ANALISIS KEKUATAN SUMPAH DALAM PEMBERIAN …digilib.unila.ac.id/61297/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of ANALISIS KEKUATAN SUMPAH DALAM PEMBERIAN …digilib.unila.ac.id/61297/3/SKRIPSI TANPA BAB...
ANALISIS KEKUATAN SUMPAH DALAM PEMBERIAN KESAKSIAN
PADA PERKARA PIDANA
(Skripsi)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
Oleh
THESYA CITRA MARISA
ABSTRAK
ANALISIS KEKUATAN SUMPAH DALAM PEMBERIAN KESAKSIAN
PADA PERKARA PIDANA
Oleh
Thesya Citra Marisa
Saksi menjadi unsur penting dalam persidangan untuk membuat terang suatu
perkara, saksi diwajibkan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Agar
keterangan saksi dianggap sah bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam
KUHAP. Salah satu syarat dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP menentukan bahwa
saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah kekuatan sumpah dalam pemberian kesaksian pada perkara
pidana dan bagaimanakah konsekuensi hukum terhadap sumpah palsu yang telah
diucapkan saksi dalam perkara pidana.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder,
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi pustaka. Sedangkan
pengolahan data dilakukan melalui tahap identifikasi, klasifikasi, dan penyusunan
data. Analisis data digunakan analisis kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa kekuatan
sumpah dalam pemberian kesaksian perkara pidana memiliki kekuatan yang
sepenuhnya karena sumpah merupakan syarat keabsahan alat bukti keterangan
saksi untuk mengukuhkan kebenaran keterangan yang diberikan. Sedangkan
konsekuensi hukum terhadap sumpah palsu yang diucapkan saksi sebagaimana
diatur dalam Pasal 242 KUHP adalah bila saksi mengucapkan sumpah palsu yang
berakibat kesaksian / keterangan palsu ancaman hukumannya dari 7 (tujuh)
sampai 9 (sembilan) tahun penjara. Hakim memiliki kewewenang untuk
memerintahkan jaksa agar saksi ditahan dengan sangkaan telah melakukan tindak
pidana sumpah palsu.
Thesya Citra Marisa
Saran adalah Hakim tidak meragukan kekuatan sumpah akan saksi yang telah
memberikan kesaksiannya di dalam persidangan dan hakim secara tegas
memerintahkan Jaksa penuntut umum untuk menahan saksi yang menyatakan
sumpah palsu, serta dengan menambahkan unsur tentang tempat dimana pelaku
memberikan keterangan palsu dan mewajibkan hakim membacakan pasal yang
dijadikan dasar ketika seseorang hendak memberikan keterangan palsu agar saksi
dapat mengerti ancaman pidana ( Pasal 242 KUHP ) jika menyatakan keterangan
palsu diatas sumpah.
Kata Kunci: Kekuatan Sumpah, Saksi, Perkara Pidana.
ANALISIS KEKUATAN SUMPAH DALAM PEMBERIAN KESAKSIAN
PADA PERKARA PIDANA
Oleh
THESYA CITRA MARISA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Thesya Citra Marisa.
Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada
tanggal 17 Juli 1998. Penulis adalah anak pertama
dari dua bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak
Warsa Muda,S.H. dan Ibu Maryani,S.Pd. Pendidikan
formal yang penulis tempuh dan selesaikan adalah di
Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Bathanul Athfal lulus
pada tahun 2004, Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Langkapura lulus pada tahun
2010, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Bandar Lampung lulus pada
tahun 2013, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 9 Bandar Lampung lulus
pada tahun 2016. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung pada tahun 2016. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif
di organisasi internal kampus. Di internal kampus, penulis aktif di Himpunan
Mahasiswa Hukum Pidana. Penulis juga telah mengikuti program pengabdian
langsung kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tanjung
Raya, Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat, selama 40 hari sejak bulan
Januari sampai dengan bulan Februari 2019.
MOTTO
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus dari rahmat Allah melainkan orang orang yang kufur”.
(Q.S. Yusuf : 87)
“Ilmu itu lebih baik dari pada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga
harta. Ilmu itu penghukum dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila
dibelanjakan, tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.”
(Ali bin Abi Thalib)
“ Tetap semangat apapun yang terjadi dan jangan lupa tersenyum ! “
(Thesya Citra Marisa)
PERSEMBAHAN
Dengan segala ketulusan hati kupersembahkan karya Skripsi ini kepada:
Ibu dan Bapak
Ibunda Maryani,S.Pd dan Ayahanda Warsa Muda,S.H. yang selalu memberikan
cinta, kasih sayang, do’a, dukungan moral, spiritual yang tak pernah berhenti
dan takkan mampu terbalas yang akan terus hadir melengkapi perjalanan hidup
ini.
Saudari yang ku banggakan
Rizka Ramdhanisa
Atas segala canda dan tawa
serta memberikan doa untuk keberhasilanku.
Sahabat-sahabatku, terima kasih atas kasih sayang tulus yang diberikan, semoga
Allah membalas segala budi yang kalian berikan di dunia maupun di akhirat.
Almamater tercinta Universitas Lampung
Sebagai langkah awal untukku belajar dan berkarya agar lebih baik dan
membanggakan
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, Rasa syukur penulis ucapkan kepada Allah Tuhan
Seluruh Alam karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kekuatan Sumpah dalam Pemberian
Kesaksian Pada Perkara Pidana.” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan skripsi dengan
terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
2. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
4. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I, yang telah
membimbing, memberikan arahan, dan masukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini;
5. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
6. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
7. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
8. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
berdedikasi dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menempuh studi;
9. Para staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terutama Ibu
Aswati, Mas Ijal, dan Mba Tika terima kasih banyak atas bantuannya;
10. Bapak Salahuddin, S.H., M.H.., Ibu Raden Ayu Rizkiyati, S.H., M.H. dan Bapak
Gunawan Jatmiko, S.H., M.H.., selaku narasumber yang telah memberikan
pendapatnya dalam penulisan skripsi ini;
11. Teristimewa kepada kedua orang tuaku Ibunda Maryani,S.Pd dan Ayahanda
Warsa Muda,S.H. yang telah mencintai, membesarkan, mendidik, dan
memberikan segala dukungan kepadaku semoga Allah selalu memberikan
kebaikan dan kebahagiaan untuk ibu dan ayah di dunia maupun di akhirat kelak;
12. Kepada saudariku, Rizka Ramdhanisa terima kasih atas segala canda tawa, kasih
sayang dan juga untuk selalu siaga jika aku membutuhkan pertolongan serta
kepada seluruh keluarga yang telah mendo’akanku.
13. Sahabat terbaikku, Nindya Trisna Putri, Amelia Dyah, dan Yoja Putri Nur’alfiah,
yang telah menghabiskan waktu bersamaku dalam setiap petualangan,
perdebatan, pertikaian, kebahagian, kesedihan dan segala hal yang terjadi selama
ini, walaupun masih banyak impian yang belum tercapai aku yakin kita bisa
menggapainya bersama;
14. Sahabat seperjuanganku di perkuliahan, Maulani Adinnawati, Azzahra Pahrinda
Noor, M.Reza Fachrian dan Andi Muhammad Iqbal, yang sudah menemaniku
semenjak awal perkuliahan sampai akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, terima
kasih atas kekompakan, canda tawa dan keseruan selama ini. Semoga kita semua
meraih kesuksesan dan masih bisa meluangkan waktu untuk berkumpul bersama;
15. Kepada rekan Annisa Caesaria, Shalza Nanda Rizki, Elvira Maulika, Malisa
Shintila, Mutiara Sherina, Della Rachmasari, Dafina Nur’aini, Lala Ronjaya,
Sandra Dewi, Sekar Ayu, Dilla Fadilah dan semua yang belum tersebut, terima
kasih telah memberikan banyak pengalaman dan pertemanan;
16. Kepada teman-teman seperjuangan KKN Desa Tanjung Raya Kabupaten
Lampung Barat; Hendry Timotiyas Paradongan, Kak Adit, Kak Firdi, Kak
Gagas, Kak Syarif, Kak yudha, Sindi, Ulan, Kak Dewi, Ade, Monic, Tika, dan
Nurida terima kasih atas pengalaman pengabdian yang luar biasa selama 40 hari
dalam kesedihan maupun kebahagiaan, aku meminta maaf jika ada salah dan
kekurangan ketika bersama kalian, dan aku berharap kebahagiaan dan
kesuksesan adalah masa depan kita semua;
17. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Bagian Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan, dukungan dan doa untuk
penulis;
18. Terima kasih untuk seluruh pihak yang telah berperan di dalam kehidupan
penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah
wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya.
