anastesi

47
BAB I LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Nn. N Umur : 20 th Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Magelang Diagnosis Pre-Op : Apendisitis Akut Tindakan Op : Apendektomi Jenis anestesi : Anestesi Regional Spinal Tanggal masuk : 22 September 2015 Tanggal Operasi : 23 September 2015 II. PEMERIKSAAN PRE OPERASI BB : 45 kg IMT : 19.9 TB : 155 cm Anamnesis Bedah a. Keluhan Utama Nyeri perut kanan bawah sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit b. Riwayat Penyakit Sekarang 4 jam sebelum masuk rumah sakit pasien merasa nyeri pada perut bagian kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan hilang timbul. Nyeri 1

description

anastesi apendisitis

Transcript of anastesi

Page 1: anastesi

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. N

Umur : 20 th

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Magelang

Diagnosis Pre-Op : Apendisitis Akut

Tindakan Op : Apendektomi

Jenis anestesi : Anestesi Regional Spinal

Tanggal masuk : 22 September 2015

Tanggal Operasi : 23 September 2015

II. PEMERIKSAAN PRE OPERASI

BB : 45 kg IMT : 19.9

TB : 155 cm

Anamnesis Bedah

a. Keluhan Utama

Nyeri perut kanan bawah sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit

b. Riwayat Penyakit Sekarang

4 jam sebelum masuk rumah sakit pasien merasa nyeri pada perut bagian

kanan bawah. Nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan hilang timbul.

Nyeri berawal ketika pasien sedang berjalan, nyeri berkurang ketika pasien

berbaring. Nyeri dirasakan berawal di daerah ulu hati kemudian nyeri

berpindah ke perut kanan bawah. Pasien merasa sedikit demam setelah nyeri

perut dirasakan. Pasien sempat berobat ke Puskesmas dan diberi obat. Sakit

perut sempat sedikit membaik namun timbul lagi. Pasien belum pernah

mengalami sakit seperti ini sebelumnya. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Mual dirasakan pasien sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit tetapi tidak

1

Page 2: anastesi

muntah. Riwayat trauma dan riwayat operasi di daerah perut disangkal oleh

pasien.

c. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit darah tinggi disangkal. Riwayat penyakit kencing manis

disangkal. Penyakit Asma disangkal. Penyakit jantung disangkal. Pasien tidak

pernah melakukan operasi apapun sebelumnya.

d. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit kencing

manis, tekanan darah tinggi, jantung dan asma dalam keluarga

e. Riwayat Sosial

Pasien merupakan seorang pelajar, pasien memiliki kebiasaan makan makanan

pedas. Kebiasaan merokok di sangkal oleh pasien

f. Riwayat pengobatan

Pasien belum mengobati keluhannya yang dirasakan sekarang

Anamnesis Pre-op

- A : Alergi Makanan (-), Alergi Obat (-)

- M : Riwayat pengobatan sebelumnya (-)

- P : Riwayat Asma (-), Riwayat DM (-), Riwayat Hipertensi (-),

merokok (-), konsumsi alkohol (-), riwayat trauma dan MRS (-),

riwayat operasi (-)

- L : Makan/minum terakhir pukul 22.00 22 September 2015

- E : Pasien mengeluh mual sejak 1 jam SMRS. Mual disertai nyeri perut

kanan bawah dan demam.

Objektif

a. B1

- RR 20 x/menit

- Teeth : tidak ada kelainan

- Tongue : tidak ada kelainan

- Tonsil : T0-T0

- Tumor : tidak ada

2

Page 3: anastesi

- Tiroid : tidak ada kelainan

- Tempura madibua joint : tidak ada kelainan

- Tiromental distance : tidak ada kelainan

- Trakea : tidak ada kelainan

- Tortikolis vertebrae : normal

- Mallampati score : Skor kelas II

- Pulmo

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris

Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : SDV +/+, rhonki /, wheezing /

b. B2

- BP : 110/70 mmHg

- HR : 88 x/menit

- Capillary refill time : ≤ 2 detik

- T = 37.30 C

- Cor

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba,

Perkusi : Batas atas ICS III linea parasternal sinistra, Batas kiri

ICS V linea axila anterior sinistra, Batas kanan ICS IV

linea parastemal dextra

Auskultasi : BJ S1> S2 reguler, murmur (), gallop ()

- Riwayat hipertensi disangkal, penyakit jantung disangkal

- Hasil lab darah :

PARAMETER HASIL NILAI NORMAL

WBC 9.8 4.0 – 12.0

RBC 4.40 4.00 – 6.20

HGB 13.0 11.0 – 17.0

3

Page 4: anastesi

HCT 32.6 35.0 – 55.0

MCV 74.3 80.0 – 100.0

MCH 29.5 26.0 – 34.0

MCHC 39.8 31.0 – 35.0

RDW 13.3 10.0 – 16.0

PLT 257 150 – 400

MPV 12.9 7.0 – 11.0

PCT 0.33 0.20 – 0.50

PDW 9.7 10.0

c. B3

- GCS 15 (E4M6V5)

- Pemeriksaan sistem saraf pusat:

o N.Olfaktorius, N.Optikus, N.Akustikus, N.Glosofaringeus, N.Vagus,

N. Asesorius, N. Hipoglosus, N.Trigeminus, N. facialis : tidak

dilakukan

o N. Okularis : Pupil isokor +/ +, reflek cahaya direk +/+, reflek cahaya

indirek +/+

- Pemeriksaan meningeal sign: tidak dilakukan

d. B4

- DC (-)

- BAK (+) normal, tidak ada keluhan

- Nyeri suprapubik (-)

- Nyeri ketok pinggang (-)

e. B5

- Mual (), muntah ()

- BAB (+) lancar, tidak ada keluhan

- Abdomen

Inspeksi : Supel

Auskultasi : Bising usus (+) normal

4

Page 5: anastesi

Perkusi : Timpani

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) pada perut kanan bawah, hepar

dan lien tidak teraba

f. B6

Akral hangat +/+/+/+

Edema ///

Sianosis ///

Deformitas ///

Fraktur -/-/-/-

AssesmentPasien perempuan, usia 20 tahun dengan diagnosis Appendisitis Akut ASA I

PlanningJenis Pembedahan : Apendektomi

Jenis Anestesi : Regional Anestesi – Spinal

Permasalahan

Permasalahan medis Nyeri perut kanan bawah

Permasalahan bedah Perdarahan

Infeksi

Permasalahan anestesi Dehidrasi

Muntah

Aspirasi

III. PERSIAPAN PRE-OPERASI

1. Persiapan pasien :

a. Informed Consent

b. Pasien puasa 6 – 12 jam pre op

c. Infuse RL

5

Page 6: anastesi

d. Tanda vital

2. Persiapan alat anestesi :

a. STATIC :

S : ScopeStetoskop, laringoskop

T : Tubes pipa trakea. Dipilih sesuai dengan usia. Usia <5 tahun tanpa

balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway) atau pipa

hidung-faring (naso-tracheal airway)

T : Tape plester

I : Introducer mandrin atau stilet

C : Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia

S : Sucstion

b. Peralatan monitor

Tekanan darah, nadi, saturasi, EKG

c. Spinal set

1) Jarum spinal ujung tajam / jarum spinal dengan ujung tumpul beserta silet

2) Kassa, betadine dan alkohol

3) Spuit 5cc

3. Persiapan obat anestesi:

a. Lidocain 2%

b. Bupivacain 0,5%

c. Pethidin 100 mg/ 2cc amp

d. Fentanyl 0,05 mg/ cc amp

e. Propofol 200 mg/ 20 cc amp

f. Ketamin 100 mg/ cc vial

g. Succinilcholin 200 mg/ 10 cc vial

h. Tramus 10 mg/cc amp

i. Efedrin HCl 50 mg/ cc amp

j. Sulfas atropin 0,25 mg/cc amp

k. Ondansentron 4 mg/ 2cc amp

6

Page 7: anastesi

l. Aminofilin 24 mg/ cc amp

m. Dexamethason 5 mg/ cc amp

n. Adrenalin 1 mg/ cc amp

o. Neostigmin 0,5 mg/ cc amp

p. Midazolam 5 mg/ 5 cc amp

q. Ketorolac 60 mg/ 2 cc amp

r. Difenhiframin 5 mg/ cc amp

IV. DURANTE OPERASI

a. Anastesi : Lidocain 2 ml, Bupivacain 4 ml

b. Lama operasi : 12.35 – 13.15

c. Lama anestesi : 12.35 – 12.45

d. Obat yang digunakan

1) Pre-Medikasi :

Inj. Midazolam 2mg

Inj. Fentanyl 50 mg

Inj. Ondansetron 4 mg

Inj. Ketorolac 30 mg

2) Induksi Bupivacaine HCL 3 ml

3) Maintenance : O2 3 liter/menit

e. Teknik Anastesi:

1) Jam 12.35 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja

operasi, manset dan monitor dipasang.

