AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang...

272
Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________ Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 1 AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET Prof. Dr. Ir. Moch. Sambas Sabarnurdin, M.Sc. Bismillaahirokhmaninirokhiim Yang terhormat Kepala Badan Litbanghut, Yang terhormt, jajaran pimpinan, staf, dan para peneliti di lingkungan Badan Litbanghut terutama di lingkungan AfRC Yang terhormat para tamu undangan, hadirin sekalian. Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk kita semua. Alhamdulillah, Terlebih dahulu ijikanlah saya mengajak kita semua untuk selalu memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala limpahan RahmatNya kepada kita semua, sehingga pada hari ini, tanggal 12 Desember 2011, kita dapat bersama-sama hadir menyaksikan acara peresmian pembukaan AfRC Ciamis yang diselenggarakan oleh Badan litbanghut. Perkenankanlah menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih saya kepada Pimpinan Litbang atas kehormatan yang diberikan untuk menyampaikan pidato kunci ini, dan tidak lupa saya juga menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada hadirin sekalian, semoga amal kita untuk pembangunan ini mendapat ridho Allah SWT, amin. Dalam hubungannya dengan agroforestry dan hubungannya dengan pembangunan berlanjut serta arah riset yang ditempuh, saya sampaikan hal hal berikut: Agroforestry, sudah sering diperbincangkan dalam tentang penggunaan lahan, pembangunan daerah pedesaan sekaligus pembangunan kapasitas manusia dan pemberdayaan penanganannya. Ia adalah usaha untuk mengintegrasikan kehutanan dan pertanian dengan berbasis penggunaan lahan, sehingga dapat memberikan manfaat berganda yang secara kolektif berperan dalam kelestarian agroekosistem. Peran penting agroforestry itu ditekankan kembali dalam Deklarasi Kongres Agroforestry Dunia di Orlando, tahun 2004 yang menyatakan bahwa adopsi agroforestry dalam dekade ke depan akan sangat membantu pencapaian tujuan pembangunan milenium Perserikatan Bangsa Bangsa melalui peningkatan pendapatan rumah tangga, promosi persamaan gender, kesehatan dan kesejahteraan manusia, serta peningkatan kelestarian lingkungan. Seminar ”The Role of Agroforestry Education in the Revitalization of Agriculture, Fishery and Forestry Program”, yang diselenggarakan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun 2006, menengarai pernyataan Menteri Pertanian yang

Transcript of AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang...

Page 1: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 1

AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET

Prof. Dr. Ir. Moch. Sambas Sabarnurdin, M.Sc. Bismillaahirokhmaninirokhiim Yang terhormat Kepala Badan Litbanghut, Yang terhormt, jajaran pimpinan, staf, dan para peneliti di lingkungan Badan Litbanghut terutama di lingkungan AfRC Yang terhormat para tamu undangan, hadirin sekalian. Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk kita semua. Alhamdulillah,

Terlebih dahulu ijikanlah saya mengajak kita semua untuk selalu memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala limpahan RahmatNya kepada kita semua, sehingga pada hari ini, tanggal 12 Desember 2011, kita dapat bersama-sama hadir menyaksikan acara peresmian pembukaan AfRC Ciamis yang diselenggarakan oleh Badan litbanghut.

Perkenankanlah menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih saya kepada Pimpinan Litbang atas kehormatan yang diberikan untuk menyampaikan pidato kunci ini, dan tidak lupa saya juga menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada hadirin sekalian, semoga amal kita untuk pembangunan ini mendapat ridho Allah SWT, amin. Dalam hubungannya dengan agroforestry dan hubungannya dengan pembangunan berlanjut serta arah riset yang ditempuh, saya sampaikan hal hal berikut:

Agroforestry, sudah sering diperbincangkan dalam tentang penggunaan lahan, pembangunan daerah pedesaan sekaligus pembangunan kapasitas manusia dan pemberdayaan penanganannya. Ia adalah usaha untuk mengintegrasikan kehutanan dan pertanian dengan berbasis penggunaan lahan, sehingga dapat memberikan manfaat berganda yang secara kolektif berperan dalam kelestarian agroekosistem.

Peran penting agroforestry itu ditekankan kembali dalam Deklarasi Kongres Agroforestry Dunia di Orlando, tahun 2004 yang menyatakan bahwa adopsi agroforestry dalam dekade ke depan akan sangat membantu pencapaian tujuan pembangunan milenium Perserikatan Bangsa Bangsa melalui peningkatan pendapatan rumah tangga, promosi persamaan gender, kesehatan dan kesejahteraan manusia, serta peningkatan kelestarian lingkungan. Seminar ”The Role of Agroforestry Education in the Revitalization of Agriculture, Fishery and Forestry Program”, yang diselenggarakan di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun 2006, menengarai pernyataan Menteri Pertanian yang

Page 2: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 2 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

mengatakan bahwa Indonesia memerlukan visi pertanian baru agar pertanian dikembangkan secara tidak eksploitatif dan tidak merusak preservasi sumberdaya alam dan menyatakan bahwa agroforestry memberikan harapan baru pada cara kita mengelola lahan, sebagai teknologi untuk mendukung petani bisa menggunakan sumberdaya alamnya secara lestari sepanjang waktu. Sementara Menteri Kehutanan mengidentifikasi agroforestry sebagai salah satu bentuk implementasi pendekatan kehutanan sosial dalam pengelolaan sumberdaya hutan lestari, Dalam seminar itu juga terungkap bahwa Kementerian Kehutanan telah melatih 680 peserta yang terdiri dari pegawai pemerintah, petani, dan anggota organisasi non pemerintah dalam kursus-kursus agroforestry yang diselenggarakan sampai tahun 2005 (Sabarnurdin and Srihadiono, 2007). Hadirin yang mulia,

Agroforestry adalah upaya menggunakan logika diversitas ekosistem alam pada sistem pertanaman monokultur agar dicapai hasil yang lebih stabil, ramah lingkungan tetapi tetap produktif. Dalam agroforestry, kita padukan komponen kehutanan , pertanian dan juga peternakan secara berbarengan atau berurutan, dalam suatu satuan lahan ataupun landsekap agar diperoleh manfaat ganda kolektif bagi kelestarian agroekosistem.

Banyak definisi telah dibuat orang untuk melukiskan agroforestry antara lain tertera dalam edisi perdana Agroforestry System Journal yang mencatat sekitar 20 macam definisi (Anonim,1982), namun definisi yang telah disempurnakan melalui diskusi-diskusi dan dipakai di lingkungan ICRAF (Nair, 1993) adalah: ” Agroforestry is a collective name for land-use systems and technologies where woody perennials (trees, shrubs, palms, bamboo, etc.) are deliberately used on the same land-management units as agricultural crops and/or animals, in some form of spatial management or temporal sequence. In agroforestry systems there are both ecological and economical interactions between the different components.

Konsep agroforestry itu pertama kali dicetuskan oleh tim dari Canadian International Developent Centre (CIDA) sewaktu mempresentasikan hasil indentifikasi prioritas penelitian kehutanan tropika (Veer, 1981). Dua tujuan agroforestry dinyatakan waktu itu, yaitu pertama, men-”domestikasikan” perladangan berpindah dan memaksimumkan produksi secara lestari; dan kedua, memanfaatkan lahan terlantar atau lahan yang tidak termasuk katagori arable land, tanpa merusak lingkungan, Kedua tujuan itu ditempatkan di dalam kerangka pembangunan pedesaan yang lebih luas. ”Rural development is one of the most pressing issue of our time and agroforestry can help it by making the land more productive..... A new front can and should be opened on the war against hunger, inadequate shelter and enviromental degradation. This war can be fought with weapons that have been in the arsenal of rural people since immemorial and no radical change in their lifestyle will be required” (Bene et al., 1977).

Page 3: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 3

Agroforestry berkembang berbarengan dan berhubungan erat dengan usaha mengubah lahan rusak, menjadi produktif kembali tanpa meninggalkan prinsip prinsip konservasi. Dengan karakteristik tersebut agroforestry akan mampu membantu menjaga keragaman ekosistem dan proses proses didalamnya yang berperan terhadap kelestarian dan mutu lingkungan hidup.

Meskipun demikian, implementasi dan pembangunannya secara benar di lapangan masih terhambat oleh kurang dikenalnya semangat agroforestry yang seharusnya. Dominansi perhatian yang lebih ter arah kepada jenis jenis yang bernilai ekonomis tinggi seperti terbukti dengan hasil hasil studi yang menunjukkan trend ke arah indeks nilai penting (INP) yang besar pada komponen pohon primadona seperti jati atau sengon secara lambat laun akan mengubah karakteristik yang menjadi trademark agroforestry ke arah pola monokultur. Dalam hubungan dengan ini, pembangunan AfRC ini adalah stategis untuk mengawal agar agroforestry tetap konsisten seperti tujuan seharusnya. Secara umum Fungsi AfRC adalah untuk membantu mengembangkan teknologi dan bantuan teknis agroforestry kepada petani ke dalam praktek penggunaan lahan yang ada

Dengan agroforestry kehutanan akan lebih mudah berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat pedesaan berlanjut (Rural development sustainable development). Pengalaman di negara lain yang lebih dahulu mengeksploitir habis hutannya, menunjukkan bahwa apa yang terjadi selanjutnya adalah mengandalkan agroforestry sebagai sumber pasokan kayunya. Namun rasanya kita tidak perlu menunggu hutan habis untuk memulai membantu mengembangkan agroforestry dengan lebih serius bukan? dan kehutanan Indonesia telah memulai menapaki tahap ini menanam lebih banyak pohon di luar hutan.

Di Indonesia agroforestry berkembang bersamaan dengan usaha merehabilitasi lahan dan tata air dengan mencari titik temu antara kebutuhan menanam pohon dengan kebutuhan petani pemilik lahan untuk berproduksi. Dengan agroforestry rimbawan bisa belajar bekerjasama dengan sejawat di bidang pertanian secara luas bagaimana menggunakan lahan untuk mewujudkan tujuan bersama meningkatkan nutrisi dan standar kehidupan yang lebih baik. Justru dimulai dengan kegiatan rehabilitasi lahan inilah rimbawan mendapat lebih banyak kesempatan mengenal masalah sosial masyarakat, itulah mungkin yang menjadi penyebab dicantumkannya istilah perhutanan sosial hanya pada sebuah institusi jajaran Kementerian kehutanan yaitu Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial (RLPS), tidak pada yang lain. Menurut hemat saya sudah saatnya istilah itu disematkan pula pada nama kementeriannya.

Hadirin yang mulia,

Pola tanam agroforestry di lapangan seharusnya ditentukan secara bersama untuk kepentingan kehutanan dan pertanian. Kegagalan dalam melakukan langkah ini adalah akibat kurang tepatnya atau tidak adanya

Page 4: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 4 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

perencanaan bersama akibat kelurang fahaman kedua pihak atas masalah real lahan yg dihadapi. Di sinilah AfRC harus juga mengambil peran. Dilihat dari modal pendidikan, hal demikian itu adalah terjadi akibat terlalu ter-spesialisasinya keahlian seseorang atau terlalu canggihnya perencanaan sehingga masing masing orang cenderung bekerja sendiri sendri atau kalaupun bekerjasama, itu hanya dilakukan dengan rekan se bidang. Hal ini kemungkinan terjadi karena selepas pendidikan mereka memang terkumpul dengan sesama teman sebidang. Hadirin yang mulia,

Sejarah panjang pengelolaan hutan Indonesia, khususnya di Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran pola tanam tumpangsari. Sejak awal dipraktekkanya, tumpangsari adalah penopang utama keberhasilan pengelolaan hutan yang bemanfaat bagi pemilik lahan. Namun tidak demikian bagi petani pesanggem. Tumpangsari itu sudah tidak dapat diandalkan (Wiersum, 1981).

Perubahan besar telah terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan yaitu pergeseran paradigma pengelolaan hutan dari orientasi kayu ke orientasi pengelolaan berbasis ekosistem. Perubahan paradigma ini diikuti dengan perubahan posisi pemangku kepentingan (stakeholders) di mana masyarakat sekitar hutan, dalam ditempatkan posisi yang strategis misalnya melalui program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Sungguhpun demikian harus diakui bersama bahwa ruh tumpangsari sebagai wujud aplikasi dalam PHBM, tidak mengalami perubahan besar. Sebenarnya PHMB tidak hanya sekedar bagi hasil akan tetapi lebih dari itu, ia adalah motor pendorong kelestarian perusahaan dan sekaligus kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang berkelanjutan. Tumpangsari yang dulu belum mengalami perubahan filosofi yang berarti, karena belum menempatkan kedua pihak terkait, kehutanan dan petani, pada kedudukan yang setara sebagaimana semangat agroforestry seharusnya. Tetap saja petani terpaksa harus mengikuti tatacara teknis kehutanan yang bias kepada kepentingan pohon.

Strategi pengelolaan hutan harus mempertimbangkan intensitas interaksi antara unit manajemen hutan tertentu dengan masyarakat. Ini adalah antisipasi strategis atas dinamika masyarakat dalam pengelolaan hutan di Jawa.(Simon, 1989) Strategi ini telah dicobakan di KPH Madiun dan KPH Surakarta. Strategi ini seharusnya diisi pula dengan strategi berbasis teknis silvikultur intensif dengan intervensi penggunaan bahan tanaman bermutu yang dikembangkan dari pohon plus, seperti yang dicobakan oleh Naiem dkk (Naiem,2004). Kedua strategi tersebut harus dipilih untuk digunakan secara bersama sama oleh pengelola hutan. Prospek kedua strategi itu sebenanya tidak diragukan, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa adoptabilitas pengelola terhadap kedua inovasi baru seperti ini masih seret. Kesan yang ingin saya ungkapkan di sini adalah penelitian sebaiknya memang harus dituntaskan sampai men- generate teknologi agar bisa dipakai di lapangan, dan sekaligus dilakukan pengawalannya.

Page 5: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 5

Hadirin yang mulia, Seperti sudah saya ingatkan di depan bahwa dalam penelitian agroforestry kita tidak boleh bias kepada kepentingan kehutanan saja dan menomorduakan kepentingan petani. Contohnya adalah adanya larangan terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah contoh bagaimana kehutanan menempatkan kepentingan petani dan kehutanan tidak pada level yang sama (hal ini berlawanan dengan prinsip agroforestry). Kita harus luwes memperlakukan pohon dengan syarat perkembangan kehidupan tanaman peserta milik petani, Kita harus melakukannya berbasis konsep berbagi sumberdaya (resources sharing). kita faham bahwa gradasi pencahayaan akan berjalan mengikuti perkembangan tajuk pohon sejalan dengan perkembangan waktu. Namun kita harus pertimbangkan juga bekerja pada dimensi ruang, dengan kata lain, meskipun umur tegakan sudah tua tetapi pengaturan berbagi sumberdaya bisa diatur agar masih menjanjikan untuk tetap menghadirkan tanaman pertanian mapun tanaman pakan ternak yang prospektif. Atas dasar situasional berbagi sumberdaya seperti di atas maka konsepsi agroforesry dapat dilakukan sepanjang kehidupan tegakan (daur). Jadi dasar berbagi sumberdaya ini adalah intervensi pada dinamika ruang pada perkembangan tajuk ke arah bidang olah secara kuantitatif (Sabarnurdin et al.,2004). Hadirin yang mulia,

Bagian utama kegiatan pengelolaan hutan sebenarnya adalah silvikultur yaitu melakukan manipulasi tegakan hutan dengan mengatur struktur dan komposisi pohon dan vegetasi lainnya yang bernilai untuk mencapai tujuan pemanfaatan yang ditentukan dan dilakukan dalam rambu-rambu kebijakan pengusahaan yang ditetapkan oleh sang pemilik hutan itu, siapapun dia. Untuk kontribusi yang lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat setempat, maka pengelola harus menggunakan pendekatan kehutanan sosial, dan bila pendekatan ini menjadi pilihan, maka hampir bisa dipastikan formulasi resep silvikulturnya akan mengarah kepada pemilihan rejim silvikultur agroforestry. Rejim Agroforestry akan menjawab tantangan perubahan-perubahan yang telah didorong dan didesakkan (pressured) oleh para pemangku kepentingan. Visi Kementerian Kehutanan yaitu Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera yang telah disepakati sebagai visi besarnya hakekatnya adalah janji para rimbawan untuk mewujudkannya. Kalau tidak demikian, maka pergeseran paradigma tanpa perubahan-perubahan seperti itu hanya akan memperkuat apa yang dituduhan Contant (1979) tentang bisnis kehutanan yang mengeksploitir kemiskinan.

Page 6: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 6 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Hadirin yang mulia,

Diterimanya agroforestry secara luas sebagai cara mengelola lahan yang ramah lingkungan adalah karena makin tingginya kesadaran untuk menanganai masalah degradasi sumberdaya alam. Agroforestry sesuai untuk keperluan itu karena kemampuannya melayani berbagai fungsi, menjadi sumber kehidupan sekaligus melayani kepedulian perlindungan lingkungan seperti halnya merehabilitasi fungsi daerah aliran sungai, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Untuk pekerjaan variatif seperti itu, dituntut persiapan yang lebih banyak dari seorang rimbawan di samping bekal ilmu kehutanan tradisionalnya. Rimbawan akan lebih banyak bergaul dengan teknik atau cara penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil maupun perlakuan pasca panen yang berbeda dengan pekerjaan rutin sebelumnya. Menurut Fortman dalam Sabarnurdin (1999), paling tidak ada empat hal “asing” yang akan dihadapi rimbawan berkenaan dengan tugas barunya ini, yaitu “asing” pohonnya, “asing” pola penggunaan lahannya, “asing” tujuan penanamannya, dan “asing” pula cara pendekatan masyarakatnya. Ia akan banyak berhadapan dengan pohon serbaguna, tanaman pertanian maupun tanaman pakan ternak yang cara penanaman, pemeliharaan, perlakuan maupun cara pemanenannya jauh lebih kompleks dari pada pohon untuk tujuan produksi tunggal yang selama ini digelutinya. Lebih lanjut seorang rimbawan juga masih dituntut untuk memahami hal hal hal berikut: i) mampu berkomunikasi dengan penduduk, memahami adat, aturan, aspirasi dan berbicara dalam “bahasa” mereka; ii) memahami struktur sosial desa, bisa menjadi penghubung desa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan iii) memiliki kemampuan merumuskan resep teknologi tepat berdasarkan studi tentang kondisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang berlaku setempat.

Ini semua menunjukkan bahwa ke depan nanti akan diperlukan banyak rimbawan jenis baru (new breed of foresters). (Maydel dalam Sabarnurdin, 1999).

Hadirin yang mulia,

Untuk melayani kebutuhan tenaga profesional dalam pengelolaan agroforestry jelas diperlukan sumberdaya manusia rimbawan yang berbekal pengetahuan interface dengan ilmu pertanian. Rimbawan harus dipersiapkan menjadi praktisi pengintegrasi bukan spesialisasi. Sebagai praktisi ia harus bekerja dengan azas keluasan, kejelasan, dan kemanfatan. Rimbawan dan akademisi bertugas mendalami kekhususan spesialisasi masing masing. Keduanya bisa saling melengkapi, praktisi memberi umpan balik tentang apa yang perlu ditelaah lebih dalam sedangkan spesialis menghadirkan temuannya untuk digunakan dalam praktek. Adalah tidak benar bila bidang ilmu atau institusi yang dibangun di atas dasar spesialisasi tersebut kemudian membentuk dinding-dinding pemisah (Temu,2004). Apalagi bila menganggap gerakan lintas bidang sebagai sebuah pelanggaran wilayah, akibatnya, hubungan alamiah antar

Page 7: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 7

keduanya menjadi tertutup sehingga menciptakan kesenjangan ilmu dan inovasi dan akhirnya akan tidak efektif untuk menangani masalah praktek yang memerlukan penanganan komprehensif.

‘ Hadirin yang mulia,

Basis pengetahuan yang luas diperlukan untuk mengelola bentang lahan yang dibebani dengan berbagai kepentingan yang tidak jarang menyebabkan saling konflik. Institusi pendidikan menanggapi masalah itu dengan memperbanyak kolaborasi antar bidang ilmu, dan mencoba mengembangkan program-program baru dalam bentuk paket terpadu untuk menangani masalah pengelolaan sumberdaya lahan. Pendidikan yang diperlukan adalah ”pendidikan untuk pengembangan kapabilitas”. Rudebjer et al., (2004) dan Nsita et al., (2004) menekankan bahwa sumberdaya manusia itu harus memiliki kapasitas berfikir secara sistem, berorientasi bisnis dan menempatkan manusia sebagai pusat setiap tindakan untuk mencapai tujuan produktif dan konservasif, serta memiliki orientasi kerja pembangunan daerah pedesaan. Agar lulusan lebih kompetitif, mereka harus dipersiapkan untuk memiliki pemahaman mendalam tentang pengelolaan pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan, disamping memiliki kemampuan dalam penelitian, penyuluhan; perencanaan penggunaan lahan; dan kewirausahan. Hadirin yang mulia,

Adalah suatu kenyataan bahwa di era otonomi daerah ini, pemerintah daerah bebas membentuk instansi, termasuk instansi pengelola sumberdaya lahan. Ini nampak dari nama nama instansi itu yang tidak seragam. Di satu daerah kita menjumpai Dinas Kehutanan, ditempat lain kehutanan menjadi bagian Dinas Pertanian atau Dinas Pertanian dan Perkebunan, atau dibawah Dinas Kehutanan dan Lingkungan hidup, dan lain lain. Yang menarik adalah kecenderungan tidak sesuainya antara bidang keahlian pejabat kepala dinas dengan mandat dinasnya. Kecenderungan ini sebenarnya positif karena merupakan tambahan bukti bahwa new breed of expertists, yang dilengkapi dengan pengetahuan atau keahlian antar bidang semacam agroforestry memang diperlukan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, walaupun telah terjadi “integrasi fisik” yang baik, tetapi masih banyak pekerjaan yang berhubungan dengan agroforestry ditangani “secara sambilan” oleh tenaga-tenaga berpendidikan pertanian atau kehutanan, atau bahkan lainnya yang sebelumnya tidak pernah terekspose pada agroforestry (Widianto, 2000). Keadaan ini dirumuskan dalam rekomendasi seminar tahun 2006 (Sabarnurdin and Srihadiono, 2007) sebagai berikut:

1. The current agricultural development program is still sector-base, uncoordinated and unintegrated neither institutional, programs nor in budget view points.

Page 8: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 8 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

2. Agroforestry education should be prepared to produce human resources that capable as a land use manager with holistic way of thinking. Agroforestry should be institutionalized with integrated curricula including agriculture, forestry, fisheries and others.

Penutup

Pelaku penelitian kehutanan dewasa ini makin bertambah dengan makin besarnya minat parapihak mengadakan penelitian sesuai dengan kepentingan masing-masing. Keadaan tersebut adalah menggembirakan walaupun tidak selalu sejalan dengan kejituan hasil penelitian dalam membantu memecahkan persoalan kehutanan nasional.

Penelitian Universitas tidak perlu saling menggeser dengan para peneliti di Badan Litbang Kehutanan yang ada, kedua belah pihak memiliki tradisi bekerjasama dalam kedudukan setara. Kerjasama antara keduanya akan membantu mengefisiensikan penggunaan dana dan fasilitas yang ada di instansi induk masing-masing pihak, apalagi dalam serba keterbatasan seperti sekarang. Adanya anggapan bahwa eksistensi Litbanghut belum nampak bukan disebabkan karena tidak adanya penelitian, tetapi lebih disebabkan oleh kurangnya koordinasi mengenai prioritas masalah yang perlu diteliti secara nasional, dan pemasyarakatan teknologi yang dihasilkan.

Bagi mereka yang memerlukan hasil penelitian sebagai dasar ilmiah manajemen, tetapi terkendala dana, masih tersedia kesempatan untuk mengadakan observasi awal yang lebih terarah untuk menjadi masukan bagi institusi penelitian yang lebih kompeten. Pembuatan Master Plan Penelitian Nasional akan lebih terbantu oleh mekanisme hirarki semacam itu, dan ini barangkali akan lebih baik daripada hanya mengandalkan hasil kesimpulan panitia adhock yang dikejar-kejar deadline.

Koordinasi antar institusi ‘’gudang’’ sumberdaya manusia peneliti seperti Universitas dan lembaga peneliti perusahaan seringkali mengadakan kerjasama internasional dengan dana dan ‘’arahan’’ pihak partner. Ada kemungkinan bahwa program kerjasama mereka tidak sejalan dengan program nasional penelitian kehutanan, atau merupakan pengulangan. Keadaan ini jelas kurang menguntungkan dipandang dari kepentingan nasional.

Suatu kerangka kerjasama antara lembaga peneliti yang tidak bersifat tambal sulam diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kerangka kerjasama itu yang menghimpun para peneliti tangguh, dana yang cukup, dan disertai dengan keluwesan administrasi adalah suatu keinginan yang rasional.

Seperti kita ketahui, aktor dalam kerangka kerjasama seperti ini adalah Universitas, Balitbanghut, dan pengguna (asosiasi perusahaan swasta maupun BUMN). Koordinasi itu hendaknya berpangkal pada kehendak untuk segera menghasilkan teknologi kehutanan yang diperlukan secara nasional berdasarkan hasil evaluasi sebelumnya dan perencanaan serta penentuan prioritas masa datang. Pekerjaan yang terakhir ini perlu dilakukan oleh suatu badan (board of trustees) yang beranggotakan para ahli dan para teknokrat senior yang peduli.

Page 9: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 9

Koordinasi itu hendaknya juga diperluas dengan membangun kelembagaan dan menjadikannya sebagai pusat menurut region, atau penanganan masalah tertentu. Dengan cara ini bisa dibentuk akar organisasi yang mampu mengkomunikasikan teknologi dan pengetahuan baru bidang kehutanan secara umum.

Kesenjangan antara hasil penelitian dan keperluan praktek di bidang kehutanan apalagi agroforestry, masih tetap merupakan hal belum terpecahkan. Kritik bahwa penelitian hanya untuk penelitian, atau penelitian untuk mencari kum kenaikan pangkat, dan kritik-kritik lainnya perlu dipertimbangkan untuk memperbaiki kejituan hasil penelitian kehutanan umumnya memerlukan waktu yang panjang.

Akhirnya hasil penelitian itu akan membawa ke kemajuan pendidikan agroforestry sebagai sumbangan kepada manifestasi pendidikan berbasis penelitian. Terimakasih atas perhatian hadirin yang telah sabar mendengarkan pembicaraan yang agak panjang ini. Wassalamualaikum wr wb.

DAFTAR PUSTAKA

Atmosoedaryo, S. dan S.G. Banyard. 1979. The Prosperity Approach To Forestcommunity Development In Japan. Comm. For. Rev. 57 (2) : 89-96.

Contant, R.B. 1979. Training and Education in Agroforestry. Dalam T. Chandler dan D. Spurgeon (Eds). Proceeding of an International Conference in Agroforestry. ICRAF. Nairobi, Kenya p 220-229.

Hartadi, Y. Suyanto, L. Butar-butar, S. Atmosoedaryo, J. KartaSubrata, M. Bratamihardja, J. Sudiono, R. Madikanto, S. Sasraprawira, S. Nadiar, A. Sukmara, Z. Tampubolon. 1996. Peran serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa. Perum Perhutani. Jakarta. 142 pp.

Kartasubrata, Y.1978. Tumpangsari method for establishment of teak plantation in Java. Dalam Proceeding of a Symposium on Tropical Agricultural Technologies, Tsukuba. Japan Tropical Agricultural. Series 12: 141-152.

Nai’em, M. 2004. Keragaman Genetik, Pemuliaan Pohon dan Peningkatan Produktivitas Hutan di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kehutanan. Universitas Gadajah Mada. Yogyakarta.

Nair, P.K. Ramachandran, 1993. An Introduction to Agroforestry. ICRAF and Kluwer Academic Publisher. 499 pp.

Nsita, Steve Amooti, Louis S.M. Balikuddembe, S. Gwali, G. Sebahutu dan A.Temu, 2001. Curriculum for the diploma course in Agroforestry. Nyabyeya Forestry College. Uganda. 75 pp.

Page 10: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 10 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Sabarnurdin, M.S., P. Suryanto, dan W.B. Aryono. 2004. Dinamika Tegakan Mahoni (Swietenia macrophylla King) Dalam Sistem Pertanaman Lorong (Alley Cropping). Jurnal Ilmu Pertanian Vol.11. No.1:63-73.

Sabanurdin , M.S dan U.I. Srihadiono. 2007. The Role of Agroforestry Education in the Revitalization of Agriculture, Fishery and Forestry Program. Proceeding of the international Seminar. Gadjah Mada University, SEANAFE, Deparment of Forestry, dan Perhutani. 167 pp.

Sabarnurdin, M.S. 2007 Some Consideration for Agroforestry Human Resource Development. 2007. Dalam M.S. Sabanurdin dan U.I. Srihadiono (eds). The Role of Agroforestry Education in the Revitalization of Agriculture, Fishery and Forestry Program, proceeding of the international Seminar. Gadjah Mada University, SEANAFE, Department of Forestry, dan Perhutani. 167 pp.

Sabarnurdin, M.S. 2008. Agroforestry: Strategi Penggunaan Lahan Multifungsi, Fleksibel Terhadap Perubahan Tuntutan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Agroforestry Pada Fakultas Kehutanan UGM Maret 2008.

Simon, H. 1989. The Analysis of Management Strategy on Teak to anticipate The Increasing People’s Needs. Case Study in Forest District Madiun. Gadjah Mada University 1989. Dissertation. Unpublished.

Suryanto,P. M.S.Sabarnurdin., dan Tohari. 2006. Dinamika sistem Berbagi Sumberdaya (Resource Sharing) dalam Sistem Agroforestry: Dasar Pertimbangan Penyusunan Strategi Silvikultur. Jurnal Ilmu Pertanian. Vol. 12.(2): 168-181.

Temu, A.B., 2004. Toward better integration of land use disciplines in education programmes. In A.B. Temu, S. Chakeredza, K. Mogotsi, D. Munthali dan R.Mulinge (Eds). Rebuilding Africa’s capacity for agricultural development: the role of tertiary education. Reviewed papers presented at ANAFE Symposium on Tertiary Agricultural Education, April 2003. ICRAF, Nairobi, Kenya.

Widianto, 2000. Agroforestry education in Indonesia, Paper presented in a seminar on Development of Curriculum on Sustainablen Agriculture for Indonesian University, Febuary 2000 at Brawijaya Universitas in Indonesia.

Wiersum, K.F., 1981. Outline of the Agroforestry concept. In K.F. Wiersum (ed.) Viewpoints on Agroforestry. Agricultural University Wageningen. Netherlands. p.1-21.

Page 11: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 11

STATUS RISET PENELITIAN AGROFORESTRY DI INDONESIA

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

I. LATAR BELAKANG

Meskipun merupakan praktik pengelolaan lahan yang telah lama diaplikasikan oleh masyarakat, pada kenyataannya agroforestry telah bertransformasi menjadi disiplin ilmu tersendiri yang pada awalnya berkembang pada akhir tahun 1970an (Nair, 1993). Perkembangan agroforestry dari praktis menjadi disiplin ilmu didasari oleh empat prinsip utama, yaitu kompetisi (competition), kompleksitas (complexity), keuntungan (profitability), dan keberlanjutan (sustainability) (Sanchez, 1995). Hal tersebut tidak terlepas dari sifat agroforestry sebagai sebuah sistem pengelolaan lahan yang di dalamnya terkandung unsur pengaturan pola tanaman untuk mengoptimalkan kompetisi antar individu, yang secara langsung akan berimplikasi pada kompleksitas ekologi dan sosio-ekonomi dari sistem tersebut. Selain itu, agroforestry juga dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari pengelolaan lahan tersebut, di samping pengaturan ruang dan waktu untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan.

Untuk mendukung pencapaian dari empat prinsip dasar tersebut, diperlukan dukungan pengetahuan dan teknologi yang memadai. Selain untuk memecahkan persoalan penggunaan lahan secara umum (Nair, 1998), penelitian agroforestry juga dimaksudkan untuk memberikan basis pengetahuan yang menjadi landasan untuk mengelola aspek kompetisi dan kompleksitas agar lebih menguntungkan dan berkelanjutan (Nair, 1998, Sanchez, 1995). Lebih jauh, Nair (1998) menyatakan bahwa riset agroforestry harus didasarkan pada pengetahuan yang telah diperoleh saat ini baik yang diperoleh dari hasil riset maupun pengetahuan tradisional yang berasal dari pengalaman praktis para petani. Pengetahuan yang dibangun melalui riset akan menjadi landasan bagi pengembangan teknologi agroforestry yang akan menjadi jembatan dari masa lalu menuju pengembangan di masa depan.

II. REVIEW STATUS RISET AGROFORESTRY

A. Tujuan dan Metode Penyusunan Status Riset

Sesuai dengan pendapat Nair (1998), penyusunan status riset ini bertujuan untuk menyediakan landasan bagi perencanaan penelitian agroforestry khususnya di lingkup Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPTA). Sebagai lembaga baru di lingkup Kementerian Kehutanan yang diberi kekhususan untuk melakukan penelitian teknologi agroforestry, BPTA diharapkan mampu

Page 12: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 12 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

memberikan landasan ilmiah bagi pengembangan teknologi agroforestry di Indonesia untuk mendukung pencapaian visi dan misi Kementerian.

Status riset ini disusun dari tulisan yang berasal dari berbagai sumber ilmiah, yang kemudian disusun berdasar aspek bahasan yang terdiri dari silvikultur, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Sumber yang dijadikan rujukan dalam status riset ini merupakan hasil penelitian dan bukan merupakan studi pustaka. Dari hasil pengumpulan data tersebut, diperoleh sejumlah 450 tulisan. Dari 450 tulisan tersebut, 391 tulisan dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan bahan rujukan.

B. Distribusi Tulisan

Seluruh tulisan yang memenuhi syarat untuk dijadikan rujukan kemudian dibagi berdasarkan aspek masing-masing, yaitu silvikultur, lingkungan, sosial, dan ekonomi sebagaimana tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi tulisan berdasarkan aspek

No. Aspek Tulisan N %

1. Silvikultur 121 31

2. Ekonomi 112 29

3. Sosial 98 25

4. Lingkungan 60 15

Jumlah 391 100

Sumber: Analisis Data Primer (2011)

Untuk melihat persebaran lokasi penelitian, seluruh tulisan juga dibagi berdasarkan enam wilayah lokasi penelitian yaitu Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Maluku-Papua. Sebaran lokasi penelitian dari tiap wilayah tersaji dalam Gambar 1. Riset agroforestry dengan lokasi di Pulau Jawa menempati urutan teratas dalam jumlah riset. Gambar 1 menunjukkan adanya aspek utama riset agroforestry yang berbeda-beda di setiap daerah. Beragamnya topik penelitian dan banyaknya kegiatan penelitian dalam suatu aspek agroforestry di setiap wilayah menunjukkan bahwa di setiap daerah mempunyai bentuk-bentuk agroforestry yang khas maupun yang layak dikaji.

Page 13: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 13

Sumber: Analisis Data Primer (2011) Gambar 1. Grafik distribusi lokasi penelitian tiap tema di tiap wilayah

Setiap aspek tulisan kemudian dibagi dan dianalisis menurut tema utama

dari masing-masing tulisan yang didasarkan pada bidang kajian utama dari aspek-aspek yang dikaji. Apabila kemudian dalam sebuah tulisan terdapat beberapa

Page 14: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 14 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

aspek kajian, maka analisis ditekankan pada aspek utama yang menjadi bahasan dari tulisan tersebut. Penjelasan setiap aspek dan tema tulisan tertera sebagai berikut. 1. Silvikultur

Aspek silvikultur merupakan salah satu bidang kajian dalam riset agroforestry yang berhubungan dengan strategi aplikasi teknik budidaya di lapangan. Pemilihan rejim silvikultur yang tepat merupakan salah satu jalan yang penting dilakukan menuju arah kelestarian hutan yang mampu memakmurkan masyarakat (Sabarnurdin et al., 2011). Penggunaan teknik silvikultur yang tepat juga menjadi kunci bagi keberhasilan dalam optimalisasi penggunaan sumberdaya yang ada. Contoh nyata dari hal ini terungkap dari hasil review yang dilakukan terhadap penelitian-penelitian dalam bidang silvikultur, seperti pentingnya pemilihan jenis-jenis yang tepat agar tercipta interaksi antar jenis yang positif serta teknik-teknik silvikultur yang diperlukan untuk meningkatkan hasil dari komoditas yang ditanam. Selain itu, aspek ini melihat praktik-praktik pola agroforestry yang dilakukan oleh masyarakat. Status riset silvikultur agroforestry di Indonesia tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Status riset aspek silvikultur agroforestry di Indonesia

No. Aspek Penelitian Status Riset

1. Uji Jenis Tanaman

a. Uji jenis tanaman agroforestry pada pengembangan DAS

Campuran pinus agathis, kaliandra, akasia, grevillea dan ekaliptus + tanaman pertanian di DAS Konto

Uji jenis cemara, sengon dan tristania di DAS Tanah Toraja

Uji jenis tanaman jati, sengon, dan nangka pada kelerengan > 30% di DAS Biyonga

Uji jenis kemiri, petai, sukun, mangga, salam, kedoya di lahan kritis TWA Gunung Selok

Kemampuan adaptasi kaliandra, rumput gajah dan kopi, kumis kucing, temulawak, sambiloto di hutan pendidikan Gunung Walat

Uji jenis tanaman di lahan laharan Gunung Merapi Jateng.

b. Uji jenis untuk pakan ternak

Uji jenis rumput dibawah tegakan di Aek Nauli

Uji 14 jenis leguminosa untuk pakan ternak di Aek Nauli

c. Identifikasi jenis yang dikembangkan di hutan rakyat

Identifikasi jenis tanaman agroforestry di hutan rakyat

2. Pola Interaksi a. Berbagai kombinasi tanaman agroforestry yang

Page 15: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 15

No. Aspek Penelitian Status Riset

antar Tanaman Agroforestry

saling memberikan interaksi positif (saling meningkatkan produktivitas)

Jambu mete + rumput gajah + Stylosanthes gulanensis Aubl/ Dioclea sp/ Archis hypogea Linn.

Gamal + lamtorogung + turi + rumput bade + kopi

Jati + padi, Jati + kacang tanah dan jati + jagung

Eucaliptus sp + jahe

Peltophorum sp + Gliricidia sp + Caliandra sp + jagung

Peltophorum dasyrachis + jagung

Tegakan hutan + padi

Jati + cabai + jagung +kedelai

(Kopi + gamal +lamtoro+dadap)

Tegakan hutan + padi

Agathis sp + haramay (Boehmeria nivea (L)

Jati + akasia

Sawit + pohon

Tipe I : jati +coklat; Tipe II : Jati +sawit

Jati + jagung

b. Berbagai kombinasi tanaman agroforestry yang saling memberikan interaksi netral

Sengon + jagung, Sengon + padi, Ekaliptus + jagung, Kayu putih + jagung

c. Berbagai kombinasi tanaman agroforestry yang saling memberikan interaksi negatif (menurunkan produktivitas)

Acacia mangium, eucaliptus deglupta + padi/ kacang tanah,; Tipe I : Srikaya + jati/sono/sengon dan Tipe II : Srikaya + gmelina; Jati + Jagung; Mahoni + padi; Bungur/ Lagerstroemia speciosa Pers + padi; Jati + kacang tanah; Jati + ubi kayu; Jati + Jagung; Kayu putih + singkong/jagung; sengon +nilam; H brasilensis + A. Mangium; Jati + jagung; Leucena sp, Erythrina sp dan Albizia sp + jagung; Gliricidia sepium dan Leucaena leucocephala + jagung; Kopi + kemiri + jati + mahoni.

3. Teknik silvikultur agroforestry

a. Penyiapan lahan alang-alang

Teknik penanaman agroforestry pada lahan alang-alang

- Lahan alang-alang (Mocuna sp + jambu mete + kedelai) lahan perladangan > 30% (rumput lokal +kacang dan kedelai+ jambu mete), 15-

Page 16: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 16 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No. Aspek Penelitian Status Riset

45% (tanaman pangan+jambu mete+Mucuna sp)

- Gmelina +campuran petai + durian, nangka + cengkal + karet.

- Shorea balangeran (Korth) Burck dan Shorea leprosula Miq (meranti merah) + nanas + tanaman buah-buahan

- Tahun I : Karet + padi + cabai + sayuran; Tahun II : tanaman penutup (Mucuna, Flemingia, Crotalaria, Setaria, Cromolaena) + tanaman cepat tumbuh (sengon, akasia, dan gmelina)

b. Kesuburan tanah

Kontribusi tanaman agrofrestri terhadap peningkatan kesuburan tanah - Lamtoro + tanaman pertanian - Peltophorum sp - Casuarina oligedon + tanaman pertanian - Kakao + Gliricidia sepium - Gliricidia sp+ jati

Pengaruh pemupukan terhadap tanaman agroforestry (pengapuran, pupuk NPK dan kandang, pembersihan gulma, pemberantasan hama dan penyakit, dekastar 25 g dan 50 g per pohon, urea 250 g + TSP 100 g + KCL 180 g, bokashi 1000 gram dan Ameliorasi dengan pupuk kandang dan abu)

c. Pemangkasan/pruning

Kaliandra + jagung

Jati + ubi kayu

Pinus + jagung

Sengon + damar

Pinus + jagung

Pinus + kedelai

Pinus + jagung

Pohon + Tanaman semusim

4. Bentuk-bentuk agroforestry di masyarakat

a. Agrisilvikultur (identifikasi komposisi tegakan, perubahan komposisi tegakan dari masa ke masa, nilai kegunaan tanaman bagi masyarakat)

Perak di Sumatera Barat

Kebun Dayak di Kalimantan

Pekarangan di DIY

Pola jalur acak di Maros

Agroforestry di Patuk Gunung Kidul, DIY

Page 17: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 17

No. Aspek Penelitian Status Riset

Dusung di Maluku Tengah

Agroforestry di Sumedang, Cianjur, dan Sukabumi

Repong Damar

Agroforestry di KPH Madiun, Kuningan, RPH Banjarsari,

Agroforestry hutan rakyat (Sidoarjo, Wonosobo, Blitar, Kuningan dll).

b. Silvofishery (Indramayu, Subang, Brebes dll)

Penanaman mangrove

Manfaat mangrove bagi masyarakat

Analisis keuntungan usaha tambak

c. Apikultur (Pedesaan di Kaltim, Lampung Timur dll)

Sonokeling, kaliandra, kapuk randu, cokelat, kopi, dan MPTS

d. Silvopasture

Sapi dan kambing pada rumput setaria, tegakan kayu, dan kaliandra

Sumber: Data Primer (2011) 2. Lingkungan

Kajian mengenai aspek lingkungan dalam penelitian agroforestry meliputi tema dampak agroforestry terhadap tanah dan air, karbon, keanekaragaman hayati, konservasi tanah dan air, rehabilitasi, serta dinamika pemanfaatan ruang dalam praktik agroforestry. Terkait dengan isu perubahan iklim yang berkembang saat ini, terungkap bahwa agroforestry merupakan salah satu strategi menjanjikan bagi mitigasi perubahan iklim. Status riset aspek lingkungan agroforestry di Indonesia tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Status riset aspek lingkungan agroforestry di Indonesia

No. Aspek penelitian Status riset

1. Dampak agroforestry terhadap Lingkungan

a. Sifat fisik tanah

Dampak AF terhadap struktur tanah

b. Seresah

Produksi seresah pada agroforestry

Ketebalan seresah pada agroforestry

Kecepatan dekomposisi seresah pada agroforestry

c. Unsur hara

Karakteristik akar pada pola agroforestry sebagai penyerap hara

BOT (bahan organik tanah) pada agroforestry

Kajian unsur hara makro pada agroforestry

Page 18: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 18 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No. Aspek penelitian Status riset

d. Siklus air

Intersepsi pada agroforestry

e. Karbon

Potensi karbon pada agroforestry berbasis damar

Potensi karbon pada agrisilvikultur

Potensi karbon pada kebun campuran

f. Keanekaragaman hayati

Kekayaan spesies pada agroforestry

Keanekaragaman hayati primata pada agroforestry

g. Konservasi tanah & air

Erosi dan limpasan permukaan pada agroforestry berbasis kopi

Erosi dan limpasan permukaan pada agrisilvikultur

Erosi dan limpasan permukaan pada kebun campuran

Pencemaran air pada agrisilvikultur

Kesuburan tanah dan kelestarian fungsi DAS pada agroforestry

2. Agroforestry dan pemanfaatan lahan

a. Agroforestry dan pemanfaatan lahan

Penutupan lahan agroforestry

Agroforestry pada lahan kering di NTT

b. Penerapan agroforestry bentuk pekarangan

Luas pekarangan

Bentuk pekarangan

Struktur vegetasi pekarangan

Elemen penyusun pekarangan

Sumber: Data Primer (2011)

3. Sosial Aspek sosial telah mewarnai riset agroforestry berdampingan dengan

riset yang berhubungan dengan aspek biofisik. Aspek ini berhubungan erat dengan dinamika sosial yang terjadi dalam hubungannya dengan praktik agroforestry di masyarakat yang menciptakan pola-pola agroforestry yang unik. Faktor-faktor tersebut dapat berupa dorongan internal dari individu masyarakat dan pengaruhnya terhadap pola adopsi, partisipasi, dan pengambilan keputusan, serta pembagian peran dalam pengelolaannya. Selain itu, aspek sosial juga mengkaji sistem kelembagaan yang ada serta berbagai kebijakan yang mempengaruhi perkembangan praktik agroforestry di masyarakat. Status riset aspek sosial agroforestry di Indonesia tertera pada Tabel 4.

Page 19: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 19

Tabel 4. Status riset aspek sosial agroforestry di Indonesia

No. Aspek penelitian Status riset

1. Kearifan lokal a. Pengembangan agroforestry tanaman kayu manis di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera

b. Pengelolaan Repong Damar di Lampung c. Sistem perladangan Suku Baduy di Banten d. Kebun Dayak dan Agroforestry Suku Iban di

Kalimantan Barat e. Agroforestry sistem Amarasi di Pulau Timor f. Sistem pemanfaatan hutan dan lahan berupa Dusung

di Maluku g. Praktik agroforestry berbasis tanaman kilu di Papua

2. Kondisi Sosial a. Persepsi, Motivasi, dan Penerimaan Sosial

Pengetahuan lokal petani Sumberjaya Lampung mengenai proses ekologi terkait erosi dan pengelolaan lahan pertanian berbasis kopi

Persepsi petani terhadap pola wanafarma di Cilacap Jawa Tengah

Motivasi petani Bengkulu Utara dalam mengembangkan kayu bawang

Motivasi masyarakat dalam mengelola pekarangan

Indeks penerimaan sosial masyarakat sekitar hutan Lampung

Indeks penerimaan sosial petani dalam pemanfaatan lahan gambut di Ogan Komerin Ilir Sumatera Selatan dan Tanjung Jabung Barat Jambi

Pengembangan sistem agroforestry kebun talun

b. Pola adopsi dan partisipasi

Tingkat partisipasi dan pola adopsi pola agroforestry dalam program perhutanan sosial di KPH Bojonegoro Jawa Timur

Proses adopsi agroforestry petani di Hutan Pendidikan Gunung Walat

Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan agroforestry

c. Pengambilan keputusan

Pengambilan keputusan petani Krui dalam pengelolaan hutan

Pengambilan keputusan masyarakat di daerah tangkapan hujan Danau Toba, Sumatera Utara

Pengambilan keputusan terkait pemilihan jenis tanaman

d. Analisis gender

Page 20: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 20 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No. Aspek penelitian Status riset

Pembagian peran petani dalam pengelolaan hutan rakyat kemiri di NTB

Peran perempuan dalam kegiatan agroforestry berbasis karet

Peran perempuan dalam pengelolaan pekarangan di Lampung

3. Kelembagaan Keragaan/ bentuk kelembagaan formal dan informal

Lembaga adat dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Maluku Tengah, dan Seram

Kelembagaan PHBM di Ciamis, Sumedang, Tasikmalaya

Bagi hasil PHBM

4. Kebijakan a. Faktor pendorong perubahan penggunaan lahan pada sistem agroforestry kopi di Sumberjaya, Lampung

b. Pergeseran pewarisan tanah di Sumatera Barat c. Faktor-faktor yang mempengaruhi praktif

agroforestry di Indonesia

Apikultur (Kaltim, Sukabumi)

Lahan kering(NTT)

Ekoturisme (Sukabumi)

Serikultur(Sukabumi)

Repong damar (Krui)

Kebun hutan tradisional (Sulteng)

Silvofishery (Indramayu, Purwakarta)

Silvopastura (Cianjur, Kupang)

HHBK (Timor Barat, Sumedang, Cianjur, Sukabumi, NTB)

Agrosilvopastura (NTT, Sragen)

5. Penyuluhan dan pengembangan masyarakat

a. Strategi penyuluhan af di NTT dan NTB b. Peran penyuluh di Sumberjaya Lampung c. Pendampingan masyarakat di NTB

Sumber: Data Primer (2011)

4. Ekonomi Pertimbangan ekonomi merupakan faktor yang berhubungan dengan

pilihan masyarakat terhadap praktik agroforestry. Aspek ekonomi dalam riset agroforestry tidak hanya terpaku pada aspek kelayakan ekonomi dan finansial semata, tetapi juga meliputi aspek-aspek lain seperti kontribusi agroforestry terhadap perekonomian rumah tangga serta perekonomian wilayah, agroforestry

Page 21: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 21

dan penyerapan tenaga kerja, serta pemasaran. Status riset aspek ekonomi agroforestry di Indonesia tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Status riset aspek ekonomi agroforestry di Indonesia

No. Aspek penelitian Status riset

1. Pendapatan dan Kontribusi Ekonomi Agroforestry

Kontribusi ekonomi agroforestry tradisional seperti sistem amarasi di Nusa Tenggara, kebun Suku Dayak, kebun campuran di Kampung Naga, Reba Juma di masyarakat Karo.

Kontribusi ekonomi agroforestry skala subsisten/lahan sempit

Kontribusi ekonomi agroforestry skala semi komersial berbasis tanaman karet, kemiri, dan kopi.

Kontribusi ekonomi agroforestry skala komersial dalam program PHBM berbasis jati, kayu putih, dan pinus oleh Perhutani dan sistem bagi hasilnya di Pulau Jawa.

Kontribusi ekonomi agrisilvikultur hutan rakyat (campuran pepohonan, hortikultura, dan tanaman semusim) di Pulau Jawa, Lampung, dan Kalimantan Selatan.

Kontribusi ekonomi agrisilvikultur berbasis tanaman perkebunan seperti kemiri dan karet di Sulawesi Selatan dan Jambi.

Kontribusi ekonomi silvofishery di Subang.

2. Kelayakan Finansial Usaha Agroforestry

Kelayakan finansial bentuk-bentuk agrisilvikultur hutan rakyat di Pula Jawa .

Kelayakan finansial agrisilvikultur berbasis tanaman potensial daerah seperti kemiri dan cempaka di Sulawesi.

Kelayakan finansial tembawang di Kalimantan Barat.

Kelayakan finansial agrosivopastura di Garut.

3. Kesempatan Kerja dalam Pengelolaan Agroforestry

Curahan tenaga kerja dan kesempatan kerja dalam usaha agroforestry bentuk PHBM di Jawa Tengah.

4. Pemasaran Hasil Agroforestry

Identifikasi produk-produk hasil agroforestry.

Rantai pemasaran dan efisiensi pemasaran kacang mete di Wonogiri.

Rantai pemasaran kayu rakyat di Lampung.

Rantai pemasaran kayu jati rakyat di Gunung Kidul.

5. Agroforestry dan Perekonomian Wilayah

Peran agroforestry Repong Damar dalam distribusi pendapatan di wilayah Pesisir Krui

Page 22: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 22 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No. Aspek penelitian Status riset

6. Pemodelan dan Optimasi Hasil dalam Agroforestry

Optimasi pemanfaatan lahan dengan pola agroforestry jati di Gunung Kidul.

Optimasi pemanfaatan lahan dengan agroforestry pinus di Pekalongan.

Optimasi pemanfaatan lahan dengan agroforestry berbasis tanaman pangan di Magelang.

Optimasi pemanfaatan lahan dengan pola agroforestry sengon di Boyolali.

Pemodelan agroforestry untuk skema pembayaran karbon di Jambi.

Sumber: Data Primer (2011)

DAFTAR PUSTAKA

Nair, P.K.R. 1993. State-of-The-Art of Agroforestry Research and Education. Agroforestry Systems 23: 95-113.

--------------. 1998. Directions in Tropical Agroforestry Research: Past, Present, and Future. Agroforestry Systems38: 223-245.

Sabarnurdin, M.S., Budiadi, dan P. Suryanto. 2011. Agroforestri Untuk Indonesia: Strategi Kelestarian Hutan dan Kemakmuran. Wanagama. Yogyakarta.

Sanchez, P. A. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry Systems 30: 5-55.

Page 23: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 23

RENCANA INDUK PENELITIAN AGROFORESTRY

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menerapkan prinsip keberlanjutan (sustainability) dan ketahanan (resilience) atas sumber daya hutan merupakan tantangan pembangunan kehutanan yang secara eksplisit disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jamngka Menengah (RPJM) Kehutanan Tahun 2006-2025 dan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030. Secara lebih rinci, hal tersebut juga tergambar dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 dan tergambar dalam visi Kementerian Kehutanan yaitu “Hutan Lestari untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan” atau yang lebih dikenal dengan jargon “Hutan Lestari dan Masyarakat Sejahtera”.

Salah satu program yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan untuk menjawab tantangan di atas adalah agroforestry. Agroforestry diharapkan menjadi salah satu jalan bagi pengentasan kemiskinan masyarakat terutama yang hidup di sekitar hutan sekaligus sebagai salah satu upaya bagi perlindungan dan peningkatan kualitas lingkungan. Bagi Kementerian Kehutanan, agroforestry diharapkan menjadi salah satu pengejawantahan program-program pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi (pro growth), penyerapan tenaga kerja (pro job), pengentasan kemiskinan (pro poor), dan peningkatan kualitas lingkungan (pro environment).

Seiring dengan tingginya harapan yang diembankan pada agroforestry, perencanaan penelitian yang berkaitan dengan bidang tersebut menjadi sebuah keharusan. Sebagai bidang ilmu inter-disipliner yang tidak hanya melibatkan ahli-ahli dalam bidang kehutanan, tetapi juga ahli-ahli disiplin ilmu lainnya, pengintegrasian berbagai subjek penelitian dalam penelitian agroforestry juga menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Selain itu, penelitian agroforestry juga memerlukan keterlibatan berbagai pihak (stakeholders) baik instansi pemerintah mulai dari tingkat daerah sampai tingkat pusat, masyarakat lokal, serta organisasi-organisasi pemerintah maupun non-pemerintah.

Dalam level Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan, agroforestry diposisikan sebagai tantangan dalam peningkatan produktivitas dan kualitas hutan tanaman, serta mentargetkan peningkatan nilai ekonomi dan keuntungan usaha agroforestry antara 10%-20% pada setiap fase 5 tahunan, dari tahun 2010-2025. Di lain pihak, agroforestry juga harus bisa menjawab tantangan kekinian di Indonesia serta di dunia global, seperti pertumbuhan populasi yang berdampak pada peningkatan sumber pangan, kesehatan, sumber

Page 24: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 24 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

energi, dan sumber daya lain yang berbasiskan biomassa tanaman. Pada saat yang sama, agroforestry diharapkan menjadi salah satu jalan untuk mempertahankan kelestarian jasa lingkungan seperti air, keragaman hayati, serta kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon. Hal-hal tersebut menggambarkan betapa pentingnya merubah paradigma pengelolaan lahan dengan sistem agroforestry menjadi lebih orientatif ke arah pengentasan kemiskinan, rehabilitasi, pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, perlindungan keragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya, serta penghormatan hak-hak masyarakat lokal dan pemberdayaan masyarakat (Sabarnurdin et al., 2011).

Untuk menuju hal tersebut, diperlukan dukungan kebijakan yang mendorong penerapan sistem agroforestry baik dalam lingkup lokal maupun regional. Kebijakan tersebut meliputi skenario pemberian insentif dalam upaya memasyarakatkan agroforestry serta pemberian imbal jasa lingkungan bagi kelompok masyarakat yang mempertahankan sistem agroforestry dalam pengelolaan lahannya. Di saat yang sama, diperlukan juga kebijakan yang memayungi hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan dengan sistem agroforestry, termasuk hak-hak tenurial yang menjamin keamanan hak pengelolaan hutan.

Untuk menunjang hal-hal tersebut diatas, diperlukan berbagai penelitian yang terarah berdasarkan kebutuhan dan isu-isu yang berkembang. Penelitian-penelitian tersebut harus bisa menjawab berbagai pertanyaan dari tingkat individu pohon atau tanaman, lahan, lanskap, sertakebijakan di tingkat nasional dan global.

B. Maksud dan Tujuan

RIPA dimaksudkan sebagai acuan/panduan bagi perencanaan dan penyelenggaraan penelitian agroforestry dalam lingkup BPTA maupun lembaga-lembaga penelitian lain lingkup Badan Litbang Kehutanan. Tujuannya, agar penelitian agroforestry yang dilakukan lebih terarah, sistematis, dan terintegrasi menuju kepada pencapaian tujuan dan sasaran serta menghasilkan luaran yang telah ditetapkan.

II. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENELITIAN

Keterkaitan yang erat antara peningkatan kesejahteraan masyarakat serta harapan akan terwujudnya kelestarian sumberdaya dalam agroforestry menciptakan tantangan tersendiri dalam mencari cara-cara terbaik (best practices) dalam mewujudkannya. Tantangan tersebut meliputi pengelolaan kompetisi dan kompleksitas pada tingkat lahan untuk mengoptimalkan keuntungan dan menciptakan keberlanjutan, hingga mewujudkan integrasi dengan kebijakan dan tantangan pada tingkat nasional bahkan global.

Secara ringkas, tantangan penelitian agroforestry ke depan di Indonesia meliputi hal-hal berikut:

Page 25: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 25

1. Terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, 2. Terwujudnya integrasi pengelolaan pada tingkat lahan (site) ke dalam

perencanaan lanskap, 3. Terwujudnya tata kelola yang menjamin kelestarian sumber daya dan

peningkatan kualitas lingkungan, 4. Terintegrasinya pengelolaan lahan hutan dengan isu global.

Keempat hal tersebut menjadi landasan acuan dalam perencanaan penelitian yang utuh dan menyeluruh, yang secara umum dijabarkan dalam prioritas-prioritas perencanaan penelitian sebagai berikut: A. Penelitian untuk Mengoptimalkan Produktivitas Lahan pada Berbagai

Sistem Agroforestry

Penelitian pada aspek ini fokus pada pengisian gap penelitian dalam usaha peningkatan produktivitas lahan pada berbagai tipe agroforestry di berbagai kondisi lahan, yang meliputi: Teknologi pengembangan pola-pola agroforestry pada berbagai tipe

lahan, Informasi faktor-faktor sosial, ekonomi, finansial dan kelembagaan

pengembangan agroforestry pada berbagai tipe lahan, Informasi dan rekomendasi kebijakan yang mendorong pengembangan

agroforestry pada berbagai tipe lahan.

B. Penelitian untuk MeningkatkanNilai Produk-produk Agroforestry melalui Pendekatan Pasar dan Input Teknologi

Input teknologi dalam pengelolaan dan pengolahan produk-produk agroforestry merupakan salah satu faktor dalam meningkatkan nilai produk-produk agroforestry. Selain itu, pengetahuan mengenai sistem pemasaran dan faktor-faktor yang terlibat di dalamnya berperan penting dalam menentukan nilai tambah yang akan berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan petani. Penelitian mengenai aspek ini diharapkan mampu berkontribusi dalam menggali: Informasi peluang pasar dan rantai pemasaran produk-produk

agroforestry, Informasi mengenai usaha-usaha dalam meningkatkan nilai pasar dari

produk-produk agroforestry, Informasi dan teknologi peningkatan nilai produk-produk agroforestry

melalui input teknologi tepat guna, Informasi dan rekomendasi kebijakan yang mendorong peningkatan nilai

tambah dan daya saing produk-produk agroforestry pada pasar domestik ataupun internasional.

Page 26: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 26 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

C. Penelitian untuk Meningkatkan Kualitas Lahan dan Daya Dukung Lingkungan

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, penerapan sistem agroforestry

diharapkan mampu meningkatkan kualitas lahan baik secara mikro (lahan) ataupun pada level lanskap, yang secara langsung diharapkan mampu meningkatkan daya dukung lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, penelitian kedepan juga diharapkan mampu menggali berbagai hal sebagai berikut: Informasi berbagai faktor (biofisik, sosial, ekonomi, budaya) yang

mempengaruhi upaya-upaya peningkatan kualitas lahan dan daya dukung lingkungan,

Desain dan model pengembangan agroforestry dalam level lahan dan lanskap dalam upaya mempertahankan fungsi DAS dan hidrologi kawasan,

Desain dan model pengembangan agroforestry dalam level lahan dan lanskap yang mendukung peningkatan keanekaragaman hayati,

Informasi dan rekomendasi kebijakan pengembangan agroforestry untuk meningkatkan kualitas lahan dan daya dukung lingkungan.

D. Penelitian mengenai Peran Agroforestry serta Komponen Penyokongnya

dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Penelitian yang terkait dengan isu ini diharapkan mampu memberikan input teknologi dan informasi mengenai berbagai strategi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang meliputi: Teknologi dan informasi pengembangan agroforestry untuk mitigasi dan

adaptasi perubahan iklim, Informasi berbagai faktor (biofisik, sosial, ekonomi, budaya) yang

mempengaruhi upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Informasi dan rekomendasi kebijakan pengembangan agroforestry dalam

upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

III. TUJUAN, SASARAN, LUARAN DAN PRIORITAS PENELITIAN

A. Tujuan

Tujuan utama dari penelitian agroforestry adalah menyediakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang utuh dan menyeluruh bagi penerapan sistem agroforestry di Indonesia yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Indikator dari ketercapaian tujuan tersebut adalah sebagai berikut: Peningkatan produktivitas hasil hutan kayu dan non-kayu dari

pengusahaan hutan dengan pola agroforestry, Peningkatan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat dalam

menerapkan pola agroforestry,

Page 27: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 27

Peningkatan dan terpeliharanya keberlanjutan jasa-jasa lingkungan dari kawasan hutan dengan pola agroforestry,

Terintegrasinya pengelolaan hutan dengan pola agroforestry dalam kebijakan dan perencanaan kehutanan nasional.

B. Sasaran dan Luaran

Sasaran, luaran serta kegiatan untuk menghasilkan luaran disajikan dalam Tabel 1.

C. Prioritas Penelitian

Sesuai dengan definisinya, agroforestry meliputi spektrum yang luas baik dalam segi praktis maupun bidang penelitian. Oleh sebab itu, diperlukan pemrioritasan kegiatan penelitian serta pengintegrasian penelitian dengan bidang-bidang yang lainnya, terutama dalam lingkup agrokompleks (kehutanan, pertanian, perikanan, dan peternakan).

Pemrioritasan rencana penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan status penelitian yang telah dilakukan (review status), prospek pengembangan, dan cakupan geografis. Selain itu, agroforestry juga ditekankan pada sistem agroforestry berbasis pepohonan (tree based agroforestry), baik yang berlokasi di hutan negara maupun hutan milik (hutan rakyat). Tabel 1. Prioritas, Sasaran dan Luaran Penelitian

No Prioritas

Penelitian Sasaran Luaran

1 Optimalisasi Produktivitas Lahan pada Berbagai Sistem Agroforestry

1.1 Paket teknologi pengembangan pola-pola agroforestry pada berbagai tipe lahan

1.1.A Info teknis optimalisasi pola interaksi antar jenis

1.1.B Info teknis desain dan kombinasi jenis

1.1.C Info teknis pengendalian hama, penyakit, dan gulma

1.1.D Info teknis manajemen tegakan dan lahan (perlakuan silvikultur)

1.1.E Info teknis pemuliaan dan bioteknologi jenis-jenis unggul

1.2 Paket informasi faktor-faktor sosial, ekonomi, finansial, dan kelembagaan pengembangan agroforestry pada berbagai tipe lahan

1.2.A Informasi sosial dan budaya dalam pengembangan agroforestry

Page 28: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 28 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No Prioritas

Penelitian Sasaran Luaran

1 Optimalisasi Produktivitas Lahan pada Berbagai Sistem Agroforestry

1.2 Paket informasi faktor-faktor sosial, ekonomi, finansial, dan kelembagaan pengembangan agroforestry pada berbagai tipe lahan

1.2.B Rekomendasi kelembagaan dalam pengembangan agroforestry

1.2.C Informasi faktor ekonomi dan finansial yang berperan dalam pengembangan agroforestry

1.3 Paket informasi dan rekomendasi kebijakan yang mendorong pengembangan agroforestry pada berbagai tipe lahan

1.3.A Rekomendasi kebijakan dan stakeholders terkait dalam pengembangan agroforestry

2.

Peningkatan Nilai Produk-Produk Agroforestry melalui Pendekatan Pasar dan Input Teknologi

2.1 Paket informasi peluang pasar dan rantai pemasaran produk-produk agroforestry

2.1.A Informasi pasar Produk Agroforestry

2.1.B Informasi rantai dan efisiensi pemasaran produk-produk agroforestry

2.1.C Informasi kelembagaan dalam perdagangan produk-produk agroforestry

2.2 Paket informasi mengenai usaha-usaha dalam meningkatkan nilai pasar dari produk-produk agroforestry

2.2.A Informasi mengenai strategi pemasaran produk-produk agroforestry

2.2.B Informasi dan model alternatif peningkatan nilai produk-produk agroforestry

2.3 Paket informasi dan teknologi peningkatan nilai produk-produk agroforestry melalui input teknologi tepat guna

2.3.A Informasi dasar dan karakteristik produk-produk agroforestry

2.3.B Informasi teknis peningkatan nilai hasil hutan pola agroforestry melalui input teknologi

Page 29: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 29

No Prioritas

Penelitian Sasaran Luaran

2.

Peningkatan Nilai Produk-Produk Agroforestry melalui Pendekatan Pasar dan Input Teknologi

2.4 Paket informasi dan rekomendasi kebijakan yang mendorong peningkatan nilai tambah dan daya saing produk-produk agroforestry pada pasar domestik ataupun internasional

2.4.A Informasikebijakanperdaganganproduk-produk agroforestry

2.4.B Model dan desain jaringan informasi pemasaran dan peningkatan nilai produk-produk agroforestry

3. Peningkatan Kualitas Lahan dan Daya Dukung Lingkungan

3.1 Paket informasi berbagai faktor (biofisik, sosial, ekonomi, budaya) yang mempengaruhi upaya-upaya peningkatan kualitas lahan dan daya dukung lingkungan

3.1.A Informasi faktor-faktor biofisik yang mempengaruhi upaya-upaya peningkatan kualitas lahan dan daya dukung lingkungan

3.1.B Informasi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi upaya-upaya peningkatan kualitas lahan dan daya dukung lingkungan

3.2 Paket desain dan model pengembangan agroforestry dalam level site dan lanskap dalam upaya mempertahankan fungsi DAS dan hidrologi kawasan

3.2.A Model dan rekomendasi pengembangan agroforestry dalam upaya mempertahankan fungsi DAS

3.3 Paket desain dan model pengembangan agroforestry dalam level site dan lanskap yang mendukung peningkatan keanekaragaman hayati

3.3.A Model dan rekomendasi pengembangan agroforestry dalam upaya mendukung peningkatan keanekaragaman hayati

Page 30: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 30 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No Prioritas

Penelitian Sasaran Luaran

3 Peningkatan Kualitas Lahan dan Daya Dukung Lingkungan

3.4 Paket informasi dan rekomendasi kebijakan pengembangan agroforestry untuk meningkatkan kualitas lahan dan daya dukung lingkungan

3.4.A Rekomendasi kebijakan pemanfaatan ruang

4. Peningkatan Peran Agroforestry serta Komponen Penyokongnya dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

4.1 Paket IPTEK dan informasi pengembangan agroforestry untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

4.1.A Informasi pengembangan agroforestry untuk mitigasi perubahan iklim

4.1.B Informasi kerentanan agroforestry terhadap perubahan iklim

4.1.C Informasi pengembangan teknik agroforestry untuk adaptasi perubahan iklim

4.1.D Informasi skenario model pola agroforestry untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

4.2 Paket informasi berbagai faktor (biofisik, sosial, ekonomi, budaya) yang mempengaruhi upaya-upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim

4.2.A Informasi biofisik yang mempengaruhi upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim

4.2.B Informasi sosial, ekonomi,dan budaya, yang mempengaruhi upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim

4.3 Paket informasi dan rekomendasi kebijakan dan kelembagaan pengembangan agroforestry dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim

4.3.A. Informasi stakeholder dan kelembagaan dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim

Page 31: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 31

IV. POSISI RIPA DALAM SISTEM PENELITIAN INTEGRATIF

Di dalam lingkup Badan Litbang Kehutanan, Rencana Penelitian Integratif (RPI) merupakan acuan dalam perencanaan penelitian yang sifatnya terpadu, yang diharapkan menghasilkan luaran penelitian yang utuh dan menyeluruh. RPI merupakan penjabaran dari Road Map Litbang Kehutanan 2010-2025 yang berisikan tema-tema litbang di lingkup Badan Litbang Kehutanan serta merupakan penjabaran dari Rencana Strategis (Renstra) Badan Litbang Kehutanan.

Pada tahun 2010-2014, terdapat 25 RPI yang menjadi acuan dalam perencanaan dan penyelenggaraan litbang oleh unit-unit kerja Badan Litbang Kehutanan. Agroforestry merupakan salah satu dari RPI-RPI tersebut, yang merupakan RPI baru dan diharapkan dapat menjadi acuan dalam penelitian di bidang agroforestry di lingkup Badan Litbang Kehutanan,sehingga penelitian di bidang agroforestry menjadi lebih terarah dan terencana, serta menghasilkan luaran yang komprehensif.

Munculnya RPI Agroforestry sebenarnya tidak lepas dari adanya kebijakan reorganisasi di lingkup Badan Litbang Kehutanan, yang salah satunya yaitu dengan dibentuknya Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPTA) yang secara khusus diberi mandat untuk penelitian di bidang agroforestry. BPTA diharapkan menjadi trend setter dalam penelitian agroforestry di lingkup Badan Litbang Kehutanan, serta menjadi basis data dan informasi agroforestry, khususnya di Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut, posisi RIPA menjadi sangat penting. Seperti terlihat pada Gambar 2., RIPA merupakan penjabaran dari Road Map Litbang Kehutanan yang menggarisbawahi agroforestry sebagai bagian penting dari penelitian kehutanan. Secara khusus, dokumen ini menjadi salah satu acuan bagi penyusunan Rencana Strategis (Renstra) BPTA 2012-3014, dan menjadi landasan dalam penyusunan rencana penelitian agroforestry yang terangkum dalam RPI Agroforestry tahun 2012-2014. Harapannya kedepan, meskipun kebijakan penelitian dalam lingkup Badan Litbang ada perubahan, dokumen ini dapat menjadi acuan dalam penyusunan rencana penelitian yang terkait dengan penelitian agroforestry. Terkait dengan hal tersebut, RIPA diharapkan menjadi alat integrasi bagi perencanaan penelitian kedepan. Seperti tergambarkan pada Gambar 3., berbagai penelitian dalam bidang agroforestry ke depan, diharapkan lebih terintegrasi. Dalam posisi ini, RIPA diharapkan menjadi semacam acuan bersama serta menjadi ‘penghubung’ bagi terintegrasinya seluruh rencana penelitian, baik yang direncanakan oleh pusat, maupun yang dimandatkan dan direncanakan oleh UPT Badan Litbang lainnya.

Page 32: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 32 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Gambar 2. RIPA sebagai acuan penelitian agroforestry

ROAD MAP LITBANG

KEHUTANAN 2010-2025

RENCANA INDUK PENELITIAN

AGROFORESTRY 2012-2025

RENSTRA BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI

AGROFORESTRY

RENSTRA BADAN LITBANG

KEHUTANAN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) BADAN LITBANG

KEHUTANAN

KEGIATAN PENELITIAN AGROFORESTRY

RENSTRA KEMENTERIAN KEHUTANAN

Page 33: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 33

Gambar 3. RIPA sebagai alat bantu integrasi penelitian agroforestry lintas unit kerja

RIPA (semua kegiatan

penelitian mengacu RIPA)

Kegiatan penelitian B1

(tidak ada aspek agroforestry)

RPI Z

Kegiatan penelitian A1

(ada aspek agroforestry)

RPI B

RPI A

Kegiatan penelitian B2

(ada aspek agroforestry)

Kegiatan penelitian Z1

(tidak ada aspek agroforestry)

Kegiatan penelitian Z2

(tidak ada aspek agroforestry)

Kegiatan penelitian A1

(tidak ada aspek agroforestry)

Page 34: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 34 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

V. PENUTUP

Rencana Induk Penelitian Agroforestry merupakan salah satu komponen perangkat lunak untuk mewujudkan visi dan misi serta tanggung jawab yang diemban oleh BPTA. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, rencana induk penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian di bidang agroforestry baik yang dikerjakan oleh BPTA sendiri, ataupun yang dikerjakan oleh unit kerja-unit kerja lain di lingkup Badan Litbang Kehutanan. Harapannya, rencana induk ini menjadi alat untuk memandu sinergitas penelitian, sehingga menghasilkan luaran yang utuh dan menjadi dasar ilmiah dalam pengembangan agroforestry di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2009. Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2006.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.08/Menhut-II/2010.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2011.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 66/Menhut-II/2011.

Sabarnurdin, M.S., Budiadi, dan P. Suryanto. 2011. Agroforestri Untuk Indonesia: Strategi Kelestarian Hutan dan Kemakmuran. Wanagama. Yogyakarta

Page 35: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 35

PENERAPAN POLA AGROFORESTRY DALAM PENGELOLAAN SUMBER BENIH TANAMAN HUTAN

Oleh :

Asep Rohandi (Balai Penelitian Teknologi Agroforestry)

ABSTRAK

Pengembangan sumber benih masih perlu dilakukan baik secara kualitas ataupun kuantitas untuk memenuhi kebutuhan benih unggul pada berbagai kegiatan penanaman. Sumber benih perlu dikelola secara produktif dan lestari serta dikembangkan menjadi sistem usaha yang layak secara finansial. Suatu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan pola agroforestry dalam pengelolaan sumber benih untuk meningkatkan produktifitas lahan dan efisiensi dalam sistem pemeliharaan tanaman pokok. Pola ini dapat dikembangkan untuk mendapatkan hasil multifungsi, selain dalam jangka panjang menghasilkan benih berkualitas juga secara jangka pendek dapat menghasilkan nilai tambah dari hasil tanaman semusim ataupun tanaman tahunan. Selain itu, penerapan pola agroforestry diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dalam pengembangan sumber benih secara swadaya/mandiri sehingga dapat memberikan kontribusi nyata dalam penyediaan benih unggul secara berkesinambungan.

Kata kunci : Benih unggul, pola agroforestry, sumber benih

I. PENDAHULUAN

Keberadaan sumber benih sebagai penyedia benih unggul sangat penting untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman. Secara umum penggunaan benih bermutu untuk berbagai kegiatan penanaman pada saat ini masih sangat rendah. Benih yang dihasilkan dari sumber benih yang tersedia hanya mampu memenuhi sekitar 19,35% dari kebutuhan (Pramono, 2006). Sebagian besar bibit yang ditaman berasal dari benih yang bermutu rendah bahkan seringkali dari semai liar yang tumbuh secara alami. Selain itu, adanya dugaan kurang luasnya dasar genetik dari jenis-jenis yang telah didomestikasi seringkali menyebabkan kegagalan penanaman.

Pengembangan model sumber benih hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penyediaan benih berkualitas untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman berbasis masyarakat. Pembangunan model sumber benih hutan rakyat dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan rakyat tanpa melanggar prinsip-prinsip pembangunan sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas. Berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya, pengelolaan hutan rakyat dapat digolongkan ke dalam bentuk-bentuk hutan rakyat murni, hutan rakyat campuran dan hutan rakyat dengan sistem agroforestry atau tumpangsari (Hardjanto, 2003). Penanaman dengan pola agroforestry atau tumpangsari dalam pembangunan hutan rakyat lebih

Page 36: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 36 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

menguntungkan dibandingkan dengan sitem monokultur (Wijayanto, 2006). Pola ini dapat dikembangkan dalam pengelolaan sumber benih hutan untuk mendapatkan hasil multifungsi, selain dalam jangka panjang menghasilkan benih berkualitas juga secara jangka pendek dapat menghasilkan nilai tambah dari hasil tanaman semusim.

Sumber benih bersertifikat yang tersedia saat ini, sekitar 25% dikelola oleh kelompok tani dan perorangan (Direktur BPDASPS, 2011). Sumber benih tersebut sebagian besar merupakan hasil konversi/penunjukkan yang dikelola berdasarkan prinsif-prinsif pengelolaan hutan rakyat diantaranya dengan penerapan pola agroforestry. Dawson et al., (2008) menjelaskan bahwa jenis-jenis pohon dalam pola agroforestry berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat perdesaan dan memainkan peran penting dalam konservasi keanekaragaman hayati. Sementara itu, Leakey et al. (2004), pola agroforestry juga makin banyak diterapkan karena adanya rangsangan permintaan kayu yang cenderung meningkat dengan harga yang menjanjikan. Domestikasi jenis-jenis pohon dalam pola agroforestry merupakan jawaban ketika permintaan kayu melebihi kemampuan suplainya Domestikasi jenis-jenis pohon asli merupakan salah satu cara untuk mendiversifikasi sistem pertanian yang membuatnya lebih lestari melalui tambahan produk dan jasa lingkungan. Strategi domestikasi pohon dalam pola agroforestry melibatkan pemanfaatan 3 populasi yang saling berhubunganya, yaitu populasi sumber gen untuk konservasi genetik, populasi seleksi untuk pemuliaan, dan populasi produksi untuk digunakan petani dalam program penanaman.

Tulisan ini memaparkan tentang pengelolaan sumber benih dengan menerapkan pola agroforestry sebagai upaya dalam peningkatan efisiensi dan optimalisasi lahan. Selain itu, digambarkan pula praktek agroforestry yang sudah dilakukan pada beberapa model sumber benih yang mungkin dapat diadopsi dan dikembangkan dalam pengelolaan sumber benih di masa yang akan datang.

II. PENGEMBANGAN SUMBER BENIH DAN BEBERAPA PERMASALAHANNYA

Sumber benih adalah suatu tegakan di dalam kawasan dan di luar

kawasan hutan yang dikelola guna memproduksi benih berkualitas. Berdasarkan Permenhut Nomor P. 72/Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut Nomor P.01/Menhut-II/2009 tentang penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan, sumber benih diklasifikasikan menjadi 7 kelas yaitu : 1) Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), 2) Tegakan Benih Terseleksi (TBS), 3) Areal Produksi Benih, 4) Tegakan Benih Provenan (TBP), Kebun Benih Semai (KBS), Kebun Benih Klon (KBK) dan Kebun Pangkas (KP).

Ketersediaan sumber benih pada saat ini masih terbatas baik dari jumlah (kuantitas) ataupun kualitas. Menurut Direktur BPDASPS (2011), jumlah lokasi sumber benih sampai tahun 2010 adalah sebanyak 673 lokasi dengan luas 10.533,03 Ha yang tersebar pada beberapa wilayah yaitu Sumatera (129 lokasi/2.024,76 Ha), Kalimantan (60 lokasi/2.248,81 Ha), Jawa Madura (215 lokasi/3.677,15 Ha), Bali dan Nusatenggara (97 lokasi/404,40 Ha), Sulawesi (157

Page 37: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 37

lokasi/1.817,57 Ha) dan Maluku-Papua (15 lokasi/445,27 Ha). Berdasarkan klasifikasinya, sumber benih tersebut sebagian besar masih memiliki kelas yang cukup rendah yaitu Tegakan Benih Teridentifikasi sebanyak 70%, Tegakan Benih Terseleksi 15%, Areal Produksi Benih 7% dan hanya sebesar 8% yang memiliki kelas cukup tinggi yaitu TBP, KBS, KBK dan KP. Jumlah jenis tanaman pada sumber benih sebanyak 110 jenis. Sementara itu bila dilihat dari kepemilikan, sumber benih yang tersedia saat ini dikelola oleh berbagai pengelola antara lain Dinas Kabupaten/Kota sebanyak 197 lokasi, Kemenhut (Taman Nasional, BKSDA, UPT Litbang) 49 lokasi, kelompok tani/perorangan 169 lokasi dan swasta (BUMN/BUMS) 258 lokasi.

Sementara itu, beberapa permasalahan yang dihadapi saat ini dalam pengembangan sumber benih sebagai penyedia benih bermutu (Rukmini, 2011; Direktur BPDASPS, 2011) antara lain :

1. Sumber benih dengan kualitas genetik tinggi (kebun benih, kebun pangkas) masih sangat sedikit.

2. Pemilik/pengelola sumber benih kelompok tani/perorangan cukup banyak (25%) namun belum ada kejelasan pemasarannya dan belum ada insentif sehingga rawan untuk beralih fungsi (sistem tata usaha perbenihan belum optimal).

3. Pengelola sumber benih atau pengada/pengedar benih belum memiliki tempat penyimpanan benih sehingga pada waktu diperlukan benih tidak tersedia mengingat musim panen tidak sama untuk setiap jenis.

