Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

47
AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN RINGAN, DAN MI MAZAYA GHAISANI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

description

Food safety

Transcript of Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

Page 1: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN

RINGAN, DAN MI

MAZAYA GHAISANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

Page 2: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi
Page 3: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Akar Masalah

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan

Ringan, dan Mi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Mazaya Ghaisani

NIM F24100027

Page 4: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

ABSTRAK

MAZAYA GHAISANI. Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah:

Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi. Dibimbing oleh DAHRUL

SYAH.

Tingginya konsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) oleh anak sekolah

yang tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh

para penjaja pangan berpotensi menyebabkan masalah keamanan pangan berupa

bahaya fisik, bahaya kimia, maupun bahaya mikrobiologi. Badan Pengawas Obat

dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) sebagai lembaga pemerintah yang

berwenang dalam pengawasan makanan melakukan pengujian terhadap sejumlah

PJAS yang dijual di 3950 SD/MI di Indonesia pada tahun 2011-2013 untuk

mengetahui kondisinya. Hasil pengawasan tersebut masih sebatas data persentase

PJAS yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) sehingga

diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan

pada PJAS dan dapat memberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk

meningkatkan keamanan dan mutu PJAS.

Analisis data yang dilakukan adalah analisis ragam dan pengambilan

keputusan dengan diagram Pareto. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui

keragaman antara PJAS dengan provinsi lokasi pengambilan sampel dan parameter

keamanan. Diagram Pareto digunakan untuk memutuskan parameter keamanan

yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS.

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antara jenis PJAS

dengan provinsi lokasi pengambilan sampel pada taraf nyata 1%. Analisis ragam

yang dilakukan terhadap faktor jenis PJAS dengan parameter keamanan juga

menunjukkan adanya keragaman pada taraf nyata 1%. Hasil analisis ragam

kemudian diuji lanjut dengan LSD (Least Significant Difference). Hasil uji lanjut

LSD menunjukkan bahwa bakso, mi, dan makanan ringan adalah jenis PJAS

dengan persentase TMS yang paling rendah sehingga penilitian ini berfokus

terhadap ketiga jenis PJAS tersebut. Dengan diagram Pareto diketahui bahwa

parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada PJAS jenis bakso adalah

angka lempeng total (ALT) dan koliform, pada makanan ringan adalah boraks dan

rhodamin B, sedangkan pada mi adalah formalin dan E. coli. Berdasarkan hasil

Pareto diketahui masalah utama keamanan pangan pada penelitian ini adalah

masalah cemaran mikrobiologis akibat sanitasi-higiene yang kurang baik pada

proses produksi dan penyiapan PJAS serta masalah cemaran kimiawi akibat

penyalahgunaan bahan kimia berbahaya pada pangan.

Kata kunci: cemaran kimia, cemaran mikrobiologi, keamanan pangan, PJAS

Page 5: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

ABSTRACT

MAZAYA GHAISANI. The Problem Source of School Based Street Foods’ Safety:

Case Study on Meatball, Snack, and Noodle. Supervised by DAHRUL SYAH.

High consumption of school based street foods (PJAS) that are not followed

by the application of Good Manufacturing Practices (GMP) potentially lead to

many food safety problems. BPOM RI as government agency that authorize on food

controlling tested a number of PJAS that sold at 3950 elementary schools in

Indonesia on 2011-2013 to determine its condition. The result of monitoring only

show percentages of complied PJAS (MS/Memenuhi Syarat) and not complied

PJAS (TMS/Tidak Memenuhi Syarat). Further analysis is required to determine the

PJAS safety problems and strategies for sustainable improvement of its safety and

quality.

Data was analyzed with analysis of variance and Pareto diagram. Analysis of

variance was used to determine variability between PJAS with provinces as

sampling location. It also determine variability between PJAS with food safety

parameters. Pareto diagram was used to identify the main problems of food safety

parameters on each PJAS.

The result of analysis of variance showed that there is variability between

PJAS with provinces at 1% significance level. It also showed that there is variability

between PJAS with food safety parameters at 1% significance level. The result of

analysis of variance was followed by LSD (Least Significance Difference). The

result of LSD analysis showed that meatball, noodle, and snack are the lowest

percentage of not complied PJAS, so this study is focused to that foods. Pareto

diagram determined that the safety parameter that become the main problems of

meatball are total plate count (TPC) and coliform. The main problems of noodle are

formalin and E.coli, while the main problems of snack are borax and rhodamine B.

According to the result of Pareto analysis, the main problems of PJAS are

microbiological contaminant and chemical contaminant. Microbiological

contaminant caused by poor sanitation and hygiene on production and preparation

process, while chemical contaminant due to misused of hazardous chemicals in

food.

Keywords: food safety, school based street foods, microbiological contaminants,

chemical contaminants

Page 6: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi
Page 7: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN

RINGAN, DAN MI

MAZAYA GHAISANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

Page 8: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi
Page 9: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

Judul Skripsi : Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi

Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi

Nama : Mazaya Ghaisani

NIM : F24100027

Disetujui oleh

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar MSc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Page 10: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

β€œAkar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso,

Makanan Ringan, dan Mi.”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

selaku pembimbing serta kepada Ibu Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ibu Dian

Herawati, STP, MSi selaku penguji atas waktu, nasihat, dan arahannya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Ungkapan terima

kasih disampaikan pula kepada ayah, ibu, adik, seluruh keluarga, teman

sebimbingan, teman-teman ITP 47, sahabat-sahabat terdekat, dan semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan, doa, kasih sayang, dan

semangat yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015

Mazaya Ghaisani

Page 11: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Konsep Keamanan Pangan 2

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) 4

METODE 5

Kerangka Pikir Penelitian 5

Waktu dan Tempat 5

Tahapan Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kondisi PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat pada Tahun 2011-2013 8

Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi 12

Langkah-langkah Perbaikan Mutu dan Keamanan PJAS 21

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 30

RIWAYAT HIDUP 36

Page 12: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

DAFTAR TABEL

1 Parameter keamanan PJAS 6 2 Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi 11 3 Signifikansi antar parameter keamanan PJAS 11 4 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada

bakso 12 5 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada mi 15 6 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada

makanan ringan 19 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran mikrobiologis 21 8 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran kimiawi 24

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013 9 2 Persentase mi, makanan ringan, dan bakso yang tidak memenuhi

syarat 10 3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso 12 4 Masalah utama keamanan pangan pada mie 16 5 Masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan analisis ragam 30 2 Perhitungan uji lanjut LSD (Least Significant Difference) 32

Page 13: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan minuman yang

dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat

lain sejenisnya (FAO 2009). Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dikenal

sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin

dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah (Kementerian Kesehatan RI 2011).

PJAS menyumbang 31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari

konsumsi pangan harian anak sekolah (BPOM RI 2009). Hasil survei Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) pada tahun 2010

menunjukkan bahwa terdapat 141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan

terjadi. Dari 141 kejadian, 15% disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian

tertinggi (69-79%) terjadi di Sekolah Dasar (BPOM RI 2011). Keracunan pangan

tersebut dapat diakibatkan oleh tingginya konsumsi PJAS oleh anak sekolah yang

tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh para

penjaja pangan.

BPOM RI sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam pengawasan

makanan menginisiasi Gerakan PJAS. Gerakan PJAS tersebut disebut dengan Aksi

Nasional PJAS (AN PJAS) yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan, mutu,

dan gizi PJAS. Salah satu bentuk AN PJAS adalah program pengawasan PJAS

berupa sampling dan analisis sampel PJAS dari kantin dan penjaja makanan di

lingkungan sekolah. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan Petunjuk Teknis

Sampling PJAS yang dibuat oleh BPOM RI. Sampel tersebut kemudian dianalisis

di laboratorium Balai Besar/Balai POM atau di laboratorium keliling agar diketahui

kesesuaiannya dengan syarat yang telah ditentukan oleh BPOM RI. Hingga saat ini,

data-data hasil sampling dan analisis tersebut hanya sebatas mengetahui persentase

sampel yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Oleh sebab

itu, data dikaji lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan pada

PJAS sehingga dapat diberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk

meningkatkan keamanan dan mutu PJAS yang dijual.

Penelitian ini hanya berfokus terhadap 3 jenis PJAS yaitu bakso, makanan

ringan, dan mi. Hal tersebut disebabkan untuk PJAS jenis kudapan memiliki variasi

jajanan yang paling banyak dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan

analisis parameter keamanan pangan penyebab TMS serta telah dilakukan

penelitian serupa terhadap 3 jenis PJAS yang lain yaitu es, minuman berwarna/sirup,

dan agar/jeli.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan strategi perbaikan

berkelanjutan bagi 3 jenis PJAS (bakso, makanan ringan, dan mi) berdasarkan data

hasil pengawasan yang dilakukan oleh BPOM. Untuk mencapai tujuan umum

tersebut, disusun pula beberapa hal yang ingin dicapai pada penelitian ini, antara

lain:

1. Mengidentifikasi jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat

Page 14: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

2

2. Mengkaji parameter keamanan pangan pada tiga jenis PJAS (bakso, mi, dan

makanan ringan) yang paling sulit memenuhi syarat

3. Merumuskan langkah-langkah perbaikan mutu dan keamanan pada tiga jenis

PJAS (bakso, mi, dan makanan ringan).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi berbagai pihak

terkait untuk meningkatkan keamanan dan mutu PJAS dengan mengkaji perubahan

tingkat keamanan PJAS pada tahun 2011-2013 dan parameter keamanan pangan

yang paling sulit memenuhi syarat.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Keamanan Pangan

Keamanan pangan didefinisikan sebagai jaminan bahwa suatu pangan tidak

menyebabkan bahaya bagi konsumen ketika pangan tersebut disiapkan atau

dimakan berdasarkan cara mengkonsumsinya (FAO 2009). Sedangkan menurut UU

No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya

yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis,

kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan

kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya

masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Pangan yang aman adalah pangan yang bebas dari bahaya biologis, bahaya

kimia, dan bahaya fisik (BPOM RI 2012). Bahaya biologis meliputi bahaya yang

disebabkan oleh makhluk hidup seperti bakteri, toksin yang diproduksi oleh

organisme, kapang, khamir, parasit, virus, dan prion. Bahaya kimia merupakan

bahaya yang disebabkan oleh senyawa kimia berupa toksin yang terbentuk secara

alami (seperti HCN pada tanaman ketela pohon), penggunaan bahan tambahan

pangan (BTP) yang melebihi batas maksimumnya, residu pestisida, kontaminasi

dari lingkungan, penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (seperti formalin, boraks,

dan rhodamin B), kontaminasi senyawa kimia dari kemasan, dan alergen.

Sedangkan bahaya fisik adalah bahaya yang disebabkan benda-benda yang

seharusnya tidak berada dalam pangan seperti logam, kaca, batu, atau duri (FAO

2006).

Untuk menekan sekecil mungkin risiko yang dapat terjadi, diperlukan sistem

pengawasan yang komprehensif dari saat produk dibuat hingga beredar di pasaran.