2) Jam 12.40 dilakukan anastesi spinal dengan prosedur sebagai berikut:

a) Pasien diposisikan duduk tegak dan kepala ditundukkan

b) Dilakukan identifikasi di inter space L3-L4, desinfeksi lokal dan

lakukan anestesi di daerah tusukan dan diperluas menggunakan

lidocain 2 mL.

7

Page 8: anastesi

c) Dilakukan penyuntikan dengan jarum Spinocan G 27 menembus

sampai ruang subarachnoid, ditandai dengan keluarnya LCS,

barbotage positif, dimasuki induksi bupivacain 3 mL

d) Pasien diposisikan tidur telentang kembali dan pasang kanul nasal

oksigen 3L/m

3) Monitoring

Memastikan kondisi pasien stabil dengan monitoring vital sign setiap

lima menit

Pernafasan: O2 nasal canule 3 liter/menit

Waktu Tekanan

Darah

Nadi SpO2 Keterangan

12.35 125/73 85 99 Terpasang infus RL 500 cc 20

tpm

12.40 122/70 75 99 Posisikan pasien untuk

tindakan anestesi

Penyuntikan Lidocain 2

mL

Induksi dengan Bupivacain

3 mL

Pemasangan kanul nasal O2

3 L menit

12.45 129/68 72 99 Pelaksanaan operasi

Injeksi Midazolam 2 mg

(iv)

Injeksi Fentanyl 50 mg (iv)

Injeksi Ondansetron 4 mg

(iv)

12.50 108/50 72 99 Pelaksanaan operasi

12.55 103/58 55 99 Pelaksanaan operasi

8

Page 9: anastesi

13.00 105/60 65 99 Pelaksanaan operasi

13.05 112/60 65 99 Penggantian infus RL 500 cc

13.10 110/55 65 99 Pelaksanaan operasi

13.15 100/60 58 99 Pemberian injeksi

Ketorolac 30 mg (iv)

Operasi selesai

Pasien dipindahkan ke

recovery room

4) Jam 13.15 operasi selesai

5) Jam 13.20 pasien dipindahkn ke recovery room dalam keadaan sadar

dengan posisi terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan O2 2

liter/menit, dan tanda vital di monitoring tiap 10 menit

V. POST-OPERASI

1) Keluhan:

Mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri di daerah luka operasi (+)

2) Pemeriksaan fisik:

B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|-

B2 : Akral hangat, lembab, kemerahan, HR 88 x/menit, TD 110/80

mmHg, Anemis (-/-), CRT <2 detik, S1S2 reguler, murmur (-), gallop

(-)

B3 : GCS 15, pupil bulat isokor Ø 3mm, refleks cahaya +|+

B4 : Terpasang kateter 16F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin

250 cc.

B5 : Flat, soefl, bising usus (+) lemah, luka operasi bersih.

B6 : Mobilitas (-), mampu menggerakkan ekstremitas atas secara spontan,

ekstremitas bawah belum dapat digerakan akibat pengaruh anastesi

spinal, edema -|-, sianosis -|-,

3). Monitoring (Recovery Room)

9

Page 10: anastesi

a. Monitoring Pasca Anestesi

Jam Tensi Nadi RR Keterangan

13.20 100/70 64 22 O2 3 L/menit, Monitoring

tanda vital

13.30 110/70 62 20 Monitoring tanda vital

13.40 110/80 67 22 Monitoring tanda vital

13.50 115/70 68 20 Monitor tanda vital, Pindah

bangsal cempaka

b. Kriteria pemindahan pasien berdasarkan Aldrette Score :

Point Nilai Pada Pasien

Motorik 4 ekstermitas 2

2 ekstremitas 1 1

- 0

Respirasi Spontan+batuk 2 2

Nafas kurang 1

- 0

Sirkulasi Beda <20% 2 2

20-50% 1

>50% 0

Kesadaran Sadar penuh 2 2

Ketika dipanggil 1

- 0

Kulit Kemerahan 2 2

Pucat 1

Sianosis 0

Total 9

BAB II

10

Page 11: anastesi

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Anestesi Regional – Spinal

II. 1. 1. Persiapan Pra-Anestesi

Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan

pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan

tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:

1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai

dengan fisik dan kehendak pasien.

