Analisis Time Delay pada Networked Control System

11
Abstrak Teknologi jaringan data telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dengan berbagai keunggulannya. Banyak industri yang mengaplikasikannya untuk kebutuhan otomasi dan pengendalian jarak jauh. ZigBee adalah suatu protokol jaringan yang sering digunakan pada sistem kendali berbasis jaringan atau networked control system (NCS). NCS adalah suatu sistem kendali kalang tertutup yang melalui jaringan secara real time. Penerapan NCS tidak pernah terlepas dari adanya tundaan (delay) yang berupa delay jaringan dan delay perangkat. Penelitian ini mencoba untuk mencari tahu pengaruh delay terhadap performa sistem, baik pada fase transien maupun steady state dengan metode by experiment. Sistem yang digunakan adalah sistem kendali kalang tertutup dimana sinyal kendali dikirimkan secara wireless dengan pengendali berupa PLC dan protokol jaringan komunikasi Zigbee. Pengujian dilakukan dengan mengubah-ubah jarak uji untuk mengetahui pengaruh delay jaringan tx dan variabel wait (waktu tunggu sebelum pengiriman paket data) dan post (waktu tunda sebelum pengolahan paket data terkirim) untuk mengetahui pengaruh delay perangkat. Pengujian dilakukan di 2 kondisi yaitu dengan dan tanpa gangguan. Dari hasil pengujian diketahui bahwa gangguan menyebabkan settling time meningkat dan konfigurasi wait dan post natural menghasilkan nilai maximum overshoot terbaik. Perangkat XBee S1 yang digunakan sangat sensitif terhadap packet loss sehingga osilasi pada keadaan steady state sering terjadi. Keyword: Networked Control System, delay, Zigbee, PLC ANALISIS EFEK TUNDA WAKTU TERHADAP PERFORMA SISTEM KENDALI BERBASIS JARINGAN Rahmat Wahyu Pratama, RM Sisdarmanto Adinandra, ST., M.Sc,. Ph.D, Alvin Sahroni, ST., M.Eng Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

description

Teknologi jaringan data telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dengan berbagai keunggulannya. Banyak industri yang mengaplikasikannya untuk kebutuhan otomasi dan pengendalian jarak jauh. ZigBee adalah suatu protokol jaringan yang sering digunakan pada sistem kendali berbasis jaringan atau networked control system (NCS). NCS adalah suatu sistem kendali kalang tertutup yang melalui jaringan secara real time. Penerapan NCS tidak pernah terlepas dari adanya tundaan (delay) yang berupa delay jaringan dan delay perangkat

Transcript of Analisis Time Delay pada Networked Control System

Page 1: Analisis Time Delay pada Networked Control System

Abstrak — Teknologi jaringan data telah berkembang dalam beberapa dekade terakhir dengan

berbagai keunggulannya. Banyak industri yang mengaplikasikannya untuk kebutuhan otomasi dan

pengendalian jarak jauh. ZigBee adalah suatu protokol jaringan yang sering digunakan pada sistem

kendali berbasis jaringan atau networked control system (NCS). NCS adalah suatu sistem kendali

kalang tertutup yang melalui jaringan secara real time. Penerapan NCS tidak pernah terlepas dari

adanya tundaan (delay) yang berupa delay jaringan dan delay perangkat. Penelitian ini mencoba

untuk mencari tahu pengaruh delay terhadap performa sistem, baik pada fase transien maupun

steady state dengan metode by experiment. Sistem yang digunakan adalah sistem kendali kalang

tertutup dimana sinyal kendali dikirimkan secara wireless dengan pengendali berupa PLC dan

protokol jaringan komunikasi Zigbee. Pengujian dilakukan dengan mengubah-ubah jarak uji untuk

mengetahui pengaruh delay jaringan tx dan variabel wait (waktu tunggu sebelum pengiriman

paket data) dan post (waktu tunda sebelum pengolahan paket data terkirim) untuk mengetahui

pengaruh delay perangkat. Pengujian dilakukan di 2 kondisi yaitu dengan dan tanpa gangguan.

Dari hasil pengujian diketahui bahwa gangguan menyebabkan settling time meningkat dan

konfigurasi wait dan post natural menghasilkan nilai maximum overshoot terbaik. Perangkat XBee

S1 yang digunakan sangat sensitif terhadap packet loss sehingga osilasi pada keadaan steady state

sering terjadi.

Keyword: Networked Control System, delay, Zigbee, PLC

ANALISIS EFEK TUNDA WAKTU TERHADAP PERFORMA SISTEM

KENDALI BERBASIS JARINGAN

Rahmat Wahyu Pratama, RM Sisdarmanto Adinandra, ST., M.Sc,. Ph.D, Alvin Sahroni, ST., M.Eng

Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia

Page 2: Analisis Time Delay pada Networked Control System

2

I. PENDAHULUAN

Teknologi jaringan data telah berkembang pesat dalam

40-50 tahun belakangan. Penggunaan jaringan menyediakan

banyak keunggulan, diantaranya adalah memungkinkan

transfer data secara jarak jauh, pertukaran data antar

pengguna, mengurangi kompleksitas pada wiring, serta

kemudahan dalam pemeliharaan.

Banyak perusahaan di dunia industri yang telah

mengaplikasikan jaringan untuk kebutuhan otomasi dan

pengendalian jarak jauh. Sistem kendali di industri terdiri atas

peralatan-peralatan yang saling terhubung dalam suatu

jaringan, sehingga memungkinkan terjadinya proses

komunikasi diantara peralatan-peralatan tersebut. Dalam

proses komunikasi tersebut terjadi suatu pertukaran data.

Untuk menjamin validitas data yang dipertukarkan, maka

diperlukan seperangkat aturan yang mengatur mengenai

sistem komunikasi antara perangkat-perangkat dalam sistem

kendali tersebut. Seperangkat aturan tersebut dinamakan

protokol.

