Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
-
Upload
leo-yogapranata -
Category
Documents
-
view
128 -
download
9
description
Transcript of Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA
NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT
Para pihak :
Penggugat : CV. MUTIARA
Tergugat : Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan.
Obyek Sengketa : Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
KonservasiAlam Nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tanggal 15
Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember
2000
Kasus Posisi :
1. Bahwa CV. MUTIARA adalah pemegang izin pemanfaatan sarang burung wallet di
habitat alamnya di kawasan hutan Negara Goa-Goa di desa Tasuk dan desa Birang,
Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur
berdasarkan surat keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000.
2. Bahwa pada tanggal 15 Februari 2008 Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Departemen Kehutanan mengeluarkan surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-
3/2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindugan Hutan dan Konservasi
Alam Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember
2000.
3. Keputusan 131/KPTS/DJ/-V/2000 dicabut karena telah melanggar ketentuan Pasal 5
PP No. 62 Tahun 1998 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 1999
4. Menurut penggugat prosedur pencabutan keputusan tersebut melanggar peraturan
perundang-undangan serta melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
5. Dengan terbitnya surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tersebut penggugat
mengalami kerugian karena tidak dapat meneruskan kegiatan usahanya dan harus
melakukan PHK pekerjanya.
ANALISA KASUS:
1. Apakah obyek gugatan termasuk wewenang PTUN
Salah satu karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN)
yaitu terletak pada obyek gugatan yang berupa Beschikking (Penetapan) dan subyek
gugatannya adalah orang pribadi atau Badan Hukum Perdata melawan Pejabat Tata
Usaha Negara (Pejabat TUN) dalam keadaan yang tidak seimbang. Mengenai obyek
gugatan TUN yang berupa Beschikking (Penetapan), diatur dalam ketentuan Pasal 1
butir 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 yang berbunyi:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.”
Dari isi ketentuan Pasal 1 butir 3 tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Penetapan Tertulis
Maksud dari kata “Penetapan Tertulis” menunjuk kepada isi yang ditetapkan dalam
keputusan TUN yang dapat berupa:
- Kewajiban-kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau untuk
membiarkan sesuatu
- Pemberian suatu subsidi atau bantuan
- Pemberian izin
- Pemberian suatu statusTerkait dengan kasus, surat keputusan yang dikeluarkan
oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008
tanggal 15 Pebruari 2008 merupakan Penetapan tertulis yang berisi hubungan
hukum yaitu mencabut SK 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 yang
mengakibatkan tidak berlakunya izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV.
MUTIARA.
b. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu
instrument yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai
apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek
Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan
Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga
apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa
saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai
suatu Badan atau Pejabat TUN. Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan
adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan Negara yang bukan
merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja
tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan
pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam
lingkungan kekuasaan legislative maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak
swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai
subjek di Peratun.
Terkait dengan kasus bahwa yang mengeluarkan Penetapan Tertulis berupa SK No.
17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam yang merupakan pejabat yang melaksanakan jabatannya dalam
urusan pemerintahan di bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
c. Berisi tindakan hukum TUN
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah
satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian
selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada.3 Dengan kata lain
untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat
TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk
menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
Dalam kasus tersebut, Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 merupakan penetapan tertulis
yang berisi pencabutan Surat Keputusan terdahulu No. 131/KPTS/DJ/-V/2000
tanggal 6 Desember 2000 yang berarti pula pencabutan terhadap izin pemanfaatan
sarang burung walet milik CV. MUTIARA.
d. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan
urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada
dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan
perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar
legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN
(pemerintah)4. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang
Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu
hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus tersebut, penerbitan Surat
Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008
tanggal 15 Pebruari 2008 didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1991 Jo.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
e. Bersifat Konkret, Individual dan Final
Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam
Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan5.