Sistem pengawasan yang diterapkan oleh BPOM di Indonesia adalah Sistem

Pengawasan Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM). SisPOM terdiri dari tiga

lapis yakni subsistem pengawasan produsen, subsistem pengawasan konsumen, dan

subsistem pengawasan pemerintah (BPOM). Subsistem pengawasan produsen

adalah sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan CPPB atau

GMP agar setiap bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak

awal. Secara hukum, produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk

yang dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap

Page 15: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

3

standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif

maupun pro-justisia. Subsistem pengawasan konsumen adalah sistem pengawasan

yang dilakukan oleh masyarakat melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan

pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannnya dan cara-cara

penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat merupakan hal

yang penting untuk dilakukan karena pada akhirnya masyarakat yang mengambil

keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan

kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu

produk dapat terlindung dari penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi

syarat dan tidak dibutuhkan. Selain itu, hal tersebut juga dapat mendorong produsen

untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Subsistem pengawasan pemerintah

(BPOM) adalah pengawasan oleh pemerintah melalui peraturan dan standardisasi;

penilaian kemanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di

Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel, dan pengujian laboratorium produk yang

beredar serta peringatan kepada publik yang didukung dengan penegakan hukum.

Selain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, pemerintah juga melaksanakan

kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran dan

pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat, dan keamanan produk

(BPOM 2013).

Analisis risiko merupakan kerangka berpikir yang digunakan pemerintah

dalam upayanya untuk menurunkan risiko terjadinya masalah keamanan pangan.

Analisis risiko adalah suatu proses yang sistematis dan transparan dalam

pengumpulan, analisis, dan evaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang

relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis, atau fisik yang mungkin terdapat

dalam pangan. Hasil analisis digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan

untuk memilih opsi terbaik untuk menangani risiko tersebut berdasarkan berbagai

alternatif yang diidentifikasi. Analisis risiko dibagi menjadi tiga komponen utama,

yaitu kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kajian risiko adalah

suatu proses penentuan tingkat risiko yang berlandaskan data-data ilmiah. Kajian

risiko terdiri dari empat tahapan yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya,

kajian pemaparan, dan karakterisasi risiko. Manajemen risiko adalah suatu proses

yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan dengan mempertimbangkan

masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang

relevan. Tujuan dari kebijakan yang dibuat adalah untuk melindungi kesehatan

konsumen dan mempromosikan perdagangan yang adil. Jika diperlukan dapat

memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi

risiko. Komunikasi risiko adalah pertukaaran informasi dan opini secara interaktif

dalam pelaksanaan proses analisis risiko (mengenai risiko, faktor yang berkaitan

dengan risiko, dan persepsi risiko) antara pengkaji risiko, manajemen risiko, dan

pihak terkait lainnya, seperti pemerintah, konsumen, industri, dan konsumen.

Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian

risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (BPOM RI 2005).

Analisis risiko pada sistem keamanan pangan di Indonesia diterapkan dalam

bentuk Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). BPOM RI bekerja sama dengan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), produsen pangan, dan konsumen untuk

mengembangkan SKPT dan mewujudkan keamanan pangan di Indonesia. SKPT

diwujudkan dalam tiga jejaring, yaitu Jejaring Intelijen Pangan (JIP), Jejaring

Pengawasan Pangan (JPP), dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP). JIP

Page 16: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

4

adalah sistem komunikasi untuk anggota SKPT yang memiliki tugas dan fungsi

dalam kajian risiko keamanan pangan. JPP adalah sistem komunikasi yang

menggalang kerjasama antar lembawa berwenang dalam manajemen risiko dalam

rangka meningkatkan efektivitas kerja sistem administrasi keamanan pangan

(kebijakan, peraturan pangan, dan koordinasi pelayanan), inspektorat keamanan

pangan, dan analisis. JPKP adalah kemitraan antara anggota dari berbagai instansi

dan asosiasi yang berhubungan dengan promosi keamanan pangan (BPOM RI

2005).

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Menurut FAO (2009) pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan

minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau

tempat-tempat lain sejenisnya. Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya

dikenal sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara

rutin dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah. Pangan jajanan dapat

dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: (1) Makanan utama; seperti mi,

bakso, nasi soto, dan mi ayam, (2) Makanan ringan; seperti tahu goreng, agar, dan

jeli, (3) Minuman; seperti es campur, es sirup, dan es teh (Kementerian Kesehatan

RI 2011). Makanan ringan adalah kelompok makanan yang paling banyak

ditemukan di lingkungan sekolah, yaitu sebesar 54%, diikuti minuman (26%), dan

makanan utama (20%) (BPOM RI 2009).

Kebutuhan gizi anak sekolah usia 6-12 tahun berkisar antara 1550-2050 Kkal.

Sarapan pagi harus memenuhi sebanyak 20-25% kebutuhan kalori sehari. Makan

siang dan makan malam masing-masing 30%, sedangkan makanan selingan atau

jajanan dapat dilakukan dua kali dengan porsi masing-masing 10% (Kementerian

Kesehatan RI 2011). Hasil survei BPOM RI pada tahun 2008 menunjukkan bahwa

PJAS menyumbang 31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari konsumsi

pangan harian anak sekolah (BPOM RI 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa

konsumsi pangan jajanan cukup tinggi di kalangan anak sekolah sehingga pangan

jajanan berperan penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak

usia sekolah.

Umumnya di lingkungan sekolah terdapat dua kategori penjaja pangan yaitu

kantin atau koperasi sekolah yang berada di dalam sekolah serta penjual pangan

jalanan yang mangkal di sekitar sekolah (BPOM RI 2008). Berdasarkan data yang

diperoleh BPOM RI pada tahun 2008, diketahui sebesar 64.9% pengelola kantin

sekolah dan 75.3% penjaja PJAS di sekitar sekolah yang disurvei belum

menerapkan praktek keamanan pangan yang baik. Selain itu diketahui pula bahwa

sebesar 16.1% pengelola kantin sekolah dan 23.1% penjaja PJAS di sekitar sekolah

menambahkan BTP ke dalam produk minuman yang dijual. Masalah-masalah

tersebut dapat mengakibatkan timbulnya bahaya keamanan pangan bagi anak

sekolah. Hasil survei BPOM pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa terdapat

141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terjadi. Dari 141 kejadian, 15%

disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian tertinggi (69-79%) terjadi di

Sekolah Dasar (BPOM RI 2011).

Masalah keamanan pangan banyak ditimbulkan akibat kondisi higiene dan

sanitasi yang tidak memadai, kurangnya pengetahuan penjaja pangan mengenai

Page 17: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

5

bahan tambahan pangan, kurangnya edukasi mengenai pangan yang aman kepada

murid sekolah, serta program pengawasan PJAS yang belum berjalan dengan baik.

METODE

Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis

data. Tahap pendahuluan berupa pengumpulan data dan pengelompokan ulang data.

Data yang digunakan merupakan data sekunder hasil program pengawasan PJAS

yang dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI pada 31 provinsi

di Indonesia selama tahun 2011-2013. Setiap tahunnya dilakukan 2 tahap

pengambilan sampel sehingga terdapat total 6 set data. Data yang telah diperoleh

dikelompokkan ulang untuk memudahkan analisis data.

Tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data yang dilakukan antara

lain untuk mengidentifikasi:

1. Perubahan persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011-2013.

Perubahan persentase PJAS tersebut dapat mencerminkan kondisi PJAS yang

umum dijual di lingkungan SD/MI.

2. Jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat yaitu jenis PJAS dengan

persentase TMS yang paling tinggi.

3. Parameter keamanan PJAS yang paling sulit memenuhi syarat dengan melihat

persentase TMS pada parameter yang paling tinggi. Selanjutnya dilakukan

perumusan langkah-langkah perbaikan keamanan dan mutu PJAS sesuai

dengan parameter keamanan yang paling sulit memenuhi syarat.

Waktu dan Tempat

Sampel diambil dari 3950 SD/MI di 31 provinsi di Indonesia selama tahun

2011-2013. Pengujian dilakukan di laboratorium Balai Besar POM dan Balai POM

serta laboratorium keliling di masing-masing provinsi. Analisis data dilaksanakan

selama 4 bulan yaitu pada bulan Juni-September 2014 di lingkungan kampus

Institut Pertanian Bogor Dramaga.

Tahapan Penelitian

Penelitian terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis

data. Berikut uraiannya:

1. Tahap pendahuluan

Tahap pendahuluan terdiri dari pengumpulan data dan pengelompokan

ulang data. Data sekunder diperoleh dari hasil pengujian 7 jenis PJAS (bakso,

es, jeli/agar, kudapan, makanan ringan, mi, dan minuman berwarna/sirup) yang

umum dijual di lingkungan Sekolah Dasar dalam rangka program pengawasan

PJAS yang dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI.

Page 18: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

6

Pengambilan sampel dilakukan di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 2011-

2013 dimana tiap tahunnya dilakukan 2 tahap pengambilan sampel sehingga

diperoleh 6 set data. Berdasarkan 6 set data yang diperoleh diketahui terdapat

3950 SD/MI sebagai lokasi sampling dan 26857 sampel PJAS telah diuji. Data

tersebut kemudian dikelompokkan ulang berdasarkan tujuan yang ingin dicapai,

yaitu:

a. Pengelompokan berdasarkan PJAS yang tidak memenuhi syarat (TMS)

b. Pengelompokan berdasarkan jenis PJAS dan parameter keamanannya

2. Tahap analisis data

Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2013.

Berikut analisis data yang dilakukan:

a. Analisis data PJAS yang tidak memenuhi syarat

Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat dihitung pada setiap

tahap pengambilan sampel dengan formula sebagai berikut:

% 𝑃𝐽𝐴𝑆 𝑇𝑀𝑆 =π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ π‘Žπ‘šπ‘π‘’π‘™ 𝑃𝐽𝐴𝑆 π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜ π‘šπ‘’π‘šπ‘’π‘›π‘’β„Žπ‘– π‘ π‘¦π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘‘

π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ π‘’π‘šπ‘’π‘Ž π‘ π‘Žπ‘šπ‘π‘’π‘™ 𝑃𝐽𝐴𝑆× 100%

b. Analisis data PJAS dan parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat

Tabel 1 Parameter keamanan PJAS

Jenis PJAS Parameter Batas Maksimum

Bakso

Kadar formalin Negatif

Kadar boraks Negatif

Angka Lempeng Total 1 x 105 koloni/gr

Bakteri koliform 10 APM/gram

Escherichia coli < 3 APM/gram

Salmonella Negatif/25 gram

Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/gr

Clostridium perfringens 1 x 102 koloni/gr

Makanan ringan

Rhodamin B Negatif

Methanil yellow Negatif

Kadar benzoat Maks. 1000 mg/kg

Kadar sorbat Maks. 1000 mg/kg

Kadar sakarin Maks. 300 mg/kg

Kadar siklamat Maks. 300 mg/kg

Kadar asam borat Negatif

Escherichia coli < 3 APM/gram

Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/gr

Mi

Kadar formalin Negatif

Kadar boraks Negatif

Methanil yellow Negatif

Escherichia coli < 3 APM/gram

Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/gr

Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat

dihitung pada tiap tahap pengambilan sampel berdasarkan jenis PJAS.

Page 19: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

7

Untuk menentukan parameter yang tidak memenuhi syarat, hasil yang

diperoleh dari pengujian sampel dibandingkan dengan parameter yang

terdapat pada Tabel 1. Berikut formula perhitungan persentase parameter

keamanan yang tidak memenuhi syarat:

%π‘ƒπ‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘šπ‘’π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘˜π‘’π‘Žπ‘šπ‘Žπ‘›π‘Žπ‘› 𝑇𝑀𝑆 =π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘šπ‘’π‘‘π‘’π‘Ÿ π‘˜π‘’π‘Žπ‘šπ‘Žπ‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” 𝑇𝑀𝑆

π½π‘’π‘šπ‘™π‘Žβ„Ž π‘ π‘’π‘™π‘’π‘Ÿπ‘’β„Ž π‘π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘šπ‘’π‘‘π‘’π‘Ÿ π‘˜π‘’π‘Žπ‘šπ‘Žπ‘›π‘Žπ‘› π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘‘π‘–π‘’π‘—π‘–π‘˜π‘Žπ‘›Γ— 100%

c. Analisis Ragam

Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya

keragaman rata-rata persentase TMS dengan provinsi serta keragaman rata-

rata PJAS dengan parameter keamanannya. Berikut model analisis ragam

dua faktor yang digunakan:

π‘Œπ‘–π‘—π‘˜ = πœ‡ + 𝐴𝑖 + 𝐡𝑗 + 𝐴𝐡𝑖𝑗 + π‘˜(𝑖𝑗)

(Sudjana 1985)

Yijk = Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat karena pengaruh

bersama taraf ke-i faktor provinsi (A) dan taraf ke j faktor jenis

PJAS (B) yang terdapat pada observasi ke-k

= efek rata-rata yang sebenarnya (berharga konstan)

Ai = efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor provinsi

Bj = efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor PJAS

(ij) = efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor provinsi (A)

dan taraf ke-j faktor jenis PJAS (B)

k(ij) = efek sebenarnya dari unit eksperimen ke-k dalam kombinasi

perlakuan (ij)

Sedangkan analisis ragam untuk parameter per jenis PJAS menggunakan

analisis ragam satu faktor dengan model sebagai berikut:

π‘Œπ‘–π‘— = πœ‡ + 𝑖 + 𝑖𝑗

(Sudjana 1985)

Yij = variabel yang akan dianalisis, dimisalkan berdistribusi normal

= efek umum atau efek rata-rata yang sebenarnya

i = efek yang sebenarnya pada perlakuan ke-i

ij = efek yang sebenarnya dari unit eksperimen ke-j yang berasal dari

perlakuan ke-i

Apabila hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman dari

faktor yang dianalisis (F hitung > F tabel pada taraf nyata yang telah

ditentukan), maka dilanjutkan dengan uji lanjut LSD (Least Significance

Different), dengan formula sebagai berikut:

𝐿𝑆𝐷 = 𝑑𝛼

2,π‘‘π‘π‘”βˆšπΎπ‘‡πΊ

1

π‘Ÿπ‘–+

1

π‘Ÿπ‘—

Page 20: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

8

ri = ulangan ke-i

rj = ulangan ke-j

KTG = Kuadrat Tengah Galat yang diperoleh dari analisis ragam

= taraf nyata

dbg = derajat bebas galat

t = nilai t diperoleh dari tabel t pada taraf nyata ∝

2 dengan derajat bebas

sama dengan dbg

d. Analisis Pareto

Diagram Pareto digunakan untuk menentukan parameter keamanan

yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS. Diagram Pareto

merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang

menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap

keseluruhan. Diagram Pareto menunjukkan masalah mana yang sedikit

tetapi dominan (vital few) dan masalah yang banyak tetapi kurang dominan

(trivial many). Teori Pareto menyatakan bahwa 20% kondisi dapat menjadi

penyebab bagi 80% akibat (Muhandri dan Kadarisman 2012).

Setelah mengetahui parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada

tiap PJAS, selanjutnya dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap produsen

dan pedagang PJAS di Kota dan Kabupaten Bogor. Pengamatan dan wawancara

bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses

produksi dan penyiapan PJAS sehingga dapat disusun langkah-langkah perbaikan

bagi produsen dan pedagang PJAS secara lebih komprehensif. Pengamatan

dilakukan terhadap masing-masing satu orang pedagang bakso dan pedagang mie

yang berlokasi di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pengamatan produsen

bakso dilakukan di satu lokasi penggilingan bakso di Pasar Anyar, Kota Bogor.

Sedangkan pengamatan terhadap produsen mi dilakukan di satu lokasi produksi mi

basah mentah di Merdeka, Kota Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat pada Tahun 2011-2013

Data PJAS diperoleh dari hasil program pengawasan PJAS yang dilakukan

oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI. Pengambilan sampel tujuh jenis

PJAS dilakukan pada 3950 SD/MI di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 2011-

2013. Tujuh jenis PJAS yang ditetapkan oleh BPOM RI dan diatur dalam Petunjuk

Teknis PJAS antara lain: bakso, es, jeli/agar, kudapan, makanan ringan, mi, dan

minuman berwarna/sirup. Menurut Petunjuk Teknis Sampling PJAS, kudapan

adalah makanan ringan yang mencakup makanan gorengan (seperti bakwan, ubi

goreng, pisang goreng, tahu isi, cilok, sosis, ayam goreng, batagor, lumpia, pempek,

model, tekwan), jajanan pasar (seperti hunkwe dan dadar gulung, dan sejenisnya,

sedangkan makanan ringan mencakup kerupuk, keripik, produk esktrusi, dan

sejenisnya. Tiap tahun dilakukan dua tahap pengambilan sampel sehingga total

Page 21: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

9

dilakukan enam tahap pengambilan sampel selama tiga tahun. Sebanyak 26857

sampel telah diambil selama enam tahap pengambilan sampel tersebut.

Berdasarkan data tersebut, dihitung persentase tingkat PJAS yang tidak

memenuhi syarat (TMS) parameter keamanannya. Persentase tersebut dapat

menggambarkan kondisi PJAS yang dijual di lingkungan SD/MI. Persentase PJAS

tidak memenuhi syarat yang tinggi menunjukkan kondisi keamanan PJAS yang

buruk dan memiliki risiko terjadinya cemaran yang tinggi. Persentase PJAS yang

tidak memenuhi syarat tertinggi adalah pada sampling tahun 2011 tahap II dan yang

terendah adalah pada sampling tahun 2012 tahap II sebagaimana ditunjukkan pada

Gambar 1.

Gambar 1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013

(n = 26857)

Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011 cukup tinggi

karena mencapai angka 50%, namun mengalami penurunan yang cukup drastis dan

mencapai angka 20% pada tahun selanjutnya. Tahun 2013 menunjukkan adanya

peningkatan kembali persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat meskipun tidak

setinggi pada tahun 2011.

Setelah mengetahui perubahan persentase seluruh PJAS yang tidak

memenuhi syarat, selanjutnya dilakukan perhitungan persentase TMS terhadap tiga

jenis PJAS yaitu bakso, mi, dan makanan ringan. Pemilihan ketiga jenis PJAS

tersebut didasari hasil uji lanjut LSD dan kategori PJAS yang sama yaitu makanan.

Gambar 2 menunjukkan bahwa persentase bakso yang tidak memenuhi syarat

cukup tinggi, yaitu berkisar antara 20-65% dengan persentase tertinggi terdapat

pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II.

Persentase makanan ringan yang tidak memenuhi syarat berkisar dari 8-20%.

Persentase tertinggi terdapat pada tahun 2011 tahap I dan yang terendah terdapat

pada tahun 2012 tahap II. Sedangkan pada mi, persentase sampel yang tidak

memenuhi syarat berkisar antara 7-43%. Persentase tertinggi mi yang tidak

memenuhi syarat terdapat pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada

tahun 2012 tahap II. Berdasarkan grafik pada Gambar 1 dan Gambar 2, terlihat

bahwa perubahan kondisi PJAS memiliki tren yang fluktuatif dimana persentase

46,39

56,76

23,45

16,41

31,0729,07

0

10

20

30

40

50

60

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

%T

MS

Tahun sampling

Page 22: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

10

TMS paling tinggi terdapat pada tahun 2011, kemudian turun cukup drastis pada

tahun 2012, dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2013.

Gambar 2 Persentase mi (n = 1953), makanan ringan (n = 4248), dan bakso (n =

1898) yang tidak memenuhi syarat

Program pengawasan PJAS yang singkat dapat menjadi penyebab terjadinya

tren yang fluktuatif. Tahun 2013 merupakan tahun terakhir pelaksanaan program

pengawasan PJAS sehingga diduga pengawasan pada tahun 2013 menjadi lebih

longgar daripada tahun sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya peningkatan

PJAS yang tidak memenuhi syarat. Tren fluktuatif juga dapat disebabkan adanya

perbedaan jumlah SD/MI lokasi pengambilan sampel dan jumlah sampel yang

diambil pada tiap tahap.

Analisis Ragam

Analisis ragam dilakukan terhadap dua faktor, yaitu rata-rata persentase TMS

tiap jenis PJAS dan provinsi lokasi pengambilan sampel. Hasil analisis ragam pada

Lampiran 1 menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada interaksi rata-rata

persentase TMS dengan provinsi pada taraf nyata 1%. Analisis dilanjutkan dengan

uji lanjut LSD karena hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antar

dua faktor. Hasil uji lanjut LSD pada Tabel 2 menunjukkan bahwa mi memiliki

rata-rata persentase TMS yang tidak berbeda nyata dengan makanan ringan. Hal

tersebut dapat diartikan bahwa mi dan makanan ringan merupakan PJAS dengan

persentase TMS paling rendah. Kudapan merupakan PJAS dengan persentase TMS

terendah setelah mi dan makanan ringan. Rata-rata persentase TMS bakso dan

jeli/agar juga tidak berbeda nyata sehingga dapat dikatakan bahwa kedua PJAS

tersebut memiliki tingkat TMS dibawah kudapan. Minuman berwarna/sirup

memiliki tingkat TMS di bawah bakso dan jeli/agar, sedangkan es merupakan PJAS

dengan rata-rata TMS tertinggi.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis PJAS dengan persentase rata-rata TMS

terendah adalah mi, makanan ringan, kudapan, dan bakso dimana keempat jenis

PJAS tersebut merupakan PJAS dengan kategori yang sama yaitu makanan.

Kudapan merupakan jenis PJAS dengan variasi jenis jajanan yang paling banyak

15,63

43,04

8,77 7,7410,70

14,34

20,13 19,50

10,12 8,9212,88

10,66

56,14

64,21

20,99 20,83

32,83 31,65

0

10

20

30

40

50

60

70

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

% T

MS

Tahun sampling

Mie

Makanan Ringan

Bakso

Page 23: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

11

dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan analisis parameter keamanan

pangan penyebab TMS. Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian ini berfokus

pada tiga jenis PJAS yaitu mi, makanan ringan, dan bakso.

Tabel 2 Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi

pengambilan sampel

Jenis PJAS Rata-rata TMS (%)

Mi 15.874614.3192a

Makanan ringan 16.050813.4051a

Kudapan 27.389511.2808b

Bakso 35.118415.2100c

Jeli/agar 38.722124.1784c

Minuman berwarna/sirup 52.758421.0253d

Es 59.829621.7409e

Tabel 3 Signifikansi antar parameter keamanan PJAS

Parameter Keamanan PJAS Rata-rata TMS (%)

Angka Lempeng Total (ALT) 29.832.56f

Angka Kapang Khamir (AKK) 24.481.74e

Koliform 23.278.59e

Siklamat 15.8012.33d

Asesulfam 5.879.19c

E. coli 4.042.52c

Boraks 3.882.22bc

Nitrit 2.502.94abc

Formalin 2.242.96abc

Sakarin 1.982.22abc

Logam timbal 1.631.85abc

Rhodamin B 1.561.74abc

Benzoat 1.110.66abc

S. aureus 1.101.03abc

C. perfringens 0.890.99abc

Salmonella 0.560.22ab

Sorbat 0.230.19a

Metanil yellow 0.090.10a

Selain melakukan analisis ragam terhadap faktor rata-rata persentase TMS

dan provinsi, dilakukan pula analisis ragam terhadap rata-rata persentase TMS

dengan parameter keamanan. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman

terhadap interaksi dua faktor yang diuji pada taraf nyata 1% sehingga dilakukan uji

lanjut LSD. Tabel 3 menunjukkan bahwa siklamat, koliform, AKK, dan ALT

merupakan parameter keamanan dengan persentase TMS tertinggi. Hal tersebut

menunjukkan bahwa penyebab utama PJAS tidak layak dikonsumsi adalah adanya

cemaran mikrobiologi dan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) melebihi

batas maksimal yang telah ditentukan.

