Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

8
1 ANALISA WACANA NASR HAMID ABU ZAID Oleh: A Khudori Soleh Gerakan pembaharuan dalam pemikiran Islam muncul seiring dengan semakin kuatnya kontak budaya antara Islam dan Barat. Gerakan itu muncul sebagai respon kreatif terhadap sistem kehidupan yang semakin mengglobal, kosmopolit dan modern. Gaya kehidupan pragmatis, rasional dan sebagainya memerlukan jawaban tersendiri yang tidak bisa hanya di dasarkan pada pola pikir klasik semata. Perlu ada ide-ide baru. Jargon “kebangkitan Islam” mengandaikan pembaharuan di bidang pemikiran keagamaan tersebut agar sesuai dengan kebutuhan zaman; mampu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar yang mengusik manusia muslim dalam realitasnya sendiri dan realitas lain yang ada disekitarnya. Kebutuhan tersebut tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dunia modern tak lagi terdiri atas pulau-pulau atau gugusan kawasan yang terpisah-terpisah, tetapi telah menjadi kampung kecil akibat perkembangan sarana komunikasi dan transformasi pengetahuan. Mungkinkah pembaharuan keagamaan berlangsung tanpa kritisisme yang membebaskan diri dari model seremoni tradisional yang hanya mengulang, meringkas dan merangkum pikiran lama, sehingga pikiran itu kehilangan elan vitalnya dan nyaris menjadi pengetahuan beku? Kesadaran ingin membebaskan diri dari model seremoni tradisional itulah yang mengantarkan Nasr Hamid Abu Zaid muncul kepermukaan belantika pemikiran di Mesir khususnya, dan dalam pemikiran dunia muslim pada umumnya. Ia muncul kepermukaan diskursus wacana teks secara mengejutkan karena tesis-tesisnya yang kontroversial dan keberaniannya merombak pemikiran Islam yang telah dianggap baku. Tulisan ini memaparkan metode pemikiran Abu Zaid (analisa wacana) dan beberapa idenya yang cukup kontroversial. Analisa Wacana. Abu Zaid memulai konsep ‘analisa wacana’-nya terhadap teks dengan sebuah pertanyaan: Bagaimana seharusnya memberlakukan warisan intelektual (tradisi)?, yang ia namai dengan ‘pertemanan kritis’ (al-ta`am l-naqd) Menurutnya, cara pandang dan model hubungan yang tepat dengan warisan Islam klasik akan memberikan landasan vital dan keterbukaan dunia intelektual Islam dalam berinteraksi dengan buday-budaya lain. Bagaimana mungkin tradisi Islam yang mempunyai ”daya kritis” harus di perlakukan sebagai benda mati yang” antik” ? Abu Zaid sangat kecewa dengan perkembangan pemikiran Islam saat ini yang dianggapnya hanya berjalan ditempat. Para cendikiawan muslim lebih banyak sekedar meringkas dan mengulang warisan intelektual salaf. Dalam kajian ilmu-

description

Dengan metode “analisa wacana” yang didukung pendekatan semiotika dan hermeneutika, Abu Zaid menawarkan bahwa dalam membaca teks, memahami dan meinterpretasikannya, sebuah teks hendaknya tidak lagi dianggap sebagai teks an sich yang lepas dari historis, atau sebuah teks yang mempunyai otoritas kaku, tapi harus dilihat konteksnya, yakni apa yang dibalik teks itu sendiri. Bahkan diharapkan dicapai signifikansi teks sehingga bisa menjadi mitra dialog dalam merumuskan peradaban dan kebudayaan di masa depan

Transcript of Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

Page 1: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

1

ANALISA WACANA NASR HAMID ABU ZAID

Oleh: A Khudori Soleh

Gerakan pembaharuan dalam pemikiran Islam muncul seiring dengan

semakin kuatnya kontak budaya antara Islam dan Barat. Gerakan itu muncul

sebagai respon kreatif terhadap sistem kehidupan yang semakin mengglobal,

kosmopolit dan modern. Gaya kehidupan pragmatis, rasional dan sebagainya

memerlukan jawaban tersendiri yang tidak bisa hanya di dasarkan pada pola pikir

klasik semata. Perlu ada ide-ide baru. Jargon “kebangkitan Islam” mengandaikan

pembaharuan di bidang pemikiran keagamaan tersebut agar sesuai dengan

kebutuhan zaman; mampu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar

yang mengusik manusia muslim dalam realitasnya sendiri dan realitas lain yang

ada disekitarnya.

