Speech Delay Rev
-
Upload
moimoimoibaridache -
Category
Documents
-
view
72 -
download
2
description
Transcript of Speech Delay Rev
BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan simbolisasi dari pikiran berupa kode yang telah kita pelajari; atau
suatu sistem yang telah disepakati yang memungkinkan kita untuk mengkomunikasikan ide-
ide serta mengekspresikan keinginan dan kebutuhan kita. Membaca, menulis, gerakan tubuh,
dan berbicara adalah semua bentuk dari bahasa. Bahasa terbagi menjadi dua bagian besar,
yaitu bahasa reseptif: memahami apa yang tertulis atau apa yang dikatakan, dan bahasa
ekspresif: kemampuan untuk berbicara dan menulis.1
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem lainnya,
sebab melibatkan kemampuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan lingkungan di
sekitar anak. Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan dari lingkungannya.
Mereka harus mendengar pembicaran yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari
maupun pengetahuan tentang dunia. Mereka harus belajar mengekspresikan dirinya, membagi
pengalamannya dengan orang lain dan mengemukakan keinginannya.1
Gangguan bicara dan bahasa dialami oleh 8% anak usia prasekolah. Hampir sebanyak
20% dari anak berumur 2 tahun mempunyai gangguan keterlambatan bicara. Keterlambatan
bicara paling sering terjadi pada usia 3-16 tahun. Studi Cochrane terakhir telah melaporkan
data keterlambatan bicara, bahasa dan gabungan keduanya pada anak usia prasekolah dan usia
sekolah. Prevalensi keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara pada anak usia 2 sampai
4,5 tahun adalah 5-8%, prevalensi keterlambatan bahasa adalah 2,3-19%. Sebagian besar studi
melaporkan prevalensi dari 40% sampai 60%.2
Prevalensi keterlambatan perkembangan berbahasa di Indonesia belum pernah diteliti
secara luas. Kendalanya dalam menentukan kriteria keterlambatan perkembangan berbahasa.
Data di Departemen Rehabilitasi Medik RSCM tahun 2006, dari 1125 jumlah kunjungan
pasien anak terdapat 10,13% anak terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa. Penelitian
Wahjuni tahun 1998 di salah satu kelurahan di Jakarta Pusat menemukan prevalensi
keterlambatan bahasa sebesar 9,3% dari 214 anak yang berusia bawah tiga tahun.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 FISIOLOGI
II.1.1 Fisiologi Bicara
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk berkomunikasi
dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang serasi dari sistem
neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara. Proses bicara melibatkan
beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan, pusat khusus pengatur
bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di dalam batang otak dan struktur
artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga hidung. Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara,
yaitu proses sensoris dan motoris. Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa
raba berfungsi untuk memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu
mengatur laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung
jawab untuk pengeluaran suara.3
Di dalam otak terdapat 3 pusat yang mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat
bersifat reseptif yang mengurus penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta satu pusat lainnya
bersifat ekspresif yang mengurus pelaksanaan bahsa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di
hemisfer dominan dari otak atau sistem susunan saraf pusat. Kedua pusat bahasa reseptif
tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area wernick, merupakan pusat persepsi auditoro-leksik
yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan
(verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang mengurus pengenalan
dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca
adalah pusat bahasa ekspresif. Ketiga pusat tersebut berhubungan satu sama lain melalui
serabut asosiasi.3
II.1.2 Fisiologi Pendengaran
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan masuk melalui
lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membrane timpani. Dari sini
rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga tengah ke telinga bagian dalam.
Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris untuk pendengaran yang disebut Coclea.
Saat gelombang suara mencapai coclea maka impuls ini diteruskan oleh saraf VIII ke area
pendengaran primer di otak diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban diformulasikan
2
dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol
gerakan bicara.3,4
Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita suara yang dibantu
oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan
palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris
dan sensoris dimana organ pendengaran sangat penting.3,4
Gambar 1. Sistem auditori periferal terbahagi tiga, yaitu: telinga luar (biru), telinga tengah (hijau) dan
telinga dalam (merah). Dikutip dari kepustakaan 4.