Dalam kasus, SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-
3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 menetapkan pencabutan Izin Pemanfaatan sarang
burung walet. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik
alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai
hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. SK Dirjen tersebut ditujukan secara
tegas kepada CV. MUTIARA selaku pemilik izin. Bersifat Final artinya akibat
hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan
Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan
mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum
dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu
akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara
final. Dalam kaitannya dengan kasus, maka penerbitan SK Dirjen tersebut hanya
berlaku terhadap pencabutan izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV
MUTIARA.
f. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam
suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu
tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak
dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya
juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan
Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan
hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan
hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Dalam kasus ini, bahwa dengan penerbitan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15
Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000
maka timbul akibat hukum yang membawa suatu perubahan dalam suasana
hubungan hukum yang telah ada yaitu CV. MUTIARA sudah tidak memiliki izin
pemanfaatan sarang burung walet sehingga tidak berhak lagi melakukan pemanfaatan
sarang burung walet.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Surat
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK
17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000
tanggal 6 Desember 2000 merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi
obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang peradilan Tata Usaha Negara.
2. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha
Kompetensi Absolut
Dengan terpenuhinya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang
Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Nomor: 131/KPTS/DJ/- V/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara yang merupakan obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara, maka berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 9 Tahun 2004 jo.
UU Nomor 5 Tahun 1986 secara absolut Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat
pertama, dan berdasarkan putusan merupakan acara biasa.
Kompetensi Relatif
Menurut Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 5 Tahun
1986 bahwa gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang
meliputi daerah hukum tempat kedudukan tergugat. Pasal ini merupakan pencerminan
dari asas Actor Sequitor Forum Rei yang diatur juga dalam ketentuan Pasal 118 HIR.
Dalam kasus ini, tindakan penggugat (CV. MUTIARA) dalam mengajukan surat
gugatan terhadap Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan Republik Indonesia berkedudukan di Gedung Manggala Wanabakti Blok I lt
8, Jalan Gatot Subroto – Jakarta 10270 ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta adalah
sudah tepat. Karena kedudukan tergugat telah diketahui secara jelas, berada di wilayah
hukum Pengadilan Tata Usaha NegaraJakarta. Oleh sebab itu Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan tersebut.
3. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Tenggang waktu gugat adalah batas waktu atas kesempatan yang diberikan oleh
UU kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk memperjuangkan haknya
dengan cara mengajukan gugatan. Bila tenggang waktu tersebut tidak dipergunakan
maka kesempatan untuk mengajukan gugatan menjadi hilang dan gugatan akan
dinyatakan tidak diterima. Berdasarkan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tenggang waktu
mengajukan gugatan adalah 90 hari terhitung sejak diterimanya atau setelah
diumumkannya KTUN yang digugat.
Ketentuan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tidak perlu dibedakan antara
penggugat sebagai alamat yang dituju, dengan penggugat sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan. SEMA No. 2 Tahun 1991 Tanggal 3 Juli mendefinisikan tenggang
waktu pengajuan gugatan bagi pihak yang tidak dituju oleh suatu KTUN, tetapi merasa
kepentingannya dirugikan yaitu 90 hari dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa
kepentingannya dirugikan oleh KTUN yang bersangkutan dan mengetahui adanya
KTUN yang bersangkutan.
Berkaitan dengan penghitungan tenggang waktu maka KTUN dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu :
a. KTUN Positif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari tergantung pada cara
penyampaian KTUN kepada penggugat seperti melalui kurir, menerima langsung di
kantor Badan/Jabatan TUN, melalui pos, dan melalui pengumuman ditempat
pengumuman atau media massa.
b. KTUN Negatif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari terhitung setelah
lewatnya jangka waktu yang ditentukan peraturan dasarnya yang dihitung sejak
tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) UU
No. 5 Tahun 1986 dan setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung sejak
tanggal diterimanya permohonan tersebut.
Dalam kasus ini, obyek gugatan merupakan KTUN positif yang diterbitkan pada
tanggal 15 Februari 2008. Maka tenggang waktu pengajuan gugatan oleh penggugat
adalah 90 hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN tersebut. CV.
