ANALISIS PENGARUH TRANSISI PERTANIAN SUBSISTEN KE PERTANIAN …repository.ub.ac.id/1354/1/Christian...
Transcript of ANALISIS PENGARUH TRANSISI PERTANIAN SUBSISTEN KE PERTANIAN …repository.ub.ac.id/1354/1/Christian...
ANALISIS PENGARUH TRANSISI PERTANIAN SUBSISTEN
KE PERTANIAN KOMERSIAL TERHADAP PENYERAPAN
TENAGA KERJA DI KOTA BATU
SKRIPSI
DISUSUN OLEH :
CHRISTIAN BENNY HARIYANTO
0910213070
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI Nama Lengkap : Christian Benny Hariyanto Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 2 Maret 1992 Jenis Kelamin : Laki – Laki Kewarganegaraan : Indonesia Agama : Kristen Status : Belum Menikah Alamat : Jl. Adam Malik. Perum Citra Griya B.65. Samarinda No Telp : 08115555570 Email : [email protected] PENDIDIKAN FORMAL 1. SDK 1 W.R.SOEPRATMAN SAMARINDA : 1997 - 2003 2. SMPK 1 W.R SOEPRATMAN SAMARINDA : 2003 - 2006 3. SMA NEGRI 3 SAMARINDA : 2006 - 2009 4. S1 ILMU EKONOMI UNIVERSITAS BRAWIJAYA : 2009 - 2017
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Ucapan terima kasih sebesar – besarnya kepada Tuhan yang Maha Esa, karna
berkat dan rahmat Nya saya bisa menulis skripsi ini dengan lancar meskipun ada
beberapa halangan yang harus dihadapi
2. Terima kasih kepada kedua orang Tua saya Bapak Sugeng Harijanto dan Ibu
Sukana yang senantiasa mendukung dana, daya dan doa di setiap penyusunan
skripsi ini sehingga saya bisa menyeloesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya
3. Terimakasih kepada Ibu Asfi Manzilati selaku pembimbing pembuatan skripsi, karna
telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing saya menulis skripsi.
4. Terima kasih kepada sekretaris jurusan ilmu ekonomi Universitas Brawijaya bapak
Putu Mahardika yang juga senantiasa membantu saya dalam proses pembuatan
skripsi
5. Terima kasih kepada ketua jurusan ilmu ekonomi Universitas Brawijaya bapak Dwi
Budi Santoso yang juga telah meluangkan waktunya untuk membantu
menyelesaikan skripsi ini
6. Terima kasih kepada seluruh jajaran staff dan karyawan fakultas ekonomi jurusan
ilmu ekonomi universitas brawijaya malang.
7. Terima kasih untuk teman teman Bedjo Makmur yang sudah membantu semangat
saya untuk selalu menulis dan mengerjkan skripsi
8. Kepada seluruh keluarga dimalang yang selalu mendukung serta mendoakan agar
saya bisa menyelesaikan skripsi ini.
Analisis Pengaruh Transisi Pertanian Subsisten Ke Pertanian Komersial Terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja Di Kota Batu. Christian Benny Hariyanto
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Brawijaya
Abstrak
Tiga tahap dasar dalam evolusi produksi pertanian, yaitu pertanian murni, pertanian keluarga
yang terdiversifikasi atau campuran, dan pertanian modern. Dimana dalam proses transisi pertanian
juga berhubungan dalam penyerapan tenaga kerja. Salah satu contoh daerah yang mengalami transisi
di Indonesia adalah Kota Batu dimana kota ini beralih fungsi dari daerah pertanian subsisten menjadi
daerah pertanian komersial. Adanya perubahan konsep pertanian ini dapat berpengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja yang ada di Kota Batu terutama di sektor pertanian. Dalam penelitian ini
digunakan regresi linier berganda (OLS) dengan pengujian asumsi klasik dan goodness of fit. Hasil
dari penelitian ini adalah variabel modal kerja, nilai penjualan, harga output mempunyai pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap jumlah tenaga kerja. Sedangkan variabel pendidikan yang
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Dan variabel yang dominan
berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja adalah variabel nilai penjualan yang memiliki nilai
koefisien tertinggi.
Keyword: Pertanian subsisten, pertanian komersil, tenaga kerja
The Influence Of Subsistence Agriculture Transition To Commercial Agriculture On
The Employment Rate In Batu City Christian Benny Hariyanto
Faculty Of Economics And Business University Of Brawijaya
Abstract
The three basic stages in the evolution of agricultural production, namely pure agriculture, diversified
or mixed family farming, and modern agriculture. Where in the process of agricultural transition is
also related in the absorption of labor. One example of a transitional region in Indonesia is Batu City
where the city is switching from subsistence agriculture to commercial farming areas. The change of
the concept of agriculture can affect the absorption of labor in Batu City, especially in the agricultural
sector. In this study used multiple linear regression (OLS) with testing the classical assumption and
goodness of fit. The result of this research is working capital variable, sales value, output price have
positive and significant influence to the amount of labor. While the education variables that have a
negative and significant effect on the absorption of labor. And the dominant variable affecting the
absorption of labor is the variable of sales value which has the highest coefficient value.
Keyword: Subsistence agriculture, commercial agriculture, labor
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penulis tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik.
Skripsi ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Analisis Pengaruh Transisi Pertanian Subsisten Ke Pertanian Komersial Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Kota Batu”, yang Penulis sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Skripsi ini di susun oleh penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri Penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya Skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini memuat tentang bagaimana perpindahan para petani subsisten menjadi petani komersial di kota Batu yang salah satu penyebabnya adalah perubahan identitas kota Batu itu sendiri, yang sebelumnya adalah kota penghasil komoditi pertanian, saat ini kota Batu menjadi salah satu Kota dengan objek wisata terbanyak di Indonesia.
Semoga Skripsi ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun skripsi ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terimakasih.
Malang, 1 Februari 2017
Penulis
Daftar Isi
Cover Penelitian .......................................................................................... i
Lembar Pengesahan .................................................................................. ii
Surat Pernyataan ....................................................................................... iii
Daftar Isi ..................................................................................................... iv
Daftar Tabel ................................................................................................. v
Daftar Gambar ............................................................................................. vi
Abstraksi .................................................................................................... vii
Bab I Pendahuluan ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 8
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 9
Bab II Tinjauan Pustaka .............................................................................. 10
2.1. Pasar Tenaga Kerja ............................................................. 10
2.1.1. Tenaga Kerja ............................................................. 10
2.1.2. Permintaan Tenaga Kerja .......................................... 12
2.1.3. Penawaran Tenaga Kerja ........................................... 15
2.1.4. Penyerapan Tenaga Kerja ......................................... 16
2.2. Pertanian Subsisten ............................................................. 18
2.2.1 Hubungan Transisi Pertanian Subsisten ke Komersial Terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja ................................................... 21
2.3. Penelitian Terdahulu ............................................................ 23
2.4. Kerangka Pemikiran ............................................................. 26
2.5. Hipotesa............................................................................... 27
Bab III Metode Penelitian ............................................................................ 29
3.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ......................................... 29
3.2. Lokasi dan Objek Penelitian ................................................. 29
3.3. Populasi dan Metode Sampling ............................................ 30
3.4. Definisi Operasional Variabel ............................................... 30
3.5. Jenis Data dan Sumber Data ............................................... 31
3.6. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 32
3.7. Analisa Data ........................................................................ 33
3.7.1. Perumusan Fungsi Regresi ...................................... 33
3.7.1.1. Uji Regresi Secara Parsial (Uji-T) ................ 34
3.7.1.2. Uji Regresi Secara Keseluruhan (Uji-F) ....... 35
3.7.1.3. Uji R2 (Koefisien Determinasi) ...................... 36
3.7.2. Uji Asumsi Klasik ...................................................... 37
3.7.2.1. Uji Normalitas .............................................. 37
3.7.2.2. Uji Multikolinearitas ...................................... 38
3.7.2.3. Uji Heteroskedastisitas................................. 38
3.7.2.4 Uji Autokorelasi ............................................. 39
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ................................................. 40
4.1. Hasil Penelitian .................................................................... 40
4.1.1. Deskripsi Usaha Responden .................................... 40
4.1.2. Deskripsi Responden ................................................ 41
4.1.2.1. Jenis Kelamin .............................................. 41
4.1.2.2. Usia Responden .......................................... 42
4.1.2.3. Tingkat Pendidikan ...................................... 42
4.1.2.4. Harga Output ............................................... 44
4.1.2.5. Modal Kerja .................................................. 44
4.1.2.6. Nilai Penjualan ............................................. 46
4.2. Hasil Analisis Data dan Pembahasan .................................. 47
4.2.1. Hasil Analisis Regresi Berganda ............................... 47
4.2.2. Pengujian Secara Simultan Dengan Uji F (F-Test) ... 49
4.2.3. Pengujian Secara Parsial dengan Uji t (t-Test) ......... 50
4.2.4. Koefisien Korelasi ..................................................... 51
4.2.5. Koefisien Determinasi (R2) ........................................ 53
4.2.6. Interpretasi Persamaan Regresi yang dihasilkan ...... 53
4.3. Hasil Uji Asumsi Klasik ......................................................... 54
4.3.1. Uji Multikolinieritas .................................................... 55
4.3.2. UjiHeterokedastisitas ................................................ 56
4.3.3. UjiNormalitas ............................................................ 57
4.3.4. Uji Autokorelasi ......................................................... 58
4.4. Pembahasan ........................................................................ 59
4.4.1. Variabel-VariabelyangMempengaruhiJumlah
TenagaKerjaUsahaTaniDesa SidomulyoBatu ........... 59
4.4.2. Pengaruh Modal Terhadap Jumlah Tenaga Kerja ..... 59
4.4.3. Pengaruh Nilai PenjualanTerhadap Jumlah Tenaga
Kerja ......................................................................... 60
4.4.4. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Jumlah
Tenaga Kerja ............................................................ 60
4.4.5. Pengaruh Harga Output Terhadap Jumlah Tenaga
Kerja ......................................................................... 60
Bab V Penutup... ......................................................................................... 61
5.1. Kesimpulan .......................................................................... 61
5.2. Saran ................................................................................... 62
Daftar Pustaka ............................................................................................ 63
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
Dan Jenis Kelamin di Kota Batu, 2013-2014 ................................. 7
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ..................................................................... 25
Tabel 3.1 Hipotesa Autokorelasi dengan DW-test ......................................... 39
Tabel 4.1 Jenis Usaha Responden ............................................................... 40
Tabel 4.2 Jenis Kelamin Responden ............................................................. 41
Tabel 4.3 Usia Responden ........................................................................... 42
Tabel 4.4Tingkat Pendidikan Pemilik Usaha Tani ......................................... 43
Tabel 4.5 Tingkat Harga output Tenaga Kerja Sektor Industri ....................... 44
Tabel 4.6 Modal Kerja Usaha Tani ................................................................ 45
Tabel 4.7 Luas Tanah yang Dimiliki .............................................................. 45
Tabel 4.8 Asal Kepemilikan Tanah ................................................................ 46
Tabel 4.9 Nilai Penjualan .............................................................................. 47
Tabel 4.10 Hasil Analisis Regresi Berganda ................................................. 48
Tabel 4.11 ANOVA ....................................................................................... 50
Tabel 4.12 Hasil Uji Partial Koefisien Regresi ............................................... 51
Tabel 4.13Nilai Koefisien Korelasi dan Determinasi ...................................... 52
Tabel 4.14HasilUjiMultikolinieritas ................................................................. 55
Tabel 4.15HasilUjiHeteroskedastisitas .......................................................... 56
Tabel 4.16HasilUjiNormalitas ........................................................................ 57
Tabel 4.17Hasil Uji Autokorelasi ................................................................... 58
i
Daftar Gambar
Gambar2.1 Kerangka Pemikiran ................................................................... 27
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Byres (2006), FAO (2009) dan Oya (2007) menjelaskan bahwa pertanian
memiliki peranan dalam pembangunan, dan mempromosikan pertanian yang
berubah dari pertanian subsisten menjadi pertanian komersial merupakan hal
yang ideal dalam mengentaskan kemiskinan. Pentingnya sektor pertanian dalam
mengurangi kemiskinan dan pembangunan negara tidak terlepas dari tahapan
transisi pertanian atau evolusi produksi pertanian.
Todaro (2010) menjelaskan bahwa terdapat tiga tahap dasar dalam
evolusi produksi pertanian. Yang pertama adalah pertanian murni, dimana
produktivitas rendah, dan sebagian besar tingkat subsisten merupakan petani
pertanian. Tahap kedua merupakan pertanian keluarga yang terdiversifikasi atau
campuran, dimana sebagian kecil dari produk yang ditanam digunakan untuk
dikonsumsi dan sebagian lainnya dijual ke sektor komersial, seperti di sebagian
besar Asia. Tahap ketiga merupakan pertanian modern, yang secara khusus
memiliki produktivitas pertanian tinggi dan dipasarkan secara komersial, seperti
di negara-negara maju dan sering ditemukan di negara-negara berkembang
yang memiliki urbanisasi tinggi.
Dalam proses transisi usaha tani yang subsisten menjadi usaha tani yang
komersil dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang dilihat dari mikroekonomi
rumah tangga petani. Mathijs dan Noev (2002) telah mengidentifikasi faktor-
faktor yang menghambat rumah tangga petani pada era transisi pertanian ini
untuk berpartisipasi dalam pasar dan bisa keluar dari pola usaha tani yang
2
subsisten. Dan dalam proses komersialisasi usaha tani yang tergolong subsisten
erat hubungannya dengan perkembangan ekonomi di suatu daerah. Petani akan
menjadi semakin komersil apabila memiliki akses kepada sumber ekonomi yaitu
pasar. Akses kepada pasar akan sangat mempengaruhi tingkat komersialisasi
usahatani. Menurut Mathjis dan Noev (2002) dalam penelitiannya dijelaskan
bahwa jarak kepada pasar memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat
komersialisasi dimana petani yang tinggal dekat pasar akan memiliki akses yang
lebih baik untuk menjual output dan mendapatkan input modern untuk
meningkatkan produksi usaha tani. Sehingga pertanian sekarang tidak hanya
sebagai sektor utama dalam tumpuan ketahanan pangan, melainkan sektor
pertanian memiliki fungsi strategis lainnya termasuk untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan lingkungan dan sosial (kemiskinan, keadilan dan lain-lain)
serta fungsinya sebagai penyedia sarana wisata (agrowisata).
Kydd (2002) menjelaskan bahwa transisi pertanian juga menyerap tenaga
kerja. Dimana perubahan pertanian subsisten ke pertanian komersial akan
mengurangi tenaga kerja yang digunakan. Hall (2009) menjelaskan bahwa
perbedaan tipe pertanian akan menciptakan pola yang berbeda dimulai dari
penggunaan produksinya dan penyerapan tenaga kerja serta mata pencariaan
masyarakat setempat.