3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology):

a. ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa

kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas

2%.

b. ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan

sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses

patofisiologis. Angka mortalitas 16%.

c. ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas

harian terbatas. Angka mortalitas 38%.

d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam

jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi

fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

e. ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi

hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24

jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.

II. 1. 2. Premedikasi Anestesi

11

Page 12: anastesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.Adapun tujuan

dari premedikasi antara lain :

1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

4. Memberikan analgesia, misal pethidin

5. Mencegah muntah, misal : droperidol, metoklopropamid

6. Memperlancar induksi, misal : pethidin

7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hoisin

II. 1. 3. Anestesi Regional

Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat

analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari

suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara.Fungsi motorik dapat terpengaruh

sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.

Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita

menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara

vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat

lebih cenderung berkumpul di kaudal).

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis

subkutis lig. Supraspinosum lig.Interspinosum lig.Flavum ruang

epidural durameter ruang subarachnoid.

12

Page 13: anastesi

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan

serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus

venosus).Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.

Indikasi

Anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian

bawah, perineum dan kaki.Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi

didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya

bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3

jam

Kontra Indikasi Anestesi Spinal

Terdapat kontra indikasi absolut dan kontra indikasi relatif dalam penggunaan

anestesi spinal

Kontra indikasi absolut :

a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal

b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan

c. Hipovolemia berat sampai syok

13

Page 14: anastesi

d. Menderita koagulopati dan sedang mendapat terapiantikoagulan

e. Tekanan intrakranial yang meningkat

f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim

g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi

Kontra indikasi relatif :

a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )

b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan

c. Kelainan neurologis

d. Kelainan psikis

e. Bedah lama

f. Menderita penyakit jantung

g. Hipovolemia

Persiapan anestesi spinal

Persiapan anestesi spinal seperti persiapan pada anestesi umum. Daerah

disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada

kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba

tonjolan prosesus spinosus. Selain itu harus pula dilakukan :

1. Informed consent

2. Pemeriksaan fisik

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Peralatan anestesi spinal

1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut dan

EKG

2. Peralatan resusitasi /anestesia umum

3. Jarum spinal

14

Page 15: anastesi

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja

operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk

dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah

teraba.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan

tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya

L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko

trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.

5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar

22G, 23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum

kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),

15

Jarum pinsil (whitecare)

Jarum tajam (Quincke-

Babcock)

Page 16: anastesi

yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis,

subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,

ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang subarachnoid.

Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes

keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang

subarachnoid tersebut.

Keuntungan anestesi spinal dibandingkan anestesi epidural :

1. Obat anestesi lokal lebih sedikit

2. Onset lebih singkat

3. Level anestesi lebih pasti

4. Teknik lebih mudah

Tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut:

a. Sadle back anestesi, yang terkena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan

segmen sakrum.

b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X di

sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.

16

Page 17: anastesi

c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks

bawah, lumbal dan sakral.

d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah

thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.

e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.

Keuntungan dan kerugian anestesi spinal

a. Keuntungan

1) Respirasi spontan

2) Lebih murah

3) Ideal untuk pasien kondisi fit

4) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien

dengan perut penuh

5) Tidak memerlukan intubasi

6) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal

7) Fungsi usus cepat kembali

8) Tidak ada bahaya ledakan

9) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan

b. Kerugian

1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general sistem

2) Menyebabkan post operatif headache.

Komplikasi tindakan anestesi spinal

a. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan

pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.

b. Bradikardi

Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T-

2.

17

Page 18: anastesi

c. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.

d. Trauma pembuluh darah

e. Trauma saraf

f. Mual-muntah

g. Gangguan pendengaran

h. Blok spinal tinggi atau spinal total

II. 1. 3. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah

dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :

1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama

operasi.

2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang

diberikan.

Pemberian cairan operasi dibagi :

1. Pra operasi

Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan

isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,

perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam

adalah 2 ml/kg BB/jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah

10-15 %.

2. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada

dewasa untuk operasi :

a. Ringan = 4 ml / kgBB/jam

b. Sedang = 6 ml / kgBB/jam

c. Berat = 8 ml / kgBB/jam

18

Page 19: anastesi

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 %

EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah

yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan

pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.

3. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama

operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:

a. Air : 30 – 40 ml/kg BB/hari

b. Na : 1 – 2 mEq/kgBB/hari

c. K : 1 mEq/kgBB/hari.

Kebutuhan kalori rata – rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh faktor

trauma atau stress.

II. 1. 4. Pemullihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi

yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk

observasi pasien pasca operasi atau anestesi.Ruang pulih sadar menjadi batu loncatan

sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di

ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari

komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu

dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk

regional anestesi digunakan skor Bromage.

II. 2. Apendisitis

II. 2. 1. Pengertian

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering.Apendiks disebut juga umbai

cacing.

19

Page 20: anastesi

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan

sempit.Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di

sekum.Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari.

Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun

perempuan.Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.

II. 2. 2. Etiologi

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.Berbagai hal berperan

sebagai faktor pencetusnya diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen

apendiks.Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras

(fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam

tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan.Namun,

diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan

hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling sering

terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa

apendiks oleh parasit E. histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi

makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit

apendisitis.Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian

konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat

timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman

flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.

II. 2. 3. Patogenesis

Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke

seluruh lapisan dinding apendiks.Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan

mukus (lendir) setiap harinya.Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus

dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat.Makin lama mukus makin

bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam

lumen.Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut

20

Page 21: anastesi

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat

tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan

timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi

apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar

umbilikus.

Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat.

Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri

akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan

mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan

bawah.Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding

apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan

apendisitis ganggrenosa.Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini

pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses

peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus

halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan

istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses

yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis

akansembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan

mengurai diri secara lambat.

Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih

panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih

kurang, memudahkan terjadinya perforasi.Sedangkan pada orang tua, perforasi

mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi

akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan

dengan jaringan sekitarnya.Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan

keluhan pada perut kanan bawah.Pada suatu saat organ ini dapat mengalami

peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

21

Page 22: anastesi

II. 2. 4. Gambaran Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri

samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.

Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada

umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih

ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan

jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat.Namun terkadang, tidak

dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga

penderita merasa memerlukan obat pencahar.Tindakan ini dianggap berbahaya karena

bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan

demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat

dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika

meradang.Berikut gejala yang timbul tersebut.

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan

tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan

atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas

dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi

m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

a. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul

gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis

meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-

ulang (diare).

b. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

22

Page 23: anastesi

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan

diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga

biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi.Berikut beberapa keadaan dimana

gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

1. Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.Seringkali

anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian

akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena

ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah

perforasi.Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah

terjadi perforasi.

2. Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh

penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

3. Pada wanita

Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang

gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses

ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.

Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis

berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa

yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan

lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan

tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

II. 2. 5. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga

pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

b. Palpasi

23

Page 24: anastesi

pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri, dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah

akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing

(Rovsing Sign), dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan

terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg

Sign).

c. Pemeriksaan colok dubur

pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak

apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan

ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak

didaerah pelvis.Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis

pelvika.

d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator

pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang

meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat

hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,

kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di

m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi

panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan

m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan

ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis

pelvika.

2. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif

(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit

antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan

pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

24

Page 25: anastesi

b. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada

pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang

terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan

ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari

apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis

apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.Kesalahan diagnosis

lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.Hal ini dapat disadari

mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan

yang mirip apendisitis.Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,

menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan

angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi

penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam.Foto barium kurang dapat

dipercaya.Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada

kasus yang meragukan.

II. 2. 6. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas

maupun perforasi yang telah mengalami pendinginan sehingga berupa massa yang

terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Massa apendiks terjadi

bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh

omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa apendikuler yang pendinginannya

belum sempurna dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika

perforasi diikuit oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh sebab itu massa

periapendikuler yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah hal

tersebut. Pada anak selalu dipersiapkan untuk operasi dalam 2-3 hari. Pasien dewasa

dengan massa periapendikuler yang mengalami pendinginan sempurna, dianjurkan

untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotika sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa,

serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang,

dan leukosit normal penderita boleh pulang dan apendektomi dapat dikerjakan pada

25

Page 26: anastesi

2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan. Bila terjadi

perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan

frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan massa serta

bertmbahnya leukosit. Riwayat klasik apendisitis akut diikuti dengan adanya massa

dan nyeri di region iliaka kanan dan disertai demam mengarahkan ke diagnosis massa

atau abses periapendikuler. Kadang sulit dibedakan dengan karsinoma sekum,

penyakit Crohn, dan amuba.Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang

khas.

