Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga...

23
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013 26 AKANKAH INDONESIA KEHILANGAN PULAU? BELAJAR DARI KASUS SIPADAN-LIGITAN, PULAU BERHALA, MIANGAS HINGGA SEMAKAU I Made Andi Arsana Abstrak Kekhawatiran akan kehilangan pulau-pulau di kalangan masyarakat Indonesia tampaknya cukup beralasan, terutama setelah terjadinya kasus Sipadan dan Ligitan. Adalah lumrah bila media Indonesia menyampaikan berita dimana negara-negara lain berusaha untuk mengklaim pulau-pulau Indonesia yang pada akhirnya memicu ketegangan. Artikel ini mencoba untuk menganalisis pembelajaran mengenai kedaulatan atas pulau-pulau, khususnya pulau Sipadan dan Ligitan. Kasus-kasus kecil lainnya mengenai pulau Berhala (2005), Pulau Miangas (2009) dan Pulau Semakau (2013) juga dibahas yang diarahkan untuk menjawab suatu pertanyaan kritis, yakni: “Apakah Indonesia kehilangan lebih banyak pulau?” Kata kunci: kedaulatan atas pulau, klaim wilayah, sengketa kedaulatan, pulau-pulau terluar Abstract The fear of losing islands among Indonesian people seems reasonably obvious, especially in the aftermath of the case of Sipadan and Ligitan. It is not uncommon that Indonesian media deliver news where other countries attempt to claim Indonesian islands, which eventually sparks tension. This paper attempts to analyse lessons learned from several cases concerning sovereignty over islands particularly Sipadan and Ligitan. Other smaller issues concerning Berhala Island (2005), Miangas Island (2009) and Semakau Island (2013) are also discussed to lead to an answer of a critical question: “is Indonesia losing more islands?” Keywords: sovereignty over island, territorial claim, dispute on sovereignty, outermost islands

Transcript of Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga...

Page 1: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

26

AKANKAH INDONESIA KEHILANGAN PULAU?

BELAJAR DARI KASUS SIPADAN-LIGITAN, PULAU

BERHALA, MIANGAS HINGGA SEMAKAU I Made Andi Arsana

Abstrak

Kekhawatiran akan kehilangan pulau-pulau di kalangan masyarakat

Indonesia tampaknya cukup beralasan, terutama setelah terjadinya

kasus Sipadan dan Ligitan. Adalah lumrah bila media Indonesia

menyampaikan berita dimana negara-negara lain berusaha untuk

mengklaim pulau-pulau Indonesia yang pada akhirnya memicu

ketegangan. Artikel ini mencoba untuk menganalisis pembelajaran

mengenai kedaulatan atas pulau-pulau, khususnya pulau Sipadan dan

Ligitan. Kasus-kasus kecil lainnya mengenai pulau Berhala (2005),

Pulau Miangas (2009) dan Pulau Semakau (2013) juga dibahas yang

diarahkan untuk menjawab suatu pertanyaan kritis, yakni: “Apakah

Indonesia kehilangan lebih banyak pulau?”

Kata kunci: kedaulatan atas pulau, klaim wilayah, sengketa kedaulatan,

pulau-pulau terluar

Abstract

The fear of losing islands among Indonesian people seems reasonably obvious, especially in the aftermath of the case of Sipadan and Ligitan. It is not uncommon that Indonesian media deliver news where other countries attempt to claim Indonesian islands, which eventually sparks tension. This paper attempts to analyse lessons learned from several cases concerning sovereignty over islands particularly Sipadan and Ligitan. Other smaller issues concerning Berhala Island (2005), Miangas Island (2009) and Semakau Island (2013) are also discussed to lead to an answer of a critical question: “is Indonesia losing more islands?” Keywords: sovereignty over island, territorial claim, dispute on sovereignty, outermost islands

Page 2: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

27

Pendahuluan

Perhatian para pengamat persoalan kedaulatan dan hubungan

internasional sempat tertuju pada isu Pulau Semakau yang menurut salah

satu portal berita diklaim oleh Singapura.2 Menurut portal berita tersebut,

Singapura telah memasukkan Pulau Semakau ke dalam peta nasionalnya.

Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani menganggap ini sebagai usaha

Singapura untuk mengklaim Pulau Semakau. Sang gubernur bahkan

mengirimkan surat ke Menteri Luar Negeri, Dr. Marty Natalegawa, untuk

meminta klarifikasi dan tindak lanjut atas kasus tersebut. Rupanya,

Gubernur Sani, meyakini bahwa Pulau Semakau yang dimasukkan ke

dalam peta Singapura itu adalah milik Indonesia yang kini diklaim oleh

Singapura.

Pada saat makalah ini ditulis (akhir Januari 2013), isu Pulau Semakau

tersebut sudah diselesaikan dengan klarifikasi bahwa pulau yang

dimaksud sesungguhnya adalah Pulau Semakau milik Singapura.

Ternyata memang ada lebih dari satu pulau bernama Semakau di

perairan sekitar Selat Singapura dan salah satunya memang merupakan

wilayah Singapura. Klarifikasi terkait Pulau Semakau ini sudah

dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri3 dan pihak DPR. Ramadhan

Pohan, Wakil Ketua Komisi I DPR, bahkan menyampaikan klarifikasi

dilengkapi data rinci yang bersifat teknis bersumber dari Indonesia dan

2 Salah satu portal berita yang menyajikan kasus ini adalah OkeZone pada tanggal 19

Januari 2013. Lihat: Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”,

diakses dari http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-

dicaplok-negara-singapura tanggal 19 Januari 2013. 3 Sayang sekali, untuk kepentingan makalah ini, pernyataan resmi dari Kementerian Luar

Negeri tidak berhasil diperoleh dari sumber (website) resmi. Salah satu sumber adalah

berita yang dilansir OkeZone. Lihat: Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di

Indonesia dan Singapura”, diakses dari

http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-semakau-ada-

di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.

Page 3: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

28

Singapura.4 Rupanya telah terjadi kesalahpahaman karena ada beberapa

pulau dengan nama sama di perairan sekitar Selat Singapura. Indonesia

memang memiliki pulau bernama Semakau Panjang (di Google Maps

disebut dengan Semakau Besar)5 dan Semakau Baru (di Google Maps

disebut dengan Semakau Kecil)6 sedangkan Singapura sendiri memiliki

pulau bernama Semakau.7 Yang dimasukkan ke dalam peta Singapura

adalah Pulau Semakau yang memang menjadi bagian dari wilayah

Singapura.8 Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa Indonesia,

Malaysia dan Singapura memang bangsa yang mirip bahasanya sehingga

penamaan pulau juga bisa mirip atau bahkan sama. Gambar 1 berikut

mengilustrasikan lokasi ketika Pulau Semakau milik Indonesia maupun

Singapura.

4 Ramadhan Pohan menyatakan klarifikasi dengan menyajikan data rinci terkait posisi

(koordinat) pulau-pulau yang dimaksud didukung oleh data dari Badan Informasi

Geospasial dan institusi terkait lain. Pernyataan ini dilansir, salah satunya, oleh Jawa Post

tanggal 22 Januari 2012. Lihat: Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan

Bantah Ada Pencaplokan Pulau Semakau”, diakses dari

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari 2013. 5 Google Maps dijadikan salah satu referensi karena Google Maps merupakan domain

publik yang dijadikan acuan oleh berbagai pihak. Google Maps bukan dokumen hukum

tetapi menjadi titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Lihat: Google Maps.

2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24 tanggal 19 Januari

2013. 6 Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC

tanggal 19 Januari 2013. 7 Lihat catatan kaki 4

8 Lihat misalnya pembahasan tentang Pulau Semkau terkait Semakau Landfill dari

National Environment Agency Singpura yang bisa diakses dari

http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx

Page 4: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

29

Gambar 1: Lokasi Pulau Pulau Semakau, Semakau Panjang (Besar) dan Semakau Baru

(Kecil) 9

Meskipun isu terkait Pulau Semakau sudah tuntas dan tidak lagi

menimbulkan perdebatan di Indonesia, ada satu fenomena penting untuk

dicatat. Isu kedaulatan atas pulau sangat sering muncul di Indonesia.

Berita tentang kemungkinan hilangnya pulau karena direbut oleh negara

lain sering disajikan oleh media massa dan menjadi konsumsi publik

yang mengundang perdebatan. Isu terkait Pulau Sipadan dan Ligitan

yang dipercaya banyak orang telah lepas dari Indonesia dan direbut

Malaysia menjadi semacam referensi umum yang selalu disebut jika ada

kasus terkait kedaulatan atas pulau. Tidak sedikit yang meyakini bahwa

9 Peta merupakan hasil kajian penulis dengan informasi lokasi Pulau Semakau diperoleh

dari pernyataan Ramadhan Pohan selaku Wakil Ketua Komisi I DPR.

Page 5: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

30

kasus Sipadan dan Ligitan akan terjadi lagi pada Indonesia. Pertanyaan

penting yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah “apakah Indonesia

akan kehilangan pulau?”

Makalah ini memulai pembahasan dengan pendefinisian pulau

dilanjutkan pembahasan beberapa kasus terkait kedaulatan atas pulau di

Indonesia. Kasus Sipadan dan Ligitan dibahas secara khusus mengingat

kasus ini dipahami secara kurang tepat oleh banyak pihak selama ini.

Salah satu bagian utama dari makalah ini adalah pembahasan mengenai

usaha menjaga pulau yang pada dasarnya adalah menjaga kedaulatan.

Makalah ini diakhiri dengan kesimpulan yang pada dasarnya untuk

menjawab pertanyaan penelitian utama makalah ini.

Mendefinisikan Pulau

Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations

Convention on the Law of the Sea10 (selanjutnya disebut UNCLOS)11

10

Disepakati di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, mulai berlaku

pada tanggal 16 November 1994. Sampai Januari 2013, UNCLOS diratifikasi oleh 164

negara dan 1 Uni Eropa. Lihat: United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications

of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 23

January 2013”, diakses dari

http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm

tanggal 23 Januari 2013. 11

Istilah UNCLOS pada awalnya digunakan untuk menyingkat United Nations

Conference on the Law of the Sea, yaitu proses negosiasi yang menghasilkan konvensi

tersebut. Istilah UNCLOS juga dipakai untuk konvensi, salah satunya, karena singkat

untuk nama resmi konferensi dan konvensinya sama yaitu UNCLOS. Akademisi di

Australian National Centre for Ocean Resources and Security University of Wollongong,

misalnya, memilih menggunakan istilah Law of the Sea Convention (LOSC). Sementara

itu, akademisi dan pejabat publik di Amerika meyebut konvensi tersebut sebagai traktat

sehingga menggunakan LOST yang merupakan singkatan dari Law of the Sea Treaty.

Lihat tulisan: Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use

of ‘UNCLOS’, and References to other Recent Agreements”, The International Journal of

Marine and Coastal Law, Vol 15, Number 3.

Page 6: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

31

pulau adalah luasan tanah yang terbentuk alami, dikelilingi oleh air, yang

selalu muncul di atas permukaan air saat pasang.12 Sebuah pulau yang

memenuhi kriteria ini berhak atas laut teritorial (12 mil laut),13 zona

tambahan (24 mil laut),14 zona ekonomi ekslusif atau ZEE (200 mil laut)15

dan landas kontinen atau dasar laut (bisa mencapai 350 mil laut atau

lebih)16 seperti halnya daratan lain sesuai dengan yang diatur oleh

UNCLOS.17

Meski demikian, ada pengecualian untuk pulau yang berupa karang

dan tidak mampu mendukung kehidupan manusia dengan

kemampuannya sendiri. Karang hanya berhak atas laut teritorial, tidak

atas zona tambahan, ZEE maupun landas kontinen.18 Dengan kata lain,

hak atas kawasan laut sebuah karang jauh lebih kecil/sempit

dibandingkan dengan pulau.

Berdasarkan definisi yang diacu pada UNCLOS, tidak semua obyek

tanah yang menyembul di permukaan laut memenuhi syarat sebagai

pulau. Obyek yang muncul di permukaan air ketika air surut tetapi

tenggelam ketika air pasang bukanlah pulau, meskipun misalnya obyek

itu ditumbuhi tanaman atau bahkan digunakan untuk beraktivitas oleh

nelayan ketika berkunjung saat air surut. Obyek yang demikian disebut

dengan elevasi pasut atau low-tide elevation (LTE).19 LTE ini tidak berhak

atas kawasan laut kecuali jika lokasinya dalam laut teritorial yang diukur

12

UNCLOS, Pasal 121 (1) 13

UNCLOS, Pasal 3 14

UNCLOS, Pasal 33 (2) 15

UNCLOS, Pasal 57 16

UNCLOS, Pasal 76 17

UNCLOS, Pasal 121 (2) 18

UNCLOS, Pasal 121 (3) 19

UNLCOS, Pasal 13 (1)

Page 7: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

32

dari daratan utama atau pulau terdekat.20 LTE juga tidak bisa digunakan

sebagai lokasi titik pangkal21 bagi garis pangkal22 lurus kecuali padanya

telah didirikan mercusuar yang secara permanen selalu berada di atas

permukaan laut.23

Pemahaman terhadap definisi pulau ini penting, terutama ketika

menentukan jumlah pulau. Bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau,

keseragaman pemahaman ini penting agar tidak terjadi perbedaan

pandangan tentang jumlah pulau. Sensus dan penamaan pulau yang

melibatkan pemerintah daerah, misalnya, kadang menimbulkan

persoalan dalam menentukan jumlah pulau. Pemerintah daerah, di satu

sisi, memiliki kepentingan untuk menunjukkan bahwa daerahnya

memiliki area yang luas dalam rangka mendapatkan dana alokasi umum

(DAU) yang tinggi sehingga berusaha melaporkan sebanyak mungkin

pulau di wilayahnya. Usaha ini kadang menimbulkan pelaporan obyek

tertentu sebagai pulau padahal tidak memenuhi syarat sebagai pulau

menurut UNCLOS. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab perbedaan

data jumlah pulau di Indonesia.

Berbagai Kasus terkait Kedaulatan atas Pulau di Indonesia

Sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan kasus paling

fenomenal terkait kedaulatan atas pulau yang dialami oleh Indonesia.

Kasus ini dibahas pada bagian tersendiri dalam makalah ini.

20

UNCLOS, Pasal 13 (2) 21

Titik pangkal atau basepoint adalah titik pada daratan yang menjadi titik hubung/temu

penggal garis pangkal. Dalam UNCLOS istilah yang ditunakan adalah point, seperti pada

pasal 7. 22

Garis pangkal adalah referensi yang menjadi titik awal pengukuran zona maritim.

Misalnya, laut teritorial diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal suatu negara pantai.

Garis pangkal bisa berupa garis pangkal normal (UNCLOS, Pasal 5), garis pangkal lurus

(UNCLOS, Pasal 7) atau garis pangkal kepulauan (UNCLOS, Pasal 47). 23

UNCLOS, Pasal 7 (4)

Page 8: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

33

Kasus terkini yang melibatkan Pulau Semakau seperti yang dijelaskan

di pendahuluan mirip dengan kasus serupa di tahun 2005 ketika

beberapa pihak di Indonesia menuduh Malaysia mengklaim Pulau

Berhala. Waktu itu, Malaysia mengeluarkan suatu produk iklan yang

mempromosikan Pulau Berhala sebagai daerah tujuan wisata.24 Anggota

DPRD Sumatera Utara dan beberapa pihak yang yakin bahwa Indonesia

memiliki Pulau Berhala menganggap Malaysia telah melakukan klaim

sepihak atas pulau yang jelas-jelas menjadi bagian dari kedaulatan

Indonesia. Siaran Pers dari Kementerian Luar Negeri (waktu itu disebut

Departemen Luar Negeri) menegaskan bahwa ada lima Pulau Berhala

dengan rincian dua milik Indonesia dan tiga lainnya milik Malaysia. Yang

dipromosikan oleh Malaysia dalam iklan di tahun 2005 adalah Pulau

Berhala di Teluk Sandakan, dekat Pulau Borneo yang memang

merupakan wilayah Malaysia.25

Dari dua Pulau Berhala yang merupakan milik Indonesia, salah

satunya disengketakan oleh Propini Kepulauan Riau dan Propinsi Jambi.

Melalui keputusannya di awal 2012, Mahkamah Agung (MA)

menegaskan Pulau tersebut menjadi milik Kepulauan Riau. Rupanya

Jambi tidak menerima begitu saja dan kini meneruskan kasus itu dengan

mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).26 Saat

penulisan ini dilakukan, kasus Pulau Berhala ini belum diputuskan oleh

24

Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S

(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta. 25

Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam

Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari

http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-

NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal 19

Januari 2013. 26

Lihat misalnya: Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau

Berhala”, Prosiding The 1st Conference on Geospatial Information Science and

Engineering, Yogyakarta, 20-22 November 2012

Page 9: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

34

MK. Kasus yang berlangsung lama ini merupakan salah satu penyebab

Pulau Berhala menjadi pusat perhatian dan masyarakat secara umum

memahami bahwa Pulau Berhala merupakan wilayah Indonesia. Hal ini

bisa menjadi salah satu penyebab kesalahpahaman dan dugaan atau

tuduhan bahwa Malaysia telah melakukan klaim karena memiliki pulau

dengan nama yang sama.

Isu lain terkait kedaulatan juga menimpa Pulau Miangas yang terjadi

tahun 2009. Tanpa konfirmasi yang pasti, beredar berita bahwa Filipina

memasukkan Pulau Miangas dalam s buah petanya. Sementara pelacakan

dan konfirmasi masih dilakukan, kekhawatiran ‘dicaploknya’ Pulau

Miangas oleh Filipina sudah tersebar di media massa. Terkait hal ini,

Gubernur Sulawesi Utara bahkan mengkhawatirkan Miangas akan

menjadi Sipadan dan Ligitan jilid II.27 Menurut sang Gubernur, Sipadan

dan Ligitan memang hilang dari kedaulatan Indonesia karena ‘direbut’

oleh Malaysia dan Miangas bisa bernasib sama. Merespon isu ini,

Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa Pulau Miangas adalah

“bagian integral Indonesia.”28 Senada dengan itu, Kementerian Luar

Negeri juga menegaskan hal serupa bahwa Miangas secara tegas dan

meyakinkan merupakan bagian dari wilayah Indonesia.29

27

Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari

http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-Marore.Bisa.Jadi.Sipadan-

Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013. 28

Hal ini disampaikan dalam siaran pers Juru Bicara Menteri Dalam Negeri, Saut

Situmorang tanggal 7 Februari 2009. Lihat: Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas

Bagian Integral Indonesia” diakes dari

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15 Februari 2009 29

Pernyataan ini disampaikan oleh Meneri Hassan Wirrajuda yang dilansir The Jakarta

Post tanggal 14 Februari 2009. Lihat: The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker

suspected in border blunder” diakses dari

http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-border-

blunder.html tanggal 20 Januari 2013.

Page 10: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

35

Dalam hukum internasional yang berlaku dewasa ini dikenal prinsip

“uti possidetis juris” yang secara sederhana berarti wilayah atau batas

suatu negara mengikuti wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah

atau pendahulunya.30 Dalam hal ini, wilayah Indonesia sama dengan

wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara. Data dan informasi

terpercaya menunjukkan bahwa Miangas memang masuk dalam wilayah

Belanda ketika Belanda berkuasa di Nusantara. Pembuktian kedaulatan

Belanda atas Miangas ini bahkan melalui arbitrase internasional dengan

Max Huber sebagai arbitrator tunggal. Hingga kini, keputusan ini

dianggap sebagai keputusan arbitrase paling fenomenal.31

Melalui keputusan 4 April 1928, Belanda dipastikan menjadi pemilik

sah Miangas setelah memenangkan kasus melawan Amerika Serikat.32

Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Pulau Miangas adalah bagian

tak terpisahkan dari Indonesia, sebagai penerus (successor) Belanda. Selain

bukti hukum berupa keputusan arbitrase pada zaman Belanda,

kedaulatan Indonesia atas Miangas juga ditegaskan secara hukum pada

masa kemerdekaan. Pada tahun 1976, Indonesia dan Filipina

menandatangani perjanjian ekstradisi yang secara nasional disahkan

dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1976.33 Dalam perjanjian

ekstradisi tersebut, salah satu hal penting adalah pengakuan Filipina

pada kedaulatan Indonesia atas Miangas. Hal ini semakin menegaskan

bahwa kedaulatan Indonesia atas Miangas memang tidak terbantahkan.

30

Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the

South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore. 31

Lihat analisis penulis atas kasus ini: Arsana, I M. A. 2009. “Miangas Island? No

Worries”, The Jakarta Post, 3 March 2009, Jakarta 32

Permanent Court Of Arbitration. 1924. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) -

United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague 33

Lihat: Undang-Undagan Nomor 10 tahun 1976 tentang Pengesahan Perjanjian

Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Filipina serta Protokoler”

Page 11: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

36

Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti yang disebutkan

sebelumnya, maka tindakan fisik oleh negara lain yang berupa

kunjungan, aktivitas bisnis, memasukkan dalam peta dan sejenisnya,

tidak akan mengubah status kedaulatan atas Miangas. Oleh karena itu,

meskipun kebenaran dan alasan Filipina dalam memasukkan Miangas

dalam petanya perlu ditegaskan, kekhawatiran akan kehilangan Miangas

tidak perlu ada. Juru bicara Menteri Luar Negeri saat itu, Teuku

Faizasyah, menegaskan adanya kemungkinan kesalahan pihak pembuat

peta swasta dan itu tidak merepresentasikan posisi resmi pemerintah

Filipina.34

Kesalahpahaman yang terjadi pada Pulau Berhala tahun 2005 ternyata

terjadi lagi terhadap Pulau Semakau, seperti yang disampaikan pada

pendahuluan. Pada intinya, kekurangpahaman pihak tertentu di

Indonesia terhadap konfigurasi geografis negeri sendiri dan juga negeri

tetangga telah menimbulkan tuduhan dan kecurigaan yang tidak perlu.

Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terkait kedaulatan atas pulau

perlu menjadi pelajaran bagi siapa saja, terlebih aparat pemerintah.

Memahami dan Belajar dari Kasus Sipadan dan Ligitan

Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang secara resmi telah

menjadi bagian dari kedaulatan Malaysia. Meski demikian, perlu diingat

kembali bahwa kedaulatan atas kedua pulau tersebut pernah

disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia bahkah berujung pada

disidangkannya kasus itu di Mahkamah Internasional. Mahkamah

Internasional kemudian memutuskan pada tahun 2002 bahwa kedaulatan

34

Lihat catatan kaki 29

Page 12: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

37

atas kedua pulau itu diberikan kepada Malaysia.35 Sejak keputusan

Mahkamah Internasional terhadap kasus tersebut, Sipadan dan Ligitan

telah menjadi jargon yang penting dan menyejarah bagi Indonesia,

terutama ketika membahas isu kedaulatan dan hak berdaulat. Indonesia

yang memiliki ribuan pulau sangat rawan dengan isu perebutan atau

klaim mengklaim pulau sehingga ingatan masyarakat atas kasus Sipadan

dan Ligitan menjadi mudah bangkit dan menjadi perdebatan. Kasus lain

terkait batas maritim di Laut Sulawesi yang diwarnai dengan sengketa

atas blok eksplorasi minyak bernama Ambalat, juga sering diasosiasikan

dengan kasus Sipadan dan Ligitan ini.36

Kasus Sipadan dan Ligitan bermula pada tahun 1969 ketika Indonesia

dan Malaysia merundingkan delimitasi batas maritim antara keduanya di

Laut Sulawesi. Usaha delimitasi batas maritim di kawasan tersebut

merupakan bagian dari proses delimitasi batas maritim antara kedua

negara di dua kawasan yaitu Selat Malaka dan Laut China Selatan.

Selama proses delimitasi, Indonesia dan Malaysia menemukan bahwa

kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan belum diputuskan dan masih belum

jelas bagi kedua negara. Dengan kata lain, kedua pulau itu tidak bertuan

atau dalam istilah hukum disebut terra nullius ketika keduanya

ditemukan.37 Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kedaulatan

atas kedua pulau tesebut namun tidak berhasil mencapai kesepakatan

final terkait kedaulatan atasnya. Kedua negara kemudian bersepakat

untuk memberi status quo kepada Sipadan dan Ligitan pada tahun 1969

35

International Court of Justice. 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau

Sipadan (Indonesia/Malaysia)”, The Hague. Lihat: http://www.icj-cij.org/

docket/files/102/7714.pdf. 36

Lihat: Arsana, I M. A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi

Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 37

International Court of Justice, 2002 para. 108

Page 13: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

38

sehingga keberadaannya tidak berpengaruh pada usaha delimitasi batas

maritim yang sedang dilakukan oleh kedua negara.38

Indonesia dan Malaysia berusaha menyelesaikan masalah terkait

kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan pada tahun 1988 hingga 1997

melalui perundingan namun gagal mencapai kesepakatan. Negosiasi

tersebut berawal dari pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto

dari Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad,

di Yogyakarta pada bulan Juni 1998.39 Setelah pertemuan tingkat tinggi

itu, serangkaian perundingan kemudian dilaksanakan dengan melibatkan

Joint Working Group Meetings, Senior Official Meetings, dan Joint Commission

Meetings. Sebelumnya pada tahun 1994, Indonesia dan Malaysia mencoba

membuat terobosan dengan menetapkan atau menunjuk perwakilan

masing-masing untuk negosiasi yang intensif. Indonesia menunjuk

Menteri Sekretaris Negara ketika itu, Moerdiono, dan Malaysia

menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar Ibrahim untuk

mewakili Malaysia dalam perundingan. Kedua perwakilan itu

melaksanakan empat pertemuan di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16

September 1995, lalu di Kuala Lumpur pada 22 September 1995 dan 21

Juli 1996.40

Setelah melaksanakan perundingan yang intensif dan alot, kedua

perwakilan ini tidak melihat titik terang bahwa Indonesia dan Malaysia

akan mampu menyelesaikan sengketa kedaulatan atas Sipadan dan

Ligitan melalui jalur perundingan. Akhirnya, Presiden Soeharto dan PM

Mahatir Mohammad sepakat menyerahkan proses ajudikasi dengan

membawa kasus tersebut ke pihak ketiga. Pada tahun 1997, Indonesia

38

Wirajuda, Hassan. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”. Jakarta: Pusat

Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. 39

Wirajuda, H. 2004. p. 128 40

Lihat catatan kaki 39

Page 14: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

39

dan Malaysia menandatanagani kesepakatan khusus untuk membawa

kasus Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional yang disebut

dengan Special Agreement for the Submission to the ICJ the Dispute between

Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and

Ligitan.41 Dengan kata lain, kedua pihak bersepakat untuk meminta

bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan kasus di antara mereka dan

kasus itu diserahkan kepada Mahkamah Internasional pada tahun 1997.

Kasus Sipadan dan Ligitan memakan waktu selama lima tahun dalam

penyelesaiannya di Mahkamah Internasional hingga akhirnya Mahkamah

mengumumkan keputusannya pada 17 Desember 2002.42 Mahkamah

Internasional memutuskan kedaulatan atas kedua pulau tersebut dengan

menerapkan prinsip effectivités atau penguasaan efektif. Mahkamah

Internasional memastikan bahwa Inggris, selaku penjajah atau pendahulu

Malaysia, terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua

pulau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan dan pemberlakuan

aturan terkait pengumpulan telur penyu dan didirikannya cagar alam

untuk perlindungan burung. Dalam pendapatnya, Mahkamah

Internasional melihat bahwa tindakan ini bisa dipandang sebagai

penegasan administrasi dan hukum atas kekuasaan pada suatu wilayah

atau territory. Dalam keputusan Mahkamah Internasional hal ini

ditegaskan sebagai “regulatory and administrative assertions of authority over

territory”.43 Selain itu, Mahkamah Internasional juga memutuskan bahwa

pembangunan mercusuar oleh Inggris di pulau tersebut dianggap cukup

untuk mendukung klaim Malaysia terhadap kedaulatan atas Sipadan dan

Ligitan.44 Perlu juga diingat bahwa berdasarkan permintaan Indonesia

41

Wirajuda H. 2004. p. 129 42

International Court of Justice, 2002 43

International Court of Justice, 2002. Para 145 44

International Court of Justice, 2002. Para 147

Page 15: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

40

dan Malaysia, Mahkamah utamanya menganalisa apa yang terjadi

sebelum tahun 1969, karena keduanya telah bersepakat menjadikan tahun

ini sebagai waktu kritis atau critical date dan pada tahun itulah kedua

negara menyatakan klaim atas kedua pulau tersebut.45 Dengan

memahami keputusah Mahkamah Internasional ini, pembangunan

fasilitas wisata pada kedua pulau itu yang dilakukan sebagian besar oleh

Malaysia setelah tahun 1969 secara hukum tidak turut memengaruhi

keputusan Mahkamah Internasional. Apa yang terjadi setelah tahun 1969,

sesuai kesepakatan Indonesia dan Malaysia, tidak berpengaruh pada

kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan.

Dengan memahami keputusan Mahkamah Internasional, terlihat

bahwa, kasus Sipadan dan Ligitan berbeda konteksnya dengan kasus

Pulau Berhala atau Pulau Semakau. Sipadan dan Ligitan adalah dua

pulau yang terra nullius ketika disengketakan oleh Indonesia dan

Malaysia. Jika mengikuti konsep uti possidetis juris, maka hal pertama

yang harus ditentukan adalah apakah Sipadan atau Ligitan masuk dalam

jajahan Inggris atau Belanda. Ternyata keduanya tidak terbukti secara

meyakinkan termasuk dalam wilayah jajahan Inggris maupun Belanda.

Ini bisa dilihat dari peta-peta zaman penjajahan. Oleh karena itulah,

kedua pulau itu tidak bisa secara otomatis diakui oleh Indonesia maupun

Malaysia.46 Untuk kasus pulau-pulau yang terra nullius seperti ini maka

prinsip effectivités atau penguasaan efektif menjadi berlaku dalam

menentukan kedaulatannya. Dengan kata lain, pertanyaan “siapa yang

telah mengelola, siapa yang sudah mengembangkan, dan siapa yang

menduduki” penting untuk menentukan kedaulatan atas sebuah pulau

45

International Court of Justice, 2002. Para 135 46

Lihat juga Pidato Kenegaraan Presiden Megawati pada tanggal 15 Agustus 2003 yang

salah satu isinya adalah merespon keputusan Mahkamah Internasional terkait Sipadan dan

Ligitan, bisa diakses dari http://kepustakaan-

presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf

Page 16: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

41

jika pulau itu tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, jika pulau tersebut

sudah resmi menjadi bagian dari suatu negara maka penguasaan dan

pengelolaan atasnya tidak akan mengubah status kedaulatan

terhadapnya.

Dalam pernyataan tidak resmi seorang pejabat negara yang

menjelaskan kasus ini dengan cukup cerdas, Indonesia tidak kehilangan

pulau, hanya saja memang gagal menambah dua pulau. Pernyataan ini

mungkin terdengar seperti kelakar tetapi secara cerdas dan sederhana

dapat menjelaskan apa yang terjadi dengan Sipadan dan Ligitan. Dengan

kata lain, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan

pulau secara hukum karena memang tidak pernah memiliki pulau

tersebut. Penjelasan tentang kasus Sipadan dan Ligitan ini bisa disimak

dengan rinci pada putusan Mahkamah Internasional.47

Meski keputusan Mahkamah Internasional sudah sedemikian jelas,

anggapan masyarakat bahwa Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia

tetap ada. Ada setidaknya dua penyebabnya. Yang pertama adalah

pemberitaan media massa yang tidak sesuai kondisi sebenarnya. Media

cukup mudah menyalahartikan istilah penguasaan efektif yang menjadi

dasar keputusan, terutama terkait waktu krits tahun 1969 yang

digunakan sebagai dasar. Tidak sedikit media yang menyampaikan

bahwa penguasaan efektif tersebut termasuk tindakan Malaysia

mengelola pulau itu sejak tahun 1969. Dengan demikian muncul

pemahaman bahwa Indonesia kalah dalam kasus itu karena Malaysia

sudah merawat pulau itu dengan mendirikan resor dan membangun

fasilitas wisata lainnya.

Sebab kedua adalah kenyataan bahwa pada Pulau Sipadan dan

Ligitan memang pernah ditetapkan titik pangkal (basepoints) yang

47

Lihat catatan kaki 35.

Page 17: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

42

membentuk garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan

Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2002,48 ada titik pangkal yang berlokasi

di kedua pulau tersebut seakan-akan keduanya sudah merupakan bagian

dari Indonesia. Mereka yang memiliki kepedulian pada masalah hukum

tentu akan menganggap ini sebagai tindakan Indonesia yang menyatakan

bahwa kedua pulau itu memang pernah diakui sebagai bagian dari

Indonesia. Dengan keputusan Mahkamah Internasional tahun 2002, PP

ini kemudian direvisi dengan PP nomor 37 nomor 2008.49 Revisi ini

bertujuan untuk mengubah konfigurasi garis pangkal kepulauan

Indonesia secara umum sehingga kini menggunakan pulau terluar yang

resmi menjadi milik Indonesia serta menjamin garis pangkal yang

tertutup, melingkupi seluruh wilayah Indonesia.50

Menyimak pemaparan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa

Indonesia memang tidak kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan karena

tidak pernah memilikinya secara hukum. Meski demikian, istilah

“Indonesia kalah oleh Malaysia” ada benarnya yaitu kalah dalam hal

memperebutkan dua pulau tidak bertuan untuk menjadi bagian dari

kedaulatan negara masing-masing. Kekalahan ini tidak saja ditentukan

oleh tindakan Indonesia dan Malaysia tetapi juga oleh Belanda dan

Inggris sebagai pendahulu kedua negara.

48

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71 (2002) Peraturan Pemerintah No.

38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 49

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 (2008) Peraturan Pemerintah No.

37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang

Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari

http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 50

Lihat pembahasan tentang revisi garis pangkal kepulauan Indonesia pada Schofield, C.

and Arsana, I MA. (2009) Closing the Loop: Indonesia’s revised archipelagic baselines

system, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs; Volume 1, Issue 2; 2009; 57-

62.

Page 18: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

43

Menjaga Pulau, Menjaga Kedaulatan

Kekhawatiran kehilangan pulau tidak seharusnya terjadi pada

Indonesia. Meski demikian, menjaga pulau-pulau terluar merupakan

kewajiban. Ada beberapa hal pening yang harus dilakukan dan dipahami

oleh masyarakat, terutama pejabat pemerintah terkait persoalan pulau

dan kedaulatan. Hal pertama dan utama adalah pemahaman yang cukup

baik akan konfigurasi geografis Indonesia. Penduduk dan terutama

pejabat negara sebaiknya paham akan informasi geografis dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Tentu memerlukan usaha yang serius

untuk memahami Indonesia yang terdiri dari 17 ribu lebih pulau,

beragam suku bangsa dan bahasa. Selain itu, informasi geografis negara

tetangga juga perlu dipahami. Dalam kasus Pulau Semakau dan Pulau

Berhala misalnya, terlihat betapa pentingnya memahami bahwa negara

tetangga juga memiliki pulau dengan nama yang sama dengan pulau

yang dimiliki Indonesia. Tentu tidak baik jika ada pihak yang menjadi

geram dan emosional menuduh negara tetangga melakukan tindakan

tidak terpuji hanya karena pemahaman geografis terhadap pulau-pulau

yang tidak memadai. Ini harus menjadi motivasi bagi masyarakat dan

pejabat negara untuk belajar aspek geospasial51 dari bangsa sendiri dan

negara tetangga.

Kedua, perlu dipahami bahwa kedaulatan atas sebuah pulau yang

sudah pasti menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan

mudah berpindah ke negara lain hanya karena negara lain

mengklaimnya. Dengan kata lain, kedaulatan atas pulau yang sudah

51

Istilah “geospasial” digunakan untuk segala hal yang terkait aspek keruangan/posisi

(space) yang terkait dengan bumi (geo). Dalam konteks ini, aspek geospasial adalah

aspek lokasi dan deskripsi geografis wilayah NKRI dan posisinya relatif terhadap negara-

negara tetangga. Pemahaman geospasial ini juga sangat penting untuk memahami konteks

geopolitik suatu negara.

Page 19: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

44

resmi menjadi milik Indonesia tidak akan berpindah dengan mudah ke

negara tetangga, misalnya Singapura, hanya karena Singapura

mengajukan klaim kepemilikan. Hal ini berbeda halnya dengan pulau

yang memang belum jelas kepemilikannya. Pulau yang demikian disebut

terra nullius yaitu pulau tidak bertuan sehingga usaha klaim aktif dan

pendudukan efektif akan berpengaruh pada kepemilikan terhadapnya.

Dalam kasus Indonesia, sudah tidak ada lagi pulau dengan status terra

nullius sehingga usaha penguasaan efektif untuk tujuan membuktikan

kedaulatan tidak perlu dilakukan.

Ketiga, dari kasus Sipadan dan Ligitan bisa dipahami bahwa untuk

pulau yang belum jelas kepemilikannya maka klaim dan penguasaan

efektif memang penting dilakukan dan itu menentukan kedaulatan.

Meski demikian, hal ini tidak berlaku pada pulau yang sudah jelas

kepemilikannya. Penguasaan atau perhatian terhadap sebuah pulau

terluar perlu dilakukan untuk alasan kesejahteraan penduduk di sekitar

atau untuk alasan kelestarian lingkungan, bukan untuk melindungi pulau

itu agar tidak direbut negara lain. Untuk pulau kecil terluar yang

dijadikan lokasi titik pangkal (basepoints) kehadiran negara diperlukan

untuk menjaganya sehingga terlindungi secara fisik dan sedapat mungkin

tidak terabrasi/tenggelam sehingga dapat mengganggu konfirgurasi titik

pangkal dan garis pangkal.

Hukum internasional tidak membenarkan suatu negara mengklaim

kedaulatan atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu

negara. Sekali lagi kehadiran negara di pulau-pulau kecil atau terluar

sangatlah penting dalam segala manifestasi yang mungkin. Hal ini untuk

alasan yang lebih pragmatis terkait kesejahteraan masyarakat. Kehadiran

negara perlu untuk menjamin masyarakat secara ekonomi, menyediakan

fasilitas kesehatan serta infrastruktur yang memadai. Mengirimkan

sejumlah besar orang dari ibukota negara untuk melakukan upacara

bendera di sebuah pulau terpencil bisa jadi merupakan gagasan yang baik

tetapi harus tetap diperhatikan bahwa masyarakat memerlukan lebih dari

sekedar kesenangan sesaat di hari-hari penting seperti hari kemerdekaan.

Page 20: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

45

Pada akhirnya kesetiaan masyarakat terhadap negaranya ditentukan juga

oleh manfaat pragmatis yang mereka peroleh.

Keempat, sangat penting untuk memiliki pemahaman dasar

kartografis,52 bagaimana peta menggambarkan wilayah dan kedaulatan

suatu negara. Hal ini terkait dengan kasus Pulau Semakau dan Pulau

Miangas yang dijelaskan sebelumnya. Pemilihan warna, intensitas,

ketebalan garis dan terutama legenda peta akan menunjukkan pada

pembaca maksud dari masing-masing obyek di peta tersebut. Penting

untuk dipahami bahwa dimasukkannya suatu pulau milik negara A pada

peta nasional negara B tidak selalu berarti pulau itu diklaim oleh negara

B. Dalam peta Indonesia yang lengkap, misalnya, tidak mungkin tidak

memasukkan keseluruhan Singapura atau sebagian Malaysia yang sama

sekali tidak menunjukkan klaim Indonesia atas kedua negara itu.53

Kesimpulan

Dari analisis pada bagian sebelumnya dari makalah ini bisa

disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan dan tidak akan

kehilangan pulau karena status kedaulatan atas pulau-pulau Indonesia

sudah jelas. Pemahaman terhadap kasus Sipadan dan Ligitan perlu

52

Secara sederhana, kartografi merupakan ilmu dan seni pembuatan peta. Peta adalah

representasi permukaan bumi yang diusahakan sedekat mungkin dengan aslinya. Meski

demikian, peta tetaplah hanya representasi sehingga pasti ada hal yang tidak sama dengan

kenyataannya di permukaan bumi. Oleh kerena itulah perlu pengetahuan kartografis dasar

dalam membaca peta sehingga tidak salah dalam menyerap informasi yang

ditampilkannya. Lihat misalnya: Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet

always lies”, The Jakarta Post, 22 November 2010, Jakarta; Arsana, I M.A. 2011. “Urgent

use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The Jakarta Post, 26 October 2011,

Jakarta 53

Untuk analisis penulis terkait kasus Pulau Semakau dan pelajaran yang bisa diambil,

lihat: Arsana, I M.A. 2013, Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?

The Jakarta Post, 30 January 2013.

Page 21: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

46

diluruskan bahwa Indonesia tidak kehilangan tetapi kalah

memperjuangkan kedaulatan yang memang tadinya belum pasti.

Meski tidak perlu ada kekhawatiran akan kehilangan pulau,

perhatian dan kehadiran negara di semua wilayah Indonesia tanpa

kecuali tetaplah suatu keharusan. Semua itu dilakukan untuk alasan

pragmatis terkait kesejahteraan dan alasan lingkungan, bukan karena

ketakutan bahwa pulau itu akan direbut oleh negara lain.

Daftar Pustaka

Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S

(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta.

Arsana, I M.A. 2009. “Miangas Island? No Worries”, The Jakarta Post, 3 Maret 2009,

Jakarta

Arsana, I M.A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim:

Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010

Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet always lies”, The Jakarta Post, 22

November 2010, Jakarta.

Arsana, I M.A. 2011. “Urgent use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The

Jakarta Post, 26 October 2011, Jakarta

Arsana, I M.A. 2013, “Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?” The

Jakarta Post, 30 January 2013.

Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use of ‘UNCLOS’,

and References to other Recent Agreements”, The International Journal of Marine

and Coastal Law, Vol 15, Number 3.

Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24

tanggal 19 Januari 2013.

Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC

tanggal 19 Januari 2013.

International Court of Justice, 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan

(Indonesia/Malaysia)”, diakes dari Lihat: http://www.icj-cij.org/

docket/files/102/7714.pdf tanggal 20 Januari 2013.

Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan Bantah Ada Pencaplokan Pulau

Semakau”, diakses dari

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari

2013.

Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam

Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari

http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-

Page 22: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

47

NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal

19 Januari 2013.

Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari

http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-

Marore.Bisa.Jadi.Sipadan-Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71. 2002. “Peraturan Pemerintah No.

38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77. 2008. “Peraturan Pemerintah No.

37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002

tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.

Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the

South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore.

Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas Bagian Integral Indonesia” diakes dari

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15

Februari 2009

National Environgment Agency of Singapore. 2013. “Semakau Landfill”, diakses dari

http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx tanggal 26 Januari 2013.

Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di Indonesia dan Singapura”, diakses dari

http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-

semakau-ada-di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.

Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”, diakses dari

http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-dicaplok-

negara-singapura tanggal 19 Januari 2013.

Permanent Court Of Arbitration. 1928. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) -

United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague

Schofield, C. and Arsana, I MA. 2009. “Closing the Loop: Indonesia’s revised

archipelagic baselines system”, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs;

Volume 1, Issue 2; 2009; 57-62.

Soekarnoputri, M. 2003. “Pidato Kenegaraan Presiden R.I. Dan Keterangan Pemerintah

Atas Ruu Tentang RAPBN 2004 Serta Nota Keuangannya di Depan Sidang DPR

RI, Jakarta, 15 Agustus 2003”, Kepustakaan Presiden-Presiden Republik

Indonesia, Jakarta. Diakses dari http://kepustakaan-

presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf tanggal 31

Januari 2013.

Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau Berhala”, Prosiding

The 1st Conference on Geospatial Information Science and Engineering,

Yogyakarta, 20-22 November 2012.

The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker suspected in border blunder” diakses dari

http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-

border-blunder.html tanggal 20 Januari 2013.

Page 23: Akankah Indonesia Kehilangan Pulau Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 Januari—April 2013

48

United Nations. 1982. “United Nations Convention on the Law of the Sea”, diakses dari

<http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/tets/unclos/ unclos_e.pdf>

tanggal 30 Januari 2013.

United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions

to the Convention and the related Agreements as at 23 January 2013”, diakses dari

http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.ht

m tanggal 23 Januari 2013.

Wirajuda, H. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”.

Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal.

Law and order exist for the purpose of establishing justice and when

they fail in this purpose they become the dangerously structured

dams that block the flow of social progress.

- Martin Luther King Jr. - ”