Selanjutnya dilakukan analisis ragam terhadap parameter keamanan pada tiap

jenis PJAS. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis

ragam menunjukkan bahwa terdapat keragaman parameter pada taraf nyata 1%

untuk bakso dan makanan ringan dan pada taraf nyata 5% untuk mi.

Page 24: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

12

Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi

Bakso

Bakso merupakan produk pangan yang bahan utama pembuatannya adalah

daging yang dilumatkan, selanjutnya dicampur dengan bahan-bahan lainnya,

dibentuk bulatan-bulatan, dan kemudian direbus. Istilah bakso umumnya diikuti

dengan nama jenis dagingnya, seperti bakso sapi, bakso ayam, atau bakso ikan.

Berdasarkan bahan bakunya, bakso dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu bakso

daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit

mengandung urat, bakso urat dibuat dari daging yang banyak mengandung urat,

sedangkan bakso aci dibuat dengan penambahan tepung yang lebih banyak

dibandingkan jumlah daging yang digunakan (Anonim 2010).

Tabel 4 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada bakso

Parameter

% Tidak Memenuhi Syarat

2011 2012 2013

I II I II I II

Angka Lempeng Total 23.90 28.95 28.21 33.81 32.72 31.63

Koliform 20.18 24.74 30.16 30.25 31.91 28.48

E. coli 6.14 4.21 6.43 5.67 5.74 5.19

Boraks 3.95 3.68 1.34 1.77 2.59 3.85

Formalin 0.44 0.00 1.55 0.00 0.44 1.39

S. aureus 0.22 1.05 1.41 0.00 3.13 0.00

C. perfringens 0.00 0.00 0.93 2.70 0.89 0.80

Salmonella 0.66 1.05 0.00 0.00 3.13 0.00

Gambar 3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso (n = 1898)

Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tentang

Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, batas

cemaran mikroba ALT maksimal 1x105 koloni/g dan APM koliform maksimal

10/g. Angka lempeng total merupakan metode kuantitatif yang digunakan untuk

mengetahui jumlah mikroba secara umum yang ada pada suatu sampel. Uji ALT

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500%

Ku

mu

lati

f

Ju

mla

h T

MS

Parameter Keamanan

Jumlah TMS

% Kumulatif

Page 25: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

13

hanya menghitung mikroba aerob mesofil dan anaerob mesofil (BPOM RI 2008).

Bakteri koliform dapat digunakan sebagai indikator sanitasi air dan berbagari

produk pangan. Kelompok koliform merupakan bakteri dari famili

Enterobacteriaceae yang terdiri dari empat genus, yaitu Escherichia, Enterobacter,

Klebsiella, dan Citrobacter. Koliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok,

yaitu koliform fekal dan koliform non fekal. Koliform fekal merupakan penghuni

normal saluran pencernaan manusia dan hewan yang dapat ditemukan pada feses

dan digunakan sebagai indikator pencemaran. Koliform non fekal tidak termasuk

mikroflora normal di dalam saluran pencernaan, melainkan ditemukan pada

tanaman atau hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan

(Fardiaz 1992).

Pengamatan dilakukan terhadap penjual bakso di salah satu SD di Kecamatan

Dramaga, Bogor dan penggilingan daging di Pasar Anyar, Bogor. Pengamatan

dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses

pembuatan dan penyajian bakso. Proses pembuatan adonan bakso dimulai dengan

menggiling daging sapi. Setelah daging sapi lumat maka dilakukan proses

pencampuran dengan tepung sagu, es batu, dan bumbu-bumbu lainnya. Proses

pencampuran memakan waktu yang cukup lama karena tepung sagu dan bumbu-

bumbu yang ditambahkan harus tercampur dengan rata untuk mendapatkan tekstur

adonan bakso yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan mixer

khusus untuk pembuatan bakso yang dibantu dengan tangan. Setelah adonan bakso

jadi kemudian diletakkan ke dalam ember-ember yang telah dilapisi kantong

plastik. Mesin penggiling dan mixer digunakan dari pukul 03.00 hingga selesai

yaitu sekitar pukul 07.30. Setiap pergantian daging yang digiling dan dilumatkan

tidak dilakukan pencucian alat. Pencucian mesin penggiling dilakukan hanya sekali

yaitu setelah penggilingan daging pada hari itu selesai. Tempat penggilingan daging

yang didatangi oleh penulis juga menjual daging untuk bakso. Daging diletakkan di

ruangan tanpa pendingin mulai dari dibukanya tempat penggilingan hingga tutup

sehingga daging disimpan dalam suhu ruang sekitar empat jam. Daging yang tidak

terjual kemudian disimpan di dalam freezer di lokasi penggilingan daging. Adonan

bakso tersebut kemudian dibawa ke lokasi pemasakan masing-masing pedagang

dan kemudian dijual dengan gerobak. Penjual bakso dengan gerobak umumnya

memiliki alat sanitasi yang minimal. Pedagang bakso yang ditemui oleh penulis

hanya memiliki seember air dan lap sebagai alat sanitasi. Air tersebut digunakan

untuk mencuci mangkok, sendok, dan garpu yang telah digunakan. Jika air di ember

sudah cukup kotor maka baru air dibuang dan diganti dengan yang baru. Mangkok

yang telah dicuci kemudian dikeringkan menggunakan kain lap. Kain lap tersebut

digunakan secara terus-menerus dari awal hingga selesai berjualan.

Mengingat penyebab utama bakso tidak memenuhi syarat adalah masalah

ALT dan koliform yang melebihi batas maksimal serta berdasarkan pengamatan

yang dilakukan, diketahui beberapa sumber kontaminasi terbesar pada bakso antara

lain:

1. Kontaminasi dari pekerja

Proses pencampuran daging dengan bahan lain dilakukan menggunakan

mesin mixer dengan bantuan tangan. Penggunaan tangan dilakukan untuk

mempermudah proses pencampuran daging dengan bahan lain. Selain pada

proses penggilingan daging, proses pembentukan bakso dan penyiapan bakso

Page 26: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

14

juga dilakukan dengan menggunakan tangan. Penelitian Lues et al. (2006)

menunjukkan bahwa pekerja menyebabkan timbulnya bakteri seperti E.coli, S.

aureus, dan Salmonella. Sanitasi pada pekerja diperlukan untuk meminimalkan

atau bahkan mencegah perpindahan kontaminan dari tubuh pekerja ke makanan.

2. Mesin dan alat yang digunakan

Mesin penggiling dan mixer daging digunakan selama kurang lebih

empat jam sehari namun hanya dicuci sekali yaitu pada saat penggilingan pada

hari tersebut selesai. Ember digunakan sebagai wadah penampung adonan

bakso yang telah selesai digiling dan dicampur. Ember tersebut dilapisi kantong

plastik untuk membawa adonan bakso ke lokasi pedagang melakukan proses

perebusan bakso. Pada ember yang digunakan terlihat sisa-sisa daging yang

telah mengering, Daging yang tersisa pada alat merupakan sumber nutrisi bagi

mikroorganisme untuk tumbuh.

3. Bahan baku

Bahan baku bakso yang berupa daging sangat mudah ditumbuhi mikroba,

terutama mikroba perusak dan pembusuk karena mempunyai kadar air yang

tinggi (68-75%) serta mengandung nutrisi yang dibutuhkan mikroba untuk

tumbuh, seperti asam amino yang banyak mengandung nitrogen, karbohidrat

yang mudah difermentasi, dan mineral. Selain itu, pH daging yang mencapai

5.3-6.5 dapat menguntungkan sejumlah mikroorganisme (Soeparno 2005).

Mikroba yang dapat ditemukan pada daging mentah antara lain Micrococcus

spp., Staphylococcus spp., Bacillus spp., kelompok coryneform, dan

Brochothrix spp. Sedangkan mikroba pembusuk yang terdapat pada daging

yang telah digiling adalah Pseudomonas spp. dan Enterobacteriaceae

psikotropik (Cerveny et al. 2009).

Selain daging, es batu merupakan salah satu bahan baku pembuatan bakso

dengan resiko kontaminasi mikroba yang cukup tinggi. Es batu berfungsi untuk

mempertahankan suhu adonan bakso. Suhu optimum untuk ekstraksi protein

serabut otot adalah 4-5 C dan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi

adonan adalah <20C. Es yang digunakan pada penggilingan daging yang

didatangi penulis merupakan es yang dibuat sendiri, namun apabila jumlah es

tidak mencukupi maka pemilik penggilingan akan membeli es balok.

Berdasarkan penilitian yang dilakukan oleh Fierliyanti (2006) koliform fekal

maupun non fekal relatif tahan terhadap suhu dingan termasuk pada es batu.

Apabila es batu tidak ditangani dengan baik maka resiko kontaminasi oleh

koliform akan sangat besar. SNI 01-3829-1995 tentang es batu menyatakan

bahwa syarat mikrobiologi pada es batu adalah tidak terdapat bakteri koliform

dan koliform tinja.

4. Sanitasi alat makan yang tidak bersih

Alat makan yang telah digunakan, seperti mangkuk, sendok, dan garpu,

umumnya dicuci dengan menggunakan air dan sabun. Air ditampung dalam

sebuah ember dan apabila dirasa air sudah cukup kotor maka pedagang akan

mengganti air tersebut dengan yang baru. Apabila sedang ramai pembeli dan

peralatan makan yang ada terbatas, maka pedagang kurang memperhatikan

kebersihan peralatan makan yang dicuci. Sisa makanan yang tertinggal dalam

Page 27: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

15

ember dan pencucian yang kurang bersih dapat meninggalkan sisa makanan

pada peralatan makan yang dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri

proteolitik seperti Staphylococcus sp (Agustina 2002).

5. Udara

Adonan bakso yang telah digiling di lokasi penggilingan kemudian akan

dibentuk dan dimasak di lokasi masing-masing pedagang. Alat transportasi

yang umumnya digunakan oleh pedagang bakso adalah sepeda motor dan

angkutan umum (angkot). Lokasi penggilingan daging terkadang cukup jauh

dari rumah pedagang sehingga adonan bakso memiliki resiko kontaminasi yang

tinggi selama perjalanan tersebut. Resiko kontaminasi dari udara juga dapat

berasal dari udara di ruangan yang digunakan untuk menggiling dan memasak

bakso.

Mikroorganisme tidak dapat tumbuh di udara karena udara tidak

mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan metabolisme

mikroorganisme. Namun spora dan sel vegetatif dapat terbawa oleh partikel

debu dan droplet air di udara. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat

pada udara bervariasi tergantung keadaan lingkungan. Udara pada ruangan yang

dihuni oleh banyak manusia dengan sistem ventilasi yang buruk umumnnya

mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam jumlah yang besar (Csuros

dan Csuros 1999).

Mi

Menurut SNI 01-2987-1992, mi adalah produk pangan yang terbuat dari

terigu, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan

pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Persentase mi

yang tidak memenuhi syarat tidak setinggi pada bakso. Hal tersebut dapat

disebabkan jenis mi yang dijual di sekolah beragam Jenis mi yang banyak dijual di

lingkungan SD/MI adalah bentuk olahan dari mi basah dan mi kering yang dapat

berupa mi ayam, mi goreng, mi bakso, ataupun mi instan. Mi kering seperti mi telor

dan mi instan umumnya dibuat oleh industri pangan skala besar dan telah

didaftarkan pada BPOM sehingga mutu dan keamanannya terjamin. Lain halnya

dengan mi basah yang umumnya diproduksi oleh industri kecil dan industri rumah

tangga.

Tabel 5 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada mi

Parameter

% Tidak Memenuhi Syarat

2011 2012 2013

I II I II I II

E. coli 4.58 3.80 4.39 9.09 5.23 11.88

Formalin 5.42 20.25 3.90 2.67 4.28 3.25

Boraks 1.67 12.66 1.73 2.67 3.42 0.40

S. aureus 0.42 0.00 1.02 0.80 0.34 2.47

Metanil Yellow 0.00 0.00 0.00 0.00 0.29 0.00

Sama halnya dengan bakso, parameter keamanan pangan yang menyebabkan

mi tidak memenuhi syarat (Tabel 5) juga berubah pada tiap tahap pengambilan

sampel sehingga perlu dibuat diagram Pareto. Berdasarkan diagram Pareto pada

Page 28: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

16

Gambar 4, untuk menyelesaikan masalah keamanan pangan pada mi maka yang

harus diprioritaskan adalah masalah penambahan formalin dan E. coli yang

melebihi batas maksimal.

Gambar 4 Masalah utama keamanan pangan pada mi (n = 1953)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan

Tambahan Pangan, formalin merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan

sebagai BTP. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 mengatur

bahwa kandungan maksimal APM E. coli baik pada mi kering, mi instan, maupun

mi basah sebesar 10/g. E. coli merupakan flora normal yang terdapat pada saluran

pencernaan hewan dan manusia, namun beberapa serotipe E. coli dapat

menyebabkan diare pada manusia (Fardiaz dan Jenie 1989).

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses

pembuatan dan penyiapan mi, dilakukan pengamatan terhadap penjual mi di

Kecamatan Dramaga, Bogor dan lokasi produksi mi basah mentah di daerah

Merdeka, Bogor. Bahan pembuatan mi adalah tepung terigu, air, dan telur apabila

ada permintaan dari pedagang mi. Air yang digunakan adalah air mentah. Menurut

produsen mi, adonan mi yang dibuat tidak ditambahkan bahan tambahan pangan

maupun bahan kimia berbahaya seperti formalin atau boraks. Pada proses

pembuatan mi, alat yang digunakan masih manual. Pakaian yang dikenakan oleh

para pekerja juga kurang layak untuk digunakan pada proses produksi mi. Proses

pembuatan mi dimulai dengan mencampur tepung terigu dan air di atas sebuah meja

berukuran besar. Setelah adonan mi terbentuk, selanjutnya adonan diratakan dengan

sebuah alat penggiling yang berukuran cukup besar dan terbuat dari kayu. Alat

penggiling tersebut berfungsi untuk meratakan adonan mi agar adonan cukup tipis

untuk dimasukkan ke mesin pencetak dan pemotong mi. Setelah mi dicetak dan

dipotong kemudian ditambahkan tepung tapioka supaya mi tidak lengket. Mi yang

telah diberi tepung tapioka kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam kantong

plastik. Mi basah mentah kemudian dibawa ke lokasi pedagang berjualan mi ayam.

Proses pemasakan mi dilakukan apabila ada konsumen yang memesan mi ayam.

Kondisi sanitasi-higiene penjual mi tidak berbeda jauh dengan bakso.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0

20

40

60

80

100

120

Formalin E. coli Boraks S. aureus Metanil

yellow

% K

um

ula

tif

Ju

mla

h T

MS

Parameter Keamanan Jumlah TMS

% Kumulatif

Page 29: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

17

Menurut pedagang dan produsen mi, mi basah mentah hanya mampu bertahan

sehari apabila disimpan di suhu ruang karena tidak ditambahkan BTP pengawet

pada mi, namun apabila dilakukan proses pengukusan maka mi basah mentah akan

bertahan sekitar dua hari. Pendeknya umur simpan mi dapat disebabkan oleh

sanitasi-higiene yang kurang terjaga pada proses pengolahan mi sehingga terjadi

kontaminasi mikroba dan mempercepat terjadinya kerusakan maupun kebusukan

pada mi. Hal tersebut dapat diatasi dengan menambahkan BTP pengawet, namun

penambahan pengawet tersebut dianggap kurang efektif dan membutuhkan biaya

yang lebih tinggi sehingga produsen mi memilih menggunakan formalin untuk

memperpanjang umur simpan mi.

Formalin merupakan nama dagang dari senyawa formaldehida. Formaldehid

umumnya digunakan sebagai desinfektan untuk rumah, perahu, gudang, dan kain.

Formaldehid murni tidak dijual secara komersial, namun dijual dalam 30-50% (b/b)

larutan mengandung air (Cahyadi 2008). Kandungan formalin rata-rata dalam mi

basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106 mg/kg (mi basah mentah) dan

2914.36 mg/kg (mi basah matang). Mi yang dijual oleh pedagang produk olahan mi

daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mi basah mentah)

dan 3423.51 mg/kg (mi basah matang). Mi yang dijual di supermarket daerah

Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mi basah mentah) dan 2914.82

mg/kg (mi basah matang) (Gracecia 2005, Priyatna 2005). Berdasarkan survei dan

pengujian yang dilakukan oleh IPB dengan AWB dan PT. Bogasari Flour Mills

terhadap pedagang mi basah mentah dan mi basah matang di Jabotabek pada tahun

2004-2005 menunjukkan bahwa semua sampel yang diambil positif mengandung

formalin. Kandungan formalin rata-rata yang ditemukan pada mi basah mentah

sebesar 113.4 mg/kg bb dan pada mi basah matang sebesar 3423.5 mg/kg bb. Hasil

uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tidak terlalu kuat antara

peningkatan konsentrasi formalin terhadap laju pertumbuhan ALT, kapang, khamir,

dan koliform selama penyimpanan.

LD50 oral dari larutan formaldehid 2% pada tikus berkisar antara 500-800

mg/kg berat badan, sedangkan LD50 guinea pigs adalah 260 mg/kg berat badan.

Dosis mematikan larutan formaldehid 37% bagi pria dewasa adalah 523 mg/kg

berat badan (Bloemen dan Burn 1993 dalam Cahyadi 2008). Konsentrasi formalin

yang tinggi dalam tubuh menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat di

dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan organ tubuh.

Hal tersebut terjadi karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada

protoplasma dan nukleus. Konsumsi formalin dalam jumlah yang tinggi dalam

tubuh akan bersifat toksik dan menyebkan gangguan fisiologis serta metabolisme

dalam tubuh (Cahyadi 2008).

Selain formalin, penyebab utama mi tidak memenuhi syarat adalah masalah

E. coli yang melebihi batas maksimal. Beberapa sumber kontaminasi E. coli

terbesar pada mi antara lain:

1. Kontaminasi dari pekerja

Penelitian Lues et al. (2006) menunjukkan bahwa pekerja menyebabkan

timbulnya bakteri seperti E.coli, S. aureus, dan Salmonella. Peralatan produksi

mi yang masih manual menyebabkan pekerja banyak menggunakan bantuan

tangan pada proses produksi. Tangan yang tidak dicuci dengan bersih dan

Page 30: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

18

langsung kontak dengan bahan pangan dapat meningkatkan jumlah cemaran

mikrobiologis pada produk pangan.

2. Mesin dan alat yang digunakan

Alat yang digunakan pada proses pembuatan mi adalah sebuah meja

besar dan alat penggiling dari kayu berukuran besar untuk membuat adonan

mi. Selain itu digunakan mesin pencetak dan pemotong mi serta meja kecil

untuk menambahkan tepung tapioka pada mi yang sudah dipotong.

Berdasarkan penampakan fisiknya, alat-alat tersebut jarang dibersihkan karena

banyak sisa-sisa adonan mi dan tepung yang menempel. Adonan-adonan mi

yang tertinggal pada mesin dan peralatan dapat menjadi nutrisi bagi

pertumbuhan mikroba, salah satunya adalah E. coli. Menurut Legnani et al.

(2004) terdapat 7.1% dari 140 sampel permukaan peralatan produksi pangan

yang mengandung E. coli >1 cfu/cm2.

3. Bahan baku

Bahan baku pembuatan mi adalah tepung terigu dimana mikroorganisme

yang biasa terdapat pada tepung adalah kapang, khamir, dan bakteri. Kerusakan

akibat mikroba jarang terjadi pada produk serealia karena aw produk yang

rendah (<0.6) (Cook dan Johnson 2009). Bahan baku lain yang digunakan pada

pembuatan mi adalah air. E. coli merupakan bakteri indikator yang digunakan

untuk mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi

keberadaan patogen usus (Fardiaz dan Jenie 1989). Menurut SNI 01-3553-

2006 tentang air minum dalam kemasan, jumlah maksimal bakteri bentuk koli

pada AMDK adalah sebesar <2 APM/100 ml.

4. Sanitasi alat makan yang tidak bersih

Sama halnya dengan pedagang bakso, peralatan sanitasi yang dibawa

oleh pedagang mi adalah seember air yang digunakan terus menerus.

Pergantian air dilakukan apabila air di ember sudah cukup kotor dan ada

sumber air bersih di sekitar lokasi pedagang berjualan. E. coli yang ditemukan

pada peralatan makan menunjukkan air yang digunakan untuk sanitasi alat

makan terkontaminasi feses manusia.

5. Udara

Lokasi pembuatan mi umumnya cukup jauh dari lokasi pedagang

berjualan mi. Adonan mi beresiko terkontaminasi selama perjalanan dari lokasi

produksi ke lokasi berjualan. Namun kontaminasi dari udara dapat pula berasal

dari udara di ruangan yang digunakan untuk produksi maupun dari udara

selama berjualan.

Mikroorganisme tidak dapat tumbuh di udara karena udara tidak

mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan metabolisme

mikroorganisme. Namun spora dan sel vegetatif dapat terbawa oleh partikel

debu dan droplet air di udara. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat

pada udara bervariasi tergantung keadaan lingkungan. Udara pada ruangan

yang dihuni oleh banyak manusia dengan sistem ventilasi yang buruk

umumnnya mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam jumlah yang

besar (Csuros dan Csuros 1999).

Page 31: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

19

Makanan Ringan

Menurut Surat Keputusan Ketua BPOM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang

Kategori Pangan, makanan ringan siap santap meliputi semua jenis makanan ringan

asin atau gurih (savory) atau rasa lainnya. Makanan ringan yang umum ditemui di

lingkungan SD/MI antara lain, kerupuk, keripik kentang, krekers beras (rice

crackers), keripik singkong, keripik tahu, opak, pilus, jagung berondong (pop

corn), kacang garing, kacang bawang, dan masih banyak lagi.