Lewis pun menjelaskan dalam teorinya bahwa kelebihan yang terjadi di
sektor pertanian dan tingginya upah di sektor lain akan menyebabkan
perpindahan tenaga kerja ke sektor lain. Dimana ada beberapa negara yang
sesuai dengan karakterisasi dari Lewis dan ada yang tidak berjalan lancar.
Sekarang ini, sektor-sektor modern di beberapa negara pada dasarnya
menghadapi supply tenaga kerja tak terbatas. Dengan adanya proses
pertumbuhan sektor modern menimbulkan pembentukan modal yang lebih besar
3
daripada upah pekerja. Dengan kata lain kondisi di sektor modern cenderung
capital intensive. Dalam kondisi tersebut ketika terjadi permintaan akan tenaga
kerja, maka pekerja menanggapi peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor
formal dengan mengambil pekerjaan tersebut. Seiring waktu dalam jangka
panjang, upah di sektor formal tetap tidak berubah, karena perusahaan tidak
perlu menaikkan upah untuk menarik tenaga kerja lebih banyak dan tertolong
dengan adanya perkembangan teknologi. Sehingga supply tenaga kerja sektor
formal yang tidak terbatas hanya digunakan sedikit. Excess supply tenaga kerja
yang terjadi menimbulkan pengangguran dan keterbuangan tenaga kerja ini
tertolong dengan adanya sektor informal (Wang dan Piesse, 2009). Dalam
penelitian Wijayanti (2015) menjelaskan bahwa tenaga kerja yang memasuki
sektor formal yaitu industri terbuang ke sektor lain atau kembali ke sektor
pertanian, karena adanya barrier yaitu upah minimum yang terlalu tinggi.
Indonesia merupakan negara agraris dan sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian di bidang pertanian. Sebenarnya negara ini diuntungkan
karena dikaruniai kondisi alam yang mendukung, hamparan lahan yang luas,
keragaman hayati yang melimpah, serta beriklim tropis dimana sinar matahari
terjadi sepanjang tahun sehingga bisa menanam sepanjang tahun. Realita
sumberdaya alam seperti ini pernah menjadikan Indonesia sebagai swasembada
beras pada pertengahan tahun 1980-an. Sebagai negara agraris, hingga kini
mayoritas penduduk Indonesia telah memanfaatkan sumberdaya alam untuk
menunjang kebutuhan hidupnya dan salah satunya ialah dengan
menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Adanya hal tersebut sektor
pertanian memiliki peranan yang sangat penting, karena sebagai penghasil
pangan bagi penduduk yang jumlah tiap tahunnya selalu terus bertambah.
4
Pada tahun 2010-2014, Kementan (2015) menjelaskan bahwa rata-rata
kontribusi sektor pertanian terhadap PDB mencapai 10,26% dengan
pertumbuhan sekitar 3,90%. Sub-sektor perkebunan merupakan kontributor
terbesar terhadap PDB sektor pertanian. Pada periode yang sama, sektor
pertanian menyerap angkatan kerja terbesar walaupun ada kecenderungan
menurun. Pada tahun 2014 sektor pertanian menyerap sekitar 35,76 juta atau
sekitar 30,2 % dari total tenaga kerja. Investasi di sektor pertanian primer baik
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing
(PMA) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 4,2% dan 18,6% per tahun.
Rasio ekspor-impor pertanian Indonesia sekitar 10 berbanding 4, dengan laju
pertumbuhan ekspor mencapai 7,4% dan pertumbuhan impor 13,1% per tahun.
Neraca perdagangan tumbuh positif dengan laju 4,2% per tahun.
Hal ini terlihat dari data kementan (2015) yang menjelaskan bahwa Nilai
Tukar Petani (NTP) meningkat sangat pesat, walaupun sempat menurun pada
tahun 2013, namun NTP melonjak dari sebesar 101,78 pada tahun 2010 menjadi
106,52 pada tahun 2014. Tingkat pendapatan petani untuk pertanian dalam arti
luas maupun pertanian dalam arti sempit menunjukkan peningkatan yang
diindikasikan oleh pertumbuhan yang positif masing-masing sebesar
5,64%/tahun dan 6,20 %/tahun selama kurun waktu 2010 – 2014. Pada periode
yang sama, jumlah penduduk miskin di perdesaan yang sebagian besar bergerak
di sektor pertanian menurun dengan laju sebesar -3,69%/tahun atau menurun
dari sekitar 19,93 juta pada tahun 2010 menjadi 17,14 juta pada tahun 2014.
Kota Batu merupakan salah satu daerah yang beralih fungsinya dari
daerah pertanian subsisten menjadi daerah pertanian komersial. Pengembangan
kawasan agropolitan di Kota Batu terdapat pada beberapa kawasan pertanian
yang kondisi fisik, sosial budaya dan ekonomi cenderung kuat mengarah ke
5
kegiatan pertanian. Keberadaan gunung, hutan, dan pertanian yang
mendominasi keruangan Kota Batu, sangat sesuai untuk pengembangan wisata
alam terkait dengan potensi yang ada di gunung, hutan, dan pertanian tersebut,
misalnya pemandangan alam, air terjun, sumber air panas, agro wisata, wisata
petualangan seperti pendakian, paralayang, gantole, panjat tebing dan lain
sebagainya. Pemanfaatan pekarangan rumah penduduk yang sebagian besar
digunakan untuk tanaman bunga, apel, apotik hidup, dan komoditas sayuran
lainnya juga menjadi daya tarik tersendiri dari segi wisata dan lingkungan hidup
di samping nilai ekonomis.
Seiring dengan pertumbuhan dan perubahan status Batu menjadi “Kota”,
membawa dampak perubahan tersendiri terhadap wajah Kota Batu.
Pengembangan daerah, pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung
sarana dan prasarana umum menjadi tuntutan yang harus dihadapi dan dijawab
oleh pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu
sebagai salah satu ikon pariwisata di provinsi Jawa Timur, Kota Batu juga mulai
berbenah, mempercantik diri dan menambah pembangunan kawasan – kawasan
pariwisata buatan guna menarik wisatawan dari luar daerah. Kota Batu
merupakan peningkatan kota administratif dari Kabupaten Malang, berdasarkan
Undang – Undang No. 11 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Batu. Kota
Batu terdiri atas 3 kecamatan yaitu Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan
Kecamatan Junrejo.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batu No. 7 tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu Tahun 2010-2030, Kota Batu ditetapkan
berdasarkan fungsi wilayahnya terbagi atas 3 BWK (Bagian Wilayah Kota), yaitu
BWK I sebagai wilayah utama pengembangan pusat pemerintahan kota,
pengembangan kawasan kegiatan perdagangan dan jasa modern, kawasan
pengembangan kegiatan pariwisata dan jasa penunjang akomodasi wisata serta
6
kawasan pendidikan menengah dengan cakupan wilayah meliputi Kecamatan
Batu dengan pusat pelayanan berada di Desa Pesanggrahan; BWK II sebagai
wilayah utama pengembangan permukiman kota dan dilengkapi dengan pusat
pelayanan kesehatan skala kota dan regional, kawasan pendidikan tinggi dan
kawasan pendukung perkantoran pemerintahan dan swasta dengan cakupan
wilayah meliputi Kecamatan Junrejo dengan pusat pelayanan di Desa Junrejo;
dan BWK III sebagai wilayah utama pengembangan kawasan agropolitan,
pengembangan kawasan wisata alam dan lingkungan serta kegiatan agrowisata
dengan cakupan wilayah meliputi Kecamatan Bumiaji dengan pusat pelayanan di
Desa Punten.
Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang pasal 1 ayat 24, kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri dari
satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi
pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh
adanya keterkaitan fungsional dan hirakhi keruangan satuan sistem permukiman
dan sistem agribisnis. Pembangunan kawasan agropolitan bertujuan untuk
membendung urbanisasi dari daerah perdesaan ke perkotaan. Pengembangan
lahan yang terjadi di Kota Batu meliputi sektor perkebunan, pertanian,
perikanan, peternakan dan lain sebagainya, memiliki komoditas unggulan serta
sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian utama di sektor pertanian.
Menjadi suatu dilema bagi pemerintah dimana sektor perdagangan dan jasa
mampu menyumbang PDRB secara signifikan dibandingkan komoditas
pertanian, sehingga pembangunan biasanya lebih ditujukan untuk pembangunan
sektor- sektor penunjang pariwisata. Dimana kegiatan pariwisata memberikan
dampak yang relatif cukup besar dan disisi lain juga menunjang pemasaran dari
produk pertanian di Kota Batu.
7
Tabel 1.1 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha Dan Jenis Kelamin di Kota Batu, 2013-2014
Lapangan
Usaha
Laki-laki Perempuan Jumlah %
2013 2014 2013 2014 2013 2014 2013 2014
Pertanian
Industri
Jasa
20.327
12.565
30.859
20.944
13.351
29.964
9.905
3.877
23.806
12.317
4.860
23.183
30.232
16.442
54.665
33.261
18.211
53.147
30
16
54
32
17
51
Total 63.751 64.259 37.588 40.360 101.339 104.619 100 100
Sumber: BPS Kota Batu (2016)
Adanya perubahan konsep pertanian ini dapat berpengaruh terhadap
penyerapan tenaga kerja yang ada di Kota Batu. Terutama penduduk Kota Batu
bekerja di sektor pertanian. Dimana pada tahun 2013 sebanyak 30.232 jiwa
bekerja di sektor pertanian dan naik sebesar 2 persen pada tahun 2014 menjadi
33.261 jiwa bekerja yang terdiri dari 20.944 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan
12.317 jiwa berjenis kelamin perempuan. Dari tabel 1.1 juga diketahui bahwa
terjadi penurunan pekerja sebesar 3% di sektor jasa dari 54.665 jiwa atau 54%
menjadi 53.147 atau 51% dari total angkatan kerja yang ada di Kota Batu. Hal ini
menunjukkan adanya perubahan struktur tenaga kerja yang lebih beralih dari
sektor jasa ke sektor pertanian.Dari penjelasan tersebut penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Transisi Pertanian
Subsisten ke Pertanian Komersial Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di
Kota Batu”.
8
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh modal, nilai penjualan, tingkat pendidikan dan
harga output dalam transisi pertanian dari subsisten ke komersial terhadap
penyerapan tenaga kerja di Kota Batu?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah dalam penelitian ini,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui pengaruh modal, nilai penjualan, tingkat pendidikan dan
harga output dalam transisi pertanian dari subsisten ke komersial terhadap
penyerapan tenaga kerja di Kota Batu.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat atau kontribusi dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis dan akademis, penelitian ini memperkaya pemahaman
tentang pengaruh transisi pertanian dari pertanian subsisten ke
pertanian komersial terhadap penyerapan tenaga kerja pertanian.
2. Secara praktis, penelitian ini juga menjadi penting terutama dalam
membantu untuk memberikan masukan dalam menyusun strategi
pembangunan wilayah di Jawa Timur terkait dengan pelaksanaan
pengembangan sektor pertanian.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pasar Tenaga Kerja
2.1.1 Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat
dibutuhkan dalam sector pertanian dan Usaha Kecil dan Menengah. Menurut
Badan Pusat Statistik penduduk usia kerja adalah penduduk di atas lima belas
tahun keatas, yang dibedakan menjadi dua yaitu Angkatan Kerja dan Bukan
Angkatan Kerja. Angkatan Kerja adalah mereka yang berumur lima belas tahun
keatas dan mempunyai pekerjaan, baik bekerja maupun sementara tidak bekerja
karena suatu sebab. Disamping itu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan
tetapi sedang mencari pekerjaan juga termasuk dalam Angkatan Kerja. Bukan
Angkatan Kerja adalah mereka yang berumur lima belas tahun keatas yang
kegiatannya hanya sekolah, mengurus rumah tangga dan lain-lain. Pertumbuhan
penduduk akan mempengaruhi jumlah angkatan kerja.
Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja
adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Berdasarkan UU No. 25 tahun 2007 tentang
ketenagakerjaan, ketetapan batas usia kerja penduduk Indonesia adalah 15
tahun. Tenaga kerja atau yang disebut Penduduk Usia Kerja (PUK) terdiri dari
Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja. Angkatan Kerja mencakup penduduk
yang bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Penduduk yang bekerja
dibagi menjadi dua, yaitu penduduk yang bekerja penuh dan setengah
menganggur.
11
Dalam laporan BPS tahun 2003 menjelaskan bahwa kesempatan kerja
merupakan banyaknya tenaga kerja yang dapat ditampung dalam sebuah unit
usaha atau lapangan pekerjaan. Unit usaha atau lapangan pekerjaan merupakan
tempat dalam bentuk instansi atau bidang kegiatan usaha dimana seseorang
bekerja atau pernah bekerja disana. Seimbangnya tenaga kerja yang ditawarkan
dengan unit usaha atau lapangan pekerjaan menunjukkan keseimbangan pasar
tenaga kerja.
Menurut Simanjuntak (1985), penduduk yang sedang atau sudah bekerja,
mencari pekerjaan dan di usia kerja yang berkegiatan lain seperti bersekolah dan
mengurus rumah tangga adalah tenaga kerja. Mulyadi (2003) menyatakan
bahwa tenaga kerja merupakan penduduk yang berusia sekitar 15-64 tahun atau
penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa
dengan syarat mereka mau berpartisipasi dalam aktifitas tersebut.
Tenaga kerja merupakan penduduk yang berumur di dalam batas usia
kerja. Tenaga kerja dibagi dalam dua kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang terlibat
atau berusaha untuk terlibat dalam kegiatan produktif yaitu memproduksi barang
dan jasa. Angkatan kerja terdiri dari golongan bekerja dan golongan menganggur
serta mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia
kerja yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari
pekerjaan. Sedangkan yang dimaksud dengan golongan bukan angkatan kerja
adalah tenaga kerja yang bersekolah, yang mengurus rumah tangga dan lain-lain
atau penerima pendapatan. Golongan bukan bekerja ini dapat pula menawarkan
jasanya untuk bekerja sewaktu-waktu mereka inginkan. Oleh sebab itu, kelompok
ini sering juga dinamakan sebagai angkatan kerja potensial (potensial labor
force). Sehingga angkatan kerja menunjukkan persediaan atau penawaran akan
tenaga kerja. (Borjas,2008:22)
12
2.1.2 Permintaan Tenaga Kerja
Teori permintaan menjelaskan korelasi antara kuantitas permintaan
dengan harga. Terkait dengan tenaga kerja, permintaan akan tenaga kerja
menjelaskan korelasi antara tingkat upah dengan kuantitas tenaga kerja yang
akan dipekerjakan. Permintaan firms atas tenaga kerja akan berbeda dengan
permintaan households terhadap barang dan jasa. Households meminta atau
membeli barang dan jasa dikarenakan yang dibelinya dapat memberikan
kepuasan. Lain pihak, pengusaha mengupah seseorang untuk bekerja karena
orang tersebut membantu dalam proses produksi barang dan jasa yang dijual
kepada masyarakat (Simanjuntak, 1985).