MUTIARA selaku pihak yang dituju oleh KTUN dan bertindak sebagai penggugat,
telah mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal
14 April 2008. Maka gugatan penggugat diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun
1986. Sehingga dapat dibuat ilustrasi sebagai berikut: Jangka waktu pengajuan gugatan
vide Pasal 55 UU No. 1986 15/02/2008 14/04/2008 14/052008 Pengajuan Gugatan oleh
Penggugat.
4. Apakah obyek gugatan Termasuk Dalam Ruang Lingkup Pasal 48 dan 49 UU
Peratun?
Dalam pasal 48 UU PTUN setiap Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara terlebih dahulu
sebelum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena berdasarkan ayat (2) pasal 48
UU PTUN tersebut Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan dan tidak menghasilkan kata sepakat.
Upaya Administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau
badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha
Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri atau terdiri
atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkankeputusan yang bersangkutan, maka prosedur
tersebut dinamakan “banding administratif”.
Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan
sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu,
maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut “keberatan”. Berbeda dengan prosedur
di Pengadilan Tata UsahaNegara, maka prosedur banding administratif atau prosedur
keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun
dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus.
Dalam Pasal 74 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa:
“Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (ayat (1))
dan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan,
maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan
antara para pihak yang bersengketa (ayat 2).” Berdasarkan bunyi pasal tersebut terdapat
ketentuan harus terdapat perundang-undangan bahwa penyelesaian sengketa dalam
bidang kehutanan dapat diselesaikan dengan melalui pengadilan atau upaya lain diluar
pengadilan untuk mencapai kesepakatan bersama.
Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara Nomor 40/G/2008/PTUN-JKT terdapat
point-point sebagai berikut:
1. Objek gugatan dalam putusan PTUN No. 40 /G/2008/PTUN-JKT adalah Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konversi Alam; SK
17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konversi Alam Nomor 131/KPTS/DJ/V/2000
tanggal 6 Desember 2000 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Sarang Burung Walet
di Habitat Alamnya di Kawasan Hutan Negara pada Goa-Goa di Desa Tasuk,
Kecamatan Gunung Tabur dan Desa Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten
Berau, Propinsi Kalimantan Timur kepada CV. Mutiara.
2. Dalam hal ini, pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang yaitu Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam memiliki pilihan untuk menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara secara administratif sesuai dengan Pasal 74 UU No 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
3. Pilihan yang diambil oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam kasus ini merupakan
pilihan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan
hal tersebut diatas, dalam putusan pengadilan Tata Usaha Negara Nomor
40/G/2008/PTUN-JKT ini para pihak tidak menggunakan upaya administratif dalam
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sehingga obyek gugatan tersebut tidak
termasuk dalam ruang lingkup pasal 48 UU PTUN.
Berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 40/G/2008/PTUN-JKT
tersebut, keputusan yang diambil merupakan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara
berdasarkan pertimbangan atas adanya Surat Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri
Kehutanan Republik Indonesia No B-263/M.Sesneg/SA/06/2007 bahwa kewenangan
pemberian ijin terhadap pemanfaatan sarang burut walet bukan lagi menjadi
kewenangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konversi Alam melainkan ijin
dari Bupati/Walikota setempat.
Sehingga berdasarkan tersebut, Ketentuan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara tersebut juga bukan merupakan keputusan yang
termasuk dalam ruang lingkup Pasal 49 UU PTUN yang menyatakan bahwa keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan
bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan
perundang undangan yang berlaku (ayat 1) dan atau dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2).
5. Persyaratan Formil Gugatan
Gugatan harus dalam bentuk tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
menyertakan alas an-alasan berdasarkan hukum dan hal-hal yang diminta oleh
penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Gugatan harus memuat identitas para pihak10
serta memperhatikan tenggang waktu pengajuan gugatan.
