ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI...

83
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JUAL BELI TEBASAN (Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari`ah Disusun Oleh: DINI WIDYA MULYANINGSIH 0 5 2 3 1 1 1 0 8 JURUSAN MU’AMALAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011

Transcript of ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI...

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK

GANTI RUGI DALAM JUAL BELI TEBASAN

(Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa

Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari`ah

Disusun Oleh:

DINI WIDYA MULYANINGSIH

0 5 2 3 1 1 1 0 8

JURUSAN MU’AMALAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2011

Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag Jl. Tugu Lapangan Rt. 8/1 Tambakaji Ngaliyan Semarang Dra. Hj.Ma’rifatul Fadhilah, M.Ed

Jl. Bringin Timur Rt.1/8 Tambakaji Ngaliyan Semarang

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (eksemplar)

Hal : Naskah Skripsi

an. (Dini Widya Mulyaningsih)

Kepada Yth.

Bapak Dekan Fakultas Syari’ah

IAIN Walisongo Semarang

di Semarang

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana

mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudara:

Nama : Dini Widya Mulyaningsih

NIM : 0 5 2 3 1 1 1 0 8

Jurusan : Mu’amalah

Judul Skripsi : “ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JAUL BELI TEBASAN(Studi Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa Brangsong, Kendal)”

Dengan ini telah kami setujui dan mohon kiranya skripsi saudara tersebut

dapat segera dimunaqosyahkan. Demikian atas perhatiannya kami ucapkan

terimakasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Semarang, 30 November 2011

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag Dra. Hj.Ma’rifatul Fadhilah, M.Ed

NIP. 19630801 199203 1 001 NIP. 19620803 198903 2 003

ii

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Prof. Dr. Hamka KM 02 Ngaliyan Telp. (024) 7601291 Semarang

PENGESAHAN

Skripsi Saudara : DINI WIDYA MULYANINGSIH

NIM : 0 5 2 3 1 1 1 0 8

Jurusan : MU’AMALAH

Judul : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK

GANTI RUGI DALAM JAUL BELI TEBASAN (Studi

Kasus Ganti Rugi Pada Jual Beli Padi Tebasan di Desa

Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)

Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo

Semarang dan dinyatakan lulus pada tanggal:

27 Desember 2011

Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1)

tahun akademik 2010/2011

Semarang, 27 Desember 2011

Mengetahui

Ketua Sidang Sekretaris Sidang Rustam DKAH, M. Ag Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag.

NIP. 19690723 199803 1 005 NIP. 19630801 199203 1 001

Penguji I Penguji II Anthin Lathifah, M.Ag Muhammad Shoim, S. Ag, MH NIP. 19751107 200112 2 002 NIP. 19711101 200604 1 003

Pembimbing I Pembimbing II Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag Dra. Hj. Ma’rifatul F, M.Ed NIP. 19630801 199203 1 001 NIP. 19620803 198903 2 003

iii

MOTTO

�� ������ ��� � ��� ���������� �������� ������������ �������� ��� ������� !�" �� �#$!�� �! � % &'(�)

* �+,��-( ������ ����� . ��� ��� ����/�0�1�� �����23� ���4 �������� 56�7�298

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q. S. An-Nisa 29)1

1 Al- Quranul Karim, Kudus: Menara Kudus, 2005, hlm. 84

iv

P E R S E M B A H A NP E R S E M B A H A NP E R S E M B A H A NP E R S E M B A H A N

Buah karya ini aku persembahkan untuk

Allah SWT

Rasulullah SAW

Kedua Orang Tuaku

Mbak-mbak dan adik-adikku

Keponakan-keponakanku yang lucu

Orang-orang yang telah memberikan banyak dukungan dalam

hidupku

Teman-teman seperjuangan

Generasi penerus bangsa

v

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa

skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau

diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang

lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan

rujukan.

Semarang, 30 November 2011

Deklarator

DINI WIDYA MULYANINGSIH

NIM. 0 5 2 3 1 1 1 0 8

vi

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “ Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ganti

Rugi dalam Jual Beli Tebasan (Studi kasus ganti rugi pada jual beli padi

tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal)”. Adapun praktek jual beli tebasan ini adalah petani menjual padinya ketika belum layak panen kepada penebas, yang mana penebas membayar maksimal setengah dari harga yang telah disepakati. Adapun kekuranganya dibayarkan ketika padi sudah dipanen atau dituai. Dengan adanya praktek seperti ini timbul suatu permasalahan yaitu ketika dari pihak penebas mengalami kerugian, penebas akan meminta ganti rugi kepada petani. Dalam perhitungan ganti rugi tersebut dengan cara membagi jumlah kerugian tebasan sama besar dan ditanggung bersama dengan cara memotong dari sisa pembayaran yang belum dibayarkan, walaupun kerugian tersebut adalah kelalaian dari penebas. Akan tetapi ketika penebas meraih keuntungan, penebas tidak membagi keuntungan yang diraihnya kepada petani.

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas timbul beberapa pokok

permasalahan yaitu bagaimana sistem pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan dan apa saja faktor yang melatar belakangi masyarakat berkenan dalam memberikan ganti rugi serta bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan tersebut.

Berdasarkan pada permasalahan diatas, penelitian yang digunakan dalam

skripsi ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga, organisasi masyarakat, maupun lembaga pemerintahan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer, sumber data yang diperoleh langsung dari masyarakat Desa Brangsong dan sumber data sekunder, sumber data yang diperoleh dari dokumen-dokumen atau laporan yang tersedia. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode observasi, wawancara dan dokumentasi.

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:

bahwa transaksi jual beli dan ganti rugi padi tebasan yang terjadi di Desa Brangsong tersebut tidak sesuai hukum Islam karena banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan hukum Islam seperti adanya unsur keterpaksaan, tidak enak karena bertetangga dan juga menghindari keributan antara petani dan penebas, sehingga tidak terdapat unsur kerelaan antara kedua belah pihak. Selain itu dalam transaksi ini juga terjadi pemotongan harga secara sepihak yang tidak ada kesepakatan sebelumnya, sehingga menyebabkan kerugian disalah satu pihak maka jual beli dan ganti rugi tidak sah karena ada unsur kebatilan didalamnya.

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji kehadirat Ilahi Rabby yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayat-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada

waktunya. Sholawat diiringi salam selalu tercurahkan kepada pahlawan

revolusioner Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa

pencerahan dalam kehidupan seluruh ummat manusia.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini tidak akan

berhasil tanpa dukungan dari semua pihak dengan berbagai bentuk kontribusi

yang diberikan, baik secara moril ataupun materiil. Dengan kerendahan dan

ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang, Dr. H. Imam Yahya,

M.Ag beserta seluruh stafnya yang telah memberikan berbagai kebijakan

untuk memanfaatkan segala fasilitas di Fakultas Syari’ah

2. Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag selaku pembimbing I penulisan skripsi ini.

Dra Hj. Ma’rifatul Fadhilah, M.Ed selaku dosen pembimbing II yang telah

mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran

membimbing dalam proses penulisan skripsi.

3. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang telah memberikan

pelajaran dan pengajaran kepada penulis sehingga dapat mencapai akhir

perjalanan di kampus IAIN Walisongo Semarang.

4. Kepala Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal beserta

stafnya yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian.

Terimakasih atas izin dan waktu yang diberikan.

5. Bapak dan Ibuku (Samiyo Puspito dan Mudji Hasanah) yang selalu

memberikan support, terimakasih atas segala pengorbanan yang telah

dilakukan. Do`a restu kalian menjadi kekuatan untukku.

6. Mbak Wiwit beserta suami, mbak Dian berserta suami, Adik-ku Mia,

keponakan-keponakanku yang lucu dik Khaila, dik Azam dan dik Syarif yang

viii

selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih atas cinta kasih kalian.

7. Sahabat – sahabatku jreng mania imut, milla, halim, dan tia (almh). yang telah

menemani penulis dalam suka dan duka dalam mengarungi dinamika

kehidupan kampus. Terima kasih atas segala warna yang kalian berikan.

8. Kawan-kawan sekelas MUB `05 dan seluruh teman seangkatan. Terima kasih

atas pertemanan yang penuh kehangatan.

9. Teman-teman KKN Kebonsari Kendal, meski kebersamaan kita hanya

sebentar tapi selalu membekas di hati.

10. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih

atas segala bentuk kontribusi yang diberikan kepada penulis.

Semoga amal baik kalian mendapat balasan dari Yang Maha Sempurna.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam

penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan baik

berupa saran maupun kritik demi kelengkapan dan sempurnanya skripsi ini.

Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan

bagi pembaca yang budiman pada umumnya.

Semarang, 30 November 2011

Penulis,

DINI WIDYA MULYANINGSIH

NIM. 0 5 2 3 1 1 1 0 8

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................ ............... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v

HALAMAN DEKLARASI........................................................................ vi

HALAMAN ABSTRAK............................................................................ vii

HALAMAN KATA PENGANTAR.......................................................... viii

DAFTAR ISI.............................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................. 7

C. Tujuan Penulisan................................................................ 7

D. Telaah Pustaka ................................................................... 7

E. Metode Penelitian............................................................... 10

F. Sistematika Penulisan ........................................................ 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli............................................................ 17

B. Dasar Hukum Jual Beli ...................................................... 21

C. Rukun dan Syarat Jual Beli ................................................ 26

D. Macam-Macam Jual Beli ................................................... 28

E. Resiko Dalam Jual Beli...................................................... 31

x

BAB III PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JUAL BELI PADI

TEBASAN DI DESA BRANGSONG KECAMATAN

BRANGSONG KABUPATEN KENDAL

A. Keadaan Umum Desa Brangsong Kecamatan Brangsong,

Kabupaten Kendal............................................................... 34

B. Proses Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong

Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal......................... 40

C. Praktek Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan Di

Desa Brangsong.................................................................. 42

BAB IV ANALISIS

A. Analisis Terhadap Pemberian Ganti Rugi Dalam Jual Beli

Padi Tebasan Dan Faktor Yang Melarbelakangi

Masyarakat Untuk Memberikan Ganti Rugi di Desa

Brangsong Kec. Brangsong Kab. kendal ........................... 49

B. Analisis Hukum Islam terhadap jual beli padi tebasan di

Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal ............... 56

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 64

B. Saran-Saran.......................................................................... 66

C. Penutup................................................................................ 67

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama universal yang menawarkan sistem sosial yang

adil dan bermartabat, Islam adalah agama revolusioner yang

memperjuangkan nilai-nilai humanisme. Islam datang sebagai agama yang

membebaskan manusia dari tindakan-tindakan diskriminatif. Islam datang

untuk membebaskan golongan lemah dari aniaya golongan kuat, dari

eksploitasi si kaya terhadap si miskin, bahkan membebaskan manusia dari

superioritas rasial.2 Sebagai seorang muslim kehidupan sehari-hari harus

mencerminkan dan mengaplikasikan syariat Islam. Baik dalam kehidupan

berbangsa, bernegara, bermasyarakat dan beragama. Firman Allah. SWT.

dalam QS. al-Baqarah: 2083

$y㕃 r' ¯≈ tƒ šÏ%©!$# (#θãΖtΒ# u (#θè= äz÷Š$# ’ Îû ÉΟ ù= Åb¡9 $# Zπ©ù!$Ÿ2 Ÿωuρ (#θãèÎ6®Ks? ÅV≡uθäÜ äz Ç≈ sÜ ø‹ ¤±9$# 4 …çµΡ Î)

öΝ à6s9 Aρ߉ tã ×Î7 •Β ∩⊄⊃∇∪

Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam

keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.

Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

2 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Yogyakarta: CV.

Adipura, 2000, hal. 65. 3 Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, Jakarta: Pena Ilmu dan Amal,

2006, hal : 33

2

Dari ayat di atas sudah jelas, sudah menjadi sunatullah bahwa

manusia harus bermasyarakat, tunjang-menunjang, topang-menopang antara

satu dengan yang lainnya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, lebih

jelasnya diterangkan dalam pengetahuan sosiologi.4 Tidak ada alternatif lain

bagi manusia normal kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah

(sunnatullah) tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan jalan

memencilkan diri, niscaya akan terkena sanksi berupa kemunduran,

penderitaan,kemelaratan dan malapetaka dalam hidup ini.

Firman Allah. SWT. QS. Ali Imran:112 .5

ôMt/Î� àÑ ãΝ Íκö" n=tã èπ©9 Ïe%!$# tør& $tΒ (#þθà� É)èO �ωÎ) 9≅ö6pt¿2 zÏiΒ «! $# 9≅ö6ymuρ zÏiΒ Ä¨$Ψ9 $#

Artinya: ”Mereka di liputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali

jika mereka berpegang pada tali (agama) Allah dan tali

(perjanjian) dengan manusia”

Banyak interaksi yang dapat dilakukan agar apa yang menjadi

kebutuhannya dapat terpenuhi. Disinilah peranan Islam sebagai agama yang

sempurna mengatur segala bentuk kehidupan, salah satunya adalah

mu’amalah.6

Salah satu bentuk mu’amalah yang dapat kita lihat dan itu

merupakan kegiatan rutin yang dilakukan masyarakat yaitu dagang.

4 Sosiologi adalah illmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial misal gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral. Dengan gejala non sosiol serta mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain. (baca: definisi sosiologi pitirim sorokin wikipedia bahsa indonesia, ensiklopedia bebas sosiologi)

5 Departemen Agama RI, Op. Cit , hal : 126 6 Mu’amalah secara harfiah berarti “pergaulan” atau hubungan antar manusia. Dalam

pengertian harfiah yang bersifat umum, mu’amalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar ibadah. Mu’amalah merupakan perbuatan manusia dalam menjalin hubungan atau pergaulan antar sesama manusia. (Baca: Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 1)

3

Perdagangan atau yang lebih akrab disebut jual beli merupakan bentuk

mu’amalah yang memiliki syarat serta rukun dalam pelaksanaannya.

Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Ba’i yakni

menukar sesuatu dengan sesuatu.7 Sedangkan menurut istilah yang

dimaksud dengan jual beli berarti menukar barang dengan barang atau

barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu

kepada yang lain atas dasar saling merelakan.

Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar

sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad

yang mengikat kedua belah pihak. Tukar menukar yaitu salah satu pihak

menukarkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain.

Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah

dzat (bentuk) ia berfungsi sebagai objek penjualan, bukan manfaatnya atau

hasilnya. Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar

sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang

mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak,

bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak

merupakan utang baik benda itu ada dihadapan pembeli maupun tidak,

barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih

dahulu.8 Untuk itu tidak bisa kita pungkiri sebagai masyarakat sosial kita

tidak bisa lepas dari aktifitas jual beli, karena hal ini sudah merupakan

kebutuhan primer layaknya makanan setiap hari.

7 Aliy asa’ad, Fathul Mu’in, Jilid 2, Kudus: Menara Kudus, hal: 158 8 Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Rajawali Perss, 2002, hal: 67-69

4

Jual beli dan perdagangan memiliki permasalahan dan lika-liku yang

jika dilaksanakan tanpa aturan dan norma-norma yang tepat akan

menimbulkan bencana dan kerusakan dalam masyarakat. Nafsu mendorong

manusia untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya melalui cara

apa saja, misalnya berlaku curang dalam ukuran dan takaran serta

manipulasi dalam kwalitas barang dagangan yang jika hal itu diperturutkan,

niscaya rusaklah sel – sel perekonomian masyarakat.9 Sesungguhnya Allah

SWT. sudah memberikan aturannya dalam QS. an-Nisa’ ayat: 2910

$y㕃 r' ¯≈ tƒ šÏ%©!$# (#θãΨ tΒ# u Ÿω (#þθè= à2ù' s? Ν ä3s9≡uθøΒr& Μà6oΨ ÷( t/ È≅ÏÜ≈ t6ø9 $$Î/ HωÎ) βr& šχθä3s? ¸οt�≈pgÏB

tã <Ú# t� s? öΝ ä3Ζ ÏiΒ 4 Ÿωuρ (#þθè= çFø) s? öΝ ä3|¡à�Ρr& 4 ¨βÎ) ©! $# tβ%x. öΝ ä3Î/ $VϑŠÏmu‘ ∩⊄∪

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan

jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara

kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu11

Sesungguhnya

Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dari ayat di atas udah jelas bahwa dalam melaksanakan proses

pemindahan hak milik suatu barang dari seorang kepada orang lain harus

menggunakan jalan yang terbaik yaitu dengan jual beli, bukan dengan

mencuri, menjambret, merampok, dan menipu.

Dan dalam surat an-Nisa’ ayat 29 juga menjelaskan bahwa transaksi

jual beli harus berdasarkan atas dasar suka sama suka. tidak ada unsur

9 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: Diponegoro, 1992, hal: 14-16

10 Departemen Agama RI, Loc. Cit, Hal: 83 11 larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab

membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

5

pemaksaan, penipuan, dan pemalsuan yang berdampak pada dirugikannya

salah satu pihak baik dari penjual maupun dari pembeli yang berupa

kerugian materiil maupun kerugian non materii.

Walupun demikian, realitanya masih banyak praktek jual beli yang

masih ada unsur penipuan dan pemaksaan yang mana salah satu dari mereka

ada yang dirugikan. Umumnya sebagian dari mereka tidak mengetahui apa

yang mereka lakukan selama ini merupakan bentuk mu’amalah yang tidak

sesuai dengan syariat.

Demikian pula yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong

Kabupaten Kendal, di daerah tersebut ada sebuah praktek jual beli padi yang

mana pembeli berani membeli padi yang belum layak panen, karena kurang

kemampuan seorang petani sehingga petani mau menerima jual beli

tersebut, dengan kata sepakat dan harga yang sudah disepakati pula. Dalam

hal ini seorang petani masih dibayar kira – kira sepuluh sampai lima puluh

persen dari harga yang disepakati, yang setengahnya dibayarkan ketika padi

sudah layak panen. Padahal dalam jual beli tebasan seharusnya, resiko

untung dan rugi di tanggung oleh masing pihak, yang mana penjual harus

menerima apabila hasil panen jauh lebih baik dari yang dibayangkan, begitu

pula dengan pembeli harus mau menerima apabila hasil panennya tidak baik

(buruk).

Akan tetapi kenyatannya yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan

Brangsong Kabupaten Kendal, apabila pembeli untung pembeli diam saja

tapi sebaliknya apabila pembeli rugi, kerugian tersebut dibagi sama penjual

6

dengan cara memotong pembayaran yang belum di bayarkan. walaupun itu

adalah kelailan dari pembeli sendiri, sehingga menjadikan jual beli tersebut

diasumsikan dengan jual beli yang terlarang.

Setelah jelas bahwa pada prinsipnya berusaha dan berikhtiar mencari

rizqi itu adalah wajib, namun agama tidaklah mewajibkan memilih suatu

bidang usaha dan pekerjaan. Setiap orang dapat memilih usaha dan

pekerjaan sesuai dengan bakat, keterampilan dan faktor-faktor lingkungan

masing-masing. Salah satu bidang pekerjaan yang boleh dipilih berdagang

sesuai tuntutan syari’at Allah SWT. dan Rasul-Nya. Pada prinsipnya hukum

jual beli atau dagang dalam Islam adalah halal. Firman Allah SWT dalam

Q.S. al-Baqarah 27512

3… ¨≅ymr&uρ ª! $# yìø‹t7 ø9 $# tΠ§� ymuρ (# 4θt/ Ìh�9$# 4 …

Artinya:”… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba…”

Berangkat dari uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan

penulis, apakah sistem pemberian ganti rugi dalam jual beli tebasan sudah

sesuai dengan syari’at Islam?. Dalam hal ini, penulis mencoba menulisnya

sebagai karya skripsi dengan judul: ”Analisis Hukum Islam Terhadap

Praktek Ganti Rugi Dalam Jaul Beli Tebasan (Studi Kasus Ganti Rugi Pada

Jual Beli Padi Tebasan di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)”.

12 Departemen Agama RI, Ibid, hal :35

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka

penulis akan merumuskan beberapa pokok masalah yang akan menjadi

pembahasan dalam skripsi ini. Adapun pokok permasalahan tersebut adalah:

1. Bagaimana sistem pemberian ganti rugi dalam jaul beli padi tebasan

dan faktor yang melatar belakangi masyarakat untuk memberikan ganti

rugi di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sistem pemberian ganti rugi

dalam jual beli padi tebasan di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab.

Kendal?

C. Tujuan Penulisan Skripsi

Berdasarkan pada permasalahan yang dirumuskan diatas, maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sistem pemberian ganti rugi dalam jaul beli padi

tebasan dan faktor yang melatar belakangi masyarakat untuk

memberikan ganti rugi.

2. Untuk mengetahui dan mengkaji pandangan hukum Islam terhadap

pemberian ganti rugi dalam jual beli padi tebasan

D. Telaah Pustaka

Permasalahan jual beli bukanlah hal yang baru untuk diangkat dalam

sebuah penulisan skripsi maupun literatur lainnya. Sebelumnya telah banyak

8

buku-buku atau karya ilmiah lainnya yang membehas tentang jaul beli,

diantaranya yaitu:

Dalam buku “Kode Etik Dagang Menurut Islam” membahas tentang:

Pola pembinaan hidup dalam berekonomi mulai hukum berusaha dan

berdagang, hikmah berdagang dan berusaha, faktor-faktor keberhasilan dan

keberkahan dagang, prinsip-prinsip dagang, barang-barang yang terlarang

diperjual belikan, serta usaha dan hal-hal yang terlarang dalam

perdagangan.13

Skripsi yang berjudul “ Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Jual

Beli Padi Yang Ditangguhkan Pada Tingkat Harga Tertinggi (Studi Kasus

Di Desa Ringinkidul, Gubug, Grobogan)”. Yang disusun oleh Milatul

Habibah, dalam skripsi ini membahas tentang praktek jual beli yang

ditangguhkan pada tingkat harga yang tertinggi walaupun harganya turun.

Akan tetapi apabila harga padi mengalami kenaikan harga yang digunakan

adalah harga yang naik saat itu. Dan hasil penelitiannya menyebutkan

bahwa dalam hal pembayaran yang harus ditangguhkan pada tingkat harga

tertinggi, yang belum diketahui besarannya. Jual beli semacam itu

menimbulkan kerugian pada pihak pembeli, serta mengandung unsur gharar,

yaitu tidak adanya kepastian dan berakibat pada resiko penipuan. Dalam

bermu’amalah, hukum Islam tidak memperbolehkan jual beli yang

mengandung gharar, karena hal itu berarti merugikan salah satu pihak..14

13 Hamzah ya’qub, Loc. Cit., cetakan 2. 14 Milatul habibah, Skripsi dengan judul, “ Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Jual

Beli Padi Yang Ditangguhkan Pada Tingkat Harga Tertinggi (Studi Kasus Di Desa Ringinkidul,

9

Skripsi Umi Tukhfah Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.

“Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Saksi Dalam Jual Beli”. Dijelaskan

bahwa dalam jual beli saksi merupakan suatu pemberitaan dari orang yang

dipercaya tentang terjadinya suatu peristiwa atau tentang tetapnya suatu hak

bagi seseorang atas seseorang dalam hal jual beli dengan tujuan untuk

berhati-hati menghindari salah paham dan menjauhkan dari pertikaian.15

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Ketidakjelasan Waktu Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual

Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli Mebel Antara Pengrajin Visa

Jati di Jepara Dengan PT HM furniture di Semarang). Yang disusun oleh

Ana Nuryani Latifah, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa ketidakjelasan

waktu penangguhan pembayaran dalam perjanjian jual beli mebel

dikarenakan pihak perusahaan penerima barang harus menunggu

pembayaran dari pihak asing, baru setelah nantinya pihak eksportir

membayar kepada perusahaan penerima barang jadi akan membayar barang

yang sudah dibuat oleh pengrajin. Akan tetapi pihak perusahaan penerima

barang jadi tidak menyebutkan waktu pembayaran dalam perjanjian jual beli

kepada pengrajin, sehingga pengrajin terkatung-katung menunggu

pembayaran yang ditangguhkan dan tidak diketahui secara jelas waktunya.

Dan pada akhirnya berakibat pada resiko penipuan terhadap pihak pengrajin,

Gubug, Grobogan)”dalam Perspektif Hukum Islam, Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2010

15 Umi Tukhfah, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Saksi Jual Beli”. Skripsi Fakultas

Syari’ah Jurusan Mu’amalah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2004

10

yang sangat merugikan pengrajin. Ketidakjelasan waktu penangguhan

pembayaran dalam perjanjian jual beli tidak diperbolehkan dalam hukum

Islam, karena hal itu merupakan suatu kedzaliman, dan cacatnya suatu

perjanjian karena salah satu rukunnya tidak dapat terpenuhi.16

Meskipun telah banyak skripsi dan literatur yang membahas tentang

jual beli namun tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk menyusun

skripsi tentang jual beli menurut sudut pandang yang berbeda. Dan skripsi

yang akan penulis susun juga berbeda dengan skripsi yang telah ada.

Jika skripsi yang telah ada membahas tentang pelaksanaan jual beli

dengan sistem penangguhan pembayaran dikarenakan pemilik harus

menunngu pembayaran dari pihak pemesan, namun tidak demikian halnya

dengan skripsi yang akan penulis bahas. Penulis akan membahas praktek

pemberian ganti rugi dalam jual beli tebasan. Selain itu permasalahan yang

akan dibahas juga berbeda. Disini penulis akan membahas ketidak jelasan

dalam pemberian ganti rugi dalam jual beli tebasan dalam sektor formal

yakni di Desa Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian lapangan (field research) yaitu kegiatan penelitian yang

16 Ana Nuryani Latifah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Ketidakjelasan Waktu

Penangguhan Pembayaran Dalam Perjanjian Jual Beli Mebel (Studi Kasus Perjanjian Jual Beli

Mebel Antara Pengrajin Visa Jati di Jepara Dengan PT HMfurniture di Semarang), (Skripsi IAIN Walisongo, 2009).

11

dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu baik di lembaga-lembaga,

organisasi masyarakat (sosial) maupun lembaga pemerintahan.17 Jenis

penelitian ini digunakan untuk meneliti pemberian ganti rugi pada jual

beli padi tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten

Kendal.

2. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian.18 Setiap

orang yang akan melakukan penelitian sudah barang tentu memiliki

objek yang akan menjadi sasarannya, maka dalam penelitian ini yang

menjadi populasinya adalah seluruh komponen yang merupakan

subyek yang terlibat secara langsung dalam pemberian ganti rugi di

Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal yaitu

dalam pemberian ganti pada jual beli padi tebasan.

b. Sample

Karena tidak mungkin seluruh populasi diteliti, maka cukup

digunakan sample untuk menggeneralisasikan atau mengambil

kesimpulan dari populasi.19 Pengambilan sampel dalam penelitian ini

adalah purposive sample (sampel keterwakilan).

Adapun purposive sampel disini adalah pelaku jual beli

yang melibatkan penjual dan pembeli untuk memperoleh informasi

17 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Cet. Ke-2,

1998, hal: 22 18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:Rineka

Cipta, 1998, hal: 130 19 Ibid, hal: 131

12

yang tidak hanya sepihak. Untuk pengambilan sampel ini hanya

diambil 12 orang yang terdiri dari 6 pembeli dan 6 penjual.

