HCL 3 ml
3) Maintenance : O2 3 liter/menit
e. Teknik Anastesi:
1) Jam 12.35 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja
operasi, manset dan monitor dipasang.
2) Jam 12.40 dilakukan anastesi spinal dengan prosedur sebagai berikut:
a) Pasien diposisikan duduk tegak dan kepala ditundukkan
b) Dilakukan identifikasi di inter space L3-L4, desinfeksi lokal dan
lakukan anestesi di daerah tusukan dan diperluas menggunakan
lidocain 2 mL.
7
c) Dilakukan penyuntikan dengan jarum Spinocan G 27 menembus
sampai ruang subarachnoid, ditandai dengan keluarnya LCS,
barbotage positif, dimasuki induksi bupivacain 3 mL
d) Pasien diposisikan tidur telentang kembali dan pasang kanul nasal
oksigen 3L/m
3) Monitoring
Memastikan kondisi pasien stabil dengan monitoring vital sign setiap
lima menit
Pernafasan: O2 nasal canule 3 liter/menit
Waktu Tekanan
Darah
Nadi SpO2 Keterangan
12.35 125/73 85 99 Terpasang infus RL 500 cc 20
tpm
12.40 122/70 75 99 Posisikan pasien untuk
tindakan anestesi
Penyuntikan Lidocain 2
mL
Induksi dengan Bupivacain
3 mL
Pemasangan kanul nasal O2
3 L menit
12.45 129/68 72 99 Pelaksanaan operasi
Injeksi Midazolam 2 mg
(iv)
Injeksi Fentanyl 50 mg (iv)
Injeksi Ondansetron 4 mg
(iv)
12.50 108/50 72 99 Pelaksanaan operasi
12.55 103/58 55 99 Pelaksanaan operasi
8
13.00 105/60 65 99 Pelaksanaan operasi
13.05 112/60 65 99 Penggantian infus RL 500 cc
13.10 110/55 65 99 Pelaksanaan operasi
13.15 100/60 58 99 Pemberian injeksi
Ketorolac 30 mg (iv)
Operasi selesai
Pasien dipindahkan ke
recovery room
4) Jam 13.15 operasi selesai
5) Jam 13.20 pasien dipindahkn ke recovery room dalam keadaan sadar
dengan posisi terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan O2 2
liter/menit, dan tanda vital di monitoring tiap 10 menit
V. POST-OPERASI
1) Keluhan:
Mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri di daerah luka operasi (+)
2) Pemeriksaan fisik:
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|-
B2 : Akral hangat, lembab, kemerahan, HR 88 x/menit, TD 110/80
mmHg, Anemis (-/-), CRT <2 detik, S1S2 reguler, murmur (-), gallop
(-)
B3 : GCS 15, pupil bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya +|+
B4 : Terpasang kateter 16F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin
250 cc.
B5 : Flat, soefl, bising usus (+) lemah, luka operasi bersih.
B6 : Mobilitas (-), mampu menggerakkan ekstremitas atas secara spontan,
ekstremitas bawah belum dapat digerakan akibat pengaruh anastesi
spinal, edema -|-, sianosis -|-,
3). Monitoring (Recovery Room)
9
a. Monitoring Pasca Anestesi
Jam Tensi Nadi RR Keterangan
13.20 100/70 64 22 O2 3 L/menit, Monitoring
tanda vital
13.30 110/70 62 20 Monitoring tanda vital
13.40 110/80 67 22 Monitoring tanda vital
13.50 115/70 68 20 Monitor tanda vital, Pindah
bangsal cempaka
b. Kriteria pemindahan pasien berdasarkan Aldrette Score :
Point Nilai Pada Pasien
Motorik 4 ekstermitas 2
2 ekstremitas 1 1
- 0
Respirasi Spontan+batuk 2 2
Nafas kurang 1
- 0
Sirkulasi Beda <20% 2 2
20-50% 1
>50% 0
Kesadaran Sadar penuh 2 2
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2 2
Pucat 1
Sianosis 0
Total 9
BAB II
10
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Anestesi Regional – Spinal
II. 1. 1. Persiapan Pra-Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas
2%.
b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi
fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24
jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.
