Analisa Putusan Mandalawangi

download Analisa Putusan Mandalawangi

of 6

Transcript of Analisa Putusan Mandalawangi

  • 8/10/2019 Analisa Putusan Mandalawangi

    1/6

    Di dalam putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dibahas mengenai gugatan yang diajukan oleh Dedi, Hayati,

    Entin, Oded Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim, dan Mahmud. Mereka adalah warga

    dari Kecamatan Kadung Ora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat (Penggugat/Termohon Kasasi)

    yang mengajukan gugatan lewat gugatan perwakilan (class action) di Pengadilan Negeri Bandung

    atas dasar Strict Liability (tanggung jawab mutlak) melawan:

    1. Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Tergugat

    I/Pemohon Kasasi I)

    2. Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat II/Pemohon Kasasi II)

    3. Pemerintah Daerah Tk. I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi Jawa Barat (Tergugat

    III/Pemohon Kasasi III)

    4. Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon

    Kasasi IV)

    5. Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati Kabupaten GarutProvinsi Jawa Barat (Tergugat V/Pemohon Kasasi V).

    Kasus ini digugat oleh Penggugat karena adanya kejadian longsor di kawasan gunung Mandalawangi

    sehingga lingkungan hidup kawasan itu menjadi rusak dan menimbulkan kerugian warga Gunung

    Mandalawangi. Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa desa mereka berasal dari

    wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani, dan akibatnya mereka meminta agar pihak

    Perhutani bertanggung jawab atas strict liability atas kerugian yang terjadi. Pengggugat juga

    menggugat Pemerintah agar bertanggungjawab karena telah melakukan perbuatan melawan hukum

    dengan melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perhutani.

    Dilihat dari faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi dua

    macam, yaitu: kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan lingkungan hidup

    akibat faktor manusia.[1]Kami sekelompok berargumen bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan

    Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk

    kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi

    sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian

    (Precautionary Principle) untuk mencegah terjadinya longsor.

    The precautionary principle atau yang biasa disebut dengan prinsip kehati-hatian adalah salah satu

    prinsip hukum lingkungan yang dipakai saat ada ancaman yang serius tanpa diharuskan ada bukti

    yang cukup. Sehingga kurangnya bukti/kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda

    dilakukannya tindakan pencegahan. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang

    seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian

    melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada ada

    tidaknya pembuktian dari para tergugat.[2]

    Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan

    kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal.

    Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami mengategorikan kasus ini sebagai

    suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena

    kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidakmenjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak

    http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn1http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn1http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn1http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn2http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn2http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn2http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn2http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn1
  • 8/10/2019 Analisa Putusan Mandalawangi

    2/6

    memenuhi syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan

    terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian

    longsor terjadi.

    Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip

    tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwaterdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga

    terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam

    eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa

    belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang

    sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional

    secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh

    suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama

    Hakim dalam mengadili kasus ini merujuk pada asas kehati-hatian sebagaimana dirumuskan dalam

    prinsip ke-15 Deklarasi Rio. Walaupun asas kehati-hatian belum dimasukkan ke dalam sistem hukum

    Indonesia, akan tetapi asas ini dapat digunakan oleh Pengadilan sebagai arahan bagi putusanPengadilan. Ini termuat dalam pertimbangan hakim dalam Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 yang mana

    tertulis Majelis Hakim dalam pertimbangan tingkat pertama menyatakan: dalam keadaan

    kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan

    sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih

    dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini

    Precautionary Principle, Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan

    pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment and

    Development) walauppun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi

    karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut maka semangat dari prinsip ini dapat

    dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek.

    Sehingga hakim berpendapat dengan diterapkannya asas kehati-hatian dalam kasus ini, maka

    pertanggungjawaban telah bergeser dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (perbuatan

    melawan hukum) menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability). Di putusan ini

    Mahkamah Agung menolak alasan yang diajukan oleh tergugat karena menurut MA, baik Pengadilan

    Negeri maupun Pengadilan Tinggi telah tepat menerapkan strict liability dalam mengadili kasus ini.