Proses reseptif – Proses dekode
Segera saat rangsangan auditori diterima, formasi retikulum pada batang otak akan
menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang mana yang akan
diterima otak. Rangsang tersebut ditangkap oleh talamus dan selanjutnya diteruskan ke area
korteks auditori pada girus Heschls, dimana sebagian besar signal yang diterima oleh girus ini
berasal dari sisi telinga yang berlawanan.3,4
Girus dan area asosiasi auditori akan memilah informasi bermakna yang masuk.
Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode, dikirim ke lobus temporal kiri untuk
diproses. Sementara masukan paralinguistik berupa intonasi, tekanan, irama dan kecepatan
masuk ke lobus temporal kanan. Analisa linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus
temporal kiri. Girus angular dan supramarginal membantu proses integrasi informasi visual,
auditori dan raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi
berupa penerimaan unit suara melalui telinga, dilanjutkan dengan dekode gramatika. Proses
3
berakhir pada dekode semantik dengan pemahaman konsep atau ide yang disampaikan lewat
pengkodean tersebut.4
Proses ekspresif – Proses encode
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang
masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area
Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati
korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini
merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai
dengan enkode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada
enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara.3,5
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu pemindahan atau
penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan
telinga pendengar. Proses decode-encode diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi.
Dalam proses perkembangan bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif
harus berkembang dengan baik.3,4
BAB III
Perkembangan Berbicara dan Bahasa Normal
Gambar 2: Normal Languange Milestones. Dikutip dari kepustakaan 1
4
a. Di bawah 12 bulan
Penting pada anak-anak usia ini untuk diobservasi bahwa mereka menggunakan
bahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan mereka. Tertawa dan mengoceh adalah fase
awal dari perkembangan berbicara. Seiring dengan pertambahan usia bayi (sekitar usia 9
bulan), mereka mulai merangkai suara-suara, menggabungkan kata-kata dengan nada yang
berbeda, dan mengucapka kata-kata seperti “mama” dan “dada” (tanpa mengetahui makna
dari kata-kata tersebut). Sebelum usia 12 bulan, anak-anak seharusnya sudah peka terhadap
suara. Bayi yang pandangannya fokus sekali tetapi tidak bereaksi terhadap suara mungkin
memiliki gangguan pada pendengarannya.1,5
b. 12 sampai 15 bulan
Anak pada usia ini pada normalnya harus mengoceh lebih banyak lagi dan sedikitnya
mengeluarkan satu atau lebih kata yang bermakna (tidak termasuk “mama” dan “dada”). Kata
benda biasanya muncul lebih awal seperti “baby” dan “ball”. Anak seharusnya juga mampu
untuk memahami dan menuruti satu perintah (contoh, “tolong ambilkan mainanmu.”).5,6
c. 18 sampai 24 bulan
Anak sudah memiliki sekitar 20 perbendaharaan kata pada usia 18 bulan dan 50 atau
lebih kata-kata yang belum sempurna saat usia mereka mencapai 2 tahun. Ketika usia 2 tahun,
anak-anak sudah belajar untuk mengombinasikan dua kata, seperti “adik nangis” atau “ayah
besar.” Seorang anak yang berusia 2 tahun harus sudah mampu untuk melaksanakan dua buah
perintah (seperti "tolong ambilkan mainanmu dan ambil gelasmu” ).1,5,6
d. 2 sampai 3 tahun
Pada usia ini anak akan mengalami perkembangan bahasa yang pesat dan
perbendaharaan kata yang amat meningkat. Mereka sudah bisa menggabungkan tiga atau
lebih kata-kata menjadi satu kalimat. Kemampuan anak dalam memahami bahasa juga
meningkat pada usia 3 tahun. Mereka mulai memahami apa maksud dari “taruh di meja itu”
atau “taruh itu di bawah tempat tidur.” Anak juga sudah harus mulai bisa menyebutkan warna
dan memahami konsep deskriptif (contonya membedakan besar dan kecil).5,6,7
5
II.2. Etiologi
Penyebab gangguan bicara dan bahasa sangat banyak dan luas, semua gangguan mulai
dari proses pendengaran, penerus impuls ke otak, otak, otot atau organ pembuat suara. Berikut
ini adalah beberapa penyebab gangguan bicara. Gangguan bicara pada anak dapat disebabkan
karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem tubuh seperti otak, pendengaran
dan fungsi motorik lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan penyebab ganguan bicara
adalah adanya gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke otak kiri.
Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus kalosum dan
lintasan pendengaran yang saling berhubungan. Hal lain dapat juga di sebabkan karena diluar
organ tubuh seperti lingkungan yang kurang mendapatkan stimulasi yang cukup atau
pemakaian 2 bahasa. Namun bila penyebabnya karena lingkungan biasanya keterlambatan
yang terjadi tidak terlalu berat. Adapun beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan
bicara adalah sebagai berikut:1
II.2.1 Gangguan Pendengaran.
Anak yang mengalami gangguan pendengaran kurang mendengar pembicaraan
disekitarnya. Gangguan pendengaran selalu harus difikirkan bila ada keterlambatan bicara.
Terdapat beberapa penyebab gangguan pendengaran, bisa karena infeksi, trauma atau
kelainan bawaan. Infeksi bisa terjadi bila mengalami infeksi yang berulang pada organ dalam
sistem pendengaran. Kelainan bawaan biasanya karena kelainan genetik, infeksi ibu saat
kehamilan, obat-obatan yang dikonsumsi ibu saat hamil, atau bila terdapat keluarga yang
mempunyai riwayat ketulian. Gangguan pendengaran bisa juga saat bayi bila terjadi infeksi
berat, infeksi otak, pemakaian obat-obatan tertentu atau kuning yang berat (hiperbilirubin).
Pengobatan dengan pemasangan alat bantu dengar akan sangat membantu bila kelainan ini
dideteksi sejak awal. Pada anak yang mengalami gangguan pendengaran tetapi kepandaian
normal, perkembangan berbahasa sampai 6-9 bulan tampaknya normal dan tidak ada
kemunduran. Kemudian menggumam akan hilang disusul hilangnya suara lain dan anak
tampaknya sangat pendiam. Adanya kemunduran ini juga seringkali dicurigai sebagai
kelainan saraf degeneratif. 1,8
II.2.2. Kelainan Organ Bicara.
Kelainan ini meliputi lidah pendek, kelainan bentuk gigi dan mandibula (rahang bawah),
kelainan bibir sumbing (palatoschizis/cleft palate), deviasi septum nasi, adenoid atau kelainan
laring. Pada lidah pendek terjadi kesulitan menjulurkan lidah sehingga kesulitan
6
mengucapkan huruf ”t”, ”n” dan ”l”. Kelainan bentuk gigi dan mandibula mengakibatkan
suara desah seperti ”f”, ”v”, ”s”, ”z” dan ”th”. Kelainan bibir sumbing bisa mengakibatkan
penyimpangan resonansi berupa rinolaliaaperta, yaitu terjadi suara hidung pada huruf
bertekanan tinggi seperti ”s”, ”k”, dan ”g”.1,8
II.2.3. Retardasi Mental
Redartasi mental adalah kurangnya kepandaian seorang anak dibandingkan anak lain
seusianya. Redartasi mental merupakan penyebab terbanyak dari gangguan bahasa. Pada
kasus redartasi mental, keterlambatan berbahasa selalu disertai keterlambatan dalam bidang
pemecahan masalah visuo-motor.8,9
II.2.4. Genetik Heriditer Dan Kelainan Kromosom
Gangguan karena kelainan genetik yang menurun dari orang tua. Biasanya juga terjadi pada
salah satu atau ke dua orang tua saat kecil. Biasanya keterlambatan. Menurut Mery GL anak
yang lahir dengan kromosom 47 XXX terdapat keterlambatan bicara sebelum usia 2 tahun dan
membutuhkan terapi bicara sebelum usia prasekolah. Sedangkan Bruce Bender berpendapat
bahwa kromosom 47 XXY mengalami kelainan bicara ekpresif dan reseptif lebih berat
dibandingkan kelainan kromosom 47 XXX.9
II.2.5. Kelainan Sentral (Otak)
Gangguan berbahasa sentral adalah ketidak sanggupan untuk menggabungkan kemampuan
pemecahan masalah dengan kemampuan berbahasa yang selalu lebih rendah. Ia sering
menggunakan mimik untuk menyatakan kehendaknya seperti pada pantomim. Pada usia
sekolah, terlihat dalam bentuk kesulitan belajar.8,9
II.2.6. Autisme
Gangguan bicara dan bahasa yang berat dapat disebabkan karena autism. Autisme adalah
gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan
keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.1,8,9
II.2.7. Mutism Selektif
Mutisme selektif biasanya terlihat pada anak berumur 3-5 tahun, yang tidak mau bicara pada
keadaan tertentu, misalnya di sekolah atau bila ada orang tertentu. Atau kadang-kadang ia
hanya mau bicara pada orang tertentu, biasanya anak yang lebih tua. Keadaan ini lebih banyak
7
dihubungkan dengan kelainan yang disebut sebagai neurosis atau gangguan motivasi.