4. Pengelolaan sumber benih kurang intensif oleh pemilik/pengelola pasca sertifikasi.

5. Sumber benih belum dimanfaatkan secara optimal oleh para produsen bibit.

6. Terdapat benih jenis tertentu yang belum ada sumber benihnya karena belum ada tegakan jenis tersebut yang memenuhi persyaratan sumber benih.

III. PENGEMBANGAN SUMBER BENIH BERBASIS HUTAN RAKYAT

Pembangunan sumber benih hutan rakyat dikembangkan dengan

mengadopsi sistem pengelolaan hutan rakyat yang sudah banyak dilakukan masyarakat. Pengembangan model sumber benih hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penyediaan benih berkualitas untuk meningkatkan produktifitas hutan tanaman berbasis masyarakat. Model sumber benih ini dikembangkan untuk merubah kenyataan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan benih berkualitas telah disadari oleh para pengembang HTI, namun tidak demikian dengan masyarakat pemilik hutan rakyat. Benih berkualitas belum menjadi bahan pertimbangan penting (Pramono, 2006; Roshetko dan Verbist, 2004).

Pengelolaan model sumber benih ini perlu diusahakan dapat memenuhi kelayakan secara finansial. Wijayanto (2006) menjelaskan bahwa agar usaha hutan rakyat layak secara finansial maka perlu dilakukan beberapa hal antara

Page 38: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 38 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

lain: (1) Pohon ditanam dengan sistem agroforestry, (2) Pembangunan hutan secara monokultur tidak menguntungkan, (3) Tanaman pertaniarn yang dipilih memiliki nilai ekonomi yang tinggi, (4) Campuran pohon memiliki daur yang beragam, (5) Pendapatan yang diperoleh petani bersifat kontinyu, (6) Sejak tahun awal pembangunan hutan, diharapkan petani memperoleh hasil atau pendapatan, (7) Produk yang dihasilkan beranekaragam, (8) Jenis-jenis pohon serbaguna menjadi bagian penting dalam sistem dan (9) Kemitraan dapat dibangun antara perusahaan dan petani dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan. Berdasarkan hal tersebut, penerapan pola tumpangsari mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan dalam model sumber benih hutan rakyat sehingga dapat menguntungkan bagi masyarakat.

Pola tumpangsari dapat diterapkan pada beberapa model sumber benih sehingga dapat menjadi sistem usaha yang produktif dan lestari seperti pada beberapa model/tipe sumber benih petani (Roshetko et al, 2004) berupa kebun benih petani berbentuk campuran, barisan ataupun monokultur. Selanjutnya Pramono (2006) menjelaskan beberapa pola model sumber benih yang mungkin dikembangkan sesuai dengan pola hutan rakyat diantaranya pada lahan pekarangan, tegal atau kebun campur. Sumber benih ditanam bercampur dengan tanaman pertanian dan holtikultura tahunan. Dengan model seperti ini, sumber benih bisa merupakan optimalisasi pemanfaatan ruang atau pengayaan dari hutan rakyat yang telah ada.

Pengembangan sumber benih hutan rakyat dapat dilkukan melalui penunjukkan/konversi dari tegakan hutan rakyat yang telah ada. Kegiatan tersebut sering dilakukan pada jenis-jenis yang sudah populer seperti sengon, jati dan mahoni, sedangkan untuk jenis lainnya masih sangat terbatas. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh kurangnya informasi keberadaan tegakan potensial yang dapat ditunjuk/dikonversi menjadi sumber benih.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian, ditemukan populasi/tegakan yang memiliki potensi untuk dijadikan sumber benih sehingga memenuhi syarat untuk disertifikasi baik di hutan tanaman ataupun hutan alam. Ditemukan pula beberapa tanaman hutan dengan ukuran besar yang selama ini benihnya sudah digunakan oleh masyarakat setempat untuk produksi bibit. Tegakan tersebut sangat potensial untuk digunakan sebagai pohon induk. Populasi potensial untuk beberapa jenis-jenis hutan rakyat yang dapat dikembangkan menjadi sumber benih pada beberapa lokasi selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tegakan potensial beberapa jenis tanaman hutan rakyat di beberapa

lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih

No Jenis Lokasi Tipe Tegakan Sumber

1 Manglid Desa Wandasari, Kec. Bojonggambir, Kab. Tasikmalaya

Hutan Rakyat Monokultur

Rohandi et al. (2010)

2 Manglid Desa Jaya Mekar, Kec.

Cibugel, Kab. Hutan Rakyat Monokultur

Rohandi et al. (2010)

Page 39: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 39

No Jenis Lokasi Tipe Tegakan Sumber

Sumedang

3 Manglid Desa Lebak Baru, Kec.

Cikupa, Kab. Ciamis Hutan Rakyat Monokultur

Rohandi et al. (2010)

4 Ganitri Desa Neglasari, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya

Hutan Rakyat Monokultur

Rohandi et al. (2011)

5 Ganitri Desa Serang, Kec.

Salawu, Kab. Tasikmalaya

Hutan Rakyat Monokultur

Rohandi et al. (2011)

6 Ganitri Desa Haruman, Kec.

Leles, Kab. Garut Hutan Rakyat Monokultur

Rohandi et al. (2011)

7 Ganitri Desa Sukahurip, Kec.

Sukawening, Kab. Garut Hutan Rakyat Monokultur

Rohandi et al. (2011)

8 Mimba Padekanmalang, Panarukan Kab. Situbondo

Hutan Rakyat Monokultur

Danu et al. (2007)

9 Mimba Bangsring Wongsorejo

Kab. Banyuwangi Hutan Rakyat Monokultur

Danu et al. (2007)

10 Mimba Tunggul Paciran, Kab.

Lamongan Hutan Rakyat Monokultur

Danu et al. (2007)

11 Mindi Desa Wanasari, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta.

Hutan Rakyat Monokultur

Pramono et al. (2008)

IV. PRAKTEK/PENERAPAN POLA AGROFORESTRY

PADA BEBERAPA MODEL SUMBER BENIH

A. Pola Tanam, Pemeliharaan dan Produksi

Penerapan pola agroforestry dalam pengelolaan model sumber benih sebenarnya hampir sama dengan pola agroforestry pada hutan rakyat. Hal yang membedakannya adalah perlunya penerapan prinsip-prinsip pembangunan sumber benih untuk menghasilkan benih berkualitas. Roshetko et al. (2004), kebun benih petani terdiri dari keanekaragaman spesies dan untuk menghasilkan beraneka ragam produk. Kebun hendaknya merupakan tumpangsari antara tanaman semusim dan tahunan. Pramono (2006) menjelaskan bahwa pola tanam sumber benih yang selama ini monokultur, merata dan teratur disesuaikan menjadi pola tanam campuran. Karakteristik hutan rakyat yang multifungsi tetap dipertahankan yaitu pola tanam gabungan antara pertanian dan kehutanan, untuk menyeimbangkan kegiatan produksi dengan usaha konservasi. Dalam pengembangan sumber benih hutan rakyat, karena yang diharapkan dari hasilnya terutama adalah benih maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tindakan pemeliharaan yang menjamin pembungaan dan pembuahan bisa berjalan dengan optimal, dan produksi benihnya maksimal.

Pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman semusim

Page 40: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 40 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

merupakan hal penting dalam penerapan pola agroforestry pada pengelolaan sumber benih. Pertimbangan aspek teknis dan ekonomis perlu diperhatikan sehingga dapat dilakukan secara efektif dan efesien. Pengetahuan tentang karakteristik tumbuh dan pengetahuan mengenai prediksi harga tanaman semusim sangat penting sehingga dapat tumbuh optimal serta produk yang dihasilkan dapat dijual dengan harga yang menguntungkan. Tanaman semusim dapat ditumpangsarikan mulai dari awal pembangunan sumber benih terutama untuk jenis yang tidak tahan naungan seperti tanaman hortikultura, selanjutnya dapat dilakukan penanaman untuk jenis-jenis yang tahan naungan seperti jenis-jenis herbal/obat-obatan. Roshetko et al. (2004) menyebutkan bahwa beberapa jenis tanaman obat seperti jahe, kunyit dan kapulaga merupakan tanaman yang bisa tumbuh dibawah naungan sehingga jenis ini dapat ditanam setelah tajuk mulai rapat yaitu sekitar tahun ketiga setelah pembangunan.

Pola tanam yang digunakan perlu disesuaikan dan sebaiknya tidak mengganggu tanaman pokok. Tanaman semusim dapat terdiri dari lebih dari satu jenis dengan pengaturan sedemikian rupa sehingga dapat berproduksi secara optimal. Sebagai contoh penerapan pola agroforestry pada tegakan benih provenan sengon di Ciamis dimana pada umur 1-3 bulan ditanami ketimun, kemudian kacang panjang dan cabe rawit umur 4 sampai 7 bulan yang selanjutnya diganti dengan kacang tanah dan jagung mulai umur 8 bulan. Pengaturan siklus penanaman dan pengaturan jenis perlu terus dilakukan untuk optimalisasi penggunaan lahan sekaligus akan membantu mempermudah pemeliharaan tanaman pokok pada sumber benih. Meskipun demikian, Roshetko et al. (2004) menjelaskan bahwa untuk mencapai skala produksi yang ekonomis sebaiknya membatasi jumlah komponen utama menjadi 4-5 spesies. Pengaturan spesies ini dapat diselang-seling dengan pohon atau barisan atau kombinasi keduanya.

Gambar 1. Penerapan beberapa pola agroforestry pada pembangunan Tegakan Benih Provenan sengon di Cimaragas, Kabupaten Ciamis

Page 41: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 41

B. Studi Kasus Penerapan Pola Agroforestry Dalam Pengelolaan Sumber Benih

Penerapan pola agroforestry dalam pengelolaan sumber benih sebenarnya sudah dilaksanakan dalam pengelolaan model sumber benih di beberapa lokasi (Tabel 2). Selain ditujukan untuk keperluan penelitian, pola ini sebenarnya diterapkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat sekitar lokasi sumber benih dalam rangka peningkatan pendapatan melalui peningkatan produktifitas lahan. Tanaman tumpangsari yang di budidayakan merupakan tanaman hortikultura yang sudah dikenal dan biasa dibudidayakan masyarakat setempat.

Tabel 2. Praktek penerapan pola agroforestry pada beberapa model sumber

benih

No. Lokasi Model Sumber Benih Tanaman

Tumpangsari Pengelola

1. Parungpanjang Bogor

KBS uji keturunan A. mangium (1992), P. falcataria (1992), S. macrophylla (1993), G. arborea (1994); kebun klon A. mangium (1998), introduksi Acacia spp. (1998), penanaman jenis AYU (1997), dan tegakan terseleksi E. pellita (1998).

padi, kacang tanah, kacang tunggak, kentang hitam, singkong.

Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

2. Cibugel Sumedang

Sumber benih hutan rakyat jenis suren (Toona sureni)

jagung Kelompok Tani Makmur,

3. Cimaragas Ciamis

Tegakan Benih Provenan Jenis Sengon (Falcataria moluccana)

Ketimun, cabe, kacang panjang, kacang tanah, jagung

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

4. Banjaran, Bandung

Sumber benih pinus (Pinus merkusii)

Kopi Perum Perhutani

Sumber : Iriantono (2000); Iriantono et al. (2004); Rohandi (2011)

Pada beberapa kasus seperti penerapan pola agroforestry di Parungpanjang Bogor, kegiatan hanya dilakukan selama 2 tahun. Setelah periode ini, tajuk pohon mulai rapat dan pesanggem mulai enggan bercocok tanam di bawah tegakan. Selain dilakukan pada awal pembangunan kebun benih, pola ini juga digunakan sebagai sistem pemeliharaan kebun benih setelah uji keturunan dijarangi. Tanaman pertanian ditanam di bawah tegakan pohon A. mangium yang sudah berumur 5 tahun. Penerapan pola tersebut memberikan manfaat yang saling menguntungkan, baik bagi pengelola sumber benih maupun bagi masyarakat (pesanggem). Sementara itu, pada kegiatan yang dilakukan pada pembangunan Tegakan Benih Provenan Sengon di Cimaragas Ciamis, meskipun dilakukan pada awal pembangunan tetapi beberapa keuntungan sudah diperoleh dimana penanaman tanaman semusim mampu memacu pertumbuhan awal

Page 42: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 42 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

tanaman sengon. Selain itu, produksi yang diperoleh dari tanaman semusim cukup baik karena intensitas cahaya masih cukup optimal. Sampai umur tanaman 6 bulan dapat dilakukan dua kali panen yaitu ketimun dengan produksi 6,2 ton/ha dan kacang panjang 2,3 ton/ha.

Studi kasus di atas merupakan gambaran dan selanjutnya dapat diadopsi dalam pengelolaan sumber benih yang dikembangkan sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien serta dapat memberikan hasil yang optimal. Selain menanam tanaman hotikultura, untuk selanjutnya pola agroforestry dalam pengelolaan sumber benih ini perlu dikembangkan tanaman lain yang mungkin dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi.

V. PENUTUP

Penyediaan benih bermutu melalui pengembangan sumber benih perlu

terus dilakukan baik dari segi kualitas ataupun kuantitasnya. Sebagai upaya untuk mendapatkan hasil yang optimal, sumber benih yang telah dibangun ataupun ditunjuk perlu dikelola secara intensif. Salah satu sistem pengelolaan yang cukup potensial adalah dengan menerapkan pola agroforestry. Pola ini dapat dikembangkan untuk mendapatkan hasil multifungsi, selain dalam jangka panjang menghasilkan benih berkualitas juga secara jangka pendek dapat menghasilkan nilai tambah dari hasil tanaman semusim/tahunan. Penerapan pola ini juga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat dalam pengembangan sumber benih secara swadaya yang dikelola secara produktif dan lestari sehingga dapat memberikan kontribusi nyata dalam penyediaan benih berkualitas secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA Danu, A. Rohandi, A. A. Pramono, A. Z. Abidin, Made Suartana dan H. Royani.

2007. Sebaran Populasi Tanaman Hutan Jenis Mimba (Azadirachta indica) untuk Sumber Benih di Jawa. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.

Dawson, I.K., Lengkeek, A., Weber, C.J., and Jamnadass, R. 2008. Managing genetic variation in tropical trees: linking knowledge with action in agroforestry ecosystems for improved conservation and enhanced livelihoods. Biodivers Conserv., 18:969-986.

Direktur BPDASPS. 2011. Kebijakan Sumber Benih dan Potensi Kebutuhan Benih untuk Mendukung Penanaman satu Milyar Pohon. Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih : Peran Sumber Benih Unggul Dalam Mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon. Yogyakarta, 30 Juni 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Page 43: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 43

Leakey, R.R.B., Tchoundjeu, Z., Smith, R.I., Munro, R.C., Fondoun, JM., Kengue, J., Anegbeh, PO., Atangana, AR., Waruhiu, AW., Asaah, E., Usoro C., and V Ukafor. 2004. Evidence that subsistence farmers have domesticated indigenous fruits (Dacryodes edulis and Irvingia gabonensis) in Cameroon and Nigeria. Agroforestry Systems 60:101-111.

Iriantono. D. 2000. Laporan Kegiatan Tumpangsari di Kebun Benih Parungpanjang. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. Tidak Diterbitkan.

Iriantono, D, J. Siswandi dan A. Saefullah. 2004. Bagaimana Petani Cibugel Meningkatkan Produksi Kayu Suren?. Suplemen GEDEHA Edisi XIV 2004 “Benih Untuk Rakyat”.Kerjasama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, IFSP, World Agroforestry Centre- ICRAF dan Bina Swadaya. Bogor.

Hardjanto. 2003. Keragaan dan Pengembangan Kayu Rakyat Di Pulau Jawa. Disertasi (tidak diterbitkan). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pramono, A.A. 2006. Memilih dan Membangun Sumber Benih. Makalah Gelar Teknologi, Balai Litbang Teknologi Perbenihan Bogor di Tanggamus tanggal 13 September 2006. Lampung.

Pramono, A., danu dan Asep Rohandi. 2008. Zona Sebaran Populasi Mindi (Melia azedarach Lin.) di Jawa Barat dan Potensi Tegakannya untuk Sumber Benih. Belum diterbitkan.

Rohandi, A., Gunawan, Levina A. G. P. dan D. Swestiani. 2010. Strategi Pengembangan Tanaman Potensial Jenis Ganitri Berbasis Sebaran Populasi dan Lahan Potensial di Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Agroforetry. Ciamis. Tidak diterbitkan.

Rohandi, A., Gunawan dan Y. Nadiharto. 2011. Pembangunan Demplot Sumber Benih Jenis Unggulan Lokal. Laporan Hasil Kegiatan. Balai Penelitian Teknologi Agroforetry. Ciamis. Tidak diterbitkan.

Roshetko, J. dan Verbist, B. (2004). Domestikasi Pohon. Indonesia Forest Seed Project (IFSP).

Roshetko MJ, Mulawarman, Djoko Iriantono. 2004. Kebun Benih untuk Petani dan LSM. Mengapa dan Bagaimana?. Suplemen GEDEHA Edisi XIV 2004 “Benih Untuk Rakyat”.Kerjasama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, IFSP, World Agroforestry Centre- ICRAF dan Bina Swadaya. Bogor.

Rukmini, N. 2011. Kebijakan Sumber Benih dan Potensi Kebutuhan Benih untuk Mendukung Penanaman satu Milyar Pohon. Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih : Peran Sumber Benih Unggul Dalam Mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon. Yogyakarta, 30 Juni 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Wijayanto, N. 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Makalah Seminar Nasional Pekan Hutan Rakyat Nasional I, Ciamis, 5 September 2006. Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis.

Page 44: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 44 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

SILVIKULTUR INTENSIF DALAM PENGEMBANGAN POLA AGROFORESTRY

Sri Purwaningsih

ABSTRAK Agroforestry merupakan usaha untuk memaksimalkan produksi pada lahan yang terbatas dengan mengkombinasikan dua atau lebih komponen dalam ruang dan waktu yang sama. Pola agroforestry dipilih karena mencakup unsur – unsur produktivitas, diversitas, kemandirian, dan stabilitas yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas lahan secara lestari dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan pemenuhan potensi aspek silvikultur, pengendalian hama terpadu, dan aspek ekonomi, sosial, dan budaya secara maksimal dan bersinergi. Kata kunci : agroforestry, aspek silvikultur, produktifitas lahan

I. PENDAHULUAN

Eksploitasi terhadap sumberdaya lahan semakin intensif. Biasanya kondisi ini tidak diiringi dengan tindakan pelestarian dan rehabilitasi yang berakibat pada semakin sempitnya luas lahan hutan. Disamping itu, pengurangan luas hutan juga disebabkan oleh konversi hutan menjadi peruntukan lain (terutama lahan non vegetasi) untuk memenuhi kebutuhan peningkatan penduduk yang cukup pesat di negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini tentu saja menyebabkan semakin menurunkan luasan hutan dan lahan garapan potensial lainnya.

Penurunan luaasn dan potensi hutan menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Mengingat keterbatasan lahan tersebut, maka pola – pola yang selama ini digunakan oleh masyarakat untuk menggarap lahan, dirasa masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Oleh karena itu, diperlukan suatu alternatif pengelolaan lahan yang dapat memaksimalkan potensi produksi dengan tidak mengabaikan aspek konservasi lingkungan.

Agroforestry merupakan suatu pilihan yang dapat digunakan untuk memaksimalkan produksi pada lahan yang terbatas. Agroforestry dapat mengkombinasikan lebih dari satu jenis/ komponen dalam penggunaan ruang dan waktu yang sama. Sebagian masyarakat memang telah melaksanakan pola agroforestry secara sederhana baik dalam kebun, tumpangsari, wanatani, dan lain – lain. Akan tetapi, mereka terkadang mengabaikan salah satu aspek yang menyebabkan tidak optimalnya produktivitas dan kesinambungan penggunaan lahan.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai aspek – aspek yang harus dipenuhi dalam pengembangan agroforestry yang dapat

Page 45: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 45

memaksimalkan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kelestarian lahan.

II. METODE

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah kajian

studi literatur dari pustaka terkait.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Agroforestry Sebagai Bentuk Pengelolaan Lahan

Agroforestry adalah gabungan ilmu kehutanan dengan pertanian, yang

memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Unsur – unsur yang terdapat dalam agroforestry adalah penggunaan lahan oleh manusia, penerapan teknologi, komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan atau tanaman ternak atau hewan, waktu bisa bergiliran dalam suatu periode tertentu dan ada interaksi ekologi, sosial, dan ekonomi (Hairiah, et al., 2003). Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah dan membantu mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan dengan tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.

Prinsip pengembangan agroforestry, menurut Raintree (1983) dalam Widianto K, dkk (2003a) meliputi 3 aspek yaitu a. Meningkatkan produktivitas sistem agroforestry. Peningkatan produktivitas

dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara – cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi dibandingkan dengan praktek sebelumnya. Selain itu pula, dilakukan peningkatan dan atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi.

b. Mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestry yang sudah ada. Pertimbangan produktivitas dan kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan merupakan salah satu daya tarik penerapan agroforestry. Selain itu pula, dapat diberlakukan sistem insentif bagi petani yang berupa bantuan teknologi teknik – teknik konservasi.

c. Penyebarluasan sistem agroforestry sebagai alternatif dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dari berbagai aspek (adobtability). Untuk memudahkan adobtability dapat dilakukan dengan cara melibatkan secara aktif pemakai teknologi (petani agroforestry) dalam proses pengembangan teknologi sejak awal.

Pada dasarnya agroforestry terdiri atas tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian, dan peternakan. Penggabungan komponen kehutanan, pertanian dan peternakan yang termasuk agroforestry adalah agrisilvikultur (kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan komponen

Page 46: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 46 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

pertanian), silvopastura (kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dan peternakan), dan agrosilvopastura (kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian, dengan kehutanan dan peternakan/ hewan) (Hairiah et al., 2003). Pertimbangan pemilihan sistem penggunaan lahan secara agroforestri dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu keunggulannya dalam hal :

1. Produktivitas. Total produk dari sistem campuran dalam agroforestry lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pada monokultur. Hal ini karena penanaman campuran dapat menutup kegagalan satu jenis tanaman dengan keberhasilan jenis tanaman lain.

2. Diversitas. Adanya kombinasi dua atau lebih baik produk maupun jasa pada sistem agroforestry, dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi pasar. Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan permanen dibandingkan penanaman monokultur (satu jenis).

3. Kemandirian. Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestry diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan petani kecil sehingga dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap produk luar.

4. Stabilitas. Praktek agroforestry yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan sehingga dapat menjamin stabilitas dan kesinambungan pendapatan petani (Hairiah, et al., 2003)

B. Aspek Penting dalam Pembangunan Agroforestry 1. Aspek Silvikultur a. Kesesuaian Lahan

Lahan adalah bagian dari bentang alam (lanscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik, termasuk iklim, tofografi, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1995).

Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Penilaian kesesuaian lahan pada dasarnya berupa pemilihan lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu. Kesesuaian lahan dalam pengambilan tindakan silvikultur diperlukan karena penggunaan lahan sesuai dengan potensi fisik dapat meningkatkan produktivitas dengan input yang rendah sehingga dapat dilakukan efisiensi dan optimalitasi.

Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan mencocokan antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan tertentu atau persyaratan tumbuh tanaman yang akan dikembangkan. Evaluasi lahan dapat memprediksi penggunaan lahan terbaik sebagai pilihan yang meminimalkan konflik berbagai kepentingan, mengoptimalkan produktivitas, dan mempertahankan kelestarian (Hardjowigeno, 1989).

Page 47: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 47

Klasifikasi kesesuaian lahan dapat berupa klasifikasi kuantitatif dan kualitatif. Klasifikasi lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kuantitatif (dengan angka – angka) dan biasanya dilakukan juga perhitungan ekonomi (biaya dan pendapatan), dengan memperhatikan aspek pengolahan dan produktivitas lahan. Sedangkan klasifikasi kualitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan angka – angka) dan tidak ada perhitungan – perhitungan ekonomi. Biasanya kesesuaian ini dilakukan dengan memadankan kriteria masing – masing kelas kesesuaian lahan dengan karakteristik (kualitas) lahan yang dimilikinya. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor fisik yang merupakan faktor penghambat terberat (Hardjowigeno, 2003).

b. Pemilihan Jenis Salah satu dasar keberhasilan agroforestry berbasis pohon adalah

pemilihan jenis. Prinsip pemilihan jenis dalam agroforestry adalah ketepatan antara lokasi penanaman dengan karakteristik jenis terpilih serta nilai peruntukannya (Suryanto, 2005). Sebagai acuan, pemilihan jenis secara umum dapat menjadi dasar dalam pemilihan tanaman pokok jenis kehutanannya. F/Fred Winrock International (1992) dalam Mile (2007) menyatakan bahwa pemilihan jenis memperhatikan unsur – unsur sebagai berikut :

1. Mudah beradaptasi terhadap kondisi tanah dan iklim yang ada 2. Tahan terhadap hama dan penyakit 3. Sedikit biaya dan waktu untuk pengolahan 4. Tahan terhadap kekeringan dan tekanan iklim lainnya 5. Toleran terhadap perlakuan pemangkasan dan trubusan 6. Memiliki pertumbuhan awal yang cepat 7. Mempunyai percabangan rendah yang dapat dengan mudah dipotong

dengan peralatan sederhana dan mudah diangkut 8. Mempunyai kadar air kayu yang rendah sehingga mudah dikeringkan 9. Mempunyai kegunaan lain yang dapat menyokong kehidupan petani 10. Mempunyai karakteristik akar yang baik

Pemilihan jenis dalam sistem agroforestry lebih kompleks dibandingkan

dengan homogen. Hal ini karena dalam pola agroforestry terdapat kombinasi lebih dari satu jenis tanaman. Pengambilan kombinasi antar jenis menjadi pertimbangan guna menghindari interaksi negatif (interaksi yang terjadi ketika satu komponen menurunkan komponen yang lainnya) yang terjadi antar komponen. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah persyaratan tumbuh masing – masing tanaman, toleran atau intoleran, pola distribusi perakaran, model tajuk, kemungkinan keberadaaan kandungan allelopati, dan mengusahakan terjadinya interaksi positif antar komponen.

c. Penanaman Dalam pelaksanaannya, pola penanaman campuran harus

mempertimbangkan, ruang dan waktu serta pengaturan jarak tanam yang disesuaikan dengan tujuan sehingga memaksimalkan penggunaan unsur hara di

Page 48: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 48 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

dalam tanah. Seperti pada penelitian Harahap, 2003 yang menyebutkan bahwa pada umur cendana 2 tahun, penanaman kacang tanah dengan jarak 3 m dari pohon utama memberikan pertumbuhan vegetatif paling baik.

Pada pengaturan waktu tanam, penanaman tanaman pokok dapat dilakukan segera setelah pembukaan/persiapan lahan, kemudian disusul dengan tanaman semusim. Penanaman tanaman sela/ campuran dapat dilakukan 2 atau 3 tahun pertama, namun sangat tergantung pada perkembangan tajuk serta pengaturan jarak tanaman pokok. Untuk fase selanjutnya dapat ditanam jenis – jenis yang tahan/toleran terhadap naungan. Tahapan pelaksanaanya meliputi beberapa kegiatan yaitu pebibitan, persiapan lahan, penanaman, dan pemeliharaan (pemupukan, penyulaman, pemangkasan, penjarangan). Untuk desain dan pola tanam yang akan digunakan, beberapa pilihan yang dapat disesuaikan dengan tujuan maupun komponen pembentuknya, yaitu :

1. Sistem jalur berselang (alternate rows) : kombinasi antara pohon dan tanaman pertanian secara berselang baik temporer maupun permanen.

2. Border tree planting : pohon - pohonan atau perdu-perduan berkayu ditanam di sekeliling lahan pertanian agar berfungsi sebagai pagar hidup

3. Model acak (random) : pengaturan antara pohon dan tanaman pertanian secara acak

4. Alternate strips/ Alley Cropping : kombinasi minimal dua baris pohon dengan tanaman pertanian yang ditanam secara berselang – selang.

2. Pengendalian Hama Terpadu

Pengendalian hama terpadu merupakan upaya agar produktivitas yang telah dihasilkan tidak mengalami penurunan atau berkurang karena serangan hama, penyakit maupun gulma. Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya serangan hama adalah rendahnya keanekaragaman (diversity), pemilihan site dan kondisi tempat tumbuh yang tidak sesuai dengan vigoritas pohon, kurangnya seleksi jenis, jarak tanam yang tidak optimal, serangan hama pada daerah baru karena migrasi, terlalu mengandalhkan pestisida kimia sintetik (Asmaliyah, 2010).

Coulson (1981) dalam Sumardi dan Widyastuti (2004) mengemukakan bahwa pemahaman ari pengelolaan hama terpadu (PHT) atau pengelolaan kesehatan terpadu (PKT) memiliki dasar ekologi dan dilaksanakan melalui kombinasi taktik, yang ditujukan untuk mengurangi ancaman kerusakan sampai di bawah ambang yang diterima. PHT memadukan berbagai metode pengelolaan agroekosistem dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi yang tinggi, peningkatan penghasilan petani, mempertahankan populasi hama dalam keadaan yang tidak merugikan serta mengurangi kerugian seminimal mungkin bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup (Untung, 1993).

Pada awalnya, PHT hanya mengkombinasikan pemberantasan hayati dan kimiawi, tetapi pada perkembangan selanjutnya memadukan semua taktik pengendalian hama yang dikenal, termasuk di dalamnya pengendalian secara fisik – mekanik, pengendalian hayati, pengendalian cara silvikultur, pengendalian

Page 49: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 49

secara genetik, pengendalian menggunakan bahan kimia dan cara pengendalian lainnya (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Strategi pengendalian hama bukanlah eradikasi melainkan mengendalikan atau menahan. Taktik yang digunakan dapat berupa penggunaan varietas yang tahan, sanitasi, pemanfaatan pengendali hayati yang asli di tempat tersebut, pengelolaan lingkungan dengan cara bercocok tanam, dan penggunaan pestisida secara bijaksana yaitu secara selektif yang mendasarkan diri antara lain sifat fisiologi, ekologi, dan selektivitas melalui perbaikan teknik aplikasi dan pengetahuan akan sifat perilaku hama (Triharso, 2004).

3. Aspek Ekonomi

Agroforestry mempunyai peran penting dalam fungsi ekonomi karena masyarakat bukan hanya menjadikannya sebagai sumber produksi bahan pangan tetapi juga sebagai sumber pemasukan uang dan modal(mata pencaharian) yang utama. Menurut Widianto K, dkk (2003), peran dan fungsi agroforestry dari aspek ekonomi antara lain aspek ekonomi pada tingkat kawasan dan penyedia lapangan pekerjaan. Pada tingkat kawasan, agroforestry dikenal memiliki beberapa komponen berbeda yang berinteraksi dalam satu sistem sehingga sistem ini mempunyai karakteristik unik dalam hal jenis, waktu memperoleh dan orientasi penggunaan produk. Jenis poduk disarankan dapat menghasilkan produk untuk komersil (misalnya : bahan pangan, buah – buahan, hijauan makanan ternak, kayu bangunan, kayu bakar, daun, kulit, dan getah) dan pelayanan jasa lingkungan (misalnya : konservasi tanah, air, dan keanekaragaman hayati).

Pola tanam dalam agroforestry memungkinkan terjadinya penyebaran kegiatan sepanjang tahun dan waktu panen yang berbeda – beda, mulai dari harian, mingguan, musiman, tahunan, atau sewaktu – waktu. Keragaman jenis produk dan waktu panen memungkinkan penggunaan produk yang sangat beragam pula. Tidak semua produk yang dihasilkan oleh sistem agroforestry digunakan untuk satu tujuan. Ada sebagian produk yang digunakan untuk kepentingan subsisten, sosial atau komunal dan komersial maupun jasa lingkungan.

4. Aspek Sosial dan Budaya

Aspek sosial dan budaya akan lebih mudah ditelaah pada praktek – praktek agroforestry yang telah berpuluh dan bahkan beratus tahun ada di tengah masyarakat (lokal tradisional agroforestry) dibandingkan pada sistem – sistem agroforestry yang baru diperkenalkan dari luar (introduced agroforstry). Walaupun begitu, hal ini bukan merupakan faktor pembatas mutlak karena pada hakekatnya budaya masyarakat tidak bersifat statis, tetapi senantiasa dinamis sesuai dengan perkembangan waktu dan kebutuhan. Oleh karena itu, setiap sistem atau teknologi agroforestry yang baru hendaknya memperhatikan sosial budaya setempat. Misalnya, dalam hal pemilihan jenis pohon, desain, dan teknologi yang diterapkan. Hal ini dimaksudkan guna mengimplementasikannya sesuai dengan kapasitas adopsi masyarakat.

Page 50: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 50 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Ada beberapa aspek sosial dan budaya yang langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh agroforestry, yaitu :

1. Upaya melestarikan identitas kultural masyarakat. Hutan memiiki kaitan erat dengan identitas kultural masyarakat. Contohnya, perladangan berpindah yang dikategorikan sebagai agroforestry ortodoks tidak semata – mata bagian dari aktivitas produksi, tetapi juga memiliki fungsi dalam melestarikan identitas kultural.

2. Adanya kelembagaan lokal. Fungsi kelembaagaan lokal pada masyarakat tradisional adalah untuk mengatur kehidupan sehari – hari suatu komunitas di samping peraturan resmi yang dikeluarkan pemerintah. Keberlangsungan praktek agroforestry lokal tidak hanya melestarikan fungsi kepala adat, tetapi juga norma, sangsi, nilai dan kepercayaan tradisional yang berlaku di suatu komunitas.

3. Pelestarian Pengetahuan tradisional. Diversitas komponen terutama keanekaragaman hayati yang tinggi merupakan salah satu ciri agroforestry tradisional. Sebagian dari tanaman sengaja ditanam atau dipelihara dari permudaan alam untuk memperoleh manfaat dari seluruh atau sebagian tanamannya (Widianto K, dkk., 2003).

IV. PENUTUP

Program pembangunan dan pengembangan hutan tanaman semestinya memperhatikan kaidah – kaidah yang dapat mengopimalkan seluruh potensi yang ada sehingga dapat memaksimalkan tujuan yang akan dicapai. Dengan kesesuaian lahan, manipulasi lingkungan, pengendalian hama terpadu serta perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial dan budaya diharapkan akan dicapai suatu lahan agroforestry yang produktif dan berkelanjutan. Mengingat pola agroforestry bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pemenuhan prasyarat aspek – aspek tersebut hendaknya diperhatikan untuk tercapainya tujuan yang diinginkan

DAFTAR PUSTAKA

Asmaliyah dalam Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan (2010). Prosiding Seminar Hasil – hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan “ Peran Iptek dalam Mendukung Hutan Tanaman Rakyat’, 02 Desember 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkaan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Halaman 185 – 192.

FAO. 1995. Planing for sustainable use of land resources. Toward new approach. FAO land and Water Bulletin. Food and Agriculture Organization. Rome.

Hairiah, K. Widianto, Sardjono MA, dan Sabarnurdin, S. 2003. Pengantar Agroforestry. Word Agroforestry Center (ICRAF). Bogor. Indonesia.

Page 51: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 51

Harahap, R. 2003. Kajian Pertumbuhan Kacang Tanah sebagai Komponen Agroforestry berbasis cendana (Santalum album L) di Kalela, Ds Makamenggit, Sumba Timur. Laporan Teknik. LIPI. Bogor.

Hardjowigeno, 1989. Kesesuaian lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Jurusan tanah Fakultas Pertanian IPB.

Hardjowigeno. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Mile, MY. 2007. Prinsip – prinsip Dasar dalam Pemilihan Jenis, Pola Tanam, dan Teknik Produksi Agribisnis Hutan Rakyat. Info Teknis Vol. 5 No. 2.

Sumardi dan Widyastuti. 2004. Dasar – dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suryanto. 2005. Dinamika Sistem Berbagi Sumberdaya (Resources Sharing) dalam Agroforestry : Dasar Pertimbangan Penyusunan Strategi Silvikultur. Ilmu Pertanian 12 : 165 – .

Triharso. 2004. Dasar – dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press.

Untung, K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito, dan MA. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestry. Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.

Widianto, K; N. Wijayanto, dan D. Suprayogo. 2003a. Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestry. Word Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.

Page 52: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 52 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

AGROFORESTRY TANAMAN PERKEBUNAN DAN BUAH-BUAHAN PADA HUTAN RAKYAT MANGLID DI WILAYAH PRIANGAN TIMUR

Oleh :

Gunawan

ABSTRAK

Manglid (Manglieta glauca BL) merupakan jenis potensial dan menjadi salah satu unggulan untuk hutan rakyat di Jawa Barat. Jenis ini sudah cukup dikenal dan banyak dibudidayakan masyarakat khususnya di wilayah Jawa Barat bagian Timur (Priangan Timur). Hutan rakyat maglid diwilayah ini sebagian besar terdapat di kabupaten Tasikmalaya dan yang lainnya tersebar di kabupaten Ciamis, Garut dan Sumedang. Tanaman ini ditemukan tumbuh pada jenis tanah Latosol, Andosol, Latosol & Andosol, Alluvial dan Podsolik Merah Kuning dari ketinggian 400-1.200 m dpl, dengan curah hujan 1.500-3.500 mm/tahun dan kelerengan 0-45%. Secara umum, hutan rakyat manglid di wilayah ini dikelola dalam bentuk hutan rakyat agroforestry dan diantaranya dikombinasikan dengan tanaman perkebunan dan buah-buahan yang berbeda untuk setiap lokasi sesuai dengan kondisi lahan. Sistem ini banyak diterapkan masyarakat karena dapat meningkatkan produktifitas lahan melalui diversifikasi produk yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan. Pengelolaan hutan rakyat di wilayah ini merupakan potret/gambaran yang diharapkan dapat diadopsi dalam pengembangan tanaman manglid di daerah lainnya. Kata Kunci : Agroforestry, buah-buahan, hutan rakyat, manglid, Priangan Timur, tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN

Manglid (Manglieta glauca BI) merupakan salah satu jenis pohon potensial dan telah ditetapkan sebagai salah satu tanaman unggulan hutan rakyat di Jawa Barat, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani (Rimpala 2001). Jenis ini memiliki nilai ekononis yang cukup tinggi, cukup dikenal dan sudah banyak dibudidayakan masyarakat terutama di wilayah Jawa Barat bagian Timur (Priangan Timur). Manglid merupakan pohon cepat tumbuh yang tingginya dapat mencapai 40 m dan diameternya sebesar 150 cm (Hildebran, 1935 dalam Rimpala 2001). Jenis ini disukai oleh masyarakat karena kayunya mengkilat, strukturnya padat, halus, ringan dan mudah dikerjakan/diolah untuk berbagai penggunaan. Dengan BJ 0,4, kelas kuat III dan kelas awet II, kayu manglid dapat digunakan sebagai bahan pembuatan jembatan, perkakas rumah tangga (meja, kursi, almari), hiasan kayu, patung, ukiran, kayu lapis dan pulp (Prosea, 1998 dalam Rimpala, 2001).

Budidaya tanaman manglid di wilayah Priangan Timur sudah dilakukan secara intensif dengan menerapkan berbagai pola/sistem penanaman. Hal tersebut sangat penting sehingga pembangunan hutan rakyat manglid dapat

Page 53: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 53

dilakukan secara produktif dan layak secara finansial. Wijayanto (2006) menjelaskan bahwa agar usaha hutan rakyat layak secara finansial maka perlu dilakukan beberapa hal antara lain: (1) Pohon ditanam dengan sistem agroforestry, (2) Pembangunan hutan secara monokultur tidak menguntungkan, (3) Tanaman pertaniarn yang dipilih memiliki nilai ekonomi yang tinggi, (4) Campuran pohon memiliki daur yang beragam, (5) Pendapatan yang diperoleh petani bersifat kontinyu, (6) Sejak tahun awal pembangunan hutan, diharapkan petani memperoleh hasil atau pendapatan, (7) Produk yang dihasilkan beranekaragam, (8) Jenis-jenis pohon serbaguna menjadi bagian penting dalam sistem dan (9) Kemitraan dapat dibangun antara perusahaan dan petani dengan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan.

Praktek agroforestry yang dikenal di lingkungan masyarakat, biasanya berhubungan erat dengan komponen pohon, semak, tanaman semusim, ternak dan padang penggembalaan (Friday et al., 2000). Sementara itu, sistem penanaman yang banyak diterapkan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat manglid di wilayah ini adalah sistem agroforestry dengan mengkombinasikan tanaman perkebunan dan buah-buahan. Sistem ini dilakukan untuk meningkatkan produktifitas lahan dan diversifikasi produk untuk meningkatkan pendapatan petani dari tanaman semusim ataupun tahunan.

Tulisan ini merupakan hasil survey yang menggambarkan tentang pengelolaan hutan rakyat manglid di wilayah Priangan Timur dengan menerpakan pola agroforestry khususnya dengan tanaman perkebunan dan buah-buahan. Informasi diharapkan dapat menjadi gambaran/potret yang dapat diadopsi dan dikembangkan untuk menunjang keberhasilan budidaya tanaman manglid di lokasi lainnya.

II. METODOLOGI

Pengumpulan data potensi lahan dan sebaran populasi jenis manglid

meliputi data sekunder dan primer lapangan. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan komunikasi langsung dengan beberapa pakar yang mengetahui mengenai jenis yang dimaksud. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi : jenis tanaman yang berasosiasi, luas wilayah, lokasi (letak geografis, wilayah administrasi pemerintahan, wilayah kehutanan), kondisi ekologis (jenis tanah, ketinggian, curah hujan, kelerengan), potensi produksi, musim buah serta sistem silvikultur yang digunakan, sebaran populasi (hutan alam dan hutan tanaman). Peta yang digunakan meliputi peta administrasi, peta tanah, data iklim berupa peta curah hujan, peta kelas ketinggian, peta land use (penggunaan lahan), serta peta zonasi benih tanaman hutan wilayah Jawa-Madura sebagai penunjang. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi, antara lain: Dinas Kehutanan, Perum Perhutani, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS), Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B3PTH), Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP), Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH), Pusat

Page 54: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 54 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bakosurtanal, Badan Planologi Departemen Kehutanan dan instansi terkait lainnya.

Data primer dikumpulkan melalui survey lapangan untuk (1) mengidentifikasi kondisi dan sebaran populasi jenis manglid yang tersebar di beberapa lokasi wilayah Priangan Timur meliputi : letak geografis, iklim, jenis tanah, topografi, wilayah administrasi pemerintahan, (2) mengidentifikasi luas lahan yang dapat ditanami jenis manglid, (3) mengidentifikasi kondisi tegakan, pembungaan dan pembuahan. Bahan dan alat untuk survey lapangan dan laboratorium: GPS (Global Positioning System), teropong, hagameter, altimeter, alat tulis dan lain-lain.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sebaran dan Kondisi Hutan Rakyat Manglid

Hutan rakyat manglid di wilayah Priangan Timur secara umum tersebar

di beberapa lokasi yaitu wilayah Tasikmalaya yang meliputi daerah Taraju, Sodong, Salawu, Singaparna, Ciawi, Cigalontang, Pagerageung serta Cibalong. Sementara itu, manglid di wilayah Ciamis berada di daerah Panjalu, Rancah dan Langkap Lancar. Di Garut hutan rakyat manglid tersebar di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan kabupaten Tasikmalaya seperti di Singajaya dan Banjarwangi. Di kabupaten Sumedang, populasi manglid terpusat di beberapa daerah yaitu Cisitu, Cibugel dan Cipancar (Sumedang Selatan), sedangkan di kota Banjar sebaran populasi manglid tidak ditemukan (Gambar 1).

Populasi tanaman manglid sebagian besar di daerah perbukitan dengan kelerengan yang cukup curam. Lokasi lainnya yang merupakan sebaran populasi tanaman ini yaitu pada daerah-daerah kaki pegunungan dan pinggir sungai. Kualitas tegakan cukup bervariasi untuk setiap lokasi, tetapi sebagian besar kondisi tanaman cukup baik. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan pemeliharaan yang dilakukan sudah cukup intensif, sedangkan untuk kasus di beberapa tempat kondisi tanaman kurang optimal karena kurangnya tindakan pemeliharaan serta serangan hama/penyakit. Secara kuantitatif produktifitas sebagian tegakan di setiap lokasi sulit dibandingkan karena informasi mengenai umur tidak diketahui secara pasti serta kondisi lingkungan serta perlakuan yang berbeda. Begitu juga untuk informasi/sejarah pembungaan dan pembuahan tegakan di setiap lokasi sangat kurang karena pada saat kegiatan survey dilakukan sudah melewati musim berbunga/berbuah dan hanya sebagian yang diketahui berdasarkan pada keterangan pemilik lahan.

Hutan rakyat manglid di wilayah Priangan Timur tumbuh pada jenis tanah Latosol, Andosol dan Podsolik Merah Kuning, ketinggian 400-1200 mdpl, curah hujan 2000-3500 mm/tahun dan kelerengan 0-45% (Rohandi et al., 2010). Hutan rakyat ganitri sebagian besar berada di daerah Tasikmalaya yang sebagian besar ditanam pada lokasi cukup datar dan dikelola secara intensif. Disamping hutan rakyat,di lokasi ini juga banyak dijumpai penangkar bibit

Page 55: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 55

manglid seperti di daeah Salawu. Kondisi ini menggambarkan bahwa budidaya manglid di daerah ini sudah cukup berkembang.

Gambar 1. Sebaran hutan rakyat manglid pada berbagai ketinggian di

wilayah Priangan Timur (Rohandi et al., 2010) B. Sistem Budidaya dan Pola Penanaman

Hutan tanaman manglid tersebar di lahan kosong, pekarangan, pinggir

sungai, kebun campur, pinggir jalan ataupun fasilitas umum lainnya. Sistem/pola tanam yang digunakan berupa hutan rakyat monokultur, hutan rakyat campuran, dan hutan rakyat dengan pola agroforestry. Sebagian dari hutan tanaman manglid berupa tanaman perindang jalan/fasilitas lainnya. Hardjanto, (2001), menurut jenis tanamannya hutan rakyat dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu : 1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur; 2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran; 3. Hutan rakyat Agroforestry, yaitu hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan lain-lain.Hutan rakyat manglid sebagian besar ditanam dalam bentuk campuran dan agroforestry. Penanaman dengan pola monokultur hanya dijumpai di beberapa lokasi seperti di Desa Salakana, Kecamatan Sukadana, Ciamis dan di Desa Banjarwangi, kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut (Rohandi et al., 2010).

Page 56: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 56 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Pada bentuk hutan rakyat campuran, tanaman kehutanan yang berasosiasi dengan tegakan manglid adalah sengon (falcataria moluccana), mahoni (Swietenia macrophylla), jati (Tectona grandis), suren (Toona sureni), tisuk (Hibiscus macrophylla), gmelina (Gmelina arborea), ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Khaya anthoteca, aren (Arenga pinata) dan bambu. Sementara itu, untuk tanaman perkebunan dan buah-buahan yang banyak dijumpai adalah teh, pisang, nangka, petai dan jengkol (Tabel 1).

Gambar 2. Pola/sistem penanaman pada hutan rakyat manglid pada beberapa lokasi di wilayah Priangan Timur

C. Pola Agroforestry Tanaman Perkebunan dan Buah-Buahan

Hutan rakyat Agroforestry yaitu hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan lain-lain. Sistem ini banyak diterapkan oleh petani hutan rakyat karena memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan sistem/pola monokultur. Kondisi demikian juga banyak dijumpai dalam pengelolaan hutan rakyat manglid di wilayah priangan timur. Diantara tanaman yang secara dominan dikombinasikan dengan tegakan manglid adalah jenis-jenis tanaman perkebunan dan buah-buahan. Jenis-jenis tersebut berbeda untuk setiap lokasi sesuai karakteristik lahan untuk masing-masing wilayah (Tabel 1).

Tabel 1. Agroforestry jenis tanaman perkebunan dan buah-buahan pada

hutan rakyat manglid (M. glauca) yang ditemukan di wilayah Priangan Timur

No Desa Kecamatan Kabupaten Tanaman Perkebunan

Jenis Kayu Lain

1. Sukamanah, Tenjonegara, Lengkongjaya, Jayapura,Puspa

Cigalontang Tasikmalaya Kelapa, Nangka, Petai

Mahoni Sengon Bambu,

Page 57: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 57

No Desa Kecamatan Kabupaten Tanaman Perkebunan

Jenis Kayu Lain

jaya

2. Rajapolah, Pakemitan Kidul

Ciawi Tasikmalaya Kelapa, Durena,

Mahoni Sengon Bambu,

3. Pagerageung, Lamtegan, Guranteng, Sukadana, Puterab

Pager ageung

Tasikmalaya Lengkeng, Pisang

Sengon, Khaya, Lamtoro

4. Ciroyom, Bojonggambir, Wandasari, Pedangkamulyan

Bojong gambir

Tasikmalaya Teh, pisang -

5. Margaleksana, Sukarasa, Neglasari, Kutawaringin, Tanjungsari

Salawu Tasikmalaya Petai, Pisang Ganitri

6. Deudeul, Banyuasih, Singasari,

Taraju Tasikmalaya Teh -

7. Taman sari, Jaya mekar

Cibugel Sumedang Alpukat, Kelapa, Kopi, Mangga

Tisuk, Suren, Mahoni, Khaya Gmelina

8. Cipancar Sumedang Selatan

Sumedang Jeruk, Alpukat, Petai

Aren

9. Cimarga Cisitu Sumedang Petai, Alpukat, Melinjo Cengkeh

Sobsi,Tisuk Aren, Mahoni

10. Panjalu, Tenggerraharja, Limus agung

Panjalu Ciamis Alpokat, pisang

Sengon, Suren, Tisuk, Khaya, Kaliandra Kayu Manis

11. Situmandala Rancah Ciamis Petai, Jati Sengon,

12. Lebakbaru, Cikupa Cikupa Ciamis Petai, Jengkol

Sengon

Sumber : Hasil Survey

Page 58: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 58 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Pola agroforestry mangid dengan tanaman pekebunan dan buah-buahan banyak ditemukan kabupaten Ciamis, Sumedang dan Tasikmalaya (Tabel 1). Sistem penanaman sebagian besar dilakukan dengan cara mencampur tanaman manglid, tanaman perkebunan, buah-buahan dan jenis kayu lainnya. Tanaman perkebunan dan buah-buahan ditanam disela-sela tanaman manglid dengan jarak yang tidak teratur. Kondisi yang berbeda terjadi pada pola penanaman tanaman manglid dengan teh seperti di daerah Taraju, Tasikmalaya. Pada pola ini, tanaman manglid ditanam disela-sela dan disesuaikan dengan barisan tanaman teh. Tanaman manglid ditanam dengan jarak yang cukup lebar supaya tidak mengganggu pertumbuhan tanaman teh sehingga pola yang digunakan akan bersifat saling menguntungkan.

Gambar 3. Sistem penanaman dengan menerapkan pola agroforestry

tanaman perkebunan pada hutan rakyat manglid : a) tanaman manglid dengan tanaman buah-buahan dan jenis kayu lain dan b) tanaman manglid dengan teh

Tanaman perkebunan dan buah-buahan yang ditanam berbeda-beda

untuk setiap lokasi tergantung kondisi lahan. Kesesuaian jenis buah-buahan dan tanaman perkebunan penting sehingga diperlukan pemilihan jenis dengan cermat. Friday et al. (2000) menjelaskan bahwa banyak jenis buah-buahan dan perkebunan yang terbukti lebih mampu bertahan dibandingkan dengan jenis lainnya dan mungkin cocok bagi petani kecil karena tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit seperti kelapa, mangga, karet nangka, jambu biji, jambu mede dan manggis.

Pola agroforestry dengan kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan ataupun buah-buahan sudah banyak dilakukan masyarakat di beberapa wilayah. Hal tersebut dilaporkan de Foresta et al. (2000), seperti agroforestry yang dibangun masyarakat Ambon dengan memadukan jenis buah-buahan dan pohon kenari, pala serta cengkeh. Selain itu, ada sisem `tembawang`di Kalimantan Barat yang memadukan pohon tengkawang (Shorea

Page 59: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 59

sp) dengan buah-buahan dan kayu, sistem lembo di dengan ciri buah-buahan khas Kalimantan Timur serta sistem agroforestry lainya. Praktek-praktek tersebut termasuk praktek agroforestry pada hutan rakyat manglid di wilayah Priangan Timur penting untuk diketahui untuk lebih memahami bagaimana proses rekonstruksi dan pemeliharaan agroforestry.

IV. PENUTUP

Manglid (Manglieta glauca BL) merupakan sudah cukup dikenal dan

banyak dibudidayakan masyarakat khususnya di wilayah Jawa Barat bagian Timur (Priangan Timur). Hutan rakyat maglid diwilayah ini sebagian besar terdapat di kabupaten Tasikmalaya dan yang lainnya tersebar di kabupaten Ciamis, Garut dan Sumedang. Secara umum, hutan rakyat manglid di wilayah ini dikelola dalam bentuk hutan rakyat agroforestry dan diantaranya dikombinasikan dengan tanaman perkebunan dan buah-buahan. Sistem ini banyak diterapkan masyarakat karena dapat meningkatkan produktifitas lahan dan diversifikasi produk yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan. Pengelolaan hutan rakyat di wilayah ini merupakan potret/gambaran yang diharapkan dapat diadopsi dalam pengembangan tanaman manglid di daerah lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

De Foresta, H., A. Kuswantoro, G. Michon dan WA, Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan : Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre For Research in Agroforestri. Bogor.

Friday, K.S, M E. Drilling dan D. P. Garrity. Rehabilitasi Padang Alang-Alang Menggunakan Agroforestri dan Pemeliharaan Permudaan Alam. Kerjasama International Centre For Research in Agroforestri dan Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Bogor

Hardjanto. 2001. Keragaan dan Pengembangan Kayu Rakyat Di Pulau Jawa. Disertasi (tidak diterbitkan). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rimpala 2001. Penyebaran Pohon Manglieta glauca BI (Manglietia Glauca BI.) Di Kawasan Hutan Lindung Gunung Salak. Laporan Ekspedisi Manglieta glauca BI. WWW.Rimpala.Com. Bogor.

Rohandi, A., Gunawan, Dila Swestiani, Y. Nadiharto dan B. Rahmawan. 2010. Sebaran Populasi dan Potensi Lahan untuk Mendukung Sumber Benih dan Huta Rakyat Manglid di Wilayah Priangan Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Ciamis.

Wijayanto, N. 2006. Strategi Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Makalah Seminar Nasional Pekan Hutan Rakyat Nasional I, Ciamis, 5 September 2006. Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis.

Page 60: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 60 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

POTENSI HUTAN RAKYAT DENGAN POLA AGROFORESTRY DI DAERAH CIAMIS DENGAN TANAMAN POKOK GANITRI (Elaeocarpus ganitrus)

Oleh :

Levina A.G. Pieter dan Budi Rahmawan

ABSTRAK Hutan rakyat merupakan lahan yang ditanami pepohonannya oleh pemilik. Hutan rakyat sekarang sangatlah marak dikelola oleh masyarakat di Indonesia. Salah satu jenis hutan rakyat yang sering digunakan adalah dengan menggunakan pola agroforestry dimana terjadi penggabungan antara komponen tanaman kayu dengan tanaman pertanian dan terkadang hewan. Agroforestry sering digunakan oleh masyarakat karena mengoptimalkan hasil lahan dengan berbagai macam tanaman yang biasanya memiliki waktu panen berbeda, sehingga masyarakat memiliki pendapatan yang berkelanjutan. Agroforestry sendiri bertujuan untuk mengoptimalkan hasil dari setiap komponennya dengan model pertanaman campur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ganitri merupakan salah satu tanaman yang sering dijumpai pada hutan rakyat di daerah Ciamis. Ganitri sendiri merupakan tanaman jenis cepat tumbuh, secara alam mudah ditemukan dan tidak membutuhkan tempat hidup yang spesifik sehingga sesuai untuk hutan rakyat dengen pola agroforestry. Ganitri merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat, bijinya digunakan untuk alat beribadat agama Hindu, perhiasan dan obat dan bahan penyamak. Kayunya digunakan sebagai bahan baku pembuat piano dan biola, selain itu digunakan juga sebagai bahan bangunan. Tanamannya pun sering digunakan sebagai peneduh dan penyerap polutan.

Kata kunci : Hutan Rakyat, Agroforestry, Ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Ciamis

I. PENDAHULUAN

Hutan rakyat (farm-forestry) adalah hutan di mana petani/pemilik lahan menanam pepohonan di lahannya sendiri. Mereka biasanya telah mengikuti pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan ataupun memperoleh bantuan untuk kegiatan kehutanan (Hairiah,2003). Hutan rakyat merupakan bentuk pengelolaan lahan yang paling banyak digunakan di daerah Jawa Barat. Dalam prakteknya pengelolaan hutan rakyat dapat berupa hutan campuran yang murni merupakan tanaman berkayu, dan dengan agroforestry, melibatkan tanaman pertanian dan terkadang hewan dalam pengelolaannya. Dengan adanya hutan rakyat, maka diharapkan tercipta pelestarian baik pelestarian tanah dan air maupun pelestarian hutan.

Menurut Cannel MGR (dalam Indriyanto,2008), agroforestry merupakan suatu system penggunaan tanaman dengan cara menanam pohon dan herba bercampur dalam bentuk zonasi atau secara berurutan menurut waktu atau dengan atau tanpa hewan yang diharapkan memberikan keuntungan lebih besar daripada jika hanya menanam tanaman pertanian saja atau tanaman kehutanan

Page 61: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 61

saja. Agroforestry dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yaitu Agroforestry sederhana dan agroforestry kompleks. Agroforestry sederhana hanya merupakan perpaduan antara pepohonan dengan tanaman pangan. Untuk agroforestry kompleks dapat berupa hutan dan kebun. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer maupun sekunder (de Foresta, 2000). Menurut Mercer (1985) dalam Rachman(2010), Tujuan agroforestry adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya khususnya sumberdaya tanah, hutan, pohon, dan sumberdaya manusia untuk meningkatkan pembangunan ekonomi lestari bagi masyarakat pedesaan dimana kegiatan agroforestry tersebut dilaksanakan. Untuk meningkatkan produktivitas pada hutan rakyat dengan system agroforestry, maka diperlukan pemilihan jenis yang tepat, kesesuaian tumbuh dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Ganitri (Elaeocarpus ganitrus, Roxb.) atau yang sering disebut jenitri, jenistri (Jawa Barat) merupakan tanaman berkayu yang banyak penggunaannya adalah bijinya sebagai alat untuk beribadat agama Hindu. Tanaman ini tersebar luas di daerah Asia. Tanaman yang termasuk dalan bangsa Malvales dan suku Elaeocarpaceae ini merupakan salah satu tanaman yang banyak ditanam di daerah Jawa Barat. Ganitri memiliki buah berwarna biru gelap hingga keunguan dan daun tua yang berwarna merah dengan gerigi pada pinggirnya dan berujung runcing berbentuk lanset, kayu berwarna putih. Ganitri selain digunakan bijinya, dapat juga kayunya sebagai bahan bangunan. Masa panen bagi kayunya adalah 20 tahun. Ganitri tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang sulit sehingga mudah untuk ditanam.

II. METODE

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dari hasil penelitian dan studi pustaka dari beberapa sumber terkait.

III. PERSEBARAN GANITRI DI CIAMIS

Ganitri pada daerah Jawa Barat tersebar pada ketinggian 0-1500 mdpl.

Ganitri ditemukan di habitat asli pada ketinggian 1000 – 1500 mdpl di Jawa Barat. Pada kabupaten Ciamis, ganitri ditemukan pada kecamatan Cimerak, Gunung Sawal, Banjarsari, Kertamukti, Pangandaran, Padaherang, Kalipucang, Cijulang, Pamarican, Cimari, dan Pawindan. Pemanfaatan ganitri diambil kayu dan buahnya. Ganitri pada di habitat asli hutan alam ditemukan pada ketinggian 1200 pada Gunung Sawal. Ganitri pada habitat aslinya memiliki kenampakan batang yang bengkok dengan daun yang relative kecil. Ganitri pada hutan rakyat banyak ditemukan dalam bentuk monokultur, hutan campur dan agroforestry. Berikut disajikan pola penanaman ganitri pada daerah Ciamis.

Page 62: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 62 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Tabel 1. Pola Pengelolaan Ganitri di Kabupaten Ciamis

No. Pola pengelolaan Kecamatan Ketinggian Penggunaan

1 Monokultur Pangandaran 0-100 m dpl Biji

2 Hutan Campuran

Pangandaran, Pawindan, Banjarsari

0-126 m dpl Biji

3 Agroforestry

Cimerak, Cijulang, Pamarican, Cimari,Padaherang, Panjalu

0-334 m dpl

Biji, kayu dan peneduh

Ganitri pada daerah Ciamis lebih banyak digunakan bijinya. Untuk

penggunaan biji, maka biasanya tanaman ganitri memiliki kenampakan batang bengkok, diameter kecil, bercabang banyak, dan tanaman kerdil karena sering dikerat untuk mendapatkan hasil biji yang kecil (Gambar 1). Beberapa daerah menggunakan bibit yang merupakan hasil stek maupun okulasi untuk mempercepat pembuahan. Biji kemudian akan dikirim ke Jawa Tengah. Untuk penanaman dengan tujuan produksi kayu, ganitri memiliki kenampakan yang berbeda yaitu batang yang lurus dan tinggi, beberapa diberi perlakuan pruning untuk mempercepat pertumbuhan dan mengurangi beban tanaman.

Gambar 1. Kenampakan Ganitri yang dikerat

IV. PENGELOLAAN GANITRI BERBASIS AGROFORESTRY

Ganitri dikelompokkan kedalam jenis cepat tumbuh, secara alam mudah

ditemukan dan tidak membutuhkan tempat hidup yang spesifik, sehingga sangat sesuai untuk ditanam pada hutan rakyat. Selain itu, ganitri tidak hanya bisa digunakan bijinya, tetapi juga kayunya yang digunakan sebagai bahan baku

Page 63: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 63

industri gitar dan piano juga digunakan untuk bahan konstruksi bangunan (Rachman). Selain itu tanaman ganitri terkadang dijadikan peneduh, penyerap polutan dan bisa dijadikan tanaman hiasan.

Penanaman ganitri pada dataran rendah memiliki penggunaan yang berbeda, biasanya untuk produksi bijinya. Nilai biji ganitri tergantung dari ukuran biji. Semakin kecil biji, maka akan semakin tinggi nilainya. Berikut merupakan gambar peringkat biji ganitri (Gambar 2). Permintaan terhadap biji ganitri terbesar berasal dari daerah India dengan potensi yang cukup menjanjikan. Tetapi pengelolaan ganitri sendiri masih sedikit di daerah Ciamis yang benar benar memperhatikan kualitas biji yang dihasilkan. Kurangnya pengetahuan petani untuk menghasilkan buah dengan biji kecil menyebabkan kurang optimalnya biji yang dihasilkan. Penanaman ganitri dalam skala besar pun masih sedikit ditemukan, hanya terdapat pada Kecamatan Pangandaran saja di Kabupaten Ciamis.

Gambar 2. Peringkat biji ganitri

Ganitri pada daerah Ciamis ditemukan dalam beberapa bentuk

pengelolaan agroforestry yaitu secara tumpangsari, multilapisan tajuk (Gambar 3) dan kebun. Biasanya ganitri tidak ditanam dengan jarak yang teratur. Kebun pekarangan merupakan kebun campuran yang terdiri atas tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan, sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar rumah (Arsyad,1989 dalam Indriyanto,2008). Pada system multilapisan tajuk dan kebun pekarangan biasanya terdapat anakan alam ganitri. Permudaan buatan ganitri sendiri cukup sulit karena lapisan biji yang cukup keras sehingga sulit untuk mendapatkan benih. Pada penanaman multilapisan tajuk ini, tingkat kegagalan petani rendah karena beragammya tanaman yang ada, sehingga, apabila salah satu gagal, maka masih terdapat tanaman lainnya. Pola ini pun dapat dikatakan membutuhkan sedikit pemeliharaan karena sudah terjadi keseimbangan sendiri di dalamnya yang merupakan interaksi antar komponen.

Page 64: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 64 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Gambar 3. Sistem multilapisan tajuk dengan tanaman Ganitri

Pada system tumpang sari, tanaman keras biasanya ditanam hanya

dengan tanaman palawija atau semusim. Dengan jarak tanam yang teratur dan biasanya dilakukan pada lahan subur, dengan jarak tanam teratur dan pengerjaan yang intensif. Penamanan dengan system tumpang sari dilakukan hanya pada tanaman ganitri yang berumur muda hingga 4 tahun, agar tanaman semusim bisa mendapatkan cukup matahari. Selain itu, lahan yang subur dan pengolahan tanah yang intensif bagi tanaman semusim dapat juga memperbaiki nutrisi bagi tanaman ganitri. Ganitri pada daerah Ciamis biasanya ditanam secara tumpang sari dengan tanaman semusim berupa cabe, terong (Solanum melongena), kacang panjang (Phaseolus vulgaris) dan padi (Oryza sativa). Selain tanaman semusim, ganitri juga lazim dijumpai dengan tanaman empon-empon seperti jahe (Zingiber officinale Rosc.), kunyit (Curcuma longa), dan kapulaga (Amomum compactum).

Menurut Rachman (2010), ganitri pada awal pertumbuhannya memerlukan naungan untuk bertumbuh, sehingga diperlukan tanaman campuran lainya yang bersifat lebih cepat tumbuh dan memiliki tajuk yang menaungi ganitri. Salah satu contoh tanaman yang bisa menaungi ganitri adalah sengon dan Suren. Berikut ini merupakan salah satu contoh penanaman anakan ganitri dengan naungan pohon kelapa (Gambar 4).

Page 65: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 65

Gambar 4.Penanaman Anakan Ganitri dengan naungan

Ganitri merupakan tanaman yang mudah ditanam karena tidak

mengeluarkan zat alelopati sehingga dapat berasosiasi dengan tanaman lain selain itu untuk penghasil buah maka ganitri tidak harus pada tempat yang sesuai (dataran tinggi). Pada daerah Ciamis, tanaman hutan yang sering ditanam berasosiasi dengan ganitri adalah Sengon (Falcataria molluccana), Jati (Tectona grandis), tisuk (Hibiscus macrophyllus), mahoni (Swietenia macrophylla) dan Manglid (Manglieta glauca). Tanaman lain yang sering ikut ditanam adalah kelapa (Cocos nucifera), mangga (Mangifera spp.), rambutan (Nephelium sp.), bambu (Bambusa sp.) dan cengkeh (Syzygium aromaticum).

V. PENUTUP

Agroforestry merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan rakyat

yang sering digunakan pada daerah Ciamis. Agroforestry sendiri bertujuan untuk mengoptimalkan hasil dari lahan dan juga untuk meningkatkan konservasi tanah dan air pada lahan milik.Ganitri mudah tumbuh dan berasosiasi dengan tanaman lain dan juga memiliki permudaan yang menyukai naungan sehingga dapat ditanam bercampur dengan tanaman lain baik tanaman semusim maupun tanaman keras dalam bentuk agroforestry. Pemanfaatan yang dimiliki ganitri sebenarnya cukup banyak, seperti penggunaan bijinya selain dari kayunya. Ganitri merupakan tanaman yang potensial untuk ditanam pada lahan masyarakat, tetapi keterbatasan pengetahuan mengenai tanaman ini dan budidayanya menyebabkan kurang berkembangnya ganitri.

DAFTAR PUSTAKA

De Foresta, H.,A. Kusworo, G. Michon, dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF. Bogor.

Hairiatun, K., M.A. Sardjono, S. Sabarnudin. 2003. Pengantar Agroforestri. ICRAF. Bogor.

Page 66: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 66 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

K. Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid II. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta

http://bpthbalinusra.net/isbseedleaflet/202--elaeocarpus-sphaericus-schum.html diakses 19 Desember 2011.

Indriyanto.2008. Pengantar Budidaya Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Rachman, E., A. Rohandi, A. Hani. 2010. Evaluasi Penerapan Pola Tanam Jenis Pohon Potensial Pada Hutan Rakyat. Tulisan pada Prosiding Seminar Hasil- Hasil Penelitian “ Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat Untuk Kesejahteraan Masyarakat”. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis dan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Hal: 27-41.

Rachman, E., T. Rostiwati, dan S. Bustomi. Ganitri (Elaocarpus sphaericarpus schum and e. ganitri) Pohon Serbaguna yang Potensial di Hutan Rakyat. www.forplan.id, diakses 20 desember 2011.

Rohandi, A., Gunawan, L.A.G.Pieter, D. Swestiani,dan I.S. Ruhimat. 2010. Laporan Hasil Penelitian “.Strategi Pengembangan Tanaman Potensial Jenis Ganitri Berbasis Sebaran Populasi dan Potensi Lahan di Jawa Barat”. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Tidak dipublikasikan.

Page 67: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 67

KARAKTERISTIK MODEL AGROFORESTRY DI NUSA TENGGARA BARAT

Oleh Dewi Maharani

ABSTRAK

Berdasarkan masa perkembangannya, sistem agroforestry dapat diklasifikasikan sebagai agroforestry tradisional dan modern/diintroduksi. Begitupun di wilayah NTB, penerapan sistem agroforestry telah lama dilakukan baik berupa beberapa model agroforestry tradisional maupun dalam HKm dan hutan rakyat, sehingga penjelasan karakteristik model agroforestry yang ada di NTB pada makalah ini lebih dititikberatkan pada pembahasan tentang pemilihan jenis tanaman. Beberapa model agroforestry tradisional antara lain kebon dan kebun hutan terdapat pada hampir semua Kabupaten di P. Lombok serta Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat kemudian untuk wanatani penggembalaan, budidaya lorong, rau serta pemberaan dengan turi hanya terdapat di P. Lombok, kalaupun ada di P. Sumbawa biasanya dianggap agroforestry diintroduksi. Pemilihan jenis tanaman pada beberapa agroforestry tradisional hampir sama yaitu tidak lepas dari tanaman kehutanan, MPTS, tanaman semusim dan pakan ternak, yang membedakan adalah letak tanam dan luas lahan yang digunakan. Pemilihan jenis pada HKm dan hutan rakyat lebih beragam, tanaman kehutanan dan MPTS dapat ditemukan lebih dari 2 jenis serta selain tanaman semusim juga terdapat tanaman perkebunan misalnya kopi dan kakao dan empon-empon bila tajuk pohon keras mulai rapat. Akan tetapi komposisi jenis tanaman pada HKm lebih tertib yaitu dengan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Kata kunci : agroforestry, jenis tanaman

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan masa perkembangannya menurut Sardjono, dkk. (2003) sistem agroforestry dapat diklasifikasikan sebagai agroforestry tradisional dan modern/diintroduksi. Sistem agroforestry tradisional merupakan sistem pertanian dimana pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan/tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial-ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem/agroecosystem (Thaman (1988) dalam Sardjono, 2003), sedangkan agroforestry modern/diintroduksi kombinasi jenis antara tanaman keras dan tanaman sela sangat diperhatikan dengan pola tanam teratur dan cenderung untuk kebutuhan komersil. Sedangkan menurut Djogo (2003), salah satu persoalan yang membedakan model agroforestry yang tradisional dan diperkenalkan (introduksi) adalah bahwa terdapat sistem agroforestry yang sebenarnya berkembang atau mengalami evolusi dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat karena adanya introduksi komoditi

Page 68: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 68 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

tertentu atau adanya pengenalan jenis-jenis tanaman serba guna (MPTS), sehingga sebenarnya masyarakat melakukan pengembangan sistem agroforestry bukan diperkenalkan dari luar sistemnya tetapi komoditi atau tanaman penunjang agroforestrynya. Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai dua pulau yaitu Sumbawa dan Lombok yang masing-masing memiliki kawasan yang semi kering dan sub humid sehingga mempengaruhi pembentukan ekosistem dan sistem produksi pertaniannya. Kedua pulau ini terletak gugusan vulkanik sehingga secara kimiawi seharusnya memiliki lahan yang cukup subur, namun sebagaimana halnya Nusa Tenggara Timur produktivitas lahan pertanian sangat tergantung pada ketersediaan air, sifat-sifat fisik tanah lainnya, pilihan tanaman atau komoditi, teknologi pertanian dan sistem produksi pertanian yang dikembangkan. Pada umumnya sistem produksi pertanian berbasis pertanian lahan kering skala kecil berbasis pedesaan semi subsisten (Djogo, 2003). Roshetko dan Mulawarman (2002) menjelaskan agroforestry di NTB telah lama diterapkan yang terbagi dalam 5 klasifikasi sistem tanam yaitu:

1. Sistem pertanaman semusim, misalnya rau merupakan sistem agroforestry tradisional dengan kepemilikan lahan perseorangan maupun komunal.

2. Pemberaan yang diperbaiki, terdiri dari pemberaan dengan turi dan budidaya lorong.

3. Kebon pekarangan antara lain: Kebon merupakan sistem pertanaman campuran di pekarangan; Nggaro terdapat di P. Sumbawa dengan sistem tanam dan kepemilikan lahan sama dengan kebon tetapi biasanya mempunyai luasan 0,5 – 1 Ha; Ngerau terdapat di P. Lombok merupakan sistem pertanian menetap di pinggir hutan.

4. Hutan keluarga terdiri dari hutan keluarga dan kebun hutan. Perbedaannya terletak pada kepemilikan lahan, untuk hutan keluarga biasanya milik perseorangan atau satu keluarga sedangkan kebun hutan yaitu sistem pertanaman campuran yang dikembangkan pada tanah komunal, tetapi pohon merupakan milik perseorangan.

5. Hutan penggembalaan yaitu berupa wanatani penggembalaan merupakan campuran kegiatan pertanaman kehutanan, pertanian, peternakan dan atau perikanan baik secara bersama-sama atau berurutan dengan pengelolaan yang disesuaikan dengan pola budaya setempat, sehingga pada beberapa daerah sistem ini merupakan sistem tanam asli (agroforestry tradisional) dan sebagian daerah lainnya merupakan introduksi dengan kepemilikan lahan individu.

Seiring dengan perkembangannya serta adanya perubahan kondisi dan status lahan, sistem agroforestry di NTB banyak diterapkan melalui pengembangan hutan rakyat maupun HKm (hutan kemasyarakatan).

Page 69: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 69

B. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui model agroforestry yang digunakan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

II. METODE

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan

studi pustaka dari beberapa sumber terkait.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik model Agroforestry di Nusa Tenggara Barat yang dijelaskan pada makalah ini dititik beratkan pada pemilihan jenis yang ditanam. Menurut Nandini, dkk. (2009a) jenis tanaman dinyatakan sesuai untuk diterapkan apabila kondisi jenis tanaman mempunyai tinggi dan diameter yang seimbang dengan umur tanaman dan mampu memberikan kontribusi secara ekonomi yang cukup untuk menunjang perekonomian masyarakat. A. Agroforestry Tradisional

Agroforestry tradisional secara umum terbentuk karena proses alamiah, yang kemudian oleh petani dikembangkan dan diuji sesuai dengan keadaan alam, kebutuhannya atau permintaan pasar serta sejalan dengan perkembangan pengalamannya selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengembangan bercocok tanamnya biasanya merupakan hasil usaha coba-coba (trial and error) tanpa penelitian formal maupun bimbingan dari penyuluh (Hairiah, dkk., 2002).

Berdasarkan hasil penelitian Nandini, dkk. (2009b) agroforestry tradisional yang terdapat pada beberapa kabupaten di Pulau Lombok yaitu kebon, kebun hutan, wanatani penggembalaan, budidaya lorong, rau dan pemberaan dengan turi. Berbeda dengan Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat tidak terdapat rau, pemberaan dengan turi, wanatani penggembalaan serta budidaya lorong, dan apabila ada dianggap agroforestry diintroduksi. Rau hanya terdapat pada saat musim hujan dan pada kemiringan lereng dengan teras yang ditanami MPTS (mangga, kelapa, nangka, kemiri) dan tanaman penghasil buah (jambu, pisang) serta tanaman keras yaitu dadap dan randu, jenis yang ditanam pada umumnya adalah tanaman semusim yaitu padi gogo rancah, jagung dan kacang. Pemberaan dengan turi dikembangkan masyarakat di P. Lombok terutama pada daerah dengan kondisi iklim kering, dimana tanaman turi banyak digunakan sebagai pembatas areal yang digunakan sebagai lahan pertanian tanaman semusim (padi, jagung, kacang). Pada wanatani penggembalaan, jenis tanaman yang dikembangkan selain tanaman kehutanan juga tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak baik berkayu maupun rumput-rumputan (gamal dan rumput gajah) dengan sistem peternakan

Page 70: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 70 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

digembalakan langsung pada areal tersebut atau dikandangkan di pekarangan rumah. Pada budidaya lorong jenis yang ditanam biasanya legume, sengon dan dadap dengan pengisi lorong awalnya yaitu tanaman semusim, namun apabila tajuk pohon mulai rindang dan menutupi permukaan tanah sehingga jenis tanaman lorong diganti dengan jenis tanaman perkebunan dan pertanian (kopi, nanas, coklat), sedangkan di Sumbawa Barat, jenis gamal dan sengon pada lorong serta sebagai tanaman sela yaitu jati dan mahoni dengan tanaman semusim yaitu jenis kacang.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemilihan jenis pada sistem agroforestry tradisional antara di P. Lombok dengan Sumbawa pada umumnya dipengaruhi kondisi curah hujan, misalnya pada kebon dan kebun hutan di P. Lombok jenis pohon yang ditanam lebih beragam dibanding dengan yang terdapat di Sumbawa dan Sumbawa Barat, biasanya selain tanaman penghasil kayu misalnya jenis mahoni dicampur dengan MPTS (multi purpose trees species) contohnya nangka, kelapa, rambutan dan sebagai tanaman bawah yaitu tanaman penghasil pangan (umbi-umbian, sayuran, biji-bijan). Di Sumbawa dan Sumbawa Barat karena daerahnya cenderung lebih kering dengan curah hujan lebih rendah sehingga jenis pohon-pohonan yang dipilih dominan jati, gmelina dan jambu mete, sedangkan tanaman bawah pada umumnya sama. Perbedaan kebon dengan kebun hutan adalah pada lokasi dan luasan yang digunakan, kebun hutan terletak relatif jauh dari tempat tinggal dan luasan 0,5 – 3 Ha sedangkan kebon terdapat di pekarangan rumah dengan luasan 0,25 – 2 Ha.

B. Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Hutan kemasyarakatan (HKm) di Provinsi NTB dimulai sejak tahun 1996 pada kawasan hutan lindung Sesaot (Lombok Barat) kemudian berkembang di daerah lainnya (Setiawan dan Sukito, 2006). Pemilihan jenis pada areal HKm cukup beragam, namun secara prinsip pada semua lokasi yang diamati memanfaatkan kombinasi jenis tanaman berdaur pendek, menengah dan panjang. Jenis tanaman yang digunakan terdiri atas kelompok tanaman penghasil kayu, tanaman penghasil buah, dan tanaman semusim (Harisetijono, dkk., 2005). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang HKm di Provinsi NTB dijelaskan bahwa jenis tanaman penghasil kayu pada HKm di P. Lombok pada umumnya didominansi oleh sengon dan mahoni, sedangkan di P. Sumbawa yaitu jati. Jenis MPTS yang mendominasi pada HKm di kedua pulau umumnya merupakan jenis penghasil buah yaitu durian, nangka dan mangga. Jenis tanaman semusim pada HKm di kedua pulau hampir sama yaitu jenis jagung, kacang-kacangan dan sayuran, kecuali di P. Lombok juga terdapat tanaman padi. Selain ketiga jenis tanaman tersebut, terdapat jenis tanaman lainnya misalnya pisang dan sirsak serta tanaman perkebunan misalnya kopi dan coklat. Kemudian setelah tajuk pohon mulai rapat, petani HKm mulai menanam empon-empon seperti jahe dan kunyit (Rahman, 2001; Harisetijono, dkk., 2005; Setiawan dan Sukito, 2006; Nandini, dkk., 2009b).

Page 71: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 71

Khusus di Kabupaten Sumbawa (Ibrahim dan Sukito, 2006) terdapat HKm penghasil HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) misalnya di HKm Olat Rawa dan HKm Kanar. HKm Olat Rawa merupakan Hkm penghasil madu hutan sehingga jenis yang mendominasi di Kawasan HKm Olat Rawa pada umumnya jenis tanaman sebagai pakan lebah penghasil madu yaitu jenis pohon Asam dan Kesambi. HKm Olat Rawa merupakan kawasan hutan produksi dengan pengelola adalah Perhutani, namun berhubung belum dilakukan pengolahan lahan sehingga kondisi vegetasi cenderung seperti hutan alam. Berbeda dengan HKm Kanar yaitu merupakan HKm penghasil berbagai produk turunan dari biji jambu mete dan minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil). Hal ini karena kawasan HKm Kanar terdapat pada kawasan hutan produksi yang telah diolah oleh Perhutani dengan diitanami jenis jati dan mahoni dan jenis MPTS dominan jambu mete dan kelapa.

Penentuan komposisi jenis tanaman pada awalnya berdasarkan kesepakatan antara masyarakat dengan Dinas Kehutanan setempat sebagai pihak berwenang. Kemudian seiring perkembangan, penentuan komposisi jenis diatur oleh Peraturan Daerah maupun Peraturan Menteri Kehutanan. Misalnya seperti HKm di Kawasan Hutan Sesaot, pada awalnya komposisi tanaman cukup beragam, namun setelah adanya SK Menhut No.622/KPTS-II/1995 tentang HKm komposisi jenis tanaman disepakati menjadi 60% MPTS dan 40% tanaman kehutanan dengan jarak tanam 3 x 3 m. Kemudian pada tahun 1998 diadakan perluasan HKm dan perubahan kesepakatan mengenai komposisi jenis tanaman dan jarak tanam yaitu menjadi 70% MPTS dan 30% tanaman kehutanan dengan jarak 6 x 6 m (Rahman, 2001). Pengelolaan HKm telah diatur melalui beberapa kali perubahan peraturan hingga yang terakhir adalah SK Menhut No. P. 13/Menhut-II/2010 tentang Hutan Kemasyarakatan.

