BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI...

33
48 BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI GENDER A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir Muslim kontemporer asal Mesir, yang bernama lengkap Nasr Hamid Rizk Abu Zaid. Sebagai seorang pemikir kontemporer sudah barang tentu ia mempunyai latar belakang hidup dan gaya pikir tersendiri, dan tentunya paradigma atau persepsi tersebut tak lepas dari kultur lingkungan dan pendidikan serta karakter dari leluhur Nasr Hamid Abu Zayd yang telah membentuk corak pemikirannya. 1. Sejarah Singkat, Karir Akademik dan Karya-karyanya Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di Desa Qahafah dekat Kota Thontha ibukota Propinsi al-Gharbiyah Mesir. 1 Orang tuanya memberikan nama Nasr dengan harapan agar ia selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya bertepatan dengan Perang Dunia II. 2 Religiositas dalam lingkungan keluarganya terbangun, karena bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwan al-Muslim dan pernah dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb. Sebagaimana kebiasaan di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai belajar menulis kemudian 1 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi, Jakarta: Hikmah (Mizan Publika), 2003, hlm. 348. 2 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut mu’tazilah, Bandung; Mizan, 2003, hlm 10.

Transcript of BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI...

Page 1: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

48

BAB III

NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI GENDER

A. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

Nasr Hamid Abu Zayd adalah seorang pemikir Muslim kontemporer

asal Mesir, yang bernama lengkap Nasr Hamid Rizk Abu Zaid. Sebagai

seorang pemikir kontemporer sudah barang tentu ia mempunyai latar belakang

hidup dan gaya pikir tersendiri, dan tentunya paradigma atau persepsi tersebut

tak lepas dari kultur lingkungan dan pendidikan serta karakter dari leluhur

Nasr Hamid Abu Zayd yang telah membentuk corak pemikirannya.

1. Sejarah Singkat, Karir Akademik dan Karya-karyanya

Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1943 di

Desa Qahafah dekat Kota Thontha ibukota Propinsi al-Gharbiyah Mesir.1

Orang tuanya memberikan nama Nasr dengan harapan agar ia selalu

membawa kemenangan atas lawan-lawannya, mengingat kelahirannya

bertepatan dengan Perang Dunia II.2

Religiositas dalam lingkungan keluarganya terbangun, karena

bapaknya adalah seorang aktivis Al-Ikhwan al-Muslim dan pernah

dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb. Sebagaimana kebiasaan

di Mesir, anak-anak kecil sudah mulai belajar menulis kemudian

1 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakar Hingga Nasrdan Qardhawi,

Jakarta: Hikmah (Mizan Publika), 2003, hlm. 348. 2 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah Al-Aqly fi Al-Tafsir; Dirosah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi

Al-Qur’an ‘Inda Mu’tazilah, Terj. Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan; Wacana majas dalam Al-Qur’an menurut mu’tazilah, Bandung; Mizan, 2003, hlm 10.

Page 2: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

49

menghafalkan Al-Qur’an. Begitu juga dengan Nasr Hamid, dia mulai

belajar dan menulis semenjak umur empat tahun, kemudian menghafal Al-

Qur’an di Kuttab di desanya Qahafah. Dia mampu menghafal Al-Qur’an

pada usia delapan tahun, karena itulah, kawan-kawannya memanggil

“Syaikh Nasr”.3 Julukan tersebut pantas diberikan kepadanya, melihat

minat dan keseriusan Nasr Hamid kecil, baik dalam menghafal Al-Qur’an,

belajar membaca, menulis, mengaji, dan mendalami ilmu-ilmu agama

yang dapat dikatakan lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak di

lingkungannya.

Di luar pendidikan non formalnya (mengaji), dia juga menempuh

pendidikan formal pada Madrasah Ibtida’iyyah (SD) dan menengahnya di

Thantha kampung halamannya pada tahun 1951. Setamat dari sini, ia

sebenarnya ingin melanjutkan pada sekolah menengah umum, al-Azhar.

Namun orang tuanya tidak menghendakinya, dan akhirnya ia memenuhi

kehendak orang tuanya dengan melanjutkan pendidikannya di sekolah

tekhnologi di Distrik Kafru Zayyad, Propinsi Gharbiyyah.4

Meski gagal masuk di al-Azhar, semangat Nasr Hamid untuk

mempelajari pemikiran Islam tidak surut. Di sela-sela aktifitasnya bersekolah,

ia menyempatkan untuk membaca buku-buku pemikiran Islam. Antara lain

karya Al-Manfaluthy, Yusuf Al-Syiba’iy, Taufiq Al-Hakim, Al-‘Aqqad, Najib

Mahfud dan Taha Husein. Bahkan dia sering mengadakan diskusi dengan

3 Moch. Nur Ichwan, Al-Qur’an sebagai Teks; Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an Nasr

Hamid Abu Zayd, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiran Syamsudin (eds), Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta; Tiara Wacana, 2002, hlm 105.

4 Hery Sucipto, Op. Cit., hlm 349.

Page 3: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

50

pemikir Islam lainnya, semisal Jabir Ushfur, Sayyid Al-Hulwu, Mohammad

Mansi Qindil, Farid Abu Sa’dah, M. Shaleh dan Said Kafrawi.5

Selain aktif di dunia pemikiran dan intelektual, Nasr Hamid juga

aktif dalam dunia gerakan. Langkah bapaknya yang aktif di Al-Ikhwan al-

Muslimun kemudian diikuti oleh Nasr Hamid. Di usianya yang masih

belia pada umur sebelas tahun, ia bergabung dengan al-Ikhwan al-

Muslimun yang dipimpin Sayyid Quthb pada tahun 1954. Bertepatan

dengan semakin kuat dan menyebarnya gerakan al-Ikhwan yang hampir

memiliki cabang di setiap desa.6 Dalam aktifitasnya mengikuti gerakan ini,

dia pernah dijebloskan dalam penjara.

Ia harus merasakan tahanan penjara selama satu hari disebabkan

namanya tercantum dalam daftar anggota ketika pihak keamanan negara

melakukan serangkaian penangkapan terhadap para aktifis Ikhwan. Tetapi

karena usianya masih di bawah umur, akhirnya dia dibebaskan dari

penjara.

Pada awalnya, dia tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutbh dalam

bukunya al-Islam wa al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah (Islam dan Keadilan

Sosial). Khususnya yang menekankan pada aspek keadilan dalam

menafsirkan Islam.7 Tetapi, dalam pengembaraan intelektualnya, akhirnya

ia pun berbalik arah dengan mengkritik pemikiran-pemikiran Sayyid Qutbh.

5 Ibid. 6 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Ittijah, Op. Cit., hlm 11. 7 Moch. Nur Ichwan, Op. Cit., hlm 15-16.

Page 4: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

51

Setelah kematian bapaknya, ketika ia berusia empat belas tahun

(Oktober 1957), dia menjadi tumpuan harapan orang tuanya dan harus

bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Pada tahun 1960, dia

telah meraih gelar diploma teknik. Namun keinginannya untuk

melanjutkan ke sekolah menengah umum pun tidak pernah surut hingga

akhirnya lulus ujian akhir persamaan. Dan pada tahun 1961, dia mulai

bekerja sebagai teknisi di dinas perhubungan.8

Di tengah-tengah aktifitas bekerja, dia juga rajin menulis artikel.

