Rencana Daftar Isi - KEMENPAR · Sekitar 17.000 pulau tersebar di seluruh wilayah Indonesia....

90
PENGANTAR Kota Pontianak dan Jambi merupakan wilayah dengan beragam komunitas etnis dan budayanya masing-masing. Dalam interaksi sosial antarkomunitas etnis itu muncul rasa saling menghargai, mempercayai, solidaritas, rukun, damai, dan sebagainya. Namun, di pihak lain dapat terjadi konflik antarkomunitas etnis karena berkembangnya stereotype kelompok, eksklusif, kebencian, curiga, dan rasa terancam. Ada satu hal yang mengatasi semua perbedaan, yakni dengan memahamikesamaan mendasar dari manusia. Dimensi humanisme sangat penting dalam hubungan sosial, setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan harapan. Semua orang pasti setuju, menghargai nilai-nilai dasar yang secara umum disepakati orang lain pada tempatnya pasti akan disetujui oleh siapapun. Sebaliknya, menyakiti sesama pasti tak seorangpun yang setuju. Penelitian tentang Pengelolaan Keragaman Budaya di Jambi dan Pontianak dan Jambi ini merupakan program kegiatan Puslitbang Kebudayaan pada tahun 2007 yang bermaksud untuk melihat bagaimanakah warga masyarakat berupaya untuk lebih melihat sesamanya dalam dimensi yang lebih humanistis, yang mengatasi segala bentuk perbedaan dan pertentangan. Penelitian ini disusun sebagai upaya untuk peduli terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan multikultur dan isu-isu tentang masalah keadilan dan perdamaian. Kapokja Mikka Wildha Nurrochsyam

Transcript of Rencana Daftar Isi - KEMENPAR · Sekitar 17.000 pulau tersebar di seluruh wilayah Indonesia....

PENGANTAR

Kota Pontianak dan Jambi merupakan wilayah dengan beragam komunitas etnis dan budayanya masing-masing. Dalam interaksi sosial antarkomunitas etnis itu muncul rasa saling menghargai, mempercayai, solidaritas, rukun, damai, dan sebagainya. Namun, di pihak lain dapat terjadi konflik antarkomunitas etnis karena berkembangnya stereotype kelompok, eksklusif, kebencian, curiga, dan rasa terancam.

Ada satu hal yang mengatasi semua perbedaan, yakni dengan memahamikesamaan mendasar dari manusia. Dimensi humanisme sangat penting dalam hubungan sosial, setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan harapan. Semua orang pasti setuju, menghargai nilai-nilai dasar yang secara umum disepakati orang lain pada tempatnya pasti akan disetujui oleh siapapun. Sebaliknya, menyakiti sesama pasti tak seorangpun yang setuju. Penelitian tentang Pengelolaan Keragaman Budaya di Jambi dan Pontianak dan Jambi ini merupakan program kegiatan Puslitbang Kebudayaan pada tahun 2007 yang bermaksud untuk melihat bagaimanakah warga masyarakat berupaya untuk lebih melihat sesamanya dalam dimensi yang lebih humanistis, yang mengatasi segala bentuk perbedaan dan pertentangan. Penelitian ini disusun sebagai upaya untuk peduli terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan multikultur dan isu-isu tentang masalah keadilan dan perdamaian. Kapokja

Mikka Wildha Nurrochsyam

ii

DAFTAR ISI

PENGANTAR .................................................................................. I

DAFTAR ISI .................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

1. Latar Belakang ................................................................ 1 2. Tujuan Penelitian ............................................................. 3 3. Ruang Lingkup ................................................................ 3 4. Kerangka Pemikiran ........................................................ 4 5. Metode Penelitian ............................................................ 5 6. Manfaat ........................................................................... 6

BAB II PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA DI KUALA TUNGKAL, JAMBI ............................ 7

1. Profil Wilayah Penelitian .................................................. 7 2. Komunitas-komunitas Etnis di Kota Kuala Tungkal .......... 8 3. Interaksi Budaya ............................................................ 10 4. Integrasi dalam Hubungan Sosial .................................. 20 5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial ............................. 22 6. Pengelolaan Keragaman Budaya .................................. 25

BAB III PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA DI PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT ........ 28

1. Profil Wilayah Penelitian ................................................ 28 2. Komunitas-komunitas etnis di Kota Pontianak ............... 30 3. Interaksi Budaya ............................................................ 37 4. Integrasi dalam Hubungan Sosial .................................. 45 5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial ............................. 48 6. Pengelolaan Keragaman Budaya .................................. 52

iii

BAB IV ANALISIS ........................................................................ 59

1. Yang Sakral ................................................................. 59 2. Klasifikasi ..................................................................... 60 3. Ritus ............................................................................ 63 4. Solidaritas .................................................................... 64

BAB V PENUTUP ......................................................................... 66

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................. 69

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 70

DAFTAR NARASUMBER ............................................................ 71

LAMPIRAN .................................................................................. 73

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Jutaan tahun yang silam Indonesia adalah sebuah lautan. Kepulauan Indonesia dibentuk oleh muntahan lahar di bawah air laut akibat dari patahan bumi yang bergerak. Wilayah lautan itu lalu membentuk kepulauan. Pulau-pulau di Indonesia sebagian lagi dibentuk oleh aktivitas gunung berapi. Beberapa pulau yang lain seperti Kalimantan terbentuk dari bagian benua Asia sedangkan Pulau Papua adalah bagian dari benua Australia. Banyaknya aktivitas gunung berapi membuat Indonesia menjadi daerah yang subur, gemah ripah loh jinawi atau subur dan makmur.

Sekitar 17.000 pulau tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Persebaran pulau-pulau di wilayah Indonesia ini membentuk kekayaan alam, baik flaura dan fauna yang beraneka ragam spesies. Pulau-pulau yang terpisah-pisah itu telah membentuk keragaman flora dan fauna yang khas.

Kondisi geografis ini juga telah membentuk keberagaman etnis di wilayah Indonesia. Di dalam kurun waktu yang lama etnis yang terpisahkan oleh lautan itu telah mengembangkan budaya mereka khas. Persebaran pulau-pulau itu telah membentuk ciri dan sifat yang khas di antara budaya para etnis tersebut. Setiap etnis mempunyai karakteristik budaya mereka masing-masing.

Perkembangan dinamika kehidupan dari masa ke masa telah meningkatkan komunikasi antaretnis. Terjadi proses interaksi antaretnis, suatu etnis yang telah mengembangkan keunikan budaya mereka kemudian mendapat pengaruh dari etnis di luar mereka. Beragam etnis itu mengembangkan komunikasi dan hubungan timbal balik diantara budaya-budaya yang berbeda-beda. Interaksi tidak hanya antarkomunitas dalam suatu etnis, namun diantara etnis yang beragam itu berinteraksi dengan etnis-etnis lain yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Dalam rentang waktu yang relatif lama telah terjadi akulturasi budaya. Kadang sebuah budaya tertentu dikuatkan karena pengaruh budaya lain. Pertemuan budaya itu tidak jarang juga melahirkan budaya baru yang mempunyai sifat-sifat yang khas.

2

Banyak faktor yang menyebabkan adanya interaksi di antara etnis-etnis yang beragam di wilayah Indonesia. Salah satu faktor adalah tersedianya sumber daya alam yang tidak merata. Kondisi ini menyebabkan beberapa etnis tertentu harus keluar dari wilayahnya untuk mencari lahan sumber penghidupan baru yang lebih mapan. Faktor sosial dan politik juga seringkali menyebabkan sebuah etnis melakukan migrasi ke wilayah etnis lain. Karena berbagai faktor yang sangat beragam dan kompleks itu lalu terjalinlah akulturasi budaya di antara etnsi-etnis yang berbeda. Dalam komunikasi itu lalu timbul hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.

Interaksi budaya berarti hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi itu dilihat dalam kerangka budaya masing-masing etnis. Istilah budaya atau culture dalam Bahasa Inggris mempunyai pengertian yang kompleks. Dalam tulisan ini dicoba untuk melihat kebudayaan seperti refleksi Raymond William, yaitu penggunaan istilah budaya itu paling tidak terdiri dari tiga hal: pertama, budaya mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat; kedua, budaya digunakan dalam pengertian pemetaan khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan, seperti film, benda-benda seni, dan teater. Budaya dalam pengertian ini kerap diidentikan dengan istilah kesenian (the arts); ketiga, istilah budaya digunakan untuk menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok atau masyarakat (Mudji Sutrisno 2005, 8).

Dalam penelitian ini dicoba untuk melihat interaksi antaretnis itu dalam hal budaya, yaitu dengan melihat saling mempengaruhi atau hubungan timbal balik beberapa unsur kebudayaan, seperti dalam tradisi, seni, keyakinan dan sebaginya. Kita akan mencoba melihat bagaimanakah seni masing-masing etnis itu saling mempengaruhi dalam hal kebudayaan.

Dalam interaksi budaya antaretnis itu di satu sisi terjadi konflik yang serius. Di pihak lain terjadi integrasi sosial yang ditandai oleh ikatan sosial yang semakin memperkokoh hubungan antaretnis yang berbeda. Dalam komunikasi antaretnis itu muncul rasa saling menghargai, percaya, solidaritas, rukun, damai, dan sebagainya. Namun, pada sisi lain menunjukkan bahwa interaksi

3

antarbudaya itu telah melemahkan, ikatan sosial di antara beberapa etnis itu menjadi renggang. Seringkali juga terjadi konflik yang serius antara etnis dengan mengembangkan kebencian, curiga, merasa terancam, konflik baik fisik maupun non fisik,

Dengan melihat aspek integrasi antaretnis itu sekaligus akan dilihat bagaimanakah pengelolaan keragaman budaya itu. Dengan melihat sisi yang positif dari hubungan sosial itu, bisa dibangun model hubungan sosial yang positif. Model ini tentu saja bukan dipaksakan untuk diterapkan di beberapa wilayah Indonesia tetapi model ini bisa menjadi inspirasi bagi kerukunan di daerah lain.

Dengan membahas integrasi sosial kita sekaligus akan membahas masalah disintegrasi sosial. Kerukunan itu bukan berarti tidak adanya konflik, konflik itu tetap ada tetapi bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikannya dengan baik. Dengan melihat adanya disintegrasi dalam komunikasi antarbudaya maka dapat dijelaskan bagaimanakah model pengelolaan keberagamaan itu agar terbentuk integrasi sosial?

2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memaparkan tentang pengelolaan keragaman budaya di antara etnis-etnis yang berbeda-beda. Dalam interaksi budaya itu telah terjadi integrasi dan disintegrasi sosial dalam masyarakat yang multikultur. Dengan mengetahui integrasi dan disintegrasi sosial maka diharapkan dapat memberikan gambaran model tentang pengelolaan keragaman budaya yang bisa menjadi inspirasi untuk pengelolaan keragaman budaya di wilayah yang berbeda.

3. Ruang Lingkup

Fokus penelitian ini adalah persoalan pengelolaan keragaman budaya, maka sebelumnya kami mencoba melakukan orientasi, pra studi terhadap wilayah yang dianggap atau diduga menggambarkan integrasi sosial dan disintegrasi sosial dalam masyarakat multikultur. Pertama, wilayah penelitian Jambi, fokus penelitian dipusatkan di Kota Kuala Tungkal, yaitu ibukota Kabupaten Kuala Tungkal. Wilayah ini dipilih menjadi obyek penelitian karena di Kota Kuala Tungkal tinggal masyarakat dengan beragam etnis, khususnya tiga etnis yang dominan yaitu Banjar,

4

Bugis, dan Melayu. Di antara etnis-etnis tersebut telah mengembangkan sikap toleransi sehingga terjadi keharmonisan dalam kehiduapan sosial mereka. Kedua, penelitian dilakukan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Di wilayah ini terdapat tiga etnis yang dominan yaitu Melayu, Cina dan Madura. Kota Pontianak dipilih sebagai obyek penelitian karena wilayah ini interaksi budaya berjalan sangat intens. Di wilayah ini banyak sekali persoalan-persoalan yang berkaitan dengan komunikasi antaretnis yang seringkali menimbulkan disintegrasi sosial.

Dua wilayah tersebut menunjukkan hubungan budaya antaretnis yang sangat spesifik. Di Kuala Tungkal hubungan sosial memperlihatkan integrasi sosial yang sangat intens. Sedangkan di Kota Pontianak lebih menunjukkan hubungan sosial yang lebih renggang. Dengan adanya kekhasan dalam interaksi budaya di dua wilayah tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk menjelaskan perbedaan tersebut.

4. Kerangka Pemikiran

Dalam analisa ini diupayakan melihat pengelolaan keragaman budaya di dua wilayah penelitian, yaitu wilayah penelitian di Kota Kuala Tungkal dan di Kota Pontianak dalam perspektif empat pilar penyangga kebudayaan masyarakat menurut Emile Durkheim, yaitu the sacre, klasifikasi, ritus dan solidaritas. The sacre dapat diterjemahkan sebagai yang “sakral” atau yang keramat. The sacre secara umum dapat dipahami sebagai agama atau moralitas secara luas. Yang sakral itu adalah nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, atau simbol utama yang manjadi pusat dari masyarakat. Nilai-nilai itu disepakati oleh masyarakat dan mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Yang sakral adalah unsur yang menyatukan dalam sebuah komunitas masyarakat.

Sedangkan klasifikasi adalah adalah hirarki yang didasarkan pada nilai-nilai yang di dasarkan pada yang sakral. Semakin seseorang itu bertindak bermoral maka semakin dekat pada pusat yang sakral tetapi mereka yang bertindak a moral maka ia akan menempati wilayah pinggiran yang jauh dari yang sakral.

5

Ritus adalah sebuah aktivitas komunitas masyarakat untuk mengingatkan kepada apa yang di sakralkan. Ritus dapat terlihat dalam bentuk-bentuk upacara, festival-festival, dan acara-acara budaya. Dengan ritus itu lalu terjadi ikatan sosial di masyarakat karena kelompok itu diingatkan kepada yang sakral.

Pilar yang keempat adalah solidaritas, yang harus selalu dihubungkan dengan yang sakral. Ketika terjadi pelanggaran atas perdamaian maka solidaritas itu menjadi terluka, karena telah terjadi pelanggaran atas yang sakral. Yang sakral itu menjadi ikatan solidaritas masyarakat. Dengan adanya yang sakral maka muncul solidaritas diantara anggota masyarakat. Masyarakat berupaya untuk mewujudkan yang sakral, dengan beberapa cara, ritus merupakan upaya dari solidaritas masyarakat, diantaranya adalah melalui festival, kesenian dan tradisi.

5. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan studi kepustakaan yang berkaitan dengan pengelolaan keragaman budaya.

a. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan wawancara. Untuk menjaring data-data penting mengenai integrasi dan disintegrasi sosial itu dilakukan dengan melakukan observasi di lapangan secara langsung di ruang publik, perkampungan kelompok etnis dan tempat lain di mana interaksi budaya antaretnis terlihat intens. Pengamatan dilakukan juga dengan menyaksikan tradisi dan seni pertunjukkan etnis secara langsung. Untuk menjaring data-data yang terkait dengan integrasi dan disintegrasi dilaksanakan juga dengan melakukan wawancara, antara lain dengan tokoh masyarakat, adat, masyakat, LSM dan pejabat pemerintah.

b. Analisis Data

Setelah data terkumpulkan kemudian dilakukan analisis. Analisis dilakukan dengan melihat pengelolaan keragaman budaya di kedua wilayah penelitian, yaitu di Kota Kuala Tungkal

6

dan di Kota Pontianak. Dari pengelolaan keragaman budaya tersebut lalu dilihat aspek-aspek persamaan dan perbedaan.

6. Manfaat

Penelitian ini paling tidak ada beberapa manfaat yang dihasilkan: a. Sebagai referensi untuk dijadikan model atau inspirasi dalam

upaya pengelolaan keberagaman budaya. b. Memberikan referensi dalam meningkatkan kesadaran hidup

rukun dalam kemajemukan. c. Sebagai referensi untuk terjadinya penguatan toleransi dan

solidaritas di dalam masyarakat yang multikultur. d. Memberikan referensi untuk membangun pentingnya

kesatuan dan persatuan bangsa.

7

BAB II PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA

DI KUALA TUNGKAL, JAMBI

1. Profil Wilayah Penelitian

Wilayah penelitian dipusatkan Kota Kuala Tungkal yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kota Kuala Tungkal sebagai Ibukota Tanjung Jabung Barat mempunyai kondisi geografis yang berawa-rawa dengan tanah gambut. Di wilayah ini mengalir dua sungai yaitu Sungai Pengabuan dan Sungai Beram Itam. Kota ini dekat dengan pelabuhan transit yang merupakan jalur pelabuhan antarpulau. Penduduk Kuala Tungkal berjumlah 78.545 terdiri dari penduduk yang tinggal di perkotaan dan perdesaan. Penduduk di wilayah perkotaan berjumlah 54.065 jiwa sedangkan penduduk di perdesaan berjumlah 24.480 jiwa. Penduduk Kuala Tungkal kebanyakan bekerja di sektor perdagangan, jasa, perikanan, perkebunan dan pertanian sebagai karyawan swasta dan pegawai negeri sipil. Di sektor perekonomian di Kota Kuala Tungkal didominasi komunitas etnis Cina, komunitas etnis lainnya yang cukup banyak populasinya adalah Minang dan Banjar. Pada sektor jasa, seperti penyedia sarana transportasi di Kuala Tungkal banyak dilakukan oleh warga komunitas etnis Melayu dan Banjar. Transportasi ke pusat Kota Kuala Tungkal dapat ditempuh melalui jalan darat, sungai dan laut. Transportasi laut mempunyai peran yang besar dalam mendukung mobilitas penduduk di wilayah Jambi dan sekitarnya karena terdapat pelabuhan transit Kuala Tungkal sebagai pintu gerbang yang menghubungkan Kota Jambi dengan Batam, Malaysia dan Singapura. Mobilitas penduduk di kawasan Jambi dan sekitarnya, khususnya bagi orang yang harus transit di Kuala Tungkal dapat memilih tempat menginap di beberapa hotel yang tersedia. Di sektor perikanan, Kota Kuala Tungkal terdapat pabrik pengolahan ikan yang dikelola oleh PT. Sumber Laut Utama. Populasi nelayan di daerah itu kebanyakan berasal dari komunitas etnis Melayu, Bugis dan Bajau.

8

Di sektor pemerintahan nampak dominasi etnis Banjar, Melayu dan Bugis. Sedangkan, di wilayah perdesaan sebagian besar penduduk bekerja di sektor perkebunan dan pertanian. Penduduk yang bekerja di sektor perkebunan mengusahakan tanaman kelapa, kelapa sawit, pinang dan kopi. Sedangkan di sektor pertaanian, penduduk mengembangkan sistem irigasi pasang-surut untuk bercocoktanam padi, palawija dan holtikultura. Praktek pertanian dengan teknologi irigasi pasang surut ini kebanyakan dilakukan oleh warga komunitas etnis Bugis dan Jawa.

Sebagian besar penduduk Kuala Tunggal beragama Islam, jumlah penduduk beragama Islam 10.947 orang; 375 orang menganut agama Kristen Protestan, 94 orang menganut agama Katholik dan 357 orang memeluk agama Budha. Penganut agama Buddha menempati jumlah yang paling besar di Kecamatan Kuala Tungkal di bandingkan di kecamatan lain. Di Kota Kuala Tungkal terdapat sepuluh masjid dan dua langgar. Sedangkan di Kecamatan Kuala Tungkal terdapat 70 masjid, 70 langgar berjumlah 70, 3 gereja dan 1 vihara (BPS Kabupaten Tanjung Barat tahun 2005).

2. Komunitas-komunitas Etnis di Kota Kuala Tungkal

Di Kota Kuala Tungkal terdapat tiga etnis besar, yaitu, Banjar, Bugis dan Melayu. Ketika komunitas etnis tersebut adalah pendatang dari luar daerah Jambi. Di samping itu juga terdapat berbagai komunitas suku seperti Jawa, Minang, Batak, dan Cina. Komunitas-komunitas etnis yang beragam itu mempunyai budaya, dan karakter yang berbeda-beda. Di Kuala Tungkal juga terdapat komunitas etnis Bajau yang tinggal di pesisir pantai.

Komunitas etnis Banjar adalah komunitas etnis yang terbesar dalam masyarakat Kuala Tungkal. Mereka menguasai beberapa sektor pekerjaan seperti, bidang pendidikan, pemerintahan, dan perdagangan. Sejarah lisan tentang keberadaan orang Banjar, sebagaimana dituturkan oleh

Dalam catatan-catatan sejarah tidak tertulis secara lengkap tentang etnis Banjar di Kuala Tungkal. Informasi tentang sejarah tentang etnis di Kuala Tungkal ini kami dapatkan secara lisan dari K.H Halim Kasim, Ketua Majelis Ulama Islam Kuala Tungkal yang sekaligus adalah Kepala Adat Banjar, pada awalnya daerah ini merupakan pantai kosong. Orang Banjar yang pertama kali datang

9

di Kuala Tungkal pada tahun 1850. Kelompok orang Banjar ini berasal dari Kalimantan, mereka berimigrasi ke Sumatera karena terjadi peperangan di daerah asalnya yakni perang antara kelompok orang Banjar melawan Belanda yang disebut Perang Antasari. Pemerintah Hindia Belanda yang menang perang pada tahun 1852 menghapus keeradaan Kerajaan Banjar. Tekanan politik yang represif dari pemerintah kolonial Belanda itumenyebabkan banyak orang Banjar bermigrasi ke Sumatera. Dorongan bagi orang Banjar untuk bermigrasi menjadi semakin kuat karena pada tahun 1900 dilaksanakan kebijakan Tanam Paksa.

Orang Melayu pada waktu itu tinggal di pedalaman sedangkan etnis pendatang bermukim di sekitar pantai. Penduduk Melayu dengan adat-istiadatnya Melayu di Kuala Tungkal lebih dekat dengan Melayu Kepulauan Riau. Di Kuala Tungkal juga ada komunitas etnis Melayu yang berasal dari sebelah utara Pulau Kalimantan atau wilayah Phillipina. Diperkirakan antara abad 18 sampai awal abad 19, mereka melarikan diri ke Kuala Tungkal, faktor lain pendorong migrasi orang Melayu ini adalah peperangan mereka melawan orang Spanyol.

Pantai bagian timur daerah Tanjung Jabung Timur kebanyakan didiami oleh orang Bugis. Komunitas etnis Bugis paling banyak tinggal di Pangkal Duri. Setelah Indonesia merdeka mereka pindah ke Tanjung Jabung Timur. Kedatangan komunitas etnis Bugis ini terjadi pada waktu pemberontakan Ibnu Hajar. Kelompok orang Bugis yang datang ke Kuala Tungkal pada mulanya tidak terlalu banyak. Kemudian, disusul sejumlah besar orang Bugis ke Kuala Tungkal setelah pemberontakan Kahar Muzakar sehingga terbentuk komunitas orang Bugis di daerah ini.

