PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

100
1 PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN KERING DI BALI SELATAN I I MADE SUKERTA PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN KERING DI BALI SELATAN Penulis: I Made Sukerta ISBN : 978-623-91014-2-8

Transcript of PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

Page 1: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

1

PE

NG

EM

BA

NG

AN

PE

RT

AN

IAN

TU

MPA

NG

SA

RI

PA

DA

LA

HA

N K

ER

ING

DI B

ALI S

ELA

TA

N

I I M

AD

E S

UK

ER

TA

PENGEMBANGAN PERTANIAN

TUMPANGSARI PADA LAHAN

KERING DI BALI SELATAN

Penulis:

I Made Sukerta

ISBN : 978-623-91014-2-8

Page 2: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

ii

Page 3: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

iii

Page 4: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

iv

Page 5: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

v

PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN

KERING DI BALI SELATAN

Cetakan Pertama Januari 2020

18 x 25 cm , viii +

ISBN : 978-623-91014-2-8

Penulis I Made Sukerta

Editor

Soemarno

Cover:

Putu Noah Aletheia

Diterbitkan Oleh CV. Noah Aletheia

Jl. Tegalsari Gg. Koyon. No. 25 D. Banjar Tegalgundul Desa Tibubeneng, Kec. Kuta Utara, Kab. Badung Bali Indonesia.

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian buku ini

Page 6: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

vi

KATA PENGANTAR

Pengembangan usaha tani lahan kering di Indonesia menghadapi

berbagai kendala, baik kendala sosial-ekonomi maupun kendala biofisik seperti

rendahnya kesuburan tanah dan keterbatasan ketersedian lengas-tanah dalam

setahun. Oleh karena itu, ketersediaan lengas-tanah menjadi faktor penting dalam

pengelolaan pertanian lahan kering. Ketersediaan lengas-tanah di lahan kering

ditentukan oleh curah hujan dan kemampuan tanah menahan air. Peluang untuk

meningkatkan produksi tanaman pada pertanian lahan kering ditekankan upaya

untuk memaksimalkan produksi per unit air. Selain itu suhu yang tinggi, curah

hujan yang tidak terdistribusi merata, serta kerentanan tanah terhadap erosi akan

menambah kompleksitas permasalahan.

Lahan kering di Bali menempati areal yang sangat luas, dari luas wilayah

563.666 ha, sekitar 274.755 ha merupakan lahan kering. Wilayah Bali Selatan,

termasuk kabupaten Badung seluas 18.004 ha, seluruhnya merupakan lahan

kering, dengan potensi lahan termasuk lahan marginal. Potensi yang demikian

besar harus dimanfaatkan produksi pertanian, khususnya untuk memenuhi

kebutuhan pangan.

Perhitungan kebutuhan air tanaman untuk lahan kering di wilayah Bali

Selatan diharapkan dapat membantu dalam pembuatan kebijakan dan

perencanaan di wilayah Bali Selatan tentang cara yang efektif dalam penggunaan

sumberdaya air yang terbatas guna menunjang ketahanan pangan dan pelestarian

lingkungan. Petani sangat membutuhkan informasi yang dapat membantu dalam

hal penggunaan air hujan yang lebih efektif, salah satunya dengan menepatkan

fase pertumbuhan tanaman dengan masa hujan atau ketersediaan air tanah.

Denpasar,

Tim Penyusun

Page 7: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

vii

DARTAR ISI

SAMPUL i

SAMPUL DALAM iii

HALAMAN PENGESAHAN v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI vii

I. PENDAHULUAN II. KONDISI IKLIM DAERAH BALI SELATAN

2.1 Karakteristik Iklim Daerah Bali 2.2 Pentingnya Iklim dalam Sistem Pertanian 2.3 Sifat Fisik Tanah, Ketersediaan Air dan Infiltrasi 2.4 Potensi Lahan Kering 2.5 Tipologi Lahan Kering 2.6 Syarat Tumbuh Tanaman 2.7 Siklus dan Keseimbangan Air 2.8 Kebutuhan Air Tanaman 2.9 Pola Tanam 2.10 Nilai Ekonomi Tanaman 2.11 Model CropWat for Windows

III. KONSEP PENGEMBANGAN LAHAN KERING IV. METODE PENGEMBANGAN LAHAN KERING 4.1 Tempat Pengembangan Lahan Kering 4.2 Persiapan Pengembangan Lahan Kering 4.3 Tahap Pengembangan Lahan Kering V. HASIL PENGEMBANGAN LAHAN KERING 5.1 Observasi Daerah Pengembangan Lahan Kering 5.2 Neraca Air Wilayah (Metode Thorntwaite-Mather) 5.3 Simulasi Neraca Air dengan CropWat for Windows 5.4 Percobaan Lapangan 5.5 Analisis Pola Tanam 5.6 Pembahasan Umum VI. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA

1

5 5 6 11 16 17 18 19 24 25 27 27

29

32 32 32 33

44 44 46 48 50 69 75

85

Page 8: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

1

BAB I.

PENDAHULUAN

Pengembangan usahatani lahan kering di Indonesia menghadapi berbagai kendala,

baik kendala sosial-ekonomi maupun kendala biofisik seperti rendahnya kesuburan tanah dan

keterbatasan ketersediaan lengas-tanah dalam setahun. Oleh karena itu, ketersediaan lengas-

tanah menjadi faktor penting dalam pengelolaan pertanian lahan kering. Ketersediaan lengas-

tanah di lahan kering ditentukan oleh curah hujan dan kemampuan tanah menyimpan air

(Yonky et al., 2003).

Peluang untuk meningkatkan produksi tanaman pada pertanian lahan kering

ditekankan upaya untuk memaksimalkan produksi per unit air. Terdapat hubungan antara

kebutuhan air tanaman dan hasil (Al-Jamal et al., 1999 dan Rockstron, 2001). Hubungan

antara jumlah air yang diberikan dan hasil suatu tanaman adalah sangat kompleks, menurut

Upton (1996) dapat bervariasi dalam frekwensi dan intensitasnya. Selain itu, suhu yang tinggi,

curah hujan yang tidak terdistribusi merata, serta kerentanan tanah terhadap erosi akan

menambah kompleksitas permasalahan. Kendala sosial ekonomi yang sangat menentukan

pengembangan lahan kering antara lain kemiskinan, kebodohan dan lemahnya infrastruktur

(Agung, 2005).

Menurut Munandar (1994) kendala utama dalam berusaha tani di lahan kering karena

tidak tersedianya sumber air yang pasti pada saat diperlukan, hal ini menyebabkan sering

terjadi gagal panen, rendahnya hasil panen karena petani umumnya sulit melaksanakan

intensifikasi, intensitas tanam yang rendah, pola tanam yang cenderung monokultur. Sebagai

akibat dari produktivitas lahan yang rendah maka pendapatan petani juga rendah sehingga

tingkat kesejahteraannya rendah. Dengan kondisi demikian para petani tidak mampu

menggunakan input produksi yang cukup. Pengetahuan dan ketrampilan petani rendah,

menyebabkan mereka sulit dalam melaksanakan teknologi pertanian maju. Lebih lanjut Agung

(2006) dan Munandar (1994) menjelaskan bahwa partisipasi petani dalam usaha

pengembangan pertanian yang rendah menyebabkan terbatasnya sarana dan prasarana

usaha tani yang ada.

Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu

pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam

semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia

(Yonky et al., 2003). Akibatnya, sumberdaya alam semakin langka dan semakin menurun

kualitas dan kuantitasnya.

Tanah dan air sebagai sumberdaya vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan

tidak luput pula dari degradasi tersebut baik secara fisik maupun kimia. Hal ini disebabkan

oleh beberapa faktor seperti pencemaran, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian

ekosistem, dan berubahnya fungsi kantong-kantong air. Lebih jauh lagi, kegiatan

pembangunan berdampak pada meningkatnya erosi. Erosi dapat menurunkan produktivitas

Page 9: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

2

lahan pada tempat terjadinya (onsite) dan juga meningkatkan sedimen pada daerah di hilirnya

(offsite) (Asdak, 1995).

Pemanfaatan sumberdaya tanah dan air dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas

hidup dan kesejahteraan manusia, namun kadangkala dilupakan upaya untuk terus

menjaganya agar tidak rusak. Bencana banjir, kekeringan, dan tanah longsor yang akhir-akhir

ini terjadi di Indonesia menunjukkan indikasi adanya pemanfaatan sumberdaya tanah dan air

yang kurang bijaksana (Asdak, 1995 dan Merit, 2005). . Eksploitasi tanah dengan menanam

jenis-jenis tanaman tertentu yang tidak sesuai, kegiatan penambangan, kurangnya kesadaran

untuk konservasi dan faktor-faktor lainnya mendorong tanah semakin terdegradasi. Tanah

yang terdegradasi dapat berdampak pada kuantitas, kualitas, dan kontinuitas ketersediaan air

(Yonky et al., 2003 dan Agung, 2006).

Lahan kritis sulit untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian yang produktif karena

keterbatasan-keterbatasan lahan kritis itu sendiri. Pada wilayah yang lahannya telah rusak sulit

untuk menjaga kecukupan air tanah, yang berakibat pada sulitnya mendapatkan air pada saat

musim kemarau. Tanah rusak tidak dapat menyimpan air di waktu musim hujan, sehingga

hujan yang terjadi sebagian besar menjadi aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi

permukaan (Buckman dan Brady, 1982).

Menurut data BPS tahun 2009 total luas lahan pertanian di Indonesia adalah sekitar

73,4 juta ha. Dari jumlah itu, sekitar 65,7 juta ha (90,5%) berupa lahan kering dan sekitar 7,7

juta ha (9,5%) lahan sawah. Untuk lahan kering rinciannya adalah: lahan kering yang berupa

tegal, kebun, ladang, ataupun huma sekitar 14,9 juta ha, perkebunan besar (swasta dan

BUMN) 19,6 juta ha, pekarangan sekitar 5,6 juta ha, tambak/kolam/tebat sekitar 760 ribu ha,

dan lainnya (ditanami kayu dan atau sementara tak diusahakan serta padang rumput) 2,9 juta

ha. Areal lahan kering yang sangat luas itu merupakan sumberdaya yang cukup besar, namun

hingga saat ini belum seluruhnya dapat diberdayakan secara optimal (Agung, 2006).

Lahan kering di Bali menempati areal yang sangat luas, dari luas wilayah 563.666 ha,

sekitar 274.755 ha merupakan lahan kering (Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan

Propinsi Bali, 2009). Wilayah Bali Selatan, termasuk Kabupaten Badung seluas 18.004 ha,

seluruhnya merupakan lahan kering, dengan potensi lahan termasuk lahan marginal. (Laporan

Statistik Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Badung, 2009). Potensi yang demikian

besar harus dimanfaatkan produksi pertanian, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Berdasarkan ketersediaan sumber air menurut Munandar (1994), tipologi lahan kering

dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Lahan kering dengan sumber airnya hanya berasal dari

air hujan; (2) Lahan kering dengan potensi sumber air tanah (dangkal, menengah atau dalam)

dan air hujan; (3) Lahan kering dengan potensi sumber air permukaan termasuk curah hujan

(diantaranya sungai/saluran drainase, danau, mata air yang muncul dipermukaan tanah dsb);

(4) Lahan kering dengan potensi sumber air tanah dan sumber air permukaan; dan (5) Lahan

kering dengan potensi sumber air tanah/air permukaan yang telah dikembangkan, tetapi

karena sesuatu hal tidak terjangkau oleh air irigasi tersebut.

Daerah Bali umumnya memiliki musim hujan yang lebih panjang dari pada musim

kemaraunya, dengan rata-rata puncak curah hujan terjadi pada

Page 10: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

3

bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Berdasarkan tinjauan tipe iklim menurut

Oldeman, disebutkan bahwa di propinsi Bali hampir semua pesisir utara, timur, sebagian

pantai barat, mulai dari Gilimanuk, Banyuwedang, Celukan Bawang, Seririt, Buleleleng,

Kubutambahan, Kubu, Banjarbunutan, Padangbai sampai ke Sanur bertipe iklim D3 (Bulan

basah = 3-4 bulan, Bulan kering = 4-6

bulan),kecuali untuk Tejakula yang bertipe D4 (Bulan basah = 3-4 bulan, Bulan kering = 7-9

bulan), sedangkan Bali selatan sebagian besar bertipe C3 (Bulan basah = 5-6 bulan, Bulan

kering = 4-6 bulan) kecuali pantai Kuta bertipe C4 (Bulan basah = 5 bulan, Bulan kering = 7

bulan) dan Dawan bertipe E4 (Bulan basah = 0-2 bulan, Bulan kering = 7-9 bulan) (BMKG,

2006). Distribusi curah hujan dari tahun 1990-2009 dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Jenis tanaman yang diusahakan di Bali Selatan adalah jagung varietas Arjuna, kacang

kedelai varietas Wilis, kacang tanah varietas Kelinci dan ubikayu varietas Muara. Hasil jagung

5,64 ton ha-1 pipilan kering, kacang tanah 0,72 ton

ha-1 biji kering, kacang kedelai 1,38 ton ha-1 biji kering dan ubikayu 38,20 ton ha-1 umbi segar.

Hasil tersebut masih tergolong rendah dibandingkan potensi hasilnya, masing-masing 6 ton

ha-1 pipilan kering, 2,5 ton ha-1 biji kering, 1,62 ton ha-1 biji kering dan 200 ton ha-1 umbi segar

(Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Badung, 2009).

Petani hanya dapat menanam sekali setahun secara tumpangsari. Apabila melakukan

penanaman dua kali, tanaman yang ke dua sering gagal panen karena kurang air (Santosa,

2006). Penanaman pada musim tanam ketiga sama sekali belum pernah dilakukan oleh petani

karena resiko gagal panen sangat besar. Petani lahan kering sebagian besar hanya

menggunakan tanaman semusim pada musim hujan (Baharudin, 1997).

Gambar 1.1. Distribusi curah hujan dari tahun 1990-2009, pada

pengamatan di stasiun meteorology Ngurah Rai

Page 11: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

4

Pola pergiliran tanaman yang ada sekarang adalah ubikayu, jagung+ kacang tanah) –

bera, ubikayu, jagung+kacang kedelai – bera. Masalah kekurangan air terjadi pada musim

tanam ke dua dan ke tiga (Santosa, 2006). Perencanaan pola tanam yang sesuai dengan

kualitas lahan dan efisiensi air sangat diperlukan untuk dapat memanfaatkan air secara

optimal.

Perhitungan kebutuhan air tanaman untuk lahan kering di wilayah Bali Selatan

diharapkan dapat membantu dalam pembuatan kebijakan dan perencanaan di wilayah Bali

Selatan tentang cara yang efektif dalam penggunaan sumberdaya air yang terbatas guna

menunjang ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan. Petani sangat membutuhkan

informasi yang dapat membantu dalam hal penggunaan air hujan lebih efektif. Contohnya

dengan menepatkan fase pertumbuhan tanaman dengan masa hujan atau ketersediaan air

tanah (Prijono, 2008).

Usahatani di lahan kering dihadapkan pada kendala yang lebih kompleks diantaranya

curah hujan yang sering tidak menentu sehingga mengalami resiko terjadinya kekeringan.

Pada umumnya status kesuburan tanahnya tergolong rendah yang berakibat pada rendahnya

produktivitas lahan.

Wilayah penelitian merupakan lahan kering, terkait dengan kondisi lahan dan

agroklimat yang ada, perlu diketahui potensi lahannya untuk pengembangan pertanian ke

depan, khususnya terhadap tanaman lebih menguntungkan. Pengembangan tanaman baru

saat ini, belum dilakukan oleh petani. Dalam hubungan ini perlu ada penelitian untuk

mengetahui kecukupan air tanah untuk tanaman, baik melalui percobaan langsung di lapangan

maupun dengan simulasi.

Tanaman yang diusahakan petani saat ini adalah tanaman semusim (jagung, kacang

tanah, kacang kedelai dan ubikayu). Untuk itu perlu pengusahaan yang lebih intensif termasuk

penentuan waktu tanam dan penerapan pola pergiliran tanaman yang sesuai.

Masalah yang ada di lapangan yang perlu untuk dianalisis adalah hal-hal berikut: (1)

Suitabilitas lahan kering, (2) Neraca air pada lahan kering, (3) Kebutuhan air tanaman, (4)

Penentuan waktu tanam dan penyusunan pola tanam, (5) Analisis pola tanam.

Budidaya pertanian ke depan sudah tentu akan lebih intensif. Dalam hubungan ini ada

lima aspek mendasar yang hendaknya dapat dipenuhi, yaitu (1) Secara teknis bisa

dilaksanakan oleh masyarakat dan sesuai dengan kondisi agroekologis setempat, (2) Secara

ekonomis menguntungkan pada kondisi tatanan ekonomi wilayah pedesaan, (3) Secara sosial

tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (4) Ramah dan aman bagi

lingkungan dan (5) Mampu membuka peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi

wilayah secara berkelanjutan (Setyaningsih dan Sumarno, 2009).

Page 12: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

5

BAB II

KONDISI IKLIM DAERAH BALI SELATAN

2.1. Karakteristik Iklim Daerah Bali Selatan

Secara geografis Pulau Bali terletak pada posisi 8° 03‘ 40” – 8° 50’ 48” LS dan 114°

25’ 53” - 115° 42’ 40” BT, di sebelah utara berbatasan dengan Laut Bali, di sebelah timur

dengan Pulau Lombok, di sebelah selatan dengan Samudera Indonesia dan di sebelah barat

dengan Pulau Jawa (BMG, 2007). Pulau Bali yang dikelilingi oleh laut memiliki topografi yang

bervariasi, umumnya bagian pinggir atau sepanjang sisi pulaunya merupakan dataran rendah

(pantai), sedangkan bagian tengahnya memiliki topografi yang lebih tinggi dengan terdapatnya

gunung-gunung seperti Gunung Agung, Gunung Batur dan dataran tinggi lainnya.

Kondisi iklim di Pulau Bali secara umum dipengaruhi oleh aktivitas monsun. Ketika

monsun dingin Asia berlangsung, angin-barat mendominasi wilayah Bali dan pada saat ini

berlangsung musim hujan. Ketika monsun dingin Australia berlangsung, angin timur

mendominasi wilayah Bali dan pada saat ini berlangsung musim kemarau (Kadarsah, 2007).

Wilayah Bali merupakan suatu kesatuan wilayah yang terdiri dari satu pulau dan dikelilingi oleh

perairan yang berbatasan dengan laut lepas atau samudera. Kondisi iklim bervariasi menurut

zona (daerahnya), perbedaan ini disebabkan oleh bentuk orografik dari masing-masing zona.

Faktor pembentuk pola iklim suatu zona adalah bentuk orografik yang ada di zona

bersangkutan (BMG, 2007). Pola iklim di dataran tinggi berbeda dengan di dataran rendah

dan daerah pesisir pantai.

Pulau Bali secara klimatologis memiliki dua pola musim, yaitu musim hujan dan musim

kemarau. Umumnya musim hujan lebih panjang daripada musim kemaraunya. Karakteristik

pola hujannya adalah monsunal, dalam periode satu tahun memiliki satu puncak curah hujan

maksimum yang umumnya terjadi pada bulan Januari dan satu puncak curah hujan minimum

yang umumnya terjadi pada bulan Agustus (BMG, 2007). Puncak curah hujan maksimum di

Pulau Bali terjadi pada saat musim monsun barat (angin barat), sedangkan puncak curah hujan

minimum terjadi pada saat musim monsun timur (angin timur).

Musim hujan di Pulau Bali tergantung pada aktifitas fenomena di atmosfer baik secara

global maupun regional. Seperti misalnya, ketika terbentuknya siklon tropis di sekitar Australia

bagian barat dan utara maka kejadian hujan di Bali cenderung terjadi dalam periode yang lama

dan berkelanjutan, bahkan pada kasus yang ekstrim kejadian hujan bisa sampai seharian

penuh dengan intensitas ringan sampai lebat disertai angin kencang (BMG, 2007). Ketika

aktifitas fenomena global dan regional tersebut lemah, maka kejadian hujan cenderung

didominasi oleh faktor lokal saja. Pada keadaan seperti ini, biasanya hujan terjadi dalam

intensitas ringan dan keadaan cuaca cerah sampai berawan pada siang hari di sebagian

wilayahnya. Hujan di sekitar daerah-daerah pantai umumnya terjadi pada malam hari sampai

menjelang pagi, sedangkan di daerah yang lebih tinggi datarannya atau daerah pegunungan,

hujan umumnya terjadi pada pagi menjelang siang atau pada sore hari (Kadarsah, 2007).

Page 13: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

6

2.2 Pentingnya Iklim dalam Sistem Pertanian

Produksi tanaman merupakan fungsi tanah, iklim, pengelolaan dan perlindungan (Bey

dan Las, 1991). Ketersediaan hara, lengas tanah, dan sifat-sifat tanah lainnya merupakan

faktor-faktor yang menentukan kualitas tanah dalam produksi tanaman (Islami et al., 1995).

Penggunaan lahan yang optimal memerlukan kesesuaian agroteknologi dengan karakteristik

dan kualitas lahannya. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk

penggunaan tertentu (Djaenuddin et al. 2003). Iklim merupakan komponen agroekosistem

yang terbuka, sangat dinamis, sulit dimodifikasi, dengan demikian diperlukan suatu

pendekatan yang agak berbeda dengan komponen agroekosistem lain yang dapat dilakukan

dalam dua arah, menyesuaikan atau disesuaikan (dimodifikasi). Titik tolak pendekatan ini

adalah “ menyesuaikan sistem usaha tani dengan keadaan dan sifat iklim” (Ahmad dan Irsal,

1991). Lebih lanjut dijelaskan bahwa curah hujan sebagai faktor produksi dalam sistem iklim

merupakan sumber air utama bagi tanaman pada lahan kering.

Tanaman membutuhkan jumlah air yang cukup untuk dapat tumbuh dan berproduksi

optimal; kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan dan menurunkan produksi (Agung,

2006). Proses fisika, kimia dan biologi di dalam tanah dan proses fisiologis tanaman tidak akan

dapat berlangsung secara optimal tanpa ketersediaan air yang cukup. (Scholes, et al., 1994).

Hal ini disebabkan karena air memegang peranan yang sangat vital bagi tanaman.