Dunia industri telah mengenal beberapa protokol

jaringan untuk pengendalian, seperti Control Industrial

Protocols (CIP), Controller Area Network (CAN), Modbus

RTU, Profibus, dan lain-lain. Sementara itu, teknologi tanpa

kabel atau wireless telah berkembang secara pesat dan tidak

asing lagi bagi masyarakat melalui perangkat smart phone

yang telah menyediakan fasilitas koneksi 3G yang memiliki

kecepatan akses hingga 14 Mbit/s, sangat jauh apabila

dibandingkan dengan teknologi dial-up modem pada PC yang

lazim digunakan sekitar 20 tahun lalu yang hanya memiliki

kecepatan sekitar 56 Kbit/s. Karena kecepatan dan kemudahan

aksesnya, maka jaringan nirkabel berkecepatan tinggi tersebut

telah dimanfaatkan oleh berbagai aplikasi kendali, terutama di

dunia industri. Salah satunya adalah wireless sensor networks

(WSN).

Wireless Sensor Network atau sensor jaringan nirkabel

merupakan suatu jaringan nirkabel yang terdiri dari beberapa

sensor yang diletakkan ditempat - tempat yang berbeda untuk

me-monitoring kondisi suatu plant (Arrosyid, Tjahjono, &

Sunarno, 2009). WSN telah berhasil memanfaatkan kemajuan

teknologi telekomunikasi wireless untuk berbagai aplikasi

monitoring. Beberapa diantaranya adalah deteksi kebakaran

hutan, monitoring untuk tingkat polusi udara, telemedika,

SCADA, dan lain-lain. WSN diizinkan untuk beroperasi pada

frekuensi 2,4 GHz. Terdapat 3 buah standar IEEE yang

berkaitan dengan jaringan wireless yang dapat digunakan

untuk aplikasi WSN, yaitu IEEE 802.11 untuk wireless local

area network (WLAN/WiFi), IEEE 802.15.1 untuk wireless

personal area networks (WPAN/Bluetooth), dan IEEE

802.15.4 untuk low rate wireless personal area network (LR-

WPAN).

Gambar 1. Aplikasi WSN

Networked Control System (NCS) atau sistem kendali

berbasis jaringan merupakan suatu sistem kendali kalang

tertutup yang melalui jaringan secara real-time. Sistem kendali

berbasis jaringan merupakan salah satu sistem kendali yang

erat kaitannya dengan aplikasi WSN. Pada sistem kendali

berbasis jaringan pengendali dan plant diletakkan pada lokasi

yang berbeda. Hal tersebut yang membedakan sistem kendali

berbasis jaringan dengan sistem kendali konvensional. Sebagai

contoh, di industri, pengendali diletakkan pada control room.

Sedangkan plant yang terdiri dari aktuator dan sensor

diletakkan di process area. Sinyal kendali dari pengendali

dikirim dan diterima oleh aktuator melalui sepasang perangkat

komunikasi wireless. Pembacaan sensor kemudian dikirimkan

kembali ke pengendali dengan perangkat komunikasi wireless

untuk diolah. Protokol yang digunakan pada sistem kendali

berbasis jaringan biasanya mengacu pada standar IEEE

802.15.4 seperti MiWi, WirelessHART, dan The ZigBee.

(Bauer, 2013)

Terlepas dari jenis protokol jaringan yang digunakan,

secara keseluruhan sistem kendali berbasis jaringan selalu

dipengaruhi oleh waktu tunda, sehingga sering terjadi

keterlambatan dalam penyampaian data. Waktu tunda

mungkin tidak terlalu berpengaruh pada sistem kalang terbuka

seperti sistem on-off secara estafet di pabrik-pabrik, tapi akan

sangat berpengaruh pada plant yang menggunakan sistem

kalang tertutup karena dibutuhkannya data umpan balik yang

dikirim melalui jaringan untuk memperbaiki error output.

Waktu tunda jaringan akan sangat berpengaruh karena akan

menurunkan performa dari sistem. Oleh karena itu, untuk

menangani waktu tunda pada sistem kendali berbasis jaringan

dibutuhkan suatu analisis yang mendalam mengenai proses

pengiriman dan penyampaian data pada jaringan sehingga

dapat ditemukan suatu metodologi yang tepat untuk

menangani waktu tunda tersebut.

Penelitian ini mencoba mencari solusi atas permasalahan

mengenai waktu tunda yang disebabkan oleh jarak yang

menyebabkan menurunnya performa sistem, dengan cara

menganalisis perilaku sistem yang diuji terhadap jarak mulai

dari 0 sampai 10 meter. Dari hasil analisis tersebut diharapkan

dapat diketahui apa saja yang menyebabkan terjadinya

tundaan dan sejauh mana sistem dapat terjaga keandalannya.

A. Respon Transien

Respon sistem yang berarti perubahan perilaku output

terhadap sinyal input terdiri dari dua kawasan yaitu kawasan

waktu dan kawasan frekuensi. Respon waktu dari sebuah

sistem kendali terdiri dari dua bagian, yaitu respon transien

dan respon steady-state. Respon transien adalah spesifikasi

respon sistem yang diamati mulai saat terjadinya perubahan

sinyal input sampai respon masuk ke dalam steady-state.

Sedangkan respon steady-state adalah keadaan saat output

sistem mulai memasuki steady-state hingga waktu yang tak

terbatas. (Ogata, 2010)

Karakteristik dari sistem kendali dapat dilihat dari respon

transien yang dimilikinya. Ketika sistem diberikan sinyal step,

respon dari variabel proses/output sistem diukur perubahannya

terhadap waktu. Dalam analisis karakteristik respon transien

terhadap masukan unit step, secara umum terdapat beberapa

parameter yang harus ditentukan, yaitu (Ogata, 2010):

Page 3: Analisis Time Delay pada Networked Control System

3

1. Delay time, ; yaitu waktu yang dibutuhkan oleh respon

untuk mencapai setengah dari nilai akhir untuk pertama

kalinya.

2. Rise time, ; yaitu waktu yang dibutuhkan oleh respon

untuk meningkat dari nilai 10% sampai 90%, 5% sampai

95%, atau 0% sampai 100% dari nilai akhir. Untuk sistem

orde dua teredam, nilai rise time biasanya adalah 0% sampai

100%, sedangkan sistem teredam lebih adalah 10% sampai

90%.

3. Peak time, ; adalah waktu yang dibutuhkan oleh respon

untuk mencapai puncak pertama dari overshoot.