Ehrenberg dan Smith (2009:60) menjelaskan bahwa asumsi dasar dari
teori permintaan tenaga kerja adalah bahwa perusahaan atau atasan atas
tenaga kerja berusaha untuk memaksimalkan keuntungan. Dengan demikian,
perusahaan diasumsikan terus-menerus melakukan berbagai perubahan yang
akan meningkatkan keuntungan. Dapat disimpulkan terdapat dua hal penting
dalam penyesuaian berbagai cara untuk meningkatkan keuntungan. Pertama,
perusahaan hanya dapat merubah dalam variabel yang berada dalam
kontrolnya. Karena harga yang ditentukan perusahaan merupakan perwujudan
biaya produksi dan harga itu harus mencangkup biaya input atau biaya produksi
dimana harga ditetapkan pula oleh pasar. Kedua, dengan diasumsikan bahwa
perusahaan terus meningkatkan keuntungan, maka perusahaan harus mengatasi
perubahan kecil atau marjinal yang terjadi hampir setiap hari. Sehubungan
dengan input tenaga kerja, maka penting untuk menyadari bahwa menganalisis
perubahan marginal menyiratkan pertimbangan akan perubahan yang kecil
dalam penambahan satu input ketika input lainnya dianggap konstan. Jadi, ketika
menganalisis efek dari perubahan input tenaga kerja sebesar satu unit, maka
13
diasumsikan bahwa modal tetap konstan. Demikian juga, perubahan marjinal
modal akan dipertimbangkan ketika asumsi input tenaga kerja tetap konstan.
Menurut Sudarsono (1988) dalam Subekti (2007), hubungan antara
ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam lapangan kerja disebut
sebagai permintaan tenaga kerja. Perubahan tingkat upah dan variable-variabel
lain yang dapat merubah permintaan output, seperti permintaan pasar akan
output suatu unit usaha, dimana terlihat dengan besarnya volume produksi dan
modal yang berupa barang seperti mesin atau alat proses produksi. Hal-hal
tersebut dapat mempengaruhi permintaan tenaga kerja.
Munculnya permintaan tenaga kerja adalah akibat dari permintaan
konsumen atas barang dan jasa, sehingga dapat diartikan permintaan tenaga
kerja adalah permintaan turunan (derived demand) (Simanjuntak, 1985: 89).
Menurut Arfida (2003) dalam Saputri (2011) menjelaskan pengaruh output
terhadap permintaan tenaga kerja diawali dengan penurunan upah pasar.
Dengan menurunnya upah pasar, akan menurunkan pula biaya produksi
perusahaan. Dalam pasar persaingan sempurna, diasumsikan harga output
konstan, maka penurunan biaya ini akan meningkatkan kuantitas output untuk
memaksimalkan profit yang diinginkan. Kondisi tersebut, akan membuat firms
memperluas penggunaan tenaga kerja.
Dalam memperluas penggunaan tenaga kerjanya menurut Ehrenberg dan
Smith (2009) perusahan akan memperhitungkan produk marjinal tenaga kerja
(MPL). Dimana MPL dianggap sebagai perubahan output (ΔQ) yang diproduksi
dengan adanya perubahan dalam unit tenaga kerja (ΔL), dengan asumsi modal
yang digunakan adalah konstan, sehingga persamaanya adalah:
MPL = ΔQ / ΔL (kapital konstan) (1.2)
Dari definisi dalam persamaan (1.2) mencerminkan fakta bahwa
perusahaan dapat memperluas atau memutuskan outputnya hanya dengan
14
meningkatkan atau menurunkan penggunaan baik tenaga kerja atau modal.
Marginal revenue (MR) yang dihasilkan oleh unit tambahan output tergantung
pada karakteristik pasar dimana output dijual. Jika perusahaan beroperasi di
pasar kompetitif murni, dan karenanya memiliki banyak pesaing dan tidak ada
kontrol atas harga produk, maka marginal revenue per unit output dijual sama
dengan harga produk (P) di pasar. Jika perusahaan memiliki produk yang
berbeda, dan dengan demikian memiliki beberapa tingkat kekuatan monopoli di
pasar, unit tambahan output dapat dijual jika harga produk berkurang atau
marginal revenue kurang dari harga (MR < P).
Marginal revenue product menggabungkan definisi antara, marginal
revenue product of labor (MRPL) dengan marginal revenue (MR), dapat
direpresentasikan sebagai
MRPL = MPL • MR (1.3)
atau
MRPL = MPL • P (jika pasar kompetitif) (1.4)
Dari keputusan memaksimalkan laba sebelumnya, jelas bahwa
perusahaan harus terus meningkatkan produktivitas tenaga kerja selama
tambahan marginal revenue product melebihi biaya marjinal. Keuntungan yang
maksimal, hanya ketika tenaga kerja berubah satu unit akan memiliki marginal
revenue product sama dengan biaya marjinal:
MRPL = MEL (1.5)
dengan asumsi berada di pasar kompetitif produk dan pasar tenaga kerja, maka
dapat diwakili tingkat keuntungan maksimal dari input tenaga kerja sebagai
berikut:
MPL• P = W (1.6)
15
atau, kedua sisi persamaan (1.5) dibagi dengan harga produk (P), dan dapat
dinyatakan kondisi memaksimalkan laba untuk mempekerjakan seseorang
dengan penentuan kuantitas sebagai berikut:
MPL = W/P (1.7)
sehingga MPL dapat didefinisikan sebagai perubahan output yang bergantung
dengan perubahan satu unit tenaga kerja, sehingga jelas bahwa sisi kiri dari
persamaan (1.6) dapat didefinisikan sebagai tambahan kuantitas atau
pertumbuhan produksi. Sedangkan sisi kanan juga merupakan kuantitas, dimana
W adalah upah per tenaga kerja, dan penyebut (P) adalah harga per unit output.
Dimana upah dan harga dibayar dengan satuan moneter. Dengan demikian,
rasio W/P memiliki dimensi unit output yang menunjukkan upah riil yang diterima
pekerja. Dengan kata lain, MPL dapat menunjukkan tingkat produktivitas tenaga
kerja.
2.1.3 Penawaran Tenaga Kerja
Dalam penawaran tenaga kerja, seseorang perlu mempertimbangkan
keputusan untuk bekerja atau tidak. Keputusan untuk bekerja ini pada akhirnya
keputusan tentang bagaimana menghabiskan waktu dengan upah yang diiterima.
Dengan kata lain, keputusan bekerja mempertimbangkan opportunity cost yang
diperoleh. Dimana opportunity cost yang diperoleh antara waktu bersantai
dengan bekerja untuk memperoleh upah yang sebanding dengan waktu
bersantai yang hilang.
Menurut Aris (1990) dalam Juhari (2009) bahwa hubungan antara tingkat
upah dan jumlah satuan pekerja yang disepakati households untuk ditawarkan
merupakan penawaran tenaga kerja. Sedangkan kurva penawaran tenaga kerja
adalah gambaran berbagai kemungkinan antara tingkat upah dan jumlah pekerja
yang ditawarkan oleh households dalam waktu tertentu.
16
Arfida (2003) dalam Saputri (2011) menjelaskan bahwa jumlah tenaga
kerja yang tersedia dalam perekonomian bergantung pada (1) jumlah penduduk,
(2) persentase jumlah penduduk yang memilih masuk dalam angkatan kerja, dan
(3) jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja. Selanjutnya, setiap
komponen tersebut ditawarkan tergantung pada upah pasar.
Simanjuntak (1985:87) menjelaskan bahwa waktu yang disediakan atau
dialokasikan oleh suatu households untuk keperluan bekerja adalah fungsi dari
tingkat upah. Pada tingkat upah tertentu pengalokasian waktu bekerja dari
keluarga akan bertambah jika tingkat upah meningkat. Ketika mencapai tingkat
upah tertentu, peningkatan upah justru mengurangi waktu yang dialokasikan oleh
keluarga untuk keperluan bekerja. Kondisi ini disebut backward bending supply
curve, atau kurva penawaran yang membelok (mundur).
McEachern (2000) dalam Wildan (2003) menyatakan bahwa kurva
backward bending supply terbentuk bila terdapat efek pendapatan lebih besar
daripada efek subtitusi terhadap kenaikan upah. Bentuk dari kurva backward
bending supply yaitu bengkok ke belakang. Dimana adanya kenaikan upah dapat
mengurangi jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Pengusaha memperkerjakan
seseorang karena membantu memproduksi barang dan jasa untuk dijual kepada
masyarakat. Dengan dasar seperti itu, kenaikan permintaan firms terhadap
tenaga kerja, bergantung dari kenaikan permintaan household terhadap output
yang diproduksi.
2.1.4 Penyerapan Tenaga Kerja
Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah lapangan kerja yang sudah
terisi dan ditunjukkan dari jumlah penduduk yang bekerja. Penduduk yang
bekerja terserap dan tersebar di berbagai sektor perekonomian. Terserapnya
penduduk bekerja dikarenakan adanya permintaan akan tenaga kerja. Sehingga,
17
permintaan tenaga kerja dapat disebut sebagai penyerapan tenaga kerja.
(Kuncoro, 2002).
Penyerapan tenaga kerja dapat dijelaskan dari fungsi produksi pada
aktivitas perekonomian. Transformasi atau perubahan dari input (faktor produksi)
menjadi output dapat disebut dengan produksi. Mankiw (2007) mengasumsikan
bahwa terdapat dua jenis input yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K) dalam
proses produksi, dimana dapat dituliskan fungsi produksinya sebagai berikut:
(1.8)
Sedangkan persamaan profit yang didapat sebuah perusahaan
berdasarkan Model Neoklasik adalah sebagai berikut :
Πt=TR-TC (1.9)
dimana
TR=Pt.Qt (1.10)
Keterangan:
Πt = Keuntungan
TR = Total Revenue
TC = Total Cost
Pt = Harga barang
Qt = Kuantitas barang
Dalam menganalisa untuk menentukan penyerapan tenaga kerja,
diasumsikan hanya terdapat dua input yang digunakan, yaitu Kapital (K) dan
Tenaga kerja (L). Bellante (1983) mengasumsikan tenaga kerja (L) dilihat dari
tingkat upah yang diberikan (w) sedangkan untuk kapital diukur dengan tingkat
suku bunga (r).
TC= - (1.11)
Dengan mensubstitusikan persamaan (8), (10), (11) ke persamaan (9)
maka diperoleh :
18
Wt Lt=Pt .f(Lt,Kt) – rt Kt – πt (1.12)
Lt= [Pt . f(Lt,Kt)]/Wt – rt Kt/Wt – πt/Wt (1.13)
Dimana :
Lt = Permintaan Tenaga Kerja
Wt = Upah Tenaga Kerja
Pt = Harga Jual Barang per unit
Kt = Kapital (Investasi)
rt = Tingkat Suku Bunga
πt = Keuntungan
Berdasarkan fungsi di atas diketahui bahwa permintaan tenaga (Lt)
merupakan adalah turunan dari fungsi tingkat upah (W). Hakekat dari hukum
permintaan tenaga kerja ialah semakin rendah upah maka semakin tinggi
permintaan akan tenaga kerja tersebut. Berlaku pula sebaliknya ketika upah
yang dituntut semakin tinggi, maka firms akan mencari alternative tenaga kerja
dimana upah yang diminta lebih rendah dari yang sebelumnya. Hukum ini
dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya besarnya jumlah angkatan kerja dalam
pasar tenaga kerja, upah dan skill yang dimiliki.
2.2 Pertanian Subsistensi
Berbagai pandangan dari para ahli ekonomi telah mendeskripsikan
definisi dari pertanian subsisten. Menurut Mubyarto (1989) pertanian yang
subsisten adalah suatu sistem bertani di mana tujuan utama dari seorang petani
untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Definisi mengenai
pertanian subsisten secara kuantitatif juga telah dijelaskan oleh Wharton (1970)
yaitu petani yang subsisten adalah yang menjual kurang dari 50 persen dari
seluruh hasil panennya. Orientasi petani yang subsisten adalah memproduksi
pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Subsistensi pertanian merupakan
19
suatu hal yang kompleks yang membutuhkan pengukuran dengan indikator-
indikator yang dapat mendeskripsikan tingkat subsistensi dari suatu usahatani.
Ellis (1993) dalam Kostov dan Lingard (2002) mendefinisikan subsistensi
pertanian dengan memberikan indikator di mana usahatani subsisten dapat
diukur dengan besar proporsi tenaga kerja dalam keluarga yang lebih banyak
daripada tenaga kerja luar keluarga serta penggunaan input komersil yang tidak
intensif yang mengakibatkan produksi output yang rendah. Sebagai contoh
Rahayu (2001) menggunakan indikator rasio upah tenaga kerja tingkat
subsistensi usahatani padi ladang Luar Baduy (Jalupang Mulya) sebesar 66.02
persen lebih mengarah ke komersial dibanding Baduy Luar (Kanekes) karena
proporsi tenaga kerja luar keluarga lebih besar daripada tenaga kerja dalam
keluarga. Selain itu Rahayu (2001) juga menggunakan indikator rasio biaya input
tenga kerja tingkat subsistensi usahatani padi ladang Luar Baduy (Jalupang
Mulya) sebesar 26.61 persen lebih mengarah ke komersial dibanding Baduy Luar
(Kanekes) karena proporsi input modern yang dibeli lebih besar daripada
menggunakan input sendiri yang ada di dalam keluarga.
Proses transisi usahatani yang subsisten menjadi usahatani yang
komersil dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang dilihat dari mikroekonomi
rumah tangga petani. Mathijs dan Noev (2002) telah mengidentifikasi faktor-
faktor yang menghambat rumah tangga petani pada era transisi pertanian ini
untuk berpartisipasi dalam pasar dan bisa keluar dari pola usahatani yang
subsisten. Ada 10 karakteristik rumah tangga petani yang digunakan untuk
mengukur tingkat komersialisasi petani pada 4 negara ekonomi transisi yaitu, (1)
umur pelaku usahatani, (2) pendidikan, (3) Skala rumah tangga, (4) pendapatan,
(5) kepemilikan mobil, (6) keanggotaan di koperasi, (7) kepemilikan lahan, (8)
kepemilikan mesin budidaya, (9) Kepemilikan ternak, dan (10) jarak akses ke
pasar.