Pada tahun 1964 artikel pertamanya terbit dalam sebuah jurnal yang dipimpin

oleh Amin al-Khulli, al-‘Abad. Ini adalah awal hubungan dia dengan seorang

pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan tentang

pendekatan susastra (al-manhaj al-adabi) atas teks Al-Qur’an. Tokoh inilah

yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran dia di kemudian hari.

Pada tahun 1968, Nasr Hamid melanjutkan studinya ke Fakultas

Adab, Jurusan Bahasa Arab di Universitas Kairo. Sambil tetap bekerja di

siang hari dan masuk kuliah di malam hari.

Pada tahun 1972, dia lulus dengan predikat cumlaude sehingga

dia diangkat sebagai dosen tidak tetap (asisten dosen) di almamaternya.

Dia mengakui bahwa daya analisis dan kritisnya tumbuh ketika menjadi

mahasiswa di perguruan tinggi tetapi dia juga tidak menafikan pengalaman

dan petualangannya sebelum menjadi mahasiswa juga cukup berperan

8 Nasr Hamid Abu Zayd, al-Ittijah, Op. Cit., hlm. 10.

Page 5: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

52

dalam menata masa depannya. Sejak itulah kurang lebih pada tahun 1961-

1972, wataknya beralih dari watak teknisi menjadi watak akademisi.9

Pada tahun 1992, Nasr Hamid diusulkan untuk dipromosikan

menjadi profesor (al-ustadz). Akan tetapi promosinya tersebut ditolak

karena tesisnya dianggap telah keluar dari nilai-nilai ajaran Islam. Sejak

itu, tepatnya 16 Desember 1993, bermula dari sidang di suatu forum

“Universitas Kairo” menyebar hujatan yang ditujukan kepadanya.

Terutama dilakukan oleh Dr. Abdus Shabur Syahin sebagai penilai

(muqarrir) terhadap makalah-makalah yang terbit di beberapa jurnal kecil,

buku-buku yang diajukan Nasr Hamid. Dr. Syahin menilai karya-karya

kritis Nasr Hamid berkadar keilmiahan rendah dan telah keluar dari batas-

batas keimanan. Menurutnya, ajakan Nasr Hamid kepada umat Islam

untuk membebaskan diri dari kekuasaan teks merupakan sebuah ajakan

untuk meninggalkan Al-Qur’an dan Sunnah.10

Opini tentang kekafiran Nasr Hamid oleh Dr. Syahin

dikumandangkan ke seluruh Mesir melalui koran, majalah, bahkan

dijadikan tema dalam khotbah jum’at di Masjid. Selanjutnya penilaiannya,

diikuti oleh penulis-penulis taqrir (penilaian) lainnya seperti Dr.

Muhammad Baltaqi, Dr. Ismail Salim, Dr. Sya’ban Ismail, Dr.

Muhammad Syu’kah. Hal ini memaksa pengadilan menjatuhkan vonis

9 Ibid, hlm. 11. 10 Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Imam as-Syafi'i wa Ta’sis al-Aidulujiyah al-Wasathiyah, terj.

Khairon Nahdliyin, Imam Syafi'i: Moderatisme Eklektisisme Arabisme, Yogyakarta: LKiS, 1997, hlm. vi.

Page 6: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

53

“murtad” dan harus bercerai berai dengan istri tercintanya, serta

konsekuensi-konsekuensi lain dari kemurtadan.11

Kasus Nasr Hamid membuat gempar Mesir dan dunia Islam pada

umumnya. Namun di tengah rintangan yang bertubi-tubi menimpa dirinya,

malahan tidak menyurutkan minatnya menghasilkan karya-karya ilmiah

kontemporer. Bahkan mendapat penghargaan dari presiden Tunisia

sebagai The Republican Order of Merit for the Service to Arab Culture.

Kemudian dalam bukunya al-Mar’ah fi al-Kitab al-Azmah (Perempuan

Dalam Wacana Krisis). Ia melakukan kritik terhadap wacana patriarkhal

tradisional tentang umumnya perempuan-perempuan di dunia Arab Islam.

Pemikiran Nasr Hamid, juga tidak dapat lepas dari konteks

wacana agama kontemporer dalam menyikapi turats (warisan intelektual)

dan gelombang tajdid (pembaharuan). Wacana keagamaan dihadapkan

pada posisi dilematis antara memperhatikan identitas diri dan modernisasi.

Desakan dari proses modernisasi, telah memunculkan reaksi kuat dari

kelompok Islam radikal dengan menyerukan diterapkannya syari’at Islam

dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara di sisi lain juga muncul

tuntutan untuk menjadikan Islam sebagai basis ideologi. Seruan ini

dilakukan oleh Islam moderat sebagai umpan balik dari Islam ekstrim.12

Pada tahun 1955, di tengah kecaman yang tidak kunjung reda, Nasr

Hamid memperoleh ke-Profesor-an penuh (Guru Besar). Setelah

11 Ibid, hlm. vii. 12 Sahiron Syamsudin, et. all., Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya, Yogyakarta:

Islamika, 2003, hlm. 105.

Page 7: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

54

menyelesaikan beberapa karyanya dan menyerahkan sembilan tulisannya

kepada panitia promosi yang pada hakekatnya merupakan panitia baru. Baru

setelah itu, ia kemudian mengasingkan diri bersama istrinya untuk melanjutkan

karier akademiknya sebagai profesor tamu di Lieden University Belanda.

Selama di Negeri Kincir Angin itu, ia mendapatkan kebebasan

penuh untuk membangun sikap kritisnya. Untuk pertama kalinya Nasr

Hamid yang juga bertipikal feminis (Moslem Feminisme) menuangkan

pemikirannya dalam Dawa’ir al-Khauf; Qira’ah fi Khitab al Mar’ah

(Lingkaran Ketakutan; Pembacaan Atas Wacana Perempuan). Buku ini

muncul saat berada di pengasingan dan dipersembahkan secara khusus

bagi istri tercintanya DR. Ibtihal Yunis yang dengan penuh kerelaan dan

kesetiaan mendampingi di pengasingan. Ia merespon wacana perempuan

Arab-Islam yang masih membelenggu dengan kultur patriarkhi tradisional

yang masih dominan.13

Nasr Hamid merupakan sosok diri yang kritis. Dari setting

keilmuannya, fakultas sastra dan melengkapi kerja intelektualnya dengan

perangkat metodologi “analisa wacana”. Semangat utamanya dalam

membaca kembali warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks-teks

keagamaan yang berinteraksi dalam wacana tertentu yang bersifat

ideologis. Artinya, kajian tidak berhenti pada terpahaminya makna literal

13 Nasr Hamid Abu Zaydd, Dawa’ir al-Khauf; Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah, terj. Nur

Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender; Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Samba, 2003.

Page 8: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

55

dari teks namun melangkah ke luar menguak signifikansi sosal, ekonomi,

politiknya.

Seiring dengan wacana agama yang berkembang, pasca munculnya

karya Dawa’ir al-Khauf lahirlah beberapa karya-karya monumentalnya.

Baik hasil pemikirannya semasa ia di Mesir maupun selama di Belanda.

Nasr Hamid memandang perlu pembacaan ulang terhadap ilmu-ilmu Al-

Qur’an tradisional secara kritis dan dilandasi kesadaran ilmiah terhadap

turats.

Ada dua tujuan utama dalam upayanya tersebut.14 Pertama,

merajut kembali hubungan antara kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian

sastra dan kajian-kajian kritis. Kedua, upaya mendefinisikan konsep Islam

secara objektif agar tidak terjebak dalam kepentingan–ideologis.