4. Maximum (percent) overshoot, ; adalah nilai puncak

maksimal dari kurva respon diukur dari nilai kesatuan (set

point), atau nilai yang menyatakan perbandingan antara nilai

maksimum respon yang melampaui nilai steady state

dibandingkan dengan nilai steady state. Jika nilai steady

state akhir respon berbeda dengan nilai kesatuan, maka

umumnya digunakan nilai maximum (percent) overshoot

untuk menunjukkan tingkatan stabilitas sistem.

5. Settling time, ; adalah waktu yang dibutuhkan oleh respon

untuk mencapai ±5% atau ±2% dari nilai akhir.

Gambar 2. Grafik respon sistem (Ogata, 2010)

B. Sistem Kendali Berbasis Jaringan

Teori kendali klasik mengandalkan pada asumsi bahwa

komunikasi antara sensor, aktuator, dan pengendali adalah

ideal, yang berarti bahwa data terkomunikasi dan terkomputasi

dengan tanpa tundaan (zero delay) dan kepresisian tak hingga.

Asumsi tersebut dapat diterima ketika komunikasi dan

komputasi pada perangkat keras yang digunakan telah cukup

cepat apabila dibandingkan dengan dinamika, yang berarti

perangkat keras mampu membaca dan mengikuti segala

perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem secara real-

time. Tetapi kenyataannya, komunikasi digital selalu

menyebabkan adanya tundaan dan keterbatasan dalam

kepresisian sehingga teori klasik tersebut tidak lagi berlaku

apabila diterapkan. Hal tersebut dapat diatasi dengan

mengembangkan teori sistem kendali berbasis jaringan.

(Bauer, 2013)

Gambar 3. Blok diagram dari sistem kendali berbasis jaringan.

Teori kendali jaringan yang mempelajari sifat-sifat dari

sistem kendali menyatakan bahwa komunikasi secara real time

antara sensor, aktuator, dan pengendali tidak selalu sempurna.

Secara spesifik, beberapa aspek dari jaringan yang dapat

mempengaruhi performa dari sistem adalah sebagai berikut

(Donkers, 2011):

Keterbatasan media komunikasi

Ketika beberapa sensor dan aktuator harus berkomunikasi

melalui suatu jaringan bersama, tidak mungkin untuk

mengirimkan seluruh sinyal sensor dan aktuator secara

serempak. Perlunya suatu penjadwalan pada protokol jaringan

untuk memberikan waktu pada tiap node untuk mengirimkan

datanya masing-masing.

Interval dari pengambilan sampel yang bervariasi

Pada sistem kendali berbasis jaringan, setiap node jaringan

memiliki kemampuan proses yang terbatas dan local clock

yang digunakan untuk mencuplik data memiliki tingkat

akurasi yang rendah.

Tundaan pada transmisi yang bervariasi

Dibutuhkan sejumlah waktu tertentu selama sistem

melakukan pencuplikan dan pengiriman data serta

mengeksekusi algoritma kendali. Terkadang jaringan dapat

diduduki oleh perintah lain sehingga menyebabkan data

dikirimkan secara berbeda pada setiap transmisi.

Paket data yang terputus

Transmisi gagal karena paket data bertabrakan dengan

paket data lain ataupun data mengalami kerusakan ketika

melalui lapisan fisik pada jaringan.

Kuantisasi dari sinyal yang ditransmisikan

Kuantisasi terjadi karena data yang ditransmisikan

dikirimkan dalam paket yang memiliki panjang pesan yang

terbatas.

Fenomena-fenomena tersebut dapat menurunkan

performa dan mengganggu stabilitas dari sistem secara

keseluruhan. Efek yang ditimbulkan dari kelima hal tersebut

cukup bervariasi tergantung dari jenis jaringan yang

digunakan

Waktu tunda yang penting dan harus dipertimbangkan

dalam analisis sistem kendali jaringan adalah tundaan dari

sensor ke pengendali dan tundaan dari pengendali ke

aktuator . Tundaan pada saat transmisi dibagi menjadi 2

bagian, yaitu tundaan perangkat dan tundaan jaringan.

Tundaan perangkat terdiri atas waktu tunda yang terjadi pada

node sumber dan node tujuan. Waktu tunda pada node sumber

terdiri dari waktu preprocessing dan waktu tunggu .

Sedangkan waktu tunda pada node tujuan adalah

postprocessing Waktu tunda jaringan terdiri dari jumlah

antara waktu transmisi data dan tundaan propagasi pada

jaringan . Waktu tunda keseluruhan dapat dinyatakan

dengan persamaan 1. (Lian, Moyne, & Tilbury, 2002;

Tipsuwan & Chow, 2003)

(1)

Page 4: Analisis Time Delay pada Networked Control System

4

Gambar 4. Diagram pewaktuan pengiriman data antara dua

node (Lian, Moyne, & Tilbury, 2002).

Waktu preprocessing

Waktu preprocessing adalah waktu yang dibutuhkan oleh

node sumber untuk mendapatkan data dari lingkungan

eksternal (aktuator/plant) kemudian memproses dan

mengubahnya ke bentuk yang sesuai dengan format data

jaringan. Hal ini sangat bergantung pada karakteristik

perangkat keras dan lunak yang digunakan.

Waktu tunggu

Waktu tunggu terjadi saat node sumber menunggu antrian

ketersediaan jaringan sebelum mengirim paket data. Hal ini

sangat terkait dengan jumlah data yang harus dikirim dan lalu

lintas data pada jaringan. Faktor utama yang mempengaruhi

cepat atau lambatnya waktu tunggu adalah jenis protokol

jaringan yang digunakan, jenis pesan, dan beban pada lalu

lintas jaringan.

Waktu transmisi pada jaringan

Waktu transmisi adalah hal yang paling menentukan dalam

sistem jaringan, karena bergantung pada data rate, ukuran

pesan, dan jarak antara 2 node. Waktu transmisi dapat

dinyatakan dengan persamaan 2. Dimana N adalah panjang

pesan dalam bit, adalah kecepatan data per bit per satuan

waktu, dan adalah waktu propagasi. Selama kecepatan

transmisi pada media komunikasi adalah 2.108 m/s,

dapat diabaikan pada kendali jaringan skala kecil (100 meter

atau kurang).

(2)

Waktu postprocessing

Adalah waktu yang dibutuhkan oleh node tujuan untuk

menerjemahkan data jaringan kemudian memprosesnya dan

memberikan output kepada aktuator.

