Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

29
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT Para pihak : Penggugat : CV. MUTIARA Tergugat : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Obyek Sengketa : Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan KonservasiAlam Nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 Kasus Posisi : 1. Bahwa CV. MUTIARA adalah pemegang izin pemanfaatan sarang burung wallet di habitat alamnya di kawasan hutan Negara Goa-Goa di desa Tasuk dan desa Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur berdasarkan surat keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan

description

makalah

Transcript of Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Page 1: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA

NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT

Para pihak :

Penggugat : CV. MUTIARA

Tergugat : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Departemen Kehutanan.

Obyek Sengketa : Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan

KonservasiAlam Nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tanggal 15

Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen

Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember

2000

Kasus Posisi :

1. Bahwa CV. MUTIARA adalah pemegang izin pemanfaatan sarang burung wallet di

habitat alamnya di kawasan hutan Negara Goa-Goa di desa Tasuk dan desa Birang,

Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur

berdasarkan surat keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000.

2. Bahwa pada tanggal 15 Februari 2008 Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam Departemen Kehutanan mengeluarkan surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-

3/2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindugan Hutan dan Konservasi

Alam Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember

2000.

3. Keputusan 131/KPTS/DJ/-V/2000 dicabut karena telah melanggar ketentuan Pasal 5

PP No. 62 Tahun 1998 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 1999

4. Menurut penggugat prosedur pencabutan keputusan tersebut melanggar peraturan

perundang-undangan serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

5. Dengan terbitnya surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tersebut penggugat

mengalami kerugian karena tidak dapat meneruskan kegiatan usahanya dan harus

melakukan PHK pekerjanya.

Page 2: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

ANALISA KASUS:

1. Apakah obyek gugatan termasuk wewenang PTUN

Salah satu karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN)

yaitu terletak pada obyek gugatan yang berupa Beschikking (Penetapan) dan subyek

gugatannya adalah orang pribadi atau Badan Hukum Perdata melawan Pejabat Tata

Usaha Negara (Pejabat TUN) dalam keadaan yang tidak seimbang. Mengenai obyek

gugatan TUN yang berupa Beschikking (Penetapan), diatur dalam ketentuan Pasal 1

butir 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986 yang berbunyi:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,

individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata.”

Dari isi ketentuan Pasal 1 butir 3 tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur sebagai

berikut:

a. Penetapan Tertulis

Maksud dari kata “Penetapan Tertulis” menunjuk kepada isi yang ditetapkan dalam

keputusan TUN yang dapat berupa:

- Kewajiban-kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau untuk

membiarkan sesuatu

- Pemberian suatu subsidi atau bantuan

- Pemberian izin

- Pemberian suatu statusTerkait dengan kasus, surat keputusan yang dikeluarkan

oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008

tanggal 15 Pebruari 2008 merupakan Penetapan tertulis yang berisi hubungan

hukum yaitu mencabut SK 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 yang

mengakibatkan tidak berlakunya izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV.

MUTIARA.

Page 3: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

b. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu

instrument yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN

dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai

apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek

Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :

“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang

melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.”

Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan

Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga

apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa

saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai

suatu Badan atau Pejabat TUN. Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan

adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan Negara yang bukan

merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja

tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan

pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam

lingkungan kekuasaan legislative maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak

swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai

subjek di Peratun.

Terkait dengan kasus bahwa yang mengeluarkan Penetapan Tertulis berupa SK No.

17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam yang merupakan pejabat yang melaksanakan jabatannya dalam

urusan pemerintahan di bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

c. Berisi tindakan hukum TUN

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah

satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian

selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu

adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau

Page 4: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada.3 Dengan kata lain

untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat

TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk

menimbulkan suatu akibat hukum TUN.

Dalam kasus tersebut, Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 merupakan penetapan tertulis

yang berisi pencabutan Surat Keputusan terdahulu No. 131/KPTS/DJ/-V/2000

tanggal 6 Desember 2000 yang berarti pula pencabutan terhadap izin pemanfaatan

sarang burung walet milik CV. MUTIARA.

d. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan

urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada

dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan

perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar

legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN

(pemerintah)4. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang

Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu

hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus tersebut, penerbitan Surat

Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008

tanggal 15 Pebruari 2008 didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1991 Jo.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.

e. Bersifat Konkret, Individual dan Final

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam

Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan5.