Keadaan ini juga ditemukan pada anak dengan gangguan komunikasi sentral dengan
intelegensi yang normal atau sedikit rendah.9
II.2.8. Gangguan Emosi Dan Perilaku Lainnya
Gangguan bicara biasanya menyerta pada gangguan disfungsi otak minimal, gejala yang
terjadi sangat minimal sehingga tidak mudah untuk dikenali. Biasanya diserta kesulitan
belajar, hiperaktif, tidak terampil dan gejala tersamar lainnya.1,9
II.2.9. Deprivasi Lingkungan
Dalam keadaan ini anak tidak mendapat rangsang yang cukup dari lingkungannya. Apakah
stimulasi yang kurang akan menyebabkan gangguan berbahasa? Penelitian menunjukkan
sedikit keterlambatan bicara, tetapi tidak berat. Bilamana anak yang kurang mendapat
stimulasi tersebut juga mengalami kurang makan atau child abuse, maka kelainan berbahasa
dapat lebih berat karena penyebabnya bukan deprivasi semata-mata tetapi juga kelainan saraf
karena kurang gizi atau penelantaran anak.8,9
BAB IV
DIAGNOSIS
Seperti pada gangguan perkembangan lainnya, kesulitan utama dalam diagnosis adalah
membedakannya dari variasi perkembangan yang normal. Anak normal mempunyai variasi
besar pada usia saat mereka belajar berbicara dan terampil berbahasa. Keterlambatan
berbahasa sering diikuti kesulitan dalam membaca dan mengeja, kelainan dalam hubungan
interpersonal, serta gangguan emosional dan perilaku. Untuk menegakkan diagnosis, harus
dilakukan pengujian terhadap intelektual nonverbal anak. Pengamatan pola bahasa verbal dan
isyarat anak dalam berbagai situasi dan selama interaksi dengan anakanak lain membantu
memastikan keparahan, bidang spesifik anak yang terganggu, dan membantu dalam deteksi
dini komplikasi perilaku dan emosional.1,8
II.3. Anamnesis
Anamnesis pada gangguan bahasa dan bicara mencakup perkembangan bahasa anak.
Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan antara lain: Pada usia berapa bayi mulai
mengetahui adanya suara, misalnya berkedip, terkejut, atau menggerakkan bagian tubuh. Pada
usia berapa bayi mulai tersenyum (senyum komunikatif), misalnya saat berbicara padanya.
8
Kapan bayi mulai mengeluarkan suara “aaaggh”. Orientasi terhadap suara, misalnya bila ada
suara apakah bayi memaling atau mencari ke arah suara. Kapan bayi memberi isyarat daag
dan bermain cikkebum. Mengikuti perintah satu langkah, seperti “beri ayah sepatu” atau
“ambil koran”. Berapa banyak bagian tubuh yang dapat ditunjukkan oleh anak, seperti mata,
hidung, kuping, dan sebagainya.1,7,8
Selain itu harus diperhatikan juga tanda bahaya adanya gangguan bahasa dan bicara yaitu bila
pada usia:1,7,8
4–6 Bulan:
Tidak menirukan suara yang dikeluarkan orang tuanya;
Pada usia 6 bulan belum tertawa atau berceloteh
8-10 Bulan:
Usia 8 bulan tidak mengeluarkan suara yang menarik perhatian.
Usia 10 bulan, belum bereaksi ketika dipanggil namanya.
9-10 bulan, tidak memperlihatkan emosi seperti tertawa atau menangis.