Menururt Morison et al. (2008), interaksi antara tanaman dan lingkungan tumbuhnya

melibatkan aspek-aspek genetik dan aspek lingkungan. Air merupakan faktor lingkungan

tumbuh yang sangat penting, “produktivitas air” menjadi hal penting yang harus

dipertimbangkan dalam upaya melestarikan sistem produksi tanaman. Hasil tanaman

sugarbeet sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air di lingkungan tumbuhnya. Model

penggunaan air oleh tanaman sugarbeet ini menunjukkan hubungan yang erat antara hasil

tanaman dengan input air , hasil tanaman dengan evaporasi, hasil relative dengan evaporasi

relative tanaman (Wright et al., 1997).

Efisiensi penggunaan air (WT) merupakan parameter yang sangat penting dalam

sistem produksi tanaman pertanian lahan kering, indikatornya adalah rasio laju asimilasi CO2

dengan laju transpirasi di stomata. Hasil penelitian Condon et al. (2002) menunjukkan bahwa

hubungan antara hasil tanaman dengan WT tergantung pada dampak WT terhadap laju

pertumbuhan tanaman, laju penggunaan air oleh tanaman, interaksi pertumbuhan tanaman

dengan penggunaan airnya. Efisiensi penggunaan air oleh tanaman tersebut ternyata sangat

ditentukan oleh simpanan air tersedia dalam subsoil selama periode kering tidak ada hujan.

Efisiensi penggunaan air oleh tanaman dipengaruhi oleh suhu udara dan konsentrasi CO2

udara. Kalau konsentrasi CO2 udara mendekati 600 ppm, hasil jagung meningkat sebesar

12% dan efisiensi penggunaan airnya juga meningkat 25% (Guo et al., 2010).

Air merupakan sumberdaya yang menjadi faktor pembatas dalam sistem produksi

tanaman di suatu lokasi; efisiensi sangat rendah sekitar 30–40 %, sehingga sekitar 60–70 %

air irigasi hilang selama penyaluran dan aplikasinya. Oleh karena itu menjadi sangat penting

untuk memperbaiki efisiensi penggunaan air dalam sistem pertanian lahan kering, dimana

ketersediaan air sangat terbatas. Menurut Singh et al. (2012), beberapa upaya untuk

memperbaiki efisiensi penggunaan air adalah seleksi kultivar tanaman, pengaturan pola

Page 14: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

7

tanam, konservasi lengas tanah, penggunaan barier vegetatif, dan penggunaan –bahan

pengendali transpirasi.

Karaktersitik pergerakan lengas tanah, infiltrasi air hujan, simpanan lengas tanah

dalam zone perakaran tanaman, menentukan ketersediaan lengas tanah bagi tanaman dan

efisiensi penggunaan air dalam sistem produksi tanaman. Hubungan antara lengas-tanah

dengan tanaman ini sangat dipengaruhi oleh pola tanam dan pengolahan tanah. Analisis

neraca lengas-tanah melibatkan parameter curah hujan, perubahan simpanan lengas dalam

profil tanah, dan pergerakan air kapiler dari bawah zone perakaran tanaman. Hasil penelitian

Mulebeke et al. (2010), menunjukkan bahwa perubahan lengas-tanah selama empat minggu

pertama setelah tanam tidak berbeda di antara pola tanam.

Efisiensi penggunaan air (WUE) oleh tanaman pertanian dapat diartikan sebagai rasio

antara hasil tanaman dengan jumlah air yang diaplikasikan. Oleh karena itu diperlukan

perubahan konsepsional dari memaksimumkan produktivitas per satuan luas lahan menjadi

memaksimumkan produktivitas per unit air yang dikonsumsi. Menurut Pascale et al. (2011),

untuk memaksimumkan WUE, diperlukan upaya-upaya konservasi air-tanah dan upaya-upaya

memaksimumkan pertumbuhan tanaman. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk

mengoptimumkan kondisi lingkungan tumbuh tanaman adalah pengaturan waktu tanam dan

waktu panen secara tepat, pengolahan tanah, pemupukan, dan pengelolaan hama-penyakit

tanaman. Penerapan teknologi budidaya tanaman seperti ini biasanya dapat memperbaiki

efisiensi pengelolaan air dalam produksi tanaman .

Efisiensi penggunaan air (WUE) dianggap sebagai determinan penting yang

menentukan hasil tanaman pada kondisi cekaman air. Efektivitas penggunaan air (WUE)

mencerminkan penyerapan lengas-tanah secara maksimum untuk transpirasi, yang juga

mellibatkan minimum transpirasi non-stomata dan minimum evaporasi muka tanah. Biasanya

kondisi cekaman lengas-tanah terjadi pada fase pertumbuhan reproduktif, sehingga dapat

menurunkan indeks-panen. Parameter EUW seringkali dijadikan target dalam program

pemuliaan tanaman dalam kondisi cekaman lengas-tanah. Menurut Blum (2009), nilai WUE

yang tinggi dapat dicapai dengan nilai EUW yang rendah.

Kebutuhan air tanaman (CWR) sangat menentukan dalam efisiensi pengelolaan air

pertanian. Kebutuhan air tanaman pada fase pertumbuhan tertentu dapat diestimasi sebagai

penggunaan air konsumtif di antara dua irigasi berurutan pada saat lengas-tanah tidak

membatasi evapotranspirasi (evapotranspirasi actual (ETa) mencapai laju maksimumnya.

Menurut Sir Elkhatim et al. (2007), CWR sangat tergantung pada kondisi lingkungan tumbuh

tanaman, biasanya berhubungan dengan evapotranspirasi potensial (ETo) yang dapat diukur

langsung atau diestimasi dengan perhitungan.

Nilai CWR pada suatu fase pertumbuhan tertentu dapat diestimasi dengan rumus:

CWR=Kc*ETo

dimana Kc adalah konstante yang menghubungkan CWR dengan ETo dan seringkali disebut

sebagai faktor tanaman atau koefisien tanaman.

Page 15: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

8

Produktivitas air dalam system pertanian lahan kering dipengaruhi oleh pengolahan

tanah dan pola pergiliran tanaman. Hasil penelitian Noellemeyer et al. (2013) menunjukkan

bahwa tanpa-olah tanah menghasilkan produktivitas air yang lebih tinggi, respon tanaman

serealia lebih tinggi (jagung +1,0 kg ha-1 mm-1) dibandingkan dengan kedelai (+0,5 kg ha-1 mm-

1). Tanaman serealia ternyata lebih efisien (jagung 9,8 kg ha-1 mm-1) dibandingkan dengan

kedelai (2,4 kg mm-1). Oleh karena itu disarankan menerapkan kombinasi antara teknologi

tanpa-olah-tanah dengan jenis-jenis tanaman yang efisien air.

Penerapan teknologi pengolahan tanah ternyata mempengaruhi neraca lengas-tanah,

efisiensi penggunaan air hujan, dan hasil tanaman. Hasil penelitian Ke Jin et al. (2007)

menunjukkan bahwa teknologi konservasi tanah dan air selama periode “bera” sangat

mempengaruhi hasil tanaman gandum. Subsoiling dengan mulsa permukaan ternyata mampu

meningkatkan efisiensi simpanan air hujan dalam tanah dan memperbaiki efisiensi

pemanfaatan air hujan, serta hasil tanaman yang paling baik. Nilai efisiensi simpanan air hujan

dalam tanah tidak dapat melebihi 41,6%, karena tingginya nilai evapotranspirasi.

Hasil penelitian Weldeslassie, et al. (2011) menunjukkan bahwa olah-tanah

bedengan-permanen (PB) dapat memperbaiki simpanan lengas dalam tanah. Teknologi

usahatani-konservasi (CA) yang mengkonservasi air selama masa pertumbuhan tanaman,

dapat memperbaiki hasil tanaman gandum dan barley. Hasil biomasa tanaman lebih tinggi

pada agroteknologi bedengan permanen (PB), hal ini membuktikan bahwa teknologi ini

mampu mengatasi efek cekaman air-tanah yang durasinya pendek. Secara keseluruhan

penerapan teknologi bedengan permanen (PB) ini dapat memperbaiki efisiensi simpanan air

hujan dalam tanah, efisiensi penggunaan air hujan oleh tanaman, dan hasil tanaman.

Penyesuaian waktu tanam dengan teknologi bedengan permanen (PB) ini masih mungkin

dilakukan untuk mendapatkan hasil tanaman yang lebih baik (Weldeslassie, et al., 2011).

Menurut Bey dan Las (1991), secara fisiologis air merupakan kebutuhan vital bagi

tanaman, karena: (1) Air merupakan bagian terbesar dari protoplasma, lebih dari 90% berat

total tanaman segar adalah air; (2) Air sebagai media pelarut berbagai senyawa (bahan) kimia

yang ikut dalam berbagai proses fisiologis (Maynard dan Orcutt, 1987 ); (3) Air merupakan

bagian langsung atau substrat dalam reaksi kimia atau proses fisiologi tanaman; (4) Air

berfungsi sebagai mobilisasi beberapa senyawa (bahan) kimia dan panas. Banyak bahan yang

larut dalam air sebagai medium bergerak antara sel-sel di dalam xylem dan floem (Noggle dan

Fritz,1993).

”Periode kritis air” ditemukan dalam periode pertumbuhan setiap jenis tanaman.

Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977), periode kritis kebutuhan air tanaman jagung terjadi pada

saat pembungaan, sedangkan pada tanaman kacang tanah terjadi pada saat pembungaan

dan perkembangan polong. Secara umum tanaman yang kekurangan air mengalami

pertumbuhan yang kerdil dan produksinya rendah.

Hasil biji jagung di lahan kering sangat ditentukan oleh hujan selama pertumbuhannya,

informasi tentang periode kritis hujan selama musim tanam jagung. Hasil penelitian Nielsen

et al. (2010) menunjukkan bahwa hasil biji jagung berkorelasi secara signifikan dengan hujan

mingguan selama periode tanam benih hingga panen biji jagung. Periode kritis tanaman

jagung di lahan kering adalah enam minggu pertama pertumbuhannya.

Page 16: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

9

Hasil produksi tanaman jagung dalam pertanian lahan kering ditentukan oleh jumlah

dan distribusi hujan selama musim pertumbuhannya. Bergamaschi (2007) meneliti model

hubungan antara hasil jagung dengan curah hujan selama seluruh musim pertumbuhan, dan

hasil jagung dengan jumlah hujan yang terjadi selama fase pertumbuhan tertentu. Jumlah

hujan yang terjadi selama fase pertumbuhan reproduktif (periode 45 hari masa pembungaan

dan pengisian biji) sangat menentukan hasil biji jagung.

Pengetahuan tentang kebutuhan air tanaman sangat penting dalam pengelolaan

pertanian lahan kering. Kebutuhan air tanaman jagung berhubungan erat dengan nilai-nilai

evapotranspirasinya (Etc). Hasil peneltiian ZHAO dan NAN (2007) menunjukkan nilai-nilai Etc

tanaman jagung sangat rendah (rataannya 1,09 mm hari-1) kecuali pada saat irigasi selama

awal fase pertumbuhan tanaman jagung. Nilai ETc meningkat sejalan dengan pertumbuhan

tanaman jagung (nilai rataannya 3,67 mm hari-1) dan mencapai puncaknya pada pertengahan

fase pertumbuhan tanaman (nilai rataannya 5,49 mm hari-1), nilai Etc menurun selama fase

akhir pertumbuhan jagung (nilai rataannya 3,33 mm hari-1). Secara umum nilai Etc berada

dalam kisaran 0,54 - 7,69 mm hari-1 dan total ETc aktual 611,5 mm di lokasi percobaan dalam

musim pertumbuhan 2004.

Tabel 2.1. Perkiraan Nilai-nilai Kebutuhan Air tanaman (Critchley 1991).

Jenis Tanaman Kebutuhan Air

(mm/total growing period)

Beans 300 – 500

Citrus 900 – 1200

Cotton 700 – 1300

Groundnut 500 – 700

Maize 500 – 800

Sorghum/millet 450 – 650

Soybean 450 – 700

Sunflower 600 – 1000

Defisit lengas tanah dapat ,menurunkan hasil biji jagung, terutama kalau terjadi selama

periode pembungaan dan pembentukan dan pengisian biji. Bergamaschi et al. (2006) meneliti

hubungan regresional antara hasil biji jagung dengan defisit lengas-tanah dan rasio

evapotranspirasi aktual/maksimal (ETr/ETm). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

penurunan hasil biji jagung paling besar kalau defisit lengas tanah terjadi selama periode

pollinasi, pembentukan zygote dan fase awal perkembangan biji. Selama periode

pertumbuhan ini, rasio ETr/ETm mampu menjelaskan 80% variasi hasil biji jagung, dan rasio

ini stabil pada nilai 0,7, irigasi dapat meningkatkan dan menstabilkan hasil biji jagung, dosis air

irigasi sekitar 60% dari jumlah air yang diperlukan untuk meningkatkan kandungan lengas-

tanah hingga mencapai kapasitas lapang.

Page 17: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

10

Tabel 2.2. Fase-fase kritis pertumbuhan tanaman (Al-Kaisi dan Broner, 2009, diambil dari

Colorado Irrigation Guide, Natural Resources Conservation Service).

Tanaman Periode Kritis Gejala cekapam air Keterangan

Jagung Pembungaan

hingga biji

berkembang penuh

Daun-daun layu dan

warnanya menjadi

gelap

Memerlukan cukup air selama

perkecambahan hingga masak-

susu untuk mendapatkan hasil

maksimum

Kentang Pembentukan umbi

hingga panen

Tanaman layu selama

hari yang panas

Cekaman air selama masa kritis

dapat menyebabkan umbi retak-

retak

Bawang merah Pembentukan umbi Tanaman layu Tanah harus tetap basah selama

pembentukkan umbi hingga

mendekati panen

Tomat

Setelah fruitset

Tanaman layu

Daun layu dan menggulung juga

dapat disebabkan oleh penyakit

Curah hujan mempunyai peranan yang sangat penting dalam penentuan masa tanam

dan pola tanam (Sosiawan, 2012). Masa tanam di Indonesia khususnya pada lahan tadah

hujan bergantung pada ada tidaknya curah hujan dan distribusinya selama periode tertentu.

Klasifikasi iklim yang dilakukan oleh Oldeman (1975) didasarkan jumlah kebutuhan tanaman,

terutama pada tanaman padi dan palawija. Kebutuhan air untuk tanaman padi adalah 150 mm

per bulan sedangkan untuk tanaman palawija adalah 70 mm per bulan, dengan asumsi bahwa

peluang terjadinya hujan yang sama adalah 75% maka, untuk mencukupi kebutuhan air

tanaman padi 150 mm per bulan diperlukan curah hujan sebesar 200 mm per bulan,

sedangkan untuk mencukupi kebutuhan air untuk tanaman palawija diperlukan curah hujan

sebesar 100 mm per bulan (Oldeman, 1980).

Pola tanam merupakan suatu susunan tata letak dan tata urutan tanaman pada

sebidang lahan selama periode tertentu, termasuk pengolahan lahan dan periode bera

(Setyana, 1983). Pada lahan tadah hujan dan lahan beririgasi sederhana yang ketersediaan

airnya terbatas selama periode tertentu, jumlah dan sebaran hujan sangat menentukan

intensitas pola tanam yang ideal pada sebidang lahan (Santosa, 2006).

Intensifikasi pola tanam dapat memperbaiki efisiensi pemanfaatan air hujan dalam

pertanian lahan kering. Efektivitas pola tanam dalam memanfatakan air hujan diukur dengan

indicator SPSI (System-Precipitation-Storage Index) dan SPUI (System-Precipitation-Use

Index ). Hasil penelitian Farahani et al. (1998) menunjukkan bahwa pola pergiliran tanaman

tiga tahun gandum-jagung-bera lebih efisien menyimpan dan memanfaatkan air hujan

dibandingkan dengan pola pergiliran tanaman dua tahun gandum-bera. Masuknya jagung atau

sorgum dalam polatanam gandum ternyata mampu meningkatkan fraksi air hujan yang

dimanfaatkan oleh tanaman, terjadi peningkatan nilai SPUI dari 0,43 (dalam pola tanam

gandum-bera) menjadi 0,56 (dalam pola tanam gadum-jagung-bera).

Page 18: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

11

Pengaturan pola tanam jagung dan sorghum di lahan kering Kilimanjaro-Tanzania

dilakukan untuk meminimumkan risiko kekeringan dengan mengoptimalkan panen air hujan.

Pola tanam yang memungkinkan panen air hujan secara mikro (pengolahan tanah yang

memungkinkan infiltrasi air hujan) mampu meningkatan produksi tanaman (Hatibu et al. 2003).

Pengolahan tanah dalam pertanian lahan kering sangat mempengaruhi besarnya

simpanan air hujan dalam tanah, hal ini menentukan keberhasilan pola tanam. Hasil penelitian

McGee et al. (1997) menunjukkan bahwa teknologi tanpa olah tanah dapat meningkatkan

simpanan air hujan dalam tanah. Selanjutnya pola tanam (pergiliran tanaman) sangat

menentukan efisiensi pemanfaatan simpanan lengas-tanah (Water Storage Efficiency, WSE).

Pola pergiliran tanaman gandum-jagung-bera ternyata lebih efisien (WSE = 48%)

dibandingkan dengan pola tanam gandum-bera (WSE = 22%).

Ketersediaan lengas-tanah menjadi faktor pembatas utama keberhasilan produksi

tanaman pertanian lahan kering tadah hujan. Teknologi pengelolaan tanah dan tanaman

sangat menentukan efisiensi pemanfaatan lengas-tanah dalam pertanian lahan kering. Hasil

penelitian Van Duivenbooden et al. (2000) menunjukkan bahwa pola tanam yang melibatkan

kombinasi tanaman serealia dan legume ternyata lebih efisien memanfaatkan air hujan,

misalnya pola tanam campuran (mixed cropping) jagung, millet, sorghum dan gandum.

Hasil produksi tanaman lahan kering ditentukan oleh pengaturan pola pergiliran

tanamannya, biasanya pola tanam ganda lebih mampu meminimumkan resiko dibandingkan

dengan monokultur. Hasil penelitian Nel (2009) menunjukkan bahwa pola pergiliran tanaman

jagung – kacang tanah memberikan hasil paling baik dan paling efisien memanfaatkan air

hujan.

2.3 Sifat Fisik Tanah, Ketersediaan Air dan Infiltrasi

2.3.1 Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah sangat mempengaruhi ketersediaan air, aerasi, drainase, dan

ketersediaan unsur hara (Hakim et al., 1986). Pada tanah yang padat aerasinya buruk,

pengambilan oksigen dan pembuangan karbondioksida tidak dapat berlangsung dengan baik

(Buckman dan Brady, 1982).

Sebagai benda alam, tanah merupakan sistem tiga fase. Tanah terdiri dari tiga bahan

yang berbeda bentuknya yaitu bahan padatan, bahan yang berupa cairan dan bahan yang

berupa gas. Proporsi ketiga fase tersebut selalu berubah, sehingga dikatakan dalam

keseimbangan dinamis (Utomo, 1985). Sifat fisika tanah meliputi tekstur tanah, struktur,

konsistensi, kandungan dan gerakan air dalam tanah dan suhu tanah. Sifat-sifat ini sangat

menunjang terciptanya sifat kimia dan biologi tanah yang dapat dengan mudah diperbaiki

karena hanya berhubungan dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah serta aktivitas

organisme tanah seperti pemberian bahan organik dan pupuk (Buckman dan Brady, 1982).

Sifat fisik tanah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.

Perkembangan akar, pergerakan air dan udara serta kemampuan tanah untuk menyimpan air

dan unsur hara sangat ditentukan oleh sifat fisik tanah seperti tekstur, struktur, porositas dan

konsistensi tanah (Hakim et al., 1986).

Page 19: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

12

Kemampuan tanah menyediakan air bagi tanaman ditentukan oleh karakteristik fisika

tanah dan ciri-ciri horizon tanah. Adanya lapisan (horizon) tanah yang teksturnya halus dan

kedap air sangat menentukan kemampuan tanah untuk mensuplai air bagi tanaman. Adanya

lapisan tanah seperti ini tidak memungkinkan simpanan air dalam subsoil dapat bergerak ke

atas memasuki lapisan topsoil (Zhao et al., 1997)

2.3.2 Ketersediaan Air dalam Tanah

Tanah terdiri atas tiga bagian utama yaitu udara, air dan padatan. Bagian padatan

membentuk wujud tanah yang terdiri atas mineral dan bahan organik. Bagian mineral tersusun

dari partikel primer pasir, debu dan liat. Bagian tanah yang ditempati oleh air dan udara disebut

dengan ruang pori tanah (Islami et al., 1995).

Air tersedia adalah jumlah air yang tersimpan dalam tanah yang dapat diserap oleh

akar tanaman, besarnya antara kapasitas lapang dan titik layu permanen (Hansen et al., 1979)

atau antara pF 2,5 dan pF 4,2 (Stroosnijder dan Widianto, 1985; Prijono, 2009) atau antara 0,1

– 15 bar (Blair et al., 1984) (Gambar 2.1). Jumlah air tersedia pada berbagai kelas tekstur

tanah disajikan dalam Tabel 2.1.

Menurut Hillel (1980), jumlah dan kecepatan air yang dapat diserap oleh tanaman

tergantung pada kemampuan akar menyerap air dan kemampuan tanah untuk mensuplai dan

memindahkan air ke arah akar untuk memenuhi kebutuhan transpirasi. Kedua hal ini

dipengaruhi oleh sifat tanaman, tanah dan iklim. Secara umum air gravitasi tidak tersedia bagi

tanaman terutama pada tanah berpasir.

Gambar 2.1 Ketersediaan Air Tanah bagi Tanaman dan Karakteristik

Drainase (Hansen et al., 1979)

Titik layu

permanen

Kapasitas Lapang

Air tersedia

Jenuh

Air tidak tersedia

Air gravitasi

Drainase cepat

Air kapiler

Drainase lambat

Air higroskopis

Tidak ada drainase

Page 20: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

13

Hasil penelitian Ervin dan Koski (1998) menunjukkan bahwa tanaman Tall Fescue Turfs

(TF) lebih tahan kering dibanding tanaman Kentucky Bluegrass (KBG) karena peridoe

pertumbuhannya lebih panjang dengan sistem perakaran yang lebih luas dan lebih dalam.

Apabila ketersediaan lengas tanah pada tanah lapisan atas terbatas, TF mampu mengekstrak

air dari lapisan tanah yang lebih

Tabel 2.3. Jumlah Air Tersedia pada Berbagai Kelas Tekstur Tanah (Blair et al., 1984).