Dalam kasus, SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-

3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 menetapkan pencabutan Izin Pemanfaatan sarang

burung walet. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk

umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik

alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai

hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. SK Dirjen tersebut ditujukan secara

Page 5: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

tegas kepada CV. MUTIARA selaku pemilik izin. Bersifat Final artinya akibat

hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan

Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan

mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum

dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu

akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara

final. Dalam kaitannya dengan kasus, maka penerbitan SK Dirjen tersebut hanya

berlaku terhadap pencabutan izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV

MUTIARA.

f. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam

suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu

tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak

dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya

juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan

Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan

hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan

hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.

Dalam kasus ini, bahwa dengan penerbitan Surat Keputusan Direktur Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15

Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000

maka timbul akibat hukum yang membawa suatu perubahan dalam suasana

hubungan hukum yang telah ada yaitu CV. MUTIARA sudah tidak memiliki izin

pemanfaatan sarang burung walet sehingga tidak berhak lagi melakukan pemanfaatan

sarang burung walet.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Surat

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK

17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000

Page 6: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

tanggal 6 Desember 2000 merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi

obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang peradilan Tata Usaha Negara.

2. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha

Kompetensi Absolut

Dengan terpenuhinya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang

Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Nomor: 131/KPTS/DJ/- V/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagai Keputusan Tata

Usaha Negara yang merupakan obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang

Peradilan Tata Usaha Negara, maka berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 9 Tahun 2004 jo.

UU Nomor 5 Tahun 1986 secara absolut Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang

untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat

pertama, dan berdasarkan putusan merupakan acara biasa.

Kompetensi Relatif

Menurut Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 5 Tahun

1986 bahwa gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang

meliputi daerah hukum tempat kedudukan tergugat. Pasal ini merupakan pencerminan

dari asas Actor Sequitor Forum Rei yang diatur juga dalam ketentuan Pasal 118 HIR.

Dalam kasus ini, tindakan penggugat (CV. MUTIARA) dalam mengajukan surat

gugatan terhadap Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen

Kehutanan Republik Indonesia berkedudukan di Gedung Manggala Wanabakti Blok I lt

8, Jalan Gatot Subroto – Jakarta 10270 ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta adalah

sudah tepat. Karena kedudukan tergugat telah diketahui secara jelas, berada di wilayah

hukum Pengadilan Tata Usaha NegaraJakarta. Oleh sebab itu Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan tersebut.

3. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan

Tenggang waktu gugat adalah batas waktu atas kesempatan yang diberikan oleh

UU kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk memperjuangkan haknya

dengan cara mengajukan gugatan. Bila tenggang waktu tersebut tidak dipergunakan

maka kesempatan untuk mengajukan gugatan menjadi hilang dan gugatan akan

dinyatakan tidak diterima. Berdasarkan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tenggang waktu

Page 7: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

mengajukan gugatan adalah 90 hari terhitung sejak diterimanya atau setelah

diumumkannya KTUN yang digugat.

Ketentuan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tidak perlu dibedakan antara

penggugat sebagai alamat yang dituju, dengan penggugat sebagai pihak ketiga yang

berkepentingan. SEMA No. 2 Tahun 1991 Tanggal 3 Juli mendefinisikan tenggang

waktu pengajuan gugatan bagi pihak yang tidak dituju oleh suatu KTUN, tetapi merasa

kepentingannya dirugikan yaitu 90 hari dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa

kepentingannya dirugikan oleh KTUN yang bersangkutan dan mengetahui adanya

KTUN yang bersangkutan.

Berkaitan dengan penghitungan tenggang waktu maka KTUN dapat dibedakan

menjadi 2 yaitu :

a. KTUN Positif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari tergantung pada cara

penyampaian KTUN kepada penggugat seperti melalui kurir, menerima langsung di

kantor Badan/Jabatan TUN, melalui pos, dan melalui pengumuman ditempat

pengumuman atau media massa.

b. KTUN Negatif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari terhitung setelah

lewatnya jangka waktu yang ditentukan peraturan dasarnya yang dihitung sejak

tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) UU

No. 5 Tahun 1986 dan setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak

tanggal diterimanya permohonan tersebut.