3. Sumber Data

Ada dua macam sumber data dalam penelitian skripsi ini untuk

mendukung informasi atau data yang akan digunakan dalam penelitian,

dua sumber data tersebut adalah:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung

dari subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat

pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi

yang dicari.20 Data ini diperoleh langsung dari masyarakat Desa.

Brangsong, Kec. Brangsong, Kab. Kendal.

b. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder adalah data yang diperoleh lewat

pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek

penelitiannya.21 Data ini diperoleh dari dokumen-dokumen atau

laporan yang telah tersedia.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk menjawab masalah penelitian, diperlukan data yang akurat

di lapangan. Metode yang digunakan harus sesuai dengan obyek yang

akan diteliti. Dalam penelitian lapangan ini, penulis menggunakan

beberapa metode:

20 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hal: 91 21 Ibid, hal : 92

13

a. Metode Observasi

Metode observasi ini dilakukan dengan cara pengamatan,

yakni mengamati gejala yang diteliti. Dalam hal ini panca indra

manusia (penglihatan dan pendengaran) diperlukan untuk

menangkap gejala yang diamati. Kemudian dilakukan pencatatan

untuk selanjutnya dianalisis.22 Dalam hal ini, penulis mengadakan

pengamatan terhadap kondisi wilayah penelitian secara langsung

serta mencatat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek

penelitian. Observasi dilakukan di lingkungan Desa Bangsong dan di

balai desa untuk mencari data yang berkaitan dengan demografi dan

monografi kependudukan.

b. Metode Wawancara (Interview)

Metode interview yaitu suatu upaya untuk mendapatkan

informasi atau data berupa jawaban pertanyaan (wawancara) dari

para sumber.23 Interview perlu dilakukan sebagai upaya penggalian

data dari nara sumber untuk mendapatkan informasi atau data secara

langsung dan lebih akurat dari orang-orang yang berkompeten

(berkaitan atau berkepentingan) terhadap prosesi pemberian ganti

rugi dalam jual-beli tebasan di Desa Brangsong, Kec. Brangsong,

Kab. Kendal.

22 Rianto Adi, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, hal: 70. 23 Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1989, hal:

46

14

c. Metode Dokumentasi

Dalam melaksanakan metode dokumentasi maka peneliti

mencari dalam dokumen atau bahan pustaka. Data yang diperlukan

sudah tertulis atau diolah oleh orang lain atau suatu lembaga, dengan

kata lain datanya sudah “mateng” (jadi), dan disebut data sekunder.

Misalnya surat-surat, catatan harian, laporan, dan sebagainya yang

merupakan data yang berbentuk tulisan.24 Dokumentasi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari balai

desa yaitu data demografi dan monografi Desa Brangsong.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode diskriptif analisis, yakni prosedur atau cara memecahkan

masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki

(seseorang, lembaga, masyarakat, pabrik, dll) sebagaimana adanya

berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat sekarang.25 Setelah data

terkumpul maka penulis akan menganalisisnya.

F. Sistematika Penulisan

Untuk dapat memahami dengan mudah isi skripsi secara

keseluruhan, maka penulis akan menguraikannya dengan sistematika sebagai

berikut:

Bab I : Pendahuluan

24 Rianto Adi, Op. Cit, hal: 61. 25 Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1995, hal: 67.

15

Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode

penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II : Tinjauan Umum Tentang Jual beli

Bab ini merupakan landasan teori yang akan digunakan untuk

membahas bab-bab selanjutnya. Bab ini meliputi: pengertian Jual

beli, dasar hukum Jual beli, rukun dan syarat Jual beli, dan

macam-macam jual beli.

Bab III : Praktek Ganti Rugi dalam Jual Beli Tebasan di Desa Brangsong

Kabupaten Kendal .

Bab ini meliputi keadaan monografi dan demografi Desa

Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, sistem

pemberian ganti rugi pada jual beli padi tebasan, juga akan

menjelaskan tentang faktor yang melatar belakangi masyarakat

memberikan ganti rugi di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab.

Kendal.

Bab IV : Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Ganti Rugi Dalam Jual

Beli Tebasan di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong

Kabupaten Kendal.

Dalam bab ini, penulis akan menganalisa pemberian ganti rugi

pada jual beli padi tebasan menurut hukum Islam, dan

menganalisa faktor-faktor yang melatar belakangi masyarakat

16

memberikan ganti rugi di Desa Brangsong Kecamatan

Brangsong Kabupaten Kendal menurut hukum Islam.

Bab V : Penutup

Merupakan bab akhir dari penulisan skripsi ini. Berisi

kesimpulan yang merupakan hasil pemahaman, penelitian, dan

pengkajian terhadap pokok masalah, saran-saran, dan penutup.

TINJAUAN UMUM TENTANG JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli

Manusia merupakan mahluk sosial, artinya dia tidak dapat hidup

sendiri dan membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhanya. Untuk

memenuhi kebutuhannya tersebut maka dia harus berinteraksi dan

bekerjasama dengan orang lain, salah satunya dengan melakukan jual beli.26

Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu ”jual

dan beli”. yang mana kedua kata tersebut mempunyai arti yang bertolak

belakang, yaitu kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual,

sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.

Dengan demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua

perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan di pihak yang

lain membeli, maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.27

Sedangkan jual beli menurut B.W adalah suatu perjanjian timbal

balik dalam mana pihak satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak

milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji

untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari

perolehan hak milik tersebut.28

26 N. Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Jilid 1, Terj. Haris Munandar, Jakarta:

Erlangga, 2000, hal: 5. 27 Suhrawadi k lubis choiruman pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar

garfika. 1996, hal: 33 28 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti. 1995, hal:1

17

18

Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ Sedanngkan al-bai’

adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan

uang.29

Sedang menurut kitab Fath al-Muin kata al-Bai’ didefinisikan

sebagai:

9:� �; :5=���>�?� �.�@4 A�% 5B�,�� 5B�� �9�����3�� �+%�7C 4 D5E�FG�� 5E�FC �9�����3��

Artinya: “al-bai’ menurut istilah bahasa:” menukar sesuatu dengan sesuatu

(yang lain) “.Sedangkan menurut istilah syara’ ialah menukar

sejumlah harta dengan harta (yang lain) dengan cara yang

khusus.30

Sedang pengertian al-Bai’ secara istilah di sampaikan para Fuqaha

secara berbeda-beda. Diantaranya yang disampaikan oleh Imam Nawawi

dalam al -Majmu’ menyampaikan definisi sebagai berikut:

MNOPا :RST لVW XRبVZWV[N

Artinya: “mempertukarkan harta dengan harta dengan tujuan pemilikan”31

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang

dikemukakan Ulama Fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing

definisi adalah sama. Ulama Hanafiah mendefinisikannya dengan:

VOWدVW XPل بVSل gRh وabW de_صArtinya: “saling menukar harta dengan harta dengan cara tertentu, atau

VOWدq_r sNt XP_ب dNo بgRh mnS وabW klNZW de_ص

29 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Bandung:

Fokusmedia, 2008, hal:192 30 Zainudin Bib Abdul Aziz al Malibari –al fanani, Fath- al Muin, Terj. K.H. Moch.

Anwar, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1994, hal:763. 31 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Konstektual, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002, hal : 120

19

Artinya: ”Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan

melalui cara tertentu yang bermanfaat”.32

Dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa cara yang khusus

yang dimaksudkan Ulama Hanafiah adalah melalui Ijab (ungkapan membeli

dari pembeli) dan Qabul (pernyataan menjual dari penjual), atau juga boleh

melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli.

Disamping itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia,

sehingga bangkai, minuman keras, dan darah, tidak termasuk sesuatu yang

boleh diperjualbelikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi

muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap diperjualbelikan,

menurut ulama hanafiah, jual belinya tidak sah.

Definisi lain dikemukakan Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan

Hanabilah. Menurut mereka, jual beli adalah

V[wRSTو V[NRST لVSPVل بVSPا XPدVOW

Artinya: “saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan

milik dan pemilikan”.33

Dalam hal ini mereka tekankan kepada kata “milik dan pemilikan”

karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki,

seperti sewa-menyewa (al-ijarah).

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya

adalah pekerjaan membeli barang dari satu tempat

atau pada suatu waktu dan menjual barang itu

32 Nasrun Harun, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, hal: 111 33 Ibid, hal: 112

20

ditempat lain atau pada waktu yang berikut dengan

maksud memperoleh keuntungan.

Dalam zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian

peralatan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan dan

menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian

dan penjualan itu.34

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli adalah

suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai

secara sukarela di antara kedua belah pihak yang satu menerima benda-

benda dan pihak lain menerima sesuai perjanjian atau ketentuan yang telah

dibenarkan syara’ dan disepakati.

Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar menukar

sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad

yang mengikat kedua belah pihak tukar menukar yaitu salah satu pihak

menukarkan ganti penukaran atas sesuatu yang dutukarkan oleh pihak lain.

Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah

dzat (bentuk) ia berfungsi sebagai objek penjualan, bukan mafaatnya atau

hasilnya.35

Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar

sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai

34 Drs. C. S. T. Kansil, S.H, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 1992, hal: 1

35 Hendi suhendi, Loc. Cit, hal: 69.

21

daya tarik, penukarannya bukan emas dan bukan pula perak, bendanya dapat

direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik

benda itu ada dihadapan pembeli maupun tidak, barang yang sudah

diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.36

B. Dasar Hukum Jual Beli

Al-bai’ atau jual beli merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini

berdasarkan atas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits,

maupun Ijma’ Ulama. Adapun Sumber-Sumber Hukum Dagang dalam Islam

diantaranya adalah:

1. Al – Qur’an

Al-Qur’an (himpunan-himpunan firman illahi) yang diturunkan

kepada Nabi Muhamad SAW. adalah konstitusi dasar yang abadi,

mengemukakan kaidah-kaidah kuliah dan mendasar, mempunyai daya

tahan sepanjang masa dan dapat diterapkan dalam setiap suasana dan

lingkungan masyarakat. Sifatnya universal dan komperhenship. Dan

sebagai sumber hukum yang tertinggi, al-Qur’an telah memberikan

patokan-patokan dasar mengenai masalah jual beli dan perniagaan,

sementara perinciaannya dibentangkan dalam hadits.37

Dalam firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 275

berbunyi:

36 Ibid, hal: 70 37 Hamzah Ya’qub, Loc. cit, hal: 23-24

22

šÏ%©!$# tβθè= à2ù' tƒ (#4θt/ Ìh�9 $# Ÿω tβθãΒθà) tƒ �ωÎ) $yϑx. ãΠθà) tƒ ”Ï%©!$# çµäÜ ¬6y‚tFtƒ ß≈ sÜ ø‹ ¤±9$# zÏΒ

Äb§yϑø9 $# 4 y7Ï9≡sŒ öΝ ßγΡ r'Î/ (# þθä9$s% $yϑΡ Î) ßìø‹t7 ø9 $# ã≅÷W ÏΒ (# 4θt/ Ìh�9$# 3 ¨≅ymr&uρ ª!$# yìø‹ t7 ø9$# tΠ§� ymuρ (# 4θt/ Ìh�9$# 4 yϑsù … çνu!% y ×πsà ÏãöθtΒ ÏiΒ ÏµÎn/ §‘ 4‘yγtFΡ $$sù …ã&s# sù $tΒ y# n=y™ ÿ… çνã�øΒr&uρ ’n< Î) «!$# ( ï∅tΒuρ yŠ$tã

y7Í×≈ s9 'ρé' sù Ü=≈ ysô¹r& Í‘$Ζ9$# ( öΝèδ $pκ" Ïù šχρà$Î#≈ yz

Artinya: ”Orang-orang yang Makan (mengambil) riba38

tidak dapat

berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

lantaran (tekanan) penyakit gila.39

Keadaan mereka yang demikian itu,

adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual

beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli

dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya

larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),

Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu40

(sebelum datang

larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali

(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;

mereka kekal di dalamnya”.

Ayat ini menolak argument kaum musyrikin yang menentang

disyari’atkannya jual beli dalam al-Qur’an. Kaum musyrikin tidak

mengakui konsep jual beli yang telah disyari’atkan Allah dalam al-

Qur’an, dan menganggapnya identik dan sama dengan sistem ribawi.

Untuk itu, dalam ayat ini, Allah SWT. mempertegas legalitas dan

keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep

ribawi.41

38 Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang

disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

39 Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. 40 Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan

41 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Mu’amalah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hal:71

23

Kemudian ditegaskan kembali dalam surah an-Nisaa’ ayat (29)

yang berbunyi:

$y㕃 r' ¯≈ tƒ šÏ%©!$# (#θãΨ tΒ#u Ÿω (# þθè= à2ù' s? Νä3s9≡uθøΒr& Μà6oΨ ÷( t/ È≅ÏÜ≈ t6ø9 $$Î/ HωÎ) βr& šχθä3s?

¸οt�≈ pgÏB tã <Ú# t� s? öΝä3Ζ ÏiΒ 4 …

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali

dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-

suka di antara kamu”...

Ayat ini merujuk pada perniagaan atau transaksi-transaksi dalam

mu’amalah yang dilakukan secara batil. Ayat ini mengindikasikan bahwa

Allah SWT. melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain

secara batil. Secara batil dalam konteks ini mempunyai arti yang sangat

luas, diantaranya melakukan transaksi ekonomi yang bertentangan

dengan syara’, seperti halnya melakukan transaksi berbasis riba (bunga),

transaksi yang bersifat spekulatif (maisir, judi), ataupun transaksi yang

mengandung unsur gharar (adanya uncertainty, risiko dalam transaksi)

serta hal-hal lain yang bisa dipersamakan dengan itu.42

2. Hadis

Hukum jual beli juga dijelaskan dalam sunah Rosulullah SAW.

Diantaranya adalah:

xh xب XhVoر Moرا, zRrو dNRh {ا gRص lgO~Pا lنlأ m�r �؟N�Pا ��[Pا wل أىV�: me�Pا mSh

�kNور, ب�OW MNب wmروا�(وآ zآV�Pا d���ار وصOPا(

42 Ibid, hal: 72

24

Artinya: Dari Rifa’ah bin Rofiq, Nabi pernah ditanya?apakah profesi

yang paling baik? Rasulullah menjawab: Usaha yang paling utama

(afdal) adalah hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan

hasil jual beli yang mabrur43

(H.R. Bazar dan Shohih Al-Khakim)44

�xh x ا�O~P صgR ا} dNRh وzRr :حkث~Vه~Vد�Pا xh ة�Sأب� ح xh نVN�r xhV~ثkحXaNO�V~ثkح

MW اxNNO~P واkaPيxNZ واk��Pاء,�eاkaPوق ا�xNWاV� :V�Pل

Artinya: menceritakan kepada kita Hanad: menceritakan kepada kita

Kobisoh, menceritakan kepada kita dari Sufyan, dari Abu Hamzah dari

Hasan, dari Nabi SAW bersabda: pedagang yang jujur dan terpercaya

sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, siddiqin dan syuhada’.45

xاب xh لV�~SPاب� ا xh �Nnآ xا} ب kOh xh �Nن� xاب Vن�Oاخ X~NNh xاب Vن�Oاخ X�kص V~ثkح

�~�VOh : xNس ر�� ا} V� VS�~hلPا �SnPVن ب_�R��kم ا�O~P صgR ا} dNRh وzRr اkSPي~X وهz ي

�¦ go آR¤W mN_م ووزن zR¤W اgP اR¤W me_م: واnP£ث، VZoلNRo �Sث go ¦Rrا xW

Artinya “Diceritakan oleh Sadaqah dikabarkan dari ibnu Uyaiynah

dikabarkan dari Ibnu Najih mengabarkan kepada kita dari Abdillah

Ibnu Katsir dari Abi Minhal dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Nabi SAW

datang ke Madinah dan melihat penduduk di sana melakuklan jual beli

salaf pada buah-buahan dengan dua atau tiga tahun, maka nabi

berkata: barang siapa melakukan jual beli salaf, hendaknya ia

melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas

pula, untuk jangka waktu yang diketahui.

(HR. Bukhari)46

3. Ijma’

Ulama’ muslim sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’

ini memberikan hikmah bahwa, kebutuhan manusia berhubungan dengan

sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu

43 Maksud mabrur dalam hadis diatas adalah jual-beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.

44 Sayyid al-Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani al-Sun’ani, Subul Al-Salam Sarh

Bulugh Al-Maram Minjami’ Adilati Al Ahkam, Kairo: Juz 3, Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960, hal: 4

45 Al Imam Khafid Abal Ulam Muhamad Abdurahman Ibnu Abdurarahim Mubarikafuri , Tuhfatul Adfal Syarih Jami Tirmidzi, Bairut Libanon: Jus 4, Dari Kitab Alamiah. 1983, hal: 335.

46 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardzabah Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al Fikr, 1992, hal: 61.

25

itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi

yang harus diberikan. Dengan disyari’atkannya jual beli merupakan

salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia,

karena pada dasarnya, manusia tidak bias hidup tanpa hubungan dan

bantuan orang lain.47

Dari kandungan ayat-ayat Allah dan sabda-sabda Rasul diatas, para

ulama fiqh mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli adalah mubah

(boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut imam Asy-

Syatibi (w. 790 H), pakar fiqh maliki, hukumnya boleh berubah menjadi

wajib. Imam asy-syatibi memberikan contoh ketika terjadi praktik ihtikar

(penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak

naik). Apabila seseorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan

melonjaknya harga barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka,

menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan harga

sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini, menurutnya,

pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan

pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip asy-syatibi bahwa yang mubah

itu apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau

menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk

berdagang beras dan para pedagang ini wajib melaksanakannya.

Demikian pula dalam komoditi-komoditi lainnya.48

47 Dimyauddin djuwaini, Loc. Cit, hal: 73 48 Nasrun haroen, Loc. Cit, hal: 114

26

4. Ar – Ra’yu (Fikiran)

Ketika Muadz bin Jabal diutus oleh Rasulullah SAW ke negeri

Yaman, terlebih dahului dia ditanyai, tentang prinsip apa yang

dipergunakan dalam memutuskan perkara. Muadz akan menghukumi

berdasarkan prinsip al-Qur’an atau sunnah rasul. Jika hal itu tidak

ditemukan dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul, dia akan melakukan

ijtihad dengan fikirannya. Prinsip itu dibenarkan oleh Nabi SAW.

Dengan demikian ijtihad termasuk sumber hukum yang diakui

dalam islam. Qiyas dimasukkan sebagai sumber hukum yang berdasar

akal menurut Imam – Imam Mujtahiddin yang empat (Malik, Syafi’i,

Hanafi, dan Ahmad bin Hambal) sedang Imam Dawud adh-Dhahiri

menolak qiyyas sama sekali. Sementara itu Imam Hanafi

mengemukakan prinsip istihsan sebagai sumber hukum. Istihsan adalah

meninggalkan qiyas dan mementingkan kebaikan mutlak.49

C. Rukun dan Syarat Jual Beli

Dalam melaksanakan suatu perikatan (jual beli) terdapat rukun dan

syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah “yang harus

dipenuhi untuk syahnya suatu pekerjaan”50. Sedang syarat adalah

“ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan”.51

49 Hamyah Ya’qub, Loc. Cit, hal: 24 50 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2002, hal: 966 51 Ibid, hal: 1114

27

Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat perbedaan ulama

hanafiah dengan jumhur fuqoha. Rukun jual beli menurut ulama hanafiah

hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul

(ungkapan menjual dari penjual). Jual beli dinyatakan sah apabila disertai

dengan ijab dan qabul. Akan tetapi jumhur fuqoha menyatakan bahwa rukun

jual beli ada empat52, yaitu:

a. Ada Penjual

b. Ada Pembeli

c. Shiqhot (Akad) Jual Beli

d. Obyek Jual Beli

Disebutkan pula rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab Kabul),

orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan adanya uang dan

benda.53

Agar suatu jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli

sah, haruslah di penuhi syarat – syarat tersebut yaitu:

a. Tentang Subyeknya

Bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli

tersebut haruslah : berakal, dengan kehendaknya sendiri (bukan di

paksa), keduanya tidak mubadir, baliq.

52 Ghufron A. Mas’adi, Loc. Cit, hal:120 - 121 53 Suhrawadi k lubis Choiruman Pasaribu, Loc. Cit, hal: 34

28

b. Tentang Obyeknya

Yang dimaksud dengan obyek jual beli adalah benda yang menjadi

sebab terjadinya jual beli. Adapun benda yang menjadi obyek jual beli

haruslah memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Bersih barangnya

2. Dapat dimanfaatkan

3. Milik orang yang berakad

4. Mampu menyerahkannya

5. Mengetahui

6. barang yang diakadkannya ada di tangan. 54

c. Tentang shighot.

Dalam menentukan syarat shighot jual beli, terdapat perbedaan

ulama hanafiah dengan ulama malikiyah. Namun mereka sepakat bahwa

shighot akad jual beli harus dilaksanakan dalam satu majelis, antara

keduanya terdapat persesuaian dan tidak terputus, tidak digantungkan

dengan sesuatu yang lain dan tidak di batasi dengan periode

waktutertentu.55

D. Macam – Macam Jual Beli

Dari aspek objek transaksinya jual beli dibedakan menjadi empat

macam:

54 Ibid, hal: 35 - 37 55 Ghufron A. Mas’adi, Op. Cit, hal: 123

29

1. Bai’ Al-muqayadlah atau Bai’ Al’ain bil’ain, yakni jual beli barang

dengan barang yang lezim disebut jual beli barter, seperti menjual

hewan dengan gandum

2. Al-Bai’ Al-Muthlaq atau Bai’ Al’ain bil’dain, yakni jual beli barang

dengan barang lain secara tangguh atau menjual berang dengan tsaman

secara mutlak, seperti dirham rupiah atau dolar

3. Ash-Sharf atau Bai’ Al’dain bil’dain yakni menjualbelikan tsaman (alat

pembayaran ) dengan tsaman lainnya,seperti dinar, dirham, dolar atau

alat – alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum

4. As-Salam atau Bai’ Al’dain bil’ain. Dalam hal ini barang yang

diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain (

tanggungan ) sedangkan uang yang dibayarkan sebagai tsaman, bisa

’ain dan bisa jadi berupa dain namun harus diserahkan sebelum

keduannya berpisah. Oleh karena itu tsaman dalam akad salam berlaku

sebagai ain.56

Sedangkan jika dilihat dari penentuan harganya, akad jual beli

dapat dikategorikan menjadi empat macam, yakni:

1. Bai’al Murabahah yakni jual beli mabikdengan ra’s al mal ( harga

pokok ) ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati dalam

akad

2. Bai’al Tauliyah yakni jual beli mabik dengan harga asal ( ra’s al mal )

tanpa ada opemanbahan harga atau pengurangan.

56 Ibid, hal: 141

30

3. Bai’al Wadhi’ah yakni jual beli barang dengan harga asal dengan

pengurangan sejumlah harga atau diskon.

4. Bai’al Musawamah yakni jual beli barang dengan tasman yang

disepakati kedua pihak, kerena pihak penjual cenderung merahasiakan

harga asalnya.57

Selain itu juga terdapat macam- macam jual beli lainnya,

diantaranya:

1. Jual beli Istishna’adalah akad jual beli antara pemesan ( mustashni’ )

dengan penerima pesanan ( shani’ ) atas sejuah barang dngan spesifikasi

tertentu ( mashnu’), untuk barang – barang industri ataupun properti.

Spesifikasi dan harga barang pesanan haruslah sudah disepakati pada

awal akad, sedangkan pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

Apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau

ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.58

2. Jual beli jizaf yaitu jual beli sesuatu tanpa harus ditimbang, dikakar

ataupun dihitung. Akan tetapi jual beli dilakukan dengan cara menaksir

jumlah obyek transaksi setelah melihat dan menyaksikannya secara

cermat,59

57 Ibid, hal: 142 58 Dimyauddin Djuwaini, Loc. Cit, hal: 136 59 Ibid, hal: 147

31

E. Risiko Dalam Jual Beli

Adapun yang dimaksud risiko dalam hukum perjanjian adalah

kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian

(peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak. 60

Dari rumusan di atas dapat dikemukakan bahwa risiko dalam

perjanjian jual beli adalah suatu peristiwa yang mengakibatkan barang

tesebut (yang dijadikan obyek perjanjian jual beli ) mengalami kerusakan,

dan peristiwa tersebut tidak dikehendaki kedua belah pihak, berarti

terjadinya suatu keadaan yang memaksa diluar jangkauan para pihak.61

Dalam ajaran islam, hal ini merupakan suatu yang wajar, sebab

segala suatu itu dapat terjadi sesuai kehendak Allah SWT dan tidak ada daya

serta upaya bagi umat manusia jika Allah SWT menghendaki.

Dalam menanggung suatu akibat yang tidak dikehendaki itu kita

harus melihat kapan kerusakan barabg itu terjadi. Tentag terjadinya

kerusakan dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu:

1. Kerusakan sebelum serah terima

Tentang kerusakan barang sebelum serah terima dilakukan antara

penjual dan pembeli. Sayitd sabit mengelompokkan kausnya kepada hal-

hal sebagai berikut :

a. Jika barang rusak semua atau sebagian sebelum diserahterimakan

akibat perbuatan si pembeli maka jual beli tidak batal. Akad

60 R. Subekti, Loc. Cit, hal: 24 61 Suhrawadi k lubis choiruman pasaribu, Loc. Cit, hal: 41

32

berlangsung seperti sedia kala dan si pembeli berkewajiban

membayar seluruh bayaran.

b. Jika kerusakan desebabkan orang lain maka pembeli boleh

menentukan pilihan antara kembali kepada siorang lain atau

membatalkan akad.

c. Jual beli menjadi fasakh jika barang rusak sebelum serah terima

akibat perbuatan penjual atau perbuatan barang itu sendiri lantaran

bencana dari Allah.

d. Jika sebagian yang rusak lantaran perbuatan si penjual, pembeli tidak

berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan

untuk yang lainnya ( yang masih utuh ) dia boleh menentukan pilihan

mengambilnnya dengan memotong hraga.

e. Jika kerusakan terjadi akibat bencana dan Tuhan membuat

kurangnya kadar barang sehingga kadar barang berkurang sesui

dengan yang rusak, dalam keadaan seperti ini pembeli boleh

menentukan pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil

sisa dengan pengurangan pembayakan.