Bandar Lampung, 28 Januari 2020
Penulis
Thesya Citra Marisa
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup .................................................................... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ....................................................................... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .................................................................. 11
E. Sistematika Penulisan ...................................................................................... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Sumpah dan Saksi ....................................................................... 17
B. Alat Bukti dalam Proses Peradilan Pidana ..................................................... 21
C. Sumpah dalam Proses Peradilan Pidana ......................................................... 23
D. Penegakan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana ....................................... 25
E. Pembuktian dalam Sistem Peradilan Pidana .................................................. 28
F. Teori Kekuatan Sumpah ................................................................................. 33
G. Teori Konsekuensi Sumpah Palsu ................................................................... 35
III. METODE PENELITIAN\
A. Pendekatan Masalah ........................................................................................ 40
B. Sumber dan Jenis Data .................................................................................... 40
C . Penentuan Narasumber ................................................................................... 41
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................................. 42
E. Analisis Data ................................................................................................... 43
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kekuatan Sumpah dalam Pemberian Kesaksian pada Perkara Pidana ........... 44
B. Konsekuensi Hukum terhadap Sumpah Palsu yang telah di ucapkan
Saksi dalam Perkara Pidana ............................................................................ 61
V. PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................................... 73
B. Saran ................................................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana dalam sistem peradilan di Indonesia adalah sengketa atau
perselisihan antara individu dengan masyarakat (publik) yang diwakili jaksa
(pemerintah). Sengketa atau perselisihan itu bisa terjadi di karenakan adanya
interaksi ataupun hubungan sosial yang sering dilakukan oleh manusia, dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut adanya upaya hukum untuk mencari cara
dan siapa-siapa yang dapat menyelesaikannya tanpa mengorbankan salah satu dari
mereka yang berselisih. Yang dapat mengantisipasi hal tersebut sekaligus
mencegah terjadinya perbuatan yang sewenang-wenang di tengah kehidupan
bermasyarakat, maka di bentuk sesuatu lembaga peradilan yang merupakan wadah
untuk penyelesaian perselisihan atau persengketaan.
Hukum yang berlaku sebagai dasar – dasar dan aturan aturan yang menentukan
cara dan prosedur penjatuhan pidana adalah hukum acara pidana. Menurut
Moeljatno,1 hukum acara pidana adalah bagaimana cara mempertahankan
prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan orang-orang yang disangkakan
melakukan perbuatan pidana. Pada proses peradilan yang berhak memberikan
putusan adalah pengadilan, yang mana dalam hal ini adalah Hakim.
1 Moeljatno. 2009. Hukum Pidana Indonesia Yogyakarta: Bina Aksara
2
Tindakan hakim dalam proses peradilan harus sesuai dengan hukum acara pidana
yang mana hukum acara yang digunakan adalah Undang-Undang No.8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini tindakan hakim yang
bertindak atas nama pengadilan telah diatur dalam Pasal 191 sampai dengan Pasal
197 KUHAP sebagai pedoman beracara pada proses peradilan. Hakim dalam
memberikan putusan harus memperhatikan hasil dari pemeriksaan di persidangan
yang mana untuk memperoleh kebenaran yang maksimal. Alat bukti yang
dihadirkan dalam proses persidangan sebagai pembuktian merupakan kunci bagi
hakim untuk memperoleh kejelasan suatu perkara.
Syaiful H. Bakhrie,2 mengemukakan bahwa pembuktian memegang peranan
penting dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Untuk mendapatkan
suatu kebenaran atas tindak pidana yang terjadi diperlukan suatu proses kegiatan
yang sistematis dengan menggunakan ukuran dan pemikiran yang layak dan
rasional. Pembuktian dalam hukum acara pidana pada dasarnya dilakukan untuk
memperoleh kebenaran dalam batasan-batasan yuridis dan bukan batasan yang
mutlak, karena kebenaran yang mutlak sukar diperoleh. Pembuktian dalam
hukum acara pidana dapat diartikan sebagai suatu upaya mendapatkan keterangan-
keterangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti guna memperoleh suatu
keyakinan atas benar tidaknya perbuatan pidana yang didakwakan serta dapat
mengetahui ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa.
Pada dasarnya pembuktian ini sebenarnya sudah dimulai pada tahap penyelidikan
perkara pidana. Pasal 1 angka (5) KUHAP menentukan, penyelidikan adalah
2 Syaiful H. Bakhrie,. 2009. Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana. Yogyakarta:
Total Media.
3
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.3 Dalam tahap
penyelidikan, tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, maka di
sini sudah ada tahapan pembuktian.
Penyidik yang melakukan penyidikan kurang memahami atau tidak
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dilakukan akan mengalami kegagalan
dalam upaya untuk mencegah atau meminimalkan terjadinya kegagalan dalam
pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, maka sebelum penyidik menggunakan
kewenangannya untuk melakukan penyidikan seharusnya sejak awal sudah harus
memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan pengertian dan fungsi dari setiap
sarana pembuktian, seperti yang diatur dalam pasal 116 sampai dengan pasal 121
KUHAP tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan pemeriksaan saksi dan
tersangka dalam penyidikan.
KUHAP mengatur tata cara pemeriksaan saksi dan tersangka dipenyidikan guna
pemeriksaan saksi di kepolisan berjalan dengan baik sehingga tidak merugikan
hak-hak terdakwa dan saksi. Sehingga berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian
memuat keterangan saksi dan terdakwa sesuai dengan yang saksi dan tedakwa
nyatakan berdasarkan kemauan mereka, tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak
manapun. Keterangan saksi di penyidikan sangat penting untuk proses
3 3 Leden Marpaung, 2009. Proses Penanganan Perkara (Penyidikan dan Penyelidikan). Edisi
Kedua. Sinar Grafika. Jakarta.
4
pembuktian dalam persidangan, karena dari BAP kepolisian (berkas perkara) dan
kemudian oleh penuntut umum dimuat dalam dakwaannya, menjadi pedoman
dalam pemeriksaan 2 sidang.
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang memanggil orang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. Di tingkat penyidikan,
pemeriksaan saksi harus dibuatkan berita acaranya. Dasar hukum pemeriksaaan
saksi di tingkat penyidikan adalah Pasal 112 KUHAP yang berbunyi:
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan
pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan
saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan
yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara
diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi
panggilan tersebut;
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak
datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada
petugas untuk membawa kepadanya.