12-15 Bulan
12 bulan, belum menunjukkan mimik.
12 bulan, belum mampu mengeluarkan suara, seperti “mama”,“dada”.
12 bulan, tidak menunjukkan usaha berkomunikasi bila membutuhkan sesuatu.
15 bulan, belum mampu memahami arti “tidak boleh” atau “daag”.
15 bulan, tidak memperlihatkan 6 mimik yang berbeda.
15 bulan, belum dapat mengucapkan 13kata.
18-24 Bulan:
18 bulan, belum dapat mengucapkan 6-10kata.
18-20 bulan, tidak menunjukkan ke sesuatu yang menarik perhatian.
21 bulan, belum dapat mengikuti perintah sederhana.
24 bulan, belum mampu merangkai 2 kata menjadi kalimat.
24 bulan, tidak memahami fungsi alat rumah tangga seperti sikat gigi dan telepon.
24 bulan, belum dapat meniru tingkah laku atau katakata orang lain.
9
24 bulan, tidak mampu menunjukkan anggota tubuhnya bila ditanya.
30-36 Bulan:
30 bulan, tidak dapat dipahami oleh anggota keluarga.
36 bulan, tidak menggunakan kalimat sederhana dan pertanyaan dan tidak dapat
dipahami oleh orang lain selain anggota keluarga.
3-4 Tahun:
3 tahun, tidak mengucapkan kalimat, tidak mengerti perintah verbal dan tidak
memiliki minat bermain dengan sesamanya.
3,5 tahun, tidak dapat menyelesaikan kata seperti “ayah” diucapkan “aya”.
4 tahun, masih gagap dan tidak dimengerti secara lengkap.
II.4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mengungkapkan penyebab lain dari gangguan
bahasa dan bicara. Perlu diperhatikan ada tidaknya mikrosefali, anomali telinga luar, otitis
media yang berulang, sindrom William (fasies Elfin, perawakan pendek, kelainan jantung,
langkah yang tidak mantap), celah palatum, dan lain-lain. Gangguan oromotor dapat diperiksa
dengan menyuruh anak menirukan gerakan mengunyah, menjulurkan lidah, dan mengulang
suku kata pa, ta, pata, pataka.7
II.5. Pemeriksaan Penunjang
II.5.1. BEHAVIOURAL AUDIOMETRI
Untuk anak–anak biasanya dilakukan “Play Audiometri” yaitu uji pendengaran dengan
bermain dan diperlukan audiologist yang berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang baik.
Biasanya untuk menguji kemajuan/kemunduran fungsi pendengaran terutama pada pasien
gangguan pendengaran.7,8
10
Gambar 3: Play Audiometry. Dikutip dari kepustakaan 7.
Sedangkan pada audiometric tutur dites seberapa banyak kemampuan mengerti
percakapan pada intensitas yang berbeda. Tes terdiri dari sejumlah kata-kata tertentu yang
diberikan melalui headphone atau pengeras suara free field. Kata-kata tersebut harus diulangi
oleh orang yang dites. Setelah selesai, persentase berapa kata yang dapat diulang dengan
benar dapat diketahui. Selain itu, tes distraksi juga bisa dilakukan. Test ini bisa dilakukan oleh
dua orang terlatih, dalam suasana yang senyap dan dengan menggunakan pelbagai stimuli
standar akoustik. Setup untuk prosedur ini bisa dilihat di gambar bawah. 4,7,9
Gambar 4: Tes Distraksi. Seorang pemeriksa berada di depan dan mengalih perhatian anak dengan alat mainan.
Pemeriksa kedua yang berdiri di belakang anak akan coba menarik perhatian anak dengan membunyikan alat
stimuli auditori standar. Mendengar bunyi tersebut, anak tersebut akan mengalihkan perhatian terhadap bunyi
tersebut. Dikutip dari kepustakaan 4.
11
II.5.2. TES TYMPANOMETRI
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai telinga tengah (tulang
sanggurdi). Caranya mirip dengan OAE tapi responnya dari defleksi (perubahan gerak)
gendang telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan, obyektif dan tidak perlu respon aktif dari
pasien. Biasanya digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan telinga tengah jika
hasil OAE menunjukkan respon negatif.4,7
Gambar 5: Pemeriksaan Timpanometri pada seorang anak. Dikutip dari kepustakaan 7.