20
Umur petani memiliki pengaruh penting dalam proses transisi usahatani
subsisten kepada usahatani yang komersial. Suatu usahatani yang dimulai oleh
petani yang sudah tua akan lebih subsisten dari pada usahatani yang dimulai
dari petani yang masih muda. Kostov dan Lingard (2002) kebanyakan usahatani
subsisten dilakukan oleh para pensiunan yang susah mencari kerja karena
sudah tua sehingga bertahan hidup dengan melakukan usahatani yang subsisten
adalah salah satu sumber mata pencahariannya di desa.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani adalah
lahan. Lahan merupakan salah satu faktor produksi kunci keberhasilan
usahatani. Semakin luas lahan maka akan semakin besar penjualan dan surplus
dari output usahatani (Mathjis dan Noev, 2002). Sebagai contoh menurut Lerman
(2004) dan Mathjis dan Noev (2002) di Negara Armenia petani yang komersil
memiliki luas lahan yang lebih luas dari pada petani yang tidak komersil.
Skala rumah tangga atau jumlah tanggungan keluarga petani juga
memberikan dampak kepada transisi usahatani subsisten ke usahatani komersil.
Petani yang subsisten melakukan usahatani dengan orientasi pemenuhan
kebutuhan sendiri dan keluarga setalah tujuan ini terpenuhi barulah petani
tersebut menjual sisa hasil panennya. Produksi output usahatani yang rendah
dan jumlah tanggungan keluarga petani yang banyak akan semakin membuat
petani melakukan subsistensi usahatani seperti yang dikemukakan oleh Mathjis
dan Noev (2002) bahwa skala rumah tangga yang lebih kecil akan membentuk
surplus produksi yang lebih banyak dan marketable.
Faktor lain yang mempengaruhi upaya transisi subsistensi usahatani
menuju pertanian yang komersil adalah akses kepada kredit sebagai bantuan
modal petani merupakan hal yang penting bagi petani sebagai upaya untuk
membentuk usahatani yang komersil. Menurut Mathjis dan Noev (2002) akses
kepada kredit menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi proses
21
komersialisasi usahatani. Adapun problem yang dihadapi oleh petani yang
subsisten dalam meminta kredit dari suatu bank adalah tidak dimilikinya angunan
(collateral) sebagai jaminan sehingga dibutuhkan suatu sistem yang didukung
oleh pemerintah dalam menciptakan sumber-sumber pendanaan bagi para
petani subsisten dengan syarat yang memudahkan mereka.
Proses komersialisasi usahatani subsisten erat hubungannya dengan
perkembangan ekonomi di suatu daerah. Petani akan menjadi semakin komersil
apabila memiliki akses kepada sumber ekonomi yaitu pasar. Akses kepada
pasar akan sangat mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani. Menurut
Mathjis dan Noev (2002) dalam penelitiannya dijelaskan bahwa jarak kepada
pasar memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat komersialisasi dimana petani
yang tinggal dekat pasar akan memiliki akses yang lebih baik untuk menjual
output dan mendapatkan input modern untuk meningkatkan produksi usahatani.
2.2.1Hubungan Transisi Pertanian Subsisten ke Komersial Terhadap
Penyerapan Tenaga Kerja
Istilah mengenai subsisten dapat merujuk ke berbagai tingkat analisis
atau agregasi, seperti produksi subsisten, tingkat subsistensi hidup, pertanian
subsisten, ekonomi subsisten, dan petani subsisten. Khususnya mengenai yang
terakhir tidak ada definisi yang konsesus. Namun, kebanyakan akademisi
sepakat bahwa pertanian subsisten dapat dikaitkan dengan kemiskinan,
rendahnya tingkat teknologi, produksi tidak efisien, dan rendahnya tingkat
komersialisasi (Mathijs and Noev, 2002). Pertanian yang subsisten merupakan
perkembangan yang lambat. Selain itu, petani subsisten juga tidak responsif
terhadap pasar dan kebijakan pemerintah (Wharton, 1970; Lerman, 2001; Howe
and Lohlein, 2005; Bruntrup and Heidhues, 2002).
22
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki korelasi yang kuat
dengan komersialisasi usahatani. Menurut Pingali dan Rosegrant (1995)
komersialisasi sistem pertanian merupakan fenomena yang umum dan
irreversible yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi. Tingkat komersialisasi
bervariasi antar benua dan antar negara-negara dalam satu benua pada arah
perubahan yang sama di seluruh dunia. Kebijakan-kebijakan mengenai
liberalisasi perdagangan yang sedang diimplementasikan di negara-negara
berkembang bisa mengingkatkan percepatan proses terjadinya komersialisasi.
Tren komersialisasi membutuhkan pergeseran paradigma dalam perumusan
kebijakan pertanian dan penentuan prioritas penelitian. Paradigma tentang
swasembada pangan pokok yang telah menjadi patokan kebijakan di negara-
negara berkembang menjadi semakin usang dengan pertumbuhan ekonomi.
Paradigma yang relevan untuk abad ke-21 adalah penekanan pada masa depan
pertanian yaitu dengan kebijakan memaksimalkan pendapatan rumah tangga
petani daripada menghasilkan surplus pangan. Komersialisasi sistem pertanian
diharapkan dapat menjadi perubahan yang substansial dalam organisasi
produksi. Strategi jangka panjang yang penting untuk memfasilitasi kelancaran
transisi ke pola komersial adalah investasi di pasar pedesaan, infrastruktur
transportasi dan komunikasi untuk memfasilitasi integrasi ekonomi pedesaan,
investasi pada penelitian untuk meningkatkan produktivitas, dan peningkatan
pemberian modal untuk petani kecil.
Salah satu faktor yang dapat mempercepat komersialisasi pertanian
adalah kemampuan petani dalam akses pasar yang harus didukung dengan
kebijakan suatu negara dengan membuat atmosfir pasar yang ramah dan
berkeadilan bagi pelaku usahatani. Menurut Kostov dan Lingard (2002) pola
usahatani subsisten tidak mungkin mengalami perubahan mendadak menjadi
komersil dalam jangka menengah dan harus diperhitungkan ketika kebijakan-
23
kebijakan mengenai pertanian, lingkungan dan daerah akan dirancang dan
diimplementasikan. Aspek terkait adalah pertanian subsisten memerlukan
kebijakan khusus untuk mempercepat proses transformasi pertanian subsisten
menjadi komersial yaitu dengan meningkatkan infrastruktur pasar dan efisiensi
pasar. Namun faktor yang paling berpengaruh yang berdampak pada
penghidupan yaitu dengan pengembangan ekonomi secara keseluruhan,
pengentasan kemiskinan, dan pembangunan pedesaan. Komersialisasi erat
hubungannya dengan tingkat pendapatan petani sehingga peningkatan
kesejahteraan petani dapat dilakukan dengan transisi dari pola subsisten ke
komersial.
2.3 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa penelitian yang fokus
terhadap produksi pertanian daripada produksi rumah tangga atau pendapatan
mereka (Mathijs dan Noev, 2002; Balint, 2004, Minot et al, 2006; dan Nepal dan
Thapa, 2009). Singh, dkk (1986), menjelaskan bahwa terdapat hubungan internal
antara kegiatan pertanian dan non-pertanian merupakan hal mendasar dalam
memahami perilaku rumah tangga.
Studi empiris dari Malawi, Uganda, Zambia, Mozambik, Bangladesh,
Filipina dan Indonesia menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan
berhubungan erat dengan komersialisasi pertanian, umumnya meningkatkan
pendapatan dan mengurangi kemiskinan (Huvio et al, 2005). Beberapa studi
yang dilakukan di Vietnam juga melaporkan bahwa liberalisasi perdagangan
dapat memiliki dampak positif pada pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan tetapi meningkatkan ketidaksetaraan (Que, 1998; Minot dan Goletti,
1998; Goletti et al, 2000; Minot dan Goletti, 2000; Benjamin dan Brandt, 2002;
Tuyen, 2003). Globalisasi menciptakan peluang baru bagi sebagian orang, tetapi
24
meninggalkan mereka yang tidak mampu untuk merespon meningkatnya
kecanggihan dan keamanan standar pangan yang diperlukan.
Aspek negatif dari komersialisasi dapat mencakup risiko yang terkait
dengan fluktuasi harga yang sedikit diperhatikan oleh petani subsisten (Timmer,
1997). Selain itu, petani komersial menghadapi risiko terkait dengan fluktuasi
hasil produksi ketika keuntungan menjadi perhatian khusus. Berbagai penulis
berpendapat bahwa pertanian komersial dapat menyebabkan seringnya
menggunakan pupuk, pestisida dan degradasi lahan (Pingali dan Rosegrant,
1995; Pingali 1997; dan Pingali, 2001).
Berdasarkan penelitian Bruentrup dan Heidhues (2002), Braun et al
(1994), Braun (1995), Vanslembrouck et al (2002) dan Chilonda dan
Huylenbroeck (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi transisi ke pertanian
komersial di peternakan atau rumah tangga tingkat dapat dibagi ke dalam
kelompok berikut.Faktor internal meliputi karakteristik pertanian lahan,
ketersediaan tenaga kerja, modal, teknologi, dan lokasi. Karakteristik keluarga
termasuk usia petani, pendidikan, pengalaman, jenis kelamin, preferensi
rekreasi, preferensi risiko, struktur keluarga, dan hubungan sosial. Faktor-faktor
tersebut dan kondisi awal dari sebuah daerah membuat jalur transisi yang
berbeda (Mathijs dan Noev, 2002).
Dalam meninjau studi empiris di negara-negara Eropa Tengah, Lerman
(2004) menunjukkan bahwa luas lahan memiliki dampak positif pada orientasi
komersial, hal ini didukung oleh Minot et al (2006) dan Cimpoies et al (2009).
Penelitian lain menemukan bahwa fragmentasi lahan dan kepemilikan tanah
menjadi faktor yang penting pula (Mathijs dan Swinnen, 1998; Mathijs dan Noev,
2002; Marsh dan Macaulay, 2002).
25
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Judul dan Pengarang
Variabel Metode Penelitian
Hasil
1 Market Channels and Commercial Orientation in Romania (Borbala Balint, 2005)
karakteristik rumah tangga, harga, karakter produksi,faktor produksi, biaya transaksibiaya transportasi, square root of salesdan the square root of the transformed commercial orientation index
Heckman and Tobit regression
menjual ke pedagang, grosir dan prosesor berhubungan dengan rendahnya biaya transaksi dan sangat berorientasi komersial, sedangkan menjual langsung ke pasar petani memperoleh biaya transaksi yang tinggi yang sebagian besar dilakukan oleh petani subsisten
2 Subsistence Agriculture in Development: Its Role in Processes of Structural Change (Michael Brüntrup and Franz Heidhues, 2002)
distribusi aset, biaya transaksi, hasil produksi
Kualitatif Pertanian subsisten yang berdampingan dengan pertanian komersial dapat dijelaskan sebagai respon terhadap ketimpangan distribusi aset, biaya transaksi setidaknya sebagian tinggi dan lingkungan berisiko. Distorsi pasar untuk input, output, barang-barang konsumen, tenaga kerja, modal dan keamanan merupakan variable yang mempengaruhi hasil produksi subsisten.
3 Subsistence Agriculture in Transition Economies: its Roles and Determinants (Philip Kostov and John Lingard, 2002)
Nilai penjualan, harga barang, risk aversion and transaction costs
Micro model Perubahan harga akan mengubah pembelian bersih produksi subsisten. Kebijakan yang efisien akan tergantung pada ketersediaan pendapatan alternatif yang memungkinkan petani subsisten untuk bergerak di luar sektor pertanian.
26
Dengan kata lain pengurangan harga pembelian harus disertai dengan kenaikan harga bayangan.
4 Commercialization and Subsistence in Transition Agriculture: Empirical Evidence From Albania, Bulgaria, Hungary and Romania (Erik Mathijs dan Nivelin Noev, 2002)
total sales, umur, pendidikan, household size, pendapatan, kepemilikan mobil, keanggotaan, tanah, livestock, mesin, jarak
Probit regression
Dalam penelitian ini semua variabel berpengaruh secara signifikan dan positif
Sumber: Data diolah (2017)
2.4 Kerangka Pemikiran
Todaro (2010) menjelaskan bahwa terdapat tiga tahap dasar dalam
evolusi produksi pertanian. Yang pertama adalah pertanian murni, dimana
produktivitas rendah, dan sebagian besar tingkat subsisten merupakan petani
pertanian. Tahap kedua merupakan pertanian keluarga yang terdiversifikasi atau
campuran, dimana sebagian kecil dari produk yang ditanam digunakan untuk
dikonsumsi dan sebagian lainnya dijual ke sektor komersial, seperti di sebagian
besar Asia. Tahap ketiga merupakan pertanian modern, yang secara khusus
memiliki produktivitas pertanian tinggi dan dipasarkan secara komersial, seperti
di negara-negara maju dan sering ditemukan di negara-negara berkembang
yang memiliki urbanisasi tinggi. Dari transisi ini dapat mempengaruhi faktor
produksi yang dimiliki terutama tenaga kerja yang berada di sektor pertanian.
27
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber: Data diolah (2017)
2.5 Hipotesa
Dari kajian litelatur di atas dapat ditarik hipotesa sebagai berikut:
1. Diduga bahwa modal dalam transisi pertanian dari subsisten ke
komersial mempengaruhi secara positif signifikan terhadap
penyerapan tenaga kerja di Kota Batu.
2. Diduga bahwa nilai penjualan dalam transisi pertanian dari subsisten
ke komersial mempengaruhi secara positif signifikan terhadap
penyerapan tenaga kerja di Kota Batu.
Produksi tinggi
Hasil pertanian
dijual ke pasar
Mempekerjakan
orang lain
Menggunakan
alat pertanian
modern
Lahan
dialihfungsikan
Menggunakan
alat pertanian
tradisional
Produksi
rendah
Hasil pertanian
dikonsumsi
sendiri
Mempekerjakan
anggota keluarga
Pertanian
Subsisten
Pertanian
Komersial
Pertanian
Permintaan
Tenaga Kerja
Tingkat
Pendidikan
Nilai
Penjualan
Modal
Harga
Output
28
3. Diduga bahwa tingkat pendidikan dalam transisi pertanian dari
subsisten ke komersial mempengaruhi secara positifsignifikan
terhadappenyerapan tenaga kerja di Kota Batu.
4. Diduga bahwa harga output dalam transisi pertanian dari subsisten ke
komersial mempengaruhi secara positif signifikan terhadap
penyerapan tenaga kerja di Kota Batu.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif dengan pendekatan deduktif. Pendekatan deduktif merupakan
pendekatan yang menggunakan logika untuk menarik satu atau lebih kesimpulan
berdasarkan seperangkat premis yang diberikan berdasarkan teori yang ada
(Bungin, 2007) dalam pendekatan deduktif sering digambarkan pengambilan
kesimpulan dari sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus.