C. ZigBee

Penggunaan teknologi ZigBee sebagai protokol jaringan

telah mulai dikenal sejak awal tahun 2000-an. ZigBee

bukanlah suatu protokol jaringan komunikasi yang digunakan

untuk pengiriman data yang besar dengan transfer rate yang

tinggi. Protokol ini cocok untuk sistem dengan transfer rate

rendah dan jarak yang jauh, sehingga cukup tepat untuk

diaplikasikan pada sistem pengendalian di dunia industri.

ZigBee memilki transfer rate sekitar 250Kbps, yang lebih

rendah dibandingkan dengan WPAN lain seperti bluetooth

yang mempunyai transfer rate hingga 1Mbps. Sedangkan

jarak atau range kerja dari ZigBee sendiri adalah sekitar 76 m,

lebih jauh dibandingkan dengan Bluetooh (Suryani & Rizal).

Teknologi ini mendukung berbagai macam topologi, seperti

bintang, mesh, dan lainnya. Keunggulan teknologi ZigBee

diantaranya adalah harganya yang murah, konsumsi daya yang

rendah (sehingga dapat menggunakan baterai dengan ukuran

kecil), serta reliabilitas yang tinggi (Kinney, 2003).

II. PERANCANGAN SISTEM

Perancangan sistem kendali jaringan dengan plant motor

DC meliputi perancangan perangkat keras (hardware) dan

perangkat lunak (software). Sistem yang dirancang bertujuan

untuk membuat kecepatan motor DC tetap stabil berdasarkan

set point yang telah ditentukan. Selanjutnya, sistem diberikan

gangguan berupa halangan pada sisi kanan dan kiri serta jarak

antara pengendali dan plant yang dijauhkan yang bertujuan

untuk mengetahui pengaruh gangguan tersebut terhadap

performa sistem kendali jaringan yang telah dirancang. Blok

diagram sistem seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Blok diagram sistem.

Nilai set point dan konstanta PID dimasukkan ke dalam

PLC LG Master K120S melalui software CIMON D yang

berfungsi sebagai interface antara user dan pengendali. Output

dari PLC berupa duty cycle OFF dari fungsi PWM. Data PWM

tersebut kemudian diolah dan diubah ke dalam bentuk data

serial oleh mikrokontroler (µC) 1. Selanjutnya, µC 1 akan

mengirim data serial tersebut secara wireless melalui XBee A.

Data serial kemudian diterima oleh XBee B dan diubah

menjadi sinyal PWM oleh µC 2. Output PWM dari µC 2 yang

masih berbentuk digital dengan tegangan 5 VDC diubah ke

bentuk analog 24 VDC oleh driver motor.

Sebagai suatu sistem kendali kalang tertutup, pengendali

membutuhkan data pembacaan sensor dari plant untuk

mendapatkan nilai error. Untuk mendapatkan nilai tersebut

digunakan sebuah roda cacah tipis yang dikopel dengan poros

motor serta sebuah sensor optocoupler untuk menghasilkan

pulsa berdasarkan jumlah lubang yang terbaca. Pulsa yang

terbaca dikirim melalui kabel kepada modul input PLC. PLC

melalui fungsi high speed counter kemudian menghitung

kecepatan motor dalam satuan rotation per minute (rpm).

Aksi kendali PID bertugas untuk membuat kecepatan

motor stabil sesuai dengan nilai set point yang dimasukkan

dengan toleransi steady state error sebesar 5%. Respon sistem

yang dapat diamati dari software CIMON D menjadi acuan

dalam proses tuning PID. Apabila respon sistem sudah stabil

Page 5: Analisis Time Delay pada Networked Control System

5

dan sesuai dengan yang diharapkan, maka proses tuning

dihentikan dan diuji dengan nilai set point yang bervariasi.

A. Sistem Minimum µC

Sistem minimum µC pada sistem ini digunakan untuk

mengirim data dalam bentuk serial, karena tidak mungkin data

dari PLC sebagai pengendali yang berbentuk data duty cycle

PWM langsung dikirim melalui XBee. Pada penelitian ini µC

yang digunakan adalah ATMEGA 8 yang memiliki 28 pin.

Schematic dari sistem minimum µC yang digunakan pada

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Schematic sistem minimum µC.

Penelitian ini menggunakan XBee S1 sebagai perangkat

komunikasi. Ada 4 pin dari modul XBee yang digunakan,

yaitu VCC, DIN, DOUT, dan GND. Untuk menghindari

kerusakan, perlu digunakan sebuah voltage regulator untuk

menurunkan tegangan menjadi 3,3 VDC yang merupakan

tegangan kerja dari modul XBee, yang pada penelitian ini

menggunakan sebuah trimpot dan IC LM 317 yang turut

dipasang pada sistem minimum.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan

modul XBee adalah level tegangan yang digunakan. Modul

XBee menggunakan level tegangan 3,3 VDC, sedangkan µC

bekerja pada tegangan 5 VDC. Untuk itu, perlu ditambahkan

suatu rangkaian level shifting untuk memberikan sinyal 3,3

VDC ke XBee dan sinyal 5 VDC ke µC.

B. Perancangan Sensor Optocoupler

Pulsa yang terkirim ke PLC tergantung dari hasil

pembacaan sensor optocoupler. Sensor optocoupler terdiri

dari 2 bagian yaitu led dan photo transistor. Bila cahaya yang

terpancar dari led tidak sampai kepada sensor photo transistor

karena terhalang oleh bagian dari roda cacah maka output dari

optocoupler akan berlogika rendah (0). Sedangkan ketika

kondisi sebaliknya output dari optocoupler adalah logika

tinggi (1). Output saat logika tinggi adalah 5 VDC, dimana

nilai tegangan tersebut belum mampu untuk membuat trigger

pada relay di modul input PLC. Oleh karena itu digunakan

rangkaian switching pada bagian ground dengan IRF 540 yang

terhubung dengan PLC agar tegangan sumber 24 VDC dapat

melakukan trigger ke relay pada modul input PLC dengan

baik.

Gambar 7. Rangkaian sensor optocoupler.

C. Kendali PID pada PLC

Gambar 8. Blok diagram aksi kendali PID pada PLC.

Kendali PID adalah sebuah aksi kendali untuk membuat

nilai output sesuai dengan nilai set point/set value (SV).