Dalam kasus ini, gugatan diajukan CV. MUTIARA secara tertulis dalam bahasa
Indonesia pada 14 April 2008 di pengadilan TUN Jakarta melalui kuasa hukum tergugat
yaitu Sayid Machmud, S.H. dengan surat kuasa khusus nomor 11/CV.M/V/2008
tertanggal 10 April 2008 yang masih dalam tenggang waktu pengajuan gugatan. Dalam
gugatan tersebut menyebutkan
para pihak yang bersengketa secara jelas dan lengkap. Dengan demikian persyaratan
formil gugatan telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 53, 54, 55 dan 56 Pasal 55
UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986
6. Permohonan Penundaan KTUN
Penundaan pelaksanaan KTUN atas SK Nomor : SK17/IV/SET-3/2008 tgl 15
Feb 2008, dapat diajukan karena penundaan tersebut merupakan pelaksanaan di dalam
beracara di
Pengadilan Tata Usaha Negara sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UU No. 5 Tahun
1986 antara lain:
“Ayat (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan
atau Pejabat TUN serta tindakan Badan atau Pejabat TUN yang digugat.”
Jadi apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka, jelas bahwa gugatan
Penggugat mengenai penundaan pelaksanaan KTUN tetap dilaksanakan maka untuk
menggugat tidak ada artinya lagi,sebelum gugatan di proses dan diputus berdasarkan
Pasal 67 ayat (2) UU No.5 Th 1986, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pelaksanaan KTUN ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang
berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperolehkekuatan hukum tetap.
Cara mengajukan Penundaan
Dalam kasus ini, Penggugat (CV. Mutiara) mengajukan permohonan penundaan
KTUN myang dimaksud dengan cara mengajukannya bersama-sama dengan pengajuan
gugatan.
Alasan-alasan Permohonan
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Penggugat (CV Mutiara) dalam
mengajukan permohonan penundaan KTUN yang digugat yaitu:
1. Penggugat memanen hasil sarang burung walet milik Penggugat yang terdapat di 3
(tiga) lokasi goa sarang burung dengan keuntungan sekali panen di ketiga lokasi
tersebut sejumlah +Rp. 60 juta;
2. Penggugat masih memiliki kewajiban secara yuridis untuk memberikan upah kepada
karyawan/pekerja sejumlah 50 orang, dengan adanya SK yang menjadi obyek
sengketa maka Penggugat akan melakukan PHK terhadap pekerja tsb.
3. Penggugat telah kehilangan kesempatan dua kali untuk memanendan berarti
Penggugat telah merugi sekitar Rp.120 juta (keuntungan sekali panen Rp. 60 juta)
sejak SK obyek sengketa diterbitkan (tanggal 15 Februari 2008 s/d 14 Mei 2008).
Untuk mencegah kerugian lebih banyak lagi dan berdasarkan pasal 67 ayat (2)
UU No. 5 Th 1986 jo. UU No.9 Th 2004, maka Penggugat mengajukan permohonan
penundaan KTUN tersebut. Menurut Pasal 67 ayat (4) huruf a, permohonan penundaan
KTUN dapat dikabulkan hanya apabila keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat tetap
dilaksanakan.
Berdasarkan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN tersebut, Tergugat
dalam persidangan menyampaikan jawaban sebagai berikut :
- bahwa terhadap permohonan penundaan KTUN, menurut Pasal 67 ayat (4)
permohonan penundaan KTUN dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang
sangat mendesak mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika
KTUN tetap dilaksanakan.
- bahwa alasan karyawan yang dipakai dalam pertimbangan hukum adalah tidak benar
karena dari 220 karyawan hanya ada 10 karyawan yang merupakan pegawai tetap,
sehingga alasan terjadinya PHK tidak benar.
- bahwa alasan kerugian pemanenan yang diderita Penggugat pada intinya
bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sarang burung
walet sebagaimana terdapat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.
449/Kpts-II/1999 jo. No.: 100/Kpts- II/2003.