    Mahkamah Agung berpendapat penyebab dari longsor dan kegiatan pengelolaan hutan oleh

    tergugat telah terbukti, dan karena tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya maka tergugat

    bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi. MA mendukung penerapan asas kehati-

    hatian sebagai dasar penetapan strict liability karena menurut MA, Hakim tidak salah menerapkan

    hukum bila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle didalam hukum lingkungan hidup hanya untuk mengisi kekosongan hukum. Dan mengenai pendapat

    para Pemohon Kasasi (Tergugat) bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini

    tidak dapat dibenarkan karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar

    hukum internasional yang mana ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim

    nasional apabila telah dipandang sebagai ius cogen.

    Di tahun 2005, setelah prinsip kehati-hatian telah diakui melalui putusan pengadilan, melalui PP

    No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG), prinsip kehati-hatian

    masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005

    menyatakan bahwa ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan

    kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini

    menyatakan bahwa asas kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan

  • 8/10/2019 Analisa Putusan Mandalawangi

    3/6

    penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management) sebelum diizinkannya

    penggunaan atau pemanfaatan PRG.[3]

    Pengakuan terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle) adalah sebagai sebuah prinsip

    pengelolaan lingkungan secara umum yang tidak hanya terbatas pada persoalan GMOs akhirnya

    dimunculkan dalam peraturan perundang-undangan kita melalui Pasal 2f UU No. 32 tahun 2009tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana daam pasal itu dinyatakan bahwa

    perlindungan dan pengelolaan lingkungan didasarkan, salah satunya, pada asas kehati-hatian. Dalam

    Penjelasan Pasal 2f dijelaskan juga yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah bahwa

    ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan

    ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah

    meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

    hidup. bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan

    penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-

    langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan

    lingkungan hiduppenting lagi karena pengadilan juga berani melakukan judicial activism dengan

    memberikan penafsiran baru atas asas kehatihatian. Dalam hal ini pengadilan menafsirkan asas

    kehati-hatian dengan menghubungkannya dengan pertanggungjawaban perdata. Dalam penafsiran

    seperti ini, asas kehati-hatian tidak lagi sekedar berfungsi sebagai tuntunan bagi pengambilan

    keputusan, tetapi juga sudah merupakan landasan bagi pertanggungjawaban perdata, sebab apabila

    kerugian muncul, maka pelaku usaha/kegiatan akan memikul tanggung jawab tanpa bisa berasalasan

    bahwa kerugian yang terjadi tidak bisa diperkirakan. Dengan kata lain, putusan ini mengimplikasikan

    bahwa kegagalan menerapkan asas kehatihatian dapat menimbulkan pertanggungjawaban

    perdata. Menurut dugaan penulis, ini merupakan putusan pengadilan pertama di dunia yang secara

    tegas menghubungkan asas kehati-hatian dengan pertanggungjawaban perdata.[4]

    Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakankerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal.

    Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami berargumen bahwa dalam Kasus

    Mandalawangi dengan Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian

    yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah

    dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip

    kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak memenuhi syarat karena para

    tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan terjadi longsor tidak

    menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian longsor terjadi.

    Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip

    tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwaterdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga

    terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam

    eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa

    belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang

    sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional

    secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh

    suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.

    Sehingga

    http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn3http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn3http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn3http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn4http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn4http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn4http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn4http://c/Users/TOSHIBA/Documents/TUGAS%20KULIAH/semester%205/huling/analisa%20mandalawangi.docx%23_ftn3
  • 8/10/2019 Analisa Putusan Mandalawangi

    4/6

    Menurut kelompok kami, pertimbangan hakim sudah sangat tepat karena Precautionary Principle

    dapat diterapkan dalam kasus ini. Walaupun pada saat kasus ini diputus memang prinsip hukum

    lingkungan Precautionary Principle ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia

    karena masih menggunakan UUPLH lama yaitu Nomor 23 Tahun 1997 yang belummenganut Precautionary Principle. Sehingga hakim dalam memutus akhirnya saat itu memilih dan

    berpedoman pada Precautionary Principle yang merupakan prinsip ke-15 Konperensi Rio. Walaupun

    prinsip ini belum masuk dalam perundang-undangan tetapi karena Indonesia merupakan salah satu

    anggota dalam konperensi tersebut maka dapatlah dipedomani dan diperkuat dalam mengisi

    kekosongan hukum dalam praktek.