C. Hutan Rakyat Menurut Yudilastiantoro dkk., (2009) hutan rakyat di P. Lombok merupakan lahan milik dan umumnya terdapat di sekitar kawasan hutan, misalnya studi kasus hutan rakyat di Desa Sajang (Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur) dan Dusun Bentek (Desa Pemenang Barat, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara) proses terbentuknya dimulai karena adanya kegiatan perambahan hutan yang dilakukan petani kebun sekitar kawasan hutan. Kemudian setelah adanya pembinaan dari Dinas Kehutanan setempat melalui program Gerhan dan bantuan modal, petani kebun yang sekaligus perambah hutan berubah menjadi petani kebun hutan dan selanjutnya kebun hutan berkembang menjadi hutan rakyat. Model hutan rakyat di kedua lokasi antara lain berupa hutan rakyat murni dan campuran. Pola tanam hutan rakyat campuran menggunakan pola agroforestry yaitu menggabungkan tanaman kehutanan dengan tanaman lainnya antara lain berupa kebun hutan berpola dan tidak berpola. Jenis tanaman pada kebun hutan berpola antara lain tanaman kehutanan terdiri dari bajur, mahoni, suren sebagai inang tanaman vanili ditanam secara jalur dengan kakao (coklat), tanaman pisang terdapat dalam jalur serta tanaman pagar berupa jenis MPTS. Sedangkan jenis tanaman

Page 72: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 72 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

pada kebun hutan tidak berpola cenderung lebih rapat dibandingkan kebun hutan berpola, yaitu dengan mencampurkan tanaman kakau, kopi, vanili, kayu, pisang dan buah-buahan lainnya secara tak terpola pada lahan dengan kerapatan tertinggi umumnya setara dengan penanaman tanaman campuran dengan jarak tanam 2,5 m x 4 m tanpa ada penjarangan hingga akhir daur pohon. Pada model ini memaksimalkan lahan untuk penanaman adalah target pengusahaannya, sehingga apabila dilakukan penebangan pohon maka tingkat kerusakan yang terjadi pada tanaman lainnya cukup tinggi mengingat tidak tersedianya arah rebah yang baik. D. Permasalahan dalam Penerapan Sistem Agroforestry Penerapan sistem agroforestry di Provinsi NTB pada umumnya belum dikatakan berhasil, hal ini disebabkan masih ditemukannnya beberapa permasalahan. Permasalahan yang berhasil diidentifikasi (Rahman, 2001; Harisetijono, dkk., 2005; Setiawan dan Sukito, 2006; Nandini, dkk., 2009) dapat digolongkan pada beberapa aspek antara lain dari aspek masyarakat, aspek lingkungan serta aspek pemerintahan yang dijelaskan sebagai berikut : 1. Aspek masyarakat : - Kurangnya pengetahuan masyarakat dalam pemilihan bibit unggul serta

asal-usul bibit; - Pemilihan jenis yang kurang tepat yaitu tidak memperhitungkan kondisi

pasar dan kondisi fisik lahan yang ditanami; - Pengaturan jarak tanam yang cenderung tidak teratur; - Kurangnya adopsi teknologi penanaman oleh masyarakat misalnya teknik

pengolahan lahan, penggunaan pupuk serta pengendalian hama penyakit; - Kurangnya pengetahuan masyarakat dalam penanganan pasca panen

sehingga ketika terjadi produksi yang melimpah tidak dapat dijual semuanya; - Kelembagaan masyarakat yang belum kuat, sehingga kadang-kadang

menimbulkan konflik sosial. 2. Aspek pemerintahan : - Pemerintah belum memberikan kepastian lahan yang dapat dikelola oleh

masyarakat, sehingga keamanan dan kelestarian hutan belum terwujud; - Kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, instansi pemerintah

dengan lembaga masyarakat, sehingga suatu program yang diturunkan tidak terlaksana dengan baik;

- Kebijakan pemerintah yang belum tepat, misalnya di Prov. NTB telah menetapkan program sejuta sapi akan tetapi tidak memperhatikan kemampuan masyarakat dan tidak didukung oleh kondisi lahan yang dapat menyediakan pakan ternak;

- Pemerintah belum dapat menyediakan pasar serta belum dapat menentukan standar harga, sehingga harga yang berlaku cenderung fluktuatif dan sistem ijon masih berlaku;

Page 73: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 73

3. Aspek lingkungan : - Kondisi lahan yang ekstrim mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan

tenaga kerja dan modal yang besar; - Kondisi iklim yang berubah sehingga masa tanam dan panen di luar

perkiraan.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sistem agroforestry di Provinsi NTB telah diterapkan pada beberapa tipe penggunaan lahan yaitu pada beberapa model agroforestry tradisional, HKm serta hutan rakyat.. Jenis yang dikembangkan pada umumnya disesuaikan dengan permintaan pasar biasanya dari jenis tanaman kehutanan, MPTS dan tanaman perkebunan serta untuk kebutuhan subsisten (konsumsi sehari-hari) yaitu dari jenis tanaman semusim. Kemudian sejak tahun 2010 Dishut Prov. NTB mengeluarkan ijin pengelolaan kawasan hutan negara kepada masyarakat dengan bentuk Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dimana masyarakat diberikan hak untuk menanam tanaman apapun serta diperbolehkan memanen hasilnya sementara tanaman kayu menjadi milik Pemerintah (Anonim, 2010).

Seiring waktu, penerapan sistem agroforestry pada pengelolaan kawasan hutan di wilayah NTB dengan bentuk HKm yaitu HKm Santong yang pada tahun 2011 ini telah mendapat penghargaan atas keberhasilan dalam pengelolaan hutan secara lestari berupa sertifikat dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). HKm Santong berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Gangga (Kab. Lombok Utara) seluas kurang lebih 571 Ha, yang berada di Desa Santong (221 ha) dan Desa Salut (350 ha). HKm ini mulai berkembang sejak tahun 1997 yang dikelola oleh kelompok tani yang bergabung dalam Koperasi Tani Manju Bersama dengan lebih dari 800 orang petani menjadi anggota Koperasi dan mengusahakan areal HKm tersebut dengan mengembangkan jenis sengon, dadap dan kemiri, jenis lainnya yaitu kopi dan coklat. Keberhasilan ini juga tidak lepas dari adanya pendampingan dan fasilitasi yang secara terus menerus dari para pihak di daerah, seperti LP3ES yang kemudian sampai sekarang dilanjutkan oleh KONSEPSI serta Dinas Kehutanan. Penilaian sertifikasi ekolabel ini disamping untuk menunjukkan kepada para pihak bahwa masyarakat mampu mengusahakan dan mengelola areal HKm dengan baik dan lestari, juga sebagai sarana untuk mendapatkan pengakuan lebih luas, khususnya berkaitan dengan percepatan keluarnya ijin usaha pemanfaatan HKm dan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayunya (LEI, 2011). Sertifikasi ekolabel digunakan untuk memberi nilai bahwa suatu produk merupakan hasil dari kegiatan pengelolaan hutan yang memperhatikan norma-norma lingkungan hidup, norma ekonomi dan norma sosialn (LEI, 2009).

Page 74: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 74 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. NTB Kembangkan Hutan Rakyat. http://www.tender-

indonesia.com/tender_home/innerNews2.php?id=5989&cat=CT0015. Diakses tanggal 7 Nopember 2011.

Djogo, T. 2003. Lampiran 2. Contoh-contoh Agroforestri di Nusa Tenggara. Dalam H. S. Arifin, M. A. Sardjono, L. Sundawati, T. Djogo, G. A. Wattimena dan Widianto. Bahan Latihan: Agroforestri di Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor. www.worldagroforestrycentre.org/.../LN0010-04.pdf. Diakses tanggal 21 Oktober 2011.

Hairiah, K., Sunaryo dan Widianto. 2002. Sistem Agroforestri Di Indonesia. Dalam Kurniatun Hairiah, Widianto, Sri Rahayu Utami dan Betha Lusiana. WaNulCas Model Simulasi Untuk Sistem Agroforestri. International Centre for Research in Agroforestry Southeast Asian Regional Research Programme. http://www.worldagroforestry.org/sea/Products/AFModels/ WaNulCAS/files14110002/LectureNotes/LectureNote1.pdf. Diakses tanggal 29 Nopember 2011.

Harisetijono, I. Rachmawati, C. Handoko dan A. Sukito. 2005. Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di P. Lombok: Studi Kasus Pembangunan Model Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah. Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi, Mataram, 29 – 30 Juni 2005. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang.

Ibrahim dan A. Sukito. 2006. Kajian Pengelolaan Kawasan, Usaha dan Kelembagaan Hasil Hutan Bukan Kayu di Kabupaten Sumbawa. Dalam IPTEK Pengelolaan DAS untuk Mendukung Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Zona Ekologi Nusa Tenggara. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kerjasama Balai Litbang Pengelolaan DAS IBT dan Balai LItbang Kehutanan Nusa Tenggara dan Bali, Mataram 12 September 2006. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutananan. Bogor.

Lembaga Ekolabel Indonesia. 2009. Apakah Sertifikasi LEI?. http://www.lei.or.id/id/standar-sertifikasi-lei. Diakses tanggal 16 Desember 2011.

Lembaga Ekolabel Indonesia. 2011. HKm Santong Lulus Sertifikasi PHBML LEI. http://www.lei.or.id/id/uncategorized/895/hkm-santong-lulus-sertifikasi-phbml-lei. Diakses tanggal 7 Nopember 2011.

Nandini, R., A. Sukito dan L. Tresnawati. 2009a. Teknis Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Tidak dipublikasikan.

Page 75: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 75

Nandini, R., I. W. W. Susila dan A. G. Salim. 2009b. Analisa Stok Karbon pada Berbagai Sistem Agroforestri Tradisional di Nusa Tenggara Barat. Laporan Hasil Penelitian Program Riset Insentif Dikti tahun 2009. Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Tidak dipublikasikan.

Rahman. 2001. KMPH Mitra Sesaot dan Sistem Wanatani yang Diterapkannya di Desa Sesaot. Dalam Wanatani di Nusa Tenggara. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa Tenggara, Denpasar, 11 – 14 November 2001. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan Winrock International. Bogor. www.ntt-academia.org/timor/Wanatani-NTT-PR0017-04.pdf. Diakses tanggal 21 Oktober 2011.

Roshetko, J. M. dan Mulawarman. 2001. Wanatani di Nusa Tenggara: Ringkasan Hasil Lokakarya. Dalam Wanatani di Nusa Tenggara. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa Tenggara, Denpasar, 11 – 14 November 2001. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan Winrock International. Bogor. www.ntt-academia.org/timor/Wanatani-NTT-PR0017-04.pdf. Diakses tanggal 21 Oktober 2011.

Sardjono, M. A., T. Djogo, H. S. Arifin, dan N. Wijayanto. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 2. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor. http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/lecturenote/LN0002-04.PDF. Diakses tanggal 29 Nopember 2011.

Setiawan, B. dan A. Sukito. 2006. Pengembangan Model Diversifikasi Tanaman dalam sistim HKm di P. Lombok. Dalam IPTEK Pengelolaan DAS untuk Mendukung Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Zona Ekologi Nusa Tenggara. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kerjasama Balai Litbang Pengelolaan DAS IBT dan Balai LItbang Kehutanan Nusa Tenggara dan Bali, Mataram 12 September 2006. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutananan. Bogor.

Yudilastiantoro, C., C. Handoko dan A. Sukito. 2009. Sistem Pendukung Keputusan Model Hutan Rakyat Mengatasi Perambahan Hutan Lindung. Laporan Hasil Penelitian Intesif Program DIKTI. Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Tidak dipublikasikan.

Page 76: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 76 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

KARAKTERISTIK PENGELOLAAN POHON AREN (Arenga pinnata Merr) PADA LAHAN AGROFORESTRY DI DUSUN KUTA , CIAMIS - JAWA BARAT

Rusdi dan Encep Rachman

ABSTRAK Petani dusun Kuta mengenal 2 jenis pohon aren, yaitu pohon aren yang berdiameter besar berbatang tinggi dan pohon aren yang berdiameter kecil berbatang pendek, petani menyebutnya kawung Saeran. Pemanfaatan pohon aren bagi petani dusun Kuta utamanya adalah untuk menghasilkan gula aren, oleh karena itu 80% penduduknya merupakan pengrajin gula aren. Pengetahuan lokal yang menjadi karakteristik dalam mengelola tanaman aren merupakan warisan yang secara turun-temurun masih berlaku sampai generasi sekarang. Tulisan ini merupakan hasil kajian mengenai karakteristik pengelolaan hutan rakyat aren yang dilakukan oleh petani di dusun Kuta yang meliputi antara lain : pembudidayaan aren, ciri-ciri pohon aren mulai produksi, pengenalan pohon aren yang bagus, teknik untuk menghasilkan air nira yang banyak serta teknik penyadapannya. Pohon aren di dusun Kuta dapat disadap niranya mulai umur 15 tahun. Penyadapan yang dilakukan pada pagi dan sore hari dapat menghasilkan 15 – 20 liter nira/pohon. Air nira yang diperoleh seluruhnya dijadikan gula aren dan gula semut. Akan tetapi produk gula ini masih terkendala dengan pemasaran karena belum adanya jaminan pasar yang memasok gula ini secara kontinnyu, sehingga masih ketergantungan pada tengkulak yang membeli dengan harga sangat rendah. Kata kunci : Aren, dusun Kuta, nira, gula aren, pengetahuan lokal.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Aren (Arenga pinnata Merr) atau kawung (sunda) termasuk famili Palmae dan genus Arenga merupakan salah satu jenis tumbuhan yang bersifat multi guna (MPTS) karena hampir seluruh bagian dari tumbuhan aren dapat dimanfaatkan secara ekonomi mulai dari batang, ijuk, tulang daun, air nira dapat dibuat gula dan tuak, daging buah muda (kolang kaling) dan pati. . Selain itu aren mampu penampung air pada lahan – lahan yang dikondisikan untuk konservasi. (Heyne, 1987; Anonim, 1995).

Petani dusun Kuta mengenal 2 jenis tumbuhan aren, yaitu pohon aren yang berdiameter besar dan berbatang tinggi dan pohon aren yang berdiameter kecil dan berbatang pendek, petani menyebutnya kawung Saeran. Sedangkan Susanto (1993) menyampaikan bahwa pada saat ini sudah diketahui ada 4 jenis yang termasuk kedalam kelompok aren yaitu Arenga pinnata (wurmb.) Merr. ; A. undulatitolia Becc., A.westerhoutii Griff, A.ambong Becc. Dari keempat jenis

Page 77: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 77

tersebut yang sudah banyak dikenal dan luas penyebebarannya adalah jenis Arenga pinnata atau dikenal dengan nama aren.

Tanaman aren yang berada di dusun Kuta sudah ada sejak lama dan dikelola secara turun temurun, tumbuh dalam pola agroforestry bersama jenis tanaman lainnya seperti sengon, kelapa, pisang, talas, singkong, dan tanaman obat-obatan seperti kunyit, jahe dan kapolaga. Terhadap pohon aren, petani sudah paham betul pohon aren yang dapat menghasilkan banyak nira dan pohon yang menghasilkan banyak pati. Karena di dusun Kuta umumnya memanfaatkan aren untuk produkasi gula, maka petani tentu menghendaki agar pohon arennya banyak mengandung air nira. Oleh karena itu pengetahuan tradisional yang mereka peroleh dari orang tua secra terus menerus diwariskan pada generasi berikutnya, mulai dari ciri-ciri pohon aren mulai produksi, pengenalan pohon aren yang bagus, teknik untuk menghasilkan air nira yang banyak dan menekan kadar pati serendah mungkin sampai kepada teknik penyadapan. B. Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk menyediakan informasi karakteristik dan pengetahuan tradisional tentang pengelolaan tanaman aren yang dilakukan oleh petani di hutan rakyat dusun Kuta Kabupaten Ciamis.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan aren yang ada di dusun Kuta, Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis dengan luas areal + 10 ha.

B. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode :

wawancara dilakukan dengan petani pemilik pohon aren dan pengolah (industri) gula aren.

observasi langsung di lapangan untuk melakukan pengamatan terhadap kegiatan petani yang berkaitan karakteristik pengeliolaan pohon aren.

data hasil wawancara dan observasi dianalisis seacara deskriptif

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengelolaan Pohon Aren di Dusun Kuta

Hamparan pohon aren yang terdapat di dusun Kuta merupakan kumpulan dari milik perorangan yang tumbuh dalam pola agroforestry. Selama ini pengeloaannya belum mendapat perhatian yang serius seperti teknik budidaya, pemilihan jenis, pola tanam, pemeliharaan tanaman dan penanggulangan hama

Page 78: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 78 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

penyakit aren. Perbanyakan tanaman aren masih mengandalkan faktor alam dan hewan pemakan biji – bijian terutama musang. Hal ini disampaikan oleh para petani bahwa mereka jarang sekali untuk memindahkan anakan aren yang tumbuh, baik yang langsung berasal dari induknya maupun dari bantuan musang ke lahan yang masih kosong, bahkan pemupukan dan pengaturan jarak tanam hampir tidak pernah dilakukan sepanjang daur.

Pemeliharaan aren cukup mudah dan murah seperti halnya yang dilakukan para petani aren selama ini, pemeliharaan yang dilakukan hanya yang bersipat umum seperti pembersihan gulma, kadang-kadang penjarangan tapi penjarangan sering karena pengaruh alam, aren yang masih kecil tidak mampu bersaing dengan aren yang sudah tumbuh besar dan tinggi karena aren mempunyai tajuk yang bertingkat sehingga sinar matahari tidak mampu tembus sampai ke lantai hutan, dengan demikian aren yang masih kecil akan mati dengan sendirinya.

Pohon aren yang pertumbuhannya jarang (biasanya penyebarannya dilakukan oleh musang), petani akan mencampur dengan tanaman lain seperti sengon, mahoni, bambu, kelapa dan pohon buah-buahan. Pertumbuhan aren akan lebih bagus dan subur apabila tumbuh di lahan paling bawah kalau lahan tersebut miring atau lahan yang lembab dan sedikit basah.

Penduduk dusun Kuta yang berjumlah 125 KK hampir 80 % menjadi pengrajin gula aren. Pembuatan gula aren sudah banyak diketahui petani baik gula yang umum beredar dipasaran maupun gula semut dan gula untuk camilan. Kendala utama yang dihadapi para petani adalah pemasaran hasil, sampai saat ini belum ada hubungan jual beli secara langsung antara produsen dengan konsumen bersekala besar, pemasaran hanya melalui tengkulak dengan kapasitas pembelian yang terbatas dan harganya juga kurang menguntungkan bagi petani

B. Ciri-ciri Pohon Aren Mulai Berproduksi

Berdasarkan pengalaman para petani aren yang berada di dusun Kuta, aren sudah mendekati produksi adalah dengan mengeluarkan tanda – tanda sebagai berikut :

1. Aren sudah berumur antara 15 s/d 20 tahun, didaerah lain ada yang hanya berumur 6 s/d 10 tahun mungkin disebabkan jenis aren yang unggul dan faktor tanah.

2. Tangkai dan daun muda yang keluar sudah mulai pendek dibandingkan dengan tangkai daun yang sudah keluar terlebih dahulu.

3. Dari ketiak pelepah daun sudah keluar tongkol atau mayang bunganya berwarna putih kemudian merumbai dan rumbaian tersebut berbuah sebesar kelereng bulat bersusun rapat dari atas kebawah kemudian berangsur membesar berwarna hijau muda dan berangsur menjadi hijau tua kemudian apabila sudah tua akan berwarna kuning dan rumbaian tersebut kaku, buah tersebut dinamakan caruluk (sunda).

Page 79: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 79

4. Buah yang belum tua apabila dibelah isi buah tersebut berwarna putih dan enak untuk dikonsumsi, isi dari buah tersebut dinamakan kulang kaling. Mayang yang keluar pertama ini biasanya disebut mayang laki dan akan berhenti keluar apabila mata tunas mayang laki sudah mencapai bekas tunas mayang bini yang biasa disadap. Posisi keluarnya tongkol atau mayang laki biasanya berada paling atas kemudian dibawahnya mayang bini.

5. Dari ketiak pelepah daun sudah keluar tongkol atau mayang berwarna hijau muda merumbai pada rumbaian tersebut terdapat bintil-bintil membentuk bulat lonjong persis seperti peluru pistol bersusun rapat dari atas kebawah, bintil – bintil tersebut berangsur membesar sampai sebesar jari kelingking orang dewasa dengan panjang antara 2 – 2,5 cm dan warnanya berubah dari hijau muda menjadi coklat ungu, rumbaian mayang tidak kaku. Apabila bunga mayang tersebut sudah tua akan mekar dan didalamnya terdapat serbuk berwarna kuning dan mengandung zat gula maka akan dikerubuti lebah madu, mayang ini disebut mayang bini. Mayang bini akan terus menerus keluar selagi pohon aren masih hidup dan biasanya mayang bini yang keluar pertama berada dibawah mayang laki berdekatan.

C. Tahapan Pekerjaan Sebelum Penyadapan Aren

Warna buah mayang bini akan berubah dari hijau muda ke coklat ungu, setelah adanya perubahan warna bunga mayang bini maka petani aren harus mempersiapkan alat dan bahan serta pekerjaan sebagai berikut :

1. Pembuatan tangga, - Tangga yang biasa dipergunakan para petani adalah tangga bambu tentunya bambu yang kuat, kokoh, tinggi dan aman bagi penggunanya.

2. Pembuatan tempat penampungan nira, - Pada umumnya tempat penampungan air nira memakai bambu ukuran besar dari jenis petung dibuat seperti bumbung atau lodong (sunda) bumbung dibuat dengan berbagai ukuran karena tidak semua aren mampu menghasilkan air nira yang banyak, kalau aren yang disadap mengeluarkan air nira yang banyak juuh (sunda) tentu memakai bumbung yang besar, bahkan ada yang menambah bumbung yang berukuran lebih kecil dipasang berdempetan.

3. Pembuatan alat pemukul tangkai mayang, - Tidak semua jenis kayu untuk pemukul tangkai mayang mampu membantu keluarnya air nira yang banyak sesuai harapan para petani aren. Berdasarkan pengalaman para petani aren ada beberapa jenis kayu yang mampu membantu keluarnya air nira yang banyak anatara lain jenis : Kayu kinyere, kayu ciciap dan kayu bungur. Kejadian semacam ini apa hanya karena sugesti atau ada unsur lain yang terkandung didalam kayu tersebut, perlu pembuktian. Dari jenis kayu tersebut, tidak semuanya cocok pada semua pohon aren yang disadap, misalnya pohon A cocok dipukul oleh kayu kinyere tetapi

Page 80: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 80 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

tidak cocok oleh kayu bungur dan ciciap, pohon B cocok dipukul kayu bungur dan kinyere tetapi tidak cocok oleh kayu ciciap dan seterusnya.

4. Pemasangan tangga dan pembersihan mayang, - Apabila kembang mayang sudah kelihatan berwarna agak coklat maka tangga segera dipasang disusul dengan pekerjaan pembersihan dahan yang kering, ijuk dan pembersihan tangkai mayang. Tujuannya agar pekerjaan-pekerjaan berikutnya lebih mudah dan tidak mengganggu kenyamanan sewaktu penyadapan. Ada bermacam bentuk dan ukuran tangkai mayang tergantung dari jenis aren dan kesuburan aren yang akan disadap, kalau tangkai mayang tersebut besar dan sulurnya panjang-panjang, maka mayang tersebut harus di ikat ke atas tujuannya supaya mayang tidak patah pada waktu dipukul dan diayun-ayun.

5. Pemukulan tangkai mayang, - Pemukulan tangkai mayang pertama dilakukan setelah pekerjaan pembersihan tangkai mayang selesai, pemukulan biasanya dilakukan dengan hitungan ganjil 7 atau 9 kali pukul biasanya selang 1 atau 2 hari. Dalam 1 kali rangkaian pemukulan biasanya dilakukan 3 ulangan dan 1 ulangan memakan waktu 3 – 4 menit, memukul tangkai harus dengan perasaan tidak terlalu keras juga tidak terlalu pelan, berirama sehingga enak didengar, iramanya persis memukul beduk sewaktu memasuki waktu solat jum΄at. Setelah pemukulan tangkai mayang selesai kemudian mayang diayun-ayun sebanyak 30 – 50 kali dorong dan tarik.

6. Pemotongan tangkai mayang, - Sebelum melakukan pemotongan tangkai mayang, perlu diperhatikan bunga mayang sudah berada pada tingkat yang mana apakah sudah seperti tanda-tanda (menurut bahasa dan kebiasaan setempat ) sebagai berikut : (1). Umendog : (Bunga mayang apabila dibuka masih lengket dan isinya belum mekar tanda semacam ini tangkai mayang belum siap dipotong), (2). Tumereb : Bunga mayang apabila dipatahkan atau diremas terasa renyah, hal ini menandakan tangkai belum siap dipotong, (3). Rumamat : Bunga mayang apabila dipetik terdapat cairan kental dan lengket tanda semacam ini tangkai belum siap dipotong, (4). Humangit 1 : Bunga mayang mulai mengeluarkan bau harum dan lebah madu mulai berdatangan tapi tanda semacam ini tangkai mayang belum siap dipotong, (5). Humangit 2 : Bau harum mulai hilang tangkai mayang belum siap dipotong, (6). Lamucir : Bunga mayang mengkilat jernih dan mengeluarkan kembang gula dan kulit bunga coklat keungu-unguan tangkai belum siap dipotong, (7). Badar : Bunga hampir mekar dan tangkai mayang siap untuk dipotong, setelah tangkai mayang dipotong permukaannya harus dibungkus biasanya dibungkus dengan ijuk halus kemudian diikat.

Page 81: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 81

D. Tahapan Pengambilan Nira Aren 1. Pembersihan permukaan tangkai mayang, - Permukaan tangkai mayang

meskipun air niranya belum bisa diambil tetap harus dibersihkan tiap hari. Bilamana air nira yang keluar banyak permukaan tangkai cukup dikerik dengan pisau khusus kemudian digosok dengan pelepah talas hutan yang disebut solempat , banyak tumbuh dibawah pohon induk aren, kemudian tangkai dibungkus dengan ijuk yang halus. Bilamana air nira yang keluar hanya sedikit permukaan tangkai diiris tipis-tipis terus digosok dengan solempat kemudian dibungkus.

2. Pemasangan alat penampungan air nira, - Setelah permukaan tangkai mayang tidak lagi mengeluarkan kotoran maka bumbung dipasang dengan cara menggantungkan tali bumbung tersebut keatas tangkai mayang dan bagian atasnya dinaungi supaya tidak kena air hujan. Sebelum pemasangan bumbung tangkai mayang harus dibersihkan diiris tipis-tipis kemudian digosok. Pengambilan air nira dilakukan 2 kali dalam satu hari. Pagi umumnya dilakukan pukul 6.ºº s/d pukul 7.ºº dan sore pukul 17.ºº s/d pukul 18.ºº . Dalam satu hari dapat diperoleh 15 – 20 liter nira/tandan. Pengambilan air nira harus tepat waktu karena apabila terlambat atau tidak sesuai jadwal maka air nira akan basi dan tidak memenuhi syarat untuk dibuat gula.

3. Perawatan alat penampungan air nira, - Alat penampungan air nira harus dirawat dengan baik agar air nira yang diambil berikutnya tidak rusak atau basi . Perawatan dilakukan setelah air nira dituangkan ke dalam wajan atau alat untuk pembuatan gula. Ada beberapa cara untuk membersihkan alat penampungan air nira antara lain adalah sebagai berikut : a. Pengasapan / dipuput (sunda), - Caranya sediakan bambu yang

ukurannya lebih kecil dari alat penampungan air nira dengan panjang kurang lebih 2 - 3 meter, kemudian lubangin ruas-ruas bagian dalamnya, setelah itu masukan kedalam alat penampung air nira kemudian dekatkan kedalam tungku yang sedang dipakai masak air nira, atau dibuatkan tungku khusus untuk mengasapin alat tersebut, apabila alat tersebut diraba sudah terasa panas maka pengasapan boleh dihentikan.

b. Pencucian dengan air panas, - Cara lain adalah memasukan air panas kedalam alat penampung air nira tersebut kemudian dikocok –kocok sampai benar-benar bersih kemudian alat dibalik supaya air yang ada didalam semuanya keluar kemudian dikeringkan.

E. Ciri-ciri Pohon Aren yang Bagus

Pohon aren yang bagus menurut pandangan pengrajin gula aren dalah pohon aren tersebut banyak mengandung air nira, sedangkan menurut

Page 82: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 82 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

pandangan pengrajin pati aren adalah pohon aren tersebut banyak mengandung pati. Kedua macam tersebut dapat dilihat dari tanda – tanda sebagai berikut :

1. Pohon aren yang mempunyai kandungan air nira dan pati yang banyak, - Berdasarkan pengalaman para petani aren, bahwa pohon aren yang mempunyai kandungan air nira yang banyak dapat dilihat dari ciri-ciri berikut : (1). Posisi pelepah daun melengkung kesamping bahkan cenderung ke bawah does (sunda) dan (2). Arah pucuk daun cenderung mengarah kesamping. Sedangkan pohon aren yang mengandung pati yang banyak dapat dilihat dari ciri-ciri yaitu (1). Posisi pelepah daun tua mengarah keatas /rujug (sunda) dan (2). Arah pucuk daun juga mengarah ke atas.

2. Teknik untuk menekan kadar pati aren serendah mungkin, - Petani tentunya menghendaki agar tumbuhan aren yang dimiliki mengandung air nira yang banyak, meskipun pati juga laku dijual tetapi hanya menghasilkan satu kali panen selama hidupnya, tidak seperti air nira bisa menghasilkan terus menerus selagi aren masih mengeluarkan tangkai bunga (mayang). Ada beberapa cara untuk menekan kadar pati aren serendah mungkin agar kadar air nira meningkat, salah satunya adalah dengan cara memasukan ragi tape kedalam pohon aren dengan tahapan pekerjaan sebagai berikut : Pertama pohon aren dipahat satu atau dua lubang kemudian lubang tersebut diisi dengan ragi tape satu lubang bisa diisi satu atau dua biji, kemudian lubang ditutup kembali dengan kayu aren ruyung (sunda) sampai betul-betul rapat jangan sampai rembes. Tujuan pemasangan ragi tape tersebut adalah supaya kadar pati bisa mencair dan kandungan air nira bisa meningkat.

IV. KESIMPULAN

1. Meskipun 80 % penduduk dusun Kuta sebagai pengrajin gula aren, namun

bdidaya tanaman aren masih diserahkan pada alam dan bantuan musang. Petani belum mengikuti treknik budidaya yang benar , misalnya pemilihan jenis unggul, pengaturan jarak tanam, pemupukan dan pengendalian hama penyakit.

2. Pengetahuan tradisional yang dimiliki petani aren di dusun Kuta merupakan warisan dari orang tua yang masih terjaga dan diterapkan bagi generasi sekarang. Pengetahuan ini menjadi karakteristik masyarakat dusun kuta dalam memanfaatkan tanaman aren menjadi produk utama yaitu gula aren.

3. Kendala yang dihadapi petani aren pada saai ini adalah pemasaran hasil (gula) yang masih mengandalkan pengepul atau tengkulak, belum ada pasar yang menjamin secara kontinyu dalam memasok gula aren dari daerah ini, padahal dengan potensi tanaman aren yang dimiliki bisa memacu para petani untuk meningkatkan produktivitas dan ragam manfaat tanaman aren dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dusun Kuta.

Page 83: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 83

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1995. Budidaya Aren. Pusat Penyuluhan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Dachlan, M.A. 1984. Proses pembuatan gula merah. Balai Besar Industri Hasil Pertanian Bogor. Bogor Pp.1-21.

Heyne, K. 1987. Tanaman Berguna Indonesia. Jilid I. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.

Manik, S. 2002. Potensi dan pemanfaatan aren (Arenga pinnata) di kawasan hutan diklat Pondok Bulu Kabupaten Simalungun. Skripsi, Universitas Simalungun. Simalungun.

Sawitri, S. 1991. Pengaruh Penanganan dan Perlakuan Nira Aren Terhadap Mutunya Sebagai Bahan Baku Gula. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Susanto. H. 1993. Aren, Budidaya dan Multigunanya. Kanisius. Yogyakarta

Page 84: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 84 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

KAJIAN PENERAPAN POLA SILVOFISHERY DI DAERAH PANTAI BATUKARAS - CIAMIS

Encep Rachman

ABSTRAK Sylvofishery merupakan kegiatan pertambakan dengan penekanan pada pelestaraian keberadaan sumber daya hutan mangrove, sehingga kegiatan sylvofishery ini adalah untuk mempertahankan fungsi ekologi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menyampaikan informasi model silvofishery yang diterapkan oleh masyarakat di daerah pantai Batukaras , Kabupaten Ciamis . Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara dan membuat percontohan tambak. Hasil penelitian menunjukan bahwa pola slvofishery yang terdapat di Batukaras dan Bojongsalawe, Kab. Ciamis pada umumnya terbuka, tanpa dilakukan penanaman jenis pohon pantai, dan dibedakan dalam bentuk kolam, empang dan japung, dengan jenis peliharaannya adalah kepiting, udang dan ikan krapu. Percontohan tambak kepiting yang dilakukan di Batukaras dengan ukuran 70 m2 dan kedalamam 1 m memberikan tingkat kematian yang cukup tinggi (44%) setelah berumur 3 bulan (waktu panen), namun memberikan penambahan berat rata-rata yang menguntungkan. Penambahan berat rata-rata setiap kepiting selama 3 bulan (waktu panen) adalah 0,3 kg. Pengusahaan empang udang yang dilakukan di pantai Batukaras Ciamis lebih banyak dan menguntungkan dibandingkan dengan tambak kepiting dan krapu Kata kunci : Sylvofishery, hutan mangrove, Nifah, empang, tambak, kepiting, udang, krapu

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena abrasi yang semakin meningkat hampir diseluruh kawasan pesisir pantai selatan Pulau Jawa menunjukan ekosistem hutan pantai telah mengalami kerusakan dan tidak lagi mempu berfungsi sebagai shelter belt dari terjangan ombak dan angin. Gelombang Tsunami yang terjadi pada bulan Juli 2006 menghantam daerah-daerah sepanjang pantai Selatan Jawa Barat, meliputi Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis yang menimbulkan kerusakan bangunan dan korban jiwa menunjukan bahwa kondisi hutan pantai telah mengalami degradasi yang cukup parah.

Anwar dan Subiandono (1997) menyebutkan bahwa terjadinya degradasi hutan pantai disebabkan karena praktek pengelolaan yang kurang tepat dan pemanfaatan yang tidak sesuai dengan daya dukung. Banyak hutan mangrove

Page 85: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 85

yang telah dikonversi menjadi areal petambakan, pertanian, industri dan perumahan disamping penebangan untuk kepentingan rumah tangga.

Semakin tingginya tingkat kerusakan ekosistem hutan mangrove serta masih rendahnya tingkat keberhasilan program rehabilitasi menunjukan kondisi hutan mangrove yang mengkhawatirkan. Dilain pihak laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk telah menyebabkan luas dan penyebaran hutan mangrove semakin berkurang (Alikodra, 1993). Kondisi ini disebabkan antara lain belum dikuasainya teknik pengelolaan dan pemanfaatan yang memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi.

Kegiatan pemanfaatan hutan mangrove yang telah lama dilakukan dan masih berkembang adalah pemanfaatan dengan sistem wanamina (sylvofishery). Sistem ini dulu dikenal dengan sebutan tumpangsari empang-parit, dilakukan dalam rangka reboisasi hutan payau terutama di pantai Utara Jawa Barat dan telah dirintis sejak tahun 1964 di KPH Indramayu, 1967 di KPH Bogor dan tahun 1968 di KPH Purwakarta. Sylvofishery merupakan kegiatan pertambakan dengan penekanan pada pelestaraian keberadaan sumber daya hutan mangrove, sehingga tujuan sylvofishery ini adalah untuk mempertahankan fungsi ekologi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.( Salim, 1991; Dephutbun, 1999 ).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menyampaikan informasi model silvofishery yang diterapkan oleh masyarakat di daerah pantai Batukaras , Kabupaten Ciamis

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: bibit kepiting, pakan (ikan), plastik, bambu, kuisioner. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah roll meter, jarring dan timbangan. B. Metode

Metode penelitian yang dilakukan meliputi :

wawancara dilakukan dengan nelayan atau pemilik tambak.

observasi langsung di lapangan untuk melakukan pengamatan yang berkaitan dengan kegiatan penambakan.

data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan secara tabulasi, sedangkan analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif.

Page 86: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 86 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Batukaras merupakan salah satu Desa di pesisir pantai Selatan + 120 km

dari Kota Ciamis, ditempuh selama 3 jam dengan kendaraan roda empat atau dari pantai Pangandaran letaknya + 30 km ke arah Barat. Lokasi ini termasuk wilayah yang terkena gelombang tsunami pada tahun 2006.

Hutan pantai di Batukaras membujur arah utara-sealatan membentuk tanjung, terputus oleh muara sungai Cijulang yang merupakan perbatasan dengan desa Bojongsalawe. Kondisi hutan pantai masih menyisakan tegakan meskipun telah banyak berubah fungsi menjadi kebun (kelapa), tambak, sawah dan bangunan hotel. Beberapa jenis tegakan yang ada antara lain, nyamplung, ketapang, kibangkong, waru laut, keben (baringtonia) dan pandan laut. Pada darah muara sungai terdapat ekosistem mangrove dengan luas + 25 yang didominasi oleh jenis Avicenia sp dan Soneratia sp. Sedangkan tegakan Nifah (Nifa fructans ) tumbuh menempati areal yang lebih luas terutama disepanjang sungan Cijulang sampai ke pinggir pantai.

B. Pola Sylvofishery di Batukaras

Sebagian besar penduduk desa Batukaras adalah nelayan. Data potensi

nelayan Batukaras pada tahun 2009 menunjukan jumlah nelayan aktif di Batukaras sebanyak 181 orang, dengan produksi ikan yang dihasilkan sebanyak 3,20 ton dengan nilai jual sebesar Rp. 27.472.708,40. (KUD Minarasa, 2009). Selain nelayan, di Batukaras terdapat juga pengusaha perikanan dalam bentuk empang/tambak dengan membuka lahan mangrove dan nifah. Hasil pengamatan pola /bentuk tambak serta jenis ikan/peliharaan yang diusahakan oleh masyarkat di pantai Selatan Kabupaten Ciamis, khususnya di daerah Batukaras dan Bojongsalawe dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pola/bentuk tambak, jumlah tambak dan jenis peliharaan di setiap

lokasi pengamatan

Lokasi Model tambak Jenis peliharaan Jumlah tambak

Batukaras Kolam kepiting 6

empang udang 8

japung Krapu 4

Bojongsalawe kolam kepiting 4

empang kepiting 5

empang udang 9

japung krapu 3

Sumber : Hasil observasi lapangan

Perbedaan kolam dan empang dilihat dari ukuran dan bentuknya. Kolam biasanya berukuran kurang dari 0.25 ha sedangkan empang lebih dari 0.25 ha.

Page 87: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 87

Sedangkan japung adalah jaring terapung berbentuk perahu yang ditambatkan di pinggir sungai Cijulang. Dari tabel 1 dapat dlihat bahwa hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukan bahwa masyarakat di kedua lokasi lebih banyak memelihara udang, masing-masing 8 empang di Batukaras dan 9 empang di Bojongsalawe. Sedangkan yang memelihara ikan krapu dalam bentuk japung di kedua lokasi hanya berjumlah 7 buah. Banyaknya penambak udang menunjukan bahwa konsumsi udang sangat tinggi, terutama untuk memasok restoran/rumah makan atau hotel yang berada di tempat wisata pantai Batukaras dan Pangandaran

C. Produktivitas Berbagai Pola Silvofishery di Batukaras 1. Tambak Kepiting

Letak tambak kepiting umumnya berdekatan dengan sungai yang dipengaruhi pasang surut. Air sungai digunakan untuk penggantian air tambak setiap kali setelah panen. Tambak kepiting dibuat dalam bentuk kolam umumnya berukuran 10 m x 15 m, kedalaman 1.5 m dan tinggi air 80 cm. Pada tambak ini dipelihara 15.5 kg kepitng atau sebanyak 140 ekor. Idealnya pada ukuran tambak 20 m x 20 m dipelihara kepiting sebanyak 30 kg. Harga benih kepiting dipasaran adalah Rp. 18.000 per kg, sehingga tambak dengan ukuran 150 m2 dibutuhkan biaya pembelian bbit sebesar Rp. 279.000,- . Pakan kepiting biasanya ikan curah yang diberikan sebanyak 3 kg per hari, jumlah pakan akan bertambah sesuai dengan pertambahan berat kepiting. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore. Harga ikan curah dipasaran adalah Rp. 3.000/kg. Panen dilakukan setelah kepiting berumur 3 bulan. Hasil panen dijual langsung ke restoran atau ada pembeli yang sudah memesan terlebih dahulu. Harga jual kepiting pada hari biasa Rp. 35.000 – 40.000, sedangkan pada hari-hari menjelang tahun baru bisa mencapai Rp. 70.000.

Percontohan tambak kepiting yang dilakukan di Batukaras membuat tambak ukuran 70 m2, dengan kedalaman 1 m. Bibit kepiting dipelihara sebanyak 153 ekor dengan berat total 12 kg atau setiap ekor memiliki berat rata-rata 0,078 kg sebagai berat awal. Pemberian pakan ikan curah dilakukan dua kali setiap hari (pagi dan sore). Panen dilakukan setelah kepiting berumur 3 bulan, jumlah yang hidup sebanyak 89 ekor dengan berat total 37,3 kg, atau pada waktu panen setiap kepiting memiliki berat rata-rata 0,419 kg. Ini berarti bahwa selama 3 bulan penambahan berat setiap kepiting sebesar 0,341 kg. Harga jual kepiting di lokasi Rp.35.000 - Rp.40.000, jadi dengan produksi 37 kg diperoleh Rp. 1.295.000 – Rp.1.400.000. Modal yang dibutuhkan untuk bibit 12 kg dan pakan selama 3 bulan = Rp. 600.000, sehingga keuntungan yang diperoleh adalah Rp. 695.000 – Rp.800.000.

Page 88: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 88 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Gambar 1. Bentuk tambak kepiting dan penimbangan saat pemanenen kepiting di Batukaras

2. Tambak Udang

Empang udang umumnya dibuat dengan membuka lahan sisa tegakan mangrove dan tegakan nifah. Dari 17 empang udang yang tercatat di Batukaras dan Bojongsalawe memiliki Ukuran yang beragam. Ukuran paling kecil 30 m x 40 m dan yang cukup luas berukuran 50 m x 70 m. Kedalaman tambak ideal adalah 170 cm. Pada tambak yang dikatakan modern, umumnya sudah dilengkapi dengan kincir air yang digerakan oleh mesin diesel. Kincir air ini berfungsi sebagai sirkulasi udara yang di butuhkan kelangsungan hidup udang. Dalam 1 m2 dibutuhkan benih udang sebanyak 50 ekor, sehingga tambak udang dengan ukuran 30 m x 40 m (1.200 m2) dibutuhkan sebanyak 60.000 benih udang. Harga benih udang di pasaran berkisar antara Rp. 30 (ukuran kecil) sampai dengan Rp. 250,- (besar) per ekor.

Jumlah pakan (goldcoin) yang diberikan pada tambak ukuran 40 m x 80 m bisa mencapai 9 ton sampai panen (3 bulan), 1 ton pakan harganya Rp. 13.000.000. Panen udang dilakukan setelah berumr 3 bulan. Hasil panen biasanya dijual ke tempat pelelangan ikan atau langsung dijual ke restoran di

Page 89: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 89

Pangandaran. Harga jual udang di TPI Rp. 40.000 per kg, sedangkan di restoran bisa mencapai Rp. 45.000,- – Rp.70.000,-

3. Tambak Japung

Japung (jaring terapung) atau yang disebut kramba merupakan rangkaian jaring yang berimpitan membentuk perahu yang terbuat dari bambu dan kayu. Japung ini ditambatkan di tepi sungai Cijulang. Dalam satu rangkaian bentuk perahu terdapat 4 japung, masing-masing berukuran 5 m x 7 m. Dalam 1 japung biasanya dipelihara 250 ekor ikan krapu. Harga benih krapu per ekor dengan ukuran panjang 8 – 15 cm adalah Rp. 3.000,- sehingga dalam satu rangkaian japung dipelihara sebanyak 1000 ekor dengan harga benih Rp. 3.000.000,- Pemberian pakan dengan ikan curah sebanyak 1.5 kg per japung yang diberikan pagi dan sore hari. Pemberian ransum meningkat sesuai dengan perkembangan ikan, setelah ikan berumur 3 bulan besaran ransum meningkat dari 1.5 kg menjadi 3 kg/japung dan seterusnya sampai umur panen 6 bulan.

Panen dilakukan setelah krapu berumur 6 bulan, dimana ikan telah

mencapai panjang + 30 cm, tatau berat 0.5 kg. Harga jual krapu berbeda dengan jenis ikan lainnya. Krapu dengan berat 0.5 - 1.5 kg atau sama dengan 30 cm bisa mencapai Rp.80.000/kg. Sedangkan krapu yang lebih berat dari 1.5 kg harganya hanya Rp. 35.000 – 40.000,-pembeli krapu ini biasanya pemilik restoran, baik yang ada di pantai wisata batukaras maupun di Pangandaran.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pola slvofishery yang terdapat di Batukaras dan Bojongsalawe, Kab. Ciamis

pada umumnya terbuka, tanpa dilakukan penanaman jenis pohon pantai, dan dibedakan dalam bentuk kolam, empang dan japung, dengan jenis peliharaannya adalah kepiting, udang dan ikan krapu.

2. Percontohan tambak kepiting yang dilakukan di Batukaras dengan ukuran 70 m2 dan kedalamam 1 m memberikan tingkat kematian yang cukup tinggi

Gambar 3. Bentuk japung untuk memelihara ikan krapu

Page 90: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 90 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

(44%) setelah berumur 3 bulan (waktu panen), namun memberikan penambahan berat rata-rata yang menguntungkan. Penambahan berat rata-rata setiap kepiting selama 3 bulan (waktu panen) adalah 0,3 kg.

3. Pengusahaan empang udang yang dilakukan di pantai Batukaras Ciamis lebih banyak dan menguntungkan dibandingkan dengan tambak kepiting dan krapu.

4. Perlu dilakukan model sylvofishery dibawah tegakan mangrove dengan jenis peliharaan udang dan kepiting karena usaha ini merupakan mata pencahrian yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

5. Dalam penataan lingkungan pantai, khususnya rehabilitasi pantai pasca tsunami perlu memperhatikan kepentingan aktivitas nelayan. Perpaduan antara kepentingan konservasi dan sektor ekonomi merupakan hal yang penting dalam menunjang pembangunan kawasan hutan yang lestari.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S., 1993. Interaksi Masyarakat dengan Hutan Mangrove. Makalah pada Simposium Nasional RKM. INSTIPER. Yogyakarta.

Anwar, Ch dan E. Subiandono, 1997. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Pedoman Teknis No : 1/1997. Balai Teknologi Pengelolaan DAS Surakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Koperasi Unit Desa Minarasa, 2009. Data Potensi Nelayan Batukaras. Laporan KUD Minarasa Batukaras- Kabupaten Ciamis (tidak dipublikasikan).

Rachman, E. Dila, S dan Rusdi. 2009. Penelitian Model Percontohan dan Pemanfaatan Hutan Mangrove di Jawa Barat. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Ciamis ( tidak dipublikasikan).

Salim, E., 1991. Pengelolaan Hutan Mangrove Berwawasan Lingkungan. Majalah Duata Rimba Vol. 135-136/XXII/1991. Jakarta.

Page 91: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 91

PROSPEK BUDIDAYA BANDENG (Chanos chanos Forsk) DENGAN POLA SILVOFISHERY SEBAGAI ALTERNATIF AGROFORESTRY PADA LAHAN MANGROVE

DI JAWA BARAT-BANTEN

Oleh: Dila Swestiani dan Encep Rahman

ABSTRAK

Tekanan terhadap kawasan mangrove di Jawa Barat dan Banten terus berlangsung sebagai akibat dari tingginya fungsi mangrove sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kerusakan mangrove di Jawa Barat dan Banten akibat alih fungsi lahan menjadi lahan pertambakan. Silvofishery diharapkan mampu mengurangi kerusakan kawasan mangrove di Jawa Barat dan Banten. Ada dua pola umum yang digunakan dalam silvofishery yaitu empang parit dan komplangan. Keduanya memiliki keunggulan masing-masing sehingga penerapannya di lapangan harus disesuaikan dengan kondisi lokasi masing-masing. Budidaya bandeng dengan pola silvofishery layak diusahakan dengan syarat peningkatan biaya operasional tidak mengalami kenaikan sampai dengan 8% dengan asumsi penerimaan tetap.

Kata kunci: mangrove, silvofishery, empang parit, komplangan, bandeng

I. LATAR BELAKANG

Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologi, ekonomi dan sosial yang penting dalam pembangunan wilayah pesisir. Ketiga fungsi tersebut justru menyebabkan tekanan yang besar pada lahan mangrove sebagai alat pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tekanan terhadap mangrove terus berlangsung, apabila tidak segera ditemukan pola pengelolaan yang tepat kerusakan bahkan alih fungsi lahan mangrove dapat terus meningkat.

Pemanfaatan hutan mangrove dengan pendekatan silvofishery yang melibatkan peran aktif masyarakat merupakan alternatif yang diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Silvofishery adalah bentuk agroforestry yang menggabungkan kegiatan kehutanan di daerah pantai atau payau dengan kegiatan perikanan dalam suatu area pengelolaan yang sama (Satjapradja, 1985 dalam Indriyanto, 2008).

Pemilihan ikan bandeng (Chanos chanos) sebagai komoditas silvofishery dikarenakan ikan bandeng merupakan primadona bagi para petani tambak dan menjadi ikan konsumsi favorit dikarenakan memiliki rasa daging yang gurih dan lembut. Ikan bandeng memiliki sifat eurhalin yang mampu hidup pada rentang salinitas yang jauh berbeda, yaitu antara 0 ppt sampai dengan 50 ppt bila kenaikan terjadi secara bertahap. Sebagai contoh, pada tambak silvofishery di Desa Purworejo, Kec. Bonang, Kab. Demak, ikan bandeng mampu hidup hingga

Page 92: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 92 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

salinitas 70 ppt. Ikan ini banyak ditemukan di daerah pantai namun juga mampu hidup mulai dari air tawar sampai air laut (Syahid, dkk. 2006). Secara geografis ikan ini hidup di daerah tropis maupun subtropis pada batas 10°-20°LU sampai 30°-40°LS, sehingga dapat dibudidayakan di lahan mangrove Jawa Barat.

Sumber: diolah dari en.wikipedia.org

Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk)

II. METODE Tulisan ini merupakan hasil kajian pustaka untuk menggambarkan

prospek budidaya bandeng (Chanos chanos) dengan pola silvofishery pada lahan mangrove di Jawa Barat dan Banten. Metodologi yang digunakan adalah studi pustaka.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Mangrove di Jawa Barat

Menurut Aksornkoae (1993), saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya mangrove yang disebabkan adanya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan peruntukan, hal yang sama juga terjadi di wilayah Jawa Barat.

Hutan mangrove Jawa Barat dieksploitasi untuk kayu bakar, dibuka menjadi tambak-tambak budidaya ikan dan udang, untuk produksi garam, atau ditimbun menjadi bahan bangunan. Kegiatan tersebut akan berdampak negatif pada ekosistem pesisir dan lautan. Tekanan lingkungan telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem pesisir dan lautan di beberapa kawasan dalam menopang kehidupan manusia seperti penciutan dan degradasi hutan mangrove.

Berdasarkan Peta Tingkat Kerusakan Kawasan Mangrove (Dirjen RRL, 1997 dalam Onrizal, 2002), luas total kawasan yang berpotensi mangrove di Jawa Barat dan Banten kurang lebih sekitar 128.297,26 ha, di mana sebagian besar (73,92% atau 94.843,55 ha) terletak di luar kawasan hutan dan sisanya (26,08 % atau 33,453,71 ha) terletak di dalam kawasan hutan. Kawasan berpotensi mangrove tersebut tersebar di 8 (delapan) kabupaten/kota, yaitu Karawang (31.855,83 ha), Cirebon (20.902,15 ha), Indramayu (17,782,06 ha), Subang (15.426,96 ha), Serang (13.679,94 ha), Bekasi (13.191,81 ha), Tangerang (9.704,56 ha) dan Pandeglang (5.753,95 ha).

Page 93: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 93

Kerusakan kawasan mangrove di Jawa Barat dan Banten sebagian besar disebabkan oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman, abrasi dan pengambilan kayu bakar secara intensif. Tingkat kerusakan dan salinitas di beberapa kawasan mangrove Jawa Barat-Banten dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat kerusakan kawasan mangrove dan salinitas di beberapa wilayah pesisir Jawa Barat-Banten.

No. Wilayah Pesisir Abrasi (m/th)*

Salinitas ‰

Tingkat Kerusakan

Penyebab Kerusakan

1. Pandeglang Barat

1,5 10 Rusak Sedang

Pemanfaatan kayu mangrove secara intensif untuk kayu bakar dan bahan bangunan

2. Pandeglang Timur -Ciamis

0,5 10 - 12 Tidak Rusak Alih fungsi menjadi sawah dan tegalan

3. Serang Barat -Indramayu Barat-Cirebon

4,0 30 Rusak Berat Alih fungsi menjadi tambak

4. Pandeglang Selatan

1,2 9 Rusak Berat Alih fungsi menjadi perkebunan kelapa dan tambak

5. Serang Timur 0,5 10 Rusak Sedang

Alih fungsi menjadi tambak dan sawah

6. Indramayu Timur

3,2 1 Rusak Berat Abrasi pantai

Sumber: diolah dari Onrizal, 2002. * = dihitung pada tahun 1997

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kerusakan kawasan mangrove di Jawa Barat lebih banyak disebabkan oleh faktor penggunaan lahan oleh masyarakat berupa kegiatan alih fungsi menjadi lahan pertanian, pertambakan, perkebunan dan pengambilan kayu bakar secara intensif. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan mangrove dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi sosial-ekonomi penduduk di beberapa wilayah pesisir Jawa Barat-Banten.

No.

Wilayah Pesisir

Luas Wilayah (Km²)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan Penduduk (jiwa/ Km²)

Angkatan kerja

Mata Pencaharian Pertanian dan Perikanan

(jiwa) (%) (jiwa) (%)

1. Karawang 1.737,30

2.127.791

1.193,44 1.522.217

71,54

236.961

11,13

2. Subang 2.051,7 1.465.15 685,75 1.072.15 73,1 262.25 17,8

Page 94: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 94 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No.

Wilayah Pesisir

Luas Wilayah (Km²)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan Penduduk (jiwa/ Km²)

Angkatan kerja

Mata Pencaharian Pertanian dan Perikanan

(jiwa) (%) (jiwa) (%)

6 7 8 8 5 9

3. Ciamis 2.740,76

1.532.504

558,74 1.125.967

73,47

302.273

19,72

4. Cirebon 988,28 2.067.19

6 2.188,29 1.679.03

0 81,22

181.011

8,75

5. Indramayu 2000,99 1.663.73

7 897,24 1.205.29

1 72,45

409.595

24,62

6. Pandeglang

2.746,90

1.149.610

411,56 761.607

66,24

218.239

18,98

7. Serang 1.467,39

1.980.603

1.070,73 1.348.754

68,09

177.563

8,96

Sumber: diolah dari BPS, 2010 dan Bappeda Jawa Barat, 2010.

Berdasarkan Tabel 2 di atas yang perlu diperhatikan adalah kepadatan penduduk, angkatan kerja, tingkat pendidikan dan mata pencaharian. Kepadatan penduduk yang relatif padat pada setiap kabupaten akan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan, sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam dan lahan kosong di masa yang akan datang akan semakin berat. Angkatan kerja adalah penduduk berusia antara 15 – 65 tahun, yang bekerja atau punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan mereka yang tidak bekerja tetapi mencari pekerjaan (Rahardja, dkk; 2002), angkatan kerja dengan persentase yang tinggi menunjukkan kebutuhan akan lapangan kerja yang tinggi pula dan dimungkinkan di masa mendatang akan dibutuhkan lapangan kerja yang lebih luas lagi. Tingginya persentase penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani, pengusaha tambak dan sektor perikanan berpengaruh pada tingginya penggunaan lahan untuk sektor-sektor tersebut.

Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pengelola dan perencana daerah untuk mengakomodasi hal tersebut dengan menyediakan pola pengelolaan lahan mangrove yang optimal.

Page 95: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 95

Sumber: diolah dari Google Maps, 2011 Keterangan: = kawasan mangrove Gambar 2. Peta Beberapa Kawasan Mangrove Jawa Barat dan Banten.

B. Mangrove, Silvofishery dan Produktivitas Perikanan

Hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Dit. Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat. Sedangkan, pembuatan 1 ha tambak ikan di hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Selain itu, pengurangan tutupan hutan mangrove di sepanjang pantai akan menurunkan produktivitas perikanan tangkapan (Turner, 1977 dalam Anwar, dkk. 2007).

Berdasarkan hasil telaah dan olah data, pada 7 Kabupaten di Jawa Barat dan Banten yang memiliki kawasan mangrove kerusakan terutama disebabkan oleh alih fungsi menjadi tambak yang mengabaikan kelestarian ekosistem mangrove. Dalam hal ini, silvofishery dianggap mampu menyeimbangkan antara unsur rehabilitasi kawasan mangrove dan ekosistemnya dengan usaha pertambakan. Saat ini ada dua model silvofishery yang umum yaitu model empang parit dan model komplangan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut.

Sumber: Anonim, 2011 Keterangan: a1 dan a2 = pintu air, b = tanggul, c = pohon mangrove, d = tempat budidaya ikan

Gambar 3. Pola Silvofishery Empang Parit (kiri) dan Komplangan (kanan) Dalam aplikasinya di lapangan banyak terdapat model silvofishery yang

dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Pada dasarnya

Page 96: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 96 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

memiliki tujuan yang sama yaitu meraih keuntungan ekonomis dan ekologis. Kegiatan silvofishery di Jawa Barat berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove telah dimulai sejak tahun 1978 terutama di areal Perum Perhutani, sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20% areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk mangrove dengan pasang surut bebas (Perum Perhutani Jawa Barat, 1984 dalam Anwar, dkk. 2007). Telaah pustaka hasil penelitian perbandingan keunggulan antara pola empang parit dan komplangan serta produktivitasnya disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3. Perbandingan antara Empang Parit dan Komplangan

No. Empang Parit Komplangan

1. Pemeliharaan ikan kurang terintegrasi dengan cahaya karena lebar parit terbatas, kecuali jika perbandingan empang:parit = 1:1 (Rini, 2004)

Terintegrasi dengan cahaya matahari (Rini, 2004).

2. Biaya penyempurnaan empang parit dapat dilakukan secara bertahap, lebih ekonomis (Rini, 2004).

Dapat diterapkan budidaya semi intensif serta pengembangan hutan mangrove maupu ikan dan udang tidak saling menghambat (Rini, 2004).

3. Pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih berat daripada pola komplangan (Poedjirahajoe, 2000).

Biaya investasi cukup besar untuk merombak empang yang sudah jadi (Rini, 2004).

4. Kontribusi pemanfaatan hutan mangrove dengan pola empang parit bagi masyarakat Desa Blanakan Subang cukup besar. Hasil analisis finansial keuntungan yang diperoleh mencapai Rp. 2.400.000 per tahun pada tahun pertama (Rachman, 2005)

Analisis statistik menunjukkan bahwa ikan bandeng usia 5 bulan pada pola komplangan lebih cepat pertambahan berat badannya daripada pola empang parit dengan α=0,01. Berat rata-rata bandeng pada pola komplangan 311,06 g sedangkan pada pola empang parit 301,5 g (Sumedi, dkk. 1996).

5. Produksi ikan dari pola empang parit di Ciasem, Pamanukan, Subang, Jawa Barat pada tahun 1998 menghasilkan produktivitas per hektar sekitar 3,3 ton. Di Tegal Tangkil dengan luas 150 ha mampu menghasilkan sumberdaya ikan sebesar 489,5 ton/th (Bengen, 2006 dalam Purnamawati, 2007).

Pemeliharaan bandeng (Chanos chanos) dan udang liar dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995).

Page 97: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 97

Berdasarkan kedua tabel di atas, ditemukan perbedaan hasil dalam penerapan kedua pola ini. Namun demikian kedua sistem ini turut membantu meningkatkan pendapatan petani tambak.

C. Prospek Silvofishery Bandeng (Chanos chanos Forsk.)

Hampir semua kawasan pesisir bermangrove di Jawa Barat potensial untuk pengembangan tambak. Sampai saat ini pola silvofishery yang dikembangkan masih mendekati pola tradisional, jika dibandingkan dengan pola silvofishery intensif tanpa tanaman mangrove, produktivitas silvofishery masih relatif lebih rendah. Meskipun begitu, pola tambak intensif tanpa tanaman mangrove memerlukan biaya yang lebih besar dalam pembelian pakan ikan dan pemeliharaan tambak. Selama sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan permintaan pasar akan ikan bandeng mencapai 6,33% rata-rata per tahun sementara pertumbuhan produksi adalah 3,82% per tahun (Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil, 2011). Pada Tabel 4 berikut ini disajikan hasil analisis finansial budidaya empang parit.

Tabel 4. Analisis finansial budidaya bandeng empang parit di Desa Blanakan Subang

No. Uraian Biaya Tahun I (Rp) Tahun II (Rp)

A. BIaya Investasi

1. Bibit Bandeng, Rp. 1.500/ ekor 195.000 117.000

2. Obat hama/penyakit, 1 botol 25.000 40.000

3. Obat perangsang makan, 1 botol

60.000 60.000

4. Sewa mesin penyedot air, 1 kali 85.000 85.000

5. Pengadaan pintu air dari bambu 300.000 -

B. Tenaga Kerja

1. Pembuatan empang 60 HOK 1.500.000 -

2. Pengurasan lumpur 16 HOK 400.000 -

3. Penyedotan air 4 HOK 100.000 -

4. Pemanenan 7 HOK 175.000 175.000

JUMLAH 5.620.000 512.000

Sumber: Rachman, 2005.

Berdasarkan Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil, 2011; dengan masa proyek 4 tahun dan tingkat discount rate sebesar 20% usaha bandeng memberikan NPV sebesar Rp. 17.661.201, Net B/C ratio sebesar 1,68 dan IRR sebesar 53,02% serta PBP 5 bulan. Artinya budidaya bandeng secara finansial layak diusahakan sampai tingkat suku bunga 53,02% dengan tingkat pengembalian modal kurang dari 1 tahun. Analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya menunjukkan bahwa dengan peningkatan biaya operasional

Page 98: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 98 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

sebesar 8% dengan asumsi penerimaan tetap membuat usaha bandeng tidak lagi layak untuk diusahakan.

IV. KESIMPULAN 1. Silvofishery adalah suatu bentuk pemanfaatan lahan mangrove melalui

kegiatan budidaya ikan bersamaan dengan penanaman, pemeliharaan dan/ atau pelestarian hutan. Silvofishery diharapkan mampu mengurangi kerusakan kawasan mangrove di Jawa Barat dan Banten.

2. Ada dua pola umum yang digunakan dalam silvofishery yaitu empang parit dan komplangan. Keduanya memiliki keunggulan masing-masing sehingga penerapannya di lapangan harus disesuaikan dengan kondisi lokasi masing-masing.

3. Budidaya bandeng dengan pola silvofishery layak diusahakan dengan syarat peningkatan biaya operasional tidak mengalami kenaikan sampai dengan 8% dengan asumsi penerimaan tetap.

DAFTAR PUSTAKA Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. World

Conservation Union (IUCN), Gland (Switzerland). Wetlands Programme, 191pp.

Anwar, C. 2005. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis Masyarakat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat sebagai Solusi Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan, Cisarua, 12 Desember 2003: 21-26. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Anwar, C dan Gunawan, H.. 2007. Peran Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan, Padang, 20 September 2006: 23-34. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Jawa Barat. 2011. Jawa Barat dalam Angka 2010. http://bappeda.jabarprov.go.id/dokumen_informasi.php?t=22. Diakses pada 20 Desember 2011.

Badan Pusat Statistik. 2011. Sensus Penduduk 2010. http://sp2010.bps.go.id/. Diakses pada 20 Desember 2011.

Page 99: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 99

Dit. Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen Pesisir dan Pulau Kecil. DKP. Jakarta.

Google Maps. 2011. Peta Jawa Barat 2011. http://maps.google.co.id/maps?hl=id&tab=wl. Diakses pada 19 Desember 2011.

Indriyanto, Ir. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Perhutani. 1995. Pengelolaan Hutan Mangrove dengan Pendekatan Sosial Ekonomi pada Masyarakat Desa Pesisir Pulau Jawa. Prosiding Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 35-42. Kontribusi MAB Indonesia No. 72- LIPI, Jakarta.

Poedjirahajoe, E. 2000. Pengaruh Pola Silvofishery terhadap Pertambahan Berat Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Prathama Rahardja, Mandala Manurung. 2002. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikro ekonomi dan Makroekonomi). Lembaga Penerbit FE-UI. Jakarta.

Purnamawati dan Dewantoro, E. 2007. Pemilihan dan Pembangunan Tambak Udang dengan Berwawasan Lingkungan. Media Akuakultur Vol. 2 No. 2 Tahun 2007. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2207107112.pdf. Diakses pada 19 Desember 2011.

Onrizal. 2002. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. Perpustakaan Digital Universitas Sumatra Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1026/1/hutan-Onrizal.pdf . Diakses pada 17 Desember 2011.

Rachman, E. Rusdi. 2005. Laporan Hasil Penelitian: Model Pengelolaan Lahan Pesisir Berbasis Silvofishery. Tidak dipublikasikan.

Rini, Natsir , M. 2004. Pembangunan Tambak Berwawasan Lingkungan dalam Era Otonomi Daerah. Warta Konservasi Lahan Basah Vol. 12 No. 4 Oktober 2004. Wetland International. Bogor.

Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil – Bank Sentral Republik Indonesia. 2011. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil. Budidaya Bandeng.

http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=40701&idrb=44101 diakses pada 19 Desember 2011.

Sumedi, N. dan D. Mulyadhi. 1996. Kajian Silvofishery pada Hutan Mangrove di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Bulletin Penelitian Kehutanan No. 1 th. 1996. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Makassar.

Syahid, M., Subhan, A., dan Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik secara Polikultur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Page 100: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 100 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Page 101: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 101

STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGROFORESTRY DAN IMPLEMENTASINYA MELALUI DEMPLOT DAN ALIH TEKNOLOGI

Oleh :

M. Yamin Mile

ABSTRAK Dalam rangka mengimplementasikan hasil hasil penelitian agroforestry diperlukan strategi untuk memindahkan dan mengadopsi hasil-hasil penelitian tersebut dari plot-plot penelitian ke areal petani. Makalah ini mencoba menyampaikan suatu kerangka pemikiran mengenai arah dan strategi penelitian dan pengembangan agroforestry dan bagaimana mengimplementasikan hasil-hasil penelitian tersebut melalui demplot dan alih teknologi. Kegiatan penelitian dalam bentuk demonstration plot dan desa model dapat dilaksanakanan melalui tiga tahapan yakni pertama penelitian pola tanam pada areal inti, kedua melalui ujicoba penerapan hasil penelitian pada areal pengembangan I, dan tahap ketiga ujicoba penerapan hasil penelitian pada areal pengembangan II yang melibatkan penyuluh lapangan dan kelompok tani dalam proses alih teknologi yang diarahkan untuk penerapan hasil penelitian secara massal oleh petani. Kata kunci: agroforestry, demplot, alih teknologi, desa model, areal pengembangan

I. PENDAHULUAN

Dalam rangka reposisi Badan Litbang Kehutanan dan dibentuknya Balai Penelitian Teknologi Agroforestry sebagai balai khusus yang menangani agroforestry secara nasional, diperlukan suatu strategi untuk mengarahkan kegiatan penelitian agar lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Penelitian agroforestry sudah sejak lama dilakukan oleh berbagai pihak baik perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga penelitian dan instansi terkait lainnya baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Sesuai Nair (1984), hasil-hasil penelitian dan inovasi baru yang dapat meningkatkan produksi sudah sangat banyak dihasilkan. Namun kenyataan di lapangan menunjukan belum banyak dari hasil-hasil penelitian tersebut yang sampai dan dimanfaatkan oleh petani. Menurut Avery et al. (1991), petani pada umumnya sulit untuk mengadopsi langsung hasil penelitian yang diperoleh melalui plot-plot penelitian. Diperlukan strategi tertentu untuk memindahkan dan mengadopsi hasil-hasil penelitian tersebut dari plot-plot penelitian ke areal petani.

Berdasarkan permasalahan di atas, dalam makalah ini disampaikan suatu kerangka pemikiran mengenai arah dan strategy penelitian dan pengembangan agroforestry dan bagaimana mengimplementasikan hasil-hasil penelitian tersebut melalui demplot dan alih teknologi. Hal ini dimaksudkan untuk penyusunan master plan Balai Penelitian Teknogi Agroforestry agar hasil

Page 102: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 102 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

penelitian dapat lebih mudah sampai dan dimanfaatkan oleh petani sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna.

II. STRATEGI DAN METODE PENDEKATAN

Pelaksanaan kegiatan penelitian agroforestry dapat dilaksanakan dalam

bentuk demplot di areal kawasan hutan (Hutan Kemasyarakatan/PHBM/HTR) dan areal diluar kawasan hutan seperti hutan rakyat dan areal penggunaan lainya. Pada kedua areal tersebut, kegiatan penelitian agroforestry dapat dilaksanakan dalam bentuk demonstration plot (demplot) dan action research yang diarahkan pada terbentuknya suatu desa model (Mile, 2004). Kegiatan penelitian dalam bentuk demplot dan desa model dapat dilaksanakanan melalui tiga tahapan yang saling terkait. Ketiga tahapan tersebut adalah penelitian pola tanam pada areal inti, kedua melalui ujicoba penerapan hasil penelitian pada areal pengembangan I, dan tahap ketiga ujicoba penerapan hasil penelitian pada areal pengembangan II. A. Pembuatan Plot Inti

Plot inti dibangun pada tahun pertama dan merupakan tempat dilaksanakannya kegiatan penelitian agroforestry. Luas plot sebagai areal inti ini adalah 3 – 5 hektar. Penelitian dilakukan dalam bentuk uji coba teknologi yang telah dirakit sebelumnya. Perakitan teknologi ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian dan temuan sebelumnya dari berbagai studi pustaka (status riset). Disamping itu secara paralel di lokasi yang sama dilaksanakan pula berbagai modifikasi dan inovasi baru dalam bentuk komponen teknologi untuk meningkatkan produktivitas termasuk antara lain: teknik pemupukan, manipulasi lingkungan, pengendalian hama dan penyakit, erosi, tata air dan sebagainya. Pada areal inti ini petani yang dilibatkan merupakan petani penggarap yang berfungsi sebagai tenaga kerja yang menerima upah.

B. Areal Pengembangan I

Areal Pengembangan I dibangun pada tahun ke dua. Luas areal Pengembangan I adalah 5 – 10 ha. Plot ini merupakan tempat dilaksanakannya alih teknologi dan pengembangan hasil dari output yang diperoleh dari plot inti. Hasil sementara dari tahun pertama yang dianggap paling sesuai, diuji cobakan dan dikembangkan di areal pengembangan I pada tahun ke dua dengan ukuran plot yang lebih besar. Pada areal ini perlakuan sudah lebih seragam karena yang dikembangkan merupakan model kombinasi terbaik dengan beberapa variasi sebagai opsi bagi petani. Pada areal pengembangan I ini peneliti dapat bekerjasama dengan penyuluh sehingga kegiatan ini juga berfungsi sebagai alih teknologi dan pelatihan bagi penyuluh. Area pengembangan I dapat dilaksanakan pada areal milik petani sesuai kesepakatan yang dibuat bersama antara peneliti, kelompok tani dan perangkat

Page 103: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 103

desa. Sedapat mungkin arealnya diusahakan dalam satu hamparan. Petani yang dilibatkaan di areal pengembangan merupakan petani pemilik lahan yang mengerjakan sendiri tanahnya tanpa diberi upah namun cukup diberi bantuan berupa bibit tanaman pohon, tanaman semusim dan bantuan lainnya sesuai kesepakatan yang dibuat pada tahap awal kegiatan.

C. Areal Pengembangan II (>10- 50 ha)

Areal pengembangan II merupakan tempat dilaksanakan penerapan hasil penelitian di areal yang lebih luas lagi (secara masal ) setelah terbukti berhasil dengan baik di areal pengembangan I. Kegiatan ini sepenuhnya dilaksanakan oleh dinas terkait yang dikoordinasikan melalui penyuluh yang telah mendapatkan pelatihan sebelumnya. Peneliti pada fase ini berfungsi sebagai supervisor. Kegian disusun dalam bentuk pengujian dan implementasi hasil penelitian (outcome) yang diharapkan memberikan dampak pada perekonomian msyarakat dan perbaikan kondisi lingkungan. Maksimum luas areal pengembangan II adalah 50 ha atau radius 10 km dari lokasi inti. Kegiatan di areal inii merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kegiatan penelitian di areal inti untuk mendapatkan feedback. Hasil yang diperoleh pada areal pengembangan II merupakan suatu paket teknologi yang teruji secara teknis ekonomi, sosial maupun lingkungan dan siap diimplementasikan oleh pemerintah maupun stakeholder terkait secara massal. Untuk satu model demplot yang terdiri dari areal inti, areal pengembangan I dan areal pengembangan II dibatasi sampai seluas 50 ha. Dalam satu desa model terdiri dari beberapa model demplot yang sama ataupun berbeda sesuai dengan kondisi sitenya yang specific. Gambar 1 menunjukkan model demplot tersebut.

Gambar 1. Diagram demplot agroforestry dan pengembangannya dalam satu

desa model

Areal Pengembangan II (>10 – 50 ha)

Areal pengembangan I (5-10 ha)

Areal inti (ujicoba dan perakitan

teknologi) (3-5 ha)

Page 104: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 104 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

III. PELAKSANAAN KEGIATAN

A. Alur Pemikiran Pelaksanaan Kegiatan

Pelaksanaan kegiatan ini dimulai dengan mengumpulkan informasi mengenai status pengetahuan (state of the art) yang dijadikan informasi dasar penyusunan rencana kegiatan penelitian. Dari informasi dasar tersebut dapat disusun paket-paket teknologi hhasil penelitian yang diperlukan. Paket teknologi tersebut kemudian dirakit, dimodifikasi dan diberi tambahan inovasi yang diperlukan untuk kemudian diujicobakan pada areal inti (3-5 ha). Diharapkan dalam waktu 1-3 tahun dapat diperoleh informasi yang lengkap untuk pertumbuhan dan produksi tanaman semusim serta pertumbuhan awal pohon. Informasi ini dianggap cukup untuk dapat dikembangkan lebih lanjut di areal pengembangan I berupa areal dengan plot yang lebih luas (5- 10 ha) . Pada tahap ini dilakukan kegiatan implementasi langsung hasil penelitian yang diperoleh dari plot inti dengan melibatkan kelompok tani dan tenaga penyuluh lapangan. Dalam kegiatan ini diimplementasikan proses alih teknologi yang dilakukan baik terhadap petani maupun penyuluh lapangan. Keberhasilan proses alih teknologi ini dapat diamati selama 1 – 2 tahun.

Kegiatan selanjutya adalah pengembangan dan perluasan areal demplot menjadi 10 – 50 ha yang melibatkan lebih banyak petani. Keterlibatan pemerintah daerah (dinas dan instansi terkait, penyuluh, dan pemerintahan desa) sangat diperlukan. Kegiatan pada areal pengembangan II merupakan kegiatan pengembangan dari hasil penelitian sebelumnya. Pemda selaku stakeholder utama merupakan pemeran utama kegiatan implementasi di lapangan dimana peneliti hanya berfungsi sebagai supervisor. Apabila kegiatan ini berhasil dengan baik dapat dijadikan masukan bagi penentu kebijakan untuk penerapannya secara masal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan msyarakat. Dengan cara ini kegiatan penelitian yang dilakukan oleh BPT Agroforestry dapat berdaya guna dan berhasil guna. Gambar 2 memperlihatkan alur pemikiran dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.

Page 105: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 105

outcome impact output Pelaksana: (peneliti) (peneliti, (peneliti, petani, penyuluh) petani, penyuluh, dinas)

Gambar 2. Alur pemikiran pelaksanaan kegiatan

B. Penetapan Lokasi Penelitian (Desa Model)

Desa model ditetapkan melalui survai yang detail bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat (Kecamatan, Desa, Dinas Pertanian/Kehutanan dan penyuluh setempat). Survai yang dilaksanakan berupa biofisik serta sosial ekonomi masyarakat yang disajikan dalam bentuk peta. Berdasarkan hasil survai ditetapkan lokasi inti (3-5 ha), lokasi pengembangan (10- 30 ha) dan lokasi Dampak ( >30- 250 ha) berikut data petani peserta dan luas pemilikan lahannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka penetapan desa model adalah sebagai berikut:

1. Pra kondisi berupa sosialisasi kepada masyarakat oleh research management, peneliti dan perangkat pemerintah setempat (Kecamatan dan Desa) yang dilanjutkan dengan sosialisasi kepada instansi terkait, pengembangan jejaring kerja, dan pembuatan perjanjian kerjasama antara Balai Penelitian Teknologi Agroforestry dan para pihak terutama dengan petani di areal inti dan pengembangan.

2. Inventarisasi lahan yang memungkinkan untuk pelaksanaan kegiatan dan status kepemilikannya. Inventarisasi dilakukan melalui survai yang detail bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat.

3. Pengukuran plot dan survai tanah detail dan analisis tanah. 4. Penyiapan paket-paket iptek termasuk perlakuan yang akan diuji

cobakan, baik berupa modifikasi iptek maupun inovasi baru serta penyiapan bahan dan sarana-prasarana yang diperlukan.

5. Perjanjian kerjasama antara petani dan pihak Balai terutama dengan petani di areal inti, areal pengembangan I dan areal pengembangan II.

6. Pelaksanaan pembangunan demplot, dalam hal ini adalah lokasi inti (3-5 ha), Lokasi dampak ( (5 - 10 ha) dan lokasi pengembangan ( >10- 50 ha) berikut data petani peserta dan luas pemilikan lahannya,

Paket Iptek

Perakitan Modifikasi

Inovasi

Plot inti (3-5 ha)

AP I (5-10 ha)

AP II (>10-50 ha)

STATE OF

THE ART

Paket Iptek

Paket Iptek

Page 106: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 106 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

implementasi dalam bentuk action research, dan pengukuran serta pengamatan teknis dan sosek.

IV. PENGEMBANGAN MODEL-MODEL AGROFORESTRY

Kegiatan penelitian agroforestry yang perlu dilakukan saat ini oleh Balai

Penelitian Teknologi Agroforestry dapat terdiri dari: a. Penelitian dasar/komponen teknologi sebanyak 10-20% menyangkut

antara lain teknologi pemupukan, manipulasi lingkungan, hama dan penyakit, pola dan disain, tanah dan kesuburan , erosi dan tata air, panen dan pengaturan hasil.

b. Uji coba model/ rakitan teknologi sebanyak 50-60% menyangkut pengujian model kombinasi yang tepat dan perakitan model.

c. Pengembangan model, kesesuaian model dengan pengujian pada skala yang lebih luas termasuk studi lingkungan, penelitian sosial ekonomi dan pemasaran dengan porsi 20-30%.

d. Alih teknologi , pembuatan demplot, dan pelatihan dengan porsi 10%.

Sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh Mile (1999) dan Mile et al. (2004), dalam pelaksanaan di lapangan penelitian agroforestry dapat dilakukan melalui demplot yang telah diuraikan sebelumnya dan mencakup model-model agroforestry yang sudah dikenal masyarakat. Model-model tersebut antara lain wanatani (agroforestry for food), wana farma (agroforestry for medicine), wanaatsiri (Agroforestry for Esensial oil), Wana serat ( Agroforestry fiber), Wanamina (Silvofishery), Silvo pasture, Agrisilvopastur, Apiculture, dan sericulture.

Teknologi yang diterapkan antara lain: Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan, Penerapan teknik silvikultur intensif, Teknologi pola tanam agroforestry, Teknologi manipulasi lingkungan, Pengendalian hama dan penyakit tanaman, Analisa biaya (input output ratio dan sebagainya.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Dengan pendekatan sistem demplot seperti yang telah duraikan, hasil

hasil penelitian dapat segera dimplementasikan dan diterapkan secara langsung kepada petani.

2. Areal demplot yang telah dibangun dapat berfungsi sebagai tempat pelatihan bagi penyuluh, petani dan pihak lain yang memerlukan, disamping sebagai tempat pengujian dan pengembangan inovasi baru.