- Bahwa penggugat melakukan pemanfaatan sarang burung walet telah memanen
sebelum waktunya, sehingga merusak kelestarian satwa burung walet.
Putusan Majelis Hakim
Namun berdasarkan pertimbangan majelis hakim menolak permohonan
penundaan penggugat karena gugatan dinyatakan ditolak dan tidak relevan untuk
dipertimbangkan. Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa dalam masa
persidangan penggugat maupun kuasanya tidak pernah hadir di persidangan tanpa
alasan yang sah, sehingga tidak terdapat satu (1) alat buktipun, baik surat maupun saksi.
Oleh karenanya majelis hakim berpendapat tidak terdapat cukup bukti untuk
membuktikan dalil penggugat dan penggugat adalah pihak yang tidak bersungguh-
sungguh dalam mengajukan gugatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka menurut Tergugat tidak terdapat kepentingan
mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986. jo. UU No. 9
Th 2004. Selain ituterdapat pertimbangan bahwa permohonan penundaan KTUN tidak
dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan
mengharuskan dilaksanakannya KTUN yang dimaksud (pasal 67 ayat (4) huruf b UU
No. 5 Tahun 1986. jo. UU No. 9 Th 2004).
7. Kepentingan Penggugat dan alasan gugatan
“Majelis Hakim dalam ini memberikan pertimbangan sehubungan dengan
kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan dalam pertimbangannnya
berdasarkan bukti salinan Keputusan Direktur Jenderal perlindungan dan konservasi
alam No. 131/Kpts/DJ-V/2000, tanggal 6 Desember 2000 berupa izin pengelola sarang
burung walet kepada penggugat ternyata penggugat adalah pemegang izin pengelolaan
sarang burung walet di desa tasuk dan desa birang kecamatan gunung tabur kabupaten
daerah tingkat II Berau, Propinsi kalimantan timur untuk jangka waktu 10 tahun yang
berakhir sampai dengan tanggal 6 desember 2010, sehingga dengan terbitnya keputusan
objek sengketa, penggugat menjadi kehilangan haknya untuk melakukan pengelolaan
sarang burung walet tersebut sebagaimana dimaksud surat izin tersebut, termasuk
menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara
sehingga penggugat memenuhi ketentuan pasal 53 ayat 1 undang-undang nomor 5 tahun
1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9 tahun
2004”
Kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 53 ayat
1, dengan alasan-alasan yang memenuhi persyaratan pada ayat 2 undang-undang nomor
5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9
tahun 2004
Pasal 53 :
1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Apabila kita melihat pasal 53 ayat 1 maka, Alasan yang dikemukakan penggugat
dalam mengajukan gugatan yang “menganggap” keputusan yang di keluarkan oleh
tergugat merugikan kepentingan penggugat sudah memenuhi syarat, dibuktikan dengan
adanya kepentingan atas kerugian ekonomis berupa ekspektasi keuntungan yang akan
diperoleh dari bisnisnya namun sayangnya penggugat tidak mengajukan alat bukti yang
menguatkan gugatan tersebut, alat bukti yang dapat digunakan untuk menguatkan dalil
yang diajukan dapat berupa laporan keuangan penggugat atau tanda terima penjualan
yang dapat menunjukan keuntungan nyata yang diperoleh penggugat yang dapat
digunakan sebagai gambaran ekspektasi keuntungan dimasa datang.
Selanjutnya pada pasal yang sama pada ayat 2 menjelaskan dasar alasan yang
dapat digunakan dalam gugatan dengan analisa : Pada kasus ini sehubungan pada butir
a, “keputusanyang bertentangan dengan undang-undang”, Keputusan yang dikeluarkan
harus berdasarkan fakta-fakta yang lengkap, dalam kasus ini tergugat telah mengajukan
bukti-bukti yang memadai untuk membuktikan cukupnya syarat-syarat yang
melatarbelakangi pengambilan keputusan. Sehingga keputusan yang dibuat tergugat
tidak memenuhi syarat sebagai keputusan yang bertentangan dengan undang-undang
yang dapat dijadikan objek gugatan.
Namun yang juga harus dipertimbangkan adalah apabila yang dipermasalahkan
disini adalah prosedur dalam melakukan pencabutan SK , apakah pencabutan ini sudah
memenuhi tata cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, seharusnya tergugat
harus juga memasukan bukti Keputusan Menteri Kehutanan No 069/Kpts-II/1984,
tentang Pencabutan beberapa Perizinan di Bidang Kehutanan, yang menunjukan apa
yang dilakukan tergugat sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga
selain dari bukti-bukti yang dilampirkan perlu juga dilampirkan bukti yang dapat
membuktikan bahwa yang dilakukan oleh tergugat dalam melakukan pencabutan telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Pada butir b, “bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”
dalam penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik dijelaskan pada penjelasan Pasal 3 Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negarayang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
dalam kita dapat melihat apakah unsur-unsur ini dapat dipenuhi sebagai alasan
diajukannya gugatan.
Unsur Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” dan “Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara, dalam kasus ini dicabutnya 131/KPTS/DJ-V/2000
dengan SK 17/IV/SET-3/2008 adalah berdasar atas Peraturan Pemerintah No.25 tahun
2000 tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang mengakibatkan
pemberian ijin tersebut dilakukan oleh bupati atau walikota, justru merupakan
perwujudan dari AAUPB dan dan demi tertibnya penyelenggaran negara sehingga
alasan gugatan yang justru beranggapan bahwa keputusan ini bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik tidak memenuhi kriteria untuk dijadikan alasan
gugatan
Demikian juga halnya dengan “Asas Keterbukaan” “Asas Akuntabilitas”, dalam
kasus ini pemerintah juga sudah melakukan pengundangan terhadap Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2000, yang menjadi dasar keputusan yang menjadi objek
sengketa, dalam hal adanya peraturan perundangan yang disahkan oleh pemerintah
masyarakat sudah dianggap tahu dengan logika dengan adanya persetujuan wakil-wakil
dari masyarakat yang ada di DPR, sehingga unsur ini pun tidak dapat dijadikan alasan
oleh penggugat
Ada unsur lain dalam AAUPB yang juga masuk kedalam alasan penggugat, jika
yang dimaksudkan oleh penggugat keseluruhan Asas-asas AAUPB maka dalam hal
“Asas Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif akomodatif dan selektif dan unsur “Asas Proporsionalitas” adalah
asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Maka alasan yang
digunakan penggugat dalam hal ini yang bersinggungan dengan kepentingan umum
yaitu adanya kerugian masyarakat apabila keputusan yang menjadi objek sengketa
dilaksanakan, seolah-olah penggugat bertindak mewakili kepentingan umum dalam
melakukan gugatan.
Hal ini tidak dapat diterima karena kepentingan umum dapat tetap dijaga tanpa
harus diakomodir oleh penggugat karena siapa saja berhak melakukan pengelolaan
sarang burung walet di kabupaten berau asalkan mendapatkan ijin dari bupati berau
berdasarkan Peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 yang ditindak lanjuti oleh
keputusan menteri dalam negeri No. 71 tahun 1999, akibat yang timbul adalah
pengelolaan sarang burung walet di prioritaskan padapenemu, hal ini didukung oleh
Surat Bupati Berau No. 180/204/HK/2006, sehingga terlihat pemerintah lebih
mengutamakan masyarakat sekitar tempat sarang burung walet berada (dengan
memberikan kesempatan kepada penemu sarang memperoleh hasil atas temuanya)
dibandingkan menyerahkannya pada kepentingan pribadi (CV Mutiara) karena
bagaimanapun keinginan besar untuk mensejahterakan masyarakat, pembentukan
sebuah usaha adalah pasti disertai tujuan untuk mengeruk keuntungan yang jumlahnya
lebih besar dari apa yang diberikan pada masyarakat sekitar.
Dari uraian analisa diatas terlihat kendati memenuhi kriteria tentang adanya
kepentingan atas kerugiannya (Pasal 53 ayat (1)) gugatan penggugat tidak memenuhi
alasan-alasan yang ada pada Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986, yang berhubungan
dengan adanya pelanggaran terhadap undang-undang dan asas-asas umum pemerintahan
yang baik sehinnga sesungguhnya tidak cukup alasan bagi penggugat untuk melakukan
gugatan. Selain yang menjadi substansi dari permasalahan pada kasus diatas terdapat
juga makna pilihan terbuka yang tersirat pada kata “dapat” yang ada pada Pasal 53 ayat
2 apakah kata “dapat” ini diartikan sebuah pilihan kebolehan atas alasan gugatan yang
hanya tercantun dalam angka a dan b saja, atau makna lain kalimat terbuka “dapat”
yang fakultatif menimbulkan konsekuensi bahwa alasan yang digunakan untuk
mengajukan gugatan sesuai dengan angka a dan b namun juga dibolehkan menggunakan
alasan lain sepanjang dapat memenuhi syarat yang ada pada pasal 53 ayat 1 dan
ketentuan lain dalam Undang-undang ini.
Logika yang timbul adalah jika memang hanya ada 2 pilihan alasan pada pasal
53 ayat 2, Undang-undang ini akan memilih kata “harus” atau kata “wajib”
dibandingkan kata “dapat” yang merupakan kebolehan (mogen) sehingga akan menutup
celah hukum kepentingan atas kerugian yang mungkin oleh penggugat dinilai secara
subjektif. Sehingga sehubungan dengan kasus ini adalah apabila kata “dapat” kita
artikan terbuka (boleh menggunakan alasan pada huruf a dan atau b boleh juga tidak),
maka sepanjang dapat dibuktikan ada kepentingan dari penggugat, tentang keputusan
yang merugikan dirinya, alasan gugatan tidak harus merupakan keputusan yang
bertentangan dengan undang-undang dan atau bertentangan dengan asas asas umum
pemerintahan yang baik, dan alasan gugatan dalam kasus ini yang diajukan oleh
penggugat menjadi dapat diterima.
8. Pembuktian dan Putusan Majelis Hakim
Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk
menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara.
Hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang
pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak
yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain.
Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan
kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk
membuktikan kebenaran dalil sangkalannya. Ada perbedaan sistem antara sistem hukum
pembuktian dalam hukum acara TUN dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN,
dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa
bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk
menentukan :
· Apa yang harus dibuktikan
· Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak
yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri
· Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
· Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan Umumnya, sistem pembuktian yang
dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij bewijsleer”, yakni suatu ajaran
pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil.
Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah disimpulkan bahwa
hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas.13
Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal
tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya
pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan
pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh
kebenaran formil.
Berkaitan dengan kasus, dalam proses pembuktian perkara, hakim telah
memberikan waktu yang cukup kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti yang
menguatkan dalil-dalil yang disampaikannya. Namun pihak penggugat tidak pernah
hadir tanpa alasan yang sah dipersidangan serta tidak mengajukan satupun alat bukti
yang dapat menguatkan dalil gugatannya. Sedangkan pihak tergugat telah mengajukan
bukti surat sebagaimana tercantum dalam putusan tersebut untuk menyangkal gugatan
penggugat. Dengan demikian adalah hal yang tepat jika hakim menolak seluruh gugatan
penggugat baik dalam pokok perkara maupun dalam permohonan penundaan
pelaksanaan obyek gugatan karena penggugat tidak dapat membuktikan dalil
gugatannya serta tidak bersungguh-sungguh untuk menggugat.
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah
Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Disusun Oleh :Nama : Teddy PrihartonoNPM : 4301.11.066 Kelas : KhususDosen : Marintan, S.H.,M.H.
SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG2012