II.5.3. TES OAE (Oto Acoustic Emission).
Menguji kinerja alat pendengaran dari gendang sampai rumah siput tetapi terutama
rumah siput. Cara kerjanya dengan memberikan nada murni ke telinga dan menangkap
responnya melalui perubahan tekanan di saluran telinga. Tesnya juga tidak menyakitkan dan
tidak memerlukan respon aktif dari pasien serta obyektif. Biasanya digunakan untuk
mendeteksi gangguan pendengaran khususnya akibat gangguan di telinga tengah karena
OME, OMA atau sensorinerual hearing loss (SNHL) yaitu kerusakan sel saraf di rumah
siput.4,7,9
12
Gambar 6. Pemeriksaan OAE pada seorang anak berumur 6 bulan. Dikutip dari kepustakaan 7.
II.5.4. TES BERA (Brainstem Evoked Response Auditory) atau ABR (Auditory Brainstem
Response).
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga (telinga luar) sampai ke
otak. Cara kerjanya dengan memberikan bunyik klik pada frekuensi yang berbeda–beda pada
tingkat kekerasan yang berbeda–beda pula responnya ditangkap langsung oleh sensor di otak.
Tesnya tidak menyakitkan (non-invasive), tidak perlu respon aktif dari pasien dan hasilnya
menyeluruh. Tes ini adalah tes paling umum dalam mendeteksi gangguan pendengaran.4,7
Gambar 8: Tes BERA. Dikutip dari kepustakaan 7.
II.5.5. TES ASSR (Auditory Steady State Response).
Menguji kinerja seluruh alat pendengaran dari gendang telinga sampai ke otak. Cara
kerjanya seperti BERA tapi yang diberikan adalah nada murni seperti layaknya tes
13
audiometri. Namun tidak diperlukan partisipasi aktif dari pasien karena respon langsung
dicatat oleh sensor yang menangkap aktifitas otak. Tes ini tidak menyakitkan dan tidak
memerlukan respon aktif namun pasien harus diam dan tenang dalam waktu yang cukup lama,
kurang lebih 1 jam. Seringkali dianjurkan agar pasien ditidurkan atau diberi obat tidur jika
memang sulit, diminta untuk tetap tenang dan diam. Digunakan untuk mendeteksi gangguan
pendengaran pada bayi dan anak - anak yang masih kecil.4,7,9
Gambar 9. Tes Auditory Steady State Response. Dikutip dari kepustakaan 7.
14
BAB VI
PENANGANAN
Gambar 10. Langkah-langkah dalam evaluasi dan penanganan anak-anak dengan speech delay. Dikutip dari
kepustakaan 1.
Pemeriksaan dari psikolog atau/neuropsikiater anak diperlukan jika ada gangguan bahasa
dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat dan tes bahasa, keampuan kognitif dan
tingkah laku. Tes intelegensia dapat dipakai sebagai perbandingan fungsi kognitif anak
tersebut. Masalah tingkah laku dapat diperiksa lebih lanjut dengan menggunakan instrumen
seperti Vineland Social Adaptive Scale Revised. Child Behaviour Checklist, atau Childhood
Autism Rating Scale. Konsultasi ke psikiater anak dilakukan bila ada gangguan tingkah laku
yang berat.9,10
15
Terapi wicara dilakukan oleh seorang Speech-languange pathologist (SLPs), atau
lazimnya dkenal sebagai terapis wicara. Terapis wicara adalah tenaga profesionnal terdididik
dalam bidang komunikasi, perkembangannya, serta gangguan yang menyertainya. Para terapis
wicara pada umumnya mengenyam pendidikan khusus terapi wicara dan memiliki sertifikat
keahlian di bidangnya.5,10
Dengan menilai kemampuan berbicara, bahasa, komunikasi kognitif, dan keterampilan
menelan pada anak-anak dan orang dewasa, terapis wicara dapat mengidentifikasi jenis
masalah komunikasi dan cara terbaik untuk melatih kemampuan berbicara mereka.5
Terapis wicara melakukan terapi pada masalah di bidang artikulasi; difluency
(ketidaklancaran berbicara); gangguan makan, gangguan bunyi suara (sengau), serta gangguan
bahasa reseptif dan eskpresif.5,9
Dalam terapi wicara dan bahasa, seorang terapis wicara akan melakukan sesi terapi tatap