II. 1. 2. Premedikasi Anestesi
11
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain :
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
4. Memberikan analgesia, misal pethidin
5. Mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hoisin
II. 1. 3. Anestesi Regional
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari
suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara.Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat
lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis
subkutis lig. Supraspinosum lig.Interspinosum lig.Flavum ruang
epidural durameter ruang subarachnoid.
12
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus).Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Indikasi
Anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian
bawah, perineum dan kaki.Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi
didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya
bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3
jam
Kontra Indikasi Anestesi Spinal
Terdapat kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relatif dalam penggunaan
anestesi spinal
Kontra indikasi absolut :
a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal
b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat sampai syok
13
d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapiantikoagulan
e. Tekanan intrakranial yang meningkat
f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi
Kontra indikasi relatif :
a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis
d. Kelainan psikis
e. Bedah lama
f. Menderita penyakit jantung
g. Hipovolemia
Persiapan anestesi spinal
Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah
disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba
tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus pula dilakukan :
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Peralatan anestesi spinal
1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut dan
EKG
2. Peralatan resusitasi /anestesia umum
3. Jarum spinal
14
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja
operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk
dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah
teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya
L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
15
Jarum pinsil (whitecare)
Jarum tajam (Quincke-
Babcock)
yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis,
subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang subarachnoid.
Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut.
Keuntungan anestesi spinal dibandingkan anestesi epidural :
1. Obat anestesi lokal lebih sedikit
2. Onset lebih singkat
3. Level anestesi lebih pasti
4. Teknik lebih mudah
Tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut:
a. Sadle back anestesi, yang terkena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan
segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X di
sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
16
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah
thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.
Keuntungan dan kerugian anestesi spinal
a. Keuntungan
1) Respirasi spontan
2) Lebih murah
3) Ideal untuk pasien kondisi fit
4) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien
dengan perut penuh
5) Tidak memerlukan intubasi
6) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal
7) Fungsi usus cepat kembali
8) Tidak ada bahaya ledakan
9) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan
b. Kerugian
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem
2) Menyebabkan post operatif headache.
Komplikasi tindakan anestesi spinal
a. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T-
2.
17
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Trauma pembuluh darah
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
II. 1. 3. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan
isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml/kg BB/jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah
10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
a. Ringan = 4 ml / kgBB/jam
b. Sedang = 6 ml / kgBB/jam
c. Berat = 8 ml / kgBB/jam
18
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %
EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:
a. Air : 30 – 40 ml/kg BB/hari
b. Na : 1 – 2 mEq/kgBB/hari
c. K : 1 mEq/kgBB/hari.
Kebutuhan kalori rata – rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh faktor
trauma atau stress.
II. 1. 4. Pemullihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca operasi atau anestesi.Ruang pulih sadar menjadi batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk
regional anestesi digunakan skor Bromage.
II. 2. Apendisitis
II. 2. 1. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.Apendiks disebut juga umbai
cacing.
19
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan
sempit.Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di
sekum.Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari.
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan.Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
II. 2. 2. Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks.Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras
(fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam
tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan.Namun,
diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan
hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering
terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa
apendiks oleh parasit E. histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit
apendisitis.Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian
konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.
II. 2. 3. Patogenesis
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke
seluruh lapisan dinding apendiks.Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan
mukus (lendir) setiap harinya.Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus
dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat.Makin lama mukus makin
bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam
lumen.Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut
20
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan
timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan
mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan
bawah.Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis ganggrenosa.Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini
pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus
halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan
istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis
akansembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih
panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih
kurang, memudahkan terjadinya perforasi.Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya.Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah.Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
21
II. 2. 4. Gambaran Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih
ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan
jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.Namun terkadang, tidak
dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar.Tindakan ini dianggap berbahaya karena
bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan
demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang.Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas
dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
a. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-
ulang (diare).
b. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
22
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi.Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.Seringkali
anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian
akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi.Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses
ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.
Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis
berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa
yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
II. 2. 5. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi
23
pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri, dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign), dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan
ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis.Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis
pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di
m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan
ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
24
b. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.Kesalahan diagnosis
lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan
yang mirip apendisitis.Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan
angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi
penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam.Foto barium kurang dapat
dipercaya.Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada
kasus yang meragukan.