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan
wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan,
penyidik itu datang ke tempat kediamannya. Saksi diperiksa dengan tidak
disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan
dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan. Saksi diperiksa secara tersendiri,
tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya. Dalam pemeriksaan tersangka ditanya
5
apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya
dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.4
Begitu pula halnya dengan penyidikan, Pasal 1 angka (2) KUHAP menentukan,
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Bertolak dari ketentuan Pasal 1 angka (2) dan
angka (5) KUHAP, maka untuk dapat dilakukan tindakan penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan maka bermula dari dilakukannya
penyelidikan dan penyidikan sehingga tahap awal diperlukan adanya pembuktian
dan alat-alat bukti dimulai sejak penyelidikan dan penyidikan.
Proses pembuktian pada hakikatnya lebih dominan dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan
memberi keyakinan kepada hukum tentang keyakinan yang sebenarnya terjadi
sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Membuktikan berarti
memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa dan perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang.5 Dengan demikian tujuan pembuktian adalah
untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan hakim kepada terdakwa tentang
bersalah atau tidaknya sebagaimana yang telah didakwakan oleh penuntut umum.
Namun tidak semua hal harus dibuktikan sebab menurut Pasal 184 ayat (2)
KUHAP, bahwa hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
4 Burhan Ashshofa, 2010. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 5 Amin SM. 2011. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita
6
Saksi dibutuhkan dalam membuat terang suatu perkara. Dalam memberi
keterangan, saksi harus memberi keterangan yang sebenar-benarnya. Agar
keterangan saksi dianggap sah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam KUHAP. Salah satu syarat dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP menentukan
bahwa saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Keterangan saksi yang tidak
disumpah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 185 ayat (7) KUHAP.6 Suatu keterangan yang diberikan di atas sumpah
dimana isinya bertentangan dengan kebenaran baik dalam arti positif yaitu
memberi keterangan tidak benar (merekayasa) maupun dalam arti negatif yaitu
menyembunyikan kebenaran, disebut juga sumpah palsu.7
Sebagai contoh yaitu hakim mengindikasi adanya sumpah palsu dari seorang saksi
dalam kesaksian nya terhadap kasus narkotika jaringan Lapas Kalianda dalam
kesaksian Marzulyi, hakim menilai saksi tersebut banyak berbohong dalam
memberikan keterangan, bahkan beberapa kali Hakim Anggota Pastra Joseph
Ziraluo menyuruh Jaksa Penuntut Umum untuk memberikan sanksi terhadap saksi
Marzulyi dengan keterangan sumpah palsu.8
Dari kasus ini saksi yang telah melakukan sumpah di dalam peradilan tidak
membuat keterangannya menjadi suatu pedoman hakim untuk memutuskan
jatuhan hukuman. Menurut Adami Chazawi,9 bahwa kepercayaan akan kebenaran
isi keterangan yang diletakkan di atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah,
didasarkan pada 2 (dua) alasan yang bersifat psikologis, yaitu: Pertama, sebagai
6 Zainuddin Ali. 2009. Metode Penenlitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika , Hlm 22 7 Ibid. 8https://www.saibumi.com/artikel-90264-majelis-hakim-indikasi-adanya-sumpah-palsu-dari-saksi-
marzuli.html 9 Adami Chazawi , 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana. Bandung: PT.Alumni.
7
bangsa yang religius, adanya kepercayaan terhadap sanksi dosa dan kutukan dari
Tuhan kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah. Kedua, adanya
sanksi hukum pidana yang menentukan sanksi pidana maksimum 7 (tujuh) sampai
9 (sembilan) tahun penjara bagi orang yang memberi keterangan palsu di atas
sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Begitu sakralnya perkara sumpah ini, sehingga seseorang tidak boleh main –
main dalam bersumpah, apalagi berdusta atau sumpah palsu. Namun, hari-hari
ini kita dibuat bingung. Bingung karena orang-orang yang berperkara di
pengadilan atau sebagai penegak hukum ramai-ramai bersumpah dengan nama
Tuhan untuk menyembunyikan kesalahan mereka. Selain itu juga, nilai
kepercayaan yang diyakini masyarakat akan sakralnya sebuah sumpah telah
dijadikan hukum positif dengan sanksi pidana maksimum 7 (tujuh) sampai 9
(sembilan) tahun penjara.
Tugas pengadilan yang sangat berat, adalah menjaga kepentingan kedua belah
pihak/para justiciable, agar kedua belah pihak itu tidak ada yang dirugikan.
Tugas ini harus benar-benar dijalankan dengan benar, tidak begitu saja
memberikan kepada salah satu pihak untuk membuktikan. Karena perbuatan
ceroboh ini akan dapat merugikan atau menguntungkan salah satu pihak. Karena
beban pembuktian itu tidak boleh berat sebelah sebab tidak setiap orang dapat
membuktikan sesuatu yang benar dan dimungkinkan pula seseorang dapat
membuktikan apa yang tidak benar.
8
Fenomena yang sering terjadi dalam peradilan adalah saksi cenderung memberi
keterangan yang tidak benar. Saksi berbohong di pengadilan sudah menjadi hal
biasa. Hal tersebut pernah terjadi dalam beberapa kasus yang mana saksi
memberikan kesaksian dipersidangan dengan disumpah di depan Majelis Hakim
Pengadilan terlebih dahulu. Pada saat tersebut saksi secara tidak langsung telah
berada di bawah ancaman Pasal 242 KUHP, jika terbukti menyatakan sumpah
palsu karena melanggar sumpah yang sudah diucapkan sebelum bersaksi.
Sehingga hal tersebut menjelaskan bahwa saksi yang tidak jujur di persidangan
bisa dituntut dan dilaporkan.
Dalam statusnya sebagai pemberi keterangan dalam persidangan, saksi bisa
diancam hukuman berat karena dinilai sebagai orang yang memberikan kebenaran
terhadap apa yang telah disampaikannya. Meskipun dalam memberi keterangan
di pengadilan, saksi telah diangkat sumpah, namun masih sering terjadi akan
keterangan palsu. Pengambilan sumpah yang dilakukan terhadap saksi seakan-
akan hanya sebagai seremonial di pengadilan. Maka dari itu, peran hakim pada
tahap penyelesaian perkara dalam proses peradilan pidana sangat krusial, terutama
dalam mengambil keterangan saksi sebagai penguat keyakinannya untuk
memberikan putusan suatu perkara. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan
pengkajian lebih mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis
Kekuatan Sumpah Dalam Pemberian Kesaksian Pada Perkara Pidana”.
9
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang penulis uraikan, maka
rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah kekuatan sumpah dalam pemberian kesaksian pada perkara
pidana?
b. Bagaimanakah konsekuensi hukum terhadap sumpah palsu yang telah di
ucapkan saksi dalam perkara pidana?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian ini adalah kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan
dengan kekuatan sumpah terhadap saksi dalam memberikan kesaksian pada
perkara peradilan pidana. Ruang lingkup lokasi peneilitian adalah pada wilayah
hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan ruang lingkup waktu penelitian
pada tahun 2019.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan penulis dalam penelitian ini :
a. Untuk mengetahui kekuatan seorang saksi yang bersumpah dalam pemberian
kesaksian pada perkara pidana.
10
b. Untuk mengetahui konsekuensi hukum terhadap sumpah palsu yang telah di
ucapkan saksi dalam perkara pidana.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitan ini terdiri dari kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara
praktis sebagai berikut:
1) Kegunaan Teoritis:
a. Sebagai media pembelajaran metode penelitian hukum sehingga dapat
menunjang kemampuan individu mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
b. Menambah pengetahuan bagi masyarakat umumnya dan bagi peneliti
khususnya terhadap kekuatan sumpah dalam peradilan perkara pidana.
c. Dapat memberikan sumber pengetahuan guna mengetahui kekuatan sumpah
dalam memberikan kesaksian dalam peradilan perkara pidana.
d. Serta memberi acuan bagi peneliti sejenis pada tahap selanjutnya.
