Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

62
PENDEKATAN INTEGRALISTIK DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA PADA PENDIDIKAN SEKOLAH DI INDONESIA oleh : PROF. DRS. H. AHMAD LUDJITO ORASI PENGUKUHAN GURU BESAR PENDIDIKAN ISLAM PADA FAKULTAS TARBIYAH IAIN WALISONGO PADA

Transcript of Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Page 1: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

PENDEKATAN INTEGRALISTIK DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA PADA

PENDIDIKAN SEKOLAH DI INDONESIA

oleh :PROF. DRS. H. AHMAD LUDJITO

ORASI PENGUKUHAN GURU BESAR PENDIDIKAN ISLAM PADA FAKULTAS TARBIYAH

IAIN WALISONGO

PADA

PADA RAPAT SENAT TERBUKA IAIN WALISONGOTANGGAL 18 JULI 1995

DI SEMARANG

Page 2: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

PROF. DRS. H. AHMAD LUDJITO

Page 3: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

PENDEKATAN INTEGRALISTIKDALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMAPADA PENDIDIKAN SEKOLAH DI INDONESIA

Orasi Pengukuhan Guru Besar Pendidikan IslamPada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo

Oleh : Prof. Drs. H. Ahmad Ludjito

Sekretaris dan para anggota senat IAIN Walisongo, para pejabat sipil dan ABRI, para Rektor, ibu-ibu dan bapak-bapak, saudara-saudara tamu undangan yang kami hormati serta segenap civitas akademika IAIN Walisongo yang kami cintai.

Terlebih dahulu marilah kita ucapkan syukur Alhamdulillah, yang berkat rahmat dan hidayah-Nya kita masih diberi-Nya kesempatan untuk hadir di aula ini dalam keadaan sehat wal afiat. Selanjutnya kepada seluruh hadirin kami ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas kehadirannya memenuhi undangan kami. Kami yakin kehadiran bapak ibu dan saudara-saudara di samping memeriahkan majlis ini juga memberikan do'a restu, sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar. Khusus kepada sekretaris dan para anggota senat IAIN Walisongo kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk membacakan orasi ini, dengan harapan semoga akan bermanfaat bagi IAIN Walisongo, khususnya dalam menyambut umurnya yang ke-25 pada bulan April yang lalu. Dan walaupun ibarat setetes air di lautan, juga merupakan sumbangan pemikiran tentang implementasi pendidikan agama Islam dalam konteks pendidikan Nasional. Dalam kaitan ini maka judul orasi ini adalah" Pendekatan lntegralistik dalam implementasi pendidikan Agama pada pendidikan sekolah di Indonesia".

Page 4: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

PendahuluanBaik secara historis maupun filosofis, agama bagi bangsa

Indonesia merupakan satu aspek yang tak terpisahkan dari aspek-aspek kehidupan lainnya, sehingga agama telah ikut mewarnai dan menjadi landasan spritual, moral dan etika dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Salah satu bukti otentiknya adalah dijadikannya Ketuhanan YME, esensi dan inti agama, sebagai sila pertama Pancasila, yang menurut Bung Karno sebagai penggalinya, merupakan jiwa bangsa Indonesia (Sunoto, 1984). Sebagai konsekuensinya maka dalam GBHN dari yang pertama sampai terakhir tahun 1993, agama selalu termasuk dalam program pembangunan nasional, sebagai bagian integral.

Titik tolak keberagamaan manusia adalah meyakini dan mempercayai sepenuhnya tentang kebenaran agama yang dipilihnya, dengan Ketuhanan sebagai intinya. Dalam Islam keyakinan dan kepercayaan ini dinamakan iman, sedang kepatuhan untuk melaksanakan ajarannya dinamakan taqwa. Maka sebagaimana Ketuhanan merupakan inti dan esensi agama, iman dan taqwa merupakan inti dan esensi keberagamaan seseorang. Oleh karena itulah maka dalam GBHN 1993 ditetapkan bahwa keimanan dan ketaqwaan sebagai asas yang pertama dari 9 asas pembangunan nasional yang berbunyi sbb:

"Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan YME : bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan Nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spritual, moral dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila".Dalam tujuan pendidikan nasional keimanan dan ketaqwaan

juga dijadikan ciri utama kualitas manusia Indonesia yang akan dicapai oleh pendidikan, disamping ciri-ciri kualitas yang lain. Untuk mewujudkan cita di atas pendidikan agama tentu diperlukan, yang menurut UUSPN bersama-sama dengan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan merupakan kurikulum wajib bagi semua jenis jalur dan jenjang pendidikan (pasal 39). Sejarah pendidikan Indonesia mencatat bahwa pendidikan agama (dalam hal ini khususnya Islam ), telah berjalan di masyarakat jauh sebelum kemerdekaan, sebagai hasil perjuangan para pemimpin agama yang tidak jarang menghadapi rintangan dan bahkan

Page 5: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

ancaman dari penjajahan Belanda, dalam berbagai bentuk : pondok pesantren, madrasah dan lembaga lainnya yang didirikan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Washiliyah dll, di Jawa maupun di pulau-pulau lainnya. Kehadiran lembaga-lembaga agama ini merupakan pelopor pendidikan agama Islam di Indonesia, yang menurut Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional kita, "pondok pesantren merupakan salah satu bentuk sistem pendidikan nasional (Suyoto, 1988). Dan menjelang kemerdekaan, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan membentuk Panitia kecil bagian pendidikan dan pengajaran yang mengajukan rekomendasi bahwa: Pendidikan dan pengajaran, bersendi pada Agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat (Hasan Walinono, 1990). Dan selanjutnya rekomendasi ini melandasi perhatian pemerintah terhadap pendidikan agama sampai pada kedudukannya sekarang.

Bila kita perhatikan bahwa eksistensi pendidikan agama di Indonesia sekarang ini, baik secara legal, konstitusional maupun filosofikal telah mapan, tentu cukup memberi harapan yang besar bagi kita akan partisipasinya yang aktif dalam pembentukan pribadi bangsa. Agama yang oleh W. M. Dixon diyakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral, sangat sukar untuk mencari penggantinya apabila perannya merosot, Dalam kaitan ini dia berkata :

"Religion, true or false, with it is attendant belief in God and a world to come, has been, on the whole, if not the only, at least we may believe, a stout bulwark of morality. When the decay or religion and its sanctions, it becomes andurgent question what can iake its place, what support of ethics of equal efficacy, indeed if any efficacy can be substituted, (dikutip oleh A. Mukti Ali dalam makalahnya "Etika agama dalam pembentukan kepribadian Nasional", 1969).Sedang sasaran beragama yang dituju oleh pembangunan

jangka panjang kedua adalah :"terciptanya suasana kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME, yang penuh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, yang penuh kerukunan yang dinamis antar dan antara umat beragama dan kepercayaan terhadap

Page 6: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Tuhan YME secara bersama-sama makin memperkuat landasan spiritual, moral dan etik bagi pembangunan nasional, yang tercermin dalam suasana kehidupan yang harmonis, serta dalam kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila (GBHN 1993).Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa prinsip sasaran :

1. keimanan dan ketaqwaan yang mantap 2. kerukunan yang dinamis antar dan antara umat beragama

yang berbeda3. makin mantapnya agama sebagai landasan spiritual , moral

dan etik bagi pembangunan nasional4. kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa selaras dengan

penghayatan dan pengamalan Pancasila.masalahnya : sampai dimanakah kondisi pendidikan agama islam yang ada sekarang mampu mewujudkan cita diatas? Orasi ini mencoba menjawab persoalan dengan tinjauan khusus pada pendidikan agama Islam.

Pengertian Pendidikan Agama Islam

Secara umum terdapat dua istilah : 1. Pendidikan Islam 2. Pendidikan Agama Islam

1. Pendidikan Islam :First World conference on Moslem Education di Mekkah tahun 1977 antara lain telah mengeluarkan rekomendasi tentang pendidikan Islam sbb. "The meaning of education in its totality in the context of Islam is inherent in the connotations of the terms tarbiyah, ta'lim and ta'dib taken together. What each of these terms convey concerning man and his society and environment in relation to God is related to others and together they represent the scope of education in Islam, both formal and non formal. ...... Education should aim at the balance growth of the total personality of man through the training of man 's spirit, intellect, rational self feelings and bodily senses. The training imparted to a moslem must be such that faith in infused into the whole of this personality and creates in him and emotional attachment to islam and enables him to follow

Page 7: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

the Qur'an and sunnah and be governed by the islamic system of values willingly and joyfully so that he may proceed to the realization of this status as khalifatullah to whom Allah has promised the authority of the universe" (jurnal pendidikan Islam, Desember, 1989).

Rekomendasi di atas meliputi prinsip-prinsip berikut:

a. pengertian Pendidikan Islam terdiri dari

(tarbiyah=pemeliharaan, asuhan), (ta'lim =

pengajaran) dan (ta’dib = pembinaan budi pekerti). Jalinan ketiganya itulah yang merupakan Pendidikan islam, baik formal maupun non formal.

b. Pendidikan (Islam) hendaklah ditujukan kearah tercapainya keserasian dan keseimbangan pertumbuhan pribadi yang utuh lewat berbagai latihan yang menyangkut kejiwaan, intelektual, akal, perasaan, dan indera.

c. Inti pendidikan Islam adalah infus keimanan ke dalam perasaan pribadi muslim secara utuh kepada anak didik agar menjadi muslim yang taat.

d. Bahwa Al-Qur'an dan Hadist merupakan sumber nilaipendidikan Islam, sebagai media untuk dapat merealisasikan fungsi muslim sebagai abdullah dan khalifatullah di bumi.

Sedang pengertian dan tujuan pendidikan nasional Indonesia menurut UUSPN adalah sebagai berikut: usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan /atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. (Bab I, pasal 1 butir 1). Dan pada Bab II, pasal 4 menyatakan tujuan pendidikan nasional sbb:"Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab

Page 8: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

kemasyarakatan dan kebangsaan".

Bila kedua sistem di atas kita bandingkan akan kita dapatkan gambaran sebagai berikut:1. bahwa pendidikan, baik Islam maupun national, meliputi

seluruh aspek kehidupan: jasmani rohani secara serasi, dengan iman dan taqwa sebagai landasan utamanya.

2. bahwa untuk mencapai sasaran itu diperlukan adanya bimbingan, pengajaran dan latihan.

Sedang perbedaanya terletak pada sumber nilai; pendidikan Islam dari Al-Qur'an dan Hadist, pendidikan nasional bersumber pada Pancasila dan UUD 194S.Namun perbedaan ini bukan merupakan kontradiksi dan bukan pula dikotomi, karena untuk merealisasikan keimanan dan ketaqwaan yang dituju oleh pendidikan nasional diperlukan ajaran agama yang mempunyai konsep dan komperehensif lentang keimanan dan ketaqwaan, yang diyakini berasal dari Tuhan YME. Dan karena bangsa Indonesia memeluk salah satu dari 5 agama: Islam - Katolik - Protestan - Hindu dan - Budha (sesuai dengan struktur yang ada di Dep. Agama), maka pengisian keimanan dan ketaqwaan itu bersumber pada salah satu dari 5 agama masing-masing pemeluknya. Dan bagi umat Islam tentulah ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadits.

Uraian di atas mengandung prinsip bahwa pendidikan Islam merupakan penjabaran dari pendidikan nasional terutama pada aspek keimanan dan ketaqwaan, khususnya bagi umat Islam. Dengan demikian pelaksanaan pendidikan Islam haruslah selalu dalam konteks pendidikan nasional, sehingga pendidikan Islam merupakan sub sistem pendidikan nasional. Demikian pula pendidikan agama yang lain. Hal ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa semua agama pasti hidup dan berkembang pada lingkungan dan proses budaya tertentu, sehingga secara kultur historis aplikasi agama yang sama dapat berbeda dengan perbedaan lingkungan dan budayanya, walaupun secara theologis tetap berprinsip sama. Di Indonesia yang berbudaya Pancasila tentulah agama-agama yang hidup didalamnya juga berorientasi pada Pancasila. Ini sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan lima tahun keenam

Page 9: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME yang berbunyi sebagai berikut:"Atas dasar keimanan dan ketaqwaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan YME, maka kehidupan beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan YME adalah selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila (GBHN1993).

Sedang tentang pelaksanaan sila Ketuhanan YME, P4 memberikan penjelasan sebagai berikut:

a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME.

b. Mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan YME, sehingga terbina kerukunan.

c. Mengembangkan sikap, saling hormat-menghormati kebebasan menjalankan ibadahsesuai dengan agama dan kepercayaannya.

d. Tidak memaksakan-agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Pendidikan Agama Islam :Dari uraian diatas dapat kita simpulkan, bahwa

pendidikan Islam mengandung makna sebagai suatu sistem, yang dalam konteks pendidikan nasional merupakan sub-sistem. Sebagai sistem pendidikan 'Islam hanya berlaku di pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya yang memang sepenuhnya berlandaskan ajaran Islam, yang dengan keluarnya UUSPN juga harus berorientasi pada sistem pendidikan nasional sebagai salah satu bentuk jalur pendidikan luar sekolah. Kecuali itu pendidikan Islam juga merupakan nama salah satu ilmu keislaman di bidang pendidikan, atau ilmu pendidikan dibidang agama Islam, yang menjadi salah satu kurikulum di fakultas Tarbiyah (pendidikan Islam).

Sedang pengertian pendidikan agama Islam, secara umum sama dengan pendidikan Islam, namun dalam konteks UUSPN, berarti mata pelajaran atau bidang studi agama Islam, sebagai salah satu kurikulum wajib bagi peserta didik

Page 10: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

muslim. Sebelum keluarnya UUSPN, pendidikan Islam dan pendidikan agama Islam juga berarti lembaga / atau sekolah Islam, yang terdiri dari tingkat Taman Kanak-Kanak (Bustanul Athfal / Raudatul Athfal) SLTP (Tsanawiyah) dan SLTA (Aliyah) negeri maupun swasta, termasuk pondok pesantren dan kemudian juga muncul berbagai kelompok pengajian semacam majlis Ta'lim dan Taman Pendidikan Al- Qur'an (TPQ)secara menjamur. Bahkan secara luas termasuk kedalamnya juga lembaga-lembaga sekolah yang didirikan oleh berbagai organisasi Islam, walaupun bersifat umum (Anwar Jasin, 1989).

Dalam UUSPN jalur pendidikan sekolah agama disebut pendidikan keagamaan, yang merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat mejalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang agama yang bersangkutan (pasal 11 butir 6).

Berdasarkan uraian di atas maka pengertian pendidikan agama dalam judul orasi ini adalah: pendidikan agama Islam sebagai salah satu bidang studi di semua jenis dan jenjang pendidikan sekolah (kecuali perguruan tinggi) di Indonesia. Dan untuk selanjutnya dipakai istilah pendidikan agama Islam, disingkat PAI.

Dari pengalaman, pengamatan dan informasi yang berasal dari berbagai sumber yang otentik dan sah yang menyangkut masalah implementasi PAI pada sekolah-sekolah dapat ditarik adanya beberapa masalah sebagai berikut:a. Kurangnya jam pelajaran: yang hanya 2 jam seminggu

(kurikulum baru 3 jam); ini mengakibatkan PAI di sekolah-sekolah lebih bersifat pelajaran daripada sebagai pendidikan, yang karenanya lebih menyentuh ranah kognitif, dan tidak atau kurang pada ranah afektif dan psikomotorik. Di desak oleh sasaran / target kurikulum GBPP yang cukup sarat makin mantaplah kondisi demikian itu.

b. Akibat lain dari keadaan diatas adalah: metodologi yang dipakai guru agama lebih merupakan keilmuan (apalagi pendidikan agama lebih dipandang sebagai bidang studi), sehingga sasarannya lebih pada rasio (kognitif) ;sedang agama yang intinya keimanan lebih menyentuh

Page 11: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

dimensi rasa (afektif), dengan sasaran utamanya hati kecil (hati nurani, conscience). Jadi pendekatannya harus lebih bersifat integralistik yang menyangkut semua dimensi dan ranah.

c. Fungsi PAI sebagai salah satu bidang studi, telah menyebabkan timbulnya dichotomy antara pendidikan agama dengan bidang-bidang studi lain. Dikotomi itu terjadi karena hakekat agama yang menyangkut kebenaran transcendental yang mutlak karena datang dari Tuhan (setidaknya bagi pemeluknya), sedang bidang studi lainnya sebagai ilmu mengandung kebenaran mondial yang nisbi, karena merupakan hasil kajian pemikiran manusia. Bila kedua kebenaran itu dipisahkan, maka sukar untuk mengkaitkan antara kebenaran agama dengan kehidupan sehari-hari, karena agama seakan-akan hanya untuk kepentingan akhirat saja, dan ilmu untuk dunia. Padahal menurut ajaran Islam keduanya harus dituntut bersama-sama, karena hidup akhirat merupakan kelanjutan (continuum), dari kehidupan dunia. Hal itu juga berarti bahwa PAI sampai batas tertentu menyangkut masalah Theology.

d. Heterogenitas pengetahuan dasar, penghayatan dan pengamalan agama pada peserta didik juga menambah permasalahan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pendidikan agama. Ditambah adanya variasi lingkungan keluarga dan pergaulan hidup sehari-hari,makin mantaplah heterogenitas itu.

e. Perhatian dan kepedulian pimpinan sekolah beserta seluruh guru pada PAI (di samping guru agama), juga ikut menentukan keberhasilan PAI, terutama yang berkaitan dengan fasilitas dan suasana kondusif yang diperlukan. Dari pengalaman PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) para mahasiswa fakultas tarbiyah IAIN Walisongo di beberapa SLTA, ternyata belum semua sekolah berkondisi demikian. Juga status guru agama yang mempunyai NIP berbeda dengan guru- guru lain sedikit banyak merupakan kendala psikologis.

f. Kemampuan dan kualitas guru agama sering dipermasalahkan; dari segi mated agama mungkin sudah

Page 12: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

memenuhi kriteria kompetensinya, namun kemampuannya untuk menghubungkan atau menyangkutkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari, masih terbatas. Hal ini menjadikan agama hanya sebagai pengetahuan yang substantial, dan belum fungsional atau aktual, baru berupa ilmu dan belum amal. Dengan demikian agama belum sepenuhnya menjadi bagian integral dari perkembangan pribadi peserta didik dengan ciri utamanya beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.

g. Adanya keluhan masyarakat tentang merosotnya tatakrama para pelajar sekarang, yang bila dibandingkan dengan keadaan sekitar 10 tahun yang lalu jauh berbeda. Keprihatinan semacam itu pernah dilontarkan oleh seorang guru SLTA di Semarang dalam tulisannya di salah satu surat kabar dengan judul "Krisis tata krama dalam sistem pendidikan kita", yang menggambarkan kalau dulu 10 tahun yang lalu murid membungkuk kepada guru bila melewatinya, atau minta izin bila akan keluar kelas, maka kini konsistensi tatakrama telah pudar. "Jangankan mau membungkukkan badan, menyunggingkan seutas senyumpun seolah menjadi karunia yang mesti disyukuri", keluhnya. Penyebabnya, menurutnya, antara lain kerena kini penanaman nilai-nilai tata krama di sekolah kian terasa kabur oleh dominasi tuntutan ranah kognitif yang harus dipenuhi. (Budy Wahyono, Surabaya Post, 7 Agustus 1991).

h. Butir di atas membawa kesan bahwa pendidikan agama (juga Pancasila yang juga menawarkan nilai-nilai moral) belum mampu untuk menanamkan tata krama atau etiket dan etik pada umumnya, sehingga muncul gagasan tentang perlunya diberikan mata pelajaran. Budi pekerti disamping pendidikan agama dan Pancasila yang sudah ada. Padahal inti agama dan juga Pancasila adalah akhlak dan moral, sebagaimana sabda Nabi:

(Sesungguhnya aku diutus oleh Alllah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak)

Page 13: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

i. Adanya tumpang tindih antara pendidikan agama dengan pendidikan pancasila (terutama tentang Ketuhanan YME), yang kadang-kadang menimbulkan masalah yang cukup serius, karena menyangkut bidang agama yang asasi, yaitu aqidah/credo.Sebagai contoh seorang guru Pancasila tanpa menyadari adanya dampak theologisnya, mengatakan kepada murid-muridnya: "semua agama sama saja"; sepintas ucapan itu biasa saja, namun secara akidah tentu menimbulkan masalah, karena bagi masing-masing pemeluk agama tentu agamanyalah yang diyakini paling benar. Yang diperlukan di sini ialah kesadaran bahwa kita hidup dalam suasana yang berbhinneka (pluralistis), termasuk kehidupan agama, dan bahwa sikap kawan yang beragama lain adalah sama dengan sikap kita terhadap agama yang kita peluk, karenanya hams saling rnenghargai. Contoh lain yang pernah terjadi tentang kerawanan ini adalah terbitnya buku PMP di Jawa Tengah kira-kira lima tahun yang lalu, yang didalamnya terdapat ungkapan yang dianggap menghina salah satu agama, yang dari segi PMP kelihatannya tidak ada masalah.

Pengertian I man dan Taqwa serta Cirinya Iman dan taqwa merupakan ciri utama manusia seutuhnya yang ingin dicapai oleh pendidikan nasional sebagaimana dirumuskan oleh UU No. 2 Th.1989 yang telah kami kutip di atas, sedang iman dan taqwa itu juga adalah inti dan esensi keberagamaan. Secara Syar'iy iman berarti: meyakini dengan hati, mengikrarkan dengan lisan tentang adanya Allah dan yang ghaib dan mewujudkannya dalam perbuatan (Tafsir al-Maraghi juz. 1). Orang yang beriman disebut :

Sedang Taqwa mengandung unsur unsur: 1. takut dan hormat kepada Allah 2. menjaga lidah, tangan dan hatinya dari kejahatan 3. dengan demikian maka bertingkah laku dan berakhlak mulia (Abdullah Yusuf Ali, the Holy Qur’an, h.17). Atau menurut Tafsir al Marroghi: melakukan semua perintah dan menghindari semua larangan Allah (ibid). Orang yang bertaqwa

disebut:

Page 14: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Sasaran PAI sebagaimana yang digambarkan oleh Pedoman Kurikulum PAI adalah sebagai berikut :a. Siswa memiliki pengetahuan fungsional tentang agamanya.b. Siswa rneyakini kebenaran ajaran agamanya dan menghormat

orang lain meyakini agamanya pula.c. Siswa gairah beribadah.d. Siswa berbudi pekerti luhure. Siswa mampu membaca kitab suci agamanya dan berusaha

memahaminyaf. Siswa mampu mensyukuri nikmat Tuhan YME.g. Siswa mampu menciptakan suasana kerukunan hidup

beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Dep.Agama, 1990)

Ditinjau dari berbagai dimensi dari tujuan pendidikan nasional terlihat bahwa sasaran ini meliputi keseluruhan dimensi tersebut.

Sementara itu Clock dan Stark membagi ciri-ciri keberagamaan menjadi 5 dimensi: 1) The belief dimension: wawasan teologis, berkeyakinan atas

kebenaran 11 ajaran agamanya2) Religious practice dimension: pelaksanaan ibadah dan ritual

lainnya.3) The experience dimension: pengalaman mistis, kontak dengan

zat supernatural.4) The knowledge dimension: berpengetahuan tentang ajaran

agamanya, minimum untuk keperluan ibadah sehari-hari.5) The consequencies dimension: sebagai efek dari keyakinan,

ibadah, pengalaman mistis dan pengetahuan tentang agamanya, dalam kehidupan sehari-hari.(Yinger, J. Milton, 1970, h.26-27).

Dalam ajaran Islam dikenal taksonomi iman - islam - ilmu – amal - ihsan - ikhlas. Iman : dimensi keyakinan tentang adanya Allah, para malaikat, kitab suci, Rasul / Nabi, hari kiamat dan taqdir Tuhan yang biasa disebut: (rukun Iman). Ini lebih merupakan ekspresi esoteric, penjabaran dari fungsi manusia sebagai (hamba Allah), karenanya Iebih bersifat individual. Islam : yang merupakan ekspresi lahiriyah dimulai dari

Page 15: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

syahadat (ikrar tentang iman) - shalat – berpuasa Ramadlan - mengeluarkan zakat - dan ibadah haji. Rangkaian ini biasa disebut

(rukun Islam), yang bersifat individual namun berfungsi sosial sebagai penjabaran fungsi (pemegang amanah Tuhan di dunia), karenanya Iebih bersifat exoteric. Secara umum juga disebut Pelakunya disebut

.

Ilmu : dimensi rasional; kewajiban setiap muslim untuk mengetahui ajaran agamanya, agar dapat beribadah dengan1 benar, minimal tentang rukun iman dan rukun Islam, orang yang

berilmu (terutama yang mendalami) disebut .Amal : dimensi aktual, sebagai konsekuensi dari iman dan Islam,

dalam kehidupan sehari-hari. orang yang beramal disebut yang juga mempunyai makna khusus, sebagai pelaksana pengumpul dan pembagi zakat/sodaqoh.Ihsan : dimensi aestetis, penyempurnaan amal dengan sikap seolah-olah melihat Tuhan di depannya. Pelakunya disebut

.Ikhlas : dimensi kualitas motivasi amal, tanpa pamrih kecuali

mengharap ridla Allah ( ). Dan pelakunya disebut

.

Kesediaan Manusia untuk Beragama

1. Tinjauan dari beberapa aspek tentang manusia menyimpulkan bahwa hakikat manusia adalah dilahirkan dengan potensi atau kecenderungan untuk menerima agama. Dan atas dasar itu pula maka GBHN telah menjadikan sebagai salah satu Modal Dasar pembangunan Nasional "Rohaniah dan Mental, yaitu Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan YME merupakan tenaga penggerak yang tak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi bangsa ......... " (GBHN 1993). Dari segi moral, manusia juga memiliki hati nurani (conscience ), yang merupakan pusat kepribadian, yang mengendalikan perbuatan manusia kearah kebaikan, dan yang Iebih bersifat

Page 16: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

subjektif. Karenanya diperlukan bantuan nilai dan norma yang memberikan tuntunan dan substansi yang bersifat obyektif . Bantuan itu juga selalu diperlukan, karena hati nurani bersifat lemah dan selalu tumbuh (Dr. AI Purwa Hadiwardoyo MSF, 1994, h.15). Maka agama sebagai sumber nilai yang otentik dan abadi jelas diperlukan bantuannya.

2. Sementara itu Freud dalam psikoanalisanya mengemukakan tiga komponen fungsi jiwa yang membentuk pribadi manusia: id - ego - superego. Id merupakan bagian kepribadian yang jauh terpendam; ia terdiri dari berbagai nafsu dan instink yang tak mengenal etika dan norma. Sedang ego adalah executive or manager of the personality. Ego merupakan sistem kepribadian yang tertata, rasional dan berorientasi relalistis. alam menghadapi desakan id, ego selalu berorientasi realistis atas petunjuk hati nurani. Superego sebagai pengembangan dari Ego mewakili cita dan nilai masyarakat yangditanamkan pada anak lewat hukuman dan ganjaran. Hasil penanaman lewat hukuman biasanya menyatu dengan superego sebagai conscience (hati nurani) . Sedangkan tingkah laku terpuji (yang mendapat ganjaran) menggabung dengan Superego sebagai egoideal. Conscience bertugasmenghukum kesalahan sehingga menimbulkan rasa bersalah dan dosa, sedang egoideal memberi ganjaran atas perbuatan baik yang menimbuIkan rasa bangga dan bertambahnya nilai diri. Secararingkas superego menahan dorongan negatif dari id dan menekan ego agar menuju ke arah moralitas serta mendorong pribadi untuk mencapai kesempurnaan (Phares E Jerry, 1984, h.69-70).

3. Dalam ajaran Islam bayi yang baru lahir berada dalam fitrah, sesuai dengan surat Ar-Rum ayat 30:

"Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan lurus mantap kepada agama; menurut fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah itu; tak ada

Page 17: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama yang benar. Tetapi (sayang) kebanyakan manusia tiada mengetahui. "

Sebagai penjelasan dari ayat di atas Nabi bersabda dalam satu hadits:

"Setiap bayi dilahirkan atas fitrahnya. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani ataupun Majusi ".

Tentang ayat di atas Abdullah Yusuf All mentafsirkan sebagai berikut :"Sebagai makhluk Allah maka manusia dilahirkan dalam keadaan suci dari dosa, jujur, bebas, cenderung pada kebenaran dan keutamaan, dan juga dibekali dengan kesadaran tentang posisinya di a lam semesta ini dan tentang rahman rahimNya Tuhan, kekuasaan-Ny'a dan sifat lainnya. Itulah hakikat manusia, sebagaimana hakikat kuda yang lebih cepat daripada kambing, dan sebagainya. Namun dalam perjalanan hidup selanjutnya manusia banyak terjebak dalam berbagai hal yang menyelewengkan dari fitrahnya, sehingga menjadikannya tidak lagi suci, bersih, dan jujur; penuh takhayul, hilang kecintaannya kepada sesama manusia dan bahkan menjadi musyrik. Karena itulah pendidikan dan agama sangat diperlukannya (Abdullah Yusuf Ali,1968, h.1059; terjemahan penulis).

Pendekatan Integralistik sebagai Upaya Alternatif Pemecahan Masalah

Dimaksud dengan pendekatan integral is tik, dikenal juga dengan holistik (sesuai dengan makna harfiah keduanya : keseluruhan) adalah pendekatan secara menyeluruh / terpadu dengan mencari hubungan fungsional maupun komplementer dari semua komponen yang terlibat dalam suatu proses. Dalam hal ini adalah proses PAI dalam pendidikan sekolah. Dan sesuai dengan

Page 18: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

berbagai masalah yang telah kami ajukan, maka pemecahan ini mengacu kepada permasalahan tersebut.

Masalah Kurangnya Jam Pelajaran

1. Berbicara masalah pendidikan kita harus melihatnya secara keseluruhan, bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah, sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 2Th. 1989 (Penjelasan Umum). Selanjutnya pasal 9 (1) UU tersebut menyatakan bahwa satuan pendidikan dilaksanakan di sekolah dan di luar sekolah. Ayat (3) menjelaskan bahwa satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan sejenis. Pasal 10 ayat (4) menegaskan fungsi pendidikan keluarga sebagai bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Sedang menurut Hadits yang kami kutip di atas, fungsi orang tua dalam menentukan agama anaknya sangat dominan.

2. Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan sekolah, keluarga dan masyarakat merupakan 5am kesatuan integral yang secara proporsional mempunyai tanggungjawab bersama dalam pendidikan, termasuk dan khususnya, pendidikan agama. Kesadaran tentang ini telah ditunjukkan oleh kebanyakan guru agama, antara lain dengan tugas-tugas yang diberikan kepada siswa untuk membuat ringkasan pengajian di TV, laporan tentang isi khotbah Jum'ah atau ceramah agama lainnya di masjid-masjid ataupun tempat lain, tambahan pelajaran di luar jadwal, semacam kuliah hari Minggu, menyelenggarakan peringatan hari besar Islam di sekolah, dan tidak lupa melibatkan orang tua dengan membubuhkan tanda tangan pada semua laporan siswa (tentunya dengan harapan bahwa orang tuanya ikut mengawasinya). Kiranya kegiatan semacam itu telah ikut mengatasi kurangnya jam pelajaran di sekolah, yang karena telah sarat dengan beban pelajaran lainnya, tidak mungkin menambah jam lagi. Sementara itu, penambahan secara kuantitatif belum menjamin tercapainya efektivitas, bila tidak disertai efektivitas dalam

Page 19: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

pelaksanaannya, yang menyangkut kualitas guru dan metodologi yang dipakainya. Dengan demikian fungsi dan peran keluarga dalam pendidikan agama. Perlu ditingkatkan lagi. Memanggil guru privat merupakan salah satu altematif, yang kini banyak diminati berbagai keluarga yang tidak sempat atau tidak mampu melaksanakan sendiri. Memang cara ini memerlukan biaya, namun dengan cara bergabung beberapa keluarga akan meringankannya. Satu hal yang perlu diingat bahwa pendidikan agama tidak hanya memerlukan materi agama, karena tingkah laku yang terpuji dapat disosialisasikan lewat contoh yang kongkrit dan dibudayakan lewat berbagai motivasi yang diberikan orang tua. Dan tingkah laku terpuji itu merupakan bagian integral dari agama, yang dinamakan akhlaq ( ). Lukisan yang indah, baik kaligrafi, gambar rumah ibadah maupun pemandangan alam, dapat menambah kesadaran tentang kebesaran Tuhan, yang akan meningkatkan keimananan dan ketaqwaannya. Juga suasana yang harmonis antara seluruh anggota keluarga, kekhusyukan dalam beribadah (dalam Islam disebut keluarga sakinah), ikut menciptakan suasana yang kondusif dalam upaya pendidikan agama. Kalau pada hari Idul Fitri ibu memasak makanan khusus, di samping kekhususan lainnya, barangkali kekhususan itu, walaupun tidak semeriah Idul Fitri, dapat pula diterapkan pada hari-hari besar Islam lainnya. Ini senada dengan jiwa peringatan atau perayaan yang selalu diadakan oleh masyarakat, bahkan juga pemerintah, dalam menyambut berbagai hari besar itu. Dengan demikian hikmah yang selalu diharapkan dari peringatan hari-hari besar itu akan dia dapatkan.

3. Alternatif lain dari pendidikan agama di masyarakat adalah adanya Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPQ) yang kini tumbuh menjamur di mana-mana, yang di Kodia Semarang saja kini sudah ada lebih dari 150, dan akan berkembang terus (data dari Kanwil Dep.Agama Propinsi Jawa Tengah). Atau juga Madrasah Diniyah (lembaga pendidikan agama yang terutama disediakan bagi siswa sekoiah umurri di sore hari, baik tingkat dasar maupun menengah), yang menurut catatan Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Dep. Agama kini berjumlah ± 15.500 buah di seluruh Indonesia. Dan yang akhir-

Page 20: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

akhir ini mulai menjadi trend, adalah pesantren kilat yang banyak diselenggarakan oleh berbagai lembaga terutama pada musim liburan panjang. Munculnya berbagai organisasi Remaja Masjid juga ikut mem bantu mengatasi kurangnya jam pelajaran di sekolah. Mungkin masih ada altematif lainnya.

Masalah Metodologi Pendidikan Agama

1. Jumlah jam pelajaran yang terbatas dengan materi yang sarat menyebabkan guru agama mengambil jalan pintas yang paling mudah, yaitu melihat pendidikan agama lebih sebagai pelajaran daripada sebagai pendidikan. sehingga pendekatan yang dipakainya adalah pendekatan ilmu yang lebih menyentuh ranah kognitif. Akibat yang mudah diharapkan dari pendekatan semacam itu adalah bahwa peserta didik hanya akan menumpuk bahan agama sebagai pengetahuan secara kuantitatif, dan tidak atau kurang kualitatif dalam pembentukan pribadi. Dengan demikian diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif yang menyentuh seluruh aspek pribadi, yang sering disebut sebagai pendekatan holislik atau integralistik. Dalam kaitan ini pendapat Nilsen barangkali akan dapat menolong, yaitu bahwa ada 3 faktor yang ikut membentuk kualitas keberagamaan seseorang, ialah :a. kualitas pemahaman tentang Tuhan sebagai nilai tertinggi

dalam sistem agamab. kadar pengalaman keagamaannya sehari-hari,

terutama bagaimana menghayati hubungan antara nilai-nilai ideal agama dengan kenyataan kehidupan yang melibatkannya.

c. pandangan tentang dirinya, siapa hakikat dirinya, evaluasi tentang diri dan kemampuannya (Nilsen, 198O, h.9-10)

2. Patut pula kita perhatikan peringatan Paul Hirst, yang menegaskan bahwa ajaran agama termasuk ranah kepercayaan, dan bukan pengetahuan yang dapat diverifikasi secara umum. Karena itu materi agama yang diajarkan di sekolah hendaklah lebih bersifat deskriptif, dan bukan penyajian yang mengagung-agungkan. Sedang Dearden mengingatkan hendaklah dibedakan antara pendidikan agama

Page 21: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

dengan indoktrinasi (Lord & Bailey, 1973, h.S9).

3. Pendidikan agama sebagai bagian integral dari pendidikan pada umumnya, tak lepas dari prinsip pendidikan modern yang menurut Moran terdapat kecenderungan yang berprinsip sebagai berikut :

"Fakta sentral dari gerakan pendidikan modern adalah adanya pengakuan terhadap anak didik sebagai. faktor penentu dalam seluruh rancangan pendidikan. Pendidikan bukanlah untuk mencetak anak didik sesuai dengan cetakan yang telah disiapkan lebih dahulu, tetapi untuk mengembangkan kekuatan-kekuatannya yang normal kedalam tatanan alamiahnya".( Moran, 1983, h.22; terjemahan penulis).

Ungkapan ini menunjukkan bahwa pendidikan agamapun harus berfokus pada kondisi objektif peserta didik dengan segala potensi yang ada pada dirinya, yang dalam islam. disebut sebagai fitrah. Untuk ini maka metodologi pendidikan agama harus memperhatikan kondisi psiko-fisik peserta didik yang antara lain menurut teori James W. Fowler ada 6 tingkat dinamika pertumbuhan keimanan, yaitu :

a. intuitive-projectile faith, (anak umur 3 - 7 tahun): fase penuh fantasi dan peniruan; anak mudah terpengaruh oleh contoh-contoh tentang sikap mental, perbuatan dan ceritera tentang keimanan dari orang dewasa yang dekat dengan mereka.

b. mythic-literal faith, (umur 7 - 10/11 tahun): sudah dapat mengambil faedah dari ceritera dan contoh yang sesuai dengan kehidupannya, meskipun masih secara harfiah.

c. synthetic-conventional faith, (umur 11/12-17/18 tahun): peluasan pengalaman yang mulai keluar dari lingkungan keluarga, perlu orientasi yang jelas tentang keimanan, kaitannya dengan norma dan informasi yang semakin kompleks, sebagai basis bagi penemuan identitas dan pandangan hidupnya.

d. individuative-reflective faith, (umur 18-30 tahun) ditandai oleh perkembangan ganda, yaitu self dalam rangka pemantapan identitas dan world view, kesadaran

Page 22: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

diri dalam ruang lingkup kehidupan. Timbul kemampuan untuk mengartikan simbol-simbol ke dalam makna konseptual, atau tahap demitlogisasi.

e. conjunctive faith, (di atas 30 tahun): proses lebih lanjut dari integrasi self dan world view, penekanan terhadap pemahaman simbolik dengan makna konseptual, kemampuan untuk menyatukan dua pandangan yang kontradiktif, kebenaran dan paradoks dalam pemikiran dan pengalaman. Siap pula untuk mendekatkan diri kepada sesuatu yang asing, termasuk pengalaman spiritual dan agama secara mendalam.

f. universalizing faith: sangatjarang yang dapat mecapai taraf ini. Dalam tahap ini seseorang mampu menunjukkan komponen keimanannya yang mencakup semua makhluk yang termasuk ke dalam perhatian lingkungannya. Dia telah menjadi penjelmaan dan pelaku dari ruh masyarakat yang lengkap dan serba ada.(Barangkali semacam "wali" da!am sejarah penyebaran Islam; pen.). (Fowler, 1981).

Tahap keimanan yang lebih sederhana dikemukakan oleh Ronald Goldman yang mengkategorikan kesadaran beragama menjadi 3 tingkat:

1. pre-religious stage, (umur 6 - 10 tahun): anak belum mempunyai pandangan tentang realita kehidupan beragama. Pengertiannya lebih ditonjolkan oleh fantasi dan emosi daripada logika

2. sub religious stage, (umur 10 -14 tahun: lebih berfikiran logis, namun masih dalam tahap sub-agama, di mana pendekatan materialises dan fisis masih dominan;

3. personal-religious phase, (14 - 18 Tahun ke atas): mulai mempunyai konsep agama yang rasional, namun sebaliknya tumbuh pula sikap negatif yang mengganggu keyakinan agamanya, sebagai dua proses psikologis yang kontradiktif untuk menuju pada kemantapan keimanannya (Godman, Ronald, 1967).

Sementara itu Imam Al Ghazali, seorang filosof, sufi dan pendidik besar mengangkat derajat guru / pendidik pada

Page 23: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

kedudukan yang sangat terhormat, bahkan menempatkannya dalam jajaran para Nabi. Menurutnya, guru bagaikan matahari yang terang dan menerangi jagad raya tanpa henti-hentinya dan tanpa pilih kasih. Guru juga ibarat bunga mawar yang harum semerbak dan menyebarkan harumnya pada orang lain.

Setiap guru yang pelit memberikan ilmunya kepada yang berhak, pada hakikatnya dia terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu dia berpesan kepada para guru, antara lain : agar guru menaruh perhatian yang besar kepada anak

didiknya. agar guru mengajar dan mengasuh anak didiknya

sebagaimana terhadap anaknya sendiri. guru hendaklah berusaha sekuat tenaga untuk mengubah,

mengoreksi dan membentuk anak didiknya. Pendidikan tak punya arti apabila tak dapat mengubah pandangan anak didiknya dalam kehidupan moral, intelektual dan spiritual.

Anak didik hendaklah didorong untuk belajar dengan cinta dan simpati, bukannya dengan paksaan dan kekerasan.

guru jangan memandang rendah satu ilmu dan meninggalkan ilmu lainnya, karena akan mempersempit wawasan anak didiknya.

guru hendaklah memperhatikan tingkat kecerdasan anak didiknya, agar dapat menangkap apa yang diajarkan kepadanya; dia juga harus menjaga penampilannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai panutan dan bahkan sebagai model pribadj yang baik bagi anak didiknya,

anak terbelakang hendaklah ditangani secara khusus agar tak merasa rendah diri di hadapan kawan-kawannya; untuk ini diperlukan psikologis anak yang mendalam.

guru harus adil dan terbuka bagi semua anak didiknya, dia harus menjadi model bagi keutamaan moral, karena cacat moral pada dirinya akan sangat berpengaruh pada bara anak didiknya (Khan, 1976 h.82-84).

Pesan-pesan Al Ghazali di atas sudah cukup komprehensif dan moderen, bila diingat bahwa hal itu dikemukakannya kurang lebih 900 tahun yang lalu, karena beliau hidup antara tahun 1058 - 1111. Di dalamnya telah tercermin aktivitas timbal balik antara

Page 24: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

guru dan anak didik, sebagaimana sistem CBSA yang kini diterapkan dalam pendidikan moderen.

Semua uraian di atas menunjukkan bahwa metodologi pendidikan agama hendaklah memperhatikan semua aspek anak didik, sebagaimana yang juga berlaku bagi proses pendidikan pada umumnya, sehingga variasi pemilihan metodenya dapat ditentukan dengan tepat. Kapan metode ceramah lebih tepat dipakai daripada metode demonstrasi, misalnya. Dan kapan pula alat peraga dan alat audio visual sangat dibutuhkan dalam penyajian materi agama tertentu.

Masalah Dikotomi antara Pendidikan Agama dengan Bidang Studi lainnya.

1. Sebagaimana telah disebutkan di muka, masalah dikotomi terutama timbul dari keyakinan bahwa agama dan ilmu berasal dan sumber yang berbeda, agama datang langsung dari Tuhan, sedang ilmu adalah hasil pemikiran manusia; sehingga agama bersifat mutlak dan ilmu nisbi. Titik tolak agama adalah keyakinan / iman, sedang ilmu justru. dimulai dengan keraguan dan ketidakpercayaan. Ditinjau dari ajaran Islam, memang seluruh ayat al-Qur'an, sebagai sumber utama agama Islam, secara harfiah diyakini datang dari Tuhan dan karenanya mempunyai kebenaran mutlak. Namun terjemahan atau penafsirannya oleh manusia tentu nisbi, dan karenanya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi dan situasi kehidupan manusia, termasuk ke dalamnya berbagai ilmu agama yang meliputi tafsiran al Qur’an, ilmu hadits, fiqih (hukum Islam), ilmu tauhid, dan sebagainya. (Harun Nasution et.al., 1985, h.4-6). Bila kita lihat bahwa sebagian besar mated pendidikan agama Islam terdiri dari ilmu-ilmu ciptaan manusia/ulama seperti tersebut di atas, maka kecuali yang jelas merupakan ibadah mahdlah/wajib dan ayat-ayat Al

Qur'an yang (menentukan hukum secara jelas), sebenarnya tidak berkebenaran mutlak. Bila demikian setidak-tidaknya satu kendala yang memisahkan keduanya sudah teratasi. Implikasinya bahwa ajaran agama, terutama yang menyangkut kehidupan masyarakat ( )

Page 25: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian ilmu agama menduduki kebenaran yang sejajar dengan ilmu lain.

2. Secara didaktis, tujuan umum semua ilmu yang diberikan di sekolah harus mengacu pada tujuan pendidikan nasional, yaitu manusia seutuhnya yang ciri pertama dan utamanya adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME. Kalau iman dan taqwa termasuk dalam kategori religius, di samping nilai intelektual/akademik yang dimilikinya ( setidaknya bagi bangsa Indonesia). Implikasi edukatifnya adalah : bahwa semua guru/pendidik, apapun bidang studi yang diampunya, secara umum mempunyai tugas dan fungsi yang sama, yaitu "mengiman dan mentaqwakan peserta didiknya", disamping juga harus mencerdaskan, menterampilkan, dan sebagainya. sebagai dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Kalau berbeda maka hanya pada materinya, sehingga guru agama tentu mempunyai porsi yang lebih banyak dalam proses internalisasi iman dan taqwa daripada guru-guru lainnya. Demikian juga sebaliknya, lewat mated pendidikan agama, guru agamapun harus mampu secara proporsional untuk ikut mencerdaskan, menterampilkan peserta didiknya. Dengan demikian jelas bahwa sikap yang harus dimiliki oleh-semua guru / pendidik di Indonesia adalah "ilmu tidak bebas nilai, melainkan mengandung muatan nilai religius di samping nilai intelektual / akademik". Kiranya itulah maknanya mengapa salah satu syarat untuk menjadi guru adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, sebagaimana yang ditentukan oleh UUSPN (pasal 28 ayat 2)

3. Bila prinsip di atas dipegangi maka tak ada alasan bagi adanya dikotomi itu. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa pendidikan nasional yang berdasar Pancasila pada hakekatnya juga berorientasi pada keimanan dan ketaqwaan (Pancasila based, faith and piety oriented education). Ini sesuai dengan harapan Ashraf dengan pernyataannya :

"if religion is taught as one of many subjects and not as the central subject governing the approach to all branches of human knowledge, one cannot hope to reassert the moral basis of a society." (Ashraf, 1985, h.10)

Page 26: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

("Bila agama diajarkan (hanya) sebagai salah satu dari sejumlah bidang studi dan bukansebagai bidang studi inti yang mengendalikan pendekatan pada semua cabang ilmu pengetahuan, tak seorangpun dapat mengharap untuk mampu menanamkan basis moral dari suatu masyarakat.") Ungkapan ini merupakan komentar atas kegagalan pendidikan agama di Inggeris yang diundangkan pada tahun 1944. Dan untuk itu maka (komentar selanjutnya): "piety and faith must be clearly recognized in syllabuses as an aim to be systematically pursued. The test of any syllabus must be whether it brings the learner nearer to an understanding of God and of the relation in which man stands to his Maker ". (ibid h.38) ("ketaqwaan dan keimanan haruslah ditempatkan secara jelas dalam silabus sebagai arah yang dituju secara sistematis. Ujian bagi setiap silabus adalah, apakah silabus itu dapat membawa pelajar lebih dekat kepada pemahamannya tentang Tuhan dan tentang hubungan antara manusia dengan Penciptanya.)

4. Senada dengan itu adalah pandapat Muslehuddin, bahwa atas dasar al-Qur'an 2: 201 (tentang do'a kebahagiaan dunia akhirat), maka keterpaduan antara ilmu naqliyah (berdasar wahyu / kitab suci) dan ilmu aqliyah (rasional) hendaklah diupayakan, agar anak didik tidak hanya mengenal beda antara baik dan buruk saja, tetapi juga tentang kebaikan dunia dan akhirat secara terpadu dan komprehensif. Dan ini memerlukan adanya formulasi tentang sistem pendidikan yang komprehensif dan terpadu berdasarkan alas prinsip kesatuan ilmu pengetahuan dan tanpa adanya pemisahan antara dunia dan akhirat (Muslehuddin, Dr. Muh, tanpa tahun, h.41)

5. Keterpaduan sikap semua guru terhadap pendidikan agama akan sangat membantu menghilangkan, setidaknya memperkecil, adanya dikotomi. Contoh kongkrit sudah diberikan dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Peningkatan Ketaqwaan terhadap Tuhan YME selama bulan Ramadlan yang diterbitkan Dep. Pendidikan dankebudayaan, yang pada butir !I! No.4 c) menegaskan: Tugas guru non guru agama: (1) ikut memotivasi anak didik dalam program ini. (2) ikut mengisi program inidengan mengisi

Page 27: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

muatan nilai-nilai Ketuhanan YME dan moral dalam pelajaran secara wajar, bukan dipaksa-paksakan atau dibuat-buat, d). Wall kelas: (1) mengkoordinasikan keterlibatan kelasnya dalam program ini. (2) membantu guru agama dalam melakukan penilaian dan perbaikan program.

6. Perlu pula diingat bahwa penanaman keimanan dan ketaqwaan tidak harus selalu lewat materi ilmu agama, karena selain yang bersifat aqidah dan ibadah mahdlah, prinsip-prinsip universal tentang keutamaan yang diajarkan agama juga diajarkan oleh moral; misalnya: kejujuran, keadilan, menghormati hak orang lain, sopan santun, kedisiplinan, kebersihan dan lain lain. Menanamkan semuanya itu ke dalam pribadi anak, pada hakikatnya juga ialah menanamkan ajaran agama. Dan untuk menjamin bahwa dengan pendekatan integralistik tidak akan ada tindakan yang sering diisukan sebagai pendangkalan agama, maka peran guru agama tetap dominan sebagai pemegang otoritas di bidang pendidikan agama.

Masalah Heterogenitas Pengetahuan dan Penghayatan Agama Peserta Didik

Adanya variasi pendidikan agama di keluarga dan lembaga lain sebelum memasuki sekolah, telah menimbulkan heterogenitas dalam kuantitas dan kualitas pemahaman agama di antara para peserta didik dalam satu kelas. Dalam hal ini dengan tidak perlu meninggalkan ikatan kurikulum dan silabus, guru agama harus mampu mengupayakan agar materi pelajarannya dapat diterima oleh semua anak didiknya tanpa ada yang merasa dirugikan .Hal ini memang merupakan keahlian tersendiri, yang memerlukan pengalaman dan wawasan yang luas.. Dengan jalan diskusi dalam CBSA akan dapat membantu meratakan jalan, yang ditopang oleh kegiatan ko dan ekstra kurikuler. Pelaksanaan kurikulum yang lebih fleksibel, dengan prinsip bahwa pendidikan agama di sekolah bukanlah indoktrinasi / da'wah, kiranya perlu dipikirkan sehingga meskipun hasil ulangan/ujian pendidikan agama memang perlu sebagai alat evaluasi, namun hasil yang lebih penting kiranya adalah diserapnya pendidikan agama sebagai faktor integral dalam pembentukan pribadi peserta didik.

Page 28: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Ketentuan bahwa nilai pendidikan agama minjmal harus 6, telah menyebabkan adanya evaluasi yang formalistis yang berakibat adanya kelemahan-kelemahan yang dikeluhkan orang.

Perhatian dan Kepedulian Pimpinan Sekolah

1. Pimpinan sekolah adalah orang pertama yang bertanggung jawab atas jalannya proses belajar mengajar di sekolahnya. Karena pendidikan agama merupakan subsistem dari keseluruhan sistem pendidikan di sekolah, maka wajarlah bila pimpinan sekolah menaruh perhatian yang minimal sama dengan perhatiannya terhadap bidang studi lainnya, mengingat bahwa pendidikan agama merupakan substansi yang langsung menyangkut berhasil tidaknya mencapai tujuan keimanan dan ketaqwaan. Memang ada beberapa kendala dalam hubungan ini, yaitu adanya perbedaan NIP bagi guru agama Departemen Agama dengan NIP pimpinan sekolah dan guru-guru lainnya yang dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka yang ber NIP lain, merasa seperti "tamu", yang terkadang memang dianggap tamu oleh pimpinan dan koleganya. Keadaan seperti ini pernah dibicarakan dalam pertemuan antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama beserta staf masing-masing. Demikian juga dengan tugas penilikan dan pengawasan terhadap guru-guru sekolah yang ber NIP berbeda, telah menimbulkan kendala psikologis, yang tentu mengurangi efisiensi tugasnya.

2. Dengan keluarnya UUSPN dan perangkat pelaksanaannya, seharusnya kendala semacam di atas tidak perlu terjadi lagi, karena menurut UU itu penanggung jawab sistem pendidikan adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga meskipun secara administratif sebagian guru agama atau penilik / pengawas berada di bawah Departemen Agama, namun secara akademik berada di bawah wewenang Depdikbud..

Masalah Kualitas Guru Agama

Page 29: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Kompetensi metodologik yang diharapkan oleh Imam Al-Ghazali untuk dimiliki oleh para guru (termasuk guru agama) seperti yang disebutkan di muka, juga diharapkan oleh Dep. Agama, yang menuntut setidak-tidaknya 4 kompetensi yang harus dimiliki guru agama, yaitu: 1) kompetensi professional yaitu kependidikan dan keilmuan, minimal yang menjadi bidang tugasnya; 2) kompetensi personal : berkepribadian/ integritas yang mantap agar menjadi sumber identifikasi bagi anak didiknya; 3) kompetensi sosial: kemampuan berkomunikasi dengan kepala sekolah, sesama guru maupun masyarakat luas; 4) kompetensi pelayanan : kemampuan melayani semua anak didiknya baik secara individual maupun kelompok (Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, Dep. Agama, 1993).

Menurut P.P. No.38 /1992 sebagai lembaga pengadaan guru agama telah ditetapkan Fakultas Tarbiyah atau satuan pendidikan yang sejenis. Dengan demikian jelas bahwa untuk mendapatkan keluaran guru agama yang berkualitas, Fakultas Tarbiyah, baik dari IAIN maupun PTAIS hendaklah berbenah diri untuk meningkatkan kualitas aparat maupun komponennya, termasuk pelayanannya.

Masalah Moral dan Agama

1. Citra manusia Indonesia yang diharapkan dari pendidikan di samping beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME adaIah juga berbudi pekerti luhur. Budi pekerti yang dalam Islam

disebut (akhlaq) jama' dari (khuluq) merupakan sinonim dari etika dan moral, yang secara harfiah berarti kebiasaan atau adat (Rahmat Djatnika, 1992, h.26). Memang akhlaq atau moral merupakan adat atau kebiasaan tingkah laku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, karena akhlaq hanya terlihat dalam pergaulan, sebagaimana kata Durkheim, bahwa moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat (Djuretna A.1.M.1994, h.36). Moral, merupakan refleksi dari nilai dan norma yang diyakini .seseorang sebagai pegangan hidup, yang menurut Durkheim terdiri dari 3 unsur: 1) disiplin: bersikap dan bertindak susila (moral) adalah tunduk dan patuh pada aturan-

Page 30: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

aturan (yang berisi norma dan nilai); 2) keterikatan pada kelompok : bermoral adalah bertindak untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk diri sendiri; 3) mengetahui dan memahami dasar-dasar tindakannya (ibid, h.39 - 41)

2. Bila prinsip-prinsip di atas diterapkan pada PAI maka untuk dapat berakhlaq mulia sebagaimana yang diharapkan oleh agama, juga diperlukan adanya disiplin, patuh pada peraturan ajaran Islam dengan mengamalkannya, bukan hanya memahaminya saja, baik dalam pergaulan keluarga, di sekolah maupun di masyarakat sebagai ikatan kelompok. Memang menjadikan nilai dan norma sebagai bagian integral dari kepribadian merupakan proses kejiwaan yang rumit, karena antara pengetahuan (tentang norma dan nilai)dengan tindakan ternyata tidak selalu ada korelasi positif yang tinggi, sehingga mengetahui agama Islam tidak otomatis menjadi muslim sejati (Winarno Surakhmat, 1980, h.9 -10). Di samping itu karena menyangkut akidah, maka pendidikan agama tidak lepas dari masalah theologi. Karenanya diperkirakan proses individualisasi, sosialisasi dan enkulturisasi di samping motivasi, yang tidak mungkin dilaksanakan dengan sempurna oleh guru agama sendiri dalam waktu yang relatif singkat dalam kelas. Karena itu kiranya tidaklah adil hanya menuding para guru agama yang dianggap gaga! mananamkan nilai-nilai agama dalam wujud budi pekerti luhur. Lagi hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara semua aparat sekolah, keluarga dan masyarakat. Perlu contoh kongkrit bahwa agama memang menjadikan pemeluknya orang yang patut jadi panutan ( ) baik dari orang tua, anggota masyarakat maupun guru agama dan seluruh aparat sekolahnya.

Masalah Pendidikan Agama dan Pendidikan Pancasila

1. Masalah utamanya adalah: bagaimana mengsinkronkan antara tujuan pendidikan agama yang universal dengan tujuan pendidikan Pancasila yang nasional. Memang dalam konteks universal agama merupakan genus, yang pelaksanaannya dalam ruang dan waktu tertentu mungkin terdapat variasi, yang di Indonesia berkaitan erat dengan Pancasila sebagai species. Sedang dalam konteks nasional, sebaliknya,

Page 31: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Pancasila yang merupakan genus dan agama Islam sebagai salah satu speciesnya, yang terdiri dari berbagai agama. Dalam masalah ini seperti yang sering kita dengar dari para pemimpin negara kita, kita tidak perlu melihat mana yang lebih penting atau lebih tinggi di antara keduanya (mana yang genus dan mana species). Yang jelas keduanya sama-sama diperlukan oleh bangsa Indonesia; setiap muslim di negara ini adalah "hambaAllah" ( ) pada waktu yang sama juga "warganegara Indonesia". Sebagai hamba Allah yang ideal seseorang diharapkan untuk mengabdi sepenuhnya kepadaNya dengan memenuhi semua perintah dan menjauhi semua laranganNya (yang disebut "taqwa") Namun pengabdian yang merupakan fungsi individualitas ini harus diimbangi dengan fungsi sosialitasnya sebagai "khalifatullah" (

) yaitu sebagai "pelaksana amanah Tuhan di bumi" untuk memelihara dan melestarikannya di samping memanfaatkan untuk hidupnya. Dan bagi bangsa Indonesia bumi amanat Tuhan itu adalah tanah air Indonesia ini. Allah menggambarkan hal ini dengan keseimbangan antara "hablun

minallah" ( ) yang arti harfiahnva "tali Allah" dengan "hablun minannas" ( ) atau tali manusia"; maksudnya adalah keseimbangan antara pengabdian kepada Tuhan dengan kewajiban kepada negara dan masyarakatnya. Keseimbangan antara fungsi "abdullah" dengan "khalifatullah". Dengan ungkapan lain "keseimbangan dan keserasian antara religiositas dengan nasionalitas, atau antara keberagamaan dengan kewarganegaraan Pancasila".

2. Masalah lain dalam hubungan antara pendidikan agama dan pendidikan Pancasila adalah mengenai "batas otoritas guru agama dan guru Pancasila", terutama dalam kajian yang menyangkut Ketuhanan YME. Bagi umat Islam Ketuhanan termasuk asas utama keyakinannya yang dinamakan tauhid, yang termasuk bidang aqidah yang secara theologis membawa konsekuensi dosa dan pahala. Maka tidak mengherankan apabila masalah ini dapat menimbulkan kehebohan, bila guru Pancasila secara tidak sadar dalam menjelaskan tentang aspek ketuhanan ternyata keluar dari doktrin agama, yang di Indonesia umumnya berdasar atas

Page 32: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

prinsip "sunny".3. Untuk mengatasi masalah lemahnya budi pekerti peserta didik

yang banyak dikeluhkan masyarakat, kiranya perlu dipertegas dimensi moral dan akhlak dari pendidikan Pancasila dan agama di dalam silabus dan GBPP masing-masing baik dalam kehidupan sekolah, keluarga maupun masyarakat. Dan karenamoral Pancasila serta akhlak agama dalam prakteknya banyak persamaannya, bahkan terkadang sukar dibedakan, maka keterpaduan antara keduanya di samping kesadaran tentang domein dan teritori masing-masing, perlu ditegaskan.Dengan demikian diharapkan dari prinsip di atas akan muncul pribadi-pribadi Indonesia yang berbudi pekerti luhur, sebagai manusia yang saleh dan warga negara yang patriotik.

4. Akhimya untuk menjamin keberhasilan cita dan peran guru kedua bidang studi itu sangat dominan. Maka dalam kaitan ini cukup alasan untuk menyarankan agar guru Pancasila dan guru agama di samping harus menguasai bidang ilmu masing-masing sebagai kompetensi utamanya, juga mengetahui dan memahami bidang studi “mitranya” secukupnya, agar dapat saling menunjang. Barangkali akan lebih ideal bila guru Pancasila juga sekaligus guru agama, atau sebaliknya. Bila kondisi demikian dapat terwujud maka kekhawatiran sebagai akibat dari adanya saling "intervensi" atau "pelanggaran teritorial" dapat dihindarkan. Dari dua alternatif itu kami kira yang kedua, yaitu guru agama merangkap guru Pancasila lebih mudah direalisir, karena semua guru agama pasti sudah pernah mengikuti penataran P4, sedang guru Pancasila tidak semuanya menguasai ilmu agama secara mendalam. Maka menalar Pancasila guru agama secara lebih mendalam lebih mudah dan lebih efisien daripada menatar agama guru Pancasila.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:1. Bahwa untuk mewujudkan keimanan dan ketaqwaan sebagai

ciri utama manusia Indonesia seutuhnya, pendidikan agama mempunyai peran yang mapan dan dominan. Dan dalam

Page 33: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

konteks sistem pendidikan nasional, pendidikan agama merupakan sub-sistem.

2. Dengan adanya berbagai kekurangan dalam implementasi pendidikan agama maka diperlukan pendekatan integralistik yang mencakup:a. peran serta secara terpadu dari keluarga, sekolah dan

masyarakat, dengan memanfaatkan secara maksimal semua potensi yang ada.

b. keterpaduan tanggung jawab pimpinan sekolah dan semua guru dalam upaya penanaman keimanan dan ketaqwaan pada peserta didik, sedang guru agama memegang peran utama, karena kompetensi yang dipegangnya.

c. bahwa metodologi dan materi pendidikan agama harus didasarkan atas kondisi objektif psiko-fisik peserta didik.

d. bahwa dalam mencapai sasaran / tujuan pendidikan nasional, ilmu agama dan ilmu umum mempunyai peran yang sama, yaitu ilmu agama disamping mempunyai nilai religius juga bernilai akademik / rasional; demikian pula ilmu umum, yang terutama bernilai akademik/rasional, secara implisit juga mengandung nilai religius; prinsip ini untuk menghilangkan atau mengurangi adanya dikotomi; dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia yang berdasarkan Pancasila pada hakikatnya juga berorientasi pada iman dan taqwa (Pancasila based, faith and piety oriented education).

e. bahwa moral, budi pekerti atau akhlaq merupakan aktuaiisasi (amal) dari agama ; karenanya diperlukan adanya berbagai upaya secara terpadu oleh keluarga, sekolah dan masyarakat lewat berbagai proses: individuasi, sosialisasi, enkulturasi maupun motivasi nilai-nilai agama; keteladanan dan suasana religius akan sangat mem bantu.

f. untuk itu kualitas dan wawasan guru agama perlu ditingkatkan.

3. Bahwa untuk menjaga keserasian antara pendidikan agama dan pendidikan Pancasila diperlukan adanya koordinasi dan konsultasi substansial antara guru agama dan guru Pancasila; dan akan lebih ideal bila guru agama juga merangkap sebagai guru Pancasila.

Page 34: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

PenutupDemikianlah hadirin yang saya muliakan, sekedar sebagai

sumbang saran atau urun rembug yang dapat kami sampaikan dalam upaya untuk ikut meningkatkan kualitas implementasi pendidikan agama khususnya di sekolah. Harapan kami walaupun hanya ibarat sebutir pasir di Sahara, akan bermanfaat bagi upaya pembinaan generasi muda sebagai sumber daya manusia yang akan menentukan masa depan bangsa, terutama dalam menghadapi PJP II.

Sebelum menutup orasi ini, izinkan kami mengucap syukur ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia yang selama ini telah dilimpahkan kepada kami sekeluarga. Juga kepada pemerintah Republik Indonesia lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Agama, atas kepercayaan dan kehormatan yang telah dilimpahkan kepada kami juga kepada para guru kami mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang telah memberikan bimbingan dan bombongan sehingga dari tidak tahu apa-apa sampai akhirnya mencapai kedudukan seperti sekarang ini. Semoga semua jerih payah beliau-beliau itu menjadi amal jariyah yang akan mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah SWT. Juga kepada semua kolega di IAIN Walisongo, yang telah ikut memberi semangat, inspirasi dan kesempatan kepada kami untuk dapat menyelesaikan tugas akademik yang diperlukan. Semoga peristiwa hari ini akan menjadi pendorong pula bagi kolega kami yang lebih muda untuk tidak mau kalah dengan yang lebih tua ini.

Sembah sujud dan terima kasih kami tak lupa pula kami sampaikan kepada kedua orang tua kami. Kepada bapak kami yang telah menghadap Allah SWT, kami hanya dapat memohon kepada Allah SWT semoga arwahnya mendapat ridla dan ampunan dari Nya. Kepada Ibu kami yang dalam usianya yang telah lanjut masih mendampingi kami, kami tetap memohon do'a dan restu; kami selalu berdo'a semoga Allah akan memberikan panjang usia dan kesehatan jasmani ruhani sehingga masih dapat mengayomi cucu dan buyutnya. Kepada isteri tercinta, anak-anak dan menantu serta kedua cucu tersayang Tiar dan Lea, yang selalu memberikan motivasi, inspirasi dan semangat, kami ucapkan terima kasih, sambil berdo'a semoga hal ini juga akan

Page 35: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

menjadi pendorong dan motivasi bagi mereka untuk meningkatkan karier dan amal mereka, sebagai penerus cita-cita dan perjuangan orang tua dan eyang mereka.

Akhirnya kepada, seluruh keluarga besar IAIN Walisongo, baik para dosen, karyawan maupun mahasiswa, kami hanya dapat mengucap terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala bantuan berupa apapun, yang telah ikut memungkinkan terjadinya peristiwa ini. Semoga Allah selalu melimpahkan taufiq dan hidayahNya kepada kita sekalian dalam melaksanakan tugas kita masing-masing demi kejayaan negara, bangsa dan agama. Aamiin Allahumma aamiin. Walhamdulillahi Rabbilaalamiin.

Semarang, 19 Juni 1995

Page 36: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

DAFTAR REFERENSI

Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an, Dar al Arabia - Beirut, Lebanon - 1968.

Ali Khan, Prof. Dr. Shafique, Ghazali's Philosophy of Education, Markez 1. Shaoor-O Adab, Hyderabad 1976.

Anwar Jasin, Dr. M.Ed., Pola Pendidikan Agama di Madrasah dan Sekolah Umum (diktat). PPI - UMS Surakarta 1989.

Benne, Kenneth D., The Task of Post Contemporary Education, Teachers College, Columbia Univ. N.York, London, 1990.

Budi Wahyono, Krisis Tata krama Dalam Sistem Pendidikan Kita. Surabaya Post, 7 Agustus 1991.

Depdikbud, Juklak kegiatan peningkatan ketaqwaan terhadap Tuhan YME selama bulan Ramadlan, 1984.

Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam., Strategi pembinaan pendidikan keagamaan tingkat dasar menyongsong era tinggal landas. Makalah, 1989.

Fowler, James W., Stages of Faith. Harper & Row Publisher . San Franscisco 1981.

GBHN 1993. Goldman, Ronald, MA, BD, Ph.D. Readiness for Religion. A basis

for Development Religious Education. London - Routledge and Kegan Paul 1967.

Harun Nasution, Prof.Dr., Makalah, Jakarta 1984.Hasan Walinono, Makalah, 1990. Holley, Raymond, Religious Education and Religious

Understanding. Routledge & Kegan Paul - London, Henley and Boston 1978.

Hosain, Syed Sajjad and Ashraf, Syed Ali, Crisis in Moslem Education. Hodder Stoughton King Abdul Aziz Univ. Jeddah, 1979.

Jurnal Pendidikan Islam, Malaysia, Ogos 1988. Lord, Eric & Bailey, Charles (Ed), A Reader in Religious & Moral

Education, SCM Press Ltd-London 1973. Moran, Gabriel, Religious Education Development Minneapolis,

Min. Winston Press, Inc. 1983.Mukti Ali, Dr. A., Etika Agama Dalam Pembentukan Kepribadian

Nasional dan Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam. Yayasan Nida’.

Page 37: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Muslehuddin, Muhammad Dr., Islamic Education, Its forms and reatures, Islamic Research Institute – Islamabad, Pakistan, tanpa tahun.

Nilsen, E. Anker, Religion and Personality, Charles E. Merrill Publ. co. Columbus, Toronto, London, Sydney, 1984.

Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Pendekatan melalui Etika Pancasila. PT. Hanindita, Yogyakarta 1985.

Syed Ali Ashraf, New Horizons in Muslim Education, Hodder and Stoughton The Islamic Academy, Cambridge, UK 1985.

UU No. 2 tahun 1989 dan peraturan pelaksanaannya.Winarno Surakhmat, Mewujudkan nilai-nilai hidup dalam tingkah

laku, Tarsito, Bandung, 1980.Yinger, J. Milton, The scientific study of religion, Macmillah Publ.

Co. Ltd. N. York 1970.

Page 38: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

CURRICULUM VITAE

NAMA : PROF. DR. H. AHMAD LUDJITOTempat / Tanggal lahir : Pemalang – Jawa Tengah, 23 Desember 1933Agama : IslamPangkat : Guru Besar Madya IV/cJabatan : Rektor IAIN Walisongo, SemarangAlamat : Jl. Walisongo 3-5 Semarang - 501551Nama Ayah : Moh. Bakri Purwomihardjo (Alm)Nama Ibu : Siti SukatriNama Istri : Hj. Dwi YamaniAnak-anak : 1. Drs. M. Fajar Irianto

2. Duhita Suciningtyas Handayani, SE3. Efria Rahmanto, SE4. Sri Ayu Imaningtyas, S.Si.5. Astri Amanati Budiningtyas

Menantu : 1. Dra. Dewi Antasari2. Ruddy Bakker3. Yulianti

Cucu-cucu : 1. Moh. Bakhtiar Dafi2. Annisa Aurilia Anindita

Pendidikan :1. S.R. (S.D.) tamat tahun 1946 di Pati2. Sek. Guru Negeri tamat tahun 1950 di Pekalongan3. Sek.Guru dan Hakim Agama Negeri, tamat tahun 1954 di Yogyakarta4. Sarjana Fak. Tarbiyah, IAIN Yogyakarta tahun 1961, judicium : baik5. Diploma, Social Administration and Development, University of

Swansea, Inggris : 1966 – 1958

Kursus-Kursus :1. English Standard Training Course, Yogyakarta tahun 19562. Pendidikan dan Latihan Pegawai Dep. Agama di Bandung3. Penataran P4 tingkat Nasional di Jakarta, 1978.4. Lembaga Pertahanan Nasional: kursus reguler ke-13, tahun 1980.

Pengalaman Pekerjaan:1. Sekretaris Fak. Tarbiyah, IAIN Jakarta : 1962 -1966.2. Sekretaris/Dosen Luar Biasa Fak. Kesejahteraan Social, Univ.

Muhammadiyah, Jakarta: 1962 -1966.3. Dosen Luar Biasa IKIP Muhammadiyah Jakarta : 1962 -1966.4. Tugas belajar ke Univ. Swansea, Inggeris : 1966 -1968.5. Dekan Fak. Tarbiyah, IAIN Jakarta cabang Pontianak: 1969 -1975.