2. Kerusakan barang sesudah serah terima

Menyangkut risiko kerusakan barang yang terjadi sesudah

dilaksanakannya serah terima barang antara penjual dan pembeli,

sepenuhnya risiko menjadi tanggung jawab si pembeli. Dan si pembeli

33

berkewajiban membayar seluruh harga sesuai dengan yang telah di

perjanjikan.62

62 Ibid, hal: 41 - 43

34

BAB III

PRAKTEK GANTI RUGI DALAM JUAL BELI PADI TEBASAN

DI DESA BRANGSONG KECAMATAN BRANGSONG

KABUPATEN KENDAL

B. Gambaran Umum Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal

1. Keadaan Geografis dan Susunan Penerintah

a. Keadaan Geografis

Desa Brangsong adalah salah satu dari 11 ( Sebelas ) Desa

yang ada di wilayah Kecamatan Brangsong Kabupaten kendal. Adapun

luas wilayah Desa Brangsong adalah 937,6 Ha.63 Dengan batas – batas

sebagai berikut:

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Purwokerto

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Desa Kebonadem

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Sidorejo

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Sidorejo

Berdasarkan letak ketinggian, Desa Brangsong Berada pada ± 6 M dari

permukaan air laut dengan suhu rata – rata 32 derajat. Sedangkan Desa

Brangsong berada di sebelah barat kecamatan dan memiliki jarak

tempuh 0,1 KM dari ibu kota kecamatan, serta 4 KM dari ibu kota

kabupaten.64

63 Daftar Isian Potensi desa, hal : 1 64 Ibit, hal: 2

35

b. Susunan Pemerintah

Sebagai lembaga pemerintahan terkecil dalam struktur

pemerintahan, baik pemerintahan desa maupun kelurahan yang

mempunyai fungsi strategis yakni sebagai ujung tombak dalam

membangun nasional dalam sektor pertanian, perkebunan dan

peternakan. Oleh karena itu pemerintah desa atau kelurahan

diharapkan dapat lebih memberdayakan segala potensi yang ada di

wilayah masing-masing.

Pemerintahan Desa Brangsong dipimpin oleh kepala desa

( Kades ) yaitu Bapak Muzamil, dan di bantu oleh sekretaris desa

( Sekdes ) yaitu Bapak H. Samiyo Puspito, SE beserta perangkat –

perangkatnya yang terdiri atas 2 kepala urusan ( Kaur ) yaitu Kaur

Umum Bapak Asnawi dan Kaur Keuangan Ibu Hj. Rufidahniah, 3

kepala dusun ( Kadus ) yaitu Kadus 1 Bapak Sugiri, kadus 2 Bapak M.

Nur Fuat Dan Kadus 3 Bapak H. Suratnan dan 6 staf lainnya yaitu

Bapak Maskon sebagai bekel, Bapak Zaeni Sebagai bayan tani, Bapak

Royani dan Purnomo sebagai modim, Bapak Jazuri sebagai Kebayan

dan pak Zazet sebagai jogo boyo.65

65 Hasil wawancara dengan Bapak Samiyo ( sekdes Desa Brangsong ) Tanggal 21 April

2011

36

2. Keadaan Penduduk

Desa Brangsong memiliki 8 RW. Dan 24 RT.66 Dan jumlah

penduduk Desa Brangsong secara keseluruhan adalah 5.813 jiwa dengan

jumlah Kepala Keluarga sebanyak 1.715 KK.67 Dengan rincian sebagai

berikut:

TABEL I Jumlah Penduduk Desa Brangsong

NO JENIS KELAMIN JUMLAH

1. Laki - laki 2.853

2. Perempuan 2.960

Total 5.813

Sumber : Daftar isian potensi desa Brangsong Tahun 2010

3. Keadaan Sosial Ekonomi

Pemenuhan kebutuhan masyarakat sering kali diidentikan dengan

penghasilan yang diperoleh sebagai tolak ukur kesejahteraan warga,

Sebagai desa pertanian dengan ditunjang lahan persawahan yang cukup

luas, maka sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Brangsong

adalah bertani. Walaupun demikian bukan berarti semua penduduk Desa

Brangsong bermata pencaharian sama yaitu sebagai petani. Selain bertani,

penduduk Desa Brangsong juga berfariasi dalam pekerjaannya. Adapun

datanya adalah sebagai berikut:

66 Daftar isian potensi desa, OpCit, hal: 10-11 67 Ibid, hal: 8

37

TABEL II Mata Pencaharian Masyarakat Desa Brangsong Kecamatan Brangsong

Kabupaten Kendal

No. Mata Pencaharian Jumlah

1. Buruh / Swasta 1.015 Orang

2. Wiraswsta/Pedagang 85 Orang

3. Tani 748 Orang

4. Pertukangan 11 Orang

5. Buruh Tani 764 Orang

6. Pegawai Negri 185 Orang

7. Nelayan 27 Orang

8. Montir 7 Orang

Sumber : Daftar isian potensi desa Brangsong Tahun 2010

Dari data diatas menunjukan jumlah masyarakat yang melakukan

pekerjaan tani ada 748 orang dan yang menjadi buruh tani (dengan menggarap

sawah / ladang orang lain) ada 764 orang, hal ini menunjukan bahwa rata-rata

jumlah masyarakat desa Brangsong, Kec. Brangsong Kab. Kendal 80 %

melakukan pekerjaan di ladang atau mencari kehidupannya di sawah / bercocok

tanam.

Sedangkan luas lahan pertanian yang ada di desa Brangsong kecamatan

Brangsong Kab. Kendal adalah :

- Dalam bidang pertanian yang berupa tanaman pangan

1. Luas tanam menurut komuditas tahun ini padi ladang yaitu 210 ha.

2. Pemilikan lahan pertanian tanaman pangan ;

Jumlah rumah tangga yang memiliki tanah pertanian 914 RTP, yang

tidak memiliki 1109 RTP, memiliki kurang 0,5 ha 437 RTP, memiliki

0,5 – 1,0 ha 361 RTP, memiliki lebih dari 1,0 ha 109 RTP jumlah total

rumah tangga petani sebanyak 911 RTP.

38

Jumlah petani yang mejual padi tebasan pada saat panen sebanyak 75 %

dari petani yang ada di Desa Brangsong, karena 25 % sisanya merupakan penebas

atau petani yang tidak menebaskan hasil tanaman padinya karena mereka mampu

untuk menjual atau menebas padinya ketempat lain tanpa harus menggantungkan

kepada penebas lain, dan juga mereka tidak terpaksa untuk menjualnya. Tetapi

sebagian besar masyarakat petani lebih banyak yang melakukan penebasan

padinya kepada penebas di desa itu, karena hanya dengan cara itu mereka mudah

mendapatkan pembeli dan sudah menjadi kebiasaan dalam setiap hasil panen padi

yang ada di Desa Brangsong.

4. Keadaan Sosial Pendidikan

Sedang dalam bidang pendidikan yang berfungsi untuk

mencerdaskan bangsa, maka pemerintah senantiasa memperhatikan

lembaga pendidikan, karena pendidikan merupakan hal penting dalam

kehidupan, dengan adanya pendidikan kita dapat melihat tingkat

kecerdasan penduduk. Berikut ini tabel tingkat pendidikan penduduk desa

Brangsong (dari umur 5 tahun keatas)68

TABEL III Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Brangsong

NO LULUSAN JUMLAH

1 Tamatan akademi 284 Orang

2 Tamatan SLTA 1.495 Orang

3 Tamatan SLTP 2.501 Orang

4 Tamatan SD 2.995 Orang

68 Ibid, hal: 9

39

5 Tidak tamat SD 19 Orang

6 Belum tamat SD 15 Orang

7 Belum Sekolah 570 Orang

Sumber : Daftar isian potensi desa Brangsong Tahun 2010

5. Keadaan Sosial Keagamaan

Dari segi keagamaan seluruh penduduk Desa Brangsong beragama

dan tidak seorangpun yang menganut kepercayaan. Sebagian besar

penduduknya beragama Islam. Dengan bukti terdapatnya 2 Buah masjid,

20 mushola dan terdapat beberapa sekolah yang bernuangsa keislaman

seperti TPQ, MDA dan MDW.69 Walaupun mayoritas agama mereka

islam masyarakat desa Brangsong bukannya masyarakat yang agamis,

justru masih cenderung kepada hal – hal yang bersifat kemaksiatan,

walaupun demikian kegiatan – kegiatan keagamaan masih rutin

dilaksanakan dikalangan tertentu saja.70

C. Proses Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong

Kabupaten Kendal

1. Cara Menghubungi Pembeli

Seperti yang kita ketahui bahwa hasil jual beli yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Brangsong, adalah harapan satu-satunya yang menjadi

dambaan untuk memperbaiki hidup mereka.

69 Ibid, hal: 16 70 Hasil wawancara dengan Bapak Rifa’i ( Sebagai tokoh agama desa Brangsong ) pada

tanggal 21 April 2011

40

Hasil wawancara dengan beberapa petani,71 Cara yang sering para

petani lakukan untuk menghubungi pembeli adalah pada saat padi mulai

mengkuning biasanya para penjual melalukan beberapakali penawaran

kepada calon pembeli untuk menjual hasil panennya. Itu juga terjadi

sebaliknya pada saat musim panen tiba biasanya para pembeli ( tengkulak )

sudah melakukan survai ke sawah – sawah untuk membeli hasil panen

mereka. Sehingga para petani tidak merasa kesulitan dalam menghubungi

atau mencari calon pembeli.

2. Cara Melaksanakan Perjanjian

Dalam praktek jual beli tebasan yang terjadi di Desa Brangsong ini

tidak ada perjanjian secara tertulis hannya menggunakan akad saling

percaya antara penjual dan pembeli. Di sini penjual (petani sawah) dan

pembeli menyatakan sebuah kesepakatan yang sudah biasa dilakukan oleh

masyarakat pada umumnya. Misalnya penjual sebagai petani menyatakan,

Saya jual padi tersebut, dan pembeli menjawab, Saya beli padi dari anda.

Maka dalam hal ini sudah terjadilah kesepakatan atau perjanjian yang bisa

diterima oleh kedua belah pihak. Setelah terjadinya kesepakatan kemudian

pembeli memberikan uang panjer untuk tanda jadi.

3. Cara Menetapkan Harga

Dalam penetapan harga padi, tergantung pada kesepakatan orang

yang melakukan transaksi jual beli tebasan. Antara penjual dan pembeli

terjadi tawar menawar. Untuk mengetahui standar harga tersebut, biasanya

71 Para petani tersebut adalah Bapak Maskon, Bapak Purnomo, Bapak Rondhi dan

Bapak Asnawi.

41

penjual melakukan beberapa kali pemawaran kepada pembeli. Dalam

menetapkan harga biasanya penjual dan pembeli sudah memperkirakan

hasil padi yang yang akan diperoleh dikalikan dengan harga gabah basah

dan dikurangi biaya operasional. Kemudian penjual mengajukan kepada

pembeli dan apabila pembeli setuju maka terjadilah kesepakat harga yang

telah ditentukan kedua belah pihak.

4. Cara Melakukan Penyerahan Padi

Adapun kebiasaan yang terjadi di masyarakat Desa Brangsong

menurut Bapak Maskon, Setelah terjadinya kesepakatan jual beli, padi yang

belum dituai ( dipetik ) sudah menjadi milik pembeli.

Dengan penyerahan barang tersebut, maka perjanjian yang ia

adakan sudah berakhir. Dengan demikian masing-masing pihak sudah tidak

ada ikatan lagi dengan penyerahan barang tersebut maka berakhir pula

semuanya. Dan biasanya mereka akan membuat perjanjian atau transaksi

baru pada waktu yang lain.

5. Cara Melakukan Pembayaran

Seperti yang dijelaskan olek Bapak Asnawi bahwa sistem

pembayaran dalam jual beli tebasan adalah dengan sistem kepercayaan,

yaitu pembayaran yang dilakukan dengan cara memberi DP atau panjer.

Dan pelunasan akan dilakukan setelah padi di tuai atau dipetik.

Penebas menawarkan pembelian hasil panen padi kepada petani dengan

cara menaksir harga tanaman padi ketika nanti pada saat panen akan

dilunasi seluruh pembayarannya, tapi pada saat akad terjadi dan padi juga

42

belum siap panen petani hanya mendapatkan DP nya saja atau pembayaran

uang muka saja banyaknya pembayaran DP tergantung kesepakatan petani

dan penebas, dalam transaksi seperti ini termasuk transaksi jual beli Ijon.

D. Praktek Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan Di Desa Brangsong

Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

1. Praktek ganti rugi dalam jual beli padi tebasan di Desa Brangsong

Desa Brangsong adalah desa petani, yang mayoritas penduduknya

mengantungkan hidup pada pertanian, terutama tanaman padi. Karena

tanaman tersebut cenderung mendatangkan hasil yang lumayan besar

dibandingkan dengan tanaman yang lainnya, maka hal ini berpengaruh

juga pada tradisi jual beli yang ada. Ini dapat dilihat dengan maraknya

berbagai macam praktek jual beli yang terjadi. Seperti halnya yang terjadi

pada petani di Desa Brangsong, apabila musim panen tiba kebanyakan

para petani menjual hasil panennya dalam keadaan belum dituai atau

dipetik, dengan kata lain menjual dengan sistim tebasan.72

Seperti halnya penjelasan dari Bapak Purnomo, praktek jual beli

semacam ini sering dilakukan oleh masyarakat desa Brangsong. Karena

mereka merasa jual beli tebasan ini menguntungkan bagi kedua belah

pihak, yang mana pihak penjual diuntungkan dengan langsung

72 Hasil wawancara dengan Bapak Maskon dan Bapak Asnawi (sebagai petani di desa

Brangsong) pada tanggal 22 Apil 2011

43

mendapatkan hasil panennya tanpa harus memetik dan menjualnya

kepasar. Sedangkan pihak penebas diuntungkan dari hasil tebasannya.73

Akan tetapi, selain menguntungkan praktek jual beli ini juga

merugikan kedua belah pihak yang mana pihak petani akan rugi jika hasil

panennya jauh lebih banyak dari yang di perkirakan. Begitu juga dari

pihak pembeli akan rugi jika hasil panennya tidak sesuai dengan yang

diperkirakan. Seperti yang dijelaskan oleh bapak Maskon “Tetapi dalam

prakteknya yang lebih sering dirugikan adalah pihak petani, karena

bilamana hasil panennya baik pembeli diam saja tetapi bilamana hasil

panennya buruk pembeli minta ganti rugi kepada penjual ”74

Seperti halnya praktek ganti rugi yang terjadi antara Ibu Pariyah

dengan Bapak Sarpani. Pada awal perjanjian jual beli tebasan telah

disepakati bersama bahwa padi milik ibu Pariyah seluas 5.000 M2 ( lima

ribu meter persegi ) seharga Rp. 8.000.000,- ( delapan juta rupiah ),

sebagai tanda jadi Bp. Sarpani memberi uang muka kepada Ibu Pariyah

sebesar Rp. 500.000,- (liama ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar Rp.

7.500.000,- ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah ) akan diberikan setelah padi

dituai atau di petik.

Setelah padi dituai atau di petik dan ditambah biaya operasional, hasil

yang didapat Bp. Sarpani ternyata kurang dari perkiraan. Dengan kata lain

Bp. Sarpani mengalami kerugian, setelah dihitung – hitung kerugian yang

73 Hasil wawancara dengan Bapak Purnomo (sebagai petani di desa Brangsong) pada

tanggal 23 April 2011 74 Hasil wawancara dengan Bapak Maskon (sebagai petani di desa Brangsong) pada

tanggal 22 April 2011

44

di alami Bp. Sarpani sebesar Rp. 600.000,- ( enam ratus ribu rupiah ).

Untuk mengurangi beban kerugian tersebut Bp. Sarpani minta kepada Ibu

Pariyah setengah dari kerugian tersebut ( Rp. 300.000,- ) dengan cara

mengurangi sisa pembayaran yang telah disepakati bersama. Yang menjadi

beban atau yang memberatkan Ibu Pariyah adalah pengurangan harga

tersebut dilakukan secara sepihak ( tanpa musyawarah ), dan hal ini sudah

menjadi tradisi atau kebiasan dalam transaksi jual beli tebasan

dimasyarakat Desa Brangsong.75

Lain halnya yang terjadi antara Bapak Sarpani dengan Bapak

Purnomo, Pada awal perjanjian jual beli tebasan telah disepakati bersama

bahwa padi milik Bp. Purnomo seluas 5.000 M2 ( lima ribu meter persegi

) seharga Rp. 8.200.000,- ( delapan juta dua ratus ribu rupiah ), sebagai

tanda jadi Bp. Sarpani memberi uang muka kepada Bapak Purnomo

sebesar Rp. 500.000,- (liama ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar

Rp. 7.700.000,- ( tujuh juta tujuh ratus ribu rupiah ) akan diberikan setelah

padi dituai atau di petik.

Setelah padi dituai atau di petik dan ditambah biaya operasional, hasil

yang didapat Bp. Sarpani lebih banyak dari yang diperkiraan, dengan kata

lain Bp. Sarpani mengalami keuntungan yang luar biasa, akan tetapi

keuntungan tersebut tidak dibagi sama penjual. Penjual hanya diberikan

pelunasan harga dari perjanjian awal.76

75 Hasil wawancara dengan Ibu Pariyah (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal

24 April 2011 76 Hasil wawancara dengan Bapak Purnomo (sebagai petani di desa Brangsong) pada

tanggal 23 April 2011

45

Selain dari dari Ibu Pariah dan Bapak Purnomo, terjadi pula partek

ganti rugi yang terjadi antara Bapak Asnawi dengan Bapak Mu’adi.

Mulanya Bapak Asnawi menawarkan hasil panennya yang belum dituai

kepada Bapak Mu’adi, tanah seluas satu bakon ( 4000M2 ) seharga Rp.

8.200.000,-. Kemudian Bapak Mu’adi menawar seharga Rp. 7.800.000,-

kemudian Bapak Asnawi menerima tawaran harga dari Bapak Mu’adi,

setelah harga disetujui keduabelah pihak Bapak Asnawi diberi panjer ( Dp)

sebagai tanda jadi kira – kira antara 10 – 50 % dari harga yang telah

disepakati dan sisanya diberikan ketika padi sudah dituai.

Setelah padi dituai, ternyata padi yang dihasilkan dari sawah Bapak

Asnawi tidak sesuai yang diperkirakan oleh Bapak Mu’adi dengan kata

lain Bapak Mu’adi mengalami kerugian. Setelah dihitung – hitung,

kerugian yang dialami Bapak Mu’adi sebesar Rp. 400.000,- untuk

mengurangi kerugiannya Bapak Mu’adi meminta ganti rugi kepada Bapak

Asnawi setengah dari jumlah kerugian yang dialami dengan cara

menotong sisa pembayaran yang akan dibayarkan Bapak Mu’adi kepada

Bapak Asnawi. Karena kerugian yang dialami Bapak Mu’adi sebesar Rp.

400.000 sehingga Bapak Mu’adi meminta ganti sebanyak Rp. 200.000

kepada Bapak Asnawi, yang seharusnya Bapak Asnawi menerina hasil

tebasannya sebesar Rp. 7.800.000,- gara – gara hasil panennya rugi Bapak

Asnawi hannya menerima hasil tebasannya sebesar Rp. 7.600.000,-.

46

Menurut Bapak Muadi selaku penebas dibandingkan untungnya,

perjanjian jual beli tebasan ini sering mengalami kerugian, karena dalam

jual beli tebasan semacam ini hanya menggunakan ilmu perkiraan.77

Untuk mensiasati terjadinya kecurangan – kecurangan yang

dilakukan pembeli, biasanya penjual melakukan beberapa kali penawaran

kepada beberapa penebas.78

2. Alasan – alasan penyebab terjadinya ganti rugi dalam jual beli tebasan di

desa brangsong.

Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi terjadinya praktek

ganti rugi dalam jual beli tebasan. Alasan ini penulis dapatkan dari hasil

wawancara dengan beberapa petani dan Penebas di Desa Brangsong,

Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal. Inilah alasan – alasan yang

melatarbelakangi terjadinya praktek ganti rugi dalam jual beli tebasan:

a. Alasan penjual meminta ganti rugi kepada pembeli

Banyak padi yang rebah, karena pada saat melakukan

perjanjian padi belum rebah, tetapi pada waktu akan dituai atau

dipanen padi banyak yang rebah sehingga memerlukan tambahan

tenaga untuk memetik. Dengan tambahnya tenaga maka bertambah

pula biaya yang akan dikeluarkan oleh pembeli.

Padi yang dihasilkan tidak sesuai yang diperkirakan, karena

bannyak yang rebah sehingga padi yang dihasilkan tidak sesuai yang

77 Hasil wawancara dengan Bapak Muadi (sebagai penebas) pada tanggal 29 April 2011

78 Hasil wawancara dengan Bapak Asnawi (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal 22 April 2011

47

diperkirakan. Biasanya lahan seluas setengah hektar atau 5000 M3

bisa menghasilkan minimal 3,5 ton padi, tetapi setelah dipanen padi

yang dihasilkan kurang dari 3,5 ton.

Harga pasaran gabah mengalami penurunan, biasanya semakin

bannyak yang panen harga pasanan gabah akan menurun. Misalnya

pada saat transaksi jual beli harga pasaran gabah pek kgnya Rp. 2700,-

tetapi pada saat panen tiba harganya menjadi turun Rp. 2500,- per

kgnya.

b. Alasan – alasan pembeli berkenan memberikan ganti rugi kepada

pembeli

Terpaksa, karena bilamana penjual tidak memberikan ganti rugi

penjual akan tambah dirugikan, sebab sisa pembayaran tidak segera

diberikan. Seandainya dilusani dengan jangka waktu yang cukup lama,

padahal penjual sangat membutuhkan uang tersebut.79

Sungkan atau merasa tidak enak, karena masih tetangga satu

desa dan apabila penjual membutuhkan sesuatu ( uang untuk biaya

penggarapan sawah ) terkadang minta bantuan kepada pembeli atau

penebas. Karena mayoritas petani di desa Brangsong menggarap sawah

bukan milik sendiri melainkan milik orang lain.80

Tidak ingin adanya keributan, sehingga penjual memberikan

ganti rugi pada pembeli, walaupun dalam hati kecilnya kurang

79 Hasil wawancara dengan ibu Pariyah (sebagai petani di desa Brangsong) pada tanggal

24 April 2011 80 Hasil wawancara dengan Bapak purnomo dan Bapak Ngadiran (sebagai petani di desa

Brangsong) pada tanggal 23 – 24 April 2011

48

berkenan. Seandainya transaksi jual beli dibatalkan penjual tetap akan

dibebani biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh pembeli.81

81 Hasil wawancara dengan Bapak Asnawi (sebagai petani di desa Brangsong) pada

tanggal 22 April 2011

49

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK GANTI RUGI

DALAM JUAL BELI TEBASAN DI DESA BRANGSONG KECAMATAN

BRANGSONG KABUPATEN KENDAL

A. Analisis Terhadap Pemberian Ganti Rugi Dalam Jual Beli Padi Tebasan

Dan Faktor Yang Melatar Belakangi Masyarakat Untuk Memberikan

Ganti Rugi Di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

Dalam praktek jual beli memiliki tata cara atau sistem yang berlaku

berdasarkan hukum-hukum dan norma-norma yang telah diterapkan baik

hukum Islam maupun hukum dalam dalam masyarakat (hukum adat). Apabila

aturan dan norma-norma yang telah diterapkan tidak dilaksanakan maka dapat

menimbulkan bencana dan kerusakan dalam suatu hubungan di masyarakat.

Nafsu mendorong manusia untuk mengambil keuntungan sebanyak-

banyaknya melalui cara apa saja, misalnya berlaku curang dalam ukuran dan

takaran serta manipulasi dalam kualitas barang dan jika hal itu dilakukan maka

rusaklah sel-sel perekonomian di masyakraat.82

Ulama’ sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini

memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu

yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak

akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi yang harus

diberikan dengan diisyaratkannya jual beli merupakan salah satu cara untuk

82 Hamzah Ya’kub, Loc. Cit, hal: 14

50

merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya

manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dan bantuan orang lain. Ini

berarti bahwa praktik akad/kontrak jual beli mendapatkan pengakuan dan

legalitas dari syara’, dan sah untuk dilaksanakan dan bahkan dioperasionalkan

dalam kehidupan manusia.

Dalam kaitannya syarat-syarat dan rukun jual beli para ulama fiqh juga

telah mengemukakan beberapa syarat lain yaitu:

1. Syarat sah jual beli dianggap sah apabila jual beli itu terhindar dari cacat,

seperti kriteria barang yang diperjualbelikan itu tidak diketahui baik jenis,

kualitas, kuantitas, jumlah harga tidak jelas, jual beli itu mengandung

unsur paksaan, unsur tipuan, mudharat, serta adanya syarat-syarat lain

yang membuat jual beli itu rusak.

2. Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli maksudnya adalah jual

beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan

untuk melakukan jual beli, misalnya barang itu milik sendiri. Akad jual

beli tidak boleh dilaksanakan apabila orang yang melakukan akad tidak

memiliki kekuasaan untuk melakukan akad.

3. Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli. Para ulama fiqh

sepakat menyatakan bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat apabila

jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar (hak pilih untuk

meneruskan atau membatalkan jual beli). Apabila jual beli itu masih

memiliki hak khiyar, maka jua beli itu belum mengikat dan masih boleh

dibatalkan.

51

Dalam akad jual beli harus disempurnakan 4 macam syarat, yaitu:

syarat in’iqad, syarat sah, syarat nafadz, dan syarat luzum. Tujuan adanya

syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya pertentangan dan

perselisihan diantara pihak yang bertransaksi, menjaga hak dan kemaslahatan

kedua belah pihak, serta menghilangkan segala bentuk ketidakpastian dan

resiko. Jika salah satu syarat dalam syarat in’iqad tidak terpenuhi, maka akad

akan menjadi bathil, jika dalam syarat sah tidak lengkap, maka akad akan

menjadi fasid, jika dalam salah satu syarat nafadz tidak terpenuhi, maka akad

menjadi mauquf, dan jika salah satu syarat luzum tidak dipenuhi, maka pihak

yang bertransaksi memiliki hak khiyar, meneruskan atau membatalkan akad.

Apabila semua syarat jual beli tersebut di atas terpenuhi, barulah secara

hukum transaksi jual beli itu dianggap sah dan mengikat dan karenanya pihak

penjual dan pembeli tidak boleh lagi membatalkan jual beli itu.83

Di dalam transaksi jual beli harus berdasarkan atas dasar suka sama

suka, tidak ada unsur keterpaksaaan, penipuan, dan pemalsuan yang

berdampak pada kerugian salah satu pihak baik dari penjual maupun dari

pembeli yang berupa kerugian materiil maupun kerugian non materiil. Seperti

halnya yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten

Kendal. Di daerah tersebut ada sebuah praktek jual beli padi yang mana

pembeli berani membeli padi yang belum layak panen, karena kurang

kemampuan seorang petani sehingga petani mau menerima jual beli tersebut,

dalam hal ini seorang petani masih dibayar setengah harga yang telah

83 Nasrun Harun, Loc. Cit, hal: 120

52

disepakati dan setengahnya lagi dibayarkan ketika padi sudah layak panen

padahal dalam jual-beli tebasan seharusnya resiko untung dan rugi ditanggung

oleh masing-masing pihak yang mana penjual harus menerima apabila hasil

panen jauh lebih baik dari yang dibayangkan begitu pula dengan pembeli

harus mau menerima apabila hasil panennya kurang baik. Pada kenyataannya

masih banyak praktek jual beli yang masih ada unsur penipuan dan pemaksaan

yang mana salah satu dari mereka ada yang dirugikan.

Penjelasan dari Bapak Purnomo, praktek jual beli semacam ini sering

dilakukan oleh masyarakat desa Brangsong. Karena mereka merasa jual beli

tebasan ini menguntungkan bagi kedua belah pihak, yang mana pihak penjual

diuntungkan dengan langsung mendapatkan hasil panennya tanpa harus

memetik dan menjualnya ke pasar. Sedangkan pihak penebas diuntungkan dari

hasil tebasannya.

Akan tetapi, selain menguntungkan praktek jual beli ini juga merugikan

kedua belah pihak yang mana pihak petani akan rugi jika hasil panennya jauh

lebih banyak dari yang di perkirakan. Begitu juga dari pihak pembeli akan rugi

jika hasil panennya tidak sesuai dengan yang diperkirakan. Seperti yang

dijelaskan oleh bapak Maskon “Tetapi dalam prakteknya yang lebih sering

dirugikan adalah pihak petani, karena bilamana hasil panennya baik pembeli

diam saja tetapi bilamana hasil panennya buruk pembeli minta ganti rugi

kepada penjual ”

Ada beberapa alasan penjual berkenan memberikan ganti rugi kepada

pembeli diantaranya:

53

a. Terpaksa

Apabila penjual tidak memberikan ganti rugi penjual akan tambah

dirugikan sebab sisa pembayaran tidak segera dibayarkan, seandainya

dilunasi dengan jangka waktu yang cukup lama padahal penjual sudah

membutuhkan uang tersebut.

b. Sungkan

Yaitu sikap merasa tidak enak karena masih tetangga satu desa

karena mayoritas petani mengganti rugi dalam jual beli padi tebasan di

Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal menggarap

sawah bukan milik sendiri melainkan milik orang lain.

c. Tidak ingin adanya keributan

Penjual memberikan ganti rugi kepada pembeli walaupun dalam

hati kecilnya kurang berkenan dan seandainya transaksi jual beli dibatalkan

penjual tetap akan dibebani biaya operasiponal yang telah dikeluarkan oleh

pembeli. Kasus seperti ini banyak terjadi di masyarakat wilayah Brangsong,

Kendal.

Seperti halnya praktek ganti rugi yang terjadi antara Ibu Pariyah

dengan Bapak Sarpani. Pada awal perjanjian jual beli tebasan telah

disepakati bersama bahwa padi milik Ibu Pariyah seluas 5.000 M2 (lima

ribu meter persegi) seharga Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah), sebagai

tanda jadi Bapak Sarpani memberi uang muka kepada Ibu Pariyah sebesar

Rp. 500.000,- (liama ratus ribu rupiah) dan sisanya sebesar Rp.

54

7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) akan diberikan setelah padi

dituai atau di petik.

Setelah padi dituai atau di petik dan ditambah biaya operasional,

hasil yang didapat Bapak Sarpani ternyata kurang dari perkiraan. Dengan

kata lain Bapak Sarpani mengalami kerugian, setelah dihitung-hitung

kerugian yang di alami Bapak Sarpani sebesar Rp. 600.000,- ( enam ratus

ribu rupiah ). Untuk mengurangi beban kerugian tersebut Bapak Sarpani

minta kepada Ibu Pariyah setengah dari kerugian tersebut sebesar

Rp. 300.000,- dengan cara mengurangi sisa pembayaran yang telah

disepakati bersama. Yang menjadi beban atau yang memberatkan Ibu

Pariyah adalah pengurangan harga tersebut dilakukan secara sepihak

(tanpa musyawarah), dan hal ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan

dalam transaksi jual beli tebasan dimasyarakat Desa Brangsong.84

Dalam setiaap hukum perjanjian termasuk perjanjian jual beli kaitannya

dengan penebasan jual beli padi, diawali dengan sebuah perjanjian antara

petani dengan penebas padi seperti ketika musim panen tiba ternyata hasilnya

tidak bagus bagi penebas maka petani harus dikenai ganti rugi atau

pemotongan harga yang telah disepakati diawal akad, padahal dalam hukum

perjanjian yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban memikul kewajiban

yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satua pihak.

artinya bahwa resiko dalam perjanjian jual beli adalah suatu peristiwa yang

mengakibatkan barang tersebut (yang dijadikan sebagai obyek perjanjian jual

84 Hasil wawancara dengan Ibu Pariyah ( Sebagai Petani di Desa Brangsong ) pada

tanggal 24 April 2011

55

beli) mengalami kerusakan, dan peristiwa itu tidak dikehendaki oleh kedua

belah pihak, berarti terjadinya suatu keadaaan yang memaksa diluar jangkauan

para pihak.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Subekti, ”bahwa

persoalan resiko itu berlandaskan pada terjadinya suatu peristiwa di luar

kesalahan salah satu pihak yang mangadakan perjanjian. Dengan kata lain

berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan;

kedaan memaksa”.

Dalam ajaran agama Islam hal ini merupakan sesauatu yang wajar

sebab segala sesuatunya itu dapat saja terjadi sesuai dengan kehendak Allah

SWT., dan tidak daya serta upaya bagi umat manusia jika Allah SWT.

menghendakinya.85

Umumnya sebagian dari mereka tidak mengetahui bahwa apa yang

mereka lakukan merupakan bentuk mu’amalah yang tidak sesuai dengan

syari’at Islam seperti halnya apabila pembeli untung pembeli diam saja tetapi

sebaliknya apabila pembeli rugi, kerugian itu dibagi sama penjual dengan cara

memotong pembayaran yang belum dibayarkan. Walaupun itu adalah

kelalaian dari pihak pembeli sendiri sehingga menjadikan jual beli tersebut

terlarang.

Berarti masalah ganti rugi dalam jual beli padi tebasan yang dialami

oleh masyarakat di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong, seharusnya akad

antara penjual dengan pembeli harus mengandung unsur-unsur kerelaan atau

85 Khairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Loc. Cit. hal: 41

56

tanpa paksaan dari kedua belah pihak dan apabila ada kerugian maka harus

ditanggung bersama sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan ketika akad

terjadi agar dalam transaksi jual beli kaitannya dengan tebasan padi baik

petani maupun penebas bisa melakukan transaksinya dengan syari’at Islam

karena dalam ajaran Islampun mengatur dengan sebaik-baiknya dalam

masalah jual beli demi kemaslahatan umat manusia.

B. Analisis Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Padi Tebasan Di

Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal

Dalam analisis hukum Islam terhadap transaksi jual beli padi tebasan itu

termasuk kategori bai’ musyawaroh, akan tetapi ada unsur didalamnya bathil,

karena ada unsur keterpaksaan disamping ada keuntungan juga, dalam

transaksi ini juga, dapat diqiyaskan pada illat yaitu perbuatan jual beli ijon,

sebab barangnya (objeknya) sama-sama belum jelas pada saat terjadinya

transaksi akad jual beli.

Imam Syafi’i berpendapat secara asal jual beli dibolehkan, ketika

dilakukan dengan cara kerelaan kedua belah pihak,atas transaksi yg dilakukan

dalam sepanjang tidak bertentangan dengan syariat.

Ibnu Qoyyim al Jauziyah penganut madzab Hambali mengatakan

bahwa jual beli yang barangnya belum jelas (ijon) atau seperti kasus ganti rugi

dalam jual beli padi tebasan diqiyaskan dalam masalah ijon sebab illatnya

belum jelas yaitu jual beli semacam itu jika barangnya tidak ada waktu

terjadinya akad tetapi diyakini akan ada dimasa yang akan datang sesuai

57

dengan kebiasaan masyarakat setempat maka dihukumi boleh dan hukumnya

sah.

Dalam Islam sendiri tidak dibenarkan seseorang mencabut hak milik

orang lain tanpa adanya kerelaan dari pemiliknya. Karena hak milik peribadi

dalam Islam benar-benar dihargai dan dihormati, sehingga cara memperoleh

hak milik dalam Islam diatur sedemikian rupa. Bila seseorang menginginkan

hak milik setidaknya sesuai dengan hukum syara’, seperti contoh jual beli,

atau tawar-menawar suatu harga haruslah disesuaikan dengan harga yang

sepadan dengan barang (obyek).

Dalam hukum Islam itu sendiri seseorang dapat memiliki status hak

milik dengan beberapa sebab antara lain: ihrazul mubahat (mengelola benda-

benda mubah), al-Uqud (akad) seperti hibah, wakaf dan jual beli, al-

Khalafiyah (pewarisan), at-Tawaludu Munal Mamluk (beranak pinak).86

Allah SWT. melarang kaum muslimin untuk melarang memakan harta

orang lain secara bathil, secara bathil dalam kontek ini memiliki arti yang

sangat luas, diantaranya melakukan transaksi ekonomi yang bertentangan

dengan syara’ seperti halnya melakukan transaksi berbasis riba (bunga),

transaksi yang bersifat spekulatif (maisir/judi), ataupun transaksi yang

mengandung unsur gharar (adanya resiko dalam transaksi) serta hal-hal lain

yang bisa dipersamakan dengan itu.

Untuk mendapatkan harta harus dilakukan dengan adanya kerelaan

semua pihak dalam transaksi seperti dalam transaksi jual beli harus ada

86 Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Madhal Fii al-Fiqh al-‘Amm, Juz I, hal: 242

58

kerelaan antara penjual dan pembeli dan jauh dari unsur gharar dan juga harus

memperhatikan unsur kerelaan bagi semua pihak.

Orang-orang Islam dalam melakukan perjalanan usaha untuk

mendapatkan anugerah Allah SWT. Dilakukan dengan cara-cara yang benar

yang telah digariskan oleh Allah SWT. Imam Syafi’i menyatakan secara asal

jual beli diperbolehkan ketika dilaksanakan dengan adanya kerelaan atau

keridhaan kedua belah pihak atas transaksi yang dilakukan dan sepanjang

tidak bertentangan dengan apa yang dilarang oleh syari’ah.

Segala ketentuan yang terdapat dalam jual beli harus terdapat

persetujuan dan kerelaan antara pihak penjual dan pembeli, karena

kesepakatan tidak bisa ditentukan secara sepihak.87

Para ulama fiqh juga sepakat menyatakan ada beberapa jenis jual beli

yang bathil adalah:

1. Jual beli sesuatu yang tidak ada

Misalnya memperjual belikan buah-buahan yang putiknya belum

muncul di pohonnya atau anak sapi yang belum ada, sekalipun ibunya telah

ada. Akan tetapi Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah pakar Fiqh Hambali,

mengatakan bahwa jual beli yang barangmnya tidak ada waktu

berlangsungnya akad, tetapi diyakini akan ada dimasa yang akan datang

sesuai dengan kebiasaannya, boleh diperjualbelikan dan hukumnya sah.

Alasannya adalah karena tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan as-Sunnah

larangan terhadap jual beli seperti ini. Yang ada dan dilarang dalam sunnah

87 Dim yauddin, Loc. Cit, hal: 72

59

Rasulullah SAW., menurutnya adalah jual beli tipuan (Ba’i al-Gharar)

yaitu memperjualbelikan sesuatu yang diyakini ada pada masa yang akan

datang, menurutnya tidak termasuk jual beli tipuan.

2. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli, seperti menjual

barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara,

hukum ini disepakati oleh seluruh ulama’ dan termasuk kategori ba’i al-

Gharar (jual beli tipuan).

3. Jual beli yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik tetapi

ternyata dibalik itu terdapat unsur-unsur tipuan, sebagaimana terdapat

dalam jual beli kategori Ba’i al-Gharar. Contohnya seperti

memperjualbelikan kurma yang ditumpuk, di atasnya bagus-bagus dan

manis-manis tetapi ternyata di dalam tumpukan itu banyak terdapat yang

busuk.

4. Jual beli benda najis

Seperti babi, khomr, bangkai, dan darah. Karena semuanya itu

dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta.

5. Jual beli al-’Arbun

Yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian,

pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan

kepada penjual dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual

beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka

uang yang telah dikembalikan kepada penjual menjadi hibah bagi penjual.

60

6. Jual beli air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki

seseorang karena air yang tidak dimiliki seseorang hak bersama umat

manusia dan tidak boleh diperjual belikan.88

Sedangkan menurut Prof. Dr. TM. Hasby asy-Shiddiqi mengenai

masalah akad, sebab kepemilikan suatu barang dapat dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Uqud Jabariyah, yaitu akad yang dilakukan berdasarkan pada putusan

hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Akad ini

disebut Tamalluk Jabary;

2. Istimlak untuk maslahat umum, umpamanya tanah-tanah yang ada

disamping masjid, kalau diperlukan untuk masjid harus dapat dimiliki oleh

masjid dan harus menjualnya, ini dinamakan tamalluk bil jabari.89

Masalah ganti rugi sudah diatur dengan jelas di dalam Islam, dengan

tidak melupakan prinsip bahwa apabila seseorang melakukan transaksi jual

beli atau menawar harga, harus ada kerelaan diantara kedua belah pihak,

seperti dalam konsep hak milik itu sendiri bahwa seseorang tidak boleh

memiliki hak orang lain tanpa adanya kerelaan atau izin dari pemiliknya.

Dalam praktek ganti rugi dalam jual beli padi tebasan di Desa

Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal sering dilakukan oleh

masyarakat Desa Brangsong. Karena mereka merasa jual beli tebasan ini

menguntungkan bagi kedua belah pihak, yang mana pihak penjual

diuntungkan dengan langsung mendapatkan hasil panennya tanpa harus

memetik dan menjualnya ke pasar, sedangkan pihak penebas diuntungkan dari

88 Nasrun harun, Loc. Cit, hal: 124 89 TM. Hasby as-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974,

hal:11

61

hasil tebasannya. Akan tatapi, selain menguntungkan juga merugikan kedua

belah pihak yang mana pihak petani akan rugi jika hasil panennnya jauh lebih

banyak dari yang diperkirakan. Begitu juga dari pihak pembeli akan rugi jika

hasil penenya tidak sesuai dengan yang diperkirakan, tetapi dalam prakteknya

yang lebih sering dirugikan adalah pihak petani karena bila hasil panennya

baik pembeli diam saja tetapi bila hasil panennya buruk pembeli minta ganti

rugi kepada penjual karena dalam jual beli tebasan semacam ini hanya

menggunakan ilmu perkiraan.

Ganti rugi dalam Islam adalah harga rugi yang diberikan itu harus

sesuai dengan harga yang dijual dalam konsep jual beli juga terdapat hak

suf’ah yaitu hak untuk membatalkan perjanjian itu, tetapi dalam praktek ganti

rugi dalam jual beli tebasan penjual tidak diperbolehkan membatalkan

transaksi yang telah disepakati dengan pembeli dan jika terjadi pembatalan

maka yang akan dirugikan pihak penjual karena akan dibebani biaya

operasional yang dikeluarkan oleh pembeli dan dengan beberapa alasan-alasan

yang disebutkan di atas, sehingga penjual berkenan melakukan transaksi

tersebut. Padahal dalam Islam seseorang tidak boleh memaksa atau

menganiaya orang lain karena dianggap telah melakukan perbuatan ghasab

karena terdapat paksaan dalam proses untuk memperoleh hak milik, berarti

masalah ganti rugi harus disepakati diawal perjanjian dan apabila ada

keuntungan dan kerugian harus dirasakan bersama antara penjual dan pembeli

dengan unsur kerelaan atau keikhlasan kedua belah pihak.

62

Menurut penulis, bahwa apa yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan

Brangsong Kabupaten Kendal tidak sesuai dengan hukum Islam karena

banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dalam hukum Islam seperti adanya

unsur paksaan tidak enak karena bertetangga atau sudah mengenalnya dan

juga menghindari keributan antara penjual dan pembeli. Padahal dalam Islam

sendiri setiap transaksi jual beli harus ada unsur keridhaan sedangkan yang

terjadi di Desa Brangsong Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, hal ini

menunjukkan adanya pihak yang lemah dari petani sehingga dalam

melaksanakan jual beli padi tebasan lebih banyak berdasarkan pada

keterpaksaan dan kelemahan.

Dalam transaksi ganti rugi dengan cara memotong harga sehingga

menyebabkan ada kerugian disalah satu pihak maka tidak sah karena ada

unsur kebathilan didalamnya, jual beli yang fasid berlangsung dengan qimah

(harga standart) atau yang sepadan dengannya, tidak dengan tsaman (harga

yang disepakati dsalam akad) misalnya jual beli dengan tsaman berupa jual

beli ganti rugi dengan potongan harga atau digantungkan dengan persyaratan

fasid, atau karena tsamannya tidak jelas menunjukan kesepakatan terhadap

mabi’ (barang yang dijual belikan) oleh karena itu berlangsunglah jual beli

tersebut dengan qimah mabi’ kefasidan akan akad sesungguhnya berada

dipihak pembeli, karenanya pihak pembeli harus membayar dengan al-mist

(pembayaran yang sepadan) atau dengan qimah (harga standar).

Para fuqoha hanafiah berpendapat bahwa jual beli fasid tidak

menimbulkan peralihan hak milik sebelum terjadi serah terima sedangkan

63

menurut Jumhur ulama jual beli fasid dipandang tidak perlu dan sama sekali

tidak menimbulkan peralihan hak milik meskipun pihak pembeli telah

menguasai barang yang diperjual belikan.

Praktek ganti rugi dengan memotong harga juga termasuk kategori

”bai’ al-wadi’ah” yaitu jual beli barang dengan harga asal dengan

pengurangan sejumlah harga atau diskon hal seperti ini, jika ada unsur

keterpaksaan maka tidak diperbolehkan sebab akan merugikan salah satu

pihak. Bahkan Allah SWT memerintahkan untuk menyempurnakan takaran

dan timbangan dalam jual beli. Dalam surat Al-An’am ayat 152 dijelaskan ”

dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”.

Dalam masalah pemberian ganti rugi harusnya sesuai dengan kelayakan

seperti yang sudah dipaparkan di atas dimana sekiranya kedua belah pihak

terjadi kerelaan. Dalam Islam ganti rugi dengan nilai tertinggi dari nilai

jualnya dan ganti rugi juga harus dilihat dari subyek dan obyek tersebut dan

alasan-alasan yang dapat dibenarkan dalam hukum Islam maupun hukum adat.

Karena agar tidak dianggap sebagai perbuatan gharar atau gashab, dan juga

menganiaya kepada hak-hak orang lain.

64

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa uraian yang telah dipaparkan dalam skripsi ini, penulis

menyimpulkan sebagai berikut:

1. Praktek ganti rugi dalam jual beli padi tebasan adalah: apabila musim

panen tiba kebanyakan para petani menjual hasil panennya dalam keadaan

belum tuai atau dipetik dengan kata lain dijual dengan tebasan, seperti

yang terjadi dengan Bapak Sarpani dengan Ibu Pariyah, pada awal

perjanjian jual beli tebasan telah di sepakati bersama bahwa padi milik Ibu

Pariyah seluas 5000 m2 seharga Rp.8.000.000,- sebagai tanda jadi Bapak

Sarpani memberikan uang muka sebesar Rp. 500.000,- dan sisanya akan

dibayar setelah padi dituai atau dipanen. Setelah waktu panen serta

ditambah biaya operasional hasil yang di dapat dari Bapak Sarpani

(penebas) ternyata kurang dari perkiraan, dengan kata lain Bapak Sarpani

mengalami kerugian dan setelah dihitung kerugian penebas sebesar

Rp. 600.000,- untuk mengurangi beban kerugian tersebut penebas minta

kepada pentani atau penjual yaitu Ibu Pariyah minta setengah dari

kerugian tersebut yaitu sebesar Rp. 300.000,- dengan cara mengurangi dari

sisa pembayaran yang telah disepakati bersama.

2. Dalam transaksi jual beli padi tebasan menurut hukum Islam yaitu harus

berdasarkan atas dasar suka sama suka, tidak ada unsur keterpaksaaan,

64

65

penipuan, dan pemalsuan yang berdampak pada kerugian salah satu pihak

baik dari penjual maupun dari pembeli yang berupa kerugian materiil

maupun kerugian non materiil. Seperti halnya yang terjadi di Desa

Brangsong, di daerah tersebut ada sebuah praktek jual beli padi yang mana

pembeli berani membeli padi yang belum layak panen, karena kurang

kemampuan seorang petani sehingga petani mau menerima jual beli

tersebut, dalam hal ini seorang petani masih dibayar kira – kira 10 samapai

50% dari harga yang telah disepakati dan setengahnya lagi dibayarkan

ketika padi sudah layak panen padahal dalam jual-beli tebasan seharusnya

resiko untung dan rugi ditanggung oleh masing-masing pihak yakni

penjual dan pembeli.

Transaksi jual beli padi yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan

Brangsong Kabupaten Kendal tidak sesuai dengan hukum Islam karena

banyak terjadi hal-hal yang tidak sesuai dalam hukum Islam seperti adanya

unsur paksaan, gharar, tidak enak karena bertetangga atau sudah

mengenalnya dan juga menghindari keributan antara penjual dan pembeli.

Padahal dalam Islam sendiri setiap transaksi jual beli harus ada unsur

keridhaan sedangkan yang terjadi di Desa Brangsong Kecamatan

Brangsong Kabupaten Kendal, hal ini menunjukkan adanya pihak yang

lemah dari petani sehingga dalam melaksanakan jual beli padi tebasan

lebih banyak berdasarkan pada keterpaksaan dan kelemahan. Dalam

transaksi ini juga terjadi pemotongan harga sepihak yang tidak ada

66

kesepakatan sebelumnya,sehingga menyebabkan kerugian disalah satu

pihak maka tidak sah karena ada unsur kebatilan didalamnya.

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis berusaha memberikan saran-

saran sebagai berikut:

1. Seharusnya perjanjian jual beli antara penjual dan pembeli tersebut

dilakukan secara tertulis dan jelas sehingga akan mempunyai kekuatan

hukum yang pasti (formil) sehingga bisa dipertanggungjawabkan di

kemudian hari ketika terjadi sengketa atau konflik.

2. Untuk kepentingan umum pemerintah perlu mengadakan pengawasan dan

penertiban terhadap praktik transaksi jual beli ini, agar tidak teradi hal-hal

yang tidak merugikan baik penjual maupun pembeli, misalnya pemerintah

dalam hal ini aparatur desa turut andil dalam pembuatan penjanjian

tersebut dan sebagainya.

3. Seharusnya antara penjual dengan pembeli harus melakukan akad

perjanjian kontrak terlebih dahulu antara pihak penjual dan pembeli

mengandung unsur-unsur kerelaan atau tanpa paksaan dari kedua belah

pihak dan apabila ada kerugian maka harus ditanggung bersama sesuai

dengan perjanjian atau kesepakatan ketika akad terjadi agar dalam

transaksi jual beli kaitannya dengan tebasan padi baik petani maupun

penebas bisa melakukan transaksinya sesuai dengan syari’at Islam.

67

C. Penutup

Demikian pembahasan tentang ”Analisis Hukum Islam Terhadap

Praktek Ganti Rugi Dalam Jaul Beli Tebasan (studi kasus ganti rugi pada jual

beli padi tebasan di Desa Brangsong Kec. Brangsong Kab. Kendal)”, dan

penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan

penulis yang masih terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif

senantiasa penulis harapkan dari pembaca yang budiman demi kesempurnaan

karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan

penulis pada khususnya, Amin.

68

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004

Adjuwaini, Dimyaudin, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008

Aliy asa’ad, Fathul Mu’in, Jilid 2, Kudus: Menara Kudus

Al Imam Khafid Abal Ulam Muhamad Abdurahman Ibnu Abdurarahim Mubarikafuri , Tuhfatul Adfal Syarih Jami Tirmidzi, Bairut Libanon: Jus 4, Dari Kitab Alamiah, 1983

Ana nuryani latifah, “Analisis hukum islam terhadap ketidak jelasan waktu

penangguhan pembayaran dalam perjanjian jual beli mebel ( studi kasus

perjanjian jual beli mebel Antara pengrajin visa jati di jepara dengan pt

HM furniture di semarang)”. Skripsi fakultas syari’ah jurusan mu’amalah, semarang: perpustakaan fakultas syari’ah IAIN Walisongo semarang, 2009

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,

Jakarta:Rineka Cipta, 1998 Bin Abdul, Zainudin Aziz al Malibari –al fanani, Fath- al Muin, Terj. K.H. Moch.

Anwar, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1994 Choiruman pasaribu, Suharwadi k. Lubis, Hukum perjanjian dalam islam, Jakarta:

Sinar grafika, 1996 Departemen Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, Jakarta Pena Ilmu dan

Amal,2006

Departemen pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002

Daftar Isian Potensi desa, 2010 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: Dipponegoro,

1992 Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000 Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Rajawali Perss 2002 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin

Bardzabah Bukhari Ju’fi, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al Fikr, 1992

69

Kansil C. S. T., Drs. S.H, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 1992 Mas’adi, Ghufron, M. Ag. Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2002 Militul habibah, ”Studi analisis hukum islam terhadap jual beli yang

ditangguhkan pada tingkat harga tertinggi (studi kasus di desa ringin kidul,

gubuk, Grobokan) Skripsi Fakultas Syari’ah Jurusan Mu’amalah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2010

Mustafa Ahmad Zarqa’, al-Madhal Fii al-Fiqh al-‘Amm, Juz I, Nawawi, Hadari dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995 N. Gregory mankiw, pengantar ekonomi jilid 1, terjemahan hasim munandar,

jakarta: Erlangga, 2000 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997

Sayyid al-Imam Muhammad ibn Ismail al-Kahlani al-Sun’ani, Subul Al-Salam

Sarh Bulugh Al-Maram Minjami’ Adilati Al Ahkam, Kairo: Juz 3, Dar Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960

Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995 Sudjana, Eggi Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Yogyakarta: CV.

Adipura, 2000

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo, Cet. Ke-2, 1998

Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1989

Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bandung: Fokus Media, 2008

TM. Hasby as-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 Umi Tukhfah, “Analisis Pendapat Ibnu Hazm Tentang Saksi Jual Beli”. Skripsi

Fakultas Syari’ah Jurusan Mu’amalah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2004

70

Wawancara dengan Bapak Asnawi (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal 22 April 2011

Wawancara dengan Bapak Maskon (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal

22 April 2011 Wawancara dengan Bapak Muadi (selaku Penebas di Desa Brangsong) pada

tanggal 29 Apil 2011 Wawancara dengan Bapak Ngadiran (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal

24 April 2011 Wawancara dengan Ibu Pariyah (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal

24 April 2011 Wawancara dengan Bapak Purnomo (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal

23 April 2011 Wawancara dengan Bapak Rondhi (selaku petani Desa Brangsong) pada tanggal

24 April 2011 Wawancara dengan Bapak Samiyo (selaku sekretaris Desa Brangsong) pada

tanggal 21 April 2011 Wawancara dengan Bapak Sarpani (selaku penebas di Desa Brangsong) pada

tanggal 28 Apil 2011

71

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Biodata Diri :

Nama : Dini Widya Mulyaningsih

Nim : 052311108

Fakultas : Syari’ah

Jenis kelamin : Perempuan

Tempat/tanggal lahir : Kendal/ 20Juli 1987

Agama : Islam

Alamat : Desa Brangsong RT 06/RW 02 Kec. Brangsong

Kab. Kendal

Pendidikan:

1. SD Negeri 01 Brangsong Kendal Lulus tahun 1999

2. SMP MTA Gemolong Lulus tahun 2002

3. MAN Kendal Lulus tahun 2005

4. Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Semarang, 13 Desember 2011

Dini Widya Mulyaningsih

72

LAMPIRAN-LAMPIRAN