Menurut (Sugiyono, 2009), penelitian kuantitatif adalah penelitian yang
menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel
penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik,
sedangkan menurut (Sukmadinata, 2006) pendekatan kuantitatif adalah
pendekatan penelitian tentang data yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam
bentuk angka-angka dan mengambil jarak antara peneliti dengan objek yang
diteliti dengan menggunakan instrumen-instrumen formal, standar dan bersifat
mengukur.Mendasarkan pada tujuan yang ingin dijawab yaitu mengetahui
hubungan antara beberapa variabel dan mendeskripsikan hubungan antar
variabel tersebut secara statistik maka jenis pendekatan kuantitatif adalah solusi
yang tepat untuk digunakan dalam studi penelitian ini.
3.2 Lokasi dan Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah petani yang ada di Kota Batu yang melakukan
transisi pertanian dari pertanian subsisten ke pertanian komersil. Dengan lokasi
30
penelitian adalah di Kota Batu. Dimana petani merupakan kepala
keluarga/anggota kelurga yang melakukan cocok tanam dari lahan pertaniannya
atau memelihara dan mengelola ternak/pertaniannya dengan tujuan untuk
memperoleh kehidupan dari kegiatan itu.
3.3 Populasi dan Metode Sampling
Populasi dalam penelitian iniadalah seluruh petani di Desa Sidomulyo di
Kota Batu, yang berjumlah 127 usaha tani, dan diambil sampel sebanyak 25
usaha tani ini terdiri dari 15 usaha bunga komersil dan 10 usaha buah jeruk dan
apel. Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan
pertimbangan pengenalan peneliti dengan kondisi daerah penelitian.Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik random sampling
yaknimerupakan penentuan sampel yang dilakukan secara acak atau random
dari populasi yang memungkinkan setiap individu berpeluang untuk menjadi
sampel selama masih berada dalam sampling frame peneliti (Sugiyono, 2009).
Penentuan kriteria sampel diperlukan untuk menghindari timbulnya kesalahan
dalam penentuan sampel penelitian, yang selanjutnya akan berpengaruh
terhadap hasil analisis.
3.4 Definisi Operasional Variabel
Untuk mengindari ketidakjelasan makna variael yang digunakan maka
perlu adanya definisi operasional dari masing-masing variabel. Menurut (Hamidi,
2007) definisi operasional variabel adalah pengertian variabel yang diungkap
dalam definisi konsep secara operasional, secara praktik,secara riil, dan secara
nyata dalam lingkup obyek penelitian/obyek yang diteliti. Berikut merupakan
definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
31
1. Penyerapan tenaga kerja sebagai variabel terikat (Y) adalah jumlah tenaga
kerja yang terserap untuk bekerja pada sektor pertanian dinyatakan dalam
orang.
2. Modal sebagai variabel bebas (X1) adalah jumlah dana yang digunakan untuk
proses produksi pertanian pada bulan X Tahun 2016 modal dalam hal ini
adalah modal untuk usaha/ kegiatan produksi dinyatakan dalam rupiah.
3. Nilai penjualan sebagai variabel bebas (X2) adalah total pendapatan yang
diperoleh petani dari output pertanian yang dipesan maupun yang disetor ke
toko-toko ataupun pasar baik tradisional atau modern, dinyatakan dalam
rupiah.
4. Tingkat Pendidikan sebagai variabel bebas (X3) adalah tingkat pendidikan
terakhir pemilik usaha tani yang telah ditempuh, satuannya dengan jumlah
tahun, apabila tamat menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, maka untuk
tamat tingkat SD= 6 tahun, tamat SMP= 9 tahun, tamat SMA =12 tahun,
tamat S1= 16 tahun, .
5. Harga ouput sebagai variabel bebas (X4) adalah harga jual yang berlaku dari
output yang dihasilkan oleh petani, dinyatakan dengan rupiah.
3.5 Jenis Data dan Sumber Data
Untuk menganalisis pengaruh dari variabel yang mempengaruhi tingkat
penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Desa Sidomulyo KotaBatu,
maka digunakan jenis data primer dan data sekunder, kedua jenis data tersebut
didefinisikan sebagai berikut :
32
1. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari petani melalui
wawancara langsung terstruktur (berpedomen pada kuisioner) dan
melakukan observasi (pengamatan) terhadap objek yang diteliti.
2. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi atau lembaga yang berkaitan
langsung dengan penelitian ini, seperti dari Dinas Pertanian, BPS
KotaBatu, Bappeda KotaBatu, dan lain sebagainya.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara dalam penelitian untuk
mendapatkan data baik primer maupun sekunder. Untuk data primer,
pengumpulan data dapat diperoleh dari petani di Desa Sidomulyo Kota
Batutentang tenaga kerja yang diserap dengan cara :
1. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data lain. Pelaksanaan
dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai
tetapi dapat juga secara tidak langsung seperti memberikan daftar
pertanyaan untuk dijawab pada kesempatan lain. Metode
wawancara/interview ini ditujukan kepada petani di Desa Sidomulyo Kota
Batu.
33
2. Kuesioner
Kuesioner merupakan pengumpulan data dengan memberikan atau
menyerbarkan daftar pertanyaan kepada responden dengan harapan
memberikan respon atas daftar pertanyaan tersebut. Daftar pertanyaan
tersebut bersifat terbuka jika jawaban tidak ditentukan sebelumnya
sedangkan bersifat tertutup jika alternatif-alternatif jawaban telah
disediakan. Metode kuisioner ini diberikan kepada petani di Desa
Sidomulyo Kota Batu. Sedangkan data sekunder, diperoleh dengan cara:
1. Studi literature/studi kepustakaan, dalam hal ini informasi dapat
diperoleh dengan membaca buku atau dokumen yang sesuai dengan
obyek penelitian dan teori-teori yang berkaitan dengan penyusunan
penelitian.
2. Dokumentasi, yaitu dengan menganalisa bebetapa laporan / sumber
data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik dari BPS
KotaBatu, dan pihak-pihak lain yang terkait.
3.7 Analisa Data
3.7.1 Perumusan Fungsi Regresi
Berdasarkan landasan teori dan tujuan penelitian, maka metode analisa
yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda, yaitu untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh yang terjadi antara variabel bebas dan
variabel terikat. Model yang dipakai adalah model persamaan regresi linier
berganda yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
34
Y = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 +e
Di mana :
Y = Penyerapan tenaga kerja
βo = Penaksir/konstan
β1 β2 β3 β4 = Koefisien regresi
x1 = Modal
x2 = Nilai Penjualan
x3 = Tingkat Pendidikan
x4 = Harga output
e = Residual
3.7.1.1 Uji Regresi Secara Parsial (uji t)
Merupakan pengujian hubungan regresi secara parsial untuk mengetahui
apakah ada pengaruh nyata secara individu antara variabel bebas dengan satu
variabel terikat yang di maksud. Dalam hal ini digunakan uji t (t test) untuk
menguji keberartian hubungan masing-masing koefisien regresi ( uji kuat
tidaknya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat), dengan ketentuan
sebagai berikut :
a) Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel
terikat
b) Ha : β ≠ 0, berarti ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
35
Hipotesa nol (Ho) adalah hipotesa yang menyatakan tidak adanya
peranan atau pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat, sedangkan
hipotesa alternative (Ha) merupakan hipotesa yang menyatakan ada peranan
atau pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian dilakukan
dengan membandingkan nilai t yang didapat dari perhitungan dengan nilai t table
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) thitung< ttabel, maka Ho (hipotesa nol) diterima dan Ha (hipotesa alternatif)
ditolak.
b) thitung> ttabel maka Ho (hipotesa nol) ditolak dan Ha (hipotesa alternative)
diterima.
Penerimaan dari hipotesa nol berarti variabel bebas yang di uji tidak
mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat, sedangkan penolakan terhadap
hipotesa nol berart variabel bebas yang diuji mempunyai peranan terhada
variabel terikat. Nilai t hitung didapat denga rumus sebagai berikut
Thitung = sb
b
3.7.1.2 Uji regresi secara keseluruhan / simultan (uji F)
Merupakan pengujian hubungan regresi secara simultan / serentak antara
variabel bebas pada variabel terikat. Formula uji F adalah :
Fhitung = )/()1(
)1/(2
2
knR
kR
F = F hitung yang selanjutnya dibandingkan dengan F table
K = Jumlah variabel independen
36
R2 = Koefisien korelasi ganda yang telah ditemukan
n = Jumlah sampel
Uji F dimaksudkan untk menguji tingkat keberartian hubungan seluruh
koefisien regresi variabel bebas terhadap variabel terikat, atau menguji hipotesa
mayor, dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Fhitung< Ftabel, maka Ho (hipotesa nol) diterima dan Ha (hipotesa
alternatif) ditolak.
b) Fhitung> Ftabel maka Ho (hipotesa nol) ditolak dan Ha (hipotesa
alternative) diterima
Hipotesa alternative (Ha) menyatakan adanya peranan variabel bebas
secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Sedangkan hipotesa nol (Ho)
menyatakan tidak adanya peranan dari dari variabel bebas secara bersama-
sama terhadap variabel terikat.
3.7.1.3 Uji R2 (Koefisien Determinasi)
Nilai R2 mempunyai Range antar 0-1 atau ≥ R2 ≤ 1. Semakin besar R2
(mendekati 1) berarti garis regresi tersebut semakin baik atau semakin tepat
dengan parameter. Koefisien determinasi juga merupakan ukuran besarnya
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara serentak. Umumya nilai
ini ditulis dalam bentuk prosen (%).
37
3.7.2 Uji Asumsi Klasik
Beberapa masalah muncul pada analisis regresi dalam mengestimasi
suatu model dengan beberapa data variabel. Masalah tersebut termasuk dalam
pengujian asumsi klasik yaitu ada atau tidaknya masalah heterokedastisitas,
multikolinieritas, sutokorelasi, dan normalitas (Gujarati, 2003:65).
Adanya penyimpangan yang terjadi dapat menyebabkan uji f-statistik dan
uji t-statistik tidaklah valid dan secara statistika dapat mengacaukan kesimpulan
yang diperoleh. Hasil estimasi persamaan regresi yang baik merupakan hasil
regresi yang memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator),
(Gujarati, 2003:44) maka dalam persamaan regresi dengan metode OLS, penelti
merasa harus melakukan uji asumsi klasik untuk memperkuat hasil yang
diperoleh dari analisis dengan macam – macam uji asumsi klaik sebagai berikut:
3.7.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji yang mengukur distribusi normal pada data
kita sehingga dapat digunakan dalam statistik parametrik (Sujianto, 2009:77).
Dengan dasar pengertian tersebut tujuan pengujian normalitas adalah
mengetahui apakah suatu variabel memiliki distribusi data yang normal atau
tidak. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi normalitas data dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Kolmogorov-Smirnov (K-S).
Ketentuan pengujian ini adalah :
a) Jika Asymp. Sig. (2-tailed) atau nilai probabilitas > 0,05, maka distribusi data
adalah normal.
38
b) Jika Asymp. Sig. (2-tailed) atau nilai probabilitas < 0,05, maka distribusi data
adalah tidak normal.
3.7.2.2 Uji Multikolinearitas
Mulitikolinearitas timbul dikarenakan terdapat hubungan klausal antara
variabel independen atau terdapat pengaruh dari satu variabel di dalam model
yang dapat berpengaruh terhadap variabel penjelas lainnya (Sujianto, 2009:79).
Tujuan pengujian multikolinearitas adalah mengetahui adanya korelasi antar
variabel bebas pada model regresi yang digunakan. Jika terdapat korelasi, dapat
dijelaskan bahwa model tersebut mempunyai permasalahan multikolinearitas.
Sehingga model regresi yang bebas dari korelasi antar variabel bebas
merupakan model regresi yang baik.
Dalam mendeteksi adanya multikolinearitas, Nugroho (2005) dalam
(Sujianto, 2009:79) menyatakan jika nilai Variance Inflation Faktor (VIF) tidak
lebih dari 10 maka model terbebas dari multikolinearitas. Dengan kata lain
asumsi multikolinearitas terpenuhi jika nilai VIF < 10. Karena VIF = 1/Tolerance,
maka asumsi multikolinearitas juga dapat ditentukan dengan Tolerance < 0,1.
3.7.2.3 Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan perbedaan varians variabel dalam model
regresi. Tujuan pengujian heteroskedastisitas adalah untuk mengetahui dalam
sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu ke
pengamatan lainnya. Tidak terdapat varians residual pada suatu pengamatan
terhadap pengamatan lain, maka homokedastisitas. Begitu juga sebaliknya,
39
heteroskedastisitas merupakan perbedaan varians residual dari suatu
pengamatan terhadap pengamatan yang lain. Pengujian heteroskedastisitas
dapat diketahui dengan melihat nilai signifikan uji Glejser yang menunjukkan nilai
antar tiap variabel independen dengan residualnya. Dengan signifikan yang
melebihi α (5%) dapat disimpulkan tidak terdapat Heteroskedastisitas, begitu
juga sebaliknya bila terjadi nilai α (5%) yang lebih kecil dapat ditarik kesimpulan
terdapat heteroskedastisitas.
3.7.2.4 Uji Autokorelasi
Adanya permasalahan autokorelasi akan menyebabkan hasil taksiran
regresi menjadi tidak signifikan. Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (time series) atau ruang
(cross section). Adapun penyebab autokorelasi adalah kelambanan (inersia),
Bias spesifikasi: kasus variabel yang tidak dimasukkan, Bias spesifikasi: bentuk
fungsional yang tidak benar, fenomena Cobweb, keterlambatan waktu (lag) dan
manipulasi data (Gujarati, 2003: 112). Uji autokorelasi penelitian ini
menggunakan uji Durbin-Watson untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi.
Dasar pengambilan keputusan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Hipotesa Autokorelasi dengan DW-test
Hipotesis Nol Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 < d < dL
Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada keputusan dL ≤ d ≤ dU
Tidak ada autokorelasi negatif Tolak 4 – dL < d < 4
Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada keputusan 4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL
Tidak ada autokorelasi positif/negatif Terima dU < d < 4 – dU
Sumber: Gujarati (2003)
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi Usaha Responden
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa jumlah responden pada
penelitian ini adalah sejumlah 25 pemilik usaha tani komersialyang berskala kecil
di Desa Sidomulyo Batu. Cukup beragam jenis usaha responden khususnyayang
menyangkut usaha tani komersil dimana terdapat 2 jenis usaha yang paling
dominan, yaitu tanaman hias dan apel. Selengkapnya jenisusaha responden
sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1: Jenis Usaha Responden
No Jenis Usaha Tani Jumlah %
1 Tanaman hias 20 80%
2 Apel 5 20%
Total 25 100% Sumber: Data diolah, 2017
Dari tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa jenis usaha tani di Desa
SidomulyoBatudidominasi oleh tanaman hias. Dengan berbagai tanaman hias
yang lebih beragam menciptakan kontribusi tersendiri bagi masyarakat dalam
menyerap tenaga kerja. Dimana jenis usaha ini sebanyak 20 unit atau sebesar
80% dari total usaha tani yang ada di Desa SidomulyoBatu. Kelompok unit usaha
terbanyak kedua adalah yang bergerak pada jenis usaha tani apelyang termasuk
petik apel dengan jumlah 5 unit dengan proporsi sebesar 20%.