Kendali PID membandingkan nilai SV dengan nilai

pembacaan sensor atau dikenal dengan present value (PV).

Ketika terdapat perbedaan antara nilai SV dan PV yang

diistilahkan dengan nilai error (E), pengendali akan

memberikan output berupa nilai manipulation value (MV)

untuk menghilangkan nilai E tersebut. Pada sistem ini, nilai

MV diubah dalam bentuk duty cycle PWM untuk

menggerakkan motor DC.

Fungsi-fungsi yang digunakan pada aksi kendali PID

untuk PLC LG Master K120S diantaranya adalah high speed

counter yang bertugas menghitung kecepatan motor dan

menghasilkan PV, PID dan PID cal sebagai penghitung dan

penghasil output kendali PID berupa MV, dan PWM sebagai

output dari PLC.

D. Perancangan Sistem SCADA

Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA)

pada sistem ini menggunakan software CIMON D. SCADA

digunakan untuk memudahkan user dalam memasukkan

konstanta PID dan set point serta memantau respon dari plant.

Agar register-register yang digunakan pada PLC dapat

terintegrasi dengan sempurna ke CIMON D, perlu dibuat suatu

database yang terdiri dari Tag Name, Tag Type, I/O Device,

I/O Address, Initial Value, Additional Function, dan

Description. Database pada sistem ini seperti terlihat pada

Gambar 9.

Page 6: Analisis Time Delay pada Networked Control System

6

Gambar 9. Database untuk sistem SCADA.

Tampilan animasi terdiri dari dua bagian, yaitu bagian

input dan output. Bagian input terdiri dari button untuk

mengaktifkan keseluruhan sistem dan dynamic tag untuk

memasukkan nilai proportional, integral, derivative, dan set

point. Sementara pada bagian output terdiri dari indicator

lamp, dynamic tag untuk menampilkan nilai manipulation

value, RPM, dan PWM value, serta trend untuk menampilkan

grafik respon sistem. Tampilan animasi pada penelitian ini

ditunjukkan oleh Gambar 10.

Gambar 10. Tampilan user interface.

Perlu diketahui PLC LG Master K120S memiliki aturan

tersendiri dalam memasukkan konstanta PID, dengan aturan

nilai dikalikan 100. Sedangkan untuk dan dikalikan

10. Hal ini dikarenakan pada program ladder tidak mengenal

angka pecahan desimal. Oleh karena itu pada tampilan

SCADA nilai konstanta PID akan menyesuaikan dengan

aturan dari PLC.

E. Pemrograman µC

Pemrograman pada µC memiliki tujuan untuk mengubah

data PWM dari PLC menjadi data serial yang siap dikirim

melalui XBee. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah

melakukan kalibrasi antara nilai PWM dari PLC dengan nilai

timer dari µC 1 dengan menggunakan rumus persamaan

regresi linier sederhana (Sugiyono, 2008). Persamaan regresi

digunakan agar nilai data serial yang dikirim oleh µC sesuai

dengan nilai PWM dari PLC.

= (3)

∑ ∑ ∑

∑ ∑

(4)

∑ ∑

(5)

MULAIMULAI

JIKA PIND2 = 0JIKA PIND2 = 0

MULAI TIMER1SAMPAI PIND2 = 1

MULAI TIMER1SAMPAI PIND2 = 1

STOP TIMER 1X = TIMER1

STOP TIMER 1X = TIMER1

Y = A*X+BY = A*X+B

KIRIM YKIRIM Y

SELESAISELESAI

A = 0.37B = 2.13

A = 0.37B = 2.13

Gambar 11. Flowchart pemrograman µC 1.

Pada µC 2, hal yang pertama kali dilakukan adalah

mengambil data serial, yang diwakilkan oleh variabel A. Data

ini tidak bisa langsung dikeluarkan dalam bentuk PWM

karena masih bertipe string. Untuk itu perlu digunakan

variabel S yang berisi perintah Val untuk mengubah data

tersebut menjadi tipe byte. Berikutnya data yang telah

berbentuk byte tersebut dikalikan dengan nilai 2,5 agar sesuai

dengan skala PWM pada µC 2 yaitu 0 – 255 (8 bit), yang

kemudian dikeluarkan dalam bentuk PWM dengan perintah

Pwm1a.

Page 7: Analisis Time Delay pada Networked Control System

7

M = 2.5M = 2.5

MULAIMULAI

TUNGGU DATA SERIAL

TUNGGU DATA SERIAL

KONVERSI DATA SERIAL KE BYTE (S)

KONVERSI DATA SERIAL KE BYTE (S)

Y = M*SY = M*S

KELUARKAN NILAI PWM

PWM1A = Y

KELUARKAN NILAI PWM

PWM1A = Y

SELESAISELESAI

Gambar 12. Flowchart pemrograman µC 2.

F. Konfigurasi XBee

Untuk melakukan konfigurasi pada XBee digunakan

software XCTU. Agar XBee dapat berkomunikasi secara point

to point diperlukan pengaturan beberapa parameter di XCTU

yaitu pada Personal Area Network ID (PAN ID), Destination

Address Low (DL), dan 16 bit Source Address (MY). XBee A

dan B dapat saling berkomunikasi bila:

Nilai parameter DL-XBee A = MY-XBee B

Nilai parameter MY-XBee A = DL-XBee B

XBee A dan XBee B memiliki PAN ID yang sama

Pada penelitian ini nilai PAN ID pada XBee A = 3001,

sedangkan DL = 2 dan MY = 1. Sedangkan pengaturan

parameter pada XBee B yang bertugas untuk menerima data

memiliki nilai PAN ID = 3001, DL = 1 dan MY = 2.

III. PENGUJIAN DAN ANALISIS

A. Pengujian open loop

Sebelum dilakukan pengujian kestabilan sistem terhadap jarak,

terlebih dahulu dilakukan pengujian secara open loop untuk

mengetahui karakteristik dari kecepatan motor terhadap output

duty cycle PWM dari PLC.

Gambar 13. Grafik kecepatan motor terhadap nilai PWM.

Kecepatan motor bergerak naik dari duty cycle PWM

30% hingga 100%, sehingga dapat disimpulkan bahwa motor

dapat bekerja cukup baik dan siap untuk dikondisikan sebagai

plant pada penelitian ini.

B. Pengambilan data baseline

Sebelum dilakukan pengambilan data baseline terlebih

dulu dilakukan tuning PID dengan metode trial and error.

Dari beberapa kali tuning didapatkan konstanta PID yang

terbaik yaitu = 1,1, = 1,6, dan = 0,8. Nilai konstanta ini

teruji pada 3 set point yaitu 3200, 3400, dan 3600 rpm.

Data baseline digunakan sebagai dasar untuk mengetahui

kondisi ideal dari sistem. Pada pengambilan data baseline,

seluruh hardware terhubung dengan kabel sehingga tidak

terdapat adanya tundaan dan kondisi ideal dari sistem dapat

tercapai. Pengambilan data baseline untuk masing-masing set

point yaitu 3200, 3400, dan 3600 rpm dilakukan sebanyak 5

kali. Dari grafik yang diperoleh dari SCADA dapat ditentukan

nilai maximum overshoot ( ) dan settling time ( ) dari

masing-masing pengujian.

Gambar 14. Perbandingan nilai dan

Terlihat bahwa nilai maximum overshoot mengalami

penurunan pada tiap kenaikan nilai set point. Sedangkan untuk

settling time nilainya tidak menunjukkan tren yang serupa.

Nilai settling time untuk kecepatan 3200 dan 3400 rpm hampir

sama, sedangkan nilai settling time terendah berada pada nilai

3600 rpm. Hal ini berarti konstanta PID yang digunakan

memiliki nilai paling baik pada set point 3600 rpm. Sedangkan

pada keadaan steady state nilai steady state error untuk

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kec

epat

an (

rpm

)

Duty cycle PWM (%)

0

5

10

15

20

25

30

3200 3400 3600

Maximumovershoot (%)

Settling time(s)

Set point (rpm)

Page 8: Analisis Time Delay pada Networked Control System

8

masing-masing set point sangat kecil, atau dapat dikatakan

pada saat keadaan steady state sistem cukup stabil.

C. Skenario pengujian

Setelah didapatkan data baseline, langkah selanjutnya

adalah melakukan pengujian pengiriman sinyal kendali secara

wireless. Terdapat 2 buah skenario, yaitu pengujian dengan

adanya media penghalang/pengganggu sinyal di daerah

pengujian dan pengujian tanpa adanya media pengganggu.

Pada skenario I, diletakkan beberapa buah meja di sisi kanan

dan kiri di sepanjang jarak pengujian.

Sedangkan untuk pengujian untuk skenario II dilakukan

tanpa adanya media pengganggu. Kedua pengujian ini

dilakukan untuk mengetahui pengaruh lingkungan terhadap

respon sistem.

Pengiriman sinyal kendali melalui jaringan tidak terlepas

oleh adanya delay. Pada pengujian ini diberlakukan penetapan

nilai wait dan post untuk mengetahui pengaruhnya terhadap

performa sistem. Nilai wait diberikan pada pihak transmitter

dengan memberikan tundaan sebelum perintah pengiriman

data. Sedangkan post diberikan pada pihak receiver dengan

memberikan tundaan sebelum perintah pengambilan data.

Pemberian tundaan tersebut dilakukan pada program di µC

dengan perintah waitms. Nilai kedua variabel tersebut diubah-

ubah dengan konfigurasi sebagai berikut:

1. Normal (tanpa tundaan)

2. wait = post = 10 ms

3. wait = post = 100 ms

4. wait = 200 ms, post = 100 ms

Penentuan nilai kedua variabel tersebut didasarkan pada

hasil percobaan sebelumnya dimana didapatkan fakta bahwa

wait dan post yang diperkecil akan mampu memperbaiki

respon sistem. Pengujian saat kondisi normal bertujuan untuk

mengetahui respon sistem saat sinyal kendali langsung

dikirimkan dan diterima tanpa jeda waktu. Nilai 10 ms pada

pengujian kedua didasarkan pada nilai tundaan terbaik pada

saat percobaan. Waktu 100 ms pada pengujian ketiga

diperoleh dari hasil percobaan dimana nilai tersebut

merupakan nilai tundaan maksimal yang mampu diterima oleh

µC dan XBee. Sedangkan nilai yang berbeda antara

transmitter (200 ms) dan receiver (100 ms) digunakan untuk

mengetahui respon sistem saat nilai tundaannya berbeda.

Data yang diamati pada pengujian ini dibagi menjadi 2,

yaitu pada respon transien dan kondisi steady state, dengan

pengambilan data 3 kali untuk tiap set point dan sampel waktu

60 detik pada tiap pengujian. Pada fase transien parameter

yang diamati adalah nilai maximum overshoot dan settling

time. Sedangkan pada kondisi steady state hal yang diamati

adalah kondisi steady state dimulai dari saat sistem melewati

fase transien hingga detik ke 60.

Osilasi merupakan hal natural yang terjadi pada saat

kondisi steady state. Oleh karena itu, untuk mengetahui

tingkat kestabilan sistem pada kondisi steady state, penulis

mengklasifikasikan tingkat osilasi menjadi 3, yaitu:

1. Ringan: saat sistem berosilasi tanpa melewati nilai

toleransi steady state error (5%) dan mampu kembali ke

kondisi steady state dalam waktu kurang dari 2 detik.

2. Sedang: saat sistem berosilasi hingga melewati nilai

toleransi steady state error dan mampu kembali dalam

waktu kurang dari 60 detik ke kondisi steady state.

3. Berat: saat sistem berosilasi hingga melewati nilai toleransi

steady state error dan tidak kembali ke kondisi steady

state.

D. Hasil pengujian dan analisis skenario I

1) Respon transien

Gambar 15. Nilai maximum overshoot pada set point 3200

rpm untuk skenario I.

Gambar 16. Nilai settling time pada set point 3200 rpm untuk

skenario I.

Hasil dari seluruh pengujian pada skenario I memiliki

tren yang serupa seperti Gambar 15. Dari hasil pengujian

dapat terlihat bahwa nilai maximum overshoot untuk

keseluruhan pengujian nilainya sangat bervariasi. Dari hasil

pengujian didapatkan fakta bahwa sinyal kendali yang

ditransmisikan secara wireless ternyata dapat memperbaiki

nilai maximum overshoot. Hal ini dapat terjadi karena

perbedaan karakteristik dari output PWM dari PLC dan µC,

dimana output dari µC ternyata lebih baik dari PLC.

Perubahan nilai set point dari 3200, 3400, dan 3600 rpm

ternyata juga memiliki pengaruh untuk performa sistem. Dapat

dilihat dari hasil percobaan dimana hasilnya menunjukkan

bahwa semakin tinggi nilai set point yang diberikan, maka

nilai maximum overshoot akan semakin kecil.

Sedangkan untuk nilai settling time secara umum

nilainya selalu berada diatas baseline. Hal ini cukup wajar,

karena dengan pengiriman sinyal kendali secara wireless maka

sistem menjadi lebih sulit untuk mencapai kondisi steady

state. Data yang acak setelah jarak 3 meter disebabkan oleh

Page 9: Analisis Time Delay pada Networked Control System

9

adanya pantulan sinyal yang disebabkan oleh meja yang ada di

sekitar daerah pengujian.

Pantulan sinyal dapat menyebabkan hilangnya paket data

sehingga memperpanjang nilai settling time. Kecenderungan

dari sistem ini adalah menuju nilai kecepatan tertinggi apabila

dalam jangka waktu tertentu tidak mendapatkan sinyal kendali

yang dibutuhkan. Kasus yang terjadi pada pengujian ini adalah

pada fase sesaat setelah rise time, paket data sering hilang

sehingga sistem menuju ke kecepatan tertinggi dan tidak

kembali ke steady state, seperti ditunjukkan oleh Gambar 16.

Hal ini menyebabkan nilai rata-rata settling time menjadi

sangat tinggi karena apabila mencapai kondisi ini maka nilai

settling time adalah 60 detik. Kondisi seperti ini biasanya

terjadi saat jarak yang makin dijauhkan, karena menambah

jarak akan sama dengan menambah efek pantulan dan

menambah frekuensi hilangnya paket data.

Gambar 17. Buruknya respon sistem yang diakibatkan oleh

tundaan transmisi dan hilangnya paket data.

Besarnya nilai settling time juga dipengaruhi oleh

tundaan pada saat transmisi sinyal kendali, yang dikenal

dengan tundaan transmisi atau tx. Hal ini diketahui dari

beberapa pengujian untuk jarak yang jauh, dimana terkadang

sistem tidak langsung merespon saat tombol start ditekan,

seperti juga dapat terlihat pada Gambar 16. Tundaan tersebut

merupakan hal alamiah dan normal terjadi pada transmisi

sinyal secara wireless.

Dari hasil pengamatan pada pengujian skenario ini dapat

disimpulkan bahwa konfigurasi 1 (normal) pada transmisi

sinyal kendali secara wireless merupakan konfigurasi terbaik

dalam hal parameter maximum overshoot. Namun konfigurasi

apapun tidak mampu untuk membuat nilai settling time tetap

bertahan di daerah sekitar nilai baseline, karena kuatnya

pengaruh dari lingkungan. Pantulan dari benda di sekitar

tempat pengujian membuat nilai settling time cukup tinggi,

dapat dilihat dari cukup banyaknya pengujian yang mencapai

nilai tertinggi (60 detik) yang berarti sistem tidak pernah

mencapai kestabilan dan juga menyebabkan tingginya nilai

rise time.

2) Osilasi pada kondisi steady state

Gambar 18. Kondisi steady state keadaan normal pada set

point 3200 rpm untuk skenario I.

Secara umum sistem berosilasi ringan dan tetap stabil

pada jarak 0 – 3 meter, hanya pada beberapa pengujian karena

sebab yang tidak diketahui sistem tidak mencapai kestabilan

pada jarak kurang dari 3 meter. Selain itu dapat diamati bahwa

konfigurasi wait dan post tidak berpengaruh pada tingkat osilasi

pada kondisi steady state. Namun dari keseluruhan konfigurasi

terdapat kecenderungan bahwa untuk jarak yang jauh

frekuensi osilasi sedang dan berat akan lebih besar. Hal ini

menunjukkan bahwa efek lingkungan yang menyebabkan

pantulan ditambah dengan efek dari jarak yang jauh akan

mengakibatkan osilasi meningkat pada keadaan steady state.

E. Hasil pengujian dan analisis skenario II

1) Respon transien

Gambar 19. Nilai maximum overshoot pada set point 3200

rpm untuk skenario II.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Jarak (m)

Data 1

Data 2

Data 3

Berat

Sedang

Ringan

Page 10: Analisis Time Delay pada Networked Control System

10

Gambar 20. Nilai settling time pada set point 3200 rpm untuk

skenario II.

Dari hasil pengujian dapat terlihat bahwa nilai maximum

overshoot untuk keseluruhan pengujian nilainya juga sangat

bervariasi. Serupa dengan skenario I, ternyata konfigurasi 1

(normal) memiliki nilai yang paling baik untuk parameter

maximum overshoot, dimana nilai yang melewati baseline

paling sedikit diantara konfigurasi lainnya.

Untuk nilai settling time, ternyata datanya cenderung

tersebar dan tidak dipengaruhi oleh jarak pada saat pengujian

0–9 meter. Namun, keseluruhan hasil pengujian menunjukkan

tren yang sama untuk jarak 10 meter dimana nilainya

cenderung naik. Jika diperhatikan, walaupun nilai settling time

cenderung lebih tersebar namun rata-rata nilainya tidak

sebesar pada skenario I, dimana pada skenario II hanya 1 kali

sistem tidak pernah mencapai kestabilan.

Dari pengujian skenario II dapat disimpulkan bahwa

konfigurasi normal tetap memiliki hasil yang paling baik

dalam parameter maximum overshoot. Untuk setiap

konfigurasi memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilai

naik pada jarak 10 meter. Sedangkan konfigurasi apapun tetap

tidak berpengaruh untuk nilai settling time. Nilai settling time

untuk skenario II lebih baik daripada skenario I, hal ini

menunjukkan bahwa pengaruh dari jarak pengujian tidak lebih

besar daripada pengaruh gangguan yang disebabkan oleh

lingkungan.

2) Osilasi pada kondisi steady state

Gambar 21. Kondisi steady state keadaan normal pada set

point 3200 rpm untuk skenario II.