Dalam kasus ini, obyek gugatan merupakan KTUN positif yang diterbitkan pada

tanggal 15 Februari 2008. Maka tenggang waktu pengajuan gugatan oleh penggugat

adalah 90 hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN tersebut. CV.

MUTIARA selaku pihak yang dituju oleh KTUN dan bertindak sebagai penggugat,

telah mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal

14 April 2008. Maka gugatan penggugat diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun

1986. Sehingga dapat dibuat ilustrasi sebagai berikut: Jangka waktu pengajuan gugatan

vide Pasal 55 UU No. 1986 15/02/2008 14/04/2008 14/052008 Pengajuan Gugatan oleh

Penggugat.

Page 8: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

4. Apakah obyek gugatan Termasuk Dalam Ruang Lingkup Pasal 48 dan 49 UU

Peratun?

Dalam pasal 48 UU PTUN setiap Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang

untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara terlebih dahulu

sebelum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena berdasarkan ayat (2) pasal 48

UU PTUN tersebut Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika seluruh upaya administratif yang

bersangkutan telah digunakan dan tidak menghasilkan kata sepakat.

Upaya Administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau

badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha

Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri atau terdiri

atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau

instansi lain dari yang mengeluarkankeputusan yang bersangkutan, maka prosedur

tersebut dinamakan “banding administratif”.

Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan

sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu,

maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut “keberatan”. Berbeda dengan prosedur

di Pengadilan Tata UsahaNegara, maka prosedur banding administratif atau prosedur

keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun

dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus.

Dalam Pasal 74 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa:

“Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar

pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (ayat (1))

dan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan,

maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan

antara para pihak yang bersengketa (ayat 2).” Berdasarkan bunyi pasal tersebut terdapat

ketentuan harus terdapat perundang-undangan bahwa penyelesaian sengketa dalam

bidang kehutanan dapat diselesaikan dengan melalui pengadilan atau upaya lain diluar

pengadilan untuk mencapai kesepakatan bersama.

Page 9: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara Nomor 40/G/2008/PTUN-JKT terdapat

point-point sebagai berikut:

1. Objek gugatan dalam putusan PTUN No. 40 /G/2008/PTUN-JKT adalah Surat

Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konversi Alam; SK

17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan

Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konversi Alam Nomor 131/KPTS/DJ/V/2000

tanggal 6 Desember 2000 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Sarang Burung Walet

di Habitat Alamnya di Kawasan Hutan Negara pada Goa-Goa di Desa Tasuk,

Kecamatan Gunung Tabur dan Desa Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten

Berau, Propinsi Kalimantan Timur kepada CV. Mutiara.

2. Dalam hal ini, pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang yaitu Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam memiliki pilihan untuk menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara secara administratif sesuai dengan Pasal 74 UU No 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

3. Pilihan yang diambil oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam kasus ini merupakan

pilihan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan

hal tersebut diatas, dalam putusan pengadilan Tata Usaha Negara Nomor

40/G/2008/PTUN-JKT ini para pihak tidak menggunakan upaya administratif dalam

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sehingga obyek gugatan tersebut tidak

termasuk dalam ruang lingkup pasal 48 UU PTUN.

Berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 40/G/2008/PTUN-JKT

tersebut, keputusan yang diambil merupakan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara

berdasarkan pertimbangan atas adanya Surat Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri

Kehutanan Republik Indonesia No B-263/M.Sesneg/SA/06/2007 bahwa kewenangan

pemberian ijin terhadap pemanfaatan sarang burut walet bukan lagi menjadi

kewenangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konversi Alam melainkan ijin

dari Bupati/Walikota setempat.

Sehingga berdasarkan tersebut, Ketentuan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

oleh Pejabat Tata Usaha Negara tersebut juga bukan merupakan keputusan yang

termasuk dalam ruang lingkup Pasal 49 UU PTUN yang menyatakan bahwa keputusan

yang disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan

Page 10: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan

perundang undangan yang berlaku (ayat 1) dan atau dalam keadaan mendesak untuk

kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2).

