Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

27
BAB I PENDAHULUAN Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemis. John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita. James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai alcoholic neuropathy , namun tanpa kelainan patologis dan anatomis. Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul “ A note on acute ascending paralysis “ . Artikel ini bercerita tentang seorang pasien yang telah mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal dengan sebutan Landry’s paralysis. 5)

description

sindrome

Transcript of Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Page 1: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

BAB I

PENDAHULUAN

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari

kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan

bukan oleh penyakit sistemis.

John Lettsom, 1787 , merupakan orang pertama yang mengangkat masalah

neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi

alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang

adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita.

James Jackson, 1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai

alcoholic neuropathy , namun tanpa kelainan patologis dan anatomis.

Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan artkelnya yang berjudul “ A

note on acute ascending paralysis “ . Artikel ini bercerita tentang seorang pasien

yang telah mengalami paralisis akut selama lebih dari 8 hari, sebelum akhirnya

meninggal dunia. Paralisis ini meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot

pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal

dengan sebutan Landry’s paralysis. 5)

Osler, 1982, lebih terperinci dengan apa yang disebutnya sebagai Acute

Febrile Polyneuritis. 7)

Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian

mereka yang berjudul “ On a syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis

of cerebrospinal fluid without a cellular reaction : Remarks on the clinical

characteristics and tracings of the tendons reflexes “ . Ketiga orang ini

menemukan kelainan patologis yaitu adanya disosiasi albuminositologi di dalam

cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap

berpendapat bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah

Landry’s paralysis . Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama

penyakit ini sebagai Guillain – Barre Syndrome. Sebab mengapa Strohl tidak

diikutsertakan sampai saat ini belum diketahui. 5)

BAB II

Page 2: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan

tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri 3)

dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat.

2.2 Etiologi

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena

hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut

demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf

tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi

dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS

disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini

belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh

penyakit autoimun.

Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan

oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,

cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.Selain virus, penyakit ini juga didahului

oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada

enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan ,

Mycobacterium Tuberculosa. 1,5,8,12) ; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan

hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan

sarcoidosis ; kehamilan terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi

epidural. 8,12) Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul

GBS .10)

Patofisiologi

Page 3: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain

memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut

mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan

limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai

pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah

susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda

asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan

kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang.

Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang

kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin

disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan

myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di

invasi oleh antigen tersebut.

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat

mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya

untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls

sensoris dari seluruh bagian tubuh.

2.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 – 2,0 per

100.000 penduduk. 7)

GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah

sama di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina ,

dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung

terjadi pada musim panas.

GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.

Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk.

Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan

penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.

Page 4: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Angka kematian berkisar antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering

adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada +

penderita GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.

2.4 Gejala klinis

Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan

dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan

sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan

disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai

kelemahan otot yang terjadi. terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya

merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat

menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.

Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan

kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi,

aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan

kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan

aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.

Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa

disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering ( 50% ) adalah

bilateral facial palsy.

Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah

kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan

menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan

penglihatan kabur (blurred visions).

Page 5: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

2.4 Patagonesis dan Patofosiologi

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat

menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah

bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu

penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini

menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem

imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf

perifer, atau bahkan akson itu sendiri.  Terdapat sejumlah teori mengenai

bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal

adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus

ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga

sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian

menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk

menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan

memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan

menyebabkan destruksi dari myelin.

Page 6: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;

berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu

selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang

terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator  dan melindungi sel-sel

saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf

yang ditransmisikan.  Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat

ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak

diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan

daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada

daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan

semakin lambat.

Page 7: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap

adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus.

Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta

merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada

saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan

mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil

myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada

waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring

dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara

bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal

melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal

ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan

melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10  Untungnya, fase ini bersifat

sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan

berhenti dan pasien akan kembali pulih.

Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla

spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf

kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan

medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya,

saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom

(involunter).

Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan

sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang

bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai

neuropati perifer.

GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila

selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal

saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi

Page 8: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri

dinamai demyelinasi primer.

Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.

Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa

lapis.

Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi

sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila

akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih

lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol

oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki

prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang

panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada

penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.

Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,

saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

Page 9: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya

gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase

ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat

Page 10: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada

penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang

sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan

mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko

kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri

serta gejala.

2. Fase plateau.  Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil,

dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan

telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase

penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang

hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan

monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,

keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di

fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,

perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri

hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun

nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini

tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase

penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan

di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase

penyembuhan.

3. Fase penyembuhan  Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi,

dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti

memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala

berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi

pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot

pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta

mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal.

Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang

beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.

Page 11: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun

pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama

setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat

kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:

1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis

GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan

GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel

Schwann.

2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi

dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis

GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali

dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia.

Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.

3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina;

menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko.

Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma

saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung

dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3

lebih sering ditemukan pada AMAN.

4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN,

juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf

Page 12: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan

sering tidak sempurna.

5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;

dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan

kardiovaskular dan disritmia.

6.  Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut

oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks

Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan

penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas

dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan

medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

2.4 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang

bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan

menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan

pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan

kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak

ditemukan.

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar

protein ( 1 – 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh

Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.Pemeriksaan cairan

cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.

Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.

Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang

kurang dari 10 / mm3 pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun

bakteri .

Page 13: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,

kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu

kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya

keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang

memanjang dan latensi distal yang memanjang .Bila pemeriksaan dilakukan pada

minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari

beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan

kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan

gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%

kasus GBS.

Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit .

Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada

stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.

2.6 Diagnosis

Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf

perifer, yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang

utama adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia

sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot pernafasan

sehingga menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari adanya

kelemahan pada tungkainya, seperti halnya ‘kaki karet’, yakni kaki yang

cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia (kesemutan atau

kebas).

Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis

asendens Landry),1 meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring

perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan

otot-otot leher, batang tubuh (trunk), interkostal, dan saraf kranialis.

Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar

menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan

Page 14: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

disertai oleh drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan

bernafas.

Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral

ataupun bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada

varian Miller Fisher.

Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi

pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-

getar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu).1

Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa

nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun

nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan analgesik standar. dan

arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan; bahkan

Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus berat, namun sifatnya

transien; bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya penyakit medulla

spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS; jika ada, perlu dicurigai

penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom,

dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan

aritmia jantung.

Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and

Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS) 4)

Gejala utama

1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan

atau tanpa disertai ataxia

2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

Gejala tambahan

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu

2. Biasanya simetris

3. Adanya gejala sensoris yang ringan

4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral

Page 15: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

5. Disfungsi saraf otonom

6. Tidak disertai demam

7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4

Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein

2. Sel MN < 10 /ul

Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri

2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten

3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul

4. Gejala sensoris yang nyata

Diagnosis banding

GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat

seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal

cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya

asimetris, dan disertai demam.

GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti

porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan

thallium, arsen, dan plumbum.

Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis

juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot

extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi

ophtalmoplegia.

Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun

kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan

peningkatan sedangkan LCS normal.

Penatalaksanaan

Page 16: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus

dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping

pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam

waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti

hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .

Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa

diberikan medikamentosa.

Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa

steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak

memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya

penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.

Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek

lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling

efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.

Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan

albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik

berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat

menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto

antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian

menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak

terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul

dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan

dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya

memberikan PE atau IVIg.

Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan

fleksibilitas otot setelah paralisa.

Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya

trombosis .

Komplikasi

Page 17: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi.

Prognosis

95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya

sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural

tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.

Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang

disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.

Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama

kali timbul .

3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan

beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.

BAB III

PENUTUP

Page 18: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Guillain – Barre Syndrome merupakan penyakit serius dengan angka

kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.

Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator

spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 % tidak

dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul

20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.

Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan

paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala

GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin

Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih

baik.

DAFTAR PUSTAKA

Page 19: Anak RSAL Guillain Barre Syndrome Debby Budihardja

Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7 th

edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.  

Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ,

Thomas PK, Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B.

Saunders Company; 1975. p.1111-48. Guillain-Barre Syndrome. [Update:

2009]. Available from:

http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-

Barre_Syndrome.htm.

Guillain-Barré Syndrome. [update  2009]. Available from:

http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp

channel_id=0&disease_id=325&section_name=condition_info. 

Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology

in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA:

Butterworth-Heinemann; 1996. p.1911-16.

Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.;

1992. p.377-378.

 Guillain-Barré Syndrome. Available from:

http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.htm 

Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation.

In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH.

Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical

neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.

dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters

Clinic Jakarta. Phone 5703646   0817171764 – 70081995.