Perkembangan Kota Batu yang menuju kota agropolitan memberikan
keterbukaan pemilik usaha tani untuk meningkatkan outputnya yang
berkontribusi tersendiri terhadap jumlah tenaga kerja yang diminta. Tentunya
dengan pergeseran pandangan penduduk di Kota Batuterhadap dunia pertanian
41
yang dulu ditinggalkan dan menjadi menarik akibat kekhususan Kota Batu untuk
meningkatkan wisata alamnya terutama pertanian, maka menciptakan
pertamabahan usaha tani, pertambahan unit usaha tani tersebut tentunya akan
menyerap tenaga kerja dalam memproduksi barang tani untuk kemudian akan
dipasarkan, baik untuk wilayah Kota Batu maupun di luar kota bahkan eksport
sekalipun.
4.1.2 Deskripsi Responden
Responden penelitian adalah pemilik usaha tanidi Desa Sidomulyo Batu
dengan karaktestik sebagai berikut:
4.1.2.1 Jenis kelamin.
Tabel 4.2:Jenis Kelamin Responden
No Jenis Kelamin Jumlah %
1 Laki-laki 25 100%
2 Perempuan 0 0%
Total 25 100%
Sumber: Data diolah, 2017
Dari Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa secara menyeluruh pemilik
usaha tanidi Desa Sidomulyo Batu adalah laki-laki dengan persentase sebesar
100% atau sebanyak 25 orang, sedangkan wanita tidak berperan aktif sebagai
pemilik usaha tani. Dengan adanya dominasi laki-laki menunjukkan bahwa usaha
tanidimana dibutuhkan kemampuan memimpin dan kerja lapangan yang cukup
keras dimana tidak dapat diimbangi oleh para perempuan sehingga peranan
perempuan berasal dalam segi penjualannya.
42
4.1.2.2 Usia Responden
Tingkat usia responden yang bergerak pada usaha tanidi Desa Sidomulyo
Batu sebagaimana Tabel 4.3 dapat diketahui persentase usia responden urutan
pertama adalah pada usia 41-45 tahun sebanyak 16 orang atau sebesar 24,40%
untuk persentase kedua usia 31 – 35 tahun dan 36 – 40 tahun masing-masing
sebanyak 10 orang atau sebesa 15,87%, urutan ketiga dengan persentase
sebesar 12,7% atau sebanyak 8 orang pada ketegori usia 25-30 tahun dan
kategori umur 51-55 th. Untuk urutan keempat dengan persentase sebesar
9,52% atau sebanyak 6 responden pada kategori usia 46-50 tahun. Untuk urutan
kelima dengan persentase sebesar 7,94% atau sebanyak 5 responden terdapat
pada kategori usia 56-60 tahun.
Tabel 4.3:Usia Responden
Sumber: Data diolah, 2017
Dari tabel 4.3 diatas juga menunjukkan bahwa pengusaha dibidang tani di
Desa Sidomulyo Batu cukup banyak mereka yang berusia antara 51 – 55 tahun.
Usia yang menurut kebanyakan orang adalah usia dimana kematangan, dapat
diartikan pula bahwa pada usia tersebut seseorang berada pada masa
kejayaannya atau sudah memasuki dunia pensiun.
4.1.2.3 Tingkat Pendidikan
Informasi lain yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini adalah tingkat
pendidikan responden, selengkapnya adalah sebagaimana ditunjukkan pada
tabel berikut ini.
No Usia Jumlah %
1 < 40 th 2 8%
2 40 th - 45 th 7 28%
3 46 th - 50 th 5 20%
4 51 th - 55 th 8 32%
5 > 56 th 3 12%
Jumlah 25 100%
43
Tabel 4.4:Tingkat Pendidikan Pemilik Usaha Tani
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Lulus SD 12 48,0 48,0 48,0
SD 9 36,0 36,0 84,0
SMP 2 8,0 8,0 92,0
SMA 2 8,0 8,0 100,0
Total 25 100,0 100,0
Sumber: Data diolah, 2017
Tingkat pendidikan sebagaimana Tabel 4.4 menunjukkan bahwa
sebagian besar tingkat pendidikan pemilik usaha tanikomersial di Desa
Sidomulyo Batu paling banyak adalah yang tidak lulusSD dengan yang terdapat
pada 12 orangpada usaha tani komersial atau sebesar 48%. Jumlah terbanyak
ke dua adalah berpendidikan SD yang terdapat pada 9 orangpada usaha tani
komersial atau sebesar 36%. Sedangkan yang berpendidikan SMP dan SMA
terdapat pada 4 orang pada usaha tani komersial atau sebesar16%
Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa mayoritaspemilik usaha tani
merupakan masyarakat yang berpendidikan rendah, dan hal ini mempengaruhi
penilaian para pemilik dan mengatakan bahwa pendidikan mereka berpengaruh
pada tingkat produktivitasnya. Hal ini diimbangi dengan adanya pengaruh upah
yang dapat membebankan para pemilik usaha tani, dimana dengan rendahnya
pendidikan yang dimiliki biasanyaakan mempertimbangkan banyaknya tenaga
kerja yang direktrut dan dianggap sebagai beban ditambah bila harga output
yang tak menentu akan mempengaruhi pendapatan pemilik usaha. Dalam
pengamatan penulis terlihat jelas bahwa para pemilik usaha tani di Desa
Sidomulyo Batu menggunakan strategi penggunaan tenaga kerja yang tingkat
pendidikanya masih rendah dikarenakan mengacu pada harga output yang
ditentukan oleh pasar. Kebanyakan produksi tani yang dibuat membutuhkan
44
tenaga kerja yang kasar, maka dari itu pemilik perusahaan biasanya mengambil
tenaga kerja yang berpendidikan rendah tertimbang yang berpendidikan tinggi.
4.1.2.4 Harga output
Dari tabel 4.5 dapat diketahui bahwa harga output dari usaha tani diDesa
Sidomulyo Batu berada pada kisaran Rp 10.000 – Rp 20.000dengan presentase
56% atau sebanyak 14 unit usaha tani yang memperoleh harga tersebut. Dan
44% atau sebanyak 11 unit usaha tani yang memperoleh harga output berkisar
Rp 5.000 – Rp 10.000.
Tabel 4.5: Tingkat Harga output Tenaga Kerja Sektor Industri
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 5000-100000 11 44,0 44,0 44,0
10000-20000 14 56,0 56,0 100,0
Total 25 100,0 100,0
Sumber: Data diolah,2017
4.1.2.5 Modal Kerja
Untuk menunjang aktivitas produksi suatu usaha termasuk usaha tani
tentunya diperlukan modal kerja dalam jumlah tertentu. Modal kerja sebagaimana
diketahui adalah sejumlah kekayaan yang digunakan untuk membiayai suatu
proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa suatu jenis usaha. Menjadi
hal yang penting bagi sebuah usaha untuk memiliki modal kerja yang mampu
membiaya keseluruhan biaya produksi dan biaya pemasaran, dengan harapan
dapat menghasilkan penjualan barang yang telah diproduksinya. Selengkapnya
modal usaha dari 25usaha tani dapat dilihat pada tabel 4.6.
45
Tabel 4.6:Modal Kerja UsahaTani
Modal Frequency percent
2.000.000 – 5.000.000 10 50%
5.001.000–10.000.000 7 28%
10.001.000–15.000.000 6 24%
>15.000.000 2 8
Total 63 100% Sumber : data diolah, 2017
Pada tabel 4.7 tersebut dapat diketahui bahwa modal kerja sebagai awal
membuka usaha tani cukup bervariasi, mulai nilai yang terkecil sebesar Rp
2.000.000 sampai yang terbesar yaitu Rp 18.000.000. Adapun jenis usaha tani
yang dimiliki didukung dengan kepemilikan tanah secara pribadi dengan luasan
sebagai berikut:
Tabel 4.7:Luas Tanah yang Dimiliki
Luas Tanah (m2) Jumlah Persentase
100 – 300 11 54%
301–500 5 20%
501–800 6 24%
801 – 1000 3 12%
Total 25 100% Sumber : data diolah, 2017
Dari tabel 4.7 dapat diketahui bahwa luasan tanah yang dimiliki para
pengusaha tani berada yang memiliki tanah seluas 100-300 berada pada kisaran
54% atau sebesar 11 unit usaha, kemudian diikuti dengan luasan tanah berkisar
501-800 sebanyak 6 unit usaha tani atau 24%, kemudian luas tanah sekitar 301-
500 sebesar 20% atau sebanyak 5 unit usaha dan Sedangkan perolehan tanah
tersebut sebanyak 8 unit usaha tani atau 32% diperoleh dari warisan, 15 unit
usaha taniatau 60% memiliki tanah yang dibelinya dan sebanyak 2 unit usaha
tani atau 8% diperoleh dari bantuan pemerintah. Hasil tersebut dapat dilihat pada
tabel 4.8 sebagai berikut:
46
Tabel 4.8 Asal Kepemilikan Tanah
Asal kepemilikan tanah Jumlah Persentase
Beli 15 60%
Warisan 8 32%
Bantuan pemerintah 2 8%
Total 25 100%
Sumber: Data diolah, 2017
4.1.2.6 Nilai Penjualan
Salah satu indikator keberhailan suatu usaha tidak terlepas dari seberapa
besar unit usaha tersebut beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Prinsip
dasar bisnis adalah menghasilkan laba, untuk sampai pada menghasilkan laba
tentunya perusahaan harus mampu melakukan proses penjualan barang yang
dimaksud, dimana dalam penelitian ini adalah komoditas yang dihasilkan dari
pertanian. Dengan dua jenis usaha paling dominan terdaat pula tingkat penjualan
yang beragam mengingat kategori yang diangkat dalam penelitian ini adalah
tergolong yang beskala kecil dan menengah, selengkapnya perkembangan
tingkat nilai penjualan disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4.9:Nilai Penjualan
47
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1000000 1 4,0 4,0 4,0
2000000 3 12,0 12,0 16,0
3000000 5 20,0 20,0 36,0
4000000 1 4,0 4,0 40,0
5000000 6 24,0 24,0 64,0
6000000 1 4,0 4,0 68,0
7000000 2 8,0 8,0 76,0
8000000 2 8,0 8,0 84,0
10000000 1 4,0 4,0 88,0
13000000 1 4,0 4,0 92,0
15000000 2 8,0 8,0 100,0
Total 25 100,0 100,0
Sumber: Data diolah, 2017
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai penjualan dari usaha
tani di Desa Sidomulyo Batu paling kecil adalah Rp 1.000.000 sejumlah 1 unit
usaha tani dan yang paling tinggi adalah Rp 15.000.000 sebulan sebanyak 2 unit
usaha tani. Terbanyak adalah usaha tani dengan nilai penjualan sebesar Rp
5.000.000 sebanyak 6 unit usaha tani dan Rp 3.000.000 sebanyak 5 unit usaha
tani dimana proporsinya sebesar 24% dan 20% dari 25 responden penelitian.
Untuk peningkatan omzet penjualan tentunya menjadi hal yang penting bagi
perusahaan agar tetap terus bertahan dan berkembang dikemudian hari.
4.2. Hasil Analisis Data dan Pembahasan
4.2.1 Hasil Analisis Regresi Berganda
Sebagaimana rumusan masalah pada bab 1, bahwa penelitian ini
dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai pengaruh modal kerja,
nilaipenjualan,tingkat pendidikan dan harga output terhadap jumlah tenaga kerja.
Oleh karena variabel yang digunakan lebih dari 1, maka teknik analisis data yang
digunakan adalah regresi beganda. Analisis regresi merupakan salah satu
48
metode yang digunakan untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variabel
bebas (X) terhadap variabel tidak bebas (Y). Disamping itu regresi juga
digunakan untuk memodelkan persamaan umum yang dihasilkan. Disebut
berganda oleh karena variabel bebasnya lebih dari satu, analisis regresi
berganda ini dilakukan dengan menghitung koefisien regresi (b) masing-masing
variabel bebas.
Dalam sub bab ini dijelaskan tentang hasil pengujian pada model regresi
secara statistik, dengan variabel dependen pada model ini adalah jumlah tenaga
kerja pada usaha tani di Desa Sidomulyo Batu, dan variabel independen yang
terdiri dari Modal Kerja (X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3), dan
Harga Output (X4). Hasil dari analisis data dengan regresi berganda dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
Tabel 4.10:Hasil Analisis Regresi Berganda
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 4,683 ,911 5,139 ,000
X1 1,445E-7 ,000 ,201 2,558 ,019
X2 5,146E-7 ,000 ,606 7,378 ,000
X3 -,762 ,235 -,213 -3,246 ,004
X4 1,931 ,454 ,296 4,250 ,000
a. Dependent Variable: Y
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan hasil analisis regresi pada Tabel 4.10 di atas menunjukkan
bahwa besarnya nilai konstanta yang dihasilkan adalah 4,683, koefisien regresi
untuk variabel Modal Kerja (X1) sebesar 1,445, koefisien regresi untuk variabel
Nilai Penjualan (X2) sebesar 5,146, koefisien regresi untuk Tingkat Pendidikan
(X3) sebesar -0,762, koefisien regresi untuk variabel Harga Output(X4) sebesar
1,931 dengan demikian dapat diperoleh persamaan regresi:
49
Y = 4,683 + 1,445X1+ 5,146X2 – 0,762X3+ 1,9311X4+ e
Untuk meyakinkan serta memastikan bahwa model persamaan regresi
yang terbentuk tersebut mampu memprediksi perubahan Jumlah tenaga kerja
yang diakibatkan oleh variabel modal, nilai penjualan, tingkat pendidikan dan
harga output, maka perlu dilakukan pengujian-pengujian. Beberapa pengujian ini
perlu dilakukan agar kesimpulan yang diperoleh dapat diberlakukan untuk
keseluruhan populasi, oleh karena data yang digunakan untuk menghitung nilai
konstanta (a), dan koefisien regresi (b) didasarkan pada data sampel (Atmajaya,
1998:344). Berikut ini akan diuraikan hasil pengujian secara simultan dengan uji
F dan secara partial dengan uji t serta uji asumsi klasik.
4.2.2 Pengujian Secara Simultan Dengan Uji F (F-Test)
Pengujian secara simultan ini menggunakan pendekatan analisia of
varance (ANOVA), yang telah jadi satu paket dengan software SPSS ver 13.
Adapun pengujian ini dimaksudkan untuk menguji pengaruh secara simultan
variabel Modal (X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3), Harga
output(X4), terhadap jumlah tenaga kerja pada usaha tani di Desa Sidomulyo
Batu. Pengujian ini dilakukan dengan melihat nilai signifikansi probabilitasnya (p),
jika nilai probabilitas (p) < 0,05 maka secara simultan Modal Kerja (X1), Nilai
Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3), dan Harga output(X4)berpengaruh
signifikan terhadap jumlah tenaga kerja. Dimana dapat dilihat dari tabel 4.11
sebagai berikut:
Tabel 4.11 ANOVA
50
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 240,508 4 60,127 55,540 ,000a
Residual 21,652 20 1,083
Total 262,160 24
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X1, X2
b. Dependent Variable: Y
Sumber: Data diolah, 2017
Berdasarkan hasil pengujian secara simultan sebagaimana pada Tabel
4.11 hasil analisis regresi menunjukkan bahwa besarnya nilai Fhitung adalah
55,540dan pada tingkat signifikan 5 % (0,05) diperoleh nilai p= 0,000 yang berarti
bahwa variabel Modal Kerja (X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3),
Harga output(X4), secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat jumlah tenaga kerja pada usaha tanidi Desa Sidomulyo Batu.
4.2.3 Pengujian Secara Parsial dengan Uji t (t-Test)
Pengujian ini dimasudkan untuk menguji pengaruh masing-masing yang
terdiri dari Modal Kerja (X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3),
Harga Output(X4), terhadap jumlah tenaga kerja pada usaha tani di Desa
Sidomulyo Batu. Pengujian ini dilakukan dengan uji t yaitu dengan melihat nilai
signifikansi probabilitasnya (p) yang menguji hipotesis nol (H0), jika nilai
proobabilitas (p) masing masing variabel bebas lebih kecil (<) 0,05 maka secara
partial koefisien regresi masing-masing variabel Modal Kerja (X1), Nilai
Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3), Harga Output (X4)berpengaruh nyata
terhadap jumlah tenaga kerja pada usaha tanidi Desa Sidomulyo Batu. Hasil
pengujian secara parsial dapat dilihat pada Tabel 4.12berikut ini:
Tabel 4.12:Hasil Uji Partial Koefisien Regresi
51
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 4,683 ,911 5,139 ,000
X1 1,445E-7 ,000 ,201 2,558 ,019
X2 5,146E-7 ,000 ,606 7,378 ,000
X3 -,762 ,235 -,213 -3,246 ,004
X4 1,931 ,454 ,296 4,250 ,000
a. Dependent Variable: Y
Sumber: Data diolah, 2017
Sebagaimana pada Tabel 4.12menunjukkan bahwa untuk semua
variabel bebas Modal Kerja (X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3),
dan Harga Output (X4)pada tingkat signifikan 5 % dan diperoleh nilai signifikansi
indikator (p) koefisien regresi untuk b2,b3,b4,(p<0,05) sehingga H0 ditolak dan
yang berarti variabel bebas yang terdiri Modal Kerja (X1), Nilai Penjualan (X2),
Tingkat Pendidikan (X3), dan Harga Output (X4) secara partial berpengaruh
signifikan terhadap jumlah tenaga kerja. Adapun variabel Modal Kerja (X1)
diketahui nilai b1> 0,05 dengan demikian keputusan H0 untuk variabel modal
kerja (X1) diterima, yang berarti bahwa variabel modal kerja tidak berpengaruh
terhadap jumlah tenaga kerja pada usaha tani di Desa Sidomulyo Batu.
4.2.4 Koefisien Korelasi
Koefisien korelasi adalah nilai yang menunjukkan arah hubungan variabel
factor terhadap variabel reponsenya. Nilai koefisien ini antara -1 – 1, semakin
mendekati 1 nilai koefsien ini maka semakin kuat hubungan antara variabel
tersebut, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian jika terdapat hubungan yang
kuat, maka jika ada perubahan meningkat pada variabel bebasnya maka akan
52
ada peningkatan pula pada variabel terikatnya. Selengkapnya mengenai hasil
koefisien korelasi ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 4.13: Nilai Koefisien Korelasi dan Determinasi
Model Summary
Model
R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 ,958a ,917 ,901 1,040
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X1, X2
Dari hasil analisis regresi diperoleh nilai koefisien korelasi 0,958 yang
menunjukkan nilai positif dan kuat, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien tersebut
bernilai positif dan sangat mendekati 1. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang linier antara variabel bebas yaitu Modal Kerja
(X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3), dan Harga ouput (X4)
terhadap variabel Y (jumlah tenaga kerja), dengan kata lain dapat disimpulkan
bahwa jika terjadi perubahan secara positif pada variabel bebas X maka akan
ada perubahan positif pula pada variabel Y (jumlah tenaga kerjanya).
4.2.5 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien ini merupakan nilai yang menunjukkan besarnya pengaruh
variabel bebas X terhadap Variabel terikat Y. Nilai ini diperoleh dari persentase
nilai koefisien korelasi yang dikuadratkan dan besarnya berkisar antara 0 – 1 (0
% - 100 %) semakin mendekati satu koefisien ini semakin besar pengaruhnya.
53
Berdasarkan hasil analisis regresi pada Tabel 4.13 diperoleh nilai
koefisien Adjusted R Square sebesar 0,917 yang berarti bahwa pengaruhModal
Kerja (X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3), dan Harga
output(X4)terhadap jumlah tenaga kerja pada usaha tanidi Desa Sidomulyo Batu
adalah sebesar 91,6%. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perubahan
peningkatan Jumlah tenaga kerjapada usaha tanidi Desa Sidomulyo Batu91,6%-
nya adalah dipengaruhi oleh perubahan pada faktor-faktor Modal Kerja (X1), Nilai
Penjualan (X2), Tingkat Pendidikan (X3), Harga output(X4), sedangkan
selebihnya sebesar 8,4% adalah pengaruh lain yang tidak dikaji dalam penelitian
ini.
4.2.6 Interpretasi Persamaan Regresi yang Dihasilkan
Merujuk kembali persamaan regresi diatas serta hasil pengujian
kebermaknaan koefisien regresi maka diperoleh persamaan baru sebagai
berikut:
Y = 4,683 + 1,445X1+ 5,146X2 – 0,762X3+ 1,9311X4+ e
Adapun interpretasi dari masing-masing nilai koefisien regresi dari
persamaan regresi di atas adalah sebagai berikut:
α = 4,683 : Merupakan nilai konstanta (α) yang menunjukkan jika tanpa
dipengaruhi oleh Modal (X1), Nilai Penjualan (X2), Tingkat
Pendidikan (X3), Harga output (X4) maka jumlahtenaga kerja
karyawan sebesar 4,683.
β1 = 1,445 :Merupakan nilai koefisien regresi variabel Modal (X1) yang
menunjukkan jika Modal meningkatsebesar 1 satuan maka
jumlah tenaga kerja akan mengalami kenaikan sebesar
1,445.
54
β2 = 5,146 :Merupakan nilai koefisien regresi variabel Nilai Penjualan
(X2) yang menunjukkan jika Nilai Penjualan menarik sebesar
1 satuan maka jumlah tenaga kerja akan mengalami kenaikan
sebesar 5,146.
β3 = 0,762 : Merupakan nilai koefisien regresi variabel tingkat pendidikan
yang menunjukkan jika variabel Tingkat Pendidikan semakin
tinggipendidikan pemilik usaha tani maka jumlah tenaga
kerjayang diminta akan mengalami penurunan sebesar 0,762.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin
meningkat tinggi pendidikan yang dimiliki pemilik usaha tani
akan mengefisiensikan inputnya, sehingga menurunkan
jumlah tenaga kerja yang diminta.
β4 = 1,9311 : Merupakan nilai koefisien regresi variabel tingkat regresi
untuk variabel Harga output(X4) yang menunjukkan jika
variabel Harga output meningkat 1 satuan maka Jumlah
tenaga kerja akan mengalami kenaikan sebesar 1,9311.
4.3 Hasil Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik merupakan syarat yang harus di penuhi agar persamaan
regresi dapat dikatakan sebagai persamaan regresi yang baik, maksudnya
adalah persamaan regresi yang dihasilkan akan valid jika digunakan untuk
memprediksi. Uji asumsi klasik tersebut biasanya sering digunakan pada
persamaan regresi berganda, yaitu asumsi multikolinieritas, heterokedastisitas,
normalitas, dan autokorelasi.
4.3.1 Uji Multikolinieritas
55
Uji multi kolinearitas merupakan uji yang ditunjukkan untuk menguji
apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variable bebas
(variabelindependen). Model regresi yang baik selayaknya tidak terjadi
multikolinearitas. Salah satu metode yang digunakan dalam menguji ada tidak
nya multikolinieritas adalah dengan menggunakan matriks korelasi antar variable
bebas. Pengujian multikolinieritas menggunakan nilai Variance Inflation Factor
(VIF). Hipotesis pada asumsi ini adalah:
H0 :Terdapat multikolinieritas pada variable bebas
H1 :Tidak terdapat multikolinieritas pada variable bebas
Padaregresi linier, yang diharapkan adalah menolak hipotesis H0 yaitu
tidak terdapat hubungan linier antar variable bebas. Hipotesis H0 ditolak apabila
nilai VIF lebih kecil dari 10, begitu pula sebaliknya, apabila nilai VIF lebih besar
dari 10, maka hipotesis H0 diterima.
Tabel 4.14 Hasil Uji Multikolinieritas
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 4,683 ,911 5,139 ,000
X1 1,445E-7 ,000 ,201 2,558 ,019 ,670 1,492
X2 5,146E-7 ,000 ,606 7,378 ,000 ,611 1,636
X3 -,762 ,235 -,213 -3,246 ,004 ,956 1,046
X4 1,931 ,454 ,296 4,250 ,000 ,851 1,175
a. Dependent Variable: Y
Sumber: data diolah, 2017
Tabel4.14merupakan hasil pengujian non-multikolinieritas dengan
menggunakan Variance Inflation Factor (VIF). Nilai VIF padaX1, X2, X3, dan
X4lebih kecil dari 10, maka hipotesis H0 ditolak yaitu tidak terdapat hubungan
linier variable antar variable bebas atau dapat dikatakan bahwa asumsi
multikolinieritas telah terpenuhi pada model tersebut.
56
4.3.2Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan menguji apakah dalam sebuah model
regresi memunculkan ketidaksamaan varians dari residual pada satu
pengamatan ke pengamatan yang lain (Ghozali, 2007). Jika varians dari residual
satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas
dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah
yang homoskesdatisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Metode yang dapat
digunakan untuk mendeteksi ada tidak nya heteroskedastisitas dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan uji Glejser.
Tabel4.15Hasil Uji Heteroskedastisitas
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) ,742 ,432 1,715 ,102
X1 1,446E-8 ,000 ,123 ,539 ,596
X2 -3,524E-8 ,000 -,253 -1,065 ,300
X3 -,248 ,111 -,423 -2,224 ,058
X4 ,347 ,216 ,325 1,609 ,123
a. Dependent Variable: RES2
Sumber: data diolah, 2017
Berdasarkan Tabel 4.15 didapatkan nilai signifikansi untuk masing-
masing variable pada model tersebut terhadap nilai mutlak dari residualnya (abs)
lebih besar dari pada α (0.05). Hasil tersebut menunjuk kan tidak ada
permasalahan heterokedastisitas, sehingga asumsi diterima.
4.3.3UjiNormalitas
57
Uji normalitas bertujuan menguji apakah dalam sebuah regresi, variable
terikat, variable bebas atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak.
Sujianto (2009) menyatakan bahwa uji distribusi normal merupakan uji yang
mengukur apakah data yang diolah memiliki distribusi normal sehingga dapat
dipakai dalam statistic parametrik. Uji normalitas dapat dilihat dari uji statistik non
parametrik one sample kolmogorov-smirnov.
Tabel 4.16Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 25
Normal Parametersa,b
Mean ,0000000
Std. Deviation ,94982360
Most Extreme Differences Absolute ,071
Positive ,069
Negative -,071
Kolmogorov-Smirnov Z ,353
Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: data diolah, 2017
Dari hasil pengujian normalitas dengan one sample kolmogorov-smirnov
pada Tabel 4.16 didapatkan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) atau nilai probabilitas
lebih besar dari 0,05untuk model tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
distribusi data adalah normal. Dengan demikian asumsi normalitas telah
terpenuhi.
4.3.4 UjiAutokorelasi
58
Dalam model regresi linier klasik dapat diasumsikan bahwa unsure
gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsure
gangguan yang berhubungan dengan observasi lain (disturbansi) yang dapat
menyebabkan terjadinya autokorelasi. Adanya permasalahan Autokorelasi akan
menyebabkan hasil taksiran regresi menjadi tidak signifikan. Autokorelasi
merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan
menurut waktu (time series) atau ruang (cross section).
Tabel 4.17Hasil Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model
R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
1 ,958a ,917 ,901 1,040 2,518
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X1, X2
b. Dependent Variable: Y
Sumber: data diolah, 2017
Dari hasil pengujian autokorelasi dengan menggunakan DW test pada
Tabel 4.17 didapatkan nilai DW sebesar 2,518 yang bila dibandingkan dengan
nilai tabel signifikansi 5% dengan jumlah sampel N=25 dan jumlah variabel
independen 4 (K=4). Dengan nilai DW 2,518 lebih besar dari batas atas (dU)
yaitu 1.8116 dan kurang dari 4-dU = 4 – 1,8116 = 2,1884, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi
4.4 Pembahasan
59
4.4.1 Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Jumlah Tenaga Kerja Usaha
Tani Desa SidomulyoBatu
Melalui pengujian hipotesis sebelumya, dari variabel modal, nilai
penjualan, tingkat pendidikan dan harga output, keempat variabel ini
mempengaruhi jumlah tenaga kerja di usahataniDesa SidomulyoBatu.
4.4.2 Pengaruh Modal Terhadap Jumlah Tenaga Kerja
Variabel Modal kerja secara bersama-samamempunyai pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap jumlah tenaga kerja. Apabila variabel lainya
dianggap kostan, maka dengan semakin meningkatnya modal kerja maka jumlah
tenaga kerja dapat meningkat sebesar 1,445. Pengaruh dari variabel modal
terhadap jumlah tenaga kerja dapat dilihat bahwa usaha ini merupakan usaha
yang padat karya, sehingga kebutuhan akan tenaga kerja cukup tinggi.