Tekstur Kapasitas

Lapang

Titik Layu Air Tersedia

(mm air per cm kedalaman tanah)

Pasir 0,9 0,2 0,7

Pasir Berlempung 1,4 0,4 1,0

Lempung berpasir 2,3 0,9 1,4

Lempung berpasir 2,9 1,0 1,9

(Kaya bahan organik)

Lempung 3,4 1,2 2,2

Lempung berliat 3,0 1,6 1,4

Liat 3,8 2,4 1,4

Liat struktur baik 5,0 3,0 2,0

dalam untuk memenuhi kebutuhan transpirasinya, dan untuk mempertahankan suhu kanopi

yang lebih rendah.

Menurut Evans et al. (1996), perbandingan antara air dan udara yang ada pada ruang

pori tanah dapat berubah dengan adanya penambahan atau pengurangan air di dalam tanah.

Air dapat bertambah dengan adanya curah hujan atau irigasi atau berkurang akibet aliran

permukaan, evaporasi, transpirasi, perkolasi atau drainase. Selanjutnya menurut Hartman

(1983), kandungan air tanah tidak bertambah tanpa adanya penambahan air, baik melalui

peresapan air kapiler dari lapisan bawah (groundwater) maupun air irigasi atau air hujan;

kandungan air tanah dapat berkurang melalui penguapan air ke atmosfer dan perkolasi air ke

lapisan tanah yang lebih dalam.

Page 21: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

14

Ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan

organik tanah, dan struktur tanah. Saxton dan Rawis (2006) mengembangkan model prediksi

ketersediaan lengas-tanah dengan menggunakan karakteristik tanah seperti bobot-isi tanah,

kerapatan jenis tanah, tekstur tanah, konduktivitas hidraulik, kandungan kerikil, dan salinitas

tanah .

Kandungan lengas-tanah pada saat tanam sangat menentukan keberhasilan pola

pergiliran tanaman berbasis jagung di lahan kering. Hasil penelitian Nielsen et al. (2009)

menunjukkan bahwa respon hasil jagung terhadap lengas-tanah dalam topsoil (lapisan tanah

0-18 cm) sangat beragam , berkisar 0,0 hingga 67,3 kg ha-1per mm lengas-tanah tersedia.

Perbedaan respon hasil jagung ini ternyata berhubungan dengan jumlah dan waktu terjadinya

hujan selama musim pertumbuhan jagung. Hasil tanaman jagung sangat tergantung pada

hujan selama fase pertumbuhan reproduktif dan fase pengisian biji, sehingga kandungan

lengas-tanah pada saat tanam bibit bukan satu-satunya indikator untuk menanam jagung

dalam pola pergiliran tanaman di lahan kering.

Ketersediaan lengas tanah bagi tanaman dipengaruhi oleh tekstur tanah dan

kandungan bahan organik tanah (BOT). Hasil peneltiian Rawls et al. (2003) menunjukkan

bahwa peningkatan kandungan BOT dapat meningkatkan retensi lengas pada tanah-tanah

berdebu dan berpasir; menurunkan retensi-lengas pada tanah-tanah bertekstur halus.

Simpanan lengas-tanah (S) di lahan kering berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung

pada curah hujan (P) dan evapotranspirasi (ET). Hasil penelitian Timm et al. (2011)

menunjukkan bahwa simpanan lengas tanah pada suatu waktu lebih dipengaruhi oleh curah

hujan sebelumnya (52%) daripada evapotranspirasi (28%) dan simpanan lengas sebelumnya

(20%). Evapotranspirasi pada suatu waktu lebih ditentukan oleh ET sebelumnya (59%)

daripada P (30%) dan S (9%).

Ketersediaan lengas-tanah pada lahan kering ditentukan oleh kapasitas lapang dan

jumlah air yang dapat disimpan di atas kapasitas lapang. Hasil penelitian Nielsen et al. (1959)

menunjukkan bahwa.jumlah air yang disimpan untuk sementara waktu dalam lapisan tanah 5

feet pada kondisi di atas kapasitas lapang berkisar dari 4,7 inchi (pada tanah lempung debu)

hingga 2,1 inchi (pada tanah lempung liat) setelah perlakuan irigasi sebanyak 6 inchi. Pada

periode 90 hari berikutnya, jumlah air yang tersimpan tersebut masih berkisar 1,5 inchi hingga

0,3 inchi. Penelitian ini juga menemukan ada hubungan antara kedalaman lapisan tanah,

tegangan lengas-tanah, dan kandungan lengas-tanah.

Pada pertanian lahan kering hasil gandum musim kering pada tanah liat lebih tinggi

dibandingkan dengan hasil gandum pada tanah lempung dan lempung berpasir, untuk jumlah

air yang sama. Pada periode yang lebih basah hasil gandum lebih tinggi pada tanah liat dan

tanah lempung dibandingkan dengan tanah lempung berpasir. Hasil biji gandum sedikit

dipengaruhi oleh jumlah air yang disimpan dalam lapisan tanah 0-6 inchi dan 6-12 inchi pada

saat penanaman benih, tetapi hasil biji ini sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang disimpan

dalam lapisan tanah bawah (lapisan tanah di bawah 12 inchi). Curah hujan selama Juni dan

Juli, jumlah lengas-tanah dalam lapisan di bawah 12 inchi sangat mempengaruhi hasil biji

gandum pada semua tekstur tanah (Lehane et al. 1965).

Neraca lengas-tanah di lahan kering sangat dipengaruhi oleh variasi musiman curah

hujan dan evaporasi potensial, sedangkan karakteristik tanah yang ikut mempengaruhi neraca

Page 22: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

15

lengas-tanah ini adalah kapasitas simpanan lengas-tanah tersedia (WHC). Hasil penelitian

Milly (1994) menunjukkan bahwa fraksi air hujan yang menguap dan runoff dipengaruhi oleh

indeks kekeringan (rasio evaporasi potensial dengan curah hujan), indeks musiman

(perbedaan antara evaporasi potensial dan curah hujan), rasio WHC dengan curah hujan.

2.3.3 Infiltrasi

Infiltrasi merupakan istilah untuk menggambarkan proses masuknya air ke dalam

tanah. Laju infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur tanah dan berpengaruh besar terhadap pertanian,

karena berpengaruh besar terhadap jumlah air yang dapat tersimpan dalam tanah untuk

pertumbuhan tanaman (Blair et al., 1984). Secara umum semakin kasar tekstur tanah biasanya

semakin besar laju infiltrasinya (Tabel 2.2).

Tabel 2.4. Laju Infiltrasi beberapa Tekstur Tanah (Blair et al., 1984).

Tekstur Tanah Laju Infiltrasi (mm jam-1)

Pasir >20

Pasir Berlempung 10 – 20

Lempung 5 – 10

Tanah Berliat 1 – 5

Air tanah dapat bergerak lebih cepat pada ruang pori yang lebih besar dibanding ruang

pori yang lebih kecil (Buckman dan Brady, 1982). Menurut Hillel (1980), kemampuan infiltrasi

tanah tergantung pada : (1) waktu mulainya hujan; (2) kandungan awal air tanah; (3)

konduktivitas hidraulik; (4) kondisi permukaan tanah dan (5) adanya lapisan padas di dalam

profil tanah.

Laju infiltrasi pada mulanya tinggi, kemudian menurun dan selanjutnya konstan

(Prijono, 2009). Satuan laju infiltrasi dinyatakan dengan kedalaman per satuan waktu, dapat

dalam mm jam-1 atau dalam mm hari-1. Laju infiltrasi ditentukan oleh kondisi struktur tanah,

agregasi tanah dan resistensi penetrasi tanah lapisan permukaan. Hasil penelitian

Franzluebbers et al. (2012) menunjukkan bahwa selama periode tanah masih basah (61% pori

tanah terisi air), laju infiltrasi 2,8 ± 1,5 lebih besar kalau tanaman hijauan-pakan tidak dipanen

dibandingkan kalau dipanen. Selama periode tanah kering (28% pori tanah terisi air) laju

infiltrasi tidak menunjukkan perbedaan di antara perlakuan panen tanaman. Infiltrasi air selama

periode basah berkorelasi negative dengan kandungan lengas-tanah (r = − 0,57), resistensi

penetrasi pada kedalaman 0–10 cm (r = − 0,50) dan bobot isi tanah pada kedalaman 3–6 cm

(r = − 0,53); tetapi laju ninfiltrasi ini berkorelasi positif dengan residu biomasa di permukaan

tanah (r = 0,47) dan kandungan BOT lapisan tanah 12–20 cm (r = 0,42).

Distribusi ukuran partikel tanah (PSD) menentukan ketersediaan lengas-tanah dan laju

infiltrasi (IR), sedangkan PSD suatu tanah dikendalikan oleh diameter partikel primer dalam

Page 23: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

16

tanah. Hasil penelitian Mazaheri dan Mahmoodabadi (2012) menunjukkan bahwa nilai IR

tanah berkisar 1,6 - 30,66 cm h−1, nilai-nilai IR ini sangat ditentukan oleh nilai PSD tanah.

Fraksi partikel primer tanah yang diameternya D30 (diameter 0,05 mm), D40 (diameter 0,08 mm)

dan D60 (diameter 0,16 mm) mempunyai hubungan lebih erat dnegan IR dibandingkan dengan

fraksi diameter lainnya. Peningkatan kandungan fraksi pasir dalam tanah diikuti dengan

peningkatan nilai akhir IR, sebaliknya peningkatan kandungan fraksi debu dan liat menurunkan

laju infiltrasi.

Pemadatan lapisan tanah permukaan dapat menurunkan laju infiltrasi air hujan dan

meningkatkan volume runoff. Hasil penelitian Gregory et al. (2006) menunjukkan bahwa laju

infiltrasi pada tanah yang tidak mengalami pemadatan sebesar 377 - 634 mm hr-1 (14,8 - 25,0

inchi hr-1) pada kondisi hutan alamiah, pada kondisi hutan tanaman sebesar 637 - 652 mm hr-

1, dan 225 mm hr-1 pada lahan pasture. Rataan laju infiltrasi pada kondisi tanah mengalami

pemadatan berkisar 8 - 175 mm hr-1 (hutan alamiah), 160 - 188 mm hr-1 (hutan tanaman), dan

23 mm hr-1 pada lahan pasture. Perlakuan pemadatan tanah menurunkan laju infiltrasi sebesar

70-99%.

Sifat dan perilaku infiltrasi air hujan ke dalam tanah dipengaruhi oleh terbentuknya

kerak-tanah di permukaan. Pembentukan kerak-tanah di permukaan ini ditentukan oleh

proses disintegrasi (penghancuran) agregat tanah dan disperse liat. Kedua proses ini ternyata

dipengaruhi oleh laju pembasahan agregat tanah (WR), sodisitas tanah dan tekstur tanah.

Hasil penelitian Mamedov et al. (2001) menunjukkan bahwa pengaruh WR terhadap laju

infiltrasi dan runoff tergantung pada tekstur tanah dan ESP (exchangeable sodium percent)

tanah. Pada tanah-tanah yang kandungan liatnya rendah (8,8%), efek WR terhadap laju

infiltrasi tidak signifikan, sedangkan efek ESP signifikan. Pada tanah-tanah liat (kandungan liat

>52,1%), WR secara signifikan mempengaruhi laju infiltrasi dan runoff. Tanah-tanah dengan

kandungan liat 22,5 – 40,2% sangat peka terhadap pembentukan kerak-tanah permukaan,

WR dan ESP secara moderat mempengaruhi pembentukan kerak-tanah permukaan.

Pengaruh WR terhadap penghancuran agregat dan pembentukkan kerak-tanah meningkat

dengan semakin meningkatnya kandungan liat.

2.4 Potensi Lahan Kering

Potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh

sifat lingkungan fisik yang meliputi iklim, tanah, topografi/bentuk wilayah, hidrologi dan

persyaratan penggunaan lahan tertentu. Kecocokan antara sifat lingkungan fisik suatu wilayah

dengan persyaratan penggunaan tertentu atau komoditas yang dievaluasi memberikan

gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial untuk dikembangkan bagi tujuan

tersebut (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993). Hal ini mempunyai pengertian

bahwa jika suatu lahan digunakan untuk penggunaan tertentu dengan mempertimbangkan

masukan yang diperlukan, akan mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.

Lahan kering mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan lahan sawah karena

disamping sebagai penghasil pangan juga produk pertanian lainnya dalam arti luas seperti

perkebunan, peternakan, kehutanan dan bahkan perikanan darat. Propinsi Bali mempunyai

lahan kering seluas 274,755 ha dan lahan sawah 81,482 ha (Dinas Pertanian Tanaman

Pangan dan Hortikultura Propinsi Bali, 2009). Potensi lahan kering ini masih belum dapat

Page 24: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

17

dimanfaatkan secara optimal. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh masih kurangnya

pemahaman tentang potensi lahan kering dan masih terbatasnya penelitian yang

komprehensip dan terpadu untuk mengembangkan pertanian lahan kering (Agung, 2005).

Petani lahan kering mempunyai dua tujuan, yaitu menghasilkan panen yang cukup dari lahan

pertaniannya dan melakukannya dengan cara menghemat air dan hara. Di lahan kering faktor

penentu keberhasilan pertanian adalah ketersediaan air yang cukup dan penguapan yang

tidak terlalu tinggi (Agung, 2006).

Waktu tanam yang tepat sangat menentukan keberhasilan tanaman di lahan kering

karena sangat berkaitan dengan iklim (curah hujan, suhu, kelembaban dan sinar matahari),

sedangkan waktu tanam yang kurang tepat di daerah yang tergantung pada curah hujan dapat

mengakibatkan tanaman mengalami cekaman kekurangan air (water stress) terutama pada

periode kritis kebutuhan air tanaman (Agung, 2006). Pada kondisi kekurangan air, stomata

daun tertutup sehingga difusi CO2 ke dalam daun terhambat dan akibatnya hasil fotosintesis

berkurang (Hale and Orcutt, 1987).

2.5 Tipologi Lahan Kering

Lahan kering secara fisik tidak diairi atau tidak mendapatkan pelayanan air irigasi, baik

yang berasal dari air permukaan maupun air tanah; sehingga air hujan menjadi satu-satunya

sumber airnya. Munandar (1994) mengelompokkan lahan kering berdasarkan ketersedian

sumber airnya, menjadi lima tipe.

1. Lahan Kering Tipe A. Lahan Kering yang sumber airnya hanya air hujan. Usaha

pengembangan/pemanfaatan sumber air di lahan kering tipe ini dapat menggunakan

cara-cara: memanen air hujan (rainwater harvesting) dengan pembuatan rorak dan

embung (farmpond) dengan saluran airnya, mengatur pola tanam berdasarkan

kebutuhan dan ketersediaan air.

2. Lahan Kering tipe B. Lahan Kering yang sumber airnya adalah groundwater (dangkal,

menengah atau dalam) dan air hujan. Usaha pemanfaatan sumber air di lahan kering

ini dapat dilakukan dengan cara mengeksploitasi groundwater yang dalam (kedalaman

lebih dari 80 m), menengah (kedalaman 30 sd 80 m), serta membuat sumur bor

ataupun sumur gali untuk sumber air tanah dangkal (kedalaman kurang dari 30 m).

Sumur ini biasanya dilengkapi dengan alat pengangkat air ke permukaan, pompa air

untuk sumur bor, dan pompa air atau timba untuk sumur gali. Kalau debit air yang

tersedia dari groundwater tersebut masih tidak mencukupi kebutuhan tanaman, maka

dapat dilakukan kombinasi dengan cara-cara seperti pada lahan kering tipe A.

3. Lahan Kering Tipe C. Lahan Kering dengan potensi sumber air permukaan termasuk

curah hujan, sungai/saluran drainase, danau, mata air yang muncul di permukaan

tanah, dan lainnya.

4. Lahan Kering Tipe D. Lahan Kering dengan potensi sumber air bawah-tanah dan

sumber air permukaan. Lahan kering yang mempunyai potensi demikian nampaknya

pengembangannya lebih mudah daripada tipe lainnya karena banyak pilihan cara

pengembangannya.

Page 25: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

18

5. Lahan Kering Tipe E. Lahan Kering dengan potensi sumber air tanah/air permukaan

yang telah dikembangkan, tetapi karena sesuatu hal tidak terjangkau oleh air irigasi

tersebut. Lahan kering yang terjadi di sini disebabkan oleh adanya pengelolaan air

yang kurang baik, tidak tersedianya fasilitas penyaluran air ke lahan atau kedua-

duanya. Metoda pengembangan lahan kering seperti ini adalah dengan perbaikan

pengelolaan air, penambahan fasilitas irigasi ataupun kedua-duanya.

2.6 Syarat Tumbuh Tanaman

2.6.1 Ubikayu (Manihot esculenta crantz)

Ubikayu termasuk tanaman tropis, tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh dengan

baik di daerah subtropis. Secara umum tanaman ini tidak menuntut iklim yang spesifik untuk

pertumbuhannya. Tanaman ubikayu akan tumbuh dengan baik pada curah hujan antara 750

– 1000 mm bulan-1 dengan ketinggian tempat 0 – 1500 m di atas permukaan laut dan suhu

yang dikehendaki antara 25oC – 28oC. Tanaman ubikayu dapat tumbuh dan berproduksi

dengan baik pada tekstur tanah lempung berpasir dengan struktur gembur dan pH tanah yang

dikehendaki antara 4,5 – 8,0, optimalnya 5,8 (Danarti dan Najiyati, 1997).

2.6.2 Jagung (Zea mays L.)

Di Indonesia jagung tumbuh dan berproduksi optimum di dataran rendah sampai

ketinggian 750 m di atas permukaan laut. Curah hujan optimum adalah 100 – 125 mm bulan-1

dengan distribusi yang merata. Jagung juga membutuhkan penyinaran matahari penuh,

naungan membuat jagung menjadi kurus dan kecil (Suhardi et al., 1999). Tanaman jagung

membutuhkan tanah bertekstur lempung, lempung berdebu atau lempung berpasir dengan

struktur remah, aerasi dan drainasenya baik serta cukup air. Kisaran pH tanah yang ditoleransi

adalah antara 5,2 – 8,5 dengan pH optimum 5,8 – 7,8 (Djaenuddin et al., 1999).

2.6.3 Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.)

Tanah lempung berpasir, liat berpasir atau lempung liat berpasir dengan drainase dan

aerasi baik sangat cocok untuk tanaman kacang tanah. Keasaman (pH) tanah yang cocok

adalah 6,5 – 7,0. Apabila pH tanah 7,5 – 8,5 daun akan menguning dan terjadi bercak hitam

pada polong. Kacang tanah masih cukup baik bila tumbuh pada tanah asam (pH < 5,0 )

(Adisarwanto et al., 1993).

Suhu tanah optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 27oC – 30oC tergantung pada

varietas. Pada fase generatif suhu udara optimum berkisar antara 24oC – 27oC. Suhu udara di

atas 33oC akan mempengaruhi benang sari. Intensitas cahaya yang rendah pada fase

berbunga akan menghambat pertumbuhan vegetatif, apabila terjadi pada saat pembentukan

ginofor akan mengurangi jumlah ginofor (Adisarwanto et al., 1993). Distribusi curah hujan

yang merata sangat menentukan keberhasilan tanaman kacang tanah. Kelembaban tanah

yang cukup pada awal pertumbuhan, saat berbunga dan saat pembentukan polong sangat

penting untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Curah hujan 500 – 700 mm dengan distribusi

yang merata selama pertumbuhan cukup untuk varietas berumur pendek (Kakde, 1985).

Page 26: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

19

Beberapa varietas unggul yang ada di Indonesia adalah Gajah, Macan, Banteng, Kidang,

Rusa, Tapir, Pelanduk, Kelinci dan Anoa.

2.6.4 Ubijalar (Ipomea batatas)

Tanaman ubijalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh karena daerah

penyebarannya terletak pada 300 LU – 300 LS. Di Indonesia yang beriklim tropik, tanaman ini

cocok ditanam di dataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl. Hampir setiap jenis tanah

pertanian cocok untuk budidaya ubijalar. Jenis tanah yang paling baik adalah pasir

berlempung, gembur, banyak mengandung bahan organik, aerasi serta drainasenya baik.

Derajat keasaman tanahnya adalah pH 5,5 – 7,5. Sewaktu muda memerlukan kelembaban

tanah yang cukup.

Tanaman ubijalar membutuhkan hawa panas dan udara yang lembap. Daerah yang

paling ideal untuk budidaya ubi jalar adalah daerah yang bersuhu 21 – 27 oC. Di tanah tegalan

waktu tanam yang baik untuk tanaman ubijalar yaitu pada waktu musim hujan dengan curah

hujan 500 – 5000 mm/tahun, ptimal antara 750 – 1500 mm/tahun.

2.7 Siklus dan Keseimbangan Air

2.7.1 Siklus Air

Siklus air menyangkut sirkulasi air yang ada di Bumi. Mulai dari penguapan

(evapotranspirasi) ke atmosfer, presipitasi, air jatuh ke permukaan bumi, infiltrasi, aliran

permukaan, air yang diserap oleh tanaman, air yang menuju sumber air permukaan dan

akhirnya kembali menguap ke atmosfer. Secara skhematis siklus air pada lahan yang

diusahakan (Siklus Agrohidrologi) dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Stroosnijder dan Widianto,

1985).

Gambar 2.2 menunjukkan bahwa semakin banyak air yang terserap ke dalam tanah

akan semakin baik, karena berpeluang untuk ketersediaan air bagi tanaman untuk memenuhi

kebutuhan evapotranspirasi. Demikian juga dengan curah hujan yang langsung masuk

menuju air tanah dapat menguntungkan, karena secara perlahan dapat sebagai suplai untuk

kelembaban tanah melalui isapan kapiler (Capillary rise). Sebaliknya apabila aliran

permukaan yang besar dan sedikit air yang masuk atau tersimpan dalam tanah ataupun yang

langsung masuk ke air tanah, berarti sedikit air yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

Keadaan yang demikian ini sering disebut dengan bottlenecks dalam sirkulasi. Memperkecil

aliran permukaan dan memperbesar air yang tersimpan dalam tanah atau yang masuk ke air

tanah selalu menjadi harapan untuk memperbesar ketersediaan air bagi tanaman (Santosa,

2006).