Kebutuhan tersebut tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dunia modern tak lagi

terdiri atas pulau-pulau atau gugusan kawasan yang terpisah-terpisah, tetapi telah

menjadi kampung kecil akibat perkembangan sarana komunikasi dan transformasi

pengetahuan. Mungkinkah pembaharuan keagamaan berlangsung tanpa kritisisme

yang membebaskan diri dari model seremoni tradisional yang hanya mengulang,

meringkas dan merangkum pikiran lama, sehingga pikiran itu kehilangan elan

vitalnya dan nyaris menjadi pengetahuan beku?

Kesadaran ingin membebaskan diri dari model seremoni tradisional itulah

yang mengantarkan Nasr Hamid Abu Zaid muncul kepermukaan belantika

pemikiran di Mesir khususnya, dan dalam pemikiran dunia muslim pada

umumnya. Ia muncul kepermukaan diskursus wacana teks secara mengejutkan

karena tesis-tesisnya yang kontroversial dan keberaniannya merombak pemikiran

Islam yang telah dianggap baku. Tulisan ini memaparkan metode pemikiran Abu

Zaid (analisa wacana) dan beberapa idenya yang cukup kontroversial.

Analisa Wacana.

Abu Zaid memulai konsep ‘analisa wacana’-nya terhadap teks dengan

sebuah pertanyaan: Bagaimana seharusnya memberlakukan warisan intelektual

(tradisi)?, yang ia namai dengan ‘pertemanan kritis’ (al-ta`am l-naqd) Menurutnya,

cara pandang dan model hubungan yang tepat dengan warisan Islam klasik akan

memberikan landasan vital dan keterbukaan dunia intelektual Islam dalam

berinteraksi dengan buday-budaya lain. Bagaimana mungkin tradisi Islam yang

mempunyai ”daya kritis” harus di perlakukan sebagai benda mati yang” antik” ?

Abu Zaid sangat kecewa dengan perkembangan pemikiran Islam saat ini

yang dianggapnya hanya berjalan ditempat. Para cendikiawan muslim lebih banyak

sekedar meringkas dan mengulang warisan intelektual salaf. Dalam kajian ilmu-

Page 2: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

2

ilmu Alqur’an (`ulum l-Qur’an), misalnya, mereka hanya meringkas kitab al-Itqan

fi `ulum l-Qur’an karya al-Syuyuti (w. 910M) dan al-Burhan fi `Ulum l-Qur’an

karya al-Zarkasyi (w. 794) sementara dalam `Ulum l-Hadits, menyadur kitab Ibn

al-Shalah (w. 643). Sama sekali tidak ada pengembangan keilmuan tersendiri.

Kemandekan kemajuan pemikiran tersebut, menurutnya, disebabkan

adanya hegemoni teks yang secara tidak sadar telah diterima dan akhirnya

membelenggu kelompok yang mengatas-namakan dirinya sebagai penjaga tradisi

intelektual Islam. Di sana sebuah teks yang mestinya hanya mempunyai kuasa

epistemologis telah diadopsi, diubah dan diselipi kerangka idiologis, sehingga

sebuah teks seakan-akan menguasai wacana pemikiran manusia. Inilah yang

kemudian menimbulkan tidak adanya dinamika ilmu yang lebih kreatif dalam

Islam karena kebenaran sudah ada dalam teks, dimana si pembaca hanya berhak

untuk menjelaskan isinya belaka tanpa dibarengi tinjauan ulang secara kritis.

Disamping itu, ketidakmajuan pemikiran Islam kontemporer juga

disebabkan adanya kelemahan terhadap penafsiran klasik. Kelemahan itu

tertumpu pada pola yang didahului oleh “paradigma” yang pada tahap tertentu

telah menjadi sebuah hegemoni teks sehingga yang muncul tidak lebih dari sebuah

kumpulan ensiklopedi ilmu si penafsir yang dibungkus Alqur’an. Teks tidak

diperlakukan sebagaimana adanya teks yang netral dan tidak mengikat, tetapi

telah diseret-seret demi kepentingan sesaat, kepentingan politis atau demi

mempertahankan idiologi si pembaca. Persoalan ini, menurut Abu Zaid,

sebenarnya telah ditegaskan Imam `Ali ibn Abi Thalib dalam peristiwa tahkim,

ketika ia dituntut Muawiyah untuk berdamai dengan mengangkat Alqur’an. Imam

Ali berkata “Alqur’an itu ada dalam mushaf, ia tidak berbicara, yang berbicara atas

nama Alqur’an adalah orang-orangnya”.

Sikap kritis Abu Zaid di atas, lebih didasarkan atas semangatnya yang besar

untuk bisa membaca kembali --dan membuktikan bahwa-- warisan-warisan

intelektual Islam sebagai “teks-teks keagamaan” yang tidak lepas dari wacana

tertentu yang bersifat “ideologis”. Menurutnya, kajian epistimologis tidak hanya

berhenti pada terpahaminya makna literal dari teks, namun harus juga mampu

melangkah keluar untuk menguak signifikansi sosial-ekonomi-politiknya, sehingga

bisa tergambar jelas ‘idiologi’ yang melatarbelakangi: yakni pandangan yang

memberikan norma-norma benar-salah, pahala-siksa, boleh-dilarang, dalam

pengertiannya yang sosiologis. Sedemikian, sehingga ini akan berguna untuk

menguakkan “jarak epistemologis” antara “pemahaman” dan ”keyakinan”, karena

dalam kehidupan beragama yang telah dianggap ”mapan” dan “sakral” --disadari

atau tidak-- selalu terjadi percampuran misterius antara ”keyakinan” dan

“pemahaman”.

Untuk itulah, Abu Zaid kemudian menawarkan metode “kritik wacana

keagamaan” (Naqd l-Khitab l-Dini) dengan metode “analisa wacana“ (Manhaj

Tahlil l-Khithab), suatu jenis varian dari dinamika teori “teks” dalam semiotika

Page 3: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

3

yang sering disebut dengan “kritik wacana keagamaan” (Naqd l-Khitab l-Dini) yang

terdiri atas enam paradigma dasar untuk membongkar dan menyingkap

mekanisme struktural (`aliyat l-ta’shil) yang selama ini membatasi metodologi

pembacaan kritis-dekonstruktif. Pertama, bahwa semua bidang ilmu pengetahuan

bukanlah bidang yang terpisah dari bidang-bidang lain dalam konteks kebudayaan

tertentu. Bidang ilmu nahwu dan ilmu-ilmu bahasa, umpamanya, memiliki kaitan

dengan bidang ilmu lain dalam peradaban Arab-Islam. Sehingga paradigma ini

pada saatnya memungkinkan untuk menyatukan Al-Syafi`i, Al-Asy`ari, Al-

Ghazali dalam satu konteks epistemologi, meskipun bidang-bidang yang di

dalamnya memiliki peran yang berbeda.

Kedua, bahwa aktivitas intelektual apapun bukanlah terpisah dari watak

problematika sosial (ekonomi-politik-intelektual) yang menyibukkan manusia

sebagai makhluk sosial, sehingga dalam mengkaji Imam Al-Syafi’i perlu dilihat

wacana Syafi’i secara implisit berdasarkan fakta-fakta dengan mempertimbangkan

akar sosialnya. Sehingga bisa difahami mengapa Imam Syafi’i membela identitas

“ke-Araban” Alqur’an dan memperjuangkan legalitas al-Sunnah.

Ketiga, bahwa sebuah metode berpikir mendapat atribut “benar” atau

“tidak benar” dari sudut pandangan dunia yang berbeda-beda antara satu

kelompok dengan kelompok lainnya. Pandangan dunia Muktazilah akan berbeda

dengan pandangan al-Ash’ari atau Syi’ah misalnya. Jadi, sebuah “pandangan

dunia” ketika dimasukkan ke dalam analisa pemikiran, maka klaim benar- salah

bukan persoalan baku tapi menjadi masalah yang relatif, atau historis dalam

pengertian soiologis. Inilah yang akan memungkinkan kita berbicara mengenai

ideologi-ideologi yang beragam dalam sistem pemikiran Islam.

Keempat, bahwa setiap perbedaan sosiologis (ekonomi, politik, intelektual)

diantara berbagai kelompok dalam sejarah kerajaan Islam telah terungkap lewat

bahasa ideologis keagamaan. Interpretasi mengatasnamakan kelompok akan

memperlakukan sejarah pemikiran Islam sebagai pertarungan “kebenaran”,

sehingga lebih merupakan tindakan pemalsuan ideologis sekaligus terhadap

sejarah dan pemikiran. Sebab, sejarah pemikiran itu sendiri tak lain hanyalah

ungkapan yang sempurna mengenai sejarah sosial dalam pengertiannya yang

dalam. Karena itu, hegemoni suatu trend pemikiran terhadap trend-trend

pemikiran lain, tidak berarti trend tersebut menjadi pemilik dan penguasa

“kebenaran”. Muktazilah umpamanya pernah menguasai gerakan pemikiran di

bawah kekuasaan khalifah al-Makmun, kemudian terjadi revolusi pemikiran pada

masa al-Mutawakkil dengan munculnya “Ahl l-Sunnah wa l-jama`ah”.

Kelima, bahwa hegemoni sebuah trend pemikiran, dalam rentang waktu

yang panjang, tidak berarti bahwa trend-trend lainnya adalah trend yang “sesat”

dan “kafir”. Hegemoni biasanya terjadi karena mekanisme politik kekuasaan,

sebuah mekanisme yang tidak mempunyai hubungan dengan konsep ”kebenaran”

dalam pengertian filosofis. Untuk itu kebenaran-kebenaran harus di letakkan di

Page 4: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

4

tempat yang sama dengan kebenaran yang diajukan oleh trend-trend yang

berkuasa. Disinilah metode “analisa wacana” berinteraksi dengan sejarah

pemikiran.

Keenam, bahwa yang kokoh dan mapan seringkali mengaitkan diri kepada

akar-akar tradisi, warisan intelektual. Namun, seringkali kaitan itu sangat samar,

sehingga memerlukan mekanisme analisa khusus untuk “membongkar” dan

mengembalikan pemikiran tersebut kepada dasarnya dan menjelaskan sumber

ideologisnya. Ketika landasan ideologis terkuak, sirnalah atribut-atribut

“kebenaran-kebenaran yang mapan” atau ”keniscayaan agama”.

Selanjutnya, untuk mendukung keberhasilan metode yang ditawarkan,

Abu Zaid menggunakan dua pendekatan sekaligus, semiotik dan hermeneutik.

Pendekatan semiotik berusaha memperlakukan teks keagamaan sebagai teks yang

bermakna luas, mencakup seluruh sistem tanda yang dapat memproduksi makna.

Dalam cakupan ini, konsep teks tidak hanya terbatas pada sistem tanda bahasa

yang dapat memproduksi makna umum tetapi juga meliputi seluruh hubungan

yang bersifat non-lingustik; sementara dengan hermeneutik berarti memahami

teks keagamaan tidak bisa lepas dari kontek sejarah di mana teks itu muncul,

kepada siapa teks itu berdialog, mengapa teks dibuat dan seterusnya yang pasti

tidak lepas dari ruang lingkup yang mengitarinya. Teks adalah produk kebudayaan

yang mengitarinya sehingga ia harus dipahami secara kritik historis.

Dalam hal ini, Abu Zaid banyak memakai teori hermeneutika Gadamer

sebagai pendekatan dalam mengkaji teks-teks Alqur’an. Pemakaian teori

hermeneutika Gadamer oleh Zaid ini kelihatan ketika dikatakan bahwa saat

interpretator berhadapan dengan teks, maka aktivitas penempatan diri sebagai

interpretator (I) yang berhadapan dengan teks (thou) tersebut merupakan proses

distinguising dan proses tersebut berjalan secara resiprokal, sebagai proses

prasangka (prejudice). Prasangka tersebut selalu hidup bersama tradisi yang

membentuk horizon interpreter secara partikular dan berkelanjutan, sehingga

selalu dalam proses ini sesuatu yang lama tradisi (teks/thou) yang mengandung

past time dan sesuatu yang baru (interpreter/I) present time selalu terus menerus

bersama dan membuat suatu nilai yang hidup (produktif bukan reproduktif). Nilai

hidup yang di maksud adalah fusi horison untuk future. Ketika reader I yang

berada pada situasi kekinian (present time) yang melebur dengan teks (thou)

dalam effective-history suatu momen produktif, maka bersama dengan horison

obyek akan menjadi fusi horison ke arah masa depan. Struktur triadik dari

interpretasi itu adalah: tanda (sign), pesan (message) atau teks, penafsir, dan

penyampai pada audiens.

Page 5: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

5

Teks Fusi horison

Future

penafsir audiens

interpreter (I) Present teks(thou)Past

Proses hermeneutik dialektis dengan cara penelusuran intelektual ke masa

lalu untuk memasuki ruang-ruang historis, dan kembali kemasa kini untuk

mendapatkan makna baru (produktif). Tidak hanya berhenti sampai disitu.

Bahkan, Abu Zaid tidak puas dengan hanya mengungkap teks-teks dalam konteks

sejarah peradaban dan pemikiran, ia berusaha sampai kepada signifikansi

kontemporer (al-Maghza l-Mu’a¡ir) teks-teks tradisi di berbagai ruang lingkup ilmu

pengetahuan, meskipun disadari bahwa usaha kearah sana bukan sesuatu yang

mudah, diperlukan tinjauan secara utuh terhadap sejarah budaya ideologi yang itu

berarti dibutuhkan kecanggihan ilmu pengetahuan dan sains modern.

Dari kerangka inilah, Abu Zaid akhirnya bertemu dengan Al-Syafi’i secara

kritis. Ia mengungkapkan jaring-jaring epistemologis yang dilontarkan Syafi’i di

dalam ilmu fiqh. Adanya pembakuan model pemaknaan Alqur’an sebagai teks

berbahasa Arab, teorisasi sunnah sebagai sumber tashri’ yang otoritatif, perluasan

arti sunnah hingga mencakup Ijma’ dan kemudian ‘membonsai’ Qiyas agar

aktivitasnya tidak keluar dari wilayah nash dan seterusnya yang mengakibatkan

percampuran yang ruwet diantara teks-teks keagamaan. Tak bisa dipilah lagi mana

teks yang primer dan mana yang sekunder, sesuatu yang menurut Abu Zaid

menunjukkan bahwa “watak moderat” Imam Syafi’i sebetulnya “semu”, karena

alur argumentasinya yang eklektik, dan dipaksakan untuk mempertahankan

“Quraisysentrisme” di dalam sejarah Islam.

Kontraversial.

Banyak gagasan Abu Zaid yang menimbulkan kontraversial. Salah satunya

adalah tesisnya tentang teks Alqur’an. Dengan pendekatan semiotika dan

hermeneutika, Abu Zaid mengatakan bahwa teks keagamaan tidak terkecuali

Alqur’an adalah produk budaya atau al-Muntaj l-Thaqafi. Produk kebudayaan

dalam arti bahwa bahasa yang tertuang dalam teks Alqur’an merupakan simbol

atau kode manusia (human code) dalam mengartikulasikan kesadaran dan

perasaannya. Dengan demikian, dalam perspektif ini Alqur’an adalah kode

manusia yang di gunakan Tuhan untuk menurunkan ajarannya, agar dapat

dipahami manusia. Alqur’an adalah teks bahasa Arab yang muncul dalam konteks

sejarah melalui dialog intensif dalam setiap peristiwa sejarahnya.