Di samping tiga komunitas etnis yang dominan dalam Kota Kuala Tungkal terdapat komunitas orang Bajau. Komunitas orang Bajau ini berasal dari Phillipina. Orang Bajau juga dikenal sebagai pengembara yang menelusuri sungai-sungai di daerah Jambi. Orang Bajau di Kuala Tungkal hidup di Kampung Laut dan di sepanjang pantai sampai Kepulauan Riau

Orang etnis Bajau menurut K.H Halim Kasim termasuk Proto Malayu, yang berasal dari Vietnam, dengan ciri khasnya mereka mempunyai geraham yang menonjol. Mereka bermigrasi sampai Sulawesi. Di antara komunitas etnis Bajau juga telah terjadi

10

perkawinan campur dengan warga komunitas etnis lain, diantaranya dengan orang Bugis dan Melayu.

Karena tinggal di laut mereka mempunyai kehidupan yang keras dalam mata pencaharian, ucapan mereka juga sangat keras, hal ini di sebabkan karena dalam berkomunikasi sering kali dilakukan dengan jarak jauh sehingga membentuk nada suara mereka menjadi lantang. Alam membentuk mereka bertemperamen keras. Lautan adalah lingkungan hidupnya. Pada siang hari mereka pergi melaut mencari ikan, sedangkan pada malam hari mereka ke darat. Untuk menghangatkan badan mereka kadang-kadang mereka minum-minumana keras. Kelompok etnis lain yang tinggal di Kota Kuala Tungkal adalah kelompok orang Jawa. Orang Jawa di Kuala Tungkal terkenal dengan kehidupan mereka yang rajin. Orang Jawa dianggap memiliki sifat yang toleran, bersedia mengalah demi kerukunan dalam kehidupan bersama. Komunitas etnis lain di Kuala Tungkal adalah orang Minang, mereka dikenal sebagai orang yang ulet dalam bidang perdagangan. Selain itu orang Minang juga dikenal sebagai penjaja warung masakan Padang. Mereka juga membuka toko-toko yang menjual pakaian dan kelontong di Kota Kuala Tungkal. Komunitas etnis Cina di Kuala Tungkal adalah minoritas apabila ditinjau dari populasinya namun secara ekonomi mereka menguasai sektor-sektor perekonominan yang penting seperti pengusaha pabrik pengalengan ikan, pemilik atau juragan kapal penangkap ikan, pengusaha walet, dan pemborong bangunan.

3. Interaksi Budaya

Kelompok etnis yang beragam itu masing-masing mempunyai ciri khas dalam hal tradisi dan budaya. Dalam keberagaman hidup bersama antarkomunitas etnis terjadi interaksi budaya sehingga ada proses hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi kebudayaan mereka. Berdasarkan penelitian di Kota Kuala Tungkal semua komunitas etnis berinteraksi dalam kesenian, festival, pawai dan lomba seni; adat istiadat dan tradisi; agama dan keyakinan; dan cara hidup serta perekonomian, secara bersama-sama.

11

a. Mata Pencaharian dan Perekonomian

Salah satu pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini pada aspek perekonomian adalah matapencaharian apa saja yang banyak dilakukan warga masyarakat di Kuala Tungkal, apakah-apakah masing-masing komunitas etnis mengembangkan jenis pekerjaan tertentu? Apakah terjadi hubungan salaing mempengaruhi antarkomunitas etnis melalui aktivitas sosial dan perekonomian?

Warga dari berbagai komunitas etnis mengembangkan sistem matapencaharian yang relatif berbeda. Sebagian orang Banjar bekerja sebagai pengajar di lembaga pendidikan dan pegawai negeri di beberapa kantor pemerintah daerah. Orang Banjar juga ada yang membuka warung kopi, hal ini terkait dengan kebiasaan orang Banjar ngopi sambil berbincang-bincang santai dengan teman-temannya di warung kopi.

Orang Cina di Kuala Tungkal banyak membuka usaha di sektor perdagangan, seperti usaha walet. Sepanjang kompleks pertokoan di Kuala Tungkal banyak sekali gedung-gedung megah bertingkat menjulang tinggi milik orang Cina yang dibangun menjadi rumah sarang walet. Tidak sedikit orang Cina menjadi pengusaha yang sukses. Dalam bidang perikanan, hal itu dibuktikan banyak orang Cina yang memiliki beberapa perahu penangkap ikan.

Sebagian orang Bugis lebih dikenal bekerja sebagai nelayan, namun diantara mereka juga bekerja di bidang perkebunan seperti kebun kelapa dan sawit. Orang Melayu selain banyak yang bekerja sebagai karyawan juga terkenal bekerja di sektor jasa, perkebunan dan nelayan. Orang Minang secara umum dianggap mempunyai bakat kultural di bidang perdagangan. Sedangkan orang Bajau yang hidup di Kampung Nelayan, sistem mata-pencaharian mereka sangat mengandalkan hasil lautan karena mereka hidup sebagai nelayan. Stereotipe tentang orang Jawa adalah orang yang bersedia bekerja dalam semua bidang pekerjaan dan memiliki ketrampilan dalam bidang pekerjaannya. Orang Jawa juga banyak bekerja di bidang pertaanian dan perkebunan.

Di Kuala Tungkal terdapat pasar yang cukup terkenal, yaitu pasar bekas yang menjual barang-barang import berasal dari Singapura. Barang-barang yang dijual di sini sangat bervariasi, mulai dari barang-barang elektronik, seperti laptop, komputer, HP,

12

TV, LCD, peralatan kantor, mainan anak-anak, jaket, dan baju-baju bekas. Pada hari-hari tertentu pasar ini cukup ramai dikunjungi orang bahkan banyak di antara mereka berasal dari luar propinsi untuk berbelanja.

Masyarakat di Kuala Tungkal dalam bekerja dan berusaha pada semua sektor perekonimian tidak pernah terjadi konflik terbuka, meskipun secara alamiah berlangsung persaingan dalam memperoleh keuntungan usaha mereka. Selain itu juga tidak terjadi monopoli jenis pekerjaan tertentu komunitas-komunitas etnis yang ada. Seringkali, beberapa warung makan milik orang Banjar dan Cina berdiri berdampingan namun tidak pernah terjadi konflik antarmereka.

Di Kuala Tungkal tidak ada komunitas etnis yang mendominasi bidang perekonomian tertentu. Dengan demikian diantara komunitas-komunitas etnis yang ada memiliki kedudukan sejajar dalam sistem perekonomian di Kuala Tungkal. Berbagai kegiatan perekonomian berfungsi sebagai media yang mempertemukan banyak orang dari berbagai komunitas etnis. Berbagai jenis pekerjaan dan dilakukan oleh banyak orang dari berbagai komunitas etnis dapat menumbuhkan sinergi saling ketergantungan yang mendukung keberlangsungan sistem perekonomian di daerah ini.

b. Kesenian, Festival, Pawai dan Lomba Seni

Salah satu pengertian budaya diidentikan dengan kesenian (the arts), yaitu sebagai kegiatan intelektual dan artistik dari individu atau kelompok masyarakat. Dalam tulisan ini ingin melihat seni-seni dan kegiatan seni yang berkembang di Kuala Tungkal yang membuat terjadinya interaksi budaya di antara beragama etnis.

Aktivitas kesenian di Kuala Tungkal tampaknya mempunyai corak yang cenderung di warnai oleh Islam, seperti tari Zapin dan Hadrah. Kesenian Melayu yang berkembang di sini adalah pantun Melayu. Masing-masing komunitas etnis mempunyai kesenian yang khas, seperti kesenian Bugis, Batak, Minang dan lainnya.

Kesenian yang dimiliki oleh komunitas-komunitas etnis itu tidak bersifat statis namun berkembang dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, seperti tari Zapin yang berkembang di Kuala Tungkal adalah tari Zapin khas Kuala Tungkal karena pengaruh dari

13

seni beberapa komunitas etnis lain. Tari Zapin di Kuala Tungkal berbeda dengan tari Zapin dari wilayah budaya Melayu lainnya. Tarian Zapin di sini mendapat pengaruh seni Minang dan Banjar sehingga dapat dikatakan bahwa tari Zapin yang berkembang di sini adalah khas Kuala Tungkal. Tari Zapin di Kuala Tungkal sekarang dianggap bukan lagi hanya milik komunitas orang Melayu namun juga menjadi milik komunitas-komunitas etnis lainnya.

Masyarakat Kuala Tungkal yang beragam etnis itu mengembangkan identitas bersama. Identitas bersama itu tidak lagi membawa nama etnis masing-masing, tetapi melebur menjadi satu, yaitu identitas masyarakat Kuala Tungkal.

Di samping terdapat seni yang telah menjadi identitas bersama, dengan seni itu beberapa etnis mengukuhkan identitas mereka. Di Kuala Tungkal berkembang seni dari masing-masing komunitas etnis, misalnya komunitas etnis Bugis masih menyelenggarakan aktivitas kesenian Bugis pada acara-acara tertentu, seperti tari yang dilaksanakan untuk acara penyambutan tamu. Di Kuala Tungkal terdapat pula seni Banjar seperti Al Banjari dan Hadrah. Demikian pula seni budaya Batak berkembang dan dilestarikan di Kuala Tungkal. Bagi warga Melayu Pantun Melayu merupakan kesenian yang menjadi aset wisata. Di Kuala Tungkal juga berkembang kesenian komunitas orang Cina, seperti Barongsai.

Meskipun masing-masing komunitas etnis mengukuhkan identitas kulturalnya namun di antara mereka mengembangkan apresiasi terhadap kesenian yang beragam. H. Tjahrir Makka, Ketua Adat Bugis mengatakan bahwa ketika diselenggarakan pentas kesenian Bugis seringkali dihadiri oleh Ketua-Ketua dari perkumpulan etnis lainnya, seperti Ketua Perkumpulan Banjar, Melayu, Minang, dan sebagainya. Masyarakat dari komunitas etnis lainpun bersedia menjadi panitia, dan membantu terselenggaranya kegiatan kesenian ini agar berjalan lancar. Penontonnya yang terdiri dari beragam komunitas etnis menunjukkan sikap empati pada kesenian Bugis.

Melihat adanya potensi kesenian yang beragam di wilayah Kuala Tungkal ini pemerintah daerah tergerak untuk memfasilitasi perkembangan dan pelestarian kesenian dari semua komunitas etnis. Setiap tahun pada Hari Kemerdekaan RI diadakan festival keseniaan daerah. Hampir seluruh komunitas etnis yang ada di

14

Kuala Tungkal berpartisipasi untuk menampilkan kesenaian khas mereka masing-masing. Festival kesenian ini merupakan wujud kesadaran masyarakat dan pemerintah Kuala Tungkal bahwa kebudayaan di daerah mereka bersifat multikultural. Mereka membuat momen untuk mengapresiasi keragaman seni di wilayah mereka. Aktivitas saling mengapresiasi kesenian etnis menumbuhkan rasa penghargaan yang bersifat timbal balik antarkomunitas etnis. Rasa penghargaan yang bersifat timbal balik itu mencipta rasa solidaritas antarwarga masyarakat Kuala Tungkal. Melalui kegiatan festival kesenian dari semua komunitas dapat dibangun integrasi sosial masyarakat Kuala Tungkal.

Apresiasi dan penghargaan pemerintah dan masyarakat Kuala Tungkal atas keberagaman seni dan budaya di wilayahnya juga diwujudkan dengan adanya pawai seni dan budaya. Pawai ini biasanya diselenggarakan pada tanggal 17 Agustus atau Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI sebagai satu rangkaian kegiatan dengan festival seni daerah. Pawai seni dan budaya ini menampilkan arak-arakan masal dengan menampilkan keunikan seni dan budaya masing-masing komunitas etnis, lengkap dengan pakaian adat mereka. Seluruh komunitas etnis di Kuala Tungkal berpartisipasi dalam acara ini termasuk diantaranya adalah warga komunitas etnis Cina.

Di Kuala Tungkal terdapat juga pawai yang disebut dengan Arak-arakan Sahur. Pawai ini diselenggarakan pada saat malam bulan Ramadhan. Pada mulanya tradisi ini bertujuan untuk membangunkan orang untuk makan sahur dengan menabuh bunyi-bunyian yang berasal dari besi, seperti cangkul, dan sebagainya. Hampir setiap malam pada bulan Ramadhan kelompok-kelompok yang berpawai di jalan menabuh bunyi-bunyian yang memekakkan telinga. Kelompok yang besar akan menghasilkan bunyi-bunyian yang paling keras. Jika dua kelompok bertemu mereka saling mengadu kerasnya bunyi yang ditabuhnya, kelompok yang kecil biasanya akan minggir. Seringkali pawai ini tidak teratur. Karena itu lalu muncul sebuah pemikiran dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat, tradisi ini kemudian dilembagakan menjadi sebuah pawai yang diperlombakan yang dikoordinir oleh pemerintah daerah.

Uniknya pawai ini diikuti oleh beragam golongan masyarakat dari berbagai komunitas etnis. Namun, anggota pawai tidak

15

membawa nama etnis atau suku tetapi lebih membawa nama kelompok sebuah organisasi tertentu, seperti Pramuka, sanggar-sanggar seni, kelompok remaja masjid dan sebagainya, kelompok kesenian dari komunitas etnis Cina juga turut berpartisipasi dalam acara ini.

Pawai festival arak-arakan sahur yang diselenggarakan sangat meriah dan kreatif, para pesertanya yang terdiri dari kelompok-kelompok itu, tidak lagi sekedar menabuh bunyi-bunyian dengan keras, tetapi bunyi-bunyian itu dikombinasikan dengan berbagai irama musik, seperti lagu dolanan gundul-gundul pacul, cucak rowa, lagu-lagu Islam, sampai pada lagu-lagu pop. Jenis tetabuhannya juga beragam, tidak hanya berasal dari peralatan besi saja tetapi juga terdapat bedug, gamelan, musik dari bambu dan sebagainya. Para peserta tampil dengan berbagai ciri adat mereka masing-masing, tampak misalnya mereka memakai pakaian adat Bugis, Melayu, dan Jawa.

Aktivitas seni dan budaya di Kuala Tungkal lebih intensif dapat dinikmati hampir semua golongan dalam masyarakat karena adanya siaran televisi lokal yang menampilkan seni dan pertunjukan khas Kuala Tungkal. Siaran televisi juga dapat dinikmati masyarakat di tempat publik seperti di Pujasera. Tempat ini merupakan tempat jajanan, warung, dan restoran yang terkenal di Kuala Tungkal, seperti akau yang luasnya hampir sebesar lapangan sepakbola, di tempat ini didirikan layar besar yang menampilkan pertunjukkan seni dan budaya dari stasiun televisi lokal.

Media sangat berpengaruh dalam mengembangkan apresisasi seni etnis di Kuala Tungkal. Beberapa seni dan budaya etnis di Kuala Tungkal juga telah direkam dalam bentuk CD yang telah dipublikasikan di masyarakat umum, seperti seni Hadrah dan Al Banjari serta Qasidah.

Sikap menghargai seni dari suku-suku lain, juga dapat dilihat dari hasil wawancara dengan para pemuda-pemudi kota Kuala Tungkal, diantara mereka banyak memberikan jawaban dengan memilih kesenian dari etnis lain untuk di pelajari. Seperti seorang pemudi Palembang, mengatakan bahwa kalau saya disuruh memilih kesenian, yang paling menjadi favorit saya adalah kesenian dari daerah Sunda. Seorang pemudi dari Jawa misalnya ketika ditanya, kesenian apa yang paling digemari, dijawabnya adalah kesenian dari daerah Minang.

16

c. Adat Istiadat dan Tradisi

Tulisan ini mencoba melihat tradisi dan adat istiadat yang berkembang di Kuala Tungkal. Bagaimanakah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi itu terjadi dalam adat istiadat dan tradisi komunitas-komunitas etnis di Kuala Tungkal?

Di Kuala Tungkal hidup beragam komunitas etnis dengan adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Masing-masing komunitas etnis memelihara dan melestarikan adat dan tradisi mereka masing-masing. Di samping menegaskan adat-istiadat dan tradisi masing-masing, semua komunitas etnis di Kuala Tungkal disatukan dengan adat istiadat dan tradisi Melayu.

Adat Malayu seperti yang terdapat dalam ungkapan tradisional bahwa “adat bersendikan sarak, sarak bersendikan Kitabullah”. Ungkapan tradisional itu merupakan paradigma, bagi masyarakat Kuala Tungkal. Seluruh aspek kehidupan masyarakat berorientasi pada syariat agama Islam. Kalau tidak dapat dicek kembali kesesuaiannnya dengan adat dan agama maka dipandang sebuah tindakan itu menyalahi aturan. Pengertian adat disini adalah kesepakatan yang telah dibuat oleh masyarakat, kalau di Kuala Tungkal seluruh komunitas etnis harus taat pada adat Melayu, yaitu adat yang harus didasarkan pada Agama Islam. Sedangkan, sarak dalam pengertian ini adalah nilai-nilai dalam syariat Islam yang harus diberlakukan dalam setiap aktivitas adat.

Seperti halnya dengan kesenian, adat istiadat dan tradisi mereka tidak statis tetapi mengalami perubahan. Adat istiadat Melayu yang diterapkan disini berkembang sesuai dengan kondisi Kuala Tungkal yang beragam etnis. Tradisi dan adat Melayu yang berkembang di sini lebih toleran dalam memandang sebuah persoalan anggota masyarakatnya. Menurut keterangan Risnal. M mengatakan bahwa dalam melaksanakan adat dan tradisi bagi masyarakat Kuala Tungkal itu tidak seperti adat dan tradisi Melayu di luar Kuala Tungkal. Dikatakannya bahwa kalau di Minang pernah terjadi persoalan yaitu adanya perkawinan campuran, salah satunya menganut agama di luar Islam. Sesuai dengan adat maka orang yang tidak beragama Islam dianggap bukan orang Minang, maka lalu mereka di usir dari kampungnya. Kalau di Kuala Tungkal lebih toleran. Masyarakat adat tidak pernah melakukan pengusiran terhadap orang yang berpindah ke agama lain. Namun, kadang

17

mereka merasa terkucilkan sendiri, dan biasanya dengan sendirinya pindah ke wilayah lain.

Sikap toleran masyarakat Kuala Tungkal ini pun tampak dalam tradisi yang terpelihara. Dalam acara pesta perkawinan misalnya, mereka mempunyai kebiasaan mengenakan busana pengantin dengan tidak tergantung dari komunitas etnis apa mereka berasal, tetapi sesuai dengan selera mereka masing-masing. Mereka tidak risih atau merasa biasa mengenakan busana tradisional etnis lain karena di Kuala Tungkal tampak identitas etnis itu telah melebur menjadi milik bersama.

Dalam tradisi juga memperlihatkan adanya sikap toleran dan kerukunan di antara komunitas etnis di Kuala Tungkal. Di Kampung Laut misalnya, masih dapat ditemukan bahwa ketika ada orang punya hajat, pesta pernikahan misalnya maka tetangga sebelahnya itu dengan rela rumahnya dibobol untuk di satukan dengan rumah orang yang punya hajat agar lebih luas.

Di Kuala Tungkal ada pula tradisi yang mengambil anak angkat. Masyarakat di sini mengembangkan sikap menghormati dan empati terhadap orang lain. Setiap orang asing yang masuk ke Kuala Tungkal biasanya diangkat anak oleh salah satu keluarga. Dengan diangkat anak oleh keluarga ini maka orang asing tersebut mendapat jaminan untuk diperlakukan dengan baik, seperti anak-anak mereka lainnya. Pada jaman dahulu acara anak angkat ini dilaksanakan dengan upacara adat, namun pada masa sekarang untuk menjadi anak angkat biasanya hanya dibutuhkan kesepakatan bersama antara anak angkat dan orang tua angkat.

Kesenian tradisional di Kuala Tungkal mengalami perkembangan. Pengaruh unsur Islam yang kental dalam masyarakat Kuala Tungkal sebagaimana pepatah “adat bersendi sarak, sarak bersendi adat”, pada masa lalu pada masa lalu beberapa upacara tradisional yang mengandung unsur animisme. Di Kampung Laut misalnya ada acara melaut, petik laut, tradisi ini pada masa lalu di tujukan untuk melakukan persembahan kepada penguasa laut agar mendapat panen ikan yang melimpah. Pada saat ini unsur-unsur ritual yang sifatnya animisme sudah diganti dengan memasukkan unsur-unsur agama Islam, yaitu dengan do’a-do’a yang dipanjatkan kepada Allah penguasa alam semesta agar memberikan rezeki yang melimpah.

18

Di sini tampak bahwa Islam sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat tidak secara frontal melarang tradisi, tetapi ajaran Islam secara bijak dilaksanakan dengan melakukan penyesuaian terhadap substansi tradisi yang berlaku.

Penerapan nilai-nilai ajaran agama Islam di Kuala Tungkal ini sangat toleran terhadap tradisi, banyak komunitas etnis dapat menerima dengan baik. Bahkan, di dalam komunitas etnis Cina juga terpengaruh dengan tradisi yang bernafaskan Islam. Warga komunitas Cina kadang-kadang melakukan tradisi slametan dengan mengundang orang-orang Islam untuk berdo’a memanjatkan keselamatan ketika mendirikan rumah atau toko, bahkan terdapat sebuah tradisi bagi orang Cina saat meluncurkan atau membuat perahu dilaksanakan upacara selamatan dengan mengundang orang-orang Islam untuk memanjatkan do’a secara Islami.

d. Agama dan Keyakinan

Mayoritas penduduk Kuala Tungkal adalah penganut Agama Islam. Penduduk lainnya, beragama Kristen Protestan dan Katholik serta Buddha. Di samping empat agama tersebut beberapa diantara mereka menganut aliran kepercayaan seperti yang dianut oleh warga komunitas Bajau. Agama Islam adalah entitas dasar kebudayaan masyarakat Kuala Tungkal. Agama Islam merupakan basis orientasi nilai, sebagai pandangan hidup dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kuala Tungkal. Jumlah penganut Islam yang cukup besar di Kuala Tungkal berasal dari komunitas etnis Melayu, Banjar dan Bugis. Dalam komunitas etnis Banjar banyak diantara mereka yang menjadi kiai, pendidik dan ustat serta guru agama dibanding dengan komunitas-komunitas etnis lainnya. Dalam hal urusan agama warga komunitas etnis Banjar sangat mendominasi.

Dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat Kuala Tungkal lebih banyak diwarnai oleh nuansa Islami. Suasana Islami itu tampak dalam banyaknya rumah peribadatan, seperti masjid dan surau, madrasah, serta tempat pendidikan-pendidikan Islam yang terdapat di setiap kampung. Saat menjelang Magrib terdengar kumandang adzan serta lantunan ayat-ayat suci al Quran. Suasana Islami tidak hanya mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat

19

Kuala Tungkal, tetapi juga terlihat dalam tradisi, seperti arak-arakan sahur, dan kesenian yang berkembang seperti hadrah dan habsi.

Agama Islam menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat Kuala Tungkal dapat dilihat pula dari keputusan dalam memilih jodoh. Setiap orang berharap agar dapat pasangan sesama pemeluk agama Islam. Biasanya orang-orang tua menekankan agar pilihan jodoh anaknya adalah sesama muslim. Bagi masyarakat di sini persoalan perkawinan antaretnis tidak menjadi persoalan, apakah calon jodoh anaknya dari komunitas etnis Batak, Bugis, Cina atau Bajau asal mereka itu beragama Islam. Dalam kehidupan berumah tangga itu nilai-nilai Islam secara lebih intens dapat dihayati bersama, maka pilihan untuk menentukan jodoh sesama Islam ini menjadi pilihan hidup yang paling utama.

Meskipun agama Islam mewarnai kehidupan masyarakat Kuala Tungkal sehari-hari, tetapi dalam kehidupan beragama mereka tidak bersikap fundamentalisme. Mereka mengembangkan sikap toleransi dan saling menghargai sesama pemeluk agama lain. Sikap penghargaan mereka ini tampak dalam memberikan kesempatan kepada pemeluk agama lain menjalankan kebebasan beribadahnya. Di Kuala Tungkal ini ada pula vihara dan gereja, tetapi di tempat lain pendirian vihara atau gereja masih menuai protes dari warga.

Kehidupan beragama di Kuala Tungkal sangat harmonis. Hubungan yang harmonis itu tidak hanya sesama pemeluk agama Islam yang memandang bahwa Islam adalah satu. Penghayatan mereka terhadap nilai-nilai Islam itu membuat mereka menjadi rukun dan harmonis. Mereka memandang bahwa perbedaan dalam Islam adalah rahmat, jadi bukan untuk dipertentangkan. Perbedaan pendapat dalam Islam itu sangat dihargai. Karena itu, tampak berbagai corak atau aliran dalam agama Islam di Kuala Tungkal hidup rukun dan damai.

Umat Islam di Kuala Tungkal ini saling menjaga kerukunan hidup sesama, baik yang Islam maupun non Islam. Pernah suatu saat ada penceramah dari luar yang diundang secara khusus untuk berceramah, namun ternyata di tengah-tengah ceramah itu berisi ucapan-ucapan yang bersifat ekstrim yang mengggangu rasa kerukunan hidup bersama, maka oleh masyakatat pada saat itu juga langsung mendapat teguran secara langsung atas ucapannya itu.

20

Penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam di Kuala Tungkal ini dapat kita lihat dengan maraknya pengajian-pengajian, baik yang dilakukan oleh kelompok kecil dalam wilayah RT atau RW maupun kelompok pengajian yang besar, seperti yang dipimpin oleh H. Abu Bakar. Pengajian ini dilakukan dalam bentuk shalawatan yang melantunkan puji-pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Uniknya untuk menghayati suasana kudus ini digunakan rebana untuk mengiringinya sehingga dengan musik ini tercipta suasana sahdu yang seolah-olah kita bertatap muka berhadapan langsung dengan Nabi Muhamamad SAW.

Bagi penganut agama non muslim, melihat kenyataan masyarakat yang mayoritas Islam, sikap mereka adalah menghormati. Pada acara-acara peringatan keagamaan Islam, biasanya mereka juga turut hadir untuk menyaksikannya. Kalau ada selamatan kadang-kadang mereka yang beragama non Islam juga hadir. Di wilayah ini tidak pernah ada konflik keagamaan yang bersifat serius. Kehidupan beragama di Kuala Tungkal cukup kondusif, mereka saling toleransi dan menghargai serta hidup rukun sesama penganut agama lain.

4. Integrasi dalam Hubungan Sosial

Dalam bagian ini dicoba untuk melihat bagaimanakah interaksi budaya dalam beberapa komunias etnis yang berbeda-beda itu terjadi saling mempengaruhi satu sama lain, yang mengakibatkan adanya pertemuan budaya baru di satu sisi sedangkan di sisi lain telah terjadi penguatan identitas masing-masing etnis. Dalam interaksi budaya itu lalu dilihat tentang integrasi diantara etnis-etnis tersebut. Integrasi sosial dalam hal ini berarti bahwa di dalam interaksi budaya antar etnis itu telah terjadi komunikasi yang kondusif, seperti adanya kerukunan, toleransi, saling menghargai, mengembangkan sikap solider, saling percaya, dan sifat-sifat positif lain dalam hubungan sosial. Ada beberapa hal yang membuat etnis disini hidup dalam kerukunan, saling menghargai dan toleransi.

Integrasi sosial di Kota Kuala Tungkal tampaknya berjalan alamiah, dalam arti bahwa faktor-faktor integrasi itu berjalan apa adanya, tanpa adanya rekayasa. Faktor lainnya yang menyebabkan integrasi sosial di sini berjalan alamiah adalah kondisi geografis di

21

Kuala Tungkal yang berawa-rawa, dengan lahan yang sempit itu mereka dihadapkan pada kebutuhan bersama, sehingga mereka mengembangkan sikap kepedulian terhadap sesama. Ketika terdapat hajatan mereka mempunyai kepedulian dan toleransi terhadap tetangganya yang terbatas lahannya. Rumah mereka bersedia dibobol untuk di satukan dengan rumah tetangga mereka yang mempunyai hajat.

Integrasi sosial berjalan alamiah di Kuala Tungkal ini terjadi karena tidak ada komunitas etnis yang dominan, beberapa komunitas-komunitas etnis yang ada di sini adalah warga pendatang semuanya, jadi tidak ada etnis asli yang ada di Kuala Tungkal. Warga komunitas etnis di sini tidak ada yang merasa superior. Mereka hidup bersama untuk mencari penghidupan, saling toleransi dan bekerja sama.

Praktik ajaran agama Islam dilaksanakan dengan damai dan toleran. Integrasi sosial di Kuala Tungkal berjalan karena faktor agama Islam yang dominan mewarnai kehidupan masyarakatnya. Agama Islam mempunyai kekuatan mempersatukan, karena Agama Islam yang berkembang di sini adalah Agama Islam yang toleran, agama yang menghargai perbedaan. Agama Islam di dalam masyarakat Kuala Tungkal ini menjadi salah satu dari motor perubahan sosial. Berkat ajaran agama Islam yang humanis itu maka, telah terjadi integrasi sosial di dalam masyarakat.

Agama Islam yang berkembang di Kuala Tungkal itu terintegrasikan dengan adat Melayu, yaitu adat bersendi sarak, dan sarak bersendikan Kitabullah. Adat Melayu yang berkembang di sini adalah adat Melayu yang toleran, seperti juga halnya dengan Agama Islam yang berkembang adalah agama Islam yang toleran. Karena itu, keduanya saling menguatkan antara agama dan adat sama-sama berperan dalam tercapainya integrasi sosial dalam masyarakat.

Integrasi sosial di Kota Kuala Tungkal dapat dilihat dalam aktivitas kesenian-kesenian daerah, festival-festival, pawai dan lomba-lomba seni, melalui aktivitas seni suku-suku yang berbeda itu menjadi bersatu. Dengan adanya beraneka budaya yang berbeda-beda ini mereka justru tidak mengedepankan perbedaan tetapi mereka mengembangkan sikap saling toleransi, menghargai, dan saling berbagi antara suku-suku yang berbeda. Untuk mengangkat keragaman seni dan budaya itu pemerintah daerah mengambil

22

insiatif untuk membuat festival seni daerah dengan menampilkan seni-seni pertunjukkan dari hampir seluruh komunitas etnis di Kuala Tungkal.

Adat istiadat dan tradisi di Kuala Tungkal berperan dalam integrasi sosial. Adat yang dikembangkan di Kota Kuala Tungkal adalah adat Melayu. Sedangkan adat Melayu ini secara jelas mengacu pada orientasi nilai-nilai dari Al Quran, adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabullah. Beberapa tradisi di Kuala Tungkal mempunyai peran dalam terjadinya integrasi sosial, seperti upacara selamatan rumah atau peluncuran perahu yang dilakukan oleh etnis Cina untuk turut mengundang orang-orang Islam.

Integrasi sosial dapat pula kita lihat dari tradisi mengambil anak angkat, yang merupakan sebuah penghormatan kepada warga pendatang. Melalui tradisi mengangkat anak orang lain di luar kelompok itu dianggap menjadi bagian dalam kelompok yang mengangkat anak. Di Kuala Tungkal tampaknya etnosentrisme tidak berkembang secara ekstrim karena terdapat tradisi mengambil anak angkat. Di sini tampak sebuah kerangka pemahaman budayayang memandang manusia itu bukan karena asal komunitas sukubangsanya namun lebih menekankan pada aspek kemanusiaannya.

5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial

Berdasarkan atas uraian di atas terlihat bahwa di Kota Kuala Tungkal menunjukan integrasi sosial yang sangat intens. Warga dari komunitas-komunitas etnis pada umumnya dapat hidup rukun dalam suasana saling toleransi, dan menghargai satu dengan lainnya. Meskipun, dalam kehidupan sehari-hari terkadang terjadi silang sengketa dan perselisihan, pada umumnya itu bukan persoalan yang melibatkan komunitas etnis, tetapi sifatnya adalah pribadi.

Perselisihan biasanya terjadi karena salah paham dalam pergaulan muda-mudi, antar remaja. Perselisihan itu tidak sampai melebar menjadi perselisihan antarkomunitas etnis. Pernah juga, perkelahian hingga sampai terjadi penghilangan nyawa pihak lain, tetapi persoalan tersebut segera dapat diredam oleh para tokoh masyarakat yang berpengaruh sehingga tidak membawa persoalan pada tingkat hubungan antarkomunitas etnis. Persoalannya

23

lkemudian dianggap sebagai persoalan kriminal murni yang diselesaikan menurut jalur hukum.

Beberapa tahun yang lalu, menjelang reformasi (tahun 1999) terjadi pembakaran kapal milik orang Cina oleh para nelayan di Kuala Tungkal. Persoalan ini muncul karena kapal yang digunakan adalah sejenis pukat, sehingga akibat tindakan yang ceroboh ini mengakibatkan nelayan-nalayan hasil lautnya menjadi berkurang secara drastis. Persoalan ini segera dapat diselesaikan setelah pihak pemilik kapal memberikan ganti rugi kepada para nelayan. Tindakan para nelayan yang membabi buta ini dipicu oleh suasana reformasi yang pada waktu itu terimbas pada masyarakat di kota ini. Suasana emosional tampaknya seringkali ditularkan diantara masyarakat. Ada kecenderungan masyarakat mudah mengimitasi kekerasan.

Perselisihan antarkomunitas etnis itu juga pernah terjadi di wilayah ini, antara lain antara komunitas etnis Bajau dan Bugis yang terjadi sekitar tahun 1948 yang dipicu persoalan perjudian. Beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada 1940 juga terjadi perselisihan antara orang Banjar dan Bugis mengenai masalah mata pencaharian, namun berkat peran mediasi tokoh-tokoh masyarakat yang kharismatik, perselisihan dapat segera diredam.

Sampai dengan tahun 1960 kondisi masyarakat secara umum masih rawan konflik. Namun, pada saat ini keadaan sudah banyak berubah, masyarakat hidup dalam kerukunan. Menurut Sapari, anggota DPRD komisi B mengatakan bahwa kerukunan itu faktor utamanya adalah rasa kesukuan mereka mulai menipis karena telah terjadi asimilasi dan adanya perkawinan campuran.

Adanya peristiwa konflik antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal pada masa lalu telah menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya sehingga tidak akan terulang kembali. Berkaca pada masa yang lampau maka diharapkan akan membuat kebaikan pada masa kini. Masyarakat di Kota Kuala Tungkal pada umumnya merasakan bahwa kondisi masyarakat saat ini berjalan dengan penuh harmonis, saling toleransi dan menghargai sesama mereka. Namun, pada saat ini dikhawatirkan akan muncul perpecahan karena munculnya organisasi-organisasi paguyuban seperti KKSS (Keluarga Kerukunan Sulawesi Selatan), IKM (Ikatan Kerukunan Melayu) atau KKBK (Keluarga Kerukunan Banjar Kalimantan), serta

24

organisasi kedaerahan lainnya yang menjadi kendaraan politik para elit tertentu untuk mencapai kekuasaan.

Beberapa tokoh masyarakat mengeluhkan kekhawatiran mereka karena adanya kecenderungan organisasi-organisasi paguyuban itu menjadi wahana perjuangan kepentingan politik para pengurusnya. Pada umumnya mereka tidak keberatan kalau organisasi-organisasi paguyuban itu tetap eksis di dalam masyarakat, tetapi para pengurus organisasi tersebut tidak memanfaatkan untuk kepentingan politik mereka. Sebagai sebuah wadah interaksi budaya komunitas etnis untuk mengekspresikan dirinya, menjalin silaturahmi dan persuadaraan, serta upaya memperkuat identitas budaya suatu komunitas etnis dengan melakukan pelestarian dan pengembangan kebudayaan maka keberadaan organisasi itu akan menjadi semakin diterima masyarakat apabila lebih memperjuangkan desiminasi gagasan-gagasan pluralisme budaya dan tidak berorientasi pada kepentingan politik.

Kecenderungan ke arah politis itu sudah mulai terlihat seperti ucapan yang sering terdengar, bahwa orang Banjar harus memilih pimpimpin yang berasal dari komunitas etnis Banjar. Ucapan-ucapan seperti itu tampaknya kini dikhawatirkan akan membuat disintegrasi di antara komunitas-komunitas etnis di Kuala Tungkal.

Pada umumnya warga masyarakat tidak terpengaruh asal usul komunitas etnis yang menjadi pimpinan di Kuala Tungkal, sejauh mereka merasakan keadilan. Sebagian warga masyarakat berharap siapapun yang memegang pimpinan bukan berorientasi pada kepentingan sekelompok atau segelintir orang tertentu tetapi, pimpinan harus berorientasi kepada kepentingan bersama. Masyarakat Kuala Tungkal tidak mempersoalkan warga komunitas etnis apa yang memegang pimpinan itu. Namun, dengan adanya orgnanisasi-organisasi paguyuban yang menjadi wahana fasilitasi kepentingan politik tertentu tersebut justru dikhawatirkan akan memecah persatuan sosial masyarakat Kuala Tungkal.

Di Kuala Tungkal masing-masing komunitas etnis cenderung mempunyai stereotipe tertentu. Orang Bugis misalnya dikenal sebagai orang yang temperamental. Watak keras orang Bugis diduga karena mereka dahulu, sebelum sampai di Kuala Tungkal mengalami berbagai bentuk tindak represi terutama pada saat

25

terjadi pemberontakan Kahar Muzakar yang masih menyisakan trauma dalam diri mereka. Pada saat ini, secara umum orang Bugis sudah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan jaman dan waktu. Generasi muda Bugis tidak lagi menampakkan sikapnya yang temperamental. Mereka sudah berbaur dengan etnis-etnis lainnya.

Demikian pula di Kuala Tungkal ini hidup etnis Bajau pada umumnya mempunyai temperamen keras. Mereka hidup di lautan, kalau malam hari singgah ke daratan, biasanya untuk minum-minuman keras. Kebanyakan dari mereka kurang mendapatkan kesempatan bersekolan.

Dengan adanya bermacam stereotipe etnis tersebut, justru terjadi keseimbangan hubungan antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal. Hal terjadi karena ada komunitas etnis yang dianggap memiliki karakter kasar dan ada pula komunitas etnis yang dianggap memiliki karakter halus serta lebih toleran. Orang Banjar ini seringkali lebih banyak terkesan mengalah kalau berhadapan dengan orang dari komunitas etnis lain, beberapa diantaranya tidak suka melakukan konflik yang berkelanjutan. Adanya beragam komunitas etnis dengan berbagai sikap dan kebiasaan tersebut tidak menjadikan masyarakat di Kuala Tungkal berada dalam situasi konflik yang berkepanjangan. Justru mereka saling melakukan sinergi dalam harmoni.

6. Pengelolaan Keragaman Budaya

Setelah melihat aspek-aspek yang berkaitan dengan integerasi sosial dan disintegerasi sosial dalam masyarakat di Kota Kuala Tungkal maka dalam bagian berikut ini akan memaparkan pengelelolaan keragaman Budaya yang dilakukan di Kota Kuala Tungkal. Integrasi sosial di Kuala Tungkal berjalan secara alamiah sehingga tanpa adanya peran pemerintah dalam pengelolaan keragaman budaya pun masyarakat Kuala Tungkal sudah hidup dalam kerukunan. Di samping itu integrasi sosial juga tidak terlepas dari peran pemerintah yang mempunyai peran dalam hal pengelolaan keragaman budaya. Dengan adanya Keputusan Bupati No. 176 tahun 2007 tentang Dewan Penasehat dan Forum Kerukunan Umat Beragama maka kerukunan umat beragama dapat

26

berjalan dengan baik karena setiap persoalan yang menyangkut agama akan dibawa dalam sebuah forum yang mencerminkan demokrasi. Setiap umat beragama mendapat perwakilannya dalam forum tersebut sehingga diharapkan terjadi konsesus bersama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan agama yang berkembang di Kuala Tungkal.

Pemerintah mempunyai peran sebagai agen yang memperlancar terjadinya integrasi sosial di Kuala Tungkal, yaitu dengan adanya penyelenggaraan festival-festival seni dan budaya yang menjadi program rutin pemerintah daerah. Upaya pemerintah untuk mengkoordinasikan serta mendukung secara penuh kegiatan-kegiatan yang melibatkan seluruh etnis membuat hubungan antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal semakin membaik. Di Kota Kuala Tungkal ini juga mempunyai Dewan Adat Daerah yang anggotanya terdiri dari beberapa komunitas etnis, yang tugasnya adalah untuk mencari konsesus bersama untuk persoalan-persoalan yang berkembang di Kuala Tungkal, antara lain yang menyangkut persoalan seni dan budaya, seperti konsesus untuk menentukan bagaimanakah budaya khas Kuala Tungkal itu.

Di dalam masyarakat sendiri juga terdapat mekanisme pengelolaan keragamaan budaya. Masing-masing komunitas etnis mempunyai tokoh yang sangat mereka segani. Tokoh-tokoh ini mempunyai peran penting dalam integrasi sosial dalam masyarakat. Ketika terjadi persoalan yang menyangkut masalah komunitas etnis para tokoh-tokoh formal ini secara langsung berperan untuk melakukan negosiasi untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berselisih, sehingga perselisihan dapat diredam sedini mungkin dan tidak meluas menjadi perselisihan antarkomunitas etnis.

Mekanisme pengelolaan keragaman budaya, juga dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan, seperti yang dipimpin oleh H. Abu Bakar yang anggotanya terdiri dari berbagai komunitas etnis. Mereka berkumpul tanpa perbedaan kelompok dan golongan untuk melakukan ritual bersama dengan melantunkan puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka dipersatukan dalam suasana suci, yang pada akhirnya suasana itu akan terbawa dalam kehidupan masyarakat, menjadi orang yang santun dan lemah lembut seperti yang dicontohkan dalam ajaran Islam.

Mekanisme pengelolaan keragaman budaya juga muncul dalam masyarakat, dengan adanya tradisi yang berkembang di

27

sana, seperti adanya anak angkat bagi warga pendatang, resepsi pernikahan, dan sebagainya. Dan, yang paling efektif adalah adanya perkawinan campuran antar etnis di Kuala Tungkal, sehingga dengan adanya perkawinan campuran ini mereka menjadi membaur menghilangkan ego etnisitas masing-masing.

Setelah memamparkan pengelolaan keragaman budaya di Kota Kuala Tungkal dengan segala persoalannya, maka pada bab berikutnya kita akan melihat bagaimamanakah pengelolaan keragamaan budaya di wilayah Kota Pontanak. Dengan membandingkan antara keduanya, nantinya akan diharapkan diperoleh model pengelolaan keragaman budaya yang lebih komprehensif.

28

BAB III PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA

DI PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT

1. Profil Wilayah Penelitian

Bagian ini ingin memaparkan secara garis besar tentang wilayah penelitian di Pontianak Ibukota Kalimantan Barat. Berdirinya kota Pontianak mempunyai sejarah yang panjang. Pada awalnya didirikan oleh Syarif Aburrahman Alkadrie yang membuka Kota Pontianak pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan Pontianak. Sebutan untuk Pemerintah Kota Pontianak dikukuhkan oleh berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang merubah sebutan untuk Pemerintah Tingkat II Pontianak menjadi Pemerintah Kota Pontianak.

Pontianak merupakan kota dengan masyarakat multietnis yang mempunyai keberagaman budaya sangat kaya. Posisi Pontianak sejalur dengan Malaka, Singapura dan Batavia pada masa lampu sangat strategis sebagai jalan perdagangan terbuka terhadap etnis pendatang. Letaknya yang berada dalam lalu lintas perjalanan laut antara Semenjung Melayu, Sumatera dan Jawa dimungkinkan menjadi tempat persinggahan beragam etnis.

Mengalirnya Sungai Kapuas yang berkelok-kelok dengan berdirinya pemukiman, dan perkampungan di pinggir sungai dengan lebar kurang lebih 400 meter menjadi pemandangan yang sangat indah. Kota Pontianak menjadi semakin semarak dan hidup karena lewat jalur sungai itu menjadi sarana transportasi untuk jalur perdagangan.

Kota Pontianak yang berada diketinggian antara 0,8 sampai 1,5 m dari permukaan air laut membuat kota tersebut rawan banjir. Ketika air laut pasang maka wilayah darat sering tergenang air, untuk itu diciptakan parit-parit yang berfungsi sebagai penyalur banjir yang melingkari setiap sudut kota. Kurang lebih terdapat 33 parit yang yang memberikan kesan bahwa kota Pontianak adalah kota air. Parit-parit ini seringkali digunakan oleh masyarakat untuk keperluan mandi, mencuci dan menggosok gigi, padahal airnya

29

keruh dan kotor. Fungsi parit lainnya adalah sebagai sarana transportasi yang menghubungkan daerah pemukiman dengan daerah pertanian dan pemasaran komoditi perdagangan. Pada masa lalu parit berfungsi untuk menahan serangan musuh yang datang dari luar, sehingga tidak secara langsung menyerang pusat kota.

Kondisi lahan di Pontianak berawa-rawa dengan tanah gambut, yang kurang subur untuk pertanian, di sini orang relatif sulit untuk mendapatkan air bersih, biasanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih itu lalu digunakan air hujan, di dalam perumahan penduduk terdapat genthong-genthong penampung air hujan.

Pontianak disebut juga sebagai Kota Katulistiwa karena dilewati oleh garis khatulistiwa, yaitu dalam posisi 0º02’24’’ LU sampai 0º05’37’’ LS dan 109º16’25” BT sampai 109º23’24” BT. Untuk itu telah di bangun tugu katulistiwa. Di tempat ini dapat dilihat peristiwa kulminasi matahari, yaitu kejadian ketika matahari tepat segaris dengan posisi tempat orang berdiri yang biasanya terjadi pada tanggal 21-23 September pada pukul 11.49. Sambil menunggu peristiwa tersebut biasanya diadakan serangkaian acara kesenian yang seringkali dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun mancanegara (Purwana:2004;7).

Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut data statistik dari BPS tahun 2000 berjumlah 464,534 jiwa. Komposisi tersebut sebagai berikut: populasi etnis Dayak 21.449 jiwa; etnis Melayu berjumlah 143.348 jiwa; etnis Cina 106.897 jiwa; etnis Jawa 65,269 jiwa; etnis Madura 47,495 jiwa; etnis lainnya, yang terdiri dari etnis Bugis, Banjar, serta warga negara asing berjumlah 73,496 jiwa.

Penduduk Kota Pontianak mempunyai kelompok-kelompok sosial berdasarkan atas komunitas etnis. Komunitas etnis Dayak menempatkan dirinya sebagai kelompok sosial yang menekankan aspek sosio-kultural banyak tinggal di daerah alur Sungai Ambawang. Komunitas etnis Melayu, Bugis, dan Arab adalah kelompok sosial yang identik dengan penganut Agama Islam lebih menekankan pada aspek sosio-historis dan menetap di sekitar kompleks Keraton Kadriyah. Sedangkan komunitas Cina merupakan satu kesatuan sosial ekonomi, tinggal di luar kompleks keraton dan sebagian dari mereka tinggal di kompleks ruko yang berada di daerah yang strategis untuk berdagang. Kota Pontianak

30

adalah wilayah dengan masyarakat mulitikultur yang meng-embangkan kehidupan sosial perkotaan. Budaya kontemporer mulai berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang terlihat dalam gaya hidup anak-anak mudanya.

2. Komunitas-komunitas etnis di Kota Pontianak

Tulisan berikut ini ingin menguraikan tentang sekilas sejarah, karakter dan kehidupan sosial budaya suku-suku yang ada di Pontianak

a. Komunias etnis Dayak

Komunitas etnis Dayak di Kalimantan Barat menduduki tempat tertinggi, yaitu kurang lebih 33 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan di Kota Pontianak, populasi mereka lebih kecil dibandingkan dengan komunitas orang Melayu, Jawa dan Madura.

Menurut perkiraan, orang Dayak termasuk dalam kelompok Proto Melayu. Mereka seringkali di sebut sebagai suku asli Kalimantan yang berasal dari daratan Cina Selatan (sekarang Yunan). Mereka mengembara melalui Indo Cina ke Jazirah Malaysia kemudian memasuki pulau-pulau di Nusantara dengan tujuan untuk membuka lahan untuk bercocoktanam dan mengolah sumber daya alam yang ada.

Gelombang kedua yang datang ke wilayah Kalimantan adalah kelompok Deutro Melayu, mereka bermukim di pinggir pantai yang pada waktu itu dihuni oleh komunitas orang Dayak. Istilah Dayak mula-mula digunakan oleh orang Melayu untuk menyebut kelompok penduduk asli di Kalimantan. Pada akhirnya kelompok orang Dayak ini tergusur ke arah pedalaman. Mereka terdesak ke pedalaman dengan semakin banyaknya kelompok orang yang datang ke Kalimantan. Komunitas etnis Dayak dahulu menganut kepercayaan asli nenek moyang yang bersifat animistis. Secara prinsipil mereka mempercayai adanya Kekuasaan Yang Maha Tinggi. Di antara mereka ada yang memeluk agama Islam dan sebagian besar lagi beragama Kristen. Bagi orang Dayak yang beragama Islam, mereka cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan orang Melayu. Namun, bagi orang Dayak yang beragama Kristen mereka tetap disebut sebagai orang Dayak.

31

Pada masa lalu Kesultanan Melayu dan penjajah Belanda sempat meminggirkan mereka. Orang Dayak dianggap sebagai anak negeri yang tidak diperbolehkan bekerja di sektor administrasi Kesultanan.

Menurut data yang diperoleh dari Institut Dayakologi, kelompok etnis Dayak lebih kurang teridiri dari seratus sub etnis. Pada umumnya komunitas-komunitas etnis Dayak mempunyai simbol kultural-magis etnis yakni burung Enggang, dalam kepercayaan orang Dayak pada masa lalu burung Enggang dianggap simbol dari “Dunia Atas”, suatu tempat bersemayamnya makhluk adi kodrati yang menguasai kehidupan manusia. Burung Enggang hinggap di pohon, pepohonan dalam wujud berupa hutan dianggap basis kehidupan material manusia Dayak. Hutan dan tanah bagi msyarakat Dayak merupakan aset terpenting baik untuk menunjang aktivitas kehidupan ritual, maupun kultural.

Kehidupan sosial komunitas Dayak ditandai oleh rasa solidaritas dan kekerabatan yang sangat tinggi serta penghargaan yang kuat terhadap garis keturunan. Dahulu mereka hidup dalam komunitas kecil di rumah betang atau rumah panjang. Ada beberapa karakter orang Dayak, mereka suka berbagi kemujuran dengan sesama, demokratis dan menjunjung tinggi kebersamaan dan musyawarah, hormat kepada alam dan lingkungan hidupnya. Mereka tidak suka kekerasan, bagi mereka musuh adalah yang menyerang secara fisik. Mereka kurang pandai menabung dan merencanakan masa depan, manja kepada alam, tidak mengenal sistem dagang, suka merendahkan diri, gampang iri hati kepada orang sesuku dan mudah tersinggung kalau menyangkut suku dan adat, menghormati tamu secara berlebihan, kejujuran dan kepolosan, mudah ditipu (Pratikno dkk, 127:2001). Masyarakat Dayak pada masa lalu mengenal tradisi mengayau, suatu tradisi pemenggalan kepala atas dasar pencarian eksistensi diri. Selain itu ada tradisi mangkok merah, yaitu: media komunikasi untuk menjalin solidaritas khususnya dalam hal minta bantuan komunitas orang Dayak lainnya untuk menghadapi musuh bersama. Tradisi mangkok merah sering dianggap sebagai mekanisme sosial untuk memobilisasi massa dalam situasi perang.

32

b. Komunitas etnis Melayu

Populasi orang Melayu menduduki peringkat tertinggi di Pontianak dengan jumlah penduduk 143,348 jiwa apabila dibandingkan dengan populasi komunitas-komunitas etnis lainnya. Nama Melayu berasal dari nama Kerajaan Mo Lo Yue yang berdiri di Jambi pada abad ke 8. Orang Melayu ini menurut perkiraan berasal dari Deutro Melayu yang melakukan migrasi dari Yunan. Proses terbentuknya etnis Melayu adalah karena pengaruh penyebaran agama Islam masuk ke Sumatera dan Semenanjung Malaka lalu berpindah ke Kalimantan.

Gambaran umum tentang orang Melayu adalah sekelompok orang yang menggunakan bahasa Melayu serta menjalankan adat istiadat dan tradisi Melayu. Hal yang paling penting dalam membedakan komunitas Melayu dan komunitas selain Melayu adalah orang Melayu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Islam. Kecenderungan pengidentifikasian orang Islam sebagai orang Melayu ini juga berlaku pada komunitas etnis lainnya di Pontianak. Orang Cina dan Dayak yang beragama Islam dianggap sebagai orang Melayu. Sebagian tokoh komunitas Melayu di Pontianak bergabung dalam organisasi paguyuban yakni MABM (Majelis Adat Budaya Melayu).

Mata pencarian orang Melayu baik di pedalaman maupun di pesisir mempunyai karakteristik yang sama, yaitu mereka menggantungkan diri pada hasil laut, menangkap ikan dan sumber daya laut lainnnya. Di pedalaman mereka menggantungkan hidupanya pada berburu, hasil tangkapan ikan di sungai.

Dengan bekal pendidikan mereka memasuki sektor-sektor pemerintahan, jasa dan perdagangan. Sebagian besar mereka mengandalkan sektor pertanian, perekebunan dan aktivitas mencari ikan. Sedangan yang kurang mengenyam pendidikan dan tidak memiliki lahan garapan, biasanya bekerja sebagai buruh, tukang becak dan tukang sampan.

Menurut Pratikno, dkk dalam kehidupan sosial orang Melayu mempunyai pandangan tidak memisahkan antara tradisi, adat-istiadat dengan Agama Islam. Gambaran sifat orang Melayu dapat terlihat dari ungkapan, raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah. Mereka selalu berpijak pada Tuhan Yang Maha Esa. Orang Melayu mementingkan penegakan hukum, mengutamakan

33

budi bahasa, pendidikan dan ilmu pengetahuan, menjunjung tinggi budaya malu, mengedepankan musyawarah dan mufakat, ramah dan terbuka kepada tamu, namun mereka juga mempunyai sifat melawan jika terdesak (Pratikno, dkk, 127:2001).

c. Komunitas Etnis Cina

Komunitas etnis Cina merupakan komunitas etnis terbesar kedua di Kota Pontianak sejumlah 106.897 jiwa, setelah populasi komunitas etnis Melayu. Neenk moyang orang Cina diduga datang ke Kalimantan Barat bersamaan dengan ramainya perdagangan di Selat Malaka. Sedangkan, menurut data arkeologis di Kalimantan Barat telah ditemukan mangkok, cangkir, pot dan meja dari keramik yang bermotif Cina buatan abad XIII, yaitu pada masa dinasti Ming 1368-1644. Karena itu menjadi bukti bahwa pada abad ke-13 telah terjadi kontak orang Cina ke Kalimantan Barat. Menurut X.F Asali, yang mengutip pendapat JU Lontaan mengatakan bahwa pada abad II dan IV, misalnya pelaut Cina berlayar ke Nan Yang (Samudra Selatan) dan salah satu tempat berlabuhnya adalah wilayah Sie Po Lo Cou atau West Borneo. Pada abad VII hubungan antara Cina dengan West Borneo sering terjadi, bahkan perantuan Cina sudah menetap. Di paparkan juga bahwa pada 1294 pasukan Khubilai Khan dalam perjalanan ke Jawa sempat singgah di Pho Lo Cou/ Pulau Borneo. Pasukan TarTar ini ketika kalah dalam peperangan di Pulau Jawa saat melawan Raden Wijaya (Kerajaan Majapahit) ada yang tidak berani pulang ke negerinya dan melarikan diri hingga menetap di West Borneo Sedangkan kedatangan orang Cina ke Kalbar, yang merupakan migrasi yang bertujuan mengadu nasib dengan mencari pertambangan emas serta membuka hutan untuk dijadikan pertanian dan perkebunan terjadi pada tahun 1772 yang dipimpinin oleh Lo Fong dengan membawa sekitar seratus lelaki bujangan. (Asali, 2: 2008). Di antara mereka banyak yang melakukan perkawinan campuran terutama dengan orang Dayak.

Komunitas etnis Cina di Pontianak mempunyai tradisi Cap Go Meh dengan menampilkan Barongsai dan Arak-Arakan Naga serta atraksi para Tatung yang memperlihatkan kekuatan supranatural yang digelar tiap tahun pada 15 hari sesudah Imlek.

34

Warga komunitas etnis Cina di Pontianak kebanyakan beragama Budha, Kong Hu Cu, Kristen dan sebagian kecil mereka menganut agama Islam. Orang Cina mempunyai kecakapan dalam perdagangan mempunyai kehidupan perekonominan yang cukup baik. Namun, diantara mereka juga ada yang melakukan pekerjaan kasar, menjadi pedagang kaki lima, dan bahkan tukang becak.

Pada masa Orde Baru banyak kebijakan pemerintah yang bersifat deskriminatif terhadap orang Cina diantaranya adalah Instruksi Presiden No 14 th 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat Cina, yang membatasi ruang gerak warga komunitas Cina dalam melakukan ekspresi identitas kelompoknya. Demikian pula dalam kehidupan politik terdapat kebijakan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun 1988 tentang penataan Klenteng, serta pemberlakuan SBKRI sebagai surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia. Sedangkan pada masa pemerintahan Gus Dur, dengan adanya Instruksi Presiden No 6 tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 maka orang Cina diberikan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia.

Sejak saat itu warga komunitas Cina mulai terbuka dalam berbagai kesempatan dalam beberapa profesi seperti dalam birokrasi dan pemerintahan. Pada saat ini telah terdapat warga Cina yang memasuki profesi seperti TNI/Polri, maupun di lembaga legislatif. Di antara mereka juga menduduki profesi sebagai dokter dan para medis, tenaga akademisi di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Dan pada saat ini banyak dari warga komunitas etnis Cina yang menjadi pimpinan daerah, seperti wakil gubernur Kalimantan Barat, diantara mereka banyak yang menjadi Bupati dan Walikota, sedangkan hampir di semua DPRD Kabupaten dan Kota se-Kalimantan Barat telah banyak diisi oleh orang Cina.

Untuk mengungkapkan kebebasan berekspresi dalam kegiatan berserikat dan berkumpul itu, komunitas etnis Cina membentuk organisasi MABT (Majelis Adat Budaya Tionghoa), dengan adanya organisasi ini warga komunitas Cina turut serta dalam partisipasi aktif dalam pembangunan daerah. Orang-orang Cina sebenarnya lebih senang menyebut dirinya sebagai orang Tionghoa.

Pada umumnya orang Cina dikenal sebagai orang yang ulet dan tangguh dalam perekonomian. Mereka juga terkenal sebagai

35

pedagang yang jujur, dan hemat. Namun, terkadang mereka cenderung eksklusif. Orang Cina sangat menghormati leluhur dan tradisi serta adat istiadat mereka. Mereka juga dikenal mempunyai ikatan yang kuat dalam hal persaudaraan dengan sesama etnis.

d. Komunitas Etnis Jawa

Komunitas etnis Jawa di Kota Pontianak merupakan komunitas etnis dengan jumlah 65,269 jiwa, terbesar ketiga setelah komunitas etnis Cina. Populasinya melebihi populasi komunitas Dayak, Madura dan Bugis. Menurut perkiraan orang Jawa telah ada di Kalimantan Barat semenjak adanya kontak Kerajaan Majapahit dengan kerajaan yang berada di Kalimantan Barat.

Pada masa kolonial Belanda, orang Jawa memang diberikan kesempatan untuk bermigrasi ke Kalimantan Barat, karena tanahnya masih terbuka luas untuk pemukiman dan pertanian. Kedatangan orang Jawa sangat menguntungkan karena ketrampilan orang Jawa dalam hal pertanian sangat berguna untuk ditularkan kepada orang Melayu. Orang Jawa dikenal sebagai para pekerja yang pandai, trampil, dan ulet. Mereka mempunyai kemampuan adaptif dan toleransi yang tinggi. Mereka tidak suka dengan konflik yang terbuka. Orang Jawa mempunyai sifat lebih mengutamakan kerukunan dan kebersamaan, serta menerapkan sopan santun dan menghargai sesama. Orang Jawa sangat menghargai kesenian, utamanya mereka senang sekali menonton pertunjukkan wayang.

e. Komunitas Etnis Madura

Populasi orang Madura di Pontianak menduduki peringkat kelima dengan jumlah 47,495 jiwa, jumlah mereka lebih besar dari populasi orang Dayak dan di bawah populasi orang Jawa. Menurut perkiraan orang Madura datang ke Kalimantan Barat dalam dua gelombang. Gelombang pertama diperkirakan datang pada abad ke 13, mereka hidup dalam sektor pertanian.

Gelombang kedua adalah mereka yang berpindah ke Kalimantan Barat karena keterpurukan ekonomi. Mereka yang datang ini kebanyakan berpendidikan rendah dan bahkan tak jarang buta huruf, sifat-sifat mereka sangat emosional dan bertemperamen tinggi. Namun dalam sektor pekerjaan, mereka dikenal sebagai

36

pekerja keras dan ulet. Mereka bekerja selain di sektor pertanian juga di sektorinformal seperti pekerja kasar, tukang becak, buruh, pedagang asongan, dan kuli pelabuhan.

Orang Madura mempunyai budaya carok, untuk mempertahankan harga diri, mereka dapat melakukan perkelahian dengan senjata (clurit). Penyelesaian masalah seperti secara tradisional ini dahulu berlaku dalam masyarakat Madura. Orang Madura mempunyai prinsip dalam penyelesaian masalah yaitu, ka tembang pote mata, ango’a pote tolang (daripada menanggung malu lebih baik mati).

Solidaritas diantara mereka sangat kuat terutama dalam pembelaan terhadap keluarga. Mereka juga dikenal sebagai orang yang sangat mengormati tamunya, mereka akan menjaga dan menghormati tamunya, jangan sampai orang lain mengusiknya, kalau ini terjadi maka akan berakibat buruk dalam hubungan sosial dengan mereka.

Orang Madura pada umumnya beragama Islam, mereka sangat segan dan hormat pada kyai yang dipandang sebagai figur utama dalam masyarakat. Rasa keagamaan mereka yang kuat terlihat dalam mampir di setiap perkampungan orang Madura terdapat masjid atau musholla.

f. Komunitas Etnis Bugis

Kedatangan kelompok orang Bugis datang ke Kalimantan Barat dapat dibagai menjadi tiga tahap, gelombang pertama adalah akibat dari peperangan antara Hasanuddin dengan pemerintah Kolonial Belanda, di Sulawesi Selatan khususnya di Kerajaan Goa dengan adanya perjanjian Bungaya. Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Kerajaan Goa, para pedagang-pedagang Bugis lalu menyebar ke Nusantara, salah satunya mereka bermigrasi ke Kalimatan Barat. Gelombang ke dua datang pada akhir tahun 1946 awal tahun 1947 dengan adanya genocide yang dilakukan oleh Kapten Westerling yang memakan korban banyak, maka mereka merasa terancam lalu bermigrasi, salah satunya adalah di Kalimantan Barat. Ketiga, pada tahun 1950 ketika terjadi pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar, demi keamanan di antara orang Bugis banyak yang bermigrasi ke luar daerahnya.

37

Mata pencaharian orang Bugis di Pontianak terdapat dalam banyak sektor kehidupan. Pada umumnya orang Bugis bekerja di bidang pertanian dan nelayan.. Dengan dua sektor pekerjaan tersebut orang Bugis adalah para petani yang telaten dan para pelaut yang cekatan. Pada awalnya banyak orang Bugis yang menjadi tuan tanah. Namun, tanah mereka banyak yang di jual kepada etnis Cina. Mereka juga banyak yang menjadi pegawai negeri dan pegawai swasta dan pedagang. Di samping itu terdapat orang Bugis yang bekerja sebagai pedagang dan saudagar. Secara umum orang Bugis di Pontianak sudah mengalami pembauran, mereka banyak mengadakan perkawinan campuran. Bahkan, seringkali di antara keturunan Bugis mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu karena persamaan Agama Islam.

3. Interaksi Budaya

Masing-masing komunitas etnis yang beragam itu mempunyai ciri khas dalam budaya mereka. Dalam keberagaman tersebut mereka melakukan interaksi budaya, yaitu hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Berdasarkan penelitian di Kota Pontianak dalam interaksi budaya antarkomunitas etnis tersebut paling tidak terdapat hubungan keterkaitan antara budaya dan ekonomi, budaya dan identitas etnis, budaya dan politik, dan budaya dan agama.

a. Perekonomian dan Mata Pencaharian

Sejak lama di Kota Pontianak terjadi hubungan timbal balik diantara komunitas-komunitas etnis dalam aspek perekonomian. Masing-masing warga komunitas etnis mengembangkan ketrampilan khusus dalam hal mata pencaharian. Orang Jawa pada awal kedatangannya mempunyai peran penting dalam mengajarkan ketrampilannya dalam pertanian; orang Cina dalam hal perdagangan, dan orang Bugis dalam hal perkebunan dan penangkapan ikan. Di satu sisi terlihat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan di antara komunitas-komunitas etnis dalam aspek ekonomi. Namun, di sisi lain hubungan ini seringkali menimbulkan konflik diantara komunitas-komunitas etnis yang berkepentingan.

38

Dalam beberapa kasus tampak terjadi penguasaan beberapa sektor perekonomian yang didominasi kelompok etnis tertentu.

Tempat yang paling intens untuk melihat interaksi budaya dalam hal perekonomian adalah pasar. Di Pontianak banyak terdapat pasar tradisional maupun pasar modern, seperti Mall, dan Supermarket.

Mall tidak hanya menjadi pusat transaksi pertemuan antara penjual dan pembeli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mall mempunyai fungsi dalam interaksi budaya, yaitu bertemunya budaya modern yang berpengaruh dalam pola dan gaya hidup masyarakat lokal. Budaya modern itu dapat dilihat dalam mall yang mempunyai fungsi rekreatif. Mall terdapat arena bermain anak-anak, seperti game dan permainan modern yang memanfaatkan teknologi elektronik lainnya. Namun, di dalam mall juga terdapat banyak makanan-makanan dengan merk asing, seperti Kentucky Fried Chicken, makanan khas Amerika, ada lagi beberapa jenis makanan seperti Hot Dog, Humbergur, dan sebagainya.

Mall juga mempunyai fungsi untuk mengungkapkan ekspresi dan gaya hidup sebagai tempat mangkal kaum muda di Kota Pontianak. Mall dipakai sebagai ajang pertemuan antara anak muda untuk sekedar mejeng dan kumpul-kumpul serta nongkrong. Dengan dandanan pakaian mereka yang khas, sepatu kats, rambut disemir merah dan anak laki-laki terlihat ada yang pakai anting-anting. Di antara remaja putri tampak berpakaian ketat, dengan menonjolkan belahan dada, serta mengenakan celana panjang yang tampak kelihatan sebagian celana dalamnya, suatu dandanan yang sangat modis. Anak-anak muda ini tampak ceria dan suka cita, bercanda dengan sebayanya.

Selain pasar yang bersifat modern di Kota Pontianak juga terdapat pasar tradisional. Pasar tradisional ini biasanya terletak di wilayah-wilayah pinggir sungai sebagai tempat sarana transportasi warga masyarakat. Seperti pasar tradisional Tanjungpura, di dalam pasar ini berinteraksi warga dari beragam komunitas etnis di Kota Pontianak. Mereka berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lainnya, dipersatukan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama.

Di dalam pasar tradisional ini masih dapat ditemui beberapa jajanan dan minuman tradisional, seperti jamu gendong, jamu tradisioal yang terkenal dari Jawa. Di dalam pasar tradisonal ini

39

tidak hanya sekedar bertemunya pedagang dan pembeli saja. Di dalam pasar tradisioanal ini bisa dimanfaatkan untuk kepekaan rasa dengan melihat sisi-sisi humanis kehidupan manusia. Seorang ibu yang dengan setia menawarkan dagangannya kepada pembeli. Fenomena ini menggambarkan sisi humanis ketika sang ibu itu berupaya keras untuk mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya.

Pasar sebagai tempat transaksi barang dan jasa juga tidak terlepas dengan nuansa religius. Tempat ibadah di pasar menjadi bagian yang sangat kondusif untuk menciptakan sebuah hubungan sosial yang sehat. Dalam mencari kehidupan ekonomi setiap orang diingatkan agar tetap sesuai dengan norma-norma kebaikan yang diperintahkan oleh agama. Di Pasar Tanjungpura terdapat Masjid Al Falah dan berdiri Klenteng yang letaknya saling berdekatakan. Di antara para pemeluknya, baik yang beragama Islam maupun non Islam merasa tidak ada yang terganggu. Mereka semua hidup berdampingan di sela-sela kesibukan mereka berdagang di pasar.

b. Budaya dan Identitas Etnis

Ada anggapan umum bahwa masing-masing komunitas etnis mengembangkan identitasnya masing-masing. Mereka mempunyai karakter yang khas, seperti orang Madura dikenal dengan budaya carok, atau Bugis dengan budaya siri’. Stigma itu sangat melekat sehingga seakan-akan tidak ada kemungkinan untuk melepaskan identitas tersebut. Di Kota Pontianak tampak bahwa masing-masing komunitas etnis mengembangkan identitas kelompok mereka. Namun, dipihak lain mereka membuka diri untuk terjadinya akulturasi budaya dengan etnis lain. Pengukuhan identitas etnis dapat ditelusuri dalam seni, tradisi, dan adat kebiasaan yang terpelihara oleh masing-masing komunitas etnis. Pengukuhan identitas etnis terlihat juga dengan muncul dan berkembangnya institusi pendidikan dengan anak didiknya mempunyai ciri khas sosial budaya yang homogen. Pengukuhan identitas etnis tampak pula dari munculnya organisasi-organisasi massa seperti, MAD (Majelis Adat Dayak), MABM (Majelis Adat Budaya Melayu dan MABT (Majelis Adat Budaya Tionghoa), termasuk para elit politiknya turut mengembangkan dan mengukuhkan identitas komunitas etnis masing-masing.

40

Pengukuhan identitas ini terlihat juga dengan cara hidup komunitas etnis yang mengelompok, seperti orang Cina yang hidup dalam komunitas mereka sendiri dengan memelihara tradisi dan adat khas mereka. Demikian pula dengan orang Madura, Melayu dan Dayak mereka tersekmentasi dalam pemukiman para etnis dengan memelihara tradisi masing-masing. Sedangkan, adanya keterbukaan terhadap budaya dari komunitas etnis lain tampak dari terjadi perkawinan campuran, misalnya antara etnis Bugis dengan Melayu atau Melayu dengan Dayak. Keterbukaan dengan budaya etnis lain, misalnya juga kita bisa lihat adanya seseorang dalam etnis tertentu mengidentikan diri dalam etnis yang berbeda, seorang keturunan Bugis misalnya seringkali di samping menganggap sebagai orang Bugis tetapi juga sebagai orang Melayu.

Ada fenomena dari komunitas etnis Madura mulai mengendur identitas etnisnya setelah pasca kerusuhan, misalnya dalam hal penampilan, dan cara berpakaian. Mereka lalu mengidentikkan diri dengan tradisi budaya kontemporer, dengan rambut disemir merah dan pakai anting-anting bagi para pemudanya. Ada kecenderungan mereka mulai menanggalkan tradisi etnis Madura seperti cara berpakaian dan perilakunya.

Identitas etnis grup dapat pula terlihat dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti silaturahmi sehabis lebaran baik Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha; ketika ada upacara perkawinan; khitanan atau haul (ulang tahun) paguyuban. Pada saat itu unsur-unsur budaya etnis yang bersangkutan tampil dengan nuansa kedaerahan yang sangat kental, misalnya penggunaan bahasa daerah, busana daerah, makanan dan kesenian daerah melengkapi pertemuan etnis.

Kegiatan secara bersama-sama diantara beberapa warga dari komunitas etnis yang berbeda tampak dalam kehidupan sosial di Pontianak. Orang Melayu memiliki kegiatan yang melibatkan banyak orang, pada peristiwa yang sifatnya sosial keagamaan, misalnya mengundang tetangga yang mempunyai kesamaan akidah, mengundang warga pendatang untuk menghadiri perhelatan dan bersama-sama melakukan kegiatan sosial lainnya. Kegiatan bersama antar warga dari berbagai komunitas etnis juga dapat kita lihat dengan acara olahraga bersama-sama, membersihkan lingkungan atau siskamling untuk mengamankan lingkungan.

41

Ada penanda identitas etnis yang mencolok di Pontianak, yaitu seringkali mengidentikkan orang yang memeluk agama Islam dengan Melayu. Orang Bugis, atau lainnya yang beragama Islam juga mengidentikkan dirinya dengan orang Melayu. Bahkan, bagi orang Dayak yang memeluk agama Islam juga mengidentikkan dirinya sebagai orang Melayu.

Identitas Melayu dapat kita lihat dari kesenian Melayu baik yang berbentuk tarian, nyanyian, silat dan theater harus mengacu dan mengandung nilai-nilai Islami. Kesenian Melayu dalam berbagai bentuk banyak dipergelarkan dalam berbagai kesempatan seperti silaturahmi dan halal bi halal selepas lebaran, haul/ulang tahun Majelis, atau tampil ketika mendapat undangan dari pemerintah daerah. Kesenian Melayu sudah tentu didukung oleh komunitas etnis Melayu namun tidak jarang melibatkan warga dari komunitas etnis lain baik secara aktif atau hanya sebagai penonton.

Komunitas etnis Melayu mempunyai agenda tetap setiap tahun untuk melaksanakan festival kebudayaan Melayu. Demikian juga Robo-robo atau napak tilas perjalanan Daeng Manambo di Mempawah selalu dilaksanakan setiap hari Rabu akhir bulan Sapar. Sebagai sebuah tradisi, Robo-robo juga menunjukkan sebuah pengakuan dari orang Melayu terhadap eksistensi pendiri Kerajaan Mempawah (sekalipun dia berasal dari Wajo-Sulawesi Selatan). Sebuah bukti bahwa kerukunan atau penghormatan kepada komunitas etnis tertentu, bisa lahir dari sebuah tradisi.

Dalam kehidupan tradisi yang banyak melibatkan banyak warga adalah tradisi Dayak yang selalu melakukan upacara naik dango, upacara yang dilangsungkan di kalangan Dayak juga menjadi tontonan bagi etnis lainnya.

Pengukuhan identitas orang Cina di Pontianak dapat dilihat dari tradisi Cap Go Meh yang dilaksanakan setelah 15 hari sesudah Imlek, hari Raya Cina. Dalam tradisi ini ditampilkan arak-arakan Naga, dan atraksi para Tatung yang dalam keadaan trance mempunyai kekuatan supranatural seperti berdiri di atas mata pedang yang tajam; menusuk-nusuk tubuh mereka dengan pedang atau menusuk pipi mereka sehingga tembus di kedua sisinya. Dalam acara ini pun juga terbuka bagi warga dari komunitas etnis lain untuk melakukan partisipasi. Orang-orang Melayu biasanya juga mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam arak-arakan naga. Dalam acara Cap Go Meh di Singkawang pada tahun 2008

42

tahun ini tampak pula dari orang Melayu dan Dayak yang tampil menjadi Tatung.

c. Agama dan Keyakinan

Agama dan budaya seringkali dipertentangkan. Namun, di sisi lain telah terjadi sinergi antara agama dan budaya, seperti ungkapan adat bersendi sarak, sarak bersendikan kitabullah. Keduanya saling menguatkan bahwa adat itu harus mempunyai sumber pandangan hidup dari nilai-nilai agama. Di Kota Pontianak, diantara etnis itu terjadi partisipasi dalam hal tradisi, dalam acara Cap Go Meh, Etnis Melayu dan Bugis misalnya berpartisipasi dalam arak-arakan Naga, sebagian lagi ada yang bersedia menjadi Tatung (pelaku dalam acara Cap Go Meh yang kerasukan roh sehingga tubuhnya menjadi kebal terhadap segala senjata tajam). Mereka tidak mempersoalkan bahwa budaya Cina ini berkaitan dengan ritual agama. Namun, partisipasi mereka ini telah menimbulkan sikap yang kontra dari MUI (dalam kasus di Singkawang terdapat Tatung yang berpakaian muslim), karena dianggap bahwa acara Cap Go Meh merupakan bagian dari ritual keagaaman orang Cina, maka orang Islam diharamkan berpartisipasi dalam ritual tersebut. Keyakinan agama tertentu mempersatukan keberadaan beberapa komunitas etnis, seperti Bugis, Dayak yang telah memeluk agama Islam lalu mengidentikan dirinya menjadi warga komunitas Melayu. Agama Islam dapat diterima oleh sebagian orang Dayak meskipun dengan konsekuensi mereka yang berpindah agama itu harus menanggalkan identitas budaya Dayak yang melekat padanya. Sedangkan orang Dayak yang memeluk agama Kristen tetap mengidentikkan diri sebagai orang Dayak. Dalam kehidupan beragama di Kota Pontianak cukup kondusif, orang dari berbagai komunitas etnis saling terjadi toleransi satu dengan yang lain. Orang-orang Melayu juga mempunyai toleransi terhadap sikap hidup dan tradisi masyarakat Dayak, sebagai sebuah keyakinan yang mereka anut terbatas di kalangan mereka sendiri. Dalam sebuah pertemuan yang melibatkan orang Melayu dan Dayak misalnya, warga Melayu mulai menyadari misalnya minum arak itu merupakan bagian dalam adat Dayak, maka tidak lalu serta merta mengecam perbuatan mereka itu adalah

43

haram. Namun, bagi orang muslim sendiri perbuatan minum-minuman keras itu dilarang oleh agama, maka bagi orang Melayu yang beragama Islam hal tersebut diharamkan.

d. Budaya dan Politik

Dalam interaksi budaya di Kota Pontianak itu tampak telah terjadi pula hubungan antara budaya dan politik. Dalam politik aspek pemegang kekuasan mempunyai peranan yang penting dalam mengatur budaya masyarakat. Seperti dikeluarkan SK Walikota Pontianak No. 127 tahun 2008 tentang jual beli, pemasangan petasan dan pelaksanaan arakan naga, barongsai dalam wilayah Pontianak. SK ini memperlihatkan campur tangan penguasa terhadap ekspresi budaya warganya. Hal ini menimbulkan sejumlah pendapat yang pro dan kontra dalam masyarakat yang telah menimbulkan sedikit ketegangan antar komunitas etnis yang berkepentingan.

Untuk menanggapi SK Walikota itu terdapat peristiwa Deklarasi Melayu Bersatu, yang menyatakan mendukung SK Walikota tersebut. Mereka setuju dengan keputusan itu, karena dirasakan bahwa acara Cap Go Meh dengan melakukan Arak-Arakan Naga itu melanggar ketertiban umum, karena jalan-jalan sebagai sarana transportasi umum menjadi macet. Sedangkan mereka yang kontra terhadap Surat Keputusan Walikota merasa bahwa telah terjadi diskriminasi penguasa terhadap pendukung budaya Cina. Mereka mempunyai alasan bahwa SK Walikota ini telah memutus tradisi mereka dari akarnya, mereka berpendapat tidak mungkin Arak-arakan Naga itu dilokalisir di suatu tempat karena dalam tradisi itu terkandung makna dan filosofi yang mendalam, dalam arak-arakan itu harus melakukan ritual di klenteng-klenteng yang dilewatinya. Hal ini tidak mungkin untuk dilaksanakan kalau arak-arakan dilaksanakan di suatu tempat saja, maka orang Cina itu memboikot acara Cap Go Meh untuk tahun ini tidak diadakan di Pontianak. Acaranya kemudian dilaksanakan di Kota Singkawang. Dalam interaksi budaya itu, tampak pula bahwa budaya dan politik bisa saling menguatkan, hal itu dapat dilihat dari organisasi masa sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi dan ekspresi sosial budaya sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan agenda

44

politik. Di Kota Pontianak terdapat organisasi paguyuban berdasarkan identitas budaya kesukuan seperti MAD (Majelis Adat Dayak), MABM (Majelis Adat Budaya Melayu), dan MABT (Majelis Adat Budaya Tionghoa), namun dalam prakteknya organisasi ini cenderung menjadi basis politik identitas para elit politik. Keterkaitan antara organisasi masa dan politik tersebut justru telah menimbulkan ketegangan di antara warga dari berbagai komunitas etnis. Ketegangan di antara mereka itu dapat dilihat dari menguatnya identitas budaya Cina dan tampilnya tokoh-tokoh Cina dalam panggung politik Kalimantan Barat telah memicu resistensi di kalangan elit Melayu. Salah satu contohnya: ”pelarangan” pawai naga di Kota Pontianak dan upaya menggugat legalitas dan eksistensi organisasi paguyuban orang Cina oleh Barisan Umat Islam. Hubungan budaya dan politik dapat kita lihat pula dari upaya Barisan Islam untuk mempertanyakan legalisasi dan eksistensi Budaya Tionghoa. Upaya untuk menggugat keberadaan MABT oleh kelompok Barisan Umat Islam, telah membawa permasalahan ini kepada forum DPRD Kota Pontianak. DPRD melakukan fasilitasi terhadap kekuatan politik identitas etnis di Pontianak ini dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan pada tanggal 25 Februari 2005 di DPRD Kota Pontianak dengan turut diundang beberapa pakar dan dan akademisi dari Universeitas Tanjungpura, seperti pakar budaya, pakar sosial politik, dan pakar hukum. Dalam rapat itu pula turut mengundang Kesbanglimas; perwakilan dari Lembaga Melayu Pontianak, Perwakilan MABM, perwakilan MAD, dan Perwakilan MABT, serta beberapa Yayasan Sosial yang terkait dengan persoalan ini. Pada prinsipnya terdapat pertanyaan besar dari Barisan Umat Islam melihat keberadaan budaya Tionghoa di Kota Pontianak, yaitu apa beda antara kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan Cina? Barisan umat Islam menyatakan sebuah sikap bahwa kebudayaan Cina adalah milik RRC (Republik Rakyat Cina) yaitu bangsa Cina dan bukan milik bangsa Indonesia. Barisan Umat Islam melihat bahwa peluang kebebasan dan persamaan yang dibuka oleh pemerintah selama orde reformasi dimanfaatkan secara baik oleh orang Cina untuk melakukan konsolidasi diantara mereka terhadap seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk diantaranya dalam kehidupan politik dan dalam kehidupan

45

kebudayaan Cina yang selama masa Orde Baru mendapat penindasan. Kekhawatiran Barisam Umat Islam ini juga cukup beralasan karena jabatan dalam sektor-sektor penting di pemerintahan dan birokrasi tampaknya mulai muncul tokoh-tokoh Cina, misalnya Wakil Gubernur Kalimantan Barat adalah seorang Cina. Sedangkan dalam tingkat DPRD banyak terlihat wajah-wajah Cina mempunyai peranan menduduki wakil rakyat. Hubungan budaya dan politik di Kota Pontianak dapat dilihat dari upaya pemerintah Kota Pontianak membuat sebuah monumen yaitu dengan patung yang menggambarkan tiga suku bangsa di tengah-tengah kota yang meneguhkan tiga pilar budaya di Kota Pontianak, yaitu budaya Dayak, Melayu, dan Cina. Dengan adanya tiga pilar budaya dominan yang terdapat di Kota Pontianak itu, telah memicu kesan diskriminasi, karena seolah-olah mengabaikan keberadaan komunitas etnis lain sebagai penyangga hubungan sosial dan budaya di Kota Pontianak. Dalam sebuah iklim demokrasi dianggap kurang relevan mempersoalkan komunitas dan budaya etnis yang dominan dan kurang dominan. Setiap komunitas etnis mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam hal kebebasan dan perlakuan yang adil.

4. Integrasi dalam Hubungan Sosial

Integrasi sosial menunjukkan bahwa dalam interaksi budaya antar komunitas etnis itu telah terjadi komunikasi yang kondusif, seperti adanya kerukunan, toleransi, saling menghargai, mengembangkan sikap solider, saling percaya, dan sifat-sifat positif lain dalam hubungan sosial. Ada beberapa hal yang membuat etnis di sini hidup dalam kerukunan, saling menghargai dan toleransi.

Pasca konflik peristiwa berdarah beberapa tahun 1999 yang silam hubungan antarkomunitas etnis di Pontianak dapat dikatakan relatif damai. Masyarakat mulai menyadari bahwa tragedi kemanusiaan itu jangan sampai terulang kembali. Seluruh potensi yang ada di Kota Pontianak dihadapkan pada persoalan untuk mewujudkan suasana damai dan aman di Pontianak. Pemerintah, LSM, dan lembaga-lembaga terkait, serta tokoh masyarakat serta warga sendiri berupaya menciptakan suasana Kota Pontianak agar tetap damai dan aman.

46

Saat dilakukan penelitian di Kota Pontianak, beberapa orang narasumber mengatakan bahwa pada saat ini Kota Pontianak berada dalam kondisi sensitif terhadap konflik. Kondisi ini sebenarnya dipicu dengan adanya kondisi perpolitikan di Kota Pontianak yang semakin memanas. Namun, pakar politik dari Universitas Tanjungpura, Gusti Suryansah mengatakan bahwa situasi masyarakat yang sensitif konflik ini hanya sementara sampai menjelang pilkada nanti

Hal yang sama dikatakan oleh Sudarto, pakar pendidikan ini mengatakan bahwa dirinya justru sangat optimis melihat perkembangan Kota Pontianak sekarang ini. Pengalaman masa lalu, dengan terjadinya tragedi konflik antarkomunitas etnis yang mengerikan itu justru telah memberikan kesadaran baru untuk tercapainya integrasi sosial di masyarakat. Tanda-tanda ke arah ini menurutnya sudah muncul, yaitu dengan tampilnya banyak LSM yang mengupayakan terciptanya perdamaian di Kalimantan.

Dikatakannya lebih lanjut bahwa tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai komunitas etnis sudah mempunyai kesadaran untuk secara bersama-sama bersatu membicarakan persoalan-persoalan yang terjadi di Pontianak secara demokratis. Persoalan sosial dan budaya di Kota Pontianak itu dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan melibatkan seluruh kelompok etnis. Kesadaran untuk menyelesaikan persoalan keberagaman budaya itu tercermin dalam acara Sarasehan Budaya yang akan direncanakan pada bulan Agustus 2008 nanti.

Dalam kenyataannya, suasana di akar rumput dalam kehidupan masyarakat Kota Pontianak sehari-hari berjalan relatif normal. Pengamatan kami di beberapa kampung, warga masyarakat menunjukkan sikap rukun dan damai, kehidupan sosial berjalan lancar. Kehidupan sosial cukup kondusif, warga dari beberapa komunitas etnis yang ada menunjukkan sikap toleransi dan kerukunan.

Integrasi sosial di Kota Pontianak yang telah tercipta ini tidak terlepas dari peran LSM yang mengusahakan upaya-upaya perdamaian sehingga membuat suasana hubungan antarkomunitas etnis di Kota Pontianak menjadi kondusif. Di antara lembaga-lembaga ini mengupayakan terciptanya perdamaian di Pontianak melalui pendidikan multikultur seperti yang dilaksanakan oleh Lembaga Gemawan dan Institut Dayakologi, lembaga-lembaga

47

yang tergabung dalam ANPRI (Aliansi NGO Pro Rekonsiliasi Indonesia).

Lembaga-lembaga ini juga aktif dalam melakukan pemberdayaan ekonomi lintas komunitas etnis. Upaya mereka ini dapat dipandang memberikan sumbangan penting dalam integrasi sosial. Melalui kegiatan bersama ekonomi warga antarkomunitas etnis mereka di sadarkan bahwa perbedaan entitas budaya bukan merupakan masalah substansial dalam kehidupan masyarakat tetapi masalah penting yang mereka hadapi adalah upaya bersama dalam kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama.

Melihat pentingnya integrasi sosial di masyarakat, maka di antara LSM ini terdapat kelompok yang membangun jejaring early warning system dengan berbagai komponen masyarakat dan instansi pemerintah untuk mendeteksi secara dini gejala-gejala disintegrasi sosial yang mengarah pada konflik sosial secara terbuka untuk memperoleh resolusi konflik berbasiskan masyarakat

Integrasi sosial di Kota Pontianak itu terjadi pula melalui upaya-upaya kegiatan seni dan budaya. Melalui kegiatan seni diharapkan di dalam masyarakat akan terjadi saling toleransi dan menghargai keragaman dari berbagai komunitas budaya etnis. Namun, saat ini masyarakat masih terlalu disibukkan dengan urusan ekonomi dan politik daripada kegiatan seni dan budaya. Menurut Indra - salah seorang tokoh seni dan budaya di Pontianak yang sering kali mengadakan kegiatan kesenian dengan membawa tema-tema keadilan dan perdamaian dalam kegiatannya - mengatakan bahwa yang dihadapi warga masyarakat di sini adalah persoalan ekonomi, sedangkan persoalan budaya itu juga penting, tetapi efeknya tidak langsung. Hasilnya akan dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lama. Diakuinya pula bahwa aspek politik yang terjadi di Pontianak ini turut juga membuat meningkatnya atau menurunnya ikatan sosial di masyarakat. Karena itu, peran seni dan budaya yang menyentuh rasa kemanusiaan sangat di butuhkan di Kota Pontianak.

Integrasi sosial di Kota Pontianak juga tampak dari upaya-upaya yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dan masyarakat yang terdorong untuk tercapainya integrasi sosial di Pontianak, seperti yang dilakukan oleh Wang Lie Fen yang kerap dipanggil Eny Enawati. Merasa terjadi jurang pemisah antara orang Cina dengan

48

pribumi maka dirinya berupaya agar keberadaannya sebagai orang Cina dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai warga negara yang baik ia berupaya untuk melakukan aktivitas-aktivitas sosial berbaur dengan orang-orang dari berbagai komunitas etnis. Untuk membangun rasa trust dan kepercayaan terhadap orang Cina itu, salah satunya adalah upayanya adalah melakukan kerjasama antara Wanita Buddha Dharma Indonesia dan AMPI (angkatan Muda Pembaharuan Indonesia) untuk menampilkan kesenian Angklung di Kucing serta menampilkan tari-tarian Dayak dan Melayu. Sikapnya ini memberikan kesan bahwa sesungguhnya orang Cina itu tidak ekslusif. Ia mengatakan bahwa “dengan aktivitas tersebut kita semakin dekat dengan bangsa sendiri. Tidak lagi merasa asing dengan budaya bangsa sendiri sehinggga saya kira sedikit banyak akan mengurangi kecurigaan dan kesalahan paham terhadap warga Tionghoa” (Pandhita Eny Enawati 2006: 83)

5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial

Wilayah Kalimantan Barat dalam sejarahnya pernah menorehkan kisah tragis kemanusiaan, dengan puncaknya adanya peristiwa konflik antakomunitas etnis yang mengakibatkan banyak orang Madura yang tewas. Untuk itu, agar peristiwa yang mengerikan itu tidak terulang maka dicoba untuk melihat penyebab-penyebab terjadinya disintegrasi di wilayah ini. Disintegrasi sebuah masyarakat yang terlebih lagi dampaknya adalah pembunuhan secara masal itu bermula dari sebuah kebencian, sedangkan kebencian itu berasal dari kurangnya pengetahuan dan tidak adanya toleransi.

Di samping terdapat potensi untuk terjadinya integrasi dan ikatan sosial yang cukup baik di Kota Pontianak, sebaliknya hubungan antarkomunitas etnis di Pontianak mempunyai juga potensi konflik dan perpecahan yang cukup besar. Beberapa hal yang memicu terjadinya konflik antarkomunitas etnis seringkali bermula dari urusan pribadi. Urusan pribadi itu lalu merembet ke masalah urusan komunitas etnis. Apalagi dipicu dengan adanya stereotype yang dilekatkan pada masing-masing warga komunitas etnis, urusan pribadi itu lalu berbuntut pada urusan komunitas etnis.

Setiap komunitas etnis tampaknya mempunyai stereotype, kalau orang Madura itu sikapnya kasar dan mau menangnya

49

sendiri. Masing-masing komunitas etnis mempunyai karakternya sendiri-sendiri yang dianggap oleh komunitas etnis lain itu sebagai sebuah kekurangan. Dengan adanya karakter yang dilekatkan kepada komunitas etnis tertentu itu, seringkali menimbulkan sikap kebencian sehingga tidak obyektif dalam memandang sebuah persoalan, seperti misalnya bila terjadi tindak kekerasan atau pelanggaran hukum seringkali dihubungkan dengan komunitas etnis tertentu.

Pada saat dilakukan penelitian ini, mulai terdapat kesadaran dalam masyarakat bahwa ternyata anggapan negatif terhadap orang dari komunitas etnis tertentu itu kurang dapat dipertanggungjawabkan. Orang itu dinilai bukan dari latar budaya komunitas etnisnya tetapi karena perilaku pribadi masing-masing. Pada era demokrasi ini tampaknya kita kurang relevan kalau membicarakan masalah stereotype etnis. Sikap toleran dan menghargai perbedaan itu patut di junjung tinggi.

Semua komunitas etnis adalah sama, tidak ada komunitas etnis yang inferior maupun superior. Orang itu dinilai bukan karena suku atau kelompoknya tetapi setiap orang itu membawa tingkah laku pribadinya sendiri. Dengan demikian sikap pribadi itu lebih penting. Bujang Sabirin, seorang warga masyarakat di Kota Pontianak mengatakan: “selama ini saya bergaul dengan etnis yang bermacam-macam itu saya tidak pernah mengalami kesulitan, karena saya yakin bahwa sikap saya lah yang paling menentukan baik tidaknya orang kepada kita. Tempat saya ini adalah tempat berkumpulnya para etnis, mereka seringkali meminta bantuan saya untuk meminta nasihat. Saya kenal dengan orang Madura, tetapi mereka juga baik kepada saya. Saya juga kenal orang Cina tetapi mereka juga baik kepada saya. Orang itu tergantung pada pribadinya sendiri”.

Pendapat itu senada dengan yang dikatakan oleh Ariston seorang tokoh Muda Dayak juga mengatakan bahwa disintegrasi sosial yang terdapat di Pontianak itu sebenarnya berawal dari urusan pribadi. Karena itu, urusan pribadi itu harus clear, artinya bahwa setiap orang harus mengembangkan sikap-sikap baik dalam urusan dengan orang lain. Maka, diharapkan setiap orang bersikap baik terhadap orang lain. Apabila hal itu dapat dilakukan dijamin disintegrasi sosial tidak akan terjadi. Dalam masyarakat yang plural itu, setiap orang harus membuka diri terhadap orang lain.

50

Urusan pribadi antar warga dari komunitas etnis yang menyebabkan konflik serius di Kota Pontianak, hal seperti ini dapat terlihat pada kejadian tanggal 17 Desembar 2007 yang lalu terjadi insiden kecil yang melibatkan orang Cina dan Melayu. Peristiwa itu sebenarnya berawal dari urusan pribadi namun persoalan kecil itu merembet meluas menjadi persoalan komunitas etnis. Orang Melayu mengkonsolidasikan dirinya membangun kekuatan dan barisan dengan dibantu oleh kelompok orang-orang Arab, untuk melakukan pembalasan terhadap orang Cina. Pada saat itu wilayah Jalan Gadjah Mada, pusat pertokoan dan permukiman orang Cina hendak diserang oleh orang Melayu yang mempersiapkan dirinya dengan senjata tajam. Untunglah aparat keamanan mempunyai kesigapan dan ketegasan dalam melakukan pengamanan kerumunan orang yang bertikai, hingga pada akhirnya bentrok fisik yang luas dapat dicegah.

Kondisi yang mengarah kepada adanya disintegrasi di Kalimantan Barat ini, banyak faktor dipicu oleh persoalan politik. Menurut Leily seorang pengamat sosial di Kota Pontianak mengatakan bahwa sejak terpilihnya wakil Gubernur dari komunitas orang Cina, membuat sebagian komunitas etnis lain merasa tidak puas. Beberapa kebijakan pemerintah seringkali terseret dalam persoalan yang sifatnya politik, dan berakibat pada munculnya kelompok sosial yang mendukung dan menolak SK Walikota tentang pengaturan arak-arakan naga.

Namun, sebenarnya SK Walikota itu kalau dijelaskan dengan baik tidak akan menimbulkan persoalan, karena intinya SK itu adalah pengaturan bukan merupakan pelarangan terhadap tradisi Cina tetapi lalu persoalan itu dikerucutkan menjadi dilarang. Persoalannya adalah masalah komunikasi, karena kebijakan pemerintah itu perlu dijelaskan secara komunikatif. Karena persoalan ini terseret dalam ranah politik maka terdapat pihak-pihak yang menghembuskan ketidaksukaan terhadap kelompok lain dengan mengangkatnya menjadi persoalan diskriminasi antar-komunitas etnis.

Kondisi yang terjadi di Pontianak merupakan persoalan politik dan ekonomi yang berimbas pada budaya. Dengan terpilihnya gubernur baru berarti strukturnya juga baru, maka kelompok orang dalam struktur kekuasaan yang lama harus tergeser. Di daerah, APBD adalah lahan perebutan sedangkan

51

birokrasi adalah tempat mereka “bermain”. Secara tidak langsung permasalahan politik ini dipicu oleh permasalahan ekonomi. Ketika pendukung struktur penguasa yang lama tidak mendapat keksempatan menduduki kekuasaan akan menimbulkan resistensi terhadap penguasa politik yang baru.

Adanya gejala disintegrasi sosial di Kota Pontianak ini, diperlihatkan dengan adanya fenomena para elit politik menggunakan organisasi paguyuban etnis seperti MABT, MAD, dan MABM sebagai wahana perjuangan kepentingan politiknya. Organisasi paguyuban etnis ini tidak lagi murni dalam memperjuangkan aspirasinya dalam turut membangun Kota Pontianak secara bersama, tetapi unsur kepentingan politiknya lebih menonjol. Peran organisasi paguyuban etnis tidak lagi sebagai pilar penyangga pelestari tradisi dan budaya daerah, sehingga muncul kecurigaan-kecurigaan diantara mereka, seperti yang dilakukan oleh Barisan Umat Islam sebagai penggugat legalitas dan eksistensi MABT.

Disintegarasi sosial di Kota Pontianak salah satunya juga disebabkan faktor mata pencaharian dan perekonomian. Orang-orang Cina lebih dominan menguasai sektor-sektor perekonomian dibanding dengan orang-orang dari komunitas etnis lain. Orang Cina tampaknya mempunyai bakat di bidang ini. Dalam membuka usahanya mereka adalah orang-orang yang gigih, lihai dan tricky dalam soal perdagangan. Sesama mereka mempunyai tanggung-jawab untuk saling membantu. Namun, tampak bahwa dengan adanya kemajuan perekonomian yang mereka capai itu, masih terkesan adanya deskriminatif terhadap penduduk pribumi. Untuk mengisi posisi-posisi tertentu yang lebih mapan mereka mempekerjakan khusus untuk orang Cina, sedangkan posisi lain yang dianggap kurang penting mereka mempekerjakan orang pribumi. Adanya pembagian struktur dalam dunia kerja yang terkait dengan etnisitas ini seringkali menimbulkan kecemburuan sosial.

Warga komunitas etnis lain, seperti Melayu, Dayak, dan Jawa pada umumnya bekerja sebagai bawahan yang digaji sesuai aturan standar pengusaha Cina, artinya ada perbedaan dalam sistem penggajian. Pekerja di luar kelompok orang Cina memperoleh gaji lebih kecil dari pegawai yang berasal dari komunitas orang Cina. Dalam hal ini tampak terjadi ketidakadilan

52

dalam distribusi pendapatan, karena dipicu diskriminasi yang berakar pada budaya komunitas etnis.

Disintegrasi sosial di Kota Pontianak ini juga dipicu dengan adanya eksklusifisme komunitas etnis yang terwujud dalam pemukiman komunitas etnis yang relatif eksklusif. Sebagian orang hidup dan tinggal dalam kelompok permukiman Cina, Madura, Dayak dan Melayu. Sedangkan, komunitas Cina di wilayah ini lebih ekslusif. Di Kompleks-kompleks perumahan jarang ditemukan orang Cina yang tinggal di tempat itu karena orang Cina lebih senang tinggal di daerah yang strategis untuk usaha ekonominya.

Sekat-sekat ruang berdasarkan pengelompokan etnis itu terjadi pula dalam dunia pendidikan. Di Pontianak banyak tumbuh sekolah-sekolah yang homogen, yaitu sekolah-sekolah yang berdasarkan kelompok etnis, seperti sekolah-sekolah yang mayoritas siswanya dari latar budaya Cina, atau sekolah-sekolah yang didominasi siswa dengan latar budaya etnis Madura, Dayak, dan Melayu.

Adanya sekat-sekat ruang yang terkait dengan penge-lompokan etnis ini seringkali telah mengarah pada perkembangan sifat sifat eksklusifisme kelompok yang kurang sehat sehingga memicu terjadinya disintegrasi sosial dalam masyarakat.

6. Pengelolaan Keragaman Budaya

Berdasarkan atas uraian di atas terdapat dua hal yaitu aspek integrasi dan disintegrasi sosial. Dalam aspek integrasi tampak bahwa dalam interaksi sosial itu terjalin hubungan yang harmonis, terjadi komunikasi yang kondusif, seperti adanya kerukunan, toleransi, saling menghargai, mengembangkan sikap solider, saling percaya, dan sifat-sifat positif lain dalam hubungan sosial. Dalam interaksi budaya itu juga tampak adanya aspek disintegratif, artinya dalam komunikasi sosial tersebut orang-orang dari komunitas etnis mengembangkan stereotype kelompok, eksklusif, kebencian, tidak adanya tolerasi dan solidaritas, merasa terancam, bahkan terjadi konflik fisik atau non fisik.

a. Melaksanakan Pendidikan Multikultur

Beberapa tokoh masyarakat serta pakar pendidikan di Kota Pontianak berpendapat bahwa upaya untuk mengelola

53

keberagaman budaya etnis dengan berbagai kepentingan di Kota Pontianak, pendidikan multikultur sangat penting. Kesadaran untuk menghargai perbedaan itu harus ditanamkan secara dini terhadap anak didik. Pendidikan multikultur mempunyai tujuan jangka panjang tetapi sangat penting untuk memberikan kesadaran anak didik untuk menghargai pluralitas, lebih toleran, dan menghargai sesama manusia.

Pendidikan multikultur telah diprakarsa oleh beberapa LSM yang tergabung dalam ANPRI, yang anggotanya antara lain Lembaga Gemawan dan Institut Dayakologi. Mereka mempunyai program pendidikan multikultur terutama pada para anak didik setingkat SMP karena diharapkan pada jenjang tersebut mereka sudah mampu menghayati adanya perbedaan dan toleransi. Pendidikan mulitikulutur ini terutama diprogramkan pada sekolah-sekolah yang homogen, seperti sekolah-sekolah di komunitas Cina, Melayu, Madura, Islam dan sebagainya. Materi yang disampaikan adalah masuk dalam kurikulum muatan lokal. Anak didik dikenalkan pada adat-istiadat dan tradisi etnis tertentu yang berbeda dengan komunitas etnisnya, pelajaran adat istiadat Melayu untuk komunitas etnis Madura, atau sebaliknya, demikian pula pelajaran tradisi dan adat istiadat etnis Dayak untuk anak didik di komnitas Melayu atau Madura, demikian itu terjadi secara silang-menyilang.

Beberapa sekolah-sekolah yang homogen telah menerima tawaran pendidikan multikultur ini. Di Kota Pontianak sudah dilaksanakan oleh sekolah milik Yayasan Pancur Kasih, yang mayoritas anak didiknya adalah dari komunitas orang Cina.

Di samping itu pendidikan multikultur juga dilakukan dalam kaitannya dengan masalah pemberdayaan perempuan untuk mengkampanyekan perdamaian. Ibu-ibu yang tergabung dalam arisan, pengajian-pengajian di kampung sangat efektif dalam upaya untuk menyebarkan isu-isu tentang perdamain, terutama saat terjadi konflik sosial kelompok-kelompok ini menjadi sangat efektif. Lembaga Gemawan mempunyai komitmen terhadap persoalan ini, dengan bertindak sebagai organiser kelompok.

b. Seni dan Budaya

Menurut Indra, salah satu seniman di Pontianak, yang seringkali mengelola kegiatan-kegiatan seni, seperti pameran seni

54

rupa, photografi, film, dan theater mengatakan bahwa pengelolaan keragaman budaya akan efektif kalau dilaksanakan dengan menggunakan sarana kegiatan seni dan budaya. Kesenian dapat memberikan kesadaran akan keberagaman, toleransi dan humanisme. Melalui aktivitas kesenian orang diajarkan untuk peka terhadap situasi, serta penderitaan orang lain dan belajark menghargai budaya etnis lain. Dari kelompok yang dipimpin-nya ini, Indra pernah melaksanakan program seperti tour budaya dengan mengenalkan pada anak didik untuk mempelajari budaya suatu masyarakat tertentu. Dengan mengenal budaya suatu komunitas etnis maka akan muncul apresiasi terhadap budaya tersebut. Dalam waktu dekat ini, kelompok ini akan melaksankan kegiatan budaya Saprahan, yaitu budaya makan bersama dalam satu nampan secara bersama-sama, tujuannya adalah ingin menggalang kebersamaan di antara warga dari komunitas etnis yang beragam budaya dan keyakinan. Dengan mengembangkan pemahaman multikultural antarkomunitas etnis melalui kolaborasi seni dan budaya tradisional. Mereka juga berpendapat bahwa dengan kesenian ini menjadi sarana dalam menghargai pluralitas. Pemerintah daerah sangat menyadari bahwa unsur budaya mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi kehidupan setiap komunitas etnis, oleh karena itu dikeluarkan kebijakan untuk menyelenggarakan festival kebudayaan yang dilakukan secara terbuka dan dihadiri oleh warga semua komunitas etnis di Pontianak. Dalam kesempatan itu setiap komunitas etnis diminta untuk menampilkan kekayaan budayanya dalam karnaval budaya dan ditonton oleh semua warga Pontianak. Peristiwa itu berlangsung setiap memperingati hari besar nasional Kemerdekaan RI 17 Agustus.

c. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Persoalan ketegangan antarkomunitas etnis yang terjadi dalam masyarakat di Kota Pontianak ini sebenarnya juga tidak bisa terlepas dari persoalan ekonomi. Konflik yang terjadi seringkali muncul karena kesejahteraan masyarakat tidak tercukupi secara merata. Timbulnya kesenjangan ekonomi menjadi pemicu terjadi disintegrasi sosial. Beberapa komunitas etnis tertentu memegang sektor perekonomian yang memberikan efek kesejahteraan lebih

55

dibanding komunitas etnis lain. Hal ini seringkali menimbulkan kecemburuan sosial. Mengingat urgensi permasalahan di atas, maka ada upaya-upaya dari pihak LSM untuk melakukan pemberdayaan perekonomian di dalam masyarakat. Misalnya yang dilakukan oleh lembaga Gemawan yang sinergi dengan CU (Credit Union) dalam upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Mereka melibatkan beberapa komunitas etnis, seperti Dayak, Cina, Madura dan Melayu dengan latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda. Kegiatan para anggota yang beragam latar budaya dan agamanya dalam bidang ekonomi ini lebih nyata manfaat sosial dan ekonomi yang dapat dirasakan oleh mereka. Perbedaan latar budaya dan agama diantara para anggota itu dapat dipersatukan karena memiliki satu kepentingan dasar yang sama yaitu upaya bersama untuk mencapai kesejahteraan dalam bidang ekonomi. Menurut Leily direktur Lembaga Gemawan mengatakan bahwa mereka ingin membuktikan bahwa CU itu hanya sistem ekonomi saja, tidak benar CU itu hanya milik orang Dayak. CU yang paling banyak melibatnya berbagai komunitas etnis dan banyak pihak adalah Lembaga Gemawan. CU ini mengembangkan konsep multikultur yang anggotanya rakyat biasa. Kebutuhan ekonomilah yang menyatukan antarkomunitas etnis, anngota CU itu terdiri dari orang Dayak, Madura, Malayu, Cina dan lainnya. Anggota CU yang dikelola leh Lembaga Gemawan jumlahnya lebih dari 1000 orang.

d. Mengupayakan Situasi Aman, Damai dan Adil

Potensi disintegrasi sosial di Kota Pontianak itu masih mungkin berkembang menjadi konflik terbuka. Banyak kalangan mengusahakan perdamaian dan upaya-upaya untuk mencegah konflik antarkomunitas etnis. Namun, tugas yang paling penting adalah tindakan tegas aparat keamanan dalam mencegah terjadinya konflik terbuka. Ketika terjadi peristiwa tanggal 17 Desember 2007 yang lalu, saat terjadi ketegangan antara warga komunitas Melayu dan Cina, sikap tegas aparat keamanan punya peran penting dalam mengatasi situasi yang genting.

Menjaga keamanan dan perdamian juga dilakukan oleh sebagaian LSM yang membangun jejaring early warning system dengan berbagai komponen masyarakat dan instansi pemerintah

56

untuk mendeteksi secara dini gejala-gejala disintegrasi sosial yang mengarah pada konflik sosial secara terbuka untuk memperoleh resolusi konflik berbasiskan masyarakat.

Menurut Tomoya Saito, seorang pakar konflik, pemusnahan kelompok etnis itu berakar dari kebencian. Lalu ada beberapa fase mengapa genocide itu sampai terjadi, tahap pertama adalah cercaan atau hinaan. Fase kedua adalah tulisan-tulisan yang membangkitkan kebencian. Fase ketiga adalah terjadinya kekerasan fisik. Keempat adalah pembunuhan dan fase kelima, adalah pembantaian etnis.

Fase-fase itu gejalanya sudah terlihat sebelum terjadinya konflik. Tahap awal misalnya adanya cercaan, atau hinaan itu muncul dengan memanfaatkan stereotype etnis tertentu. Lalu, meningkat menjadi kebencian yang sifatnya kolektif, dengan menggunakan tulisan-tulisan sebagai sarana untuk meng-akumulasikan kebencian sebuah kelompok. Akumulasi kebencian itu meningkat menjadi tindak kekerasan yang melibatkan kelompok etnis, hingga terjadi pembunuhan antarkelompok etnis itu terjadi. Dengan adanya jejaring LSM ini dimaksudkan agar tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di wilayah ini tidak akan terulang kembali. Aparat keamanan dan pihak penegak hukum sangat penting dalam pengelolaan keragamaan budaya di Kota Pontianak untuk menciptakan suasana masyarakat yang damai. Pengelolaan keragaman budaya, juga menyangkut masalah keadilan, aparat keamanan dan penegak hukum diharapkan dapat berlaku adil terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keberagaman budaya etnis di Pontianak. Masyarakat sangat menaruh kepercayaan kepada aparat keamaan dalam rangka untuk menciptakan keamanan di masyarakat. Seperti yang dikatakan Teguh - salah satu Ketua RW di Kota Pontianak - masyarakat diharapkan mempunyai rasa percaya kepada aparat dalam beberapa kasus yang menyangkut masalah konflik antarkomunitas etnis. Masyarakat diharapkan tidak terpancing secara emosional bertindak dengan cara mereka sendiri.

Pemerintah daerah dalam mengupayakan warga agar hidup rukun sudah tentu menjadi agenda yang penting. Upaya itu diwujudkan dalam visi dan misi yang bertema “Harmonis dalam Etnis”. Visi dan misi tersebut kemudian dijabarkan dalam program

57

penanaman komitmen kebersamaan, wawasan nusantara, bela negara, kegiatan yang memberi peluang kepada semua kebudayaan agar bisa tampil. Secara kongkrit semua kebijakan pemerintah daerah tersebut diwujudkan melalui kegiatan seminar, dialog antar budaya, dan dialog di stasiun televisi lokal. Semua komunitas etnis ketika memperingati hari-hari besar nasional memfokuskan semua kegiatan budaya kepada peningkatan toleransi.

Untuk menjamin keamanan dan ketentraman kehidupan bermasyarakat, pemerintah daerah menerbitkan SK Gubernur tahun 2006 sebagai penjabaran dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan No. 8 tahun 2006. SK ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan sosial antar umat beragama agar tidak terjadi konflik terbuka.

e. Konsesus Bersama

Peran komunikasi antarkomunitas etnis ini menjadi penting dalam upaya untuk mengelola keragaman budaya. Konflik-konflik yang melibatkan hubungan antarkomunitas etnis biasanya dipicu oleh konflik pribadi. Karena itu, meningkatkan komunikasi yang baik antarpribadi itu penting. Kalau komunikasi pribadi itu baik maka komunikasi antarkomunitas etnis akan mengikuti. Dengan komunikasi itu dapat dikembangkan sikap toleransi dan saling menghargai. Seperti, pelarangan tradisi Arak-Arakan Naga, persoalan pokoknya adalah masalah komunikasi. SK Walikota itu dimaksudkan sebagai sebuah pengaturan, dengan melokalisir tradisi tersebut agar tidak mengganggu ketertiban umum. Namun, bagi orang Cina pengaturan itu justru telah dianggap memutus akar filosofis tradisi dari ritual tersebut. Alasan ini tidak dikomunikasikan dengan baik oleh orang Cina, sehingga sedikit banyak telah menimbulkan ketegangan di antara mereka. Untuk mengelola keberagaman budaya itu, di dalam masyarakat Kota Pontianak mulai muncul kesadaran baru bahwa komunikasi antarkomunitas etnis itu penting untuk mencegah terjadinya konflik. Di antara para tokoh komunitas-komunitas etnis tersebut mulai banyak mengkondisikan untuk mencari penyelesaian bersama dalam suasana yang demokratis. Seperti yang dilakukan oleh Barisan Umat Islam, masalah gugatan Barisan Umat Islam

58

terhadap legalitas dan eksistensi Budaya Tionghoa itu dilaksanakan dengan cara yang demokratis dengan membawa persoalan ini ke forum DPRD.

Dalam upaya mencari identitas Kota Pontianak yang multikultur itu telah dirancang dalam tahun ini direncanakan sebuah pertemuan bersama yang melibatkan tokoh dan pakar budaya dari beberapa etnis untuk merundingkan dan mencapai konsesus bersama mengenai persoalan sosial dan budaya yang terjadi di Kota Pontianak.

Untuk para pemuda telah dibentuk Forum Komunikasi Pemuda, yang merupakan wadah kaum muda di Kalimantan Barat yang terdiri dari beberapa etnis untuk secara bersama-sama berpartisipasi dalam mengkondisikan masyarakat yang multikultur.

59

BAB IV ANALISIS

1. Yang Sakral

Apa yang dikeramatkan oleh masyarakat di dalam wilayah penelitian Kuala Tungkal berasal dari sebuah penghayatan agama Islam. Agama Islam merupakan pusat sakral yang mempunyai makna dalam hubungan sosial. The sacre dalam masyarakat Kota Kuala Tungkal lebih dekat dengan agama dalam arti yang sesungguhnya bukan dalam pengertian sosial. Agama sebagai pusat kehidupan sosial dan budaya masyarakat dapat dilihat dalam ideologi komnitas etnis Melayu yang berbunyi adat bersendi sarak, sarak bersendi Kitabullah. Seluruh aspek kehidupan masyarakat harus berdasarkan atas ideologi komunitas etnis ini yang sudah barang tentu bersumber dari hukum agama.

Secara spesifik dalam hubungan antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal berasal dari ajaran agama Islam yang terdapat dalam Al-Quran, yang mengajarkan kerukunan dan cinta damai. Dalam kaitannya dengan interaksi antarkomunitas etnis maka kerukunan memperloleh legalitasnya dari agama. Karena nilai kerukunan dipandang sebagai sebuah nilai yang mendapat dasar dari keyakinan agama maka kerukunan menjadi hal yang disakralkan. Dengan adanya nilai agama yang dikeramatkan dalam masyarakat Kuala Tungkal ini, mempunyai dampak yang cukup besar dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat bermuara pada penghayatan adanya nilai yang dianggap keramat dalam ayat suci Al Quran. Karena itu lalu tumbuh integrasi sosial di masyarakat, yaitu berkembang sifat-sifat yang positif, seperti rasa saling menghargai, solider, toleransi, dan cinta kasih sesama manusia yang berasal dari penghayatan akan ajaran agama Islam.

Secara umum bahwa dalam masyarakat di Kuala Tungkal adalah masyarakat dengan penghayatan agama Islam yang toleran, sehingga penganut agama lain itu dihargai juga keberadaannya. Agama Islam di Kuala Tungkal menjadi agama Islam yang humanis karena dapat menghargai perbedaan dan menghargai agama lain. Agama Islam telah membentuk masyarakat Kuala Tungkal sebagai

60

masyarakat yang egaliter. Islam yang berkembang adalah Islam yang damai bukan Islam yang fundamental, sehingga mampu menempatkan penganut agama lain itu dalam kerangka hubungan sosial yang lebih humanis.

Sedangkan apa yang terjadi di Kota Pontianak the sacre itu lebih menunjuk pada sebuah ideologi kelompok yang sangat didambakan yaitu perdamaian. Mengapa perdamaian menjadi kata atau istilah yang disakralkan di Pontianak. Karena wilayah ini mempunyai latar belakang historis yang tragis berkaitan dengan hubungan antarkomunitas etnis. Tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi pada tahun 1999 itu yang mengakibatkan korban jiwa dari komunitas etnis Madura. Masyarakat menjadi berinstropeksi diri, mengapa peristiwa yang di luar batas kemanusiaan itu dapat terjadi? Dalam kaitannya dengan peristiwa itu maka hampir seluruh komponen masyarakat berupaya untuk tidak mengulang lagi peristiwa itu, mereka mensakralkan isu perdamaian di Pontianak. Dengan adanya isu perdamaian sebagai sesuatu yang sakral maka muncullah berbagai semboyan pasca peristiwa itu seperti: “Harmonis dalam Etnis”, istilah ini menunjukkan bahwa perdamaian menjadi pilar nomor satu dalam hubungan sosial di Kalimantan Barat.

2. Klasifikasi

Dengan adanya yang dikeramatkan di Kota Kuala Tungkal, yaitu sebuah nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran kitab suci Al-Quran lalu menimbulkan sebuah struktur dalam masyarakat yang berkaitan dalam upaya untuk mendukung yang dikeramatkan itu. Semakin orang mendukung yang dikeramatkan, maka orang tersebut dipandang semakin bermoral, dan semakin menjauhi apa yang dikeramatkan maka dikatakan semakin tidak bermoral, melanggar adat dan sebagainya.

Dalam struktur masyarakat itu tampak hierarki atau perjenjangan, seperti yang dapat dilihat para tokoh masyarakat, kelompok-kelompok, atau warga masyarakat yang mendukung sesuatu yang sakral itu, namun sebaliknya terdapat orang-orang yang melanggar sesuatu yang dikeramatkan itu. Di Kuala Tungkal klasifikasi yang membentuk hierarkis etnis yang mendukung integrasi sosial secara mencolok dapat kita lihat dalam komunitas

61

etnis Banjar. Secara umum komunitas etnis Banjar yang dikenal sebagai etnis yang agamis, karena mereka kebanyakan adalah para ustad, dan pendidik, diantara mereka banyak yang mempunyai pendidikan tinggi. Mereka cukup toleran terhadap perbedaan, menghargai orang lain, dan bersikap santun terhadap sesama. Karena itu secara hiererkis tampak bahwa orang Banjar menempati posisi dekat dengan pusat nilai-nilai agama yang disakralkan.

Secara umum di Kota Kuala Tungkal hampir semua warga dari komunitas-komunitas etnis mendukung adanya yang sakral, yaitu sebagai nilai-nilai agama yang dihayati bersama. Bahkan, bagi pemeluk di luar agama selain Islam pun turut berpartisipasi dalam mendukung nilai yang sakral itu, seperti dapat dilihat keterlibatan mereka dalam acara-acara perayaan Umat Islam. Bahkan, orang Cina yang non muslim sering kali mengadakan selamatan dengan pembacaan doa-doa Islam.

Secara khusus kerukunan di Kota Kuala Tungkal ini didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat yang sangat disegani dikalangan mereka. Tokoh-tokoh masyarakat itu, mempunyai peran sentral dalam kerukunan antarkomunitas etnis. Konflik antarpribadi biasanya tidak akan meluas menjadi konflik antarkomunitas etnis karena peran tokoh-tokoh masyarakat ini dalam meredam konflik sehingga tidak meluas.

Organisasi-organisasi paguyuban etnis dan budaya, seperti lembaga-lembaga adat, IKM dan KKBK, telah membentuk klasifikasi dalam penghayatannya yang mengarahkan pada kerukunan. Pada umumnya organisasi-organsisi itu adalah pilar utama kerukunan antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal. Namun, sebagai penyangga kerukunan itu sendiri, perannya lalu tergeser menjauhi pusat yang sakral karena salah satu faktornya adalah persoalan politik. Para elit politik tampak pula memanfaatkan organisasi-organisasi paguyuban. Semenjak adanya pilkada secara langsung, organisasi kedaerahan dikhawatirkan menjadi wadah peruangan kepentingan elit politik. Mereka yang tidak setuju dengan kecenderungan tersebut memilih tidak aktif dalam organisasi tersebut. Sedangkan yang terjadi di Pontianak tampak bahwa organisasi-organisasi paguyuban ini tampak secara jelas berada di pinggir dari yang sakral, peran untuk mendukung yang sakral menjadi renggang karena pengaruh ambisi elite politik untuk meraih kekuasaan.

62

Di Kuala Tungkal peran organisasi paguyuban sebagai wahana kepentingan elit politik itu belum sepenuhnya dilaksanakan karena masyarakat sendiri masih berselisih pendapat, namun kebanyakan masyarakat tampaknya tidak setuju terhadap lembaga kedaerahan untuk dijadikan wadah kepentingan politik. Sebaliknya di Pontianak para elit politik benar-benar memanfaatkan peran organisasi paguyuban seperti MAMB, MABT., MAD, dan sebagainya itu secara lebih terus terang dipakai untuk perjuangan kepentingan politiknya. Maka, timbulah rasa curiga, serta kekhawatiran dari komunitas etnis lain terhadap keberadaan sebuah organisasi paguyuban. Hal itu, lalu membawa hubungan yang kurang harmonis diantara mereka.

Organisasi kemasyarakatan di Kota Pontianak yang dekat dengan pusat yang sakral adalah, lembaga-lembaga LSM, baik yang bergerak dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemberdayaan perempuan untuk perdamaian, pendidikan multikultur, atau LSM yang mempunyai peran dominan dalam upaya untuk mempropagandakan perdamaian di Pontianak dengan kegiatan seni dan budaya. LSM-LSM ini menempati bagian yang dekat dengan pusat nilai yang disakralkan yaitu perdamaian.

Baik Pemerintah Kota Kuala Tungkal maupun Kota Pontianak juga mempunyai peran di pusat yang sakral, karena upayanya berperan secara aktif mendukung terselenggaranya kerukunan antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal dengan membentuk Dewan Penasehat dan Forum Kerukunan Umat Beragama. Dengan adanya dewan ini diharapkan kerukunan hidup komunitas etnis dan umat beragama dapat terjamin. Permerintah Kota Kuala Tungkal berperan aktif dalam memprakarsai perayaan, festival, seni dan budaya daerah yang melibatkan seluruh komunitas etnis yang mendekatkannya kepada pusat yang sakral.

Sedangkan, di Kota Pontianak berbeda dengan yang terjadi di Kuala Tungkal. Di Kota Pontianak pemerintah mempunyai peran yang sifatnya ambigu, salah satu sisi ingin mewujudkan perdamaian di Kalimanan dengan berbagai program kegiatan, seperti turut memprakarsai adanya festival-festial seni dan budaya daerah. Namun, di samping itu, pemerintah juga menempati posisi yang meminggirkan perdamaian dari pusat yang sakral, karena sering kali dengan kebijakan pemerintah itu justru membuat sedikit ketegangan antarkomunitas etnis, seperti SK pelarangan arak-arakan naga.

63

Elit-elit politik juga mempunyai peran meminggirkan perdamian dari pusatnya. Pertarungan kekuasaan antara elit-elit politik untuk menduduki posisi teratas dijajaran birokrasi pemerintah, para elite itu justru mempunyai peran yang menjauhi dari pusat yang disakralkan.

Hingga kini aparat keamanan mempunyai peran yang utama dalam tercapainya keamanan menempatkannya di pusat yang disakralkan, sebagai organik masyarakat yang diharapkan dapat menciptakan perdamaian di Kalimantan Barat. Meskipun, dalam pengalaman masa lalu, aparat keamanan dipandang lamban dan cendrung memihak pihak-pihak yang berkonflik, serta ada tuduhan kurang berlaku adil tapi hingga kini sebagian besar masyarakat menaruh harapan agar aparat keamanan dapat bertindak tegas dalam mengupayakan konflik yang melibatan antar etnis.

3. Ritus

Di Kuala Tungkal, ritus dapat dilihat dalam perayaan-perayaan seperti pawai budaya, lomba-lomba seni budaya antarkomunitas etnis, festival arak-arakan sahur yang dihadiri oleh seluruh komunitas etnis. Ritus ini mengingatkan kerukunan antarkomunitas etnis. Dengan ritus ini lalu kita dingatkan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut akan semakin memperkuat kerukunan hidup diantara etnis tersebut. Acara-acara tersebut secara positif telah membawa kerukunan dalam masyarakat di Kuala Tungkal.

Ritus dapat dilihat juga dalam pangajian-pengajian akbar, atau ritual shalawatan yang dilaksanakan oleh aliran-aliran tariqat Islam di Kuala Tungkal yang mengingatkan pada sesuatu yang sakral bahwa seluruh komunitas etnis itu adalah satu dalam hal keyakinan, yaitu Agama Islam. Meskipun mempunyai dampak tidak langsung dalam kerukuan hidup di Kuala Tungkal, namun dengan adanya ritus-ritus bersama itu akan terjadi penghayatan nilai moral bersama, bahwa hidup manusia itu harus baik, suasana sakral dalam ritus itu akan terbawa dalam kehidupan masyarakat sehingga diharapkan orang-orang yang telah melakukan ritus itu menjadi orang-orang yang bermoral dalam kehidupan. Dengan demikian diharapakan dapat mendukung hidup rukun sesama warga di masyarakat.

64

Adanya ritus di Kuala Tungkal menunjukkan bahwa terjadi ikatan yang sangat kuat diantara masyarakat. Namun, hal tersebut berbeda dangan apa yang terjadi di Pontianak. Ritus di Kota Pontianak tidak sepenuhnya membawa kepada perdamaian sebagai yang disakralkan oleh masyarakatnya. Perayaan-perayaaan dan festival-festival yang diselenggarakan di Pontianak sering kali menimbulkan kontroversi dan polemik diantara komunitas-komunitas etnis itu sendiri. Seperti partisipasi orang Melayu terhadap upacara Cap Go Meh, dianggap musyrik, karenanya lalu mendorong MUI Kota Pontianak mengeluarkan pernyataan untuk mengharamkan keterlibatan umat Islam. Demikian pula tampak bahwa tradisi meriam karbit milik komunitas orang Melayu itu, lalu dipandang oleh warga komunitas etnis lain sebagai polusi suara, juga sama mengganggunya.

Menurut Muhil Sonhaji, akademisi dari Universitas Tanjungpura bahwa penghayatan agama di Pontianak tampaknya kecil kemungkinannya untuk membuat integrasi sosial. Beberapa kondisi ekstrem yang membuat mereka itu terjadi konflik menurutnya terjadi karena faktor pendidikan rendah dan persoalan ekonomi.

Sebagian orang di Kota Pontianak berkelompok meng-upayakan ritus yang sifatnya keagamaan seperti yang terlihat dalam kegiatan tariqat Naqsabandiyah. Kelompok ini lebih cenderung pada katarsis atau pensucian jiwa bagi masing-masing pribadi, sehingga diharapkan bagi pribadi-pribadi yang tercerahkan dapat mendukung terjadinya perdamaian di Kalimantan Barat. Demikian pula ritus yang dilakukan oleh umat beragama lainnya diharapkan membuat orang lebih manusiawi sehingga mampu mendukung terciptanya perdamaian di Kalimantan Barat.

4. Solidaritas

Dalam masyarakat Kuala Tungkal, maupun Pontianak secara jelas menunjukkan adanya solidaritas untuk mewujudkan apa yang dikeramatkan. Bagi masyarakat Kuala Tungkal solidaritas itu dapat dilihat dalam tradisi anak angkat bagi warga pendatang serta toleransi bagi sesama tetangga yang mempunyai hajat. Solidaritas juga diwujudkan dalam festival seni, dan arak-arakan sahur. Warga masyarakat berupaya untuk mengekspresikan rasa

65

kerukunan mereka dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunitas etnis yang ada di Kuala Tungkal. Solidaritas di Kuala Tungkal cukup kuat untuk mengarahkan masyarakat pada yang kerukunan. Meskipun tak jarang terjadi tindak kriminal, seperti pencurian namun tindakan itu tidak sampai menggangu adanya solidaritas yang sudah terbangun. Beberapa kejadian misalnya, pertengakaran di antara pemuda dan pemudi merupakan urusan pribadi masing-masing juga dipandang tidak mengganggu rasa solidaritas yang secara emosional cukup kuat di antara komunitas etnis di Kuala Tungkal. Di Pontianak solidaritas antara komunitas etnis tampak diwujudkan dalam perayaan-perayaan dan festival-festival budaya. Adanya festival-festival ini telah memunculkan rasa solidaritas di antara beberapa komunitas etnis meskipun tidak jarang adanya festival budaya komunitas etnis tertentu justru menimbulkan sikap pro dan kontra diantara mereka. Solidaritas di Kota Pontianak secara mencolok terlihat dari tumbuhnya lembaga-lembaga masyarakat yang berperan secara aktif untuk mengupayakan tercapainya perdamaian. Di antara mereka membentuk jejaring kerjasama dalam beberapa bentuk kegiatan yang mendukung terciptanya rasa aman dan damai di Kalimantan Barat.

Namun, dengan solidaritas yang terjadi di Kota Pontianak itu tidak menutup kemungkinan adanya konflik antarkomunitas etnis yang menyebabkan solidaritas menjadi terluka, seperti peristiwa 17 Desember 2007 yang berawal dari konflik pribadi hingga terakumulasi menjadi konflik antarkomunitas etnis. Situasi di Pontianak masih rawan konflik, apalagi dengan adanya pilkada langsung yang akan diselenggarakan di Kota ini.

66

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan

beberapa hal terkait dengan pengelolaan keragaman budaya. Integrasi dan disintegrasi masyarakat itu ditentukan oleh sebuah masyarakat untuk melihat nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan yang diyakini bersama, atau disakralkan oleh sebuah komunitas masyarakat. Di Kuala Tungkal secara jelas tampak bahwa penghayatan terhadap nilai-nilai Islam itu dipandang sebagai yang sakral, yang menggerakkan seluruh dinamika masyarakat untuk mengarah pada apa yang disakralkan. Agama Islam di Kuala Tungkal tampil sebagai agama yang tampil ramah, dengan membawa kedamaian dalam masyarakat. Agama Islam mem-berikan andil yang besar dalam kerukunan hidup antarkomnitas etnis di Kuala Tungkal.

Di Kota Pontianak apa yang disakralkan itu, berasal dari perasaan traumatis masyarakat masa lalu untuk tidak mengulang tragedi kemanusiaan konflik antarkomunitas etnis. Karena itu, lalu muncul sebuah nilai yang disakralkan dalam masyarakat, yaitu perdamiaan. Yang disakralkan bukan bersumber pada agama, tetapi dari rasa kemanusaiaan universal.

Dengan adanya nilai yang dihayati bersama sebagai yang sakral tersebut lalu memunculkan upaya-upaya untuk melakukan pengelolaan keragaman budaya di kedua wilayah tersebut, di Kuala Tungkal dan di Pontianak. Beberapa upaya mengelola keragaman budaya telah diuraikan di atas, seperti adanya peran LSM, tokoh masyarakat, warga masyarakat, dan pemerintah yang peduli terhadap tercapainya integrasi sosial di masyarakat.

Namun, hal yang menjadikan catatan penting dalam pengelolaan keragaman budaya di kedua wilayah ini adalah faktor politik menjadi persoalan yang paling menentukan dalam tercapainya disintegrasi sosial. Di kedua wilayah terseubut menunjukkan bahwa iklim politik, terutama yang terkait dengan pilkada langsung justru menjadi penyebab utama disintegrasi masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang relevansi pilkada langsung

67

yang terjadi dalam pemerintahan di daerah saat ini. Bagi daerah yang mempunyai ikatan sosial tinggi seperti di Kuala Tungkal dengan adanya pilkada langsung, ini justru mengarah pada tanda-tanda renggangnya ikatan sosial antar warga. Mulai ada kecurigaan-kecurigaan suatu komunitas etnis terhadap komunitas etnis lainnya. Mereka mengkhawatirkan isu etnisitas akan muncul akibat pertarungan kekuasan elit-elit politiknya. Sedangkan, di Kota Pontianak secara tegas tampak bahwa organisasi paguyuban etnis itu telah menjadi wadah kepentingan elit politik untuk mencapai ambisi kekuasaan mereka. Politik identitas etnis ini telah membawa kota Pontianak menjadi rawan konflik yang terkait dengan permasalahan hubungan antarkomunitas etnis.

Faktor yang paling menentukan dalam pengelolaan keragaman budaya adalah persoalan kesadaran akan sebuah konsesus bersama antara para komunitas-komunitas etnis itu untuk mencapai kesepakatan terhadap persoalan-persoalan yang penting di hadapi bersama oleh sebuah komunitas masyarakat. Dalam masyarakat multikultur persoalan konsesus bersama menjadi persoalan yang sangat penting. Konsesus itu diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan etnisitas. Masing-masing komunitas etnis tidak lagi merumuskan persoalan-persoalan yang mereka hadapi itu dari celah sempit etnisitas, tetapi wawasan sempit itu lalu didobrak dengan mengembangkan wawasan yang lebih luas lagi yang terkait dengan kepentingan bersama dengan komunitas-komunitas etnis lainnya. Dengan adanya konsesus persoalan-persoalan yang menyangkut keadilan, kebenaran, dan kebaikan bersama lalu dapat dirumuskan secara bersama-sama, berdasarkan persamaan dan keterbukaan. Di Kota Kuala Tungkal pentingnya konsesus bersama itu, sudah terlembagakan dengan adanya Lembaga Adat, dan Forum Kerukunan Umat Beragama. Sedangkan di Kota Pontianak mulai terdapat tanda-tanda yang menggembirakan karena kesadaran pentingnya sebuah konsesus bersama untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial diantara komunitas-komunitas etnis itu sudah mulai muncul dari berbagai kalangan pemerintah dan masyarakat, sepeti fasilitasi DPRD Kota Pontianak dalam memenuhi tuntutan Barisan Umat Islam terhadap eksistensi dan legalisasi MABT. Ke depannya kesadaran untuk konsesus ini diharapakan dapat menjadi salah satu kekuatan dalam pengelolaan keragaman budaya di Pontianak.

68

Faktor lain lagi yang cukup mempunyai peran sentral dalam pengelolaan keragaman budaya adalah adanya jejering kerja. Untuk menangani persoalan-persoalan yang terkait dengan kerukunan dan perdamaian antarkomunitas etnis itu, secara komprehansif dan konsisten perlu melibatkan masyarakat, pemangku kepentingan, dan pemerintah secara bersama-sama. Jaringan kerja itu cukup penting, karena sebagai penyangga dan komponen yang memberikan peringatan akan adanya bahaya yang mengancam integrasi sosial. Perubahan sosial itu tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya upaya bersama untuk membuat perubahan itu sendiri. Tanpa jaringan, tidak mungkin untuk membuat perubahan yang diharapkan. Namun, yang lebih penting lagi adalah konsistensi, yaitu bahwa setiap jaringan itu harus selalu terjadi saling sinergi untuk saling mengingatkan kalau setiap saat tujuan bersama untuk mencapai apa yang disakralkan, kerukunan dan perdamaian senantiasa terancam. Dengan perkataan lain, bahwa jejaring ini bahwa harus mempunyai kesadaran yang terus menerus untuk mewujudkan kerukunan dan perdamaian.

69

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting sebagai penutup dalam tulisan ini.

1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung perlu diantisipasi secara cermat untuk meminimalisasi dampak negatif yang mengarah disintegrasi sosial.

2. Perlu adanya konsesus bersama sebagai kekuatan dalam iklim demokratis di dalam masyarakat multikultur untuk merumuskan persoalan-persoalan bersama, seperti perlu adanya forum komunikasi yang menyatukan lembaga-lembaga adat dan organisasi-organisasi paguyuban etnis dalam persoalan yang berkaitan dengan etnisitas

3. Upaya mengelola keragaman sosial dan budaya di Kota Pontianak sifatnya masih parsial, oleh karena itu perlu penanganan yang lebih integratif dan konsisten dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat dan pemerintah Pontianak secara bersama-sama.

4. Perlu membentuk jejaring kerja antara pemerintah dan lembaga-lembaga seni untuk secara aktif turut berperan dalam membentuk terjadinya integrasi sosial lewat seni dan budaya

5. Perlu adanya kebijakan pemerintah untuk pendidikan multikultur di sekolah-sekolah.

6. Perlu adanya pemberdayaan ekonomi yang melibatkan dari berbagai komunitas etnis secara bersama.

7. Perlu memberdayakan LSM yang mempunyai komitmen tentang permasalahan multikultur dan isu-isu perdamaian di Pontianak

8. Perlu mengintensifkan Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama.

9. Aparat keamanan dan hukum perlu bersikap adil dalam menangani persoalan hubungan antarkomunitas etnis.

70

Daftar Pustaka

Bambang H. Suta Purwana, dkk, 2004, Sejarah Pemerintahan Kota Pontinak dari Masa ke Masa, Pemerinah Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

F.X. Asali, 2008, Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, Muare Publik Relation, Kalimantan Barat.

Giring, 2004, Peta Sosio Kultural Kalimantan Barat Barat, Deskripsi Multikonteks, (makalah); Institut Dayakologi, Kalimantan Barat

Giring, dkk, 2006, Mutiara Damai dari Kalimantan, Pengalaman dan Refleksi, Institut Dayakologi, Kalimantan Barat.

Kecamatan Tungkal Ilir Dalam Angka, 2005, Badan Pusat Statistik Tanjung Jabung Barat, Jambi

Kota Pontianak Dalam Angka 2006, Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, Kalimantan Barat

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Penerbit Kanisius: Yogyakarta

Pratikno, Dr, M.Soc. Sc, dkk, 2001, Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian Nilai-Nilai Kemasyarakatan (Social Capital) untuk Integrasi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Gadjah Mada, Yogyakarta.

71

Daftar Narasumber

1. Risnal. M Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Jambi

2. Ja’far Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Jambi

3. Armaindra Warga Masyarakat, Kuala Tungkal

4. Rini Warga Masyarakat, Kuala Tungkal

5. Hambali Warga Masyarakat, Kuala Tungkal

6. K.H Halim Kasim, SH Ketua MUI/Ketua Adat Banjar, Kuala Tungkal

7. Sapari Anggota DPRD, Komisi B

8. H. Nangbyu

Ketua Adat Melayu, Kuala Tungkal

9. Holidi Dinas Pendidikan Nasional, Tanjung Jabung Barat

10. H. Tjahrir Makka Ketua Adat Bugis, Kuala Tungkal

11. H. Abu Bakar Ketua Seni dan Budaya Kuala Tungkal/Pempinan Pengajian Akbar

12. Teguh Ketua RW di Kota Pontianak

13. Indra Seniman, Kota Pontianak

14. Subro Tokoh Muda Madura/Direktur Mitra Sekolah

15. Leily Khairnur

Direktur Lembaga Gemawan

72

16. Dr. Gusti Suryansah Pakar Sosial dan Politik di Kota Pontianak

17. Prof. Dr. Tambunan Pakar Hukum di Kota Pontianak

18. H. Mintaha Pengurus Majelis Adat Budaya Melayu

19. Syamsuwir, S. Sos, Msi Badan Kesbanglinmas, Provinsi Kalimantan Barat

20. Syarifah Helma Al Qodri Warga Masyarakat Kota Pontianak

21. Ariston Tokoh Muda Dayak, Pontianak

22. Andry W P Tokoh Muda Pontianak

23. Bujang Sabirin, Warga Masyarakat, Kampung Karya Bakti, Kota Pontianak

24. Muhil Sonhaji Dosen Fisipol Universitas Tanjungpura

25. Andre Cuy, Tokoh Muda Tionghoa, Pontianak

26. X.F Asali

Tokoh Budaya Tionghoa, Pontianak.

73

Lampiran Pedoman Wawancara

PEDOMAN WAWANCARA

Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya Form: Pemerintah Daerah

Nama : …………………………………………… Umur : …………………………………………… Alamat : …………………………………………... Pekerjaan : …………………………………………... No. HP/Telp : …………………………………………… Tanggal. : …………………………………………... 1. Apakah di sini warga yang terdiri dari beragam etnis

memperlihatkan sikap kerukunan dalam kehidupan mereka sehari-hari?

2. Mengapa etnis yang beragam itu hidup rukun?

3. Apakah pemerintah daerah turut berperan dalam membina kerukunan antar warga dan etnis di tempat tersebut?

4. Bagaimanakah pengelolaan keragaman budaya itu dilakukan oleh pemerintah daerah?

5. Apakah upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka menciptakan kerukunan warga di sini?

6. Apakah pemerintah daerah punya kegiatan-kegiatan yang melibatkan warga dan etnis disini, festival, perayaan, kesenian, dll?

7. Apakah mempunyai peraturan daerah yang mengatur masalah kerukunan antara warga/etnis.

8. Apakah ada syarat-syarat khusus untuk etnis pendatang yang menjadi warga di sini?

9. Apakah terdapat perbedaan perlakuan antara etnis pendatang dan etnis setempat?

10. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.

74

1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam sistem matapencaharian. (1) Apakah mata pencaharian pokok dari etnis-etnis yang

berbeda itu, mereka bekerja di sektor apa saja? (2) Bagaimanakah hubungan antara etnis itu dalam hal mata

pencaharian? (3) Apakah ada perbedaan antara penduduk lokal dengan

etnis lain di berbagai sektor pekerjaan, pertanian, perdagangan, swasta dan pemerintahan daerah?

(4) Menurut Saudara apakan dalam hubungan perekonomian antar etnis mempunyai peran dalam kerukunan antar etnis?

(5) Apakah pernah terjadi konflik yang berkaitan dengan pekerjaan antar etnis?

(6) Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?

2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam kesenian. (1) Bentuk-bentuk kesenian apa saja yang ditampilkan

dengan melibatkan partisipasi antar etnis. (2) Kapan aktivitas itu dilaksanakan, dalam rangka apa? (3) Bagaimanakah bentuk kesenian itu, musik, tari-tarian,

drama, seni pertunjukan, dll? (4) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peran

dalam kerukunan para warga/etnis?

3) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam tradisi. (1) Bentuk-bentuk tradisi /kebiasaan apa saja yang

ditampilkan dengan melibatkan partisipasi antar etnis. (2) Kapan aktivitas itu dilaksanakan, dalam rangka apa? (3) Bagaimanakah bentuk tradisi/kebiasaan itu, mohon

penjelasan? (4) Menurut Saudara apakah tradisi atau kebiasaan tersebut

mempunyai peran dalam kerukunan para warga/etnis?

4) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam religi/kepercayaan.

75

(1) Bentuk-bentuk aktivitas antar etnis yang berkaitan dengan religi/kepercayaan apa saja yang ditampilkan dengan melibatkan partisipasi antar etnis.

(2) Bagaimanakah bentuk religi/kepercayaan itu, mohon penjelasan?

(3) Menurut Saudara apakah aktivitas yang berkaitan dengan religi tersebut mempunyai peran dalam kerukunan para warga/etnis?

5) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam bahasa. (1) Bentuk-bentuk bahasa apa yang dipergunakan untuk

komunikasi antar etnis. (2) Bagaimanakah hubungan komunikasi dengan

menggunakan bahasa antara etnis yang berbeda itu? (3) Menurut Saudara apakah bahasa mempunyai peran

dalam kerukunan para warga/etnis?

6) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam sistem teknologi (1) Bentuk-bentuk aktivitas apa yang berkaitan dengan

teknologi yang dimiliki suatu etnis dengan melibatkan partisipasi antar etnis.

(2) Bagaimanakah bentuk teknologi itu, mohon penjelasan? (3) Menurut Saudara apakah sistem teknologi itu

mempunyai peran dalam kerukunan para warga/etnis?

11. Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini? 12. Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan? 13. Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat? 14. Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?

76

PEDOMAN WAWANCARA Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya

Form: Tokoh Masyarakat Nama : ………………………………………………. Umur : ………………………………………………. Alamat : ………………………………………………. Pekerjaan : ………………………………………………. No. HP/Telp. : ………………………………………………. Tanggal : ………………………………………………. 1. Di wilayah ini ada beberapa etnis? Dari mana sajakah etnis

pendatang itu? Di wilayah mana saja mereka tersebar?

2. Apa tujuan mereka datang ke sini?

3. Apakah warga yang teridiri dari beragam etnis itu menunjukkan sikap kerukunan?

4. Menurut Saudara mengapa mereka itu hidup dalam kerukunan?

5. Apakah mereka mempunyai perkumpulan atau paguyuban? Apakah biasanya kegiatan yang diselenggarakan oleh etnis pendatang tersebut?

6. Apakah etnis lokal sering mengundang mereka untuk melakukan kegiatan bersama seperti kesenian, olah raga, gotong-royong, upacara adat, dsb?

7. Apakah etnis pendatang sering mengundang etnis lokal untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dalam kesenian, olah raga, gotong royong atau upacara adat, dsb?

8. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.

1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam sistem matapencaharian. (1) Apakah sebagian besar mata pencarian pokok warga di

sini? (2) Warga pendatang biasanya bekerja di sektor apa?

Apakah warga pendatang terkait dengan sektor mata pencarian/pekerjaan penduduk lokal?

(3) Mereka bekerja di bidang-bidang apa?

77

(4) Apakah ada perbedaan dalam pekerjaan, penduduk lokal mendapat prioritas atau warga pendatang mendapat prioritas?

(5) Menurut Saudara apakah sistem pencarian masyarakat mempunyai peran dalam mendukung kerukunan antar etnis?

(6) Apakah pernah terjadi konflik mengenai persoalan mata pencarian/pekerjaan ini?

(7) Bagaimanakah konflik itu diselesaikan?

2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam kesenian (1) Apakah ada bentuk kesenian, penduduk lokal disini yang

menonjol? (2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Tari-

tarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya? (3) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,

dan dalam rangka apa? (4) Apakah kesenian tersebut melibatkan warga pendatang

disini? (5) Apakah ada bentuk kesenian warga pendatang yang

sering ditampilkan disini? (6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Tari-

tarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya? (7) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,

dan dalam rangka apa? (8) Apakah kesenian tersebut melibatkan penduduk lokal

disini? (9) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peranan

dalam mendukung kerukunan antara etnis?

3) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam tradisi. (1) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan

penduduk lokal disini yang menonjol? (2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?

Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan lainnya?

(3) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu diselenggarakan, di mana, dan dalam rangka apa?

78

(4) Apakah tradisi, adat-istiadat tersebut melibatkan warga pendatang disini?

(5) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat warga pendatang yang sering ditampilkan disini?

(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan lainnya?

(7) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu diselenggarakan, dimana, dan dalam rangka apa?

(8) Apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut melibatkan penduduk lokal disini?

(9) Menurut Saudara apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut mempunyai peran dalam menudukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

4) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam kepercayaan/religi

(1) Masyarakat di sini menganut agama apa? Masing-masing etnis itu memeluk agama apa?

(2) Bagaimanakah kehidupan beragama di sini, apakah terdapat toleransi antar pemeluk agama?

(3) Apakah di antara mereka terdapat partisipasi dalam melakukan acara keagamaan masing-masing? Dalam bentuk apakah partisipasi itu?

(4) Mengapa mereka saling menghormati penganut agama lain yang berbeda dengan mereka?

(5) Apakah menurut Saudara aktivitas berkaitan dengan kepercayaan/religi tersebut mempunyai peranan dalam mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

9. Bagaimanakah kerukunan itu ditampilkan dalam kearifan Lokal 1) Apakah disini ada kearifan lokal yang mengungkapkan

kerukunan yang terdapat dalam cerita-cerita atau dongeng-dongeng, dan kearifan lokal lainnya?

2) Apakah disini ada istilah-istilah, selogan-selogan yang mengungkapkan tentang kerukunan?

3) Apakah menurut Saudara kearifan lokal tersebut mempunyai peran mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

10. Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini?

79

11. Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan? 12. Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat? 13. Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?

80

PEDOMAN WAWANCARA Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya

Form: LSM Nama : …………………………………………….. Umur : …………………………………………….. Alamat : …………………………………………….. Pekerjaan : …………………………………………….. No. HP/Telp. : ................................................................. Tanggal : ……………………………………………. 1. Menurut Saudara apakah warga disini menunjukkan sikap

kerukunan?

2. Mengapa mereka hidup dalam kerukunan, apa yang menyebabkan mereka itu hidup rukun.

3. Apa yang diupayakan oleh masyarakat untuk hidup dalam kerukunan?

4. Apakah mereka mempunyai perkumpulan atau paguyuban? Apakah biasanya kegiatan yang diselenggarakan oleh etnis pendatang tersebut?

5. Apakah etnis lokal sering mengundang mereka untuk melakukan kegiatan bersama seperti kesenian, olah raga, gotong-royong, upacara adat, dsb?

6. Apakah etnis pendatang sering mengundang etnis lokal untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dalam kesenian, olah raga, gotong royong atau upacara adat, dsb?

7. Apakah pemerintah daerah cukup berperan mendukung terjadinya kerukunan antar etnis di sini?

8. Apakah tokoh masyarakat di sini cukup berperan mendukung terjadinya kerukunan antar etnis disini?

9. Bagaimanakah peran LSM dalam turut menciptakan suasana kerukunan?

10. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh LSM? Bentuknya apa, kapan, dan dimana?

11. Apakah sering ada dialog, pertemuan atau komunikasi antar etnis disini?

81

12. Dalam bentuk apa kegiatan itu, siapa yang menyelenggarakan, kapan dan dimana?

13. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.

1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam sistem matapencaharian. (1) Apakah sebagian besar mata pencarian pokok warga di

sini? (2) Warga pendatang biasanya bekerja di sektor apa?

Apakah warga pendatang terkait dengan sektor mata pencarian/pekerjaan penduduk lokal?

(3) Mereka bekerja di bidang-bidang apa? (4) Apakah ada perbedaan dalam pekerjaan, penduduk lokal

mendapat prioritas atau warga pendatang mendapat prioritas?

(5) Menurut Saudara apakah sistem pencarian masyarakat mempunyai peran dalam mendukung kerukunan antar etnis?

(6) Apakah pernah terjadi konflik mengenai persoalan mata pencarian/pekerjaan ini?

(7) Bagaimanakah konflik itu diselesaikan?

2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam kesenian (1) Apakah ada bentuk kesenian, penduduk lokal disini yang

menonjol? (2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Tari-

tarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya? (3) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,

dan dalam rangka apa? (4) Apakah kesenian tersebut melibatkan warga pendatang

disini? (5) Apakah ada bentuk kesenian warga pendatang yang

sering ditampilkan disini? (6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Tari-

tarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya? (7) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,

dan dalam rangka apa? (8) Apakah kesenian tersebut melibatkan penduduk lokal

disini?

82

(9) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peranan dalam mendukung kerukunan antara etnis?

3) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam

tradisi. (1) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan

penduduk lokal disini yang menonjol? (2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?

Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan lainnya?

(3) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu diselenggarakan, di mana, dan dalam rangka apa?

(4) Apakah tradisi, adat-istiadat tersebut melibatkan warga pendatang disini?

(5) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat warga pendatang yang sering ditampilkan disini?

(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan lainnya?

(7) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu diselenggarakan, dimana, dan dalam rangka apa?

(8) Apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut melibatkan penduduk lokal disini?

(9) Menurut Saudara apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut mempunyai peran dalam menudukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

4) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam

kepercayaan/religi (1) Masyarakat di sini menganut agama apa? Masing-

masing etnis itu memeluk agama apa? (2) Bagaimanakah kehidupan beragama di sini, apakah

terdapat toleransi antar pemeluk agama? (3) Apakah di antara mereka terdapat partisipasi dalam

melakukan acara keagamaan masing-masing? Dalam bentuk apakah partisipasi itu?

(4) Mengapa mereka saling menghormati penganut agama lain yang berbeda dengan mereka?

83

(5) Apakah menurut Saudara aktivitas berkaitan dengan kepercayaan/religi tersebut mempunyai peranan dalam mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

14. Bagaiimanakah kerukunan antar etnid itu ditampilkan dalam kearifan lokal. 1) Apakah disini ada kearifan lokal yang mengungkapkan

kerukunan yang terdapat dalam cerita-cerita atau dongeng-dongeng, dan kearifan lokal lainnya?

2) Apakah disini ada istilah-istilah, selogan-selogan yang mengungkapkan tentang kerukunan?

3) Apakah menurut Saudara kearifan lokal tersebut mempunyai peran mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

15. Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini? 16. Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan? 17. Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat? 18. Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?

84

PEDOMAN WAWANCARA

Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya Form: Warga Masyarakat

Nama : .................................................................... Umur : .................................................................... Alamat : .................................................................... Pekerjaan : .................................................................... No. HP/Telp. : .................................................................... Tanggal : .................................................................... 1. Menurut Saudara apakah warga disini menunjukkan sikap

kerukunan?

2. Mengapa mereka hidup dalam kerukunan, apa yang menyebabkan mereka itu hidup rukun.

3. Apa yang diupayakan oleh masyarakat untuk hidup dalam kerukunan?

4. Apakah etnis lokal sering mengundang etnis lain untuk melakukan kegiatan bersama seperti kesenian, olah raga, gotong-royong, upacara adat, dsb?

5. Apakah etnis pendatang sering mengundang etnis lokal untuk melakukan kegiatan secara bersama-sama dalam kesenian, olah raga, gotong royong atau upacara adat, dsb?

6. Apakah pemerintah daerah cukup berperan mendukung terjadinya kerukunan antar etnis di sini?

7. Apakah tokoh masyarakat di sini cukup berperan mendukung terjadinya kerukunan antar etnis disini?

8. Bagaimanakah peran LSM dalam turut menciptakan suasana kerukunan?

9. Apakah sering ada dialog, pertemuan atau komunikasi antar etnis disini?

10. Dalam bentuk apa kegiatan itu, siapa yang menyelenggarakan, kapan dan dimana?

11. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.

85

1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam sistem matapencaharian. (1) Apakah sebagian besar mata pencarian pokok warga di

sini? (2) Warga pendatang biasanya bekerja di sektor apa?

Apakah warga pendatang terkait dengan sektor mata pencarian/pekerjaan penduduk lokal?

(3) Mereka bekerja di bidang-bidang apa? (4) Menurut Saudara apakah sistem pencarian masyarakat

mempunyai peran dalam mendukung kerukunan antar etnis?

(5) Apakah pernah terjadi konflik mengenai persoalan mata pencarian/pekerjaan ini?

(8) Bagaimanakah konflik itu diselesaikan?

2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam kesenian (1) Apakah ada bentuk kesenian, penduduk lokal disini yang

menonjol? (2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Tari-

tarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya? (3) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,

dan dalam rangka apa? (4) Apakah kesenian tersebut melibatkan warga pendatang

disini? (5) Apakah ada bentuk kesenian warga pendatang yang

sering ditampilkan disini? (6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Tari-

tarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya? (7) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,

dan dalam rangka apa? (8) Apakah kesenian tersebut melibatkan penduduk lokal

disini? (6) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peranan

dalam mendukung kerukunan antara etnis?

3) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam tradisi. (1) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan

penduduk lokal disini yang menonjol?

86

(2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan lainnya?

(3) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu diselenggarakan, di mana, dan dalam rangka apa?

(4) Apakah tradisi, adat-istiadat tersebut melibatkan warga pendatang disini?

(5) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat warga pendatang yang sering ditampilkan disini?

(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan lainnya?

(7) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu diselenggarakan, dimana, dan dalam rangka apa?

(8) Apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut melibatkan penduduk lokal disini?

(9) Menurut Saudara apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut mempunyai peran dalam menudukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

4) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam kepercayaan/religi (1) Masyarakat di sini menganut agama apa? Masing-

masing etnis itu memeluk agama apa? (2) Bagaimanakah kehidupan beragama di sini, apakah

terdapat toleransi antar pemeluk agama? (3) Apakah di antara mereka terdapat partisipasi dalam

melakukan acara keagamaan masing-masing? Dalam bentuk apakah partisipasi itu?

(4) Mengapa mereka saling menghormati penganut agama lain yang berbeda dengan mereka?

(5) Apakah menurut Saudara aktivitas berkaitan dengan kepercayaan/religi tersebut mempunyai peranan dalam mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

12. Bagaimanakah kerukunan antar etnik itu ditampilkan dalam kearifan lokal. 1) Apakah disini ada kearifan lokal yang mengungkapkan

kerukunan yang terdapat dalam cerita-cerita atau dongeng-dongeng, dan kearifan lokal lainnya?

87

2) Apakah disini ada istilah-istilah, selogan-selogan yang mengungkapkan tentang kerukunan?

3) Apakah menurut Saudara kearifan lokal tersebut mempunyai peran mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?

13. Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini? 14. Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan? 15. Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat? 16. Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?