ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN …/Alih-kode... · perpustakaan.uns.ac.id...
Transcript of ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN …/Alih-kode... · perpustakaan.uns.ac.id...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA
PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA SMP DI KAWASAN PEDESAAN
(STUDI KASUS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SMP NEGERI 2 KEPIL KABUPATEN WONOSOBO)
SKRIPSI
Oleh
Hespi Septiana
K1208094
A
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA
PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA SMP DI KAWASAN PEDESAAN
(STUDI KASUS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SMP NEGERI 2 KEPIL KABUPATEN WONOSOBO)
Oleh:
HESPI SEPTIANA
K1208094
Skripsi
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Mei 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
“Hargai apa yang kita miliki saat ini. Kebahagiaan tak kan pernah datang
kepada mereka yang tak menghargai apa yang telah dimiliki.”
(penulis)
“Jika kamu percaya pada dirimu, tidak ada yang dapat menghentikanmu untuk
mencapai cita-cita yang kamu inginkan.”
(RF)
“Saat kamu kehilangan sesuatu, janganlah kamu terlalu dengan kesedihan,
namun lihatlah apa yang masih kamu miliki dan syukuri itu.”
(penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan karya ini untuk:
“Bapak, ibu, Mas Chandra, Mbak
Arie , dan semua keluargaku”
Terima kasih atas semua
do’a, cinta, kasih sayang, semangat,
dukungan, pengorbanan, dan harapan
yang selalu tercurah untukku.
“Riza Fadzli”
Terima kasih atas dukungan,
ketulusan, kesetiaan, dan kesabaran
yang telah kamu beri.
“Adit, Ayuk, Icha, Nana, dan
sahabat-sahabat yang tidak dapat
saya sebutkan satu persatu”
Terima kasih atas kesetiaan,
kesabaran, semangat, dan
persahabatan yang kalian berikan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRAK
Hespi Septiana. K1208094. ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM
PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA PADA AKTIVITAS DISKUSI SISWA
SMP DI KAWASAN PEDESAAN (STUDI KASUS DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMP NEGERI 2 KEPIL,
KABUPATEN WONOSOBO).Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) persepsi guru terhadap
peristiwa alih kode dan campur kode, (2) bentuk, dan (3) faktor penyebab terjadinya
peristiwa alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi kelompok
mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan
studi kasus. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-
C, VIII-D SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo. Objek penelitian ini adalah
campur kode dan alih kode dalam proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2
Kepil. Sumber data diperoleh dari guru dan siswa. Teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data di atas meliputi observasi partisipan pasif pada kegiatan diskusi
mata pelajaran bahasa Indonesia dan wawancara dengan guru bahasa Indonesia kelas
VII dan VIII dan beberapa siswa dari kelas VII dan VIII. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Validitas data
menggunakan triangulasi metode, triangulasi sumber data, dan review informan.
Teknik analisis pengumpulan data, yakni mengunakan analisis model interaktif.
Hasil penelitian ini adalah: (1) guru berpendapat bahwa peristiwa alih kode
dan campur kode adalah sikap yang salah, sehingga guru selalu membiasakan siswa
untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia walau pun siswa masih sulit untuk
melaksanakannya, (2) alih kode dan campur kode yang ditemukan dalam penelitian
ini adalah (a) alih kode intern dan alih kode ekstern, (b) campur kode bahasa, (c)
campur kode yang menggunakan unsur penyisip yang berwujud kata dan frasa, dan
(d) campur kode ragam, dan (3) faktor-faktor penyebab alih kode yaitu (a) penutur
yang berusaha mengimbangi bahasa lawan tutur, (b) perubahan situasi hadirnya orang
ketiga, seperti hadirnya siswa dari kelompok lain, (c) perubahan topik pembicaraan,
(d) perubahan formal ke informal tau sebaliknya, dan (e) untuk membangkitkan rasa
humor. Faktor penyebab terjadinya campur kode adalah (a) identifikasi peranan
sosial, seperti membedakan peran seorang siswa dan guru, (b) identifikasi ragam,
seperti ragam santai, beku, usaha, dan resmi, (c) keinginan untuk menafsirkan suatu
kata atau istilah yang sulit untuk dijelaskan atau ditafsirkan menggunakan bahasa
yang sama, (d) faktor lingkungan keluarga dan masyarakat yang menggunakan
bahasa Jawa, (e) latar belakang pendidikan yang rendah karena kebanyakan orang tua
siswa bukan dari sarjana melainkan hanya lulusan SD atau SMP , (f) belum terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, dan (g) faktor
ekonomi keluarga yang membuat siswa kurang mendapatkan fasilitas yang
menunjang pendidikan Bahasa Indonesia seperti internet dan televisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji selalu penulis panjatkan kepada Allah Yang
Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas
kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Alih
Kode Dan Campur Kode dalam Pemakaian Bahasa Indonesia pada Aktivitas Diskusi
Siswa Smp di Kawasan Pedesaan (Studi Kasus Dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di Smp Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo)”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan izin penilusian skripsi ini;
2. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni, yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;
3. Dr. Kundharu Saddhono, S. S., M. Hum., selaku Ketua Program Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan izin penulisan skripsi ini;
4. Drs. Amir Fuady, M. Hum, selaku Pembimbing I yang selalu memberikan
pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;
5. Dra. Sumarwati, M. Pd, selaku Pembimbing II yang selalu memberikan
motivasi, mengarahkan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;
6. Kepala SMP Negeri 2 Kepil, yang telah memberi kesempatan dan tempat
guna pengambilan data dalam penelitian;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
7. Ibu Yusephine S, Sayekti Laras Supayaningsih, S. Pd, dan Ruti, S, S. Pd.,
selaku guru bahasa indonesia SMP Negeri 2 kepil, yang telah member
bimbingan dan bantuan dalam penelitian;
8. Bapak/ Ibu guru, staf dan karyawan SMP Negeri 2 Kepil yang telah banyak
membantu penulis;
9. Dr. Rr. E. Nugraheni Eko W, S.S., M. Hum, selaku ketua penguji skripsi yang
terlah memberi banyak masukan kepada penulis;
10. Drs. Purwadi, selaku ketua penguji skripsi yang terlah memberi banyak
masukan kepada penulis;
11. para siswa SMP Negeri Negeri 2 kepil yang telah bersedia untuk
berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini; dan
12. semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
mungkin disebutkan satu per satu.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
umumnya. Selain itu, dapat membantu penelitian yang berikutnya, sehingga
mencapai hasil yang lebih baik.
Surakarta, Mei 2012
Penulis,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu keibutuhan manusia adalah berinteraksi dengan sekitar, baik
dengan sesama manusia ataupun dengan lingkungannya. Interaksi yang dilakukannya
bertujuan untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu alat yang digunakan manusia
untuk berinteraksi adalah bahasa. Dengan bahasa seseorang dapat mengungkapkan
pikiran, ide, perasaan, dan kemauannya kepada orang lain. Menurut Anwar (1984:
20) bahasa dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, keduanya memiliki huibungan
erat, keduanya saling mendukung, oleh karenanya keberadaan bahasa tidak dapat
dilepaskan dari masyarakat pemakainya.
Sejak lahir manusia sudah diajarkan untuk berbahasa sebagai sarana
berkomunikasi dengan orang-orang di lingkungannya. Pelajaran bahasa secara formal
didapatkan oleh anak-anak mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Salah satu pelajaran bahasa yang ada yaitu pelajaran bahasa Indonesia yang diajarkan
melalui seibuah proses belajar mengajar. Dalam interaksi belajar mengajar ada dua
pelaku utama yaitu guru dan siswa. Dalam proses pembelajaran yang baik yaitu siswa
yang harus aktif dalam proses pembelajaran, tidak seperti proses pembelajaran
konvensional di mana siswa hanya menjadi pendengar saat guru menerangkan materi,
tetapi siswa yang lebih banyak bicara tentang materi, seperti dalam diskusi kelompok,
siswa diarahkan oleh guru agar siswa mau bertukar pikiran dengan teman-teman
sekelasnya. Media yang digunakan dalam proses diskusi tersebut adalah melalui
komunikasi lisan.
Pemakaian bahasa Indonesia pada siswa dari perkotaan berbeda dengan siswa
kawasan pedesaan. Kegiatan belajar mengajar pada siswa yang bersekolah di
kawasan perkotaan mayoritas menggunakan bahasa Indonesia, karena bahasa ibu
yang digunakan oleh siswa adalah bahasa Indonesia. Berbeda dengan siswa yang
bersekolah di kawasan pedesaan mereka lebih sering berkomunikasi lisan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
menggunakan bahasa daerah. Hal terseibut yang menjadi masalah saat pelajaran
bahasa Indonesia berlangsung. Di sekolah kawasan pedesaan guru harus lebih
berkerja keras dalam mendekatkan siswa pada bahasa Indonesia, bagi siswa yang
terbiasa mnggunakan bahasa daerah contohnya siswa yang berasal dari daeah Jawa
maka mereka saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung pun siswa akan kesulitan
menyesuaikan diri dengan harus berkomunikasi lisan dengan menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar. Di sekolah menengah pertama, pelajaran Bahasa
Indonesia menjadi salah satu pelajaran wajib. Seharusnya siswa sudah mampu
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam situasi formal seperti
saat kegiatan pembelajaran berlangsung atau saat siswa melakukan aktivitas diskusi
kelompok, bagi siswa yang berasal dari kawasan pedesaan akan kesulitan karena
mereka tidak terbiasa menggunakan bahasa terseibut.
Salah satu sekolah menengah pertama yang terletak di kawasan pedesaan
adalah SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah . Siswa
yang bersekolah di SMP terseibut umumnya berasal dari desa-desa di sekitar sekolah,
seperti Desa Randusari, Rejosari, Kagungan, Ngaliyan, Kapulogo, Ropoh,
Tanjunganom, dan Kajoran. Lokasi sekolah berjarak 33 km dari utara kota
Wonosobo. Siswa di SMP Negeri 2 Kepil memunyai latar bahasa yang berbeda-beda,
namun sebagian besar mereka berasal dari keluarga petani yang kesehariannya
menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari, bahkan beberapa dari mereka
ada yang masih canggung menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan saat
belajar mengajar berlangsung seperti saat berdiskusi kelompok. Beberapa fakta yang
dijelaskan di atas menimbulkan masalah yang tidak ditemui pada siswa-siswa di
sekolah kawasan perkotaan yang sudah biasa menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa sehari-hari, atau paling tidak mereka tidak canggung berkomunikasi dengan
bahasa Indonesia.
Siswa-siswa yang bersekolah di SMP kawasan pedesaan seperti SMP Negeri
2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo tentunya berbeda dengan siswa dari perkotaan yang
sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia. Di sekolah ini guru bahasa Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
harus dapat menjelaskan materi dengan sebaik-baiknya, dengan semua aspek
keterampilan dalam pembelajaran bahasa harus dikuasai siswa termasuk keteramilan
berbicara. Kelemahan siswa dalam penguasaan bahasa Indonesia memibuat guru
mempunyai tugas yang lebih yaitu mengajarkan siswa agar terbiasa berkomunkasi
dengan bahasa Indonesia, namun apabila guru mengharuskan siswa bertanya atau
menyampaikan ide menggunakan bahasa Indonesia, maka siswa yang belum terbiasa
menggunakan bahasa Indonesia akan merasa kesulitan menyampaikan ide mereka.
Jadi kegiatan atau proses belajar mengajar bahasa Indonesia di sekolah terseibut tidak
selalu menggunakan bahasa Indonesia. Sering terjadi guru menjelaskan materi
menggunakan bahasa daerah (bahasa Jawa). Begitu juga sebaliknya dengan siswa
yang bertanya tentang materi juga ada yang menggunakan bahasa daerah (bahasa
Jawa).
Penggunaan dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah untuk
komunikasi dalam proses belajar mengajar sering terjadi pada sekolah yang sebagian
besar siswanya tidak berbahasa ibu bahasa Indonesia. Agar kelancaran proses belajar
mengajar Bahasa Indonesia dan materi dapat tersampaikan dengan baik maka guru
dan siswa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Begitu pula
saat diskusi kelompok berlangsung, apabila siswa diwajibkan berdiskusi
menggunakan bahasa Indonesia secara keseluruhan, maka siswa yang masih
canggung menggunakan bahasa Indonesia akan menjadi pasif (diam) karena mereka
kesulitan mengungkapkan ide mereka.
Alih kode dan campur kode akan terjadi atau muncul apabila dalam suatu
situasi peserta komunikasi menggunakan dua bahasa. Pemunculan alih kode dan
campur kode terseibut mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Begitu pula dengan
pemunculan atau penggunaan alih kode dan campur kode dalam proses belajar
mengajar Bahasa Indonesia juga mempunyai fungsi dan tujuan tertentu.
Peluang munculnya alih kode dan campur kode dapat terjadi di lingkungan
lembaga pendidikan seperti sekolah pada saat proses belajar mengajar (diskusi
kelompok siswa) berlangsung. Alih kode dan campur kode juga dapat muncul pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
saat proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2 Kepil, Wonosobo. Studi kasus
ini dilakukan untuk memperoleh data empirik yang terkait dengan pemunculan alih
kode dan campur kode dalam proses diskusi kelompok bahasa Indonesia di kelas VII-
B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VIII-D SMP Negeri 2 Kepil, seperti persepsi guru
terhadap peristiwa alih kode dan campur kode yang terjadi pada siswa, jenis-jenis
atau bentuk alih kode dan campur kode, dan faktor penyebab munculnya alih kode
dan campur kode. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang
muncul pada pembelajaran bahasa Indonesia (aktivitas diskusi) pada sekolah
menengah pertama di kawasan pedesaan agar menjadi perhatian khusus bagi guru-
guru yang mengajar di sekolah kawasan pedesaan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode
dalam aktivitas diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP
Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo?
2. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil,
Kabupaten Wonosobo?
3. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam
proses diskusi kelompok pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP
Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menjelaskan
hal-hal di bawah ini.
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam aktivitas
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil,
Kabupaten Wonosobo.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi
kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil,
Kabupaten Wonosobo.
3. Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam proses
diskusi kelompok, pada pelajaran Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 2
Kepil, Kabupaten Wonosobo.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan hasil penelitian
tentang persepsi guru, bentuk , dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan
campur kode dalam proses diskusi kelompok Bahasa Indonesia di kelas VIII
SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo.
2. Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk memakai bahasa yang
tepat dalam mengajarkan materi sehingga materi dapat tersampaikan kepada
peserta didik (siswa) dengan jelas dan peserta didik dapat menangkap materi
dengan baik.
3. Bagi siswa, dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
4. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam upaya
mengadakan inovasi pembelajaran bagi para guru bahasa Indonesia yang lain,
dan meninggalkan strategi pembelajaran yang monoton (konvensional), selain
itu sekolah akan mendapatkan siswa yang mempunyai kemampuan berbahasa
yang baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Hakikat Bahasa
Bahasa menurut teori struktural dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tanda
arbitrer yang konvensional (Soeparno, 2002: 1). Anderson (dalam Tarigan, 1989: 4)
mengemukakan adanya delapan prinsip dasar mengenai hakikat bahasa: yaitu sebagai
berikut, (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal (ibunyi ujaran), (3)
Bahasa tersusun dari lambang-lambang arbitrer, (4) setiap bahasa bersifat unik (khas),
(5) bahasa dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (6) bahasa adalah alat komunikasi, (7)
bahasa berhuibungan erat dengan ibudaya tempat berada, dan (8) bahasa selalu
berubah-ubah.
Douglas (dalam Tarigan, 1989: 5-6), setelah menelaah batasan bahasa dari
enam sumber, memibuat rangkuman sebagai berikut.
a. Bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barangkali juga oleh sistem
generatif.
b. Bahasa adalah seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol-simbol
arbitrer.
c. Lambang terseibut terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat
visual.
d. Lambang-lambang atau simbol-simbol terseibut mengandung makna
konvensional.
e. Bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan sesama
insan manusia.
f. Bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa (a speech community) atau
ibudaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
g. Bahasa pada hakikatnya bersifat manusiawi, walaupun mungkin tidak terbatas
pada manusia saja.
h. Bahasa diperoleh semua orang atau bangsa dengan cara yang hampir atau
banyak bersamaan; bahasa dan pembelajaran bahasa mempunyai ciri-ciri
kesemestaan.
Bahasa juga dapat diartikan sebagai sarana komunikasi manusia yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan informasi kepada orang
lain.
2. Ragam Bahasa
Bahasa mempunyai beberapa ragam, Joos (dalam Nababan, 1993: 22)
membagi gaya atau rag am bahasa menjadi lima, yaitu sebagai berikut.
a. Ragam Beku
Ragam beku ialah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan
dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara resmi. Dalam bentuk tertulis
ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti undang-
undang dasar dan dokumen penting lainnya.
b. Ragam Resmi
Ragam resmi ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato
resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam Usaha
Ragam usaha adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-
pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang
berorientasi kepada hasil atau produksi; dengan kata lain, ragam ini berada
pada tingkat yang paling operasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
d. Ragam Santai
Ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi,
berolah raga, dan sebagainya.
e. Ragam Akrab
Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam
keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan
artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan pendek. Hal ini disebabkan
oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat
inilah banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas
bagi suatu keluarga atau kelompok.
3. Kontak Bahasa
Bahasa tidak akan pernah lepas dari manusia dan kehidupan manusia. Bahasa
tumibuh dan berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat yang teribuka di
mana tiap-tiap individu dapat menerima kehadiran individu lain maka akan terjadi
kontak bahasa. Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) menyatakan bahwa kontak bahasa
adalah istilah yang digunakan dalam sosiolinguistik untuk mengacu pada situasi
kontinuitas geografis atau kekerabatan antarbahasa atau antar dialek (jadi ada saling
berpengaruh). Menurut Chaer (1994: 65) bahasa masyarakat yang datang akan
mempengaruhi bahasa masyarakat yang dimasuki. Hal yang sangat menonjol yang
bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya bilingualisme dan
multilingualisme, dengan berbagai macam kasusnya, seperti interferensi, integrasi,
alih kode, dan campur kode.
Mackey (dalam Rusyana, 1989: 4) menyatakan bahwa kontak bahasa adalah
pengaruh suatu bahasa kepada bahasa lainnya yang menimibulkan perubahan dalam
langue, dan menjadi milik tetap ibukan saja dwibahasawan melainkan juga
ekabahasawan. Kontak bahasa itu berlangsung ibukan hanya dalam diri perorangan
melainkan dalam situasi kemasyarakatan, yaitu tempat seseorang mempelajari bahasa
kedua itu. Oleh karena itu kontak bahasa dianggap merupakan bagian dari kontak
yang lebih luas, yaitu kontak ibudaya. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
secara individual. Kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi
saat seseorang belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya (Suwito, 1985: 39).
Dari beberapa pendapat pakar bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa kontak
bahasa manusia itu dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai sosial. Jadi dalam
sosiolinguistik pengkajian bahasa harus disesuaikan dengan kehidupan manusia dan
sekitarnya, baik sosial maupun ibudaya.
4. Bilingualisme
Bilingualisme dalam bahasa Indonesia sering disamakan dengan
kedwibahasaan. Bilingualisme menurut Mackey dan Fishman (dalam Chaer, 1995:
112) diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seseorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Senada dengan pendapat Mackey dan Fishman, Kridalaksana (1974: 25)
menyatakan bahwa bilingualisme ialah penggunaan dua bahasa secara berganti-ganti
oleh satu orang atau satu kelompok. Ketika seseorang menggunakan dua bahasa
dalam pergaulannya dengan orang lain, ia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan
kedwibahasaan yang diseibut dengan bilingualisme (Dako, 2004: 269).
Dalam KUBI ( 1996: 185) bilingualisme didefinisikan sebagai hal penguasaan
atas dua bahasa oleh penutur bahasa di suatu masyarakat bahasa, sedangkan bilingual
berarti mengenal dua bahasa dengan baik: bangsa Indonesia kebanyakan mengenal
bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Haugen (dalam Muharam, 2011: 199)
berpendapat kedwibahasawan adalah tahu dua bahasa.Jika diuraikan secara leibuh
umum maka pengertian kedwibahasawan adalah pemaakaian dua bahasa secara
bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh
masyarakat.Kedwibahasawan dengan tahu dua bahasa, cukup mengetahui dua bahasa
secara pasif atau aktif.
Nababan (1984: 32) menyeibut bilingualisme dengan bilingualitas yang
berarti kemampuan dalam dalam dua bahasa. Menurut Nababan, bilingualitas dapat
dibagi menjadi dua seperti berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
a. Bilingualitas sejajar yaitu huibungan antara kemampuan dalam kedua bahasa
pada orang yang berdwibahasa secara penuh dan seimbang, kemampuan dan
tindak laku kedua bahasa itu adalah terpisah dan bekerja sendiri-sendiri.
b. Bilingualitas majemuk terjadi ketika dalam keadaan belajar bahasa kedua
setelah menguasai satu bahasa (bahasa pertama atau utama) dengan baik,
khususnya dalam belajar bahasa kedua atau asing di sekolah.
Rahardi (2001: 15) menegaskan bahwa kedwibahasaan adalah peguasaan atas
paling tidak dua bahasa yakni bahasa pertama dan bahasa kedua. Ahli lain, Nababan
berpendapat kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa daam
interaksi dengan orang lain (1984: 27). Menurut Mackey (dalam Kunjana Rahardi,
2001: 14) memberikan gambaran tentang kedwibahasaan sebagai gejala tuturan.
Kedwibahasaan dianggapnya sebagai karakteristik pemakaian bahasa, yakni praktik
pemakaian bahasa secara bergantian yang dilakukan oleh penutur. Pergantian dalam
pemakaian bahasa terseibut dilatarbelakangi dan ditentukan leh situasi dan kondisi
yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindakan bertutur.
Kridalaksana (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 67) membagi kedwibahasaan dalam
tiga kategori.
a. Bilingualisme koordinat, dalam gejala ini penggunaan bahasa dengan dua atau
lebih sistem bahasa yang terpisah. Seorang bilingual koordinat, ketika
menggunakan satu bahasa tidak menampakkan unsur-unsur bahasa dari bahsa
lain. Pada waktu beralih ke bahasa lainnya tidak terjadi pencampuran sistem.
b. Bilingualisme majemuk sering “mengacaukan” unsur-unsur dari kedua bahasa
yang dikuasainya. Kadang-kadang kita menyaksikan orang-orang Indonesia
yang bekerja sebagai iburuh Malaysia melakuakan “kekacauan”dimaksud
(linguistic interference)
c. Kedwibahasaan sub-ordinat. Fenomena ini terjadi pada seseorang atau
masyarakat yang menggunakan dua sistem bahasa atau lebih secara terpisah.
Biasanya masih terdapat proses penerjemahan. Seseorang yang bilingual sub-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
ordinate masih cederung mencampur-adukkan konsep-konsep bahasa pertama
ke dalam bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajari.
Menurut Ponulele (1994: 25) di dalam bilingualism terdapat para penutur
yang menguasai dua bahasa atau lebih dan mereka diseibut bilingual. Istilah ini
bersifat relatif sekali, dalam arti belum diperoeh kesatuan pendapat dari para ahli
bahasa tentang batas-batas kemampuan penguasaan bahasa seseorang untuk dapat
dikatakan sebagai seorang bilingual. Bloomfield (dalam Ponulele, 1994: 24)
merumuskan bilingual sebagai native like of two language, dengan pengertian bahwa
bilingual adalah seorang penutur yang mampu menggunakan dua bahasa yang sama
baiknya. Jadi menurut Bloomfield seseorang baru dapat menyandang gelar bilingual
apabila dia mampu menggunakan secara aktif kedua hahasa sebagaimana
kemampuan saat ia menggunakan bahasa iibunya.
Crystal (dalam Ponulele, 1994: 24) berpendapat yang mendukung pendapat
Bloomfied dengan mengatakan bahwa seseorang dikatakan bilingual bilamana dia
mampu menguasai bebrapa bahasa dengan fasih dan lancar, akan tetapi dijelaska lagi
bahwa rumusan ini mengacu pada kriteria yang terlalu ekstrim, orang yang meguasai
dua bahasa secara sempurna memang ada, mamun hal ini merupakan kekekcualian
ibukanlah keharusan. Sebagian besar bilingual sebenarnya didak mampu menguasai
dua bahasa dengan kadar kualitas yang sama. Biasanya penguasaan bahasa iibu lebih
fasih daripada penguasaan bahasa kedua. Sebagai contoh saat seseorang dilahirkan di
Jawa Tengah, dan setelah dewasa ia bekerja dan menetap di Jakarta, walaupun dia
sudah marih berkomunikasi dengan bahasa Indonesia karena saat bersekolah di Jawa
tengah pun ia mendapakan pelajaran bahasa Indonesia manun ia akan lebih
menguasai bahasa daerahnya, dan saat ia bertemu dengan orang dari asal daerahnya
dia akan memilih berkomunikasi dengan bahasa daerah (Jawa).
Bilingualisme yang sering terjadi di Indonesia adalah bilingualisme bahasa
daerah dengan bahasa Indonesia. Berdasarkan pendapat para ahli terseibut dapat
disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah penguasaan dua bahasa yang dilakukan
secara bergantian dan berdasarkan situasi yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
menggunakan dua bahasa yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi di mana
penutur melakukan tindak tutur.
5. Pengertian Kode
Kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai
ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan
bicara, dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa
yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota-anggota masyarakat bahasa
(Poedjosoedarmo, 1976: 3).
Suwito (1985: 67) menyatakan bahwa kode adalah salah satu varian di dalam
hierarkhi kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Suwito juga menyatakan
bahwa alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan istilah
kode. Dengan demikian, maka dalam bahasa terkandung beberapa macam kode.
Menurut Richards (dalam Ponulele, 1994: 26) menyatakan bahwa kode adalah istilah
yang digunakan sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kode adalah istilah
untuk menyeibut bahasa atau ragam bahasa, dalam pebicaraan sesorang tentu
mengirimkan kode-kode tertentu kepada lawan bicaranya, dengan kode-kode
terseibut maka penutur dan lawan tutur dapat berkomunikasi dengan lancar.
Ponulele (1994:21) merumuskan hubungan hierarki antara kontak bahasa,
bilingualisme, alih kode, dan campur kode dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Huibungan antara Bahasa, Bilingualisme, Alih Kode, dan Campur Kode.
Kontak bahasa
bilingualisme
Alih kode Campur kode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Jadi adanya bilingualisme disebabkan terjadinya kontak bahasa, dan akan
mengakibatkan munculnya gejala kebahasaan yaitu alih kode dan campur kode.
6. Alih Kode
a. Pengertian Alih Kode
Dalam keadaaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan sering terdapat
orang mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan
atau keperluan berbahasa itu. Kejadian itu diseibut alih kode. Konsep alih
kode ini mencakup juga kejadian beralihnya satu ragam fungsiolek
(umpamanya ragam santai) ke ragam lain (umpamanya ragam formal), atau
dari satu dialek ke dialek lain dan sebagainya (Nababan, 1993: 31-32).
Pengartian alih kode menurut Kamal (2012) adalah Alih kode pada hakikatnya
merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Rujukannya adalah
komunitas bahasa atau dialek.
Appel (dalam Chaer, 1995: 141) mendefinisikan alih kode sebagai
“gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.”. Gumperz
(dalam, Gulzar 2010: 26) code-switching is: "the juxtaposition within the
same speech exchange of passages of speech belonging to two different
grammatical systems or sub-systems”. yaitu, alih kode adalah penjajaran
dalam pertukaran bahasa yang sama dari bagian-bagian dari bahasa yang
termasuk dua sistem tata bahasa yang berbeda atau sub-sistem.
Hymes (dalam Chaer, 1995: 142) menyatakan alih kode itu ibukan
hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau
gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Menurut Wardaugh (dalam Dako,
2004: 271) ada dua jenis alih kode, yaitu alih kode situasional dan metaforis.
Alih kode situasional terjadi pada saat perubahan bahasa menurut keibutuhan
situasi yang dikenal oleh penutur itu sendiri, dimana dalam seibuah situasi
mereka berbicara dengan seibuah bahasa dan pada situasi lain mereka
berbicara dengan bahasa lain. Alih kode metaforis memiliki dimensi afektif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
dimana kita menegaskan kembali kode dengan perubahan, baik dari situasi
forma ke stuasi informal, resmi ke keadan santai, serius ke keadaan humor,
dan lain sebagainya.
Alih kode yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain pada
waktu ia berbicara atau menulis (Rusyana, 1989: 24). Menurut Suwito (1985:
68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang
lain. Namun, di dalam suatu kode terdapat berbagai kemungkinan varian (baik
varian regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, ataupun register) sehingga
peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, dan alih gaya
atau alih register. Peralihan demikian dapat diamati baik lewat tingkat-tingkat
tata ibunyi, tata kata, tata kalimat, maupun wacananya.
Crystal (dalam Skiba, 1997) berpendapat suggests that code, or
language, switching occurs when an individual who is bilingual alternates
between two languages during his/her speech with another bilingual person.
A person who is bilingual may be said to be one who is able to communicate,
to varying extents, in a second language.
Hal terseibut menunjukkan bahwa pengalihan kode atau bahasa, sering
terjadi ketika seseorang yang memiliki kemampuan menguasai lebih dari satu
bahasa mengganti bahasanya pada saat berbicara dengan orang lain yang
memiliki dua bahasa bisa dikatakan menjadi salah satu yang bisa
berkomunikasi, pada tingkat yang bervariasi dalam bahasa kedua.
Poedjosoedarmo (1976: 20) mengemukakan bahwa peristiwa alih kode
melibatkan peralihan kalimat. Dari berbagai pendapat di atas alih kode dapat
didefinisikan sebagai peristiwa peralihan pemakaian bahasa dari satu bahasa
ke bahasa lain atau dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa lain. Dalam gejala
kebahasaan (campur kode) ini faktor paling menetukan adalah penutur, saat
seorang penurut sedang melakukan campur kode, maka harus diketahui
identitasnya, seperti tingkat pendidikannya, agama, ras, latar belakang sosial,
dan lainnya. Setelah itu baru unsur kebahasaan yang menetukan terjadinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
alih kode. dengan makin banyak bahasa yang dikausai oleh seorang penutur
dari latar belakang pendidikannya, makin luas kemungkinan untuk bercampur
kode. dari penjabaran terseibut, ada dua tipe yang menjadi latar belakang
terjadinya alih kode, yaitu; latar belakang sikap dan latar belakang
kebahasaan.
b. Ciri- ciri Alih Kode
Ciri-ciri alih kode menurut Suwito (1985: 69) adalah sebagai berikut.
a. Masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai
dengan konteksnya.
b. Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan
dengan perubahan konteks.
c. Macam-macam Alih Kode
Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu
sebagai berikut.
a. Alih kode intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian
bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam
lingkup satu bahasa.
b. Alih kode ekstern
Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari
satu bahasa ke bahasa lain yang berbeda. Perpindahan terseibut dapat
berupa perpindahan dari satu bahasa daerah ke bahasa daerah lain,
perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa nasional, perpindahan dari
bahasa daerah ke bahasa asing, dan perpindahan dari bahasa nasional
ke bahasa asing.
Alih kode intern yang biasanya terjadi dalam pembelajaran di
sekolah yaitu alih kode ragam resmi dan ragam santai, alih kode ragam
resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta
alih kode ragam santai dan ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
yang sering terjadi yaitu alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa,
serta alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua
macam yaitu sebagai berikut.
a) Alih kode sementara
Alih kode sementara yaitu pergantian kode bahasa yang
dipakai oleh seorang penutur berlangsung sebentar. Pergantian
itu bisa hanya berlangsung pada satu kalimat lalu pembicaraan
kembali lagi ke kode biasanya.
b) Alih kode permanen
Alih kode permanen adalah alih kode yang sifatnya
permanen. Alih kode permanen terjadi apabila penutur secara
tetap mengganti kode bicaranya lawan tutur. Tidak mudah bagi
seseorang untuk mengganti kode bicaranya terhadap seseorang
lawan bicara secara permanen, sebab pergantian ini biasanya
berarti adanya pergantian sikap relasi terhadap lawan bicara
secara sadar.
d. Faktor Penyebab Alih Kode
Chaer (1995: 143) menyeibutkan yang menjadi penyebab alih kode
yaitu: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3)
perubahan situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke
informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.
Beberapa faktor penyebab alih kode menurut Suwito (1985: 72-74)
sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud
tertentu.
Seorang penutur atau pembicara terkadang melakukan alih kode
terhadap mitra tuturnya karena ada maksud dan tujuan tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Misalnya, seorang mahasiswa setelah beberapa saat berbicara dengan
dosennya mengenai nilai mata kuliahnya yang belum tuntas dan dia
baru tahu bahwa dosennya itu berasal dari daerah yang sama dan juga
mempunyai bahasa iibu yang sama pula. Agar urusannya cepat selesai,
maka mahasiswa terseibut melakukan alih kode dari bahasa indonesia ke
bahasa daerahnya agar semuanya bisa berjalan lancar dalam mengurus
nilainya.
2) Lawan tutur.
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih
kode karena sipenutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan
bicaranya. Misalnya, penutu ibugis berusaha mengimbangi lawan
bicaranya yang kebetulan orang mandar dengan menggunakan bahasa
mandar pula.
3) Hadirnya penutur ketiga, misalnya alih kode terseibut dilakukan untuk
menetralisasi situasi dan sekaligus menghormati.
Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga Kehadiran orang
ketiga yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan yang di
gunakan oleh penutur dan lawan bicara yang sedang berbicara.
Misalnya, si A dan si B sementara bercakap ibugis, kemudian si C tiba–
tiba datang dan tidak menguasai bahasa ibugis. Dengan demikian si A
dan si B beralih kode dari bahasa ibugis ke bahasa indonesia.
4) Pokok pembicaraan (topik).
Topik pembicaraan merupakan hal dominan yang menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya
diungkapakan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius.
Sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan
dengan bahasa tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
5) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
Dalam seibuah pembicaraan biasanya orang akan melakukan alih
kode guna membangkitkan rasa humor dalam pembicaraan, agar
suasana yang taginya serius dan tegang dapat mencair dan lebih santai.
6) Untuk sekedar bergengsi.
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio –
siuasional tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadinya alih kode,
sehingga tampak adanya pemaksaan dan cenderung tidak komunikatif.
Beberapa alasan beralih kode yang dikemukakan oleh Kammarudin
(1989: 60-62) seperti berikut.
1) Karena sulit membicarakan topik tertentu pada bahasa tertentu.
2) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
3) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan
yang sedang terjadi di kalangan pembicara.
4) Untuk mengeksklusifkan seseorang dari suatu situasi percakapan.
5) Mengutip ucapan orang lain.
6) Menekankan solidaritas kelompok.
7) Mengistimewakan yang disapa.
8) Menjelaskan hal yang telah diseibutkan.
9) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
10) Untuk meningkatkan status atau gengsi atau kekuasaan atau keahlian
seseorang.
Dari ketiga pendapat tentang faktor penyebab alih kode yang telah
dikemukakan di atas, dapat disimpulkan faktor-faktor penyebab alih kode adalah
sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud
tertentu.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh lawan tuturnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik pembicaraan.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
6) Untuk membangkitkan rasa humor, untuk menyegarkan suasana.
7) Untuk sekedar bergengsi.
8) Untuk menegaskan sesuatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan
yang sedang terjadi di kalangan pembicara.
9) Mengutip ucapan orang lain.
10) Menekankan solidaritas kelompok.
11) Membicarakan peristiwa yang telah lalu.
12) Guna dasar pengalihan bahasa ke bahasa lain.
e. Fungsi Alih Kode
Fungsi alih kode merujuk pada apa yang hendak dicapai oleh penutur
dengan peralihan kode terseibut. Fungsi alih kode dan fungsi campur kode
hampir sama. Di bawah ini adalah fungsi alih kode yang dikemukakan oleh
Kammarudin (dalam Wulandari, 2002: 21).
1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang
sedang terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.
5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan
orang lain dengan bahasa lain.
Jadi, alih kode yang dilakukan oleh seorang penutur pasti
mempunyai fungsi tertentu sesuai dengan alasan penutur terseibut beralih
kode. Dari faktor penyebab atau lasan penutur beralih kode, dapat
disimpulkan bahwa fungsi alih kode antara lain untuk menyantaikan,
menegaskan, memibujuk, menghormati, menyegarkan, dan menerangkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Alih kode berguna sebagai strategi komunikasi untuk menyampaikan
informasi.
7. Campur Kode
a. Pengertian Campur Kode
Di antara sesama penutur yang bilingual atau multi lingual, sering
dijumpai sebagai suatu kekacauan atau interferensi bahasa (performance
interference). Fanomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa
tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain. Gejala terseibut dinamai
campur kode (code mixing) (Paul Ohoiwutun, 2002: 69).
Menurut Nababan (1993: 32) campur kode adalah suatu tindak bahasa
bilamana orang yang mencampur dua (lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam
suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi
berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Nababan (dalam Paul
Ohoiwutun, 2002: 69) juga menyatakan bahwa campur kode adalah “
penggunaan lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana menurut pola-
pola yang masih belum jelas”. Di Indonesia gejala campur kode terseibut sering
diseibut dengan “ gado-gado”yang diibaratkan dengan sajian gado-gado , yakni
campuran dari bermacam-macam sayuran. Realita yang terjadi di Indonesia yaitu
pencampuran pengguaan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah tertentu.
Weinreich (dalam Paul Ohoiwutun, 2002: 69) menamai campur kode sebagai
“mixed grammer”.
Campur kode didefinisikan sebagai pemakaian satuan bahasa dari bahasa
satu ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk
di dalamnya pemakaian kata atau sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode
Suwito (1985: 75-76) mengemukakan dalam campur kode terdapat ciri-
ciri khusus antara lain sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
1) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa
lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri, unsur-unsur itu telah menyatu
dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung
satu fungsi.
2) Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi
kebahasaan, unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-
masing telah meninggalkan fungsi-fungsi dan mendukung bahasa yang
disisipinya
3) Unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam campur kode terbatas pada tingkat
frase saja.
Selain itu, juga masih ada ciri lain campur kode yaitu huibungan timbal
balik antar peran dengan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang
bercampur kode, fungsi kebahasaan adalah apa yang hendak dicapai oleh
penutur dalam tuturannya.
c. Macam-macam Campur Kode
Suwito (1985: 78-79) menyeibutkan beberapa macam campur kode
yang berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya yaitu
sebagai berikut.
a. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.
Kata-kata sebagai seibuah kode yang disisipkan di dalam kode
utama atau kode dasar dari bahasa lain merupakan unsur yang
menyebabkan terjadinya campur kode dalam peristiwa berbahasa.
Menurut Oka dan Suparno (1994: 25), kata adalah serapan
satuan bahasa yang terbentuk dari satu morfem atau lebih.
Contoh : seorang pemimpin harus mengayomi rakyat lahir dan batin
“seorang pemimpin harus dapat melindungi rakyat lahir
batin.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.
Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih
yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987: 151).
Frase dari bahasa lain yang disisipkan oleh penutur dwibahasawan ke
dalam kode dasar menimibulkan adanya campur kode dalam tindak
tutur masyarakat.
Chaer (1998: 301) berpendapat bahwa frasa merupakan
gaibungan dua ibuah kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan,
dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat (subjek, predikat,
objek, keterangan).
Contoh : anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke rumah sakit.
“anak korban tabrak lari itu sudah dibawa ke balai pengobatan.
c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.
Bentuk baster yaitu suatu bentuk bahasa akibat adanya
penggaibungan kata dasar (asal bahasa Indonesia) dengan kata
tambahan (asal bahasa Inggris) misalnya kata dasar hutan + imibuhan
isasi hutanisasi. Bentuk ini juga mengakibatkan adanya campur
kode dalam masyarakat bilingual.
Menurut Thelender (dalam Suwito, 1985: 75), baster
merupakan klausa-klausa yang berisi campuran dari beberaa variasi
yang berbeda.
Contoh : semua data yang ada di komputer itu jangan lupa
dibackup.sebelum diinstal ulang.
“semua data yang ada di komputer itu jangan lupa disimpan
ulang di folder yang berbeda sebelum computer diinstal
ulang.
d. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.
Unsur berupa pengulangan kata yang diambil dari bahasa lain
yang disisipkan ke dalam kode dasar menyebabkan campur kode dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
interaksi sosial. Pengulangan terseibut dapat berupa pengulangan
seluruh kata dasar, pengulangan sebagian dari dasar, dan pengulangan
yang berkombinasi dengan proses pemibuibuhan afiks.
Contoh : dana itu turun bebarengan dengan kenaikan harga sembako.
“ dana itu turun bersamaan dengan kenaikan harga sembako.”
e. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.
Unsur-unsur ungkapan dari bahasa lain dimasukkan ke dalam
kode dasar akan membentuk campur kode dalam peristiwa tutur.
Menurut Kridalaksana, 1985: 80) ungkapan atau idiom adalah kontruksi
yang maknanya tidak sama dengan gaibungan makna anggota-
anggotanya.
Contoh : pak SBY pun ikut cancut tali wanda dalam
memberantas korupsi.
“pak SBY pun ikut bekerja keras dalam memberantas
korupsi.”
f. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatikal yang terdiri dari
subjek dan predikat, baik disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak.
Klausa dari bahasa lain yang dimasukkan ke dalam kode dasar akan
menyebabakan campur kode dalam peristiwa tutur. Oka dan Suparno,
(1994: 26) klausa merupakan satuan gramatikal unsur pembentuk kal
imat yang bersifat predikatif.
Contoh : pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso
sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
“pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak di depan
emberi teladan, di tengah mendorong semangat, di belakang
mengawasi.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d. Faktor Penyebab Campur Kode
Suwito (1985: 77) mengemukakan latar belakang terjadinya campur kode
pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang berlatar
belakang pada sikap dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan. Alasan atau
penyebab lain yang mendorong terjadinya campur kode adalah sebagai berikut.
a. Identifikasi peranan.
Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan
edukasional.
b. Identifikasi ragam.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur
melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarkhi
status sosialnya.
c. Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak karena ca
mpur kode juga menandai sikap dan huibungannya terhadap orang lain dan
sikap dan huibungan orang lain terhadapnya.
Suwito (1985: 78) juga menyatakan campur kode terjadi karena ada
timbal balik antara peranan atau siapa yang memakai bahasa itu dan fungsi
kebahasaan atau apa yang ingin dicapai penutur dalam tuturannya. Artinya,
penutur mempunyai latar belakang sosial tertentu cenderung memilih bentuk
campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu.
Campur kode dilakukan oleh penutur baik secara sadar maupun tidak
sadar. Campur kode yang dilakukan secara sadar apabila penutur mempunyai
tujuan tertentu, menunjuk ke suatu hal yang tidak dapat diungkapkan dengan
bahasa utama yang digunakannya.
Nababan (1993: 32) menyatakan campur kode terjadi karena tidak adanya
ungkapan yang tepat dalam bahasa yang dipakai penutur. Faktor-faktor yang
mempengaruhi campur kode adalah penutur, petutur, dan topik pembicaraan.
Penutur yang multibahasawan mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
campur kode. Keheterogenan latar belakang petutur seperti usia, status sosial,
dan tingkat pendidikan menuntut kepandaian penutur dalam memilih bahasa
yang tepat. Namun demikian, dalam hal ini yang paling penting adalah penutur
harus mengetahui bahwa petuturnya juga merupakan multibahasawan. Topik
pembicaraan memungkinkan terjadinya campur kode, karena ada beberapa topik
yang cenderung menuntut pemakaian kode bahasa tersendiri.
e. Tujuan Pemakaian Campur Kode
Menurut Suwito (1985: 78) tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh
penutur dalam tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya. Suwito juga
mengemukakan tujuan pemakaian campur kode ada beberapa macam, antara lain
penutur ingin menunjukkan keterpelajarannya, ketaatan dalam beribadah, dan
kekhasan daerahnya.
Menurut Nababan (1993: 32) campur kode dipakai penutur untuk
memamerkan keterpelajarannya atau kedudukannya, selain itu untuk mencapai
ketepatan makna ungkapan.
f. Fungsi Campur Kode
Fungsi campur kode hampir sama dengan fungsi alih kode sebagai berikut ini.
1) Untuk menegaskan suatu hal atau untuk mengakhiri pertentangan yang sedang
terjadi antara penuturnya.
2) Untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok.
3) Untuk mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati.
4) Untuk meningkatkan status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa.
5) Untuk mengutip ucapan orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang
lain dengan bahasa lain.
g. Persamaan Alih Kode dan Campur Kode
Menurut Chaer (2004: 114) persamaannya adalah digunakannya dua atau
lebih varian dari seibuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode
setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab
tertentu. Dalam campur kode ada seibuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan
(speces), tanpa fungsi keotonomian sebagai seibuah kode. berdasarkan pendapat
terseibut dapat disimpulkan bahwa persamaan alih kode dan campur kode adalah
sma-sama digunakannya dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang
dilakukan dengan sadar dan disengaja karena sebab-sebab tertentu.
h. Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Alih kode dan campur kode adalah dua hal yang berbeda. Hal pokok yang
membedakan antara alih kode dan campur kode yang dikemukakan oleh
Thelander (dalam Suwito, 1985: 76) sebagai berikut.
1) Di dalam alih kode, terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa
bahasa yang lain dalam suatu tuturan dan masing-masing klausa masih
mendukung fungsi tersendiri.
2) Di dalam campur kode, klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan
frasa baster dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi
mendukung fungsi tersendiri.
8. Ragam Tuturan Proses Belajar Mengajar
Interaksi belajar mengajar merupakan peristiwa komunikasi yang
berlangsung dalam situasi formal (Zamzani, 2007: 1). Peristiwa tutur di dalam proses
belajar mengajar seperti proses belajar mengajar Bahasa Indonesia merupakan
peristiwa tutur formal, sehingga ragam bahasa yang digunakan adalah ragam formal.
Selain ragam bahasa formal, dalam proses belajar mengajar Bahasa Indonesia juga
menggunakan ragam bahasa usaha (consultative). Tempat berlangsungnya proses
belajar mengajar Bahasa Indonesia yang pada umumnya dilakukan di dalam ruangan,
walaupun tidak menutup kemungkinan dilakukan di luar ruangan juga mempengaruhi
penggunaan ragam bahasanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Diskusi Kelompok
Ditinjau dari etimoligis , kata diskusi berasal dari kata kerja „to
discus‟ yang berarti berunding atau membincangkan. Menurut pendapat
Suharyanti, (2011:39) diskusi adalah suatu bentuk kegiatan yang terdiri dari
beberapa orang (yang bertatap muka secara langsung) dalam bertukar pikiran
atau oendapat dan pandangan terhadap masalah untuk mencari pemahaman.
Menurut Winarso dan Arief (2001: 68) bahwa diskusi merupakan sesuatu
kegiatan kerjasama atau atau aktivitas koordinatif yang mengandung
langkah-langkah dasar tertentu yang harus dipatuhi oleh seluruh kelompok.
Aktivitas berdiskusi mempunyai tujuan yaitu memperoleh hasil
musyawarah dari anggota-anggota keompok agar dapat memecahkan
masalah yang akan diselesaikan. Suharyanti (2011: 39-40) menjelaskan
bahwa diskusi mempunyai tujuan umum dan khusus, yang dijelaskan
sebagai berikut.
a. Tujuan umum
1) Melatih siswa atau peserta diskusi untuk berpikir secara praktis
2) Melatih mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat
orang lain.
3) Menumibuhkan dan mengembangkan sifat senang bekerja sama
dengan orang lain.
4) Melatih siswa atau mahasiswa untuk berperan serta secara akatif
dan berperan kostruktif terhadap suatu masalah.
5) Untuk mengembangkan ide siswa/mahasiswa dalam
memecahkan masalah yang memerlukan musyawarah.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengatasi masalah yang dihadapi individu atau kelompok
yang berhuibungan dengan mata pelajaran atau kurikulum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2) Untuk menyeesaikan masalah yang bersifat sosial dan yang ada
huibungannya dengan tingkah laku baik dari diri
siswa/mahasiswa atau masyarakat.
3) Untuk menetukan atau menemukan kesatuan pendapat dan sikap
dalam memecahkan masalah.
Jenis-jenis diskusi juga ada beberapa macam salah satunya adalah
diskusi kelompok yang merupakan suatu pembicaraaan yang terdiri dari
sekelompok peserta guna memecahkan suatu masalah secara bersama-sama
dengan mempertimbangkan baik dan iburuk, dan sekaligus menetapkan cara
melaksanakan pemecahan yang baik (Suharyanti, 2011: 41).
Diskusi kelompok di dalam kelas termasuk pada kelompok tak resmi,
seperti pendapat Wanger dan Arnold (dalam Wiranso dan Arief, 200: 70)
menggolongkan diskusi kelompok yang tidak resmi adalah sebagai berikut,
(1) kelompok studi, (2) kelompok pembentuk kebijakasaan, dan (3) Komite
Menurut Vygotsky (dalam Huda, 2011: 24) salah satu landasan teoritis
pertama tentang belajar kelompok ini berasal dari pandangan konstruktivis
sosial. Menurut Vygotsky mental siswa pertama kali berkembang pada level
interpersonal dan mereka belajar menginternalisasikan dan mentrasformasikan
interaksi interpersonal mereka dengan orang lain, lalu pada level intra-
personal dimana mereka mulai memperoleh pemahaman dan keterampilan
baru dari hasil interaksi ini. Dengan demikian sangat baik bagi siswa sejak
dini diajarkan untuk belajar berinteraksi dengan sekitarnya baik itu dengan
teman sebaya atau yang lebih dewasa, agar mereka bisa mendapatkan
informasi-informasi yang belum mereka ketahui atau bertukar pikiran agar
mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas yang tidak mampu mereka selesaikan
sendiri, dengan musyawarah bersama teman-teman yang mempunyai
pemikiran yang berbeda-beda mereka akan lebih mudah menyelesaikan
masalah mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan diskusi kelompok adalah
suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergaibung dalam suatu
kelompok untuk saling bertukar pendapat suatu masalah atau bersama-sama
mencari pemecahan mendapatkan jawaban atau kebenaran atas suatu masalah.
Proses diskusi kelompok ini dapat dilakukan melalui forum diskusi diikuti
oleh semua siswa di dalam kelas dapat pula dibentuk kelompok-kelompok
lebih kecil.
Dalam diskusi kelompok yang perlu diperhatikan ialah para siswa
dapat melibatkan dirinya untuk ikut berpartisipasi secara aktif di dalam forum
diskusi kelompok, jadi metode diskusi kelompok adalah suatu cara penyajian
bahan pelajaran dimana seorang guru memberi kesempatan kepada siswa
(kelompok siswa) untuk mengadakan percakapan guna mengumpulkan
pendapat, memibuat kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif
pemecahan atas masalah.
Teknik metode diskusi kelompok sebagai proses belajar mengajar
lebih cocok dilakukan jika guru memiliki tujuan antara lain.
1) Memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada atau yang dimiliki
oleh para siswa.
2) Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan
pendapatnya masing-masing.
3) Memperoleh umpan balik dari para siswa tentang tujuan yang telah
dirumuskan telah tercapai.
4) Membantu para siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai
masalah yang dilihat baik dari pengalaman sendiri maupun dari
pelajaran sekolah.
5) Mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut.
Untuk dapat mengoperasikan metode diskusi kelompok ini ada
beberapa langkah yang perlu diperhatikan bagi guru antar lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
1) Guru menggunakan masalah yang ada didiskusikan dan memberikan
pengarahan seperlunya mengenai cara-cara pemecahannya, hal
terpenting adalah permasalahan yang dirumuskan sejelas-jelasnya agar
dapat dipahami baik-baik oleh setiap siswa.
2) Para siswa berdiskusi di dalam kelompok dan setiap anggota
kelompok ikut berpartisipasi secara aktif.
3) Setiap kelompok melaporkan hasil diskusinya, hasil-hasil yang
dilaporkan itu ditanggapi oleh semua siswa (kelompok lain).
4) Akhir diskusi para siswa mencatat hasil-hasil diskusinya dan guru
mengumpulkan hasil diskusi dari tiap-tiap kelompok.
Diskusi kelompok merupakan salah satu pengalaman belajar yang
diterapkan di semua bidang studi dalam batasan-batasan tertentu, pengalaman
diskusi kelompok memberikan keuntungan bagi para siswa sebagai berikut :
(1) siswa dapat berbagi berbagai informasi dalam menjalani gagasan baru
atau memecahkan masalah, (2) dapat meningkatkan pemahaman atas masalah-
masalah penting, (3) dapat mengembangkan kemampuan untuk berfikir dan
berkomunikasi, (4) dapat meningkatkan ketertiban dalam perencanaan dan
pengambilan keputusan dan (5) dapat membina semangat kerjasama dan
bertanggung jawab.
Diskusi kelompok memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat
menimibulkan kegagalan dalam arti tidak tercapai tujuan yang diinginkan.
Wardani (Dalam Puger, 1997 : 9) dinyatakan bahwa kelemahan-kelemahan
dalam diskusi kelompok antara lain : (1) diskusi kelompok memerlukan waktu
yang lebih banyak daripada cara belajar yang biasa, (2) dapat memboroskan
waktu terutama bila terjadi hal-hal yang negatif seperti pengarahan yang
kurang tepat, (3) anggota yang kurang agresif (pendiam, pemalu) sering tidak
mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau ide-idenya
sehingga terjadi frustasi atau penarikan diri, dan (4) adakala hanya didominasi
oleh orang-orang tertentu saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan Latihan
Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo”. Ada perbedaan masalah yang diteliti dalam
penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu dalam penelitian Dian Astutik Wulandari
masalah yang diteliti adalah masalah campur kode, sedangkan masalah yang diteliti
dalam penelitian ini adalah masalah alih kode dan campur kode. Selain itu, ada hal
yang juga membedakan antara penelitian ini dan penelitian Dian Astutik Wulandari
yaitu subjek dan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek
penelitian adalah siswa, objek penelitian adalah semua pembicaraan yang terjadi
dalam proses diskusi siswa, pendapat duru hanya digunakan untuk mendapatkan
jawaban tentang persepsi guru mengenai peristiwa alih kode dan campur kode dahasa
dalam diskusi siswa. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dian Astutik
Wulandari subjek penelitiannya adalah pembina dan peserta pramuka, objek
penelitiannya adalah semua pembicaraan yang terjadi dalam proses latihan
kepramukaan
Hasil penelitian Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur Kode dalam
Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU Negeri 1 Sentolo” sebagai berikut: (1) adanya
variasi campur kode dalam penelitian terseibut yaitu campur kode bahasa (bahasa
Indonesia dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris), campur
kode ragam (ragam beku dengan ragam resmi, ragam beku dengan ragam santai, dan
ragam resmi dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur kebahasaan dalam
latihan kepramukaan yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud frase,
dan (3) fungsi pemakaian campur kode adalah untuk mempertegas, meminta
ketegasan, memberi semangat, dan menunjukkan makna yang tepat.
Penelitian yang relevan kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Lina
Puspita Sari dengan judul penelitian “Alih Kode dan Campur Kode dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri
Kaibupaten Wonogiri.” Dalam penelitian Lina Puspita Sari yang menjadi subjek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
penelitian adalah guru dan siswa, objek penelitian adalah semua pembicaraan yang
terjadi dalam proses belajar mengajar.
Hasil penelitian Lina Puspita Sari yang berjudul “Alih Kode dan Campur
Kode dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas II SD Negeri Selopukang
Kecamatan Wonogiri Kaibupaten Wonogiri” sebagai berikut.
a. Bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa indonessia
kelas II SD Negeri Selopukangberupa alih kode intern , yaitu peralihan
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa; bentuk campur kode yang terjadi
berupa campur kode kata, campur kode frasa, campur kode klausa , dan
campur kode pengulangan kata.
b. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang terjadi yaitu
untuk mrengimbangi kemampuan berbahasa siswa, kebiasaan guru
dengan mengunakan bahasa Jawa, untuk menarik perhatian siswa, faktor
penyebab terjadinya campur kode yaitu rendahnya penguasaan kosakata
bahasa Indonesia siswa, dan adanya unsure tanpa disadari oleh guru.
Penelitian relevan yang ketiga adalah hasi penelitian dari Rima Fatimah yang
berjudul “Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar Mengajar Bahasa
Indonesia di SMA Negeri 1 Magelang” dalam penelitian Rima Fatimah yang menjadi
subjek penelitian adalah guru dan siswa , sedangkan objek penelitiannya adalah
semua pembicaraan siswa dan guru selama pelajaran berlangsung. dalam penelitian
terseibut ada sembilan kelas yang menjadi subjek penelitian yaitu dari kelas Xa
sampai Xi. Hasil dari penelitian terseibut antara lain.
Macam-macam alih kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa
Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang adalah alih kode intern dan ekstern.
Faktor penyebab alih kode yang terjadi dalam proses belajar mengajar bahasa
Indonesia di kelas X SMA Negeri 1 Magelang sebagai berikut: (1) penutur dan lawan
tutur; (2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3) perubahan topik pembicaraan;
(4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya; dan (5) untuk membangkitkan
rasa humor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Penelitian yang relevan yang keempat adalah thesis yang ditulis oleh Malik
Ajmal Gulzar berjudul “Code-switching: Awareness about Its Utility in Bilingual
Classrooms” yang dalam bahasa Indonesia berarti “alih kode: kesadaran tentang
penggunaan alih kode dalam kelas bilingual (dwi bahasa)”. Hasil penelitian dalam
thesis ini adalah sebagai betikut.
Penelitian terseibut telah memberikan hasil yang signifikan untuk
menggarisbawahi bahwa para guru tidak tahu tentang batas-batas penggunaan alih
kode dan fungsi yang mereka bisa/ harus alih kode untuk memenuhi keibutuhan
siswa. Peneliti menemukan hasil yang sedikit berbeda dengan penelitian ini, dimana
guru tidak menganggap bahwa peristiwa alih kode yang digunakan siswa selama
pelajran berlangsung adalah seibuah kesalahan, guru memaklumi keterbatasan siswa-
siswanya. Hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP
Negeri 2 kepil, guru menganggap peristiwa alih kode yang dilakukan siswa adalah
sikap yang salah dan harus dibenahi.
Peneitian yang relevan kelima adalah tesis yang ditulis oleh Yulia
Mutmainnah, mahasiswa S2 Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul
“Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik pada
Masyarakat Jawa di Kota Bontang Kalimantan Timur”. Objek penelitian dalam thesis
terseibut berbeda dengan penelitian ini, dalam tesis terseibut objeknya adalah
masyarakat jawa yang berada di Kota Bontang Kalimantan Timur, sedangkan dalam
penelitian ini objek penelitiannya adalah siswa yang berdiskusi di dalam kelas,
namun mempunyai prsamaan yaitu menganalisis alih kode yang digunakan atau
dipilih dalam komunkasi. Hasil dari thesis ini adalah sebagai berikut.
Kode yang ditemukan pada masyarakat tutur Jawa di kota Bontang adalah
kode berupa Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Jawa (BJ), Bahasa daerah lain (BL), dan
Bahasa asing (BA), dengan faktor-faktor penentu berupa (1) ranah, (2) peserta tutur,
dan (3) norma. Pada alih kode dengan kode dasar BI, muncul variasi alih kode BJ dan
BA. Pada alih kode dengan kode dasar BJ, muncul variasi alih kode BI. Campur kode
pada masyarakat tutur Jawa memunculkan campur kode dengan kode BI, BJ, BA dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
BL. Didasarkan pada jenis situational code-switching, perubahan bahasa terjadi
karena (1) perubahan situasi tutur, (2) kehadiran orang ketiga, dan (3) peralihan
pokok pembicaraan, sedangkan pada metaphorical codeswitching perubahan bahasa
terjadi karena penutur ingin menekankan apa yang diinginkannya. Campur kode
terjadi karena (1) keterbatasan penggunaan kode, dan (2) penggunaan istilah yang
lebih populer.
Penelitian relevan yang keenam adalah penelitian yang dilakukan oleh Rizal
Muharam, dengan judul “Alih Kode, Campur Kode, dan interferensi yang Terjadi
dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Ternate (Tinjauan Deskriptif terhadap
Anak-anak Multikultural Usia 6-8 Tahun di Kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota
Madia Ternate)”. Dalam penelitian ini objek penelitiannya adalah percakapan siswa
dan subjeknya adalah siswa kelas II SD Negeri Kenari Tinggi 1 Kota Madia Ternate.
Hasil penelitian terseibut menyatakan bahwa siswa-siswa kelas II SD Negeri
Kenari Tinggi kebanyakan menggunakan bahasa atau kosa kata bahasa melayu
ternate, dalam penelitian ini siswa SMP Negeri 2 Kepil juga kebanyakan
menggunakan kosakata dari bahasa daerah (Jawa). Siswa di SD tersebut juga sering
menjawab pertanyaan yang menggunakan kode dasar bahasa Indonesia dengan
bahasa Ternate, begitu pula siswa di SMP Negeri 2 Kepil juga masih sering
menggunakan bahasa jawa dalam menjawab pertanyaan dari guru yang menggunakan
bahasa Indonesia.
C. Kerangka Berpikir
Dalam kegiatan belajar mengajar bahasa adalaah satu-satunya alat komunikasi
yang menghuibungkan satu orang dengan orang lain, baik itu antara guru dengan
siswa atau siswa dengan siswa lainnya saat berkomunikasi. Tidak dapat dipungkiri
bahwa bahasa sangat berperan penting bagi dunia pendidikan, begitu pula dalam
pelajaran bahasa Indonesia, bahasa tidak akan terlepas dari kegiatan terseibut.
Seharusnya dalam pelajaran bahasa Indonesia siswa dan guru harus
menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, namun terkadang sekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 2 kepil, kabupaten Wonosobo hal terseibut
sulit dijalankan dengan baik, karena siswa-siswa belum terbiasa menggunakan bahasa
Indonesia dalam keseharian mereka, terlebih saat diskusi kelompok berlangsung,
percakapan diskusi yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar berubah menjadi percakapan yang menggunakan dwibahasa yaitu bahasa
Indonesia bercampur dengan bahasa Jawa.
Keterbatasan siswa dalam menguasai bahasa Indonesia memibuat guru tidak
bisa memaksakan siswa untuk memakai bahasa Indonesia dengan baik dan benar saat
kegiatan belajar mengajar berlangsung, kalau siswa dipaksa menggunakan bahasa
bahasa Indonesia secara keseluruhan maka akan menyulitkan siswa terlebih saat
diskusi kelompok. Siswa akan terhambat dalam menyampaikan ide yang mereka
punya, maka dari itu guru memperbolehkan siswa menggunakan alih kode dan
campur kode dalam kegiatan diskusi terseibut. Dengan penggunaan alih kode dan
campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa maka siswa akan lebih mudah
mengungkapkan ide yang mereka miliki, juga lebih mudah menerima ilmu dari guru
maupun siswa yang lain.
Untuk mengatahui persepsi guru, wujud dan macam, faktor penyebab
terjadinya campur kode dan alih kode dalam aktivitas diskusi kelompok pelajaran
bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 kepil kaibupaten Wonosobo peneliti melakukan
penelitian studi kasus dengan bagan kerangka berpikir sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Bahasa siswa di sekolah kawasan
pedesaan (SMP Negeri 2 Kepil)
Kabupaten Wonosobo)
Aktivitas diskusi siswa pada
pelajaran bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia Bahasa Jawa
Alih kode Campur kode
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan
campur kode pada diskusi siswa.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi
dalam proses diskusi siswa.
3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur
kode dalam proses diskusi siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian akan dilakukan di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten
Wonosobo , yang terletak di Jl. Wonosobo-Magelang Km. 25, kecamatan Kepil,
kaibupaten Wonosobo. Sekolah terseibut berada di perbatasan Wonosobo-Magelang,
dan berjarak 33 Km dari kota Wonosobo. Waktu pelaksanaan penelitian dan
penyusunan laporan penelitian ini dilaksanakan pada ibulan Januari sampai ibulan
Juni tahun 2012 . Penelitian ini dilakukan pada saat proses diskusi siswa SMP Negeri
2 Kepil berlangsung. Jadwal pelaksanaan penelitian studi kasus dapat dilihat pada
gambar 3.
Kegiatan Jan Februari Maret April Mei Juni
1. Persiapan
1. Menyusun proposal
2. Pengajuan izin
penelitian
3. Observasi awal,
koordinasi dengan
guru dan kepala
sekolah
2. Pelaksanaan penelitian
1. pengambilan data
2. wawancara dengan
guru dan siswa
3. Analisis data
4. Penyusunan laporan
c. Penyusunan draf
d. Pengetikan skripsi
e. Ujian dan revisi
Gambar 3.1 Jadwal Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
9. Metode dan Pendekatan Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif
deskriprif menurut Moleong (2001: 3) yang mengutip pendapat Bogdan dan Taylor
adalah sebagai berikut:”Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang
dan perilaku yang diamati”. Lebih lanjut Sutopo (1991:35) menjelaskan data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih dari
sekedar angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan yang menggambarkan
situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
terpancang. Diseibut terpancang karena permasalahan yang dibahas hanya
mengangkat permasalahan yang terjadi di SMP kawasan pedesaan dalam masalah
pemakaian bahasa Indonesia pada kegiatan belajar siswa khususnya kagiatan diskusi.
Sesuai dengan tujuan penelitian, penelitian ini berusaha mendiskripsikan
terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa SMP Negeri 2Kepil,
kaibupaten Wonosobo. Dimana siswa masih kesulitan menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar dalam menyampaikan ide saat berdiskusi.
10. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah peristiwa penggunaan Bahasa
Indonesia dan informan oleh siswa SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo
dalam proses diskusi kelompok. Objek penelitian ini adalah campur kode dan alih
kode dalam proses diskusi kelompok siswa di SMP Negeri 2 Kepil. Selain itu sumber
data juga diperoleh dari informan, yaitu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan
siswa.
11. Sampel dan Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling
dimana pengambilan sampel dari peristiwa kegiatan pembelajaran di kelas,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
wawancara dengan informan, yaitu guru bahasa Indonesia kelas VII dan VIII dan
siswa yang melakukan alih kode dan campur kode dalam diskusi, bertujuan agar
peneliti dapat mengetahui seberapa sering penggunaan alih kode yang digunakan saat
pembelajaran Bahasa Indonesia.
12. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Teknik observasi atau pengamatan dilakukan dengan penelti
sebagai observator partisipan pasif terhadap peristiwa atau kegiatan
diskusi kelompok mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperoleh
data tentang pemakaian alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa
saat berdiskusi.
2. Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan guru
mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VII dan VIII dan beberapa siswa
dari kelas VII dan VIII. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi
lebih dari pengamatan atau observasi yang dilakukan, setelah melakukan
observasi langsung diskusi siswa saat pembelajaran Bahasa Indonesia,
peneliti melakukan wawancara untuk mengetahui persepsi guru terhadap
penggunaan alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa saat
berdiskusi dan mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode
dan campur kode.
13. Uji Validitas Data
Menurut Denzim (dalam Mahsun, 2005: 237) menyatakan bahwa ada empat
triangulasi untuk menguji validitas data yaitu: (1) triangulasi data, (2) triangulasi
peneliti, (3) triangulasi teori, dan (4) triangulasi metode. Uji validitas data yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
1. Triangulasi metode
Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengumpulkan data
sejenis dengan metode yang berbeda, yaitu observasi dan wawancara.
Metode ini dilakukan untuk mengecek alasan terjadinya alih kode dan
campur kode yang dikalukan siswa saat berdiskusi kelompok.
2. Triangulsi sumber data
Triangulasi sumber data, yakni dengan membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam hal ini membandingkan
data tentang alih kode dan campur kode bahasa yang dilakukan siswa
melalui data yang diperoleh dari guru dicek pada siswa atau siswa satu
dicek pada siswa yang lain.
3. Review informan
Review informan dilakukan untuk mengecek kembali data dan
informasi. Data diperoleh dari guru dan siswa.
14. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis interaktif. Analisis model interaktif ini merupakan interaksi dari empat
komponen, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
simpulan. Pada saat melakukan tahap pengumpulan data sekaligus sesuai dengan
kemunculan data yang diperlukan. Adapun langkah-langkah analisis interaktif adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan cara
analisis dokumen, observasi, dan wawancara. peneliti mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhuibungan
dengan penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam pelaksanaan diskusi
Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
2. Reduksi Data
Teknik ini mengambil langkah yang berupa pencatatan data yang
diperoleh dari hasil observasi. Dalam pencatatan terseibut dilakukan seleksi,
pemfokusan dan penyederhanaan data, data mana yang akan diambil. Hal
terseibut bertujuan untuk lebih memudahkan dalam mengambil data-data yang
dianggap penting, yakni tentang penggunaan bahasa yang gunakan siswa dalam
pelaksanaan diskusi Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil. Proses reduksi
terus berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai ditulis.
3. Display Data
Melalui sajian data, data yang telah terkumpul dikelompokan dalam
beberapa bagian dengan jenis permasalahannya supaya mudah dilihat dan
dimengerti, sehingga mudah untuk dianalisis. Penyajian data penelitian yang
diperoleh melalui analisis dokumen ataupun pada saat proses diskusi berlangsung
di kelas maupun diperoleh melalui wawancara dengan informan. Hal terseibut
meliputi: (1) data hasil observasi yang diperoleh peneliti pada saat diskusi
berlangsung, (2) hasil wawancara dengan guru Bahasa Indonesia kelas VII dan
VII, dan (3) beberapa siswa kelas VII dan VIII yang menggunakan alih kode dan
campur kode saat melakukan diskusi dengan teman sekelompoknya.
4. Penarikan Simpulan
Berdasarkan dari hasil analisis terhadap ujaran dan pembicaraan antara
guru dengan peserta didik yang terjadi pada proses pembelajaran dan pada saat
diwawancarai, kemudian ditarik simpulan. Simpulan-simpulan terseibut
diverifikasi selama penelitian berlangsung. Pada penelitian ini data yang
diverifikasi meliputi: (1) persepsi guru, (2) bentuk-bentuk alih, dan (3)faktor-
faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam diskusi siswa.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model
interaktif Milles dan Huberman (Sutopo, 2002: 187). Analisis interaktif adalah
analisis yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan simpulan/verifikasi. Skema analisis interaktif adalah sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Gambar 4. Analisis Model Interaktif (Miles dan Huberman)
15. Prosedur Penelitian
a. Tahap persiapan
a. Pengajuan judul proposal
b. Pemibuatan
b. Tahap pelakanaan
a. Perizinan penelitian
b. Pengumpulan data
c. Analisis data. Tahap ini meliputi pengkajian yang mendalam serta
mengarah pada tujuan yang ingin dicapai oleh penulis,
pengumpulan data, dan analisis data. Kegiatan yang dilakukan pada
tahap ini adalah pengumpulan data dari hasil wawancara mendalam
dan observasi kegiatan belajar siswa yang diubah dari data lisan
menjadi data tulis.
c. Tahap akhir
Penyusunan laporan. Tahap ini meliputi konsultasi dengan
pembimbing, mengadakan perbaikan, dan memperbanyak laporan
penelitian.
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Penarikan
Simpulan/Verifikasi
Reduksi Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 43
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi/Objek Penelitian
Penelitian tentang alih kode dan campur kode dalam pemakaian bahasa
Indonesia pada aktivitas diskusi siswa ini diakukan di SMP Negeri 2 Kepil,
Kaibupaten Wonosobo, tepatnya di Desa Randusari. Sekolah ini termasuk sekolah
yang berada di kawasan pedesaan karena jaraknya cukup jauh dengan kota
kaibupaten wonosobo yaitu 33 km. Sekolah ini hanya berjarak 1 km dari perbatasan
Wonosobo-Magelang. Walaupun sekolah ini termasuk sekolah yang berada di
kawasan pedesaan namun berada tepat di samping jalan alternatif Wonosobo-
Magelang. Dengan demikian siswa bisa menggunakan sarana angkutan umum
(angkudes) yang melewati sekolah terseibut saat berangkat dan pulang sekolah,
namun masuh banyak juga siswa yang harus berjaan kaki karena tempa tinggal
mereka yang berada di pelosok-pelosok desa dan jauh dari jalan umum, bahkan ada
yang harus berjalan sekitar 30 menit menuju sekolah. Sekolah ini memiliki 15 kelas
dari kelas VII-IX, setiap angkatan terdiri atas lima kelas yaitu A-E. kelas dalam
sekolah ini termasuk kelas kecil karena hanya terdiri atas 20-23 siswa per-kelas.
Siswa yang bersekolah di SMP Negeri 2 Kepil ini tidak hanya siswa yang
berasal dari daerah Kaibupaten Wonosobo namun juga dari daerah Magelang yang
wilayahnya berbatasan dengan Kaibupaten Wonosobo, seperti Desa Munggangsari,
Desa Tunggangan, Desa Bonjok, Desa Kaliaibu, Desa Manglong, Desa Margoyoso,
Desa Pandansari, dan beberapa daerah yang lain, sedangkan yang berasal dari daerah
Kaibupaten Wonosobo yaitu Desa Randusari, Desa Kagungan, Desa kapulogo, Desa
Tanjunganom, Desa Ropoh, Desa Tegalsari, Desa Ngaliyan, dan beberapa daerah lain
desekitar sekolah terseibut.
Dalam penelitian ini peneliti memilih sekolah terseibut karena dari hasil
observasi sebelum penelitian saat pelajaran bahasa Indonesia berlangsung siswa
masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, contohnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
saat diskusi kelompok atau presentasi hasil kerja kelompok siswa masih sering
menggunakan bahasa daerah (bahasa Jawa) meskipun guru sudah member instruksi
agar menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tentu bertolak belakang dengan siswa
yang bersekolah di kawasan perkotaan mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari, jadi saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung seperti berdiskusi mereka sudah tidak kesulitan menggunakan bahasa
Indonesia, berbeda dengan siswa dari kawasan pedesaan seperti SMP Negeri 2 Kepil,
mereka masih sangat kesulitan membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia saat
berdiskusi dengan teman mereka. Dari enam kelas yang di teliti yaitu VII-B, VII-C,
VII-E, VIII-B, VIII-C, VIII-D masih banyak siswa yang melakulan alih kode dan
campur kode saat proses diskusi kelompok berlangsung.
B. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode pada peristiwa diskusi.
a. Guru berpendapat bahwa pengunaan alih kode dan campur kode bahasa
yang dilakukan oleh siswa adalah sikap yang salah.
Dari hasil wawancara dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia,
berkaitan dengan hasil penelitian yang memibuktikan bahwa siswa-siswa
SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo masih sering melakukan alih
kode saat proses diskusi berlangsung. Guru mengungkapkan sebenarnya
mereka tidak setuju dengan penggunaan alh kode dan campur kode yang
masih sering dilakukan siswa saat kegiatan belajar mengajar berlangsung,
ontohnya saat diskusi, beliau menganggal hal terseibut ada;lah sikap yang
salah dan harus segera dibenahi.
Guru sudah berusaha dengan keras untuk membiasakan siswa agar
memakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan teman atau guru
saat jam pelajaran berlangsung, beliau juga sudah sering menjelaskan
bahwa di saat kegiatan belajar mengajar berlangsung itu situasinya formal,
jadi siswa harus belajar berbicara menggunakan bahasa Indonesia, karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
belajar bahasa Indonesia tidak hanya belajar menulis tetapi juga belajar
menyimak, membaca, dan juga berbicara.
b. Guru berpendapat bahwa siswa masih kesulitan menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, sehingga guru berusaha selalu
mengarahkan siswa agar terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Peristiwa alih kode dan campur kode yang dilakukan siswa itu
sebenarnya ibukan arahan dari guru, salama guru mengajar guru selalu
mengarahkan siswa agar siswa belajar mencintai bahasa Indonesia dan
berusaha menguasainya agar dapan berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar.
Guru juga menyadari bahwa penguasaan bahasa Indonesia
sangat penting bagi siswa, termasuk untuk masa depan siswa, contohnya
setelah siswa lulus dari SMP siswa akan melanjutkan sekolah atau bekerja
di luar daerah, dan mereka harus menguasai bahasa nasional, karena bahasa
di daerah lain akan berbeda dengan bahasa daerah yang dipakai di
lingkungan tempat siswa tinggal sekarang, jadi bisa disimpulkan bahwa
penguasaan bahasa Indonesia sangat penting bagi siswa agar untuk masa
depan yang lebih maju dan lebih berkembang. Akan tetapi dengan kondisi
lingkungan yang kurang mendukung memibuat siswa masih merasa asing
dngan bahasa Indonesia, sebagian dari mereka juga jarang yang bisa belajar
bahasa Indonesia dari internet atau televisi karena sebagan siswa yang
bersekolah di SMP terseibut adalah dari kalangan keluarga menengah ke
bawah, masih jarang dari mereka yang dapat hidup berkecukupan dengan
fasilitas canggih yang dapat mendukung sarana belajar mereka,
c. Guru masih kesulitan dalam membiasakan siswa untuk berkomunikasi
dengan bahasa Indonesia.
Guru masih merasa kesulitan dalam mengarahkan siswa agar
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonsia, walau pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
berbagai cara dilakukan seperti, mewajibkan siswa menggunakan bahasa
Indonesia saat berkomunikasi dengan guru maupun siswa lain saat
pelajaran berlangsung. Namun siswa masih sering melakukan alih kode
dan campur kode bahasa, baik disengaja atau tidak. Contohnya terkadang
siswa masih melakukan campur kode bahasa Jawa ke dalam percakapan
yang mnggunakan kode dasar bahasa Indonesia tanpa disengaja, yaitu
dialek-dialek daerah mereka yang sulit untuk dihilangkan, seperti ealah,
walah, dan ungkapan lain saat siswa terkejut. Hal terseibut sulit
dihilangkan karena siswa sudah terbiasa menggunakannya saat
berkomunikasi dengan orang tua dan teman-temannya di rumah. Selain
itu, siswa juga masih kurang menguasai kosa kata bahasa Indonesia, jadi
masih banyak istilah-istilah yang belum mereka mengerti saat ingin
berbicara atau mengungkapkan ide mereka, dan mereka akan
menggunakan istilah-istilah bahasa jawa. Contohnya kunduran, nyaruk,
dan beberapa contoh lain yang mesih sering digunakan siswa.
Seperti yang disampaikan ibu Sayekti Laras Supayaningsih,
S.Pd selaku guru mata pelajaran bahasa Indonesia yang berpendapat
bahwa siswa SMP Negeri 2 Kepil belum bisa juka disuruh memakai
bahasa Indonesia dengan baik dan benar termasuk saat jam pelajaran
bahasa Indonesia berlangsung. Siswa masih kesulitan dalam memahami
istilah-istilah bahasa Indonesia yang jarang mereka dengar, jadi
kebanyakan dari mereka masih bertahan dengan istilah-istilah yang
mereka mengerti dalam bahasa Jawa. Ibukan hanya istilah asing, kata-
kata yang mudah pun banyak siswa yang tidak mengerti, jadi akhirnya
guru pun menjelaskan menggunakan bahasa Jawa.
Kendala yang dihadapi di sekolah yang termasuk daerah
pedesaan ini tentu lingkungan masyarakat siswa yang memakai bahasa
daerah (bahasa Jawa) sebagai bahasa ibu. Jadi siswa tidak terbiasa
memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi termasuk saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
berdiskusi di dalam kelas. Melihat kondisi terseibut menjadikan ibukti
bahwa guru yang mengajar di SMP kawasan pedesaan seperti SMP
Negeri 2 Kepil mempunyai tugas yang lebih berat daripada guru yang
mengajar di sekolaha perkotaan, dimana guru harus berusaha lebih keras
mengenalkan bahasa Indonesia kepada siswa karena siswa memeang
masih merasa canggung dalam memraktikkan berbicara memakai bahasa
Indonesia dengan bak dan benar, sedangkan siswa di sekolah perkotaan
sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, bahasa
iibu yang mereka miliki juga bahasa Indonesia.
Dengan kondisi lingkungan yang kurang mendukung siswa
untuk lancar berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia,
menyebabkan siswa masih sering melakukan alih kode dan campur kode
bahasa Jawa saat berbicara menggunakan kode dasar bhasa inonesia.
Akhinya guru juga harus memaklumi keterbatasan siswa-siswa mereka,
walau pun guru sebenarnya juga tidak setuju dengan alih kode dan
campur kode yang dilakukan siswa saat berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia.
Jawaban senada juga diungkapkan oleh guru kelas VII SMP
Negeri 2 Kepil yaitu ibu Yusephine Sumarjilah, beliau juga sudah
berusaha membiasakan siswa memakai bahasa Indonesia saat berbicara di
dalam kelas atau saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Akan
tetapisiswa sendiri memang sudah lebih terbiasa memakai bahasa daerah
yaitu bahas Jawa sebagai bahasa komunikasi mereka sehari-hari, jadi
walau pun sudah diarahkan agar belajar membiasakan diri memakai
bahasa Indonesia namun realisasinya masih sulit. Walaupun sebenarnya
dengan hal terseibut tidak terlalu berpengaruh dengan penyampaian
materi kepada siswa, hanya saja mempraktikkan keterampilan berbicara
pada siswa yang masih sulit, selain itu siswa masih sering gaduh sendiri
di kelas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Sedikit berbeda dengan jawaban Ibu Laras, saat ditanya
persepsinya tentang peristiwa alih kode dan campur kode yang masih
sering terjadi saat siswa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia,
menurut ibu yusephine kejadian terseibut tidak menjadi masalah karena
siswa-siswa yang bersekolah di SMP terseibut termasuk kawasan
pedesaan yang daeri kecil sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah
(babasa Jawa). Karena itu siswa tidak dapat dipaksa untuk langsung
lancar dalam keterampilan berbahasa Indonesia, walau sebenarnya ibu
Yusephine juga sudah berusah mengarahkan siswa agar belajar berbahasa
Indonsia dengan baik dan benar. Menurut beliau sedikit demi sedikit
siswa akan terbiasa karena itu, siswa yang dipaksa melainkan diarahkan
sedikit demi sedikit nanti lama-lama siswa menjadi terbiasa.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi.
Dalam dialog diskusi kelompok siswa SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten
Wonosobo masih banyak ditelukan peristiwa alih kode dan campur kode. Alih
kode dan campur kode terseibut muncul beberapa kali dalam beberapa macam,
mempunyai faktor penyebab kemunculan, serta fungsi dan tujuan tertentu.
d. Alih Kode
Bentuk atau Macam-macam Alih Kode
1) Alih Kode Intern
Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian
bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, antargaya dalam lingkup
satu bahasa. Apabila alih kode itu menjadi antar bahasa-bahasa daerah
dalam satu bahasa nasional , atau dialek-dialek dalam satu daerah, atau
antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek alih
kode seperti ini diseibut bersifat intern (Suwito, 1985: 68). Alih kode
intern yang terjadi dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VIII-D
SMP Negeri 2 Kepil sebagai berikut.
b) Alih kode ragam resmi dan ragam santai
Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai atau
sebaliknya yang muncul dalam proses diskusi kelompok
pelajaran bahasa Indonesia kelas dapat dilihat dalam kalimat
berikut.
Siswa 3: “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek
pada diri siswa, berikan saranmu supaya
menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Njuk
di jawab!”
Siswa 2: “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah
menyerah untuk menjawabnya.”
Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu nganu? Sulit.”
Siswa 5: “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus blajar
dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.” (kel . 2,
VIII-B)
Dalam contoh di atas terjadi alih kode dari ragam resmi
ke ragam santai. Ragam resmi yang ada dalam contoh di atas
ditandai oleh pemakaian afiks me-kan secara eksplisit dan
konsisten yaitu pada kata menjadikan. Kalimat ragam resmi
terseibut memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat. Kata-kata
yang digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai dalam
contoh di atas ditandai oleh penggunaan kata-kata yang tidak
baku seperti njuk dijawab. Selain itu juga ditandai oleh
kalimatnya yang tidak lengkap.
Contoh lain alih kode dari ragam resmi ke ragam santai
juga terlihat dalam dialog berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Siswa 1 : ”Kita akan terus semangat walaupun
badai kemiskinan menerpa kita, tak kan
meratapi rumahku yang di kolong
jembatan, dan sampah lantai rumahku,
hidupku terlunta-lunta, matahari
menemaniku setiap hari. Wis to?” Siswa 2 : “Kan iki ngelak to?”
Siswa 3 : “Haus?”
Siswa 2 : “Iya, haus.”
Siswa 1 : “Berarti dahaga.” (kel. 1, VIII-D)
Dalam contoh di atas terjadi alih kode dari ragam resmi
ke ragam santai. Ragam resmi yang ada dalam contoh di atas
ditandai oleh pemakaian afiks ke-an secara eksplisit dan konsisten
yaitu pada kata kemiskinan. Kalimat ragam resmi terseibut
memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat. Kata-kata yang
digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai dalam contoh di
atas ditandai oleh penggunaan kata-kata yang tidak baku dan
menggunakan bahasa daerah (Jawa) seperti Wis to?. Selain itu
juga ditandai oleh kalimatnya yang tidak lengkap.
c) Alih kode dari ragam santai ke ragam resmi
Contoh alih kode dari ragam santai ke ragam resmi terdapat
dalam kalimat di bawah ini.
Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya
tanyakan Dini”
Siswa 2 : “Iya ini ceritanya meh pagi-pagi po siang?”
Siswa 3 : “Selamat pagi aja?”
Siswa 1 : “Tanda petiknya lho! Saya Fatimah. Gitu!”
Siswa 4 : “Ga langsung ga papa, bertele-tele dulu gitu.
Halo selamat sore, saya Fatimah, bisa bicara
dengan wahyu? gitu.” (kel 1, VII-C)
Ragam resmi dalam contoh di atas ditandai oleh pemakaian
kataganti saya. Bentuk kalimatnya lengkap dan tidak disingkat. Kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
tugas yang digunakan secara eksplisit. Selain itu kata-kata yang
digunakan adalah kata-kata baku. Ragam santai ditandai penggunaan
kata ga papa dan bertele-tele.
d) Alih kode ragam resmi dan ragam usaha
Contoh alih kode dari ragam resmi ke ragam usaha yang
muncul dalam proses proses diskusi kelompok pelajaran bahasa
Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D
SMP Negeri 2 Kepil sebagai berikut.
Siswa 4 : “Ga langsung ga papa, bertele-tele dulu gitu.
Halo selamat sore, saya Fatimah, bisa bicara
dengan wahyu? gitu.”
Siswa 1 : “Selamat pagi terus koma gitu?”
Siswa 3 : “Halo, saya Fatimah, temannya Wahyu,
bisa bicara dengan Wahyu? Ojo teman
sekelase Wahyu.”
Siswa 2 : “Oh iya sebentar tak panggilkan Wahyu.
Gitu.”
Siswa 1 : “Oh iya kita pakeknya saya aj a ga usah
aku!”
(kel. 1, VII-C)
Ragam resmi dalam kalimat di atas ditandai oleh kalimat
yang lengkap dan bahasa baku. Ragam usaha dalam kalimat di atas
ditandai oleh kalimatnya yang pendek tetapi lawan bicara tetap
mengerti apa yang dibicarakan penutur. Kalimat ragam usaha
terseibut berorientasi pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur.
e) Alih kode ragam beku dan ragam santai
Alih kode dari ragam beku ke ragam santai yang muncul
dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa
kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D SMP Negeri 2
Kepil sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Siswa 1: “Keluarin ayo keluarin ibukunya!”
Siswa 2 : “Ayo di tulis ya!”
Siswa 3 : “Pakai pensil dulu saja biar neg salah bisa
dihapus!”
Siswa 4 : “Siap grak. Tak tulise.”
Siswa 1: “ Kita boleh menggunakan majas yang lain gak
to?”
Siswa 2 : “ Boleh kok.” (kel.1, VIII-C)
Ragam beku dalam dialog di atas ditandai oleh frasa siap
gerak. Frasa “siap grak” merupakan ragam beku karena struktur
gramatikalnya tidak dapat diubah. Ragam santai dalam dialog itu
ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap, dan menggunakan kata
tidak baku „tulise‟ yang merupakan dialek bahasa Jawa.
f) Alih kode ragam santai dan ragam usaha
Alih kode dari ragam santai ke ragam usaha yang muncul
dalam proses diskusi kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa
kelas VII-B, VII-C, VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D SMP Negeri 2
Kepil sebagai berikut.
Siswa 3: “Ini tentang apa sih?”
Siswa 4: “Tentang gagasan kalimat. Mosok ga tahu sih?”
Siswa 1 : “Seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai
delapan?”
Siswa 3: “Jawablah pertanyaan berikut, seibutkan gagasan
utama paragraf dua sampai delapan!”
(kel. 3, VII-B)
Ragam santai dalam kalimat yang diberi garis bawah (tentang
gagasan kalimat) di atas ditandai oleh kalimat yang tidak lengkap,
tidak mempunyai subjek dan predikat yang jelas. Ragam usaha
ditandai oleh kalimatnya yang pendek (mosok ga tau sih?),
berorientasi pada hasil yaitu pemahaman lawan tutur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Contoh lain ragam santai ke ragam usaha adalah.
Siswa 3 : “Lha terus kiye keprige? Kan dewe kon nggawe
kritikane?” Siswa 1: “Kan rinciane to?”
Siswa 3 : “Prige?”
Siswa 2 : “Tanaman mete mempunyai manfaat yang banyak
sekali.”
(kel. 2, VII-E)
Ragam santai terlihat karena siswa satu menggunakan
bahasa daerah (Jawa) saat berbicara dengan lawan tutrnya, yaitu
„lha terus kiye keprige?‟ yang berarti „terus ini bagaimana?‟.
Kemudian dilanjutkan dengan ragam usaha dengan kalimat „kan
dewe kon gawe kritikane?‟, yang berarti „kita disuruh ibuat
kritikannya?‟. Kalimat kedua ini juga menggunkan bahasa Jawa,
kalimat terseibut berorientasi pada hasil yaitu pemahaman pada
lawan tutur.
Siswa 1 :”Cara mngatasi siswa yang menyontek saat
ujian?”
Siswa 2 : “Yang ini dulu saja, bentuk-bentuk contekan
siswa?”
Siswa 3 : “Biasanya ada di atas meja. Kertas-kertas
kecil itu to?” Siswa 2: “Iya.” (kel. 2, VIII-B)
Ragam santai dalam kalimat terseibut ditandai oleh kalimat
yang tidak lengkap yaitu tidak ada subjek kalimatnya . Sedangkan
ragam usaha ditandai dengan kalimat yang mengunakan kata bantu
„to‟ yang berasal bahasa daerah (Jawa) yang berfungsi untuk
menanyakan hasil pendapatnya dengan teman-temannya dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
kalimat terseibut juga berorientasi pada pada hasil yaitu
pemahaman lawan tutur.
2) Alih Kode Ekstern
Alih kode ekstern yang muncul dalam proses diskusi
kelompok pelajaran bahasa Indonesia siswa kelas VII-B, VII-C,
VII-E, VIII-B, VIII-C, VII-D SMP Negeri 2 Kepil adalah alih kode
dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya dari bahasa
Jawa ke bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada kalimat-
kalimat berikut.
Siswa 3 : “Ini pakai kata-kata nggak pakai lagu.”
Siswa 5 : “Oke.”
Siswa 3 : “Pokoknya pakai kata-kat mutiara.”
Siswa 5 : “Kehidupan itu…”
Siswa 2 : “Kita selalu terdepan.”
Siswa 3 : “Ojo terdepan, ngko dewe maju terus. Emmm,
kalah menang tidak masalah.”
Siswa 6 : “Iyo.”
Siswa 3 : “Tapi emang kita kompetisi?”
Siswa 4 : “ Eh iya.”
(kel.1, VII-E )
Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa Jawa
dan untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa Indonesia.
Contoh lain yaitu.
Siswa 3 : “bagaimana cara-cara mengatasi menyontek
pada diri siswa, berikan saranmu supaya
menyontek tidak menjadikan kebiasaan?
Njuk di jawab!”
Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah
menyerah untuk menjawabnya.”
Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu nganu? Sulit.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Siswa 5 : Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus blajar
dengan tekun, dan siswa diberi sanksi. (kel . 2,
VIII-B)
Siswa 3 : “Lha tadi siapa yang bilang harus pakai saya?”
Siswa 1 : “Udah pakai aku saja!
Siswa 2 ; “Itu terusane. O, iya maaf saya lupa. lalu
Fatimah tanya lagi, emang bagaimana caranya?”.
Siswa 1 : “Lalu jawabe, mudah kok itu caranya.”.
Siswa 3 : “Mudah, gitu aja lho! Terus, awalnya kamu
harus memilih benih yang bagus, membajak
sawah, jangan sampai tanahnya kering,
selanjutnya kamu harus membajak sawah dan
mengairi, jangan sampai tanahnya kering!”
Siswa 4 : “Kepriye neh?”
Siswa 1 : “Lalu Fatimah tanya lagi, bagaimana cara
memilih benih padi yang bagus? Terus jawabe
gimana yo?” Siswa 3 : “Nanti bilang aja disuruh lihat di ibungkusnya
gitu aja gimana yo?”
Siswa 1 : “Oh ho‟o aku mudeng, jadi acara memilihnya
itu aku kurang tahu, bagaimana kalau kamu
ngomong sama kakaku saja?”
Siswa 2 : “Itu ditambah benih lho yo! Disuruh tanya
sama kakak terus bilang , sebentar aku
panggilkan” (kel.1, VII-C)
Pada kalimat pertama penutur menggunakan bahasa
Indonesia dan untuk kalimat kedua penutur menggunakan bahasa
Jawa.
2) Campur Kode
Campur kode yang muncul berdasarkan macam-macam dan unsure-
unsur bahasa dalam proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 KEPIL,
Kaibupaten Wonosobo.
1) Campur Kode berdasarkan macam-macam Bahasa
Campur kode bahasa yang muncul dalam proses diskusi kelompok
di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
1) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo.
Siswa 1 : “Kamu sak kelompok sama aku to?”
Siswa 2 : “Iya. Ibuat apa to ini?”
Siswa 3 : “Bahas tentang telefon?”
Siswa 4 : “Nek banyak gini terus percakapane gimana?”
Siswa 2 : “Gimana ini?”
Siswa 1 :”Gini aja ceritanya, ibukumu tak bawa aku to, lha
kamu telefon aku terus suruh samibungin ke Arini.”
Siswa 2 :”Ibu, nanti dipraktekkan enggak? (siswa bertanya
kepada guru bahasa Indonesia)”
Guru : “Iya, nanti dipraktikan. (guru menjawab dengan suara
lantang agar semua siswa mendengar)”.
(kel 1, 7C)
Dalam dialog terseibut terdapat beberapa kata bantu yang
berasal dari bahasa Jawa yaitu „sak‟ yang berarti satu, „to‟ yang
berfungsi menegaskan kalimat yang sedang dibicarakan seperti „kan‟,
„nek‟ yang berarti kalau. Penutur menyisipkan kata dan kata bantu
yang berasal dari bahasa Jawa ke dalam kode dasar yang berbahasa
Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa.
Siswa 6 : “Sebentar, kan minimal lima bait?ini kita ibuat 6 baik
aja, ini kan kata ada enam orang.”
Siswa 1 : “Iya tar bacane satu-satu.”
Siswa 6 : “Disalin sekalian ya!”
Siswa 2 : “ Ini bagian yang nyalin, kita yang mikir bait
berikutnya.”
Siswa 6 : “Yel-yelnya gimana? Emm, metafora,,metafora.”
Siswa 3 : “Haha, iya.” (kel.1, VIII-D)
Dalam dialog terseibut terdapat dua kata yang berasal dari
bahasa Jawa yaitu bacane yang berasal dari kata baca mencapat
akhiran „e‟, akhiran e dalam bahasa jawa adalah imibuhan (lesan)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
kalau dalam bahasa indonesia berarti membacanya. Penutur
menyisipkan kata bacane ke dalam kode dasar yang berbahasa
Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa.
Siswa 2 : “Terus saskia bilang ,iya, ada apa zaeni? Terus
dijawabe , oh ya saskia kamu tau gak carane
meningkatkan hasil pertanian?”
Siswa 1 : “Terus ngko jawabe, maaf zaen, kalau masalah itu
aku nggak tahu, coba kamu tanya saja sama Candra!”.
Siswa 2 : “Iya, begitu saja. Ditambahi ,siapa tahu Candra bisa
menjelaskan tentang cara untuk meningkatkan mutu
pertanian, terus akhirnya mbak zaeni bilang, ya kalau
begitu makasih ya atas informasinya. Ngono wae.”
Siswa 3 : “Eh ho’o mbak, apa ini diganti adam aja, nanti mbak
zaeni ga bisa jawab terus di kasihke sama mbak fani,
gitu aja gimana? Biar lebih panjang to?”
Siswa 1: “Yo gak usah gitu, nanti aku sama mbak zaeni
jawabnya setengah-setengah. Gimana?” (kel.2 : 7C)
Dalam kalimat terseibut penutur menggunakan kata bantu eh
yang ternasuk dialek jawa yang biasanya dipakai pada saat
menemukan ide baru atau kaget, campur kode terseibut sulih
dihilangkan oleh siswa karena mereka terbiasa menggunakan kata
bantu terseibut dalam percakapan sehari-hari. Kemudian penutur juga
menggunakan kata ho‟o yang berasal dari bahasa Jawa berarti iya,
dan penggunaan kata bantu “to” . dari hasil wawancara dengan siswa
dapat dieroleh kesimpulan bahwa siswa masih sering menggunakan
campur kode bahasa Jawa karena mereka masih merasa
kesulitanuntuk menghilangkan kebiasaan mereka berbcara
menggunakan bahasa Jawa, kata bantu seperti eh, ealah, kok, lho, to,
dan lain sebagainya. Terkadang spontan mereka ucapkan saat
berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
2) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo.
Siswa 3 : “Pegang pundakku jangan perbah lepaskan, bila ku
ingin terbang, terbang meninggalkan mu.”
Siswa 2 : “Yes, pinter you.”
Siswa 3 : “O. jelas.”
Siswa 2 : “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.”
(kel. 4, VIII-D)
Kata yes yang berarti iya pelajaran dan you yang berarti kamu
merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris. Penutur
menyisipkan kata-kata terseibut ke dalam kode dasar yang berbahasa
Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris.
Contoh lain campur kode bahasa Indonesia dan baha ingris
adalah.
Siswa 3 : “Tapi emang kita kompetisi?”
Siswa 4 : “Eh iya.”
Siswa 2 : “Yang terpenting belajar menjadi lebih baik.”
Siswa 5 : “Oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang
kuat.”
Siswa 4 : “Kemiskinan dalam kolong jembatan.” (kel. 1,
VIII-D)
Siswa 1 : “Biasanya itu siswa menyontek karena takut remidi
dan mendapat image iburuk jka mendapat nila baik
dan hanya dia yang mendapatkan nilai iburuk. Njuk
opo maning yo?”
Siswa 2 : “Lha alesannya lagi apa?”
Siswa 1 : “Karena siswa tidak tidak belajar pada malam
harinya.”
Siswa 2 : “Uwis wae ya?”
Siswa 1 : “Iya.” (kel.1, VIII-B)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Pada dialog kelas VIII-D kelomopok 1 terdapat kata no
dalam kalimat “ oh no, kesuksesan berasal dari kemauan yang kuat.”
Berasal dari bahasa inggris yang berarti „tidak‟. Begitu pula pada
dialog kelas VIII-B, kelompok satu terdapat kata image yang dalam
konteks kalimat terseibut berarti gambaran atau potret diri sesorang.
Penutur menyisipkan kata-kata terseibut ke dalam kode dasar yang
berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris.
3) Campur kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia
dialek Jakarta
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo.
Siswa 1 : “Ayo ditulis nama kelompoknya.”
Siswa 2 : “Iya sebentar.”
Siswa 3: “Ini tentang apa sih?”
Siswa 4: “Tentang gagasan kalimat, mosok ga tahu sih?”
Siswa 1 : “Seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai
deapan?”
Siswa 3: “Jawablah pertanyaan berikut, seibutkan gagasan
utama paragraf dua sampai delapan!”
Dalam dialog terseibut siswa 4 mengatakan mosok merupakan
kata yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti apakah dan sih
merupakan kata bantu yang berasal dari bahasa Indonesia dialek
Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu kedalam kode dasar yang
berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode bahasa Indonesia,
bahasa Jawa, dan bahasa Indone sia dialek Jakarta.
4) Campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia dialek
Jakarta
Campur kode jenis atau macam ini yang muncul dalam proses
diskusi kelompok di SMP Negeri 2 KEPIL, Kaibupaten Wonosobo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Siswa 2 : “Ditulis semua?”
Siswa 1: “Iya.”
Siswa 2 : “Lha yang nomor satu mana?”
Siswa 1 : “Ini.”
Siswa 2: “Sedikit ya?”
Siswa 3 : “Ini lha masa gak tahu sih ni?”
Siswa 1 : “ Iya, ini sebagai lalapan.” (kel.3, VII-B)
Dialog dalam diskusi kelompok 3, kelas VII-B terdapat
tuturan yang beribunyi “ini lha masa gak tahu sih ni?”, kalimat
terseibut menggunakan kata dan kata bantu yang berasal dari bahasa
Indonesia dialek Jakarta. Penutur menyisipkan kata-kata itu kedalam
kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi campur kode
bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta.
3) Campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
Campur kode wujud unsur kebahasaan yang muncul dalam
proses diskusi kelompok di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten
Wonosobo.
a) Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud kata
Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik
dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologik terdiri dari satu
atau beberapa suku, dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa
fonem (Ramlan, 1987: 33). Campur kode dengan unsur penyisip
yang berwujud kata merupakan macam atau jenis campur kode
berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang paling sering muncul.
Campur kode jenis atau macam ini contohnya terdapat dalam data-
data berikut ini.
Siswa 1 : “Guru-guru harus lebih aktif dalam mengamati
para siswa-siswa di kelas pada setiap pelajaran dan
guru juga memberikan pemeriksaan pada siswa dari
laci, baju, sepatu dan lain-lain.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Siswa 3 :”Ho’o para guru harus memeriksa setiap hari.”
Siswa 2 : “Ealah kok setiap hari.”
Siswa 3 : “Lha po sekolahnya hari senin?”
Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat
dan di laci.”
(kel.2, VIII-B)
Siswa 3 : “Bagaimana ini?”
Siswa 2 : „Seperti terik matahari yang….”
Siswa 5 : “Nonono, ibukan ibukan ibukan.”
Siswa 1 : “Setiap hari tuibuhku…”
Siswa 2 : “Jane iki ojo k ya, gen ora angel.”
Siswa 3 : “ Njuk ki jane arak digawe opo to? Neg ga pakai
k yo ini apa jal?
Siswa 6 : “ Kan seharusnya air hijan mengguyur rumahku.”
(kel. 3, VIII-D)
Siswa 2 : “Ini seibutkan gagasan utama paragraf dua sampai
delapan.”
Siswa 1 : “Paragraf dua kuwi sek endi?”
Siswa 2 : “Sek iki.”
Siswa 3 : “Orang yang ini aja bersifat umum.”
Siswa 4 : “Paragraf kedua kan ini?”
Siswa 1 : “Tulis dulu, nomor 1.a.”
Siswa 2 : “1.a?”
Siswa 1 : “Iya.” (kel.3, VII-E)
Dialog-dialog di atas termasuk ke dalam dialog campur
kode wujud unsur kebahasaan kata. Hal ini disebabkan oleh unsur-
unsur yang menyisip ke dalam kode dasar berupa atau berwujud
kata, penutur meyisipkan kata-kata yang berasal dari bahasa lain.
Pada dialog siswa kelas VIII-B, kelompok 2 penutur 2
menggunakan kata ho‟o dalam tuturan “ho‟o para guru harus
memeriksa setiap hari” berarti „iya para guru harus memeriksa
setiap hari‟ yang berasal dari bahasa Jawa dan penutur (siswa 3)
menggunakan kata ealah dalam tuturan „ealah kok setiap hari‟
kata ealah dalam bahasa Jawa meempunyai arti yang bermacam-
macam tergantung konteks kalimatnya, dalam kalimat „ealah kok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
setiap hari‟ kata „ealah‟ berarti penyangkalan atas pendapat yang
dikemukakan oleh lawan tuturnya, dalam bahasa Indonesia berarti
„ibukan demikian‟. Pada dialog siswa kelas VIII-D, kelompok tiga
menggunakan kata „nonono‟ pada tuturan “nonono, ibukan ibukan
ibukan” yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti „tidak‟. Pada
dialog siswa kelas VII-E kelompok tiga, seorang penutur (siswa 3)
penyisipkan kata “aja” pada tuturan “orang ini aja bersifat umum‟
yang berasal dari bahasa Indonesia dialek Jakarta ke dalam kode
dasar yang berbahasa Indonesia yang berarti „saja‟ sehingga
terjadi campur kode wujud unsur kebahasaan kata.
b) Campur kode dengan unsur penyisip yang berwujud frasa.
Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau
lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987:
151). Campur kode jenis atau macam ini dapat dilihat dalam data-
data berikut ini.
Siswa 1 : “Kita akan membahas tentang apa to?
Siswa 2 : ” Tentang percakapan telefon lah, ealah re kepriye?
Siswa 1 : “Lha iya, tanya apa?
Siswa 3 :”Nanti kita akan memibuat percakapan tentang
peningkatan hasil pertanian padi.(kel.2, VII-C)
Siswa 1 : “Ngene wae, getah tanaman mete diabaikan orang.”
Siswa 2 : “He?”
Siswa 1: “Getahnya sering diabaikan oleh orang. Ngono wae?”
Siswa 3: “Yo.”
Siswa 4 : “Getahnya sering diabaikan orang. Titik.”
Siswa 3 : “Getah tanaman mete mempunyai manfaat yang
cukup besar.”
Siswa 1 : “Opo mau?”
Siswa 3 : “Getah tanaman mete sering diabaikan.”
(Kel.2, VII-E)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Dialog-dialog di atas termasuk ke dalam dialog campur kode
wujud unsur kebahasaan frasa. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur
yang menyisip ke dalam kode dasar berwujud frasa. Dalam dialog di
atas penutur meyisipkan frasa yang berasal dari bahasa Jawa “ealah
re kepriye (kel.2, VII-C), ngene wae dan ngono wae (kel.2, VII-E)”
ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia sehingga terjadi
campur kode wujud unsur kebahasaan frasa.
C. Campur kode ragam
Campur kode ragam yang muncul dalam proses diskusi kelompok
di SMP Negeri 2 KEPIL, Kaibupaten Wonosobo.
Campur Kode Ragam Resmi dan Ragam Santai
Campur kode ragam resmi dan ragam santai ini muncul beberapa
kali. Campur kode jenis ini dapat dilihat dalam dialog berikut
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan
menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan
campuran. Yang membedakan itu adalah letak dari
gagasan utamanya.”
Siswa-siswa : “Nggih ibu.”
Guru : “ Ya (yo) kalian menganalisis paragraf dua sampai
delapan itu dulu yang kalian kerjakan.”
Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?”
Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu
gagasan utamanya lho.”
Siswa 1 ; “Iya, ibu.” (kel.3, VII-E)
Dalam dialog di atas penutur mencampur ragam resmi dan ragam
santai dalam satu kalimat. Ragam resmi dalam kalimat itu ditandai oleh
kata-kata dalam kalimat pertama menggunakan bahasa baku tidak
bercampur dengan dialek Jawa maupun Jakarta. Sedangkan ragam santai
dalam kalimat itu ditandai oleh penggunaan kata bantu penegas yang tidak
baku yaitu lho yang menyantaikan pembicaraan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Dialog lain yang juga merupakan campur kode ragam resmi dan
ragam santai yaitu dialog berikut.
Siswa 2 : “Apa (opo) mau?”
Siswa 3 :“Bisa menjadi lalapan dan rasanya yang khas
memibuat selera makan menjadi bertambah, lhah
salah?”
Siswa 2: “Catet dimana?”
Siswa 4: “Ini lho.”
Siswa 2 : “Ditulis semua?”
Siswa 1: “Iya.” (kel.1, VII-E)
Dalam dialog itu penutur mencampur antara ragam resmi dan
ragam santai. Ragam resmi dalam dialog itu ditandai oleh bentuk kalimat
yang lengkap dan kosa kata baku. Sedangkan ragam resmi dalam dialog itu
ditandai oleh penggunaan kata tidak baku lhah yang merupakan bentuk
tidak baku dari tidak.
3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam diskusi.
a. Faktor Penyebab Alih Kode
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud
mengimbangi bahasa lawan tutur. Faktor penyebab alih kode ini dapat
dilihat dalam dialog berikut ini.
Siswa 3 : “Halo, saya Fatimah, temannya Wahyu, bisa
bicara dengan Wahyu? ojo teman sekelase
Wahyu.”
Siswa 2 : “Oh iya sebentar tak panggilkan Wahyu. Gitu.”
Siswa 1 : “Oh iya kita pakeknya saya aj a ga usah aku!”
Siswa 2 : “Iya, ini pakainya pagi gitu aja yo?”
Siswa 1 : “Ho’oh. Nanti alasannnya si wahyu sedang
bermain.”
Siswa 3 : “Ora usaah, sedang membaca ibuku aja, nggak
papa to?”
Siswa 1 : “Sedang membaca ibuku di halaman gitu aja gak
papa?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Siswa 2 : “Iya gak papa, terus Fatimahnya jawab
sebelumnya minta maaf dululah.” (kel. 1, VII-C)
Dalam dialog di atas terjadi alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia yaitu saat penutur (siswa 1) menuturkan “ho’oh. Nanti
alasannnya si wahyu sedang bermain.”. Dalam alih kode terseibut
dapat dilihat bahwa penutur melakukan alih kode disebabkan oleh
adanya maksud mengimbangi lawan tutr. Pada saat penutur berbahasa
Jawa, penutur sedang mengomentari jawaban lawan tutur “iya, ini
pakainya pagi gitu aja yo?”. Kemudian penutur berlaih berbahasa
Indonesia dengan maksud untuk melanjutkan menjelaskan materi.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh lawan tuturnya.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab
alih kode yang berupa lawan tutur.
Siswa 1 : “Paragraf ke lima.”
Siswa 3 : “Kacang ini memiliki nilai ekonomi tinggi.”
Siswa 4 : “Kan kudu ono rinciane to?”
Siswa 1 : “Iyo.”
Siswa 3 : “Kacang ini menghasilkan minyak CNSL”.
Siswa 1 : “Paragraf ke enam.”
Siswa 2 : “Sek endi? Aku tak moco.”
Siswa 1 : “Kulit batang dari kacang ini, dimanfaatkan untung
pengobatan sariawan dan penyakit gula-gula.”
(kel. 1, VII-B)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 1) beralih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa disebabkan oleh lawan tutur (siswa 4) yang
sebaya dengan penutur dan berbahasa Jawa. Untuk mengimbangi lawan
tutur yang berbahasa Jawa maka penutur beralih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab
alih kode yang berupa perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Siswa 2: “Saya Yeni, teman sekelas fani dan juga candra.”
Siswa 3 : “Kok sekelas? Sengoklah?”
Siswa 2 : “yo iyo lah, teman sekelas.” (kel.2, VII-C)
Dalam dialog di atas terlihat bahwa penutur pada awalnya
berbahasa Indonesia saat membahas materi diskusi dengan teman
sekelompoknya, kemudian beralih berbahasa Jawa karena ada orang
ketiga yang hadir. Setelah orang ketiga hadir, saat orang ketiga
mengatakan kok dan sengoklah (bodoh), maka lawan tutur akan
mengikuti berbicara dengan bahasa daerah (jawa) dialek yang mereka
mengerti.
4) Perubahan topik pembicaraan.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab
alih kode yang berupa perubahan topik pembicaraan.
Siswa 2:”Seibutkan gagasan paragraf dua sampai delapan!”
Siswa 4 : “Soale ditulis! Ealah”
Siswa 1: „Ini yang pertama ini”
Siswa 2: “Tuliskan rincian dari setiap gagasan utama terseibut.
Jangan lupa pake tanda tanya lho! Siswa 1: “Iya.”
Siswa 5 : “Nomor selanjutnya, sampaikan kritikanmu terhadap
wacana terseibut.
Siswa 4 :“Neg ngomong seng seru to!.
Siswa 5: “Ya. (kel. 1, VII-B)
Dalam dialog terseibut penutur beralih kode dari ragam resmi ke
ragam santai karena terjadi pe rubahan topik pembicaraan. Pada saat
penutur (siswa 2) menggunakan ragam resmi penutur sedang
membicarakan tentang perintah dari soal yaitu menuliskan rincian dari
gagasan utama. Kemudian topik pembicaraan berubah menjadi tentang
kalimat penutur yang mengingatkan agar lawan tutur saat menulis
menggunakan tanda baca yaitu tanda tanya. Pada saat topik pembicaraan
berubah itulah penutur juga melakukan beralih kode ke ragam santai,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
ragam santai dapat dilihat juga dari kalimat yang kedua penutur
menggunakan bahasa yang tidak baku yaitu “pake”‟ dan “lho”.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab
alih kode yang berupa perubahan formal ke informal.
Siswa 1 : ”Kita akan terus semangat walau pun badai
kemiskinan menerpa kita, tak kan meratapi
rumahku yang di kolong jembatan, dan sampah
lantai rumahku, hidupku terlunta-lunta, matahari
menemaniku setiap hari. Wis to?” Siswa 2 : “Kan iki ngelak to?”
Siswa 3 : “Haus?”
Siswa 2 : “Iya, haus.”
Siswa 1 : “Berarti dahaga.”(kel. 1, VIII-D)
Dalam dialog terseibut penutur melakukan alih kode dari ragam
santai ke ragam resmi karena adanya perubahan dari formal ke informal.
Dalam situsi formal yaitu pada saat penutur memberikan ide untuk syair
puisi kelompok mereka. Setelah itu situasi berubah menjadi informal,
ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa ”wis to?” yang berarti „sudah
kan?‟ oleh penutur (siswa 1).
6) Untuk membangkitkan rasa humor.
Dalam dialog di bawah ini dapat dilihat adanya faktor penyebab
alih kode yaitu untuk membangkitkan rasa humor.
Siswa 1: “Sungguh berat hidup ini seperti pohon yang
diterpa angin.”
Siswa 2: “Diterpa kan yo enteng to?”
Siswa 3: “Ealah yo diterpa angin puting beliung wae.”
(kel.2, VIII-C)
Dalam dialog terseibut penutur beralih kode dari bahasa Indonesia
ke bahasa Jawa karena penutur ingin membangkitkan rasa humor. penutur
bertanya “diterpa kan yo enteng to?” maksudnya menyanggah pendapat
lawan tuturnya yang memibuat kalimat “sungguh berat hidup ini seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pohon yang diterpa angin”. Penutur kedua menyanggah bagaimana bisa
pohon bisa tumbang jka hanya diterpa angin, kemudian penutur pertama
menjawab “ealah , yo diterpa angin puting beliung wae.” Kalimat
terseibut berarti ya sudah kalau begitu diterpa angin puting beliung saja,
namun penutur menggunakan kata “ealah” dan “wae” agar
membangkitkan rasa dan suasana humor (mencairkan suasana).