5. Persyaratan Formil Gugatan

Gugatan harus dalam bentuk tertulis dalam bahasa Indonesia dengan

menyertakan alas an-alasan berdasarkan hukum dan hal-hal yang diminta oleh

penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Gugatan harus memuat identitas para pihak10

serta memperhatikan tenggang waktu pengajuan gugatan.

Dalam kasus ini, gugatan diajukan CV. MUTIARA secara tertulis dalam bahasa

Indonesia pada 14 April 2008 di pengadilan TUN Jakarta melalui kuasa hukum tergugat

yaitu Sayid Machmud, S.H. dengan surat kuasa khusus nomor 11/CV.M/V/2008

tertanggal 10 April 2008 yang masih dalam tenggang waktu pengajuan gugatan. Dalam

gugatan tersebut menyebutkan

para pihak yang bersengketa secara jelas dan lengkap. Dengan demikian persyaratan

formil gugatan telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 53, 54, 55 dan 56 Pasal 55

UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986

6. Permohonan Penundaan KTUN

Penundaan pelaksanaan KTUN atas SK Nomor : SK17/IV/SET-3/2008 tgl 15

Feb 2008, dapat diajukan karena penundaan tersebut merupakan pelaksanaan di dalam

beracara di

Pengadilan Tata Usaha Negara sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UU No. 5 Tahun

1986 antara lain:

“Ayat (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan

atau Pejabat TUN serta tindakan Badan atau Pejabat TUN yang digugat.”

Jadi apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka, jelas bahwa gugatan

Penggugat mengenai penundaan pelaksanaan KTUN tetap dilaksanakan maka untuk

menggugat tidak ada artinya lagi,sebelum gugatan di proses dan diputus berdasarkan

Pasal 67 ayat (2) UU No.5 Th 1986, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar

pelaksanaan KTUN ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang

berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperolehkekuatan hukum tetap.

Cara mengajukan Penundaan

Page 11: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Dalam kasus ini, Penggugat (CV. Mutiara) mengajukan permohonan penundaan

KTUN myang dimaksud dengan cara mengajukannya bersama-sama dengan pengajuan

gugatan.

Alasan-alasan Permohonan

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Penggugat (CV Mutiara) dalam

mengajukan permohonan penundaan KTUN yang digugat yaitu:

1. Penggugat memanen hasil sarang burung walet milik Penggugat yang terdapat di 3

(tiga) lokasi goa sarang burung dengan keuntungan sekali panen di ketiga lokasi

tersebut sejumlah +Rp. 60 juta;

2. Penggugat masih memiliki kewajiban secara yuridis untuk memberikan upah kepada

karyawan/pekerja sejumlah 50 orang, dengan adanya SK yang menjadi obyek

sengketa maka Penggugat akan melakukan PHK terhadap pekerja tsb.

3. Penggugat telah kehilangan kesempatan dua kali untuk memanendan berarti

Penggugat telah merugi sekitar Rp.120 juta (keuntungan sekali panen Rp. 60 juta)

sejak SK obyek sengketa diterbitkan (tanggal 15 Februari 2008 s/d 14 Mei 2008).

Untuk mencegah kerugian lebih banyak lagi dan berdasarkan pasal 67 ayat (2)

UU No. 5 Th 1986 jo. UU No.9 Th 2004, maka Penggugat mengajukan permohonan

penundaan KTUN tersebut. Menurut Pasal 67 ayat (4) huruf a, permohonan penundaan

KTUN dapat dikabulkan hanya apabila keadaan yang sangat mendesak yang

mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat tetap

dilaksanakan.

Berdasarkan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN tersebut, Tergugat

dalam persidangan menyampaikan jawaban sebagai berikut :

- bahwa terhadap permohonan penundaan KTUN, menurut Pasal 67 ayat (4)

permohonan penundaan KTUN dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang

sangat mendesak mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika

KTUN tetap dilaksanakan.

- bahwa alasan karyawan yang dipakai dalam pertimbangan hukum adalah tidak benar

karena dari 220 karyawan hanya ada 10 karyawan yang merupakan pegawai tetap,

sehingga alasan terjadinya PHK tidak benar.