Tabel 6 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada

makanan ringan

Parameter

% Tidak Memenuhi Syarat

2011 2012 2013

I II I II I II

Siklamat 1.75 2.50 7.43 4.20 4.14 2.68

Benzoat 0.13 0.00 0.55 1.39 0.00 0.00

E. coli 0.00 0.50 0.17 0.50 0.82 0.27

Formalin 0.25 0.00 1.44 0.00 0.00 0.00

Sakarin 0.50 0.50 0.78 1.92 1.88 0.00

Rhodamin B 2.13 0.50 10.23 7.43 5.88 1.82

Boraks 4.00 12.00 5.08 7.33 7.39 6.24

S. aureus 0.25 0.00 2.35 0.00 0.47 0.27

Metanil Yellow 0.00 1.00 0.18 0.37 0.17 0.00

Sorbat 0.00 0.00 0.00 0.00 0.23 0.00

Gambar 5 Masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan (n = 4248)

Persentase parameter keamanan pangan yang menyebabkan makanan ringan

tidak memenuhi syarat berubah-ubah pada tiap tahap pengambilan sampel

sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 6. Makanan ringan yang dijual di SD/MI

umumnya diproduksi oleh industri pangan skala besar dan telah didaftarkan pada

BPOM sehingga persentase tidak memenuhi syaratnya cukup rendah. Diagram

Pareto pada Gambar 5 menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan 80% masalah

keamanan pangan pada makanan ringan maka masalah yang harus diprioritaskan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0

50

100

150

200

250

% K

um

ula

tif

Ju

mla

h T

MS

Parameter Keamanan

Jumlah TMS

% Kumulatif

Page 32: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

20

adalah masalah penambahan bahan tambahan berbahaya yaitu boraks dan rhodamin

B.

Boraks biasa digunakan dalam industri gelas, porselin, alat pembersih, dan

antiseptik (Saparinto dan Hidayati 2006). Penambahan boraks pada bahan pangan

dilarang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang

Bahan Tambahan Pangan, namun masih banyak produsen yang menambahkan

boraks pada produk pangan yang dijual. Boraks sering ditambahkan pada makanan

ringan seperti kerupuk dengan tujuan memperbaiki tekstur dan kerenyahan produk

kerupuk dan sejenisnya. Boraks dapat memperkuat tekstur karena boron dapat

berikatan silang dengan protein dan karbohidrat (Nugrahani 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2010) menunjukkan bahwa bakso

yang dijual di kota Medan mengandung boraks sebesar 0.08-0.29%. Sedangkan

penelitian Juliana (2005) menunjukkan bahwa bakso yang dijual di swalayan Kota

Semarang mengandung boraks hingga 0.345 ppm. LD50 oral asam borat pada tikus

jantan sebesar 3450 mg/kg berat badan sedangkan pada tikus betina sebesar 4080

mg/kg berat badan. LD50 oral natrium tetraborat (boraks) pada tikus jantan sebesar

4550 mg/kg berat badan dan pada tikus betina sebesar 4980 mg/kg berat badan

(NPIC 2012). Keracunan boraks kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam

waktu lama. Akibat yang ditimbulkan karena keracunan boraks antara lain

anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, dan konvulsi

(Saparinto dan Hidayati 2006).

Sedangkan rhodamin B adalah zat warna sintetis yang biasa digunakan pada

industri tekstil dan kertas. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai

Bahan Berbahaya menyebutkan bahwa rhodamin B termasuk salah satu dari 30 zat

warna yang dilarang, namun penggunaannya pada produk pangan masih sering

ditemukan di pasaran. Rhodamin B sering ditambahkan pada produk makanan

ringan seperti kerupuk untuk meningkatkan daya tarik terhadap konsumen. LD50

oral rhodamin B pada mencit sebesar 887 mg/kg berat badan. Terdapat beberapa

gejala keracunan akibat rhodamin B, antara lain iritasi saluran pernapasan apabila

terhirup, iritasi kulit apabila terkena kulit, iritasi mata apabila kontak dengan mata,

dan dapat menyebabkan kerusakan hati apabila tertelan dalam jangka panjang

(BPOM RI 2011).

Meskipun lebih banyak makanan ringan yang diproduksi oleh industri besar,

namun tidak sedikit pula makanan ringan yang dibuat oleh industri kecil dan

industri rumah tangga (IRT). Makanan ringan yang diproduksi oleh industri kecil

dan IRT inilah yang seringkali menggunakan bahan tambahan yang dilarang seperti

boraks dan rhodamin B. Faktor dan alasan yang menyebabkan terjadi

penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan antara lain ketidaktahuan,

ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih keuntungan yang lebih besar,

kurangnya akses ke lokasi penjual BTP, bahan-bahan kimia berbahaya tersebut

lebih mudah didapat daripada BTP, dan lemahnya pengawasan pemerintah (Wijaya

2009, Saparinto dan Hidayati 2006).

Page 33: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

21

Langkah-langkah Perbaikan Mutu dan Keamanan PJAS

Cemaran Mikrobiologis

Berdasarkan analisis Pareto yang telah dilakukan, diketahui bahwa cemaran

mikrobiologis merupakan penyebab utama bakso dan mi tidak memenuhi syarat.

Langkah-langkah perbaikan pada Tabel 7 disusun berdasarkan studi pustaka serta

pengamatan langsung terhadap produsen maupun pedagang bakso dan mi.

Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran mikrobiologis

Pemangku

Kepentingan Langkah-langkah Perbaikan

Produsen dan

pedagang PJAS

Pekerja:

Sanitasi pekerja dapat dilakukan dengan cara:

a. Mandi sebelum melakukan proses produksi pangan dan

mengenakan pakaian yang bersih.

b. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah kontak

langsung dengan bahan pangan. Pada proses penggilingan dan

pencampuran adonan bakso maupun pada proses pencetakan mi,

pekerja sebaiknya mencuci tangan setiap kali selesai menggiling

satu pesanan.

c. Menggunakan sarung tangan saat kontak dengan bahan pangan.

d. Pekerja yang sedang menangani bahan pangan dilarang sambil

merokok, mengunyah permen karet, makan, minum, bersin,

batuk, menggunakan aksesoris (seperti gelang, cincin, jam

tangan), menyentuh anggota badan, menggaruk bagian tubuh,

mengupil, mengorek telinga, menjilat jari, menggigit kuku, dan

meludah (Kementerian Kesehatan RI 2011).

Mesin dan Alat yang Digunakan:

a. Sebaiknya mesin yang digunakan (mesin penggiling daging,

mixer, dan mesin pencetak mi) dibersihkan menggunakan air

bersih (disarankan air panas untuk mesin penggiling dan mixer

bakso untuk melarutkan lemak yang tertinggal) dan langsung

dikeringkan pada setiap interval waktu tertentu, misalnya setiap

satu jam, untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi.

b. Pencucian peralatan makan hendaknya menggunakan air

mengalir dan sabun agar mengurangi kemungkinan adanya

kontaminasi

c. Pengeringan alat makan menggunakan lap yang kering dan bersih

juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko kontaminasi.

d. Pada tahap penyiapan bakso atau mi dapat menggunakan capitan

atau sendok untuk mengurangi resiko kontaminasi.

Bahan Baku:

a. Pemilik penggilingan bakso harus menjaga keamanan bahan baku

yang digunakan. Hal-hal berikut dapat dilakukan untuk menjaga

keamanan bahan baku yang digunakan:

Daging yang dijual sebaiknya tidak disimpan pada suhu ruang,

melainkan disimpan pada freezer dengan suhu -2C sampai 5C

untuk menghambat tumbuhnya mikroorganisme perusak atau

pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme

patogen. Suhu 5C ini dianggap sebagai suhu kritis selama

Page 34: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

22

Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran mikrobiologis (lanjutan)

penangangan dan penyimpanan daging (Frazier 1967, Forest

et al. 1975 dalam Soeparno 2005).

Membuat sendiri es batu dari air matang agar dapat diketahui

tingkat keamanannya dan mengurangi resiko kontaminasi. Air

yang digunakan untuk pembuatan es batu sebaiknya adalah air

matang dengan standar mutu sesuai dengan SNI 01-3553-

2006 tentang air minum dalam kemasan.

b. Sedangkan untuk menjaga keamanan bahan baku pembuatan mi

dapat dilakukan:

Tepung terigu sebaiknya disimpan dalam suatu ruangan yang

kering dan tidak lembab. Tempat penyimpanan yang lembab

dapat menyebabkan peningkatan kadar air tepung dan memicu

pertumbuhan mikroorganisme.

Air yang digunakan untuk pembuatan mi harus dimasak

terlebih dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme

awal dan menurunkan resiko kontaminasi. Air yang

digunakan lebih baik apabila mutunya sesuai dengan SNI 01-

3553-2006 tentang air minum dalam kemasan.

Lingkungan Produksi:

a. Lokasi produksi dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau, asap,

kotoran, dan debu (BPOM RI 2012).

b. Ruangan yang digunakan untuk proses pembuatan dan

pemasakan bakso maupun mi harus selalu dibersihkan tiap

sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan. Ruangan tersebut tidak

boleh digunakan untuk kegiatan selain proses produksi.

Penyimpanan:

a. Adonan bakso ataupun mi dikemas dalam wadah yang bersih

dan tertutup rapat untuk meminimalisir kontaminasi selama

transportasi dari lokasi penggilingan ke lokasi pemasakan

dilakukan.

b. Bakso ataupun mi yang telah dimasak dan siap dijual serta bahan

tambahan lain (seperti daun bawang, bawang goreng, dan sayur)

yang digunakan sebaiknya disimpan dalam wadah yang bersih

dan tertutup.

c. Bakso dan mi yang dijual sebaiknya tidak disimpan pada suhu

ruang selama >4 jam.

d. Bakso dan mi yang tidak habis terjual sebaiknya disimpan pada

suhu <5C dalam wadah yang bersih dan tertutup

Sekolah Sekolah dapat memberi edukasi mengenai sanitasi-higiene yang baik

serta cara memilih jajanan yang layak konsumsi kepada siswa-

siswanya melalui kegiatan belajar mengajar di kelas. Berikut

beberapa mata pelajaran dan kompetensi dasar pada Kurikulum

SD/MI 2013 yang sesuai dengan materi tersebut:

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kelas IV dengan

Kompetensi Dasar:

a. Memahami gizi dan menu seimbang dalam menjaga kesehatan

tubuh.

Bahasa Indonesia Kelas V dengan Kompetensi Dasar:

a. Memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap makanan

dan rantai makanan serta kesehatan melalui pemanfaatan bahasa

Page 35: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

23

Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran mikrobiologis (lanjutan)

Indonesia.

b. Menggali informasi dan teks laporan buku tentang makanan dan

rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem,

serta alam dan pengaruh kegiatan manusia dengan bantuan guru

dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan

memilih dan memilah kosakata baku.

c. Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan buku

tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia,

keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan

manusia secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis

dengan memilih dan memilah kosakata baku.