muka individual (one to one), dalam kelompok kecil, atau langsung di ruang kelas, guna
menghindari distraksi yang disebabkan oleh gangguan/kelainan tertentu.8
Terapis menggunakan berbagai strategi terapi, diantaranya:
a) Kegiatan Intervensi Bahasa
Dalam latihan ini terapis akan berinteraksi dengan anak lewat aktivitas bermain dan
berbicara. Terapis dapat menggunakan gambar, buku, obyek tertentu, atau kejadian di sekitar
anak pada saat aktivitas berlangung, untuk menstimulasi perkembangan bahasa. Terapis juga
dapat mencontohkan pelafalan yang tepatdan melakukan latihan berulang-ulang untuk
membangun kemampuan bicara dan bahasa anak.5,8
b) Terapi Artikulasi
Dalam latihan artikulasi atau pembentukan suara, peran terapis dalam memberikan
contoh pembentukan bunyi serta suku kata yang tepat kepada anak, harus dilakukan secara
konsisten selama aktivitas berlangsung. Tingkat kesulitan aktiivitas bermain harus
disesuaikan dengan usia dan jenis kebutuhan anak. Terapis akan memberikan contoh
bagaimana memproduksi suara dengan tepat dengan cara memeragakan secara gamblang
pergerakan lidah dan alat ucapan lainnya sehingga sebuah bunyi – misalnya “r” dapat
dihasilkan dengan baik dan tepat.1,8,10
c) Terapi Oral Motorik/ Terapi Makan
Terapis akan mengunakkan berbagai terapi oral motorik, termasuk pemijatan wajah dan
berbagai terapi pergerakkan lidah, bibir dan rahang untuk memperkuat otot-otot mulut.
Sementara itu, dalam terapi makan dan mengunyah, terapis akan menggunakan beberapa
16
macam makanan dengan tingkatan tekstur dan temperatur yang bebrbeda, sehingga dapat
melatih kepekaan oral motorik anak pada saat makan dan mengunyah.10
Pada anak-anak dengan gangguan pendengaran, langkah-langkah seperti alat bantu
dengar, pelatihan pendengaran, instruksi bibir-membaca dan myringotomy dapat
diindikasikan, kadang-kadang, rekonstruksi saluran pendengaran eksternal, rekonstruksi
tulang pendengaran dan implantasi koklea mungkin diperlukan.10
Psikoterapi diindikasikan untuk anak dengan sifat mutisme elektif. Hal ini juga
dianjurkan bila keterlambatan bicara disertai dengan kecemasan yang tidak semestinya atau
depresi. Pada anak-anak autis, keuntungan dalam akuisisi pidato telah dilaporkan dengan
terapi perilaku yang mencakup pengkondisian operan.10
17
BAB VI
KESIMPULAN
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena
kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem lainnya,
sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan lingkungan di
sekitar anak. Diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %.
Secara umum, gangguan berbahasa dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu:
(1) Kegagalan memperoleh kemampuan berbahasa apapun. Keadaan ini misalnya
terdapat pada anak yang menderita retardasi mental berat;
(2) Kendala kemampuan bahasa yang telat didapat, yang dapat disebabkan oleh trauma
fisik damupun psikis, atau oleh gangguan neurologist;
(3) Gangguan perkembangan berbahasa. Tipe inilah yang dikategorikan dalam gangguan
perkembangan spesifik.
Terdapat dua sub tipe, yaitu:
(a) tipe reseptif, yaitu kesukaran untuk menerima dan mengerti bahasa yang dibicarakan,
dan,
(b) tipe ekspresif, yaitu kesukaran dalam mengekspresikan bahasa secara verbal.
Deteksi dan penanganan dini pada gangguan keterlambatan bicara dan bahasa dapat
membantu baik anak atau orang tua untuk memperkecil kesulitan di masa sekolah anak.
Dalam diagnosa dan penanganannya diperlukan ahli yang beragam seperti dokter, ahli terapi:
ahli terapi bicara dan ahli fisioterapi, psikolog, perawat, dan pekerja sosial.
18