3. Demplot yang dibangun mewakili tipe tapak tertentu. Apabila dalam suatu desa terdiri dari lebih dari satu tipe tapak dapat dibangun dan dikembangkan lebih dari satu demplot.

4. Pada tahun ke-3 hasil penelitian secara bertahap dapat dialihkan pengembangannya pada areal petani di luar areal pengembangan (maksimal 250 ha atau radius 10 km). Untuk itu porsi kegiatan ini lebih

Page 107: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 107

besar berada pada penyuluh dan pemda setempat sementara peneliti terbatas pada pemberian supervisi.

5. Disarankan dibangun lebih dari satu demplot mewakili tipologi lahan dan tipologi kawasan baik di luar maupun d dalam kawasan hutan (HKM/ HTR dan Hutan Rakyat)

DAFTAR PUSTAKA

Avery, M.E., M.G.R. Cannel, dan C. Ong, 1991. Biophysical Research for Asean Agroforestry, FFRED, Winrock International, USA.

Mile, M.Y., E. Rahman, M. Siarudin, Rusdi, Narlan 2004. Laporan Hasil Penelitian Teknologi Social Forestry di Hutan Rakyat (tidak diterbitkan).

Mile, M.Y. 2004. Optimalisasi Pertumbuhan Tanaman Sengon dalam Pola Hutan Rakyat Campuran Dengan Perlakuan Pemupukan, Prosiding Expose terpadu Hasil Penelitian, Badan litbang Departemen Kehutanan, Jakarta.

Mile, M., 1999. Sistim Penanaman Tanpa Olah Tanah dan Aplikasinya Dalam Kegiatan HTI Pola tumpangsari, Prosiding, Expose Hasil-Hasil Penelitian Teknik Konservasi Tanah dan Peningkatan Partisipasi Msyarakat, Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang, Departemen Kehutanan.

Nair, P.K.R., 1984. Soil Productivity Aspects of Agroforestry, International Council for Research in Agroforestry, Naerobi,Kenya.

Page 108: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 108 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

PELUANG AGROFORESTRY DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN INDONESIA

Aditya Hani Email : [email protected]

ABSTRAK

Kebutuhan pangan yang terus meningkat menyebabkan perlunya upaya peningkatan produksi pangan baik melalui program intensifikasi maupun ekstensifikasi. Kegiatan ekstensifikasi lahan pertanian seringkali berakibat pada semakin terganggunya fungsi konservasi tanah dan air. Oleh karena itu salah satu cara yang lebih ramah lingkungan adalah melalui kegiatan agroforestrry. Agroforestry berbasis tanaman pangan dapat dipilih dari jenis-jenis sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Selain itu jenis yang akan dikembangkan yaitu jenis-jenis pangan tradisional yang saat ini sudah mulai jarang ditemui. Pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan dapat disesuaikan dengan kondisi umur tegakan. Pada tegakan muda (1-2 tahun awal tanam) dapat dilakukan dengan jenis padi ladang, jagung, kacang-kacangan. Pada tegakan produktip (diatas 2 tahun) dapat ditanam jenis-jenis yang tahan terhadap naungan yaitu jenis-jenis umbi-umbian. Serta pada hutan tua dapat ditanam kembali dengan jenis-jenis padi, jagung dan kacang yang merupakan komoditas pangan utama di Indonesia. Dengan pengaturan tersebut maka prinsip-prinsip agroforestry yaitu : adoptabilitas, keberlanjutan dan produktivitas akan tercapai. Penerapan teknik agroforestry untuk produksi tanaman pangan mempunyai dua keuntungan yaitu dapat meningkatkan nilai tambah petani serta dapat meningkatkan nilai konservasi tanah dan air dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Kata kunci : agroforestry, hutan, tanaman pangan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia memberi konsekuensi meningkatnya berbagai macam kebutuhan terutama adalah kebutuhan pangan. Dilain pihak lahan pertanian terutama di Pulau Jawa mengalami penyusutan, sebagai akibat alih fungsi lahan untuk pemukiman dan industri. Sebagai contoh di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta luas alih fungsi lahan pertanian mencapai luas 2.844 ha selama 8 tahun atau seluas 200 ha- 250 ha per tahun, dari luasan 58.367 ha pada tahun 2002 menjadi 55.523 ha pada tahun 2010. hilangnya luas lahan tersebut sama dengan kehilangan panenan sebesar 1.000 ton – 1.250 ton per tahun (Kedaulatan Rakyat, 2011). Sementara itu tingkat konsumsi pangan dan masyarakat Indonesia terus naik seiring dengan bertambahan jumlah penduduk. Kenaikan produksi pangan di Indonesia tidak sebanding dengan

Page 109: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 109

kebutuhannya sehingga sebagian besr harus di import seperti jagung, kedelai dan beras. Produksi komoditas pangan Indonesia disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Produksi tanaman pangan tahun 2004-2011

No Komoditas

Tahun (ton) Pertumbuhan Rata-rata

tahun 2005-2009 2008 2009 2010 ton %

1. Padi 60.325.925 64.398.890 66.469.394 2.062.084,40 3,59

a. Padi sawah 57.169.771 61.171.223 63.018.118 1.992.358,00 3,65

b. Padi ladang 3.156.154 3.227.667 3.451.278 69.726,40 2,37

2 Jagung 16.317.252 17.629.748 18.327.636 1.280.901,00 9,91

3. Kedelai 183,176 198,809 (67.481) 50.205,80 8,00

4. Kacang tanah 770,054 777.888 779.228 802.284 8,00

5. Kacang hijau 298.059 314.486 291.705 (11.921,40) (1,43)

6. Ubi kayu 21.756.991 22.039.145 23.918.118 814,80 0,37

7. Ubi jalar 1.886.852 2.057.913 2.051.046 31.222,20 1,67

Sumber : Anggoro, U.K., 2011

Pertumbuhan konsumsi bahan pangan di dalam negeri tidak sebanding dengan pertumbuhan produktivitas komoditas di dalam negeri. Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain : 1) alih fungsi lahan untuk kegiatan non pertanian, 2) kendala yang dihadapi selama proses produksi terutama adanya serangan hama dan penyakit serta adanya kekeringan 3) peningkatan produktivitas per satuan lahan dengan benih unggul belum sesuai yang diharapkan pada skala operasional. Kebutuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi dalam negeri mengakibatkan pemerintah harus mengimpor dari negara lain. jenis komoditas pangan harus di impor dari negara lain. Jenis-jenis tersebut antara lain : gandum, kacang kedelai, jagung dll. Impor bahan pangan tiap tahun semakin meningkat yang menyedot devisa negara.

Dari Tabel 1 terlihat bahwa pertumbuhan rata-rata tanaman pangan masih rendah hanya berkisar antara 0,37-9,915, pada umumnya masih dibawah 10%. Sehingga karena kebutuhan yang terus meningkat sehingga beberapa komoditas masih harus impor setiap tahunnya antara lain beras dan kedelai. Padahal kedua komoditas tersbut merupakan bahan makanan utama masyarakat Indonesia. Beras untuk makanan poko serta kedelai untuk pembuatan tahu dan tempe. Padahal kedua jenis tersebut dapat dikembangkan di lahan kering misalnya padi gogo dan kedelai yang cukup mendapatkan dari air hujan. Sehingga keduanya sangat potensial untuk dikembangkan di lahan-lahan hutan sebagai tanaman semusim pada pola agroforestry.

Semakin menyempitnya lahan pertanian serta tingginya permintaan bahan pangan menjadikan petani berupaya mencari alternatif lahan sebagai lokasi bercocok tanam. Salah satu yang menjadi tujuan alternatif pembukaan lahan pertanian adalah kawasan hutan. Hutan dibuka dan diolah menjadi kawasan pertanian secara ilegal. Kondisi ini memunculkan konflik antara petani dan petugas kehutanan. Konflik ini akan semakin besar dengan semakin

Page 110: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 110 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

bertambahnya penduduk serta meningkatnya kebutuhan akan lahan pertanian dan komoditas pangan. Pengelolaan lahan secara agroforestry selain dapat memenuhi kepentingan konservasi dan kebutuhan masyarakat ternyata memberikan hasil yang lebih baik dibandingakan dengan pola pertanian masyarakat pada umumnya (pertaniaan monokultur).

Penerapan pola tanam agroforestry yang tepat dapat meningkatkan nilai konservasi tanah tanpa banyak mengganggu produktivitas tanaman semusim. Baru-baru ini sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak dari rumput dan baris pertanaman agroforestry terhadap aliran permukaan, sedimen, dan kehilangan unsur hara, menemukan bahwa Baris pertanaman agroforestry dapat mengurangi aliran permukaan, sediment dan kehilangan total P dan total N setelah dua tahun penanaman rumput dan tanaman. Aliran permukaan yang dikurangi sebanyak 9%. Kehilangan tanah secara umum dengan baris tanaman lebih rendah dari 5,1 ton/ha/th bila dibandingkan dengan penggunaan teras. baris ganda dengan lebar 7,5 m dapat meningkatkan infiltrasi dua kali lipat. dengan banyak jenis dalam baris akan meningkatkan infiltrasi lima kali dibandingkan tanaman semusim dan rumput. Schawb et all (1993) Schmitt et al. (1999) Bharati et al (2002) dalam (Tshepiso et.al., 2005)Peningkatan pendapatan masyarakat melalui praktek agroforestry di daerah-daerah atas di Mindano, Filipina memberikan peningkatan keuntungan sekitar 42%-137% (Magcale-Macandog et al., 2010). Dengan berkurangnya erosi maka diharapkan kesuburan tanah tidak menurun secara drastis, sehingga input berupa pemupukan untuk tanaman semusim tidak setinggi dibandingkan dengan pola tanam monokultur.

Agroforestry memiliki fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. Selain itu agroforestry memiliki tiga prinsip utama yaitu : a) adaptabilitas yaitu dapat diterima oleh masyarakat, b) produktivitas yaitu upaya untuk memperoleh produksi yang optimal dari sebidang lahan dan c) sustainibilitas atau keberlanjutan yaitu kelestarian dari keberadaan jenis pohon dan tanaman semusim berlangsung menerus. Keterbatasan lahan milik petani serta adanya lahan hutan yang dapat dikelola bersama masyarkat mungkinkan masuknya sistem agroforestry. Faktor utama dari pelaksanaan agroforestry yaitu adanya kesepahaman dan saling mempercayai antara masayarakat penggarap dan pemilik lahan. Untuk mencapai kesepahaman dan saling percaya harus dimulai dengan komunikasi yang baik serta saling menempatkan diri dalam posisi yang setara. B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberi gambaran mengenai peluang kehutanan sebagai penyedia bahan makanan bagi masyarakat.

II. METODE

Penulisan makalah ini berdasarkan studi pustaka yang terkait langsung dengan potensi kehutanan untuk menyediakan bahan makanan.

Page 111: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 111

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bahan Makanan Penting

Indonesia memiliki sumberdaya pangan yang melimpah. Sebanyak 945 jenis tanaman dapat dijadikan sumber pangan yang berasal dari hutan. Sumber pangan tersebut dapat berupa sumber karbohidrat, protein dan vitamin. Namun tidak semua jenis tersebut dapat berkembang dengan baik. Beberapa jenis tanaman sumber pangan disajikan pada Tabel 2. Sedangkan jenis-jenis pangan berdasar propinsi dan pemanfaatannya disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Jenis-jenis pangan penting Indonesia

No. Sumber Nutirsi Jenis/varietas/nabati/hewani

1. Karbohidrat Padi-padian: padi dan jagung

Umbi-umbian: singkong, umbi jalar, garut, ganyong, talas, kimpul, gembili.

Buah : sukun, labu kuning, pisang.

2. Protein Kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah dll)

3. Vitamin dan mineral

Buah-buahan dan sayuran

Sumber : Gardjito & Djuwardi (2011) Tabel 3. Keanekaragaman pangan di Indonesia

No Propinsi Kabupaten Sumber Karbohidrat Lokal

Jenis Pemanfaatan

1. Sumatera Utara

Serdang Bedagai Singkong Tepung Singkong

2. Jambi Kerinci Singkong Beras Singkong

3. Sumatera Selatan

Oku Selatan Pisang Tepung

4. Lampung Lampung Timur dan Tulang Bawang

Singkong Tepung

5. Riau Pekanbaru Sagu Mie sagu

Pelalawan Jewawut (sokui) Biji, tepung

Indra Giri Hilir Sagu Sagu rendang (butiran)

6. Bangka Belitung

Bangka barat Singkong Beras aruk

7. Jawa Barat Cimahi, Bandung Singkong Beras Singkong

Ciamis Singkong Tepung, oyek

Ganyong Tepung, mie

Kuningan Ubi Jalar Chip, tepung, pasta

Page 112: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 112 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No Propinsi Kabupaten Sumber Karbohidrat Lokal

Jenis Pemanfaatan

8. Jawa Tengah Cilacap Sukun Tepung,pati

Boyolali Singkong Mie Basah

Banjarnegera Ganyong Tepung, Mie

Magelang, Temanggung

Jagung Beras Jagung

Purbalingga Ganyong Tepung, mie

Sragen Garut Pati

Kebumen Oyek

9. D.I. Yogyakarta

Bantul singkong Mie kering

Gunung kidul Ganyong Tepung

Singkong Tiwul, gathot

Pisang Tepung

Ubi jalar Tepung

10. Jawa Timur Pasuruan Ubi Tepung, mie

Trenggalek Singkong tepung

Garut Tepung

Kota malang Singkong Tiwul, gathot

11. NTT Lembata Buah bakau Tepung

Jagung Jagung titi

Rote Ndao Sorghum Biji

Flores timur, Alor Jagung Jagung titi

Ende Jagung Jagung bose

12. Kalimantan Barat

Pontianak Sagu Mie sagu

13. Kalimantan Tengah

Sukamara Singkong Beras kufu

Seruyan Sukun Tepung, mie

Sampit Sagu

14. Kalimantan Selatan

Tanah Laut Sukun, pisang, bengkuang, sirsak, labu kuning

Tepung

15. Kalimantan Timur

Nunukan Singkong Iluy

Kutai Kertanegara Pisang Tepung

16. Sulawesi Selatan

Bone Sukun Tepung, mie

17. Sulawesi Barat

Polewali Mandar Jewawut (tareang) Biji, tepung

18. Sulawesi Tenggara

Kendari Sagu Soun sagu

19. Maluku Utara

Halmahera Tengah

Buah bakau Butiran,tepung

Page 113: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 113

No Propinsi Kabupaten Sumber Karbohidrat Lokal

Jenis Pemanfaatan

20. Maluku Ambon Sagu Tepung hotong/hotoburu

21. Papua Keerom Buah bakau Butiran, Tepung

22. Papua Barat Manokwari Buah bakau Tepung

Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2011

Semakin bertambahnya penduduk tentu saja berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan bahan pangan. Namun kondisi ini berkebalikan dengan luas lahan pertanian sawah yang semakin menurun akibat adanya alih fungsi lahan. Lahan-lahan kering yang sebelumnya belum dimanfaatkan terutama dari kawasan hutan produksi mulai diminati untuk dikembangkan sebagai sumber pangan. Oleh karena itu beberapa daerah mulai mengembangkan jenis-jenis tanaman pangan selain padi. Jenis-jenis bahan makanan selain padi mempunyai kandungan gizi yang tidak kalah dengan jenis padi. Nilai gizi beberapa jenis tanaman pangan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai gizi per 100 gram beberapa tanaman pangan

No. Tanaman Karbohidrat (%)

Protein (%)

Kadar Air (%)

1. Gandum 61-74 10-14 13

2. Padi 80,4 6,4 135

3. Kimpul 17-26 1,3-3,7 84

4. Ubi jalar 31,8 1,1 75

5. Ubi kayu 35,3 1,2 62,5

6. Gadung 14,3 1 73,5

7. Gembili 27,33 1,3-1,9 75

8. Uwi 16,9 2 75

9. Garut 21,07 1 75

10. Jagung 72 9 24

11. Kacang tanah 21,8 15 4

12. Kedelai 32 35 20

13. Kacang hijau 64,2 24,4 10

14. Pisang 58,1 4,3 72

15. Sukun 28,2 1,3 69

16. Labu kuning 6,6 1,1 91,2

Sumber : Balai Besar Industri Agro,Balitbang Industri, Depperind RI dan Direktorat Gizi dalam Sumber : Gardjito & Djuwardi (2011) B. Hutan Sumber Pangan

Hutan produksi di Pulau Jawa dan Madura seluas 1,7 hektar berpotensi sebagai salah satu areal pengembangan tanaman pangan. Saat ini huta tersebut di kelola oleh Badan Usaha Milik Negara yaitu Perhutani. Pengelolaan hutan

Page 114: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 114 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

bersama masyarakat merupakan salah satu bentuk program pengelolaan hutan. program ini muncul sebagai upaya untuk mengurangi adanya konflik antara hutan dan masyarakat, meingkatkan keberhasilan tanaman kehutanan, ikut serta dalam pemenuhan lahan pertanian serta pemenuhan bahan pangan. Praktek pengelolaan hutan bersama masyarakan yaitu dalam bentuk agroforestry. Kontribusi hutan produksi di Jawa untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dimuali di beberapa tempat.

Namun pada umumnya pemanfaatan lahan hutan untuk tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai dilakukan pada 2 tahun pertama awal penanaman tanaman pokok (kayu-kayuan). Hal ini disebabkan karena jenis-jenis tanaman pangan tersebut tidak tahan terhadap naungan yang berasal dari tanaman kayu yang telah tumbuh besar. Peluang untuk memanfaatkan lahan hutan tidak hanya pada umur awal tanam tapi juga dapat dilakukan pada umur tegakan tua jenis pada jati. Karena pada umumnya jati umur tua mempunyai jarak tanam 10 m x 10 m. Selain itu sebelum penebangan dilakukan kegiatan peneresan selama 1-2 tahun sehingga pohon mulai mati sehingga naungan menjadi sangat sedikit. Sehingga jenis-jenis seperti padi ladang,jagung dan kacang dapat tumbuh dengan baik.

Pada tegakan masih produktif (diatas dua tahun) untuk tetap memberi peluang petani tetap bertani serta tetap ikut menjaga ketahanan pangan. Beberapa jenis tanaman pangan yang dapat dikembangkan di bawah tegakan (tahan terhadap naungan) antara lain jenis porang/suweg/iles-iles (Amorphallus oncophillus) serta jenis umbi-umbian. Porang merupakan jenis yang tahan terhadap naungan terutama jati (Tectoca grandis) dan sono (Dalbergia latifolia) hingga naungan 50%. sedangkan jenis umbi-umbian yang dapat ditanam dibawah tegakan antara lain: garut, ganyong, talas, kimpul dan ubi jalar. Potensi pengembangan jenis umbi-umbian apabila dapat dikembangkan di lahan hutan produksi di Jawa adalah sebagai berikut (Suhardi, 2011) : Tabel 5. Potensi Produksi Beberapa Jenis Tanaman Pangan

No. Jenis tanaman Potensi Hasil Per Musim (ton/ha)

1. Ubi kayu 35

2. Garut 20

3. Ganyong 20

4. Talas 8

5. Kimpul 30

6. Ubi jalar 20

Selain jenis umbi-umbian beberapa jenis tanaman kayu yang dapat

berfungsi sebagai sumber pangan karbohidrat serta dapat tumbuh dalam ekosistem hutan adalah : sukun, pohon aren dan pohon sagu. Ketiga jenis ini dapat ditanam dengan pola tanam campur dengan berbagai jenis tanaman kayu yang lainnya. Sehingga aspek konservasi dan keanekaragaman hayati menjadi lebih tinggi. Bahkan untuk jenis sagu merupakan jenis yang sudah dimanfaatkan

Page 115: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 115

oleh masyarakat di Kepulauan Maluku sebagai bahan makanan pokok. Pohon sagu diambil dari hutan-hutan alam untuk kemudian dimanfaatkan bagian tengah batangnya. Demikian juga dengan pohon aren yang banyak ditemukan di kawasan hutan alam maupun hutan rakyat. Pohon aren (Arenga pinnata) dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperoleh pati/tepung dalam batang untuk bahan pembuatan berbagai macam makanan. Potensi pohon aren di Indonesia juga cukup besar karena hampir semua propinsi ditemukan pohon aren seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas dan produksi tanaman aren di Indonesia

No Nama Propinsi Luas Tanaman (Ha) Produksi (Ton/Tahun)

1 Jawa barat 13.611,00 6.376,00

2 Banten 2.661,92 1.583,24

3 Bengkulu 3186,04 Tidak ada data

4 Kaltim 1.263,50 Tidak ada data

5 Sulawesi Utara 5.536,00 12.500,00

6 Kalimantan Tengah 305,00 Tidak ada data

7 Kalimantan Selatan 1.958,00 Tidak ada data

8 Sulawesi Tengah 283,00 Tidak ada data

9 Gorontalo 791,00 1.367,50

10 Sulawesi Tenggara 5.290,00 1.951,00

11 Jawa Tengah 2.780,00 Tidak ada data

12 Sulawesi Selatan 5.074,00 3.763,78

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi (2006, 2007, 2008) dan Dinas Perkebunan Propinsi Bengkulu (2002) dalam Achmad dkk (2009).

C. Peningkatan Nilai Tambah Produk Agroforestry

Masyarakat sebagian besar mengkonsumsi bahan-bahan makanan terutama umbi-umbian (ubi jalar, kimpul, garut dll) dengan cara dimasak langsung dengan cara direbus, dikukus atau digoreng. Apabila masyarakat akan menjual maka menjual dalam bentuk bahan mentah. Kondisi ini menyebabkan makanan pokok tersebut mempunyai nilai ekonomi yang rendah serta, kebutuhan konsumsi terbatas serta tidak tahan lama. Oleh karena itu untuk meningkatkan nilai tambah dari produk-produk agroforestry maka perlu adanya teknologi pemprosesan. Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah produk agroforestry yaitu dengan cara proses penepungan. Menurut Gardjito (2011), keuntungan proses industri tepung adalah sebagai berikut :

1. Tepung adalah produk olahan setengah jadi sebagai bahan olahan makanan selanjutnya,

2. Industri pangan dapat lebih efesien dengan hasil yang tinggi, 3. Dapat dihasilkan produk tepung secara masal, 4. Mudah dalam penanganan serta dapat ditingkatkan nilai gizinya dengan

proses fortifikasi,

Page 116: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 116 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

5. Tepung dapat disimpan dalam jangka lama, 6. Dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam turunan makanan, 7. Dapat dijadikan stok pangan nasional dalam bentuk mie atau beras

tepung.

IV. KESIMPULAN

Hutan tidak hanya sebagai penghasil kayu-kayuan, tetapi juga dapat menjadi sumber bahan makanan melalui pola agroforestry. Salah satu praktek agroforestry adalah pengaturan ruang dan waktu antara pohon tahunan (berkayu) dengan jenis-jenis tanaman musiman. Pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan dapat disesuaikan dengan kondisi umur tegakan. Pada tegakan muda (1-2 tahun awal tanam) dapat dilakukan dengan jenis padi ladang, jagung, kacang-kacangan. Pada tegakan produktip (diatas 2 tahun) dapat ditanam jenis-jenis yang tahan terhadap naungan yaitu jenis-jenis umbi-umbian. Serta pada hutan tua dapat ditanam kembali dengan jenis-jenis padi, jagung dan kacang yang merupakan komoditas pangan utama di Indonesia. Dengan pengaturan tersebut maka prinsip-prinsip agroforestry yaitu : adoptabilitas, keberlanjutan dan produktivitas akan tercapai. Penerapan teknik agroforestry untuk produksi tanaman pangan mempunyai dua keuntungan yaitu dapat meningkatkan nilai tambah petani serta dapat meningkatkan nilai konservasi tanah dan air dibandingkan dengan pola tanam monokultur.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. B., W. Handayani, E. Fauziah. D. Diniyati. A. Hani. E. Rahman, T. Puspitojati, Soleh. 2009. Aren (Arenga pinnata) Potensi, Manfat dan Strategi Pengembangan. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Ciamis.

Anggoro, U.K. 2011. Dukungan Produksi dan Ketersediaan Pangan Lokal Untuk Percepatan Penganekaragaman Pangan Lokal. Seminar Percepatan Pencapaian Diversifikasi Pangan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Badan ketahanan Pangan. 2011. Program Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Analisis Keberhasilan dan Identifikasi Masalah. Seminar Percepatan Pencapaian Diversifikasi Pangan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Gardjito, M. & A. Djuwardi. 2011. Pangan Nusantara: Manifest Boga Indonesia. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Harmayani, E. 2011. Pembangunan Ketahanan Pangan di Negara-Negara ASEAN. Seminar Percepatan Pencapaian Diversifikasi Pangan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kedaulatan Rakyat. 2011. Alih Fungsi Lahan Pertanian Propinsi DIY. Harian Umum. Terbit Kamis 20 Oktober 2011. Yogyakarta.

Page 117: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 117

Magcale-macandog, Damasa B; Raola, Fe m:Raola, Roberto F; Ani, P.A.; Vidal; Nio, B. 2010. Jurnal Agroforestry System. Volume 79. Edisi 3. Springer Science & Business Media. Netherland.

Suhardi. 2011. Mandiri Pangan Sejahterakan Masyarakat. KMAGBOOK. Jakarta.

Tshepiso S.; Anderson, S.H.; Udawatta, R.P;Gantzer,C.J. 2005. Influence of grass and agroforestry buffer strips on soil hydraulic propoerties for an ablaqualf. Journal soil science society of america. America Society of Agronomy. Vol. 69. Edisi 3. Madison. United States

Page 118: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 118 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

KEEFEKTIFAN BAE TERHADAP RAYAP PADA KAYU MAHONI (Swietenia macrophylla King) YANG BERASAL DARI LAHAN AGROFORESTRY

Oleh :

Endah Suhaendah

ABSTRAK Kebutuhan kayu sebagai bahan konstruksi semakin meningkat. kayu yang berasal dari hutan rakyat mempunyai potensi besar untuk memenuhi kebutuhan akan kayu tersebut. Mahoni merupakan salah satu jenis kayu hutan rakyat yang banyak ditanam, namun kayunya termasuk ke dalam kelas awet III (kurang awet), sehingga rentan diserang rayap. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan serangan rayap melalui pengawetan kayu. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan data dan informasi mengenai keefektifan BAE terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah pada kayu mahoni. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009. Sampel kayu berasal dari pohon pada lahan agroforestry di Desa Parigi, Kec. Parigi, Kab. Ciamis. Percobaan efikasi dengan larutan BAE 10% dilakukan dengan 3 perlakuan lama perendaman yaitu 3 hari, 5 hari dan 7 hari. Hasil menunjukkan bahwa larutan BAE 10% dengan lama rendaman 3 hari menyebabkan mortalitas rayap kayu kering dan rayap tanah 100% dan derajat proteksi 100.

Kata kunci: BAE, pencegahan, pengawetan, rayap kayu kering, rayap tanah

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan kayu sebagai bahan konstruksi semakin meningkat. Di sisi lain, pasokan kayu dari hutan alam semakin menurun, sehingga kayu yang berasal dari hutan rakyat mempunyai potensi besar untuk memenuhi kebutuhan akan kayu tersebut. Kayu dari hutan rakyat pada umumnya merupakan kayu dari jenis-jenis cepat tumbuh, salah satunya mahoni (Abdurachman dan Nurwati Hadjib, 2006).

Mahoni merupakan salah satu jenis kayu yang digunakan sebagai bahan konstruksi rumah karena dekoratif dan mudah dikerjakan (Joker, 2001). Berdasarkan klasifikasi kelas awet kayu, kayu mahoni termasuk ke dalam kelas awet III (kurang awet) sehingga rentan diserang rayap. Untuk meningkatkan keawetan dari kayu mahoni tersebut maka diperlukan upaya pengawetan kayu.

Sebagai bahan konstruksi rumah, kayu mahoni harus memenuhi syarat struktural (kekuatannya) juga memenuhi umur pakai yang lama sesuai yang diharapkan. Tindakan pengawetan terhadap komponen bangunan dari kayu akan meningkatkan kayu dari kelas awet yang rendah menjadi kelas awet yang tinggi (Batubara, 2006).

Page 119: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 119

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian tentang upaya pencegahan kerusakan kayu dari serangan rayap sangat penting dalam rangka peningkatan mutu dan masa pakai (service life) kayu mahoni. Salah satu langkah strategis yang dapat diterapkan adalah memperpanjang umur pakai atau mempertahankan umur komponen kayu melalui penerapan teknologi pengawetan kayu.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan data dan informasi mengenai keefektifan BAE terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah pada kayu mahoni.

II. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan kayu mahoni dilaksanakan di Desa Parigi, Kec. Parigi, Kab. Ciamis, Jawa Barat. Secara keseluruhan keadaan alam Desa Parigi mempunyai topografi dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 3,2 m dpl. Pengujian efikasi dilaksanakan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.

B. Alat dan Bahan

Bahan penelitian yang digunakan yaitu kayu mahoni, rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus), rayap tanah (Coptotermes curvignathus) dan bahan pengawet Boric Acid Equipalent (BAE). Alat yang digunakan yaitu tabung gelas dan jampot.

C. Pengawetan

Contoh uji yang akan diawetkan dipotong berdasarkan pengujian efikasi terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Untuk pengujian rayap kayu kering, contoh uji dibuat dengan ukuran 50 mm x 25 mm x 20 mm dan contoh uji untuk pengujian rayap tanah dibuat dengan ukuran 25 mm x 25 mm x 5 mm. Bahan pengawet BAE dibuat dari boraks dan asam borat dengan perbandingan 1,52 : 1. Campuran garam tersebut dilarutkan dalam air untuk membuat larutan 10% (b/v), selanjutnya dipakai untuk mengawetkan contoh uji pada suhu kamar dengan menggunakan proses rendaman dingin. Perlakuan dibedakan berdasarkan lama rendaman yaitu 3 hari, 5 hari dan 7 hari. Contoh uji untuk setiap perlakuan sebanyak 5 buah.

Page 120: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 120 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

D. Metode Pengujian 1. Pengujian terhadap rayap kayu kering

Uji efikasi terhadap rayap kayu kering merujuk pada cara yang dilakukan oleh Martawijaya (1994). Contoh uji sebanyak 5 buah untuk perlakuan dan kontrol. Pada salah satu sisi terlebar contoh uji dipasang tabung gelas berdiameter 1,8 cm dengan tinggi 3,5 cm. Ke dalam tabung gelas tersebut, dimasukkan 50 ekor rayap pekerja C. cynocephalus. Contoh uji kemudian disimpan di tempat gelap selama 12 minggu. Pada akhir pengujian dilakukan pengamatan terhadap mortalitas C. Cynocephalus dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

K = M x 100% 50

K = % mortalitas rayap, M = jumlah rayap yang mati Selain pengamatan mortalitas, juga dilakukan pengamatan terhadap

derajat proteksi yang ditentukan melalui pemberian nilai (scoring) dalam skala berikut: Nilai Keadaan serangan 100 utuh (tidak diserang) 90 Sedikit (nyata di permukaan) 70 Sedang (masuk belum meluas) 40 Hebat (masuk sudah meluas) 0 Hebat sekali (hancur)

Pengujian berhasil jika mortalitas rayap pada contoh uji kontrol tidak lebih dari 55% dengan nilai derajat proteksi 70 atau kurang. Efikasi terhadap rayap kayu kering ditetapkan berdasarkan lama rendaman tercepat yang menunjukkan mortalitas rayap 100% dengan derajat proteksi 100.

2. Pengujian terhadap rayap tanah

Uji efikasi terhadap rayap tanah merujuk pada cara yang dilakukan oleh Martawijaya (1994). Contoh uji sebanyak 5 buah untuk perlakuan dan kontrol. Masing-masing contoh uji dimasukkan ke dalam jampot dengan cara diletakkan berdiri pada dasar jampot dan disandarkan sehingga salah satu bidang terlebar menyentuh dinding jampot. Kemudian dimasukkan pasir lembab sebanyak 200 gram dengan kadar air 7% di bawah kapasitas menahan air. Selanjutnya pada setiap jampot dimasukkan rayap C. curvignathus sebanyak 200 ekor. Jampot disimpan di tempat gelap selama 4 minggu. Jika kadar air pasir turun 2%, pada jampot ditambahkan air secukupnya sampai kadar airnya kembali seperti semula. Pada akhir pengujian dilakukan pengamatan terhadap mortalitas rayap dan derajat proteksi seperti pada pengujian terhadap rayap kayu kering.

Page 121: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 121

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil 1. Efikasi terhadap Rayap Kayu Kering

Hasil pengamatan mortalitas rayap dan derajat proteksi pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pengujian terhadap rayap kayu kering pada kayu mahoni yang

telah diawetkan dengan larutan BAE 10%

Perlakuan Mortalitas % Derajat Proteksi

Kontrol 47,2 70

Rendaman 3 hari 100 100

Rendaman 5 hari 100 100

Rendaman 7 hari 100 100

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pengujian berhasil karena mortalitas

rayap pada contoh uji kontrol tidak lebih dari 55% dengan nilai derajat proteksi 70 atau kurang. Dari tabel tersebut tampak bahwa semua perlakuan menunjukkan mortalitas 100% dan derajat proteksi 100%. Hal ini menunjukkan bahwa larutan BAE 10% pada semua lama rendaman efektif mencegah serangan rayap kayu kering.

2. Efikasi terhadap Rayap Tanah

Hasil pengamatan mortalitas rayap tanah dan derajat proteksi pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengujian terhadap rayap tanah pada kayu mahoni yang telah

diawetkan dengan larutan BAE 10%

Perlakuan Mortalitas % Derajat Proteksi

Kontrol 6,5 40

Rendaman 3 hari 100 100

Rendaman 5 hari 100 100

Rendaman 7 hari 100 100

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pengujian efikasi berhasil karena

mortalitas rayap tanah pada kontrol tidak lebih dari 55% dengan derajat proteksi 70 atau kurang. Semua perlakuan lama rendaman menunjukkan mortalitas 100% dan derajat proteksi 100. Dari hasil pengujian tersebut, menunjukkan bahwa larutan BAE 10% pada semua lama rendaman efektif mencegah serangan rayap tanah.

Page 122: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 122 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

B. Pembahasan

Kayu mahoni merupakan kayu dengan kelas awet III atau kurang awet. Kayu kurang awet rentan terhadap serangan organisme perusak kayu, diantaranya rayap kayu kering dan rayap tanah. Untuk itu, kayu perlu diawetkan terlebih dahulu. BAE merupakan bahan pengawet yang terbukti efektif mencegah serangan rayap kayu kering dan rayap tanah. Pada konsentrasi 10% dan lama rendaman 3 hari, 5 hari dan 7 hari, mortalitas kedua jenis rayap tersebut mencapai 100 % dengan derajat proteksi 100.

Bahan pengawet boraks dan asam borat memiliki beberapa keuntungan yaitu harganya relatif murah dan mudah diperoleh karena dijual bebas, beracun terhadap serangga perusak kayu tetapi tidak berbahaya bagi manusia maupun ternak, tidak korosif terhadap logam, tidak berbau dan tidak merubah warna kayu, kayu yang diawetkan dapat dicat, diplitur atau direkat. Berdasarkan beberapa keuntungan tersebut, pengawetan dengan menggunakan BAE sudah mengikuti kaidah efektif, efisien, aman dan murah (Martawijaya dan Supriana; Barly, 2009a).

Pengawetan kayu pada dasarnya merupakan tindakan pencegahan terhadap serangan organisme perusak kayu (OPK). Tujuan pengawetan adalah meningkatkan keawetan atau daya tahan kayu terhadap OPK. Dengan demikian, melalui pengawetan, mutu dan volume kayu dapat ditingkatkan. Jenis kayu kurang awet dapat dimanfaatkan dengan baik yang berarti dapat mencegah pemborosan, menambah ketersediaan kayu dan membuka peluang pasar. Selain itu, konsumen pemakai kayu akan memperoleh kepuasan dan jaminan berupa kayu awet (Barly, 2009b).

IV. KESIMPULAN

Uji efikasi larutan BAE 100% dengan lama rendaman 3 hari efektif mencegah serangan rayap kayu kering dan serangan rayap tanah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mortalitas rayap kayu kering dan rayap tanah 100% dengan derajat proteksi 100.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan N. Hadjib. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat untuk Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006: 130-148.

Barly. 2009a. Petunjuk Teknis Pengawetan Kayu dengan Cara Sederhana Menggunakan Boraks dan Asam Borat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Barly. 2009b. Standardisasi Pengawetan Kayu dan Bambu serta Produknya. Prosiding PPI Standardisasi. Jakarta, 19 November 2009.

Page 123: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 123

Batubara R. 2006. Teknologi Pengawetan Kayu Perumahan dan Gedung dalam Upaya Pelestarian Hutan. Departemen Kehutana, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Dephut. _. Sifat Dan Kegunaan 120 Jenis Kayu Perdagangan Indonesia. www. dephut.go.id. Diakses pada tanggal 12 November 2011.

Joker D. 2001. Informasi Singkat Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Martawijaya A dan N. Supriana. _.Penembusan Persenyawaan Bor pada Sepuluh Jenis Kayu Indonesia yang Diawetkan dengan Proses Diffusi. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Page 124: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 124 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

AGROFORESTRY SEBAGAI ALTERNATIF PEMANFAATAN LAHAN UNTUK PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(Studi Kasus di Sub Sub DAS Kollong Lau, Sub DAS Mamasa, Sulawesi Barat)

Wuri Handayani

ABSTRAK Degradasi lahan dan hutan terus saja terjadi dengan laju degradasi/ kerusakan yang lebih cepat daripada upaya perbaikan dan pemulihannya. Degradasi lahan dan hutan juga terjadi di Sub DAS Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, yang memiliki peran penting, karena pada bagian hilirnya terdapat waduk/ Dam Bakaru yang berfungsi sebagai pembangkit listrik tenaga air untuk memenuhi kebutuhan listrik di Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Barat. Kini sudah terjadi sedimentasi pada Dam Bakaru yang mulai mengganggu kemampuan operasional Dam dengan adanya beberapa kali pemadaman listrik terutama pada musim kemarau. Sub Sub DAS Kollong Lau merupakan bagian hulu dari Sub DAS Mamasa yang berpotensi menyumbang sedimentasi ke dalam Dam Bakaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji permasalahan biofisik dan masyarakat Sub Sub DAS tersebut dan mencari solusinya melalui alternatif pemanfaatan lahan yang dapat memperbaiki kondisi/ mempertahankan fungsi Sub Sub DAS. Hasil penelitian menunjukkan Sub Sub DAS Kollong Lau telah mencapai tingkat bahaya erosi berat (426ton/ha/th), disebabkan adanya keterbukaan lahan berupa semak yang cukup luas (38%). Erosi tersebut dipicu dengan curah hujan yang tinggi (5.284 mm/th) dan kemiringan lereng curam (13%) hingga sangat curam (87%). Cara bercocok tanam sistem perladangan berpindah, menjadi penyebab utama munculnya penutupan lahan semak. Sementara tingkat ketergantungan masyarakat Dusun Kollong Lau terhadap lahan sangat tinggi dan masih sebagai petani subsisten. Didukung dengan solum tanah yang masih dalam, pola agroforestry merupakan alternatif pemanfaatan lahan yang dapat ditawarkan untuk memperbaiki fungsi lindung dan meningkatkan manfaat lahan yang sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Penerapan agroforestry tersebut perlu disertai tindakan konservasi berat seperti pembuatan teras bangku ditunjang metode vegetatif, pemupukan dan pemilihan jenis tanaman yang bernilai konservasi (MPTs).

Kata kunci : degradasi lahan dan hutan, pengelolaan DAS, agroforestry

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Degradasi lahan dan hutan terus saja terjadi dengan laju degradasi/ kerusakan yang lebih cepat daripada upaya perbaikan dan pemulihannya. Selain secara alami proses pemulihan kerusakan lingkungan memakan waktu yang lama, upaya perbaikan dan pemulihan lingkungan kerap kali tidak tepat sasaran. Di dalam DAS, upaya-upaya tersebut menjadi lebih kompleks, karena berbagai

Page 125: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 125

faktor penyebab kerusakan saling mempengaruhi sehingga berdampak secara simultan terhadap kondisi DAS. Degradasi DAS terlihat sebagai kerusakan secara fisik, sehingga kerapkali lebih dihubungkan pada sebab fisik pula, padahal terdapat penyebab yang tak kalah pentingnya yaitu faktor manusia yang bermukim di dalam DAS.

Menurut Mangundikoro (1985), pengelolaan DAS menekankan pada 3 aspek yang terkait dengan data atau informasi, yaitu aspek biofisik, aspek sosio-antropogenik dan aspek kelembagaan. Rambo (1981) dalam Gunawan dan Harsono (2000) memasukkan aspek sosio-antropogenik ke dalam ekologi manusia atau ekologi kebudayaan yang mengarah pada tekno-ekonomi. Lahan atau tanah di dalam pengelolaan DAS dengan demikian merupakan salah satu aspek yang mendapat penekanan dan seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek manusia. Sebagai contoh, penyempitan hutan dan kerusakan yang ditimbulkan adalah salah satu akibat dari ketergantungan manusia terhadap hutan atau lahan.

Tujuan pengelolaan DAS yang berkelanjutan dapat dibagi menjadi 3, yaitu meningkatkan stabilitas lahan dan tata air, meningkatkan pendapatan masyarakat dan meningkatkan perilaku masyarakat ke arah kegiatan pelestarian lingkungan (Asdak, 2002). Agroforestry adalah salah satu bentuk pemanfaatan lahan yang diharapkan dapat mengoptimalkan hasil secara berkesinambungan sehingga dapat memperbaiki dan menjamin kebutuhan hidup masyarakat (Sarjono, 1995). Berkesinambungan berarti bahwa dalam usaha budidaya tidak merusak sumberdaya alam yang dimanfaatkan. Mengingat kerusakan DAS terutama disebabkan oleh wilayah hulu yang dominan merupakan daerah urban, maka agroforestry merupakan salah satu alternatif yang baik untuk mencapai sasaran pengelolaan DAS. Terlebih dalam perkembangan sejarah, kebangkitan agroforestry modern memang dilatarbelakangi oleh pentingnya peranan kehutanan untuk mengatasi permasalahan petani dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan dan penciutan kawasan hutan.

Degradasi lahan dan hutan juga terjadi di Sub DAS Mamasa, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, yang memiliki peran penting, karena pada bagian hilirnya (di Kabupaten Pinrang) terdapat waduk/ Dam Bakaru yang berfungsi sebagai pembangkit listrik tenaga air untuk memenuhi kebutuhan listrik di Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Barat. Kini sudah terjadi sedimentasi pada Dam Bakaru yang mulai mengganggu kemampuan operasional Dam dengan adanya beberapa kali pemadaman listrik terutama pada musim kemarau. Dengan mengkaji kondisi bagian hulu dari Sub DAS Mamasa, diharapkan dapat diperoleh alternatif solusi untuk perbaikan Sub DAS Mamasa pada umumya dan fungsi Dam Bakaru pada khususnya.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan mengkaji permasalahan/ kondisi biofisik dan masyarakat Sub Sub DAS bagian Sub DAS Mamasa dan mencari solusinya melalui

Page 126: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 126 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

alternatif pemanfaatan lahan untuk memperbaiki kondisi/ mempertahankan fungsi Sub Sub DAS.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian mengambil unit yang lebih kecil di bagian hulu dari Sub DAS Mamasa, yaitu Sub Sub DAS Kollong Lau, yang mempunyai luas sekitar 1.148 ha. Secara administrasi lokasi penelitian terletak di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat dan secara geografis terletak pada koordinat 309’- 3012’LS - 119022’- 119026’ BT.

B. Metode

Bahan yang diperlukan yaitu peta kerja (peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, peta sistem sungai), sampel tanah, sampel air/sedimen. Peralatan yang diperlukan yaitu GPS, abney level, peralatan pengambilan sampel tanah, meteran, botol sampel.

Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran terhadap aspek/ kondisi: lahan (tingkat bahaya erosi dan kemampuan lahan), hidrologi (curah hujan, morfometri DAS, debit air dan sedimen), dan karakteristik masyarakat (matapencaharian, budaya/ tradisi mengolah lahan)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran dapat diketahui beberapa karakteristik Sub Sub DAS Kollong Lau DAS yang meliputi kondisi lahan, hidrologi dan kondisi masyarakat. 1. Topografi

Lokasi penelitian memiliki topografi yang termasuk kriteria berat, sehingga aksesibilitas ke lokasi pun menjadi terbatas. Berdasarkan analisis peta diketahui ada 2 kelas kemiringan lereng, yaitu curam (25%-40%) yang mencakup luasan 150 ha (13% dari total luas) dan sangat curam (>40%) mencakup luas 998 ha (87% dari total luas). Kemiringan lereng demikian menyebabkan Sub Sub DAS Kollong Lau rentan terhadap erosi.

2. Hidrologi Curah hujan rerata wilayah Sub Sub DAS Kollong Lau diperoleh dari

stasiun penakar hujan di kecamatan Sumarorong. Berdasarkan rekaman data tahun 1993 sampai 2002 diketahui tebal rata-rata hujan tahunan sangat tinggi yakni sebesar 5.284 mm. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson diketahui lokasi penelitian termasuk tipe A (sangat basah).

Page 127: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 127

Bentuk Sub Sub DAS Kollong Lau memanjang dengan nilai Circularity Ratio (Rc) sebesar 0,48. Gradien sungai rata-rata Sub Sub DAS Kollong Lau sebesar 0,07 (kriteria kecil) dengan kerapatan sungai (drainage density/Dd) sebesar 2 km/km2 (kriteria sedang). Panjang sungai utama Sub Sub DAS Kollong Lau adalah 7,11 km dan panjang total anak-anak sungainya 15,94 km. Morfometri tersebut menunjukkan bahwa Sub Sub DAS secara alami memiliki karakteristik yang tidak berpotensi banjir.

Pengukuran debit sungai sesaat dilakukan pada beberapa titik anak sungai pada awal musim hujan (Desember) dan setelah terjadi hujan beberapa hari berturut-turut. Debit sungai sesaat kemudian dikonversi menjadi tebal aliran. Tebal aliran harian dari beberapa anak sungai memiliki besaran berkisar dari 2,6 – 13,5 mm/hari. Jika diasumsikan aliran harian tetap besarnya, maka tebal aliran pada bulan Desember berkisar 78 - 405 mm, merupakan kisaran angka yang sangat besar, karena hasil perhitungan rata-rata curah hujan bulan Desember selama 10 tahun mencapai 275,5 mm.

3. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan terbagi menjadi hutan, semak, kebun campuran

dan sawah. Hasil analisis peta menunjukkan hutan mencakup 45% dari total luas Sub Sub DAS, semak sebesar 38%, kebun campuran sebesar 16% dan sisanya berupa sawah sebesar 1%. Hutan masih mendominasi Sub Sub DAS karena keberadaannya yang terletak di bagian hulu dengan topografi yang sulit dijangkau. Perladangan berpindah dan perambahan hutan telah menimbulkan semak yang luas di lokasi penelitian.

4. Jenis Tanah dan Tingkat Bahaya Erosi Lokasi penelitian memiliki jenis tanah Podsolik (Klasifikasi Dudal-

Soepraptohardjo), atau Inceptisol (klasifikasi USDA). Inceptisol merupakan jenis tanah muda dan mulai mengalami perkembangan. Hasil prediksi besarnya erosi pada jenis tanah tersebut di Sub Sub DAS Kollong diketahui 426 ton/ha/th (kelas bahaya erosi IV) dan termasuk tingkat bahaya erosi kelas berat, meskipun solum tanahnya masih dalam (>90 cm).

5. Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan menggunakan metode

yang dikembangkan oleh USDA, yang terdiri dari 8 (delapan) kelas penggunaan lahan. Hasil analisis menunjukkan kemampuan lahan termasuk dalam kelas kemampuan lahan VI dan VII dengan faktor pembatas utama kemiringan lereng lahan (g). Menurut kemampuan penggunaannya, kemampuan lahan kelas VI dapat digunakan untuk hutan produksi, padang rumput, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam. Kelas kemampuan lahan VII dapat digunakan untuk hutan produksi terbatas yaitu hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas rendah.

6. Matapencaharian dan Tradisi Mengolah Lahan Pada Sub Sub DAS Kollong Lau hanya terdapat satu dusun yaitu

Dusun Kollong Lau yang termasuk ke dalam Desa Batanguru. Jumlah dusun yang terdapat di Desa Batanguru seluruhnya ada 4 yaitu Dusun Ratte, Salu

Page 128: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 128 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Bungin, Minanga dan Kollong Lau, dengan kegiatan dusun satu dengan dusun yang lain seringkali saling mempengaruhi.

Mata pencaharian penduduk Desa Batanguru sebagian besar adalah sebagai petani. Demikian juga dengan masyarakat Dusun Kollong Lau, yang memiliki ketergantungan terhadap lahan sangat tinggi (khususnya hutan), untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pertanian berupa sawah, hutan atau kebun. Semua penduduk Dusun Kollong Lau memiliki kebun, tetapi tidak semuanya memiliki sawah. Cara bercocok tanam umumya berupa perladangan berpindah, dan menggilir kembali lahannya jika telah terjadi pemulihan kesuburan. Cara bercocok tanam ini merupakan warisan nenek moyang secara turun temurun. Adapun kebiasaan pembukaan lahan dilakukan dengan cara membabat habis dan membakar sebelum ditanam. Jenis tanaman yang ditanam adalah jagung, singkong, padi dan kopi.

B. Pembahasan

Hasil perhitungan nilai morfometri Sub Sub DAS Kollong Lau menunjukkan secara alami Sub Sub DAS memiliki karakteristik yang tidak berpotensi terjadi banjir. Namun Sub Sub DAS Kollong Lau yang memiliki curah hujan tinggi (5.284 mm/th) dan topografi berat (kemiringan lereng curam hingga sangat curam), akan sangat fragile (rentan) terhadap pembukaan lahan. Padahal keberadaan Sub Sub DAS Kollong Lau yang terletak pada bagian hulu dari Sub DAS Mamasa, memiliki peran strategis sebagai kawasan lindung bagi daerah hilir, karena adanya waduk Bakaru yang memberikan manfaat publik.

Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi alih guna lahan, yang semula berupa penggunaan lahan hutan, lalu sebagian menjadi bentuk penggunaan lahan berupa sawah, kebun campuran, dan semak. Semakin lama laju alih guna lahan ini pun meningkat dan tidak dapat diimbangi dengan recovery lahan akibat kebiasaan masyarakat yang melakukan cara bercocok tanam dengan sistem perladangan berpindah. Kondisi ini diindikasikan dengan luasnya penggunaan/ tutupan lahan semak seluas 38% dari total luasan DAS. Sementara kemampuan petani mengolah lahannya hanya mencapai 16% berupa kebun campuran dan 1% berupa sawah.

Alih guna lahan telah menimbulkan pengaruh buruk terhadap kondisi lahan, dengan mulai terjadinya erosi dipercepat (accelerated erosion). Keterbukaan penutupan tanah seperti semak yang cukup luas di lokasi, ditambah dengan curah hujan dan kemiringan lereng tinggi, merupakan faktor erosi yang kuat dalam mempengaruhi jumlah erosi hingga Sub Sub DAS Kollong Lau berada pada tingkat bahaya erosi kelas berat (426ton/ha/th).

Page 129: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 129

Gambar 1. Erosi oleh air pada lereng terbuka dan jalan setapak (erosi permukaan, landslide, erosi percik dan erosi parit)

Berdasarkan hasil pengukuran debit sesaat pada beberapa anak sungai,

diketahui penutupan lahan di beberapa tempat di dalam Sub Sub DAS, tidak dapat mendukung penyimpanan air dengan baik sehingga air hujan cenderung langsung melimpas di atas tanah dan masuk ke dalam palung sungai, menghanyutkan segala material erosi yang ada. Oleh karena itu aliran air dari beberapa anak-anak sungai di dalam Sub Sub DAS Kollong Lau akan menjadi penghantar/ pengangkut material erosi yang secara cepat akan menyebabkan pendangkalan di daerah hilir khususnya pada Dam Bakaru. Kondisi demikian tentu saja tidak dapat dibiarkan dan perlu segera ditanggulangi.

Untuk menangani erosi yang terjadi di Sub Sub DAS Kollong Lau, perlu dilakukan secara hati-hati. Kondisi yang rentan terhadap permbukaan lahan di satu sisi, dan kondisi masyarakat Dusun Kollong Lau yang sangat tergantung pada lahan di sisi lain, memerlukan solusi yang jitu untuk menciptakan kondisi lahan yang tetap dapat mewadahi kepentingan mayarakat dengan tetap terpeliharanya kelestarian sumber daya alam.

Petani di Dusun Kollong Lau yang seluruhnya memiliki kebun, bertanam jagung, singkong dan padi untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya dan hanya produksi tanaman kopi yang dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Kondisi demikian tentu saja tidak menjanjikan perbaikan kesejahteraan petani, terlebih jika dituntut untuk mengutamakan penerapan rehabilitasi lahan atau penghijauan dan lain sebagainya tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mereka. Agroforestry adalah pilihan yang dimungkinkan menjadi solusi yang menjembatani kepentingan perbaikan kondisi DAS (menurunkan laju erosi) dan menjamin kebutuhan hidup masyarakat. Menurut Agung Sarjono (1995), agroforestry adalah salah satu bentuk pemanfaatan lahan yang diharapkan dapat mengoptimalkan hasil secara berkesinambungan sehingga dapat memperbaiki dan menjamin kebutuhan hidup masyarakat. Berkesinambungan berarti bahwa dalam usaha budidaya tidak merusak sumberdaya alam yang dimanfaatkan.

Hasil analisis kemampuan lahan pada Sub Sub DAS Kollong Lau diketahui termasuk ke dalam kelas kemampuan lahan VI dan VII, serta masih memiliki

Page 130: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 130 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

solum tanah yang dalam. Menurut kemampuan penggunaannya, kemampuan lahan kelas VI dapat digunakan untuk hutan produksi, padang rumput, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam. Kelas kemampuan lahan VII dapat digunakan untuk hutan produksi terbatas yaitu hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas rendah. Menurut Arsyad (1989), kelas kemampuan lahan VI dengan solum dalam dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat demikian juga dengan kelas kemampuan VII perlu usaha pencegahan erosi yang berat. Dengan demikian pola agroforestry masih dapat diterapkan pada Sub Sub DAS Kollong Lau dengan tindakan konservasi berat atau usaha pencegahan erosi yang berat, seperti pembuatan teras bangku yang ditunjang dengan metode vegetatif, pemupukan dan pemilihan jenis tanaman yang konservatif (MPTs)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Kondisi biofisik Sub Sub DAS Kollong Lau memerlukan penanganan segera

untuk mengatasi tingginya laju erosi (426 ton/ha/th) yang dapat menyebabkan sedimentasi di bagian hilir Sub DAS. Erosi tersebut disebabkan adanya penutupan lahan semak yang cukup luas, dipicu dengan faktor erosi berupa curah hujan yang tinggi (5.284 mm/th) dan kemiringan lereng curam (13% dari total luas) hingga sangat curam (87% dari total luas).

2. Cara bercocok tanam sistem perladangan berpindah dan pengolahan lahan dengan cara membabat habis dan membakar, menjadi penyebab munculnya penutupan lahan semak yang luas.

3. Tingkat ketergantungan masyarakat Dusun Kollong Lau terhadap lahan sangat tinggi dan kesejahteraannya terbatas hanya mengandalkan lahan secara subsisten.

4. Didukung dengan solum tanah yang dalam, pola agroforestry merupakan alternatif pemanfaatan lahan di Dusun Kollong Lau yang dapat ditawarkan untuk memperbaiki fungsi lindung dan meningkatkan manfaat lahan yang sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan petani.

5. Penerapan pola agroforestry yang ditawarkan perlu disertai dengan beberapa tindakan konservasi berat atau usaha pencegahan erosi yang berat, seperti pembuatan teras bangku yang ditunjang dengan metode vegetatif, pemupukan dan pemilihan jenis tanaman yang konservatif (MPTs).

B. Saran

Beberapa karakter Sub Sub DAS Kollong Lau yang rentan terhadap erosi seperti kemiringan lereng sangat curam dan curah hujan yang tinggi, memerlukan tindakan pemanfaatan lahan yang hati-hati. Oleh karena itu tindakan konservasi atau pencegahan erosi yang diperlukan, serta pemilihan jenis tanaman, benar-benar perlu ditetapkan dengan jeli, tentunya tanpa

Page 131: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 131

mengabaikan faktor adopsi dari masyarakat setempat, seperti minat/ kebutuhan, pasar, kelembagaan, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Arsyad, S. 1989. Konservasi tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Gunawan, T. dan Hartono. 2000. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Watershed Management). Paper “Pertemuan Teknis dalam Rangka Standardisasi Basis Data Tematik Sumberdaya Alam Penunjang Analisis Kewilayahan”. Bakosurtanal. Bogor.

Hardjowigeno, H.S, 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.

Mangundikoro, A., 1985. Pengelolan Daerah Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya. UGM-Departemen Kehutanan. Yogyakarta.

Munir, M., 1996. Tanah-tanah Utama Indonesia. Karakteristik, Klasifikasi dan Pemanfaatannya, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Sarjono, M.A. Agroforestri. Bagian I. Konsep Dasar. Diktat materi kuliah Agroforestri bagi Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Tidak dipublikasikan.

Wahyuningrum, N., C.N.S.Priyono, Wardojo, B. Harjadi, E. Savitri, Sudimin, Sudirman, 2003. Pedoman Teknis Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan. Info DAS, No. 15. BP2TPDASIBB, Surakarta.

Page 132: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 132 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CISADANE HULU: MAMPUKAH MEMPERBAIKI FUNGSI HIDROLOGI DAS?

Oleh :

Edy Junaidi

ABSTRAK

DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu sub DAS Cisadane yang terletak di hulu DAS Cisadane bagian Timur. Berdasarkan beberapa kajian, sub DAS ini berpotensi menyebabkan permasalahan pada DAS Cisadane baik dari penghasil sedimen maupun aliran permukaan terbesar. Beberapa penggunaan lahan yang terdapat pada DAS Cisadane Hulu yang paling besar menyebabkan permasalahan baik dari segi penghasil sedimen maupun aliran permukaan terbesar adalah penggunaan lahan ladang dan pemukiman. Untuk mengatasi permasalahan pengguanan lahan pada DAS Cisadane Hulu diterapkan teknik KTA gabungan antara teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil teknis (teras gulud dan pengontrol erosi). Penelitian ini bertujuan mengetahui seberapa besar pengaruh peranan teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil teknis dalam memperbaiki fungsi hidrologi (kualitas dan kuantitas) penggunaan lahan di DAS Cisadane Hulu dan secara umum memperbaiki fungsi hidrologis DAS. Kajian ini memanfaatkan model hidrologi SWAT. Penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman di DAS Cisadane Hulu akan menurunkan debit aliran permukaan dan debit aliran maksimu, tetapi meningkatkan debit aliran dasar, disamping itu dapat menurunkan konsentasi sedimen. Secara umum penerapan teknik agroforestri dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman di DAS Cisadane Hulu menurunkan peak flow dan konsentrasi sedimen pada DAS.

Kata kunci : agroforestry, fungsi hidrologi DAS

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAS Cisadane berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 328/Menhut-II/2009 merupakan salah satu DAS prioritas dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) tahun 2010 – 2014. Secara geografis DAS ini terletak pada 106o20’50”-106o28’20” BT dan 6º0’59”-6º47’02” LS dan secara administratif terletak pada 2 propinsi yaitu Jawa Barat dan Banten (BP DAS Citarum – Ciliwung, 2002). DAS Cisadane merupakan DAS prioritas dengan katagori erosi tinggi, menurut Junaidi (2009), jumlah erosi aktual yang terjadi pada DAS Cisadane sebesar 248,9 ton/ha/tahun, melebihi rata-rata erosi yang diperbolehkan yaitu 47,26 ton/ha/tahun.

DAS Cisadane Hulu merupakan salah satu sub DAS Cisadane yang terletak di hulu DAS Cisadane bagian Timur. Luas sub DAS ini sekitar 41 ribu hektar. Penggunaan lahan yang terdapat pada DAS Cisadane Hulu terdiri dari ladang (68

Page 133: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 133

%), hutan (21 %), pemukiman (10 %), kebun campuran (0,6 %) dan tambak (0,4 %). Kajian yang dilakukan oleh Junaidi (2009), sub DAS pada DAS Cisadane yang berpotensi menyebabkan permasalahan pada DAS Cisadane sebagian besar berada pada sub DAS Cisadane Hulu (sub sub DAS Cisadane Hulu, sub DAS Ciampea, sub DAS Cihedeung dan sub DAS Cinangneng) baik dari penghasil sedimen maupun aliran permukaan terbesar. Pada masing-masing sub DAS unit lahan yang paling besar menyebabkan permasalahan pada DAS Cisadane adalah penggunaan lahan ladang yang dikelola pada kemiringan lereng > 40% dan pemukiman pada kelerengan > 8 %.

Balai Pengelolaan DAS Ciliwung – Cisadane yang merupakan salah satu instansi yang berperan dalam pengelolaan DAS telah menyusun suatu perencanana pengelolaan DAS Cisadane Hulu yang tertuang dalam buku RTL RLKT (rencana teknik lapang rehabilitasi lahan dan konservasi tanah) DAS Cisadane. Pada buku RTL RLKT tahun 2002, secara umum pengelolaan lahan pada DAS Cisadane Hulu yang berpotensi menyebabkan permasalahan pada DAS tersebut menggunakan teknik KTA gabungan antara teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil teknis (teras gulud dan pengontrol erosi).

Guna mengetahui seberapa besar peranan teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil tanah dalam memperbaiki fungsi hidrologi (kualitas dan kuantitas) penggunaan lahan secara khusus dan secara umum memperbaiki fungsi hidrologis DAS, perlu dilakukan kajian apabila tehnik KTA tersebut telah diterapkan.

Pada kajian penerapan RTL RLKT pada penggunaan lahan di DAS Cidane Hulu menggunakan model hidrologi SWAT (soil water assessment tool) sebagai alat untuk menilai dampak hidrologi. Model hidrologi digunakan untuk menilai dan mengevaluasi tingkat permasalahan suatu DAS dan sebagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah

sipil tanah (sesuai dengan rekomendasi RTL RLKT Balai Pengelolaan DAS Citarum – ciliwung tahun 2002) pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman di DAS Cisadane Hulu terhadap fungsi hidrologi penggunaan lahan (kualitas dan kuantitas).

2. Mengetahui pengaruh penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil tanah (sesuai dengan rekomendasi RTL RLKT Balai Pengelolaan DAS Citarum – ciliwung tahun 2002) pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman di DAS Cisadane Hulu terhadap fungsi hidrologi DAS (kualitas dan kuantitas).

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di DAS Cisadane Hulu yang merupakan salah satu

Page 134: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 134 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

sub DAS DAS Cisadane. DAS Cisadane secara administrasi terletak di Propinsi Jawa Barat. Secara geografis DAS Cisadane terletak pada 106o20’50”-106o28’20” BT dan 6º0’59”-6º47’02” LS.

A. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu data primer (berupa kondisi karakteristik penggunaan lahan dan karakteristik tanah) dan data sekunder (berupa peta jaringan sungai, peta DEM (Digital Elevasion Model), peta penggunaan lahan (land use), peta jenis tanah, iklim dan hidrologi DAS). Sedangkan alat yang digunakan komputer dengan software MapWindow45RC2, software MWSWAT 1.4, software SWAT 2.1.5 editor, GPS dan alat tulis menulis.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini memanfaatkan penggunaan model hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool). Tahapan kegiatan penelitian terdiri dari dua tahapan, yaitu : 1. Tahapan survei

Pada tahapan ini pengumpulan data berupa data primer dan sekunder disesuaikan dengan masukan data (input) yang diperlukan model SWAT. Data primer dan sekunder yang diperlukan diantaranya : iklim, karakteristik tanah, karakteristik penggunaan lahan, karakteristik sungai dan peta – peta.

2. Tahapan penggunaan model SWAT Pada tahapan ini terdiri dari penyiapan data berupa data spasial dan data atributnya agar model dapat dijalankan untuk bisa menghasilkan output sesuai dengan tujuan penelitian. Disamping itu juga melakukan simulasi penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil tanah yang terdapat pada RLKT DAS Cisadane yang disusun oleh Balai Pengelolaan DAS Citarum – ciliwung tahun 2002, khususnya pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman yang terdapat di DAS Cisadane Hulu. Secara umum perencanaan penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman yang terdapat di DAS Cisadane Hulu berdasarkan RTL RLKT dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk melihat lebih detail rencana RLKT DAS Cisadane dapat dilihat pada Buku 1 dan 2 RTL RLKT DAS Cisadane yang disusun oleh BP DAS Ciliwung – Citarum.

Tabel 1. Perencanaan penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil

tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman yang terdapat di DAS Cisadane Hulu.

Penggunaan Lahan Arahan

Pengelolaan Tanaman (C)

Pengelolaan Tanah (P)

Ladang pengelolaan baik Agroforestry Teras gulud

Ladang pengelolaan sedang Agroforestry Teras gulud

Page 135: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 135

Penggunaan Lahan Arahan

Pengelolaan Tanaman (C)

Pengelolaan Tanah (P)

Pemukiman pengelolaan baik Agroforestry Kontrol erosi

Pemukiman pengelolaan sedang Agroforestry Kontrol erosi

Sumber : BP DAS Ciliwung - Citarum, 2002. C. Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini lebih ditujukan kepada penggunaan model SWAT yaitu output model. Analisis yang dilakukan berupa : 1. Kalibrasi model SWAT. Kalibrasi model bertujuan agar luaran model yang

digunakan hasilnya mendekati dengan luaran dari DAS prototip yang diuji. Pada penilitian ini luaran yang dikalibrasi adalah hasil debit, dengan cara membandingkan antara hasil prediksi dengan hasil observasi dengan menggunakan kriteria statistik. Data hasil observasi berasal dari SPAS Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Wilayah Ciliwung-Cisadane yaitu SPAS Batu Baulah untuk pengamatan tahun 2005. Metode statistik yang digunakan adalah persentase perbedaan dari nilai observasi (DVi), koefisien determinasi (R2) dan koefisien Nash-Sutcliffe (ENS).

2. Analisis fungsi hidrologi DAS. Data dikompilasi dalam bentuk tabel yang dianalisis secara deskriptif. Hasil luaran model yang ditampilkan dalam bentuk data disesuiakan dengan tujuan penelitian dengan menggunakan data hujan dan temperatur tahun 2006.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kalibrasi Model

Hasil analisis statistik menunjukkan untuk SPAS Batu Baulah (outlet sub DAS 41), nilai koefisien Nash-Sutcliffe sebesar 0,63, Dv sebesar –13,22 % dan R2 sebesar 0,79. Menurut kriteria Santi et al. (2001), hasil prediksi model SWAT dapat dikriteriakan baik dalam memprediksi hidrologi DAS Cisadane Hulu, karena mempunyai rata-rata debit hasil prediksi berada pada kisaran -15 % sampai + 15 % dari rata-rata debit hasil observasi, serta nilai ENS ≥ 0,5 dan R2 ≥ 0,6. Sehingga model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi hidrologi DAS Cisadane Hulu.

B. Pengaruh Penerapan Teknik Agroforestry dan Konservasi Tanah pada

Penggunaan Lahan di DAS Cisadane Hulu

Pada penelitian ini, seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 2 terlihat dengan penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil tanah pada lahan ladang dan pemukiman yang terdapat di DAS Cisadane Hulu akan berpengaruh masing penggunaan lahan berupa debit maksimum (peak flow), debit minimum (base flow), debit aliran permukaan (surface flow) dan fungsi hidrologi secara

Page 136: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 136 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

kualitas (konsentrasi sedimentasi). Perubahan ini akan mempengaruhi fungsi hidrologi DAS.

Tabel 2. Pengaruh teknik agroforestry dan konservasi tanah sipil tanah pada ladang dan pemukiman terhadap fungsi hidrologi penggunaan lahan

Penggunaan lahan

Penerapan Sumbangan terhadap aliran sungai

setelah penerapan

Teknik Tanaman

Konservasi tanah

Surface flow

(m3/dt)

Base flow

(m3/dt)

Peak flow

(m3/dt)

Konsentrasi

sedimen (mg/l)

Pemukiman Agroforestry

kontrol erosi

-7,16 5,48 -1,39 -75,50

Ladang pengelolaan baik

Agroforestry teras gulud

-5,58 2,80 -2,65 -0,47

Ladang pengelolaan sedang

Agroforestry teras gulud

-6,76 4,99 -1,43 -90,47

Sumber : pengolahan hasil prediksi model Keterangan : - = terjadi penurunan, + = terjadi penambahan

Pada penggunaan lahan pemukiman yang menerapkan teknik

agroforestry dan melakukan penerapan teknik konservasi tanah (kontrol erosi), dilakukan penataan ruang sehingga terdapat ruang terbuka hijau yang mempunyai multifungsi. Berdasarkan hasil analisa akan menurunkan surface flow sebesar 7,16 m3/dt, menaikkan base flow sebesar 5,48 m3/dt, menurunkan peak flow yaitu 1,39 m3/dt, serta menurunkan konsentrasi sedimen sebesar 75,5 mg/l.

Pada penggunaan lahan ladang dengan manajemen pengelolaan baik bila dilakukan penerapan sistem agroforestry dan menerapkan teknik konservasi tanah teras gulud, hasil analisa menunjukkan terjadi penurunan surface flow yang disumbangkan ke aliran sungai sebesar 5,58 m3/dt, penambahan base flow yang disumbangkan ke aliran sungai sebesar 2,80 m3/dt, menurunkan peak flow yang disumbangkan ke aliran sungai yaitu 2,65 m3/dt dan menurunkan konsentrasi sedimen yang disumbangkan ke aliran sungai sebesar 0,47 mg/l. Sedangkan penggunaan lahan dengan manajemen pengelolaan sedang yang juga dilakukan penerapan sistem agroforestry dan menerapkan teknik konservasi tanah teras gulud, hasil analisa menunjukkan terjadi penurunan surface flow yang disumbangkan ke aliran sungai sebesar 6,76 m3/dt, penambahan base flow yang disumbangkan ke aliran sungai sebesar 4,99 m3/dt, menurunkan peak flow yang disumbangkan ke aliran sungai yaitu 1,43 m3/dt dan dan menurunkan konsentrasi sedimen yang disumbangkan ke aliran sungai sebesar 90,47 mg/l

Page 137: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 137

C. Pengaruh Penerapan Teknik Agroforestry dan Konservasi Tanah pada Penggunaan Lahan di DAS Cisadane Hulu terhadap Fungsi Hidrologi DAS

Perubahan yang terjadi pada hasil debit (kualitas dan kuantitas)

penggunaan lahan ladang dan pemukiman setelah diterapkan teknik agroforestry dan konservasi tanah secara langsung akan mempengaruhi fungsi hidrologi DAS (fluktuasi debit sungai). Seberapa besar pengaruh fluktuasi debit sungai terhadap pengaruh penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah dibahas pada bab berikut.

Pada Gambar 1 hasil keluaran model yang diukur pada outlet DAS Cisadane Hulu, menunjukkan perbandingan peak flow sebelum dan setelah diterapkan teknik agroforestry dan konservasi tanah tanah pada penggunaan lahan ladang – pemukiman.

Gambar 1. Perbandingan peak flow sebelum dan sesudah penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman

Pada Gambar 1 terlihat besarnya peak flow aliran sungai sebelum dan

setelah diterapkan teknik teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang - pemukiman di DAS Cisadane Hulu. Penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman mampu menurunkan peak flow DAS Cisadane Hulu. Gambar 2 menunjukkan perbandingan konsentrasi sedimen aliran sungai cisadane Hulu sebelum dan setelah diterapkan teknik agroforestry dan konservasi tanah tanah. Terlihat pada gambar bahwa penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman di DAS Cisadane Hulu mampu menurunkan konsentrasi sedimen. Hal ini berarti dengan penerapan

Page 138: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 138 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

teknik agroforestry dan konservasi tanah mampu menurunkan erosi pada masing-masing penggunaan lahan.

Gambar 2. Perbandingan konsentrasi sedimen sebelum dan sesudah

diterapkan teknik teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan

ladang dan pemukiman akan menurunkan debit aliran permukaan (surface flow) dan meningkatkan debit aliran dasar (base flow), serta dapat menurunkan debit aliran maksimum (peak flow) yang disumbangkan pada aliran sungai, serta menurunkan konsentasi sedimen.

2. Penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman mampu menurunkan peak flow pada aliran sungai Cisadane Hulu dibandingkan tanpa penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah.

3. Penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman mampu menurunkan konsentrasi sedimen pada aliran sungai, sehingga dengan penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah mampu mengurangi kekutan erosi.

Page 139: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 139

B. Saran

Penerapan teknik agroforestry dan konservasi tanah pada suatu penggunaan lahan harus memperhatikan aspek ekologi (biofisik) dan sosial budaya. Sehingga teknik yang diterapkan harus bersifat lokal spesifik.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Balai Pengelolaan DAS Ciliwung – Cisadane, 2002. RTL RLKT DAS Cisadane. Balai Pengelolaan DAS Ciliwung – Cisadane. Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Elief, B., 2005. Assessment of Management Polices for Lake Ulubat Basin Using AVSWAT. Thesis. [terhubung berkala].http://www. http.brc.tamus.edu/swat/document. Html [31 Oktober 2008].

Junaidi, E. 2009. Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Pengelolaan DAS Cisadane Menggunakan Model SWAT. Thesis Pascasarjana IPB. Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Pawitan, H. 2004. Aplikasi Model erosi dalam Perpektif Pengelolaan Derah Aliran Sungai. I Prosiding Seminar Degradasi Lahan dan Hutan. Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Universitas Gadjah Mada dan Departemen Kehutanan.

Page 140: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 140 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN PENERAPAN SISTEM AGROFORESTRY PADA DAS CISADANE HULU

Aji Winara dan Edy Junaidi

ABSTRAK

Sistem agroforestry merupakan integrasi antara beberapa aspek ekologis dan ekonomis. Selama ini fungsi ekonomis agroforestry selalu ditonjolkan, tetapi fungsi ekologis kurang dimunculkan. Fungsi ekologis bersifat kualitatif dan pada tulisan ini dicoba untuk dikuantitatifkan, dengan memanfaatkan model hidrologi SWAT. Tujuan penelitian ini menyediakan data dan informasi nilai kuantifikasi jasa lingkungan penerapan sistem agroforestry pada beberapa penggunaan lahan yang ada di DAS Cisadane Hulu sebagai pengatur tata air dan pengendali erosi. Penerapan sistem agroforestry mampu meningkatkan debit andalan sebesar 13,11 %, menurunkan KRS sebesar 14,22 %, menurunkan nilai rata-rata konsentrasi sedimen sebesar 5,47 %, menurunkan nilai rata-rata N organik (27,94 %) dan menurunkan nilai rata-rata P organik (22,7 %).

Kata kunci: kuantifikasi, jasa lingkungan dan agroforestry

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agroforestry merupakan perpanduan antara beberapa komponen yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan secara bersamaan dalam satu lanskap lahan untuk menjaga kelestarian ekosistem. Sistem agroforestry merupakan integrasi antara beberapa aspek ekologis dan ekonomis. Di Indonesia, perkembangan agroforestry sejalan dengan usaha untuk merehabilitasi lahan kritis dalam memperbaiki tata air suatu wilayah, disamping untuk meningkatkan ekonomi petani yang bermukim diwilayah tersebut. Selama ini fungsi ekonomis agroforestry selalu ditonjolkan, tetapi fungsi ekologis kurang dimunculkan.

Fungsi suatu sumberdaya alam dapat disebut sebagai penyedia jasa, jika fungsi tersebut mempunyai nilai ekonomis yang nyata bagi pengguna dan memberikan masukan berupa produksi. FAO mengklasifikasikan nilai ekonomi total suatu sumberdaya alam menjadi dua, yaitu : (1) Nilai manfaat (use values), terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu manfaat langsung (direct use value), manfaat tidak langsung (inderect use value) dan manfaat pilihan dan (2) Nilai tidak termanfaatkan (non use values), terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu nilai keberadaan dan nilai warisan.

Berdasrkan klasifikasi FAO tersebut, nilai nilai manfaat langsung dan tidak langsung dari penerapan sistem agroforestry yaitu pengatur tata air, peredam terjadinya bencana alam (banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi), pengatur

Page 141: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 141

stabilitas iklim, tempat wisata dan tempat keanekaragaman biodeversiti. Pada umumnya nilai tersebut bersifat kualitatif dan pada tulisan ini dicoba untuk dikuantitatifkan, untuk mengetahui seberapa besar peranan agroforestry terhadap lingkungan.

B. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi nilai kuantifikasi jasa lingkungan penerapan sistem agroforestry pada beberapa penggunaan lahan yang ada di DAS Cisadane Hulu sebagai pengatur tata air dan pengendali erosi.

II. BAHAN DAN METODE

Kajian dilaksanakan di DAS Cisadane Hulu yang merupakan salah satu sub DAS DAS Cisadane. DAS Cisadane secara administrasi terletak di Propinsi Jawa Barat. Secara geografis DAS Cisadane terletak pada 106o20’50”-106o28’20” BT dan 6º0’59”-6º47’02” LS.

C. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu data primer (berupa kondisi karakteristik penggunaan lahan dan karakteristik tanah) dan data sekunder (berupa peta jaringan sungai, peta DEM (Digital Elevasion Model), peta penggunaan lahan (land use), peta jenis tanah, iklim dan hidrologi DAS). Sedangkan alat yang digunakan komputer dengan software MapWindow45RC2, software MWSWAT 1.4, software SWAT 2.1.5 editor, GPS dan alat tulis menulis.

D. Metode Penelitian

Kajian ini memanfaatkan penggunaan model hidrologi SWAT (Soil and Water Assessment Tool). Tahapan kegiatan kajian terdiri dari dua tahapan, yaitu :

3. Tahapan survei Tahapan survey melakukan pengumpulan data (primer dan sekunder) yang diperlukan model SWAT. Data primer dan sekunder yang diperlukan diantaranya : iklim, karakteristik tanah, karakteristik penggunaan lahan, karakteristik sungai dan peta – peta.

4. Tahapan penggunaan model SWAT Tahapan ini terdiri dari penyiapan data berupa data spasial dan data atributnya agar model SWAT dapat dijalankan, dengan melakukan skenario sebagai berikut : a. Skenario 1, kondisi eksisting penggunaan lahan yang ada di DAS

Cisadane Hulu. b. Skenario 2, penerapan teknik agroforestri dan konservasi tanah sipil

tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman yang terdapat di DAS Cisadane Hulu berdasarkan RTL RLKT dapat dilihat pada Tabel

Page 142: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 142 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

1. Untuk melihat lebih detail rencana RLKT DAS Cisadane dapat dilihat pada Buku 1 dan 2 RTL RLKT DAS Cisadane yang disusun oleh BP DAS Ciliwung – Citarum.

Tabel 1. Perencanaan penerapan teknik agroforestri dan konservasi tanah sipil

tanah pada penggunaan lahan ladang dan pemukiman yang terdapat di DAS Cisadane Hulu.

Penggunaan Lahan

Arahan

Pengelolaan Tanaman (C)

Pengelolaan Tanah (P)

Ladang pengelolaan baik Agroforestry Teras gulud

Ladang pengelolaan sedang Agroforestry Teras gulud

Pemukiman pengelolaan baik Agroforestry Kontrol erosi

Pemukiman pengelolaan sedang Agroforestry Kontrol erosi

Sumber : BP DAS Ciliwung - Citarum, 2002. C. Analisis Data

Analisis data pada kajian ini lebih ditujukan kepada penggunaan model SWAT yaitu output model. Analisis yang dilakukan berupa :

1. Kalibrasi model SWAT. Kalibrasi model bertujuan agar luaran model yang digunakan hasilnya mendekati dengan luaran dari DAS prototip yang diuji. Pada kajian ini luaran yang dikalibrasi adalah hasil debit, dengan cara membandingkan antara hasil prediksi dengan hasil observasi dengan menggunakan kriteria statistik. Data hasil observasi berasal dari SPAS Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Wilayah Ciliwung-Cisadane yaitu SPAS Batu Baulah untuk pengamatan tahun 2005. Metode statistik yang digunakan adalah persentase perbedaan dari nilai observasi (DVi), koefisien determinasi (R2) dan koefisien Nash-Sutcliffe (ENS).

2. Analisis kuntifikasi jasa lingkungan penerapan sistem agroforestry. Data dikompilasi dalam bentuk grafik yang dianalisis secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Kalibrasi Model

Gambar 1 berdasarkan grafik XY scater menunjukkan nilai koefisien Nash-Sutcliffe sebesar 0,63, Dv sebesar –13,22 % dan R2 sebesar 0,79. Menurut kriteria Santi et al. (2001), hasil prediksi model SWAT dapat dikriteriakan baik dalam memprediksi hidrologi DAS Cisadane Hulu, karena mempunyai rata-rata debit hasil prediksi berada pada kisaran -15 % sampai + 15 % dari rata-rata debit hasil observasi, serta nilai ENS ≥ 0,5 dan R2 ≥ 0,6. Sehingga model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi hidrologi DAS Cisadane Hulu.

Page 143: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 143

Gambar 1. Grafik XY scatter debit bulanan prediksi hasil model dan debit bulanan observasi SPAS Batu Baulah.