Page 39: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

6. Kepala Kantor Wilayah Dep. Agama Prop. Kalimantan Barat: 1972- 1975 (jabatan rangkap).

7. Dosen Luar Biasa (Islamologi) APDN, Fak. Hukum, Ekonomi,Sospol, FKIP, Universitas Negeri Tanjung Pura, Pontianak: 1970 -1975.

8. Guru Besar Tamu (Visiting Professor), Graduate Course on Comparative Religions, Univ. Mahidol, Bangkok : 1975 - 1977.

9. Rektor IAIN Walisongo, Semarang 1977 -1979.10. Kepala Badan (Dirjen ) Penelitian dan Pengembangan Agama,

Jakarta : 1979 - 1988.11. Rektor IAIN Walisongo Semarang : 1988 - $$$$$$.

Karya Ilmiyah1. Principles of Islam (tex book ): 1976 (Bangkok).2. An Introduction to Islamic Theology (tex book) : 1976 (Bangkok).3. Bird's eye view on the life of Islam in Thailand (laporan penelitian.

Bangkok, 1977).4. Terjemah ke dalam bahasa Indonesia (dicetak):

a. Theories of Primitive Religion: E. E. Evans Pritchard.b. The Sosial Structure of Islam: Reuben Levy.

5. Islam Alternatif bagi Dunia Modern (menulis dalam majalah IlmiahSUHUF I, Oktober 1989) hal. 37.

6. Fungsi Pendidikan Agama Islam Proses Modernisasi di Indonesia dan Upaya Pengembangannya (menulis dalam majalah Ilmiah Walisongo AIN WALISONGO Edisi 29,Pebruari 1990M/Rajab 1410H.)hal. 1.

7. Teologi Pembangunan Menghadapi Abad XXI (menulis dalam majalah Ilmiah Walisongo IAIN WALISONGO Edisi 34, Nopember1991 M / Jumadil Awal 1412.) hal. 1.

8. Prospek Perguruan Tinggi Agama Islam di Era Tinggal Landas(menulis dalam majalah Ilmiah Walisongo IAIN WALISONGOEdisi 38, September 1992) hal. 1.

9. Islam dan Tanggung Jawab Pendidikan Nasional (menulis dalamMajalah Akademika no. 03 IX, Mei 1991) hal. 75.

10. Bapak Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (menulis dalam BukuIndonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) hal.13.

11. Masalah Implementasi Pendidikan Agama dalam Sistem PendidikanNasional di Indonesia (menulis dalam buku Kenangan Alumni IAINWALISONGO Semarang, 6 April 1991) hal. 1.

12. Memahami dan menghayati Islam dalam Kehidupan Modern tantangan dan Tanggung Jawab Inteiektual Muslim (menulis dalam buku kenangan Alumni IAIN WALISONGO Semarang, 12 Oktober

Page 40: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

1991) hal. 1.13. Pengembangan Keilmuan dan Kelembagaan Fakultas Tarbiyah IAIN

WALISONGO (menulis dalam majalah ilmiah Media Fak. Tarbiyahdi Semarang) Edisi 1, 5 April 1991 hal 15.

14. Kebijaksanaan Penelitian di IAIN WALISONGO (menulis dalammajalah ilmiah Media Fak. Tarbiyah di Semarang) Edisi 14, tahun III,Maret 1993, hal. 1.

15. Beberapa Masalah yang menyangkut Proses Belajar Mengajar diIAIN DAN PTAIS (menulis dalam majalah Ilmiah Fak. TarbiyahUNISSULA Semarang Edisi 2/ Desember th.I /1991) hal. 5.

16. Islam Agama Fitrah (menulis dalam Majalah Ilmiah Al-Fikri Edisino. 61 Maret/ Th.III/1993) hal. 1.

17. Green And Peace Campus (menulis dalam Majalah Ilmiah MediaFak. Tarbiyah di Semarang Edisi 13 Th. HI Januari 1993.

18. Memahami dan Menghayati Islam dari masa ke masa (makalah disampaikan dalam diskusi ilmiah Pusat Pengkajian Islam UMS Surakarta) Jum'at 24 - Maret - 1989.

19. Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Menanggulangi kenakalanRemaja (makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Sehari diIIWS Semarang, Sabtu 1.0 Juni -1989.

20. Prilaku Sadismedi Masyarakat Kita (Studi Kasus Mayat Terpotong-potong) Tinjauan dari aspek agama (Islam) (makalah disampaikandalam sarasehan KNPI kodia Semarang), Rabu 2 Agustus - 1989.

21. Tinjauan Filosofis Proses Belajar Mengajar (makalah disampaikandalam Lokakarya Wawasan Akademik Dosen IAIN Walisongo padatanggal 8-9 Agustus 1989.

22. Teologi Pembangunan dalam Islam (Konsep Dasar) makalahdisampaikan dalam Seminarsehari Fak. Ushuludin IAIN Walisongodi Kudus), Sabtu 9 September 1989.

23. Ilmu Perbandingan Agama dan Fenomenologi Islam (makalahdisampaikan dalam Seminar Indonesisa Belanda tentang IlmuPerbandingan Agama IAIN SUKA Yogyakarta.

24. Islamic Education In Changing Society (Ramadhan in CampusDiscussion 1412 H).

25. Kerangka Pikiran tentang Tn Etika Kampus IAIN (makalahdisampaikan pada Diskusi panel di IAIN WALISONGO) tanggal 23April 1992

26. Pengembangan Kompentasi Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi Islam (makalah disampaikan pada Seminar Nasional Fak. Tarbiyah UNISULA) tanggal 3 Oktober 1992.

27. Pendekatan dan Metode Pemahaman Islam Serta Masalah-masalahIslam Kontemporer dalam Kajian Sejarah dan Filosofis (makalahdisampaikan dalam Temu Ilmiah di IIQ (Wonosobo) tanggal 19

Page 41: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

September 1992.28. Pokok-pokok Pikiran tentang prioritas Keagamaan di Jawa Tengah

(makalah disampaikan pada temu karya MUI dengan Pemda diSemarang) Tanggal 20-Agustus-1991.

29. Pendidikan Agama sebagai Subsistem Pendidikan Nasional diIndonesia (makalah disampaikan dalam forum diskusi Ilmiah Fak. Tarbiyah UNISULA Semarang, tanggal 20-9-1992.

30. Islamic Understanding Of Health and Healing, makalah disampaikan pada Seminar Internasional di Bangkok. 31.Pendidikan Agama di Negara Pancasila (makalah disampaikan dalam MUSDAIV MUI Jateng).

31. Peningkatan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum (makalah disampaikan pada Seminar MTQ Mahasiswa PT se-Jateng di UNS Surakarta) tanggal 12 Februari 1993..

32. Karya Tulis Ilmiah dan Pengembangan Keilmuan (makalahdisampaikan pada LKTI KOPERTAIS WIL. X Jateng) tanggal 15-18 Pebruari 1993.

33. Fungsi Pengabdian Masyarakat bagi Perguruan Tinggi (makalah disampaikan pada Lokakarya) tanggal 20 Juli 1991.

34. English In Academic Usage Communication (This paper presented inEnglish Training Program WEC IAIN WALISONGO 21-22September 1991).

35. Defending Islam Cultural In Modern Era (Paper presented in WECRamadhan Discussion, Marc 17 1993).

36. Kerangka Pemikiran tentang Etika Perguruan Tinggi Agama Islam(makalah disampaikan pada lokakarya di IAIN WALISONGO) Sabtu6 Pebruari 1993.

37. Fungsionalisasi Iman sebagai Upaya Penanggulangan Perbuatanmenyimpang dan kelainan Psikopatik di Kalangan Remaja (makalahdisampaikan pada Seminar IAIN WALISONGO DAN AKPOL) tanggal 14 April 1993.

38. Islam dan Globalisasi (makalah disampaikan pada kajian ICMI OrwilJateng, Ahad, 14 Maret 1993.

39. Rekayasa Pendidikan Islam Menuju Terciptanya Output PendidikanYang Bersifat Job Creator (makalah disampaikan pada diskusi kajiandalam rangka amaliah Ramadhan di Kampus LAIN WALISONGOtahun!412 H/1992 M).

40. Penerbitan mahasiswa di Tengah Arus Globalisasi dan Era Informasi(makalah disampaikan pada Pentaloka Penerbitan Mahasiswa IAINse-Indonesia) tanggal 4 Pebruari 1992

Page 42: Ahmad Ludjito-pendekatan Integralistik (Isi)

Penelitian1. Profisiensi Guru Agama (Islam) di Jawa Tengah (penelitian kolektif)

26 Nopember 1991.2. Daya serap Mahasiswa IAIN WALISONGO Terhadap Kurikulum

tahun 1982/1988 (penelitian kolektif) 31 Mei 1991.3. Tradisi Akademik di IAIN WALISONGO Semarang (penelitian

kolektif) 23 Pebruari 1991.4. Evaluasi Manajemen dan Hasil Belajar mahasiswa IAIN DI IAIN

WALISONGO Semarang (penelitian kolektif) 16 Desember 1991.5. Pendidikan Kemandirian Pondok Pesantren di Pondok Pesantren

Bustanu Usy--syaqil Qur'an Demak, Tahafidzul Qur'an KodiaSemarang dan APIK Kendal (penelitian kolektif Tim Penelitian Fak.Tarbiyah di Semarang tanggal 30 nopember 1990.

6. Metodologi Pendidikan Al-Qur'an pada Taman Pendidikan Al-Qur'an dan Persepsi Masyarakat Kota Madia Semarang (penelitiankolektif Tim Peneliti Fak. Tarbiyah di Semarang tanggal 17 Maret1993).

7. Masalah Implementasi Pendidikan Agama dalam Sistem PendidikanNasional di Indonesia (kajian Analisis Filosofis) Penelitian individual.

Kunjungan ke Luar Negeri (Study Tour, Comparative Study, Seminar) :1. Semua negara ASEAN.2. Negara-negara Asia: Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan,

Pakistan, Sri langka.3. Negara-negara Timur Tengah; Saudi Arabia (di samping ibadah

Haji), Kairo.4. Eropa: Inggeris, Republik Irlandia, Belanda, Belgia, Perancis, Jerman

Barat, Italia. 5. USA: Hawaii, Washington DC, New York, Cornell, Chicago,

Pittsburgh, Los Angeles.6. Australia.