4.4.3 Pengaruh Nilai PenjualanTerhadap Jumlah Tenaga Kerja
Variabel nilai penjualan mempunyai pengaruh yang positif terhadap
Jumlah tenaga kerja. Apabila variabel lainya dianggap konstan, maka dengan
meningkatnya nilai penjualan di sebuah usahatani akan menyerap tenaga kerja
sebesar 5,146 kali.Nilai penjualan dalam usaha tani komersial ini mampu
meningkatkanjumlah tenaga kerja yang terserap.Nilaipenjualan yang semakin
tinggiakan menyebabkan pengusaha tani akan cenderung memaksa tenaga kerja
untuk melakukan pekerjaan tambahan untuk meningkatkan nilai penjualannya
dan dengan tujuan tersebut menyebabkan kebutuhan akan tenaga kerja baru,
sehingga pengusaha tani akan mengeluarkan kebijakan untuk menambah
tenaga kerja.
4.4.4 Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Jumlah Tenaga Kerja
60
Tingkat pendidikanpemilik usaha taniyang ada pada industri taniDesa
Sidomulyo Batu antara lain : dari pemilik usaha tani yang tidak lulus SD, lulusan
SD, lulusan SLTP, lulusanSMA dan lulusan perguruan tinggi. Variabel tingkat
pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja. Apabila
variabel lainya dianggap konstan, maka tingkat pendidikan yang semakin
meningkat maka jumlah tenaga kerja akan mengalami penurunan sebesar 0,762.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tingginya pendidikan maka
para pengusaha tani akan cenderung menolak tenaga kerja tersebut dikarenakan
biaya yang akan dikeluarkan cukup tinggi. Hal tersebut dapat terlihat dimana
tidak adanya pegawai di usaha tani Desa Sidmulyo Batu yang memiliki
pendidikan di perguruan tinggi. Hal ini juga disebabkan karena upah yang
diberikan sekitar Rp50.000 hingga Rp 100.000 per hari dengan sistem
pembayaran harian.
4.4.5 Pengaruh Harga Output Terhadap Jumlah Tenaga Kerja
Variabel harga output secara simultan mempengaruhi jumlah tenaga
kerja pada usahatanidi Desa Sidomulyo Batu dan mempunyai pengaruh yang
positif terhadap jumlah tenaga kerja. Apabila variabel lainya di anggap konstan
maka dengan semakin meningkatnya harga output akan meningkatkan Jumlah
tenaga kerja sebesar 1,9311kali. Harga output dalam yang berlaku di pasar pada
umumnya dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja. Apabila terdapat kenaikan
tingkat harga output rata-rata maka akan diikuti oleh penigkatan jumlah tenaga
kerja yang diminta dan akan mengurangi terjadinya pengangguran dengan
turunnya tingkat harga output rata-rata akan diikuti oleh penurunan kesempatan
kerja.
61
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, terkait
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penyerapan jumlah tenaga
kerja usaha tani di Desa Sidomulyo Batu, dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Modal kerja secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap jumlah tenaga kerja.
2. Nilai penjualan mempunyai pengaruh yang positif terhadap Jumlah
tenaga kerja. Nilai penjualan di usaha tani ini tergantung pada
produktivitas pegawainya dalam menyelesaikan pekerjaannya dan bahan
baku (bibit) yang mampu dibeli oleh pemilik usaha tani.
3. Harga output secara simultan mempengaruhi jumlah tenaga kerja pada
usaha tani dan mempunyai pengaruh yang positif terhadap jumlah tenaga
kerja.
4. Modal kerja, Nilai penjualan, Harga Output dan tingkat pendidikan dalam
penelitian ini berpengaruh positif dan signifikan kecuali tingkat pendidikan
yang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja.
5. Sedangkan yang dominan berpengaruh terhadap penyerapan tenaga
kerja adalah nilai penjualan yang memiliki nilai koefisien tertinggi.
6. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa yang ditentukan
dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam transisi
62
pertanian dari subsisten ke komersial terhadap pengurangan
pengangguran atau meningkatkan penyerapan tenaga kerja di Kota Batu.
5.2 Saran
Sebagaimana kesimpulan, saran-saran yang dapat dikemukakan pada
penelitian ini adalah sebagi berikut:
1. Dengan perkembangan usaha tani di Desa Siomulyo Batu yang semakin
ketat persaingannya hendaknya para pengusaha meningkatkan kinerja
pemasarannya dan penjualannya. Hal ini perlu diperhatikan karena
dengan berkembangnya pertanian di Batu maka permintaan akan tenaga
kerja semakin meningkat dan dapat mengurangi pengangguran.
2. Potensi yang dapat dikembangkan ini dapat dibantu oleh pemerintah kota
dengan memberikan kemudahan-kemudahan dalam memperoleh kredit
modal kerja, subsidi atau bantuan untuk meningkatkan produktivitas lahan
pertaniannya, sehingga mereka dapat melakukan expansi usahanya dan
menyerap tenaga kerja lebih banyak, secara tidak langsung usaha tani
turut andil dalam menciptakan lapangan kerja khususnya di Desa
Sidomulyo Batu.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan
acuan dan perbandingan untuk penelitian yang serupa di masa yang akan
datang khususnya bidang ketenagakerjaan.
DaftarPustaka
______,Peraturan Daerah Kota Batu No. 7 tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Batu Tahun 2010-2030.
______,Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015 – 2019.
______, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Kota Batu.
______,Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruangpasal 1
ayat 24.
Arfida B. R. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Penerbit Ghalia Indonesia: Jakarta.
Aris, Ananta. 1990. Ekonomi Sumber Daya Manusia.Lembaga Demografi Universitas Indonesia: Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2003. Pengertian Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja. Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batu, 2015. Industri. https://batukota.bps.go.id/di akses pada tanggal 5 September 2016.
Baltagi, B. H. 2001. Econometric Analysis of Panel Data.Second Edition, John Wiley & Son, Ltd. England.
Bellante, Don & Janson , Mark 2006. Ekonomi Ketenagakerjaan. Jakarta: Lembanga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Benjamin, D., and Brandt, L. 2002. Agriculture and income distribution in rural Vietnam under economic reforms: A tale of two Regions. Paper presented at the World Bank conference in Hanoi, May 2001.
Braun, J. V., Bouis, H., and Kennedy, E. 1994. Conceptual framework. In J. V. Braun and E. Kennedy (Eds.), Agricultural commercialization, economic development, and nutrition. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press Braun, J. Y. (1995). Agricultural commercialization: impacts on income and nutrition and implications for policy. Food Policy, 20(3), 187-202.
Brüntrup, M., and Heidhues, F. 2002. Subsistence Agriculture in Development: Its Role in Processes of Structural Change. Discussion Paper, University of Hohenheim, Institute of Agricultural Economics and Social Sciences in the Tropics and Subtropics.
Bungin, Burhan H.M, 2007; Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu social, Jakarta : Kencana Prenama Media Group
Byres, T. 2006. Paths of Capitalist Agrarian Transition in the Past and in the Contemporary World, in V.K. Ramachandran; M. Swaminathan (eds.): Agrarian Studies: Essays on Agrarian Relations in Less-Developed Countries (London, Zed Books).
Cimpoieş, D., Lerman, Z., and Racul, A. 2009. The economics of land consolidation in family farms of Moldova. Paper presented at the 111 EAAE-IAAE Seminar ‘Small Farms: Decline or persistence’.
Chilonda, P., and Huylenbroeck, G. V. 2001. A Conceptual framework for the economic analysis of factors influencing decision making of small scale farmers in animal health management. Rev.sci.tech. Off. int. Epiz, 20(3), 687-700.
Clapham, Ronald 1987. Strategi Bersaing, Teknik Menganalisis Industri Dan Pesaing.Jakarta : Erlangga.
Ellis, F. 1993. Peasant Economics: Farm Households and Agrarian Development. Cambridge: Cambridge University Press.
FAO. 2009. Food outlook: Global Market Analysis.
Fields, Gary S. 2004. Dualism in the Labor Market: A Perspective on the Lewis Model after Half A Century. The Manchester School Vol 72 No. 6.
Fields, Gary S. 2011. Labor Market Analysis for Developing Countries. Labour Economics 18.
Gie Kian, K. 2003. Perekonomian Indonesia Tahun 2004, Prospek dan Kebijakan. Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Giaoutzi, Maria, Peter Nijkamp and David J. Storey. 1988. Small and Medium Size Enterprises and Regional Development. Routledge: London.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw Hill: New York.
Goletti, F., Minot, N., Dennis, J., Nguyen, N. X., Que, N. N., Lan, L. T. M., et al. 2000. Vietnam agricultural sector program, Phase I Technical Report: Anzdec Limited, IFPRI and Lincoln International.
Howe, G., Favia, N., Lohlein, D., Haralambous, S., and Heinemann, E. 2005. Trade, trade liberalisation and small-scale farmers in developing countries: Beyond the Doha Round. In T. Huvio, J. Kola and T. Lundström (Eds.), Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Haikko Finland: Proceedings of the Seminar on October 2004, Department of Economics and Management, University of Helsinki.
Juhari, lmam dan Hastarini Dwi Atmanti. 2009. Dampak Perubahan Upah Terhadap Output Dan Kesempatan Kerja Industri Manufaktur Di Jawa Tengah. Junal Ekonomi dan Kebijakan vol. 2.
Kostov, P., and Lingard, J. 2002. Subsistence agriculture in transitional economies: its roles and determinants. Journal of Rural Studies, 18, 83–94
Kydd, J., and Dorward, A. 2003. Implications of market and coordination failures for rural development in least developed countries. Paper presented at the Development Studies Association Annual Conference, Strathclyde University, Glasgow, 10-12 September 2003.
Lerman, Z. 2004. Policies and institutions for commercialization of subsistence farms in transition countries. Journal of Asian Economics, 15, 461–479.
Mankiw, N. G. 2007. Teori Makroekonomi: Edisi Kelima. Erlangga; Jakarta.
Marsh, S, P., and MacAulay, T. G. 2002. Land reform and the development of commercial agriculture in Vietnam: Policy and issues. Agribusiness Review, 10.
Mathijs, E., and Noev, N. 2002. Commercialization and subsistence in transition agriculture: Empirical evidence from Albania, Bulgaria and Hungaria and Romania. Paper presented at the 10th EAAE Congress “Exploring diversity in the European Agri-food System” Zaragoza, Spain, August 28-31, 2002.
Mathijs, E. and Swinnen, J. F. M. 1998. The economics of agricultural decollectivization in East Central Europe and the former Soviet Union. Economic Development and Cultural Change, 47(1), 1-26.
Minot, N., and Goletti, F. 1998. Export liberalization and household welfare: The case of rice in Vietnam. American Journal of Agricultural economics, 80(4), 738-739.
Minot, N., and Goletti, F. 2000. Rice market liberalization and poverty in Viet Nam: International Food Policy Research Institute, Washington, D.C, USA.
Minot, N., Epprecht, M., Anh, T. T. T., and Trung, L. Q. 2006. Income diversification and poverty in the Northern Uplands of Vietnam: Research Report 145, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C, USA.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES
Nepal, R., and Thapa, G. B. 2009. Determinants of agricultural commercialization and mechanization in the hinterland of a city in Nepal. Applied Geography, 29, 377-389.
Nainggolan, Kaman dkk 2005. Teori Ekonomi Makro Pendekatan Grafis & Matematis. Bantul : Pondok Edukasi.
Oktaviana Dwi Saputri. 2011. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Di Kota Salatiga. Universitas Diponegoro.
Oya, C. 2007. Agricultural Maladjustment in Africa: What Have We Learned After Two Decades of Liberalisation?, in Journal of Contemporary African Studies, Vol. 25. No. 2, pp. 275-97.
Pingali, P. L., and Rosegrant, M. W. 1995. Agricultural commercialization and diversification: processes and policies. Food Policy, 20(3), 171-185.
Pingali, P. L. 1997. From subsistence to commercial production systems: the transformation of Asian agriculture. American Journal of Agricultural Economics, 79, 628-635.
Pingali, P. L. 2001. Environmental consequences of agricultural commercialization in Asia. Environment and Development Economics, 6, 483-502.
Porter, Michael & Maulana, Agus 1987. Strategi Bersaing, Teknik Menganalisis Industri Dan Pesaing. Jakarta : Erlangga.
Que, T. T. (2001). Land reform and women’s property rights in Vietnam. In K. Suryanata, G. Dolcemascolo, R. Fisher and J. Fox (Eds.), Enabling Policy Frameworks for Successful Community Based Resource Management, The Ninth Workshop on Community-Based Management of Forestlands, Honolulu, Hawaii, February 5- March 2, 2001. East-West Center and Regional Community Forestry Training Center, Honolulu, Hawaii.
Rahayu, Y. 2001. Perbandingan Usahatani Padi Ladang Baduy Luar dan Luar Baduy Dilihat Dari Tingkat Efisiensi dan Subsistensi Usahatani (Studi Kasus di Desa Kanekes dan Desa Jalupang Mulya, Kec. Leuwi Damar Kab. Lebak. Prop. Jawa Barat). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rosenzweig, Mark R. 1987. Handbook in Development EconomicsLabor Markets in Low-Income Countries: Distortions, Mobility and Migration. University of Minnesota: Minnesota.
Schultz, T. W. 1964. Transforming Traditional Agriculture. YaleUniversity Press: New Haven CT.
Simanjuntak, Payaman, J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Singh, I., Squire, L., & Strauss, J. 1986. Agricultural household models: Extensions, Applications, and Policy. Baltimore, U.S.A.: The Johns Hopkins University Press
Sugiyono 2009.Statistika Untuk Penelitian.Bandung:Pustaka Setia
Sujianto, Agus Eko, 2009, Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0. PT. Prestasi Putrakarya: Jakarta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Remaja Rosda Karya: Bandung.
Timmer, C. P. 1997. Farmers and Markets: The political economy of new paradigms. American Journal of Agricultural economics, 79(n2), 621-628.
Todaro, Michael P. 2010. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Erlangga: Jakarta.
Tuyen, T. V., Nhan, D. K., Dung, N. M., Quan, H. M., Hao, N. D., Hoa, H. T. T., et al. 2003. Integrated assessment of the impact of trade liberalization: A country study on the Viet Nam Rice Sector: project report, United Nation Environment Program
Vanslembrouck, I., Huylenbroeck, G. V., and Verbeke, W. 2002. Determinants of the willingness of belgian farmers to participate in agri-environmental measures. Journal of Agricultural Economics, Volume 53, 489-511.
Wang, X. and Piesse, J. 2009.Economic Development and Surplus Labour: A Critical Review of the Lewis Model.BWPI Working Paper 89 University of Manchester
Wharton, C. R. 1970. Subsistence Agriculture and Economic Development. London: Frank Cass and Company Limited.
Wijayanti, Febry. 2015. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan UMKM dalam Perekonomian Dua Sektor di Jawa Timur.Universitas Brawijaya Malang.
Wildan, Syafitri. 2003. Analisa Produktivitas Tenaga Kerja Sector Manufaktur Di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 3.
World Bank. 2011. Ringkasan Eksekutif Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur 2011.