B. Analisis Jasa Lingkungan

Penilaian kuantifikasi jasa lingkungan penerapan sistem agroforestry pada beberapa penggunaan lahan yang ada DAS Cisadane Hulu sebagai pengatur tata air didekati dengan nilai debit andalan dan KRS (koefisien regim sungai). Debit andalan merupakan debit minumum harian yang masih bisa dimanfaatkan pada musim kemarau, sedangkan KRS merupakan perbandingan debit maksimum harian dan debit manimum harian. Nilai KRS dapat menggambarkan kondisi tata air suatu DAS dalam menjaga keberlangsungan keberadaan air pada suatu DAS. Jadi semakin tinggi nilai KRS maka kondisi tata air DAS tidak baik di mana terjadi kekurangan air pada musim kemarau.

Pada Gambar 2. menunjukkan nilai debit andalan untuk skenario 1 dan skenario 2. Debit andalan skenario 2 (16,74 m3/dt) lebih besar daripada skenario 1 (14,8 m3/dt), terjadi peningkatan debit andalan sebesar 13,11 %. Hal ini menunjukkan dengan penerapan sistem agroforestry pada beberapa penggunaan lahan di DAS Cisadane Hulu meningkatkan keberlangsungan debit sungai pada musim kemarau.

0

25

50

75

100

0 25 50 75 100

Debit prediksi (m3/dt)

Deb

it o

bse

rvas

i (m

3 /dt)

R2 = 0,79

Dv = -13,22% ; ENS = 0.63

Page 144: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 144 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Gambar 2. Grafik nilai debit andalan untuk skenario 1 dan skenario 2 pada

DAS Cisadane Hulu. Sedangkan nilai KRS perbandingan antara skenario 1 dan skenario 2 dapat

dilihat pada Gambar 2, di mana nilai KRS skenario 1 (2,27) lebih besar daripada nilai KRS skenario 2 (1,95). Dimana terjadi penurunan nilai KRS sebesar 14,22 %. Penurunan ini menunjukkan dengan penerapan sistem agroforestry pada beberapa penggunaan lahan di DAS Cisadane Hulu akan meningkatkan keberlangsungan aliran sungai DAS Cisadane Hulu.

Gambar 3. Grafik nilai KRS untuk skenario 1 dan skenario 2 pada DAS

Cisadane Hulu. Sedangkan penilaian kuantifikasi jasa lingkungan penerapan sistem

agroforestry pada beberapa penggunaan lahan yang ada DAS Cisadane Hulu sebagai pengatur pengendali erosi didekati dengan nilai rata-rata konsentrasi sedimen dan rata-rata nilai N organik serta P organik dalam sedimen.

Page 145: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 145

Secara umum terjadi penurunan nilai rata-rata konsentrasi sedimen dan rata-rata nilai N organik serta P organik dalam sedimen, jika diterapkan skenario 2 pada DAS Cisadane Hulu (Gambar 4, 5 dan 6). Penurunan ini menunjukkan dengan penerapan sistem agroforestry pada beberapa penggunaan lahan yang ada DAS Cisadane Hulu mengurangi terjadinya erosi. Sehingga penerapan sistem agroforestry mampu mengendalikan erosi pada penggunaan lahan di DAS tersebut.

Nilai rata-rata konsentrasi sedimen di DAS berdasarkan skenario 1 sebesar 58,11 gr/liter akan menurun sebesar 54,79 gr/liter jika diterapkan skenario 2, terjadi penurunan konsentrasi sedimen sebesar 5,47 %.

Gambar 4. Grafik nilai rata-rata konsentrasi sedimen untuk skenario 1 dan

skenario 2 pada DAS Cisadane Hulu. Sedangkan nilai rata-rata N organik pada sedimen di DAS Cisadane Hulu

jika diterapkan skenario 2 (95,87 ton/tahun) akan terjadi penurunan sebesar 27,94 % dibandingkan skenario 1 (133,04 ton/ha).

Page 146: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 146 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Gambar 5. Grafik nilai rata-rata N organik dalam sedimen untuk skenario

1 dan skenario 2 pada DAS Cisadane Hulu. Untuk nilai rata-rata P organik dalam sedimen pada DAS Cisadane Hulu

yang menerapkan skenario 1 sebesar 18,85 ton/tahun, jika menerapkan skenario 2 nilainya bisa turun menjadi 14,57 ton/tahun. Terjadi penurunan nilai P organik dalam sedimen sebesar 22,7 %.

Gambar 6. Grafik nilai rata-rata P organik dalam sedimen untuk skenario

1 dan skenario 2 pada DAS Cisadane Hulu.

Page 147: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 147

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 4. Penerapan sistem agroforestry pada beberapa penggunaan lahan yang ada

DAS Cisadane Hulu sebagai pengatur tata air didekati dengan nilai debit andalan dan KRS. Penerapan sistem agroforestry mampu meningkatkan debit andalan sebesar 13,11 % dan menurunkan KRS sebesar 14,22 %.

5. Sedangkan sebagai pengendali erosi didekati dengan nilai rata-rata konsentrasi sedimen dan rata-rata nilai N organik serta P organik dalam sedimen. Penerapan sistem agroforestry mampu menurunkan nilai rata-rata konsentrasi sedimen sebesar 5,47 %, nilai rata-rata N organik (27,94 %) dan nilai rata-rata P organik (22,7 %).

D. Saran

Penerapan sistem agroforestri perlu diterapkan pada penggunaan lahan yang berkontribusi buruk terhadap tata air dan sedimentasi DAS.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Balai Pengelolaan DAS Ciliwung – Cisadane, 2002. RTL RLKT DAS Cisadane. Balai Pengelolaan DAS Ciliwung – Cisadane. Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Elief, B., 2005. Assessment of Management Polices for Lake Ulubat Basin Using AVSWAT. Thesis. [terhubung berkala].http://www. http.brc.tamus.edu/swat/document. Html [31 Oktober 2008].

Junaidi, E. 2009. Kajian Berbagai Alternatif Perencanaan Pengelolaan DAS Cisadane Menggunakan Model SWAT. Thesis Pascasarjana IPB. Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Page 148: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 148 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM MELALUI AGROFORESTI : SEBUAH PERSPEKTIF

Ary Widiyanto

ABSTRAK

Dampak negatif perubahan iklim sudah melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh pencemaran gas buang yang terpapar di atmosfer dan menyebabkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Sektor kehutanan diharapkan dapat berperan besar dalam rangka pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) ini dengan mengurangi emisi sebesar 14% atau 52% dari total target pemerintah sebesar 26% dari Business as Usual (BAU) pada tahun 2020. Agroforestry sebagai salah satu model pengelolaan hutan terbukti mampu berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Dalam hal ini, agroforestry berfungsi sebagai sumber penyerap karbon di udara, penyimpan cadangan karbon sekaligus sebagai sumber energi dan bahan bakar alternatif untuk beberepa jenis tanaman tertentu. Potensi serapan karbon agroforestry lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tanaman monokultur. Kata kunci: perubahan iklim, mitigasi, agroforestry, karbon

I. PENDAHULUAN

Sekarang ini, dampak negatif perubahan iklim sudah menjadi salah satu permasalahan utama di dunia. Hal ini terkait dengan pencemaran gas buang, khususnya CO2, yang sulit terurai di atmosfir, sehingga menghalangi pemantulan kembali sinar matahari yang mengakibatkan suhu bumi meningkat. Hal ini mengakibatkan dampak yang meluas yang bisa kita lihat dan rasakan. Fenomena banjir bandang di suatu daerah sementara kekeringan berkepanjangan di daerah lain, mencairnya es di kutub, yang mengakibatkan beberapa pulau kecil di dunia tenggelam, gagal panen akibat populasi dan perkembangbiakan hama yang tidak terdendali, gangguan cuca ekstrim seperti badai salju maupun angin topan merupakan beberapa diantaranya. Jika hal ini dibiarkan, maka akan menimbulkan dampak yang lebih besar, bahkan para ahli memperkirakan, jika terjadi kenaikan suhu bumi di atas 2oC dapat menyebabkan banyak pulau di dunia akan tenggelam akibat mencairnya es di kutub.

IPCC memprediksi pada tahun 2100 akan terjadi peningkatan suhu rata-rata global meningkat 1.4 – 5.8 oC. Dilaporkan pula bahwa suhu bumi akan terus meningkat walaupun seandainya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer tidak akan bertambah lagi di tahun 2100, karena konsentrasi GRK, terutama terdiri dari CO2, CH4 dan N2O di atmosfer sudah cukup besar dan masa tinggalnya (life time) cukup lama, bahkan bisa sampai seratus tahun. Peningkatan emisi diakibatkan oleh proses pembangunan dan industri berbahan bakar migas (BBM) yang semakin meningkat dan kegiatan penggunaan lahan serta alih guna

Page 149: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 149

lahan dan kehutanan (LULUCF = Land Use, Land Use Change and Forestry yang sekarang disebut sebagai AFOLU = Agriculture, Forestry and Land Use) . Sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi yaitu pembangkit listrik 24%, industri 14%, transportasi 14%, konstruksi 8% dan sumber energi lain 5%, DAN emisi dari sektor non energi yaitu perubahan lahan termasuk kehutanan 18%, pertanian 14% dan limbah 3% (Stern 2007).

Dalam sudut pandang perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. Agroforestry, sebagai salah satu sistem, yang terdiri dari tumbuhan berkayu (tanaman/pohon), juga ikut berperan dalam proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan sudut pandang penulis, tentang perananan dan dampak sistem agroforestry dalam mitigasi perubahan iklim.

II. METODE

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah desk study dan literatur review dari berbagai jurnal, prosiding, buku dan makalah yang terkait dengan agroforestry dan perubahan iklim. Selanjutnya data sekunder tersebut dianalisa dan ditulis dengan secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sektor Kehutanan dan Perubahan Iklim

Guna menangani masalah pemanasan global yang memang telah terjadi, maka arah penelitian pengelolaan sumberdaya lahan bergeser kepada upaya ADAPTASI terhadap perubahan iklim global yang sinergi dengan upaya MITIGASI GRK (Verchot et al., 2006 dalam Wibowo, 2008). Kegiatan adaptasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menekan dampak perubahan iklim baik secara antisipatif maupun reaktif. Sedangkan kegiatan mitigasi dilakukan sebagai salah satu upaya menurunkan efek gas rumah kaca sehingga dapat memperlambat laju pemanasan global. Salah satu sektor yang diharapkan dapat mengurangi emisi karbon adalah sektor kehutanan melalui program pengurangan emisi dari penggundulan dan degradasi hutan atau Reducing Emmision from Deforestation and Forest Degradation (REDD) dan REDD+ (memasukan unsur konservasi, sustainable forest management dan sink enhancement). REDD merupakan mekanisme internasional yang bersifat sukarela (voluntary) yang dimaksudkan memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 26% melalui pembiayaan sendiri atau 41% jika mendapat bantuan pendanaan. Dari

Page 150: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 150 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

jumlah sebanyak 26% atau setara 0,767 Giga ton itu, 14% atau setara 0,392 giga ton diharapkan bisa disumbang oleh sektor kehutanan.

Sebagai tindak lanjut, perlu segera dilakukan proses penyiapan sistem inventarisasi GRK dari semua sektor sebagai alat ukur pencapaian kegiatan mitigasi nasional dalam menanggulangi pemanasan global. Selanjutnya,perlu dilakukan sebuah mekanisme yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi, atau Measurable, Reportable and Verifiable (MRV). Mekanisme ini antara lain meliputi mekanisme keuangan, transfer teknologi, tata laksana MRV dan capacity building.

Kegiatan-kegitan yang akan dilakukan untuk menurunkan emisi di sektor kehutanan antara lain Wibowo, et al (2010) :

1. Pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan 2. Pengelolaan lahan gambut secara lestari pada kawasan hutan dan non

kawasan hutan 3. Pembangunan proyek penyerapan carbon di sektor kehutanan dan

pertanian 4. Mendorong efisiensi energi, pengembangan sumber energi alternatif dan

terbarukan 5. Pengurangan limbah padat dan cair 6. Menuju moda transportasi rendah emisi

Adapun kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sehubungan dengan target penurunan 14% dari sektor kehutanan yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim pada prinsipnya dapat dibedakan kedalam tiga kategori utama yaitu peningkatan serapan karbon (upaya penanaman), konservasi karbon hutan (mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan akibat deforestasi, degradasi dan akibat praktek manajemen lainnya) dan pemanfaatan biomasa sebagai pengganti bahan bakar fosil.

B. Peranan Agroforestry dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Agroforestry merupakan model pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mendapatkan hasil hutan, hasil pertanian/peternakan/perikanan sehingga masyarakat dapat menghasilkan pendapatan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Prinsip dalam agroforestry adalah keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial. Apabila dilihat dari prinsip-prinsip di atas dan berbagai pendekatan yang dapat mencegah dan mengurangi perubahan iklim model agroforestry dapat memitigasi dan mengadapatasi perubahan iklim dengan alasan-alasan sebagai berikut: a). Pencampuran jenis pohon penghasil kayu, buah dan lain-lain, merupakan salah satu model tanaman campuran; b). Pencampuran jenis yang didasarkan pada sifat toleransi (kanopi dan undestory); c). Pencampuran perbedaan umur; d). Pencampuran berdasarkan perbedaan waktu pemanenan; e). Penggabungan nilai ekonomi, sosial dan budaya sehingga perubahan vegetasi dapat berjalan seiring dengan perubahan sosial dan budaya secara berangsur yang dapat disesuaikan dengan perubahan iklim dan f). Dapat digunakan sebagai model untuk memfasilitasi perubahan kelompok vegetasi

Page 151: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 151

menjadi kelompok yang baru (adaptasi), seperti teori perubahan vegetasi melalui perladangan berpindah yang teratur (Malmsheimer dkk, 2008 dalam Butarbutar, 2009)

Agroforestry dapat dikembangkan pada berbagai kondisi lahan, baik daerah basah maupun kering. Pada lahan basah biasa direkomendasikan model agrosilvopasture (kayu-tanaman pertanian) atau agrosilvofishery (kayu-pertanian-perikanan). Sedangkan pada lahan kering banyak digunakan model agrisilviculture atau agrosilvopasture. Pada sisi yang lain hutan sulit untuk dipertahankan keberadaannya karena tekanan kebutuhan manusia (misalnya kebutuhan panen kayu, membangun lahan pertanian, pemukiman, industri, pertambangan dan lain-lain).

Jika kita memperhatikan berbagai pola pertanian yang dilakukan oleh petani, terdapat kecenderungan bahwa petani lebih memilih pola pertanian monokultur dan memilih jenis komoditas yang lebih menguntungkan dari aspek ekonomi dan waktu pengusahaan. Hal ini berarti kecenderungannya pada usaha tanaman umur pendek (perennial crops) agar lebih cepat dipanen untuk mengatasi berbagai kebutuhan harian keluarga. Secara umum rata-rata biomasa tanaman umur pendek sangat rendah yaitu dibawah 10 kg tiap individu tanaman. Hal ini berarti sepanjang umur tanaman tersebut, kebutuhan konsumsi CO2 diperkirakan hanya sebesar 104 – 105 molekul CO2 (Kozlowski and Pallardy, 1995). Di lain pihak praktek agroforestry biasanya mengunakan 50 – 70 % tanaman keras (tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan dan tanaman hutan). Tanaman keras secara umum memiliki biomasa tanaman diatas 50 kg tiap individu tanaman, yang berarti kebutuhan konsumsi CO2 jauh berada diatas 5 x 105 molekul. Hasil ini memperlihatkan bahwa model pertanian agroforestry memiliki sumbangan yang paling besar dalam absorbsi CO2 dari atmosfer bumi, jika pola ini diaplikasi secara tepat dan menejemen yang berkualitas.

Agroforestry merupakan salah satu sistem penggunaan lahan terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan yang sama. Agroforestry memberikan tawaran yang cukup menjanjikan untuk mitigasi akumulasi GRK di atmosfer (IPCC, 2000). Gas CO2 sebagai salah satu penyusun GRK terbesar di udara diserap pohon dan tumbuhan bawah untuk fotosintesis, dan ditimbunnya sebagai C-organik dalam tubuh tanaman (biomasa) dan tanah untuk waktu yang lama, mencapai 30-50 tahun. Selama tidak ada pembakaran di lahan, emisi CO2 ke atmosfer dapat ditekan. Jumlah C yang tersimpan di lahan secara teknis disebut “cadangan C” atau “penyimpanan C”.

Jumlah C yang tersimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan adalah menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman (C-sequestration). Sedangkan jumlah C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan C yang disimpan dalam sistem untuk beberapa waktu lamanya, artinya CO2 tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Beberapa hasil pengukuran C tersimpan pada berbagai sistem penggunaan lahan (SPL) oleh tim

Page 152: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 152 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

peneliti Alternatives to Slash and Burn (ASB phase 1 dan 2) di Jambi (Tomich et al., 1998) dalam Hairiah et al (2008), adalah sebagai berikut:

1. Hutan alami menyimpan C tertinggi sekitar 497 ton ha-1 dibandingkan sistem penggunaan lahan (SPL) lainnya. Lahan ubikayu monokultur menyimpan C terendah (sekitar 49 ton ha-1).

2. Gangguan hutan alami menyebabkan hutan kehilangan C sekitar 250 ton ha-1,

3. dimana kehilangan C terbesar terjadi karena hilangnya pohon, sedang kehilangan C yang tersimpan dalam tanah relatif kecil.

4. Bila hutan sekunder terus dikonversi ke sistem ubikayu monokultur, maka kehilangan C di atas permukaan tanah bertambah menjadi 300-350 ton C ha-1.

5. Tingkat kehilangan C dapat diperkecil bila hutan dikonversi menjadi sistem agroforestry berbasis karet. Karbon tersimpan di bagian atas tanah sekitar 290 ton C ha-1, dan bila dikonversi menjadi HTI sengon maka C yang tersimpan sekitar 370 ton C ha-1.

6. Penyimpanan C rata-rata per siklus tanam bervariasi tergantung umur tanaman .Semakin banyak dan semakin lama C tersimpan dalam biomasa pohon semakin baik.

7. Lahan hutan yang telah terganggu, lahan agroforestry multistrata (bermacam jenis pohon) dan agroforestry sederhana (tumpangsari pohon dan tanaman pangan) menimbun C dalam biomasa rata-rata sekitar 2.5 ton ha-1 th-1. Sedang penimbunan C dalam lahan pertanian semusim ubi kayu- rumput-rumputan dapat diabaikan, karena kebanyakan C hilang oleh adanya pembakaran.

8. Besarnya penyimpanan C dalam suatu lahan dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanahnya. Penyisipan pohon leguminose dalam sistem agroforestry, akan memperbaiki kesuburan tanah sehingga pertumbuhan pohon di atasnya menjadi lebih baik dan meningkatkan jumlah C tersimpan dalam biomasa.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa kontribusi agroforestry

terhadap upaya mitigasi GRK di udara cukup besar melalui banyaknya C tersimpan dalam sistem tersebut. Besarnya C yang tersimpan pada sistem agroforestry tidak bisa menyamai hutan alami, tetapi masih jauh lebih baik dari pada sistem pertanian monokultur. Hal yang terpenting adalah agroforestry dapat memperkecil ancaman terjadinya alih guna lahan di masa yang akan datang, karena dengan pengelolaan yang benar dan pemilihan jenis pohon serta didukung dengan kebijakan pasar yang tepat, agroforestry dapat melindungi pendapatan petani.

Besar karbon yang dapat ditambat dan biaya pelaksanaan kegiatan penambatan karbon beragam menurut lokasi dan jenis kegiatan. Untuk kegiatan mitigasi forestasi (afforestasi dan reforestasi) misalnya, potensi mitigasinya di daerah lintang tinggi lebih rendah dibanding daerah lintang rendah, sedangkan biaya mitigasi relatif hampir sama. Demikian juga untuk kegiatan agroforestry di

Page 153: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 153

lintah rendah jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lintang tengah, meskipun biaya yang dikeluarkan sama.

Salah satu contoh potensi serapan karbon pada agroforestry dijabarkan oleh Hairiah dan Rahayu (2010) yang membandingkan agroforestry multi strata berbasis kopi pada beberapa daerah di Indonesia. Agroforestry multistrata berbasis kopi yang diamati di Lombok Barat dan Malang memiliki nilai rata-rata cadangan karbon yang hampir sama yaitu 43.88 ± 11.91 Mg ha-1 dan 43.49 ± 23.62 Mg ha-1 . Komposisi spesies pohon penaung dan populasinya pada kedua lokasi tersebut hampir sama. Sedangkan pada sistem yang sama di Lampung Barat, cadangan karbonnya hampir sama dengan agroforestry sederhana, yaitu 21.18 ± 21.86 Mg ha-1. Variasi yang sangat tinggi antar plot pengamatan terjadi mungkin di karenakan besarnya variasi tingkat kerapatan populasi dan umur pohon penaung kopi. Di Malang, biomasa pohon penaung kopi menyumbangkan sekitar 70% dari total cadangan karbon (di atas tanah) lahan agroforestry multistrata. Sedangkan di Lampung Barat, biomasa pohon penaung kopi hanya menyumbangkan sekitar 40% dari total cadangan karbon lahan agroforestry multistrata.

Masih menurut Hairiah dan Rahayu (2010) rata-rata cadangan karbon pada agroforestry sederhana berbasis kopi di Lampung Barat dan Malang menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda yaitu 20.11 ± 30.01 Mg ha-1 dan 24.60 ± 13.65 Mg ha-1 . Agroforestry sederhana berbasis kopi di Lampung Barat dan di Malang yang berumur antara 1 sampai dengan 30 tahun memiliki variasi cadangan karbon yang sangat tinggi.

Hasil pengamatan di Lampung Barat, menunjukkan bahwa laju pertumbuhan cadangan karbon pada agroforestry sederhana berbasis kopi (milik masyarakat) di Lampung Barat adalah 0.6 Mg ha-1 th-1 (Hairiah et al., 2006). Sementara itu, cadangan karbon pada kopi monokultur (hanya terdapat di Lampung Barat), hanya bersumber dari tanaman kopi saja yaitu rata-rata 13.8 ± 14.09 Mg ha-1 pada kisaran umur lahan antara 1 sampai dengan 30 tahun. Pengukuran yang dilakukan pada 92 lahan kopi monokultur tidak menunjukkan adanya hubungan yang erat antara cadangan karbon dengan umur kebun, namun demikian ada kecenderungan peningkatan cadangan karbon dengan meningkatnya umur lahan. Peningkatan cadangan karbon rata-rata per tahun sangat kecil yaitu hanya sekitar 0.5 Mg ha-1. Dari data tersebut tampak jelas, bahwa sistem agroforestry multistrata lebih baik dalam penyimpanan cadangan karbon dibandingkan sistem monokultur.

Sementara itu, pemakaian sumber energi (bahan bakar) fosil dalam jumlah yang sangat besar dan selalu meningkat setiap tahunnya menimbulkan dua masalah sekaligus, yaitu terjadinya krisis energi yang melanda dunia dan sekaligus pencemaran udara melalui gas sisa pembakaran, yang terpapar ke atmosfer. Dua hal ini mendorong manusia mencari sumber-sumber energi alternatif, yang lebih ramah lingkungan, sekaligus untuk mengatasi krisis energi dunia. Berdasarkan konvensi Protokol Kyoto, Indonesia termasuk ke dalam kelompok anggota yang tidak berkewajiban untuk menurunkan emisi (non-Annex-1), sehingga penerapan CCS (Carbon Capture and Storage) sebagai bentuk

Page 154: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 154 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

program pengurangan emisi CO2 untuk keperluan mitigasi perubahan iklim tidak merupakan keharusan. Seperti disebutkan di atas, salah satu cara pengurangan emisi CO2 , sekaligus mencari sumber energi alternatif dikembangkanlah produk biodiesel. Produk ini memiliki berbagai keunggulan, terutama yang berhubungan dengan karakteristiknya yang ramah lingkungan (hal ini sejalan dengan pemberlakuan peraturan emisi internasional, sehingga berpeluang membuka pasar nasional maupun internasional. Salah satu sumber energi alternatif potensial yang terbarukan yang ditanam dalam sistem agroforestry adalah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.), yang minyaknya merupakan non-edible oil. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh baik dihampir semua jenis tanah, lahan marginal, maupun lahan-lahan bekas tambang. Santoso dan Nurrachman menyebutkan bahwa biodiesel dari jarak pagar memiliki tingkat emisi CO2 pada skala nol (net zero CO2 emissions). Hal ini dikarenakan pembakaran minyak bumi menghasilkan karbon baru ke atmorfir, sedangkan hasil pembakaran biodiesel jarak pagar akan kembali diserap olah tanaman jarak pagar itu. Dibandingkan dengan solar (minyak bumi), maka emisi gas karbon dari biodisel jarak pagar lebih rendah.

Upaya pengembangan minyak jarak untuk biodiesel di Indonesia didasarkan pada tujuan untuk menggantikan bahan bakar fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca, berkontribusi untuk mengendalikan pemanasan global, untuk mengembangkan konversi energi dan memperbaiki polusi udara yang disebabkan oleh emisi dari pembakaran. Hal ini karena bila dibandingkan dengan bahan bakar diesel/solar, biodiesel bersifat lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui (renewable), dapat terurai (biodegradable), memiliki sifat pelumasan terhadap piston mesin karena termasuk kelompok minyak tidak mengering (non drying oil), mampu mengeliminasi efek rumah kaca, dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. Biodiesel dari jarak pagar bersifat ramah lingkungan karena menghasilkan emisi gas buang yang jauh lebih baik dibanding diesel/solar, yaitu bebas sulfur, bilangan asap (smoke number) yang rendah dan angka setana (cetane number) sekitar 51, efisiensi pembakarannya baik, terbakar sempurna (clean burning) dan tidak menghasilkan racun (non toxic).

IV. KESIMPULAN

Agroforestry diharapkan dapat menjadi salah satu solusi bagi mitigasi perubahan iklim, karena selain bisa memenuhi kebutuhan jangka pendek masyarakat sehingga tekanan terhadap eksploitasi lahan hutan berkurang, juga merupakan salah satu sumber penyimpan karbon yang sangat potensial. Meskipun tidak sebesar hutan alam, potensi penyimpanan karbon pada agroforestry terbukti lebih besar dibandingkan hutan monokultur. Disamping itu, melalui pengembangan tanaman yang menjadi bioenergi (salah satunya jarak pagar) dan pengembangan desa mandiri energi, krisis energi dan bahan

Page 155: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 155

bakar bisa diatasi, sekaligus berpertan dalam pengurangan emisi hasil pembakaran, karena sifatnya yang lebih mudah terurai.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Standardisasi dan Perubahan Iklim. Majalah SNI Valuasi Volume 3

No 3 tahun 2009. Hal 9 – 14.

Butarbutar, T. 2009. Inovasi Manajemen Kehutanan Untuk Solusi Perubahan Iklim di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 6 No 2 Agustus 2009. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehuatanan. Bogor. Hal 121 – 129.

Hairiah, K., Widianto dan D. Suprayogo. 2008. Adaptasi dan Mitigasi Pemanasan Global: Bisakah Agroforestri Mengurangi Resiko Longsor dan Emisi Gas Rumah Kaca. Kumpulan Makalah (Bungai Rampai) INAFE. Pendidikan Agroforestri Sebagai Startegi Menghadapi Perubahan Iklim Global. Surakarta. Hal 42 – 62.

Hairiah, K. Dan S. Rahayu. 2010. Mitigasi Perubahan Iklim Agroforestri Kopi Untuk Mempertahankan Cadangan Karbon Lanskap. Makalah Pada Seminar Kopi di Bali 4 – 5 Oktober 2010.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories.

Rauf, A. 2004. Agroforestri dan Mitigasi Perubahan Lingkungan. Maklah Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Soedjono, S. 2010. Hasil Keputusan Konferensi International Perubahan Iklim (COP-UNFCC) di Kopenhagen (Denmark) Program Aksi dan Tindak Lanjut.Rimba Indonesia Volume 46. Sekretariat Jendral Kementerian Kehutanan. Hal 3-7.

Stern, N. 2007. The Stern Review: The The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge

Wibowo, A. N. Masripatin dan T. Fathoni. Peran Standardisasi Dalam Penelitian dan Pengembangan Untuk Menghadapi Perubahan Iklim.

Page 156: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 156 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

DINAMIKA KARBON HUTAN TANAMAN SENGON (Carbon Dynamics of Sengon Stand)

Oleh/By: Yonky Indrajaya

(Balai Penelitian Teknologi Agroforestry) Jl. Raya Ciamis-Banjar km 4, Ciamis 46201, email: [email protected]

ABSTRAK

Kegiatan pembangunan hutan tanaman di Indonesia dapat berkontribusi dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Salah satu jenis hutan tanaman yang telah banyak dikembangkan di pulau Jawa adalah hutan tanaman sengon. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika perubahan cadangan karbon hutan pada beberapa kualitas tempat tumbuh (bonita). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah karbon tersimpan dalam tegakan hutan sengon hingga umur 12 pada bonita I, II, III, dan IV berturut-turut adalah 94.19, 109.66, 138.28, dan 149.08 ton C/ha. Apabila penebangan dilakukan pada umur daur optimalnya (bonita I = 8 th, II = 7 th, III = 6 th, dan IV = 5 th) , maka jumlah karbon tersimpan dalam bonita I, II, III, dan IV adalah 62, 66, 79, dan 80 ton C/ha. Perlu dilakukan analisis lanjutan tentang daur optimal tegakan hutan sengon apabila diintrodusir jasa lingkungan serapan karbon sebagai salah satu produk hutan rakyat sengon. Kata kunci: sengon, karbon, bonita, hutan tanaman

I. PENDAHULUAN

Hutan dapat berperan dalam mitigasi perubahan iklim global karena peranannya dalam menyerap CO2, salah satu gas rumah kaca kontributor pemanasan global. Salah satu kegiatan kehutanan yang diakui oleh para pihak dalam CoP (konferensi para pihak) 13 di Bali adalah pengurangan emisi dengan mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Dalam kesepakatan CoP 14 di Poznan, kegiatan peningkatan stok karbon hutan, konservasi hutan dan manajemen hutan berkelanjutan juga disepakati sebagai kegiatan yang dapat mengurangi emisi GRK. Peningkatan stok karbon merupakan salah satu kegiatan yang disetujui oleh para pihak sebagai kegiatan dalam mekanisme REDD+.

Hutan tanaman sengon telah banyak dikembangkan di Indonesia khususnya di Jawa. Krisnawati et al. (2011) menyebutkan bahwa hutan tanaman sengon di Jawa berperan dalam penyediaan bahan baku kayu pertukangan dan industri. Karena nilai ekonominya yang tinggi dan merupakan jenis cepat tumbuh, minat para pengusaha untuk mengembangkan hutan tanaman sengon kian meningkat.

Seperti halnya tumbuhan yang lain, tanaman sengon memerlukan CO2 dalam pertumbuhannya dimana proses ini sangat penting karena tanaman sengon akan menambatkannya pada massa pohon. Seberapa besar hutan tanaman sengon dapat menyerap CO2 dapat dilihat dari jumlah karbon tersimpan dalam biomassa tanaman sengon. Informasi mengenai jumlah karbon tersimpan dalam hutan tanaman sengon telah banyak dilakukan, namun belum

Page 157: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 157

ada tulisan mengenai dinamika cadangan karbon hutan tanaman sengon dari kecil hingga masak tebang.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang dinamika cadangan karbon hutan tanaman sengon pada beberapa kualitas tempat tumbuh (bonita) di Jawa.

II. METODOLOGI

A. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode dest study, dimana data diperoleh dari laporan penelitian, jurnal, dan buku teks dan dianalisis dengan prosedur yang telah ada. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tabel tegakan normal hutan sengon yang dibuat oleh Suharlan et al.(1975). Data dikumpulkan di 49 petak ukur yang meliputi wilayah Jasinga, Kebun Raya Bogor, Pekalongan, Malang Utara, dan Kediri, yang mewakili ketinggian tempat antara 50 – 600 m dpl. Total pengamatan yang dilakukan adalah sebanyak 223 kali. Melihat jumlah sampel yang dikumpulkan dan banyaknya pengamatan yang dilakukan, maka tabel yang dibuat telah mewakili dinamika pertumbuhan tegakan sengon secara umum. Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto dan Putra (2010) di Kediri menunjukkan hasil yang sesuai dengan Tabel Suharlan tersebut.

B. Perhitungan Cadangan Karbon Hutan 1. Karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan tanah

Perhitungan cadangan karbon tersimpan di atas permukaan tanah dapat mengikuti persamaan dari Brown (1997), yaitu:

(1)

di mana merupakan total pertumbuhan biomassa di atas permukaan

tanah (ton/ha/tahun); riap volume tahunan (m3/ha/tahun); merupakan

kerapatan kayu untuk mengkonversi volume menjadi massa; dan merupakan

Biomass Expansion Faktor (rasio dari total biomassa kering pohon terhadap biomassa kering biomassa kayu komersial). Kerapatan kayu sengon berada dalam kisaran 230 – 500 kg/m3 dengan nilai tengah 300 (Prosea dalam ICRAF). Penelitian yang dilakukan oleh Laela dan Siswamartana (2009) tentang perbedaan kualitas kayu jati di 2 tempat dengan kualitas tumbuh yang berbeda menunjukkan bahwa berat jenis kayu relatif lebih pada bonita yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa berat jenis sengon pada bonita I, II, III, dan IV diasumsikan berturut-turut adalah 250, 300, 350, dan 400. Nilai BEF hutan sengon dapat menggunakan nilai dari IPCC Guideline (2006) untuk hutan hujan tropis yang nilainya bervariasi tergantung dari besarnya pertumbuhan volume

( ) ( ) d fTAB t t w b

( )TAB t

( )t dw

fb

Page 158: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 158 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

kayu per tahun. Nilai BEF dari IPCC Guideline yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 9, 4, 2.8, dan 2.04 untuk pertumbuhan riap volume berturut-turut < 10, 11-20, 21-40, dan > 40 m3. 2. Karbon tersimpan dalam biomassa di bawah permukaan tanah

Jumlah karbon dalam biomassa mati/DB (dead biomass) merupakan jumlah karbon dalam ranting, cabang, daun mati dalam suatu tegakan. Van Kooten et.al. (1999) menyebutkan bahwa jumlah biomassa mati dalam suatu tegakan hutan tanaman pada umumnya merupakan proporsi dari non bole biomass (biomassa bukan dari kayu komersial). Penambahan tahunan dari DB diasumsikan 10% dari NB(t). Sehingga penambahan tahunan dari DB dalam waktu (t) yaitu:

(2)

Dimana:

(3)

Selanjutnya, biomassa dalam akar/root biomass (RB) dihitung dengan persamaan dari Guy dan Benowicz (1998) dalam Tassone et.al. (2004), yaitu:

(4)

Setelah TAB, DB, dan RB ditentukan, maka pertumbuhan bersih dari biomassa dapat dihitung dengan persamaan:

(5)

Nilai NTB(t) selanjutnya dikonversi menjadi C equivalent dengan faktor konversi (), dimana untuk hutan tropis nilainya adalah 0.47.

(6)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui dinamika karbon pada hutan tanaman sengon,

diperlukan pula informasi mengenai waktu dilakukannya penebangan. Penebangan diasumsikan dilakukan pada saat daur optimalnya, yaitu ketika riap tahunan rata-rata (MAI) sama dengan riap tahunan berjalan (CAI). Hasil dari daur optimal tegakan sengon pada beberapa bonita disajikan dalam Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 1. Volume dan riap volume tegakan hutan tanaman sengon pada bonita I, II, III, dan IV

Umur

VOLUME (M3/HA) BONITA I BONITA II BONITA III BONITA IV

I II III IV MAI CAI MAI CAI MAI CAI MAI CAI

2 5 14 26 41 2.5 5.0 7.0 14.

0 13.

0 26.

0 20.

5 41.

0

3 20 38 57 83 6.7 15. 12. 24. 19. 31. 27. 42.

( ) 0.1 ( )DB t NB t

( ) ( ) ( ( ) )dNB t TAB t t w

0.639( ) 1.4319 ( )RB t TAB t

( ) ( ) ( ) ( )NTB t TAB t DB t RB t

( ) ( )C t NTB t

Page 159: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 159

Umur

VOLUME (M3/HA) BONITA I BONITA II BONITA III BONITA IV

I II III IV MAI CAI MAI CAI MAI CAI MAI CAI

0 7 0 0 0 7 0

4 38 63 90 12

0 9.5 18.

0 15.

8 25.

0 22.

5 33.

0 30.

0 37.

0

5 60 87 12

2 15

0 12.

0 22.

0 17.

4 24.

0 24.

4 32.

0 30.

0 30.

0

6 82 10

9 14

6 17

2 13.

7 22.

0 18.

2 22.

0 24.

3 24.

0 28.

7 22.

0

7 10

2 12

8 16

0 18

6 14.

6 20.

0 18.

3 19.

0 22.

9 14.

0 26.

6 14.

0

8 11

9 14

2 17

0 19

6 14.

9 17.

0 17.

8 14.

0 21.

3 10.

0 24.

5 10.

0

9 13

2 15

4 17

8 20

2 14.

7 13.

0 17.

1 12.

0 19.

8 8.0 22.

4 6.0

10 14

4 16

4 18

2 20

6 14.

4 12.

0 16.

4 10.

0 18.

2 4.0 20.

6 4.0

11 15

2 17

2 18

6 20

9 13.

8 8.0 15.

6 8.0 16.

9 4.0 19.

0 3.0

12 16

1 18

0 19

2 21

2 13.

4 9.0 15.

0 8.0 16.

0 6.0 17.

7 3.0

Sumber: Suharlan et al., 1975

Sumber: diolah dari Suharlan et al. (1975)

Gambar 1. Daur optimal tegakan sengon pada bonita I, II, III, dan IV

Dari Gambar 1 terlihat bahwa daur optimal tegakan sengon pada bonita I, II, III,dan IV berturut-turut adalah 8.5, 7.2, 6, dan 5 tahun. Tegakan sengon akan ditebang pada umur 8.5, 7.2, 6 dan 5 tahun pada bonita I, II, III, dan IV dan akan berulang untuk ditanam kembali dengan hutan tanaman sengon setelah dilakukan penebangan.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

TAHUN

m3

MAI BI

CAI BI

MAI BII

CAI BII

MAI BIII

CAI BIII

MAI BIV

CAI BIV

Page 160: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 160 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

A. Karbon Tersimpan dalam Biomassa di Atas Permukaan Tanah

Hasil dari perhitungan dengan persamaan (1) dengan data dari Tabel 1 menghasilkan karbon biomassa di atas permukaan tanah seperti disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan peningkatan cadangan karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan tanah tegakan sengon sejalan dengan peningkatan kualitas tempat tumbuh (bonita). Apabila tegakan sengon tidak ditebang hingga berumur 12 tahun, maka karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan tanah pada bonita I, II, III, dan IV berturut-turut adalah sebanyak 82.39, 96.73, 123.83, dan 133.36 ton C/ha. Tabel 2. Karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan tanah pada tegakan sengon dengan beberapa bonita.

Umur Karbon biomassa di atas permukaan tanah (ton/ha)

Bonita I Bonita II Bonita III Bonita IV

2 5.29 7.90 11.98 15.80

3 12.34 17.37 26.25 31.99

4 20.80 27.24 41.45 51.47

5 28.04 36.72 56.19 67.26

6 35.27 45.40 67.25 78.84

7 44.67 56.12 76.46 89.37

8 52.66 64.01 91.26 106.29

9 58.77 70.78 103.11 116.44

10 64.41 76.42 109.03 123.21

11 72.87 86.57 114.95 128.28

12 82.39 96.73 123.84 133.36

Penelitian yang dilakukan oleh Gintings (1997); Siregar dan Dharmawan

(2006) dalam Masripatin et.al. (2010) pada tegakan sengon umur 8-18 tahun dengan metode destructive sampling menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan penelitian ini. Mereka menemukan bahwa cadangan karbon dalam biomassa di atas permukaan tanah pada tegakan sengon adalah sebesar 112.8-122.7 ton C/ha. Namun demikian, tidak informasi yang spesifik tentang bonita dari penelitian yang mereka lakukan. B. Karbon Tersimpan dalam Biomassa di Bawah Permukaan Tanah

Hasil dari perhitungan dengan persamaan (2) setelah data dari Tabel 2 diolah dengan persamaan (3) dapat disajikan dalam Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa jumlah karbon dalam nekromassa pada tegakan hutan sengon umur 12 tahun pada bonita I, II, III, dan IV berturut-turut adalah sebesar 6.47, 7.31, 9.26, dan 9.13 ton C/ha. Serupa dengan karbon dalam biomassa di atas permukaan tanah, jumlah karbon tersimpan dalam nekromassa pun semakin tinggi dengan meningkatnya bonita.

Page 161: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 161

Tabel 3. Jumlah karbon tersimpan dalam nekromassa tegakan sengon bonita I, II, III, dan IV

Umur Karbon tersimpan dalam nekromassa (ton/ha)

Bonita I Bonita II Bonita III Bonita IV

2 0.59 0.77 0.81 0.59

3 1.12 1.38 1.73 1.42

4 1.76 2.01 2.70 2.67

5 2.22 2.62 3.65 3.69

6 2.69 3.18 4.36 4.43

7 3.39 3.98 5.05 5.22

8 3.99 4.58 6.37 6.73

9 4.45 5.08 7.42 7.63

10 4.87 5.51 7.95 8.23

11 5.62 6.41 8.48 8.68

12 6.47 7.31 9.26 9.13

Selanjutnya, hasil dari perhitungan dari persamaan (4) dapat disajikan dalam Tabel 4. Karbon tersimpan dalam biomassa akar tegakan sengon kurang lebih sebanyak 19% dari total karbon tersimpan dalam biomassa. Proporsi ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan tegakan hutan yang lain, misalnya akasia mangium yang hanya 13.95% (Kurniyawan, 2010). Estimasi yang dibuat dengan persamaan yang dibangun oleh Guy dan Benowicz (1998) menunjukkan kecermatan yang cukup tinggi. Keterbatasan tenaga, biaya, dan waktu menjadi kendala dalam membuat persamaan allometrik yang spesifik tentang hubungan antara total massa tanaman sengon dengan fraksi akarnya. Tabel 4. Jumlah karbon tersimpan dalam biomassa akar tegakan sengon bonita I, II, III, dan IV

Umur Karbon dalam biomassa akar (ton/ha)

Bonita I Bonita II Bonita III Bonita IV

2 3.16 4.08 5.33 6.36

3 5.43 6.76 8.80 9.98

4 7.58 9.01 11.78 13.53

5 9.18 10.90 14.31 16.05

6 10.63 12.49 16.05 17.76

7 12.36 14.30 17.42 19.25

8 13.73 15.55 19.51 21.50

9 14.72 16.58 21.09 22.79

10 15.61 17.41 21.85 23.63

11 16.89 18.86 22.61 24.25

12 18.27 20.24 23.71 24.86

Apabila tegakan sengon tidak ditebang hingga umur 12 tahun, maka

jumlah karbon tersimpan bersih dalam tegakan sengon dapat disajikan dalam

Page 162: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 162 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Tabel 5 dan Gambar 2. Apabila tegakan sengon dipanen pada daur optimalnya yaitu pada tahun ke 8, 7, 6, dan 5 pada bonita I, II, III, dan IV, maka dinamika jumlah karbon tersimpan yang terjadi dapat disajikan dalam Gambar 3.

Tabel 5. Jumlah karbon tersimpan bersih dalam tegakan sengon bonita I, II, III, dan IV hingga umur 12 tahun

Umur Net Karbon (ton/ha)

Bonita I Bonita II Bonita III Bonita IV

2 7.86 11.21 16.49 21.57

3 16.65 22.75 33.33 40.55

4 26.62 34.24 50.53 62.32

5 34.99 45.00 66.85 79.62

6 43.21 54.71 78.93 92.17

7 53.64 66.43 88.83 103.39

8 62.40 74.99 104.40 121.06

9 69.05 82.28 116.77 131.60

10 75.15 88.33 122.94 138.60

11 84.14 99.02 129.08 143.85

12 94.19 109.66 138.28 149.08

Gambar 2. Jumlah karbon tersimpan bersih tegakan sengon bonita I, II, III, dan IV

hingga umur 12 tahun

0

20

40

60

80

100

120

140

160

Bonita I Bonita II Bonita III Bonita IV

To

n C

/ha

Tahun ke-2

Tahun ke-3

Tahun ke-4

Tahun ke-5

Tahun ke-6

Tahun ke-7

Tahun ke-8

Tahun ke-9

Tahun ke-10

Tahun ke-11

Tahun ke-12

Page 163: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 163

Gambar 3. Dinamika jumlah karbon tersimpan dalam biomassa tegakan sengon

selama 30 tahun dengan kegiatan pemanenan pada daur optimalnya C. Karbon Tersimpan Dalam Tanah

Karbon tersimpan dalam tanah dalam hutan tanaman sengon, di mana daur berikutnya juga masih berupa hutan tanaman sengon, terutama terakumulasi dalam daun, ranting, dan cabang yang ditinggalkan pada saat kegiatan pemanenan. Selain itu, tumbuhan bawah termasuk tanaman pertanian juga berkontribusi dalam jumlah cadangan karbon dalam tanah.

Data tentang perubahan tahunan cadangan karbon dalam tanah sulit untuk diperoleh. Penelitian di Sukabumi, Jawa Barat pada tanah Ferrasols di bawah tegakan sengon (Siringgoringgo, 2006) menunjukkan bahwa cadangan karbon tanah pada kedalaman 0-5, 5-10, 10-20, 20-30 berturut turut adalah sebesar 15.43, 27.24, 44.85, dan 59.43 ton/ha. Semakin dalam kedalam tanah, semakin tinggi cadangan karbon tersimpannya.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan: 1. Jumlah karbon tersimpan dalam biomassa di atas permukaan tanah

tegakan sengon pada bonita I, II, III, dan IV pada umur 12 tahun berturut-turut adalah: 82.39, 96.73, 123.83, dan 133.36 ton C/ha.

2. Jumlah karbon dalam nekromassa pada tegakan hutan sengon umur 12 tahun pada bonita I, II, III, dan IV berturut-turut adalah sebesar 6.47, 7.31, 9.26, dan 9.13 ton C/ha

3. Jumlah karbon dalam akar pada tegakan hutan sengon umur 12 tahun pada bonita I, II, III, dan IV berturut-turut adalah sebesar 18.27, 20.24, 23.71, dan 24.86 ton C/ha

4. Apabila penebangan dilakukan pada umur daur optimalnya (bonita I = 8 th, II = 7 th, III = 6 th, dan IV = 5 th) , maka jumlah karbon tersimpan dalam bonita I, II, III, dan IV adalah 62, 66, 79, dan 80 ton C/ha.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Tahun

To

n C

/ha

Bonita I Bonita II Bonita III Bonita IV

Page 164: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 164 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

DAFTAR PUSTAKA

Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: a primer. FAO Forestry Paper 134. Rome

Hardjana, A.K. 2010. Potensi biomassa dan karbon pada hutan tanaman Acacia mangium di PT Surya Htutani Jaya, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 7 No. 4: 237-249

IPCC. 2006. IPCC guidelines for national greenhouse gas inventories vol. 4: agriculture, forestry and other land use.

Krisnawati, H., E. Varis, M. Kallo, dan M. Kanninen. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor.

Laela dan Siswamartana (2009).Kualitas kayu JPP pada kelas umur I di beberapa lokasi penelitian.

Masripatin, N., K. Ginoga, G. Pari, WS Dharmawan, CA Siregar, A. Wibowo, D. Puspasari, AS Utomo, N. Sakuntaladewi, M Lugina, Indartik, W. Wulandari, S. Darmawan, I. Heriansyah, NM Heriyanto, HH Siringgoringgo, R. Damayanti, D. Anggraini, H. Krisnawati, R. Maryani, D. Apriyanto, dan B. Subekti. 2010. Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.

Riyanto HD dan PB Putra. 2010. Model Pertumbuhan Tegakan Hutan Tanaman Sengon untuk Pengelolaan Hutan. Tekno Hutan Tanaman Vol 3 No 3. Puslit Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

Siringgoringgo, HH dan CA Siregar. 2006. Perubahan kandungan karbon tanah pada tegakan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen di Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam III (5): 477-489. Bogor.

Suharlan, A., K. Sumarna, J. Sudiono, 1975. Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri Cetakan II dalam Informasi Teknis No. 39 tahun 1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.

Tassone, VC., J. Wesseler, and F.S. Nesci. 2004. Diverging incentives for afforestation from carbon sequestration: an economic analysis of the EU afforestation program in the south of Italy. Forest Policy and Economics 6 pp. 567-578.

Van Kooten, Kremar-Nozic, E. Stenes, B., Van Gorkom. 1999. Economics of fossil fuel substitution and wood product sinks when trees are planted to sequester carbon on Agricultural land in western Canada. Canadian journal of forestry research 29, 1669-1678

Page 165: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 165

Page 166: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 166 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

KAJIAN PARTISIPASI PESANTREN DALAM KEGIATAN PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT

Oleh:

Budiman Achmad

ABSTRAK

Partisipasi Pondok Pesantren (Pontren) dalam pengembangan hutan rakyat dilihat dari empat kondisi yaitu: perencanaan, produksi, kelembagaan, dan pemasaran. Kegiatan ini dilakukan pada bulan Mei - Juni 2008 di dua pesantren yaitu Al-Wasilah dan Cintawana. Data dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuisioner pada responden terpilih, kemudian diolah menggunakan metode statistik non-paramatik yaitu Uji Mann Whitney dan dianalisis secara diskriptif. Hasilnya menunjukkan bahwa pada kegiatan perencanaan pembangunan hutan rakyat, partisipasi Pontren ditunjukkan oleh kesamaan sikap responden di kedua desa kajian dan sikap tersebut terlihat dengan jelas. Kondisi produksi dibagi dua aspek yaitu aspek teknis dan non teknis, dimana pada aspek teknis partisipasi Pontren tidak terlihat dengan jelas namun pada aspek non teknis partisipasinya sangat jelas. Pada kondisi kelembagaan, yang dilihat berupa rutinitas pertemuan kelompok dengan hasil bahwa partisipasi tidak terlihat dengan jelas. Selanjutnya pada kondisi pemasaran, diketahui sikap yang berbeda-beda dimana pada item yang berhubungan dengan penampungan hasil kayu terlihat adanya partisipasi, namun pada item yang berhubungan dengan penataan harga, partisipasinya tidak terlihat dengan jelas. Kata kunci: Hutan Rakyat, Pesantren, Partisipasi, sikap responden

I. PENDAHULUAN

Pontren merupakan lembaga yang bergerak pada bidang pendidikan Islam, namun seiring dengan perubahan jaman dan kebutuhan, pontren juga mulai ikut terlibat dalam kegiatan penghijauan lingkungan kususnya pembangunan hutan rakyat. Biasanya para kyai-nya mensosialisasikan norma agama lewat buku dan tembang agama, termasuk kegiatan yang berhubungan dengan kelestarian alam, disosialisasikan melalui salawatan di masjid yang ada di desa/kampung (Diniyati, dkk. 2010). Sejauh ini keterlibatan pesantren dalam pembangunan kehutanan khususnya hutan rakyat masih terbatas pada kegiatan pembuatan persemaian, pembagian dan penanaman pohon, atau sebagai mediator/fasilitator antara masyarakat dengan pemerintah atau swasta (Diniyati, dkk. 2010). Untuk itulah perlu dilakukan suatu kajian untuk mengetahui sejauh mana partisipasi pontren pada kegiatan pembangunan hutan rakyat.

Partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi (Firmansyah. 2011). Pentingnya

Page 167: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 167

partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991) dalam Firmansyah (2011) sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Oleh karena itu pada pembangunan hutan rakyat bersama pesantren ini akan diuraikan sejauh mana partisipasi pesantren pada bidang-bidang seperti perencanaan, produksi, kelembagaan dan pemasaran.

II. METODE PENELITIAN A. Kerangka Analisis

Komponen pesantren terdiri dari: kyai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning. Pada program pembangunan hutan rakyat yang dilakukan oleh pesantren, hampir seluruh komponen tersebut terlibat. Biasanya sebagai pelaksana dari kegiatan pembangunan hutan rakyat adalah para santri atau mustame.

Oleh karena itu untuk melihat partisipasi pesantren yaitu dengan mengetahui pendapat/sikap para mustamenya yang telah ikut berpartisipasi pada kegiatan ini. Alat analisis yang digunakan adalah metode statistic non parametik yaitu Uji Mann Whitney. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah pesantren telah berpartisipasi berupa bimbingan, arahan, petunjuk dan pelatihan yang cukup dalam proses pembangunan hutan rakyat yang dilihat berdasarkan: kondisi produksi, kondisi kelembagaan, kondisi pemasaran, dan kondisi perencanaan. Partisipasi pesantren dalam pembangunan hutan rakyat akan dianalisis berdasarkan sikap para mustame itu sendiri terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh pesantren dalam proses pembangunan hutan rakyat.

B. Lokasi dan Waktu

Lokasi kajian dilakukan di dua pontren yaitu 1). Al Wasilah yang terletak di Kabupaten Garut, kemudian dipilih satu kelompok tani yang menjadi binaan pesantren di Desa Majasari Kecamatan Cibiuk, 2). Cintawana terletak di Kabupaten Tasikmalaya, dipilih satu kelompok tani binaan pesantren di Desa Cilolohan Kecamatan Tanjung Jaya. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2008.

Page 168: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 168 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

C. Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

Unit analisis adalah: petani hutan rakyat anggota pesantren dan ikut dalam kegiatan penghijauan. Pemilihan responden dilakukan secara acak sederhana dengan jumlah 16 orang Desa Cilolohan dan 13 orang Desa Majasari. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuisioner. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari laporan-laporan instansi terkait yang berhubungan dengan kegiatan kajian ini, kepustakaan dan layanan internet.

Data diolah dengan menggunakan metode statistik non paramatik yaitu Uji Mann Whitney, menggunakan hipotesis : Ho = Ada partisipasi pontren terhadap pembangunan hutan rakyat yang

ditunjukkan oleh sikap yang sama dari para mustame di kedua desa H1 = Partisipasi pontren terhadap pembangunan hutan rakyat tidak terlihat

dengan jelas yang ditunjukan oleh sikap yang berlainan di kedua desa tersebut

Kriteria pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan cara : Perhitungan untuk pengujian didekati dengan harga U yang lebih kecil yang digunakan untuk pengujian dan membandingkan dengan U tabel.

U = n1.n2 +[ 1/2nx(nx+1) – Rx]. Dimana: n 1 = jumlah variabel 1, yaitu Desa Cilolohan (16) n 2 = jumlah variabel 2, yaitu Desa Majasari (13) Rx = jumlah ranking sebuah kota X = kode variabel, jika dihitung sample 1, maka akan menjadi n 1

o Jika U hitung > U tabel, maka H0 diterima dan Selanjutnya data yang terkumpul seluruhnya dianalisis secara diskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat partisipasi pontren dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat dilihat dari keterlibatan aktif dan bermakna dalam tingkatan perencanaan pembangunan hutan rakyat, kondisi produksi, kondisi kelembagaan, dan kondisi pemasaran. ini sejalan dengan prinsip-prinsip manajemen yang terdiri dari: 1) pembagian kerja; 2) kewenangan dan tanggung jawab; 3) disiplin; 4) kesatuan komando; 5) kesatuan arah; 6) kepentingan bersama; 7) pemberian insentif yang adil; 8) sentralisasi; 9) skala planning; 10) pembagian tugas yang jelas; 11) pemerataan untuk keadilan; 12) stabilitas hak personal; 13) inisiatif; dan 14) team work dan menjaga hubungan personal.

A. Partisipasi pada Perencanaan

Pada partisipiasi ini terdapat lima item kegiatan yang dikaji dari sikap petani terhadap partisipasi pesantren pada perencanaan pembangunan hutan rakyat. Partisipasi pontren akan terlihat ada apabila sikap dari para mustame di kedua desa menunjukkan sikap yang sama, namun sebaliknya apabila sikap

Page 169: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 169

mustame di kedua desa menunjukan hal yang berbeda ini mencerminkan bahwa partisipasi pontren pada kegiatan perencanaan pembangunan hutan rakyat belum terlihat dengan jelas. Seperti dikemukakan oleh Firmansyah (2011) bahwa apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Selanjutnya dari hasil perhitungan dengan menggunakan uji Mann-Whitney dihasilkan keputusan seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Mann Whitney terhadap sikap Mustame untuk mengetahui

partisipasi pontren pada perencanaan pembangunan hutan rakyat.

Keterangan : * = terima H0. Sumber: Diolah dari data primer, 2008

Berdasarkan pengujian dengan menggunakan Mann Whitney, diketahui bahwa mustame di kedua desa kajian menunjukan sikap yang sama, untuk semua item kegiatan partisipasi pontren pada perencanaan pembangunan hutan rakyat. Ini berarti menerima Ho yang menunjukkan bahwa mustame menyadari pontren memiliki partisipasi pada kegiatan perencanaan pembangunan hutan rakyat. Selain itu mustame merasakan bahwa pada tahap ini pontren telahmemberikan ruang untuk ikut terlibat aktif dalam menentukan rencana pembangunan hutan rakyat (penghijauan lingkungan) yang akan dilaksanakan oleh para mustame, sehingga mereka mengetahui tahapan yang akan dilakukan untuk pembangunan hutan rakyat. Pada kondisi perencanaan ini seluruh prinsip partisipasi seperti prinsip cakupan, kesetaraan dan kemitraan, transparansi, kesetaraan kewenangan dan tanggung jawab, pemberdayaan serta kerjasama dapat dipenuhi.

B. Partisipasi pada Kondisi Produksi

Untuk mengetahui partisipasi pontren pada kondisi produksi dalam pembangunan hutan rakyat, maka dilihat dari sikap mustame dalam menilai pontrennya. Jika sikap yang ditunjukkan sama untuk kedua desa kajian ini menunjukkan bahwa pontren pada kondisi produksi mempunyai kontribusi,

No Item kegiatan Partisipasi Terhadap U hit. U tab α =

0,025

1 Sosialisasi program 102,5* 51

2 Pelibatan dalam perencanaan kegiatan penghijauan

lingkungan oleh pesantren

90* 51

3 Kegiatan pelibatan dalam penentuan lahan 98* 51

4 Kegiatan pelibatan dalam penentuan jenis tanaman 100* 51

5 Kegiatan pelibatan dalam penentuan jumlah

tanaman yang akan dibagikan kepada peserta

program

104* 51

Page 170: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 170 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

namun sebaliknya jika sikap yang ditunjukkannya berlainan pada kedua desa kajian tersebut, berarti partisipasi pontren belum terlihat dengan jelas.

Untuk melihat sikap, dikaji sebanyak 5 item dengan hasil seperti ditunjukkan oleh Tabel 2. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa sikap mustame pada kondisi produksi ini berlainan. Terlihat pada aspek teknik umumnya mustame memiliki sikap yang berlainan seperti pada aspek penyediaan bibit dan kesesuaian jarak tanam pada hutan rakyat, dihasilkan keputusan yang menolak Ho ini berarti bahwa partisipasi pontren belum terlihat. Hal ini juga menunjukkan bahwa prinsip kerjasama dengan pihak-pihak lain yang lebih paham tentang teknis kehutanan belum dijalankan dengan baik oleh pontren, sehingga dalam penyediaan bibit serta teknik menanam belum dipahami dengan baik oleh pontren, akibatnya alih pengetahuan dan teknologi ke mustame juga menjadi kurang baik. Namun pada aspek non-teknis seperti pada kegiatan upah tenaga kerja yang dibagikan ke peserta, dihasilkan keputusan menerima Ho yang berarti bahwa partisipasi pontren terlihat dengan jelas. Pada kondisi ini prinsip transparansi terlihat sangat jelas.

Tabel 2. Hasil Uji Mann Whitney terhadap sikap mustame untuk mengetahui

partisipasi pontren pada kondisi produksi

SKeterangan * = terima H0. Sumber: Diolah dari data primer, 2008

Demikian juga hasil perhitungan terhadap kondisi bantuan pupuk yang dibagikan kepada peserta program, dihasilkan keputusan menolak Ho yang berarti bahwa partisipasi pontren tidak terlihat dengan jelas. Hal ini bertolak belakang dengan fitrah pontren yang selalu menyampaikan amanah, dimana amanah yang baik merupakan ciri pontren. Hal ini mungkin saja terjadi, karena bantuan pupuk yang diberikan kepada pontren langsung dibagikan oleh pihak pemberi program bukan oleh pontren. Lebih jauh dari hasil wawancara dengan mustame, diketahui bahwa bantuan pupuk yang diberikan tidak cukup untuk tanaman yang dibagikan. Dengan kondisi ini maka partisipasi pontren untuk melakukan negosiasi terhadap bantuan pupuk ini belum terlihat dengan jelas, pada kondisi ini prinsip kesetaraan dan kemitraan belum dapat dilakukan dengan baik.

Demikian juga pada sikap kajian pemahaman teknik penanaman dihasilkan keputusan menerima Ho, ini berarti bahwa partisipasi pontren terlihat

No Item kegiatan Partisipasi Terhadap U hit. U tab

α = 0,025

1 Sosialisasi program 102,5* 51

2 Pelibatan dalam perencanaan kegiatan penghijauan

lingkungan oleh pesantren

90* 51

3 Kegiatan pelibatan dalam penentuan lahan 98* 51

4 Kegiatan pelibatan dalam penentuan jenis tanaman 100* 51

5 Kegiatan pelibatan dalam penentuan jumlah tanaman

yang akan dibagikan kepada peserta program

104* 51

Page 171: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 171

dengan jelas. Ini membuktikan bahwa pontren telah mampu berpartisipasi dengan baik. Mustame merasa bahwa pontren telah mampu memberikan penyuluhan tentang jarak tanam yang baik untuk menanam tanaman kehutanan. Jelas pada kondisi produksi ini belum semua prinsip-prinsip partisipasi dapat diterapkan.

C. Partisipasi pada Kondisi Kelembagaan

Pada partisipasi pontren untuk kondisi kelembagaan akan dilihat berdasarkan 5 (lima) item yang terdiri dari: pembentuk kelompok tani (organisasi), apakah sudah tersusun organisasi kelompok seperti: ada ketua, bendahara, sekretaris, dan lainnya, pendampingan pontren pada kelompok tani, pertemuan kelompok yang dilakukan secara rutin, terbentuknya aturan-aturan dalam kelompok yang terkait dengan hutan rakyat. Berdasarkan item-item ini akan dikaji sejauh mana partisipasi pontren di kedua desa dalam membina kelembagaan kelompok tani supaya dapat mandiri dan berperan aktif dalam mengembangkan hutan rakyat.

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Mann Whitney seperti disajikan pada Tabel 3, terlihat bahwa hanya satu item mengenai rutinitas pertemuan kelompok yang menghasilkan keputusan Ho ditolak yang berarti bahwa sikap mustame di kedua desa berlainan. Ini menunjukkan bahwa partisipasi pontren pada item ini belum terlihat dengan jelas. Hal ini dimungkinkan karena dari hasil wawancara diketahui bahwa pertemuan di kelompok yang membahas kegiatan kusus mengenai hutan rakyat atau penghijauan lingkungan sangat jarang dilakukan. Kegiatan pertemuan atau penyuluhan pernah dilakukan oleh pontren hanya pada awal program saja, namun setelah program berjalan tidak pernah lagi dilakukan. Kalaupun ada penyuluhan tentang budidaya pertanian/kehutanan diselenggarakan oleh perusahan obat yang akan menjual produknya kepada para mustame. Hal ini sejalan dengan hasil kajian dari Diniyati (2009) di Desa Sandingtaman Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis bahwa efektivitas kegiatan penyuluhan yang sudah ada saat ini masih dirasakan kurang oleh petani. Dengan demikian maka prinsip partisipasi kerjasama dengan pihak-pihak yang paham tentang teknis kehutanan belum berjalan dengan baik, dimana kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia sangat diperlukan (Monique Sumampouw, 2004 dalam Firmansyah, 2011)

Sedangkan pada empat item lainnya yaitu: terbentuk kelompok tani, tersusunnya organisasi kelompok, pendampingan pontren dan aturan dalam kelompok, dihasilkan keputusan Ho diterima. Ini berarti bahwa sikap yang ditunjukkan oleh mustame di kedua desa sama, dengan demikian maka ada partisipasi pontren pada kegiatan tersebut.

Page 172: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 172 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Tabel 3. Hasil Uji Mann Whitney terhadap sikap Mustame untuk mengetahui partisipasi pontren pada kondisi kelembagaan

Sumber: Diolah dari data primer, 2008 D. Partisipasi pada Kondisi Pemasaran

Partisipasi di bidang pemasaran juga dikaji berdasarkan 5 (lima) item. Hasil yang diperoleh berdasarkan pengujian seperti tercantum pada Tabel 4. Pada item kegiatan jaminan pasar, transaksi jual kayu, pontren selalu berperan khususnya pada tata aturan penjualan hasil hutan rakyat, dihasilkan keputusan yang menerima Ho. Ini berarti bahwa ada partisipasi pontren dalam kegiatan pemasaran untuk item tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya jaminan pasar bagi tanaman kayu yang telah di tanam oleh para mustame. Pontren telah membuat MOU penjualan kayu dari para mustamenya dengan perusahaan, sehingga para mustame tidak merasa khawatir tetang lembaga penampung hasil panen kayu.

Adanya MOU ini memberikan keuntungan kepada pihak perusahaan bahwa ada jaminan kayu, dan untuk mustame ada jaminan bahwa kayu yang dihasilkannya sudah jelas ada penampungnya. Sebenarnya dengan adanya MOU ini lebih menguntungkan perusahaan, karena dengan ada MOU ini sudah ada ikatan antara mustame dengan perusahaan. MOU ini menurut mustame sifatnya adalah janji apalagi pada nota MOU-nya juga didatangani kyai dari pontren dan janji adalah hutang yang harus dipenuhi/dibayar, sehingga peluang mustame menjual ke pihak lain akan kecil sekali, kalaupun pihak lain itu memberikan harga yang lebih mahal terhadap kayunya.

Sedangkan untuk item kegiatan penentuan harga jual yang tertata dengan baik dan mempelancar pemasaran, dihasilkan keputusan yang menolak Ho. Artinya bahwa partisipasi pontren pada item ini belum terlihat dengan nyata. Hal ini dimungkinkan karena pontren belum dapat memperkirakan harga jual dari kayu untuk masa yang akan datang, sehingga mekanisme harga jual ditentukan pada mekanisme harga yang berlaku pada saat transaksi. Sebenarnya harga yang berlaku pada saat transaksi ini ada kelebihan dan kekurangannya, yaitu apabila harga pada saat transaksi itu tinggi sehingga lebih besar dari biaya yang dikeluarkan maka menguntungkan, namun sebaliknya jika harga jual rendah dan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan akan merugikan mustame. Untuk itulah maka prinsip kesetaraan dan kemitraan serta kerjasama dengan lembaga-lembaga pemasaran kayu harus terus ditingkatkan oleh pontren, supaya hasil-hasil produksi kayu dari para mustamenya dapat dijual ke pasar lainnya.

U tab.

α = 0,025

1 Terbentuk kelompok tani 85,5 51 H0 diterima

2 Tersusun organisasi kelompok 51,5 51 H0 diterima

3 Pendampingan pesantren 83 51 H0 diterima

4 Rutinitas pertemuan kelompok 43 51 H0 ditolak

5 Aturan dalam kelompok tani 81,5 51 H0 diterima

No Item kegiatan Partisipasi Terhadap U hit. Keputusan

Page 173: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 173

Tabel 4. Hasil Uji Mann Whitney terhadap sikap Mustame untuk mengetahui partisipasi pontren pada kondisi pemasaran

Keterangan : * = terima H0. Sumber data: Diolah dari data primer, 2008

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kegiatan perencanaan pembangunan hutan rakyat memiliki tingkat

partisipasi yang tinggi, karena pontren melibatkan kegiatan perencanaan ini kepada para mustamenya.

2. Pada kegiatan partisipasi lainnya seperti kondisi produksi, kelembagaan dan kondisi pemasaran belum terlihat dengan jelas partisipasinya.

B. Saran 1. Untuk meningkatkan partisipasi pontren pada kegiatan pembangunan hutan

rakyat dapat dilakukan melalui upaya penyuluhan mengenai penghijauan lingkungan secara kontinyu sehingga pontren dan mustame akan mengetahui manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan tersebut.

2. Pasar harus terus diciptakan bagi kegiatan bersama pontren ini dimana pemerintah harus turut serta menentukan harga jual kayu yang tidak merugikan pontren.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Artikel Pengertian dan Arti Pentingnya Partisipasi. http://www.kucingkumeong.multiply.com/journal/item/79 - 23k. Diakses pada tanggal 10 juli 2008.

Awang. S.A., H. Santoso, W.T. Widayanti, Y. nugroho, Kustomo dan Sapardiono. 2001. Gurat Hutan Rakyat Di Kapur Selatan. Debut Press. Yogyakarta

Awang. S.A. 2007. Penyusunan Buku Ajar. Program Peningkatan Kualitas Pembelajaran Dan Penjaminan Mutu Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Partisipasi Dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurusan/Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

U tab.

α = 0,025

1 Jaminan pasar 64,5* 51

2 Penentuan harga jual yang tertata dengan baik 45,0 51

3 Mempelancar pemasaran 31,5 51

4 Transaksi jual kayu selalu berperan 75,5* 51

5 Berperan pada tata aturan penjual hasil hutan

rakyat

76,5* 51

No. Item kegiatan Partisipasi Terhadap U hit.

Page 174: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 174 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Diniyati, D. 2009. Bentuk Insentif Pengembangan Hutan Rakyat Di Wilayah Ekosistem Gunung Sawal, Ciamis. Tesis. Program Studi Ilmu Kehutanan. Program Pascasarjana. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Diterbitkan

Diniyati, D. E. Fauziyah dan B.Achmad. 2010 Potensi dan Peran Pesantren Sebagai Lembaga Pelaksana Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Hal. 41 – 54. Volume 7 Nomor 1 Maret Tahun 2010. Jurna Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan.Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor

Firmansyah. S. 2011. Partisipasi Masyarakat. Dalam Sosial dan Budaya. 5 Juni 2009. http://sacafirmansyah.wordpress.com/2009/06/05/partisipasi-masyarakat/ . Diakses pada tanggal 8 Juli 2011

Keputusan Menteri Kehutanan. Nomor. 49/ kpts-II/ 1997 tentang pendanaan dan usaha hutan rakyat tanggal 20 Januari 1997.

Page 175: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 175

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT OLEH PETANI DI KABUPATEN CIAMIS Oleh:

Dian Diniyati dan Eva Fauziyah

ABSTRAK Kegiatan pengelolaan hutan rakyat telah dilakukan oleh petani sudah sangat lama, dengan teknik yang berasal dari warisan orang tuannya serta melalui kegiatan resmi seperti kegiatan penyuluhan. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran tentang pola pengelolaan hutan rakyat yang telah dilakukan oleh petani di Kabupaten Ciamis. Kegiatan dilakukan di Kecamatan Panjalu Desa Ciomas, Kecamatan Pamarican Desa Neglasari, Kecamatan Banjarsari Desa Kalijaya dan Kecamatan Cimerak Desa Kertaharja, pada Bulan April sampai dengan Juli 2010. Data dikumpulkan dari petani hutan rakyat yang terpilih sebagai responden, data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa lokasi yang dijadikan sebagai wilayah hutan rakyat adalah lahan yang termasuk pada lahan kategori tanah kering, pada saat sekarang hanya bisa diusahakan sebagai budidaya tanaman kehutanan. Penanaman dilakukan dengan pengolahan sederhana disertai dengan pemberian pupuk dasar yaitu pupuk kandang, sedangkan bibit yang digunakan untuk pengembangan hutan rakyat berasal dari wilayah sekitar petani. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukan, pemberantasan HPT, penyulaman, pemangkasan dan penjarangan dilakukan oleh petani sesuai dengan kondisi keuangan yang tersedia. Sementara itu umur panen kayu berdasarkan daur butuh, dan pemanenan yang dilakukan sangat berhubungan erat dengan kondisi penjualan kayu yang dilakukan oleh petani. Kata kunci: petani, pola, pengelolaan, hutan rakyat

I. PENDAHULUAN

Luas kawasan hutan rakyat yang ada di kabupaten Ciamis, Jawa barat adalah 31.707,44 ha yang tersebar pada 36 kecamatan. Luas wilayah Kabupaten Ciamis secara keseluruhan mencapai 244.479 ha, dengan demikian maka luas hutan rakyat ini merupakan 13 % dari luas wilayah Kabupaten Ciamis (BPS Kabupaten Ciamis, 2010).

Namun demikian hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ini dimanfaatkan sebagai fungsi produksi, lindung dan konservasi sehingga manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh pemilik saja melainkan seluruh lapisan masyarakat ikut merasakan manfaatnya dalam hal mengatur tata air, penyerap karbon dioksida dan produsen oksigen sehingga menghasilkan udara bersih, pemandangan indah, mencegah banjir dan erosi. Namun petani sebagai pemilik hutan rakyat lebih mengutamakan memanfaatkan hutan rakyat dari aspek ekonomi yaitu dapat memberikan keuntungan finansial.

Oleh karena itu lahan hutan rakyatnya akan dibudidayakan dengan maksimal dengan jenis-jenis yang potensial yang telah dikenal seperti sengon,

Page 176: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 176 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

mahoni, afrika, manglid, tisuk, suren, dll. Kegiatan budidaya hutan rakyat ini telah dilakukan oleh petani secara turun temurun sehingga teknik pengembangan juga berdasarkan informasi yang telah diterimanya baik itu secara tidak resmi yang berasal dari orang tua maupun lewat kegiatan resmi seperti penyuluhan. Seperti dikemukakan oleh Hardjanto (2000) bahwa budidaya hutan rakyat pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat, walaupun dalam pengertian apa adanya. Artinya mulai dari penyediaan biji, bibit, penanaman, pemeliharaan sampai siap jual, semuanya dilakukan secara sederhana. Walaupun demikian sangat jarang sekali petani mengalami kegagalan dalam kegiatan budidaya hutan rakyat ini dikarenakan kemahiran para petani dalam menanam dan memelihara tanaman kayunya (Hardjanto, 2000).

Menurut Djajapertjunda (2003) pembangunan hutan milik harus dimulai dengan suatu perencanaan yang akan menggambarkan: 1) Lokasi kawasan; 2) Tujuan pembangunan hutan; 3) Pemilihan jenis; 4) Sistem pembangunan hutan; 5) Sistem pengelolaan dan; 6) Sistem pemungutan hasil; 7) Rencana pemanfaatan kayu yang dihasilkan serta 8) Sistem pemasarannya. Tulisan ini ingin memberikan gambaran tentang pola pengembangan hutan rakyat yang telah dilakukan oleh petani di Kabupaten Ciamis. Diharapkan informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan kebijakan dalam upaya pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis pada kususnya.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di empat Kecamatan yang mewakili wilayah pembangunan Ciamis, yaitu Kecamatan Panjalu Desa Ciomas (wilayah Ciamis utara), Kecamatan Pamarican Desa Neglasari (wilayah Ciamis Tengah), Kecamatan Banjarsari Desa Kalijaya dan Kecamatan Cimerak Desa Kertaharja (wilayah Ciamis Selatan). Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juli 2010. B. Teknik Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

Unit analisis yang dijadikan sebagai responden pada penelitian ini adalah petani hutan rakyat anggota kelompok tani. Responden dipilih secara simple random sampling sebanyak 20 orang untuk setiap lokasi penelitian sehingga total responden ada 80 orang.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, diantaranya yaitu data dan informasi mengenai teknik pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh responden petani. Data sekunder dikumpulkan dari laporan instansi terkait seperti: Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis, Badan Pusat Statistik, serta sumber

Page 177: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 177

lainnya yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Data yang telah diperoleh, selanjutnya diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Terbentuknya hutan rakyat karena para petani menanami lahannya

dengan berbagai jenis tanaman, baik itu tanaman kayu, perkebunan, buah dan tanaman obat/tanaman bawah. Pemilihan jenis tersebut dikarenakan berbagai alasan diataranya yaitu: karena tanaman tersebut merupakan warisan yang terdahulu, meniru keberhasilan orang lain, dan yang paling utama adalah karena nilai ekonomi yang dihasilkan oleh tanaman tersebut. Seperti dikatakan oleh Djajapertjunda (2003) di atas tanah-tanah yang sistem pengairannya tidak teratur dan tidak dikelola secara intensif umumnya masih terdapat tanaman-tanaman berupa campuran berbagai pohon dalam bentuk suatu kebun yang tidak teratur, yang mungkin kebun tersebut didapat secara turun temurun dan ada kalanya dikebun tersebut masih tersisa tanah kosong, maka dibagian tersebutlah tanaman kayu ditambahkan, dalam waktu dan jenis kayu yang mungkin tidak seragam sehingga tanamannya menjadi campuran dan tidak seumur. Kondisi ini menghasilkan pola tanam yang sangat beragam di hutan rakyat, seperti pola agroforestry, monokultur dan polykultur. Secara umum kegiatan pengelolaan hutan rakyat seperti diuraikan berikut ini.

A. Lokasi Penanaman

Lokasi yang dijadikan sebagai tempat penanaman kayu di seluruh desa penelitian adalah lahan yang termasuk pada kategori tanah kering yaitu lahan-lahan yang memang sulit mendapat pengairan (air irigasi) dan sumber utamanya berasal dari air hujan. Sesuai dengan pendapat dari Djajapertjunda (2003) dan Suharjito (2000) bahwa hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas) dan kawasan yang akan dijadikan sebagai hutan rakyat, sebaiknya dipilih di kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian secara permanen.

Kusus di Desa Kalijaya Kecamatan Banjarsari banyak lahan sawah yang berubah menjadi lahan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria), hal ini tidak dilakukan di pinggir-pinggir sawah seperti dikemukakan oleh Djajapertjunda (2003) melainkan di seluruh lahan sawah. Kondisi ini terjadi karena adanya dorongan ekonomi dari petani yang mengharapkan hasil pendapatan ekonomi yang tinggi dari kayu sengon yang akan diperoleh nantinya.

B. Persiapan Lapangan dan Penanaman

Persiapan tempat tumbuh yang dilakukan petani responden memiliki banyak persamaan. Tahapan persiapan tempat tumbuh yang dilakukan meliputi : pembersihan rumput dan gulma, pembuatan lubang tanam dan pemberian pupuk awal/dasar yaitu berupa pupuk kandang dan selanjutnya dilakukan

Page 178: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 178 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

penanaman. Selain cara tersebut ada pula petani yang melakukan penanaman dengan sistem cemplongan yaitu petani membersihkan rumput dan gulma hanya dilokasi yang akan dijadikan tempat penanaman tanaman kayu. Hal itu sejalan dengan pendapat Djajapertjunda (2003) bahwa ada kalanya dikebun tersebut masih tersisa tanah kosong, maka dibagian tersebutlah tanaman kayu ditambahkan, selain itu ada juga yang langsung menanam bibitnya tanpa ada pembersihan ataupun pemberian pupuk dasar (baik itu pupuk kandang atau kimia). Dari semua teknik penanaman dan persiapan lapangan yang dilakukan petani pada prinsipnya tidak memerlukan pengolahan lahan yang intensif, karena memang tanaman kehutanan tidak memerlukan pengolahan yang intensif seperti pada lahan pertanian.

C. Pembibitan

Sistem penanaman yang dilakukan responden petani dimulai dari pemilihan bibit yang akan ditanam. Bibit ini merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas tegakan. Namun sayangnya pada saat ini petani masih belum bisa mendapatkan bibit yang berkualitas baik. Di lokasi penelitian bibit yang digunakan berasal trubusan, anakan yang ada disekitar tanaman kayu serta pembibitan sendiri yang berasal dari biji pohon kayu yang ada di hutan rakyat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Hardjanto (2000) bahwa biji yang digunakan untuk mengembangan hutan rakyat petani berasal dari daerah setempat masing-masing tanpa ada seleksi dan perbaikan mutu biji, sehingga benih dan bibit yang dihasilkan pun juga berkualitas apa adanya. Namun menurut Darusman (2008) cara regenerasi yang dilakukan petani yang tradisional memiliki beberapa keuntungan diantaranya yaitu lebih murah karenanya harus dipandang sebagai suatu solusi karena sesuai dengan keterbatasan biaya, tenaga dan waktu yang petani miliki. Keuntungan lainya adalah bahwa dengan cara tradisional ini sesungguhnya terjadi juga seleksi bibit unggul, walaupun tentu lebih lamban, yakni dengan mengambil benih dari pohon yang kelihatannya baik dan disukai pembeli. Ada juga petani yang membeli bibit dari tempat pembibitan atau dari pedagang keliling menggunakan kendaraan yang datang ke desa, namun demikian ternyata bibit tersebut kualitasnya tidak bagus, contohnya bibit sengon yang banyak diperjual belikan oleh pedagang keliling. Setelah pohon sengon besar banyak yang terserang karat tumor. Petani juga mendapatkan bibit kayu dari program kegiatan baik itu kegiatan dari pemerintah ataupun pihak-pihak lainnya.

Dari hasil wawancara dengan petani di seluruh lokasi penelitian diketahui bahwa petani belum mengetahui cara menangani bibit yang baik dan siap untuk ditanam di lahan. Sebagai contoh bibit yang berasal dari anakan, setelah dicabut dari tempat asalnya, langsung ditanam di lokasi yang baru sehingga tidak ada perlakuan awal terlebih dahulu terhadap bibit, yang mengakibatkan persen tumbuhnya akan kecil. Sedangkan jika bibit yang berasal dari benih yang terlebih dahulu disemai kemudian ditanam di polybag, biasanya yang siap ditanam setelah mencapai tinggi 30 – 70 cm. Namun tidak semua petani bisa menentukan

Page 179: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 179

perkiraan umur bibit yang siap tanam, hanya petani yang ada di Desa Kalijaya dan Kertaharja yang dapat menentukan umur bibit yaitu berkisar antara 2 - 4 bulan.