Contoh lain alih kode yang membangkitkan rasa humor, adalah.
Siswa 4 : “Hidupku bagai ibunya yang tidak disiram.”
Siswa 1 : “Njuk prige re mbahasaake ki?”
Siswa 2 : “Layu.”
Siswa 4 : “Ho‟o, layu disetiap langkahku.”
Siswa 5 : “Emang kembang nggo langkah? Hahaha.”
Siswa 4 : “Layu terasa di dalam hati.”
Siswa 2 dan 5 : “Wedyan.” (kel.2, VIII-D)
Dalam dialog di atas siswa 2 memberikan ide kata “layu” untuk
memibuat puisi, kemudian siswa 4 melanjutkan kata “layu” (ibunga yang
layu) menjadi kalimat “layu disetiap langkahku”, namun kalimat
terseibut tidak sesuai dengan ketentuan, karena tidak kesesuaian itu maka
menimibulkan suasana humor, terlihat dari tanggapan siswa 5 yang
menertawakan, ide kalimat dari siswa 4 dengan kalimat “emang kembang
nggo langkah? Hahahaha”.
b. Faktor penyebab terjadinya campur kode
1. Identifikasi peranan sosial
Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab
identifikasi peranan sosial antara lain.
Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang ibu?”
Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu
gagasan utamanya lho.”
Siswa 1 ; “Iya, ibu.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Guru : “Dijawab! Sapa (sopo) sing njawab?”
Siswa 2 : “kula sing nulis ibu.”
Siswa 4 : “Ibuah dari jamibu mete, eh beberapa dari ibuah jamibu
mete.”
Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai
delapan saja ya.” (kel.3, VII-E)
Dalam dialog di atas penutur (guru) mencampur bahasa
Indonesia dengan bahasa Jawa disebabkan oleh kedudukan penutur
yang lebih tinggi daripada lawan tutur. Karena kedudukannya dalam
sosial lebih tinggi daripada lawan tutur maka penutur menggunakan
kata sapa (sopo) yang berarti siapa dan merupakan kata ngoko yang
merupakan tataran terendah dalam bahasa Jawa kepada lawan tutur.
2. Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan
Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan nampak karena
campur kode juga menandai sikap dan huibungannya terhadap orang
lain dan sikap dan huibungan orang lain terhadapnya (suwito, 1985:
77). Dialog campur kode yang disebabkan oleh faktor penyebab
keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan antara lain.
Siswa 4 : “Maaf ini siapa? Pake tanda tanya!”
Siswa 3 : “Ini Rita kakaknya Wahyu. Gitu aja!”
Siswa 4 : “Klo udah gitu, nanti Fatimah bilang, oh ya bisa
panggilkan wahyu sebentar kak? gitu weh yo?”
Siswa 3 : “Masak oh ya, yo lucu yo?”
Siswa 4 : “Gak papa lho.”
Siswa 2 :” Itu pakai tanda tanya kan?
Siswa 4 : “He‟em” (kel.1, VII-B)
Dalam dialog di atas, penutur (siswa 3) mencampur bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia disebabkan oleh keinginan penutur untuk
menafsirkan ketidak setujuannya dengan pendapat temannya (siswa 4)
dan pendapat „oh ya‟ tidak sesuai karena terkesan lucu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
3. Karena keterbiasaan penutur.
Dialog campur kode yang disebabkan oleh keterbiasaan
penutur menggunakan bahasa iibu, antara lain.
Siswa 1 : “Iki nomor satu, dua, dan tiga to yang dikerjakan?”
Siswa 2 : “Nomor satu apa?”
Siswa 1 : “Daun mete yang yang masih muda dapat dijadikan
lalapan?”
Siswa 2 : “Apa?”
Siswa 1 : “Daun mete yang masih muda bisa dijadikan lalapan.”
Siswa 2 : “Lalapan?”
Siswa 1 : “Iyo.” (kel. 1, VII-E)
Pada dialog di atas penutur (siswa 1) menggunakan kata bantu
„to‟ yang berasal dari bahasa Jawa pada kalimat “iki nomor satu, dua,
dan tiga to yang dikerjakan?”. Penggunaan kata bantu „to yang dalam
konteks kalimat terseibut mempunyai fungsi menegaskan kalimat yang
sedang penutur tanyakan kepada lawan tutur. Penutur menggunakan
campur kode terseibut karena terbiasa menggunakan bahasa iibu yaitu
bahasa Jawa, keterbiasaan terseibut mempengaruhi kode dasar saat
penutur berbahasa Indonesia.
Siswa 1: “Manfaat daun jamibu mete?”
Siswa 3: “Iya.”
Siswa 2 : “Manfaat daun jamibu mete yang masih muda.”
Siswa 1: “Terus?”
Siswa 3: “Kulit mete memiliki….”
Siswa 1: “Ora, nilai ekonomi yang sangat tinggi, ngono wae?”
Siswa 3: “Yo kui meniru, menambahi, kan iki kon
menyingkat?”
Siswa 1: “Berarti?”
Siswa 3: “Nilai ekonomi kulit mete.” (kel.2, VII-E)
Penutur (siswa 1) menggunakan campur kode bahasa
Indonesia dengan bahasa Jawa pada tuturan, “ora, nilai ekonomi yang
sangat tinggi, ngono wae?”, campur kode terjadi karena penutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
menggunakan kata ora yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti
„tidak‟ dan frasa „ngono wae‟ yang berarti „seperti ini saja‟. Penutur
(siswa 2) juga menggunakan campur kode bahasa Indonesia dengan
bahasa Jawa pada tuturan, “yo kui meniru, menambahi, kan iki kon
menyingkat?”, penggunaan kata „yo kui‟ yang berarti „iya, itu‟ dan „iki
kon‟ yang berarti „ini disuruh‟ memibuktikan bahwa penutur (siswa 3)
menggunakan campur kode. Penutur menggunakan campur kode
terseibut karena terbiasa menggunakan bahasa iibu yaitu bahasa Jawa,
keterbiasaan terseibut mempengaruhi kode dasar saat penutur
berbahasa Indonesia.
Siswa 6 : “ Bisingnya suara kendaraan, menemani
krasnya kehidupan.”
Siswa 2,3 : “Oh ho’o”
Siswa 4 : “Opo? Berisik apa bising?”
Siswa 6 : “Bising”
Siswa 5 : „Suara bising menemani kehidupan.”
Siswa 2 : “Kemiskinan wae.”(kel.1,VII-D)
Penutur (siswa 2 dan 3) menggukanan campur kode karena
bahasa indonesia dengan bahasa Jawa karena penutur menggunakan
kata ho‟o yang berasal dari bahasa Jawa pada konteks pembicaraan
yang menggunakan kode dasar bahasa bahasa Indonesia. Penutur
(siswa 2) juga menggunakan campur kode pada tuturan “kemiskinan
wae.”, penggunaan kata „wae‟ yang berasal dari bahasa Jawa
memibuktukan bahwa penutur (siswa 2) melakukan campur kode
bahasa Jawa dalam konteks pembicaraan yang menggunakan kode
dasar bahasa Indonesia. Siswa masih melakukan campur kode karena
siswa masih terbiasa menggunakan bahasa Jawa, yang dalam
kehidupan sehari-hari mereka gunakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Siswa 3 : “Eh aku punya ide. Tulis aja di ibuku coret-
coretan aja!”
Siswa 1 : “He’em, terus?”
Siswa 4 : “Gini, Fatimah telefon kamu, tapi yang jawab
dini lalu dikasihke Rina, lalu kamu tanya “halo
ada apa ya? Lalu saya bilang, itu si Fatimah
tanya bagaimana carapeningkatan pertanian?”
Siswa 3 : “Lalu?”
Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya
tanyakan Dini”
Siswa 2 : “Iya ini ceritanya meh pagi-pagi po siang?”
Siswa 3 : “Selamat pagi aja?”
Siswa 1 : “Tanda petiknya lho! Saya Fatimah. Gitu!”
(kel.1, VII-C)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 1) menggunakan campur
kode bahsa Jawa dan bahasa Indonesia pada tuturan, “he‟em, terus?”
penggunaan kata „he‟em‟ yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti
„iya‟, memibuktikan bahwa penutur menggukan campur kode bahasa
jawa ke dalam konterks percakapan yang menggunakan kode dasar
bahasa Indonesia.
Siswa 4 : “Hatiku terasa berteriak-teriak.”
Siswa 2 : “Ojo berteriak-teriak, koyo wong seneng.”
Siswa 3 : “Bagaimana ini?”
Siswa 2 : „Seperti terik matahari yang….”
Siswa 5 : “Nonono, ibukan ibukan ibukan.”
Siswa 1 : “Setiap hari tuibuhku…”
Siswa 2 : “Jane iki ojo k ya, gen ora angel.” (kel.3, VIII-D)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 2) menggunakan campur
kode bahsa Jawa dan bahasa Indonesia pada tuturan, “ojo berteriak-
teriak, koyo wong seneng.”, kalimat terseibut dalam bahasa Indonesia
berarti “jangan berteriak-terak, seperti orang yang sedang
gembira/senang”. Penggunaan kata „ojo‟ yang berasal dari bahasa
Jawa yang berarti „jangan‟,dan frasa „koyo wong seneng‟ yang berarti
„seperti orang yang senang‟ memibuktikan bahwa penutur menggukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
campur kode bahasa jawa ke dalam konterks percakapan yang
menggunakan kode dasar bahasa Indonesia.
Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf ke empat.”
Siswa 2 : “Jamibu mete yang masih muda dapat
dimanfaatkan sebagai lalapan.”
Siswa 5 : “Gagasan utama paragraf lima.”
Siswa 3 : “Kulit mete memiliki nilai ekonomi tinggi.”
Siswa 4 : “Eh gentian mba, nanti pegel lho.”
Siswa 1 : “gak kok, gak papa, paragraf ke enam?”
Siswa 2 : “Kulit batang dari tanaman mete
dimanfaatkan untuk pengobatan.”(kel.2, VII-B)
Dalam dialog di atas penutur (siswa 4) menggunakan campur
kode bahsa Jawa dan bahasa Indonesia pada tuturan, “eh gentian mba,
nanti pegel lho.”. fungsi lho dalam kalimat terseibut untuk menegaskan
kalimat yang diungkapkan penutur kepada lawan tutur. Penggunaan
kata bantu ‟lho‟ memibuktikan bahwa penutur menggukan campur
kode bahasa jawa ke d alam konteks percakapan yang menggunakan
kode dasar bahasa Indonesia.
Siswa 4 : “Iki wae pertanyaan selanjutnya, begaimana
cara mengatasi menyontek pada diri sendiri,
berarti kan dari pribadi to?”
Siswa 2 : “Njuk apa bedanya sama yang di atas?”
Siswa 5 : “Ya yang di tulis itu yang ibuat diri sendiri
saja.”
Siswa 2 : “Yang harus lebih percaya sama kemampuan
diri, belajar lebih giat, menganggap kalau
menyontek itu dosa.” (kel.1, VIII-B)
Dalam dialog di atas, penutur (siswa 2) menggunakanan kata
“njuk” berarti „terus‟ (dialek daerah Wonosobo) dalam tuturan “njuk
apa bedanya sama yang di atas?”. Dari beberapa contoh dialog di atas
alasan penutur menggunakan campur kode terseibut karena terbiasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
menggunakan bahasa iibu yaitu bahasa Jawa, keterbiasaan terseibui
mempengaruhi kode dasar saat penutur berbahasa Indonesia.
4. Karena faktor lingkungan.
Hal terseibut juga dipertegas dari hasil wawancara dengan
guru dan siswa yang mengungkapkan bahwa faktor utama terjadinya
alih kode dan campur kode adalah faktor lingkungan siswa yang
menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa iibu, jadi mereka masih
canggung dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia secara
baik dan benar, mereka masih sering melakukan campur kode bahasa
Indonesia dengan bahasa daerah mereka.
5. Karena latar belakang pendidikan.
Pengajaran keterampilan berbicara bahasa Indonesia saat
siswa duduk di bangku SD juga masih kurang, karena guru SD
kawasan pedesaan biasanya lebih sering menjelaskan pelajaran
denagn bahasa daerah (Jawa) dengan alasan agar siswa bisa lebih
mudah menangkap materi yang diajarkan, saat beromunikasi dengan
duru siswa juga lebih sering menggunakan bahasa Jawa, jadi siswa
tidak terbiasa jika harus berkomunikasi dengan teman atau guru
menggunakan bahasa indonesia.
6. Karena belum terbiasa.
Siswa juga mengungkapkan bahwa mereka masih merasa malu
jika harus berbicara dengan teman sebaya menggunakan bahasa
Indonesia, alasannya juga karena tidak terbiasa dan dianggap congkak
apabila menggunakan bahasa Indonesia.
7. Karena faktor ekonomi keluarga.
Faktor ekonomi keluarga dari siswa juga berpengaruh,
kebanyakan siswa yang bersekolah di SMP Negeri 2 Kepil berasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
dari keluarga yang kelas ekonominya menengah ke bawah, yaitu dari
keluarga petani. Dengan kondisi yang demikian tentunya beda
dengan siswa yang bersekolah di perkotaan, mereka masih jarang
yang bisa menonton televise saat pulang sekolah, karena mereka
harus meembantu kedua orang tuanya di sawah, sebagian besar dari
mereka juga belum mengenal internet, jadi mereka hanya belajar
bahasa Indonesia saat jam pelajaran berlangsung saja.
b. Fungsi Alih Kode
1) Menyantaikan.
Alih kode yang mempunyai fungsi menyantaikan terdapat
dalam dialog berikut.
Siswa 3 : Terus nanti kakaknya bilang gini, “eh gimana dek?
Apa ada yang bisa kakak bantu?” gitu to?
Siswa 1 : He‟em, terus bilang “saya mau tanya bagaimana cara
memilih benih yang berkualitas?” gitu yo?
Siswa 4 : “Terus gimana lagi?”
Siswa 3 : “Bagaimana kalau yang beli sama kakak saja nanti
kakak pilihkan.” begitu ya? Trus jawabe “ apa gak
ngrepotin kakak?” gitu piye?
Siswa 1 : “Iya.” (kel. 1, VII-C)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur dari ragam resmi ke
santai mempunyai fungsi untuk menciptakan suasana santai antara
penutur dan lawan tutur. Hal ini ditandai oleh oleh penggunaan
ragam santai yang menciptakan suasana santai pada saat peristiwa
interaksi dan huibungan antara penutur dan lawan tutur semakin
akrab.
2) Menegaskan.
Alih kode yang berfungsi untuk menegaskan terdapat dalam
dialog berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Siswa 1 : “Iya karena biasanya diletakkan di bawah pantat
dan di laci.”
Siswa 4 : “Eh sek nggenahlah.”
Siswa 3 : “Bagaimana cara-cara mengatasi menyontek
pada diri siswa, berikan saranmu supaya
menyontek tidak menjadikan kebiasaan? Njuk
di jawab!”
Siswa 2 : “Karena siswa tidak bisa menjawab dan sudah
menyerah untuk menjawabnya.”
Siswa 1 : “Sebab-sebanya itu nganu? Sulit.”
Siswa 5 : “Soalnya terlalu sulit, jadi siswa harus blajar
dengan tekun, dan siswa diberi sanksi.”
(kel. 2, VIII-D)
Alih kode dari ragam resmi ke ragam santai yang dilakukan
penutur berfungsi untuk menegaskan hal yang telah diseibutkan oleh
penutur. Fungsi menegaskan ini ditandai oleh setelah penutur (siswa
3) membacakan soal yang harus dikerjakan, kemudian penutur
beralih dengan kalimat menggunakan kode dasar bahasa Jawa pada
tuturan “njuk dijawab!” mempunyai jujuan untuk menegaskan pada
teman-temnnya bahwa perjanaan terseibut harus dijawab.
3) Menyegarkan.
Alih kode yang berfungsi untuk menyegarkan terdapat dalam
dialog berikut.
Siswa 1: “Sahabat adalah harta yang berharga bagiku.”
Siswa 2: “Koyo duit wae berharga.”
Siswa 1: “Lebih dari uang,”
Siswa 3: “Wedyan.” (kel.4, VIII-D)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur satu dan dua dari
bahasa Indonesia ke bahasa Jawa ini berfungsi untuk menyegarkan
suasana. Pada saat penutur (siswa 1) mengunakan bahasa Indonesia,
penutur sedang memberikan ide tentang puisi yang sedang diibuat oleh
kelompok mereka, kata-kata yang diibuat oleh penutur mempunyai arti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
yang dalam. Hal ini meemibuat suasana di kelompok mereka menjadi
hening, kemudian lawan tutur mulai merespon dengan menjawab
menggunakan bahasa Jawa dengan nada bercanda “koyo duit wae
berharga” yang berarti seperti uang saja berharga, dengan kata-kata
dalam bahasa Jawa, sehingga suasana menjadi lebih segar.
4) Menghormati.
Alih kode yang berfungsi untuk menghormati terdapat dalam
dialog berikut.
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan menjadi
tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran.
Yang membedakan itu adalah letak dari gagasan
utamanya.”
Siswa : “Nggih ibu.”
Guru : “ Ya (yo) kalian menganalisis paragraf dua sampai
delapan itu dulu yang kalian kerjakan.” (kel. 3, 7E)
Alih kode yang dilakukan oleh penutur (G) dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa berfungsi untuk menghormati orang ketiga
(O1) yang masuk ke dalam lingkungan penutur yang pada saat itu
sedan berkomunikasi dengan lawan tutur. Sebelum orang ketiga (O1)
masuk, penutur (G) menggunakan bahasa Indonesia, kemudian ada
orang ketiga (O1) masuk dan berbahasa Jawa. Dengan demikian
penutur (G) menggunakan bahasa Jawa halus untuk menghormati
orang ketiga (O1) terseibut.
5) Menerangkan.
Alih kode yang berfungsi untuk menerangkan terdapat dalam
dialog berikut.
Guru : “Kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan
menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
campuran. Yang membedakan itu adalah letak
dari gagasan utamanya.” Siswa-siswa : “Nggih ibu.”
Guru : “ Ya (yo) kalian menganalisis paragraf dua sampai
delapan itu dulu yang kalian kerjakan.”
Siswa 1 : ”Ibu, induktif itu yang depan apa yang belakang
ibu?”
Guru : “Induktif itu yang akhir, deduktif yang awal. Itu
gagasan utamanya lho.”
Siswa 1 ; “Iya, ibu.”
Guru : “Dijawab! Sapa (sopo) sing njawab?”
Siswa 2 : “Kula sing nulis ibu.”
Siswa 4 : “Ibuah dari jamibu mete, eh beberapa dari ibuah
jamibu mete.”
Guru : “Ini yang dikerjakan yang dari paragraf dua sampai
delapan saja ya.”
Siswa 3 : “Niki ditulisi paragraf induktif atau deduktif ngeten
ibu?”
Guru : “O, tidak usah. Tidak usah menjelaskan paragraf
deduktif atau indukif, cukup ditulis gagasan
utamanya saja.” (kel.4, VII-E)
Dalam dialog di atas (bercetak tebal) penutur (guru) menggunakan
alih kode, pada tuturan “kalian mengerti ya? Jenis paragraf dibedakan
menjadi tiga, yaitu paragraf deduktif, induktif, dan campuran. Yang
membedakan itu adalah letak dari gagasan utamanya.” dan “o, tidak
usah. Tidak usah menjelaskan paragraf deduktif atau indukif, cukup
ditulis gagasan utamanya saja.” yang dilakukan oleh penutur dari ragam
santai ke ragam resmi berfungsi untuk menerangkan hal yang telah
diseibutkan. Dalam hal ini penutur sedang membahas apa yang dimaksud
dengan jenis paragraf. Fungsi alih kode untuk menegaskan dalam dialog
terseibut ditandai oleh munculnya ragam resmi yang yang bentuknya
panjang dan lengkap, sehingga hal yang dimaksudkan menjadi lebih jelas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
c. Fungsi Campur Kode
a. Menyantaikan
Fungsi campur kode menyantaikan dapat dilihat dalam dialog
berikut ini.
Siswa 5 : “Gagasan paragraf ke tujuh?”
Siswa 2: “Akar dari tanaman mete juga bermanfaat bagi
pengobatan.”
Siswa 3: “Gagasan utama paragraf delapan, itu getah tanaman
mete sering diabaikan oleh orang.”
Siswa 4 : “Bentar lho mbak jangan cepat-cepat!”
Siswa 2 : “Gagasan utama paragraf sembilan itu yang ini, batang
tanaman mete memiliki manfaat yang cukup besar.”
Siswa 3: “Ini yang nomor dua, jelaskan rincian dari gagasan
utama terseibut!”
Siswa 1 : “Intine apa iki?”
Siswa 3: “Nomor tiga itu, sampaikan kritikanmu terhadap
gagasan utama terseibut!” (kel.2, VII-B)
Penyisipan kata bantu (menegaskan) dari bahasa Indonesia dialek
Jawa “lho” ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia oleh penutur
(siswa 4) berfungsi untuk menyantaikan. Dengan adanya kata bantu “lho”
terseibut maka suasana yang terjadi pada saat penutur berbicara dengan
lawan tutur adalah suasana santai.
Contoh lain tuturan yang menggunakan campur kode dan
memiliki fungsi menyantaikan adalah.
Siswa 3 : “Eh aku punya ide. Tulis aja di ibuku coret-coretan
aja!”
Siswa 1 : “He‟em, terus?”
Siswa 4 : “Gini, Fatimah telefon kamu, tapi yang jawab dini
lalu dikasihke Rina, lalu kamu tanya “halo ada apa
ya? Lalu saya bilang, itu si Fatimah tanya bagaimana
carapeningkatan pertanian?”
Siswa 3 : “Lalu?”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Siswa 1 : “Nanti bilang lagi, oh iya, sebentar saya tanyakan
Dini” (kel. 1, VII-C)
Penyisipan kata dari bahasa Indonesia dialek Jakarta “gini” yang
merupakan bentuk singkat dari kata begini ke dalam kode dasar yang
berbahasa Indonesia oleh penutur berfungsi untuk menyantaikan. Dengan
adanya kata gini yang merupakan kata tidak baku terseibut maka suasana
yang terjadi pada saat penutur berbicara dengan lawan tutur adalah
suasana santai.
b. Menegaskan
Fungsi campur kode menegaskan dapat dilihat dalam dialog
berikut ini.
Siswa 4 : “ada yang di slorok juga.”
Siswa 5 : “Bahasa indonesianya slorok itu kan meja to?”
Siswa 4 : “Iya, di temukan kertas-kertas kecil di meja dan di
laci siswa, kalau di meja biasanya ditutupin sama
kertas atau ibuku.”
Siswa 5 : “Ho‟o.”
Siswa 1 : “Karo ditulis lho!”
Siswa 2 : “He‟em”.
Siswa 5 : “Terus itu biasanya siswa menyemibunyikan
contekan mereka di kursi terus di jagoki.”
Siswa 2 : “Diduduki kali?”
Siswa 5 : “eh iya.” (kel.3, VIII-B)
Penyisipan kata dijagoki yang berasal dari bahasa Jawa yang
berrati diduduki ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia yang
dilakukan oleh penutur berfungsi untuk menegaskan hal yang
diseibutkan. Penggunaan campur kode Jawa terseibut digunakan siswa
saat menegaskan kalimatnya bahwa dalam menyontek siswa
menyemibunyikan contekan mereka dengan cara diduduki (dijagoki) .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
c. Menyegarkan
Fungsi campur kode menyegarkan dapat dilihat dalam dialog
berikut ini.
Siswa 2 : “Langkahku selalu menemaniku sepanjang jalan, iya
gitu aja lho.”
Siswa 3 : “Nasibku seorang gelandangan yang tak dipedulikan.”
Siswa 1: “Sambil situlis ya.”
Siswa 4 : “He‟e.”
Siswa 2 : “Kini diriku bagaikan daun kering diterpa angin, tapi
dalam galau.”
Siswa 4: “Kok galau?”
Siswa 2: “Iya dalam galau kau tinggalkan aku sendiri.”
Siswa 4: “Ini diganti panas menyengat kulitku.”
Siswa 2: “Dipanas terik matahari.” (kel.3, VIII-C)
Campur kode yang dilakukan oleh penutur dalam dialog di atas
berfungsi untuk menyegarkan suasana pembicaraan antara penutur dan
lawan tutur. Hal ini bisa dilihat dari kata galau yang ducapkan penutur
(siswa 2) di akhir kalimat yang berfungsi membangkitkan suasana humor
ke dalam diskusi kelompoknya, karena kata galau adalah kata yang
sedang populer di kalangan remaja.
d. Menghormati
Fungsi campur kode menghormati dapat dilihat dalam dialog
berikut ini.
Siswa 1 : “Membiasakan belajar di malam hari.”
Siswa 4 : “njuk berusaha percaya diri dengan jawaban diri sendiri.”
Siswa 3 : “mengindari teman yang sedang yang menyontek.”
Siswa 5: “njuk niko mencoba menanyakan materi yang belum
dimengerti kepada guru atau teman yang sudah belajar.”
Siswa 1 : “oh, iyo”. (kel. 4, 8B)
Campur kode terjadi dengan adanya kata niko yang disisipkan
penutur ke dalam kode dasar yang berbahasa Indonesia berfungsi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
menghormati lawan tutur yang disapa. Karena niko merupakan bentuk
singkat dati kata meniko dalam bahasa Jawa krama yang berarti ini, orang
Jawa menggunakan bahasa „karma inggil‟ hanya dengan orang yang
mereka hormati.
C. Pembahasan
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode dan campur kode dalam
aktivitas diskusi kelompok.
Berdasarkan analisis data yang telah peneliti lakukan dalam aktivitas
diskusi kelompok, mata pelajaran bahasa Indonesia teribukti bahwa siswa SMP
Negeri 2 Kepil kelas VII B, VII C, VII E, VIII B, VIII C, VIII E masih
menggunakan alih kode dan campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa
daerah (Jawa) dan beberapa menggunakan campur kode dengan bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia walau hanya beberapa kata. Teknik pengumpulan data
penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara dengan guru mata pelajaran
bahasa Indonesia kelas VII dan VIII, dari hasil wawancara memibuktikan bahwa
ssiwa SMP Negeri 2 Kepil memang masih sering menggunakan alih kode dan
campur kode bahasa Indonesia denga bahasa Jawa. Guru juga menjelaskan
bahwa mereka mereka tidak setuju dengan keadaan terseibut. Guru sudah
berusaha semaksimal mungkin mengarahkan ssiwa agar menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar dan menanamkan sikap cinta dan bangga
menggunakan bahasa Indonesia, namun karena latar belakang lingkungan siswa
dari keluarga dan masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
komunikasi sehari-hari maka siswa tetap kesulitan berkomunikasi dengan bahasa
Indonesia dalam situasi formal seperti kegiatan diskusi kelompok. Temuat
tersebut diperkuat oleh penelitian yang sudah dilaksanakan oleh Sari (2009: 80)
yang menjelaskan bahwa guru berpendapat bahwa siswa masih terbiasa memakai
bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, jadi kalau guru harus menyapaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
materi menggunakan bahasa indonsia secara keseluruhan akan membuat siswa
kesulitan memahami materi.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi
kelompok.
Bentuk alih kode yang ditemukan dalam aktivitas diskusi siswa adalah
alih kode intern: (1) alih kode ragam resmi ke ragam santai, (2) alih kode ragam
santai ke ragam resmi, (3) alih kode ragam resmi ke ragam usaha, (4) alih kode
ragam beku ke ragam santai, dan (5) alih kode ragam santai ke ragam usaha dan
alih kode ekstern yaitu alih kode bahasa Indonesia ke bahasa jawa dan alih kode
bahasa jawa ke bahasa Indonesia. Temuan ini didukung oleh penelitian relevan
Sari (2009: 71) hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk alih kode yang
terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas II SD Negeri Selokupang
berupa alih kode intern, yaitu peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
Diperkuat dengan tepri dari Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam
alih kode, yaitu sebagai berikut.
a. Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang
terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam lingkup satu bahasa.
b. Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa
ke bahasa lain yang berbeda.
Campur kode yang ditemukan dalam penelitan ini adalah: (1) alih
kode berdasarkan macam-macam bahasa seperti cempur kode bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa, campur kode bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, campur kode bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia
diaek Jakarta, dan campur kode bahasa indonesia dan bahasa Indonesia dialek
Jakarta, (2) campur kode wujud unsur kebahasaan yang terjadi yaitu campur
kode wujud unsur kebahasaan kata dan campur kode wujud unsur kebahasaan
frasa, dan (3) campur kode ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam beku
dan ragam santai, serta campur kode ragam resmi dan ragam santai. Temuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
tersebut diperkuat dari hasil penelitian oleh Wulandari (2002: 79) hasil
penelitian “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMU
Negeri 1 Sentolo memibuktikan bahwa (1) adanya variasi campur kode bahasa
Indonesia dengan bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris,
(2) campur kode ragam beku dan ragam resmi, ragam beku dan ragam santai,
serta ragam resmi dan ragam santai, dan (3) campur kode wujud unsur
kebahasaan, yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud frasa.
3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam diskusi.
Dari hasil observasi dan wawancara dengan siswa memibuktikan
bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode adalah: (1) penutur, alasan
penutur yang meakukan alih kode dengan alasan mengimbangi lawan tutur,
(2) perubahan situasi orang ketiga, (3) perubahan topik pembicaraan, (4)
perubahan topic pembicaraan, (4) perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya, dan (6) untuk membangkitkan rasa humor. Hal ini diperkuat
dengan teori dari Chaer (1995: 143) menyeibutkan yang menjadi penyebab
alih kode yaitu: (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur,
(3) perubahan situasi hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke
informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicaraan.
Faktor penyebab terjadinya campur kode dalam bahasa aktivitas
diskusi siswa adalah: (1) identitas peranan sosial, (2) identifikasi ragam, (3)
keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, (4) karena faktor lingkungan,
(5) karena latar belakang pendidikan , (6) karena belum terbiasa, dan (7)
karena faktor ekonomi keluarga. Faktor-faktor yang ditemukan dalam
penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Rima
Fatimah dengan judul “ Kajian Penggunaan Bahasa dalam Proses Belajar
Mengajar Bahasa Indonesia di Sma Negeri 1 Magelang”, yang menyatakan
bahwa faktor penyebab terjadinya alih kode adalah sebagai berikut: (1)
penutur dan lawan tutur; (2) perubahan situasi hadirnya orang ketiga; (3)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
perubahan topik pembicaraan; (4) perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya; dan (5) untuk membangkitkan rasa humor.
Fungsi penggunaan alih kode dan campur kode yang digunakan siswa
dalam kegiatan diskusi kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia ini adalah
untuk: (1) menyantaikan, (2) managaskan, (3) menyegarkan, (4) menghormati,
dan (5) menerangkan. Temuan ini diperkuat oleh teori dari Suwito (1985: 79)
Yang menyatakan bahwa fungsi campur kode hampir sama dengan
fungsi alih kode sebagai berikut ini: (1) untuk menegaskan suatu hal atau
untuk mengakhiri pertentangan yang sedang terjadi antara penuturnya, (2)
untuk mengakrabkan atau menekankan solidaritas kelompok, (3) untuk
mengutamakan yang disapa atau untuk menghormati, (4) untuk meningkatkan
status, gengsi, kekuasaan, atau keahlian berbahasa, (5) untuk mengutip ucapan
orang lain, misalnya ingin mengutip ucapan orang lain dengan bahasa lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai berikut.
1. Persepsi guru terhadap peristiwa alih kode pada aktivitas diskusi pelajaran
Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kabupaten Wonosobo.
a. Guru berpendapat bahwa pengunaan alih kode dan campur kode bahasa yang
dilakukan oleh siswa adalah sikap yang salah.
b. Guru berpendapat bahwa siswa masih kesulitan menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, sehingga guru berusaha selalu
mengarahkan siswa agar terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
c. Guru berpendapat bahwa untuk meningkatkan penguasaan bahasa Indonesia
siswa dilakukan dengan pemberian contoh pemakaian bahasa yang benar.
2. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam proses diskusi pelajaran
Bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten Wonosobo sebagai
berikut.
a. Alih Kode
1) Alih kode intern yang terjadi yaitu alih kode ragam resmi ke ragam
santai, alih kode ragam resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi
dan ragam beku, serta alih kode ragam santai dan ragam usaha.
2) Alih kode ekstern yang terjadi yaitu laih kode bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa.
b. Campur Kode
1) Campur kode bahasa yang terjadi yaitu campur kode bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa, campur kode bahasa Indonesia dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
bahasa Indonesia dialek Jakarta, campur kode bahsa Indonesia,
bahasa Jawa, dan dialek Jakarta.
2) Campur kode wujud unsur kebahasaan yang terjadi yaitu campur kode
wujud unsur kebahasaan kata dan campur kode wujud unsur
kebahasaan frasa.
3) Campur kode ragam yang terjadi yaitu campur kode ragam beku dan
ragam santai, serta campur kode ragam resmi dan ragam santai.
3. Faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam proses diskusi
kelompok Bahasa Indonesia di kelas SMP Negeri 2 Kepil, Kaibupaten
Wonosobo.
a. Faktor penyebab terjadinya alih kode, adalah sebagai berikut.
1) Penutur, alasan penutur yang melakukan alih kode dengan maksud
mengimbangi lawan tutur.
2) Lawan tutur, alasan lawan tutur seperti untuk mengimbangi bahasa yang
digunakan oleh lawan tuturnya.
3) Perubahan situasi hadirnya orang ketiga.
4) Perubahan topik pembicaraan.
5) Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
6) Untuk membangkitkan rasa humor.
b. Fungsi alih kode, sebagai berikut.
1) Menyantaikan.
2) Menegaskan.
3) Menyegarkan.
4) Menghormati.
5) Menerangkan.
c. Faktor penyebab terjadinya campur kode,sebagai berikut.
1) Identifikasi peranan sosial
2) Identifikasi ragam
3) Keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
4) Karena faktor lingkungan.
5) Karena latar belakang pendidikan.
6) Karena belum terbiasa.
7) Karena faktor ekonomi keluarga.
d. Fungsi campur kode, sebagai berikut.
1) Menyantaikan.
2) Menegaskan.
3) Menyegarkan.
4) Menghormati.
B. Implikasi
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui persepsi guru tentang
peristiwa lih kode dan campur kode yang masih sering terjadi pada kegiatan balajar
mengajar khususnya pada saat diskusi kelompok mata pelajaran bahasa Indonesia di
SMP Negeri 2 Kepil, kaibupaten Wonosobo. Tujuan berikutnya untuk mengetahui
bentuk-bentuk alih kode dan campur kode yang masih sering muncul dalam kegiatan
diskusi terseibut, selain hal terseibut penelitian ini juga meneliti faktor-faktor
penyebab terjadinya alih kode dan campur kode. untuk mendapatkan hasil terseibut
peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif (studi kasus terpancang).
Diseibut terpancang karena permasalahan yang dibahas hanya mengangkat
permasalahan yang terjadi di SMP kawasan pedesaan dalam masalah pemakaian
bahasa Indonesia pada kegiatan belajar siswa khususnya kagiatan diskusi.
Dari hasil penelitian diperoleh data yang menunjukkan bahwa siswa masih
sering menggunakan alih kode dan campur kode bahasa dalam diskusi kelompok,
meski guru sudah mengatakan bahwa mereka menganggap kegiatan alih kode dan
campur kode adalah sikap yang salah dan guru secara perlahan sudah membiasakan
siswa agar bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar namun karena
faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode seperti penggunaan
bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari siswa memibuat siswa kesulitan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
berkomunikasi dengan bahasa Indonesia denagn baik dan benar. Dari hasil penelitian
terseibut dapat dikemukakan hasil implikasi sebagai berikut.
1. Implikasi Teoritis
Dari hasil penelitian terbukti bahwa siswa masih kesulitan
berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dan
masih sering melakukan alih kode dan campur kode bahasa, kebanyakan alih
kode dan campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa yang. Hal
terseibut harus diubah karena saat kegatan belajar mengajar berlangsung
seharusnya siswa menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan alih kode dan
campur kode bahasa yag digunakan siswa memibuat kerancuan interferensi
bahasa jadi siswa harus lebih rajin belajar berbicara menggunakan bahasa
indoneseia dengan baik dan benar, juga harus memperkaya diri dengan
kosakata bahasa indonesia.
2. Implikasi Praktis
Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa di sekolah kawasan pedesaan masih
kesulitan dalam mempraktikan keterampilan berbicara menggunkan bahasa
Indonesia karena faktor lingkungan yang menggunakan bahasa daerah
(Jawa) sebagai bahasa iibu. Dengan demikian ssiwa-ssiwa terseibut harus
lebih diperhatikan agar keterampilan berbicaraya tidak kalah jauh dari siswa
di perkotaan. Guru yang mendapat tugas mengajar di sekolah kawasan
pedesaan juga harus lebih serius mengajarkan bahasa Indonesia kepada
siswa-siswanya.
C. Saran
1. Bagi siswa
Siswa harus belajar bahasa Indonesia sejak dini, karena bahasa
Indonesia adalah bahasa nasional dan sangat penting untuk dikuasai. Saat
siswa kawasan sekolah pedesaan keluar dari daerah terseibut siswa tidak bisa
mempertahankan berkomunikasi dengan bahasa daerahnya, karena setiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
daerah memiliki bahasa (dialek) yang berbeda, jadi harus menggunakan
bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
2. Bagi Guru
Segabai guru bahasa Indonesia harus memeberikan arahan bagi siswa
agar mencintai bahasa Indonesi dan membiasakan siswa menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar, agar siswa tidak merasa asing
dengan bahasa Indonesia.
3. Bagi Peneliti Lain
Apabila peneliti yang hendak mengkaji permasalahan yang sama
diharapkan lebih cermat agar permasalahan yang masih terjadi di kawasan
pedesaan bisa dilihat dan lebih diperhatikan. Hal terseibut akan dapat
melengkapi kekurangan yang ada dan yang belum tercakup dalam penelitian
ini agar diperoleh hasil yang lebih baik.mengupayakan kajian teori yang
lebih.