Page 12: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

- bahwa alasan kerugian pemanenan yang diderita Penggugat pada intinya

bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sarang burung

walet sebagaimana terdapat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.

449/Kpts-II/1999 jo. No.: 100/Kpts- II/2003.

- Bahwa penggugat melakukan pemanfaatan sarang burung walet telah memanen

sebelum waktunya, sehingga merusak kelestarian satwa burung walet.

Putusan Majelis Hakim

Namun berdasarkan pertimbangan majelis hakim menolak permohonan

penundaan penggugat karena gugatan dinyatakan ditolak dan tidak relevan untuk

dipertimbangkan. Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa dalam masa

persidangan penggugat maupun kuasanya tidak pernah hadir di persidangan tanpa

alasan yang sah, sehingga tidak terdapat satu (1) alat buktipun, baik surat maupun saksi.

Oleh karenanya majelis hakim berpendapat tidak terdapat cukup bukti untuk

membuktikan dalil penggugat dan penggugat adalah pihak yang tidak bersungguh-

sungguh dalam mengajukan gugatan.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka menurut Tergugat tidak terdapat kepentingan

mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986. jo. UU No. 9

Th 2004. Selain ituterdapat pertimbangan bahwa permohonan penundaan KTUN tidak

dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan

mengharuskan dilaksanakannya KTUN yang dimaksud (pasal 67 ayat (4) huruf b UU

No. 5 Tahun 1986. jo. UU No. 9 Th 2004).

7. Kepentingan Penggugat dan alasan gugatan

“Majelis Hakim dalam ini memberikan pertimbangan sehubungan dengan

kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan dalam pertimbangannnya

berdasarkan bukti salinan Keputusan Direktur Jenderal perlindungan dan konservasi

alam No. 131/Kpts/DJ-V/2000, tanggal 6 Desember 2000 berupa izin pengelola sarang

burung walet kepada penggugat ternyata penggugat adalah pemegang izin pengelolaan

sarang burung walet di desa tasuk dan desa birang kecamatan gunung tabur kabupaten

daerah tingkat II Berau, Propinsi kalimantan timur untuk jangka waktu 10 tahun yang

berakhir sampai dengan tanggal 6 desember 2010, sehingga dengan terbitnya keputusan

objek sengketa, penggugat menjadi kehilangan haknya untuk melakukan pengelolaan

Page 13: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

sarang burung walet tersebut sebagaimana dimaksud surat izin tersebut, termasuk

menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara

sehingga penggugat memenuhi ketentuan pasal 53 ayat 1 undang-undang nomor 5 tahun

1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9 tahun

2004”

Kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 53 ayat

1, dengan alasan-alasan yang memenuhi persyaratan pada ayat 2 undang-undang nomor

5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9

tahun 2004

Pasal 53 :

1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu

Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan

yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang

disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan

ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas

umum pemerintahan yang baik.

Apabila kita melihat pasal 53 ayat 1 maka, Alasan yang dikemukakan penggugat

dalam mengajukan gugatan yang “menganggap” keputusan yang di keluarkan oleh

tergugat merugikan kepentingan penggugat sudah memenuhi syarat, dibuktikan dengan

adanya kepentingan atas kerugian ekonomis berupa ekspektasi keuntungan yang akan

diperoleh dari bisnisnya namun sayangnya penggugat tidak mengajukan alat bukti yang

menguatkan gugatan tersebut, alat bukti yang dapat digunakan untuk menguatkan dalil

yang diajukan dapat berupa laporan keuangan penggugat atau tanda terima penjualan

yang dapat menunjukan keuntungan nyata yang diperoleh penggugat yang dapat

digunakan sebagai gambaran ekspektasi keuntungan dimasa datang.