2) Kegunaan Praktis
a. Bagi mahasiswa yaitu dapat memberikan suatu gambaran mengenai suatu
permasalahan yang timbul dalam masyarakat tentang kekuatan sumpah dalam
memberikan kesaksian pada peradilan perkara pidana sehingga dapat
memotifasi mahasiswa untuk lebih mendalami ilmu hukum yang tidak terbatas
hanya pada hukum formil dan materil saja tetapi dari permasalahan hukum
yang kompleks mungkin yang dapat timbul dalam penerapan hukum itu
sendiri.
11
b. Bagi pihak-pihak lain yaitu penelitian ini dapat memberikan gambaran bahwa
permasalahan hukum dapat timbul dari hal sekecil apapun. sehingga dapat
diketahui bagaimana sebenarnya kekuatan sumpah dalam memberikan
kesaksian pada peradilan perkara pidana.
c. Bagi akademis yaitu menjadi sumbangan untuk alamamater penulis.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian, khusunya penelitian hukum.
Berdasarkan pernyataan di atas maka kerangka teoritis yang digunakan dalam
penelitian. Pada umumnya istilah tersebut dianggap sebagai terjemahan yang
tepat dari dua istilah yaitu rechtsstaat dan the rule of law.
Berdasarkan definsi tersebut maka kerangka teroritis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Teori kekuatan sumpah
Keterangan di bawah sumpah dapat diberikan dengan lisan atau tulisan. Ke
terangan dengan lisan berarti bahwa seseorang mengucapkan keterangan dimuka
seorang pejabat dengan disertai sumpah, memohon kesaksian Tuhan bahwa ia
memberikan keterangan yang benar, misalnya seorang saksi di dalam sidang
pengadilan. Cara sumpah adalah menurut peraturan agama masing-masing.
Sedangkan keterangan dengan tulisan berarti bahwa seorang pejabat menulis
keterangan dengan mengatakan bahwa keterangan itu diliputi oleh sumpah jabatan
yang dulu diucapkan pada waktu mulai memangku jabatannya seperti seorang
12
pegawai polisi membuat proses-verbal dari suatu pemeriksaan dalam menyidik
perkara pidana.
Selain itu, keterangan di bawah sumpah dapat diberikan sendiri atau oleh
wakilnya. Apabila diberikan oleh seorang wakil maka wakil itu harus diberi kuasa
khusus, artinya dalam surat kuasa harus disebutkan dengan jelas isi keterangan
yang akan diucapkan oleh wakil itu. Pergantian ini diperbolehkan dalam hal
seorang berkeberatan diambil sumpah.
Pemberi keterangan palsu supaya dapat dihukum maka harus mengetahui, bahwa
ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan
bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di bawah sumpah. Jika pembuat
menyangka bahwa keterangan itu sesuai dengan kebenaran akan tetapi akhirnya
keterangan ini tidak benar, atau jika ternyata pembuat keterangan sebenarnya
tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat di hukum.
Mendiamkan (menyembunyikan) kebenaran itu belum berarti suatu keterangan
palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari keadaan yang
sebenarnya dengan dikehendaki (dengan sengaja).
Oleh karena itu, keterangan itu harus diberikan dengan atas sumpah dan
diwajibkan oleh undang-undang atau mempunyai akibat hukum. Sumpah yang
diberikan oleh UU atau oleh UU diadakan akibat hukum, contohnya adalah dalam
hal seorang diperiksa dimuka pengadilan sebagai saksi, maka saksi tersebut
sebelum memberikan keterangan harus diambil sumpah akan memberikan
keterangan yang benar. Penyumpahan ini adalah syarat untuk dapat
mempergunakan keterangan saksi itu sebagai alat bukti. Jadi, seorang yang
13
memberikan keterangan palsu di bawah sumpah dapat dihukum. Apabila seorang
saksi dalam pemeriksaan perkara dimuka pengadilan tidak memberitahukan hal
yang ia ketahui, maka Simons-Pompe maupun Noyon-Langemeyer berpendapat
bahwa hal ini tidak merupakan sumpah palsu, kecuali:
1. Menurut Simon-Pompe, apabila dengan memberikan sesuatu, maka hal yang
lebih dahulu telah diberitahukan menjadi tidak benar.
2. Menurut Noyon-Langemeyer, apabila seorang saksi itu mengatakan: saya tidak
tahu apa-apa lagi tentang ini.10
b. Teori Akibat Hukum
Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum. Akibat hukum merupakan suatu
akibat dari tindakan yang dilakukan, untuk memperoleh suatu akibat yang
diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang dimaksud adalah akibat yang diatur
oleh hukum, sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan tindakan hukum
yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Akibat hukum
merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh karena suatu sebab, yaitu
perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum, baik perbuatan yang sesuai dengan
hukum, maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.
Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-
subyek hukum yang bersangkutan. Ada subyek hukum yang mempunyai hak
untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban untuk membayar
barang tersebut. Dan begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai
hak untuk mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban
10Andi Zainal abidin. 2012 Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni, Bandung
14
untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subyek
hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, untuk dapat mengetahui telah muncul atau tidaknya
suatu akibat hukum, maka yang perlu diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum
atau terdapat akibat tertentu dari suatu perbuatan, yang mana akibat itu telah
diatur oleh hukum;
2. Adanya perbuatan yang seketika dilakukan bersinggungan dengan
pengembanan hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum (undang-
undang).11
2. Konseptual
Kerangka Konseptional adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus
pengamatan dalam penelitian. Untuk mencegah salah pengertian atau perbedaan
pemahaman terhadap istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini, maka
diberikan definisi operasionalnya antara lain:
a. Analisis adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai,
membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan dikelompokkan
kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditafsirkan
maknanya12
11 Lexy J Moleong . 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda
Karya. 12 Sudarto,2008 Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung
15
b. Kekuatan sumpah adalah suatu yang mengikat antara kedua belah pihak yang
melakukan sumpah. Dalam hukum Islam, sumpah berkedudukan tidak pasti
hukumnya, artinya hukum sumpah disesuaikan dengan kebutuhan, adakalanya
wajib, adakala sunnat, dan adakalanya mubah, bahkan haram. 13
c. Kesaksian adalah kewajiban hukum, Setiap warga negara memiliki hak dan
kewajiban. Ada baiknya memang kita sebagai warga negara, mengetahui hak
dan kewajiban kita sebagai warga negara. Membela kepentingan umum
adalah salah satu kewajiban yang dalam hal tindak pidana adalah memberikan
keterangan demi jelasnya sebuah peristiwa pidana.14
d. Perkara pidana yaitu timbulnya pidana yang di karenakan adanya pelanggaran
perbuatan pidana yang ditetapkan dalam hukum pidana. Perbuatan pidana ini
bersifat merugikan negara, menganggu kewajiban pemerintah dan
menganggu ketertiban umum. 15
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan
dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara
keseluruhan, Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab
yang saling berkaitan dan berhubungan.
Sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai sebagai berikut :
13 Andi Zainal abidin,2012. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni, Bandung 14 Resti Siti Aningsih,2008, Fungsi Dan Kedudukan Saksi dalam Peradilan Pidana, Universitas
Muhamadiyah Surakarta. 15 Sudarto,2008 Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung
16
I. PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka
Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pemahaman kedalam pengertian-penertian umum serta pokok
bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang akan digunakan sebagai
bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang
berlaku dalam praktek.
III. METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah ,
Sumber Data, Penetuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan
Data serta Analisis Data yang didapat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang disertai dengan uraian
mengenai hasil penelitian yang merupakan paparan uraian atas permasalahan yang
ada.
V. PENUTUP
Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa
kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah
dibahas.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Sumpah dan Saksi
1. Pengertian sumpah
Menurut bahasa, kata sumpah berasal dari kata bahasa Arab “AlYamin” yang
bermakna Tangan kanan, Kekuatan, dan Sumpah. Dia adalah lafal musytarak
antara ketiga makna tersebut. Namun demikian di pakailah makna “Sumpah” ,
karena pada masa jahiliyah orang-orang bersumpah masing memegang tangan
tangan temannya, atau karena orang yang bersumpah mempunyai tujuan untuk
menguatkan diri dan niatnya sebagaimana tangan kananya karena tangan kanan
lebih kuat daripada tangan kiri.16
Sudikno Mertokusmo17 menguraikan sumpah menurut istilah adalah pada
umumnya suatu peryataan yang khidmat yang diberikan atau yang diucapakan
pada waktu pemberian janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maka
kuasa dari Tuhan dan percaya siapa yang memberi keterangan atau janji yang
tidak benar akan dihukum olehnya, jadi hakikatnya sumpah merupakan tindakan
yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan. Dan adapun pernyataan
Sudikno Mertokusmo mendefinisikan sumpah adalah suatu keterangan yang
diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengatakan sumpah itu dan
16 Teguh samudera, 2011 . Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana , Bandung: PT. Alumni. 17 Sudikno Mertokusmo , 2013 , Hukum Acara Pidana dalam Pratik , Jakarta; Penerbit
Djambatan
18
memberikan keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan . Jadi
sumpah menurut istilah suatau ucapan atau keterangan dengan menyebut nama
Tuhan sesuai dengan keyakinan yang melakukan dan memberikan sumpah.
2. Pengertian Saksi
Proses penyelesaian perkara pidana terdiri dari penyidikan, penuntutan
pemeriksaan dan pemberian putusan pengadilan serta pelaksanaannya.
Keseluruhan proses tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain nya
setiap aparat penegak hukum mempunyai tugas khusus dalam proses tersebut
menurut yang di atur dalam KUHAP.18
Pasal 1 Ayat 26 KUHAP: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penututan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengan sendiri, lihat sendiri, dan dialami nya sendiri”.
Pasal 1 Ayat 27 KUHAP : “Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Saksi menurut Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi
dan korban adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia
alami sendiri.19
18 Irdan Dahlan, 2013. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 19 Sabto Budoyo, 2009 , Perlindungan Hukum Bagi Saksi Dalam Proses Pengadilan Pidana,
Universitas Diponogoro, Semarang
19
Umumnya seseorang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada
pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi, hal ini
sebagaimana tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi: “Kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi”:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa, atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mepunyai hubungan
karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai sederajat
ketiga.
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah berceri atau yang bersama-
sama sebagai terdakwa.
Saksi yang diajukan dalam sidang pengadilan ada empat jenis yaitu:
1. Saksi yang diajukan oleh tersangka atau seorang terdakwa, yang
diharapkan dapat memberikan keterangan yang menguntungkan bagi
dirinya itu di dalam bahasa Perancis juga disebut Saksi a de charge dan
2. Saksi yang diajukan oleh penuntut umum disebut Saksi a charge yaitu
Saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa, dan
3. Saksi de Auditu yaitu saksi yang bukan menyaksikan dan mengalami
sendiri tapi hanya mendengar dari orang lain.
20
4. Saksi Mahkota adalah istilah bagi tersangka/terdakwa yang dijadikan
saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu
perbuatan pidana.Secara garis besar terdapat dua sumber (potensi) yang
dapat mengakibatkan tersangka, terdakwa, atau saksi menjadi tidak bebas
atau berkurang kebebasannya dalam memberikan keterangan.
Adapun kewajiban dan hak yang dimiliki saksi sebagai berikut:
a. itu saksi juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya
(Pasal 160 ayat (3) KUHAP);
2) Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan
keterangannya (Pasal 167 KUHAP);
3) Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).
b. Sedangkan hak dari saksi antara lain:
1) Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah
serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1)
KUHAP);
2) Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang
saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat
datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);
3) Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau
dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);
21
4) Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat
keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);
5) Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal
166 KUHAP);
6) Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal
177 ayat (1) KUHAP);
7) Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta
tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).
B. Alat Bukti dalam Proses Peradilan Pidana
Sistem hukum pembuktian di Indonesia mengenal berapa doktrin pengelompokan
alat bukti, yang membagi alat-alat bukti ke dalam kategori oral evidence,
documentary evidence, material evidence dan electronic evidence. Berikut
pembagian pada masing-masing kategori :
a. oral evidence
- perdata (keterangan saksi, pengakuan dan sumpah)
- pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa)
b. documentary evidence
- perdata (surat dan persangkaan)
- pidana (surat dan petunjuk)
c. material evidence
- perdata (tidak dikenal)
22
- pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang
yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana dan informasi dalam arti
khusus)
d. electronic evidence
- konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan
elektronik. konsep ini tidak dikenal di Indonesia.
- konsep tersebut terutama berkembang di negara-negara common law.
- pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas alat
bukti yang termasuk ketegori documentary evidence.20
Dalam membantu pembuktian suatu tindak pidana, hakim akan dibantu dengan
alat bukti yang ada. Dimana mengenai alat bukti ini telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Hakim dengan sungguh-sungguh harus
memeriksa alat-alat bukti yang telah diajukan oleh penuntut umum guna
mendapatkan kebenaran guna mendapatkan kebenaran sesuai dengan
keyakinanya.
Alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat bukti yang ada hubunganya dengan suatu
tindak pidana, guna menambah keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah
sebagai berikut:
1) Keterangan saksi
2) Keterangan ahli
3) Surat
4) Petunjuk
20 Adami Chazawi. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana. Bandung: PT.Alumni
23
5) Keterangan terdakwa
C. Sumpah dalam Proses Peradilan Pidana
Sumpah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pernyataan yang
diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang
dianggap suci atau pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk
menguatkan kebenaran. Janji adalah ikrar yang teguh untuk melakukan sesuatu.
Sumpah dan janji adalah sama. Beberapa kepercayaan agama tidak menggunakan
istilah sumpah tetapi istilah janji.21
Pemeriksaan saksi dalam perkara pidana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan Pasal 184 KUHAP,
keterangan saksi termasuk alat bukti dalam perkara pidana. Sebelum pemeriksaan
saksi dimulai, hakim akan menanyakan kepada saksi mengenai nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan (Pasal 160 ayat (2) KUHAP).
Hakim juga akan menanyakan kepada saksi apakah ia kenal terdakwa sebelum
terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan, apakah ia
berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa,
apakah ia suami atau isteri terdakwa, serta apakah ada ikatan hubungan pekerjaan
dengan terdakwa. Setelah pemeriksaan identitas saksi, sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut tata cara
agamanya masing-masing (Pasal 160 ayat 3 KUHAP). Maka pengambilan
21 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
24
sumpah dilakukan berdasarkan agama yang dianut oleh saksi dengan dibantu oleh
rohaniawan sebagai juru sumpah. Apabila ada saksi yang disumpah bukan dengan
tata cara agamanya, maka pengambilan sumpah tidak sah karena Pasal 160 ayat
(3) KUHAP telah menyatakan bahwa pengambilan sumpah harus dilakukan
menurut cara agama saksi .
Menjadi saksi dalam perkara pidana merupakan kewajiban hukum bagi setiap
orang, yang dibarengi pula dengan mengucapkan sumpah menurut agama yang
dianutnya bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa
yang dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang
bersangkutan. Dalam konteks ini, saksi wajib mengucapkan sumpah sebelum
memberi keterangan untuk mengukuhkan kebenaran keterangan yang
diberikannya. Menurutnya, dengan pengucapan sumpah menurut agama yang
dianut saksi, diperkirakan akan memperkecil kemungkinan saksi memberi
keterangan palsu atau bohong.22
Apabila saksi menolak tanpa alasan sah untuk bersumpah sebagaimana dimaksud
Pasal 160 ayat (3) KUHAP, maka pemeriksaan terhadap dirinya tetap dilakukan
tetapi ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dijadikan sandera di
Rumah Tahanan Negara paling lama 14 hari (Pasal 161 ayat (1) KUHAP).23
Apabila saksi tidak memenuhi perintah tersebut dengan cara misalnya sengaja
minta disumpah dengan cara Katolik padahal ia beragama Islam, maka saksi dapat
dikenakan ketentuan Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
berbunyi:
22 Yesmil Anwar. 2009. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaanya dalam
Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya Padjadjaran 23 Ibid
25
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa
menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban berdasarkan undang undang yang harus dipenuhinya,
diancam:
1) Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan;
2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam
bulan.
D. Penegakan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana
Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana menunjukan
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
“pendekatan sistem”. Sebagai suatu sistem penegakan hukum, sistem peradilan
pidana tidak hanya dimaksudkan untuk memproses penyelesaian kejahatan yang
cepat, berbiaya murah, dan transparan, akan tetapi juga memberikan perlindungan
hak-hak asasi manusia, menghormati asas praduga tak bersalah dari status
tersangka sampai dinyatakan bersalah, dan proses yang memberikan jaminan
keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kepentingan terdakwa.24
Sistem Peradilan Pidana yang diserap dalam KUHAP, diberlakukan melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menganut Sistem Campuran yang
meletakan kerangka landasan penyelenggaraan sistem peradilan dengan mengatur
hubungan antar subsistem peradilan. Hal demikian juga dapat dilihat dari
penyelenggaraan peradilan pidana secara normatif dapat digambarkan sebagai
berikut :
1) Tahap Penyelidikan.
2) Tahap Penyidikan.
3) Tahap Penuntutan.
4) Tahap Pemeriksaan disidang peradilan
24 Yesmil Anwar. 2009. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaanya dalam
Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya Padjadjaran
26
5) Tahap upaya Hukum.
6) Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan
kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan atau diwujudkan
dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu:
(1) kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik;
(2) kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum;
(3) kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan
(4) kekuasaan pelaksanan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.25
Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana
yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana atau SPP
terpadu atau Integrated Criminal Justice System. Seperti disinggung diatas bahwa
sistem peradilan pidana selalu melibatkan dan mencakup sub sistem dengan ruang
lingkup masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut :
a. Kepolisian, dengan tugas utama : menerima laporan dan pengaduan dari
publik, manakala terjadi tindak pidana, melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi
syarat diajukan ke Kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan kepada Kejaksaan dan
memastikan dilindunginya para pihak terlibat dalam proses peradilan pidana.
b. Kejaksaan dengan tugas pokok : menyaring kasus-kasus yang layak
diajukan ke Pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan
penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.
25 Wirjono Prodjodikoro,. 2010. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung: PT
Refika Aditam
27
c. Pengadilan yang berkewajiban untuk : menegakan hukum dan keadilan,
melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana,
melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan
putusan yang adil dan berdasar hukum, dan menyiapkan arena publik untuk
persidangan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian
terhadap proses peradilan di tingkat ini.
d. Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk : menjalankan putusan
pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan terlindunginya hak-hak
narapidana, menjaga agar kondisi LP memadai untuk penjalanan pidana setiap
narapidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana,
mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.
e. Pengacara, dengan fungsi : melakukan pembelaan bagi klien, dan Menjaga
agar hak-hak klien dipenuhi dalam proses.
Sub sistem dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dimaksud diatas, mengacu
pada kodifikasi hukum pidana formil yakni, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang merupakan dasar
pijakan penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan mengenai proses
beracaranya hukum pidana di Indonesia harus mengacu pada ketentuan KUHAP,
disamping juga terdapat hukum pidana formil selain yang telah diatur dalam
KUHAP, dan tersebar dalam Undang-undang diluar KUHAP.26
Tugas lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan serta Lembaga
Pemasyarakatan harus dibedakan sebagai konsekuensi pembagian kekuasaan demi
26 Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Bina Aksara
28
mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan didalam satu tangan dengan berbagai
eksesnya. Pembedaan dan pembagian kekuasaan atau kewenangan juga
dimaksudkan agar terjamin pelaksanaan spesialisasi yang mendorong
profesionalisme. Namun demikian pembagian kewenangan tersebut tentunya tidak
perlu menghalangi kerjasama positif, yang justru sangat diperlukan bagi
berjalannya pelaksanaan peradilan.
E. Pembuktian dalam Sistem Peradilan Pidana
Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi
masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan
pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Berdasarkan definisi para ahli
hukum yang ada, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan
kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil
yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil
kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggung
jawabkannya. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan
boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.27
27 M. Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafik , hlm 61
29
Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana,
yaitu sebagai berikut:
a) Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata
(Conviction In Time)
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan
yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim
semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa
sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus
timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup
kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya
meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat
dinyatakan bersalah.
Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.
Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan
kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan
pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat
pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas
yang aneh.
b) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan
yang Logis (Conviction In Raisone)
Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga mengutamakan penilaian
keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa,
akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata
30
dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu
didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, Meskipun alat-alat
bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat
alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan
adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan
yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus
dilandasi oleh "reasoning" atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus
“reasonable" yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan
nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem
pembuktian ini sering disebut dengan system pembuktian bebas.
c) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif (Positif
Wettelijks)
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan system pembuktian conviction
in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa
didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang
dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat
mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi
sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi
dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung
alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat
bukti yang sah menurut undang-undang Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan
bersalah dan harus dipidana.
31
Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan
kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar
obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang
undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan
kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang
bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana.
Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu
system pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk
bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum
Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa
sebagai objek pemeriksaan belaka dalam hal ini hakim hanya merupakan alat
perlengkapan saja.
d) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negative
Wettelijk)
Teori pembuktian menurut undang-undang negative tersebut dapat disebut dengan
negative wettelijk istilah ini berarti: wettelijk berdasarkan undang-undang
sedangkan negative, maksudnya adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara
terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh
menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan
terdakwa.28
28 M. Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafik , hlm 66-69
32
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya
dua alat bukti yang telah di tentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan
keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat - alat bukti itu. Dalam pasal 183
KUHAP menyatakan sebagai berikut:
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Atas dasar ketentuan Pasar 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa
KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini
berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa
cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang
undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan
tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief ditentukan dalam
undang-undang dan bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada
ketentuan undang-undang. Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas
atau disebut juga dengan system undang-undang secara negative sebagai intinya
yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika
memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana;
b. Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah dalam hal
membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan
33
kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan
cara-cara yang ditentukan oleh undang - undang, tetapi harus disertai pula
keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang
dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang
ditentukan dalam undang-undang. Oleh karena itu, dalam pembuktian benar -
benar mencari kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan terjadinya
salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.
Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit -
dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang - undang itu ada, ditambah
dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu sehingga
akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan suatu
perkara, karena di lain pihak pembuktian harus melalui penelitian.
F. Teori Kekuatan Sumpah
Kekuatan hukum sumpah di muka pengadilan merupakan hal yang terpenting
dalam hukum acara sebab pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan
tidak lain berdasarkan pembuktian. Oleh karena itu, untuk dapat menyelesaikan
suatu perkara yang dibawah ke muka hakim dan supaya keputusan hakim benar-
benar mewujudkan keadilan maka hendaklah hakim mengetahui hakikat
gugatan/dakwaan dan mengetahui hukum tentang perkara tersebut. Hakim
mengetahui tentang gugatan-gugatan yang dihadapkan kepadanya, baik dengan
penyaksikan sendiri apa yang digugat itu, ataupun sampainya berita secara
mutawatir kepadanya. Kalau berita yang sampai kepadanya, tidak dengan jalan
mutawatir atau tidak dapat meyakinkannya, hanya dapat menimbulkan
34
persangkaan yang kuat saja. Oleh karena mengharuskan seseorang memperoleh
berita secara mutawatir itu, menimbulkan kesukaran dan dapat menghilangkan
banyak hal, maka agama membolehkan hakim menerima keterangan yang dapat
menimbulkan persangkaan yang kuat dan dibenarkan hakim menerima keterangan
tersebut. Untuk mengetahui tentang gugatan-gugatan yang diajukan itu, cukuplah
pengakuan dengan orang yang digugat atau keterangan- keterangan dari saksi
yang adil, walaupun kemungkinan yang mengajukan perkara tersebut berdusta
dan demikian pula sama hal dengan saksi-saksi yang lain nya dalam memberikan
kesaksian. 29
Pemeriksaan saksi dalam perkara pidana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan Pasal 184 KUHAP,
keterangan saksi termasuk alat bukti dalam perkara pidana. Sebelum pemeriksaan
saksi dimulai, hakim akan menanyakan kepada saksi mengenai nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan (Pasal 160 ayat [2] KUHAP). Hakim juga akan menanyakan
kepada saksi apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan
yang menjadi dasar dakwaan, apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan
sampai derajat keberapa dengan terdakwa, apakah ia suami atau isteri terdakwa,
serta apakah ada ikatan hubungan pekerjaan dengan terdakwa.
Setelah pemeriksaan identitas saksi, sebelum memberikan keterangan, saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut tata cara agamanya masing-masing
(Pasal 160 ayat [3] KUHAP). Maka pengambilan sumpah dilakukan berdasarkan
29 Roeslan Saleh, 1990. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta, Aksara
Baru.
35
agama yang dianut oleh saksi dengan dibantu oleh rohaniawan sebagai juru
sumpah. Jadi, apabila ada saksi yang disumpah bukan dengan tata cara agamanya,
maka pengambilan sumpah tidak sah karena Pasal 160 ayat (3) KUHAP telah
menyatakan bahwa pengambilan sumpah harus dilakukan menurut cara agama
saksi.30
G. Teori Konsekuensi Terhadap Sumpah Palsu
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 KUHAP). Keterangan
Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1
butir 27 KUHAP).
Berdasarkan Pasal 160 (3) KUHAP, bahwa Sebelum memberi keterangan, saksi
wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing,
bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada
yang sebenarnya. Jika saksi meberikan keterangan yang bertentangan dengan
keterangan terdahulu dalam pemeriksaan pendahuluan (BAP Penyidikan), bahkan
menyatakan mencabut keterangan terdahulu, maka Hakim tidak serta merta
menyalahkan saksi, akan tetapi menanyakan kepada Saksi “alasan apa” sehingga
saksi mencabut keterangan yang terdapat dalam BAP. Apabila Saksi meberikan
alasan yang masuk akal, maka pencabutan isi BAP tersebut dapat diterima.
30 Nikolas Simanjuntak,2012. Acara Pidana Indonesia Dalam Siklus Hukum. Bogor: Ghalia
Indonesia
36
Memberikan keterangan Sumpah Palsu di bawah sumpah atau yang biasa disebut
delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu, diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
Ayat 1:
“Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya
memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada
keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas
sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.”
Ayat 2
“Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.”
Sumpah Palsu/Keterangan Palsu adalah Delik Formil (formeel delict), artinya
perumusan unsur-unsur pasalnya dititik beratkan pada perbuatan yang
dilarang. Delik Sumpah Palsu tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan
dilakukannya perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan delik
tersebut. Sesuai dengan Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), apabila keterangan seorang saksi di bawah sumpah dalam
suatu persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak
benar) maka Hakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan
saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan
akan adanya sanksi pidana apabila saksi tersebut tetap memberikan keterangan
palsu. Selanjutnya, apabila saksi tersebut tetap mempertahankan keterangan
palsunya, makaHakim Ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas
permintaan jaksa penuntut umum atau terdakwa (maupun Penasihat Hukumnya)
dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan, kemudian panitera pengadilan
37
akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh Hakim
Ketua dan panitera, dan selanjutnya menyerahkannya kepada penuntut umum
untuk dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
Adapun didalam praktiknya, hakim mempunyai hak untuk menilai keterangan
saksi sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim memiliki
keyakinan bahwa saksi tersebut berbohong, maka hakim ketua akan men-
skorsing sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota. Jika
musyawarah tersebut mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan
mengeluarkan penetapan. Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan
pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk
menahan saksi yang diduga bersumpah palsu tersebut. Tentunya dengan ketentuan
bahwa sebelumnya hakim harus memperingatkan saksi tersebut untuk
memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana,
dalam hal saksi tersebut tetap memberikan keterangan yang palsu (tidak benar).
Dengan demikian, ketegasan seorang hakim sangat diperlukan dalam menegakkan
tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, yaitu khususnya
dalam hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan
seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah
tersebut. Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu
tersebut merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak
palsu, namun tetap diproses sebagai tersangka atau terdakwa, maka berpadanan
pada asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah), soal bersalah atau
tidak bersalahnya seorang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di
38
bawah sumpah tersebut adalah bergantung sepenuhnya dari bagaimana proses
pembuktian yang dilakukan atas setiap perkara tersebut di pengadilan.31
R Soesilo32 dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 183) menjelaskan bahwa
supaya dapat dihukum unsur-unsur ini harus dipenuhi:
a. Keterangan itu harus di atas sumpah.
b. Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut
peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu.
c. Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh
pemberi keterangan.
Soesilo33 juga menambahkan bahwa supaya dapat dihukum pembuat harus
mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan
dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah.
Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan
tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan, jika ternyata ia
tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum.
Menyembunyikan kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu
keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya
dengan dikehendaki (disengaja).
Sebelum saksi tersebut dituntut melakukan tindak pidana memberikan keterangan
palsu, hakim memperingatkan saksi terlebih dahulu. Pasal 174
31 Moch Anwar,. 1979. Hukum Pidana Bagian Khusus. Percetakan Offset Alumni. Bandung 32 R. Soesilo, 1989, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia. 33 Ibid, hlm98
39
KUHAP menyatakan bahwa apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu,
hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya
memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana
yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
Kemudian, apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi
perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan
dakwaan sumpah palsu.
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penilitian skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan
dengan penelitian skripsi ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah
dengan melakukan penelitian di lapangan yaitu dengan melihat fakta-fakta yang
ada.34
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang akan
diperoleh langsung dari data yang diperoleh dari bahan pustaka. Sumber data yang
dipergunakan dalam penulisan skripsi ini berupa data sekunder.
1. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen, arsip
dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-
konsep, pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan
34 Ronny Hanitijo Soemitro, 2009 , Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia.
41
dengan pokok penulisan, serta ilmu pengetahuan hukum mengikat yang terdiri
dari bahan hukum antara lain :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat berupa Perundang-Undangan yang terdiri dari :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami
bahan hukum primer antara lain literatur dan referensi.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus,
bibliografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, hasil-hasil penelitian para
sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
skripsi ini.
2. Data Tersier
Data tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan
sebagaianya
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya dapat diduga.