Page 27: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

20

2.7.2 Keseimbangan Air (Neraca Air)

Keseimbangan air yang dimaksudkan adalah keseimbangan antara air yang tersedia

dengan air yang digunakan. Air yang tersedia disebut dengan input dan air yang digunakan

disebut dengan output (Prijono, 2009). Evans et al. (1995) mengemukakan bahwa air yang

masuk ke suatu lahan pertanian dapat berupa air hujan atau irigasi sedang air keluar dapat

berupa aliran permukaan, evaporasi, transpirasi dan juga perkolasi atau drainase. Pendapat

yang sama dari Hazret Ali et al. (2000) bahwa pada lahan sawah yang ada irigasinya masukan

air dapat berupa air hujan dan irigasi dan untuk keluarnya terdiri atas evapotranspirasi, run-

off, rembesan dan perkolasi.

Keseimbangan air pada daerah yang sumber airnya hanya dari curah hujan berbeda

dengan keseimbangan air pada wilayah yang ada irigasinya. Perbedaannya terletak pada

sumber air. Wilayah yang sumber airnya dari curah hujan atau presipitasi inputnya presipitasi

saja (P) dan pada wilayah yang ada irigasinya sumber airnya curah hujan ditambah dengan

irigasi (P + Ir). Hartmann (1983) mengemukakan bahwa keseimbangan air pada mintakat

perakaran dapat dinyatakan seperti persamaan berikut :

ATMOSFER

PERMUKAAN

KELEMBABAN

TANAH

AIR TANAH

AIR PERMUKAAN LAUT

TANAMAN

Isapan

kapiler

Presipitasi

yang bermanfaat

Aliran air tanah

Aliran permukaan

Curah hujan

1

3

4

5

1 5 -

Bottlenecks in

the cycle

Penyerapan

Kelembaban tanah

Evapotranspirasi

Evaporasi Transpirasi

2

Gambar 2.2 Siklus Air pada Lahan yang diusahakan (Siklus Agrohidrologi)

(Stroosnijder dan Widianto, 1985)

Page 28: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

21

ΔST + ΔV = (P + Ir + U) – (R + DP+ E+T)

Dimana: ΔST = Perubahan cadangan simpanan air tanah; ΔV = Jumlah air yang tersimpan

dalam tubuh tanaman; P = Presipitasi (curah hujan); Ir = Irigasi; U = Isapan air pori kapiler ke

mintakat perakaran; R = Runoff; DP = Perkolasi dalam (aliran keluar dari mintakat perakaran);

E = Evaporasi langsung dari permukaan tanah; T = Transpirasi oleh tanaman.

Semua komponen satuannya dinyatakan dalam volume per satuan luas (sama dengan

unit kedalaman) selama periode tertentu. Selanjutnya dengan mengabaikan jumlah air yang

ada dalam tubuh tanaman (ΔV) dan nilai isapan air melalui pori-pori kapiler (U) maka

persamaan di atas dapat ditulis menjadi:

ΔST = (P+ Ir ) – (R + DP + E + T)

Prinsip yang sama mengenai neraca air pada mintakat perakaran juga dinyatakan oleh FAO

yang dikemukakan oleh Allen et al. (1998).

Tidak semua komponen yang ada pada persamaan keseimbangan air ada nilainya.

Tergantung pada keadaan di lapangan. Bila tidak ada irigasi maka komponen irigasi tidak ada

nilainya. Bila curah hujan misalnya rendah bisa saja komponen runoff dan drainase tidak ada

nilainya. Atau bila curah hujan tinggi dan ada irigasi maka semua komponen ada nilainya.

Apabila nilai runoff dan drainase besar ada peluang air yang tersimpan sebagai cadangan air

tanah (groundwater) juga besar atau sebaliknya pada keadaan kering bisa terjadi pergerakan

air tanah ke atas melalui pori-pori kapiler akibat adanya evapotranspirasi (Santosa, 2006).

Fluktuasi naik-turunnya permukaan groundwater (water table) menentukan

pergerakan air dari groundwater ke arah lateral dan ke arah vertikal memasuki lapisan tanah

yang tidak jenuh air; kedua proses pergerakan air ini dipengaruhi oleh kandungan lengas-

tanah dan kedalaman groundwater sebelum terjadi hujan. Hasil penelitian Pirastru dan

Niedda (2013) menunjukkan bahwa groundwater dangkal mampu meningkatkan kandungan

lengas-tanah pada lapisan yang tidak jenuh air melalui proses “capillary rise”, dan

konduktivitas hidraulik lapisan tanah yang tidak jenuh air tersebut cukup tinggi. Ketersediaan

lengas-tanah di lahan dataran banjir dengan permukaan groundwaternya dangkal, sangat

dipengaruhi oleh proses naiknya air dari groundwater memasuki tanah lapisan atas.

Keseimbangan air ini sering digunakan untuk menghitung neraca air pada profil tanah.

Sedangkan keseimbangan air untuk wilayah digunakan persamaan neraca air menurut

Thorthwaite dan Mather (Stroosnijder dan Widianto, 1985), dimana untuk kandungan air tanah

bulanan pada saat hujan kurang dihitung dengan persamaan:

ST = STo x e +APWL/-STo

Dimana: ST = Kandungan air tanah yang dihitung (mm); STo= Kandungan air tanah pada

kapasitas lapang (mm); e = Bilangan konstanta (e = 2,7828); APWL= Jumlah potensial air yang

hilang (mm); Nilai ST akan makin rendah dengan meningkatnya nilai APWL.

Aplikasi keseimbangan air adalah: (1) untuk mengetahui keadaan air secara umum di

suatu wilayah; (2) untuk membuat model prediksi hubungan antara curah hujan, run-off dan

aliran bidang permukaan; (3) untuk menentukan kesesuaian lahan bagi tanaman tertentu; (4)

Page 29: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

22

untuk menentukan kebutuhan irigasi baik jumlah maupun intervalnya; (5) untuk mengamati

hubungan air dan hasil panen; (6) untuk menentukan kebutuhan air tanaman atau vegetasi

tertentu dan (7) untuk mengetahui pengaruh manusia pada sistem (Jackson, 1989).

Dalam kondisi air terbatas jumlahnya, air harus dimanfaatkan secara hemat, maka

penghematan penggunaan air sangat penting. Menurut Richard dan Wedleigh (dalam Hillel,

1980) pertumbuhan tanaman semakin menurun sejalan dengan menurunnya kelembaban

tanah dan pertumbuhannya akan terhambat sebelum titik layu permanen tercapai.

Air yang tersimpan di dalam tanah saat hujan, diuapkan secara langsung ke udara dari

permukaan tanah (evaporasi) dan air yang masuk dalam tanaman melalui akarnya diuapkan

melalui daun dan batang (transpirasi), dan hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk

metabolisme tanaman. Kombinasi evaporasi dari permukaan tanah bersama-sama transpirasi

dari tanaman yang disebut proses evapotranspirasi, menunjukkan aliran balik air dari bumi ke

atmosfer dan dari atmosfer ke bumi melalui curah hujan (Thornwaite dan Mether, 1953).

Kehilangan air akibat transpirasi dan evaporasi tidak konstan sepanjang tahun,

kelembaban atau kekeringan suatu iklim hanya dapat ditunjukkan dengan membandingkan

distribusi curah hujan sepanjang tahun dengan evapotranspirasi musiman sebagai proses

penerimaan dan pelepasan air. Evapotranspirasi atau aliran balik air dari tanah ke atmosfer

merupakan faktor iklim yang sama pentingnya dengan curah hujan. Evapotranspirasi aktual

dari pertanaman bergantung pada iklim yang juga dihubungkan dengan jenis tanaman dan

faktor-faktor tanah, antara lain tipe dan stadium pertumbuhan tanaman, pengelolaan tanah,

jenis tanah dan kandungan air tanah (Allen, 1998).

Evapotranspirasi potensial lebih konstan dari tahun ke tahun daripada curah hujan

sebab adanya variasi yang kecil dari energi matahari. Variasi awal jatuhnya curah hujan pada

daerah yang kering, mempunyai arti yang sangat penting bagi persiapan lahan, persemaian

dan awal pertumbuhan (Santosa, 2006).

Variasi ini dikatakan sebagai water balance atau keseimbangan air. Saat curah hujan

lebih tinggi dari evapotranspirasi potensial dan tercapainya kapasitas lapang, maka curah

hujan dikatakan surplus. Sedangkan keadaan dimana curah hujan lebih kecil dari

evapotranspirasi potensial sehingga sampai pada titik layu permanen maka curah hujan

dikatakan defisit. Kapasitas lapang biasanya dianggap sebagai batas atas ketersediaan air

dimana keadaan ini tercapai setelah air berhenti mengalir ke bawah tercapai keadaan jenuh.

Sedang titik layu permanen adalah kandungan air tanah pada saat tanaman yang ditanam di

atasnya telah mengalami layu permanen dalam arti tanaman telah mengalami sulit hidup

kembali meskipun telah ditambahkan sejumlah air yang mencukupi (Soepardi, 1983).

Secara praktis dalam perhitungan keseimbangan air digunakan asumsi dan

penyederhanaan. Asumsi yang sering digunakan adalah bahwa semua curah hujan

mengalami infiltrasi ke dalam tanah atau dapat dikatakan tidak ada limpasan permukaan.

Surplus hanya terjadi apabila kapasitas lapang tanah telah tercapai (Jackson,1979). Curah

hujan total tidak semuanya efektif bagi tanaman, tetapi sebagian mengalami perkolasi maupun

evaporasi (Dastane, 1974).

Curah hujan efektif dapat ditingkatkan dengan mengurangi run-off pada permukaan,

meningkatkan infiltrasi dan mengurangi kehilangan air karena perkolasi yang dalam.

Page 30: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

23

Pengurangan run-off permukaan dapat dicapai dengan cara mengubah topografi tanah,

membentuk penghambat aliran air, dan dengan meningkatkan kemungkinan untuk infiltrasi.

Secara praktis kegiatan ini meliputi: pengolahan dan perataan tanah, pembuatan teras-teras,

membiarkan sisa-sisa tanaman setelah panen. Infiltrasi dapat ditingkatkan dengan jalan

memperbaiki struktur tanah dan kondisi permukaan tanah maupun sub surface (Santosa,

2006).

Curah hujan dan lengas-tanah (SM) merupakan dua faktor penting yang

mempengaruhi perilaku interaksi permukaan tanah dengan atmosfir, biasanya data curah

hujan digunakan sebagai input dalam model pendugaan kandungan lengas-tanah dan

fluktuasinya. Hasil penelitian Brocca et al. (2013) menunjukkan bahwa curah hujan harian

mempunyai korelasi sangat nyata dengan kandungan lengas tanah (SM) (r = 0,9).

Simpanan air dalam profil tanah sangat penting bagi pertanian lahan kering, tetapi

pengukurannya agak rumit. Besarnya simpanan air dalam profil tanah ini dipengaruhi oleh

kandungan air dalam lapisan (horizon) tanah, kedalaman efektif tanah, dan kedalaman batuan

induk tanah (Bono dan Alvarez, 2012). Menurut Zhao et al. (1997) kemampuan tanah

menyediakan air bagi tanaman ditentukan oleh karakteristik fisika tanah dan ciri-ciri horizon

tanah. Adanya lapisan (horizon) tanah yang teksturnya halus dan kedap air sangat

menentukan kemampuan tanah untuk mensuplai air bagi tanaman. Adanya lapisan tanah

seperti ini tidak memungkinkan simpanan air dalam subsoil dapat bergerak ke atas memasuki

lapisan topsoil. Kapasitas simpanan lengas tanah ternyata menentukan diversitas spesies

tumbuhan pada lahan. Kapasitas simpanan lengas tanah ini merupakan indikator kualitas

habitat tanah bagi pertumbuhan tanaman (Kammer et al., 2013). Kapasitas simpanan lengas

dalam profil tanah di daerah lahan kering ada hubungannya dengan sifat-sifat tanah seperti

kapasitas lapang dan titik layu, kandungan pasir, kandungan debu, dan kandungan liat, bobot

isi tanah, kerapatan jensi tanah. (Singa dan Prabhu, 1998)

Laju dan volume infiltrasi ditentukan oleh kandungan lengas tanah sebelumnya,

terutama pada tanah-tanah yang teksturnya halus. Recovery laju infiltrasi setelah hujan

berhenti ternyata berlangsung lambat karena lambatnya pergerakan air dalam profil tanah

yang bertekstur halus ini. Rendahnya nilai konduktivitas hidraulik tanah juga menentukan

rendahnya laju infiltrasi (Reinhart dan Taylor, 1954).

Kandungan bahan organik tanah sangat menentukan kapasitas air tersedia dalam

tanah. Ada hubungan korelasi yang erat antara kandungan BOT dan kapasitas air tersedia

pada tanah-tanah berpasir (r2 = 0,79***), pada tanah lempung-debu (r2 = 0,58***) dan pada

tanah lempung-liat-berdebu (r2 = 0,76***). Peningkatan kandungan BOT dari 0,5 menjadi 3%,

ternyata kapasitas air tersedia dalam tanah meningkat hampir dua kali lebih besar. (Hudson,

1994)

Kandungan bahan organik tanah (BOT) menentukan kemampuan tanah menyimpan

air tersedia, dengan indikatornya adalah kapasitas lapang, titik layu permanen, tekstur tanah

dan bobot isi tanah. Perubahan kandungan fraksi pasir dalam tanah sangat menentukan

perubahan kandungan lengas tanah pada kapasitas lapang dan titik layu permanen.

Perubahan kandungan lengas tanah pada kapasitas lapang lebih besar dibandingkan dengan

perubahan titik layu permanen. (Bauer dan Black, 1992).

Kandungan air tersedia dalam tanah beragam dengan kelas tekstur tanah, dari 0,089

kg kg-1 pada tanah-tanah pasir, hingga 0,191 kg kg-1 pada tanah-tanah lempung berdebu.

Page 31: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

24

Variasi kandungan lengas tanah tersedia ini lebih ditentukan oleh kandungan pasir dan debu

dalam tanah. Tanah-tanah yang mempunyai rasio debu/liat lebih besar, dengan lebih banyak

mineral liat smektite mempunyai kemampuan menahan air lebih besar dan kapasitas air

tersedianya juga lebih besar (Reichert et al., 2009).

2.8 Kebutuhan Air Tanaman

Produksi tanaman yang optimal membutuhkan jumlah air yang cukup selama

pertumbuhannya, jumlah air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman sering disebut dengan

kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air setiap jenis tanaman dipengaruhi oleh tanah, iklim dan

lama periode pertumbuhan. Doorenbos dan Kassam (1986) mengemukakan bahwa

kebutuhan air tanaman sama dengan evapotranspirasi (ETc). Hal ini berarti bahwa air yang

hilang melalui evapotranspirasi harus diganti dengan jumlah air yang sama untuk memenuhi

kebutuhan air tanaman.

Doorenbos dan Pruitt (1977) mengemukakan persamaan untuk menduga kebutuhan

air tanaman atau evapotranspirasi (ETc) yaitu :

ETc = Kc x ETo (mm hari-1)

dimana : ETc : Evapotranspirasi tanaman atau kebutuhan air tanaman (mm hari-1); Kc :

Koefisien tanaman; ETo : Evapotranspirasi acuan potensial (mm hari-1).

Nilai koefisien tanaman (Kc) berbeda-beda tergantung pada jenis dan fase

pertumbuhan tanaman. Untuk tanaman semusim nilai Kc pada mulanya rendah kemudian

meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman hingga mencapai maksimum dan kemudian

menurun hingga panen. Hasil penelitian di India menunjukkan bahwa nilai Kc tanaman padi

pada stadium pertama, ke dua ke tiga dan ke empat berturut-turut 1,15; 1,23; 1,14 dan 1,02

(Tyagi et al., 1999). Nilai koefisien tanaman (Kc) menurut FAO untuk beberapa jenis tanaman

dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Evapotranspirasi acuan (ETo) dapat dicari dengan metode Panci evaporasi, Blaney –

Criddle, Hargreaves dan Penman. Namun Smith (2000) menyarankan untuk menghitung

evapotranspirasi acuan ini (ETo) dengan menggunakan metode Penman-Monteith.

Karena perhitungan dengan menggunakan metode Penman-Monteith ini memiliki ketelitian

yang paling baik, dimana nilai standar error dan over estimasinya paling rendah (Allen, 1998).

Metode Penman-Monteith ini pada dasarnya menggunakan data-data iklim yang lamanya

puluhan tahun dan diambil dari stasiun klimatologi pada areal pertanian. Data iklim yang perlu

dipersiapkan adalah suhu udara, kelembaban udara, lama penyinaran, radiasi dan kecepatan

angin. Semakin lama tersediannya data iklim akan semakin baik hasil pendugaan nilai ETo.

Page 32: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

25

Tabel 2.5. Koefisien Tanaman (Kc) untuk Beberapa Jenis Tanaman Semusim (Doorenbos

et al., 1986).

Tanaman Stadia Perkembangan Tanaman

Pertumbuhan

Awal

Pertumbuhan

Puncak

Saat Panen

Ubikayu 0,3 1,1 0,5

Jagung 0,3 - 0,5 1,05 - 1,2 0,95 - 1,1

Kacang tanah 0,4 - 0,5 0,95 - 1,1 0,55 - 0,6

Ubijalar 0,3 1,15 0,65

Kebutuhan air tanaman untuk beberapa jenis tanaman dan sensitivitasnya terhadap

ketersedian air dapat dilihat pada Tabel 2.6

Tabel 2.6. Kebutuhan Air Tanaman dan Sensitivitasnya terhadap Ketersediaan Air untuk Beberapa Jenis Tanaman (Doorenbos et al., 1986).

Tanaman Kebutuhan Air

(mm/selama pertumbuhan)

Sensitivitasnya

Ubikayu

Jagung 500 – 800 Tinggi (1,25)

Kacang tanah 500 – 700 Rendah (0,7)

Ubijalar - -

2.9 Pola Tanam

Pola tanam adalah pengaturan penanaman satu atau lebih jenis tanaman pada satu

bidang lahan termasuk pergiliran tanaman dalam kurun waktu tertentu.

Model pola tanam bila dilihat di lapangan terdapat model yang berbeda antar satu tempat

dengan tempat lainnya. Ada yang menanam satu jenis tanaman secara terus menerus

(monokultur), ada yang menanam lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang lahan (multiple

cropping atau diversifikasi) dan ada pula yang melakukan dengan cara sisipan atau tanaman

sela (alley cropping). (Santosa, 2006).

Van Hoof (1987) mengatakan bahwa multiple cropping adalah menanam lebih dari satu

jenis tanaman pada sebidang lahan dalam kurun waktu satu tahun. Hook dan Gascho (dalam

Hargrove, 1988) menambahkan multiple cropping dapat dibedakan menjadi sequential

multiple cropping dan intercropping. Sequential multiple cropping adalah menanam lebih dari

Page 33: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

26

satu jenis tanaman pada lahan yang sama dalam kurun waktu setahun, namun secara bergilir

(tanaman satu mengikuti tanaman lainnya). Intercropping adalah menanam dua jenis tanaman

pada lahan yang sama secara berselang seling untuk seluruh atau sebagian masa

pertumbuhan tanaman (Sullivan, 2003).

Willey et al. (1979) menyatakan bahwa dalam pola tanam tumpangsari perlu

memperhatikan kepekaan tanaman terhadap persaingan selama hidupnya. Banyak tanaman

pada periode tertentu sangat sensitif dan peka terhadap kompetisi sehingga dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Agar persaingan antara jenis tanaman yang

ditumpangsari dapat ditekan sekecil mungkin, maka perlu diatur agar sumberdaya yang

diperlukan untuk masing-masing tanaman tidak terjadi pada saat yang bersamaan.

Intensitas pola tanam dalam kurun waktu setahun sangat erat kaitannya dengan

kondisi iklim terutama curah hujan. Oldemann (1975) menyusun klasifikasi iklim di Indonesia

berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering. Untuk bulan basah apabila curah hujan

dalam satu bulan lebih besar dari 200 mm dan untuk bulan kering apabila jumlah curah hujan

dalam sebulan lebih kecil dari 100 mm. Zona agrokllimat menurut Oldeman ini dapat dilihat

pada Tabel 2.5

Apabila periode kering kurang dari dua bulan maka pada subzona tersebut dapat

dilakukan budidaya tanaman sepanjang tahun. Jika periode kering antara 2 – 3 bulan, maka

untuk dapat melakukan budidaya tanaman sepanjang tahun perlu perencanaan yang lebih

matang. Periode kering untuk

Tabel 2.7. Zona Agroklimat (Oldeman, 1975)

Zona Jumlah bulan basah berturut-turut

A > 9

B 7 – 9

C 5 – 6

D 3 – 4

E < 3

membudidayakan tanaman tak dapat dihindari apabila periode kering berlangsung 4 – 6 bulan

dalam setahun. Untuk subzona dengan periode kering 7 – 9 bulan, hanya dapat dilakukan

satu kali tanam dalam setahun. Sedangkan untuk subzona dengan periode kering lebih dari

9 bulan tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian jika tidak dikembangkan sistem

irigasi yang dapat menjamin ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Oldeman, 1980).

Menurut Hoque (1984) contoh pola tanam pada lahan kering khususnya di Indonesia

disajikan pada Tabel 2.6

Page 34: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

27

Tabel 2.8. Contoh Pola Tanam Pada lahan Kering di Indonesia (Hoque, 1984)

No. Pola Tanam Tempat

1 Padi - Jagung + Kacang Tanah Sampang

2 Jagung - Padi/Ketela Pohon Way Abung

3 Jagung + Padi – Jagung Tinjau Pecah

4 Jagung + Padi - Jagung + Ketela Rambat Sampang

5 Jagung + Padi - Jagung + Kacang Tanah - Jagung +

Kacang Tanah

Sampang

6 Jagung + Kacang Tanah - Jagung + Kacang Tanah -

Jagung + Kacang Tanah

Sampang

2.10 Nilai Ekonomi Tanaman

Nilai ekonomi tanaman yang dimaksudkan disini adalah keuntungan usahatani yang

diperoleh dari komoditas tanaman yang diusahakan. Semakin tinggi keuntungan berarti makin

tinggi nilai ekonomi tanaman atau sebaliknya (Santosa, 2006).

Keuntungan usaha tani (K) adalah selisih antara penerimaan total (P) dan biaya-biaya

(B) atau dapat ditulis K = P – B. Apabila produksi Y harga satuannya Py dan banyaknya input

X harga satuannya Px, maka persamaan akan menjadi: K = Y.Py – X.Px (Soekartawi, 1993).

Biaya – biaya ada biaya tetap dan ada biaya tidak tetap (X1.Px1, X2.Px2 ….Xn.Pn).

Perhitungan biaya-biaya ini sudah termasuk dalam X.Px.

Pengusahaan suatu jenis tanaman tertentu di suatu wilayah yang berorientasi

agribisnis, erat kaitannya dengan keuntungan yang akan didapat. Tanaman yang dipilih sudah

tentu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Keuntungan usaha tani ini dapat dicari per

komoditas tanaman atau gabungan dari beberapa jenis tanaman yang diusahakan dalam satu

musim atau kurun waktu tertentu misalnya untuk pola tanam dalam setahun.

2.11 Model CropWat for Windows

Dalam hubungannya dengan ilmu keairan, salah satu model yang saat ini berkembang

pesat adalah Model CropWat. Model CropWat ini merupakan Decision Support Sistem (DSS)

yang dikembangkan oleh Divisi Pengembangan Tanah dan Air FAO (Smith, 1992). untuk

merencanakan dan mengelola irigasi. Model CropWat dimaksudkan sebagai alat praktis untuk

menghitung evapotranspirasi acuan (ETo), kebutuhan air tanaman (ETc) dan kebutuhan air

irgasi. Penggunaan Model CropWat mempunyai kelebihan karena dapat mempercepat

pengolahan data dan sekaligus juga untuk mempercepat memperoleh gambaran hasil

mengenai obyek yang diteliti. Model dapat dalam bentuk persamaan atau kumpulan dari

persamaan yang tersusun dalam bentuk program simulasi. (Marica, 2010).

Page 35: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

28

Prosedur untuk menghitung kebutuhan air tanaman dan kebutuhan air irigasi

berdasarkan metode yang dikemukakan oleh FAO pada buku Irrigation and Drainage paper

No. 24 “Crop Water Requirement” dan No. 33 “Yield Response to Water”.

Terdapat dua versi baru dari CropWat, yang pertama adalah CropWat versi 7.0 yang

berisi versi secara komplit dalam bentuk Pascal yang dikembangkan dengan bantuan

Agricultural College of Velp, Belanda. Versi ini sudah diperbaiki dari aslinya Versi 5.7.

Aplikasinya dalam bentuk DOS namun dapat juga dijalankan dengan MS-Windows. Versi yang

kedua adalah CropWat for Windows yang ditulis dalam Visual Basic dan dioperasikan dengan

sistem windows. Model ini dikembangkan atas bantuan International Irrigation & Development

Institute Universitas Southampton, UK.

CropWat tersebut menggunakan metode Penman-Monteith, FAO (1992) untuk

menghitung evapotranspirasi acuan. Estimasi ini selanjutnya digunakan untuk menghitung

kebutuhan air tanaman dan jadwal irigasi (Clarke et al., 1998).

Model CropWat dapat dimanfaatkan untuk estimasi evapotranspirasi dan respon hasil

tanaman terhadap air. Model ini juga lazim digunakan untuk simulasi efek cekaman lengas-

tanah terhadap hasil tanaman dan estimasi reduksi hasil tanaman. Hasil penelitian Thimme et

al. (2013) menunjukkan bahwa kebutuhan air tanaman jagung pada lahan kering tadah hujan

beragam menurut waktu penanaman benihnya. Total kebutuhan air tanaman jagung yang

ditanam awal adalah 116,0 mm dan jagung yang ditanam lebih akhir mempunyai kebutuhan

air sebesar 183,8 mm.

Page 36: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

29

BAB III.

KONSEP PENGEMBANGAN LAHAN KERING

Pengembangan lahan kering dihadapkan pada berbagai kendala baik biotik maupun

sosial ekonomi serta faktor pembatas utama pertumbuhan seperti rendahnya kesuburan tanah

dan tidak tersedianya air sepanjang tahun. Sumber air untuk memenuhi kebutuhan tanaman

pada lahan kering berasal dari curah hujan yang jumlahnya terbatas, pengelolaan air yang

tidak baik membuat usaha tani lahan kering sering diusahakan sekali saja dalam setahun. Hal

ini yang menyebabkan produktivitasnya rendah dan resiko kegagalannya sangat tinggi,

sehingga pendapatan petani menjadi rendah pula (Munandar, 1994).

Agar dapat melakukan penanaman yang lebih intensif perlu diperhatikan kondisi tanah,

iklim dan tanamannya. Kondisi tanah yang sangat penting adalah ketersediaan air tanah.

Ketersediaan air tanah tergantung dari iklim yaitu curah hujan sehingga didapatkan Neraca Air

Wilayah, Neraca Air Lahan dan Neraca Air Tanah berdasarkan perhitungan CropWat

Unsur tanamannya yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan air tanaman. Kebutuhan

air tanaman dipengaruhi oleh koefisien tanaman (Kc) dan evapotranspirasi acuan (ETo),

dimana ETo sangat ditentukan oleh unsur iklim seperti suhu, kelembaban, kecepatan

angin dan lama penyinaran (Penman–Monteith) (Islami, 1995). Dengan mengetahui neraca

air tanah dan kebutuhan air tanaman, maka usaha tani pada lahan kering seperti penentuan

saat tanam dan pola tanam dapat dilakukan dengan tepat. Harapannya produksi dapat

ditingkatkan sehingga pendapatan petani juga meningkat.

Mencegah terjadinya kekaburan pengertian dalam pembahasan perlu disampaikan definisi operasional dari masing-masing variable yang dibahas. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Neraca air lahan adalah keseimbangan antara perubahan air yang tersedia di dalam

tanah (ΔST) dengan air yang digunakan (ET) pada lahan pertanian. Indikator-

indikatornya adalah: curah hujan, aliran permukaan, perkolasi dalam, evapotranspirasi

dan simpanan air dalam tanah. Perubahan ketersediaan air dalam tanah ditentukan

oleh banyaknya air hujan yang masuk ke dalam tanah, sedangkan air yang digunakan

sangat ditentukan oleh evapotranspirasi. Evapotranspirasi itu dipengaruhi oleh

koefisien tanaman (Kc), suhu, kelembaban, kecepatan angin dan lama penyinaran.

Ketika air yang tersedia dalam tanah mencukupi air yang dibutuhkan oleh tanaman,

maka pertumbuhan tanaman maksimal, sehingga produksi maksimal. Sebaliknya

jika air yang tersedia dalam tanah tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman,

maka pertumbuhan tanaman menjadi tidak normal, sehingga produksi akan menurun.

2. Pola tanam Ubikayu+Jagung-Kacang tanah secara tumpangsari maksudnya:

menanam lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang lahan dalam kurun waktu satu

tahun (Van Hood, 1987). Indikator-indikatornya adalah: hasil umbi segar ubikayu, berat

biji jagung kadar air 12% dan berat biji kering jemur kacang tanah pada tanaman

tumpangsari dan monokultur. Kemudian ditentukan nilai kesetaraan tanah (NKT), jika

Page 37: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

30

NKTnya lebih kecil dari 1 berarti pola tanam tersebut tidak menguntungkan, sebaliknya

jika NKTnya lebih besar dari 1 berarti pola tanam tersebut sangat menguntungkan.

3. Saat tanam tepat berarti: saat tanam dimana tanaman masih mampu berproduksi secara

maksimum. Indikator-indikatornya: evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi maksimum.

Kemudian ditentukan reduksi hasilnya, jika reduksi hasilnya kebih kecil dari 10% ini berarti

waktu tanamnya tepat, sebaliknya jika reduksi hasilnya melebihi 10% berarti waktu tanamnya

tidak tepat.

Gambar 3.1 Skema kerangka konsep penelitian

o SAAT TANAM TEPAT

o POLA TANAM

PRODUKSI TINGGI

PENDAPATAN

PETANI

MENINGKAT

KEBUTUHAN AIR TANAMAN

TANAMAN

CH ETo

IKLIM

KONDISI

LAHAN KERING

KETERSEDIAAN

AIR TANAH

TANAH

NERACA AIR

WILAYAH

NERACA

AIR LAHAN

CROPWAT

LAHAN KERING

BERCOCOK TANAM

KURANG INTENSIF,

POLA TANAM 1X/TAHUN

PRODUKSI LAHAN

PER TAHUN RENDAH

PENDAPATAN

PETANI RENDAH

SUMBER AIR

TERBATAS

CURAH

HUJAN

IGASI

TIDAK

ADA

LAHAN

MARGINAL

Page 38: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

31

Gambar 3.2. Kerangka Analisis Pengembangan

PERCOBAAN LAPANG (HARTMAN) Mengukur dampak perubahan tanggal tanam sebagai akibat Neraca Air Wilayah terhadap: a. Perubahan/Kandungan air dalam tanah b. Curah hujan c. Aliran permukaan d. Perkolasi dalam e. Evapotranspirasi f. Produksi tanaman

ANALISIS EKONOMI Mengukur dampak perubahan produksi sebagai akibat tanggal tanam terhadap : a. Pola tanam b. Nilai Kesetaraan Tanah c. Reduksi hasil d. Nilai ekonomi

ANALISIS SIMULASI (Thorntwaite + CropWat for Windows) Mengukur dampak Neraca Air Wilayah terhadap: a. Saat terjadi Surplus atau Defisit b. Tanggal Tanam

Page 39: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

32

BAB IV

METODE PENGEMBANGAN LAHAN KERING

4.1 Tempat Pengembangan Lahan Kering

Pengembangan Lahan Kering dilakukan di daerah Bali Selatan yaitu di Kabupaten

Badung, Kecamatan Kuta Selatan, Desa Pecatu, Banjar Tengah dan Subak Temu Dewi. Lokasi penelitian terletak pada 8o 49’ 51’’ LS dan 115 o07’ 47” BT dan terletak pada ketinggian 202 m dari permukaan laut (BMKG, 2010). Pengembangan Lahan Kering dilaksanakan selama Oktober 2010 hingga Juli 2011, menggunakan metode observasi, wawancara dan percobaan lapangan (field experiment). Observasi dan wawancara dilakukan untuk mengetahui sistem usahatani yang telah dilakukan oleh petani, sedangkan untuk meneliti pola pengembangan pertanian lahan kering berbasis neraca air lahan dilakukan percobaan lapangan.

4.2. Persiapan Pengembangan Lahan Kering

Persiapan awal yang dilakukan adalah berkonsultasi dengan instansi yang terkait

untuk menentukan lokasi penelitian. Pada tahap persiapan ini juga dilakukan Studi Pustaka

mengenai penelitian terdahulu tentang neraca lengas lahan kering dan pola tanamnya, di

Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Perpustakaan Pusat Universitas

Brawijaya, Perpustakaan Pusat Universitas Udayana dan Perpustakaan Pusat Universitas

Mahasaraswati dan instansi terkait lainnya.

Kegiatan lain yang dilakukan adalah ujicoba Software CropWat for Windows untuk

menganalisis evapotranspirasi acuan, kebutuhan air tanaman

dan estimasi penurunan hasil tanaman.

4.3 Tahapan Pengembangan Lahan Kering

Konsep yang mendasari penelitian adalah pengenalan biofisik lahan yang ditunjang

oleh analisis laboratorium, pengelolaan lahan yang diperlukan dan selanjutnya penggunaan

atau rencana pengembangan pola tanam lahan kering yang bersangkutan.

Tahapan kegiatan penelitian terdiri atas: (1) Observasi dan survei lapangan; (2) Studi

neraca air pada lahan kering; (3) Penelitian kebutuhan air tanaman; (4) Simulasi neraca air

dengan CropWat for Windows dan Eksperimen (5) Analisis pola tanam lahan kering di lokasi

Bali Selatan.

Kegiatan 1. Observasi dan Survei Lapangan

Observasi lapangan difokuskan pada tinjauan mengenai daerah Bali Selatan, utamanya

lahan-lahan kering pertanian tanaman pangan, beragam aktivitas usahatani lahan kering

dengan tanaman palawija. Analisis dilakukan dengan lingkup keadaan keadaan umum daerah

penelitian, karakteristik tanahnya (didukung dengan analisis contoh tanah di laboratorium),

bentuk lahan, kondisi iklim, karakteristik vegetasi, dan luas tanah garapan petani. Data-data

Page 40: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

33

dikumpulkan dengan jalan pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan petani dan

penduduk setempat, Kepala Desa, Camat dan Dinas Pertanian.

Kegiatan 2. Studi Neraca Air Pada Lahan Kering

Kegiatan ini bertujuan untuk menyusun neraca air wilayah dengan Metode Thorthwaite –

Mather.

Neraca air untuk wilayah Bali Selatan dicari dengan metode Thorthwaite dan Mather

yang dikemukakan oleh Prijono (2009) seperti Tabel 4.1

Table 4.1 Tabel Neraca Air untuk Wilayah Menurut Thornwaite dan Mather

Bulan

Variabel

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

P

PE

P – PE

APWL

ST

∆ST

AE

Defisit

Surplus

Keterangan : P = Curah hujan (mm/bulan); PE = Evaporasi potensial (mm/bulan); Sto = Kapasitas

lapang; APWL = Accumulation Potensial of Water Loss; ST = Total simpanan air tanah; ∆ST =

Perubahan Kandungan Air Tanah (mm/bulan); AE = Evaporasi aktual (mm/bulan); Defisit = Kekurangan

(mm/bulan); Surplus = Kelebihan (mm/bulan).

Curah Hujan (P)

Page 41: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

34

Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan rata-rata bulanan dalam

kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2000 - 2009). (diambil dari Balai Meteorologi dan

Geofisika Wilayah III stasiun Ngurah Rai)

Evapotranspirasi Potensial (ETo atau PE)

Dalam menetapkan evapotranspirasi potensial digunakan metode perhitungan

evapotranspirasi potensial menurut FAO Penman-Monteith, sebagai berikut: (Allen at al.,

1998)

dimana : ETo = Evapotranspirasi potensial (mm hari-1); Rn = Radiasi bersih pada permukaan

tanaman (mm hr-1); G = Perubahan simpanan panas tanah kondisi jenuh (mm hr-1); T =

Temperatur udara (oC); U2(VPD)= Kecepatan angin pada ketinggian 2 m di atas permukaan

tanah (km jam-1); Δ = Perubahan tekanan uap jenuh yang berkaitan dengan perubahan

temperatur udara; y = Koefisien psychrometer.

Input data yang diperlukan adalah data iklim yang mencakup temperatur, kelembaban,

penyinaran dan kecepatan angin. Data iklim ini bersumber dari Stasiun Ngurah Rai yang

dikumpulkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009

(BMKG, 2010).

Jumlah Kumulatif Defisit Air (Accumulation Potensial of Water Loss = APWL)

Jumlah kumulatif dari defisit air (APWL) didapat dari selisih antara curah hujan (P)

dengan evapotranspirasi potensial (PE) pada bulan yang bersangkutan. Perhitungan defisit

air untuk bulan selanjutnya apabila tidak terjadi curah hujan, merupakan jumlah defisit pada

bulan bersangkutan ditambah dengan defisit bulan sebelumnya.

Kadar Air Tanah (Soil Moisture Storage = ST)

Kadar air dalam tanah tergantung pada: (1) Kadar air tanah pada keadaan kapasitas

lapang (STo), dan (2) defisit dari curah hujan (APWL). Penentuan kadar air tanah pada

keadaan kapasitas lapang dengan membuat kurva pF. Kadar air tanah pada kapasitas lapang

adalah kadar air tanah pada pF = 2,5.

Pembuatan kurva pF dilakukan berdasarkan data hasil analisis contoh tanah di

laboratorium. Prinsip penetapan pF adalah menyetimbangkan contoh tanah jenuh pada

tekanan atau hisapan tertentu dan setelah setimbang diukur kadar airnya, sehingga diperoleh

hubungan antara kadar air tanah dnegan besarnya tekanan atau Hisapan (dinyatakan dengan

pF). Dari hubungan ini didapat gambar kurva pF.

Penentuan besar defisit dari curah hujan dicari dengan menjumlahkan defisit

sebelumnya dengan defisit yang terjadi pada bulan bersangkutan (APWL).

Kadar air dalam tanah dicari dengan persamaan :

Page 42: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

35

ST = STo. E(+APWL / -STo)

dimana : ST = Kadar air tanah (mm); STo = Kadar air dalam keadaan kapasitas lapang (mm);

APWL = Jumlah kumulatif defisit curah hujan (mm).

Evapotranspirasi Aktual (AE)

Evapotranspirasi aktual dicari dengan cara : (1) Pada bulan-bulan basah (P> PE) : AE

= PE dan ; (2) Pada bulan-bulan kering (P < PE) : AE = P + ΔST.

Neraca Air

Neraca air pada bulan-bulan basah (P>PE, AE=PE, ΔST≥0) P = PE + S + ΔST S = (P – PE) – ΔST Neraca air pada bulan kering (P<PE, AE<PE, ΔST≤0) P = AE + ΔST D = PE – AE

Defisit dan Surplus

Defisit dan surplus air tanah dihitung dengan cara mengurangi curah hujan dengan

evapotranspirasi potensial; kalau nilainya negatif berarti defisit (D) dan kalau nilainya positif

berarti surplus (S).

Kegiatan 3. Simulasi Neraca Air dengan CropWat for Windows

Kegiatan ini bertujuan untuk (1) mengevaluasi Neraca Air pada masing-masing pola tanam

sebelum penelitian; (2) menentukan besarnya reduksi produksi tanaman.

Simulasi dilakukan untuk menganalisis kebutuhan air tanaman dengan adanya

pergeseran waktu tanam dan mengestimasi penurunan hasil tanaman apabila terjadi

kekurangan air. Simulasi dilakukan dengan menggunakan Model CropWat for Windows

menurut FAO yang dikemukakan oleh Smith (1992). Data input yang diperlukan, data output

yang diperoleh, cara perhitungan dan diagram alurnya dijelaskan berikut ini.

1. Data Input

Data input yang diperlukan pada model ini adalah :

(1) Data iklim periode 2000-2009 meliputi : suhu udara maksimum dan minimum,

kelembaban relatif, periode penyinaran dan kecepatan angin.

(2) Data curah hujan harian atau bulanan.

(3) Pola tanam yang terdiri atas tanggal tanam, koefisien tanaman (yang menyangkut nilai

Kc, stadia pertumbuhan, kedalaman perakaran, fraksi deplesi) dan areal tanam (0 –

100% dari luas total areal).

(4) Tekstur tanah liat dengan Total Lengas Tersedia (TAM) 180 mm/bulan, laju infiltrasi

maksimum 40 mm/hari, maksimum kedalaman akar 1 m, dan ketersediaan lengas awal

180 mm/bulan.

Page 43: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

36

2. Data Output

Setelah semua data dimasukkan, Model CropWat “berproses” melakukan analisis dan

hasilnya disjaikan dalam format tabel atau grafik. Time Step untuk estimasi hasil tanaman

adalah harian, mingguan, periode, atau bulanan. Keluaran parameter untuk setiap tanaman

di dalam model pola tanam adalah : (1) Evapotranspirasi acuan – ETo (mm periode-1); (2)

Hujan efektif (mm periode-1) – jumlah air yang masuk ke dalam tanah; (3) Kebutuhan air

tanaman – CWR atau ETm (mm periode-1); (4) Defisit air tanah harian (mm); (5) Estimasi

penurunan hasil sehubungan dengan stress tanaman (apabila ETc/ETm dibawah 100%).

Ambang penurunan hasil diperhitungkan maksimum 10% berdasarkan perhitungan

dengan model CropWat for Windows. Nilai ekonomi penurunan hasil juga diestimasi.

3. Cara Perhitungan

Nilai evapotranspirasi acuan (ETo) yang semula per periode atau bulanan diganti

menjadi harian dengan menggunakan empat model distribusi.

Model CropWat menghitung kebutuhan air tanaman dengan menggunakan

persamaan CWR = ETo x Kc x Luas areal tanam. Hal ini berarti bahwa CWR puncak dalam

mm hari-1 nilainya lebih kecil dibandingkan ETo kalau areal tanam dalam pola tanam kurang

dari 100%.

Nilai Kc rata-rata untuk setiap time step diestimasi dengan interpolasi linier di antara

nilai Kc untuk setiap stadia perkembangan tanaman. Nilai Kc tanaman dihitung dengan rumus:

(Kc x areal yang tertutup tanaman). Jika penutupan tanamannya hanya 50% dari areal, maka

nilai Kc tanaman menjadi setengah dari nilai Kc yang ada pada file data.

Kebutuhan air tanaman dan curah hujan bulanan harus didistribusi menjadi nilai

harian. Model CropWat for Windows melakukan ini melalui dua langkah. Langkah yang

pertama, curah hujan dari bulan ke bulan dikerjakan pada kurva kontinyu. Kemudian model

mengasumsikan bahwa curah hujan bulanan dalam 6 curah hujan tinggi yang terpisah, sekali

setiap lima hari (jumlah curah hujan tinggi dapat diubah).

Total air tersedia (Total Available Moisture = TAM) dalam tanah untuk tanaman

selama musim pertumbuhan dihitung sebagai kadar air pada kapasitas lapang dikurangi

dengan kadar air pada titik layu, dikalikan dengan kedalaman perakaran. Air tanah mudah-

tersedia (Readily Available Moisture = RAM) dihitung dengan rumus:

RAM = TAM x P dimana P adalah fraksi deplesi.

Untuk menghindari cekaman air, perhitungan defisit air tanah hendaknya tidak jauh di bawah

nilai RAM.

4. Diagram Alir Model CropWat for Windows

Diagram alir Model CropWat dimulai dengan input data yang meliputi : penutupan

tanaman, meteorologi dan tanah. Data meteorologi terdiri dari : (1) temperatur maksimum dan

minimum, (2) kecepatan angin, (3) lama penyinaran, (4) kelembaban relatif dan (5) curah

Page 44: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

37

1

hujan. Evapotranspirasi potensial (ETo) dihitung dengan persamaan Penman-Monteith. Hujan

efektif dihitung dengan menggunakan Metode SCS - USDA, seperti persamaan berikut :

Pe = Ptot x untuk Ptot < 250 mm

Pe = 125 + 0,1 x Ptot untuk Ptot > 250 mm

dimana : Pe = Hujan efektif (mm); Ptot = Hujan total.

Setelah data input yang diperlukan dimasukkan, Model CropWat dapat menghitung

dalam setiap dekade, meliputi : (1) koefisien tanaman, (2) evapotranspirasi tanaman aktual,

(3) perkolasi dalam, (4) hujan efektif dan (5) kebutuhan air tanaman.

Kebutuhan air tanaman pada kondisi tanpa irigasi, sumber airnya hanya curah hujan.

Model CropWat mensimulasi neraca air pada lahan, meliputi : (1) deplesi air tanah, (2) jumlah

perkolasi dalam, (3) evapotranspirasi tanaman aktual dan (4) hasil tanaman. Neraca air pada

lahan dapat ditulis sebagai berikut :

SMDt = SMDt-1 + ETc – Pe + R + DP

dimana : SMD1, SMDt-1 : Deplesi air tanah pada dekade t dan t-1 (mm); ETc: Evapotranspirasi

aktual tanaman (mm); Pe : Hujan efektif (mm); R : Aliran permukaan/run off (mm); DP :

Perkolasi dalam (mm).

Reduksi hasil tanaman pada masing-masing fase dievaluasi berdasar pada derajat

deplesi air tanah untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi tanaman. Reduksi hasil

masing-masing fase dan reduksi hasil kumulatif tanaman dapat dihitung sesuai rumus dalam

FAO Paper No. 33 sebagai berikut :

1 −𝑌𝑎

𝑌𝑚 = 𝑘𝑦 1 −

𝐸𝑇𝑎

𝐸𝑇𝑚

1 −𝑌𝑎

𝑌𝑚 = 1 −

𝑌𝑎

𝑌𝑚 ∗

𝑌𝑎

𝑌𝑚 ∗ … … ∗

𝑌𝑎

𝑌𝑚

dimana : i = Fase pertumbuhan tanaman; Ky = Faktor reduksi hasil tanam; Ya, ETa = Hasil

dan evapotranspirasi tanaman actual; Ym, ETm = Hasil dan evapotranspirasi tanaman

potensial.

Kegiatan analisis ini untuk mendapatkan tanggal tanam dan pola tanam yang berpeluang

dapat diterapkan.

125 – 0,2 Ptot

125

i

2 i

Page 45: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

38

Tanpa irigasi, hanya curah hujan

Mensimulasi setiap parameter tanaman selama musim pertumbuhan

termasuk : (1) koef. tanaman, (2) evapotranspirasi tanaman, (3) hujan

efektif, (4) perkolasi dalam dan (5) kebutuhan air tanaman

Input areal tanam setiap tanaman, tanggal tanam

1. Menghitung evapotranspirasi (ETo) –

Penman Monteith

2. Menghitung curah hujan efektif (SCS

- USDA)

Mulai

Input Data Dasar

Tanah

Tekstur; Air tersedia; Laju

infiltrasi; Air tanah awal

Iklim & Hujan

Temperatur; Kecepatan

angin; Penyinaran;

Tanaman

Tgl tanam; Kc; Mintakat

perakaran; Ky

Reduksi Hasil tanaman

Menghitung neraca air

Menstimulasi neraca air pada lahan

meliputi : deplesi air tanah, ET

aktual, perkolasi dalam

Gambar 4.1 Diagram alur Model CropWat for Windows

Page 46: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

39

Kegiatan 4. Percobaan Lapangan

Percobaan lapangan dilakukan untuk (1) memperoleh Neraca Air Lahan (Metode

Hartman); dan (2) Evaluasi neraca air dengan CropWat for Windows.

a. Neraca Air Lahan

Neraca air untuk lahan pada petak tanaman menurut Hartman (1983) adalah :

ΔST = P – (R + ET + DP)

dimana : ΔST = Perubahan simpanan air dalam tanah (cm3cm-3); P = Curah hujan (mm); R

= Aliran permukaan (run off) (mm); ET = Evapotranspirasi (mm); DP = Perkolasi dalam (mm).

Cara pengukuran curah hujan (P) dengan menggunakan alat penakar hujan

Ombrometer.

Perubahan Simpanan Air Tanah (ΔST)

Perubahan simpanan atau cadangan air dalam tanah (ΔST) dihitung dengan Neutron

Probe Type IH2 DIDCOT Wallingford, England:

Menghitung total simpanan air

Kedalaman yang diperhitungkan sampai kedalaman 45 cm. Simpanan air (ST) sampai

kedalaman 45 cm dihitung dengan persamaan :

ST45 = 150 θ10 + 100 (θ20 + θ30 + θ40) mm

Perubahan simpanan air (ΔST) = ST2 – ST1, dimana ST1 adalah simpanan air pada t1

dan ST2 adalah simpanan air pada t2.

Pengukuran aliran permukaan (R - runoff) menggunakan rumus :

R = Ptot – Pe

dimana : R = Aliran permukaan (mm) ; Ptot= Hujan total (mm); Pe = Hujan efektif (mm), dihitung

dengan Persamaan SCS-USDA.

Penentuan Perkolasi Dalam (DP – deep percolation)

Perkolasi Dalam (DP) diasumsikan sangat rendah karena kandungan liatnya sangat

tinggi, maka DP dianggap 0.

Evapotranspirasi (ET) diperoleh dari neraca air, merupakan besarnya air yang diperlukan

tanaman.

Page 47: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

40

4 m

II I III

1 m

4 m

UKJKT

4 m

2m

Percobaan Lapangan

Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang disusun secara

tunggal.

I. Perlakuan Pola Tanam yang terdiri dari tiga macam yaitu:

1. Ubikayu (UK)

2. Ubikayu +Jagung (UKJ)

3. Ubikayu + Jagung - Kacang Tanah (UKJKT)

Denah petak percobaan disajikan pada Gambar 4.2

Gambar 4.2 Denah Pola Tanam di lapangan

U

S

16 m

16 m

UK

1 m

UKJ

UK

UK UKJKT UKJ

UKJKT UKJ

MJ

3m

Page 48: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

41

I I III

0,5

m

1 m

8,5 m

1,5 m

II. Perlakuan Waktu Tanam

a. Kacang Tanah terdiri atas empat waktu tanam yaitu:

1. Tanggal 3 Februari 2011 (KT3)

2. Tanggal 10 Februari 2011 (KT10)

3. Tanggal 17 Februari 2011 (KT17)

4. Tanggal 24 Februari 2011 (KT24)

Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Denah petak percobaan disajikan pada Gambar

4.3

Keterangan :

I, II, III = Ulangan

UK = Ubikayu

UKJ = Ubikayu + Jagung

UKJKT = Ubikayu + Jagung - Kacang Tanah

MJ = Monokultur Jagung

U

S

KT3 KT10 KT17

KT10 KT3 KT24

KT17 KT24 KT3

KT24 KT17 KT10

11 m

1,5 m

Page 49: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

42

II I III

1 m 1 m

2,4 m

b. Ubijalar juga terdiri dari empat level yaitu :

1. Tanggal 3 Februari 2011 (UJ3)

2. Tanggal 10 Februari 2011 (UJ10)

3. Tanggal 17 Februari 2011 (UJ17)

4. Tanggal 24 Februari 2011 (UJ24)

Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Denah petak percobaan disajikan pada Gambar

4.4

Keterangan :

I, II, III = Ulangan

KT3 = Kacang tanah tanam tgl 3 Februari 2011

KT10 = Kacang tanah tanam tgl 10 Februari 2011

KT17 = Kacang tanah tanam tgl 17 Februari 2011

KT24 = Kacang tanah tanam tgl 24 Februari 2011

Gambar 4.3 Denah Waktu Tanam kacang tanah di lapangan

U

S

UJ3 UJ10 UJ24

UJ24 UJ17 UJ3

UJ17 UJ24 UJ10

UJ10 UJ3

13,6 m

14,6 m

3,2m

UJ17

Page 50: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

43

Pola Tanam Ke 1 : Ubikayu (Manihot esculenta Crantz)

Pada pola tanam ini, Ubikayu varietas Adira 1 ditanam secara monokultur. Tanggal

tanamnya 22 Oktober 2010, lama periode pertumbuhannya 242 hari dan panen tanggal 21

Juni 2011.

Pola Tanam Ke 2 : Ubikayu + Jagung (Manihot esculenta Crantz + Zea mays L.)

Pada pola tanam ini, Ubikayu varietas Adira 1 + jagung varietas Pertiwi 3 ditanam

secara tumpang sari. Tanggal tanamnya 22 Oktober 2010, lama periode pertumbuhan jagung

dan 95 hari dan panen tanggal tanggal 26 Januari 2011. Sedangkan untuk Ubikayu periode

pertumbuhannya 242 hari dan panen tanggal 21 Juni. 2011 .

Pola Tanam Ke 3: Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah (Manihot esculenta Crantz + Zea

mays L. – Arachis hypogaea L.)

Pada pola tanam ini, Ubikayu varietas Adira 1 dan jagung varietas Pertiwi 3 ditanam

secara tumpang sari sebagai tanaman pertama. Tanggal tanamnya 22 Oktober 2010, lama

periode pertumbuhan jagung 95 hari dan panen tanggal 26 Januari 2011. Kemudian ditanam

seri tanaman kedua kacang tanah varietas Kancil tanggal 3 Februari 2011 tumpang sari

dengan Ubikayu. Lama periode pertumbuhan kacang tanah 90 hari dan Ubikayu 242 hari.

Panen kacang tanah 3 Mei 2011 dan Ubikayu 21 Juni 2011.

Pada percobaaan lapangan tanaman ubikayu dan jagung, ditanam serempak saat

musim hujan. Seri pola tanam berikutnya yaitu kacang tanah dan Ubijalar (Ipomoea batatas

L.) yang ditanam secara monokultur ditanam pada saat memasuki musim kering pertama.

Waktu tanam merupakan perlakuan, yaitu penanaman pada tanggal 3 Februari, 10 Februari,

17 Februari dan 24 Februari. Tata Letak tanaman dapat dilihat pada Gambar 4.5 sampai

dengan Gambar 4.9.

Keterangan :

I, II, III = Ulangan

KT3 = Ubijalar tanam tgl 3 Februari 2011

KT10 = Ubijalar tanam tgl 10 Februari 2011

KT17 = Ubijalar tanam tgl 17 Februari 2011

KT24 = Ubijalar tanam tgl 24 Februari 2011

Gambar 4.4. Denah Waktu Tanam Ubijalar di lapangan

Page 51: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

44

BAB V.

HASIL PENGEMBANGAN LAHAN KERING

5.1 Observasi Daerah Pengembangan Lahan Kering

5.1.1 Keadaan Umum Daerah Pengembangan Lahan Kering

Daerah Pengembangan Lahan Kering terletak di Bali Selatan, Kabupaten Badung,

Kecamatan Kuta Selatan, Desa Pecatu, Br. Tengah, Subak Temu Dewi. Lokasi penelitian

terletak pada 8o 49’ 51’’ LS dan 115 o07’ 47” BT dan terletak pada ketinggian 202 m dari

permukaan laut (BMKG, 2010). Kondisi lahan di Desa Pecatu berbukit, tanahnya liat. Wilayah

Desa Pecatu didominasi oleh lahan kering, dengan luas wilayah secara keseluruhan

mencapai 2641,63 ha yang terdiri tegal/huma 1.423,37 ha, pekarangan 80,29 ha, Perkebunan

672,57 ha dan lainnya 465,40 ha. Seluruh wilayah ini lahannya adalah lahan kering. Jumlah

penduduknya 6.863 orang, sejumlah 3.504 orang bekerja dibidang pertanian pangan (data

BPS Badung, 2009). Di daerah ini alih fungsi lahan berlangsung sangat pesat dari lahan

pertanian berupa tegalan kering beralih fungsi menjadi lahan non pertanian seperti properti

dan villa-villa (informasi dari Kepala Desa).

5.1.2 Karakteristik Tanah Wilayah Pengembangan Lahan Kering

Berdasarkan analisis tanah lokasi penelitian pada kedalaman 0-20 cm, tanah miskin

kandungan nitrogen, fosfat dan kaliumnya tergolong sedang, serta C-organiknya sangat

rendah (Lampiran 1a). Tanah pada kedalaman 20 - 40 cm mengandung nitrogen dan kalium

rendah, fosfat sedang, dan C-organiknya sangat rendah (Lampiran 1a.). Tekstur tanah pada

kedalaman 0-20 cm liat berdebu dengan laju infiltrasinya 1,87 cm jam-1 (Lampiran 1b.),

sedangkan pada kedalaman 20-40 cm tekstur tanahnya liat dengan laju infiltrasinya 0,94 cm

jam-1 (Lampiran 1b). Pada beberapa areal ditemukakan batu karang (limestone). Pengambilan

sampel tanah pada tiga lokasi, pada setiap lokasi tanah diambil secara diagonal pada lima titik.

Tipologi lahan lokasi penelitan termasuk lahan kering tipe A dimana sumber airnya hanya

berasal dari curah hujan.

5.1.3 Iklim Daerah Pengembangan Lahan Kering

Desa Pecatu berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman termasuk iklim tipe C3. Stasiun iklim yang diacu adalah Stasiun Iklim Ngurah Rai. Data yang diperoleh setelah diolah dengan bantuan Software FAO CropWat for Windows keadaan iklim daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1 dan Tabel 5.2. Penyinaran, radiasi dan evapotranspirasi polanya rendah waktu musim hujan dan meningkat pada waktu musim kemarau. Namun untuk kelembaban, kecepatan angin, curah hujan dan hari hujan, polanya justru terbalik. Untuk suhu rerata berada pada kisaran 24,6 – 27,0 oC, kelembaban 81,0 – 86,0 %, penyinaran 3,7 – 11 jam, kecepatan angin 164,2 – 354,2 km hr-1, suhu, kelembaban, penyinaran dan kecepatan angin sangat berpengaruh pada evapotranspirasi. Pada cuaca terang evapotranspirasi tinggi dan pada cuaca sejuk rendah (Michael, 1997). Besarnya evapotranspirasi harian pada daerah penelitian antara 3,32 – 5,17 mm hari-1, jumlah evapotranspirasi selama penelitian 1266,2 mm dan curah

Page 52: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

45

hujan selama periode penelitian 2109,6 mm. Ini berarti bahwa jumlah curah hujan per periode penelitian yang masuk ke wilayah penelitian masih lebih besar dibandingkan dengan air yang keluar (hilang) melalui evapotranspirasi. Evapotranspirasi pada musim hujan lebih rendah dari musim kemarau. Pada cuaca terang evapotranspirasi tinggi dan pada cuaca sejuk evapotranspirasi rendah (Michael, 2008). Tabel 5.1. Data iklim: Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin, Penyinaran dan Radiasi di Daerah

Pengembangan Lahan Kering (Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah III Stasiun Ngurah Rai, 2011)

Tahun Bulan Suhu (oC) Kelembaban Penyinaran Kecepatan

Angin Radiasi

Rata-rata

Maks Min (%) (jam) (km/jam) (MJ/m2/jam)

2010 Oktober 27,7 30,7 25,0 84,0 8,4 224,6 21,5

November 28,0 31,5 24,9 83,0 8,5 164,2 20,4

Desember 27,5 30,7 25,1 84,0 3,7 241,9 13,0

2011 Januari 27,2 30,5 24,6 83,0 4,9 263,5 15,1

Februari 27,5 31,0 24,8 82,0 6,7 302,4 18,7

Maret 27,2 30,2 25,0 84,0 7,6 285,1 21,1

April 26,9 30,0 24,7 86,0 7,7 229,0 21,4

Mei 27,1 30,3 24,9 83,0 9,9 246,2 24,1

Juni 25,8 28,6 23,7 81,0 9,9 328,3 23,6

Juli 25,4 28,5 23,5 81,0 11,0 354,2 25,3

Jumlah 270,3 302,0 246,2 831,0 78,3 2639,4 204,2

Rerata 27,0 30,2 24,6 83,1 7,8 263,9 20,4

Tabel 5.2. Data Iklim: Evapotranspirasi, Curah Hujan dan Hari Hujan di Daerah Pengembangan

Lahan Kering Tahun Bulan Evapotranspirasi (ETo) Curah Hujan Hari Hujan

mm/hr mm/bln (mm/bln) (hari)

2010 Oktober 4,63 46,30 64,20 5

November 4,40 132,00 168,30 15

Desember 3,32 102,92 508,20 26

2011 Januari 3,71 115,01 373,60 25

Februari 4,47 125,16 281,70 20

Maret 4,62 143,22 274,40 22

April 4,51 135,30 281,60 19

Mei 5,09 157,79 120,10 16

Juni 4,94 148,20 17,80 5

Juli 5,17 160,27 19,70 10

Jumlah 44,9 1266,2 2109,6 163,0

Rerata 4,5 126,6 211,0 16,3

Keterangan : Evapotransirasi (ET0) menurut Penman-Monteith

Page 53: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

46

5.1.4 Vegetasi di Lokasi Pengembangan Lahan Kering

Jenis tanaman yang tumbuh di wilayah Pengembangan Lahan Kering adalah jagung,

kacang tanah, ubikayu, waluh, jeruk, pepaya, mangga, srikaya, turi, jati yang tumbuh bersama-

sama membentuk hamparan vegetasi. Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan pada

waktu Pengembangan Lahan Kering, vegetasi kelihatan tidak merata, agak jarang dan tidak

subur pada waktu musim kemarau, pada waktu musim hujan nampak hijau tetapi banyak

ditumbuhi gulma. Hal ini dominan disebabkan karena terbatasnya ketersediaan air. Jenis

tanaman yang diusahakan umumnya adalah tanaman semusim, semi tahunan dan tanaman

tahunan. Tanaman semusim meliputi jagung, ubikayu, kacang-kacangan. Tanaman semi

tahunan adalah pisang dan pepaya, tanaman tahunan kelapa, mangga, jeruk, srikaya, jati, turi.

Dari observasi di lapangan ternyata di Desa Pecatu seluruh lahannya merupakan lahan kering,

tidak ada sumber air selain air hujan, petani setempat hanya menanam sekali dalam setahun.

Tanaman pangan ditanam secara monokultur dengan pengolahan tanah yang minimum, benih

hanya disebar begitu saja, banyak lahan potensial dibiarkan begitu saja hanya ditumbuhi

rumput dan gulma. Pada beberapa tempat lahannya terdapat batu kapur yang keras sehingga

tidak dapat ditanami. Banyak terjadi alih fungsi lahan dari lahan untuk pertanian menjadi villa-

villa dan sarana pariwisata lainnya.

5.2 Neraca Air Wilayah (Metode Thorntwaite-Mather)

Tabel 5.3 dan Gambar 5.1 menyajikan bulan surplus selama periode Januari hingga

April, sedangkan selama periode Mei hingga Nopember terjadi defisit. Jumlah curah hujan

dalam setahun 1723,9 mm dan evapotranspirasi 1833,7 mm. Curah hujan tinggi hanya

berlangsung lima bulan yaitu dari bulan

Tabel 5.3. Neraca Air untuk Wilayah Bali Selatan (tahun 2000-2009) menurut Thornwaite dan

Mather

Bulan P PE P-PE APWL ST ∆ST AE D S

1 376,5 136,4 240,1 0,0 208,0 -37,6 136,4 0,0 277,7

2 295,0 131,0 164,0 0,0 208,0 0,0 131,0 0,0 164,0

3 259,0 152,5 106,5 0,0 208,0 0,0 152,5 0,0 106,5

4 168,2 157,5 10,7 0,0 208,0 0,0 157,5 0,0 10,7

5 65,1 167,4 -102,3 102,3 127,2 -80,8 145,9 21,5 0,0

6 32,1 160,2 -128,1 230,4 68,7 -58,5 90,6 69,6 0,0

7 16,2 164,9 -148,7 379,1 33,6 -35,1 51,3 113,6 0,0

8 14,1 172,4 -158,3 537,4 15,7 -17,9 32,0 140,4 0,0

9 22,8 161,4 -138,6 676,0 8,1 -7,6 30,4 131 0,0

10 74,5 160,6 -86,1 762,1 5,3 -2,7 77,2 83,3 0,0

11 104,6 139,5 -34,9 797,0 4,5 -0,8 105,4 34,1 0,0

12 295,8 129,9 165,9 0,0 170,4 165,9 129,9 0,0 0,0

Jumlah 1723,9 1833,7 -109,8 3484,3 1265,5 -75,1 1240,1 593,5 558,8

STo = 208 mm

Page 54: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

47

Gambar 5.1. Curah Hujan (P) dan Evapotranspirasi (PE) dalam setahun (2000 -2009)

Desember sampai bulan April. Jumlah curah hujan dari bulan Desember sampai dengan bulan

April sebesar 1394,5 mm. Sedangkan curah hujan dari bulan Mei sampai dengan Nopember

sangat rendah, yaitu hanya 329,4 mm, padahal jumlah evapotranspirasinya selama 7 bulan

mencapai 1126,4 mm. Jadi ada defisit sebesar 797 mm. Simpanan air tanah, pada bulan

Januari, Februari, Maret dan April sebesar 208 mm. Pada bulan Mei simpanan air dalam tanah

mulai menurun yaitu sebesar 127,2 mm kemudian menurun lagi dibulan Juni, Juli, Agustus,

September, Oktober yaitu sebesar 68,7 mm, 33,6 mm, 15,7 mm, 8,1 mm, 5,3 mm sampai

terbawah pada bulan Nopember yang hanya sebesar 4,5 mm, sedangkan pada bulan

Desember simpanan air tanah naik yaitu sebesar 170,4 mm. Perubahan simpanan air tanah

(∆ST) yang paling banyak hanya terjadi pada bulan Desember yaitu 165,9 mm.

Evapotranspirasi aktual sama besarnya dengan evapotranspirasi potensial pada bulan

Desember sampai April, pada bulan-bulan lainnya evapotranspirasi aktual melebihi curah

hujan. Akumulasi kekurangan air tertinggi terjadi pada bulan Nopember yaitu sebesar 797 mm.

Pada bulan April masih ada curah hujan dan pada bulan Mei sudah terjadi defisit sebesar

102,3 mm. Curah hujan setelah bulan April menurun drastis dan lebih rendah dibanding

evapotranspirasi, namun dilihat dari air yang tersimpan di dalam tanah (ST) pada bulan April

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Cu

rah

Hu

jan

(P

) d

an E

vap

otr

ansp

iras

i (P

E)

S = Surplus D = Defisit R = Pengisian Kembali

Bulan

P

PE

R

D

S

Page 55: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

48

sebanyak 208 mm dan bulan Mei 127 mm, jumlah ini relatif cukup untuk akhir masa

pertumbuhan.

5.3 Simulasi Neraca Air dengan Metode CropWat for Windows

Simulasi dilakukan dengan menggunakan model CropWat for Windows menurut FAO

yang dikemukakan oleh Smith (1992). Data diambil dari data klimatologi dari tahun 2000-2009

dari Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III stasiun Ngurah Rai (Tabel 5.4).