II. 2. 7. Tatalaksana

Apendektomi direncanakan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah

ditenangkan.Sebelumnya pasien diberikan antibiotika kombinasi yang aktif terhadap

kuman aerob dan anaerob.Baru setelah keadaan tenang, sekitar 6-8 minggu dilakukan

apendektomi. Pada anak kecil dan wanita hamil dan penderita usia lanjut jika secara

konservatif tidak tidaak membaik atau berkembang menjadi abses dapat

diperyimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

II. 2. 8. Diagnosis

Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritoniitis purulenta yang ditandai

dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjaddi

tegang dan kembung, nyeri tekan dan defaaans muskuler di seluruh perut mungkin

dengan punctum maksimum diregio iliaka kanan, peritalsis usus menurun sampai

menghilang karena ileus paralitik. Abses peritoneum biasa terjadi bilaman pus yang

menyebar bisa dilokalisasi di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan

subdiafragma. Adanya massa intraabdomen yang nyeri disertai demam harus

dicurigai abses. USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah.Abses

subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal atau efusi pleura.

USG dan Foto Rontgen dada akan membantu membedakannya.

26

Page 27: anastesi

II. 2. 9. Tatalaksana

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman

gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu

dilakukan sebelum pembedahan.Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang

panjang, supaya dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun

pengeluaran fibrin yang adekuat secara mudah, begitu pula pembersihan kantong

nanah.Akhir-akhir ini mulai banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi

secara laparaskopi apendektomi.Rongga abdomen dapat dibilas dengan

mudah.Hasilnya dilaporkan tidak berbeda dengan laparatomi terbuka, tetapi

keuntungannya lama rawat lebih pendek dan secara kosmetik lebih baik.Karena ada

kemungkinan terjadi infeksi luka operasi, perlu dianjurkan pemasangan drainage

subfacia, kulit dibiarkan terbuka untuk kemudian dijahit bila sudah dipastikan tidak

ada infeksi. Pada anak tidak usah dipasang drainage intraperitoneal karena justru akan

menyebabkan komplikasi infeksi lebih sering.

27

Page 28: anastesi

BAB III

PEMBAHASAN

III. 1. Permasalahan Dari Segi Medik

Penegakan diagnosis bedah

Pasien Nn. N 20 tahun memeliki keluhan nyeri pada regio abdomen tengah

kemudian nyeri menjalar ke regio abdomen bagian kanan bawah. Rasa sakit yang

dirasakan hilang timbul. Pada pasien ini dalam pemeriksaan fisik didapatkan nyeri

tekan pada region abdomen kanan bawah dan nyeri lepas. Ketika pasien menekuk

kaki kanan kearah dada perut kanan bagian bawah terasa sakit. Berdasarkan

anamnesa dengan pasien, dapat diambil kesimpuan bahwa pasien didiagnosa

apendisitis akut.

III. 2. Permasalahan Dari Segi Anestesi

Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam.

b. Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahan yang ada adalah:

a. Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum dilakukan anestesi

dan operasi.

d. Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan

umum penderita.

Dalam memperbaiki keadaan umum dan mempersiapkan operasi pada penderita perlu

dilakukan :

a. Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS.

b. Puasa paling tidak 6 jam untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya

muntah dan aspirasi dapat dihindarkan.

28

Page 29: anastesi

1) Premedikasi

a. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah,

mengurangi kebutuhan obat anestesi dan memudahkan induksi

digunakan Petidin 50 mg IV.

b. Pada pasien ini diberikan midazolam 2 mg (dosis 0,07-0,2

mg/kgBB) berfungsi untuk hipnotik sedative, dan amnesia

retrograde.