Selanjutnya pada pasal yang sama pada ayat 2 menjelaskan dasar alasan yang

dapat digunakan dalam gugatan dengan analisa : Pada kasus ini sehubungan pada butir

Page 14: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

a, “keputusanyang bertentangan dengan undang-undang”, Keputusan yang dikeluarkan

harus berdasarkan fakta-fakta yang lengkap, dalam kasus ini tergugat telah mengajukan

bukti-bukti yang memadai untuk membuktikan cukupnya syarat-syarat yang

melatarbelakangi pengambilan keputusan. Sehingga keputusan yang dibuat tergugat

tidak memenuhi syarat sebagai keputusan yang bertentangan dengan undang-undang

yang dapat dijadikan objek gugatan.

Namun yang juga harus dipertimbangkan adalah apabila yang dipermasalahkan

disini adalah prosedur dalam melakukan pencabutan SK , apakah pencabutan ini sudah

memenuhi tata cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seharusnya tergugat

harus juga memasukan bukti Keputusan Menteri Kehutanan No 069/Kpts-II/1984,

tentang Pencabutan beberapa Perizinan di Bidang Kehutanan, yang menunjukan apa

yang dilakukan tergugat sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga

selain dari bukti-bukti yang dilampirkan perlu juga dilampirkan bukti yang dapat

membuktikan bahwa yang dilakukan oleh tergugat dalam melakukan pencabutan telah

sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.

Pada butir b, “bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”

dalam penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang

baik dijelaskan pada penjelasan Pasal 3 Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang

penyelenggaraan negarayang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang

dalam kita dapat melihat apakah unsur-unsur ini dapat dipenuhi sebagai alasan

diajukannya gugatan.

Unsur Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” dan “Asas Tertib

Penyelenggaraan Negara” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan Penyelenggara Negara, dalam kasus ini dicabutnya 131/KPTS/DJ-V/2000

dengan SK 17/IV/SET-3/2008 adalah berdasar atas Peraturan Pemerintah No.25 tahun

2000 tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang mengakibatkan

pemberian ijin tersebut dilakukan oleh bupati atau walikota, justru merupakan

perwujudan dari AAUPB dan dan demi tertibnya penyelenggaran negara sehingga

alasan gugatan yang justru beranggapan bahwa keputusan ini bertentangan dengan asas-

asas umum pemerintahan yang baik tidak memenuhi kriteria untuk dijadikan alasan

gugatan

Page 15: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Demikian juga halnya dengan “Asas Keterbukaan” “Asas Akuntabilitas”, dalam

kasus ini pemerintah juga sudah melakukan pengundangan terhadap Peraturan

Pemerintah No. 25 tahun 2000, yang menjadi dasar keputusan yang menjadi objek

sengketa, dalam hal adanya peraturan perundangan yang disahkan oleh pemerintah

masyarakat sudah dianggap tahu dengan logika dengan adanya persetujuan wakil-wakil

dari masyarakat yang ada di DPR, sehingga unsur ini pun tidak dapat dijadikan alasan

oleh penggugat

Ada unsur lain dalam AAUPB yang juga masuk kedalam alasan penggugat, jika

yang dimaksudkan oleh penggugat keseluruhan Asas-asas AAUPB maka dalam hal

“Asas Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan

cara yang aspiratif akomodatif dan selektif dan unsur “Asas Proporsionalitas” adalah

asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Maka alasan yang

digunakan penggugat dalam hal ini yang bersinggungan dengan kepentingan umum

yaitu adanya kerugian masyarakat apabila keputusan yang menjadi objek sengketa

dilaksanakan, seolah-olah penggugat bertindak mewakili kepentingan umum dalam

melakukan gugatan.

Hal ini tidak dapat diterima karena kepentingan umum dapat tetap dijaga tanpa

harus diakomodir oleh penggugat karena siapa saja berhak melakukan pengelolaan

sarang burung walet di kabupaten berau asalkan mendapatkan ijin dari bupati berau

berdasarkan Peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 yang ditindak lanjuti oleh

keputusan menteri dalam negeri No. 71 tahun 1999, akibat yang timbul adalah

pengelolaan sarang burung walet di prioritaskan padapenemu, hal ini didukung oleh

Surat Bupati Berau No. 180/204/HK/2006, sehingga terlihat pemerintah lebih

mengutamakan masyarakat sekitar tempat sarang burung walet berada (dengan

memberikan kesempatan kepada penemu sarang memperoleh hasil atas temuanya)

dibandingkan menyerahkannya pada kepentingan pribadi (CV Mutiara) karena

bagaimanapun keinginan besar untuk mensejahterakan masyarakat, pembentukan

sebuah usaha adalah pasti disertai tujuan untuk mengeruk keuntungan yang jumlahnya

lebih besar dari apa yang diberikan pada masyarakat sekitar.