Bukti bahwa Alqur’an adalah teks yang mensejarah diindikasikan oleh

karekteristik Alqur’an itu sendiri. Pertama, Alqur’an memuat pesan-pesan ajaran

Page 6: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

6

Allah untuk manusia yang diwujudkan dalam sebuah teks berbahasa Arab yang

diturunkan (wahy) kepada utusannya, Muhammad saw, dengan cara diwahyukan,

dari balik tabir dan diutus satu utusan. Disini Abu Zaid membuat konfigurasi

tentang proses turunnya wahyu dari Allah ke malaikat, kemudian dari malaikat

kepada Rasul dengan cara saling bertemu, dengan menggunakan alat komunikasi

berupa Bahasa Arab.

Kedua, Alqur’an mempunyai struktur pembagian ayat perayat dan bab

perbab, suatu pembagian yang biasa dipakai dalam teks-teks buatan manusia.

Selain itu Alqur’an memiliki keterkaitan antar ayat yang satu dengan ayat lainnya

(munasabah baina ayat wa ¡uwar). Ketiga, dalam Alqur’an terdapat ayat yang jelas

(muhkamat) yang berfungsi sebagai penyangga ayat yang tidak jelas (mutashabihat).

Bila ditemukan ayat yang tidak jelas diberikan kesempatan untuk melakukan

takwil sebagaimana yang banyak dilakukan oleh Muktazilah; suatu bahagian yang

tidak terpisahkan dalam rangka untuk memahami teks. Karena itu, seandainya

pendapat keazalian Alqur’an diterima, yakni bahwa Alqur’an bersifat supernatural

dan berdimensi ketuhanan, maka manusia akan merasa sulit untuk mendekatinya.

Pendekatan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuatan

supernatural; suatu syarat yang jarang dimiliki oleh semua orang sehingga

berakibat tertutupnya teks.

Idenya yang lain yang tidak kalah kontraversialnya dengan konsep

Alqur’an adalah pandangannya tentang ushul fiqh Imam Syafi`i. Dalam konsep

ushul fiqh Iman Syafi`i dikatakan bahwa sumber hukum ada empat: Alqur’an,

Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Imam Syafi`i dan para pengikutnya sangat getol

mempertahankan konsep ini, tapi mereka tidak pernah bersikap kritis

mempertanyakan kenapa Imam Syafi`i berpendapat demikian, terutama kenapa

Imam Syafi`i menempatkan Sunnah sebagai sumber hukum yang independen

setelah Alqur’an. Padahal, Imam-Imam lain selain Imam Syafi`i banyak yang

mengatakan bahwa Alqur’an saja sudah cukup untuk dijadikan sumber otoritatif,

disamping kenyataan bahwa apa yang disampaikan Sunnah sebenarnya tidak lepas

dari apa yang ada dalam Alqur’an sendiri. Artinya, Sunnah hanya berfungsi

sebegai penjelas dan penafsir Alqur’an, sehingga tidak pantas di dudukan sebagai

sumber hukum otoritatif yang mandiri.

Menurut Abu Zaid, teks agama sesungguhnya hanya terdiri atas dua

bentuk, “teks primer” dan “teks sekunder”. Teks primer dalam konteks warisan

intelektual Islam adalah al-Qur’an l-Karim, yakni “teks” pertama yang

merepresentasikann peristiwa dalam suatu rangkaian teks yang muncul dan

menumpuk di sekitarnya. Teks sekunder adalah teks-teks yang berfungsi sebagai

penjelas bagi teks primer, yang dalam hal ini adalah Al-Sunnah (al-Sunnah l-

Nabawiyah l-Syarifah). Dengan konsep ini, maka ijtihad-ijtihad yang dilakukan

oleh generasi-generasi berikutnya dikalangan ulama fuqaha’, ahli tafsir dan

seterusnya, bisa dianggap sebagai teks-teks sekunder lain --dari segi ijtihad-ijtihad

Page 7: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

7

tersebut merupakan uraian-uraian dan komentar-komentar terhadap teks primer

pertama, atau terhadap teks sekunder pertama (Sunnah). Atribut yang diberikan

terhadap Sunnah sebagai teks sekunder ini tidak dimaksudkan untuk mengurangi

nilainya, sebab istilah tersebut hanya deskriptif, tidak memuat putusan nilai

apapun. Atas dasar ini, dimungkinkan berbicara mengenai “teks-teks keagamaan”,

dengan hanya konteks saja yang menentukan maksud dari teks-teks keagamaan

tersebut, apakah ia teks dasar, atau teks sekunder penjelas.

Penutup

Dengan metode “analisa wacana” yang didukung pendekatan semiotika

dan hermeneutika, Abu Zaid menawarkan bahwa dalam membaca teks,

memahami dan meinterpretasikannya, sebuah teks hendaknya tidak lagi dianggap

sebagai teks an sich yang lepas dari historis, atau sebuah teks yang mempunyai

otoritas kaku, tapi harus dilihat konteksnya, yakni apa yang dibalik teks itu

sendiri. Bahkan diharapkan dicapai signifikansi teks sehingga bisa menjadi mitra

dialog dalam merumuskan peradaban dan kebudayaan di masa depan.

Abu Zaid menginginkan nuansa ilmu pengetahuan yang berbeda dengan

warisan intelektual klasik, paling tidak perlu adanya perangkat ilmu modern yang

dipakai untuk memahami warisan klasik sehingga terlepas dari “hegemoni teks”

yang mengukung interpretasi selama ini dan merombak pentahbisan hegemoni

teks yang mematikan kreatifitas umat, sehingga sebuah teks bisa ditempatkan pada

konteks historisnya untuk kemudian dicari pengertian obyektifnya.

Apa yang ditawarkan Abu Zaid, sebenarnya, bukan sesuatu yang

sepenuhnya baru. Sebagai perbandingan, Muhammad Arkoun, pernah

menawarkan pemikiran dekonstruksi dengan metode semiotika, juga Fazlur

Rahman menawarkan obyektivitas teks dengan metode penafsiran yang diambil

dari teori hermeneutiknya Gadamer dan Betty. Dalam hal ini, Abu Zaid sendiri,

disamping mempergunakan teori Betti dan Gadamer dalam hermeneutik, ia juga

memakai teori Michel Foucault terutama dalam karyanya al-Nashshu wa l-Sulthah

l-Haqaiq l-Fikr l-Dini, sehingga ia dikritik. Muhammad `Imarah dalam bukunya al-

Tafsir l-Markis Li l-Islam bahwa Abu Zaid ingin merombak sesuatu yang telah baku

dalam pemahaman Islam terutama dalam masalah Aqidah dan Syariah.

Namun demikian, dalam buku yang sama, `Imarah juga menyatakan

bahwa apa yang disampaikan Abu Zaid adalah sebuah sebuah konsep pemikiran

dari kapasitasnya sebagai seorang akademisi, sehingga tidak bisa begitu saja

dikafirkan. Persoalannya, jika sebuah teks harus selalu dihubungkan dengan

konteks, bagaimana dengan teks --Alqur’an atau Sunnah-- yang tidak mempunyai

hubungan lansung dengan konteks? Bagaimana teks yang tidak memiliki Asbab l-

Nuzul dan Asbab l-Wurud?. Disamping itu, keharusan membaca teks dengan

konteks akan bisa menggiring pada relativisme hukum, karena perbedaan konteks

yang satu dengan yang lain dan dari satu waktu dengan waktu yang lain.

Page 8: Analisa Wacana Nasr Hamid Abu Zaid

8

Bagaimana pertanggung jawaban persoalan yang belum jelas ini?