    Berbeda halnya jika kasus ini diputus saat ini karena telah ada UUPLH terbaru yaitu UU Nomor 32

    Tahun 2009 yang mana sudah menganut Precautionary Principle. Sehingga jika kasus ini diputus saat

    sekarang maka dasar hukum nya telah jelas memakai perundang-undangan Indonesia yaitu Pasal 2F

    UU No. 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan pada umumnya memang banyak mendasarkan

    pada ketentuan-ketentuan hukum internasional. Lagipula sebagaimana dikatakan olehhakim Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen, yaitu sebagai suatu norma

    yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sebagai norma

    yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional

    umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Dengan demikian, hakim tepat dalam

    menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional, yaitu Precautionary

    Principle.

    Para penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung

    Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa

    hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan

    rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri

    dalam pertimbangannya (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain

    mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung

    jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena

    Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah

    menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan

    kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi.

    Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas

    masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-

    Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya

    banjir dan longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan

    pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum

    Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan

    bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang

    dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang

    sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas

    berdasarkan SKMenteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti

    berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutanMandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan

  • 8/10/2019 Analisa Putusan Mandalawangi

    5/6

    bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir dan

    longsor di Gunung Mandalawangi telahfaktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum

    yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan

    Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang

    didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri

    Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik

    adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip kehati-hatian

    (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan

    masalah tentang kurangnya ilmu pengetahuan yang diperlihatkan dengan keterangan keterangan

    para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak

    dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di

    Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-

    undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu negara peserta Konferensi

    Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam

    praktik. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28

    Agustus 2003) adalah sebagai berikut:

    1. Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok masyarakat korban

    longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk sebagiannya.

    2. Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat), tergugat III

    (Menteri Kehutanan), tergugat IV (Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah

    Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan

    oleh adanya longsor dikawasan hutan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora Kabupaten

    Garut.

    3. Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V tersebut untuk melakukan

    pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor

    langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut:

    Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi dibebankan kepada Tergugat I

    dan Tergugat III dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan,

    mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung

    sistem penyangga kehidupan tetap terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan

    Tergugat III secara tanggung renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada

    masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor

    31/KPTSII/ 2001 Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan,

    pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah)

    dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini. Kedua, Menghukum Tergugat I,

    Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian kepada

    korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah)

    dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini. Ketiga, Menetapkan prosedur

    pelaksanaan pemulihan lingkungan kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan

    Kadungora serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil kelompok dan

    masyarakat korban yang tergabung ke dalam anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu

    tim/panel yang dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten

    Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil

    kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UNPAD Bandung masing-

    masing sebagai anggota.Keempat, memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat IV) untuk

    mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim tersebut lengkap dengan tugas dan

  • 8/10/2019 Analisa Putusan Mandalawangi

    6/6

    tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum putusan ini. Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel

    tersebut untuk melakukan pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan

    pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini serta mengalokasikan dana

    ganti kerugian tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil dan anggota

    kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara Persidangan ini, secara adil

    sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis kerugian yang dideritanya. Keenam,

    menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana

    ganti kerugian sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya

    paksa) dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.

    4. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara terlebih dahulu walaupun ada

    upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij voorad).

    5. Menolak gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian

    dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor 507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5

    Februari 2004) dengan perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan. Mahkamah

    Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K /Pdt/2004 Tanggal 22 Januari 2007) juga menolakpermohonan kasasi para tergugat atau para pembanding yang berarti Mahkamah Agung Republik

    Indonesia memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut.