Pengelolaan Terpadu Pulau-pulau Kecil

31
PENGELOLAAN TERPADU PULAU-PULAU KECIL MELALUI RENCANA ZONASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL I. PENDAHULUAN Secara geografis Indonesia membentang dari 6 o 08’ Lintang Utara dan 11 o 15’ Lintang Selatan serta 94 o 5’ dan 141 o 05’ Bujur Timur dengan jarak 3.443 mil dari Barat ke Timur dan 1.272 mil dari Utara ke Selatan. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia di mana terdapat sekitar kurang lebih 13.466 pulau besar dan kecil (berdasarkan hasil survey dari tahun 2007 hingga 2010 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR)). Melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia (laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia) menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Dan Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga, United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km 2 , terdiri atas 3,2 juta km 2 perairan teritorial dan 2,7 km 2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas perairan ini belum termasuk landas kontinen (continental shelf). Hal

description

Pengelolaan Terpadu Pulau-pulau Kecil melalui Rencana Zonasi WP3K

Transcript of Pengelolaan Terpadu Pulau-pulau Kecil

PENGELOLAAN TERPADU PULAU-PULAU KECIL MELALUI RENCANA ZONASI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECILI. PENDAHULUAN

Secara geografis Indonesia membentang dari 6o08 Lintang Utara dan 11o15 Lintang Selatan serta 94o5 dan 141o05 Bujur Timur dengan jarak 3.443 mil dari Barat ke Timur dan 1.272 mil dari Utara ke Selatan. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia di mana terdapat sekitar kurang lebih 13.466 pulau besar dan kecil (berdasarkan hasil survey dari tahun 2007 hingga 2010 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR)). Melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia (laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia) menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Dan Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga, United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas perairan ini belum termasuk landas kontinen (continental shelf). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (the biggest Archipelago in the World).Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan modal dasar pelaksanaan pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil juga memberikan jasa lingkungan yang tinggi karena keindahan alam yang dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari. Di lain pihak, pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan kebijakan pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke darat.

Pengembangan kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan membawa suatu perubahan pada ekosistemnya. Perubahan-perubahan tersebut akan membawa pengaruh pada lingkungan hidup. Semakin tinggi intensitas pengelolaan dan pembangunan yang dilaksanakan semakin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya dan perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi di kawasan pulau- pulau kecil.

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut, maka pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu antar sektoral. Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung pengelolaan pulau-pulau kecil adalah dengan menyusun rencana tata ruang dan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

II. DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PULAU-PULAU KECILDefinisi pulau-pulau kecil menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Definisi pulau-pulau kecil tersebut sesuai dengan IHP UNESCO (1993) yang menyebutkan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 2.000 km2 atau pulau yang memiliki lebar kurang dari 10 km. Sedangkan pulau sendiri didefinisikan sebagai an island is a naturally formed area of land surrounded by water, which is above water at high tide. Pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi oleh air dan selalu ada di atas air pada saat air pasang (UNCLOS, 1982). Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Menurut cara terjadinya, pulau-pulau di dunia dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu pulau benua, pulau vulkanik, pulau daratan rendah, pulau karang timbul, dan pulau atol, seperti diuraikan oleh Retraubun (2002):

1. Pulau Benua (Continental Islands), terbentuk sebagai bagian dari benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Tipe batuan dari pulau benua adalah batuan yang kaya dengan silica. Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan) dan Pulau Papua.

2. Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh atau bertumburan. Tipe batuan dari pulau tipe ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik terdapat di daerah pertemuan lempeng benua adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar, Timor).

3. Pulau Karang Timbul (Raised Coral Islands), terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada di dekat permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan rumahnya dan membentuk pulau karang. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya, karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak ditemui di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, dan Banda, di baratlaut Papua, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, dan kepulauan sebelah barat Sumatra, serta di Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata, atau Adonara.

4. Pulau Daratan Rendah (Low Islands), adalah pulau di mana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pulau ini dapat berasal dari pulau-pulau vulkanik, maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan atau tsunami. Karena pulau ini relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di utara Teluk Jakarta.

5. Pulau Atol (Atolls), adalah pulau (pulau karang) yang berbentuk cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef, dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari dari pulau vulkanik semula, dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol di Indonesia adalah Pulau-pulau Tukang Besi.

Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan penentuan pengelolaan agar berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang berkembang di pulau-pulau kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil tersebut lebih dominan ke arah pengembangan budidaya perikanan, maka kemungkinan besar pola permukiman yang berkembang adalah masyarakat nelayan.III. POTENSI PULAU-PULAU KECILSeperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya, sehingga potensi pulau kecil meliputi ekosistem-ekosistem pesisir dan laut yang terdapat di dalamnya. Di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), estuaria, laguna, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture), dan kawasan pemukiman.

Sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non renewable resources) (Dahuri, dkk., 2004). Sumberdaya yang dapat pulih antara lain sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut, lamun, mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih antara lain minyak dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya. Bila di telaah secara lebih mendalam, kiranya dapat lebih dikenali bahwa pulau kecil, memiliki keterbatasan sumberdaya alam yang sangat menonjol baik dilihat dari sisi keterbatasan sumberdaya lahan, sumberdaya air maupun kesipan ekosistemnya.

Selain segenap potensi pembangunan di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogekimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan.

IV. ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL4.1. Isu Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Jumlah pulau yang sangat besar beserta potensi sumberdaya alam yang melimpah membuat pulau-pulau kecil menyebabkan munculnya berbagai isu strategis baik dalam skala nasional maupun daerah. Dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2003, dijabarkan isu-isu nasional yang berkaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil, yaitu :

a. Belum terkoordinasinya bank data (database) pulau-pulau kecil yang berisi nama, luas, potensi, karakteristik, peluang usaha, permasalahan dan lain lain;

b. Sebagian besar pulau-pulau kecil merupakan kawasan tertinggal, belum berpenghuni atau jarang penduduknya namun memiliki potensi sumberdaya alam yang baik;

c. Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan laut yang dapat menghubungkan antara pulau induk (mainland) dan pulau-pulau kecil;

d. Beberapa pulau kecil telah menjadi sengketa antar propinsi dan kabupaten/kota;

e. Belum jelasnya kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

f. Sebagian pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi strategis sebagai batas wilayah negara terancam hilang karena penambangan pasir yang tak terkendali;

g. Terjadinya pencemaran di sekitar perairan pulau-pulau kecil akibat meningkatnya pembuangan limbah padat dan cair;

h. Pulau-pulau kecil berpotensi menjadi tempat kegiatan yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional; serta

i. Masih terbatasnya sistem pemantauan, patroli dan pengawasan (Monitoring, Controling dan Surveillance/MCS) di pulau-pulau kecil.

Selain isu strategis di tingkat nasional, di tingkat daerah sejak diberlakukannya otonomi daerah (Otda) melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga telah memunculkan beberapa isu dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yaitu:

a. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta kelembagaan daerah dan masyarakat dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil;

b. Tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan dalam rangka peningkatan pendapatan daerah;

c. Ketersediaan data, informasi dan peraturan yang diperlukan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil;

d. Kerjasama antar daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di bidang keamanan, pemanfaatan sumberdaya, dan peningkatan kualitas lingkungan; dan

e. Terjadinya sengketa antar daerah tentang status kepemilikan dan kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil.

Dalam rangka mengantisipasi isu daerah yang berkembang maka diperlukan identifikasi ketentuan dan peraturan hukum yang bersifat lintas daerah yang mengatur aspek pesisir dan pulau-pulau kecil serta identifikasi kegiatan-kegiatan yang dampaknya dirasakan melewati batas administratif, misalnya kegiatan di Kep. Seribu (antara Propinsi DKI Jakarta dan Banten). 4.2. Permasalahan Terkait Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil

Di samping memiliki potensi yang besar, pulau-pulau kecil memiliki kendala dan permasalahan yang cukup kompleks. Dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2003, dijelaskan beberapa permasalahan terkait pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil, yaitu:(1).Belum jelasnya definisi operasional pulau-pulau kecil

Definisi pulau-pulau kecil di Indonesia saat ini masih mengacu pada definisi internasional yang pendekatannya pada negara benua, sehingga apabila diterapkan di Indonesia yang notabene merupakan negara kepulauan menjadi tidak operasional karena pulau-pulau di Indonesia luasannya sangat kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau yang berada di negara benua. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia. Apabila mengikuti definisi yang ada maka pilihan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan pulau-pulau kecil sangat terbatas, yang tentu saja akan mengakibatkan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia menjadi lambat.

(2). Banyaknya pulau-pulau tak bernama

Pulau-pulau kecil di Indonesia masih banyak yang tak bernama, hal ini menjadi masalah tersendiri dalam kegiatan identifikasi dan inventarisasi pulau-pulau kecil. Lebih jauh lagi akan menghambat pada proses perencanaan dan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia. Data bulan Desember tahun 2007 menunjukkan bahwa dari 17.504 pulau yang tersebar di penjuru wilayah Indonesia, hanya 6.900 pulau yang memiliki nama dan telah dibakukan. Selebihnya, sekitar 10.600 buah

pulau masih belum dibakukan namanya sesuai standar internasional.(3). Belum pastinya panjang garis pantai dan jumlah pulau

Permasalahan lain dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia adalah belum jelasnya jumlah pulau dan panjang garis pantai. Referensi yang sering digunakan adalah data pada tahun 2007 yang menunjukkan bahwa terdapat 17.504 pulau yang tersebar di penjuru wilayah Indonesia. Sementara berdasarkan hasil survey dari tahun 2007 hingga 2010 oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi (Timnas PNR) terdapat sekitar kurang lebih 13.466 pulau besar dan kecil. Adanya perbedaan tersebut sangat berpengaruh dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan sektor kelautan dan perikanan, termasuk panjang garis pantai di Indonesia.(4).Kurangnya Keberpihakan Pemerintah terhadap Pengelolaan pulau-pulau kecil

Orientasi pembangunan pada masa lalu lebih difokuskan pada wilayah daratan (maindland) dan belum diarahkan ke wilayah laut dan pulau-pulau kecil. Masih rendahnya kesadaran, komitmen serta political will dari pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil inilah yang menjadi hambatan utama dalam pengelolaanpotensi pulau-pulau kecil.

(5).Pertahanan dan Keamanan

Pulau-kecil di perbatasan masih menyisakan permasalahan di bidang pertahanan dan keamanan. Hal ini disebabkan antara lain oleh belum terselesaikannya permasalahan perbatasan wilayah territorial dengan negara tetangga, banyaknya pulau-pulau perbatasan yang tidak berpenghuni, sangat terbatasnya sarana dan prasarana fisik serta rendahnya kesejahteraan masyarakat lokal. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran adanya okupasi negara lain dan memicu berkembangnya permasalahan yang sangat kompleks, tidak saja berkaitan dengan bagaimana upaya memeratakan hasil pembangunan, tetapi juga aspek pertahanan keamanan dan ancaman terhadap eksistensi NKRI.

(6). Disparitas Perkembangan Sosial Ekonomi

Letak dan posisi geografis pulau-pulau kecil yang sedemikian rupa menyebabkan timbulnya disparitas perkembangan sosial ekonomi dan persebaran penduduk antara pulau-pulau besar yang menjadi pusat pertumbuhan wilayah dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

(7). Terbatasnya Sarana dan Prasarana Dasar

Pulau-pulau kecil sulit dijangkau oleh akses perhubungan karena letaknya yang terisolir dan jauh dari pulau induk. Terbatasnya prasarana dan sarana seperti jalan, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, pasar, listrik, media informasi dan komunikasi menyebabkan tingkat pendidikan (kualitas SDM), tingkat kesehatan, tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat pulau-pulau kecil rendah.