Dapat diamati bahwa tingkat osilasi pada skenario II

cenderung lebih tersebar. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata

tidak adanya penghalang justru mempunyai pengaruh pada

keadaan steady state, karena peningkatan osilasi tidak

memiliki kecenderungan ke suatu jarak tertentu. Hal ini

sekaligus menunjukkan bahwa ternyata tundaan yang

menyebabkan menurunnya performa sistem dapat terjadi

kapan saja dan di jarak berapa saja, dan sulit untuk diketahui

penyebabnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Nilai maximum overshoot justru cenderung berada di

bawah baseline, yang berarti sistem menjadi lebih ideal.

Hal ini cukup menjadi pertanyaan, karena semestinya nilai

maximum overshoot berada di atas baseline. Berdasarkan

fakta tersebut, dapat dianalisis bahwa output PWM dari µC

ternyata lebih baik dari output PWM dari modul PLC. Hal

ini sangat berkaitan dengan konfigurasi hardware diantara

keduanya, dimana µC mengeluarkan data PWM dari pin

digital output sehingga tegangan rata-ratanya menjadi lebih

baik dan stabil. Sedangkan output PWM dari PLC sangat

bergantung dari kondisi relay pada modul output, dimana

relay mempunyai sifat mekanis sehingga output-nya tidak

sebaik output dari µC.

2. Waktu tunda perangkat yaitu wait dan post adalah hal yang

alamiah terjadi pada sistem kendali berbasis jaringan. Dari

pengujian yang sudah dilakukan, ternyata konfigurasi pada

kondisi normal atau dengan kata lain nilai kedua variabel

adalah natural (tidak ditetapkan) dimana sinyal kendali

langsung dikirimkan dan diterima tanpa jeda waktu

memiliki kecenderungan untuk menghasilkan nilai

overshoot yang lebih kecil diantara konfigurasi lainnya.

3. Gangguan yang disebabkan oleh pantulan-pantulan benda

di sekitar perangkat transmisi memiliki pengaruh yang

cukup besar pada tingginya nilai settling time. Gangguan

menyebabkan hilangnya paket data, dimana XBee sangat

sensitif terhadap hal tersebut. Hal ini juga terkait dengan

karakteristik sistem dimana saat data sinyal kendali yang

dibutuhkan tidak juga diterima pada jangka waktu tertentu,

maka sistem akan membawa plant ke nilai kecepatan

tertinggi dan tidak akan mencapai steady state. Selain itu

settling time tinggi juga disebabkan oleh tundaan transmisi

yang menyebabkan nilai rise time menjadi lama. Kedua hal

tersebut biasanya terjadi untuk jarak pengujian yang jauh,

sehingga dapat disimpulkan bahwa gangguan lingkungan

ditambah dengan jarak maka akan memperburuk settling

time.

4. Jarak tidak terlalu berpengaruh pada performa sistem

kendali berbasis jaringan, karena jarak pengujian yang

hanya 0-10 meter tidak sebanding dengan kecepatan

transmisi data di udara yaitu 2.108 m/s. Hal ini dibuktikan

dari nilai settling time pengujian tanpa gangguan yang

lebih kecil daripada saat pengujian dengan gangguan.

Terganggunya kestabilan pada kondisi steady state lebih

disebabkan oleh hilangnya paket data pada saat transmisi.

5. Data osilasi sedang dan berat yang tersebar pada keadaan

tanpa gangguan menunjukkan bahwa tundaan dapat terjadi

kapan saja dan dimana saja, sehingga sangat sulit untuk

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10Jarak (m)

Data 1

Data 2

Data 3

Berat

Sedang

Ringan

Page 11: Analisis Time Delay pada Networked Control System

11

mengukur dan mengetahui penyebabnya. Tundaan yang

terjadi pada fase transien dapat diabaikan apabila hanya

diinginkan kondisi sistem pada keadaan steady state, dan

begitu pula sebaliknya.

B. Saran

1. Untuk penelitian yang berkaitan dengan sistem kendali

berbasis jaringan ke depannya akan lebih baik apabila

pengendali langsung menggunakan µC atau dengan

software MATLAB Simulink, karena akan mempermudah

dalam konfigurasi baik hardware maupun software dan

lebih memungkinkan untuk membuat komunikasi secara 2

arah sehingga penelitian ini bisa menjadi lebih baik dan

mendalam.

2. Perlu dipertimbangkan penggunaan XBee jenis lain atau

bahkan protokol jaringan komunikasi lain dalam penerapan

sistem kendali berbasis jaringan. Hal ini dikarenakan

modul XBee S1 yang digunakan sangat sensitif pada

hilangnya paket data sehingga waktu tunda yang terjadi

menjadi lebih sulit untuk diukur.

V. DAFTAR PUSTAKA

Arrosyid, M. H., Tjahjono, A., & Sunarno, E. (2009).

Implementasi Wireless Sensor Network untuk

Monitoring Parameter Energi Listrik Sebagai

Peningkatan Layanan Bagi Penyedia Energi Listrik.

Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Surabaya.

Bauer, N. (2013). Networked Control Systems From Theory to

Experiments. Technische Universiteit Eindhoven.

Eindhoven: Ipskamp Drukkers.

Donkers, T. (2011). Network and Event-Triggered Control

Systems. Technische Universiteit Eindhoven.

Eindhoven: Ipskamp Drukkers.

Kinney, P. (2003). ZigBee Technology: Wireless Control that

Simply Works. Communications Design Conference,

(p. 16).

Lian, F.-L., Moyne, J., & Tilbury, D. (2002, March). Network

Design Consideration for Distributed Control

Systems. IEEE TRANSACTIONS ON CONTROL

SYSTEMS TECHNOLOGY, 10(2), 297-307.

National Instruments. (2011, March). Retrieved from National

Instrument Web site: http://www.ni.com/white-

paper/3782/en/

Ogata, K. (2010). Modern Control Engineering (5th ed.). New

Jersey, United States of America.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung,

Indonesia: Alfabeta.

Suryani, V., & Rizal, A. (n.d.). Analisis Kelayakan

Penggunaan Protokol Wireless Untuk Transmisi

Data Pada Wireless Body Area Network (WBAN).

Institut Teknologi Telkom, Bandung.

Tipsuwan, Y., & Chow, M.-Y. (2003, February). Control

methodologies in networked control systems.