II. 2. 6. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa massa yang
terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Massa apendiks terjadi
bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh
omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa apendikuler yang pendinginannya
belum sempurna dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuit oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh sebab itu massa
periapendikuler yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah hal
tersebut. Pada anak selalu dipersiapkan untuk operasi dalam 2-3 hari. Pasien dewasa
dengan massa periapendikuler yang mengalami pendinginan sempurna, dianjurkan
untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotika sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa,
serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang,
dan leukosit normal penderita boleh pulang dan apendektomi dapat dikerjakan pada
25
2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan massa serta
bertmbahnya leukosit. Riwayat klasik apendisitis akut diikuti dengan adanya massa
dan nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam mengarahkan ke diagnosis massa
atau abses periapendikuler. Kadang sulit dibedakan dengan karsinoma sekum,
penyakit Crohn, dan amuba.Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang
khas.
II. 2. 7. Tatalaksana
Apendektomi direncanakan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan.Sebelumnya pasien diberikan antibiotika kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob.Baru setelah keadaan tenang, sekitar 6-8 minggu dilakukan
apendektomi. Pada anak kecil dan wanita hamil dan penderita usia lanjut jika secara
konservatif tidak tidaak membaik atau berkembang menjadi abses dapat
diperyimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
II. 2. 8. Diagnosis
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritoniitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjaddi
tegang dan kembung, nyeri tekan dan defaaans muskuler di seluruh perut mungkin
dengan punctum maksimum diregio iliaka kanan, peritalsis usus menurun sampai
menghilang karena ileus paralitik. Abses peritoneum biasa terjadi bilaman pus yang
menyebar bisa dilokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan
subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus
dicurigai abses. USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah.Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal atau efusi pleura.
USG dan Foto Rontgen dada akan membantu membedakannya.
26
II. 2. 9. Tatalaksana
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu
dilakukan sebelum pembedahan.Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang
panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun
pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong
nanah.Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi
secara laparaskopi apendektomi.Rongga abdomen dapat dibilas dengan
mudah.Hasilnya dilaporkan tidak berbeda dengan laparatomi terbuka, tetapi
keuntungannya lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik.Karena ada
kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan drainage
subfacia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak
ada infeksi. Pada anak tidak usah dipasang drainage intraperitoneal karena justru akan
menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.
27
BAB III
PEMBAHASAN
III. 1. Permasalahan Dari Segi Medik
Penegakan diagnosis bedah
Pasien Nn. N 20 tahun memeliki keluhan nyeri pada regio abdomen tengah
kemudian nyeri menjalar ke regio abdomen bagian kanan bawah. Rasa sakit yang
dirasakan hilang timbul. Pada pasien ini dalam pemeriksaan fisik didapatkan nyeri
tekan pada region abdomen kanan bawah dan nyeri lepas. Ketika pasien menekuk
kaki kanan kearah dada perut kanan bagian bawah terasa sakit. Berdasarkan
anamnesa dengan pasien, dapat diambil kesimpuan bahwa pasien didiagnosa
apendisitis akut.
III. 2. Permasalahan Dari Segi Anestesi
Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah:
a. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan anestesi
dan operasi.
d. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan
umum penderita.
Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada penderita perlu
dilakukan :
a. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.
b. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya
muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.
28
1) Premedikasi
a. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah,
mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi
digunakan Petidin 50 mg IV.
b. Pada pasien ini diberikan midazolam 2 mg (dosis 0,07-0,2
mg/kgBB) berfungsi untuk hipnotik sedative, dan amnesia
retrograde.