Konsumen

(siswa sekolah

dan orang tua

siswa)

a. Orang tua siswa memiliki peran untuk mengawasi kebiasaan jajan

anak, mengarahkan, memberikan pemahaman, dan memberikan

contoh kepada anak untuk mengkonsumsi jajanan yang aman.

b. Membeli jajanan yang layak konsumsi dengan ciri-ciri sebagai

berikut (Kementerian Kesehatan RI 2011):

Jajanan disimpan dalam wadah yang bersih dan tertutup

Tidak banyak lalat yang menghinggapi jajanan

Tidak beraroma basi/busuk

Bila dimakan terasa pahit atau tidak enak

Jajanan memiliki kemasan yang tertutup rapat

c. Mencuci tangan sebelum makan karena cemaran mikroorganisme

dapat berasal dari konsumen yang kurang memperhatikan

kebersihan. Berikut merupakan 10 langkah mencuci tangan yang

benar (Kementerian Kesehatan RI 2011):

1. Basahi tangan dengan air dan tuang sabun ke telapak tangan

2. Gosok telapak tangan

3. Gosok punggung tangan kanan dan kiri secara bergantian

4. Gosok sela-sela jari tangan kanan dan kiri secara bergantian

5. Gosok ujung-ujung jari tangan kanan dan kiri secara

bergantian

6. Gosok ibu jari dan pergelangan tangan kanan dan kiri secara

bergantian

7. Gosok telapak tangan dengan ujung-ujung jari kanan dan kiri

secara bergantian, ini dilakukan sambil membersihkan kuku

8. Bilas kedua tangan dengan air bersih

9. Keringkan tangan dengan menggunakan tisu atau lap kering

yang bersih

10. Matikan kran air dan bersihkan kran air yang digunakan

untuk mencuci tangan

Cemaran Kimiawi

Selain cemaran mikrobiologis, cemaran kimiawi juga merupakan salah satu

penyebab PJAS tidak memenuhi syarat. Cemaran kimiawi berasal dari

penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya seperti formalin, boraks, dan rhodamin B.

Langkah-langkah perbaikan pada Tabel 8 disusun berdasarkan studi pustaka yang

dilakukan.

Page 36: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

24

Tabel 8 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran kimiawi

Pemangku

Kepentingan Langkah-langkah Perbaikan

Produsen dan

pedagang PJAS

a. Menerapkan sanitasi dan higiene yang baik pada proses

pengolahan maupun penyiapan bahan pangan. Hal tersebut

dilakukan agar dapat menurunkan resiko kontaminasi dan

memperpanjang umur simpan produk pangan sehingga tidak perlu

menambahkan formalin sebagai bahan pengawet.

b. Menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan oleh

BPOM.

Sekolah Sekolah dapat memberi edukasi mengenai bahan kimia berbahaya

yang sering disalahgunakan serta bahayanya dan bahan tambahan

pangan yang diijinkan. Selain itu, pihak sekolah dapat pula

mengedukasi cara memilih jajanan yang bebas dari bahan kimia

berbahaya kepada siswa-siswanya melalui kegiatan belajar mengajar

di kelas. Berikut beberapa mata pelajaran dan kompetensi dasar pada

Kurikulum SD/MI 2013 yang sesuai dengan materi tersebut:

Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kelas IV dengan

Kompetensi Dasar:

a. Memahami gizi dan menu seimbang dalam menjaga kesehatan

tubuh.

Bahasa Indonesia Kelas V dengan Kompetensi Dasar:

a. Memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap makanan

dan rantai makanan serta kesehatan melalui pemanfaatan

bahasa Indonesia.

b. Menggali informasi dan teks laporan buku tentang makanan

dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan

ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan manusia dengan

bantuan guru dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis

dengan memilih dan memilah kosakata baku.

c. Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan buku

tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia,

keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan

manusia secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis

dengan memilih dan memilah kosakata baku.

Konsumen

(siswa sekolah

dan orang tua

siswa)

a. Orang tua siswa memiliki peran untuk mengawasi kebiasaan jajan

anak, mengarahkan, memberikan pemahaman, dan memberikan

contoh kepada anak untuk mengkonsumsi jajanan yang aman.

b. Membeli jajanan yang tidak mengandung bahan kimia berbahaya.

Ciri-ciri jajanan yang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya

antara lain (Kementerian Kesehatan RI 2011):

Tanda jajanan yang mengandung rhodamin B atau pewarna

berbahaya lain adalah berwarna mencolok namun warnanya

tidak merata, warna tertinggal di tangan, terasa sedikit pahit,

dan gatal di tenggorokan setelah dikonsumsi.

Tanda mi basah yang mengandung formalin adalah tampak

lebih mengkilap, tidak lengket, dan tidak mudah mengalami

kerusakan (tahan dua hari pada suhu ruang dan 15 hari pada

pendingin).

Tanda bakso yang mengandung boraks adalah tampak lebih

putih dan sangat kenyal.

Page 37: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ditinjau dari periode pengambilan contoh, kejadian TMS tertinggi untuk

seluruh PJAS ditemukan pada pengambilan contoh tahun 2011 tahap II, sedangkan

kejadian TMS terendah ditemukan pada pengambilan contoh tahun 2012 tahap II.

Persentase PJAS yang TMS pada tahun 2011 cukup tinggi karena mencapai angka

50%, namun mengalami penurunan yang cukup drastis dan mencapai angka 20%

pada tahun selanjutnya. Tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan kembali

persentase PJAS yang TMS meskipun tidak setinggi pada tahun 2011. Pola

perubahan persentase tiap tahun pada PJAS jenis bakso, makanan ringan, dan mi

mengikuti pola perubahan persentase pada seluruh sampel. Hasil analisis ragam

menunjukkan adanya keragaman baik antara rata-rata persentase TMS dengan

provinsi pengambilan sampel maupun antara rata-rata persentase TMS dengan

parameter keamanan yang diuji.

Persentase TMS pada makanan ringan dan mi cenderung lebih rendah

dibandingkan pada bakso sehingga dapat dikatakan bahwa bakso adalah jenis PJAS

yang paling sulit memenuhi syarat. Parameter keamanan yang paling sulit

memenuhi syarat berbeda-beda pada tiap jenis PJAS. Dengan menggunakan

diagram Pareto diketahui parameter keamanan dengan persentase TMS tertinggi

pada masing-masing PJAS. Persentase TMS tertinggi menunjukkan masalah utama

keamanan pangan pada PJAS. Masalah keamanan pangan utama pada bakso adalah

angka lempeng total (ALT) dan koliform yang melebihi jumlah maksimal.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap produsen dan penjaja bakso,

pekerja merupakan sumber kontaminasi utama pada bakso. Masalah utama

keamanan pangan pada mi adalah penyalahgunaan formalin dan E. coli yang

melebihi batas maksimal. Sama halnya dengan bakso, sumber kontaminasi E. coli

yang utama adalah pekerja. Sedangkan masalah utama keamanan pangan pada

makanan ringan adalah penyalahgunaan boraks dan rhodamin B. Faktor utama

terjadinya penyalahgunaan formalin, boraks, dan rhodamin B adalah motif ekonomi

untuk meraih keuntungan yang lebih besar.

Saran

Kegiatan sampling PJAS yang dilakukan harus sesuai dengan Petunjuk

Teknis Sampling PJAS agar data yang diperoleh lebih representatif. Selain itu,

dibutuhkan analisis data lebih lanjut untuk mengetahui tingkat penyebaran PJAS

yang tidak memenuhi syarat di Indonesia. Wawancara dan observasi lebih lanjut

terhadap produsen dan pedagang PJAS juga diperlukan untuk menyusun langkah-

langkah perbaikan yang lebih komprehensif.

Sedangkan saran untuk pemerintah adalah mengedukasi siswa SD/MI melalui

kegiatan belajar mengajar di sekolah dengan memasukkan materi mengenai

keamanan pangan pada kurikulum SD/MI 2013 yang sesuai.

Page 38: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

26

DAFTAR PUSTAKA

Agustina C. 2002. Keamanan mikrobiologis makanan jajanan dari tiga kantin

sekolah di Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2010. Bakso daging [Internet]. [diunduh 2014 Sep 30]. Tersedia pada:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/27073/Tekno%20Pan

gan_Bakso%20daging.pdf?sequence=1.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005.

Analisis risiko dalam sistem keamanan pangan. Keamanan Pangan. 4(8):1-2.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Surat

Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang Kategori

Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008.

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) serta upaya

penanggulangannya. InfoPOM. 9(6):4-7.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Sistem

keamanan pangan terpadu pangan jajanan anak sekolah. Food Watch. 1:1-4.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No

00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan

Kimia dalam Makanan. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Peduli

pangan jajanan anak sekolah. InfoPOM: 12(1):1-4

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011.

Rhodamin B [Internet]. [diunduh 2014 Okt 13]. Tersedia pada:

http://ik.pom.go.id/v2012/katalog/Rodamin%20B.pdf.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Cara

Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga. Jakarta (ID):

BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tentang Bahan

Tambahan Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012.

Masyarakat merupakan bagian penting dalam pengawasan pangan.

WartaPOM. 15:5.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Nomor 01-2987-1992.

Tentang Mi Basah. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-

3829-1995. Tentang Es Batu. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-

3553-2006. Tentang Air Minum dalam Kemasan. Jakarta: BSN.

Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta

(ID): Bumi Aksara.

Cerveny J, Meyer JD, Hall PA. 2009. Food Microbiology and Food Safety

Compendium of the Microbiological Spoilage of Food and Beverages.

Sperber WH, Doyle MP, editor. Griffin (US): Springer.

Page 39: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

27

Cook FK dan Johnson BL. 2009. Food Microbiology and Food Safety Compendium

of the Microbiological Spoilage of Food and Beverages. Sperber WH, Doyle

MP, editor. Griffin (US): Springer.

Csuros M dan Csuros C. 1999. Microbiological Examination of Water and

Wastewater. Boca Raton (US): CRC Press.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2006. Food Safety Risk Analysis: A

Guide for National Food Safety Authorities. Roma (IT): FAO.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Ensuring quality and safety of

street foods [Internet]. [diunduh 2014 Nov 4]. Tersedia pada:

ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/ak003e/ak003e09.pdf.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2009. Food Hygiene. Roma (IT): FAO.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.

Fardiaz S dan Jenie BSL. 1989. Mikrobiologi Pangan II. Bogor (ID): Pusat Antar

Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Fierliyanti AS. 2006. Evaluasi bakteri indikator sanitasi di sepanjang rantai

distribusi es batu di Bogor. J. Il. Pert. Indon. 11(2): 28-36.

Gracecia D. 2005. Profil mi basah yang diperdagangkan di Bogor dan Jakarta

[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Juliana AM. 2005. Identifikasi boraks pada bakso sapi bermerek yang dijual di

pasar swalayan Kota Semarang [skripsi]. Semarang (ID): Universitas

Diponegoro.

Kementerian Kesehatan RI. 1985. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No. 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan

sebagai Bahan Berbahaya. Jakarta (ID): Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Keamanan Pangan di Sekolah Dasar.

Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). Jejaring

Informasi Pangan dan Gizi. 27(2):4.

Legnani P, Leoni E, Berveglieri M, Mirolo G, Alvaro N. 2004. Hygienic control of

mass catering establishments, microbiological monitoring of food and

equipment. Food Control. 15: 205-211.

Lues JF, Rasephel MR, Venter P, dan Theron MM. 2006. Assessing food safety and

associated food handling practices in street food vending. Int. J. Environ

Health. 16(5): 319-328.

Muhandri T dan Kadarisman D. 2012. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan.

Bogor (ID): IPB Press.

[NPIC] National Pesticide Information Center. 2012. Boric acid technical fact sheet

[Internet]. [diunduh 2014 Nov 24]. Tersedia pada: http://npic.orst.edu/

factsheets/borictech.pdf.

Nughrahani MD. 2005. Perubahan karakteristik dan kualitas protein pada mi basah

matang yang mengandung formaldehid dan boraks [skripsi] Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Panjaitan L. 2010. Pemeriksaan dan penetapan kadar boraks dalam bakso di

Kotamadya Medan [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Priyatna N. 2005. Profil mi basah yang diperdagangkan di Tangerang dan Bekasi

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Saparinto C dan Hidayati D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta (ID):

Kanisius.

Page 40: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

28

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gajah Mada

University Press.

Sudjana. 1985. Disain dan Analisis Eksperimen. Bandung (ID): Tarsito.

Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2012 tentang Pangan .

Wijaya R. 2009. Penerapan peraturan dan praktek keamanan pangan jajanan anak

sekolah di sekolah dasar Kota dan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Page 41: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

29

LAMPIRAN

Page 42: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

30

Lampiran 1 Perhitungan analisis ragam

Tabel 1.1 Hasil analisis ragam jenis PJAS dengan provinsi lokasi pengambilan

sampel

Sumber Variasi dk JK RJK F

Rata-rata 1 1351984.58 1351984.58

Perlakuan

Provinsi 30 122210.73 4073.69 5.813**

Jenis PJAS 6 271868.78 45311.46 64.662**

Provinsi*PJAS 180 179220.71 995.67 1.421**

Kekeliruan 859 601935.56 700.74

Jumlah 1076 2527220.35

Pada kelompok provinsi, rata-rata TMS berbeda nyata antar kelompok karena

nilai F hitung (5.813) > F tabel (1.717) pada taraf nyata 0.01.

Pada kelompok PJAS, rata-rata TMS berbeda nyata antar kelompok karena

nilai F hitung (64.662) > F tabel (2.827) pada taraf nyata 0.01.

Rata-rata TMS sangat berbeda nyata antar provinsi dan PJAS karena nilai F

hitung (1.421) > F tabel (1.309) pada taraf nyata 0.01.

Tabel 1.2 Hasil analisis ragam jenis PJAS dengan parameter keamanan PJAS

Sumber Variasi dk JK RJK F

Rata-rata 1 16971.47 16971.47

Perlakuan

Parameter 17 33853.37 1991.37 60.446**

Jenis PJAS 6 3683.09 613.85 18.633**

Parameter*PJAS 102 2240.34 21.96 0.667

Kekeliruan 292 9619.88 32.94

Jumlah 418 66368.14

Pada kelompok parameter, rata-rata TMS sangat berbeda nyata antar

kelompok karena nilai F hitung (60.446) > F tabel (2.037) pada taraf nyata

0.01.

Pada kelompok PJAS, rata-rata TMS sangat berbeda nyata antar kelompok

karena nilai F hitung (18.633) > F tabel (2.877) pada taraf nyata 0.01.

Rata-rata TMS tidak berbeda nyata antar parameter dan PJAS karena nilai F

hitung (0.667) < F tabel (1.3004) pada taraf 0.05.

Tabel 1.3 Hasil analisis ragam pengaruh parameter uji pada bakso

Sumber Variasi dk JK RJK F

Rata-rata 1 3593.75 3593.75

Parameter Uji 7 6588.68 941.24 194.35**

Kekeliruan 40 193.72 4.84

Jumlah 48 10376.15

Hasil analisis ragam menunjukkan rata-rata TMS antar kelompok sangat berbeda

nyata atau F hitung (194.35) > F tabel (3.12) pada taraf nyata 0.01

Page 43: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

31

Tabel 1.4 Hasil analisis ragam pengaruh parameter uji pada mi

Sumber Variasi dk JK RJK F

Rata-rata 1 378.84 378.84

Parameter Uji 4 226.70 56.67 3.69

Kekeliruan 25 383.99 15.36

Jumlah 29 989.53

Hasil analisis ragam menunjukkan rata-rata TMS antar kelompok berbeda nyata

atau F hitung (3.69) > F tabel (2.76) pada taraf nyata 0.05

Tabel 1.5 Hasil analisis ragam pengaruh parameter uji pada makanan ringan

Sumber Variasi dk JK RJK F

Rata-rata 1 200.24 200.24

Parameter Uji 9 320.35 35.60 12.22**

Kekeliruan 49 142.68 2.91

Jumlah 59 663.27

Hasil analisis ragam menunjukkan rata-rata TMS antar kelompok sangat berbeda

nyata atau F hitung (194.35) > F tabel (2.79) pada taraf nyata 0.01

Page 44: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

32

Lampiran 2 Perhitungan uji lanjut LSD (Least Significant Difference)

2.1 Uji LSD pada kelompok PJAS

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

𝐿𝑆𝐷 = 𝑑𝛼/2,𝑑𝑏𝑔. βˆšπΎπ‘‡πΊ(1

π‘Ÿπ‘–+

1

π‘Ÿπ‘—)

Karena setiap kelompok memiliki ulangan yang berbeda, maka nilai LSD

akan berbeda pada tiap pasangan kelompok.

Jika ingin melihat perbedaan nyata rata-rata TMS antara bakso dan jeli:

𝑑𝛼/2,𝑑𝑏𝑔 = 𝑑0.05/2,859

𝑑𝛼/2,𝑑𝑏𝑔 = 1.963

𝐿𝑆𝐷 = 1.963 . √700.74 (1

154+

1

131)

𝐿𝑆𝐷 = 5.8054

Selisih rata-rata TMS = rata-rata TMS jeli – rata-rata TMS bakso

= 38.7221 – 35.1184

= 3.6037

Karena nilai LSD > selisih rata-rata, maka rata-rata TMS bakso dan jeli tidak

berbeda nyata. Berikut matriks hasil uji LSD pada kelompok PJAS:

PJAS rata-

rata MI

M.

RINGAN KUDAPAN BAKSO JELI MINUMAN ES

15.8746 16.0508 27.3895 35.1184 38.7221 52.7584 59.8296

MI 15.8746 0.0000

M.RINGAN 16.0508 0.1762 0.0000

KUDAPAN 27.3895 11.5149 11.3386 0.0000

BAKSO 35.1184 19.2438 19.0676 7.7289 0.0000

JELI 38.7221 22.8475 22.6713 11.3327 3.6037 0.0000

MINUMAN 52.7584 36.8838 36.7076 25.3689 17.6400 14.0363 0.0000

ES 59.8296 43.9550 43.7788 32.4401 24.7112 21.1075 7.0712 0.0000

Keterangan: aaa rata-rata TMS pasangan tidak berbeda nyata

2.2 Uji LSD pada kelompok parameter uji

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

𝐿𝑆𝐷 = 𝑑𝛼/2,𝑑𝑏𝑔. βˆšπΎπ‘‡πΊ(1

π‘Ÿπ‘–+

1

π‘Ÿπ‘—)

Page 45: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

33

Karena setiap kelompok memiliki ulangan yang berbeda, maka nilai LSD

akan berbeda pada tiap pasangan kelompok.

Jika ingin melihat perbedaan nyata rata-rata TMS antara ALT dan koliform:

𝑑𝛼/2,𝑑𝑏𝑔 = 𝑑0.05/2,292

𝑑𝛼/2,𝑑𝑏𝑔 = 1.9683

𝐿𝑆𝐷 = 1.9683 . √32.945 (1

24+

1

29)

𝐿𝑆𝐷 = 3.1176

Selisih rata-rata TMS = rata-rata TMS ALT – rata-rata TMS koliform

= 29.832 – 21.307

= 8.5252

Karena nilai LSD > selisih rata-rata, maka rata-rata TMS ALT dan koliform

tidak berbeda nyata. Berikut matriks hasil uji LSD pada kelompok PJAS:

Page 46: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

34

Matriks Hasil Uji LSD Kelompok Parameter

Metanil

yellow Sorbat

Salmo

nella

C.

perfri

ngens

S.

aureus Benzoat

Rhoda

min b Logam Sakarin

Forma

lin Nitrit Boraks E. coli

Asesul

fam Siklamat

Koli

form AKK ALT

Rata-

rata 0.087 0.231 0.564 0.888 1.097 1.108 1.562 1.634 1.983 2.237 2.504 3.878 4.038 5.870 15.802 21.307 24.483 29.832

Metanil

yellow 0.087 0.000

Sorbat 0.231 0.144 0.000

Salmonella 0.564 0.477 0.333 0.000

C. perfringens 0.888 0.801 0.657 0.324 0.000

S. aureus 1.097 1.011 0.867 0.533 0.210 0.000

Benzoat 1.108 1.021 0.878 0.544 0.221 0.011 0.000

Rhodamin b 1.562 1.476 1.332 0.998 0.675 0.465 0.454 0.000

Logam 1.634 1.548 1.404 1.070 0.747 0.537 0.526 0.072 0.000

Sakarin 1.983 1.896 1.752 1.419 1.095 0.885 0.874 0.420 0.348 0.000

Formalin 2.237 2.151 2.007 1.674 1.350 1.140 1.129 0.675 0.603 0.255 0.000

Nitrit 2.504 2.417 2.273 1.940 1.616 1.406 1.395 0.941 0.869 0.521 0.266 0.000

Boraks 3.878 3.791 3.647 3.314 2.990 2.780 2.769 2.315 2.243 1.895 1.640 1.374 0.000

E. coli 4.038 3.951 3.807 3.474 3.150 2.941 2.930 2.476 2.404 2.055 1.801 1.534 0.160 0.000

Asesulfam 5.870 5.783 5.639 5.306 4.982 4.773 4.762 4.308 4.236 3.887 3.633 3.366 1.992 1.832 0.000

Siklamat 15.802 15.716 15.572 15.238 14.915 14.705 14.694 14.240 14.168 13.820 13.565 13.299 11.925 11.764 9.932 0.000

Koliform 21.307 21.220 21.076 20.743 20.419 20.209 20.198 19.744 19.672 19.324 19.069 18.803 17.429 17.269 15.437 5.504 0.000

AKK 24.483 24.396 24.252 23.919 23.595 23.386 23.375 22.921 22.849 22.500 22.246 21.979 20.605 20.445 18.613 8.681 3.176 0.000

ALT 29.832 29.745 29.601 29.268 28.944 28.735 28.724 28.269 28.198 27.849 27.594 27.328 25.954 25.794 23.962 14.030 8.525 5.349 0.000

Keterangan: aaa rata-rata TMS pasangan tidak berbeda nyata

Page 47: Akar Masalah Keamanan PJAS-Studi Kasus Pd Bakso, Makanan Ringan Dan Mi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Mei 1993 di

Surabaya sebagai anak pertama pasangan Wikan Sutirto

Aribowo dan Endang Mardiati. Penulis menyelesaikan

pendidikan menengah di SMA Negeri 1 Gresik pada tahun

2010 dan melanjutkan pendidikan tinggi S1 di Departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undang Seleksi Masuk

IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa

kegiatan kemahasiswaan, antara lain anggota Himpunan

Mahasiswa Surabaya (HIMASURYA), anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan

Teknologi Pangan (HIMITEPA), dan anggota Food Processing Club (FPC), serta

pernah menjadi panitia BAUR dan ACCESS 2012. Penulis juga pernah mengikuti

Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan didanai oleh DIKTI. Selain itu, penulis

pernah memperoleh beasiswa dari PT. Kelola Mina Laut.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian,

penulis menyusun skripsi dengan judul β€œAkar Masalah Keamanan Pangan Jajanan

Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi.”