Dari uraian analisa diatas terlihat kendati memenuhi kriteria tentang adanya

kepentingan atas kerugiannya (Pasal 53 ayat (1)) gugatan penggugat tidak memenuhi

alasan-alasan yang ada pada Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986, yang berhubungan

Page 16: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

dengan adanya pelanggaran terhadap undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan

yang baik sehinnga sesungguhnya tidak cukup alasan bagi penggugat untuk melakukan

gugatan. Selain yang menjadi substansi dari permasalahan pada kasus diatas terdapat

juga makna pilihan terbuka yang tersirat pada kata “dapat” yang ada pada Pasal 53 ayat

2 apakah kata “dapat” ini diartikan sebuah pilihan kebolehan atas alasan gugatan yang

hanya tercantun dalam angka a dan b saja, atau makna lain kalimat terbuka “dapat”

yang fakultatif menimbulkan konsekuensi bahwa alasan yang digunakan untuk

mengajukan gugatan sesuai dengan angka a dan b namun juga dibolehkan menggunakan

alasan lain sepanjang dapat memenuhi syarat yang ada pada pasal 53 ayat 1 dan

ketentuan lain dalam Undang-undang ini.

Logika yang timbul adalah jika memang hanya ada 2 pilihan alasan pada pasal

53 ayat 2, Undang-undang ini akan memilih kata “harus” atau kata “wajib”

dibandingkan kata “dapat” yang merupakan kebolehan (mogen) sehingga akan menutup

celah hukum kepentingan atas kerugian yang mungkin oleh penggugat dinilai secara

subjektif. Sehingga sehubungan dengan kasus ini adalah apabila kata “dapat” kita

artikan terbuka (boleh menggunakan alasan pada huruf a dan atau b boleh juga tidak),

maka sepanjang dapat dibuktikan ada kepentingan dari penggugat, tentang keputusan

yang merugikan dirinya, alasan gugatan tidak harus merupakan keputusan yang

bertentangan dengan undang-undang dan atau bertentangan dengan asas asas umum

pemerintahan yang baik, dan alasan gugatan dalam kasus ini yang diajukan oleh

penggugat menjadi dapat diterima.

8. Pembuktian dan Putusan Majelis Hakim

Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk

menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara.

Hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang

pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak

yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain.

Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan

kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk

membuktikan kebenaran dalil sangkalannya. Ada perbedaan sistem antara sistem hukum

pembuktian dalam hukum acara TUN dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN,

Page 17: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa

bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk

menentukan :

· Apa yang harus dibuktikan

· Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak

yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri

· Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian

· Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan Umumnya, sistem pembuktian yang

dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij bewijsleer”, yakni suatu ajaran

pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.

Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa

hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas.13

Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal

tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya

pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan

pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh

kebenaran formil.

Berkaitan dengan kasus, dalam proses pembuktian perkara, hakim telah

memberikan waktu yang cukup kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti yang

menguatkan dalil-dalil yang disampaikannya. Namun pihak penggugat tidak pernah

hadir tanpa alasan yang sah dipersidangan serta tidak mengajukan satupun alat bukti

yang dapat menguatkan dalil gugatannya. Sedangkan pihak tergugat telah mengajukan

bukti surat sebagaimana tercantum dalam putusan tersebut untuk menyangkal gugatan

penggugat. Dengan demikian adalah hal yang tepat jika hakim menolak seluruh gugatan

penggugat baik dalam pokok perkara maupun dalam permohonan penundaan

pelaksanaan obyek gugatan karena penggugat tidak dapat membuktikan dalil

gugatannya serta tidak bersungguh-sungguh untuk menggugat.

Page 18: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah

Hukum Peradilan Tata Usaha Negara

Disusun Oleh :Nama : Teddy PrihartonoNPM : 4301.11.066 Kelas : KhususDosen : Marintan, S.H.,M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG2012

Page 19: Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta