Anestesi Pada Laparaskopi Lala

download Anestesi Pada Laparaskopi Lala

of 31

Transcript of Anestesi Pada Laparaskopi Lala

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    1/31

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    2/31

    Doppler transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun maksimal yaitu 28%

    saat tekanan insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7

    mmHg. Sebagian besar peneliti mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10

    30% selama insuflasi peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk.

    merekomendasikan batas tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan efek

    hemodinamik yang minimal adalah 12 mmHg.Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan

    cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh

    peningkatan pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk

    kedalam thoraks.

    Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung membuat kolaps vena

    besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik vena

    dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada beberapa pasien.

    Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara meningkatkan

    volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian

    dapat dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down sebelum

    insuflasi peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compressiondevice, atau dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri

    tidak mengalami penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat sampai

    15 mmHg. Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang

    menyebabkan vasodilatasi seperti isofluran atau obat vasodilatasi langsung seperti

    nitrogliserin atau nikardipin.

    Penggunaan agonis 2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat

    penghambat mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara

    signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa mencegah

    perubahan hemodinamik.

    3. Efek dari posisi pasien 1,2,4,7,11,14-16

    Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2pada laparoskopi kolesistektomi dilakukan dengan

    pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20 trendelenburg. Posisi pasien kemudian berubah

    keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up position) dengan ditekan kelateral kiri untuk

    memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan meminimalkan disfungsi diafragma.

    Perubahan posisi pada pasien dengan pneumoperitonium menyebabkan perubahan

    hemodinamik yang signifikan.

    Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan akhir diastolic

    ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik vena (venous return)

    atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap

    terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien

    dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secarakuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi

    head-up mengakibatkan penurunan aliran darah vena femoralis, stasis pada vena vena

    tungkai bawah, diperburuk dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan

    predisposisi terjadinya tromboemboli.

    Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload), namun MAP

    dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan respon paradoksikal yang

    dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic yang menyebabkan

    vasodilatasi sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan

    yang lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang disertai

    dengan fungsi ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara potensial dan

    meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhisirkulasi serebral, khususnya pada pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    3/31

    mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada

    pasien dengan glaucoma akut.

    4. Efek Absorbsi Sistemik gas CO21,2,4,14,16

    Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2. Hiperkapni

    menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan nilai ambang aritmia.

    Efek antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler danpenurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan

    pengeluaran katekolamin.

    Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan peningkatan

    tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk mengkompensasi

    dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan tekanan

    intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan rata

    rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif

    paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.

    5. Respon neurohumoral 1,2,4,16

    Mediator mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama pneumoperitoneum

    adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan pneumoperitoneum dapatmenyebabkan stimulasi system syaraf simpatis dan menstimulasi pengeluaran katekolamin.

    Beberapa penelitian melaporkan adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi

    vasopressin. Joris dkk. menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera

    setelah insuflasi peritoneum. Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan aldosteron

    berhubungan dengan peningkatan MAP.

    Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua dikeluarkan selama

    pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam meningkatkan afterload. Stimulasi mekanik

    reseptor peritoneum juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.

    Efek Respirasi1-4,15

    1. Efek Mekanik

    Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada laparoskopi,

    mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan 4 komplikasi

    respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas.

    Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume paru,

    penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway

    pressure). Komplian paru menurun 3050% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III IV.

    Penurunan kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan

    posisi terlentang dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO2 dan

    perpindahan ke sefalad diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi

    ventilasi dan perfusi paru yang disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airwaypressure).

    Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang selama

    laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC,

    atelektasis, gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas

    dengan riwayat merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru.

    Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC, volume

    total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang menjadi atelektasis.

    Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun pada pasien

    obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia.

    Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa

    endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeserantrakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    4/31

    2. Efek Pertukaran GasAbsorbsi CO22,4

    CO2adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak mudah terbakar

    seperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi. Dibandingkan dengan

    helium, kelarutan CO2darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko efek

    samping emboli gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara.

    Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akandikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.

    Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas daerah

    absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi CO2tinggi, maka

    terjadi absorbsi CO2dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan

    PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada

    innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi,

    khususnya pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya

    penurunan pH darah dan peningkatan PaCO2pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum

    dan pasien ini membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang

    juga lebih tinggi. Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2arteri pada pasien

    ini. Gradient PETCO2masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO2merupakannilai yang tidak dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO2selama insuflasi CO2pada pasien

    dengan penyakit paru berat.

    Kelarutan CO2yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah peritoneum,

    ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya komplian paru

    menyebabkan peningkatan kadar CO2arteri dan penurunan pH.

    Peningkatan PaCO2yang progresif mencapai kondisi konstan 15 30 menit setelah mulainya

    insuflasi CO2pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama laparoskopi ginekologi

    dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi kolesistektomi pada posisi head up.

    Peningkatan PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan

    anestesi lokal, PaCO2tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi

    umum dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari

    hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan

    yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam

    waktu 15 30 menit untuk mencapai PaCO2konstan, teknik anestesi dengan menggunakan

    nafas spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen

    yang rendah.

    Penyebab peningkatan PaCO2saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial yaitu :

    1. Absorbsi CO2dari ruang peritoneum.

    2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktorfaktor mekanik seperti distensi abdomen,

    posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac output.3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat obat premedikasi dan anestesi yang

    terjadi pada pasien dengan nafas spontan.

    4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam).

    5.

    Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2 subkutis atau dalam ruang

    tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.

    Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama pneumoperitoneum CO2

    lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi mekanik akibat peningkatan

    tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan

    ventilasi juga bertanggung jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam

    rentang fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    5/31

    khusus seperti emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah

    dicapai dengan peningkatan 1025% ventilasi alveolar.

    Efek Pada Sistem Lain1,2,4,14

    Sistem Gastrointestinal

    Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk terjadinyasindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan tekanan

    intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama pneumoperitoneum, tonus sfinkter

    esophagus inferior jauh lebih kuat daripada tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini

    membatasi insidensi regurgitasi.

    Sir kul asi MesenterikPembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada peningkatan

    IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya pembuluh darah kapiler dan

    vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia, kompresi mekanis organ-organ abdominal,

    posisi reverse Trendelenberg, dan pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut

    mengakibatkan menurunnya sirkulasi mesenterik.

    Sir kul asi HepatoportalPeningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik pada

    pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan vasopressin)

    selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric

    sehingga mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik.

    IAP > 20 mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga

    mengakibatkan disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode postoperative.

    Terdapat penurunan suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula

    adrenal.

    Fungsi GinjalPeningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah jantung

    dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena renalis yang

    disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan peningkatan aktivitas

    rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga

    mengakibatkan penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine.

    Tekanan Intrakranial dan Tekanan IntraokulerPeningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal lumbal

    dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan tekananintrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan refleks vasodilatasi pada sistem saraf

    pusat dan hal ini juga turut meningkatkan tekanan intrakranial.

    ANESTESI PADA LAPAROSKOPI1-3,5

    Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus

    mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang terjadi

    selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini komplikasi.

    Pemulihan anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan antisipasi

    kemungkinan prosedur laparoskopi berubah menjadi laparotomi.

    Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi1,2,5,8,16

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    6/31

    Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan laparoskopi

    telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas

    morbid.

    Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial

    (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan

    peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien denganshunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap

    tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa

    gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini.

    Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal, pasien

    dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik

    selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat obat nefrotoksik. Pada

    pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi

    oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus

    dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan

    resiko ketidakadekuatan pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.

    Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginyastatus ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan

    asidosis selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan asidosis yang persisten

    mungkin memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan

    insuflasi ataukonversikan ke prosedur terbuka.

    Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,

    profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-

    molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 5000 IU atau

    Clexane enoxaparin sodium 20 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length

    graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten

    pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum

    pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.

    Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan

    cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi

    nyeri pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress

    intraoperasi dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik

    (benzodazepin) biasanya tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.

    Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi

    perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien,

    khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung

    kongestif yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami

    komplikasi kardiak daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi.Untuk pasien seperti ini keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan

    resiko intraoperasi dalam menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.

    Teknik Anestesi1,2,4-6,15

    Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal dengan

    sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi

    tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.

    Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain, anestesi

    umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk

    operasi laparoskopi.

    Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tubaperlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    7/31

    pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan

    visualisasi organ organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian

    penggunaan teknik anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.

    Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan spinal.

    Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada operasi

    laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan adanyapneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini

    membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan

    untuk mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi

    pembedahan.

    Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot disertai

    pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan : adanya resiko

    regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya

    ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi

    secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan

    karena tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah

    pergerakan pasien yang tidak diinginkan.Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama ventilasi

    karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars. Pemasangan

    pipa nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ

    visceral saat insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan

    pada pasien obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan

    teknik ventilasi spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum

    intraoperasi dan posisi pasien.

    Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2

    kirakira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 25% peningkatan ventilasi

    semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih

    daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan

    pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar

    dan menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat obatan vasodilator seperti

    nikardipin, agonis 2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik

    pneumoperitoneum dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit

    jantung.

    Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk

    mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg.

    Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi.

    Karena kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine

    harus disediakan untuk injeksi jika diperlukan.Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan

    ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti

    sterilisasi perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli

    bedah dan pasiennya tidak obesitas.

    Manajemen jalan nafas2,4,16

    Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik

    untuk mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat

    pneumoperitoneum dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway

    (LMA) telah digunakan dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro

    seal berhasil digunakan untuk insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one daycare (ODC). Pemantauan kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    8/31

    mendeteksi refluk esophageal pada pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan

    menggunakan LMA. Untuk laparoskopi abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan

    dengan tekanan intraabdomen yang tinggi, refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan

    meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung. Penggunaan ballon pipa endotrakeal

    mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi lambung.

    Pelumpuh otot2,17

    Pemilihan obat obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek

    samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan neostigmin

    meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi

    dibandingkan dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse

    ini. Namun penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan

    dengan penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi

    yang direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan

    insiden atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit

    menyebabkan gejala dan tanda distress yang harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak

    memakai neostigmin harus diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuhotot.

    Nitrous Oxide (N2O)2,3,4

    Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena kemampuan N2O

    untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi, gangguan lapangan

    pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi, namun secara klinis tidak

    signifikan pada prosedur pendek dan sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada

    Nitrogen (N2), ruang udara tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2.

    Edger dkk. mendapatkan adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4

    jam pernafasan dengan N2O. keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi

    kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk. mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2

    pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari 29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka

    bakar pada operasi lebih dari 2 jam.

    N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam studi

    randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi,

    mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi 17% bila tidak

    menggunakan N2O.

    Obat Induksi2

    Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya yang

    baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.

    Obat Anestesi Inhalasi2

    Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi

    hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat obat inhalasi yang baru seperti

    isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah

    dan kurang aritmogenik.

    Analgesia2,3,4

    Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum untuk

    prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl bisa

    digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahaninterpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    9/31

    karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi

    yang disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan

    nalokson.

    Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal, namun

    tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu setelah

    operasi. Obat obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesilokal infiltrasi sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping.

    Pemberian obat anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak

    melibatkan blok neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian obat

    anestesi lokal bupivakain 0,25% 50 200mg dalam volume 10 100 ml, signifikan

    mengurangi nyeri yang terjadi. Efek samping atau tandatanda toksisitas anestesi lokal yang

    diberikan melalui jalur intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan

    nyeri visceral berupa rasa tidak enak setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang

    dengan pemberian 80 ml bupuvakain 0,125% intraperitoneum.

    Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV)1,2,3,5

    PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan gejalayang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 75% pasien) dan merupakan

    faktor yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah sakit setelah

    anestesi. Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV

    masih kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan

    dosis opioid dengan obat obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV.

    Selektif reseptor antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis

    terhadap emesis pasca operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada

    perbedaan antara ondansetron 4 mg dan siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang

    menjalani laparoskopi rawat jalan. Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih

    signifikan sebagai antiemesis pada akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat

    preinduksi. Pendekatan multimodal untuk mencegah PONV bisa dilakukan dengan

    menggunakan obat kombinasi droperidol 0,6251 mg, antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg

    atau dolasetron 2.5 5 mg), dan deksamethason 4 8 mg, disertai dengan hidrasi yang

    cukup, penggunaan dosis minimal opioid.

    Monitoring1,2,4,16

    Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani prosedur

    dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu ECG,

    Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan

    intraabdominal, pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada

    pasien ASA III IV untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum,perubahan posisi dan untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan

    monitor PaCO2 dan saturasi oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa

    gangguan intraoperasi akut. PaCO2dan a-ETCO2meningkat lebih besar pada pasien ASA II

    III daripada pasien ASA I. Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi

    kronis (PPOK) dan pada anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis

    gas arteri danjurkan bila secara klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa

    adanya PETCO2 abnormal. Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan

    sebagai indikator non invasif dari PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk

    keadekuatan ventilasi semenit untuk mempertahankan normokarbia selama prosedur

    laparoskopi. Penurunan perfusi paru terjadi jika cardiac output menurun dengan cepat oleh

    karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi yang berlawanan dengan posisitrendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi abdomen menurunkan komplian

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    10/31

    paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan meningkatkan tekanan puncak inspirasi

    dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan operasi. Pilihan untuk menghindari hal

    ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan frekuensi nafas yang lebih cepat namun

    bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai

    ETCO2tidak bisa dipercaya khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan paru yang

    menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri seharusnya dilakukan dan analisa gas darahpenting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2juga bermanfaat untuk deteksi dini

    emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner.

    Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2dan PaCO2setelah Insuflasi CO2pada

    pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara

    bertahap selama insuflasi CO2dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.

    Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang diberikan

    IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi peningkatan

    berlebihan tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba tiba selama

    pembedahan yang dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan

    laparoskopi.

    KOMPLIKASI INTRAOPERASI YANG SPESIFIK1,2,4

    Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum CO2

    meliputi :

    1. Trauma vaskular 2,3,4,8,16

    Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alatalat pembedahan terutama veress needle

    atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen atas 0,03 0,06% dan

    menurun dengan meningkatnya pengalaman pembedahan. Perdarahan bisa terjadi oleh karena

    insersi veress needle atau trokar mengenai pembuluh darah besar intraabdomen atau trauma

    pada pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta, vena cava inferior, pembuluh darah

    iliaka, dan hematom retroperitoneum, biasanya merupakan trauma vaskular yang terdiagnosa

    terlambat oleh karena terbatasnya visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya

    hipotensi yang tidak bisa diterangkan.

    2. Trauma Gastrointestinal 2,3,4,8

    Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar meliputi

    perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa menyebabkan

    peritonitis, robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium. Trauma gastrointestinal yang

    tidak bisa dikenali mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma

    gastrointestinal meliputi distensi lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen

    sebelumnya.

    3. Aritmia jantung 2,3,4,6

    Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab meliputi :hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2intraperitoneum dan peningkatan reflek tonus vagus

    saat insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan manipulasi organ visceral,

    khususnya bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah

    dilaporkan adalah bradikardia sampai asistol.

    Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus

    dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus (pengurangan insuflasi

    intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas atropine)

    4. Emfisema Subkutis 1,2,3,4,5,12,14,15

    Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang disengaja

    (pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi pelvis) dan insuflasi CO2

    ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang peritoneum pada laparoskopi dicapaidengan cara insersi buta veress needle melalui insisi kecil subumbilikus. Insuflasi CO2

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    11/31

    ekstraperitoneum bisa terjadi jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan

    preperitoneum atau retroperitoneum saat insuflasi. Insiden dari komplikasi insuflasi

    ekstraperitoneum bervariasi antara 0,4 2%. Emfisema subkutan yang luas bisa mengenai

    abdomen,dada, leher, dan paha. Emfisema subkutis ditandai ditandai dengan adanya krepitasi

    diatas dinding abdomen. Peningkatan absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba tiba

    ETCO2dan hiperkapnea, dan asidosis respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutiskarena insuflasi ekstraperitoneum. Kehati hatian teknik pembedahan saat insersi veress

    needle dan penilaian lokasi jarum intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi insiden

    komplikasi ini.

    5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium 1-6,12,14-16

    Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau ekstraperitoneum,

    walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang mengancam nyawa. Faktor

    penyebab komplikasi ini berupa defek embrional, defek diafragma (hiatus aorta/esophagus),

    robekan pleura, rupture bulla emfisematus. Pada laparoskopi kolesistektomi, pneumothorak

    dapat terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi, dan diseksi kandung

    empedu. Diduga mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2sekitar aorta

    dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi ruptureruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau melalui defek kongenital

    pada hiatus pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum). Tension pneumothorak

    pernah ditemukan selama laparoskopi kolesistektomi, dan berhubungan dengan defek

    diafragma kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan tension pneumothorak

    terpisah dari pneumoperitoneum. Pneumothorak bisa tidak terdeteksi intraoperasi, atau

    keberadaannya bisa dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan jalan nafas yang tidak bisa

    dijelaskan, hipoksemia hiperkapnea, emfisema bedah, atau jika tension pneumothorak

    terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi yang berat. Jika diduga ada

    pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan

    hemodinamik tidak stabil atau secara klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension,

    segera lakukan pengempisan abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak.

    Selanjutnya penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil,

    abdomen bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak kecil yang

    terdeteksi saat akhir operasi dan tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dapat diterapi

    secara konservatif. CO2 dalam ruang pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan

    abdomen dan tidak memerlukan pemasangan WSD.

    Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat prosedur laparoskopi.

    Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi memegang peranan terjadinya komplikasi

    ini. Penatalaksanaan tergantung pada tingkat gangguan hemodinamik yang terjadi.

    Pengempisan pneumoperitoneum dan observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan

    komplikasi ini.6. Emboli Gas CO21-6,12,14-16

    Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur laparoskopi.

    Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah tindakan

    pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress

    needle intravena yang tidak disengaja, aliran CO2kedalam pembuluh darah dinding abdomen

    dan pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada

    permukaan hepar saat diseksi kandung empedu. Tanda dan beratnya efek emboli CO2

    meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular, hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema

    paru, deteksi dari mill wheel murmur, tidak seperti emboli udara biasa, pada emboli gas

    CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi penurunan ETCO2 karena

    penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati defek paten foramenovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli CO2serebral.

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    12/31

    Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi transesofageal sekitar 69%

    pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi, tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang

    signifikan. Wadhwa dkk. tidak menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani

    prosedur laparoskopi ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring yang

    baik dan meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi dini dan mencegah

    komplikasi lebih berat dari emboli CO2iniPenatalaksanaan emboli gas CO2ini meliputi :

    Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum

    Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini sejumlah gas

    yang masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang karena busa yang

    ringan berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel kanan.

    Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk memperbaiki

    hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak emboli gas.

    Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya dengan

    memperbesar ruang rugi fisiologis.

    Jika caracara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena sentral

    atau kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.

    Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin

    bermanfaat untuk memecah emboli CO2menjadi gelembung yang kecil.

    PEMULIHAN DAN PEMANTAUAN PASCA OPERASI1,2,5

    Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma pembedahan, ukuran

    luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru, penyembuhan lebih cepat, dan

    perawatan rumah sakit lebih pendek.

    Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena tidakadanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian atas.

    Prosedur laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional yang kurang

    dibandingkan dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi

    setelah paling tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi kolesistektomi sehingga PaO2

    masih rendah setelah laparoskopi kolesistektomi. Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi

    setelah operasi laparoskopi, untuk itu harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada

    pasien sehat. Penyebab disfungsi ini adalah peregangan diafragma selama

    pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh karena aferen yang berasal dari kandung

    empedu atau aferen somatic yang berasal dari dinding abdomen mendesak aksi inhibisi dari

    nervus prenikus. Pada pengukuran spirometri paru, fungsi paru seperti FRC, FEV1 dan

    kapasitas vital parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30 38%. Force vitalcapacity menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48% setelah

    pembedahan terbuka.

    Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO2 dari pasien

    yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka.

    Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan stasis vena yang

    dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah

    laparoskopi kolesistektomi adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu

    0,8%. Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi dapat

    mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang minimal bisamemfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi resiko DVT.

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    13/31

    Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan

    pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu dipertimbangkan

    untuk memberikan obat profilaksis.

    Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengankolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca operasi sering terjadi

    nyeri dan ikterus.

    REFERENSI

    1. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery

    2003;65;23240

    2. Adnyana IGN, Pryambodo. Anestesia pada Prosedur Laparoskopi. Majalah Anestesi

    dan Critical Care 2008; 26; 2; 22539.

    3. Joshi GP. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian Journal Anesthesia

    2002;49;6;154. Cunningham A.J., Nolan C. Anesthesia for Minimally Invasif Procedures. Clinical

    Anesthesia, 5th Edition 2006;38;2204-285.

    Joris JL. Anesthesia for Laparoscopic Surgery; 56; 200317.

    6. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal. pp 19.

    7.

    Morgan GE, et al. Laparoscopic Surgery. Lange Clinical Anesthesia third Edition

    2002;23;52224

    8.

    Desmon J., Gordon RA. Ventilation in patient Anaesthetized for Laparoscopy.

    Canadian Anaesthesia Soc. J. 1970;17;4;378 - 87

    9. Boddy AP., Mehta S., Rhodes M. The effect of Intraperitoneal Lokal Anaesthesia in

    Laparoscopic Cholecystectomy: A Systematic Review and Meta Analysis.

    International Anesthesia Research Society 2006;103;3;682 - 87

    10.

    Weingram J. laparoscopic Surgery. Anesthesiology - Problem Oriented Patient

    Management, fourth Edition 1998; 39; 732 - 59

    11.

    Stolzenburg JU., et al. Anaesthetic consideration for endoscopic extrapritoneal and

    laparoscopic transperitoneal radical prostatectomy. Journal Compilation 2006; 508

    13.

    12.Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery. Longnecker

    Anesthesiology 2008; 55; 1317 - 19

    13.Mehler SJ. Minimally Invasif Surgery (Laparoscopy and Thoracoscopy) available at

    [email protected]. 1 - 8

    14.

    Michaels IK. Laparoscopy. Clinical Cases in Anesthesia Third Edition 2005; 40; 21723.

    15.Ezekiel MR. Laparoscopic Surgery. Current Clinical Strategies. Handbook of

    Anesthesiology 2005; 167 - 8.

    16.Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in Laparoscopic

    Surgery in Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 526.

    17. Fourie PJHL., et al. Comparison between atracurium and alcuronium for muscle relaxation

    during laparoscopy. South Africa Medical Journal 1986; 69; 55355

    mailto:[email protected]:[email protected]:[email protected]
  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    14/31

    Makalah Laparoskopi

    BAB IPENDAHULUAN

    1.1.Latar Belakang

    Pada dasarnya prinsip operasi laparotomi ginekologi konvensional digunakan pada

    laparoskopi operatif. Disamping itu, operator laparoscopy harus berpengalaman dalam

    melakukan operasi melakukan operasi laparoskopi diagnostic. Oleh karena itu mereka

    sebelumnya harus telah mengenal dengan baik jaringan atau organ genitalia interna serta

    patologi tertentu lewat pandangan laparoskop. Operator laparoskopi dituntut pula untuk

    terbiasa dan terlatih menggunakan berbagai alat khusus yangt telah disebutkan diatas.

    Operator laparoskopi juga dituntut agar terbiasa melakukan jahitan atau ikatan hemostasis

    pada jaringan dalam rongga pelvis dengan endoloog dan endo-suture cara ikatan luar atau

    dalam.

    Untuk melatih hal-hal tersebut, oleh semm telah dibuat suatu model yang disebut

    pelvic-trainer. Dengan pelvic-trainer ini seseorang dapat melatih keterampilannya untuk

    melakukan hal-hal khusus tersebut diatas. Okuler laparoskop dapat dihubungkan dengan

    monitor, seperti ia melakukan hal yang sesungguhnya pada pasien. Bahan jaringan yang

    digunakan, biasanya plasenta segar dengan selaput amnionnya, yang dilekatkan didalam

    pelvic-trainer. Pada jaringan plasenta dan selaput amnion tersebut dapat dilakukan berbagai

    tindakan seperti melakukan tindakan yang sesungguhnya. Apabila hal-hal tersebut telah

    dikuasai dengan baik, maka ia telah siap untuk melakukan operasi laparoscopy operatif yang

    sesungguhnya pada pasien.

    Akhirnya, sewaktu akan melakasanakan operasi laparoskopyk perlu di pertimbangkan

    benar-benar apakah akan menguntungkan penderita. Tindakan operasi laparoscopy juga

    masih mempunyai keterbatasan. Mage dan kawa-kawan mengemukakan keberhasilan dalam

    histerektomi hanya mencapai 75% sedangkan untuk miomektomi masih lebih kurang lagi dan

    mereka mengemukakan masih diperlukannya alat-alat yang lebih canggih. Hanya dengan

    mengandalkan penilaian ilmiah yang benar dan cermat dalam tatacara pemakaian operasi

    laparoskopyk teknik tersebut akan menemui harapan yang lebih cerah.

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    15/31

    1.2.Rumusan masalah

    1) Jelaskan apa yang dimagsud dengan sejarah perkembangan laparoskopi?

    2) Jelaskan apa yang dimagsud dengan indikasi dan kontra-indikasi laparoscopy operatif?

    3) Jelaskan apa yang dimagsud dengan prosedur laparoscopy operatif?

    4) Jelaskan apa yang dimagsud dengan macam atau jenis laparoscopy operatif?

    5) Jelaskan apa yang dimagsud dengan anestesi pada laparoskopi operatif?

    6) Jelaskan apa yang dimagsud dengan robotic laparoskopi?

    1.3.Tujuan Pembelajaran

    1) Mampu menjelaskan sejarah perkembangan laparoskopi?

    2) Mampu menjelaskan gan indikasi dan kontra-indikasi laparoscopy operatif?

    3) Mampu menjelaskan prosedur laparoscopy operatif?

    4) Mampu menjelaskan macam atau jenis laparoscopy operatif?

    5) Mampu menjelaskan anestesi pada laparoskopi operatif?

    6) Mampu menjelaskan robotic laparoskopi?

    BAB II

    PEMBAHASAN

    PERSIAPAN DAN PEMERIKSAAN DIAGNOSE LAPAROSKOPY

    Perkembangan yang pesat di bidang teknologi kesehatan khususnya ilmu bedah telah

    mendatangkan manfaat dan keuntungan yang besar bagi kehidupan manusia. Ditemukannya

    teknik bedah Laparoskopi atau bedah minimal invasive. misalnya, kini telah mulai

    menggantikan teknik-teknik konvensional, kecuali pada kasus-kasus tertentu. Laparoskopi

    adalah prosedur untuk melihat rongga perut melalui sebuah teleskop yang dimasukkan

    melalui dinding perut. Prosedur pembedahan pada laparoskopi menggunakan alat-alat yang

    juga dimasukkan melalui dinding perut. Melalui teleskop, prosedur pembedahan lebih jelas

    terlihat karena bisa dilakukan pemaparan yang lebih baik pada rongga panggul dan efek

    pembesaran dari teleskop. Pada bidang ginekologi (kesehatan organ reproduksi wanita),

    kondisi yang dapat ditangani dengan teknik laparoskopi antara lain mioma uteri, tumor

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    16/31

    ovarium, nyeri haid, endometriosis, adenomiosis, infertilitas, sterilisasi tuba, pelengketan

    saluran tuba, pelengketan organ genitalia, kehamilan di luar kandungan, pengangkatan rahim

    atau ovarian drilling.

    SEJARAH LAPAROSKOPI

    Sulit menyebutkan siapa penemu alat laparoskopi pertama kali. Pada tahun 1902,

    Georg Keling, di Dresden, Saxony melakukan tindakan laparoskopi pertama pada anjing.

    Tahun 1910, Hans Christian Jacobaeus di Swedia melaporkan operasi laparoskopi dilakukan

    pertama kalinya terhadap manusia. Dengan ditemukannya chip komputer pada kamera TV,

    innovasi laparoskop lebih berkembang lagi. Dengan adanya alat ini, dapat dilakukan

    pembesaran lapangan operasi yang terlihat di monitor.

    KEUNTUNGAN

    Laparoskopi, yang merupakan revolusi besar di bidang ilmu bedah, kini banyak

    dipilih karena prosedurnya yang mudah serta waktu operasi yang relatif singkat dan lama

    pemulihan pasca operasi yang lebih singkat ketimbang konvensional. Ukuran lubang yang

    diperlukan untuk operasi hanya kurang lebih 0,5-1,5 cm, jauh lebih kecil dibandingkan

    ukuran lubang untuk operasi konvensional. Karena alasan inilah maka operasi laparoskopi

    disebut juga bandaid surgery atau keyhole surgery. Operasi ini disebut juga minimal invasive,

    karena bagian tubuh dibuka dengan sedikit sayatan saja. Alhasil, kerusakan pada jaringan

    tubuh dan jumlah perdarahan pun dapat diminimalisir, pasien pun dapat pulih dengan lebih

    cepat. Di samping itu, nyeri pasca operasi, komplikasi terhadap peristaltik usus dan luka

    operasi (infeksi luka operasi atau terbukanya luka operasi) juga lebih rendah. Khusus

    mengenai pemulihan peristaltik usus, laparoskopi memungkinkan hal ini lebih cepat terjadi

    mengingat organ (usus) tidak perlu dikeluarkan dari perut atau pun dipegang dokter.

    Peristaltik usus lebih akrab ditandai dengan buang angin pasca operasi, dan ini merupakan

    salah satu tanda telah pulihnya fungsi alat pencernaan. Bila bising ususnya sudah positif,

    pasien boleh langsung minum. Oleh karena itu, rata-rata setelah dua hari pasca operasi

    laparoskopi, pasien boleh pulang.

    Perlengketan pasca operasi yang dapat menyebabkan nyeri berulang setelah operasi,

    sumbatan usus, dan infertilitas juga lebih jarang terjadi. Pasien yang sudah menjalani operasi

    besar apapun, kemungkinan mengalami pelengketan 20 hingga 40 persen. Hanya nanti

    manifesnya akan sangat tergantung kepada individu. Secara kosmetik / estetik, laparoskopi

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    17/31

    lebih unggul dibandingkan laparotomi. Bekas luka operasi relatif tidak terlihat karena

    kecilnya luka irisan yang dilakukan. Kemungkinan terjadinya keloid pada bekas operasi juga

    minimal. Transmisi mikroba amat minimal karena tidak ada kontak langsung antara organ

    tubuh pasien dan tangan operator. Akibatnya, kemungkinan infeksi pasca operasi dapat

    diminimalisir.

    KERUGIAN

    Biaya yang dibutuhkan untuk operasi ini relatif lebih mahal karena operasi ini

    memerlukan peralatan-peralatan yang canggih seperti sistim kamera, sistim lampu dsb. Selain

    itu operasi laparoskopi ini relatif lebih lama dibandingkan laparotomi tetapi jika dilakukan

    oleh seorang operator laparoskopi yang terlatih dan terampil maka lama operasi tidak berbeda

    jauh dengan laparotomi.

    .

    KEGUNAAN LAPAROSKOPI

    Beberapa kegunaan laparoskopi secara umum dapat dibagi dalam dua kelompok yakni

    untuk mengetahui penyebab dari suatu penyakit (diagnosis) dan untuk mengatasi masalah

    tersebut (terapi). Sebagai alat diagnostik, laparoskopi seringkali digunakan untuk

    mendiagnosis penyebab dari ketidaksuburan (infertilitas), terutama untuk pasangan yang

    telah lama mencoba berbagai cara untuk mendapatkan anak. Penyebab infertilitas yang dapat

    diketahui oleh laparoskopi antara lain adalah gangguan pada saluran telur, yang bisa terjadi

    akibat proses perlekatan dengan daerah sekitar atau penekanan oleh tumor atau proses

    infeksi, adanya endometriosis (suatu penyakit yang erat kaitannya dengan infertilitas), adanya

    tumor kandungan atau tumor pada indung telur. Berbagai penyebab infertilitas yang dapat

    diatasi melalui laparoskopi antara lain adalah membebaskan saluran telur dari perlengketan

    atau penekanan oleh tumor, mematikan sarang-sarang endometriosis, atau mengangkat tumor

    kandungan/tumor pada indung telur.

    Selain itu, laparoskopi juga merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan

    mengatasi kehamilan di luar kandungan. Kehamilan di luar kandungan merupakan hal yang

    bila dibiarkan dapat membahayakan bagi penderita. Laparoskopi unggul dalam hal diagnostik

    karena dokter akan melihat secara langsung kelainan yang ada, di samping dapat melakukan

    berbagai tindakan untuk mengatasinya. Laparoskopi juga merupakan salah satu cara untuk

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    18/31

    melakukan tubektomi (seringkali dikenal sebagai penutupan kandungan), yakni bagi mereka

    yang telah merasa cukup memiliki anak. Pengangkatan miom / kista indung telur / kandungan

    sendiri juga dapat dilakukan melalui laparoskopi. Miom ukuran besarpun dapat dioperasi

    dengan menggunakan moselator, suatu alat untuk mengikis tumor menjadi ukuran yang lebih

    kecil, sehingga tumor tersebut dapat dikeluarkan melalui lubang kecil yang dibuat.

    Laparoskopi, di tangan ahli, dapat melakukan berbagai tindakan yang dilakukan secara

    laparotomi.

    INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI OPERASI LAPAROSKOPI

    Dengan telah berkembangnya inovasi instrumentasi dan tekhnik operasi seperti yang telah

    di utarakan diatas,maka indikasi untuk melakukan operasi dengan teknik laparoskopi menjadi

    lebih luas.tindakan operasi diagnostik dengan hasil diagnosis yang jelas, dan yang telah

    didiskusikan dengan pasien sebelumnya, dapat dilanjutkan dengan tindakan operatif tertentu.

    INDIKASI

    Indikasi Diagnostik

    Diagnosis diferensiasi patologi genetalia interna

    Infertilitas primer dan atau sekunder

    Second look operation,apabila diperlukan tindakan berdasarkan operasi sebelumnya

    Mencari dan mengangkat translokasi AKDR.

    Pemantauan pada saat dilakukan tindakan histeroskopi

    Indikasi terapi

    Kistektomi ,miomektomidan histerektomi

    Hemostasis perdarahan pada perforasi uterus akibat tindakan sebelumnya.

    Indikasi operatif terhadap adneksa

    Fimbrioplasti ,salpingostomi,salpingolisis

    Koagulasi lesi endometriosis.

    Aspirasi cairan dari suatu konglomerasi untuk diagnostik yang terapeutik.

    Salpingektomi pada kehamilan ektopik

    Kontrasepsi mantap (oklusi tuba)

    Rekontruksi tuba atau reanastromosis tuba pascatubectomi

    Indikasi operatif terhadap ovarium

    Pungsi folikel matang pada program fertilisasi in-vitro Biopsi ovarium pada keadaan tertentu( kelainan kromosom atau bawaan , curiga keganasan).

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    19/31

    Kistektomi antara lain ada kista coklat( endometrioma), kista dermoid, dan kista ovarium

    lain

    Ovariolisis, pada perlekatan periovarium

    Indikasi operatif terhadap organ dalam rongga pelvis Lisis perlekatan oleh omentum dan usus.

    KONTRAINDIKASI

    Kontraindikasi absolut

    Kondisi pasien yang tidak memungkinkan dilakukannya anestesi

    Diatese hemoragik sehingga mengganggu funsi pembekuan darah

    Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas , disertai dengan distensidinding perut ,sebab kelainan ini merupakan kontraindikasi untuk melakukan

    pneumoperitonium.

    Kontraindikasi relatif

    Tumor abdomen yang sangat besar,sehingga sulit untuk memasukkan trokar kedalam rongga

    pelvis oleh karena trokar dapat melukai tumor tersebut

    Hernia abdominalis, dikawatirkan dapat melukai usus pada saat memasukkan trokar ke

    dalam rongga pelvis, atau memperberat hernia pada saat dilakukan pneumoperitonium.kinikekhawatiran ini dapat di hilangkan dengan modifikasi alat pneumoperitonium otomatic

    Kelainan atau insufisiensi paru paru, jantung,hepar,atau kelainan pembuluh darah vena

    porta,goiter atau kelainan metabolisme lain yang sulit menyerap gas CO2.

    PROSEDUR LAPAROSKOPI OPERATIF

    Tiga atau lebih sayatan kecil (5-10 mm) dibuat di perut untuk memungkinkan port

    akses untuk dimasukkan. Para laparoskop dan instrumen bedah yang akan dimasukkan

    melalui port ini. Ahli bedah kemudian menggunakan laparoskopi, yang mentransmisikan

    gambar organ-organ perut pada monitor video, yang memungkinkan operasi untuk dilakukan.

    Operasi Laparoskopi usus dapat digunakan untuk melakukan operasi berikut:

    1. Proctosigmoidectomy. Operasi pengangkatan bagian rektum dan kolon sigmoid yang sakit.

    Digunakan untuk mengobati kanker dan pertumbuhan non-kanker atau polip, dan komplikasi

    diverticulitis.

    2. Right colectomy atau Ileocolectomy. Selama kolektomi kanan, sisi kanan usus besar akan

    dibuang. Selama ileocolectomy, segmen terakhir dari usus kecil - yang melekat pada sisi

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    20/31

    kanan usus besar, yang disebut ileum, juga dibuang. Digunakan untuk mengangkat kanker,

    pertumbuhan non-kanker atau polip, dan peradangan dari penyakit Crohn.

    3. Total abdominal colectomy. Operasi pengangkatan usus besar. Digunakan untuk mengobati

    radang borok usus besar, penyakit Crohn, poliposis familial dan mungkin sembelit.

    4. Fecal diversion. Bedah pembuatan saluran baik sementara atau permanentileostomy

    (pembukaan antara permukaan kulit dan usus kecil) atau (kolostomi (pembukaan antara

    permukaan kulit dan usus besar). Digunakan untuk mengobati masalah dubur dan dubur

    kompleks, termasuk kontrol buang air besar yang buruk .

    5. Abdominoperineal resection. Operasi pengangkatan anus, rektum dan kolon

    sigmoid.Digunakan untuk membuang kanker di rektum bawah atau di anus, dekat dengan

    sfingter (kontrol) otot.

    6. Rectopexy. Suatu prosedur dimana jahitan digunakan untuk mengamankan rektum pada

    posisi yang tepat. Digunakan untuk memperbaiki prolaps rektum.

    7. Total proctocolectomy. Ini adalah operasi usus paling luas dilakukan dan melibatkan

    pembuangan rektum dan usus besar. Jika ahli bedah dapat meninggalkan anus dan bekerja

    dengan benar, maka kadang-kadang kantong ileum dapat diciptakan sehingga Anda bisa pergi

    ke kamar mandi. Sebuah kantung ileum adalah ruang operasi yang dibuat terdiri dari bagian

    terendah dari usus kecil (ileum). Namun, kadang-kadang, suatu ileostomy permanen

    (pembukaan antara permukaan kulit dan usus kecil) diperlukan terutama jika anus harus

    dibuang, lemah, atau telah rusak.

    JENIS-JENIS LAPAROSKOPY

    1. Laparoskopi histerektomi

    Jenis Histerektomi yang dilakukan oleh tabung optik standar ramping yang juga

    dikenal sebagai laparoscopes disebut histerektomi laparoskopi. Jenis pengobatan

    histerektomi terdiri dari sedikit waktu untuk pemulihan dan durasi dari Operasidaripada jenis

    lain dari operasi yang dilakukan. Hal ini juga umumnya disukai oleh sebagian besar

    perempuan sebagai jenis pengobatan karena tidak berakhir memberi Anda banyak bekas luka

    seperti metode operasi lain.

    Melalui mana prosedur laparoskopi histerektomidilakukan?

    Dasar dari histerektomi laparoskopi mulai dengan sebuah celah kecil di bawah pusar

    ditarik wanita. Dalam irisan ini, alat laparoskopi dikirim masuk Para dokter yang melakukan

    operasi kemudian melihat melalui daerah Panggul wanita itu dan memeriksanya dengan

    penuh perhatian dengan instrumen. Selama pemeriksaan ini dokter membuat keputusan di

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    21/31

    mana untuk melakukan pemotongan lebih tepatnya dengan instrumen ramping. Menggunakan

    histerektomi laparoskopi sebagai panduan operasi, bedahmenghapus ini rahim dari bagian

    dalam tubuh wanita. rahim kemudian dibedah menjadi dua bagian. Bagian-bagian yang

    membedah mengukur ukuran yang sesuai untuk menghapus mereka dari perut, itu karena

    fakta bahwa sangat sedikit jahitan yang diperlukan dalam rangka untuk menutup sayatan

    dibuat dalam operasi ini.

    2. Miomektomi

    Jika miom tersebut bertangkai maka tangkai tersebut dengan mudah dapat di insisi.

    Untuk jenis intramural, resiko perdarahan sangat besar, kadang diperlukan injeksi vasopressin

    untuk mempertahankan hemostasis. Jejak bekas miomektomi harus dijahit, ini sesuatu yang

    mutlak. Cara pengeluaran massa miom, apabila tersedia alat morselator maka dengan mudah

    miom dapat dikeluarkan.

    Saat ini laparoskopi tidak terbukti lebih baik dari laparotomi untuk pengobatan

    menoragia atau infertilitas. Sebagai tambahan, ada kekhawatiran untuk resiko uterus rupture

    selama kehamilan lebih besar pada miomektomi dengan laparoskopi daripada laparotomi.

    Namun, pada tabel dibawah ini terlihat bahwa miomektomi perlaparoskopi relative lebih

    menguntungkan daripada miomektomi perlaparotomi

    Hasil AkhirLaparoskopi

    (n=20)

    Laparotomi

    (n=20)

    Kemaknaan

    Kehilangan darah(ml) 200 50 230 44 P >0,05

    Waktu operasi(menit) 100 31 93 27 P >0,05

    Injeksi analgesic 1,9 0,7 4,1 1,4 P >0,05

    Pasien bebas analgetik pada hari ke-2(%) 85 15 P >0,05

    Pasien dipulangkan pada hari ke-3(%) 90 10 P >0,05

    Pasien kembali bekerja pada hari ke-15(%) 90 5 p>0,05

    ANESTESI PADA LAPAROSKOPI OPERATIF

    Apapun jenis atau cara pemberiannya, tindakan pemberian anestesi ini tidak boleh di

    anggep ringan. Apabila tindakan dan cara pemberian anastesi tidak benar, dapat

    mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan. Kaidah-kaidah ilmu anastesi harus

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    22/31

    diperhatikan dengan sungguh-sungguh, sama halnya dengan kaidah-kaidah yang lazimnya

    digunakan pada operasi laparotomi.

    Anastesi local

    Laparoskopi operatif yang tidak memerlukan waktu lama dan intervensi yang berat,

    dapat dilakukan dalam anastesi local, seperti pemasangan cincin tuba atau klip tuba pada

    tindakkan sterilisasi. Cukup banyak keuntungan pemberian anastesi lokal ini, antara lain

    waktu rawat dapat dipersingkat dan efek samping yang ringan. Konsep atau istilah

    volonelgesia yaitu vocal,dapat berkomunikasi dengan pasien pada saat operasi ; lokal, denagn

    menggunakan sediaan anastesi lokal yang relative murah antara lain lidokain 0,5% 20-40 ml,

    untuk memati rasa kulit disekitar tusukkan trokar : volo, bahasa latin yang artinya ingin,

    pasien ingin sadar, terutama pada pasien yang takut tidur; dan penggunaan sediaan

    nuetroleptanalgesia, antara lain diazepam atau meperidim atau sejenisnya; sangat

    menguntungkan, aman, dan banyak digunakan dalam cara pemberian anastesia lokal pada

    laparoskopi operatif.

    Beberapa operator, walaupun hal ini tidak perlu benar, menyuntikkan anastesi

    paraservikal apabila diperlukan intervensi pada uterus, terutama sebelum memasukkan kanula

    manipulator uterus. Beberapa operator menyemprotkan (spay) juga anastasi lokal pada tuba,

    sebelum dilakukan pemasangan cincin tuba atau klip tuba. Semua cara pemberian anastesi

    lokal tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit, selama dan pasca operasi.

    Pemberian neuroleptanalgesia bertujuan untuk menghilangkan ansietas, dan juga bersifat

    ansedatif. Pemberian sediaan ini sebaiknya melalui intravena, yang sebelumnya telah

    terpasang infuse dekstrosa 5%. Dapat diberikan diazepam (valium) 5mg, dan kemudian

    meparidin (demoral) 25-50 mg, intravena perlahan-lahan. Apabila pemberian sediaan ini

    tidak didampingi oleh spesialis anastesi, dianjurkan selama operasi pemberian diazepam tidak

    melebihi 10 mg, dan meperidin 100 mg. Sediaan lain yang dapat digunakan antara lain

    fentanil yang dapat dikombinasikan dengan droperidol.apabila sediaan ini digunakan,

    pemantauan kardiovaskular perlu diperhatikan lebih baik dan kadang kala diperlukan

    pemberian oksigen bagi pasien.

    Anastesi regional

    Anastesi regional (kaudal, epidural, atau blok spinal), hanya digunakan apabila

    anastesi inhalasi merupakan kontraindikasi. Beberapa efek samping yang kurang disenangi

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    23/31

    dalam pemberian anastesi regional antara lain dapat terjadi vasodilatasi dan hipotensi yang

    mendadak. Cara anastesi ini untuk tindakkan laparoskopi telah banyak ditinggalkan.

    Anastesi umum

    Anastesi uuntuk semua operasi hanya aman apabila ditangani oleh spesialis anastesi.

    Anastesi umum dapat digunakan dengan kaidah-kaidah ilmu anastesi biasanya untuk tujuan

    laparoskopi operatif.

    Apabila digunakan kanulaendotrakheal, sebaiknya dipasang kanula nasogastri untuk

    mencegah distensi gaster. Pada saat pemasangan trokar, apabila terdapat distensi gaster, akan

    dapat melukai dindingnya. Apabila terjadi perforasi gaster yang tidak dikenal, dapat

    mengakibatkan abdomen akut pasca operasi. Kadangkala diperlukan pernapasan bantu

    (assisted respiration), terutama pada operasi laparoskopi dalam posisi trendelenburg, oleh

    karena diafragma mendesak paru ke atas. Hal ini yang perlu diperhatikan pada pemberian

    anastesi umum ialah kejadian asidosis, terutama pada oprasi yang lama, dengan

    menggunakan gas CO2 yang cukup banyak untuk maksud maintenance pneumoperitoneum.

    Dalam hal ini pemantauan kondisi kardiovaskular perlu lebih diperhatikan. Asidosis yang

    tidak dikoreksi dan berlangsung lama dapat mengakibatkan henti jatung (cardiac arrest).

    ROBOTIK LAPAROSKOPI

    Diperkenalknanya teknologi robotic dapat menjembatani gap yang ada antara

    laparoskopi dengan laparotomi. Terdapat tiga bentuk tehnologi robot yang digunakan pada

    pembedahan ginekologi. Pertama adalah automatid endoscopic system for optimal

    positioning (AESOP) merupakan tehnologi robot pertama yang disetujui oleh badan

    administrasi pangan dan obat amerika (FDA). Tehnologi robot ini dikendalikan melalui

    suara. Sistem robot yang kedua adalah Sistem Pembedahan Zeus yang menyediakan lapang

    penglihatan dua dimensi dengan pengendalian jarak jauh lengan robot pada meja oprasi.

    Akan tetapi, system ini sudah tidak diproduksi lagi. Sistem robot yang terakhir adalah Sistem

    operasi da Vinci. Alat ini dapat juga dikendalikan jarak jauh tetapi dengan lapang pandang

    tiga dimensi yang asli dan dilengakapi tehnologi peredam tremor. Sistem ini memiliki

    keuntungan pembedahan potensial laparotomi disertai dengan keuntungan laparoskopi.

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    24/31

    BAB III

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Perkembangan yang pesat di bidang teknologi kesehatan khususnya ilmu bedah telah

    mendatangkan manfaat dan keuntungan yang besar bagi kehidupan manusia. Ditemukannya

    teknik bedah Laparoskopi atau bedah minimal invasive. misalnya, kini telah mulai

    menggantikan teknik-teknik konvensional, kecuali pada kasus-kasus tertentu. Laparoskopi

    adalah prosedur untuk melihat rongga perut melalui sebuah teleskop yang dimasukkan

    melalui dinding perut. Prosedur pembedahan pada laparoskopi menggunakan alat-alat yang

    juga dimasukkan melalui dinding perut. Melalui teleskop, prosedur pembedahan lebih jelas

    terlihat karena bisa dilakukan pemaparan yang lebih baik pada rongga panggul dan efek

    pembesaran dari teleskop.

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    25/31

    ANESTESI PADA LAPAROSKOPI CHOLESISTEKTOMI

    Dewasa ini penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu biasanya

    asimtomatis dan menyerang 1020 % populasi umum di dunia. Diagnosis biasanya

    ditegakkan dengan ultrasonografi abdomen.1 Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55

    sampai 65 tahun memiliki batu empedu.2

    Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu

    empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi

    open Cholesistektomi.3 Karena teknik minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis dan terapi

    di banyak pembedahan, bedah laparoskopi meningkat penggunaannya baik pada pasien rawat

    inap ataupun rawat jalan. Walaupun prosedur laparoskopi memiliki keuntungan untuk pasien,

    namun prosedur ini juga merupakan tantangan untuk spesialis anestesi.4

    Teknik laparoskopi atau pembedahan minimal invasif diperkirakan menjadi trend bedah masa

    depan. Bahkan pada 2010 mendatang, sekitar 70-80 persen tindakan operasi di negara-negara

    maju akan menggunakan teknik ini. Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di

    awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS

    Husada Jakarta. Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto

    Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu(Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy

    menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit

    besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. 5

    Pada laparoskopi cholesistektomi, jenis anestesi yang direkomendasikan adalah anestesi

    umum dengan intubasi endotrakeal dengan antibiotic profilaksis preoperatif untuk mengatasi

    pathogen empedu. 3

    2.1 Laparoskopi

    2.1.1 Definisi Laparoskopi

    Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan memasukkan

    gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan

    organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.7

    Teknik laparoskopi atau pembedahan minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah

    masa depan. Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim

    dari RS Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang

    setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi

    laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang

    pertama. Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-

    penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar diIndonesia. 5

    http://1.bp.blogspot.com/_cZuxSSr1YmE/SjiDa0Uj3mI/AAAAAAAAAxM/RcPQwk1JUxw/s1600-h/1234567.jpg
  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    26/31

    2.1.2 Prosedur Laparoskopi

    Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus

    puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya

    mengempis. Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makananyang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna.8

    Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang dilakukan adalah membuat sayatan

    di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk

    memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas

    CO2 itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan

    menciptakan ruang di dalam perut. Setelah perut terisi gas CO2, alat trocar dimasukkan. Alat

    itu seperti pipa dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada

    empat trocar yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4

    cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di

    pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5mm. Trocar keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5

    mm. Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan

    dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai mata dokter, yaitu tempat

    dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu

    dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua

    sampai keempat merupakan trocar kerja.8

    Dalam tayangan video terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang dipotong

    atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari

    titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi

    menyambungkan dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh

    secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, dokter harus mengatakan kepada pasien dan

    keluarganya kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien.8

    Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah untuk dilihat oleh semua

    operator karena menggunakan berbagai peralatan penunjang. Operator harus melihat jelas

    video monitor dan pengaliran insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra

    abdomen dan laju gas. 3

    2.1.3 Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi

    CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak membantu

    pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-paru, mudah larut

    dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan

    pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2

    cukup, konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.7

    Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini menyebabkan iritasi peritoneal

    langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat

    kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi

    kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam

    bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia danrespiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    27/31

    dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi,

    vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.7

    2.1.4 Keuntungan Prosedur Laparoskopi

    Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena insisi yangkecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu

    dan sedikit kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi

    fungsi pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih

    cepat kembali beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.4

    2.1.5 Kerugian Prosedur Laparoskopi

    Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak

    langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk

    kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung

    kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksidengan murmur precordial, transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring

    (CO2 meningkat secara sementara kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan

    menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah

    posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central untuk aspirasi gas.4

    Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau prosedur laparoskopi

    meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk adrenalectomy atau perbaikan hernia)

    emfisema subkutan bisa terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai

    level tinggi dan terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius

    lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi

    yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu

    harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan.4

    2.1.6 Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi

    Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur

    laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah

    insuflasi CO2. Insuflasi CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya

    pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi

    CO2 ini juga meningkatkan tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh

    darah sehingga curah jantung menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisipasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan

    peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi anti tredelenburg.4

    Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2 memegang

    peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana

    kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali

    selama satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan

    berpotensi untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan

    meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik

    dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary

    compliance dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead space.4

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    28/31

    2.2. Laparoskopi Cholesistektomi

    Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu

    empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi

    open Cholesistektomi.3 Keuntungan melakukan prosedur laparoskopi pada cholesistektomi

    yaitu: laparoscopic cholesistektomi menggabungkan manfaat dari penghilangan gallbladerdengan singkatnya lama tinggal di rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk

    melakukan aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan terbatas,

    dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi dibandingkan dengan teknik open laparotomi.

    Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi

    dibandingkan dengan open cholesistektomi dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan

    laparotomi.9

    Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada resiko tinggi

    untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda perforasi seperti

    abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang besar atau curiga keganasan kandung

    empedu; dan hernia diafragma yang besar. 3

    2.3. Manajemen Anestesi pada Laparoskopi

    Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain : umur, jenis kelamin,

    status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan yang dipakai,

    ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya, status rumah sakit, dan

    permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75 % operasi pada rumah sakit, dilakukan di bawah

    anestesi umum (general anesthesia). Operasi sekitar kepala, leher, dada, dan abdomen sangat

    baik dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakheal, sejak

    diketahui bahwa dengan metode ini jalan nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang

    waktu.1

    Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang

    mengenai diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi

    waktu penyembuhan untuk pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama. Dengan lidocaine

    dosis rendah dan teknik spinal opioid, salah satu studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi

    setelah laparoskopi ginekologi lebih sedikit dibandingkan dengan general anestesi dengan

    desflurane.1

    2.3.1 Evaluasi Preoperasi

    Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan pemeriksaan

    fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama

    prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien

    dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi jantung.4

    2.3.2 Manajemen Intraoperatif.

    Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan menggunakan

    monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting untuk

    mengikuti efek hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi.

    Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasitindakan monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2.

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    29/31

    arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor

    pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru atau transesofageal

    echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi

    paru.1

    Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi,seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang

    adekuat adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak

    terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan

    gangguan vena perifer.1

    Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa endotrakeal.

    Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat

    mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki

    visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan intraabdomen meningkat karena

    pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi

    yang positif untuk mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yangdiabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada

    pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal

    bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada

    pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada

    pasien.1

    Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena, dan obat

    pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur

    laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi.

    Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.1

    Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau Reverse

    Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan

    membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan

    posisi dan ventilasi, biasanya butuh penyesuaian.1

    Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi

    umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan

    hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk

    menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR

    (respiratory rate) dengan volume tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya padakasus sulit prosedur bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka. 1

    Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi.

    Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat

    ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan pemberian obat seperti nitropusside

    (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan keracunan

    sianida), esmolol, atau calcium channel blocker. Pengobatan dengan alpha agonist seperti

    clonidine atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat menyebabkan

    penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun pasien

    yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung

    yang buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaanmonitor secara invasif (arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi) selama

  • 8/10/2019 Anestesi Pada Laparaskopi Lala

    30/31

    prosedur berlangsung.1

    2.3.3 Manajemen Pasca Operasi

    Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah

    prosedur selesai.1 Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggiyaitu mencapai 42%.7 Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi

    oleh tipe dari prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat

    baik itu tunggal maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini

    meliputi metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden

    mual dan muntah pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan

    mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi

    direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan pulang juga

    diperlukan.1

    Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan

    dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeriyang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum.

    Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid

    intravena (fentanyl, morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar

    pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine

    pada port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral.1

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill.

    N