D. Pemeliharaan Pemeliharaan terhadap hutan rakyat yang dimiliki oleh petani sangat tergantung pada jenis tanaman penyusunnya. Jika tanaman itu hanya terdiri dari tanaman kayu maka pemeliharaan dilakukan tidak intensif, namun jika terdapat tanaman strata dua berupa tanaman perkebunan dan buah serta tanaman strata tiga berupa tanaman bawah/obat maka pemeliharaan dilakukan secara intensif. Umumnya pemeliharaan diperuntukan untuk tanaman strata dibawah kayu, dengan demikian tanaman kayu juga ikut terpelihara. Namun dari hasil wawancara, petani mengakui bahwa pemeliharaan terhadap tanaman kayu dilakukan hanya sampai umur 2 tahun, setelah itu ada kecenderungan tanaman kayu dibiarkan tanpa ada pemeliharaan lagi.

Petani di Desa Ciomas umumnya membersihkan rumput dan gulma dengan cara dibabat/dikored, selanjutnya rumput/gulma tersebut dikumpulkan dibawah tanaman kayu atau dibiarkan begitu saja dengan tujuan supaya gulma mongering. ada juga yang dipendam. Semua tindakan tersebut tujuannya adalah agar rumput/gulma dapat menjadi pupuk/kompos. Selain cara tersebut ada pula petani yang menangani rumput/gulma dengan membabat, lalu mengumpulkannya disatu tempat dan kemudian dibakar.

Hutan Rakyat di Desa Neglasari jenis tanaman penyusunnya terdiri dari dua strata yaitu tanaman kayu sebagai strata satu dan tanaman perkebunan dan buah sebagai strata dua, jarang sekali terdapat tanaman dibawah tegakan, kondisi ini mempengaruhi dalam hal penanganan rumput. Diketahui bahwa selain pembersihan rumput seperti yang dilakukan oleh petani di Desa Ciomas, juga dilakukan dengan cara disemprot dengan zat kimia (menggunakan rond-up) dengan tujuan agar rumput/ ilalang/gulma mati. Tindakan penyemprotan ini dilakukan oleh petani supaya dapat menghemat biaya pembersihan rumput, dengan disemprot rumput/gulma akan tumbuh lagi dengan jangka waktu lama dibandingkan dengan teknik pembabatan dimana tumbuh rumputnya lebih cepat, apalagi pada musim hujan. Pembersihan rumput dengan cara disemprot menggunakan zat kimia juga dilakukan oleh petani di Desa Kalijaya dan Kertaharja. Penyemprotan yang dilakukan oleh petani karena umumnya di hutan rakyatnya tidak terdapat tanaman bawahnya.

Pemupukan paling utama dilakukan oleh petani yaitu pada awal penanaman, seluruh petani di lokasi penelitin pada awal tanam melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang, selanjutnya pemupukan menggunakan pupuk kimia (urea, NPK, TSP) serta dicampur dengan pupuk kandang. Pemupukan dilakukan sampai tanaman kayu sengon berumur 2 tahun. Biasanya pupuk diberikan satu tahun 2 kali.

Penyemprotan hama dan penyakit dilakukan jika tanaman terserang penyakit, penyemprotan akan semakin sering jika terdapat tanaman coklat, jika

Page 180: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 180 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

tidak ada tanaman coklat maka jarang sekali dilakukan penyemprotan. Di seluruh lokasi penelitian melakukan pemberantasan hama dan penyakit dengan menggunakan zat kimia, dosis yang digunakan adalah tutup botol zat kimia pemberantas hama tersebut. Pelaksanaan penyemprotan dilakukan bersamaam dengan kegiatan pemupukan. Zat kimia yang sering digunakan oleh petani diantaranya yaitu pastac, decis, furadan, macadon dan puldog.

Penyulaman merupakan suatu kegiatan yang bukan keharusan dilakukan oleh petani. Jika tanaman pokoknya mati ada beberapa petani di lokasi penelitian menggantinya dengan jenis tanaman yang sama, namun jika tidak ada modal maka penggantian tanaman yang mati ini dilakukan dengan bibit tanaman yang dimiliki oleh petani. Hal itu menyebabkan tanaman yang ditanam dapat berlainan jenisnya Sementara kegiatan penjarangan dilakukan jika pertumbuhan tanamannya jelek, ada cacat, terserang hama penyakit, jumlah pohon yang banyak karena jarak tanam yang rapat, dan tanaman yang telah besar. Hasil penjarangan ini biasanya dijual atau dijadikan kayu bakar, namun jika kayunya terlalu rusak maka dibiarkan begitu saja sehingga membusuk. Namun ada juga petani yang tidak melakukan penjarangan dikarenakan rasa sayang terhadap pohon, dan akan ditebang pada saat dibutuhkan saja. Pemangkasan dilakukan petani dengan tujuan supaya tanaman cepat tinggi dan pertumbuhannya bagus, memberikan cahaya supaya tanaman dibawahnya dapat memperoleh sinar matahari. Pemangkasan dilakukan pada umur tanaman sengon 1 – 2 tahun, pada umur tersebut banyak keluar cabang. Pemangkasan ini setiap satu tahun sekali. Tetapi banyak petani yang tidak melakukan pemangkasan pada tanaman kayunya.

E. Pemanenan dan Pemasaran

Rangkaian terakhir dari pengelolaan hutan rakyat adalah pemanenan. Kegiatan pemanenan berhubungan erat dengan sistem penjualan kayu. Kegiatan pemanenan dan pemasaran di seluruh lokasi penelitian seperti diuraikan berikut ini:

1. Waktu dan jumlah penebangan: Tanaman kayu milik masyarakat dapat diatur sedemikian rupa sehingga penebangannya dapat dilasanakan secara terkendali, sehingga kelestarian hutannya, manfaatnya, secara ekonomis maupun manfaat konservasi dapat berlangsung secara kesinambungan, untuk mencapai tujuan tersebut kawasan yang akan ditanam kayu sebaiknya dapat dikelola bersama oleh suatu kelompok tani kayu (Djajapertjunda, 2003) sejalan dengan Awang (2007) bahwa karakteristik hutan rakyat yang dikelola atas dasar kepemilikan keluarga tentu tidak dapat memenuhi syarat-syarat ekologi, menjadi beralasan ketika satuan hamparan hutan yang tersusun atas kepemilikan keluarga dipertimbangkan sebagai satuan unit manajemen hutan rakyat (UMHR) dan di unit manajemen semua tindakan terselenggara, seperti: pengelolaan hutan, pencatatan statistik, tindakan ekologi, sosial dan ekonomi. Pada kenyataannya kelompok tani yang ada sekarang ini

Page 181: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 181

belum mampu untuk mengatur dalam hal penebangan dan jumlah penebang, hal ini berkaitan dengan jumlah dan waktu kebutuhan petani yang beragam, ini terlihat dari penebangan kayu yang beragam pula, biasanya daur penebangan yang digunakan adalah daur butuh. Waktu penebangan kayu dapat diidentifikasikan yaitu pada saat anak masuk sekolah, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, hari raya idul fitri, serta acara selamatan yang memerlukan dana besar. Selain itu juga ada kesamaan jawaban dari petani di seluruh lokasi penelitian bahwa untuk menjaga kelestarian hutan rakyatnya adalah dengan segera menanami lahan-lahan bekas tebangan dengan tanaman kayu baik itu dengan jenis yang sama maupun jenis yang berlainan, hal ini sesuai dengan saran dari Darusman (2008) dalam Achmad, dkk (2008) bahwa yang penting sekarang ini adalah kelestarian dapat dijamin pada setiap individu petani (skala mikro), yakni dengan kelestarian jumlah pohon yang ada di lahan hutan rakyatnya.

2. Penebangan kayu dilakukan petani secara tebang pilih yaitu hanya kayu yang sudah dipilih oleh petani yang akan dijual, seperti dikemukan Djajapertjunda (2003) bahwa tanaman kayu rakyat yang cukup rapat dan dapat berfungsi sebagai hutan biasanya dipungut secara tebang pilih, sehingga keberadaan tanahnya tidak menjadi kosong sama sekali, karena itu tanaman kayu tersebut akan tetap berperan sebagai hutan konservasi. Teknik lainnya yaitu tebang habis, seluruh kayu yang ada di hutan rakyat akan habis ditebang sehingga lahan menjadi kosong dan siap untuk ditanami kembali. Pada umumnya petani menjual kayu masih berdiri di lahan atau dalam bentuk pohon, penebangan akan terjadi jika telah ada kesepakatan harga antara petani dengan pembeli.

3. Pemanenan kayu. Kegiatan pemanenan ini berhubungan dengan system penjualan kayu, terdapat dua sistem penjualan yaitu a) pemanenan dilakukan oleh pembeli kayu, alasannya adalah lebih praktis, cepat menghasilkan uang, tidak repot mengurus perijinan, semua jenis kayu dapat dijual, sampah penebangan seluruhnya diangkut oleh pembeli sehingga lahan bersih dan siap untuk ditanam kembali. Selain itu juga seolah-olah ada keharusan untuk menjual tanaman kayu kepada tengkulak karena seluruh penduduk di desa menjual kepada tengkulak jadi jika melakukan penebangan oleh sendiri dipandang suatu keanehan. Kerugian system pemanenan seperti ini adalah pendapatan yang diperoleh akan sedikit, karena ada kalanya pembeli kayu memberikan estimasi volume kayu yang lebih rendah dari kenyataannya sehingga petani merasa dibohongi. b) Pemanenan dilakukan oleh pemilik, alasannya keuntungan yang akan diperoleh lebih banyak, petani tidak merasa dibohongi tentang volume kayunya, tenaga kerja yang digunakan bisa berasal dari penduduk setempat sehingga dapat membuka peluang usaha. Namun permasalahan yang muncul yaitu harus menyewa peralatan penebangan, adakalanya bermasalah dengan tenaga kerja, disinyalir bahwa tenaga kerja biasanya suka memperpanjang

Page 182: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 182 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

waktu kerjanya sehingga biaya upahnya menjadi banyak dan ini bisa berdampak terhadap hasil yang akan diperoleh semakin berkurang. Perlakukan ini paling banyak dilakukan oleh petani jika kayu akan digunakan untuk sendiri.

IV. KESIMPULAN

Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani dilokasi penelitian masih

dilakukan secara sederhana dan tradisional, namun dengan keterbatasan yang dimiliki petani maka pola ini dapat memberikan kelestarian hutan rakyat di Kabupaten Ciamis sehingga pengembangan hutan rakyat akan terus berlangsung. Hal ini didukung juga oleh kesadaran para petani untuk terus menanam kayu di lahan-lahan kosong bekas tebangan kayu sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, B., W. Handayani, D. Diniyati, E. Fauziyah, A. Hani, T.S. Widyaningsih dan T. Herawati. 2008. Hutan Rakyat Jawa barat. Status Riset dan Strategi Pengembangannya. Reviewer Dudung Darusman. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan. Departemen Kehutanan.

Awang, S.A. 2007. Kontruksi Pengetahuan dan Unit Manajemen Hutan Rakyat. Prosiding Pekan Hutan Rakyat II. Memerankan IPTEK bagi Peningkatan Kontribusi Hutan Rakyat dan Pembangunan Kehutanan. 30 -31 Oktober 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

BPS Kabupaten Ciamis. 2010. Kabupaten Ciamis Dalam Angka Tahun 2010. Katalog BPS: 1403.3207. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis.

Djajapertjunda, S. 2003. Mengembangkan Hutan Milik di Jawa. Alqaprint Jatinangor. Sumedang.

Suharjito, D. 2000. Hutan Rakyat: Kreasi Budaya Bangsa dalam Hutan Rakyat Di Jawa. Perannya dalam Perekonomian Desa. Penyuting Didik Suharjito. Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat Di Jawa dalam Hutan Rakyat Di Jawa. Perannya dalam Perekonomian Desa. Penyuting Didik Suharjito. Diterbitkan oleh Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Page 183: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 183

PEMETAAN POTENSI BAGI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY DI DESA PENYANGGA TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

Oleh:

Tri Sulistyati Widyaningsih Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk memetakan potensi desa penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai bagi pengembangan pola agroforestry. Kajian dilakukan di Desa Trijaya dan Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan pada bulan bulan April 2007. Data dikumpulkan melalui Participatory Rural Appraisal dengan kegiatan transek dan sketsa kebun. Hasil kajian menunjukkan bahwa di kedua desa, masyarakat mengembangkan hutan rakyat dengan pola agroforestry. Tanaman dominan yang dikembangkan masyarakat yaitu tanaman penghasil kayu berupa mahoni dan gmelina di Desa Trijaya serta jati di Desa Seda, juga tanaman penghasil buah berupa kopi, melinjo, pisang, kelapa, alpukat di Desa Trijaya dan cengkeh, melinjo, nangka di Desa Seda. Desa Trijaya memiliki prioritas untuk pengembangan agroforestry melalui penanaman tanaman bawah karena masih jarangnya pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan rakyat. Kata kunci: pemetaan sosial, pengembangan agroforestry, daerah penyangga, Taman Nasional Gunung Ciremai

I. LATAR BELAKANG

Pemerintah Indonesia melakukan pengelolaan keanekaragaman hayati melalui penunjukan kawasan konservasi sebanyak 519 lokasi, di antaranya berupa taman nasional yang saat ini mencapai 50 unit (dephut, 2011). Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (pasal 1 butir 14 UU No. 5 Tahun 1990). Salah satu taman nasional yang relatif baru yaitu Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas + 15.500 yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (BKSDA Jabar II, 2006).

Salah satu tujuan dari pengelolaan kawasan TNGC yaitu pemanfaatan kawasan dan potensi taman nasional secara optimal, lestari dan bijaksana untuk kepentingan kegiatan penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, kegiatan yang menunjang budidaya, dan pariwisata alam bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai jika terdapat pemberdayaan masyarakat terutama di daerah penyangga taman nasional, karena keberadaan taman nasional tidak terlepas dari keberadaan

Page 184: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 184 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

masyarakat baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Apalagi dalam Kongres Dunia Taman Nasional (World Congress on National Parks) tahun 1982 di Bali, Indonesia menyatakan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional (Putro, 2001 dalam Beckman, 2011).

Program yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan TNGC adalah pengembangan agroforestry yang merupakan metode penggunaan lahan yang memadukan jenis tanaman tahunan dan tanaman semusim dan atau ternak. Penerapan agroforestry dianggap sebagai salah satu pendekatan penggunaan lahan yang dapat mengakomodir semua kepentingan mengingat kompleksitas permasalahan lahan di sekitar kawasan TNGC berdasarkan aspek kesejarahan dengan adanya PHBM dengan Perum Perhutani sebagai pemangku kawasan sebelumnya (BKSDA Jabar II, 2006). Pengembangan pola agroforestry dapat dilakukan di daerah penyangga kawasan. Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat perlu didukung dengan penggalian dan analisis kondisi faktual masyarakat yang dapat dilakukan melalui pemetaan sosial (social mapping). Pemetaan sosial yaitu proses penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut (Suharto, 2005).

Kajian ini bertujuan memetakan potensi masyarakat di desa penyangga TNGC bagi pengembangan pola agroforestry. Hasil dari kajian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemangku kawasan, penyuluh, dan pihak terkait yang berguna untuk penyusunan rencana program dan strategi pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan.

II. METODE

A. Lokasi, Waktu, dan Informan Kajian

Kajian ini dilakukan di Desa Trijaya dan Desa Seda, Kecamatan

Mandirancan, Kabupaten Kuningan. Kajian dilaksanakan pada bulan April 2007. Informan kajian ini yaitu tokoh masyarakat, pengurus serta anggota kelompok formal dan informal yang terdapat di kedua desa lokasi kajian.

B. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Metode PRA (Participatory Rural Appraisal) digunakan untuk mengumpulkan data yaitu riset dialogis yang memungkinkan orang-orang desa mengungkapkan dan menganalisis situasi mereka sendiri (Chambers, 1992 dalam Mikkelsen, 2003), yang berguna bagi penyusunan rencana pemberdayaan masyarakat. Beberapa jenis kegiatan PRA yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu: 1. Transek; merupakan teknik PRA yang digunakan untuk menggali informasi

melalui pengamatan langsung ke lapangan dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti suatu lintasan tertentu yang disiapkan, yang mana hasilnya dituangkan ke dalam bagan irisan muka bumi. Pelaksanaan transek

Page 185: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 185

menggunakan alat bantu berupa meteran, kompas, papan jalan, bagan transek, kertas, dan pena.

2. Sketsa Kebun; adalah teknik PRA untuk menggali informasi fisik dan non fisik seperti aspek pengelolaan lahan, jenis tanaman, serta pola tanam melalui penggambaran keadaan kebun pada lokasi tertentu.

3. Wawancara; berupa dialog tanya jawab antara tim PRA dengan anggota masyarakat yang menjadi informan kegiatan PRA.

Data hasil PRA didukung data sekunder yang relevan selanjutnya dianalisis dengan metode kualitatif yang berupa uraian dan disajikan secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Lokasi Kajian

Desa Trijaya dan Desa Seda merupakan desa yang masuk dalam kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan sehingga disebut desa sekitar hutan dan desa dataran tinggi. Profil kedua desa kajian tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Profil Desa Trijaya dan Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kuningan No. Uraian Trijaya Seda

1. Luas (ha) 146.744,80 215.614

2. Batas wilayah: - Sebelah utara - Sebelah timur - Sebelah selatan - Sebelah barat

Desa Kertawinangun Desa Randobawa Girang Taman Nasional Gunung Ciremai Desa Seda

DesaSukasari dan Desa Nanggerangjaya DesaTrijaya dan Desa Kertawinangun Taman Nasional Gunung Ceremai Desa Cibuntu, Kecamatan Pasawahan

3. Jarak ke ibukota: - kecamatan - kabupaten - provinsi - negara

8 km 21 km 138 km 263 km

4 km 28 km 145 km 270 km

4. Topografi perbukitan sampai bergunung

datar, perbukitan, sampai bergunung

5. Ketinggian (m dpl)

400 500

6. Curah hujan rata-rata (mm/ tahun)

1500-2500 1700-2100

7. Pemanfaatan lahan

Ladang 17.525 ha, sawah irigasi ½ teknis 41.392 ha, sawah tadah hujan 11 ha, pemukiman 31.620 ha, tanah kas desa 3.210 ha, lapangan 1 ha,

ladang/tegalan 78.156 ha, sawah irigasi ½ teknis 70.260 ha, pemukiman umum 25.806 ha, tanah basah selain rawa dan pasang surut 10 ha, perkebunan rakyat 22 ha, bangunan sarana

Page 186: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 186 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No. Uraian Trijaya Seda

perkantoran pemerintah 189 ha, hutan lindung 203 ha, hutan produksi 201

sekolah 0,6 ha, jalan umum 1,50 ha, kolam ikan 0,30 ha, lahan hutan negara 41.357 ha

8. Jumlah penduduk 977 orang (257 KK): - 486 orang laki-laki - 491 orang perempuan

2.528 orang (633 KK): - 1.262 orang laki-laki - 1.266 orang perempuan

9. Mata pencaharian

- 156 orang buruh tani - 84 orang petani - 10 orang PNS - 6 orang pedagang - 1 orang pengrajin

- 1.180 orang petani - 590 orang buruh tani - 38 orang pedagang - 7 orang PNS - 3 orang pengrajin - 1 orang montir

Sumber: Desa Trijaya 2005, Wikipedia 2011 B. Pemetaan Potensi Masyarakat di Desa Trijaya dan Desa Seda Transek di Desa Trijaya menempuh jalur sepanjang 2220 meter melewati pemukiman, areal penggembalaan ternak, peternakan domba, hutan rakyat, dan kawasan TNGC. Sedangkan transek di Desa Seda menempuh jarak 2.456 m yang melewati pemukiman, tegalan, kebun rakyat, jalan desa, pesawahan, dan kolam ikan. Adapun hasil transek di Desa Trijaya dan Desa Seda tertera pada Lampiran 1 dan 2. Vegetasi tanaman di hutan rakyat didominasi oleh tanaman penghasil kayu berupa mahoni, gmelina, dan jati serta tanaman penghasil buah berupa melinjo, pisang, kopi, alpukat, dan kelapa. Vegetasi dominan hasil transek juga ditemui ketika membuat sketsa kebun. Pembuatan sketsa kebun di Desa Trijaya mengambil lokasi hutan rakyat milik masyarakat dengan luas 0,28 ha yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC. Pola tanam yang dilakukan yaitu tumpangsari dengan jenis tanaman penghasil kayu (mahoni, pinus, gmelina); tanaman penghasil buah (durian, pisang, nangka); dan tanaman bawah tegakan (nilam, lada, lengkuas, kacang panjang, cabai). Kemudian sketsa kebun di Desa Seda dilakukan pada lahan hutan rakyat seluas 0,14 ha yang ditanami tanaman penghasil kayu (mahoni, sengon) dengan jarak tanam 3m x 3m; tanaman penghasil buah (cengkeh, melinjo, kelapa, pisang, nangka) yang tumbuh tidak teratur tanpa pemeliharaan.

C. Rekomendasi bagi Pengembangan Agroforestry di Lokasi Kajian

Desa Trijaya dan Desa Seda memungkinkan untuk pengembangan pola

agroforestry berdasarkan hasil transek dan sketsa kebun yang menghasilkan prioritas masalah dan potensi yang tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabulasi Data Masalah dan Potensi Desa Trijaya dan Desa Seda No. Kegiatan Masalah Potensi

1. Transek Trijaya

- Sedikitnya pemanfaatan lahan

- Kerapatan tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan

Page 187: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 187

No. Kegiatan Masalah Potensi

di bawah tegakan cukup

- Kesuburan tanah mendukung

- Pemasaran cukup baik

- Belum adanya bangunan konservasi/ sipil teknis seperti SPA dan bangunan terjunan

- Lahan cukup miring pada areal kebun rakyat dan hutan rakyat

- Masyarakat belum mengetahui tata usaha kayu berdasarkan SK menteri kehutanan P.51 dan P.55

- Antusiasme masyarakat terhadap tata usaha kayu cukup tinggi

2. Transek Seda

- Sanitasi lingkungan kurang (letak kandang di depan rumah, drainase air limbah tidak teratur)

- Kurangnya pemanfaatan lahan pekarangan

- Belum optimalnya konservasi tanah.

- Penanaman tidak dilaksanakan serempak

- Penanganan pasca panen belum dilaksanakan secara optimal

- Ketersedian sumber air tercukupi

- Agroklimatologis lahan sesuai dengan tanaman melinjo

3. Sketsa kebun Trijaya

- Masih adanya lahan kosong - Tanah cukup subur

- Kemiringan lahan kebun lebih dari 20%

- Pola teras dapat dikembangkan

4. Sketsa kebun Seda

- Pemeliharaan tanaman belum dilaksanakan secara intensif

- Perlunya diversifikasi tanaman

- Keinginan masyarakat untuk bercocok tanam sangat tinggi

- Masih tersedianya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kebun pekarangan (warung hidup, apotik hidup)

Sumber: Rencana pengembangan kelembagaan masyarakat sekitar hutan, 2007

Masalah dan potensi dari hasil pemetaan digunakan untuk menyusun rekomendasi program pemberdayaan masyarakat yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekomendasi Program Pemberdayaan Masyarakat

No Masalah G M P Jumlah

Skor Prioritas

Rekomendasi program

Trijaya

1. Sedikitnya pemanfaatan lahan di bawah tegakan

3 3 3 9 1 Pengembangan hutan rakyat melalui penanaman tanaman bawah tegakan hutan, seperti lada, nilam,

Page 188: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 188 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No Masalah G M P Jumlah

Skor Prioritas

Rekomendasi program

tanaman obat

2. Belum adanya bangunan konservasi/ sipil teknis seperti SPA dan bangunan terjunan

2 1 3 6 3 Pembinaan sipil teknis SPA terasering untuk mengatur aliran air, mengendalikan laju air permukaan, dan meningkatkan resapan air dalam tanah

3. Masyarakat belum mengetahui tata usaha kayu berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. P51 dan P55

1 1 1 3 4 Pembinaan bidang tata usaha kayu dengan sosialisasi P51 dan P55 untuk memasyarakatkan aturan peredaran kayu

4. Masih adanya lahan kosong

1 1 1 3 5 Pengembangan hutan rakyat dengan tujuan pengkayaan jenis tanaman

5. Kemiringan lahan kebun > 20%

1 3 3 7 2 Pembinaan sipil teknis terasering

Seda

1. Sanitasi lingkungan kurang

2 3 3 8 1 Meningkatkan sosialisasi/pelatihan

2. Kurangnya pemanfaatan lahan pekarangan

1 1 1 3 6 Pembuatan demplot kebun pekarangan

3. Belum optimalnya konservasi tanah

1 1 3 5 4 Penyempurnaan teras

4. Penanganan pasca panen belum optimal

1 1 2 4 5 Pengetahuan pasca panen dan pasar

5. Pemeliharaan tanaman belum intensif

3 2 2 7 2 Pengetahuan tentang intensifikasi pertanian

6. Perlunya diversifikasi tanaman

1 2 3 6 3 Pembuatan kebun bibit beragam jenis tanaman (penghasil kayu dan non kayu) untuk anggota kelompok tani

Keterangan :

G M P

Tidak Gawat 1 Tidak Mendesak 1 Kurang Menyebar 1

Gawat 2 Mendesak 2 Menyebar 2

Page 189: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 189

G M P

Sangat Gawat 3 Sangat Mendesak 3 Sangat Menyebar 3

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa di Desa Trijaya memiliki prioritas untuk dikembangkannya pola agroforestry dengan pemanfaatan lahan bawah tegakan misalnya lada, nilam, dan tanaman obat yang menurut masyarakat cocok dikembangkan di desa tersebut, mudah dikelola, cepat menghasilkan, dan mudah dipasarkan. Sedangkan di Desa Seda, juga memungkinkan untuk pengembangan agroforestry tetapi bukan prioritas yang utama karena masalah utama di Desa Seda adalah kurangnya sanitasi lingkungan yang dapat diatasi dengan sosialisasi dan pelatihan tentang kesehatan lingkungan bagi masyarakat.

IV. KESIMPULAN

Mayoritas masyarakat Desa Trijaya dan Desa Seda bekerja sebagai petani di antaranya dengan mengelola hutan rakyat. Tanaman dominan yang dikembangkan masyarakat Desa Trijaya yaitu tanaman penghasil kayu berupa mahoni dan gmelina serta tanaman penghasil buah berupa kopi, melinjo, pisang, kelapa, dan alpukat. Sedangkan tanaman dominan yang dikembangkan masyarakat Desa Seda yaitu tanaman penghasil kayu berupa jati serta tanaman penghasil buah berupa cengkeh, melinjo, dan nangka. Desa Trijaya memiliki potensi dan prioritas untuk pengembangan agroforestry melalui penanaman tanaman bawah karena masih jarangnya pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan rakyat, sedangkan di Desa Seda memiliki potensi untuk pengembangan agroforestry berupa kebun pekarangan, tetapi ini bukan hal yang prioritas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Data Monografi Desa Dan Kelurahan. Desa Trijaya Kecamatan

Mandirancan Kabupaten Kuningan. Kuningan.

Beckman, S. 2011. Mencari Keseimbangan Pengelolaan Interaksi antara Masyarakat dan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/sambeckman.pdf. Diakses 22 Desember 2011.

BKSDA Jabar II. 2006. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai tahun 2006-2031. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II. Ciamis.

Kelompok 1. 2007. Rencana Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Sekitar Hutan.Pelatihan Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Sekitar Hutan Angkatan V 2007. BDK Kadipaten. Majalengka. Tidak diterbitkan.

Kelompok 3. 2007. Rencana Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Sekitar Hutan.Pelatihan Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Sekitar Hutan Angkatan V 2007. BDK Kadipaten. Majalengka. Tidak diterbitkan.

Page 190: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 190 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan: sebuah buku pegangan bagi praktisi lapangan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. PT Refika Aditama. Bandung.

Wikipedia. 2011. Seda, Mandirancan, Kuningan. http://id.wikipedia.org/wiki/Seda, Mandirancan,_Kuningan. Diakses 22 Desember 2011.

Page 191: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 191

Lampiran 1. Transek Desa Trijaya, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan

Uraian 0 – 200m 200 – 650m 650 - 950 950 - 1250 1250-1460 1460-1720 1720 - 2020 2020 - 2220

Penggunaan Lahan

Pemukiman, kebun

Pengangonan, kebun

Kebun rakyat Kebun rakyat Kebun rakyat TNGC Kiri: TNGC Kanan: Kebun rakyat

Kebun rakyat, pengangonan, pemukiman

Status lahan Milik Pemerintah Pemerintah Milik Milik Pemerintah Kiri:Pemerintah Kanan: Milik

Pemerintah dan Milik

Vegetasi Pisang, pete, kelapa, suren, mindi,nangka, melinjo, sing-kong, alpukat, durian,mahoni

Rumput gajah, kaliandra, kayu manis, pisang, sono kembang

Mahoni, afrika, melinjo, pisang tisuk, suren, gmelina, kelapa, alpukat, albisia, kopi, nilam, panili

Mahoni, melinjo, kelapa, jati, alpukat, pete, tanaman obat, kopi, cengkeh

Melinjo, mahoni, kelapa, pete, kopi, nangka, gmelina, pinus, kunyit

Pisang, kopi, pisang, kaliandra

Pinus, bambu, jahe

Gmelina, pisang, suren, afrika, jati, alpukat, rumput gajah

Jenis tanah Liat merah Liat merah Tanah hitam Tanah hitam Tanah hitam Tanah hitam Tanah hitam Tanah merah

Kesuburan Subur Subur Subur Subur Subur Subur Subur Subur

Kemiringan Landai-miring Landai Miring Miring Landai Miring Landai Landai

Perlakukan konservasi

Terasering Terasering Terasering Terasering Terasering - Terasering Terasering

Potensi (SDA/ SDM)

Banyak pohon pisang dan buah-buahan

Ternak domba, penggembalaan kerbau, hak guna pakai, kemitraan

Pengembangan nilam Pelatihan dari Jakarta

Banyak melinjo Pengembangan tanaman obat (la-da, kunyit, jahe)

Banyak kayu bakar

Masyarakat sadar akan konservasi

Cocok untuk lokasi outbound

Pengembangan rumput gajah dan kayu manis

Masalah Banyak tanah kosong Bibit sedikit

Partisipasi masyarakat kurang, belum ada bagi hasil

Lahan untuk pengembangan nilam kurang

Musim panen melinjo tidak menentu

Belum terdapat jarak tanam

BTNGC belum efektif

Pemanfaatan lahan bawah tegakan belum optimal

-

Pola Tanam Tidak serempak Serempak Serempak, jarak tanam

- Ada Ada Ada Ada

Sumber: data primer, 2007 dimodifikasi 2011

Page 192: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 192 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Lampiran 2. Transek Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan

Uraian 0-100m 101-300m 301-600m 601-1306m 1307-1707m 1708-

2157m 2158-2207m

2208-2457m

Penggunaan Lahan Pemukiman Tegalan Kebun Rakyat Pemukiman, Jalan

Desa Pesawahan, Kali

Kecil Kolam Pesawahan Kolam

Status Lahan Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik Milik

Vegetasi Pisang, melinjo, cengkeh, alpukat, nangka, kelapa, durian, toga

Melinjo, jati, cengkeh, kopi, sengon, pisang, alpukat

Melinjo, pinus, cengkeh, jati, pisang, nangka, bambu, kelapa

Pisang, melinjo, cengkeh, nanas, nangka, toga

Padi, sayuran - Padi, sayuran, toga

-

Jenis Tanah lempung Lempung Lempung, sedikit berbatu

Lempung Lempung, berpasir

- Lempung berpasir

-

Kesuburan Lahan Subur Subur Subur Subur Subur - Subur -

Kemiringan Lahan Landai Landai Agak curam - curam

Agak curam Landai - Landai -

Perlakuan Konservasi - - Tradisional - - - - -

Potensi (SDM/SDA) Kesadaran untuk penghijauan tinggi

Lahan cocok untuk tanaman melinjo dan cengkeh

Lahan cocok untuk cengkeh, pisang, dan sumber air cukup

Melinjo, pisang Sayur (cabe, tomat), padi

Mujair, mas, nila, sepat

Padi Mujair, mas, nila, sepat

Masalah Sanitasi lingkungan Pemeliharaan tanaman kurang

Pemeliharaan tanaman kurang intensif

Sanitasi lingkungan kurang

Hama - Hama -

Pola Tanam Tidak serempak Tidak serempak Serempak - Tidak serempak - Tidak serempak -

Sumber: data primer, 2007 dimodifikasi 2011

Page 193: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 193

POLA PEMANFAATAN AGROFORESTRY KOMPLEKS OLEH MASYARAKAT PEDESAAN

(Studi Kasus di beberapa Lokasi Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis)

Oleh: Mohamad Siarudin

ABSTRAK

Agroforestry kompleks merupakan tipe penggunaan lahan yang banyak dipraktekkan oleh masyarakat pedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pola pemanfaatan agroforestry kompleks oleh masyarakat pedesaan pada lahan miliknya. Penelitian ini dilaksanakan di 3 lokasi di Kabupaten Ciamis, yaitu Desa Buniseuri, Kecamatan Cipaku, Desa Utama, Kecamatan Cijeunjing dan Desa Bojongmengger Kecamatan Cijeunjing. Pengumpulan data dilakukan melalui kuisioner dan wawancara semi terstruktur pada total 60 orang pemilik lahan dari ketiga desa terpilih. Selain itu dilakukan juga pengamatan dilapangan pada kegiatan-kegiatan pemeliharaan dan pemanenan hutan rakyat di lokasi penelitian. Hasil menunjukkan bahwa petani pemilik lahan kebun/hutan rakyat pada umumnya melakukan pemanenan pohon dengan system tebang pilih. Namun demikian sebagian kecil pemilik lahan yang memiliki lahan relative luas memanen dengan system tebang bersih. Hasil pendapatan dari penjualan pohon memiliki kontribusi terhadap pendapatan total yang relative kecil (2,06 %) berdasarkan nilai nominalnya. Namun demikian pendapatan dari penjualan pohon tersebut memiliki arti penting yang cukup besar bagi para petani untuk memenuhi berbagai keperluan rumah tangga. Masyarakat pedesaan yang memanfaatkan lahan kebun/hutanya dengan system agroforestry tradisional, pada umumnya lebih mengutamakan hasil hutan kayu sebagai sumber pendapatannya, sementara hasil bukan kayu lebih banyak dimanfaatkan untuk penggunaan/konsumsi pribadi. Kata kunci: agroforestry kompleks, hutan rakyat, tebang pilih, tebang bersih

I. LATAR BELAKANG

Masyarakat pedesaan secara tradisional memanfaatkan lahan kebun miliknya dengan kegiatan perladangan. Lahan-lahan tersebut dibabat dan dibiarkan tumbuh serta diperkaya dengan berbagai jenis pohon-pohonan. Para petani kemudian memanfaatkan ruang kosong di antara tanaman pohon-pohonan dengan menanam jenis-jenis tanaman semusim. Pada akhirnya penampakan struktur vegetasi pada penggunaan lahan yang demikian akan mirip dengan ekosistem hutan alam atau hutan primer yang sedikit lebih teratur. De Foresta et al (2000) menyebut kondisi lahan seperti itu dengan istilah agroforestry kompleks atau agroforest, yaitu “system yang terdiri dari sejumlah besar pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput”.

Page 194: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 194 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Hutan rakyat di Kabupaten Ciamis adalah salah satu contoh bentuk pemanfaatan lahan millik oleh masyarakat yang sebagian besar berkembang dalam bentuk agroforestry kompleks. Berdasarkan analisis tutupan lahan pada penafsiran citra lansat tersebut, hutan rakyat di Kabupaten Ciamis pada kurun 2006-2008 diperkirakan mencapai 172,132,6 ha. Luasan hutan rakyat tersebut terdiri dari hutan lahan kering sekunder (0,14 %), hutan tanaman (6,38 %), semak belukar (2,85 %), perkebunan (2,99 %), pertanian lahan kering (21,07) dan pertanian lahan kering campur semak (66,57 %) (Departemen Kehutanan, 2009). Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada dasarnya jenis-jenis tutupan lahan tersebut terdiri dari kombinasi berbagai jenis pohon, tanaman pertanian/perkebunan dan vegetasi lainnya.

Keberadaan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis memilik kontribusi nyata dalam mendorong kegiatan ekonomi local. Dalam hal hasil kayu misalnya, kegiatan ekonomi local nampak pada pertumbuhan industry penggergajian kayu skala kecil yang mencapai sekitar 800 unit (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Ciamis, 2009); dan industry hilir skala kecil dan menengah yang mencapai 911 unit (Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kab. Ciamis, 2009). Berdasarkan laporan Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kab. Ciamis, industri-industri tersebut menyerap tenaga kerja hingga 6.657 orang dengan total investasi mencapai 11,418 milyar rupiah.

Meskipun keberadaan hutan rakyat memiliki dampak nyata terhadap kegiatan ekonomi lokal, namun kajian tentang pola pemanfaatan asset hutan milik (tipe agroforestry kompleks) pada tingkat petani pemilik lahan masih terbatas. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang pola pemanfaatan agroforestry kompleks oleh masyarakat pedesaan pada lahan miliknya. Kajian dalam tulisan ini merupakan studi kasus di beberapa daerah pedesaan di Kabupaten Ciamis.

B. METODE

Penelitian ini dilaksanakan di 3 lokasi, yaitu Desa Buniseuri, Kecamatan Cipaku, Desa Utama, Kecamatan Cijeunjing dan Desa Bojongmengger Kecamatan Cijeunjing (Tabel 1). Pengumpulan data dilakukan melalui kuisioner dan wawancara semi terstruktur pada total 60 orang pemilik lahan dari ketiga desa terpilih. Pada setiap desa dipilih 5 orang responden yang mewakili untuk dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih detail. Selain itu dilakukan juga pengamatan dilapangan pada kegiatan-kegiatan pemeliharaan dan pemanenan hutan rakyat di lokasi penelitian.

Tabel 1. Karakteristik lokasi penelitian

Data kependudukan dan biofisik

Desa Buniseuri

Desa Utama Desa

Bojongmengger

Luas wilayah (ha) 422.22 224.79 635.55

Jumlah penduduk (jiwa) 7573 3510 6004

Page 195: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 195

Data kependudukan dan biofisik

Desa Buniseuri

Desa Utama Desa

Bojongmengger

- Laki-laki 3776 1802 3001

- Perempuan 3797 1708 3003

Kepadatan penduduk (orang/ha)

17.94 15.61 9.45

Jarak dari ibukota kecamatan (km)

12 3 10

Ketinggian tempat (meter di atas permukaan laut)

285 124 240

Topografi berbukit landai Landai dan berbukit

Pertanian lahan basah (ha) 151 60.919 21.5

Pertanian lahan kering (ha) 203.415 85.26 333.6

Sumber: Monografi Desa Buniseuri Tahun 2010; Monografi Desa Utama Tahun 2010; Monografi Desa Bojongmengger Tahun 2010

Parameter yang diamati dalam penelitian ini antara lain jenis-jenis

tanaman pohon dan tanaman campuran yang dimiliki, type pemanenan pohon, frekuensi pemanenan pohon, perkiraan volume pohon yang dipanen, nilai pendapatan yang diperoleh, kontribusi pendapatan dari pemanenan pohon terhadap pendapatan total, serta pembelanjaan hasil panen pohon. Selain itu dilakukan pengamatan juga terhadap pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan tanaman bawah yang meliputi frekuensi pemanenan, perkiraan volume pemanfaatan, dan penggunaan hasil bukan kayu tersebut. Data-data pemanfaatan hasil hutan tersebut dibatasi pada 10 tahun terakhir untuk mengantisipasi kemungkinan data yang rancu akibat perubahan kepemilikan lahan hutan dan keterbatasan responden dalam mengingat kegiatan pemanfaatan hutan yang sudah dilakukan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Jenis Tanaman yang Dibudidayakan

Masyarakat pedesaan secara tradisional menanam berbagai jenis pohon dan tanaman bawah pada lahan kebunnya. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan sebagain besar tanaman tersebut tidak dalam jalur-jalur atau jarak tanam yang teratur, melainkan secara acak memenuhi lahan yang ada. Merujuk data persentase responden berdasarkan kepemilikan jenis pohonnya (Gambar 1), masyarakat memiliki jenis yang bervariasi mulai dari jenis penghasil kayu pertukangan (sengon/Paraserianthes falcataria, mahoni/Swietenia macrophylla, afrika/Maesopsis eminii, tisuk/Hibiscus macrophyllus, jati/Tectona grandis, manglid/Manglieta glauca, gmelina/Gmelina arborea, laban/Vitex pubescen) maupun penghasil buah (kelapa/Cocos nucifera, nangka/Artocarpus

Page 196: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 196 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

heterophyllus, rambutan/Nephelium lappaceum, dukuh/Lansium domesticum Corr., durian/Durio zibethinus, jengkol/Archidendron pauciflorum, petai/Parkia speciosa, lengkeng/Dimocarpus lengan, kakao/Theobroma cacao dll).

Gambar 1. Persentase jumlah responden berdasarkan kepemilikan jenis pohon dan tanaman bawah

Pada lokasi penelitian, jenis pohon yang paling dominan adalah kelapa,

sengon dan mahoni (Gambar 1), dimana jumlah responden yang memiliki lebih dari 50 %. Namun demikian, berdasarkan kelimpahannya, jenis tanaman kayu-kayuan sengon dan mahoni lebih banyak berada di kebun-kebun milik masyarakat. Hal ini tidak mengherankan mengingat kedua jenis tersebut merupakan produk utama hutan rakyat di Kab. Ciamis. Pada tahun 2010 misalnya, produksi kayu mahoni dan sengon dari hutan rakyat mencapai masing-masing 73.195 m3 dan 192.897 m3 atau sekitar 25,6 % dan 67,4 % dari total produksi kayu rakyat di Kab. Ciamis (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Ciamis, 2010).

Para petani juga membudidayakan aneka jenis tanaman bawah baik tanaman pangan, tanaman rempah dan obat, maupun tanaman penghasil hasil hutan bukan kayu lainnya. Singkong (Manihot esculenta) merupakan jenis tanaman yang paling banyak dibudidayakan oleh masyarakat, disusul jenis pisang (Musa spp), bamboo (Bambusa spp), ketela rambat (Ipomoea batatas), talas (Colocasia giganteum), kapolaga (Efettaria cardamomum), kacang tanah (Arachis hypogeae) dan salak (Salacca edulis). Jenis-jenis tersebut tidak selalu ditanam dalam pola yang teratur, melainkan lebih banyak dalam bentuk sekedar pemanfaatan ruang kosong di sela-sela tanaman pohon.

B. Pola Pemanfaatan Hasil Kayu

Pengamatan pada pola pemanfaatan hasil hutan kayu dimulai dari kegiatan penebangan yang dilakukan oleh para pemilik hutan. Berdasarkan tipe pemanenannya, sebagian besar responden (78 %) melakukan tebang pilih

Page 197: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 197

dimana petani pemilik hutan hanya menebang pohon tertentu yang dirasa sudah layak untuk dijual. Sementara sebagain kecil responden pernah melakukan tebang bersih (6,8 %) dan tebang pilih maupun tebang bersih (5,1 %).

- Gambar 2. Tipe pemanenan pohon pada 10 tahun terakhir

Berdasarkan penelusuran pada karakteristik kepemilikan lahan, pada

umumnya responden yang melakukan tebang bersih adalah responden yang memiliki lahan relatif luas, yaitu di atas 0,5 ha. Mereka melakukan tebang bersih pada sebagian lahan hutan yang dimilikinya dan menyisakan sebagian petak yang lain untuk ditebang pada saat yang lain.

Hasil wawancara pada responden menunjukkan bahwa praktek tebang bersih dilakukan karena beberapa alasan. Pertama, beberapa kasus para petani melakukan tebang bersih karena mereka ingin mengganti jenis tanaman yang ada dengan jenis tanaman baru yang dianggapnya lebih menguntungkan. Beberapa petani di Desa Buniseuri misalnya, mengganti tanaman pokok mahoni dengan sengon setelah meyakini jenis sengon lebih menguntungkan daripada mahoni yang memiliki daur lebih panjang. Demikian juga dengan beberapa petani di Desa Utama yang menebang bersih tanaman campuran di lahannya dan kemudian mengganti dengan menanam jenis jabon yang akhir-akhir ini sedang trend.

Kedua, para petani melakukan tebang bersih sebagai bagian dari kesepakatan dengan pembeli/tengkulak kayu pada saat tawar menawar pembelian pohon. Berdasarkan konfirmasi yang dilakukan pada beberapa tengkulak, mereka mengaku untuk menawar membeli seluruh pohon yang ada dalam suatu petak lahan, meskipun pemilik lahan pada awalnya hanya ingin menjual beberapa batang kayu. Hal ini dilakukan biasanya terjadi karena jumlah dan volume pohon yang ditawarkan terlalu sedikit dan dianggap tidak ekonomis untuk dipanen. Para tengkulak mempertimbangkan membeli seluruh pohon, dengan asumsi pohon-pohon kecil yang tidak layak untuk kayu pertukangan akan dijual untuk kayu bakar, terutama kayu bakar industry (misalnya: industri tahu dan industri pembakaran genteng). Kasus tebang bersih karena alasan yang demikian ini tidak hanya terjadi pada pemilik lahan relative luas, melainkan dapat saja terjadi pada pemilik lahan sempit, seperti pada kasus beberapa petani di Desa Bojongmengger.

Page 198: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 198 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Ketiga, praktek tebang bersih dilakukan para petani yang sudah melakukan manajemen rotasi pada lahannya. Sebagian dari para petani yang memiliki lahan relatif luas melakukan praktek pengaturan daur dengan membagi lahannya dalam beberapa petak yang memiliki kelas umur berbeda-beda. Pemanenan dilakukan pada salah satu petak yang sudah masak tebang, dan pada umumnya langsung di ikuti dengan penanaman kembali dengan jenis-jenis komersil. Petani pada kasus ini adalah para petani yang sudah secara serius memanfaatkan lahannya untuk agribisnis berbasis tanaman kayu-kayuan, dengan tetap memanfaatkan ruang di sela tanaman pokok dengan tanaman bawah meskipun tidak secara intensif.

Sementara itu, pada kasus tebang pilih yang merupakan kasus yang paling banyak terjadi, pada umumnya dilakukan oleh para petani dengan lahan relative sempit. Berdasarkan data rata-rata kepemilikan lahan yang hanya 0,27 ha, para pemilik lahan tidak memiliki banyak stok pohon siap panen yang dapat di jual. Dalam banyak kasus bahkan pohon yang dijual tidak berada dalam daur optimum karena alasan yang mendesak. Oleh karena itu system penebangan selektif merupakan pilihan yang rasional untuk para petani, selain karena keterbatasan kepemilikan pohon juga karena tujuan untuk menyisakan pohon sebagai simpanan pada saat lain jika ada keperluan mendesak.

Dalam hal frekuensi pemanenan, hasil kuisioner dan wawancara kepada para responden menunjukkan bahwa rata-rata mereka telah melakukan pemanenan sebanyak 2 kali dalam 10 tahun terakhir (beberapa responden mengaku belum pernah memanen pohon pada kurun waktu tersebut karena baru saja membeli lahan, atau baru mendapatkan warisan). Jumlah rata-rata pohon yang dipanen adalah 23 batang, berkisar hanya 2 pohon hingga 136 pohon per petani. Pada jumlah pohon tersebut, perkiraan volume yang dipanen adalah 15 m3 dengan kisaran mulai 2 m3 hingga 107 m3.

Tabel 2. Kegiatan Pemanenan yang dilakukan pada 10 tahun terakhir

rata-rata min max

Frekuensi pemanenan (kali) 2 1 3

Jumlah pohon yang dipanen (batang)

23 2 136

Perkiraan volume pohon yang dipanen (m3)

15 2 107

Nilai pendapatan dari pohon yang dipanen (Rp)

3,238,208.33 366,666.67 18,200,000.00

Kontribusi pendapatan dari pohon terhadap pendapatan tahunan (%)

2.06 0.25 6.65

Para petani pada umumnya memanen pohon sebagai sumber

penghasilan tambahan, meskipun sebagian petani menggunakan kayu untuk keperluannya sendiri. Rata-rata nilai kayu yang dipanen tersebut adalah 3,238 juta rupiah, dengan kisaran maksimum 18,2 juta rupiah. Nilai tersebut memiliki

Page 199: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 199

kontribusi rata-rata sebesar 2,06 % terhadap pendapatan tahunan para petani dengan kisaran 0,25 % hingga 6.65 %. Angka tersebut relative kecil jika dibandingkan dengan penelitian Vinh and Noriko (2006) di mana kontribusi pendapatan dari penjualan pohon oleh masyarakat pedesaan di Vietnam mencapai 5,5 %. Bahkan pada studi kasus di Ghana oleh Appiah et al (2007) menyebutkan kontribusi pendapatan on farm dari hutan yang mencapai 38 %.

Meskipun kontribusi pendapatan dari hasil hutan kayu memiliki persentase yang kecil berdasarkan nilai nominalnya, tetapi sejumlah pendapatan yang diterima dari pohon tersebut memiliki kontribusi yang sangat berarti bagi para petani pemilik lahan. Hal ini tergambar dari aneka penggunaan pendapatan yang berasal dari penjualan pohon-pohon dilahannya. Gambar 3 menunjukkan sebagian besar petani menggunakan hasil penjualan pohon untuk keperluan konsumsi sehari-hari (terutama keperluan pokok pangan). Sebagian menggunakan untuk keperluan mendesak seperti biaya pengobatan, membayar hutang dan biaya pemakaman orang tua. Sebagian yang lain menggunakan hasil pendapatannya untuk investasi seperti biaya pendidikan anak, biaya itu penanaman kebali lahan hutannya, dan pembelian lahan kebun baru. Bahkan pada beberapa kasus, terdapat pula petani yang menggunakan hasil pendapatan dari penjualan pohonnya untuk keperluan yang bersifat charity seperti untuk biaya pembelian hewan kurban.

Gambar 3. Persentase responden berdasarkan pembelanjaan hasil pendapatan

dari penjualan pohon C. Pola Pemanfaatan Hasil Bukan Kayu dan Tanaman Bawah

Jenis-jenis tanaman bawah dan tanaman lainya selain tanaman pohon yang dibudidayakan masyarakat di lahan kebunnya cukup beragam (Gambar 1). Sebagaimana disajikan pada Tabel 3, tingkat produksi hasil hutan bukan kayu dan hasil tanaman bawah pada system agroforestry tradisional pada lokasi penelitian ini relative rendah. Hal ini menyebabkan para petani pemilik lahan lebih mengkonsumsi atau menggunakan hasil hutan bukan kayu dan hasil tanaman

Page 200: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 200 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

bawah tersebut untuk konsumsi sendiri, kecuali pada beberapa jenis buah-buahan yang memang cukup baik produksinya (rambutan, dukuh dll).

Tabel 3. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan tanaman bawah

Jenis Frekuensi

pemanfaatan Volume

pemanfaatan Keterangan

Singkong setiap 6 bln - 1 tahun

2-10 kg dikonsumsi sendiri

Pisang setiap 6 bln - 1 tahun

1-5 tandan dikonsumsi sendiri, dijual

Bambu setiap 6 bln - 1 tahun

10-50 batang dijual, digunakan sendiri

Jagung setiap 6 bln - 1 tahun

dikonsumsi sendiri

Kapolaga setiap 3 bulan - 6 tahun

5-20 kg dikonsumsi sendiri

Kacang tanah setiap 1 tahun 20-50 kg dikonsumsi sendiri

Salak setiap 1 tahun 5-20 kg dikonsumsi sendiri

Buah rambutan setiap 1 tahun 50 – 200 kg dijual, dikonsumsi sendiri

Sumber: diolah dari data primer

Rendahnya produktifitas hasil hutan bukan kayu dan hasil tanaman bawah itu sendiri disebabkan antara lain karena kepemilikan lahan yang sempit. Sebagaimana disebut di awal, memanfaatkan ruang diantara tanaman pohon-pohonan pada kepemilikan lahan yang hanya rata-rata 0,27 ha menyebabkan para petani tidak banyak memiliki ruang untuk budidaya tanaman bawah. Selain itu, salah satu karakteristik para petani tradisional ini adalah mereka pada umumnya hanya memanfaatkan ruang kosong di antara tanaman pohon, dan tidak secara terencana menyediakan ruang untuk tanaman bawah. Hal ini tampak pada pola tanam yang tidak terlalu beraturan baik pada tanaman pokok maupun tanaman sela dan pencampur.

Hal lain yang diduga menyebabkan rendahnya produktifitas adalah keterbatasan akses lahan dan waktu luang petani. Berdasarkan hasil kuisioner, jarak rata-rata lahan kebun dari tempat tinggal pemilik lahan adalah 0,59 km (berkisar 0 – 2,7 km). Lahan kebun/hutan yang tidak terlalu dekat dengan tempat tinggal tersebut kadang ada dalam kondisi topografi akses jalan yang tidak nyaman untuk dicapai. Sementara dalam hal ketersediaan waktu, para petani umumnya memiliki kegiatan matapencaharian rutin dan jarang memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan intensif di lahan kebun. Bahkan dalam kasus tertentu, mereka lebih menyukai bekerja sebagai buruh di lahan kebun milik orang kaya, daripada melakukan kegiatan di kebunnya sendiri.

Page 201: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 201

Gambaran kondisi produktifitas dan pemanfaatan hasil-hutan bukan kayu tersebut di atas juga menjadi salah satu petunjuk bahwa petani pada umumnya tidak berorientasi bisnis dalam melakukan budidaya agroforestry tradisional. Para petani dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah lebih memilih sumber pendapatan yang instant, dan menjadikan lahan kebun/hutannya sebagai sumber pendapatan tambahan tanpa harus membudidayakan secara intensif.

Namun demikian pada sisi yang lain, hasil hutan bukan kayu ini memiliki arti yang tidak kalah penting khususnya sebagai penyedia cadangan pangan, rempah dan obat-obatan tradisional, maupun input untuk kegiatan agro yang lainnya (misalnya dalam bentuk penyedia pakan ternak dan ikan). Budidaya yang dilakukan masyarakat menunjukkan bahwa pemilik lahan mencoba untuk memanfaatkan lahan kosong yang ada di antara tanaman pohon, meskipun tidak dilakukan secara intensif dan tidak berorientasi bisnis. Frekuensi pemanfaatan yang berkisar sekali hingga beberapa kali dalam satu tahun menunjukkan strategi pemanfaatan yang cukup baik untuk mengimbangi pemanfaatan berjangka tahunan pada jenis-jenis tanaman kayu-kayuan.

IV. KESIMPULAN

1. Petani pemilik lahan kebun/hutan rakyat pada umumnya melakukan pemanenan pohon dengan system tebang pilih. Namun demikian sebagian kecil pemilik lahan yang memiliki lahan relative luas memanen dengan system tebang bersih.

2. Hasil pendapatan dari penjualan pohon memiliki kontribusi terhadap pendapatan total yang relative kecil (2,06 %) berdasarkan nilai nominalnya. Namun demikian pendapatan dari penjualan pohon tersebut memiliki arti penting yang cukup besar bagi para petani untuk memenuhi berbagai keperluan rumah tangga.

3. Masyarakat pedesaan yang memanfaatkan lahan kebun/hutanya dengan system agroforestry tradisional, pada umumnya lebih mengutamakan hasil hutan kayu sebagai sumber pendapatannya. Sementara hasil hutan bukan kayu lebih dimanfaatkan untuk konsumsi pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Appiah, M., D. Blay, L. Damnyag, F.K. Dwomoh, A. Pappinen and O. Luukkanen, 2009. Dependence on Forest Resources and tropical Deforestation in Ghana. Environ Dev. Sustain (2009) 11: 471-487. DOI 10.1007/s10668-007-9125-0.

Departemen Kehutanan, 2009. Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Jawa Tahun 1990-2008. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura dan Multistakeholder Forestry Program.

Page 202: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 202 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, 2009. Rencana Strategis Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis 2009-2014. Pemerintah Daerah kabupaten Ciamis.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, 2010. Data Produksi dan Peredaran Hasil Hutan Rakyat Tahun 2010. Laporan, tidak diterbitkan.

Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ciamis, 2009. Potensi Industri di Kabupaten Ciamis. Laporan, tidak diterbitkan.

H de Foresta, A Kusworo, G Michon dan WA Djatmiko. 2000. Ketika kebun berupa hutan — Agroforest khas Indonesia — Sumbangan masyarakat bagi pembangunan berkelanjutan. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor, Indonesia; Institut de Recherche pour le Développement, France; dan Ford Foundation, Jakarta, Indonesia.

Pemerintah Desa Bojongmengger, 2010. Monografi Desa Bojongmengger Tahun 2010.

Pemerintah Desa Buniseuri, 2010. Monografi Desa Buniseuri Tahun 2010.

Pemerintah Desa Utama, 2010. Monografi Desa Utama Tahun 2010.

Vinh, N.Q., and S. Noriko, 2006. Forest Allocation Policy and Level of Forest Dependency of Different Economic Household Groups: A Case Study in Northern Central Vietnam. Ksyushu University.

Page 203: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 203

POLA PENGEMBANGAN DAN PEMANFAATAN ILES-ILES DI BAWAH TEGAKAN

Oleh: Eva Fauziyah dan Dian Diniyati

ABSTRAK

Iles-iles (Amorphophallus spp.) merupakan salah satu jenis tanaman yang cukup menarik dikembangkan di bawah tegakan hutan rakyat maupun lahan hutan negara. Hal tersebut karena selain mudah dibudidayakan, memiliki banyak kegunaan, juga memiliki potensi pasar. Namun demikian sampai saat ini iles-iles masih belum berkembang bahkan belum tersentuh oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai pola pengembangan dan pemanfaatan iles-iles. Penelitian ini dilakukan di Desa Cileuya dan Desa Cimulya Kecamatan Cimahi Kabupaten Kuningan, Jawa Barat pada Bulan Agustus sampai dengan Desember 2009. Responden diambil secara sengaja yakni para petani pengumpul iles-iles, sebanyak 24 orang di Desa Cileuya dan 28 orang di Desa Cimulya, Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, kemudian diolah dan dinalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengembangan iles-iles di Kabupaten Kuningan masih dilakukan secara sederhana dan alami di bawah tegakan hutan rakyat (lahan milik) dan di lahan Perhutani (pola PHBM), belum dibudidayakan oleh petani. Sedangkan pemanfaatan iles-iles oleh petani untuk jenis suweg (A. Companulatus) hanya dikonsumsi, iles-iles/badul (A. muelleri) dijual dalam bentuk umbi basah dan keripik dengan kontribusi yang masih rendah (4,3% dan 10,6%), sedangkan untuk bosot/badul bodas (A. variabilis) belum banyak dimanfaatkan baik dijual maupun dikonsumsi. Kata kunci : Iles-iles (Amorphophallus spp.), tegakan, budidaya, pemanfaatan, strategi

I. PENDAHULUAN

Saat ini upaya-upaya untuk mengoptimalkan lahan hutan (negara/rakyat) terus dilakukan. Hal tersebut secara sengaja maupun tidak dilakukan karena kondisi yang ada menuntut semua pihak untuk demikian. Alasannya bahwa saat ini selain adanya keterbatasan lahan juga sangat disadari bahwa kebutuhan ekonomi keluarga semakin meningkat. Lahan hutan negara dikelola dengan PHBM (Perhutani), lahan milk petani sebagian besar memilih dikelola secara agroforestry dibandingkan monokultur. Dari sini munculah berbagai tanaman bawah unggulan yang dinilai cock untuk dikombinasikan dengan tanaman lain terutama tanaman kayu yang menaunginya.

Salah satu jenis tanaman yang mulai banyak dikembangkan adalah tanaman iles-iles (Amorphophallus spp.), karena iles-iles mudah dibudidayakan dan dapat tumbuh dengan baik di bawah naungan tegakan. Iles-iles merupakan umbi-umbian yang termasuk famili Araceae, yang dicirikan oleh umbi berwarna ungu atau kuning dan batangnya agak kasar, berwarna hijau bentol-bentol sama,

Page 204: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 204 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

bentuknya berisi, dan tidak bergulur memanjang. Tanaman ini juga memiliki potensi sebagai komoditas ekspor. Peluang pasar untuk iles-iles juga masih terbuka lebar, bahkan permintaan yang ada masih belum dapat dipenuhi oleh Indonesia (dari 3 ribu ton/th baru 600 ton/th yang dapat dipenuhi) (Suara Merdeka, 2001).

Meskipun iles-iles dapat tumbuh di bawah naungan, peluang pasar terbuka lebar, dan memiliki banyak kegunaan, sampai saat ini iles-iles masih belum banyak tersentuh oleh masyarakat. Hal tersebut karena komoditi ini masih dianggap sebagai makanan kelas rendahan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi mengenai pola pengembangan dan pemanfaatan iles-iles yang sudah dikembangkan oleh masyarakat.

II. METODE

A. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Cileuya dan Desa Cimulya Kecamatan Cimahi Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan pada Bulan Agustus sampai dengan Bulan Desember 2009.

B. Teknik Pengumpulan, pengolahan dan Analisis Data

Penentuan lokasi ditentukan secara purposif berdasarkan informasi yang diperoleh dari data sekunder dan hasil koordinasi dengan instansi terkait. Unit penelitian (responden) dipilih secara sengaja (purposive sampling), yaitu petani/ pengumpul iles-iles (telah membudidayakan /memanfaatkan iles-iles/pernah terlibat dalam pengembangan/budidaya iles-iles) dengan jumlah 24 orang di Desa Cileuya dan 28 orang di Desa Cimulya.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan seperti karakteristik responden, pola pengembangan dan pemanfaatan iles-iles oleh masyarakat. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner. Sementara data sekunder diperoleh dari perguruan tinggi, Dinas Kehutanan Kabupaten Kuningan dan instansi terkait lainnya. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pola Pengembangan Iles-iles

Iles-iles bukanlah jenis tanaman baru, namun tanaman ini beum belum banyak dikenal dan diketahui manfaatnya. Iles-iles memiliki berbagai spesies, jenis yang sering ditemui di Indonesia diantaranya A. campanulatus (Dennst.) Nicols, A. variabilis B.I, A. spectabilis (Miq). Engl, A. decus-silvae Backer & Alderw, A. muelleri B.I dan yang sangat terkenal adalah A. titanium Becc, karena

Page 205: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 205

bunganya sangat besar dan indah. Diantara sekian banyak jenis tersebut yang ditanam dan dipergunakan sebagai bahan makanan dan bahan industri hanyalah A. campanulatus (Desnnt.) Nicols, A. muelleri B.I, dan A. variabilis B.I (Sufiani, 1993). Ciri-ciri botanis dari ketiga jenis Amorphophallus tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-ciri botanis Amorphophallus spp.

Ciri-ciri

Nama Jenis

A. campanulatus (Desnnt.) Nicols

(Suweg)

A. variabilis (bosot)

A. muelleri B.I/A. Oncophyllus

(Iles-iles)

Penyebaran Umumnya ditanam dipekarangan

Umumnya tumbuh secara liar

Tumbuh liar

Warna dan gambaran tangkai daun

Hijau muda sampai tua dengan bercak putih

Sangat beraneka ragam sampai hijau bercak putih

Hijau muda sampai hijau tua dengan bercak putih

Permukaan tangkai daun

Licin Kasar Licin

Warna tepi daun tanaman muda

Hijau Hijau Ungu muda

Pertumbuhan umbi bibit

Pada umbi batang Pada umbi batang

Pada helai daun

Warna luar umbi batang

Kelabu coklat Putih (hijau ungu atau kelabu bila kena cahaya)

Kelabu coklat

Warna dalam umbi batang

Kuning muda sampai tua

Putih Kuning

Susunan jaringan Banyak jaringan tebal

Jaringan halus Jaringan halus

Kadar mannan Sangat sedikit Rendah sampai sedang

Tinggi sampai sangat tinggi

Sumber: Sudarsono dan Abdulmanaf (1963) dalam Sufiani ( 1993)

Iles-iles adalah tanaman yang dapat diperbanyak dari biji, umbi atau bagian-bagian umbi, bulbil (bagi tanaman yang memiliki bulbil), dan dengan memanfaatkan kultur jaringan. Perbanyakan melalui biji jarang dilakukan karena biji tidak selalu tersedia. Perbanyakan yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan umbi (Jansen et al.,1996 dalam Zaky, 2006). Tanaman iles-iles pada umumnya dapat tumbuh pada jenis tanah apa saja, namun demikian agar usaha budidaya tanaman iles-iles dapat berhasil dengan baik perlu diketahui hal-hal yang merupakan syarat-syarat tumbuh tanaman iles-iles, terutama yang menyangkut iklim dan keadaan tanahnya. Rosman dan Rusli (1991) menyatakan bahwa tanaman iles-iles tumbuh pada ketinggian 100-1000 m dpl dengan tanah tekstur liat berpasir, struktur tanah gembur dan kaya akan unsur hara. Tanaman iles-iles dapat tumbuh pada kondisi curah hujan yang luas karena bisa tumbuh

Page 206: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 206 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

pada curah hujan 2000-5000 mm per tahun (Rosman dan Rusli, 1991) tetapi juga tahan terhadap kekeringan. Jansen et al., (1996) dalam Zaky (2006) menambahkan bahwa iles-iles tumbuh di daerah yang ternaungi seperti pada daerah hutan dan semak belukar.

Suhu optimum untuk A. variabilis B.I adalah 25-350C. Iles-iles dapat tumbuh optimum pada tanah yang drainasenya baik dan memiliki kandungan humus yang cukup tinggi dengan PH tanah antara 6-7,5 lebih tinggi. Amorphophallus tidak dapat tumbuh pada tanah lempung karena lempung akan menghambat perkembangan umbi (Jansen et al., 1996 dalam Zaky, 2006). Naungan yang ideal untuk tanaman iles-iles adalah jenis Jati, Mahoni, Sonokeling, dan lain-lain, yang paling pokok adanya naungan serta terhindar dari kebakaran. Tingkat kerapatan naungan minimal 40% sehingga semakin rapat semakin baik. Iles-iles di beberapa daerah sudah dibudidayakan secara intensif dibawah tegakan hutan. Di Madiun tanaman yang juga dikenal sebagai porang sudah menjadi tanaman primadona. Pada Tabel 2 terlihat beberapa kecamatan di Madiun sampai tahun 2007 sudah banyak yang mengembangkan iles-iles. Tabel 2. Pengembangan Porang di Kabupaten Madiun

No Kecamatan Luas (Ha) Produksi (Ton)

1. Wungu 7,0

2. Kare 20,0

3. Gemarang 11,0

4. Dolopo 10,0

5. Dagangan 134,0 17,0

6. Saradan 1.015,0 7.974,0

7. Pilangkenceng 60,0 60,0

8. Wonosari 5,0

9. Madiun 30,0

Jumlah 1.292,0 8.051,0

Sumber: Arifin (2008) Budidaya iles-iles secara intensif di Kabupaten Kuningan belum dilakukan oleh petani baik di Desa Cileuya maupun di Desa Cimulya. Kegiatan yang dilakukan saat ini masih pada tahap mengumpulkan iles-iles yang tumbuh banyak di bawah tegakan, terutama di lahan hutan negara dengan tanaman pokok jati. Selain itu iles-iles juga dikumpulkan dari lahan hutan rakyat milik orang lain yang memang sering ditemui.

Lokasi tempat tumbuh iles-iles di lahan hutan negara yang relatif jauh dari pemukiman menyebabkan petani memilih mengumpulkan iles-iles secara berkelompok antara 2 sampai dengan 5 orang. Biaya yang dikeluarkan setiap kali mengumpulkan iles-iles berkisar antara Rp.5.000-15.000 per hari yaitu untuk makan, rokok, dan bensin. Sementara itu peralatan yang digunakan berupa linggis dan cangkul untuk menggali, golok untuk membersihkan akar dan tanah yang menempel pada umbi serta karung sebagai tempat menyimpan umbi yang sudah diambil.

Page 207: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 207

Bagi petani yang mengenal iles-iles menyatakan membudidayakan iles-iles bukanlah sesuatu hal yang sulit. Bibit untuk iles-iles dapat diambil dari umbi atau dari biji/bulbil yang biasanya tumbuh di ketiak daunnya (untuk jenis A. muelleri). Penamanan dengan umbi hanya dilakukan dengan membuat lubang tanam sedalam kurang lebih 30 cm, lalu ditutup kembali dengan tanah. Sementara untuk bulbil dapat langsung ditebar atau dibiarkan tumbuh dulu, lalu ditanam seperti menanam umbi. Untuk jenis suweg dan bosot dapat ditanam dengan menanam umbi/anakannya. Selain itu iles-iles tidak memerlukan pemeliharaan intensif seperti tanaman lainnya. Hal yang paling penting adalah kondisi tanahnya gembur serta cukup naungan. Iles-iles memang tumbuh baik dengan naungan antara 50-60% atau hanya terdapat sinar matahari 50-40% saja. Seperti disebutkan oleh Sufiani (1993) tanaman iles-iles kurang toleran terhadap intensitas cahaya penuh, dan pertumbuhannya memerlukan tempat teduh atau terlindung dari sinar matahari secara langsung. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara iles-iles dapat tumbuh dengan naungan jenis apapun dan juga dapat tumbuh baik bila dikombinasikan dengan tanaman pertanian (palawija atau semusim). Secara tidak langsung iles-iles akan memperoleh pupuk pada saat petani memupuk tanaman pertanian, sehingga iles-iles akan tumbuh lebih subur. Jenis pohon yang banyak tumbuh baik bersama iles-iles adalah jati (Tectona grandis), albasia (Paraserianthes falcataria), jengkol (Archidendron pauciflorum), petai (Parkia speciosa), mindi (Melia azedarach), dan mangga (Mangifera indica). Namun demikian, petani meyakini dengan jenis apapun akan tumbuh dengan baik, yang penting terdapat naungan yang cukup bagi iles-iles. Menurut Yuhono dan Rosmeilisa (1994) bahwa sebagian besar petani iles-iles menggunakan pola budidaya tradisional dengan pola pengelolaan sangat sederhana. Selanjutnya menurut Syaefullah (1990) dalam Ermiati dan Laksamanahardja (1996), tanaman iles-iles dapat ditanam bersama-sama dengan tanaman pisang (Mimosa pudica), jahe (Zingiber officinale), pinang (Areca catechu L.), kacang tanah (Arachis hipogea), dan jagung (Zea mays) serta cocok sebagai tanaman sela di perkebunan karet (Havea brasiliensis), cengkeh (Eugenia aromatica) kopi (Coffea sp.), kelapa sawit (Elaeis guineensis), dan jati. Di Kabupaten Madiun iles-iles yang dikembangkan di lahan Perhutani melalui pola PHBM sebagian besar ditanam di bawah tegakan jati, dan adapula yang ditanam bersama dengan pohon Sono Brits (Dalbergia latifolia). Menurut Arifin (2008) diketahui bahwa iles-iles yang ditanam dengan Sono Brits memiliki umbi yang lebih besar, namun ketika dijadikan chip rendemennya lebih baik umbi yang berasal dari tegakan jati. Hal itu karena kadar air umbi iles-iles yang ditanam bersama jati jauh lebih rendah.

Page 208: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 208 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

2. Pemanfaatan iles-iles B. Pola Pemanfaatan Iles-iles Selain mempunyai kondisi morfologis yang berbeda, ketiga jenis iles-iles juga mempunyai kandungan kimia yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 3. Kandungan utama dalam umbi Amorphophallus adalah karbohidrat. Pada A. companulatus dan A.variabilis komponen utama dari karbohidrat berupa pati, sedangkan pada A. muelleri/A. onchophyllus adalah mannan, sehingga jenis inilah yang banyak diekspor untuk dijadikan berbagai bahan baku industri (Hulsen dan Koolhaas, 1940 dalam Hobir, et al.,1996) . Tabel 3. Komposisi Kimia (%) Umbi Tiga Jenis Amorphophallus spp.

Jenis Kadar air

Bahan kering

Pati Mannan

Poliosa lain

Serat Kasar

Gula bebas

A. companulatus 70,1 29,2 77,0 0 14,2 8,5 0

A. variabilis 78,4 21,6 27,0 44,0 0 6,0 9,0

A. onchophylus/ A.muelleri

79.7 20,3 2,0 55,0 14,0 8,0 0

Sumber: Ohtsuki dalam Syaefullah (1990) dalam Ermiati dan Laksamanahardja (1996) Iles-iles jenis A. muelleri merupakan jenis yang banyak dikumpulkan dan akan dikembangkan, karena saat ini hanya jenis inilah yang dapat dijual. Sementara itu untuk jenis suweg (A. companulatus) biasanya dijadikan bahan pangan yang dapat langsung dikonsumsi dengan pengolahan yang sederhana. Sedangkan untuk jenis bosot (A. variabilis), sebagian besar petani mengaku tidak mengumpulkan dan memanfaatkannya karena tidak dapat dijual. Tetapi ada satu petani sekaligus bandar menyatakan jenis ini dapat dijual namun dengan harga yang lebih rendah dari A. muelleri. Berikut ini adalah pemanfaatan iles-iles di lokasi penelitian seperti disajikan pada Tabel 4.

Gambar 1. Iles-iles di Bawah Tegakan Gambar 2. Umbi Iles-iles

Page 209: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 209

Tabel 4. Pemanfaatan Iles-iles di Lokasi Penelitian

No Jenis iles-iles Jenis pemanfaatan iles-iles

Dijual Dikonsumsi Tidak /Belum Memanfaatkan

1. Iles-iles 35 (67,3%) 0 17 (32,7%)

2. Suweg 0 18 (34,6%) 34 (65,4%)

3. Bosot 3 (5,7%) 0 49 (94,2%

Sumber: Data primer, 2009 Menurut Ermiati dan Laksamanahardja (1996), pengolahan iles-iles dalam dunia perdagangan internasional selain bentuk gaplek (iles-iles yang sudah dikeringkan) juga dikenal tepung iles-iles, namun di kedua lokasi penelitian pengolahan iles-iles hanya dikeringkan saja menjadi keripik. Keripik iles-iles diolah dengan menggunakan pisau atau menggunakan alat pembuatan keripik iles (angsrodan. red), seperti terlihat pada Gambar 3. Selanjutnya iles-iles dijemur dan dikeringkan, setelah kering maka iles-iles siap dijual.

Pengeringan umbi iles-iles ini dalam kondisi panas yang cukup memerlukan waktu selama tiga hari. Menurut Ermiati dan Laksamanahardja (1996) untuk mendapatkan kasar mannan yang cukup tinggi iles-iles harus secepatnya dikeringkan (dibuat gaplek). Menurut Kay dalam Syaifullah (1990) dalam Ermiati dan Laksamanahardja (1996), kadar umbi iles-iles relatif tinggi, yakni 70-85% yang menyebabkan bagian dalamnya mudah rusak oleh aktiviatas enzim. Karena itu penyimpanan umbi iles-iles sebaiknya dilakukan dalam bentuk produk kering. Selain untuk menahan aktivitas enzim, produk kering lebih tahan simpan dan memudahkan dalam pengangkutan, penanganan serta pengunaan selanjutnya. Namun pada tingkat petani, masih banyak yang lebih tertarik

Gambar 3. Proses Pembuatan keripik iles-iles

Page 210: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 210 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

menjual dalam bentuk umbi basah dan tidak mengolahnya terlebih dahulu karena dinilai lebih lama meskipun harganya jauh lebih mahal. Proses pembuatan gaplek/keripik kering tergolong sederhana. Umbi hasil pemanenan dibersihkan tanah dan akarnya (bila masih ada akarnya), kemudian dikupas dan diiris tipis (namun beberapa petani juga langsung mengirisnya tanpa mengupasnya) sekitar 5-7 mm, dengan arah melintang. Menurut Murtinah (1977) dalam Ermiati dan Laksamanahardja (1996) pengirisan yang terlalu tipis (dibawah 5 mm) akan menyebabkan umbi yang sudah diiris lengket dan menyulitkan pengambilannya. Sementara itu bila umbi diiris terlalu tebal akan memperlama proses pengeringan dengan penampakan hasil yang kurang baik. Untuk menghindari irisan yang lengket karena terlalu tipis, biasanya petani segera merapikan di tempat jemuran yang diciptakan khusus untuk menjemur iles-iles. Untuk iles-iles jenis suweg dapat dikonsumsi langsung oleh petani dengan pengolahan yang relatif sederhana. Setelah suweg dibersihkan dan dikupas, kemudian dicuci sampai bersih dan ditiriskan hingga getahnya tidak ada. Sebagian petani yang pernah memanfaatkan kadangkala pencucian mengunakan air abu atau air beras agar lebih bersih. Setelah dibersihkan suweg bisa langsung dikukus dan setelah matang dapat langsung dikonsumsi.

IV. KESIMPULAN A. Kesimpulan 1. Pola pengembangan iles-iles di Kabupaten Kuningan masih dilakukan secara

sederhana dan alami di bawah tegakan hutan rakyat (lahan milik) dan di lahan Perhutani (pola PHBM) dan belum dibudidayakan oleh petani.

2. Pemanfaatan iles-iles oleh petani di kedua lokasi penelitian juga masih sangat sederhana. Jenis suweg (A. Companulatus) hanya dikonsumsi, iles-iles/badul (A. muelleri) dijual dalam bentuk umbi basah dan keripik dengan kontribusi yang masih rendah (4,3% dan 10,6%), sedangkan untuk bosot/badul bodas (A. variabilis) belum banyak dimanfaatkan baik dijual maupun dikonsumsi.

B. Saran Mengingat pola pengembangan dan pemanfaatan iles-iles masih sederhana, maka perlu keterlibatan berbagai pihak untuk membantu memberikan dorongan kepada petani untuk meningkatkan nilai tambah iles-iles, sehingga petani di Kabupaten Kuningan bisa tertarik untuk mengembangkannya secara intensif.

DAFTAR PUSTAKA

Page 211: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 211

Ermiati dan M.P Laksmanahardja. 1996. Manfaat Iles-iles (Amorphophalus spp.) sebagai Bahan Baku Makanan dan Industri, hal 74-80. Jurnal Litbang Pertanian. XV (3). Balai Litbang Pertanian. Jakarta.

Hobir, M. Ismail,W., M. Haddad, EA., dan M. Iskandar. 1996. Teknik Produksi Bibit Iles-iles. Laporan Bagpro Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Cimanggu. Bogor.

Rosman, R. dan S. Rusli. 1991. Tanaman Iles-iles. Edisi Khusus LITTRO VII (2): 17-21.

Suara Merdeka. 2001. Tanaman Iles-iles Bernilai Ekspor Tinggi. http://www.suaramerdeka.com/harian/0111/22/eko6.htm. Diakses pada tanggal 22 Nopember 2001.

Sufiani, 1993. Iles-iles, Jenis, Syarat Tumbuh, Budidaya, dan Standar Mutu Ekspornya. Laporan Bulan Maret 1993. Balai Penelitian Rempah dan Tanaman Obat. Bogor.

Sumarwoto. 2004. Beberapa aspek agronomi iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume.). Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Singarimbun, M dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.

Yuhono, JT. dan P. Rosmeilisa. 1996. Analisis Kelayakan Usahatani Iles-iles pada Lahan Hutan Produksi di Kabupaten Madiun. Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol II (1) hal 21-26. Bogor.

Zaky, BM. 2006. Studi Pengaruh Frekuensi Penyiangan Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produksi Suweg (Amorphophallus paeoniifolius Denst. Nicolson) di Bawah Tegakan Tanaman Eucalyptus deglupta. Tesis Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Page 212: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 212 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

KAJIAN ADOPSI INOVASI SISTEM SILVOPASTURAL OLEH PETANI HUTAN RAKYAT (Studi di Desa Ranggang, Kecamatan Takisung, Kalimantan Selatan)

Oleh

Idin Saepudin Ruhimat

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model adopsi inovasi sistem silvopastural, faktor yang berpengaruh terhadap adopsi inovasi sistem silvopastural, dan model alternatif adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang, Kalimantan Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang masih tergantung kepada kemampuan tokoh panutan dalam mengadopsi inovasi tersebut, diikuti oleh anggota kelompok tani, dan akhirnya diikuti oleh petani yang bukan anggota kelompok tani, (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap adopsi sistem silvopastural di Desa Ranggang adalah partispasi stakeholder, pendampingan teknologi, sifat inovasi, saluran komunikasi, nilai yang dianut, dan ketersediaan sumber daya, (3) model alternatif adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang dalam bentuk optimalisasi tupoksi stakeholder dalam setiap tahapan proses adopsi inovasi silvopastural oleh petani, penggunaan pendekatan yang sesuai dengan tata nilai yang berlaku di masyarakat, dan penggunan fungsi umpan balik hasil inovasi sebagai bahan pengembangan inovasi sistem silvopastural. Kata kunci: silvopastural, adopsi, inovasi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hutan rakyat memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional Indonesia. Simon dalam Mindawati, dkk (2006) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat akan memberikan sumbangan posistif terhadap pembangunan nasional dalam bentuk (1) memberikan produksi kayu dan hasil hutan ikutan, (2) memperluas kesempatan kerja dan aksesibilitas di pedesaan, (3) memperbaiki sistem tata air dan meningkatkan perlindungan tanah dari gangguan erosi, (4) meningkatkan penguraian Karbondiokasida dan polutan lain di udara, (5) menjaga agar kadar Oksigen di udara tetap pada tingkat yang menguntungkan untuk makhluk hidup, dan (6) menyediakan habitat untuk menjaga keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh Simon dalam Mindawati, dkk (2006) tersebut maka secara garis besar peran penting hutan rakyat untuk pembangunan nasional terdiri dari peran ekologi, peran ekonomi, dan peran sosial kemasyarakatan.