Wal hasil, munculnya berbagai kontroversi seputar Nasr Hamid

dengan ulama di Kairo Mesir bahkan mungkin dunia Islam pada umumnya

adalah kewajaran. Oleh karena tipologi pemikiran yang dimunculkan

dengan pendekatan linguistik, semiotik, dan hermeneutik merupakan hal

baru. Adanya perbedaan penafsiran (interpretasi) dan cara pandang

terhadap wacana agama sebaiknya dijadikan sebagai rahmatal lil ‘alamin.

2. Geneologi Pemikiran

Sebagaimana pemikir Muslim kontemporer lainnya, seperti

Fazlur Rahman, ‘Abid al-Jabiri, Muhammad Syahrur, dan Muhammad

14 Nasr Hamid Abu Zaydd, Mafhum an-Nash Dirasah fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Khoiron

Nahdliyyin, Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. 14.

Page 9: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

56

Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd juga berusaha memadukan tradisi berfikir

keilmuan kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan

metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Upaya pembaharuan (al-tajdid) Nasr Hamid terhadap tradisi

(turats) tidak bisa dilepaskan dari konteks wacana keagamaan

kontemporer, terutama di dunia Arab–Islam. Menurutnya kesadaran ilmiah

terhadap tradisi akan dapat melahirkan perangkat yang efektif dalam

melawan gagasan konservatisme dan merupakan prasyarat mendasar bagi

keberhasilan kebangkitan dan pembaruan. Gagasan pembaruan itu

diwujudkan ketika umat Islam terbingkai –dalam bahasanya Nasr Hamid–

dalam peradaban teks. Oleh karena itu, menurutnya salah satu upaya

mengubah pandangan umat Islam, termasuk dalam memandang

perempuan, adalah dengan melakukan pembacaan dan penafsiran ulang

terhadap teks-teks keagamaan.15

Dalam konteks ini, wacana agama menghadapi tantangan dari

proses modernisasi. Di mana pada tingkat sosial, ekonomi, politik,

kultural, dan intelektual telah memaksa mereka bersikap moderat atas

nama pembaruan dan menjadikan Islam sebagai basis ideologinya.

Tentunya fenomena ini tidak saja berimplikasi pada tingkat sosial,

ekonomi, budaya, dan politis, tetapi juga pada teks-teks keagamaan itu

sendiri. Teks lalu berubah fungsi (menjadi konsumsi sosial, politik, dan

15 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. viii.

Page 10: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

57

kultural) dan pembacaan teks menjadi tidak produktif (muntijah) tetapi

tendensius–ideologis (mugridah–talwiniyyah).16

Nasr Hamid dari sisi pemikiran banyak dipengaruhi oleh para

pemikir yang mengikuti trend kritik sastra sebagaimana telah disebutkan

pada sejarah singkat, karier akademik dan karya-karyanya. Perspektif yang

paling mendesak dalam kajian susastra (balaghoh) adalah wacana tentang

majas yang menghendaki analisis historis yang independen, terutama jika

dikaitkan dengan signifikansi Al-Qur’an dalam membentuk ungkapan

sastra yang unggul (al-i’tibar al-baligh).17 Oleh karena itu Nasr Hamid

berusaha memperbaharui konsep nash (mafhum an-nash) Al-Qur’an, yang

menurutnya bisa dipandang sebagai teks sastra Arab yang teragung dalam

sejarah (kitab al-fanni al-‘Arabi al-aqdas).18

Nasr Hamid juga pernah belajar dari Sayyid Qutbh (1906–1966),

pemimpin gerakan islamis moderat (Al-Ikhwan Al-Muslimin). Tetapi

pemikiran Sayyid Qutbh tidak dikembangkan oleh Nasr Hamid. Bahkan pada

akhirnya dia tidak sepakat dengan pola pikir yang dikembangkan oleh

organisasi tersebut. Dan dia lebih condong pada pemikiran kelompok-

kelompok sekularis yang diwakili oleh Syaikh ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Thoha

Husayn, Zaki Najib Mahmud, Mahmud Nuwayhi, Muhammad ‘Abduh, Fu’ad

Zakariya, Faraj Fudah, Muhammad Sa’ad Al-‘Asymawi dan Hasan Hanafi.

16 Sahiron Syamsuddin, Loc. Cit. 17 Nasr Hamid Abud Zayd, Al-Ittijah, Op. Cit., hlm. 19. 18 Sahiron Syamsuddin, et. all., Op. Cit., hlm. xx.

Page 11: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

58

Artinya, latar belakang dari lingkungan tempat ia bertempat

tinggal dan universitas Kairo yang menjadikan pergulatan bagi tumbuh

berkembangnya pemikiran, ditambah lagi berkecimpungnya dengan teori

interpretasi dan hermeneutika Barat sangat berpengaruh dalam membentuk

corak pemikiran yang dikembangkan melalui perangkat analisisnya.

Berawal dari pergulatannya mencari jati diri dalam hal pemikiran

maka muncullah semangat untuk melakukan pembacaan ulang (re-

reading) terhadap Islam secara objektif. Mengingat “teks-teks keagamaan”

seperti karya-karya Imam Madzhab merupakan warisan intelektual Islam

yang dibentuk dalam bingkai historis dan idiologis dalam konteks sosio–

kultural saat itu. Seiring dengan perubahan waktu dan jaman, tidak

mungkin saat ini memahami Islam sebagaimana yang dipahami Imam

Madzhab tersebut. Oleh karena itu diperlukan pembacaan kembali warisan-

warisan intelektual (turats) untuk dapat diperoleh signifikansi sosial,

ekonomi dan politiknya sehingga pengertian dan pemahaman objektif terhadap

Islam dapat diwujudkan.

Dengan berbagai pendekatan barunya, terutama bidang linguistik,

Nasr Hamid berusaha memahami teks dengan pemahaman ilmiah, bukan

pemahaman yang gaib–mitologis. Ia memperlakukan teks (nash) sebagai

produk budaya (muntaj tsaqafi), yang berpijak pada metode yang dilandasi

realitas dalam memahami teks dengan analisis kritisnya. Maka dialektika

antara teks dan realitas budaya diistilahkan dengan semiotika Al-Qur’an.

Page 12: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

59

Semiotika –sebagaimana pemaparan M. Shohibuddin19 mengutip–

pendapat Nasr Hamid ada dua pengertian; pertama, terlepas dari sumber

ilahiyahnya. Teks Al-Qur’an mendasarkan acuannya pada sistem

kebahasaan kolektif yang melatarinya, yaitu bahasa Arab, terutama dalam

penggunaan historisnya di Jazirah Arab abad 6 M. Dalam arti ini, teks Al-

Qur’an sesungguhnya hanya bagian saja dari “semiotika sosial” yang

berlaku pada zamannya dan mendapatkan pengertiannya disana. Kedua,

dalam pada itu, teks Al-Qur’an sebagai pengungkapan individual

(“parole”/kalam) dari sistem kebahasaan kolektif (“language”/lisan),

bukanlah teks yang pasif dan menyalin begitu saja apa yang sudah baku

dan mapan dalam realitas, melainkan teks yang mampu menciptakan

sistem linguistiknya sendiri yang spesifik, yang bukan saja menyimpang

dari bahasa induknya tetapi juga mengubah dan mentransformasikannya

dalam gerak realitas sosial–historis.

Dari kedua pengertian itu, kemudian Nasr Hamid membedakan

dua fase teks Al-Qur’an –bukan memisahkan– karena teks yang sejati

yakni teks yang mampu membebaskan dari konteks semula, kemudian

memunculkan karakternya sendiri serta terlepas dari norma-norma yang

berasal dari luar. Dua fase teks Al-Qur’an yang menggambarkan interaksi

dan dialektika teks dengan realitas sosial–budayanya. Pertama, ketika teks

mengkonstruksikan dirinya secara struktural dalam sistem budaya, di

mana sistem bahasa merupakan bagiannya sebagai periode keterbentukan

19 Ibid. hlm. 112–113.

Page 13: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

60

(marhalah at-tasyakkul) sebagai produk kebudayaan. Kedua, fase ketika

teks membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem budaya, yaitu dengan

menciptakan sistem kebahasaan spesifik yang menyimpang dari bahasa

induksinya, yang menimbulkan efek perubahan pada sistem kebudayaan

lain sebagai periode pembentukan (marhalah at-tasykil). Teks yang

semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen

kebudayaan.20

Adalah semangat utama yang kemudian menggerakkan Nasr

Hamid untuk membaca warisan-warisan intelektual Islam sebagai “teks

keagamaan” yang bereaksi di dalam wacana tertentu yang selama ini

bersifat ideologis. Artinya kajian ini tidak berhenti pada terpahaminya

makna literal teks, tetapi juga melangkah jauh keluar untuk melihat

signifikansi sosial-ekonomi-maupun politiknya.

Dari sini dapat dipahami bahwa Nasr Hamid menggunakan

metode analisis wacana.21 Karena ia menyadari bahwa selama ini telah

terjadi hegemoni teks yang secara tidak sadar dilakukan oleh kelompok

yang mengatasnamakan penjaga tradisi intelektual Islam yang hanya

bisa menjelaskan isi teks tanpa dibarengi dengan tinjauan secara kritis.

Perlunya analisis wacana memang karena dijumpai banyak kelemahan

20 Ibid. 21 Analisis wacana digunakan oleh Nasr Hamid sebagai perangkat ideologinya. Hal ini

dilakukannya, berawal dari semangat dalam upayanya mengkaji tradisi, khususnya tradisi keagamaan (at-Turats ad-Dini). Misalnya, mengenai konteks wacana tradisional, terbetik dalam pemikiran Nasr Hamid untuk mempertanyakan “konsep teks” dan problematika interpretasi. Lihat Khoiron Nahdiyyin (Pengantar Redaksi), dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Dini, terj. Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: Lkis, 2003, hlm. xvi

Page 14: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

61

tafsir. Sehingga dapat ditekankan, analisis wacana memberikan akar

metodologi guna melakukan ijtihad yang terlepas dari belenggu

ideologis-mitologis yang berkembang.

B. Dekonstruksi Gender Nasr Hamid Abu Zayd

Sebelum masuk pembahasan, perlu dijelaskan lebih dahulu bahwa

yang dimaksud dengan istilah dekonstruksi gender ini bukanlah meninjau

kembali apakah gender dalam Islam diperlukan atau tidak. Akan tetapi, ia

lebih diarahkan kepada penyorotan benang kusut posisi dan peran perempuan,

baik dalam ranah domestik maupun publik, dengan mengajukan sebuah

kerangka gagasan dari nilai-nilai humanisme. Tentunya dalam hal ini, tidak

bisa lepas dari pembacaan kembali (re-reading) terhadap Al-Qur’an sebagai

kitab suci dengan semangat pembebasan.

Makna-makna patriarkis dan misoginis yang diklaim berasal dari Al-

Qur’an merupakan hasil dari siapa, bagaimana, dan dalam konteks apa orang

membaca dan menyimpulkannya. Makna-makna itu juga terkait erat dengan

peran masyarakat penafsir dan negara dalam membentuk pengetahuan dan

otoritas keagamaan yang memungkinkan diterapkannya model pembacaan yang

patriarkis dan misoginis. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa praktek

kebudayaan Muslim yang selama ini bercorak patriarkis dan misoginis pada

dasarnya bukan bersumber dari teks kitab suci melainkan dari penafsirannya.

Kritik Nasr Hamid atas wacana perempuan dalam Islam merupakan

bagian dari upaya dekonstruksi gender-nya yang dapat dijumpai dalam master

Page 15: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

62

piece-nya Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah,22 di samping itu

juga karya-karyanya yang lain.23 Tulisan kritik wacana perempuan dalam

Islam ini muncul setelah ada dorongan dari sahabat karibnya Prof. Hasan

Yagi, seorang direktur penerbitan di pusat kebudayaan Arab (al-Markaz as-

Saqafi al-‘Arabi) melalui pertemuannya di dalam pameran buku internasional

Frankfurt. Pada saat itulah Nasr Hamid menyerahkan semua tulisannya dalam

bahasa Arab –baik yang sudah dipublikasikan maupun yang belum– di mana

sebagian besarnya ditulis sebelum dikeluarkannya “vonis pengadilan”

terhadap aspek-aspek pemikirannya.24

Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam

wacana keagamaan adalah wacana tentang perempuan yang bersifat sektarian-

rasialistik, dalam pengertian bahwa ia memperbincangkan keabsolutan

perempuan dan menempatkannya dalam hubungan komparatif dengan

keabsolutan laki-laki. Ketika suatu pola hubungan bahwa antara laki-laki dan

perempuan saling berhadapan atau bertentangan telah terdefinisikan, dan dari situ

salah satunya harus tunduk dan takluk pada yang lain dan masuk secara patuh ke

22 Dijumpai upaya dekonstruksi gender oleh NasrHamid Abu Zayd meliputi issu penting

dalam wacana feminisme Muslim. Diawali dengan prolog yang meninjau kembali kisah Adam dan Hawa yang berkembang dalam masyarakat, dengan melakukan kritik terhadap penafsiran at-Tabari terhadap kisah itu yang dianggapnya banyak bersumber dari Bibel. Hal ini menghantarkan dekonstruksi gender-nya yang terbagi dalam dua bagian, yakni pertama: perempuan dalam wacana krisis. Bagian kedua; kekuasaan dan hak: idealitas teks dan krisis realitas. Yang masing-masing terdiri dari beberapa bab. Lebih jelasnya lihat dalam NasrHamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf: Qira’ah fi Khitab al-Mar’ah, Terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: SAMHA, 2003.

23 Karya-karya yang mendukung karakteristik analisisnya dalam Dawair al-Khauf juga dipengaruhi oleh karya terdahulunya tentang perempuan yang berjudul al-Mar’ah fi Khitab al-Azmah (Perempuan di dalam wacana krisis) di Kairo pada 1994. Kemudian teks al-Ittijah al-‘Agli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat al-Majaz fi Al-Qur’an ‘Inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam tafsir, studi problem metafor menurut Mu’tazilah).

24 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawair al-Khauf …, Op. Cit., hlm. xxxiv

Page 16: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

63

dalam wilayah otoritasnya. Menurutnya, di dalam penekanan wacana “ekualitas”

(al-musawah) dan “kemitraan” (al-musyarakah) adanya rasa superior, yakni

wacana tentang sentralitas laki-laki. Ketika perempuan dikatakan mempunyai

posisi sejajar maka yang dimaksud adalah kesejajaran yang diukur dengan ukuran

laki-laki. Dan ketika perempuan dibolehkan bekerjasama maka yang dimaksud

adalah bahwa ia mengabdi kepada laki-laki.25

Kritik Nasr Hamid terhadap wacana perempuan dalam Islam

dilakukan melalui ijtihadnya mengenai pemahaman, interpretasi dan tafsir

aqidah berangkat dari kesadaran yang tidak mungkin diingkari oleh kaum

muslimin, baik historis, sosiologis, politis, intelektual, dan kultural. Dengan

mempublikasikan kajian-kajian mengenai metodologi tafsir dan takwil di

dalam budaya Arab-Islam pada satu sisi dan Barat-Kristen pada sisi yang

lain.26

Nasr Hamid melontarkan kritik sebagai implementasi dari ijtihadnya

itu dengan bahasa yang terang-terangan tanpa ditutup-tutupi sebagaimana

pengakuannya dalam pengantar buku.27 Di dalam keterusterangannya ia

berpijak pada dua titik tolak utama. Pertama, kepercayaan yang mendalam

akan solidaritas Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia jika didasarkan

25 Ibid, hlm. 3. 26 Nasr Hamid Abu Zayd membedakan antara tafsir dan takwil, yakni; al-tafsir berarti

mengungkap sesuatu yang tersembunyi melalui tanda yang bermakna bagi mufassir melalui mana ia dapat sampai pada makna yang tersembunyi atau samar. Sedang al-ta’wil berarti kembali kepada sesuatu (perbuatan atau perkataan) untuk menyingkap makna yang ditujukan (dilalah) atau sumber (al-ashl), dan signifikansi (al-maghza) atau implikasi (al-‘aqibah). Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 59

27 Ibid, hlm. xxvi.

Page 17: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

64

atas akal dan kekuatan argumen dan lemah serta kacaunya Islam. Kedua,

dengan adanya iman pada diri seseorang tidak menjauhi pemahaman,

penjelasan dan interpretasi karena kepastian-kepastian iman keagamaan adalah

aqidah dan ibadah. Adapun pengujian dan hipotesis dilakukan melalui dua

pendekatan: pertama, membaca apa yang ditulis ulama terdahulu. Kedua,

memperbincangkan pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer.

Hal tersebut dilakukan, mengingat tradisi pemikiran yang sebelumnya

dilakukan dengan pembacaan kritis dengan wujud karya-karya monumentalnya

dalam konteks ruang lingkup dan interaksi budayanya, harus kehilangan makna

daya kritisnya akibat ketertundukan pada belenggu tradisi yang diyakini

kebenaran sahihnya. Sehingga kecenderungan untuk sekedar mengulang-ulang

bahkan meringkasnya tampak lebih dominan dibandingkan dengan upaya kritis

membaca kembali warisan-warisan intelektual (turats) dalam konteks kekinian.

Dengan demikian, kajian gender tentang perempuan dalam Islam

mutlak dilakukan pembacaan ulang. Bahwa selama ini kajian gender yang

terkodifikasi hanya sekedar kutipan dan ringkasan dari apa yang sudah

dilakukan ulama terdahulu, semisal dari an-Nawawi dalam kitabnya, Uqudul

Lujain fi Bayani Huquqi Zaujain, tanpa mau melihat setting sosialnya, di

mana tantangan kultural dan sosiologis masa sekarang sangat berbeda jauh

dari tantangan yang pernah dihadapi pada masa silam ketika tersusunnya

karya tersebut.

Realitas adanya perubahan kondisi sosial dan membaiknya

kedudukan perempuan dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan

Page 18: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

65

untuk membaca teks-teks keagamaan dalam makna historisnya dengan

maksud menemukan esensi dan mengungkapkan yang tetap (immutable),

ketentuan-ketentuan yang tidak bisa berubah (unchangeable dictates) yang

tersembunyi di balik kesementaraan dan perubahan.28

Konteks sosio-kultural mempunyai andil besar dalam menafsirkan

sebuah kitab ( Al-Qur’an). Ketika “teks” harus dipaksa untuk berpisah dengan

kondisi obyektif-historisnya ke dalam wilayah politik untuk melindungi dari

kehancuran dan kemusnahan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, Al-Qur’an

akhirnya hanya menjadi mushaf yang kering dan terpisahkan antara teks dan

realitas.29 Imbasnya teks-teks agama mengalami transformasi dari obyek yang

harus dipahami dan ditafsirkan sekedar menjadi hiasan yang antik.

Padahal, seperti apa yang dikatakan oleh Nasr Hamid bahwa Al-Qur’an

sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi) dan pada akhirnya membentuk budaya

(muntij tsaqafi) yang mempunyai peluang untuk dikaji dan ditafsirkan, karena

ekspresi hubungan dialektiknya antara teks budaya dan realitas dengan konteks

historisnya. Al-Qur’an itu sebenarnya historis meski di dalamnya ada kehendak

Tuhan yang suprahistoris. Al-Qur’an itu sendiri historis karena diturunkan di tanah

Arab dengan menggunakan bahasa Arab yang digunakan saat itu.

Selanjutnya, implikasi dari paradigma yang bersifat pasif terhadap

warisan intelektual (turats) Arab-Islam dalam kajian gender menjadi jalan di

tempat (stagnant) tanpa tersentuh sedikitpun upaya pembaruan (al-tajdid). Hal

28 Ibid, hlm. 42. 29 Makna teks (nash) dengan mushaf (buku) terdapat perbedaan. Distingsi teks lebih

merujuk kepada “makna” (dalalah) yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi sedangkan mushaf lebih merujuk kepada “benda” baik yang bersifat estetik maupun mistik.

Page 19: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

66

itu disebabkan adanya kecenderungan berpegang pada tradisi lama

(konservatif) yang masih sangat kuat.

Persoalan teks menjadi sangat penting dalam peradaban umat Islam.

Ada beberapa hal yang menjadi titik pijakan. Pertama, bahwa sumber hukum

Islam termanifestasikan dalam wujud teks ( Al-Qur’an dan Hadits); kedua,

sebagai pedoman hidup (way of life) umat Islam yang juga peraturannya

tertuang dalam teks; ketiga, peradaban Arab-Islam adalah peradaban teks

sebagaimana ungkapan Nasr Hamid Abu Zayd.

Menurut Nasr Hamid, Al-Qur’an merupakan pesan (risalah) dari

Allah SWT kepada Nabi Muhammad yang meniscayakan adanya proses

komunikasi antara pengirim dan penerima melalui kode, atau sistem bahasa.

Dalam penggunaan bahasa inilah tidak akan mungkin lepas dari budaya yang

telah berkembang di masyarakat tersebut. Watak risalah (pesan) yang

terkandung dalam teks hanya dapat dipahami melalui analisis fakta-fakta

bahasanya dalam bingkai realitas di mana teks terbentuk.

Untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an merupakan teks yang dapat

dipahami melalui bahasa (linguistik), maka ia menunjukkan adanya proses

komunikasi antara komunikan (Allah) dan makhluk sebagai komunikator.

Melalui malaikat Jibril sebagai media perantara untuk menyampaikan wahyu

(Allah) kepada penerima wahyu (Muhammad) untuk manusia. Akan semakin

jelas dengan menunjukkan watak dan karakteristik tekstualitas Al-Qur’an

yang terekspresikan dalam Al-Qur’an sendiri. Ada tiga hal yang menunjukkan

watak tekstual Al-Qur’an. Pertama, Al-Qur’an merupakan risalah wahyu di

Page 20: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

67

mana pewahyuannya merupakan proses komunikasi yang melibatkan pengirim

(Allah), penerima (Muhammad), perantara (malaikat Jibiril), dan kode

komunikasi (bahasa Arab). Kedua, antara urutan surat serta ayatnya yang

berbeda dengan kronologis turunnya wahyu Al-Qur’an. Dalam hal ini,

persoalannya bukan siapa yang menyusun Al-Qur’an, tetapi mengapa dan atas

dasar norma dan nilai apa Al-Qur’an disusun kembali?, bagaimana korelasi

antar ayat satu dengan ayat yang lain atau dengan surat? Sebuah genre spesifik

dalam ilmu Al-Qur’an antara ayat dan surat (ilmu munasabah). Hal demikian

memungkinkan antara pembaca teks dan teks itu sendiri berinteraksi secara

aktif. Ketiga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an itu sendiri,

terdapat ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat mutasyabih. Satu ayat tertentu yang

dianggap muhkam dan mutasyabih oleh seseorang atau kelompok tidak

demikian halnya bagi yang lain atau sebaliknya, hal demikian menjadikan teks

lebih dinamis.30

Fakta yang tak terbantahkan adalah ada perbedaan karakter antara

ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah dan ayat-ayat Al-Qur’an

yang diturunkan di Madinah. Sebagaimana diungkapkan Ahmad Abdullah an-

Naim, pesan ayat-ayat Mekkah merupakan pesan Islam yang abadi dan

fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh manusia,

tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan keagamaan, ras dan

lain-lain. Persamaan laki-laki dan perempuan, kebebasan penuh untuk

memilih dalam beragama sangat dijunjung tinggi dalam era ini. Prinsip yang

30 Sahiron Syamsuddin, Op. Cit., hlm. 108.

Page 21: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

68

diterapkan adalah ishmah, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman ataupun

paksaan. Sedangkan ayat-ayat Madinah mengandung pesan kompromi praktis

dan realistik. Semacam ini lebih popular dengan sebutan, periode Mekkah

merupakan ayat-ayat universal-egalitarian-demokratik, sedangkan ayat-ayat

Madinah merupakan ayat-ayat sektarian-diskriminatif.31

Berangkat dari rumusan bahwa teks, tak terkecuali Al-Qur’an adalah

produk budaya masyarakat yang tidak lepas dari konteks sosiokulturalnya,

Nasr Hamid menjelaskan tentang cara memahami teks agar menghasilkan

“sesuatu” yang objektif. Rumusan ini berawal dari konsep wacana agama

kontemporer yang berkembang di Mesir. Bahwa wacana agama yang

berkembang di Mesir sarat dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan

selalu mengklaim benar (truth claim) atas wacana agama yang dikembangkan.

Serta adanya beberapa kelompok atau golongan yang bertarung dalam

masalah wacana agama tersebut. Dari aliran kiri sampai aliran kanan, Islam

tekstualis dan Islam rasionalis, Islam tradisional dan Islam sekuler, serta Islam

salafiyun dan Islam kontemporer. Melihat kondisi semacam ini, gerah juga

dan akhirnya masuklah ia ke dalam gelanggang pertarungan pemikiran dengan

melakukan kritik terhadap wacana agama yang berkembang.

Salah satu kritiknya adalah terhadap wacana perempuan dalam Islam. Di mana

argumentasi sejarah digunakan oleh Nasr Hamid dalam melihat bagaimana Islam

berbicara tentang gender pada umumnya dan perempuan pada khususnya. Argumentasi

31 Dalam pengantar Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah; Wacana Kebebasan

Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. VIII-IX.

Page 22: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

69

sejarah yang dimaksud adalah pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang

berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan

tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Menurutnya, salah

satu aspek penting yang diabaikan dalam problematika teks agama yang barangkali

secara umum paling penting adalah dimensi sejarah teks-teks tersebut. Demensi sejarah

di sini bukanlah ilmu sebab-sebab turun (asbabun-nuzul) –hubungan teks dengan realitas

atau ilmu an-nasakh wa al-mansukh– mengubah hukum karena perubahan situasi dan

kondisi –atau ilmu–ilmu Al-Qur’an lainnya.32

Dimensi sejarah yang dimaksud oleh Nasr Hamid berkaitan dengan

historisitas konsep-konsep yang dilontarkan teks melalui aspek tersuratnya.

Historisitas bahasa, terletak pada sosiologitasnya. Dengan membaca konsep

historisitas bahasa Nasr Hamid, dapat dipahami bahwa dimensi sosial sangat

berpengaruh terhadap karakter teks, dan apabila dimensi sosial ini diabaikan maka

makna teks juga akan terabaikan. Ia juga memberi catatan bahwa berpegang teguh

pada historisitas teks bukan berarti menunjukkan ketidakmampuan teks untuk

memproduksi makna, atau tidak mampu untuk berbicara pada masa berikutnya atau

kepada masyarakat lain. Hal ini disebabkan dalam melakukan pembacaan teks

didasarkan pada dua mekanisme yang integral, yakni: menyembunyikan (al-ikhfa’)

dan menyingkap (al-kasyaf).33 Dalam artian menyembunyikan sesuatu yang tidak

substansial dan menyingkap sesuatu yang substansial.

32 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab ad-Dini, terjemahan Khoirun Nahdiyin, Kritik

Wacana Agama, Yogyakarta; LKiS, 2003, hlm. 85 33 Ibid, hlm. 86.

Page 23: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

70

Argumentasi sejarah yang berkaitan dengan politik tekstual dalam Islam

tampak, misalnya, ketika Nasr Hamid mencoba menguraikan hubungan Al-

Qur’an dan tafsirnya. Menurut dia, ada dua moment yang berdialektika antara

satu sama lain. Pertama, perlu menemukan kembali makna asli (dalalat al-

ashliyyat) dari teks dalam konteks sosio–hstoris kemunculannya. Kedua,

mengklarifikasi berbagai bingkai sosiologis budaya sekarang ini dan tujuan

praktisnya mendorong dan mengarahkan berbagai penafsiran, sehingga dapat

membedakan kandungan ideologis interpretasi dari makna orisinil historisnya.34

Sebuah pembacaan produktif mencapai hasil, ketika kedua langkah ini diletakkan

berhubungan satu sama lain dalam sebuah “dialektika” yang tanpa henti.

Selanjutnya, Nasr Hamid menjelaskan bahwa pembacaan produktif

dalam memaknai ulang (reinterprestasi) Al-Qur’an didasarkan pada dua konsep

penting yaitu makna (dalalah) dan signifikansi (maqhza). Kedua hal tersebut

harus tetap berdialektika terus menerus tanpa henti. Karena upaya untuk

melakukan pembacaan produktif dalam mencapai makna dapat dilakukan melalui

penyingkapan makna. Penyingkapan makna mencerminkan upaya kembali

kepada makna asal, sementara untuk sampai pada signifikansi mencerminkan

tujuan dan sasaran dari tindak pembacaan.35 Gerakan antara makna dan

signifikansi terjadi bolak-balik dan berulang-ulang. Gerakan ini diawali dari

realitas untuk menyingkap makna teks masa lalu, kemudian makna tersebut

kembali lagi untuk menetapkan signifikansi dan mengubah titik permulaan agar

sesuai dengan konteks kekinian.

34 Ibid, hlm. 121. 35 Ibid, hlm. 122–123.

Page 24: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

71

Dengan melihat metode yang dikembangkan oleh Nasr Hamid,36

bahwa sebelum memproduk hukum dari teks Al-Qur’an maupun Hadits,

seorang mujtahid harus mampu terlebih dahulu menyingkap makna asli teks

tersebut dalam konteks realitas ketika teks turun. Setelah makna asli ditemukan,

seorang mujtahid berusaha untuk mengkontekskan dengan realitas saat ini.