2) Tahap anestesi spinal
a. Pasien duduk pada meja operasi dengan posisi kaki lurus, tangan
pada kaki, kepala menunduk
b. Indentifikasi inter space L3 – L4
c. Desinfeksi LA dengan menggunakan betadine
d. Dilakukan penyuntikan Spinocan G 27 S / RSA
e. LCS (+)
f. Barbotage (+)
g. Bupivacain 4 ml
3) Maintenance
O2 nasal canul 3 L/menit
Terapi Cairan
Kebutuhan cairan yang diperlukan selama operasi dan karena trauma operasi
selama 1 jam, yang dihitung berdasarkan berat badan (BB) penderita:
BB = 45
a. Maintenance = 4 x 10 kg = 40 cc
= 2 x 10 kg = 20 cc
= 1 x 25 kg = 25 cc
= total 85 cc/ jam
b. Stress operasi = 6 cc/kgbb/ jam
= 6 x 45 = 270 cc/jam
29
c. Perdarahan yang terjadi = 30 cc
EBV = 70cc/KgBB= 70 x 45 = 2925 cc
20% x 2925 = 585 cc
Perdarahan pada pasien ini hanya 30cc/ jam, sehingga tidak perlu
ditransfusi. Cukup diberi cairan kristaloid.
d. Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam:
Perdarahan + maintenance + stress operasi
30 + 85 + 270 = 385 cc
e. Cairan yang sudah diberikan saat operasi 500 cc
Balance cairan = 500 – 385 = + 115 cc
Dalam manual postoperative management-WHO, 2000 yang disadur dalam
steinergraphics, 2015, penggantian kehilangan cairan tubuh selama operasi dengan
pemasukan cairan berlebih menyebabkan balance cairan positif yang biasanya sudah
diperkirakan. Hal ini untuk mengantisipasi kehilangan cairan lebih lanjut, misalnya
dari drainase nasogastrik, drainase lain, dan perdarahan. Pertimbangan pemberian
cairan sendiri berdasarkan tiga faktor, yaitu:
a. Kebutuhan untuk mengoreksi deficit cairan pada preoperative state.
Tindakan ini idealnya dilakukan secepat mungkin dalam bentuk bolus
cairan dan dibawah pengawasan.
b. maintenance schedule
c. respon pasien, seperti perlambatan dari takikardia, urine output,
peningkatan tekanan darah, peningkatan JVP, kembalinya turgor kulit ke
normal, dan kembalinya mata cekung menjadi normal.
Maksud dari balance cairan yang positif dimana intake lebih banyak daripada
output, terkesan pada pasien mungkin sedang terakumulasi cairan. Namun faktanya
balance cairan yang positif tidak benar-benar positif karena ada beberapa output yang
tidak diperhitungkan dengan akurat (misal feses, uap respirasi dan keringat).
30
Secara umum, bila pada pasien kritis misal septik, kasus bedah, menunjukkan
balance cairan positif yang persistent setiap harinya, hal ini menggambarkan
perjalanan penyakitnya yang tidak kunjung membaik.
Pada pasien ini balance cairan +115cc dirasa masih aman dengan
mempertimbangkan kondisi pasien pada preoperative serta respon klinis pasien saat
operasi. Dan seharusnya melakukan pengawasan pada hari-hari berikutnya selama
rawat inap.
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi
dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah, nadi,
suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit
III. Permasalahan Dari Segi ASA PS
Pada pasien termasuk ASA PS I sesuai karena pasien terdapat nyeri perut
kanan bawah dan tidak ditemukan kelainan sistemik lainnya sehingga pasien
dikategorikan ASA PS I
31
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Kesimpulan
Nn.N 20 tahun dengan diagnosis Apendisitis Akut. Dari anamnesis didapatkan
keluhan nyeri di perut kanan bawah yang pada awalnya keluhan tersebut dirasakan
pada ulu hati yang kemudian berpindah ke perut bagian kanan bawah. Lokasi operasi
yang dilakukan adalah di regio inguinalis dextra.
Anestesi menggunakan anaestesi regional dengan teknik anestesi spinal, Pada
pasien ini dilakukan operasi pada abdomen bagian bawah, dimana hal tersebut
merupakan indikasi anestesi spinal. Tindakan operasi dan anestesi berjalan lancar
tanpa penyulit
IV.2. Saran
1. Persiapan preoperative pada pasien perlu dilakukan lebih baik lagi, agar
proses anestesi dan pembedahan dapat berjalan dengan baik
2. Memperhatikan kebutuhan cairan pasien pada saat operasi berlangsung.
3. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat
keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.
32