Tabel 5.4 Rerata Evapotranspirasi Potensial dan Curah Hujan Efektif Tahun 2000 –

2009 (Balai Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Stasiun Ngurah Rai,

2010)

Bulan ETo (mm/hari) Curah Hujan Efektif

(mm/bulan)

Januari 4,40 162,6

Februari 4,68 154,5

Maret 4,92 150,9

April 5,25 122,9

Mei 5,40 58,3

Juni 5,34 30,5

Juli 5,32 15,8

Agustus 5,56 13,8

September 5,38 22,0

Oktober 5,18 65,6

November 4,65 87,1

Desember 4,19 154,6

Total (mm/tahun) 1833,71 1038,6

Tanaman yang dievaluasi adalah ubikayu, jagung, kacang tanah dan ubijalar. Pola

tanam yang disimulasikan adalah ubikayu monokultur, ubikayu tumpangsari dengan jagung

dan ubikayu tumpangsari jagung kemudian ditanami kacang tanah pada musim kering.

Monokultur kacang tanah dan ubijalar pada empat waktu tanam yang berbeda yaitu ditanam

tanggal 3, 10, 17 dan 24.

Page 56: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

49

Tabel 5.5 Neraca Air Tanah dan Reduksi Hasil pada Musim Hujan (MH) Data Iklim Tahun

2000 – 2009

Tabel

5.6 Neraca Air Tanah dan Reduksi pada Musim Kering I (MKI) Data IklimTahun

2000 – 2009.

Pola Tanaman Tgl

tanam

Hujan

Efektif

(mm)

Etc

(mm)

Etc/Etm

(%)

SMD

akhir

(mm)

Reduksi

Hasil

(%)

Monokultur Kacang

tanah 3 Peb 357,4 391,9 96,7 34,4 2,3

10 Peb 331,7 374,4 91,3 42,6 6,1

17 Peb 312,5 353,1 85,3 40,6 10,3

24 Peb 281,6 327,7 78,3 46,1 15,2

Monokultur Ubijalar 3 Peb 401,1 467,7 67,7 66,7 35,6

10 Peb 365,8 433,7 62,2 67,9 41,6

17 Peb 333,8 399,7 56,9 65,9 47,4

24 Peb 300,2 367,3 52 67,1 52,8

Hasil simulasi neraca air tanaman yang ditanam pada musim hujan (MH) kebutuhan

airnya sangat bervariasi. Neraca air dan terjadinya reduksi produksi juga tampak tidak semua

pola dan saat tanam kondisinya sama. Hasil simulasi tidak mengalami masalah karena reduksi

hasilnya di bawah 10%. Tanaman yang ditanam pada musim kering I (MK I), tanaman kacang

tanah masih mampu memberikan hasil yang baik jika ditanam pada minggu ke dua bulan

Pola Tanaman Tgl

tanam

Hujan

Efektif

(mm)

Etc

(mm)

Etc/Et

m (%)

SMD

akhir

(mm)

Reduksi

Hasil

(%)

UK Ubikayu 22 Okt 864,8 911,6 93,3 46,8 7,3

UK + J Ubikayu 22 Okt 890,9 938,4 92,5 47,5 8,3

Jagung 22 Okt 378,3 382,9 100 4,7 0

UK + J – KT Ubikayu 22 Okt 900,2 949,6 92 49,4 8,8

Kacang

Tanah 3 Peb 342,8 372,1 98,5 29,3 1,1

Page 57: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

50

Februari reduksi hasilnya 6,1%, jika ditanam pada minggu ke tiga Februari reduksi hasilnya

sebesar 10,3% dan jika ditanam pada minggu ke 4 Februari reduksi hasil sudah sebesar

15,2%. Sedangkan tanaman ubijalar semua perlakuan waktu tanam reduksi hasilnya di atas

10% itu berarti tanaman ubijalar tidak cocok ditanam pada musim kering I karena dengan

penanaman diawal Februari saja sudah terjadi penurunan hasil sebesar 35,6%, berarti untuk

ubijalar lebih cocok jika ditanam pada pada musim hujan (MH).

5.4 Percobaan Pengembangan Lahan Kering

5.4.1 Neraca Air Lahan (Metode Hartman)

Pengamatan neraca air dilakukan dari saat tanam sampai panen pada kedalaman 0-

45 cm. Untuk tanaman jagung dan kacang tanah parameter yang diamati adalah berat kering

biji, sedangkan untuk ubikayu dan ubijalar hasilnya dalam bentuk umbi segar. Teknik budidaya

di lapangan dan hasil pengamatan untuk ubikayu, ubikayu + jagung dan ubikayu + jagung -

kacang tanah diuraikan sebagai berikut:

Ubikayu

Sebelum ditanam dilakukan persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan,

pemetakan, pemberian pupuk. Penanaman dilakukan tanggal 22 Oktober 2010 dan panen

tanggal 21 Juni 2011. Varietas Ubikayu yang digunakan adalah Adira 1, lama periode

pertumbuhannya dilapangan 242 hst. Jarak tanam 100 cm x 80 cm. Pupuk ZA 200 kg ha-1,

SP36 100 kg ha-1, KCl 100 kg ha-1. Pupuk ZA dan KCl ½ bagian diberikan saat tanam ½

bagian lagi diberikan saat tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat

tanam, pupuk organik (pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah.

Neraca air pada petak perakaran tanaman Ubikayu disajikan pada Tabel 5.7, terlihat

bahwa selama periode tumbuh tanaman ubikayu terjadi evapotranspirasi sebesar 1087,34 mm

atau 4,49 mm hari-1. Curah hujan selama periode tumbuh ubikayu sebesar 2416,50 mm, runoff

sebesar 507,96 mm, dan total perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh ubikayu

sebesar 821,20 mm. Total ketersediaan air di dalam tanah terlihat bahwa simpanan air tanah

selama pertumbuhan tanaman Ubikayu berkisar antara 169,88 mm – 230,79 mm atau 81,19

– 110,96% dari kapasitas lapang.

Dari Gambar 5.2 grafik hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah

pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman pada petak tanaman Ubikayu terlihat bahwa

profil kadar air tanahnya pada kedalaman 0 cm pada fase initial, development, mid dan late

yaitu sebesar 0,32 cm3cm-3, 0,24

Page 58: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

51

Tabel 5.7 Kondisi Neraca Air Lahan Selama Periode Tumbuh Tanaman Tumpang Sari

Tanaman

Total

Evapotranspirasi

(ET)

(mm)

Total

Curah

Hujan

(P)

(mm)

Total

Run Off

(R)

(mm)

Total

Perubahan

Simpanan air

(ΔS)(mm)

Kisaran Simpanan Air

Tanah

Ubikayu 1087,34

(4,49 mm/hari) 2.416,50 507,96 821,20

169,88 mm - 230,79

mm (81,19% - 110,96%

dari kapasitas lapang)

Ubikayu+Jagung

Jagung 447,90 1.073,30 239,81 385,59

220,73 mm-252,36mm

(106,12%-121,33% dari

kapasitas lapang)

Ubikayu 1088,89

(4,50 mm/hari) 2.416,50 507,96 819,65

188,95 mm-260,66 mm

(90,84% - 125,32% dari

kapasitas lapang)

Ubikayu+Jagung-Kacang Tanah

Jagung 447,90 1.073,30 239,81 385,59

220,73 mm - 252,55

mm (106,12% -

121,33% dari kapasitas

lapang)

Kacang

Tanah 479,74 1.169,40 250,52 439,14

213,54 mm - 254,55

mm (102,66% -

122,38% dari kapasitas

lapang)

Ubikayu 1109,99

(4,59 mm/hari) 2.416,50 507,96 798,55

194,08 mm - 254,55

mm (88,50% - 122,38%

dari kapasitas lapang)

cm3cm-3, 0,31 cm3cm-3 dan 0,17 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm hampir sama pada semua

fase dimana pada fase initial, development, mid dan late profil kadar air tanahnya masing-

masing sebesar 0,47 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3 dan 0,40 cm3cm-3. Pada

kedalaman 20 cm yaitu sebesar 0,55 cm3cm-3 pada fase Initial 0,52 cm3cm-3 pada fase

development, 0,56 cm3cm-3 pada fase mid dan 0,52 cm3cm-3 pada fase late. Pada kedalaman

30 cm pada fase initial dan development profil kadar airnya yaitu sebesar 0,51 cm3cm-3, pada

fase mid dan late profil kadar airnya sebesar 0,50 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar

kadar airnya menurun pada semua fase tumbuh yaitu sebesar 0,41 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3,

0,40 cm3cm-3 dan 0,38 cm3cm-3. Pada permukaan tanah

Page 59: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

52

Gambar 5.2. Grafik Hubungan Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Ubikayu (UK).

kondisi profil kadar airnya rendah kemudian meningkat sampai pada kedalaman 20 cm dan

menurun pada kedalaman 40 cm. Hal ini disebabkan oleh sifat tanah liat perkolasinya sangat

kecil, sehingga semakin bertambahnya kedalaman tanah profil kadar air tanahnya semakin

menurun.

Ubikayu + Jagung

Sebelum ditanam dilakukan persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan,

pemetakan, pemberian pupuk. Penanaman ubikayu dan jagung secara tumpang sari dilakukan

tanggal 22 Oktober 2010, jagung panen tanggal 26 Januari 2011 dan ubikayu panen tanggal

21 Juni 2011. Varietas ubikayu yang digunakan adalah Adira 1, lama periode pertumbuhannya

dilapangan 242 hst. Jarak tanam 100 cm x 80 cm. Pupuk ZA 200 kg ha-1, SP36 100 kg ha-1,

KCl 100 kg ha-1. Pupuk ZA dan KCl ½ bagian diberikan saat tanam ½ bagian lagi diberikan

saat tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat tanam, pupuk

organik (pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah. Varietas jagung yang

digunakan adalah jagung Pertiwi 3, lama periode pertumbuhannya 95 hari, ditanam dua biji

per lubang diantara barisan ubikayu kemudian dibiarkan tumbuh satu tanaman saja. Pupuk ZA

75 kg ha-1, SP36 50 kg ha-1, KCl 75 kg ha-1, pupuk ZA dan KCl diberikan 1/3 bagiannya saat

tanam 2/3 sisanya saat tanaman berumur satu bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat

tanam. Neraca air pada petak perakaran tanaman tumpangsari ubikayu + jagung disajikan

pada Tabel 5.7.

Data Tabel 5.7 menunjukkan bahwa selama periode tumbuh tanaman jagung yang

ditumpangsarikan dengan ubikayu terjadi evapotranspirasi sebesar 447,90 mm; curah hujan

selama periode tumbuh tanaman jagung sebesar 1073,30 mm; runoffnya sebesar 239,81 mm

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6

Ke

dal

aman

(cm

)q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan

Page 60: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

53

dan pada saat panen jagung total perubahan simpanan air tanah sebesar 385,59 mm;

kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman jagung berkisar antara 220,73 mm –

252,36 mm atau 106,12% – 121,33% dari kapasitas lapang (Tabel 5.7). Hal ini berarti

kandungan air tanah masih mencukupi kebutuhan tanaman. Selama periode tumbuh tanaman

ubikayu yang ditumpangsarikan dengan jagung total evapotranspirasi sebesar 1088,89 mm

atau 4,50 mm hari-1. Curah hujan selama periode tumbuhnya ubikayu tumpangsari jagung

sebesar 2416,50 mm, runoff sebesar 507,96 mm, dari Tabel 5.7 juga terlihat bahwa total

perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh ubikayu tumpangsari jagung sebesar

819,65 mm. Dari Tabel 5.7 terlihat bahwa kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman

ubikayu+jagung berkisar antara 188,95 mm – 260,66 mm atau 90,84% – 125,32% dari

kapasitas lapang. Hal ini berarti kandungan air dalam tanah sepanjang pertumbuhan tanaman

ubikayu masih mencukupi kebutuhan tanaman.

Dari Gambar 5.3 grafik hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada

masing-masing fase pertumbuhan tanaman terlihat pada kedalaman 0 cm profil kadar air

tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,28 cm3cm-3,

0,29 cm3cm-3, 0,27 cm3cm-3, dan 0,20 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil kadar air

tanahnya hampir sama pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar 0,41 cm3cm-

3, 0,43 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3, 0,41cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar air

tanahnya pada masing-masing fase sebesar 0,49 cm3cm-3, 0,49 cm3cm-3, 0,53 cm3cm-

3 dan 0,48 cm3cm-3. kemudian profil kadar air tanahnya meningkat pada kedalaman 30 cm

pada semua fase tumbuh yaitu sebesar 0,60 cm3cm-3, 0,59 cm3cm-3, 0,63 cm3cm-3 dan 0,59

cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm pada masing-masing fase profil kadar air tanahnya sebesar

0,63 cm3cm-3, 0,58 cm3cm-3, 0,54 cm3cm-3 dan 0,51 cm3cm-3.

Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah

Persiapan tanah dilakukan sebelum penanaman, dimulai dengan pengolahan,

perataan, pembuatan petak, pemberian pupuk. Penanaman ubikayu dan jagung secara

tumpangsari dilakukan tanggal 22 Oktober 2010, jagung panen tanggal 26 Januari 2011.

Varietas ubikayu yang digunakan adalah Adira 1, lama periode pertumbuhannya dilapangan

242 hst. Jarak tanam 100 cm x 80 cm. Pupuk ZA 200 kg ha-1, SP36 100 kg ha-1, KCl 100 kg

ha-1. Pupuk ZA dan KCl ½ bagian diberikan saat tanam ½ bagian lagi diberikan saat

tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat tanam, pupuk organik

(pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah. Varietas jagung yang

digunakan adalah Jagung Pertiwi-3, periode pertumbuhannya di lapangan 95 hari, ditanam

per lubang dua biji di antara barisan ubikayu kemudian dijarangkan menjadi satu tanaman.

Pupuk ZA 75 kg ha-1, SP36 50 kg ha-1 KCl 75

Page 61: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

54

Gambar 5.3. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Ubikayu + Jagung (UKJ).

kg ha-1, pupuk ZA dan KCl diberikan 1/3 bagiannya saat tanam 2/3 sisanya saat tanaman

berumur satu bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya saat tanam. Ubikayu dan Jagung

ditanam secara tumpangsari sebagai tanaman pertama pada saat musim hujan. Setelah

panen jagung untuk tanaman kedua setelah jagung ditanami kacang tanah di bekas tanaman

jagung (musim kering I). kacang tanah yang ditanam adalah varietas Kancil ditanam tanggal 3

Februari sebagai tanaman tumpangsari yang ke dua dan dipanen pada tanggal 5 Mei

sedangkan Ubikayu dipanen tanggal 21 Juni 2011. Kacang tanah ditanam 2 biji per lubang

tetapi hanya satu tanaman yang dibiarkan tumbuh. Pupuk ZA 40 kg ha-1, SP36 10 kg ha-1, KCl

40 kg ha-1. SP36 dan KCl diberikan saat tanam sedangkan ZA ½ bagian diberikan saat tanam

sisanya saat tanaman umur satu bulan. Bentuk neraca air pada petak perakaran tumpang sari

Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah seperti disajikan pada Tabel 5.7.

Pada Tabel 5.7 juga terlihat bahwa selama periode tumbuh tanaman Jagung yang

ditumpangsarikan dengan Ubikayu pada musim hujan besarnya evapotranspirasi 447,90 mm,

run off sebesar 239,81 mm, curah hujannya sebesar 1073,30 mm dan saat panen total

perubahan simpanan air tanahnya sebesar 385,59 mm, sedangkan kandungan air tanah

selama pertumbuhan tanaman jagung berkisar antara 220,73 mm – 252,36 mm atau 106,12%

- 121,33% dari kapasitas lapang.

Selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditumpangsarikan dengan

ubikayu pada musim kering I terjadi evapotranspirasi sebesar 479,74 mm, run off sebesar

250,52 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah sebesar

1169,40 mm, pada saat panen kacang tanah total perubahan simpanan air tanahnya 439,14

mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman kacang tanah berkisar antara 213,54

mm – 254,55 mm atau 102,66% - 122,38% dari kapasitas lapang (Tabel 5.7).

Selama periode tumbuh tanaman ubikayu yang ditumpangsarikan dengan jagung pada

musim hujan dan ditumpangsarikan dengan kacang tanah pada musim kering I total

evapotranspirasinya sebesar 1109,99 mm atau 4,59 mm hari-1, runoff sebesar 507,96 mm,

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Ke

dal

aman

(cm

)q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan

Page 62: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

55

curah hujan selama periode tumbuhnya sebesar 2416,50 mm (Tabel 5.7), dari tabel tersebut

terlihat total perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh tumpangsari ubikayu +

jagung – kacang tanah sebesar 439,14 mm. Dari Tabel tersebut juga terlihat bahwa simpanan

air tanah selama pertumbuhan tanaman ubikayu + jagung - kacang tanah berkisar antara

184,08 mm – 254,55 mm atau 88,50% – 122,38% dari

kapasitas lapang, ini berarti kandungan air tanah tersedia sepanjang pertumbuhan tanaman

ubikayu.

Dari Gambar 5.4 grafik hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada

masing-masing fase pertumbuhan tanaman terlihat pada

Gambar 5.4. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah (UKJKT).

kedalaman 0 cm pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,27

cm3cm-3, 0,29 cm3cm-3, 0,24 cm3cm-3 dan 0,17 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil kadar

airnya pada masing-masing fase sebesar 0,41 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3 dan 0,41

cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,49

cm3cm-3, 0,49 cm3cm-3, 0,57 cm3cm-3 dan 0,49 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm besarnya

profil kadar air pada masing-masing fase sebesar 0,60 cm3cm-3, 0,59 cm3cm-3, 0,61 dan 0,58

cm3cm-3 Pada kedalaman 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,63

cm3cm-3, 0,58 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, dan 0,46 cm3cm-3.

Pada permukaan tanah kondisi profil kadar airnya rendah kemudian meningkat sampai

pada kedalaman 20 cm dan menurun pada kedalaman 40 cm. Hal ini disebabkan oleh sifat

tanah liat perkolasinya sangat kecil, sehingga semakin bertambahnya kedalaman tanah profil

kadar air tanahnya semakin kecil.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhan

Fase perkembanganpertumbuhan

Fase pertengahanpertumbuhan

Page 63: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

56

Kacang tanah

Persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan, pemetakan, pemberian pupuk

dilakukan sebelum penanaman. Penanaman kacang tanah dilakukan pada musim kering I

dengan perlakuan waktu tanam dengan interval seminggu. Waktu penanaman kacang tanah

yaitu tanggal 3 Februari, 10 Februari, 17 Februari dan 24 Februari. Varietas tanaman kacang

tanah yang digunakan adalah varietas Kancil, lama periode pertumbuhannya dilapangan 90

hari. Jarak tanam yang digunakan 25 cm x 25 cm dengan dua biji per lubang tetapi dibiarkan

tumbuh hanya satu tanaman saja. Pupuk ZA 40 kg ha-1, SP36 10 kg ha-1, KCl 40 kg ha-1. Pupuk

ZA dan KCl diberikan ½ bagian saat tanam ½ bagian lagi diberikan saat tanaman berumur

satu bulan, pupuk SP36 diberikan seluruhnya ;saat tanam, pupuk organik (pupuk Temesi)

diberikan satu kali pada saat pengolahan tanah. Bentuk neraca air pata petak perakaran

Kacang Tanah pada masing-masing waktu tanam disajikan pada Tabel 5.8.

Selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditanam pada tanggal 3 Februari

2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 453,29 mm atau 5,04 mm hari-1, runoff sebesar 151,34

mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah sebesar 842,20

mm (Tabel 5.8). Total perubahan simpanan air tanah selama periode tumbuh kacang tanah

yang ditanam pada tanggal 3 Februari 2011 sebesar 237,57 mm. Kandungan air tanah selama

pertumbuhan tanaman Kacang tanah pada KT3 berkisar antara 138,74 mm – 214,74 mm atau

66,70 – 103,24% dari kapasitas lapang.

Tabel 5.8 Kondisi Neraca Air Lahan selama periode tumbuh tanaman Kacang Tanah

Tanaman

Total Evapotranspirasi

(ET) (mm)

Total Curah Hujan

(P) (mm)

Total Run Off (R) (mm)

Total Perubahan

Simpanan air (ΔS) (mm)

Kisaran Simpanan Air Tanah

KT3 453,29

(5,04 mm/hari)

842,20 151,34

237,57

138,74 mm - 214,74 mm

(66,70% - 103,24% dari

kapasitas lapang)

KT10 421,82

(4,69 mm/hari)

825,50 149,33

254,35

148,61 mm - 211,60mm

(71,45% - 101,73% dari

kapasitas lapang)

KT17 402,96

(4,48 mm/hari)

749,60 136,77

209,87

164,19 mm - 222,39 mm

(78,94% - 106,92% dari

kapasitas lapang)

KT24 381,29

(4,24 mm/hari)

703,90 133,12

189,49

139,18 mm - 195,31 mm

(66,91% - 93,90% dari

kapasitas lapang)

Selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditanam pada tanggal 10 Februari

2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 421,82 mm atau 4,69 mm hari-1, run off sebesar

151,34 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah sebesar

825,50 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah selama

periode tumbuh kacang tanah yang ditanam pada 10 Februari 2011 sebesar 254,35 mm.

Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman Kacang Tanah pada KT10 berkisar antara

148,61 – 211,60 atau 71,45 – 101,73% dari kapasitas lapang. (Tabel 5.8).

Page 64: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

57

Pada Tabel 5.8 juga dapat dilihat bahwa selama periode tumbuh tanaman kacang

tanah yang ditanam pada tanggal 17 Februari 2011 besarnya evapotranspirasi yaitu

402,96 mm atau 4,48 mm hari-1, runoff sebesar 136,77 mm dan curah hujan selama periode

tumbuh tanaman kacang tanah yaitu sebesar 749,60 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa

total perubahan kandungan air tanah selama periode tumbuh kacang tanah yang ditanam pada

17 Februari 2011 sebesar 209,87 mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman

kacang tanah pada KT17 berkisar antara 164,19 – 222,39 atau 78,94% – 106,92% dari

kapasitas lapang.

Sedangkan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah yang ditanam pada tanggal

24 Februari 2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 381,29 mm atau 4,24 mm hari-1, runoff

sebesar 133,12 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman kacang tanah

sebesar 703,9 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah

selama periode tumbuh kacang tanah yang ditanam pada tanggal 24 Februari 2011

sebesar 189,49 mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman Kacang Tanah pada

KT24 berkisar antara 139,18 – 195,31 atau 66,91% – 93,90% dari kapasitas lapang. Dari

semua perlakuan waktu tanam kacang tanah kandungan air tanah berada pada kisaran

66,70% - 106,92% dari kapasitas lapang.