2) Tahap anestesi spinal

a. Pasien duduk pada meja operasi dengan posisi kaki lurus, tangan

pada kaki, kepala menunduk

b. Indentifikasi inter space L3 – L4

c. Desinfeksi LA dengan menggunakan betadine

d. Dilakukan penyuntikan Spinocan G 27 S / RSA

e. LCS (+)

f. Barbotage (+)

g. Bupivacain 4 ml

3) Maintenance

O2 nasal canul 3 L/menit

Terapi Cairan

Kebutuhan cairan yang diperlukan selama operasi dan karena trauma operasi

selama 1 jam, yang dihitung berdasarkan berat badan (BB) penderita:

BB = 45

a. Maintenance = 4 x 10 kg = 40 cc

= 2 x 10 kg = 20 cc

= 1 x 25 kg = 25 cc

= total 85 cc/ jam

b. Stress operasi = 6 cc/kgbb/ jam

= 6 x 45 = 270 cc/jam

29

Page 30: anastesi

c. Perdarahan yang terjadi = 30 cc

EBV = 70cc/KgBB= 70 x 45 = 2925 cc

20% x 2925 = 585 cc

Perdarahan pada pasien ini hanya 30cc/ jam, sehingga tidak perlu

ditransfusi. Cukup diberi cairan kristaloid.

d. Kebutuhan cairan selama operasi 1 jam:

Perdarahan + maintenance + stress operasi

30 + 85 + 270 = 385 cc

e. Cairan yang sudah diberikan saat operasi 500 cc

Balance cairan = 500 – 385 = + 115 cc

Dalam manual postoperative management-WHO, 2000 yang disadur dalam

steinergraphics, 2015, penggantian kehilangan cairan tubuh selama operasi dengan

pemasukan cairan berlebih menyebabkan balance cairan positif yang biasanya sudah

diperkirakan. Hal ini untuk mengantisipasi kehilangan cairan lebih lanjut, misalnya

dari drainase nasogastrik, drainase lain, dan perdarahan. Pertimbangan pemberian

cairan sendiri berdasarkan tiga faktor, yaitu:

a. Kebutuhan untuk mengoreksi deficit cairan pada preoperative state.

Tindakan ini idealnya dilakukan secepat mungkin dalam bentuk bolus

cairan dan dibawah pengawasan.

b. maintenance schedule

c. respon pasien, seperti perlambatan dari takikardia, urine output,

peningkatan tekanan darah, peningkatan JVP, kembalinya turgor kulit ke

normal, dan kembalinya mata cekung menjadi normal.

Maksud dari balance cairan yang positif dimana intake lebih banyak daripada

output, terkesan pada pasien mungkin sedang terakumulasi cairan. Namun faktanya

balance cairan yang positif tidak benar-benar positif karena ada beberapa output yang

tidak diperhitungkan dengan akurat (misal feses, uap respirasi dan keringat).

30

Page 31: anastesi

Secara umum, bila pada pasien kritis misal septik, kasus bedah, menunjukkan

balance cairan positif yang persistent setiap harinya, hal ini menggambarkan

perjalanan penyakitnya yang tidak kunjung membaik.

Pada pasien ini balance cairan +115cc dirasa masih aman dengan

mempertimbangkan kondisi pasien pada preoperative serta respon klinis pasien saat

operasi. Dan seharusnya melakukan pengawasan pada hari-hari berikutnya selama

rawat inap.

Post operatif

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi

dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah, nadi,

suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit

III. Permasalahan Dari Segi ASA PS

Pada pasien termasuk ASA PS I sesuai karena pasien terdapat nyeri perut

kanan bawah dan tidak ditemukan kelainan sistemik lainnya sehingga pasien

dikategorikan ASA PS I

31

Page 32: anastesi

BAB IV

PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan

Nn.N 20 tahun dengan diagnosis Apendisitis Akut. Dari anamnesis didapatkan

keluhan nyeri di perut kanan bawah yang pada awalnya keluhan tersebut dirasakan

pada ulu hati yang kemudian berpindah ke perut bagian kanan bawah. Lokasi operasi

yang dilakukan adalah di regio inguinalis dextra.

Anestesi menggunakan anaestesi regional dengan teknik anestesi spinal, Pada

pasien ini dilakukan operasi pada abdomen bagian bawah, dimana hal tersebut

merupakan indikasi anestesi spinal. Tindakan operasi dan anestesi berjalan lancar

tanpa penyulit

IV.2. Saran

1. Persiapan preoperative pada pasien perlu dilakukan lebih baik lagi, agar

proses anestesi dan pembedahan dapat berjalan dengan baik

2. Memperhatikan kebutuhan cairan pasien pada saat operasi berlangsung.

3. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat

keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.

32