Analisis Pangan BTM
description
Transcript of Analisis Pangan BTM
DESRIZAL A.A240210120064 –TIPA2 – Kel. 10
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini adalah uji kualitatif bahan tambahan makanan pada
berbagai macam sampel yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan
tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
memengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan dan untuk memperbaiki kualitas
makanan.
Zat aditif makanan adalah bahan yang ditambahkan sewaktu pengolahan
makanan untuk meningkatkan mutu dan terdapat pada hasil akhirnya. Bahan
tambahan makanan yang diuji pada praktikum ini adalah bahan-bahan yang
berbahaya bila dikonsumsi oleh manusia dalam waktu yang terus menerus seperti
pewarna sintetik, boraks, dan formalin.
Sampel yang digunakan adalah sampel-sampel yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat pada umumnya. Mula-mula sampel diamati sifat organoleptiknya,
kemudian dilakukan uji kualitatif bahan tambahan makanan pada sampel.
Tabel 1. Tabel sifat organoleptik sampel.
Kel. Sampel Warna Aroma Kecerahan Kekenyalan Kekerasan1 Mie Basah Kuning Khas mie +++ ++ ++
2 NuggetOranye pucat
Amis, khas
nugget+ + +++
3 KerupukMerah muda
Khas kerupuk
+++ + +++
4 DendengCoklat
tua
Amis, khas
dendeng+ + ++
5 Agar-agar MerahAroma perisa
+++ + -
6 Tahu Kuning Khas tahu +++ + -7 Kornet8 Lontong9 Baso sapi Abu-abu Khas baso - + ++
10 Terasi MerahKhas terasi
++ - ++
1-10 Ikan asinHitam keruh
Amis - + +++
Sumber : Dokumentasi pribadi, 2013
DESRIZAL A.A240210120064 –TIPA2 – Kel. 10
Tabel 2. Hasil pengamatan uji pewarna sintetis, uji boraks, dan uji formalin.
Kel. Sampel Pewarna BoraksFormalin (cara I)
Formalin (cara II)
1 Mie Basah + + -2 Nugget - + +3 Kerupuk + - -4 Dendeng - + +5 Agar-agar + - +6 Tahu + - +7 Kornet - + +8 Lontong - - +9 Baso sapi - - +10 Terasi - + +
1-10 Ikan asin - - +Sumber : Dokumentasi pribadi, 2013
5.1 Uji Perwarna Sintetik
Menurut Babu dan Shenolikar (1995) uji pewarna sintetik dapat dilakukan
secara sederhana dengan alat-alat seperti gelas, air, dan kertas saring.
Prinsip pada metode ini didasarkan pada kemampuan zat pewarna alami
yang berbeda dengan zat pewarna makanan sintetis, di antaranya karena daya
kelarutannya dalam air yang berbeda. Zat pewarna sintetis bersifat tidak mudah
larut dalam air.
Sedangkan prinsip kerjanya adalah kromatografi kertas dengan pelarut air
Setelah zat pewarna diteteskan di ujung kertas saring, air dari bawah akan mampu
menyeret zat-zat pewrna yang larut dalam air (zat pewarn makanan) lebih jauh
dibandingkan dengan zat pewarna tekstil.
Cara kerja analisa ini adalah melarutkan suatu zat pewarna yang dicurigai
ke dalam air, kemudian larutan tersebut diteteskan ± 3 cm dari ujung kertas saring.
Selanjutnya kertas saring tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
diisi air secukupnya. Air akan terhisap secara kapiler atau merembes ke atas.
Pewarna alami akan ikut naik bersama rembesan air sedangkan pewarna sintetik
akan tetap diam.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa uji positif pada sampel mie basah,
kerupuk, agar-agar, dan tahu. Hasil positif pada sampel-sampel tersebut ditandai
dengan tetesan warna dari filtrat yang tidak ikut naik bersama rembesan air. Hasil
DESRIZAL A.A240210120064 –TIPA2 – Kel. 10
positif tersebut juga sebanding apabila dibandingkan dengan kecerahan sampel
yang diamati secara subjektif. Sampel mie basah warna kuningnya terlihat cerah,
begitu juga kerupuk yang warnanya merah muda menyala. Warna dari agar-agar
juga terlihat merah mantap. Warna tahu memang seperti warna tahu pada
umumnya di pasaran yakni kuning cerah, namun uji pewarna sintetik
menunjukkan hasil positif pada tahu.
Bahan-bahan tersebut memang masuk akal jika diberi pewarna, karena
agar menarik perhatian konsumen seperti pada agar-agar, mie basah, dan kerupuk.
Pewarna ditambahkan dengan tujuan memberi warna yang cerah dan mantap pada
bahan. Sedangkan pada sampel lainnya yang memberi hasil negatif seperti pada
kornet dan baso sapi, pewarna memang tidak perlu ditambahkan karena warna
bukan menjadi daya tarik bagi makanan-makanan tersebut.