Seperti halnya pendapat ulama-ulama Islam klasik maupun modern,

Nasr Hamid apabila dilihat dari corak pemikirannya tidak berbeda dengan

Barlas yang tetap berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai wacana suci pada

dasarnya adalah wacana yang tidak bisa ditiru, diganggu dan diperdebatkan,

namun pemahaman (tafsir) terhadap kitab suci tersebut bisa diperdebatkan.

Pandangan demikian mengingatkan pada pandangan seorang tokoh –

sebagaimana deskripsi Syafiq Hasyim– dalam sebuah pengantar mengutip

pendapat Abdul Karim Soroush yang memisahkan antara agama (religion) dan

pengetahuan agama (religious knowledge). Kalau agama adalah kebenarannya

tidak bisa diganggu gugat, sedangkan pengetahuan akan agama adalah bentuk

penafsiran seseorang terhadap agama tersebut, yang kebenarannya sangat

relatif dan bisa diperdebatkan.37

36 Para pemikir Muslim modern dalam hal metodologis dapat dibedakan menjadi dua

kategori, yakni; pertama, berangkat dari upaya menjelaskan makna-makna teks secara kurang lebih objektif dan baru setelah itu beralih kepada realitas kekinian untuk kontekstualisasinya. Ini diwakili pemikir seperti: Fazlur Rahmah, Muhammed Arkoun, dan Nasr Hamid Abu Zayd. Kedua, berangkat dari realitas kontemporer umat Islam menuju pemahaman yang sesuai dengan ajaran-ajaran yang mungkin diperoleh dari penafsiran Al-Qur’an ini diwakili pemikir progresif seperti: Farid Esack, Asghar Ali Engineer, dan Amina Wadud Muhsin. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Teraju, 2002, hlm. 94.

37 Asma Barlas, Believing Women in Islam, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Cara Qur’an Membebaskan Perempuan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003, hlm. 12.

Page 25: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

72

Sebagaimana pengantar awal dalam kajian ini38 –ketika muncul

berbagai kerancuan konseptual tentang kodrat antara laki-laki dan perempuan–

Nasr Hamid melakukan pembongkaran terhadap wacana Arab–kontemporer

melalui dua wacana yakni, wacana nahdah dan wacana krisis.39 Dalam

konteks gerakan umum kemunduran secara ekonomi, sosial, dan pemikiran

yang gerakan umum muncul di dalam realitas Mesir khususnya, dan realitas

Arab umumnya, pada malam kekalahan Juni 1967, terjadilah kemunduran

dalam segala prestasi yang pernah dicapai sejarah Arab modern. Pada masa-

masa kemunduran dan keruntuhan, pengaburan “perempuan sebagai mitra

laki-laki” dan klaim bahwa perempuan “inferior dalam akal dan agama”

semakin sempurna. Suatu hal yang menegaskan titik tolak analisis sejak awal,

analisis yang menafsirkan penyerangan terhadap perempuan sebagai

keterlukaan masyarakat Arab yang patriarkis.

Seruan “ketiadaan persamaan” bermula dari beberapa realitas

perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Wacana keagamaan yang

menjadikan teks-teks keagamaan sebagai referensi utamanya dalam

mendiskusikan segala persoalan berusaha menandingi wacana Nahdah dalam

menyerukan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam seruannya ini,

ia mengandalkan otoritas –sebagaimana telah dijelaskan– teks-teks yang

38 Lihat pada pendahuluan (bab I) pada bagian latar belakang yang dijadikan pijakan secara umum dalam kajian ini.

39 Perlu dijelaskan bahwa kedua wacana ini berkaitan dengan Eropa sebagai “yang lain”. Wacana Nahdah (wacana kebangkitan) merupakan wacana terbuka yang dapat melihat “yang lain” dalam kemajuan dan rasionalisasinya, dan dalam waktu yang sama sangat sadar akan ambisi ekonomi dan politiknya. Sebaliknya, wacana krisis (wacana keagamaan) mengambil sikap permusuhan secara mutlak terhadap Eropa dengan berpegang pada turast yang telah menjadi jubah “identitas” dan “spesifisitas” yang bermakna perbedaan (distinction). Lihat, Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 34.

Page 26: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

73

menunjukkan persamaan dalam mendapatkan pahala di akhirat kelak

berdasarkan atas prinsip ketaatan beragama dan khususnya dalam persoalan

pelaksanaan syari’at.40 Namun ketika teks-teks lain tidak mendukung

persamaan itu, seperti soal warisan, sanksi di depan pengadilan, talak,

poligami dan lain-lain, maka sikap wacana ini tampak berlebih-lebihan

menjustifikasinya.

Sebagaimana dalam persoalan poligami, waris, dan talak. Menurut

Nasr Hamid, kedudukan tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang

terdapat dalam Al-Qur’an lebih didasarkan atas hubungan- hubungan

patriarkhal kesukuan. Ayat yang biasa dijadikan rujukan dalam hal poligami

adalah:

وإن خفتم أال تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثالث

ورباع فإن خفتم أال تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أال تعولوا

)3: ساء الن (

Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.41 (Q.S An- Nisa’: 3)

40 Kebanyakan penulis membedakan antara konsep “syari’ah” dan konsep “fiqh”, dengan

dasar bahwa syari’ah menunjuk kepada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip universal (al-qawa’id wa al-mabadi al-kulliyyah) yang diwahyukan dari Allah SWT. Sedangkan fiqh menunjuk kepada ijtihad-ijtihad manusiawi dari para ulama dalam membumikan prinsip-prinsip universal ke dalam realitas-realitas aktual, pada berbagai waktu dan tempat.

41 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Pelita III, 1984, hlm. 115

Page 27: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

74

Menurut Nasr Hamid, konteks pewahyuan ayat ini jika dinisbatkan

pada konteks struktur kebahasaan –bentuk kondisional yang menghubungkan

antara kebolehan (al- ibahah) dan ketakutan akan tidak bisa bersikap adil

terhadap anak yatim– menegaskan bahwa kata perintah itu bukanlah kata

perintah tasyri’ yang abadi, melainkan pensyariatan yang terikat oleh waktu

untuk mengatasi suatu problem yang muncul.42

Namun yang membuat rancu adalah bahwa tradisi “poligami”

merupakan tradisi yang ada sebelum Islam di mana tidak tunduk terhadap

aturan apapun. Apabila Islam meletakkan aturan- aturan dan kaidah-kaidah

terhadap adat untuk berpoligami dengan menganggapnya sebagai kesenangan,

maka interpretasi fiqhi terhadap aturan dan kaidah ini telah keluar dari konteks

kesetaraan, dan menanamkan masa kembali dalam konteks dominasi laki-laki

dan kesemena-menaannya terhadap eksistensi perempuan.43

Demikian juga halnya dalam masalah waris, ayat yang sering

dijadikan rujukan adalah:

للرجال نصيب مما ترك الوالدان واألقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان

وإذا حضر القسمة أولوا } 7{واألقربون مما قل منه أو كثر نصيبا مفروضا

وليخش } 8{مساكني فارزقوهم منه وقولوا لهم قوال معروفا القربى واليتامى وال

الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قوال

42 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 195 43 Ibid

Page 28: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

75

وال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا إن الذين يأكلون أم } 9{سديدا

يوصيكم الله في أوالدكم للذكر مثل حظ األنثيين فإن } 10{وسيصلون سعريا

و تإن كانو كرا تثلثا م نن فلهيتاثن قاء فونس ه كنيوألبو فصا النة فلهاحد

رثهوو لدو كن لهي فإن لم لدو إن كان له كرا تمم سدا السمهناحد ملكل و

وصي بها أو وصية يأبواه فألمه الثلث فإن كان له إخوة فألمه السدس من بعد

دين آبآؤكم وأبناؤكم ال تدرون أيهم أقرب لكم نفعا فريضة من الله إن الله كان

)11-7:النساء ( عليما حكيما

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu- bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu- bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin,maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.dan untuk orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah

Page 29: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

76

dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.44 (Q.S An-Nisa’: 7-11)

Dengan melihat ayat tersebut diatas, Nasr Hamid menunjukkan dua

hal yang patut dicatat dalam memahami wacana Al-Qur’an mengenai

warisan. Pertama, bahwa Al-Qur’an memerintahkan untuk memberikan

bagian-bagian shadaqah kepada kerabat (aqrabun), anak-anak yatim, dan

orang-orang miskin yang merupakan kelompok di mana tidak mendapat

warisan, apabila mereka hadir pada saat pembagian warisan. Kedua, Al-

Qur’an menekankan bahwa hubungan klan (asabiyyah) bukanlah hubungan

kemanusiaan yang paling penting sebagaimana yang dipahami orang-orang

masa pra-Islam.45

Nasr Hamid, juga melihat posisi perempuan dalam masyarakat

pra-Islam dari aspek konteks sosio historisnya. Petanda dari sebagian

besar hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan, juga

signifikansinya, tidak bisa diungkap tanpa mempertimbangkan

kebudayaan Arab pra-Islam. Dalam budaya masyarakat Arab pra-

Islam, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki.46 Karena

tidak produktif, perempuan tidak mendapatkan warisan; bahkan

sebaliknya mereka dapat diwariskan layaknya harta warisan.

44 Departemen Agama RI, Op. Cit., hlm. 116 45 Nasr Hamid Abu Zayd, Op. Cit., hlm. 207 46 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam

Islam, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 238

Page 30: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

77

Di mana aturan standarnya terkait dengan produktifitas masalah

ekonomi, sebagaimana yang mereka katakan: “kita tidak memberikan warisan

kepada orang yang tidak bisa menunggang kuda, tidak kepayahan, dan

tidak melukai musuh”.47 Ini mengekspresikan sebuah kebudayaan yang

menganggap bahwa peperangan tidak saja hanya untuk mendapatkan

kekuasaan tetapi juga harta kekayaan hasil dari rampasan perang

(ghanimah) dan budak tawanan. Dalam kebudayaan semacam ini Al-

Qur’an menyatakan bahwa perempuan mendapatkan warisan setengah

dari bagian laki-laki.

Selanjutnya, menurut pendapat syekh Muhammad al-Ghazali

bahwa persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan merupakan

hal yang mustahil. Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan kemustahilan

persamaan dalam konteks pembagian kerja antara laki-laki dan

perempuan yang tergantung pada perbedaan-perbedaan biologis antara

keduanya. Kesimpulan dari adanya perbedaan dalam hal kemampuan

fisik adalah menjadikan laki-laki dalam hal fungsi anggota tubuh lebih

mampu menangani pekerjaan yang dirasa sulit dilakukan oleh perempuan.48

Dengan dalih pada pengurangan rasa sakit dari “makhluk

keras” dan mengkondisikan iklim rumah tangga yang kondusif bagi

perempuan untuk hidup, bekerja, dan berkreasi. Kondisi tersebut

seringkali dianggap sebagai takdir yang tidak akan bisa berubah, hanya

karena ada tuntutan untuk melindungi perempuan dari kekerasan

47 Nashr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 208 48Ibid., hlm. 80–81.

Page 31: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

78

pekerjaan. Sehingga eksistensi perempuan terpasung dalam tembok-

tembok rumah untuk mengurus keluarga dan berperan sebagai ibu,

sedangkan tugas publik menjadi wilayah aktivitas laki-laki. Dalam konteks

demikian, pendasaran diri pada perbedaan seksual antara laki-laki dan

perempuan merupakan pembenar terhadap kondisi tersebut.49

Nasr Hamid juga memaparkan bahwa di antara hal yang muncul

dalam konteks deskriptif Al-Qur’an, tetapi dianggap sebagai legislasi

(syari’ah) adalah masalah kepemimpinan (qawamah) laki-laki atas perempuan

yang dipahami sebagai tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan dengan

segala implikasinya dari kewenangan menghukum yang dilakukan laki-laki

untuk mendidik istrinya (mendiamkan dan memukul).50 Sebagaimana

disebutkan dalam firman-Nya QS. an-Nisaa’ ayat 34:

ا أنفقوا منبمض وعلى بع مهضعب ل اللها فضاء بمسلى النون عامال قوجالر

أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله والالتي تخافون

نوهرجاهو نفعظوه نهوزشوا نغبفال ت كمنفإن أطع نوهرباضاجع وضفي الم

}34: النساء{عليهن سبيال إن الله كان عليا كبريا

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka,

49 Ibid, hlm. 82. 50 Ibid, hlm. 190.

Page 32: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

79

dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Suci lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa: 34) 51

Selanjutnya Nasr Hamid mengungkap bahwa orang yang

mencerminkan riwayat yang disampaikan oleh as-Suyuti tentang sebab

turunnya ayat, niscaya akan mengetahui masalah perhatian wahyu terhadap

kondisi audiensinya yang kemudian dipergunakan dalam pengungkapan

wahyu. Sebuah riwayat menceritakan bahwa seorang perempuan datang

kepada Nabi SAW untuk mengadukan suaminya yang telah memukulnya,

maka Nabi berkata: “dia tidak berhak untuk melakukan itu (memukul istri)”

dan Nabi memutuskan hukum agar perempuan tersebut meng-qishash

suaminya. Hal ini menunjukkan prinsip kesetaraan yang mendasar dalam

Islam tetapi karena audiensinya tersebut tidak mampu untuk memikul

kesetaraan itu, maka turunlah ayat qawamah tersebut.52

Namun dengan mudah sebagian orang ber–istinbat dan inilah yang

terjadi secara praksis dari aspek lahiriah firman Allah “Karena Allah telah

melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain”, bahwa qawamah

disandarkan kepada keputusan muthlak Ilahi untuk melebihkan laki-laki atas

perempuan; yang oleh karenanya qawamah menjadi hukum ilahi yang tidak

boleh diperdebatkan.53

51 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Pelita III, 1984, hlm. 123. 52 Nasr Hamid Abu Zayd, Dawa’ir, Op. Cit., hlm. 191. 53 Ibid.

Page 33: BAB III NASR HAMID ABU ZAYD DAN DEKONSTRUKSI …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1... · pemikir Islam dalam studi Al-Qur’an di Mesir yang menawarkan

80

Karena tidak ada upaya kompromi dari dua pemahaman yang

berbeda, mengakibatkan hilangnya dialektika teks dan realitas–historis.

Padahal, Allah meninggikan sebagian manusia atas sebagian yang lain harus

dipahami sebagai ungkapan deskriptif realitas yang harus diubah demi

mewujudkan kesetaraan yang fundamental.