Narasumber yang menjadi objek kajian penulis adalah Hakim di Pengadilan
42
Negeri Tanjung Karang ,dan Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dari
Narasumber melakukan metode wawancara kepada responden yang telah dipilih
sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden. Adapun yang dijadikan
narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang
2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang
3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lampung : 1 orang +
Jumlah : 3 orang
D. Metode Pengumpulan dan Penolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka pengumpulan data untuk penelitian skripsi ini akan disesuaikan
dengan sumber data, baik data primer maupun data sekunder dengan menggunkan
cara-cara sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan ini dilakukan melalui serangkaian kegiatan membaca,
mencatat, mengutip, dari literature, peraturan perundang-undangan, buku-buku,
media masa dan bahan hukum tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan
penelitian yang dilakukan.
43
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data primer dengan
menggunakan metode wawancara yaitu sebagai usaha mengumpulkan data
dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan
pedoman pertanyaan secara tertulis.
2. Metode Pengolahan Data
Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data kemudian diproses
melalui pengolahan data peninjauan data dengan:
a. Identifikasi data yaitu mencari dan menetapkan data yang diperlukan
dalam penelitian ini.
b. Klasifikasi data yaitu menyusun data yang telah diperoleh menurut
kelompok yang telah ditentukan secara sistematis sehingga data tersebut
siap untuk dianalisis.
c. Sistematisasi data yaitu penyusunan data berdasarkan urutan data
ditentukan dan sesuai dengan pokok bahasan.
E. Analisis Data
Setelah data terkumpul dan diolah, kegiatan selanjutnya adalah analisis data.
Dalam penelitian ini yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu dengan cara
mendeskripsikan data yang diperoleh dalan bentuk penjelasan dan uraian-uraian
kalimat. Dan dapat ditarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir dari
hal-hal yang bersifat umum lalu diambil kesimpulan secara khusus. Dari
kesimpulan-kesimpulan yang telah diambil kemudian disampaikan saran-saran
73
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kekuatan sumpah terhadap pembuktian keterangan saksi memiliki kekuatan
yang sepenuhnya dikarenakan sumpah yang diucapkan saksi merupakan
syarat keabsahan alat bukti keterangan saksi untuk mengukuhkan kebenaran
keterangan yang diberikannya. Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 160
Ayat 3 KUHAP dimana saksi diwajibkan harus bersumpah didalam proses
peradilan pidana. Seperti dari tujuan dilakukannya sumpah yang diharapkan
untuk mendorong saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya (jujur)
karena telah dikuatkan dengan sumpah. Kemudian dari sisi keabsahan alat
bukti keterangan saksi, karena ketika seorang saksi menolak untuk disumpah
maka nilai dari alat bukti keterangan saksi tersebut menjadi tidak sah,
sehingga tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, hanya dapat menguatkan
keyakinan hakim. Dan apabila alat bukti tersebut sah, maka dapat dijadikan
pertimbangan hakim dalam putusannya.
74
2. Konsekuensi hukum terhadap sumpah palsu yang menjadikan keterangan
tersebut palsu dalam persidangan telah dirumuskan pada Pasal 242 KUHP.
Salah satu unsurnya menghendaki agar dapat dikatakan suatu tindak pidana
keterangan yang disampaikan harus di bawah sumpah. Selain itu supaya dapat
dihukum saksi pemberi keterangan harus mengetahui bahwa ia memberi
keterangan dengan sadar yang bertentangan dengan kenyataan, serta telah
memberikan keterangan palsu dibawah sumpah. Suatu keterangan palsu dapat
dikatakan sebagai tindak pidana sumpah palsu apabila pemeriksaan terhadap
saksi yang bersangkutan telah selesai dalam memberikan keterangannya.
Selama saksi itu masih diperiksa, saksi tersebut masih dapat menarik kembali
keterangannya dan belum terjadi tindak pidana sumpah palsu yang dapat
dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kekuatan sumpah dalam
pemberian kesaksian pada perkara pidana, maka didapat beberapa saran sebagai
berikut :
1. Untuk memperoleh kebenaran dari keterangan saksi, selain dilakukan
pengambilan sumpah, hakim juga dituntut untuk bertindak lebih tegas agar
setiap orang yang memberikan keterangan di pengadilan tidak menyampaikan
kebohongan, sehingga untuk aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa,
75
advokat, maupun polisi tidak hanya memiliki pengetahuan hukum saja tetapi
juga pengetahuan akan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
2. Pada rumusan Pasal 242 Ayat (1) KUHP perlu ditambahkan unsur tentang
mempertegas permasalahan tempat di mana pelaku melakukan perbuatan
memberikan keterangan palsu, baik di depan pengadilan maupun di luar
pengadilan. Dan di dalam rumusan Pasal 174 Ayat (1) KUHAP perlu
dipertegas dengan mewajibkan Hakim membacakan pasal dalam KUHP yang
dapat dijadikan dasar penuntutan (Pasal 242 KUHP) dan ancaman pidana
maksimum yang ditentukan dalam pasal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penenlitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika ,
Ashshofa, Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.
Anwar, Yesmil. 2009. Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaanya dalam Penegakkan Hukum di Indonesia). Bandung: Widya
Padjadjaran
Anwar, Moch. 1979. Hukum Pidana Bagian Khusus. Percetakan Offset Alumni.
Bandung
Andrisman, Tri. 2011. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana
Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung
Bakhrie, Syaiful H . 2009. Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana.
Yogyakarta: Total Media.
Budoyo, Sabto. 2009 , Perlindungan Hukum Bagi Saksi Dalam Proses
Pengadilan Pidana, Universitas Diponogoro, Semarang
Chazawi, Adami, 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana. Bandung:
PT.Alumni.
Dahlan, Irdan. 2013. Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Hanitijo Soemitro, Ronny. 2009 , Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
(Jakarta: Ghalia Indonesia.
Harahap, M. Yahya. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.
Jakarta: Sinar Grafik.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Muhammad, Abdulkadir. 2006. Etika Profesi Hukum. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan Perkara (Penyidikan dan
Penyelidikan). Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta.
Mulyadi, Lilik . 2007. Putusan Hakim dalam Acara Pidana. Citra Aditya Bakti.
Bandung
Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Bina Aksara
-----------. 2009. Hukum Pidana Indonesia Yogyakarta: Bina Aksara
Mertokusmo , Sudikno, 1991.Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta.
-----------. 2013 , Hukum Acara Pidana dalam Pratik , Jakarta; Penerbit
Djambatan
Prints, Darwan. 2010. Hukum Acara Pidana: Djambatan Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Prodjodikoro, Wirjono. 2010. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia.
Bandung: PT Refika Aditam
Sianturi, S.R. 1996.Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,
Alumni Ahaem-Peteheam, Jakarta.
Simanjuntak, Nikolas. 2012. Acara Pidana Indonesia Dalam Siklus Hukum.
Bogor: Ghalia Indonesia
Saleh, Roeslan. 1990. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.
Jakarta, Aksara Baru.
Sudarto,2008 Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung
Siti Aningsih, Resti.2008, Fungsi Dan Kedudukan Saksi dalam Peradilan Pidana,
Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Samudera, Teguh. 2011 . Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana , Bandung:
PT. Alumni.
SM, Amin. 2011. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita
R. Soesilo, 1989, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia.
Waluyadi, 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan
Khusus), Maju, Bandung
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang – Undang No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban .
KUHP
KUHAP
C. Internet
https://www.saibumi.com/artikel-90264-majelis-hakim-indikasi-adanya-sumpah-
palsu-dari-saksi-marzuli.html
Hakim, Abdul . 2019. Hukum indonesia https://www.liputan6.com 21.08
Aries, Albert .2019. kesaksian palsu diatas sumpah dalam peradilan
http://www.poskotanews.com.14.45 .