Optimasi terhadap peran penting hutan rakyat dalam pembangunan nasional Indonesia akan tercapai apabila ditunjang oleh dukungan inovasi ilmu

Page 213: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 213

pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu bentuk inovasi teknologi dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia adalah penggunaan sistem silvopastural dalam pengusahaan hutan rakyat. Sardjono, dkk (2003) mendefiniskan sistem silvopastural sebagai sistem agroforestry yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (pakan binatang ternak/pasture). Sistem silvopastural yang didefiniskan oleh Sardjono, dkk tersebut lebih bersifat luas yaitu kombinasi antara komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan baik hijauan pakan ternak dan atau ternak. Hal ini sejalan dengan pendapat Lahjie (2001) yang mendefinisikan sistem silvopastural sebagai produksi tanaman berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman pakan hewan ternak.

Keberhasilan sebuah inovasi (salah satunya adalah inovasi sistem silvopastural) yang telah dibuat oleh lembaga penelitian ditandai dengan telah termanfaatkannya inovasi teknologi tersebut oleh masyarakat dan memiliki dampak besar dalam mewujudkan pembangunan nasional (Musyafak dan Ibrahim, 2005). Akan tetapi, pelaksanaan Inovasi teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian (termasuk inovasi sistem silvopastural) banyak yang tidak termanfaatkan oleh pengguna inovasi. Salah satu penyebab tidak termanfaatkannya inovasi teknologi tersebut adalah permasalahan tidak optimalnya adopsi inovasi teknologi dari institusi penelitian ke tangan pemakai inovasi (user).

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui model adopsi inovasi sistem silvopastural oleh petani hutan rakyat di Desa Ranggang, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, dan (2) mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap adopsi sistem silvopastural di Desa Ranggang Kecamatan Takisung, Kalimantan Selatan, (3) memformulasikan model alternatif adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang model adopsi inovasi sistem silvopastural ini dilaksanakan di Desa Ranggang, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2008.

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui wawancara dengan berbagai informan, diskusi kelompok dan pengamatan langsung di lokasi

Page 214: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 214 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

penelitian (data primer), serta kajian dokumentasi dan kajian literatur (data sekunder). Informan dalam penelitian ini ditetapkan dengan menggunakan teknik purposive sampling (pengambilan sampel bertujuan). Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Ranggang merupakan salah satu desa dengan luas wilayah 11,30 km2 yang secara administratif terdapat di Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Banua Lawas dan Desa Banua Tengah, sebelah utara berbatasan dengan Desa Ranggang Dalam, sebelah barat berbatasan dengan Desa Pagatan Besar dan Desa Gunung Makmur, serta sebelah timur berbatasan dengan Desa Batilai (Anonim, 2007).

Berdasarkan data dalam Kecamatan Takisung dalam Angka tahun 2008, Desa Ranggang memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.506 jiwa (1.272 jiwa laki-laki dan 1.234 jiwa perempuan) yang tersebar di dalam 658 KK (BPS, 2008). Penduduk Desa Ranggang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani (70%), pedagang (15%), pembuat arang (5%), pegawai pemerintah/swasta (2%), dan sisanya terdiri dari buruh baik buruh tani, buruh pembuatan arang, maupun buruh bangunan (8%) (Anonim, 2007).

Desa Ranggang memiliki hutan rakyat seluas 265 hektar (23,45 % dari luasan Desa Ranggang) dengan mahoni sebagai tanaman pokok. Adapun pola tanam hutan rakyat yang dilakukan terdiri dari hutan rakyat mahoni-rumput hijaun pakan ternak (90 hektar), dan hutan rakyat mahoni - karet – hijauan pakan ternak (175 hektar).

B. Sistem Silvopastural di Desa Ranggang Kecamatan Takisung, Kabupaten

Tanah Laut

Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat Desa Ranggang yang memiliki hutan rakyat, diperoleh data bahwa seluruh hutan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat Desa Ranggang menggunakan sistem silvopastural/agrosilvopastural. Adapun sistem silvopastural yang digunakan adalah dengan menanam rumput (hijauan makanan ternak) di daur awal tanaman pokok mahoni (sampai dengan umur 4 atau 5 tahun). Menurut Huxley (1977) dan Noir (1993) dalam Sardjono, dkk (2006) pola agroforestry yang dilakukan di Desa Ranggang tersebut termasuk dalam kombinasi concomittan yaitu kombinasi pada awal atau akhir budidaya suatu jenis/komponen agroforestry.

Hijauan makanan ternak yang digunakan dalam sistem silvopastural di Desa Ranggang merupakan tanaman yang memiliki toleransi terhadap naungan,

Page 215: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 215

diantaranya rumpun gajah (Pennisetum purpureum), rumput signal (Brachiaria decumbens), dan rumput lokal kalimantan.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kelompok Tani Sidomaju, sistem silvopastural yang dikembangkan di Desa Ranggang memiliki luas 265 hektar yang terdiri dari 90 hektar kombinasi antara tanaman mahoni-rumput dan 175 hektar kombinasi antara tanaman mahoni, karet dan rumput. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan mahoni dengan sistem silvopastural di Desa Ranggang tidak terlepas dari penetapan Desa Ranggang sebagai salah satu sentra peternakan sapi di Kabupaten Tanah Laut.

Sistem penanaman rumput hijauan makanan ternak di antara tanaman kehutanan (mahoni) dimulai pada tahun 2003 yaitu melalui dua program yang dikeluarkan pemerintah (program GNRHL dari Departemen Kehutanan dan program pengembangan Hijauan Makanan Ternak dari Departemen Pertanian).

C. Model Adopsi Inovasi Sistem silvopastural di Desa Ranggang Kecamatan

Takisung, Kabupaten Tanah Laut Proses adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang masih tergantung kepada sosok tokoh panutan, sehingga semua alur proses adopsi sangat ditentukan oleh keberhasilan atau ketidakberhasilan tokoh panutan tersebuat dalam mengadopsi inovasi sistem silvopastural. Menurut Ruhimat (2010) menyebutkan bahwa Desa Ranggang memiliki suatu sistem nilai yang bersifat paternalistik yaitu suatu sistem nilai yang menjadikan tokoh panutan sebagai teladan dan acuan dalam melaksanakan adopsi inovasi dari luar. Keberhasilan tokoh panutan di Desa Ranggang dalam mengadopsi inovasi sistem silvopastural akan diikuti oleh petani yang memiliki hubungan terdekat dengan tokoh panutan tersebut, yaitu keluarga dan atau anggota kelompok tani. Keberhasilan anggota kelompok tani dalam mengadopsi inovasi silvopastural akan diikuti oleh petani yang berada di luar kelompok tani tersebut. Peran pemerintah dalam proses adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang belum menyentuh seluruh tahapan adopsi, akan tetapi masih terbatas kepada implementasi inovasi sistem silvopastural melalui program yang dilaksanakan di Desa Ranggang. Selain peran pemerintah yang belum optimal, proses adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang masih belum mengakomodir pendapat, saran, dan kritikan terhadap inovasi sistem silvopastural (umpan balik) kepada pihak yang terkait (instansi penelitian, swasta, pemerintah). Model adopsi sistem silvopastural di Desa Ranggang dapat dilihat pada Gambar 1.

Page 216: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 216 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Gambar 1. Diagram Alir Proses Adposi Sistem silvopastural di Desa Ranggang Kecamatan Takisung Kalimantan Selatan D. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Adopsi Inovasi Sistem

Silvopastural di Desa Ranggang

1. Partisipasi aktif stakeholder a. Partisipasi Petani

Keterlibatan petani dalam inovasi teknologi dapat mempengaruhi kecepatan adopsi oleh masyarakat. Salh satu bentuk keterlibatan petanI diantaranya ikut serta menganalisis inovasi yang dihasilkan dengan cara melakukan uji coba di lahan yang dimilikinya, dan memberikan masukan secara aktif kepada institusi penelitian dalam memperbaiki/mengembangkan inovasi yang telah dihasilkan (feedback).

Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan petani hutan rakyat di Desa Ranggang diperoleh data bahwa petani hutan rakyat di Desa ranggang masih belum terlibat secara aktif baik dalam proses perumusan inovasi silvopastural yang akan dilaksanakan di Desa Ranggang maupun proses penyampaian umpan balik hasil inovasi sistem silvopastural ke lembaga penelitian terkait. Seharusnya, terdapat mekanisme yang mengatur penyampaian umpan balik dari petani ke pihak lembaga penelitian baik secara langsung maupun tidak langsung b. Partispasi Pemerintah

Partisipasi aktif pemerintah memiliki pengaruh besar terhadap percepatan adopsi sistem silvopastural oleh masyarakat. Peran pemerintah dalam proses adopsi inovasi sistem silvipastura adalah dengan membuat kebijakan yang dapat mempercepat adopsi inovasi, memberikan pendampingan

Institusi Penelitian

Inovasi

Sistem

silvopastur

al Penyuluh

Petani Desa

Ranggang

Kelompok Tani

Uji Coba

Adopsi

Difusi

Ketua Kelompok

Tani

Anggota Kelompok

Tani

Pemerintah

silvopastural

Program silvopastural

Page 217: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 217

kepada petani dalam setiap tahapan proses adopsi, memberikan penyuluhan kepada petani dalam setiap tahapan proses, melaksanakan monitoring evaluasi terhadap pelaksanaan adopsi inovasi, dan menjadi mediator dalam program kemitraan petani dengan pihak swasta dalam proses adopsi inovasi.

Pemerintah belum optimal dalam proses adopsi inovasi silvopastural di Desa Ranggang, terutama dalam proses pendampingan dalam setiap tahapan adopsi inovasi sistem silvopastural yang dilakukan oleh petani seperti tahapan penumbuhan minat petani dan percobaan inovasi oleh petani hutan rakyat. c. Partisipasi Swasta

Peran aktif pihak swasta sebagai salah satu pilar pembangunan hutan rakyat sangat diperlukan dalam proses percepatan adopsi sistem silvopastural di Desa Ranggang. Peran aktif pihak swasta yang utama adalah menjalankan program kemitraan dengan petani baik dalam proses pendampingan teknologi maupun pemasaran hasil dari inovasi sistem silvopastural

Peran aktif pihak swasta dalam proses percepatan adopsi sistem silvopastural di Desa Ranggang masih sebatas bantuan pemeliharaan tanaman, belum dalam bentuk kemitraan usaha tani.

2. Pendampingan Teknologi

Keberhasilan adopsi inovasi di suatu daerah sangat ditentukan oleh pendampingan teknologi yang dilakukan oleh stkeholder terkait pada setiap proses adopsi teknologi. Hal ini dilakukan supaya proses adopsi yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan harapan dan keinginan yang dituntut oleh pembuat inovasi teknologi tersebut.

Pendampingan terhadap inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang masih hanya dilakukan oleh penyuluh kehutanan. Padahal seharusnya, pendampingan sebuah inovasi teknologi juga dilakukan oleh instansi lainnya seperti lembaga penelitian, pihak swasta dan lembaga terkait lainnya.

3. Sifat inovasi

Percepatan sebuah adopsi inovasi sangat ditentukan oleh sifat inovasi yang akan diadopsi oleh petani hutan rakyat. Sifat inovasi tersebut diantaranya adalah inovasi harus menguntungkan untuk petani pengadopsi, memiliki kesesuaian dengan kondisi sosial ekonomi petani, dan mudah diterapkan.

Selain mudah diterapkan dan menguntungkan bagi petani, Inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang juga merupakan salah satu solusi terhadap permasalahan yang dihadapi petani di Desa Ranggang dalam penyediaan pakan ternak sapi. Hal ini dikarenakan Desa Ranggang merupakan salah satu sentra pengembangan ternak sapi di Kabupaten Tanah Laut.

4. Saluran komunikasi

Saluran komunikasi merupakan salah satu kunci keberhasilan adopsi suatu inovasi teknologi. Saluran komunikasi tersebut harus mampu menjadi wadah komunikasi baik komunikasi antar petani, maupun komunikasi antara petani dengan pihak lain seperti media massa, dan pertemuan kelompok.

Page 218: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 218 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Di Desa Ranggang, saluran komunikasi antar petani telah terjalin dengan baik. Akan tetapi saluran komunikasi antara petani dengan pihak lain seperti pemerintah, institusi penelitian, maupun pihak swasta masih belum optimal dilakukan, sehingga petani belum dapat menyampaikan keluhan, respon terhadap inovasi sistem silvopastural yang sedang diadopsinya.

5. Nilai yang dianut

Faktor nilai yang dianut oleh suatu masyarakat sangat berpengaruh terhadap percepatan adopsi inovasi yang dilakukan. Terdapat beberapa nilai yang dianut oleh masyarakat Desa Ranggang yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi sistem silvopastural yaitu nilai keteladanan tokoh panutan dan nilai selalu berhati-hati dengan bantuan pihak luar. Pengaruh kedua nilai tersebut dapat terlihat jelas dalam pola adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang (Gambar 1).

6. Ketersediaan Sumber daya

Ketersediaan sumber daya (manusia, alam, keuangan, dan sebagainya) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap adopsi inovasi suatu teknologi di suatu daerah. Inovasi teknologi yang dilakukan harus menggunakan sumber daya yang sudah dimiliki oleh petani atau sumber daya luar yang terjangkau, mudah diperoleh, dan dab dapat diperoleh secara teratur (Bunch dalam Musyafak dan Ibrahim (2005). Desa Ranggang memiliki potensi sumber daya yang mendukung dalam melaksanakan inovasi sistem silvopastural.

E. Model Alternatif Inovasi Sistem silvopastural di Desa Ranggang Kecamatan

Takisung Kalimantan Selatan

Berdasarkan model adopsi inovasi silvopastural yang telah dilakukan oleh petani hutan rakyat di Desa Ranggang, dan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi inovasi silvopastural maka model alternatif adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Page 219: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 219

Gambar 2. Model Alternatif Adopsi Sistem silvopastural di Desa Ranggang

Kecamatan Takisung Kalimantan Selatan

Model alternatif pada Gambar 2 menggambarkan proses adopsi inovasi sistem silvopastural sebagai berikut: 1. Proses adopsi inovasi sistem silvopastural diawali dengan penelitian yang

dilakukan oleh lembaga penelitian dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, swasta) dan kekhasan yang dimiliki oleh pengadopsi.

2. Inovasi sistem silvopastural yang dihasilkan lembaga penelitian di sebarkan kepada semua stakeholder terkait. Para stakeholder mengimplementasikan inovasi tersebut sesuai tupoksi yang dimilikinya. Pemerintah melakukan dukungan kebijakan, program, pendampingan, dan penyuluhan dalam setiap tahapan proses adopsi di tingkat petani. Pihak swasta melakukan kemitraan dengan petani dengan dimediasi oleh pemerintah pada semua tahapan proses adopsi di tingkat petani.

3. Pada tingkat petani, tahapan proses adopsi inovasi sistem silvopastural dilakukan dengan tahapan: (dimodifikasi dari Musyafak, dkk., 2005)

Tahap kesadaran yaitu petani menyadari bahwa ada suatu inovasi sistem silvopastural yang dapat menguntungkan kepada petani. Pada tahapan ini fungsi pemerintah dan pihak swasta diperlukan untuk memberikan penjelasan mengnai sistem silvopastura

Lembaga Penelitian

dan Pengembangan

Pemerintah Pusat

dan Daerah

Swasta (Perusahaan) Inovasi sistem

silvopastural

Kebijakan dan Program

Pendampingan

Penyuluhan

Proses Adopsi Inovasi di Petani

Kemitraan

Umpan Balik

Perhatian

Kesadaran

Penaksiran

Percobaan

Adopsi

Konfirmasi

Page 220: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 220 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Tahap perhatian yaitu petani mulai tertarik terhadap sistem silvopastural dan mencari tambahan informasi mengenai sistem tersebut. Pada tahapan ini fungsi pemerintah dan swasta diperlukan dalam memberikan informasi tambahan baik melalui media massa maupun penyuluhan langsung

Tahap penaksiran yaitu petani menimbang/memikirkan apakah petani mampu menyiapkan sumber daya yang dimilikinya dan yakin inovasi silvopastural bermanfaat bagi petani. Pada tahapan ini fungsi mediasi pemerintah dan kemitraan usaha dari pihak swasta diperlukan.

Tahap percobaan yaitu petani mencoba menggunakan inovasi sistem silvopastural pada skala kecil. Di Desa Ranggang tahap percobaan awal ini bisa dilakukan oleh tokoh masyarakat panutan para petani. Pada tahapan ini fungsi pendampingan teknologi dari pemerintah dan swasta sangat diperlukan

Tahap adopsi yaitu para petani memutuskan untuk menggunakan inovasi sistem silvopastural di lahan yang dimilikinya. Pada tahap ini kemitraan swasta dan dukungan pemerintah diperlukan sebagai jaminan keberhasilan adopsi

Tahap konfirmasi yaitu petani membandingkan hasil adopsi inovasi dengan petani lainnya.

4. Umpan balik hasil adopsi inovasi sistem silvopastural dit tingkat petani disampaikan ke lembaga penelitian baik secara langung maupun lewat stakeholder yang lainnnya. Apabila petani mengalami hambatan, dan kegagalan pada tahap mencoba/konfirmasi/adopsi, maka petani memutuskan untuk tidak menggunakan sistem silvopastural dan menyampaikan permasalahan tersebut ke pihak lembaga penelitian untuk dilakukan perbaikan terhadap inovasi sistem silvopastura.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat didimpulkan sebagai berikut: 1. Adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang masih tergantung

kepada kemampuan tokoh panutan dalam mengadopsi inovasi tersebut, diikuti oleh anggota kelompok tani, dan akhirnya diikuti oleh petani yang bukan anggota kelompok tani

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap adopsi sistem silvopastural di Desa Ranggang adalah partispasi stakeholder, pendampingan teknologi, sifat inovasi, saluran komunikasi, nilai yang dianut, dan ketersediaan sumber daya.

3. Model alternatif adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang dalam bentuk optimasi tupoksi stakeholder dalam setiap tahapan proses adopsi inovasi silvopastural oleh petani, penggunaan pendekatan yang sesuai

Page 221: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 221

dengan tata nilai yang berlaku di masyarakat, dan penggunan fungs umpan balik hasil inovasi sebagai bahan pengembangan inovasi sistem silvopastural

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis terhadap model adopsi inovasi sistem silvopastural di Desa Ranggang, Kecamatan Takisung, Kalimantan Selatan maka disarankan kepada para stakeholder (pemerintah, swasta, petani) untuk berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan proses adopsi inovasi sistem silvopastural mulai dari introduksi inovasi, proses adopsi petani, dan sampai ke proses difusi adopsi sistem silvopastural.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. Profil Desa Ranggang Tahun 2007. Desa Ranggang Tanah Laut.

Anonim. 2008. Kecaatan Takisung dalam Angka Tahun 2008. BPS. Tanah Laut.

Lahjie, A. 2001. Teknik Agroforestri. Penerbit UPN Veteran. Jakarta.

Mindawati, N., Widiarti, A., dan Rustaman, B. 2006. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.

Musyafak, A., dan Ibrahim, T.M. 2005. Strategi Percepatan Adfopsi dan Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Balai Penelitian Teknologi Pertanian. Pontianak.

Ruhimat, I.S. 2010. Kajian Sosiologi Kelembagaan Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis.

Sardjono, M.A., Djogo, T., Arifin, H.S., dan Wijayanto, N. 2003 Klasifikasi dan Pola Komponen Agroforestri. ICRAF. Bogor

Page 222: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 222 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

ANALISIS USAHA TANI AGROFORESTRY NYAMPLUNG DI LAHAN SEMPIT UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN ENERGI DI KABUPATEN CIAMIS

Devy P. Kuswantoro, Soleh Mulyana, dan Harry Budi Santoso

ABSTRAK

Kementerian Kehutanan menawarkan pemanfaatan Nyamplung sebagai tanaman sumber bahan bakar nabati (BBN) untuk mendukung kemandirian energi masyarakat. Kelebihan Nyamplung diantara sumber bahan bakar nabati lainnya adalah tidak berkompetisi dengan pangan, merupakan pohon serbaguna, dapat digunakan dalam rehabilitasi pantai, dan dapat ditanam dalam lahan budidaya petani sebagai salah satu sumber pendapatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan pengembangan Nyamplung di hutan rakyat dalam pola agroforestry, khususnya di lahan sempit milik petani. Lokasi penelitian adalah di wilayah Kabupaten Ciamis. Hasil perhitungan analisis usaha tani memberikan indikasi bahwa pola agroforestry Nyamplung layak dikembangkan di lahan sempit dengan pilihan jenis tanaman kelapa, pisang, dan sengon yang sudah terlebih dahulu dikembangkan oleh petani. Kata kunci: Nyamplung, hutan rakyat, agroforestry, lahan sempit, BBN

I. PENDAHULUAN

Pengunaan bahan bakar minyak di Indonesia memperlihatkan kondisi yang cenderung semakin meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM (2011), konsumsi BBM tahun 2010 mencapai 61,73 juta liter atau + 388,241 juta setara barel minyak. Di lain pihak, cadangan minyak bumi semakin menurun dan di tahun 2010 tinggal 7,76 milyar barel. Impor BBM pada tahun 2010 mencapai 38,28% dari konsumsi. Hal ini membuktikan bahwa kebutuhan akan bahan bakar sangat memegang peranan penting di Indonesia. Sumber-sumber energi lain yang dapat mensubstitusi bahkan menggantikan peran minyak bumi terus dicari dan dikembangkan potensinya. Salah satunya adalah pemanfaatan bahan tanaman sebagai sumber bahan bakar nabati (BBN) yaitu sumber bio diesel (yang dapat menggantikan fungsi minyak solar) dan bio etanol (yang dapat menggantikan bensin), dan bio oil. Kebijakan Energi Nasional telah dikeluarkan oleh pemerintah dengan salah satu sasarannya yaitu menetapkan penggunaan BBN menjadi lebih dari 5% terhadap konsumsi energi nasional pada tahun 2025 atau setara dengan 4,7 juta kilo liter. Sampai tahun 2010, perkembangan BBN terus mengalami peningkatan seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Page 223: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 223

Tabel 1. Perkembangan BBN sampai dengan tahun 2010 (ribu kilo liter)

Jenis BBN 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Bio diesel 120 456,6 1.550 2.329,1 2.521,5 2.647,57

Bio etanol 2,5 12,5 135 192,4 212,5 223,12

Bio oil - 2,4 37,2 37,2 40 42

Jumlah 122,5 471,5 1.722,2 2.558,7 2.774 2.912,69

Sumber: Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (2011)

Bahan nabati sebagai sumber BBN yang biasa digunakan di dunia adalah dari jagung, kedelai, flaxseed, tebu dan minyak kelapa sawit. Padahal bahan-bahan tersebut juga merupakan bahan pangan yang tentu saja menjadi kurang etis dikembangkan di Indonesia mengingat belum tercapainya kemandirian dan kedaulatan pangan. Oleh karena itu, pencarian dan pengembangan sumber BBN non pangan potensial menjadi perlu dan penting dilakukan. Sampai saat ini, jenis yang telah banyak dikembangkan adalah jarak pagar (Jatropha curcas Linn) baik oleh swasta/industri maupun oleh Kementerian Pertanian dalam bentuk Desa Mandiri Energi (DME). Sampai tahun 2009, telah tumbuh 612 unit DME dimana sebanyak 429 unit merupakan DME berbasis BBN (Kementerian ESDM, 2010).

Kementerian Kehutanan melalui Badan Litbang Kehutanan telah meneliti tanaman Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) yang mempunyai potensi sebagai sumber BBN. Kelebihan tanaman Nyamplung dibanding sumber BBN lainnya adalah selain tidak berkompetisi dengan pangan, tanaman ini tumbuh dan tersebar alami di hampir seluruh pantai berpasir di Indonesia, merupakan pohon multimanfaat dan dapat digunakan untuk rehabilitasi sempadan pantai, mempunyai produktivitas biji dan rendemen minyak yang lebih tinggi dari jarak pagar maupun sawit (Bustomi et al., 2009). Isu perubahan penggunaan lahan dan deforestasi juga dapat ditepis dengan pemanfaatan Nyamplung. Kusdiana (2011) menekankan pemanfaatan BBN tetap harus memperhitungkan isu emisi CO2 pada saat budidaya yaitu dengan tidak merusak hutan tropis dan mengoptimalkan penggunaan lahan tidur. Disinilah letak kelebihan tanaman Nyamplung karena hanya akan diambil buahnya saja sebagai hasil hutan bukan kayu (HHBK) sehingga tidak akan menambah emisi CO2.

Kementerian Kehutanan dalam memperkenalkan penggunaan Nyamplung sebagai bahan baku BBN telah membuat demplot DME berbasis Nyamplung yang bekerja sama dengan Kementerian ESDM. Demplot DME berlokasi di Kabupaten Kebumen, Purworejo, dan Banyuwangi. Sumber bahan baku pengolahan minyak Nyamplung berasal dari hutan rakyat setempat, tumbuhan alam, maupun tanaman Nyamplung di areal Perum Perhutani. Dengan adanya prospek yang menjanjikan, diharapkan peluang usaha budidaya Nyamplung dapat ditangkap oleh masyarakat sebagai salah satu usaha hutan rakyat untuk menambah pendapatan.

Selama ini, hutan rakyat banyak dikembangkan pada lahan sempit dengan pola agroforestry, mengingat terbatasnya luasan kepemilikan lahan petani. Disamping itu, tenaga kerja dapat dihemat karena merupakan tenaga

Page 224: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 224 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

kerja keluarga. Karenanya, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis usaha tani agroforestry Nyamplung untuk lahan sempit dengan tanaman yang sudah dikenal oleh petani sehingga diharapkan mampu menumbuhkan minat petani untuk berpartisipasi dalam budidaya Nyamplung di Jawa Barat khususnya di Kabupaten Ciamis yang wilayah pesisirnya potensial untuk pengembangan Nyamplung. Dengan demikian, apabila akan dibentuk suatu DME berbasis Nyamplung di Ciamis, sudah diketahui keekonomian usaha taninya oleh masyarakat.

II. METODE

Pengambilan data dilakukan di Desa Ciparanti dan Kertamukti yang

termasuk dalam wilayah Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Data dikumpulkan melalui kegiatan survai dengan melakukan wawancara kepada petani dan kelompok tani hutan rakyat. Survai dimaksudkan untuk mengetahui kegiatan budidaya di hutan rakyat milik petani termasuk biaya dan pendapatannya. Adapun jenis-jenis tanaman yang ditanam oleh petani akan dikombinasikan dengan tanaman Nyamplung dalam berbagai skenario pola agroforestry. Usaha budidaya dan pengolahan Nyamplung menjadi bio diesel belum ada di Ciamis. Oleh karena itu, sebagai rujukan harga-harga untuk Nyamplung dilakukan pengamatan di Kabupaten Cilacap.

Pola agroforestry Nyamplung meskipun dilakukan di lahan sempit, akan tetapi mengingat daur usaha yang lama, maka tetap perlu dilakukan proyeksi atas biaya dan manfaat di masa datang. Karenanya kegiatan usaha dihitung dengan analisis finansial usaha tani menurut rumusan dalam Gray (2007). Analisis usaha tani tersebut meliputi analisis Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (BCR). Usaha tani dianggap menguntungkan apabila nilai NPV > 0, BCR > 1, dan IRR > suku bunga. Selain perhitungan tersebut, dilakukan juga analisis secara deskriptif dan dengan menggunakan data-data pembanding yang ada.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keberadaan Nyamplung dan Kondisi Hutan Rakyat

Sebaran alami Nyamplung di Kabupaten Ciamis terletak di kawasan Cagar Alam Pananjung, Pangandaran dan kawasan Pantai Batukaras. Beberapa pohon Nyamplung yang tumbuh alami secara soliter (tidak dalam kelompok) juga ditemukan di kawasan pantai Desa Ciparanti dan Kertamukti. Pohon Nyamplung tumbuh besar di areal pemakaman, tepian sungai, maupun pinggir jalan. Masyarakat selama ini tidak pernah menanam Nyamplung dengan sengaja. Hanya saja sejak terjadi tsunami pada tahun 2006, mulai digalakkan rehabilitasi pantai dan daerah pesisir yang salah satu jenis tanamannya adalah Nyamplung.

Saat ini, tanaman Nyamplung berumur muda banyak terlihat di sepanjang kanan-kiri jalan Desa Ciparanti dan Kertamukti hasil proyek penghijauan. Meskipun demikian, belum ada petani yang tertarik untuk membudidayakannya

Page 225: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 225

di lahan/kebunnya mengingat belum banyak diketahui teknik budidaya dan manfaatnya. Para petani mengetahui bahwa Nyamplung merupakan tanaman pantai yang selama ini banyak dimanfaatkan untuk kayu bakar dan berguna bagi rehablitasi pantai. akan halnya manfaat buah Nyamplung yang dapat diambil bijinya sebagai BBN belum banyak diketahui oleh petani.

Apabila prospek budidaya Nyamplung belum banyak diketahui oleh petani, maka keberadaan hutan rakyat maupun kegatan penanaman tanaman kayu-kayuan di lahan milik sudah menjadi budaya masyarakat sampai saat ini. Jenis-jenis pohon seperti sengon, jati, mahoni, dan formis sudah dikenal dan ditanam oleh petani sebagai tanaman tahunan untuk tabungan maupun sumber uang dikala kebutuhan mendesak. Tanaman sengon petani mempunyai kondisi yang cukup baik dan tidak terkena serangan karat tumor yang saat ini marak. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan pesisir yang lebih panas sehingga spora karat tumor tidak mewabah seperti halnya tanaman sengon yang ditanam di pegunungan/ dataran tinggi.

Sebagai desa-desa di wilayah pesisir, petani juga menanam kelapa sebagai tanaman khas pesisir untuk diambil buahnya maupun diambil nira kelapa untuk pembuatan gula kelapa disamping nantinya dimanfaatkan kayunya. Petani berusaha mengoptimalkan lahan miliknya dengan penanaman berbagai jenis tanaman yang nantinya dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan mulai dari harian hingga tahunan. Tabel 2 memperlihatkan jenis-jenis tanaman yang ditanam di lahan (hutan rakyat/kebun) milik responden petani. Tabel 2. Jenis-jenis tanaman di lahan milik responden petani

No Desa Jenis tanaman

1 Desa Ciparanti sengon, kelapa, pisang, cengkeh, kapulaga, kacang tanah

2 Desa Kertamukti sengon, jati, mahoni, bayur, kelapa, pisang, ketela pohon, kacang tanah

Sumber: pengolahan data primer B. Usaha Tani Agroforestry Nyamplung di Lahan Sempit

Skenario pengembangan hutan rakyat Nyamplung dibuat dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi baik dari literatur yang dipakai oleh Bustomi et al. (2009) maupun data primer dari hasil wawancara sebagai berikut:

1. Lahan yang digunakan adalah lahan milik masyarakat maupun lahan sewa harim laut, sehingga tidak ada pembelian lahan dan yang ada adalah pajak tanah. Daur yang dipakai untuk Nyamplung adalah 50 tahun dalam luasan 100 bata (1.400 m2).

2. Nyamplung mulai berbuah pada umur 7 tahun dengan produksi buah diasumsikan sebanyak 25 kg/pohon/tahun (umur 7-10 tahun), dan 50 kg/pohon/tahun (umur 11-50 tahun). Pemungutan buah yang sudah masak/tua dilakukan oleh petani dan dijual dalam bentuk masih bertempurung. Harga biji Nyamplung adalah Rp. 700,00,-/kg di tingkat

Page 226: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 226 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

petani sampai tahun ke-10 dan kemudian baru meningkat Rp. 1.100,-/kg setelah tahun ke-11. Ongkos angkut Rp. 100,-/kg. Harga buah Nyamplung diterima di pabrik seharga Rp. 600,-/kg ini sesuai dengan harga beli produsen minyak di Unit Pengolahan Biofuel Koperasi Jarak Lestari Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap tahun 2010. Adapun harga buah Nyamplung Rp. 1.000,-/kg adalah keinginan responden petani penjual buah di Cilacap.

3. Ongkos tenaga kerja yaitu Rp. 30.000,-/HOK. Harga-harga pupuk dan saprodi lainnya mengacu pada harga di Jawa Barat tahun 2010.

4. Biaya budidaya tanaman lainnya mengacu pada biaya dan pendapatan setempat.

Terdapat tiga pola agroforestry dalam budidaya Nyamplung yang dipilih

untuk dilakukan analisis usaha tani yaitu Pola 1: Nyamplung + Kacang Tanah, Pola 2: Nyamplung + Kelapa, dan Pola 3: Nyamplung + Sengon + Pisang. Pemilihan pola ini berdasarkan pada jenis-jenis tanaman yang sudah umum ditanam petani di kebun/hutan rakyatnya. Biaya dan pendapatan pengembangan hutan rakyat Nyamplung dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi biaya dan pendapatan agroforestry Nyamplung

No Perihal Nilai (Rp)

Pola 1 Pola 2 Pola 3

1 Biaya tetap 1.750.000 1.750.000 1.750.000

2 Biaya variabel budidaya Nyamplung

20.861.920 11.481.460 7.106.460

3 Biaya variabel budidaya Kacang tanah

4.290.000 0 0

4 Biaya variabel budidaya Kelapa 0 3.532.600 0

5 Biaya variabel budidaya Pisang 0 0 14.825.000

6 Biaya variabel budidaya Sengon 0 0 25.740.000

7 Total biaya pola agroforestry (1+2+3+4+5)

26.901.920 16.764.060 49.421.460

8 Rata-rata biaya per tahun 538.038 335.281 988.429

9 Penerimaan - penjualan Nyamplung - penjualan Kacang tanah - penjualan Kelapa - penjualan Pisang - penjualan Sengon

113.500.000

8.000.000 0 0 0

56.750.000

0 33.712.000

0 0

56.750.000

0 0

12.600.000 131.250.000

10 Total pendapatan (8 – 6) 94.598.080 73.697.940 151.178.540

11 Rata-rata pendapatan per tahun

1.891.962 1.473.959 3.023.571

Sumber: pengolahan data primer

Page 227: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 227

Jarak tanam tanaman Nyamplung adalah 5m X 5m sesuai untuk jarak tanam bagi tanaman yang akan diambil buahnya. Jumlah tanaman Nyamplung pada Pola 1 sebanyak 56 batang dengan kacang tanah ditanam diantaranya. Adapun jumlah tanaman Nyamplung pada Pola 2 sebanyak 28 batang dengan tanaman Kelapa sebanyak 28 batang. Pada Pola 3, jumlah tanaman Nyamplung sebanyak 28 batang ditanam sebagai pembatas kebun, sedangkan bagian tengah kebun difungsikan sebagai lahan penanaman Sengon seperti pada hutan rakyat pada umumnya.

Hasil analisis usaha tani memberikan gambaran bahwa pola agroforestry Nyamplung memberikan pendapatan setiap tahun. Akan tetapi, nilai pendapatan pada Tabel 3 tersebut masih berupa nilai kasar karena belum diproyeksikan atas nilai di masa mendatang berdasar suku bunga yang digunakan. Tabel 4 memberikan gambaran kelayakan investasi 3 pola agroforestry Nyamplung tersebut pada suku bunga pinjaman 15%, sesuai dengan suku bunga kredit investasi di Jawa Barat (Bank Indonesia Jawa Barat, 2010). Tabel 4. Analisis finansial pola agroforestry Nyamplung

No Perihal Pola 1 Pola Pola 3

1 Biaya terdiskonto 4.116.249 3.545.475 8.529.218

2 Penerimaan terdiskonto 9.609.817 4.757.475 18.710.656

3 NPV (Rp.) 4.116.249 1.212.000 10.181.438

4 IRR (%) 30,41 18,14 44,55

5 BCR 1,749 1,342 2,194

6 Kriteria Layak Layak Layak

Sumber: pengolahan data primer

Hasil analisis kelayakan memperlihatkan bahwa pola agroforestry dengan tanaman Nyamplung layak diusahakan selama 50 tahun untuk dapat berpartisipasi dalam penyediaan bahan baku BBN. Di lahan sempit, Nyamplung dapat dijadikan tanaman pembatas disekeliling kebun petani, ditanam diantara tanaman lain, maupun ditanam secara monokultur. Petani dapat memilih pola-pola yang sesuai dengan dana dan tenaga yang dimiliki mengingat usaha tani di lahan sempit biasanya terbatas pemodalannya dan hanya menggunakan tenaga kerja keluarga.

Pola 2 (Nyamplung + Kelapa) meskipun memberikan nilai-nilai yang paling rendah diantara ketiga pola tersebut, namun memberikan kemungkinan budidaya yang paling besar. Hal ini disebabkan kesesuaian lahan pantai dengan tanaman Kelapa dan Nyamplung dimana keduanya adalah tanaman khas pantai. Selama ini, petani di Desa Ciparanti dan Kertamukti sudah mengusahakan Kelapa. Di Desa Ciparanti, Kelapa lebih banyak dijual buahnya, sementara di Desa Kertamukti banyak yang diambil niranya untuk produksi gula kelapa. Hasil wawancara memperlihatkan peran penting tanaman Kelapa bagi masyarakat yaitu dapat memberikan hasil mingguan dan bulanan bahkan untuk kebutuhan harian seperti kebutuhan akan bahan bakar dari pelepahnya.

Page 228: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 228 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Program budidaya Nyamplung perlu didukung oleh sosialisasi dan penyuluhan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai potensi, manfaat, cara budidaya, dan teknologi yang sudah diperoleh. Hasil wawancara dengan responden petani didapatkan bahwa petani mau turut serta dalam usaha budidaya Nyamplung asalkan mendapatkan kejelasan nilai ekonomi, pemasaran, dan teknik budidayanya. Hasil-hasil penelitian telah menemukan paket iptek berupa iptek perbenihan, teknik budidaya, serta penanggulangan hama dan penyakit Nyamplung (Rostiwati et al., 2010). Pasar biodiesel sangat terbuka luas karena keharusan untuk penggunaan BBN sehingga masyarakat dapat berperan dalam membantu penyediaan bahan baku.

Meskipun sampai saat ini pengembangan Nyamplung di demplot DME belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, akan tetapi dengan dukungan iptek dan insentif pemerintah untuk pengembangan BBN, diharapkan pengembangan BBN, khususnya Nyamplung dapat membuahkan keberhasilan dan menambah kesejahteraan masyarakat pesisir. Sesuai dengan UU No. 30 tahun 2007 tentang energi, pemerintah wajib untuk meningkatkan ketersediaan energi terbarukan. Pemerintah dapat memberikan insentif bagi penyediaan energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha maupun perseorangan untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hutan rakyat Nyamplung sebagai sumber bahan baku BBN layak secara finansial untuk dikembangkan sebagai salah satu model budidaya tanaman kehutanan dan optimalisasi pemanfaatan lahan di daerah pesisir. Pilihan pola tanam agroforestry di lahan sempit dengan tanaman Nyamplung yang dapat dikembangkan oleh petani adalah pola Nyamplung + Kacang tanah, pola Nyamplung + Kelapa, dan pola Nyamplung + Sengon + Pisang. Petani dapat memilih pola yang sesuai dengan ketersediaan biaya dan tenaga yang dimilikinya.

Saran yang dapat diajukan dalam rangka mendukung budidaya Nyamplung di lahan sempit ini adalah perlu adanya sosialisasi dan dukungan iptek budidaya Nyamplung. Insentif dari pemerintah baik berupa bantuan, subsidi, dan peraturan yang mendukung dalam pengembangan BBN menjadi salah satu modal untuk meningkatkan kepercayaan petani dalam mengembangkan Nyamplung sehingga kemandirian energi berbasis BBN Nyamplung di pesisir Kabupaten Ciamis dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA Bustomi, S., T. Rostiwati, R. Sudradjat, A.S. Kosasih, I. Anggraini, B. Leksono, S.

Irawanti, R. Kurniaty, D. Syamsuwida, R. Effendi, Mahfudz, dan D. Hendra. 2009. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L): Sumber Energi Biofuel yang

Page 229: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 229

Potensial (Edisi Revisi). Pusat Litbang Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Gray, C., P. Simanjuntak, L.K. Sabur, P.F.L. Maspaitella & R.C.G. Varley. 2007. Pengantar Evaluasi Proyek Edisi Kedua. Gramedia. Jakarta.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2010. Selama 2009 DME Tumbuh 44%. Website: http://www.esdm.go.id/berita/umum/37-umum/3092-selama-2009-dme-tumbuh-44.html. Diakses tanggal 1 Agustus 2011.

----------. 2011. Statistik Minyak Bumi. Website: http://prokum.esdm.go.id/ Publikasi/Statistik/Statistik Minyak Bumi.pdf. Diakses tanggal 1 Agustus 2011.

Kusdiana, D. 2011. Aspek Keberlanjutan Bioenergi. Makalah disampaikan pada Seminar dan Eksibisi Indo-Bioenergy 2011 tanggal 24 Mei 2011 di Jakarta.

Rostiwati, T., Nurhasybi, A.A. Pramono, L. Baskorowati, Y. Mile, dan B. Achmad (eds.). 2010. Prosiding Seminar Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat untuk Kesejahteraan Masyarakat tanggal 20 Oktober 2010 di Bandung. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2007 tanggal 10 Agustus 2007 tentang Energi.

Page 230: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 230 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

PERMASALAHAN LAND TENURE DALAM PENGEMBANGAN AGROFORESTRY: KASUS DI KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA

Oleh:

Sanudin

ABSTRAK

Salah satu sumber konflik pertanahan yang ada sekarang ini antara lain disebabkan oleh kepemilikan atau penguasaan tanah (land tenure) yang tidak seimbang dan tidak merata akibat sengketa dari pemanfaatan lahan tidur dan penggunaan tanah terlantar. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kepemilikan tanah dalam pengembangan agroforestry di Kabupaten Samosir. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan penulis selama terlibat dalam kegiatan pendampingan Program ITTO PD 396/04 Rev. 1 (F) dengan judul “Pemulihan Fungsi Ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Toba Melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Kapasitas Lokal untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan” mulai september 2007 sampai september 2010. Pengumpulan data dilakukan dengan mengkombinasikan metode telaahan dokumentasi dari berbagai sumber data sekunder dan metode langsung yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan teknik wawancara dan pengamatan lapangan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi masyarakat di Kabupaten Samosir, lahan marga dianggap penting dari segi guna, fungsinya dan nilai simbolik. Pada umumnya pola pemanfaatan lahan marga ini berupa lahan kosong dan hutan adat (marga) yang dalam pengelolaannya diatur oleh aturan adat yang tidak memungkinkan untuk diperjualbelikan dan tidak boleh diubah peruntukannya (pola pemanfaatannya). Kondisi ini tentunya memberikan permasalahan sendiri bagi inisiatif untuk memanfaatkan lahan untuk meningkatkan produktivitasnya melalui agroforestry karena harus mendapat kesepakatan bersama dari seluruh anggota marga. Kata kunci: land tenure, lahan marga, agroforestry, Kabupaten Samosir

I. PENDAHULUAN

Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam memiliki nilai ekonomis serta nilai sosial politik dan nilai pertahanan keamanan yang tinggi. Terkait dengan tanah ada permasalahan dimana di satu sisi terjadi peningkatan kebutuhan tanah untuk berbagai keperluan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat, sedangkan di sisi lain, luas tanah relatif tidak bertambah.

Salah satu sumber konflik pertanahan yang ada sekarang ini antara lain disebabkan oleh kepemilikan atau penguasaan tanah (land tenure) yang tidak seimbang dan tidak merata akibat sengketa dari pemanfaatan lahan tidur dan penggunaan tanah terlantar. Land tenure sendiri didefinisikan sebagai hak atas tanah atau penguasaan tanah, terutama tentang status hukum seperti hak milik, pacht, gadai, bagi hasil, sewa menyewa, kedudukan buruh tani, dan sebagainya (Wiradi, 2000).

Page 231: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 231

Agroforestry telah dikenal di Indonesia sejak lama. Agroforestry dapat digambarkan sebagai sistem manajemen tanah yang berkelanjutan yang dapat meningkatkan produktivitas lahan melalui kombinasi produksi tanaman, termasuk tanaman pohon. Termasuk di sini adalah praktek manajemen yang sejalan dengan praktek kebudayaan penduduk lokal.

Kabupaten Samosir menjadi lokus penelitian karena kabupaten ini mempunyai kekhasan wilayah dan seperti kabupaten lainnya di sekitar Danau Toba, kabupaten ini mempunyai masyarakat yang sangat kuat memegang tegung adat Batak dan adanya kepemilikan lahan marga/komunal. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa ada permasalahan terkait dengan kepemilikan lahan terutama di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba termasuk Samosir yakni kepemilikan lahan yang tidak pasti. Hal ini terkait dalam pemanfaatan lahan yang terlantar secara optimal, termasuk dalam upaya memaksimalkan produksi lahan tersebut.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kepemilikan tanah dalam pengembangan agroforestry di Kabupaten Samosir.

II. METODE

Tulisan ini merupakan hasil pengamatan penulis selama terlibat dalam

kegiatan pendampingan Program ITTO PD 396/04 Rev. 1 (F) dengan judul “Pemulihan Fungsi Ekosistem Daerah Tangkapan Air Danau Toba Melalui Pemberdayaan Masyarakat dan Penguatan Kapasitas Lokal untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan” mulai september 2007 sampai september 2010.

Pengumpulan data dilakukan dengan mengkombinasikan metode telaahan dokumentasi dari berbagai sumber data sekunder dan metode langsung yaitu pengumpulan data primer di lapangan dengan teknik wawancara dan pengamatan lapangan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Kabupaten Samosir

Kabupaten Samosir yang mempunyai luas wilayah 2.069,05 km2 (terdiri dari luas daratan 1.444,25 km2) dengan ketinggian 904 - 2.157 m dpl merupakan daerah pulau yang dikelilingi oleh Danau Toba ditambah sebagian wilayah daratan Pulau Sumatera. Kabupaten ini mempunyai topografi dan kontur tanah yang beraneka ragam, yaitu datar, landai, miring dan terjal, dan luas danau 624,80 km2 dengan struktur tanahnya labil dan berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik.

Kabupaten Samosir diapit oleh 7 kabupaten sebagai batas-batas wilayah yaitu, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten

Page 232: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 232 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir.

Kabupaten Samosir dengan luas daratan 1.444,25 km2 didiami oleh penduduk sebanyak 131.549 jiwa, yaitu terdiri dari 64.766 jiwa penduduk laki-laki dan 66.783 jiwa penduduk perempuan dengan angka kepadatan penduduk sebesar 91,08 jiwa/km2 rasio jenis kelamin sebesar 96,98, tinggal dalam rumah tangga sebanyak 31.274 rumah tangga dengan dan rata-rata penduduk tiap rumah tangga sebesar 4,21 jiwa/rumah tangga (BPS Kabupaten Samosir, 2009).

B. Kondisi Kepemilikan Tanah di Kabupaten Samosir

Kalau kita kilas balik melihat sejarah, menurut Tjondronegoro (1992), terdapat perbedaan mengenai kondisi pertanahan antara Jawa dan dalam hal tertentu di Bali dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya dimana di Jawa sudah dikenal pemilikan tanah pribadi (sejak 1816), sedangkan di luar jawa pemilikan tanah kolektif atau komunal masih lebih umum sehingga kemutlakan penguasaan atas tanah tidak sekuat di Jawa. Hukum agraria menjadi sulit dilaksanakan di luar Jawa dimana pendaftaran kadaster tidak pernah dilakukan dan sertifikat tanah tidak pernah dikeluarkan pada pemilik yang mengharapkannya. Konsep tanah komunal bebas berlangsung sebagai peraturan pertanahan yang dominan.

Menurut pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sistem penguasaan tanah di Indonesia mengakui adanya berbagai hak seperti: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil hutan. Suatu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan (tenure security). Tenurial security bisa diartikan sebagai kepastian pengusahaan dan pemanfaatan tanah dan segala hasil olahan di atas tanah. Di sini hak penguasaan dinyatakan pasti apabila pihak lain tidak dapat mengambil alih hak yang dimiliki oleh pihak tertentu, apapun bentuk penguasaan yang dimilikinya. Kepastian hak penguasaan hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan menegakkan sistem hukum yang sama, sehingga tak ada kekhawatiran bahwa salah satu pihak akan kehilangan hak penguasaannya atas tanah (Affandi dan Harianja, 2008).

Salah satu hal yang hingga sekarang dengan teguh diatur adat batak ialah mengenai tanah. Setiap orang Batak yang bermaksud menjual tanahnya di tanah Batak, maka terlebih dahulu harus menanyakan kerabat semarganya, apakah ada yang berminat atau sanggup membeli. Hanya jika tidak ada kerabat semarga yang berminat/sanggup, barulah tanah itu boleh ditawarkan pada orang marga lain.

Terkait dengan arti dan fungsi lahan marga dari sudut ekologi bagi ada Batak, Simanjuntak dan Situmorang (2004) menyatakan sebagai berikut: hutan atau disebut harangan atau tombak menurut istilah Batak Toba, digunakan sebagai ruang pelestarian. Pada mulanya kawasan inilah yang dibuka untuk dijadikan sebagai huta (kampung/dusun), sawah dan perladangan. Dengan

Page 233: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 233

demikian kalau suatu huta dibuka, selalu masih ada hutan di sekitarnya. Hutan berfungsi sebagai tempat pengambilan perkayuan untuk bangunan rumah, tempat mengambil kayu bakar, tempat berburu, mengambil buah-buahan dan obat-obatan. Hutan merupakan milik komunal warga desa, sehingga kalau terjadi pengalihannya, harus melalui keputusan bersama berdasarkan musyawarah desa.

Ada hubungan ekologi dengan sistem religi orang batak toba, karena setiap tempat diyakini mempunyai penghuni dan penguasa, sehingga orang tidak boleh mengambil hasil dari lokasi tersebut secara sembarangan atau secara tidak bertanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis masyarakat batak dulu sudah tinggi. Menurut Panggabean dan Sinaga (2004) dalam Manik (2009), keterikatan orang batak dengan tanah begitu eratnya, sehingga secara implisit tersirat dalam alam pikiran dan cita-cita hidup orang tapanuli (batak) sesuatu yang mendasar, yaitu cita-cita hamoraon (kekayaan), hasangapon (kehormatan), dan hagabeon (berketurunan) inheren dengan unsur tanah. Hubungan manusia dengan tanah yang sangat erat, sejak dahulu kala sebenarnya sudah dipahami karena di atasnya manusia dilahirkan, dibesarkan, disosialisasikan, beranak atau berketurunan serta pada akhir hayatnya dikuburkan ke dalam tanah.

Berdasarkan hasil penelitian Affandi dan Harianja (2008), di sekitar DTA Danau Toba termasuk Kabupaten Samosir, kepemilikan lahan secara umum dibagi ke dalam beberapa bagian diantaranya adalah lahan milik individu dan lahan milik marga. Lahan milik marga merupakan lahan milik bersama (komunal) dari keturunan tertentu dan belum dibagi-bagi kepada anggota marga (marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah/patrilineal). Lahan milik marga dibagi menjadi dua bagian yaitu lahan yang dimiliki beberapa marga tertentu (bius) dan lahan yang dimiliki satu marga saja (golat) (Manik, 2009).

Berdasarkan wawancara dengan petani diketahui bahwa tipe kepemilikan lahan merupakan terdiri dari dua jenis, yakni pemilikan lahan komunal dan pribadi. Lahan komunal merupakan lahan milik keluarga batih yang belum dibagi dan penguasaannya berdasarkan marga, di mana untuk masyarakat Batak Toba lahan diperoleh secara turun temurun oleh keturunan laki-laki dalam keluarga. Lahan ini biasanya dikelola oleh marga tertentu dan hasilnya dibagi oleh seluruh anggota keluarga laki-laki marga tersebut atau dikelola secara bergiliran. Lahan pribadi yang dikelola merupakan warisan marga yang sudah dibagi oleh keturunan laki-laki dari marga tersebut. Oleh karena itu, kepemilikan lahan pada masa sekarang sudah terfragmentasi di antara keturunan laki-laki penerus marga, dan relatif tidak luas.

Bagi masyarakat Batak di sekitar kawasan Danau Toba termasuk Samosir, lahan marga bukan hanya dianggap dan dipandang dari segi guna dan fungsinya, tetapi lahan marga mempunyai nilai simbolik yang menyangkut aspek kekayaan. Lahan marga merupakan milik dan simbol dari suatu marga, keberadaannya tetap dianggap penting dan tetap dipertahankan.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan diketahui bahwa pada umumnya pola pemanfaatan lahan marga ini berupa lahan kosong dan hutan adat (marga).

Page 234: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 234 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Lahan milik marga pengelolaannya diatur oleh aturan adat yaitu: lahan tidak boleh dipindahtangankan (dijualbelikan) sebelum lahan tersebut dibagi-bagikan dan menjadi milik individu, lahan tidak boleh diubah peruntukannya (pola pemanfaatannya) meskipun untuk ditanami pohon seperti kegiatan RHL. Untuk mengubah pola pemanfaatan lahan harus ada kesepakatan bersama dari seluruh anggota marga.

C. Kondisi Pertanian di Kabupaten Samosir

Kondisi topografis Kabupaten Samosir sebagian besar mempunyai tingkat kemiringan 15 – 25% sampai 40%. Kondisi lahan yang relatif curam tersebut menjadi salah satu kendala yang dihadapi dalam kegiatan pertanian dan tanahnya relatif tandus dan rawan longsor. Sebagian besar penduduk Kabupaten Samosir hampir 80% penduduk mengandalkan pertanian tanaman pangan sebagai mata pencaharian sehingga lahan pertanian hanya dikembangkan pada lahan yang relatif datar (BPS Kabupaten Samosir, 2008).

Pertanian merupakan mata pencaharian turun temurun, dan teknologi dalam bertani merupakan warisan dari generasi ke generasi dengan sedikit diperkaya oleh penyuluhan dari pemerintah. Lahan pertanian kebun dan pekarangan banyak yang menganggur dan cenderung menjadi kritis. Sistem pembagian kerja berdasarkan gender, di mana pengerjaan persiapan lahan dilakukan kaum lelaki dewasa, sedangkan penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan penjualan hasil dilakukan oleh kaum perempuan atau ibu rumah tangga dibantu oleh anak-anak pada usia SLTP ke atas.

Berdasarkan pengamatan lapangan hampir tidak ditemukan sawah irigasi dan sawah hanya mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan) dan air danau yang disedot dengan pompa air. Secara umum, persiapan lahan sawah dilakukan pada awal musim penghujan, yakni pada akhir Agustus dan penanaman padi dilakukan pada akhir Nopember sampai dengan pertengahan Desember. Jenis varietas padi yang ditanam adalah padi varietas lokal, antara lain arias dan lambou yang relatif tahan terhadap kondisi kekeringan. Hasil panen lebih banyak digunakan untuk kebutuhan sendiri, sampai menunggu hasil panen berikut pada musim tanam tahun berikutnya. Dengan demikian, pada masa pasca panen, lahan sawah diberikan pada bulan April sampai dengan Agustus, dan biasanya dipergunakan sebagai lahan penggembalaan ternak.

Tanaman palawija yang dibudidayakan adalah jagung, bawang merah, kacang tanah, kacang merah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar. Tanaman kopi menjadi salah satu andalan Kabupaten Samosir dan banyak dibudidayakan oleh petani dan kopi dikenal sebagai sigararutang (pembayar hutang) sebagai ungkapan kiasan dari pendapatan rutin per minggu yang diperoleh petani dari hasil kopi.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa meskipun pada awalnya kondisi hutan rakyat yang ada di Kabupaten Samosir merupakan hasil dari kegiatan reboisasi yang telah sejak lama dikembangkan. Berawal pada tahun 1950-an, Pemerintah Daerah Sumatera Utara melaksanakan

Page 235: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 235

gerakan Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGEM) yang mendorong masyarakat dan generasi muda untuk menanam lahan kosong yang ada dengan bibit-bibit pinus yang sudah disediakan. Pengembangan hutan rakyat pinus tersebut dilakukan pada lahan milik baik perorangan, kelompok marga/adat maupun kampung. Sejak tahun 1969 Pemerintah Indonesia melaksanakan Proyek Inpres Penghijauan sampai dengan saat ini, baik dalam bentuk hutan rakyat maupun kebun bibit desa dengan jenis tanaman didominasi oleh pinus, namun dikembangkan juga jenis kayu-kayuan lain seperti sengon, jambu mete, dan sebagainya (Sanudin, 2010). Pinus dipilih sebagai pohon untuk rehabilitasi lahan kritis karena memenuhi tiga persyaratan yakni: benihnya cukup tersedia, dapat hidup di berbagai kondisi lahan kritis, dan teknik penanamannya secara masal telah dikuasai (Mangudikoro, 1983 dalam Astana, 1999).

Terkait dengan kegiatan menanam jenis kayu-kayuan (pinus), masyarakat mempunyai dua pandangan/persepsi, persepsi pertama adalah masih adanya kekhawatiran dimana jika lahannya ditanami jenis kayu-kayuan maka suatu saat lahannya akan diambil oleh kehutanan (pemerintah). Sebuah kondisi yang memerlukan perhatian yang cukup serius dari instansi terkait, salah satunya dapat dilakukan melalui sosialisasi karena jika hal ini dibiarkan maka tanpa disadari dapat mengancam keberadaan hutan rakyat (pinus) di masa yang akan datang dengan tidak adanya keinginan/motivasi dari petani dengan adanya persepsi yang salah tersebut (Sanudin, 2010).

Pada bekas hutan rakyat yang ditebang berdasarkan hasil pengamatan, masyarakat menanaminya dengan tanaman pertanian seperti palawija dan atau kopi atau cokelat di sela-sela pohon pinus yang tersisa. Bagi masyarakat mengusahakan jenis tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan merupakan diversifikasi dalam rangka kontinyiutas pendapatan. Namun kecenderungannya masyarakat lebih menyukai tanaman pertanian dan terutama tanaman perkebunan (kopi) karena pertimbangan ekonomi dimana lamanya jangka waktu mengusahakan jenis kayu-kayuan dibandingkan dengan hasil dari kopi/coklat dan atau tanaman pangan/palawija.

Masyarakat yang menerapkan pola agroforestry pada lahan kosong (bukan bekas tebangan) tetap lebih mengutamakan menanam tanaman palawija dan kopi atau coklat, tanaman kehutanan hanya ditanam dipinggir batas lahan yang mempunyai fungsi sebagai batas pemilikan lahan.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan menurut Manik (2009) terkait dengan agroforestry dan pemilikan lahan ada hal yang menarik terutama terkait lahan marga yang terlantar (kritis) dimana tanah yang semula merupakan tanah kritis sering menimbulkan persoalan dan bahkan perselisihan mengenai siapa pemiliknya, jika ditemukan ada manfaatnya atau nilai ekonomi di dalamnya. Sementara bila tidak ditemukan manfaat, atau nilai ekonominya, tanah itu dibiarkan terlantar begitu saja seolah-olah tidak ada pemiliknya.

Selain itu dalam pengelolaan lahan marga sering terkendala dengan pengambilan keputusan yang harus melibatkan dan mendapat kesepakatan semua anggota marga. Sehingga jika terdapat anggota marga yang tidak sepakat maka pemilik lahan tidak mau mengikutkan lahannya dalam program

Page 236: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 236 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

peningkatan produktivitas lahan. Hal ini kemudian menyebabkan program-program peningkatan produktivitas lahan seperti rehabilitasi hutan dan lahan mengalami ketidakberhasilan di kawasan DTA Danau Toba.

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pendamping dalam kegiatan ITTO PD 394/06 Rev 1 (F), permasalahan tersebut ditemui pada saat pencarian dan penentuan calon lokasi demplot proyek ITTO. Proyek sangat kesulitan untuk mendapatkan calon lokasi demplot berupa lahan marga dimana rumit dan panjangnya proses untuk mendapatkan kata sepakat, masyarakat yang tergabung dalam suatu kelompok marga harus mengadakan pertemuan untuk menyetujui permohonan penentuan calon lokasi demplot. Masalah yang cukup pelik dan sangat sulit adalah bagaimana mendatangkan/menghubungi orang yang merantau dan hak untuk menentukan masyarakat perantau sama dengan masyarakat yang ada/dekat dengan lahan marga tersebut. Kesepakatan harus dimiliki oleh semua anggota marga yang bersangkutan, satu orang saja tidak setuju maka tidak bisa.

Kondisi yang sama juga ditemukan pada kasus pemanfaatan kayu yang berada di lahan marga. Jika ada salah satu atau beberapa anggotanya yang ingin memanfaatkan kayu pinus di lahan komunal untuk keperluan bahan bangunan dan kayu bakar maka harus mendapatkan izin dari seluruh anggota marga. Secara umum bisa dipastikan bahwa semua anggota akan menyetujui permohonan tersebut tentunya dengan mempertimbangkan jumlah yang ditebang berdasarkan perhitungan anggota kelompok. Meskipun ada pemimpin yakni yang dituakan dalam kelompok marga tersebut, tapi semua anggota mempunyai peran dan posisi yang sama dalam menentukan keputusan secara bersama-sama dan pemimpin bukan sebagai penentu hasil akhir.

Permohonan izin untuk memanfaatkan kayu pinus untuk diperjualbelikan meskipun dimungkinkan tapi diyakini akan melalui proses yang cukup sulit dalam pengambilan keputusan di kelompok marga. Sehingga dapat diduga bahwa kegiatan jual beli lahan dimana sangat dikenal bahwa masyarakat Batak secara umum sangat langka dan jarang melakukan kegiatan jual beli lahan apalagi untuk lahan-lahan komunal menjadi sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan.

IV. KESIMPULAN

Bagi masyarakat di Kabupaten Samosir, lahan marga tidak hanya

dianggap dan dipandang dari segi guna dan fungsinya, tetapi juga mempunyai nilai simbolik yang keberadaannya tetap dianggap penting dan tetap dipertahankan. Pada umumnya pola pemanfaatan lahan marga ini berupa lahan kosong dan hutan adat (marga) yang dalam pengelolaannya diatur oleh aturan adat yang tidak memungkinkan untuk diperjualbelikan dan tidak boleh diubah peruntukannya (pola pemanfaatannya). Kondisi ini tentunya memberikan permasalahan sendiri bagi inisiatif untuk memanfaatkan lahan untuk meningkatkan produktivitasnya karena harus mendapat kesepakatan bersama dari seluruh anggota marga.

Page 237: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 237

DAFTAR PUSTAKA

Affandi dan Harianja. 2008. Kajian Tenurial dan Sistem Pengelolaan Kolaboratif Lahan Marga: Studi Kasus di Daerah Tangkapan Air Danau Toba, Sumatera Utara. ITTO Project Pd 394/06 Rev. 1 (F). Restoring The Ecosystem Functions of Lake Toba Catchment Area Through Community Development and Local Capacity Building For Forest and Land Rehabilitation.

Astana, S. 1999. Pengembangan Pengusahaan Pinus Hutan Rakyat di Sumatera Utara: Masalah, Tantangan, dan Peluang Keberhasilan. Makalah Utama dalam Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar di Medan, 30 Maret 1999. Pematang Siantar.

BPS Kabupaten Samosir. 2009. Kabupaten Samosir dalam Angka Tahun 2009. Kerjasama BPS Kabupaten Samosir dan Bapeda Kabupaten Samosir. Pangururan.

Manik, H. 2009. Pengelolaan Lahan Marga dengan Pola Hutan Rakyat Melalui Sistem BLU-P3H di Sekitar Kawasan Danau Toba. Makalah pada Workshop “Pengelolaan Kolaborasi Lahan Marga di DTA Danau Toba”. Kerjasama Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Samosir dan Puslitbang Hutan dan Konservasi dan ITTO PD 394/06 Rev. 1 (F). Samosir, 25-26 Februari 2009.

Sanudin. 2010. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat Pinus di Kabupaten Humbang Hasundutan. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

Simanjuntak, B.A., dan Situmorang. 2004. Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak. Penerbit Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPM).

Tjondoronegoro, S. M. P. 1992. Land Tenure and Sustanible Hillslope Farming dalam Arsyad et al (Eds): Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming. Kenya, IOWA, Soil and Water Conservation Society (h 202-209). Diterjemakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurmala K. Pandjaitan.

Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press. Jakarta.

Page 238: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 238 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

PERSPEKTIF PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT DALAM UPAYA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN KRITIS DI KABUPATEN CIAMIS

Aris Sudomo dan Devy P. Kuswantoro

ABSTRAK

Salah satu upaya pemerintah dalam rehabilitasi hutan dan lahan kritis adalah dengan membangun hutan rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses yang dilakukan Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dalam upaya mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan hutan rakyat dan untuk mengeksplorasi kreativitas/inovasi Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Wawancara mendalam dilakukan terhadap para responden untuk mengetahui upaya dan kreativitas pemerintah dalam mendorong dan meningkatkan pembangunan hutan rakyat. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses meningkatkan partisipasi masyarakat untuk pembangunan hutan rakyat adalah melalui sosialisasi, pengorganisaian kelompok tani, peningkatan kapasitas dan pemberian sumber daya modal. Kreativitas dan inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat luas dalam pembangunan hutan rakyat adalah sebagai berikut: 1) pendekatan pada masyarakat menggunakan aspek ekonomi dalam pembangunan hutan rakyat baru kemudian menyusul aspek lingkungan, 2) pembentukan dan pembinaan PKSM (Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat), 3) pembangunan jaringan stakeholder baru, 4) pemberian bibit unggul, dan 5) pembebasan pajak retribusi kayu dalam penebangan kayu hutan rakyat.

Kata kunci : Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis, hutan rakyat, rehabilitasi hutan dan Lahan, inovasi

I. PENDAHULUAN

Pembangunan kehutanan tidak hanya bergerak di dalam kawasan hutan dan lahan milik pemerintah akan tetapi juga di hutan dan lahan milik masyarakat yang memiliki peranan dalam konservasi fisik pengaturan tata air, pencegahan erosi, pengaturan iklim mikro serta konservasi keanekaragaman hayati. Pembangunan hutan harus dapat memberikan manfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Progam pembangunan kehutanan dapat dilakukan dengan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) guna memperbaiki dan mengembalikan fungsi dan produktivitas sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu telah menjadi komitmen nasional untuk melakukan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan).

Kabupaten Ciamis mempunyai jumlah penduduk 1.602.682 jiwa dan kepadatan penduduk di sekitar DAS Citanduy ± 833 orang/km2. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petan sehingga sangat tergantung pada keberadaan

Page 239: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 239

hutan dan lahan yang ada, (2) Luas areal hutan di Kabupaten Ciamis 35.007,88 ha dengan 80% lahan merupakan lahan kritis dan lahan tidak produktif yang berada di hutan rakyat (Sukrianto, 2007)

Masyarakat banyak yang hanya mempunyai lahan kurang dari 0,25 ha setiap keluarga. Lahan sempit tersebut kebanyakan diusahakan dalam pola agroforestry dengan menanam berbagai macam tanaman baik kayu-kayuan, buah-buahan, tanaman perkebunan, maupun tanaman pangan semusim untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pengetahuan dan keterampilan masyarakat petani rendah dan usaha untuk memperoleh tambahan pendapatan dilakukan dengan merambah hutan yang menyebabkan lahan hutan terdegradasi dan menimbulkan lahan kritis. Berdasarkan masalah di atas maka sangat penting untuk meningkatkan pengelolaan lahan hutan tidak produktif dan terdegradasi melalui kegiatan rehabilitasi dengan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Ciamis. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan September 2010.

B. Pengumpulan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif terhadap proses yang dilakukan Dinas Kehutanan Ciamis dalam mendorong masyarakat berperan aktif dalam pembangunan hutan rakyat sebagai upaya RHL kritis. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini dipilih melalui pengambilan sampel bertujuan berdasarkan pertimbangan pertimbangan tertentu menyesuaikan tujuan penelitian. Oleh karena itu wawancara mendalam dilakukan terhadap informan yang dianggap lebih paham tentang proses yang dilakukan Dinas Kehutanan Ciamis dalam mendorong pembangunan hutan rakyat dalam upaya RHL. Data yang terkumpul kemudian dilakukan analisis secara deskriptif menurut Moleong (1998).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembangunan Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis

Dinas Kehutanan Ciamis dalam upaya mendorong masyarakat untuk melakukan pembangunan hutan rakyat dalam rangka RHL telah melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan tersebut merupakan bentuk kreativitas dan inovasi untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam RHL. Secara umum kegiatan-kegiatan tersebut disajikan pada Tabel 1.

Page 240: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 240 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Tabel 1. Kegiatan untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam RHL. Tahapan kegiatan Metode Informan

Penyadaran Pendekatan pada masyarakat dalam RHL yang utama adalah aspek ekonomi kemudian baru lingkungan

- Kepala Dinas Kehutanan - Kepala Bidang Dinas Kehutanan

Penyadaran Pelibatan ajengan/ustadz dalam penyadaran tentang pentingnya RHL sehingga diikuti masyarakat

- Kepala Dinas Kehutanan

Penyadaran Pertemuan nonformal dengan berbincang pada masyarakat

- Penyuluh Kehutanan

Penyadaran Keteladanan pemimpin masyarakat /kades.

- Kepala Dinas Kehutanan - Pjs. Kepala Desa

Peningkatan kapasitas

Pembentukan dan pembinaan PKSM (Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat)

- Kepala Dinas Kehutanan - Penyuluh Kehutanan - Data sekunder

Peningkatan Kapasitas

Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada 30 Guru SD

- Guru SDN I Cisaga

Pelaksanaan RHL Menginformasikan bahwa bibit jati yang diberikan adalah jati emas/ bibit unggul yang bisa dipanen dalam 10 -15 tahun

- Kepala Dinas Kehutanan

Pengorganisasian PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) SDN I Cisaga dengan KMDM (Kecil Menanam Dewasa Memanen)

- Guru SDN I Cisaga - Kepala Dinas Kehutanan - Penyuluh Kehutanan - Ketua Kelompok Tani Sejahtera

Pengorganisasian Pelibatan pondok pesantren - Kepala Dinas Kehutanan

Sumber daya Fasilitasi dengan pemilik lahan kritis untuk RHL dengan sistem bagi hasil (60% pengelola dan 40% pemilik lahan)

- Penyuluh Kehutanan

Sumber daya Fasilitasi dengan pihak Swasta dalam investasi RHL (PT BKL, PT RNI dan PT WBI) dengan sistem bagi hasil

- Penyuluh Kehutanan

Sumber daya Swadaya pembibitan inisiatif PKL - Penyuluh Kehutanan

Sumber daya Swadaya pembibitan oleh SDN I Cisaga

- Guru SDN I Cisaga

Kebijakan Pemda Pembebasan Retribusi kayu - Kepala Dinas Kehutanan

Sumber: Data primer diolah

Page 241: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 241

1. Penyadaran dan Keteladanan Pemerintah Dinas Kehutanan Ciamis mempunyai perpekstif bahwa dalam

tugas RHL itu bukan hanya tugas pemerintah tetapi juga tugas tanggung jawab masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh : (1) lahan kritis sebagian besar milik masyarakat oleh karena itu masyarakat harus berpartisipasi, (2) dengan pelibatan masyarakat upaya RHL menjadi lebih efektif dan efisien daripada hanya pemerintah. Oleh karena itu upaya penyadaran masyarakat untuk melakukan pembangunan hutan rakyat dalam upaya RHL menjadi kunci keberhasilan progam. Masyarakat yang sadar akan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan hutan rakyat.

Keberadaan lahan kritis milik masyarakat di Kabupaten Ciamis cukup luas, sehingga perlu direhabilitasi dan untuk merehabilitasinya tidak cukup hanya mengandalkan dana dari APBD. Biaya RHL cukup tinggi/mahal sehingga masyrakat harus berpartisipasi. Oleh karena itu peran serta masyarakat menjadi penting untuk ditingkatkan. Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan RHL bersama masyarakat adalah untuk menjadikan RHL menjadi budaya masyarakat sehingga ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah menjadi lebih kecil. Upaya penyadaran masyarakat untuk melakukan pembangunan hutan rakyat dalam upaya RHL dilakukan dengan intervensi ke masyarakat dengan mengundang Kepala Desa, Kepala Dusun untuk diberikan pemahaman tentang pentingnya RHL. Prinsip yang ingin dicapai adalah keteladanan pimpinan di tingkat lokal. Dengan demikian, masyarakat akan mengikuti gerak langkah atau apa yang disampaikan oleh para pemimpin. Bahkan dalam tataran kehidupan beragama diharapkan para ustadsnya bicara tentang RHL agar para santrinya mengikuti.

Pendampingan untuk mendorong inisiatif dan proses – proses di tingkat komunitas menjadi sangat penting, karena salah satu prinsip pokok RHL bersama masyarakat adalah kemandirian masyarakat dalam pengelolaan hutan dan lahan kritis. Pendampingan yang dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) terhadap masyarakat adalah memberikan pemahaman akan pentingnya RHL dan melakukan penyadaran tentang potensi pembangunan hutan rakyat, serta memfasilitasi pembentukan kelompok untuk pelaksanaan RHL . Kemudian hasil dari pendampingan PKL dan pemerintah desa setempat dilakukan penetapan fungsi, hak dan kewajiban anggota kelompok melalui penyusunan AD/ART serta penetapan pengurus kelompok.

2. Peningkatan Kapasitas Petani Hutan Rakyat

Upaya yang dilakukan Dinas Kehutanan dan ITTO dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat dalam RHL kritis selain dengan penyadaran adalah dengan peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat. Tujuan dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat, adalah dalam rangka pemberdayaan. Masyarakat dilatih agar bisa mandiri karena masyarakat sebagai pelaku utama sehingga pemerintah sebagai pendorong saja. Pembelajaran tentang pembibitan, potensi hutan, manajemen kelompok, pengetahuan-pengetahuan kehutanan, salah satunya adalah ilmu kehutanan (ilmu dasar

Page 242: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 242 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

kehutanan), inventarisasi hutan dan potensi kayu dan dapat dijual dengan keuntungannya sekian, peredaran kayu rakyat, prospektif pasar industri kayu dan teknik penebangan. Proses belajar melalui pengalaman ini dapat dipahami dengan tiga konsep yakni (1). penyadaran; (2) pengorganisasian; (3) pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan (PSKMP, 2002).

Kegiatan RHL yang melibatkan masyarakat dapat berkontribusi dari aspek ekonomi dan lingkungan. Hal ini yang mendorong pelibatan masyarakat terus ditingkatkan karena dengan keuntungan ekonomi dan lingkungan maka masyarakat akan dengan sendirinya berpartisipasi dalam RHL kritis. Meskipun demikian sebenarnya pendekatan ekonomi lebih memungkinkan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam RHL. Menurut Salman (2004) unsur penyusun sebuah tatanan pembangunan mencakup sumberdaya (sumberdaya alam, finansial, manusia dan buatan), pelaku yang mengelola sumberdaya tersebut (organisasi swasta, komunitas dan pemerintah), dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya tersebut (nilai dan norma). Dalam konteks ini, pembangunan lebih relevan diartikan sebagai peningkatan kemampuan penyesuaian pola relasi sumberdaya, organisasi dan norma-norma pada sebuah tatanan agar mampu beradaptasi secara kreatif dengan dinamika perubahan (Amien, 2006).

B. Kreativitas/Inovasi Dinas Kehutanan Ciamis dalam Peningkatan Partisipasi

Masyarakat dalam Pembangunan Hutan Rakyat 1. Penyadaran dan Pengorganisasian masyarakat

Upaya yang dilakukan Dinas Kehutanan Ciamis secara formal dan teoritis sesuai dengan kerangka implementasi belum cukup untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam RHL. Oleh karena itu diperlukan upaya – upaya lain di luar kerangka implementasi yang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Hal ini disebabkan menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk peningkatan kapasitas dan belajar berdasar pengalaman adalah suatu proses yang memerlukan waktu panjang. Pendekatan yang dilakukan tidak sekedar yang menyentuh pucuk-pucuk pimpinan masyarakat. Pendekatan yang hanya menyentuh pemuka masyarakat dan lembaga pimpinan formal seperti pemerintah desa ternyata tidak bisa menyentuh objek yang diberdayakan yaitu petani miskin yang terpinggirkan. Diperlukan kesadaran dari pemerintah desa untuk dapat berkontribusi menjadi fasilitator dan membantu permasalahan masyarakat bawah sehingga mampu berpartisipasi dalam kegiatan RHL. Dengan upaya ini diharapkan masyarakat dapat tumbuh berdasarkan experience base knowledge sehingga terdapat proses pembelajaran yang terus menerus.

Proses yang dilakukan Dinas Kehutanan Ciamis untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam RHL sudah cukup lama karena untuk bisa menemukan partisipasi itu dibutuhkan waktu hampir 30 tahun. Begitu Dinas Kehutanan menawarkan pada masyarakat untuk berubah supaya sadar dan berpartisipasi dalam RHL ternyata responnya itu tidak begitu bagus karena pola pendekatan yang digunakan adalah pola pendekatan lingkungan. Sedangkan

Page 243: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 243

situasi pada saat itu pola pikir masyarakat belum bisa dibawa pada sisi ekonomi. Pada saat itu kayu belum laku keras seperti sekarang. Upaya penyadaran belum dilakukan dengan mengatakan kayu sengon laku sehingga bisa naik haji, menyekolahkan anak; pada waktu itu belum berani dengan cara tersebut. Lama-lama sering perjalanan waktu harga kayu mulai naik pasarannya mulai terbuka lebar. Kayu rakyat mulai naik daun dengan kayu negara makin sedikit. Hal inilah yang membawa perubahan dalam upaya pendekatan dan penyadaran masyarakat untuk menanam pohon di hutan rakyat. Dalam rangka mendorong motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penanaman hutan dan lahan kritis maka setiap pemberian bantuan bibit, pihak Dinas Kehutanan Ciamis selalu menginformasikan bahwa bibit yang diberikan adalah bibit unggul misalnya jati emas yang dapat dipanen pada umur 10-15 tahun. Hal ini disebabkan jika bibit yang diberikan adalah bukan bibit unggul maka masyarakat tidak akan bersedia menanamnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan Kepala Dinas Kehutanan Ciamis sewaktu ditanya tentang kreativitas untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan RHL.

Dalam rangka penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya RHL kritis diperlukan metode pendekatan tertentu. Jika selama ini kebanyakan program Gerhan lebih memprioritaskan aspek lingkungan, maka lain halnya dengan metode pendekatan RHL di Kabupaten Ciamis. Pertama, metode pada masyarakat yang ditempuh adalah dengan menggunakan pendekatan aspek ekonomi yang dilanjutkan dengan aspek lingkungan. Hal ini ditempuh karena seiring dengan harga kayu yang semakin tinggi, antusiasme masyarakat untuk menanam dengan alasan kepentingan ekonomi menjadi tinggi pula. Dengan menanam tanaman kayu maka bisa menjadi tabungan untuk masa depan. Di samping itu, untuk mendapatkan hasil dari pengelolaan hutan dan lahan dalam jangka pendek maka dapat dikombinasikan dengan tanaman pertanian. Pola penanaman dengan kombinasi tanaman pertanian dan tanaman kehutanan yang disebut pola agroforestry bertujuan meningkatkan produktivitas hutan dan lahan sehingga bisa meningkatkan kesejahtreaan masyarakat.

Metode penyadaran masyarakat selain dengan pendekatan ekonomi dilakukan pula dengan melibatkan tokoh panutan masyarakat seperti ajengan/ustadz yang lebih dipercayai oleh masyarakat sehingga akan menjadi role model yang gerak-geriknya dikuti oleh masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi dengan melibatkan pondok pesantren sebagai basis sosial yang cukup besar sehingga mampu menjadi penggerak yang potensial dalam upaya RHL kritis. Pondok pesantren (pontren) dengan kredibilitasnya dianggap sebagai salah satu lembaga yang potensial dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam RHL kritis. Berdasarkan penelitian Diniyati dkk (2008), pontren mampu menggalang massa di luar santri, seperti masyarakat di luar pontren dan sekitar hutan karena pontren memiliki karakter pemimpin yang kharismatik, bersih dan berpengaruh, sehingga relatif lebih mudah dalam membangun keparcayaan pada masyarakat. Keterlibatan pontren terhadap kegiatan RHL masih sebatas pada kegiatan hulu (persemaian dan penanaman). Oleh karena itu, pontren diharapkan dapat berperan aktif dalam upaya RHL kritis.

Page 244: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 244 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Upaya penyadaran sebaiknya dilakukan sejak usia dini agar kesadaran ini tumbuh dan mengakar dalam hati masyarakat. Oleh karena itu terdapat mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai muatan lokal di SDN I Cisaga. Berdasarkan informasi Guru SDN I Cisaga, dalam penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan banyak mendapat masukan dari Dinas Kehutanan Ciamis. Dinas Kehutanan Ciamis dan ITTO dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk RHL kritis melibatkan murid-murid SDN I Cisaga dalam pembibitan sampai penanaman. Kemudian setiap tahun semua siswa SDN I Cisaga diberi bibit untuk ditanam di lahan-lahan pekarangan mereka. Hal ini bertujuan agar masyarakat lebih mencintai pohon dan lingkungan dengan kegiatan penanaman. Dinas Kehutanan Ciamis memberikan bimbingan dan arahan kepada guru tentang ilmu kehutanan agar bibit yang dihasilkan berkualitas dalam mendukung kegiatan RHL kritis. Hasil-hasil pembibitan yang dilakukan SDN I Cisaga digunakan untuk kegiatan RHL kritis dengan cara dibeli oleh pihak Dinas Kehutanan Ciamis dan ITTO.

Dalam upaya penyadaran masyarakat tentang RHL kritis terkadang tidak selalu dilakukan dengan acara formal, sebab cara – cara nonformal dirasa lebih bisa masuk ke masyarakat. Hal ini yang dilakukan oleh PKL Dinas Kehutanan Ciamis melalui perbincangan santai dengan masyarakat sambil memasukkan nilai-nilai pentingnya RHL kritis dari aspek ekonomi dan lingkungan. Pemberian contoh – contoh tentang kondisi daerah – daerah lain yang mengalami bencana banjir dan tanah longsor serta kondisi semakin naiknya permukaan laut akan lebih memahamkan masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat untuk kegiatan RHL kritis maka dilakukan pembentukan kader – kader penyuluh swadaya yang tergabung dalam PKSM (Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat) yang berasal dari penduduk setempat, sehingga mereka benar – benar memahami kondisi masyarakat. PKSM bertugas memberikan penyadaran, pembinaan, penyuluhan dan pendampingan bagi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan RHL kritis bersama PKL yang terbatas jumlah dan kemampuannya.

2. Kebijakan untuk Keberlanjutan RHL

Upaya mendorong motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan RHL kritis tidak bisa lepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Ciamis. Kebijakan yang sangat kondusif bagi peningkatan partisipasi masyarakat dalam RHL kritis adalah pembebasan retribusi kayu. Hal ini memudahkan masyarakat dalam jual beli kayu, yang semula ketika menebang dan menjualnya masyarakat dikenai retribusi maka sekarang dibebaskan dari biaya retribusi. Orang yang mau menanam kayu merupakan pahlawan karena berkontribusi pada oksigen, berkontribusi bagi penanggulangan erosi dan banjir. Mengapa mereka harus dibebabani lagi, padahal semestinya mereka diberi kemudahan berupa insentif dalam usaha penanaman kayu. Padahal merupakan hal yang jauh lebih penting untuk membuat rakyat makmur sehingga masyarakat bisa bayar PBB, menyekolahkan anak dan segala macam. Logikanya, dari retribusi

Page 245: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 245

itu paling dapat beberapa ratus juta, tapi jika RHL berhenti bahayanya akan lebih besar bagi lingkungan.

Inovasi kebijakan yang lain adalah larangan penjualan kayu ke luar daerah dalam bentuk log/gelondongan. Pertama, pemerintah melakukan inovasi – inovasi kebijakan kreatif. Sektor yang paling lemah adalah di sektor industri hilir, di mana banyak kayu (log) dari Ciamis dimanfaatkan daerah lain sehingga nilai tambah di Ciamis rendah. Oleh karena itu, dengan melarang kayu keluar dalam bentuk gelondongan sehingga kayu keluar dalam bentuk jadi atau setengah jadi supaya mempunyai nilai tambah. Untuk industri di Ciamis, nilai tambahnya adalah tenaga kerja terserap, uang bergulir, dan kemiskinan berkurang.

IV. KESIMPULAN

1. Keberhasilan pembangunan hutan rakyat dalam upaya RHL sangat ditentukan

oleh peran serta masyarakat. Upaya Dinas Kehutanan Ciamis dalam meningkatkan partisipasi masyarakat adalah dengan penyadaran, peningkatan kapasitas dan kebijakan yang kondusif.

2. Pendekatan aspek ekonomi lebih diutamakan daripada aspek lingkungan dalam rangka penyadaran masyarakat untuk pembangunan hutan rakyat. Metode keteladanan pemimpin lokal diharapkan dapat diikuti oleh masyarakat dibawahnya dalam pembangunan hutan rakyat Peningkatan kapasitas dilakukan dengan cara pemberian pembelajaran tentang teknik pembangunan hutan, teknik persemaian, teknik pemanenan dan pemasaran serta penguatan kelembagaan kelompok tani.

3. Kebijakan pembebasan retribusi kayu dan pelarangan produk bahan mentah kayu keluar dari Ciamis akan mendorong masyarakat melakukan usaha pembangunan hutan rakyat

DAFTAR PUSTAKA

Amien, M. 2006. Kemandirian Lokal: Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dalam Perspektif Sains Baru. Gramedia. Jakarta.

Diniyati, D., E. Fauzyiah, dan B. Achmad. 2008. Kajian Kontribusi Pondok Pesantren Pada Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.Prosiding Pembangunan Hutan Rakyat Melalui Optimalisasi Hasil dan Diversifikasi Produk Tanaman Multiguna dalam Menunjang Kemandirian Ekonomi dan Energi. P3HT. Bogor.

Moleong.L.J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Karya. Bandung.

PSKMP. 2002. Participatory Local Social Development Planning (PLSDP), Modul 1 Konsep dan Kerangka Pembangunan Sosial Lokal Partisipatoris. PSKMP-UNHAS. Makassar.

Page 246: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 246 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Salman, D. 2004. Kerangka Community Development. “ Makalah Disajikan dalam Pembekalan Bagi LSM yang Terkait dalam Kegiatan RHL’ BPDAS Jeneberang-Walanae, 3 November 2004. Makassar.

Sukrianto, T. 2007. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Kehutanan Jangka Panjang Kabupaten Ciamis (2006-2025), Prosiding Workshop “Perencanaan RHL Berbasis Pemberdayaan Kelompok Tani dalam Suatu Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kehutanan yang Akurat dan Tepat di Kabupaten Ciamis”. Dinas Kehutanan Ciamis – ITTO. Ciamis.

Page 247: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 247

ANALISIS AGROFORESTRY SEBAGAI BAGIAN DARI BUDIDAYA PERTANIAN DAN KEHUTANAN

Triyono Puspitojati

ABSTRAK

Hasil-hasil penelitian agroforestry yang diimplementasikan oleh petani terbatas karena belum jelasnya lembaga yang menyalurkan hasil-hasil penelitian agroforestry kepada petani. Masalah tersebut mudah diatasi seandainya agroforestry menjadi bagian dari budidaya pertanian dan atau kehutanan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis agroforestry sebagai bagian dari budidaya pertanian/kehutanan dalam rangka meningkatkan upaya membantu petani. Analisis dilakukan dengan mengevaluasi kesesuaian antara budidaya agroforestry yang diusahakan oleh petani dengan budidaya polikultur pertanian/kehutanan yang diusahakan oleh perusahaan. Hasil studi adalah sebagai berikut. Pertama, agroforestry mempunyai kesesuaian dengan budidaya polikultur pertanian/ kehutanan sehingga dapat menjadi bagian dari budidaya pertanian (agroforestry pertanian) dan budidaya kehutanan (agroforestry kehutanan). Kedua, agroforestry pertanian memiliki penutupan tajuk 10%– 40%, sedangkan agroforestry kehutanan memiliki penutupan tajuk >40%. Jika didukung Permentan/Permenhut yang mengakomodasi agroforestry sebagai bagian dari budidaya pertanian/kehutanan maka kegiatan penelitian dan pengembangan agroforestry serta penyaluran hasil-hasil penelitian agroforestry kepada petani akan lebih mudah dilakukan. Kata kunci: agroforestry, budidaya pertanian, budidaya hutan

I. PENDAHULUAN

Hasil-hasil penelitian umumnya menunjukkan bahwa pendapatan petani agroforestry lebih tinggi dibanding pendapatan petani yang mengelola lahannya secara monokultur (Hairiah et al, 2003). Dalam kenyataannya, pendapatan petani agroforestry dapat lebih rendah dibanding petani monokultur. Hal ini diindikasikan oleh menyusutnya lahan agroforestry di Indonesia seluas ± 3,5 juta hektar pada periode 2000 sampai 2005. Lahan agroforestry tersebut dikonversi untuk usaha pertanian, kehutanan dan kegiatan lain (Ekadinata et al, 2011).

Konversi lahan agroforestry menjadi lahan pertanian dan lahan hutan tersebut diperkirakan karena, baik langsung maupun tidak langsung, terkait dengan dua hal berikut. Pertama, pakar agroforestry lebih memperhatikan lahan agroforestry daripada pemiliknya, yaitu petani. Hal ini diindikasikan oleh 6 prioritas penelitian World Agroforestry Centre (WAC), yaitu: Agroforestry Germplasm, On Farm Productivity, Tree Products Marketing, Land Health, Climate Change dan Environment Services, yang sebagian besar tidak terkait langsung dengan kepentingan petani (Hardjanto, 2011). Dengan kata lain, penelitian agroforestry tidak terfokus untuk meningkatkan kesejahteraan petani

Page 248: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 248 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

melainkan terbagi untuk mempelajari peran agroforestry dalam menghasilkan jasa lingkungan, menunjang keragaman hayati, menjaga produktifitas lahan dan mengatasi perubahan iklim.

Kedua, hasil penelitian agroforestry yang diimplementasikan oleh petani terbatas (Hardjanto, 2011), atau tidak sebanyak implementasi hasil-hasil penelitian pertanian dan kehutanan. Hal ini disebabkan oleh belum jelasnya lembaga yang menyalurkankan hasil penelitian agroforestry kepada petani dan atau sebagai akibat perbedaan pandangan tentang agroforestry, pertanian dan kehutanan. Sebagian pakar memandang bahwa budidaya agroforestry berbeda dengan budidaya pertanian maupun kehutanan sehingga seharusnya ada sektor yang secara khusus mengurusi agroforestry (Hairiah et al, 2003). Sebagian lainnya lebih memprioritaskan budidaya monokultur atau kurang memperhatikan budidaya agroforestry (Notoprawiro, 2006). Perbedaan pandangan tersebut jelas menurunkan implementasi hasil-hasil penelitian dan karena itu perlu diatasi. Hal ini dapat dilakukan dengan membuang ego sektoral dan lebih memperhatikan kepentingan petani. Mengingat secara formal hanya ada sektor pertanian dan sektor kehutanan maka agroforestry sebaiknya menjadi bagian dari budidaya pertanian dan atau kehutanan.

Studi ini dilakukan mengingat permasalahan tersebut. Tujuan studi adalah menganalisis rasionalitas agroforestry sebagai bagian dari budidaya pertanian dan kehutanan dalam rangka meningkatkan upaya membantu petani agroforestry.

II. METODE PENELITIAN

A. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang terkait dengan budidaya agroforestry, pertanian dan kehutanan, khususnya budidaya pertanian dan kehutanan polikultur yang dilakukan oleh perusahaan besar. B. Analisis Data Analisis rasionalitas agroforestry sebagai bagian dari budidaya pertanian dan kehutanan dilakukan dengan mengevaluasi kesesuaian antara budidaya polikultur pertanian/kehutanan yang dipraktekkan oleh perusahaan dengan budidaya agroforestry yang dipraktikkan oleh masyarakat pedesaan. Agroforestry yang dipraktikkan oleh masyarakat pedesaan diasumsikan memiliki karakteristik sebagai berikut (Landgren dan Raintree,1982 dalam Hairiah et al, 2003): (a) Agroforestry terdiri dari dua atau lebih tanaman (dan hewan), salah satunya tanaman berkayu berumur panjang; (b) Agroforestry mempunyai dua atau lebih output (c) Siklus agroforestry lebih dari satu tahun; (d) Tanaman berkayu (pohon) menghasilkan minimal satu jasa lingkungan; (e) Ada interaksi

Page 249: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 249

(ekonomi dan lingkungan) antar tanaman penyusun agroforestry; (f) Budidaya agroforestry lebih komplek dibanding budidaya monokultur.

Agroforestry dinilai dapat menjadi bagian dari budidaya pertanian/kehutanan jika (a) budidaya pertanian/kehutanan yang dipraktikan oleh perusahaan memiliki 6 karakteristik tersebut dan (b) budidaya pertanian/kehutanan tersebut mendapat dukungan dari Kementrian Pertanian/Kehutanan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Budidaya Agroforestry

Sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat diantara para ahli tentang agroforestry, yang ditunjukkan oleh perbedaan tiga definisi agroforestry berikut: Definisi 1.

Agroforestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan (Huxley, 1999 dalam Hairiah et al, 2003). Definisi 2.

Agroforestry adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombina-sikan produksi tanaman termasuk tanaman pohon-pohonan dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (Permenhut 7/2007). Definisi 3.

Agroforestry adalah sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya (Huxley, 1999 dalam Hairiah et al, 2003).

Definisi 1 menunjukkan agroforestry sebagai budidaya pertanian, yang dijelaskan oleh kata-kata: penanaman pepohonan di lahan pertanian. Definisi ini sesuai dengan pandangan FAO yang memasukkan agroforestry sebagai bagian dari sistem produksi pertanian (Anonim, 2006). Meskipun demikian, FAO juga tidak menolak pandangan yang menjelaskan bahwa agroforestry komplek lebih sesuai disebut sebagai budidaya hutan daripada budidaya pertanian (Retnowati, 2004).

Definisi 2 menunjukkan agroforestry sebagai budidaya hutan. Definisi ini memuat istilah yang berhubungan dengan hutan (kelestarian, pohon dan tanaman hutan) namun tidak memuat istilah yang berhubungan dengan pertanian. Definisi ini sesuai dengan pandangan Hairiah et al (2003) yang memasukkan agroforestry sebagai hutan buatan, namun sesungguhnya mereka

Page 250: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 250 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

lebih mengharapkan agroforestry dapat menjadi sistem penggunaan lahan tersendiri, seandainya ada sektor agroforestry.

Selanjutnya, definisi 3 tidak menunjukkan apakah agroforestry termasuk sebagai budidaya pertanian atau kehutanan melainkan menjelaskan kombinasi tanaman penyusun agroforestry yang terdiri dari tanaman berkayu dan tanaman tidak berkayu. Menurut Sinclair (1999) definisi 3 kurang tepat karena tanaman penyusun agroforestry dapat terdiri dari kombinasi dua jenis tanaman berkayu, yaitu tanaman berkayu yang berupa perdu, seperti coklat, kopi dan teh (tinggi < 5m) dengan tanaman berkayu yang berupa pohon (tinggi >5 m).

Meskipun pandangan para ahli mengenai agroforestry beragam, mereka tampaknya setuju dengan pandangan Landgren dan Raintree (1982) dalam Hairiah et al (2003) yang menyatakan bahwa definisi agroforestry harus mempunyai dua karakteristik pokok: (a) kombinasi tanaman agroforestry direncanakan dengan tujuan yang jelas dan (b) kombinasi tanaman agroforestry berinteraksi secara ekologi dan ekonomi; atau budidaya agroforestry mempunyai 6 karakteristik seperti yang telah disampaikan pada Bab II. Enam karakteristik tersebut digunakan sebagai parameter untuk menentukan kesesuaian agroforestry sebagai bagian dari budidaya pertanian dan budidaya kehutanan.

B. Agroforestry Sebagai Bagian Dari Budidaya Pertanian

Budidaya pertanian polikultur mengusahakan dua atau lebih jenis tanaman pada lahan yang sama dan dalam waktu yang sama/hampir bersamaan. Kombinasi jenis tanaman polikultur dapat bermacam-macam, seperti: tanaman semusim dan tanaman semusim, tanaman semusim dan tanaman tahunan, dan tanaman tahunan perdu dan tanaman tahunan pohon (Sastradiharja, 2011). Budidaya polikultur yang serupa dengan agroforestry adalah yang mengkombinasikan “pohon” dengan tanaman selain pohon, seperti pohon pelindung dan coklat.

1. Budidaya pertanian polikultur: kombinasi coklat dan pohon pelindung

Lingkungan alami tanaman coklat adalah hutan hujan tropis. Tanaman coklat tumbuh dan berproduksi dengan baik di bawah naungan/pohon pelindung. Selain berfungsi menciptakan kondisi ideal bagi tanaman coklat, pohon pelindung juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, memanfaatkan hara tercuci dan menahan terpaan angin, khususnya untuk tanaman coklat yang masih muda. Cahaya matahari yang terlalu banyak dapat mengganggu pertumbuhan tanaman: diameter batang kecil, daun sempit dan tanaman tumbuh pendek (Siregar et al, 2010).

Untuk mendapatkan kondisi tumbuh yang ideal, bibit coklat ditanam dengan jarak 3 m X 3 m atau 4 m X 4 m, sedangkan pohon pelindung ditanam dengan jarak dua kali lipat jarak tanam coklat. Dengan cara ini, setiap pohon pelindung dapat menaungi 4 tanaman coklat (Siregar et al, 2010).

Keberhasilan budidaya coklat selain dipengaruhi oleh pemeliharaan tanaman coklat, juga dipengaruhi oleh pemeliharaan pohon/tanaman pelindung,

Page 251: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 251

yang dilakukan melaui pemangkasan dan penjarangan. Penjarangan pertama dilakukan pada saat tanaman coklat berumur 4 tahun (mulai menghasilkan). Selanjutnya dilakukan penjarangan secara bertahap sehingga pada akhirnya setiap pohon pelindung melindungi 8 tanaman coklat. Penjarangan tersebut dilakukan karena setelah tumbuh besar, tanaman coklat membutuhkan lebih sedikit naungan (Siregar et al, 2010).

Tabel 1. Kesesuaian antara budidaya agroforestry dengan budidaya pertanian

polikultur

Parameter Budidaya agroforestry

Budidaya polikultur

1. Tersusun dari dua atau lebih jenis tanaman, salah satunya tanaman berkayu

V V

2. Menghasilkan dua atau lebih output V V

3. Siklus agroforestry lebih dari 1 tahun V V

4. Ada interaksi ekologi dan ekonomi V V

5. Tanaman pelindung menghasilkan jasa lingkungan

V V

6. Komplek V V

Secara keseluruhan, budidaya pertanian polikultur, kombinasi coklat dan

pohon pelindung tersebut sesuai dengan budidaya agroforestry yang dipraktikkan oleh petani sehingga agroforestry dapat dipandang sebagai bagian dari budidaya pertanian (Tabel 1). Kalau ada perbedaan antara keduanya maka perbedaannya hanya terletak pada prioritas hasil yang diharapkan. Pertanian polikultur atau budidaya agroforestry yang diusahakan oleh perusahaan besar memprioritaskan produksi coklat yang tinggi, sedangkan budidaya agroforestry yang diusahakan oleh petani mengusahakan total pendapatan dari coklat dan pohon pelindung yang dianggap paling menguntungkan. Pohon pelindung coklat yang umum ditanam oleh petani adalah kelapa, kopi, kapuk dan karet (Siregar et al, 2010).

2. Dukungan Kementrian Pertanian dalam pengembangan agroforestry

Dukungan Kementrian Pertanian dalam pengembangan agroforestry coklat-pohon pelindung telah lama dilakukan melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kakao (Puslitkoka), yang secara fungsional berada dibawah Badan Litbang Pertanian. Puslitkoka mempunyai mandat melakukan penelitian kopi dan kakao (coklat) secara nasional dengan visi menjadi lembaga penelitian yang handal dan produktif dalam menciptakan dan mengembangkan teknologi yang terkait dengan perkebunan kopi dan coklat (Puslitkoka, 2011). Secara implisif hal ini menunjukkan bahwa Kementrian Pertanian telah mendukung pengembangan agroforestry.

Page 252: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 252 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

C. Agroforestry Sebagai Bagian Dari Budidaya Hutan

Budidaya hutan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok: (a) budidaya monokultur (budidaya satu jenis pohon penghasil kayu atau satu jenis pohon penghasil HHBK), (b) budidaya campuran (budidaya dua atau lebih jenis pohon penghasil kayu, atau dua atau lebih jenis pohon penghasil HHBK) dan (c) budidaya polikultur (budidaya tanaman yang berupa pohon dengan tanaman selain pohon) (Puspitojati, 2011a). Budidaya hutan polikultur yang serupa dengan budidaya agroforestry antara lain adalah penanaman kopi diantara tegakan eucalyptus.

1. Budidaya hutan polikultur: kombinasi kayu dan kopi

Di lingkungan alaminya, tanaman kopi tumbuh di hutan dengan pepohonan yang tinggi. Di lahan pertanian, tanaman kopi dibudidayakan di bawah naungan/ pohon pelindung. Selain berperan dalam menciptakan kondisi lingkungan yang dibutuhkan tanaman kopi, pohon pelindung juga berperan dalam memperbaiki struktur tanah, memanfaatkan hara tercuci dan melindungi tanaman kopi yang tidak tahan terhadap terpaan angin. Tanaman kopi yang kurang naungan, daunnya menguning, tumbuh kerdil dan cabangnya pendek-pendek (Cahyono, 2011).

Di KPH Bandung Selatan, sebagian hutan produksi dikelola bersama dengan masyarakat untuk kayu (eucalyptus) dan kopi arabika. Bibit kopi ditanam dengan jarak 2,5 m X 2 m diantara tanaman eucalyptus yang ditanam dengan jarak 4 m X 4 m. Dengan jarak tanam tersebut, tanaman kopi yang membutuhkan sinar matahari 10% diharapkan dapat tumbuh dengan baik (Ediningtyas, 2007).

Sampai umur 5 tahun, eucalyptus dan kopi berinteraksi secara positif. Tanaman kopi tumbuh dengan baik dibawah tajuk eucalyptus, dan sebaliknya. Pada tahun ke-3, tanaman kopi telah menghasilkan 1000–1500 kg/ha/th dan meningkat menjadi ± 2000 kg/ha/th pada tahun ke-5. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi kopi diharapkan dapat terus meningkat hingga 4000 kg/ha/th (Ediningtyas, 2007).

Secara keseluruhan, budidaya hutan polikultur atau budidaya agroforestry kopi-kayu di hutan produksi tersebut menunjukkan adanya kesesuaian dengan budidaya agroforestry yang dipraktikkan oleh petani sehingga agroforestry dapat dipandang sebagai bagian dari budidaya pertanian (Tabel 2). Kalau ada perbedaan antara keduanya maka perbedaannya hanya terletak pada prioritas hasil yang diharapkan. Prioritas hasil budidaya agroforestry di hutan ditentukan oleh perusahaan dan masyarakat, sedangkan prioritas hasil budidaya agroforestry di lahan pertanian ditentukan sendiri oleh petani. Pohon pelindung kopi yang umum ditanam oleh petani adalah kelapa, pete, cengkeh dan manggis (Cahyono, 2011).

Page 253: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 253

Tabel 2. Kesesuaian antara budidaya agroforestry dengan budidaya hutan polikultur

Parameter Budidaya agroforestry

Budidaya Polikultur

1. Tersusun dari dua atau lebih jenis tanaman, salah satunya tanaman berkayu

V V

2. Menghasilkan dua atau lebih output V V

3. Siklus agroforestry lebih dari 1 tahun V V

4. Ada interaksi ekologi dan ekonomi V V

5. Tanaman pelindung menghasilkan jasa lingkungan

V V

6. Komplek V V

2. Dukungan Kementrian Kehutanan dalam pengembangan Agroforestry

Kementrian Kehutanan telah mendukung pengembangan agroforestry sejak tahun 1970-an melalui beragam program perhutanan sosial yang dilaksanakan melalui budidaya agroforestry. Dalam program-program tersebut, agroforestry lebih dipandang sebagai sarana untuk memberdayakan masyarakat dan menunjang keberhasilan program daripada sebagai budidaya hutan.

Dukungan formal dalam pengembangan agroforestry mulai diberikan sejak keluarnya Permenhut P.28/Menhut-V/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPTA). BPTA, yang berkedudukan di Ciamis, mempunyai mandat untuk melakukan penelitian agroforestry di Indonesia, dengan visi: menjadi lembaga rujukan nasional dalam ilmu pengetahuan dan teknologi agroforestry. Secara implisif hal ini menunjukkan bahwa agroforestry telah ditempatkan sebagai bagian dari budidaya hutan. D. Implikasi Kebijakan

Agroforestry dapat menjadi bagian dari budidaya pertanian dan budidaya hutan. Mengingat penutupan tajuk agroforestry adalah >10% (Pradan, 2011), sedangkan penutupan tajuk budidaya pertanian dan budidaya kehutanan masing-masing adalah ≤ 40% dan > 40% (Puspitojati, 2011) maka agroforestry dapat dipilah menjadi 2 kelompok, yaitu: (a) agroforestry pertanian yang memiliki penutupan tajuk 10%–40% dan (b) agroforestry kehutanan yang memiliki penutupan tajuk >40%.

Pemilahan tersebut perlu didukung oleh Permentan/Permenhut agar tersedia landasan dalam melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan agroforestry di lahan pertanian dan lahan hutan, serta penyaluran hasil penelitian agroforestry kepada petani. Dengan landasan tersebut, kesalahan dalam mengelola hutan dengan sistem agroforestry yang memiliki penutupan tajuk 10%, sebagai contoh, dapat dihindari. Kesalahan tersebut dapat merubah lahan hutan menjadi lahan pertanian.

Page 254: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 254 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Agroforestry mempunyai kesesuaian dengan budidaya polikultur pertanian

dan budidaya polikultur kehutanan sehingga dapat menjadi bagian dari budidaya pertanian (agroforestry pertanian) dan budidaya kehutanan (agroforestry kehutanan).

2. Agroforestry pertanian memiliki penutupan tajuk 10%–40%, sedangkan agroforestry kehutanan memiliki penutupan tajuk >40%.

B. Saran 1. Perlu Permenhut/Permentan tentang agroforestry sebagai landasan dalam

melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan agroforestry dan penyaluran hasil-hasil penelitian agroforestry kepada petani.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Defitional Issues Related to Reducing Emmission from

Deforestation in Developing Countries. Paper Persented on Workshop on Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries held at FAO in Rome, 30 August to 1 September 2006.

Cahyono, B. 2011. Sukses Berkebun Kopi. Pustaka Mina, Jakarta.

Ediningtyas, D. 2007. Kemandirian Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dalam Melakukan Usaha Agroforestri: Studi Kasus Usaha Agroforestri Tanaman Kopi di BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan. Thesis (Tidak dipublikasi). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Ekadinata et al. 2011. Agroforestry di Indonesia: Fungsi dan Peranannya dalam Transformasi Penggunaan Lahan dan Mitigasi Perubahan Iklim. Slide disampaikan pada Workshop Agroforestry di WAC Bogor 12 Mei 2011.

Hairiah, K., Mustofa Agung Sardjono and Sambas Sabarnutin. 2003. Pengantar Agroforestry. World Agroforestry Centre, Bogor.

Hardjanto. 2011. Penelitian Agroforestri: Falsafah dan Arah Penelitian ke Depan. Makalah disampaikan pada Workshop Agroforestri Fahutan IPB 12 Mei 2011.

Kementrian Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.28/Menhut-II/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.

___________________. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.7/Menhut-V/2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Page 255: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 255

Kehutanan No. P.81/Menhut-V/2006 Tentang Penyelenggaraan dan Sasaran Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2006.

Notohadiprawiro, T. 2006. Pemapanan Agroforestry Sebagai Bentuk Pemanfaatan Lahan Menurut Kriteria Tanah dan Air. soil.faperta.ugm.ac.id. Diakses 10 Nopember 2011.

Pradan, U. 2011. Responsive Research, Politics, and Partnerships in Agroforestry. Slide disampaikan pada Workshop Agroforestri di UGM Yogya 21-4-2011.

Puslitkoka. 2011. Profil Puslitkoka. www.puslitkoka.go.id. Diakses 15-11-2011.

Puspitojati, T. 2011a. Agroforestry Forest Estate: Whole Rotation of Social Forestry. Makalah Poster disampaikan pada Seminar INAFOR Tanggal 5–7 Desember 2011 di Bogor.

----------------- 2011b. Persoalan Definisi Hutan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Dalam Hubungannya Dengan Pengembangan HHBK Melalui Hutan Tanaman. Makalah (Belum dipublikasi).

Retnowati, E. 2003. Sustainable Development Through A Complex Agroforestry System in Indonesia. The XII World Forestry Congress. Quebec City, Canada.

Sastradiharja, S. 2011. Sukses Bertanam Sayuran Secara Organik. Penerbit Angkasa, Bandung.

Sinclair, F.L. 1999. A General Classification of Agroforestry Practice. Agroforestry System 46: 46-180. Kluwer Academic, Netherlands.

Siregar T.H.S., Slamet Riyadi dan Laeli Nuraeni. 2010. Budidaya Coklat. Penebar Semangat, Jakarta.

Page 256: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 256 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

SUSUNAN ACARA WORKSHOP STATUS RISET DAN RENCANA INDUK PENELITIAN AGROFORESTRY

IPB ICC BOGOR, 12 DESEMBER 2011

WAKTU ACARA KETERANGAN

08.00-08.30 PENDAFTARAN PESERTA Panitia

08.30-09.00

PEMBUKAAN 1. Laporan Penyelenggara 2. Pengarahan dan Pembukaan

Kepala BPT Agroforestry Kepala Badan Litbang Kehutanan

09.00-09.45

1. Keynote speech – Prof. Dr. Sambas Sabarnurdin

2. Diskusi

Moderator: Kepala Pusprohut

09.45-10.00 Paparan Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Kepala BPT Agroforestry

10.00-10.20 REHAT – PERSIAPAN DISKUSI PANEL – PAMERAN

10.20-12.00 Sidang Komisi/Diskusi Panel I

Komisi I : Silvikultur Dr. Budiadi

Komisi II : Lingkungan Dr. A. Ngaloken Gintings

Komisi III : Sosek Prof. Dr. Nurheni Wijayanto

12.00-13.00 ISHOMA – PAMERAN

13.00-14.30 Sidang Komisi/Diskusi Panel (lanjutan)

Komisi I : Silvikultur Dr. Budiadi

Komisi II : Lingkungan Dr. A. Ngaloken Gintings

Komisi III : Sosek Prof. Dr. Nurheni Wijayanto

14.30-15.00 REHAT – PAMERAN

15.00-15.30 1. Penyampaian hasil sidang komisi 2. Penyerahan hasil sidang komisi ke

Kepala BPTA 3. Penutupan Workshop

Page 257: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 257

NOTULENSI DISKUSI WORKSHOP STATUS RISET DAN RENCANA INDUK PENELITIAN AGROFORESTRY

IPB ICC BOGOR, 12 DESEMBER 2011

I. SIDANG PLENO Moderator : Dr. Bambang Tri Hartono (Kepala Puslitbang Peningkatan

Produktivitas Hutan) Bambang Tri Hartono (Moderator)

o Ada pemikiran pengelolaan hutan yang semula diambil produksi kayunya, saat ini dialihkan untuk ke ekologi (menghasilkan jasa lingkungan).

o Terminologi agroforestry supaya menghasilkan kayu, menyebabkan agroforestry seolah-olah dipaksakan atau ‘dijejelin’. Ada rekomendasi dari beberapa catatan Pak Sambas yang menyatakan bahwa selama ini agroforestry tidak diinstitusionalkan secara nyata termasuk dalam anggaran, sehingga jika agroforestry diinstitusionalkan akan menyebabkan perkembangan agroforestry dapat lebih cepat lagi.

o Saya banyak menyitir dari India karena Pak Ujjwal dari ICRAF seringkali memberi referensi untuk menengok India. Referensi dari India tentang sukses yang dilakukan oleh indigenous belum dapat dipahami sepenuhnya berdasarkan scientific basis yang baik. Adakah policy yang secara spesifik tentang agroforestry di negara kita ini? Ini merupakan dorongan yang disebutkan Pak Sambas, lajunya lambat. Ini pertanyaan secara global mengenai agroforestry.

o Kemudian ada pernyataan implementation strategy untuk agroforestry ini desentralize atau centralize? Kehutanan di Indonesia ini desentralize atau centralize? Di India ada lembaga Jaluka atau Jaluha (unit agroforestry pada level kecamatan yang dispesifikkan mengurus agroforestry khusus untuk kayu bakar, energi, dan kepentingan yang lain). Adakah unit agroforestry di Indonesia yang terkecil seperti itu? BPTA harus mencatat itu, bagaimana institusi yang akan dibangun ini menjadi institusi riil.

o Ada nuansa masih skeptis meskipun pencapaian agroforestry sudah cukup banyak. Laporan Michon menyatakan agroforestry tanaman campuran karet itu sudah disebut agroforestry. Nah agroforestry modern itu yang seperti apa? Apakah agroforestry yang bisa dengan karet, bisa dengan 2 tanaman, 3 tanaman, dan lain-lain. Agroforestry sebagai sistem, pertama ada mekanistik, kedua purposefull. Mekanistik seperti yang dilakukan masyarakat yaitu bereaksi terhadap lingkungan yang ada, ada land use karena masih ada yang kosong. Purposefull dengan dorongan ekonomi yang ada, misalnya sengon laku maka dikembangkan. Saya melakukan feedback bahwa status riset sudah sampai dimana, ke depan akan membantu BPTA untuk menyusun riset ke depan.

Mulyono (Perhutani Jawa Tengah) o Perhutani sudah berproses melakukan agroforestry. Pada intinya kami di

Perhutani baru saja melaksanakan Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 2010. Ada pengertian agroforestry versi Perhutani Jawa Tengah. Agro untuk segala hal terkait pertanian, tidak hanya berbicara tumbuhan karena juga ada ternak, di Perhutani Jawa Tengah ada pemeliharaan sapi, abon. Kami mengenal istilah CAS (Corporate Agroforestry System) yang harus didukung 5 pilar:

Page 258: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 258 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

- Di Jawa Tengah sentranya di Pati: lereng Muria meliputi satu kawasan Pati, Kudus, Jepara.

- Berbasis potensi lokal dengan budidaya yang dikuasai petani. - Bisa dikembangkan dalam skala agribisnis off farm dan on farm, sehingga

ada agroforestry terpadu. Ada pengelolaan kapuk randu. - Potensi lokal bisa dijamin galur murni bisa di situ dan bisa dikembangkan,

misalnya ada kapuk dan singkong yang dikembangkan berdasar sejarah Pati. - Berwawasan lingkungan.

Kusmintardjo (BPTPTH Bogor) o Saya berbicara tentang hutan rakyat berbentuk agroforestry. Di Jawa,

masyarakat sudah paham tentang hutan rakyat, tanah kosong milik masyarakat sudah habis. Saya punya angka masyarakat yang bergerak di bidang hutan rakyat sudah 17,5 juta, sekian persen dari rakyat Indonesia hidup dari hutan rakyat, mudah-mudahan terjadi di Jawa. Banyak terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, petani hutan sebanyak ratusan yang haji sengon. Saya kira pesimistisnya itu terjadi di Jawa, kalau di luar Jawa tidak.

Kirsfianti L. Ginoga (Puspijak) o Sejarah agroforestry sebagai teknik peningkatan produktivitas lahan sama

panjangnya dengan sejarah peradaban manusia. Sekarang ada pergeseran, teknik masih sama, tetapi dibungkus kebijakan yang lain. Dulu ada SF, PHBM, CF, sekarang sasaran strategis kemenhut adalah kemitraan, HD, HKm, dan 8 kebijakan prioritas Kemenhut dan 6 kebijakan berhubungan dengan lahan merupakan prioritas. Ini yang menjadi masalah. Sosial dan lingkungan ini sepertinya sudah terbungkus dalam pola agroforestry. Kemiskinan yang dari dulu sampai sekarang belum terpecahkan. Masalah signifikan yang perlu kita tangani apa?

A. Ngaloken Gintings (Puskonser) o Pada tahun 1981 kita pernah mengadakan seminar perladangan yang kita

ceritakan di situ agroforestry dan pernah disebut wanatani. Setelah itu Prof. Jufri mengatakan agroforestry atau wanatani sebagai kegiatan pertanian di areal hutan atau kehutanan dan disebut juga tumpangsari mulai 1987. Kenapa agroforestry kurang dianggap berhasil karena tidak ada kesungguhan. Tidak hanya di agroforestry saja yang kita tidak sungguh-sungguh. Kalau kita atur sesuai konsep, agroforestry akan berhasil dimana-mana. Tandanya tidak serius adalah selama ada proyek, maka berhasil, tetapi setelah uang tidak ada maka tidak terdengar lagi. Dilanjutkan teman-teman ICRAF, sepanjang ada uang maka ada agroforestry. Kalau miskin, agroforestry maskin berkurang lagi.

Herry Prijono (Ditjen BUK) o Agroforestry ini sesuai untuk Ditjen Bina Usaha Kehutanan. Ada paket HTI atau

HTR bisa untuk program ketahanan pangan. Selama 1 tahun ini di BUK mempelajari kebijakan. Ada agroforestry di HTR. Kemudian kami akan memasukkan di HTI. Hasil seminar ini sebaiknya ada rekomendasi ke Dirjen BUK agar agroforestry bisa diterapkan di HTI. Dalam PP, silvopastura masuk ke agroforestry, sudah diterapkan di HTI. Pengusaha berminat. Kami harap rekomendasi seminar ini bisa mendukung kegiatan HTI.

Deddy Suharto I. (Pusdiklat Kehutanan) o Ingin informasi hasil penelitian yang bisa meningkatkan kesejahteraan petani.

Sudah adakah kerjasama atau masterplan kerjasama antara perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, dan pengusaha?

Page 259: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 259

o Agar penelitian bisa langsung ke masyarakat, harus mengikutsertakan penyuluh. Banyak hasil penelitian litbang sangat bagus. Lahan jangan dikelapa sawitkan karena itu menyerap air dan menyebabkan sumur menjadi kering, ini untuk jangka panjang menyengsarakan rakyat. Kita banyak import, misalnya ikan dan pangan.

Sambas Sabarnurdin (Pembicara) o Saya hanya mengatakan kehutanan paling kenal agroforestry terlebih dahulu

daripada yang lain. Jika berbicara tentang agroforestry, forestrynya yang keluar, padahal seharusnya pertanian juga keluar. Kesalahan hanya di sana. Jawaban Pak Gintings adalah yang penting: kesungguhan. Saya ikut seminar pada tahun 1981. Pak Sumitro menyuruh saya ikut seminar, sebelumnya saya berbicara tentang silvikultur tidak laku-laku, kemudian ketika mengajukan beasiswa diminta mengajukan ke agroforestry. Kami membuat buku “Agroforestry untuk Indonesia” hanya untuk menunjukkan bahwa di fakultas ada agroforestry. Saya ingin mengikuti perkembangan di Perhutani sudah banyak kemajuan, tapi ruhnya belum sungguh-sungguh, masih membedakan antara kehutanan dan petani. Kalau ingin mengacu dari PK Nair ada 3 hal: produktivitas, kelestarian, dan adoptabilitas. Petani semakin lama juga semakin maju. Saya bukan orang turunan Perhutani.

o Menanggapi Pak Kus tentang hutan rakyat di Jawa juga maju. Saya tidak mengatakan kalau hutan rakyat tidak maju, tetapi perlu dikembangkan sertifikasinya supaya laku dijual di luar negeri. Di Wonosari dan Wonogiri yang memakai sertifikat malah tidak laku, yang tidak ada malah laku. Sing entuk ra tuku-tuku, sing tuku ra teko-teko (yang memperoleh tidak beli-beli, yang beli tidak datang-datang).

o Perkebunan pernah merasakan hasil kebunnya menurun. Kemudian kenapa dia tidak berpikir menanam sengon saja, mengikuti aturan seperti rakyat saja, sederhana dan berhasil karena mungkin terlalu banyak liku-likunya. Tidak ada administratur perkebunan seperti itu, malah dicuri terus oleh orang. Kita sudah bekerja dengan masyarakat cukup lama, tapi perlu ada kesungguhan. Kita masih ragu-ragu. Wanagama adalah hutan yang di sebelahnya ada peternakan. Peternakan memberikan proyek sapi, tapi tidak memikirkan bahan baku pakan ternak. Ada lahan kosong, masyarakat menjadi pragmatis. Di Wanagama ada agroforestry yang legal sedikit, yang ilegal banyak. Ada investor kecil yang menyuruh orang untuk menanam rumput di Wanagama. Jika ada yang akan studi di sana silakan saja. Banyak mafia di sana.

o Solusi ke arah bagaimana, kehutanan sudah membuktikan ke arah sana dengan membina orang-orang, penulis salah satunya Pak Makmun jurusan ekologi tapi tidak terus di sana, apa berhubungan dengan proyek tadi. Segala hal jangan berbasis proyek. Aplikasi hasil penelitian, RPH banyak menghasilkan buku, tapi yang digunakan mungkin sedikit. Hasil penelitian, teknologi, dan pendampingan perlu itu. Kita harus mengisi agroforestry rakyat yang sudah banyak. Agroforestry datangnya tahun 1970an, ada yang bilang talun, kebun, campuran pohon dan pohon itu agroforestry juga. Bisa saja pohonnya tidak hanya dalam satu satuan lahan. Menanam pohon itu tidak hanya luasnya saja, tetapi juga posisinya dalam landscape, ini harus dibicarakan bersama.

o Yang disampaikan Pak Deddy tentang kegiatan perguruan tinggi, perusahaan, dan litbang itu masih terpisah-pisah. Jika litbang sudah memiliki masterplan penelitiannya mana yang dikerjakan litbang dan mana yang dikerjakan universitas itu lebih bagus. Dalam pidato di Unmer Madiun, di seminar

Page 260: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 260 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

agroforestry, dan terakhir di pengukuhan, dan di sini ini rejeki saya, maka saya masih bersungguh-sungguh, meskipun sudah jarang ke lapangan. Tahun 2007 ke lapangan menyusahkan banyak orang. Ke sini alhamdulillah bisa. Hubungannya dengan pangan cari agroforester di kehutanan, bicara pangan tentang sistem produksinya, katanya kami memberi lahannya saja. Pak Sukoco mencoba berbagai jenis padi di bawah tegakan jati dengan berbagai jarak tanam. Positif pasti, yang mempunyai lahan, yang mempunyai kekuasaan mengerjakan saja agar ada contoh. Tenurial tidak akan menjadi masalah jika ada keadilan dalam pembagian hasil.

II. SIDANG KOMISI A. Komisi Silvikultur Pimpinan Sidang : Dr. Budiadi (Fakultas Kehutanan UGM) Budiadi (Pimpinan Sidang)

o Sesi ini untuk menjalin ide/pendapat dalam rangka masukan ke BPTA untuk penyususun Rencana Penelitian. BPTA telah menyusun 2 dokumen yaitu status riset dan RIPA.

o Masih ada persoalan terkait definisi dan bidang kerja agroforestry. Sistem yang digolongkan agroforestry ada di antara kehutanan dan pertanian. Tujuan agroforestry mencakup memaksimalkan penggunaan energi matahari, mengoptimalkan efisisiensi penggunaan tanah dan air, meminimalkan hilangnya unsur hara dari dalam sistem, meminimalkan run-off dan erosi.

o Masih adanya dikotomi Jawa-luar Jawa. Mana yang utama antara dikotomi lingkungan vs ekonomi. Maka agrofrestry di Pulau Jawa aspek lingkungan menjadi prioritas sebagai upaya untuk memperbanyak tutupan lahan. Dengan aspek lingkungan tercapai maka nilai ekonomi akan mengikuti. Lain halnya di Luar Jawa fungsi ekonomi menjadi prioritas. Di Jawa kebanyakan petani adalah petani gurem dan tidak memiliki tanah sama sekali, dengan kondisi keterbatasan lahan sehingga pola agroforestry subsisten banyak dikembangkan dan pada kondisi tersebut agroforestry menjadi keharusan. Di Jawa 60% merupakan lokasi penduduk Indonesia sehingga Jawa memiliki beban lingkungan berat. Kerusakan lahan kritis. Perbedaan hutan rakyat dan hutan negara dimana hutan rakyat sangat rapat tertutup tajuk sedang hutan negara kosong. Aspek lingkungan di Pulau Jawa menjadi lebih menonjol dari aspek ekonomi dengan cara memperbanyak penutupan tajuk. AF sebagai penyimpan karbon, penghasil kayu, dan tanaman tahan naungan (umbi-umbian dan herbal/ empon) dan pengatur tata air. Aspek silvikultur pohon misalnya jati sudah banyak diketahui maka kombinasi dengan tanaman pertanian menjadi objek kajian.

o Sifat-sifat agroforestry yang harus dimiliki sebagai parameter keberhasilan adalah produktivitas, sustainabilitas, adoptabilitas. Produktivitas adalah target fisik maka akan lebih tinggi dari monokultur. Sebagian besar sistem agroforestry bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan produksi (dari produk yang diinginkan) dan produktivitas lahan, melalui: peningkatan output produk tanaman kayu, peningkatan hasil panen tanaman pertanian, pengurangan input (saprodi), efisiensi tenaga kerja. Dengan mempertahankan potensi produksi berdasarkan sumberdaya yang ada, yakni dengan memanfaatkan keuntungan

Page 261: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 261

keberadaan pohon, maka agroforestry dapat menciptakan tujuan konservasi dan kesuburan tanah. Meskipun agroforestry merupakan istilah baru, tetapi kenyataannya sudah diterima (accepted) secara luas oleh masyarakat petani. Implikasinya jika kita akan memperkenalkan suatu teknologi baru dalam agroforestry atau meningkatkan sistem agroforestry yang sudah ada harus melalui proses kesepakatan (conform) dengan tradisi setempat. Agroforestry berkembang jika rakyat sudah megaplikasikan pada saat yang sama. Agroforestry sudah berkembang sejah 10 tahun sebelum masehi tapi ilmu Agroforestry baru berkembang tahun 70-an dengan adanya ICRAF. Sehingga mau tidak mau kita perlu mempelajari apa yang sudah dipelajari oleh masyarakat adalah keharusan untuk mengembangkan pola tanam yang lebih modern, maka mengubah Agroforestry tradisional ke Agroforestry modern.

o Resoursce sharing: dalam lahan terbatas dan ketika tanaman ditanam dalam lahan yang sama maka pertumbuhan berbagai komoditas tersebut akan dipengaruhi faktor pembatas yaitu air, cahaya, unsur hara. Setiap tanaman mempunyai karakteristik berbeda-beda dalam kebutuhan akan faktor-faktor pertumbuhan. Resource sharing pohon dan pertanian harus mempunyai karakter berbeda-beda, misalnya: jati dan empon-empon kebutuhan cahaya berbeda. Agroforestry bersifat dinamis misalnya pada tumpangsari pada saat jati telah tumbuh besar maka tanaman bawah harus diganti dengan tanaman pertanian yang butuh cahaya matahari yang lebih sedikit.

o Keberhasilan agroforestry akan tergantung pada (1) Pemilihan spesies, (2) Kombinasi spesies, kemampuan mengelola pohon sebagai komponen utama, (3) mengarahkan interaksi antar komponen.

o Kriteria pemilihan spesies dalam agroforestry adalah kriteria sosial-ekonomi dan ekologi. Kriteria sosek untuk parameter adoptability: (1) Apa yang diminati masyarakat saat itu? (2) Apa yang menjadi prioritas produksi yang akan dihasilkan? (3) Kondisi pasar dan ketersediaan industri (4) Volume produksi akan dihasilkan. Kriteria Ekologi untuk parameter adaptabilitas, produktivitas, dan kelestarian (1) Kemampuan tumbuh pada tanah dan iklim setempat; (2) Produktivitas tanaman dalam jangka panjang; (3) Daya tahan hidup, kompetisi dan interaksi; (4)Kemampuan mengikat N.

o AF banyak belajar dari masyarakat (adoptabilitas). Sebagian besar Agroforestry adalah untuk mewadahi teknik yang sudah berkembang di masyarakat, kemudian tugasnya adalah mengambil scientific value kemudian meningkatkan kualitas pengelolaan Agroforestry. Agrofrestry tradisional menjadi agroforestry modern. Bagaimana parameter agroforestry modern perlu kriteria lebih lanjut.

o Diagnosis-design melalui: (1) Observasi (2) On station research (3) On farm research dan (4) Up-scaling. Posisi penelitian silvikultur adalah untuk desaining Agroforestry tradisional Agroforestry modern. Misalnya tanaman porang di bawah tegakan jati di masyarakat sehingga adoptabilitas nyata tinggi, faktor-faktor apa yang menyebabkan porang dapat tumbuh baik di bawah jati, On scaling dan perluasan. Maka manfaat dapat diperoleh setelah up-scaling. Maka dengan perbaikan Agroforestry tradisional menjadi Agroforestry modern sehingga kepentingan masyarakat menjadi prioritas.

Tati Rostiwati (Pusprohut) o Kegiatan agroforestry masih pada taraf observasi, permasalahan menjadi berat

jika tidak dimappingkan untuk agroforestry di Indonesia misal di Jawa. Misal masalah pangan di daerah mana yang potensial perlu ditangani kemudian baru didetailkan secara teknis. Sebagai contoh waktu penetapan daerah untuk DME

Page 262: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 262 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

kita mempunyai konsep kenapa di daerah tersebut jadi DME secara visiablenya bagaimana? AF di daerah mana secara mapping dan di breakdown ke teknisnya.

o Perlu dipertajam: pemilihan spesies perlu diprioritaskan berdasarkan pasar dan teknikal sehingga lebih integratif misalnya budidayanya diketahui tidak, bagaimana kesesuaian dengan lahan sehingga untuk tahap up-scaling lebih mudah.

Zanzibar (BPTPTH Bogor) o Masyarakat di Jateng dan Jatim adalah contoh agroforestry yang berhasil.

Menurut saya Ilmu Agroforestry sudah maju yang penting untuk agroforestry itu adalah kemauan politik. Bagaimana kondisi PEMDA, mungkin tidak tahu manfaat agroforestry, bagaimana agroforestry di daerah, agroforestry mungkin tidak diperlukan oleh PEMDA. Kasus Jabon; tingginya animo masyarakat menanam jabon, tapi di lain pihak setelah beberapa tahun pertumbuhan stagnan. Saya kira perlu diluruskan juga tentang jabon ini, karena jika tidak ke masyarakat menjadi tidak baik, saya kira penanaman jabon dimainkan oleh pihak luar sehingga masyarakat akan kecewa. Jangan lantas mengganti sengon menjadi jabon, karena belum tahu ke depan bagaimana.

Yadi Haryanto (BPTHHBK Mataram) o Posisi hutan (rancang bangun Agroforestry untuk HP, HL, Hutan Konservasi),

khususnya HL bagaimana? Kekritisan lahan di kawasan perlu dilihat oleh BPTA, Misalnya di Bali masyarakat miskin dan lahan ekstrim, Pulau Sumbawa NTB lokasi lahan ekstrim menjadi tantangan ke depan karena BPTA seluruh Indonesia.

o NTT prospektif untuk silvopastura. Pengertian ternak dalam agroforestry dan pemilihan tanaman pokok. Apakah ternak masuk kawasan atau pakan diambil dibawa ke kandang? Atau pakan ternak dibawa ke luar?

Budiadi (Pimpinan Sidang) o Mapping diperlukan untuk menentukan penelitian ke depan dan perlu dicari

kriteria mapping berdasarkan apa? Apakah berdasarkan pulau yaitu: pemisahan Jawa dan Luar Jawa. Apakah berdasrkan fungsi hutan: fungsi agroforestry untuk pembangunan HP, HL, HK, dan lain-lain. Apakah berdasarkan tingkat kekritisan lahan misalnya kekritisan sosial atau lahan.

o Visiability study: AF harus bottom up karena tidak bisa top down supaya adoptability menjadi kunci utama untuk keberhasilan agroforestry, misalnya Kulon Progo dengan AF herbal, misalnya Saradan dengan porang di bawah jati.

o Agroforestry bersifat site spesific bisa desa, kecamatan, atau pulau. Di Jawa permasalahan lingkungan menjadi mendesak untuk diselesaikan dengan penutupan tajuk. Masalah timbul adalah keterbatasan sumber air sehingga krisis air. Data menunjukkan bahwa sumur setiap 5 tahun diperdalam 1 m. Membangun ekosistem hutan di Jawa menjadi penting untuk aspek lingkungan kemudian aspek sosial akan mengikuti. AF adalah trade off untuk menghasilkan bermacam produk: timber dan non timber, lingkungan: insentif air, insentif karbon. Trade off bisa memprioritaskan salah satu output, tetapi sedapat mungkin semua output tercapai.

o AF modern menjadi penting karena yang diterapkan masyarakat dasar-dasar scientific masih kurang. Kekurangan agroforestry yang diaplikasikan oleh masyarakat misalnya rumput gajah di bawah pohon secara scientific kurang benar. Peningkatan produktivitas dan timbernya, kualitas kayu rendah karena tidak ada pruning, singling, dan nilai tegakan meningkat maka mengimprove yang sudah ada di masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Page 263: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 263

Syarat adoptability didahulukan, yaitu pengenalan/identifikasi system-sistem agroforestry yang sudah berkembang di masyarakat (bottom up). Sustainability dan productivity bisa diperoleh dan ditingkatkan melalui penelitian silvikultur.

o Silvikultur untuk timber sudah banyak dipelajari (a) Jati, sengon, mahoni, akasia, dipterocarpa, pinus, dan lain-lain; (b) Produksi: timber, fiber wood; (c) Umumnya silvikultur untuk pertanaman monokultur ; (d) Horizontal arrangement. Tanaman campuran, multi produk, multi layer, daur ganda (a) MPTS: fruit, fodder, fuelwood, resin, madu, lak; (b) Understory: food, herbal medicine.Campuran komplek, terencana (a) Semua jenis tanaman terpilih, (b) Vertical arrangement.

Bambang Tri Hartono (Pusprohut) o Mapping penelitian agroforestry, saya dalam melihat agroforestry adalah

sistem. Dan karena sistem maka terdiri dari struktur, fungsi, dan tipe (mekanistik atau purposefull). Fungsi agroforestry adalah untuk penghasil kayu + energy atau kayu + food dan kayu + herbal dll). Bisa juga fungsi Rehabilitasi dan HHBK (madu dan kayu putih). Kita harus membuat perencanaan RIPA menjadi sesuatu yang bisa digolongkan secara lebih sistematis.

o Untuk mengarah, maka saya pesan BPTA melakukan observasi misalnya di Jawa dulu mulai Banten sehingga dapat diketahui agroforestry yang potensial di Rengasdengklok dan Carita apa? Mulai dari Jawa Barat sehingga menimbulkan karakterisktik ekozone agroforestry, sehingga menghasilkan silvikultur dengan komoditi tertentu untuk daerah tertentu. Pohon dengan fungsi lainnya misalnya pangan, herbal, dan lain-lain). Kemudian mapping bisa berdasarkan ketinggian tempat sehingga BPTA mempelajari variasi silvikultur pada berbagai ketinggian tempat misalnya 800 m dpl silvikultur agroforestry apa, di bawah 800 m dpl silvikultur agroforestry apa, silvikultur spesifik pada ketinggian tempat? Hal ini bertujuan untuk memprioritaskan mana yang lebih dahulu. Misalnya Daerah Magelang dengan tanaman bawah kentang dengan tanpa mencegah air. Padahal ketika banyak air maka bawang merah busuk. Sehingga bagaimana agar bawang merah tidak busuk.

Hesti L Tata (Puskonser) o Dasarnya status riset, permasalahan apa identifikasi di lapangan sebelum

melakukan riset. Kaitanya dengan silvikultur, maka perlu identifikasi permasalahan yang terjadi mengapa Agroforestry belum berkembang dari hulu ke hilir. Permasalahan petani misalnya petani kurang bibit kualitas, teknik propagasi yang tepat, akses pasar, teknik pemanenan, regulasi pemerintah, dan permasalahan tenurial. Riset untuk mengatasi permasalahan di atas untuk dampak positif bagi masyarakat.

o Kegiatan penelitian berdasarkan prioritas penelitian yang terdapat dari Tabel perlu dimasukkan yaitu dibuat kriteria dan indikator prioritas penelitian tersebut. Kriteria keberhasilan penelitian diperlukan untuk membantu evaluasi keberhasilan BPTA. Status riset di Indonesia yaitu informasi dari pemodelan dengan software interaksi antar tanaman dengan Metode Wanulcas, Model Sepsi (pertumbuhan pohon), Model Fallow (skenario alternatif manajemen lahan). Hal ini telah dilakukan oleh ICRAF jadi perlu dimasukkan dalam status riset agroforestry.

Misto (BPK Aek Nauli) o AF di Jawa lebih banyak di hutan rakyat tentunya agak berhasil dibanding di

hutan negara karena kurang mendapat tekanan. Kemenhut hanya pembina di HR. Bagaimana Agroforestry di dalam kawasan, bagaimana agroforestry di HL,

Page 264: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 264 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

bagaimana agroforestry HKm/ HP, dan lain-lain. Bagaimana pelaksanaan Agroforestry di HKM, HTR. Merupakan pekerjaan besar bagi Agroforestry. Bila bicara proyek maka kendala banyak. Contoh HTR dengan pengusaha mempunyai kepentingan sendiri, maka sulit penataan tanaman AF untuk mengakomodir kepentingan yang berbeda.

o Di luar Jawa: Agroforestry di Sumatera? Lampung? Atau di mana? Untuk fokus penelitian Agroforestry di mana? Karena Agroforestry karet tidak hanya di Jambi tetapi di Sumut juga banyak.

B. Komisi Lingkungan Pimpinan Sidang : Dr. A. Ngaloken Gintings (Badan Litbang Kehutanan) Sunaryanto (Pusdiklat Kehutanan)

o Riset yang akan dilakukan merupakan riset yang dapat memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat dapat mengaplikasikan hasil riset di lahan mereka.

Nur Sumedi (BPTKSDA Samboja) o Mencari tahu luas agroforestry di Indonesia. Agar dinamika, tren agroforestry di

Indonesia dapat diketahui. Penelitian tidak hanya fokus di Jawa, tetapi juga di luar Jawa. Kajian mengenai agroforestry tradisional untuk dikembangkan atau untuk diaplikasikan di daerah lain. Perlu penelitian tentang agroforestry di pegunungan karena 1/3 wilayah Indonesia merupakan pegunungan dan dalam kondisi rusak. Kajian dilakukan mengenai model agroforestry pegunungan yang dapat merehabilitasi daerah pegunungan yang rusak. Diperlukan penelitian integratif pada lokasi yang sama dan merupakan show window BPTA, dengan bentuk action riset.

Dede Rohadi (Puspijak) o Perlunya identifikasi permasalahan agroforestry di Indonesia, dengan

permasalahan agroforestry yang khas untuk tiap daerah. Seperti agroforestry pada dry forest di NTT, agroforestry di Jawa dengan penduduk yang padat, sehingga dapat diidentifikasi pertanyaan penelitian yang akan dilakukan? Dan muncul area riset.

o Buat prioritas, outcome dan outputnya, sekaligus perlu mengidentifikasi pihak untuk bekerja sama. Pendekatan riset berdasarkan pendekatan: Topografi, sosial budaya, dan production to consumption.

Meine van Noordwijk (WAC-ICRAF) o Perlu dicari informasi mengenai status agroforestry di Indonesia, dampak

agroforestry terhadap jasa lingkungan, tren agroforestry di Indonesia, dampak agroforestry terhadap livelihood, dan tren agroforestry per region.

Murniati (Puskonser) o Tidak perlu lagi penelitian tentang bentuk agroforestry tradisional. Diperlukan

riset mengenai pengembangan agroforestry tradisional untuk dikembangkan dan diaplikasikan di daerah lain. Diperlukan riset mengenai transfer teknologi ke petani dalam bentuk action riset. Action riset dilakukan dengan mengakomodir produktivity dan sustainability yang sudah ada. Diperlukan transfer pengetahuan kepada penyuluh. Diperlukan show window terutama di daerah perbukitan, di lahan kering, miring yang terdegradasi.

Page 265: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 265

Amir Wardhana (B2PBPTH Yogyakarta) o Diperlukan penelitian tentang model agroforestry yang paling sesuai baik untuk

masyarakat maupun lingkungan. Diperlukan penelitian tentang agroforestry gaharu dan dampaknya terhadap lingkungan. Diperlukan demplot agar semua aspek dapat dikaji dan institusi lain dapat membantu penelitian. Diperlukan penelitian tentang jenis tanaman agroforestry yang unggul baik produksi maupun lingkungannya.

Nining (BPK Solo) o Kendala-kendala apa yang didapat sehingga riset status bisa jadi belum tuntas.

Penelitian show window harus aplikatif. o Riset mengenai model agroforestry yang ideal baik ekonomi maupun

lingkungan. Riset pada suatu DAS agar bisa dilakukan pengamatan terhadap jasa lingkungan.

Daniel (Universitas Lambung Mangkurat) o Riset dibagi berdasarkan perbedaan lahan yaitu dataran tinggi, dataran rendah

dan lahan gambut. o Riset mengenai dampak agroforestry di masyarakat terhadap ekonomi dan

lingkungan. o Adanya link dengan pemerintah daerah agar penelitian dapat diaplikasikan oleh

masyarakat. Kurniatun Hairiah (Universitas Brawijaya)

o Mencari tahu luasan agroforestry. Identifikasi permasalahan yang dihadapi baik success story maupun unsuccess. Jika ada agroforestry yang dialihfungsikan, apa penyebabnya?

o Riset tentang peran agroforestry terhadap iklim mikro. Riset tentang peran agroforestry terhadap kesuburan tanah dan hidrologi di tingkat lahan. Riset tentang peran agroforestry pada skala lanskap (tata air, hidrologi, kehati). Riset tentang peran agroforestry terhadap perubahan iklim

Sambas Sabarnurdin (Fakultas Kehutanan UGM) o Riset dampak agroforestry terhadap lingkungan dari perkembangan tegakan.

Dari mulai menanam, memelihara dan memanen. Perlu dilakukan kajian dampak praktik agroforetsri terhadap lingkungan di lahan Perhutani.

Yamin Mile (BPTA) o Karena mengukur luas agroforestry sangat sulit, luas hutan rakyat saja masih

tidak akurat. Sehingga diperlukan riset inventarisasi agroforetsri yang mudah. o Diperlukan show window yang tidak hanya memperlihatkan hasil penelitian

tetapi sudah melibatkan masyarakat di mana transfer teknologi sudah dilakukan kepada petani. Kajian bisa dalam bentuk desa model dengan bekerja sama dengan berbagai pihak.

C. Komisi Sosial Ekonomi Pimpinan Sidang : Prof. Dr. Nurheni Wijayanto (Fakultas Kehutanan IPB) Banjar Y. Laban (Pusdalbangreg Sumatra)

o Gambut belum disinggung, padahal perlu direhabilitasi dan dipertahankan. LIPI lebih tertarik untuk meneliti gambut melalui cagar biosfer, aspek soseknya luar biasa, litbang kehutanan belum banyak terlibat kerjasama dengan LIPI dalam hal

Page 266: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 266 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

penelitian gambut. Dapat dilaksanakan penelitian tentang agroforestry di lahan gambut, bekerja sama dengan LIPI.

o Pengembangan pangan dalam konteks agroforestry berbasis potensi lokal. Diversifikasi pangan harus mulai dipopulerkan. BPTA perlu melakukan penelitian tentang peningkatan nilai tambah dari produk agroforestry. Apakah BPTA sampai bisa sampai pada pengolahan teknologi? Di Thailand terdapat budidaya jamur yang digantung. Seperti gadung per kilogramnya menjadi lebih mahal setelah diolah, di Bogor Rp 72.000/ kg. Termasuk juga arairut juga menjadi mahal setelah diolah.

Suyanto (WAC-ICRAF) o List di halaman 10 belum tertangkap tentang masalah tenurial yang harus

diperhatikan terkait partisipasi masyarakat. agroforestry dijadikan sebagai kondisionality mekanisme akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan, di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan.

o Ada analisis persepsi tapi banyak ditujukan ke masyarakat tentang agroforestry. Sebaiknya ada kajian persepsi yang ditujukan ke para pengambil kebijakan karena di Dephut masih belum bulat mendukung promosi agroforestry. Sebulan lalu presentasi agroforestry di Sumberjaya dan Lombok, pejabat kehutanan menyatakan tidak bisa percampuran kehutanan dan pertanian, sehingga perlu ada kebijakan dan political will.

Mulyono (Perhutani Jawa Tengah) o Hasil yang telah dilakukan oleh Perhutani agar bisa dilakukan penelitian.

Perhutani memiliki KIAT (Kawasan Industri Agroforestry Terpadu) di Regaloh, Pati melalui pengembangan kapuk randu, singkong, jagung, sutra, madu, angon lebah yang bisa diteliti dari silvikultur dan ekonomi sehingga dapat mengusir para kapitalis dengan cara usaha agroforestry. Silakan melakukan penelitian di lokasi tersebut dengan judul bebas, bisa tentang kesejahteraan masyarakat, lingkungan, pendapatan daerah. Perlu pengembangan industri karena ada penyerapan tenaga kerja. Penelitian perlu dilakukan tidak hanya untuk mencari angka kredit.

o Lokasi Perhutani yang di Pati harus dilihat “Pengaruh KIAT terhadap tenaga kerja di Pati”, “Pengaruh KIAT terhadap perekonomian daerah”, semua dalam kerangka CAS (Corporate Agroforestry System) yang merangkum semua aspek.

o Saat ini pengembangan sapi perah. Agro tidak hanya tumbuh-tumbuhan tapi juga ternak, ikan, dan lain-lain. Sutra dan madu juga bisa menjadi obyek penelitian.

o Kebijakan Direksi Perum Perhutani mengarahkan ke ke industri agroforestry. Penelitian yang dilakukan baru ke arah budidaya. Potensi lokal adalah singkong yang diderivasi ke produk akhir menjadi tapioka dan mie sayur. Terdapat modified cassava flour (mocaf). Kemudian di Jawa Timur mengembangkan porang dengan derivasinya berupa bakso, siomay, mie, tahu, roti, brownies, lem kayu, dan kapsul. Dalam rangka pemberdayaan, bahan baku yang dibeli dari petani tidak berupa bahan mentah, tetapi berupa chip (bahan setengah jadi), sehingga ada nilai tambah bagi petani.

Handian (FKT IPB) o Praktek agroforestry dari segi tenurial kebanyakan ada di hutan produksi karena

dari segi legalitas masih bermasalah, dianggap hutan produksi oleh pemerintah, sedangkan oleh masyarakat dianggap tanah leluhur. Praktek agroforestry akan hancur kalau kawasan dipinjam pakaikan misalnya ke perkebunan atau pertambangan. Jangan sampai praktek agroforestry hilang.

Page 267: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 267

o Praktek dari segi perputaran tanaman atau rotasi padi. Sekarang padi campur karet dan untuk menanam padi suatu saat lahannya akan habis karena tidak bisa menanam lagi di bawah karet dan bisa jadi potensi pangan akan hilang. Ini perlu penelitian lebih lanjut. Potensi lahan sebagai penyedia padi akan hilang.

o Petani memperoleh pendapatan yang besar dari karet, tetapi mau menukarnya dengan kelapa sawit/ plasma dengan alasan untuk mendapat ahsil dari karet harus bekerja menyadap setiap hari sedangkan di sawit tidak harus bekerja setiap hari. Perlu adanya penelitian tentang pengambilan keputusan petani terhadap pengalihan usaha tersebut.

o Penelitian semua aspek agroforestry bisa menjadi bahan untuk mempengaruhi kebijakan.

Lukman (Perhutani Jawa Barat) o Penelitian tentang ekstraksi kalsium oksalat agar harga porang meningkat (dapat

ditindaklanjuti melalui kerjasama dengan Fakultas Farmasi UGM). o Penelitian dan pengembangan silvopastura bagi peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Petani Tuban mempunyai sapi tetapi ketika musim paceklik, terjadi ‘sapi makan sapi’ karena sapi dijual untuk membeli pakan sapi. Hal ini terjadi karena rumput kering, sehingga sapi yang ada kekurangan pakan ternak. Kemudian Perhutani membuat tanaman sela berupa rumput gajah di lahan Perum Perhutani. Dalam setahun dilakukan upaya untuk mempertahankan rumput gajah agar tidak dirusak masyarakat dan dapat menambah penghasilan petani. Melalui pendampingan akhirnya petani menyadari kalau rumput gajah dapat menghasilkan uang.

o KBM Agroforestry membawahi Pusbahnas (Pusat Perlebahan Nasional) yang lahir berdasarkan SK Menhut. Dapat dilakukan penelitian tentang perlebahan dan manfaatnya (termasuk propolis).

Hardjanto (FKT IPB) o Status riset agroforestry yang disusun BPTA dibangun dari 391 dokumen sebagai

rujukan. Sebenarnya masih banyak bidang sosek agroforestry di luar 391 dokumen tersebut. Jika masih banyak dokumen yang ditemukan, tidak harus dimasukkan lagi ke dalam RIPA ke depan.

o Dalam melakukan penelitian, perlu ada pembatas penelitian, sehingga rencana penelitian perlu membuat optimasi dari 2 sisi yang praktis yaitu: Kemanfaatan (yang mendesak untuk dilakukan) dan Anggaran. Penelitian ke depan perlu dipilah-pilah. Agroforestry menuntut sesuatu yang intensif, yang berbeda dengan budidaya kehutanan yang ekstensif, padahal tidak semua masyarakat menginginkannya. Oleh karena itu agroforestry akan tumbuh sangat baik bagi masyarakat yang terbiasa bekerja secara intensif. Agroforestry mempunyai kemampuan ekonomi yang luar biasa (dari segi investasi). Jangan sampai petani agroforestry berada dalam situasi tertekan yang dicaplok oleh kapitalis dan imperialis (seperti yang terjadi pada petani rotan). Sehingga penelitian tentang ‘kelembagaan‘ perlu terus digali dan dilakukan ke depan karena yang tertera dalam status riset ini lingkupnya baru seputar lembaga adat. Belum ada kelembagaan secara menyeluruh agar posisi petani semakin kuat.

o Dalam melakukan penelitian selalu ada pembatas termasuk birokrasi, sehingga perlu ada wacana tentang pemberian kebebasan bagi penelitian agar tidak tergantung pada birokrasi, kapitalis, dan imperialis. Perlu adanya reformasi di tubuh litbang, dari sekian kalimat rencana penelitian seharusnya ada yang mengekspresikan agar bisa bebas melakukan penelitian.

Page 268: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 268 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

Mahrus Aryadi (Universitas Lambung Mangkurat) o Praktek agroforestry sudah menjadi bagian yang turun-temurun dan menjadi

bagian dari hidup dan teknologi masyarakat Kalimantan. Di dalam status riset belum menyebutkan tentang kondisi konflik: tekanan dan tantangan terhadap lahan. Di Kalimantan terdapat pertentangan lahan dengan lahan sawit dan batu-bara. Kondisi konflik dan tantangan ini akan mempengaruhi agroforestry. Permasalahan utama di Kalimantan adalah status hak pengelola lahan. Program HKm dan Hutan Desa antusias ditangkap karena ada hak kelola bagi masyarakat, seperti HPH yang berhak mengelola dan menikmati hasilnya.

o Di Los Banos, Filipina sudah cukup maju teknologi agroforestrynya dan bisa menghitung potensi ekonomi jenis-jenis tanaman agroforestry dari luasan 0,25 ha hingga sekian ha. Penelitian mereka bisa diadopsi dan diterapkan di Indonesia.

o Keberadaan BPTA harus disosialisasikan ke Fahutan yang ada di Indonesia dan masuk dalam INAFE.

Dudi Iskandar (BPPT) o Penelitian tentang difusi teknologi penerapan agroforestry di masyarakat,

jejaring kerja dengan lembaga lain yang melakukan penelitian serupa, dan pendampingan dalam penerapan hasil penelitian.

o Beberapa tipe penelitian di Indonesia adalah temporary. Penerapan hasil penelitian di masyarakat perlu pendampingan secara terus-menerus agar tingkat keberhasilan penelitian tercapai dengan nilai tinggi. Praktek penerapan mix farming di Wamena, Papua memerlukan waktu 15 tahun.

o Jejaring kerja dalam melakukan penelitian, misalnya Kemenristek dan Kemenhut dengan mengembangkan tanaman pangan dan obat-obatan, jejaring kerja dalam pendanaan, dan jejaring kerja dalam penerapan hasil penelitian.

Soni Trison (FKT IPB) o Pertimbangan penelitian sosial adalah skala plot diubah menjadi skala bentang

alam, menyeluruh, aplikatif, dan menggunakan metode PAR (Participatory Action Research).

o Tema penelitian sosial agroforestry ke depan: 1) Strategi adaptasi dalam pengelolaan, misalnya terkait perubahan iklim, model pengambilan keputusan, 2) Aspek individu dan komunitas terkait dinamika kelompok tani, 3) Kelembagaan kolaboratif di masyarakat, 4) Kelembagaan penyuluh, perlu penguatan di berbagai daerah, 5) Manajemen konflik, 6) Pola adopsi, difusi, inovasi, dan 7) Fasilitasi masyarakat.

Kusmintarjo (BPTPTH Bogor) o Hasil-hasil penelitian lebih banyak tersimpan di laci. Penyebaran hasil penelitian

(diseminasi) harus ditingkatkan, tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi harus ada kegiatan yang menukik ke akar rumput.

Sumardono (Perhutani Jawa Tengah) o Kawasan bivoret (sumber pakan lebah) yang selama ini keberadaannya

terpencar-pencar, Pak Mulyono membuat kawasan bivoret 5 strata, yaitu: Tanaman pokok randu jarak tanam 10 m x 10 m, Tanaman duwet yang memiliki potensi bunga bagus, Tanaman pepaya yang memiliki potensi bunga untuk sumber pakan lebah sepanjang tahun, Tanaman kaliandra yang memiliki potensi bunga untuk sumber pakan lebah sepanjang tahun, dan Tanaman jagung sebagai tanaman tumpangsari bergantian dengan singkong jenis markonah yang panen pada umur 6-7 bulan.

o Penelitian BPTA harus diarahkan ke industri bukan lagi budidaya.

Page 269: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 269

M. Siarudin (BPTA) o BPTA perlu mengembangkan penelitian di bidang pengolahan hasil, di RIPA

perlu ada pengolahan hasil hutan tetapi hal ini terkendala keterbatasan SDM. Adanya beragam ide yang berkembang di luar semoga bisa tergarap. Perlu pengembangan teknologi sederhana yang bisa dikembangkan oleh petani. Di BPTA sendiri, SDMnya masih bolong-bolong, sehingga perlu melakukan jejaring kerja dengan pihak lain.

Retno Maryani (Puspijak/ ICRAF) o Status penelitian di makalah ini masih berupa agroforestry yang dilihat dari satu

entitas community tertentu, petani, atau desa tertentu, belum ada hubungannya dengan lingkungan dan hutan sekitarnya. Sehingga perlu kajian posisi agroforestry dalam konteks kehutanan secara keseluruhan, ada unsur kebijakan yang harus dibangun, dan diperkuat.

o Penelitian agroforestry dikaitkan dengan lingkungan dan kehutanan secara menyeluruh, penelitian kebijakan, penelitian jasa lingkungan agroforestry lebih lanjut, dan pemetaan lembaga yang melakukan penelitian agroforestry (terutama yang tercantum dalam status riset agroforestry).

Sri Lestari (BPK Palembang) o Perlu ada penelitian tentang diversifikasi produk agar ada hasil yang banyak bagi

masyarakat disesuaikan potensi lokal masyarakat (aplikatif untuk masyarakat). o Harapan ke depan: kami akan menginduk ke BPTA, sehingga harapannya bisa

melaksanakan kegiatan penelitian yang integratif dan berkelanjutan agar hasilnya bisa berbunyi. Semua hasil litbang harus bisa diaplikasikan, jangan dalam taraf pilot project. Integratif (dari aspek silvikultur, konservasi, sosial ekonomi, pemasaran, dan pengolahan hasil hutan) agar hasilnya berguna dan hasil akhirnya nyambung dan bisa diadopsi masyarakat, seperti yang terjadi pada porang di Jawa Timur. Yang berhasil harus bisa diadopsi di daerah yang tidak berhasil dan bisa dimanfaatkan masyarakat. Karena di lapangan seringkali muncul pertanyaan dari petani apakah hasil penelitian ini dapat menghasilkan uang atau tidak.

Page 270: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 270 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

DAFTAR PESERTA WORKSHOP STATUS RISET DAN RENCANA INDUK PENELITIAN AGROFORESTRY

IPB ICC BOGOR, 12 DESEMBER 2011

No Nama Instansi

1 A. Ngaloken Gintings MKTI

2 A. Syaffari Kosasih Pusprohut

3 Achmad Reva F. Dishutbun Banten

4 Adang Sopandi BPTPTH

5 Adi Susmianto Puskonser

6 Agatha Susilowati Setbadan Litbang

7 Ahmad Gadang BPTSTM

8 Ahmad Junaedi BPTSTH Kuok

9 Aji Winara BPTA

10 Amir Wardhana BBPBPTH Yogyakarta

11 Anas Badrunasar BPTA

12 Andreas Terapi BPTSTH Kuok

13 Arif Nirsatmanto BPK Manokwari

14 Aris Sudomo BPTA

15 Ary Widiyanto BPTA

16 Asep Rohandi BPTA

17 Atik R.S. Di BUHT

18 Baharuddin BPK Makassar

19 Bambang Tri Hartono Pusprohut

20 Banjar Y. Laban Pusdalreg I

21 Bintarto W. Pusprohut-Evlap

22 Bondan Winarno BPK Palembang

23 Budiadi UGM

24 Budiman BPTA

25 Choirul A. Setbadan Litbang

26 D. Hidayat BBKSDA

27 Dadang M. BPTA

28 Dadang Pratikto Perhutani

29 Daniel Itba Unlam

30 Deddy Suhartrislakhadi Pusdiklat Kehutanan

31 Dede Rohadi Puspijak

32 Dedi Hendrawan Dishut Jabar

33 Desy Ekawati Pusprohut-PDELHP

34 Devy P. Kuswantoro BPTA Ciamis

35 Dewi Maharani BPTA

36 Dewi Winarsih BBPBPTH Yogyakarta

37 Dharmawan Pathi BPTA

38 Dian Diniyati BPTA

Page 271: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

Prosiding Workshop ____________________________________________________________________________________

Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry 271

No Nama Instansi

39 Diana Kusumawardhana BPTA Ciamis

40 Diki Hendarsah BPTA

41 Dila Swestiani BPTA

42 Dodi R.W. Dishutbun Banten

43 Dudi Iskandar BPPT

44 Edy Junaidi BPTA

45 Encep Rachman BPTA Ciamis

46 Endah Suhaendah BPTA

47 Endang Karlina P3konser

48 Enka Hendra Pusdal 4

49 Enny Widyati Pusprohut

50 Eva Fauziyah BPTA

51 Eva Prihatiningtyas Fahutan Unlam

52 Fatimah Ahmad IPB Mahasiswa Pasca

53 Gita Ardia K. Pusdal 3

54 Gugi Darusman BPTA Ciamis

55 Gunawan BPTA

56 Gunawan HR BBPBPTH Yogyakarta

57 Hadi S. Arifin IPB

58 Handian P. Fahutan IPB

59 Hardjanto Fahutan IPB

60 Hariyatno Puspijak

61 Harry BS BPTA Ciamis

62 Herry Prijono Ditjen BUK

63 Hesti Lestari P3KR/ ICRAF

64 Idin S. Ruhimat BPTA

65 Illa Anggraini Pusprohut

66 Kirsfianti Ginoga Puspijak

67 Kurniatun Hairiah Unibraw-Malang

68 Kusmintardjo BPTPTH-Bogor

69 Levina A.G.P. BPTA

70 Lukman Hakim Perhutani Jabar

71 M. Siarudin BPTA

72 M. Yamin Mile BPTA

73 M. Zanzibar BPTPTH

74 Mahrus Aryadi Unlam

75 Ma'mun Sarma IPB

76 Mardiansyah BPK Makassar

77 Meine van Noordjwik ICRAF

78 Misto BPK Aek Nauli

79 Mulyono Perhutani

80 Murniati Puskonser

Page 272: AGROFORESTRY: SEBUAH ARAH RISET...terhadap petani untuk menanam tanaman palawija tertentu yang mungkin menjadi andalan petani, dan pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari, adalah

_____________________________________________________________________________________ Prosoding Workshop 272 Status Riset dan Rencana Induk Penelitian Agroforestry

No Nama Instansi

81 Nedi R. BPTPTH

82 Neo E. Lelana Pusprohut

83 Nining W. BPK Solo

84 Novri Sisfanto BPTSTH Kuok

85 Nur Sumedi BPT KSDA Samboja

86 Nurheni Wijayanto Fahutan IPB

87 Pipin Permadi Pusprohut

88 R. Dedi H. BPTA

89 R. Sunaryanto Pusdiklat Kehutanan

90 Retno Maryani Puspijak

91 Riris Deriati BBPBPTH Yogyakarta

92 Rita Marsi Pusat Pelayanan Penyuluhan

93 Rosita D. Pusprohut

94 Rufiie B2PD Samarinda

95 Rusdi BPTA

96 Sambas Sabarnurdin UGM

97 Sanudin BPTA

98 Slamet BPTA

99 Soleh M. BPTA

100 Soni Trison Fahutan IPB

101 Sri Lestari BPK Palembang

102 Sri Purwaningsih BPTA

103 Sri Waryanti Dinhut Jateng

104 Sumardono Perhutani Unit I Jateng

105 Sunarti BPTA

106 Suyanto ICRAF

107 Suyarno BPTA

108 Syahrul Donie Pusprohut

109 Tati Rostiwati Pusprohut

110 Titi Muktisari BPTA Ciamis

111 Tri Sulistyati W. BPTA

112 Triyono BPTA

113 Tuti Herawati Pusprohut

114 Udin Saefudin BPTA

115 Ujjwal Pradhan ICRAF

116 Uus Danu K. Setbadan Litbang

117 Waswid BPTA Ciamis

118 Wuri H. BPTA

119 Yadi Hariyanto BPT HHBK

120 Yonky Indrajaya BPTA