5.2 Uji Boraks
Mula-mula sedikit sampel disimpan di dalam cawan porselen, lalu sampel
tersebut diabukan dengan cara memanaskannya dalam tanur bersuhu 600oC
selama 2 jam. Tujuan dari pemanasan ini adalah menghilangkan zat-zat yang ada
dalam sampel sehingga hanya menyisakan mineralnya saja.
Penambahan asam sulfat pekat pada sampel bertujuan untuk menghasilkan
asam borat. Melalui reaksi esterifikasi, asam borat bereaksi dengan metanol
membentuk ester metil borat [B(OCH3)3] yang mudah menguap. Di dalam nyala
api, ester metil borat berwarna hijau muda.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa uji nyala api ini positif terhadap
sampel mie basah, nugget, kornet, dan terasi. Hasil positif ditandai dengan nyala
api hijau pada saat pembakaran.
Boraks ditambahkan dengan tujuan memperbaiki tekstur makanan
sehingga menghasilkan rupa yang bagus, misalnya bakso dan kerupuk. Bakso
yang menggunakan boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari
kekenyalan bakso yang menggunakan banyak daging. Bakso yang mengandung
boraks sangat renyah dan disukai dan tahan lama sedang kerupuk yang
mengandung boraks kalau digoreng akan mengembang dan empuk, teksturnya
DESRIZAL A.A240210120064 –TIPA2 – Kel. 10
bagus dan renyah. Namun dari hasil pengamatan, bakso dan kerupuk yang diuji
menunjukkan hasil negatif terhadap uji boraks.
Hasil positif diperoleh dari sampel mie basah dan nugget. Boraks
ditambahkan kepada kedua makanan ini umumnya dengan tujuan memberi tekstur
yang keras atau kenyal pada bahan. Sedangkan pada sampel kornet dan terasi
penambahan boraks umumnya dengan tujuan sebagai pengawet.
5.3 Uji Formalin
Formalin umumnya digunakan pada makanan sebagai pengawet dan untuk
memperbaiki tekstur. Kandungan formalin diuji pada praktikum kali ini dengan
mengginakan dua cara yaitu dengan menambahkan KMnO4 dan dengan cara
destilasi.
A. Cara I
Cara pertama dilakukan dengan melarutkan 5 gram sampel dalam 5 ml
aquades. Lalu filtratnya ditambahkan 3 tetes KMnO4 0,09 N. Uji ini dikatakan
positif apabila warna merah muda dari KMnO4 hilang. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa nugget, dendeng, agar-agar, tahu, kornet, lontong, baso sapi,
dan terasi. Sampel mie basah dan kerupuk menunjukan hasil negatif.
Cara ini bisa dibilang tidak terlalu efektif untuk menguji kandungan
formalin pada sampel, karena uji ini hanya menguji kandungan aldehida pada
sampel saja dan selain formalin masih banyak jenis aldehida yang terdapat pada
bahan pangan.
B. Cara II
Cara kedua adalah dengan cara destilasi. Campuran sampel yang telah
mengalami rangkaian proses didestilasi ditambahkan asam kromatropat 0,5 %
dalam asam sulfat 60 %. Setelah itu dipanaskan dalam penangas air selama 15
menit. Uji ini dikatakan positif apabila timbul warna ungu pada sampel.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sampel ikan asin positif
mengandung formalin yang ditandai dengan timbul warna ungu pada sampel. Bila
dibandingkan dengan sifat-sifat organoleptiknya, kemungkinan tanda-tandanya
DESRIZAL A.A240210120064 –TIPA2 – Kel. 10
tidak terlalu jelas. Bau dari ikan asin tersebut amis, warnanya pun terlihat normal
seperti ikan asin pada umumnya, kekerasannya pun cukup keras. Namun apabila
diperhatikan dengan seksama, ikan asin ini tidak dihinggapi lalat padahal
seharusnya dihinggapi lalat.
DESRIZAL A.A240210120064 –TIPA2 – Kel. 10
VI. KESIMPULAN
Sampel mie basah, kerupuk, agar-agar, dan tahu positif terhadap uji
pewarna sintetik yang ditandai dengan tetesan warna dari filtrat yang tidak
ikut naik bersama rembesan air. Hasil ini selaras dengan warna sampel
yang terang.
Sampel mie basah, nugget, kornet, dan terasi menunjukkan hasil positif
terhadap uji boraks yang ditandai dengan nyala api hijau pada saat
pembakaran.
Sampel nugget, dendeng, agar-agar, tahu, kornet, lontong, baso sapi, dan
terasi yang diuji dengan uji formalin cara II menunjukkan hasil positif.
Sampel ikan asin yang diuji dengan uji formalin cara II menunjukkan hasil
positif.
DESRIZAL A.A240210120064 –TIPA2 – Kel. 10
DAFTAR PUSTAKA
Fennema, Owen R. 1976. Principles of Food Science Part I. Marcell Dekker, Inc. New York and Basel.
Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Babu, S. dan Shenolikar, I. (1995). Health and nutritional implications of food
colours. Indian Journal of Medical Research, 102, 245–249.