(8). Konflik Kepentingan

Pengelolaan pulau-pulau kecil akan berdampak pada lingkungan, baik positif maupun negatif sehingga harus diupayakan agar dampak negatif dapat diminimalkan dengan mengikuti pedoman-pedoman dan peraturan-peraturan yang dibuat. Di samping itu, pengelolaan pulau-pulau kecil dapat menimbulkan konflik budaya melalui industri wisata yang cenderung bertentangan dengan kebudayaan lokal; dan menyebabkan terbatasnya atau tidak adanya akses masyarakat terutama pulau-pulau kecil yang telah dikelola oleh investor.

(9). Degradasi Lingkungan Hidup

Pemanfaatan sumberdaya yang berlebih dan tidak ramah lingkungan yang disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum, belum adanya kebijakan yang terintegrasi lintas sektor dan daerah serta rendahnya kesejahteraan masyarakat telah berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan hidup.

Berdasarkan isu dan permasalahan-permasalahan di atas, dalam menciptakan pengelolaan pulau-pulau kecil diperlukan perencanaan yang terarah dan terintegrasi/terpadu antar sektoral, sehingga pengelolaan serta pembangunan pulau-pulau kecil dapat maksimal dengan mengoptimalkan potensi sesuai karakteristik pulau kecil tersebut. Namun demikan, pendekatan dalam pengelolaan dan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia tidak boleh digeneralisasi untuk semua pulau, baik dengan wilayah daratan induknya maupun antar pulau kecil itu sendiri. Pendekatan yang berbeda ini memerlukan pula sistem dan pola pikir yang berbeda pula.

V. PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERPADU MELALUI PENDEKATAN PENATAAN RUANGDalam menciptakan keseteraan pembangunan pulau-pulau kecil diperlukan perencanaan yang terarah dan terintegrasi, sehingga output pembangunan yang dihasilkan menjadi optimal dan berkelanjutan serta terciptanya pembangunan wilayah kepulauan terpencil atau terluar dapat sejajar atau paling tidak tidak terlalu ketinggalan dengan wilayah daratan induk lainnya. Salah satu yang paling penting dalam penanganan masalah pengelolaan pulau kecil adalah peranan pemerintah sebagai pemegang kendali atas semua kegiatan yang hubungannya dengan masalah pulau-pulau kecil. Pemerintah harus memiliki kerangka pemikiran pembangunan pulau-pulau kecil yang mampu menciptakan proses transformasi sosial-budaya dan ekonomi, sehingga masyarakat pulau-pulau kecil benar-benar diberdayakan. Proses transformasi ini terjadi apabila mainstream kerangka pembangunan yang dikembangkan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang akan mengelola sebuah pulau-pulau kecil.Mengingat karakteristik pulau kecil yang berbeda dengan pulau besar lainnya, ada dua hal pokok yang perlu dipertimbangkan dalam langkah pengembangan serta pengelolaan pulau-pulau kecil, yakni yang pertama adalah berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dan kedua berkaitan dengan daya dukung lingkungan (carrying capasity). Pada hakekatnya kedua hal tersebut perlu dipertemukan sehingga dapat diperoleh optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dikaitkan dengan usaha pemerataan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan atas pertimbangan pembangunan yang berkelanjutan (Djais, 2004).

Setiap usaha yang berkitan dengan pengembangan kegiatan ekonomi maupun sosial, umumnya akan selalu membutuhkan sejumlah sumberdaya alam tertentu yang di peroleh dari suatu lingkungan geografis. Sesuai dengan sifat alamnya, suatu lingkungan geografis akan dihadapkan pada faktor keterbatasan. Apabila ditinjau dari sisi pengembangan kegiatan ekonomi, peranan dari lingkungan geografis ini dapat di pandang sebagai aspek supply dan tidak selalu dapat menunjang kebutuhan pengembangan kegiatan sosial-ekonomi yang berada di atasnya.

Khusus untuk pulau-pulau kecil, sesuai dengan ciri yang dimilikinya, kondisi lingkungan geografisnya memiliki keterbatasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau induknya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibutuhkan pendekatan pengelolaan pembangunan yang lebih spesifik untuk pulau-pulau kecil.

Hubungan antara pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dengan lingkungan geografis tidak selamanya harmonis. Hal ini disebabkan karena pada umumnya kegiatan sosial-ekonomi, yang mana dapat dikenali sebagai aspek demand, berkembang jauh lebih pesat dibanding dengan ketersediaan sumberdaya pendukungnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada tingkat daya dukung tertentu, seharusnya perkembangan kegiatan sosial-ekonomi perlu dibatasi agar dapat dicegah atau dikurangi dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, seperti meningkatnya polusi, erosi, pengerusakan landscape, hilangnya biodata penting, dan sebagainya. Pada hakekatnya, fenomena dari dampak negatif lingkungan disebabkan karena setiap perkembangan kegiatan sosial-ekonomi akan menimbulkan side-effect dan hal ini merupakan respon dari pada adanya kepekaan sumberdaya yang ada.

Di sisi lain, setiap upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi akan menuntut adanya suatu resources requirement berdasarkan atas spesifikasi kegiatan sosial-ekonomi yang akan dikembangkan. Hal ini merupakan respon dari adanya pemanfaatan sumberdaya yang ada (utility of existing resources). Pada prinsipnya, pendekatan yang dilakukan dalam penataan ruang pulau-pulau kecil ditekankan pada upaya mengenali peluang pengembangan dari berbagai macam kegiatan dengan memperhatikan akibat lingkungan dan ekonomi yang mungkin timbul.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa penataan ruang pada pulau kecil menjadi hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil tersebut. Penataan ruang pada dasarnya merupakan suatu upaya pemanfaatan potensi suatu wilayah atau kawasan bagi pembangunan secara berkelanjutan dengan mengurangi konflik pemanfaatan ruang oleh berbagai kegiatan, sehingga dapat dicapai suatu keharmonisan antara kegiatan dengan lingkungannya. Dalam hal ini penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang; pemanfaatan ruang; dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya.

Dalam penataan ruang pulau-pulau kecil, secara fisik batas wilayah perencanaanya akan lebih fleksibel karena akan sangat dipengaruhi oleh batasan fungsi ekosistem. Sesuai dengan sifat alamnya, pengelolaan pulau-pulau kecil perlu lebih ditekankan pada aspek preservasi dan konservasi dibanding dengan pembangunan yang bersifat intensif.

Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan pulau -pulau kecil ada dua hal pokok yang perlu untuk diperhatikan, yakni pertama, menentukan batas ambang kegiatan di pulau tersebut. Kedua adalah mengintergrasikan perlindungan habitat ke dalam kegiatan ekonomi, sehingga dapat terjadinya sinergi antara pengembangan kegiatan usaha dengan upaya melindungi dan melestarikan habitat dan sumberdaya alam yang ada. Menurut Djais (2004) ada lima prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pembangunan pulau kecil, yakni spatial harmony; optimal utilization of natural resoures; application of environmentally-sound marine biotechnology; pollution control; dan minimization of adverse environmental impacts.

Untuk menjamin fungsi dan pemanfaatan dari kawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang optimal dan berkelanjutan, kegiatan pengelolaan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil harus ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian wilayah tersebut. Rencana tata ruang merupakan rambu-rambu yang merupakan salah satu faktor yang dapat menghindarkan maupun mengantisipasi permasalahan-permasalahan pemanfaatan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Berkaitan dengan hal tersebut, peranan tata ruang pada hakekatnya dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan sumber daya secara optimal dengan sedapat mungkin rnenghindari adanya konflik pemanfaatan sumber daya sehingga tujuan dari pengelolaan kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dapat tercapai.Kaitan antara sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam suatu ruang sangat erat, bahkan merupakan kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Dalam hal ini ruang yang tidak mengenal batas wilayah, meliputi komponen-komponen ruang darat, laut, dan udara, sementara itu sumber daya alam yang terkandung dalam ketiga komponen tersebut meliputi komponen-komponen yang beranekaragam. Seiring dengan meningkatnya aktivitas dan penggunaan sumber daya alam karena meningkatnya kebutuhan manusia akan sumber-sumber tersebut, maka pengaturan penggunaan sumber-sumber daya alam tersebut perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat sebagai besar sumber daya alam yang ada merupakan sumber daya yang tidak terbaharukan. Kegiatan penataan ruang yang secara umum mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, merupakan solusi yang tepat dalam kaitamya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.Untuk tujuan perencanaan secara praktis, kawasan pesisir, laut,dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan khusus/spesial, memiliki karakteristik unik dan dengan batas-batas kawasan yang sering ditentukan berdasarkan permasalahan spesifik yang perlu ditangam. Berkaitan dengan hal tersebut, peranan tata ruang pada hakekatnya dirnaksudkan untuk mencapai pemanfaatan surnberdaya optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya, serta dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta meningkatkan keselarasan perkembangan antara kawasan di dalam kawasan pesisir dan kawasan lain yang terkait di sekitarnya.

Pendekatan penataan ruang ini merupakan pendekatan pengelolaan ruang yang harus menjamin adanya kepentingan sektoral yang terakomodir dan terintegrasi dan dalam prosesnya (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan) didukung oleh keterlibatan masyarakat serta didukung oleh sistem kelembagaan yang mengarah pada adanya forum komunikasi yang kuat antar stakeholders. Kegiatan penataan ruang dapat dipilah ke dalam tiga proses yaitu perencanaan, pemanfaatan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan (Darwanto dan Stepanto, 2000).Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam melakukan penataan ruang pulau-pulau kecil ada lima tahapan analisa yang perlu dilakukan (Djais, 2004), yakni:

1. Melakukan analisa terhadap peran sumberdaya yang ada (analysis of potential role of resources);2. Melakukan analisa dampak yang timbulkan (analysis of side effects);

3. Menganalisa sensitivitas dari sumberdaya yang ada (analysis of sensitivity of resources);

4. Melakukan analisa terhadap akibat pembangunan (analysis of potential consequences of development);

5. Melakukan analisa konflik (analysis of conflicts)

Kelima pendekatan analisis tersebut, pada hakekatnya ditujukan untuk dapat mengambil keputusan pembangunan yang optimal. Berkaitan dengan upaya penataan ruang pulau kecil, perhatian terhadap upaya menjaga kapasitas daya dukung lingkungan menjadi sangat penting artinya. Untuk itu ada empat dimensi lingkungan yang perlu dikenali agar keputusan pembangunan yang diambil dapat mencerminkan nuansa pembangunan yang berkelanjutan, seperti yang dituliskan Djais (2004) yakni:

1. Teritorial, dimana dapat menunjukkan area yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan suatu kegiatan;

2. Quantitative, dimana dapat menunjukan besaran kegiatan yang akan dikembangkan;

3. Qualitative, dimana dapat menunjukan jenis kegiatan yang akan dihasilkan;

4. Temporal, dimana dapat menunjukkan tingkat perkembangan yang dapat ditoleransi.

VI. RENCANA ZONASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECILSesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat (3) yang berbunyi Pemerintah Daerah wajib menyusun semua dokumen rencana (Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir and Pulau-Pulau Kecil). Dalam hal ini, salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah adalah mengatur pengalokasian ruang atau zona wilayah pesisir untuk dapat digunakan dalam memaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Zonasi wilayah pesisir pada hakekatnya merupakan suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir (UU 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Penetapan batas-batas zonasi memerlukan data tata ruang yang konsisten, akurat, lengkap dan terkini. Sebagai suatu upaya untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan konservasi, maka Rencana Zonasi merupakan implikasi spasial (keruangan) untuk pelaksanaan kebijakan-kebijakan dari Rencana Strategis (Suparno, 2009).Hirarki Rencana Pengelolaan WP3K digambarkan sebagai 4 (empat) dokumen perencanaan yang terpisah dan ditambahkan atlas sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, untuk mengenali tahapan penting dan tindak lanjut kegiatan-kegiatan perencanaan yang harus dilakukan. Piramid terbalik menggambarkan peningkatan fokus cakupan spasial untuk kerincian rencana. Tujuan dan isi setiap dokumen dapat diuraikan sebagai berikut.

Gambar 1. Hirarki Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Sumber: Pedoman Teknis Penyusunan RPWP-3-K, 2013

Dalam hirarki tersebut terlihat bahwa rencana zonasi akan menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Pengelolaan WP3K dan Rencana Aksi Pengelolaan WP3K. Rencana zonasi juga mendukung rencana strategis dengan mengarahkan aksi pada lokasi geografi yang sesuai. Aspek penting yang terdapat dalam rencana strategis dapat diringkas sebagai lampiran dalam rencana zonasi. Rencana zonasi mengalokasikan ruang dengan fungsi utama sebagai : (i) kawasan konservasi, (ii) kawasan pemanfaatan umum, (iii) kawasan strategis nasional tertentu, dan (iv) alur laut. Tujuan penyusunan rencana zonasi adalah untuk membagi wilayah pesisir dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible). Penentuan zona difokuskan berdasarkan kegiatan utama dan prioritas pemanfaatan sumberdaya pesisir guna mempermudahkan pengendalian dan pemanfaatan. Rencana zonasi menjelaskan focus kegiatan dan nama zona yang dipilih berdasarkan kondisi dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu. Penetapan rencana zonasi dimaksudkan untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam jangka panjang serta mengeliminasi berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir akibat kegiatan yang tidak sesuai (incompatible) (Suparno, 2009).Tabel 1. Kawasan dan Zona Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Dari tabel di atas, dapat terlihat zona-zona pemanfaatan dalam kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Cakupan terkecil dari rencana tata ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah tingkat kabupaten/kota. Rencana pola ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan rencana distribusi peruntukan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi konservasi, fungsi kawasan strategis nasional tertentu, fungsi pemanfaatan umum dan fungsi alur laut. Dengan demikian rencana pola ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kab/kota berfungsi :

a. Sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam WP-3-K Kab/Kota;b. Sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional

c. Sebagai alokasi ruang untuk kepentingan perlindungan cadangan sumberdaya ikan.d. Mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang darat laut dan di ruang pesisir itu sendiri;

e. Sebagai dasar pemberian izin pemanfaatan ruang perairan laut pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kab/kota.

Rencana pola ruang WP-3-Kdirumuskan berdasarkan :

a. kebijakan dan strategi penataan ruang WP-3-K Kab/Kota;

b. Kesuaian dan Keterkaitan antar kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

c. Daya dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;d. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Gambar 2. Ilustrasi Pola Ruang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Kabupaten/Kota

Rencana Zonasi pesisir dan laut akan menetapkan suatu jaringan/kisi-kisi spasial di atas lingkungan pesisir dan laut. Rencana ini memisahkan pemanfaatan sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan yang mana kegiatan-kegiatan yang dilarang dan diijinkan ditunjukkan untuk setiap zona peruntukan. Hal ini merupakan suatu upaya untuk menciptakan suatu keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan konservasi di pesisir.

Dalam proses penyusunan rencana zonasi ini, kerjasama dengan stakeholders sebaiknya dimulai pada tahap paling awal dalam penyusunan, oleh karena itu diperlukan Forum Diskusi untuk menampung aspirasi stakeholder atau biasa disebut FGD (Forum Discussion Group). Perlu dipahami bahwa masyarakat setempat sering memiliki pengetahuan khusus tentang sumberdaya mereka, ancaman terhadap sumberdaya, dan sebab-sebab utama dari degradasi sumberdaya. Mereka sering juga memperoleh keuntungan terbanyak dari keberadaan sumberdaya. Sementara mereka mungkin bertanggung jawab akan tekanan terhadap penggunaan sumberdaya, mereka mungkin juga berada di posisi yang terbaik untuk implementasi dan monitoring berbagai aktivitas pembangunan, untuk mengurangi tekanan pemanfaatan sumberdaya. Untuk itu, usulan Rencana Zonasi harus menghormati kearifan lokal, hukum adat dan hak-hak legal dari stakeholders yang terlibat. Selain itu, keterlibatan stakeholders didalam proses perancangan dan implementasi dapat membantu untuk memastikan bahwa stakeholders kunci (penting) turut berperan dan mendukung rencana sejak dari permulaan, dan karenanya meningkatkan kemungkinan keberhasilannya (Suparno, 2009).VII. PENUTUPPengembangan perairan dan pulau-pulau kecil mutlak diperlukan untuk mengeksplorasi potensi kekayaan laut yang bernilai ekonomis dan ekologis tinggi. Khusus untuk pulau-pulau kecil, sesuai dengan ciri yang dimilikinya, kondisi lingkungan geografisnya memiliki keterbatasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pulau induknya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibutuhkan pendekatan pengelolaan pembangunan yang lebih spesifik untuk pulau-pulau kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil secara terpadu mutlak diperlukan untuk mendukung kelestarian sumberdaya yang ada di pulau-pulau kecil. Pendekatan penataan ruang diharapkan mampu mengakomodir pengelolaan pulau-pulau kecil sesuai karakteristiknya. Hal ini dikarenakan peranan tata ruang pada hakekatnya dirnaksudkan untuk mencapai pemanfaatan surnberdaya optimal dengan sedapat mungkin menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya, serta dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta meningkatkan keselarasan perkembangan antara kawasan di dalam kawasan pesisir dan kawasan lain yang terkait di sekitarnya. Implementasi dari pendekatan penataan ruang dalam pengelolaan pulau-pulau kecil adalah dengan disusunnya Rencana Zonasi WP-3-K yang bertujuan diantaranya untuk memandu pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut. Dalam penyusunan rencana zonasi ini selain didasarkan pada analisis sumberdaya dan lingkungan, juga melibatkan berbagai stakeholder termasuk masyarakat lokal sehingga tidak berbenturan dengan adat istiadat atau kearifan lokal penduduk setempat. Dengan adanya zonasi wilayah pesisir dan juga pulau-pulau kecil, diharapkan mampu menjadi alat pengendali dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.DAFTAR PUSTAKAAdrianto, Luky. 2004. Pembangunan dan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu, Bogor, 23 Agustus 25 September 2004.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, JakartaDarwanto, H. dan D. Stepanto. 2000. Penataan Ruang Kawasan Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil, serta Hubungan dengan Penataan Ruang Wlayah. Perencanaan Pembangunan, No. 21, September/Oktober 2000.Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Djais, Ferrianto Hadisetiawan. 2004. Pendekatan Penataan Ruang Bagi Pulau Kecil; Penerapan Metode Ultimate Enviromental Threshold Sebagai Salah Satu Masukan dalam Upaya Perencanaan dan Pengembangan Pulau Kecil. www.tumoutou.net.Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2013. Pedoman Teknis Penyusunan RPWP-3-K (Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Konvensi Hukum Laut Internasional (KHL/UNCLOS) 1982.

Retraubun, A.S.W, 2002. Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Data dan Masalah Pengelolaannya. COREMAP. LIPI, Jakarta.Suparno. 2009. Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai Salah Satu Dokumen Penting Untuk Disusun Oleh Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota. Jurnal Mangrove dan Pesisir IX (1), Februari 2009: 1-8, ISSN: 1411-0679.