Gambar 5.5 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah

pada petak tanaman kacang tanah (KT3) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman

dimana pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid

dan late masing-masing sebesar 0,44 cm3cm-3 , 0,47 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3 dan 0,40 cm3cm-

3, pada kedalaman 10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late

masing-masing sebesar 0,39 cm3cm-3 0,42 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3 dan 0,34 cm3cm-3. Pada

kedalaman tanah 20 cm profil kadar air tanahnya pada masing-masing fase pertumbuhan

sebesar 0,28 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3, 0,32 cm3cm-3 dan 0,25 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm

profil kadar air tanahnya sebesar 0,47 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3 dan 0,39 cm3cm-

3. Pada kedalaman tanah 40 cm profil kadar air tanahnya pada masing-masing fase sebesar

0,48 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,49 cm3cm-3 dan 0,42 cm3cm-3.

Gambar 5.5. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT3).

0

10

20

30

40

50

0 0.2 0.4 0.6

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhan

Page 65: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

58

Gambar 5.6 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah

pada petak tanaman kacang tanah (KT10) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman.

Pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase pertumbuhan initial,

development, mid dan late, masing-masing sebesar 0,62 cm3cm-3, 0,59 cm3cm-3, 0,51

cm3cm-3 dan 0,45 cm3cm-3. Pada kedalaman 10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial,

development, mid dan late yaitu sebesar 0,47 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3 dan 0,37

cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 20 cm profil kadar airnya sebesar 0,34 cm3cm-3 pada

semua fase tumbuh kecuali fase late sebesar 0,29 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil

kadar airnya naik pada masing-masing fase yaitu sebesar 0,44 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3, 0,42

cm3cm-3,dan 0,38 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing

fase sebesar 0,50 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3,dan 0,42 cm3cm-3.

Gambar 5.6. Grafik Hubungan antara Profil kadar air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT10).

Profil kadar air tanah petak tanaman kacang tanah (KT17) pada masing-masing fase

pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 5.7. Pada kedalaman 0 cm profil kadar air

tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,35 cm3cm-3,

0,43 cm3cm-3,0,37 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3. Pada kedalaman 10 cm profil kadar airnya pada

fase initial, development, mid dan late sebesar 0,43 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3, 0,41 cm3cm-3 dan

0,37 cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 20 cm profil kadarnya pada masing-masing fase sebesar

0,45 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3, 0,39 cm3cm-3, 0,36 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil kadar

airnya pada masing-masing fase sebesar 0,53 cm3cm-3, 0,52 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, dan 0,46

cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase yaitu

sebesar 0,51 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3 dan 0,45 cm3cm-3.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan

Page 66: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

59

Gambar 5.7. Grafik Hubungan antara Profil kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT17).

Hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada petak tanaman kacang

tanah (KT24) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 5.8.

Pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late

masing-masing sebesar 0,36 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3, dan 0,32 cm3cm-3, pada

kedalaman 10 cm profil kadar airnya pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar

0,43 cm3cm-3, 0,45 cm3cm-3, 0,38 cm3cm-3 dan 0,35 cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 20 cm

profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,44 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-

3 dan 0,39 cm3cm-3. Pada kedalaman tanah 30 cm pada masing-masing fase profil kadar

airnya sebesar 0,52 cm3cm-3 0,52 cm3cm-3 0,43 cm3cm-3 dan 0,36 cm3cm-3 masing-masing fase

profil kadar airnya sebesar 0,52 cm3cm-3, 0,52 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3 dan 0,36 cm3cm-3. Pada

kedalaman tanah

Gambar 5.8. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Kacang Tanah (KT24).

40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase sebesar 0,50 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,42

cm3cm-3 dan 0,36 cm3cm-3.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6

Ke

dal

aman

(cm

)q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhan

Fase perkembanganpertumbuhan

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhan

Page 67: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

60

Ubijalar

Persiapan tanah mulai dari pengolahan, perataan, pembuatan petak, pemberian

pupuk, dilakukan sebelum penanaman. Penanaman Ubijalar dilakukan pada musim kering I

dengan perlakuan waktu tanam sama dengan kacang tanah yaitu dengan interval seminggu.

Waktu penanaman Ubijalar yaitu tanggal 3 Februari, 10 Februari, 17 Februari dan 24 Februari.

Varietas tanaman Ubijalar yang digunakan adalah varietas Ungu Lokal, lama periode

pertumbuhannya dilapangan 145 hari. Jarak tanam yang digunakan 80 cm x 30 cm. Pupuk ZA

75 kg ha-1, SP36 50 kg ha-1, KCl 75 kg ha-1. Pupuk ZA dan KCl diberikan 1/3 bagian saat

tanam 2/3 bagian lagi diberikan saat tanaman berumur dua bulan, pupuk SP36 diberikan

seluruhnya saat tanam, pupuk organik (pupuk Temesi) diberikan satu kali pada saat

pengolahan tanah. Bentuk neraca air pada petak perakaran Ubijalar pada masing-masing

waktu tanam disajikan pada Tabel 5.9.

Tabel 5.9 Kondisi Neraca Air Lahan Selama Periode Tumbuh Tanaman Ubijalar.

Tanaman

Total

Evapotranspirasi

(ET)

(mm)

Total

Curah

Hujan (P)

(mm)

Total

Run Off

(R)

(mm)

Total

Perubahan

Simpanan

air (ΔS)

(mm)

Kisaran Simpanan Air

Tanah

UJ3 570,08

(3,93 mm/hari) 1053,60 170,48 313,04

153,37 mm - 239,61

mm (73,74% - 115,20%

dari kapasitas lapang)

UJ10 515,08

(3,55 mm/hari) 1012,10 167,11 329,91

135,94 mm - 214,20

mm (65,36% - 102,98%

dari kapasitas lapang)

UJ17 540,31

(3,73 mm/hari) 928,30 154,34 233,65

107,32 mm - 205,75

mm (51,60% - 98,92%

dari kapasitas lapang)

UJ24 496,30

(3,42 mm/hari) 882,00 150,69 235,01

128,06 mm - 212,18

mm (61,57% - 102,01%

dari kapasitas lapang)

Pada Tabel 5.9 terlihat bahwa selama periode tumbuh tanaman Ubijalar yang ditanam

pada tanggal 3 Februari 2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 570,08 mm atau 3,93 mm hari-

1, runoff sebesar 170,48 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman Ubijalar

sebesar 1053,60 mm, dari tabel tersebut terlihat total perubahan simpanan air tanah selama

periode tumbuh Ubijalar yang ditanam pada tanggal 3 Februari 2011 sebesar 313,04 mm.

Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman Ubijalar (UJ3) berkisar antara 153,37 –

239,61 atau 73,74 – 115,20% dari kapasitas lapang.

Page 68: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

61

Selama periode tumbuh tanaman Ubijalar yang ditanam pada tanggal 10 Februari 2011

terjadi evapotranspirasi sebesar 515,08 mm atau 3,55 mm hari-1, runoff sebesar 167,11

sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman Ubijalar sebesar 1012,10 mm (Tabel

5.9), dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah selama periode

tumbuh Ubijalar yang ditanam pada tanggal 10 Februari 2011 sebesar 329,91 mm. Kandungan

air tanah selama petumbuhan tanaman Ubijalar (UJ10) berkisar antara 135,94 – 214,20 atau

65,36 – 102,98% dari kapasitas lapang.

Tanaman Ubijalar yang ditanam pada tanggal 17 Februari 2011 terjadi

evapotranspirasi sebesar 540,31 mm atau 3,73 mm hari-1, runoff sebesar 154,34 mm,

sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman ubi Jalar sebesar 928,30 mm

(Tabel 5.9), dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air tanah selama

periode tumbuh Ubijalar yang ditanam pada tanggal 17 Februari 2011 sebesar 233,65 mm.

Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman ubijalar (UJ17) berkisar antara 107,32 –

205,75 atau 51,60 – 98,92% dari kapasitas lapang.

Pada Tabel 5.9 terlihat juga bahwa selama periode tumbuh tanaman Ubijalar yang

ditanam pada tanggal 24 Februari 2011 terjadi evapotranspirasi sebesar 496,30 mm atau 3,42

mm hari-1, runoff sebesar 150,69 mm sedangkan curah hujan selama periode tumbuh tanaman

ubijalar sebesar 882,00 mm, dari tabel tersebut terlihat bahwa total perubahan simpanan air

tanah selama periode tumbuh ubijalar yang ditanam pada tanggal 24 Februari 2011 yaitu

sebesar 235,01 mm. Kandungan air tanah selama pertumbuhan tanaman ubijalar (UJ24)

berkisar antara 128,06 – 212,18 atau 61,57 – 102,01% dari kapasitas lapang.

Gambar 5.9 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah

pada petak tanaman ubijalar (UJ3) pada masing-masing fase

Gambar 5.9. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ3).

pertumbuhan tanaman dimana pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase

initial, development, mid dan late masing-masing sebesar 0,20 cm3cm-3, 0,27 cm3cm-3, 0,17

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhanFase akhirpertumbuhan

Page 69: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

62

dan 0,07 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial,

development, mid dan late masing-masing sebesar 0,36 cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,39 cm3cm-

3 dan 0,26 cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar air tanahnya meningkat pada masing-

masing fase yaitu sebesar 0,39 cm3cm-3, 0,46 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, demikian

juga pada kedalaman 30 cm profil kadar airnya meningkat dan maksimal yaitu sebesar 0,60

cm3cm-3, 0,60 cm3cm-3, 0,57 cm3cm-3 dan 0,49 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm masing-

masing fase profil kadar airnya menurun yaitu sebesar 0,58 cm3cm-3, 0,56 cm3cm-3, 0,50

cm3cm-3 dan 0,44 cm3cm-3.

Hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada petak tanaman

Ubijalar (UJ10) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 5.10.

Pada kedalaman 0 cm, kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-

masing sebesar 0,29 cm3cm-3, 0,34 cm3cm-3, 0,28 cm3cm-3 dan 0,14 cm3cm-3. Pada

kedalaman 10 cm kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-

masing fase yaitu sebesar 0,36 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3, 0,36 cm3cm-3, 0,24 cm3cm-3. Pada

kedalaman 20 cm profil kadar airnya meningkat pada masing-masing fase yaitu sebesar 0,39

cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3, dan 0,29 cm3cm-3.

Gambar 5.10. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada

Petak Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ10).

Pada kedalaman 30 cm profil kadar air tanahnya semakin meningkat pada masing-masing

fase yaitu sebesar 0,48 cm3cm-3, 0,50 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3. Sedangkan pada

kedalaman 40 cm profil kadar air tanahnya maksimal pada masing-masing fase yaitu sebesar

0,50 cm3cm-3, 0,52 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3 dan 0,42 cm3cm-3.

Gambar 5.11 hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah pada petak

tanaman Ubijalar (UJ17) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman. Pada kedalaman

0 cm kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late masing-masing sebesar

0,37 cm3cm-3, 0,39 cm3cm-3, 0,33 cm3cm-3 dan 0,20 cm3cm-3, pada kedalaman 10 cm profil

kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar 0,38 cm3cm-3,

0,39 cm3cm-3, 0,31 cm3cm-3 dan 0,19 cm3cm-3. Pada kedalaman 20 cm profil kadar airnya

pada masing-masing fase yaitu sebesar 0,38 cm3cm-3, 0,36 cm3cm-3, 0,25 cm3cm-3, 0,15

cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil kadar air tanahnya pada masing-masing fase sebesar

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhan

Fase perkembanganpertumbuhan

Fase pertengahanpertumbuhan

Page 70: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

63

0,48 cm3cm-3, 0,48 cm3cm-3, 0,41 cm3cm-3, 0,31 cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar

airnya pada masing-masing fase yaitu 0,53 cm3cm-3, 0,51 cm3cm-3, 0,44 cm3cm-3, dan 0,36

cm3cm-3.

Gambar 5.11. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman Tanah pada

Petak Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ17).

Gambar 5.12 menyajikan hubungan antara profil kadar air dengan kedalaman tanah

pada petak tanaman Ubijalar (UJ24) pada masing-masing fase pertumbuhan tanaman dimana

pada kedalaman 0 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late

masing-masing sebesar 0,32 cm3cm-3, 0,43 cm3cm-3, 0,40 cm3cm-3, dan 0,31 cm3cm-3, pada

10 cm profil kadar air tanahnya pada fase initial, development, mid dan late yaitu sebesar 0,39

cm3cm-3, 0,42 cm3cm-3, 0,35 cm3cm-3, dan 0,26 cm3cm-3. Pada kedalaman 30 cm profil kadar

airnya pada masing-masing fase sebesar 0,54 cm3cm-3, 0,53 cm3cm-3, 0,47 cm3cm-3 dan 0,38

cm3cm-3. Pada kedalaman 40 cm profil kadar airnya pada masing-masing fase yaitu sebesar

0,56 cm3cm-3, 0,54 cm3cm-3, 0,51 cm3cm-3 dan 0,43 cm3cm-3.

Gambar 5.12. Grafik Hubungan antara Profil Kadar Air dengan Kedalaman tanah pada Petak

Perakaran Tanaman Ubijalar (UJ24).

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 0.2 0.4 0.6

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhan

Fase perkembanganpertumbuhan

Fase pertengahanpertumbuhan

0

10

20

30

40

50

0 0.2 0.4 0.6

Ke

dal

aman

(cm

)

q (cm3cm-3)

Fase awalpertumbuhanFase perkembanganpertumbuhanFase pertengahanpertumbuhan

Page 71: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

64

Nilai Crop Koefisien (Kc) didapat dari hasil perhitungan kebutuhan air tanaman aktual

dibagi dengan kebutuhan air tanaman acuan selama penelitian. Dari hasil perhitungan

didapatkan nilai Kc untuk tanaman ubikayu yang ditanam secara monokultur dimana nilai Kc

untuk fase Initial didapatkan sebesar 0,64, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,21 dan Kc

untuk fase end-season sebesar 0,69 (Tabel 5.10).

Nilai Kc untuk tanaman ubikayu yang ditanam secara tumpangsari dengan tanaman

jagung untuk fase Initial didapatkan sebesar 0,65, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,22

dan Kc untuk fase end-season sebesar 0,72. Sedangkan nilai Kc untuk tanaman jagung yaitu

untuk fase Initial sebesar 0,66, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,16 dan Kc untuk fase end-

season sebesar 0,65 (Tabel 5.10)

Nilai Kc untuk tanaman ubikayu pada tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah

dimana Kc untuk fase Initial sebesar 0,65, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,25 dan Kc

untuk fase end-season sebesar 0,77. Nilai Kc untuk tanaman jagung yaitu untuk fase Initial

sebesar 0,66, Mid-season 1,16 dan end-season 0,65. Sedangkan nilai Kc untuk tanaman

kacang tanah yaitu untuk fase Initial 0,45, fase Mid-season 1,02 dan fase end-season 0,58

(Tabel 5.10).

Nilai Kc untuk tanaman kacang tanah yang ditanam 3 Februari (KT3) dimana fase Initial

sebesar 0,45, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,13 dan Kc untuk fase end-season sebesar

0,55. Untuk tanaman kacang tanah yang ditanam 10 Februari (KT10) Kc untuk fase Initial

sebesar 0,43, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,12 dan Kc untuk fase end-season sebesar

0,52. Tanaman kacang tanah yang ditanam 17 Februari (KT17) dari hasil perhitungan

didapatkan nilai Kc untuk fase Initial sebesar 0,47, Kc untuk fase Mid-season sebesar 1,07

dan Kc untuk fase end-season sebesar 0,59 dan pada tanaman

Tabel 5.10 Nilai Kc pada Fase Initial, Mid-season dan End-season pada masing-masing

Tanaman Hasil Penelitian Lapangan.

Pola Tanaman Fase Pertumbuhan Tanaman

Initial Mid-season End-season

UK Ubikayu 0,64 1,21 0,69

UKJ Ubikayu+Jagung 0,65 1,22 0,72

UKJKT Ubikayu+Jagung-K.Tanah 0,65 1,25 0,77

JG Jagung 0,66 1,16 0,65

KT Kacang Tanah 0,45 1,02 0,58

KT3 Kacang Tanah 0,45 1,13 0,55

KT10 0,43 1,12 0,52

KT17 0,47 1,07 0,59

KT24 0,41 0,96 0,57

UJ3 Ubijalar 0,64 0,97 0,48

UJ10 0,48 0,99 0,23

UJ17 0,62 0,85 0,23

UJ24 0,52 0,77 0,20

Kacang Tanah yang ditanam 24 Februari nilai Kc untuk fase Initial sebesar 0,41, Kc

untuk fase Mid- season sebesar 0,96 dan Kc untuk fase end-season sebesar 0,57 (Tabel 5.10).

Page 72: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

65

Pada tanaman Ubijalar yang ditanam 3 Februari didapat nilai Kc pada fase Initial

sebesar 0,64, fase Mid-season sebesar 0,97 dan fase end-season sebesar 0,48. Pada

tanaman yang ditanam pada 10 Februari nilai Kc pada fase Initial 0,48, Mid-season sebesar

0,99 dan pada fase end-season 0,23. Tanaman yang ditanam pada 17 Februari nilai Kc pada

fase Initial sebesar 0,62, fase Mid-season 1,12 dan fase end-season 0,23. Sedangkan nilai Kc

untuk tanaman ubijalar yang ditanam pada 24 Februari pada fase Initial sebesar 0,52, Mid-

season 0,77 dan fase end-season nilai Kc nya 0,20 (Tabel 5.10).

Nilai Kc penelitian lebih besar dari nilai Kc FAO 56 (Tabel 5.11) kemungkinan disebabkan

oleh kondisi iklim saat penelitian yang lebih basah sehingga pertumbuhan tanaman lebih

subur. Dalam FAO 56 disebutkan bahwa nilai Kc bervariasi selama periode tumbuh tanaman,

nilai Kc tergantung pada basah tidaknya tanah baik dari air irigasi maupun dari curah hujan.

Tabel 5.11 Nilai Kc pada Fase Initial, Mid-season dan End-season pada masing-masing

Tanaman Berdasarkan FAO 56.

Tanaman Fase Pertumbuhan Tanaman

Initial Mid-season End-season

Ubikayu 0,15 1,00 0,45

Jagung 0,15 1,15 0,50

Kacang Tanah

0,15 1,10 0,50

Ubijalar 0,15 1,10 0,55

Hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa hasil panen umbi segar tertinggi pada

tanaman ubikayu dengan penanaman monokultur (UK) yaitu sebesar 24,19 t ha-1 (Tabel 5.12),

hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan Ubikayu monokultur berbeda nyata dengan

perlakuan tumpangsari baik pada tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ) maupun pada

tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah (UKJKT) dengan hasil umbi segar masing-

masing sebesar 22,94 t ha-1 dan 22,54 ha-1 (Tabel 5.12). Sedangkan hasil umbi segar pada

perlakuan tumpang sari ubikayu + jagung (UKJ) dan tumpang sari ubikayu + jagung – kacang

tanah (UKJKT) tidak berbeda nyata (Tabel 5.12).

Hasil uji statistik (Tabel 5.12) pada berat kering jemur biji kacang tanah perlakuan waktu tanam

dimana waktu tanam kacang tanah pada tanggal 3 Februari (KT3) tidak berbeda nyata dengan

waktu tanam pada tanggal 10 Februari (KT10) dan waktu tanam pada tanggal 17 Februari

(KT17) dengan hasil berat kering biji rata-rata yaitu sebesar 2,29 t ha-1, 2,28 t ha-1, 2,22 t ha-1

tetapi hasil berat kering biji rata-rata penanaman tanggal 3 dan 10 Februari berbeda nyata

dengan penanaman kacang tanah tanggal 24 Februari dengan hasil berat kering jemur biji

sebesar 2,18 t ha-1 sedangkan hasil berat kering jemur biji penanaman kacang tanah tanggal

17 Februari tidak berbeda nyata dengan penanaman tanggal 24 Februari.

Page 73: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

66

Tabel 5.12 Hasil Penelitian Lapangan Tanaman Ubikayu, Jagung, Kacang Tanah dan

Ubijalar

Perlakuan Tanaman Hasil ha-1

Penanaman Musim Hujan (MH)

UK Ubikayu 24,19 t umbi segar b

UKJ Ubikayu 22,94 t umbi segar a

Jagung 5,44 t biji kering jemur ka 12%

UKJKT Ubikayu 22,54 t umbi segar a

Jagung 5,44 t biji kering jemur ka 12%

Kacang Tanah 0,17 t biji kering jemur

Penanaman Musim Kering (MK )

KT3 Kacang Tanah 2,29 t biji kering jemur b

KT10 2,28 t biji kering jemur b

KT17 2,22 t biji kering jemur ab

KT24 2,18 t biji kering jemur a

UJ3 Ubijalar 9,89 t umbi segar b

UJ10 9,26 t umbi segar ab

UJ17 9,01 t umbi segar a

UJ24 8,74 t umbi segar a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda

nyata pada taraf uji BNT 5%.

Hasil umbi segar ubijalar pada masing-masing perlakuan waktu tanam yaitu waktu

tanam tanggal 3 Februari (UJ3) hasil umbi segarnya tertinggi yaitu sebesar 9,89 t ha-1 (Tabel

5.12), diikuti oleh berat umbi segar waktu tanam tanggal 10 Februari (UJ10), tanggal 17

Februari (UJ17) dan tanggal 24 Februari (UJ24) dengan hasil berturut-turut yaitu sebesar 9,26

t ha-1, 9,01 t ha-1 dan 8,74 t ha-1 (Tabel 5.12). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa berat umbi

segar ubijalar yang ditanam tanggal 3 Februari (UJ3) berbeda tidak nyata dengan berat umbi

segar waktu tanam tanggal 10 Februari (UJ10) tetapi berbeda nyata dengan waktu tanam

tanggal 17 dan 24 Februari. Berat umbi segar ubijalar waktu tanam tanggal 10 (UJ10) berbeda

tidak nyata dengan waktu tanam tanggal 17 dan waktu tanam tanggal 24 Februari. Berat umbi

segar ubijalar yang ditanam tanggal 17 Februari juga berbeda tidak nyata dengan yang

ditanam tanggal 24 Februari.

Nilai LER (Land Eqiuvalen Ratio) untuk tanaman tumpangsari Ubikayu + Jagung (UKJ)

sebesar 1,49, sedangkan LER untuk tanaman tumpangsari Ubikayu + Jagung – Kacang Tanah

(UKJKT) sebesar 1,56. Pola tumpangsari Ubikayu + Jagung – kacang tanah (UKJKT)

mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari tanaman ubikayu + jagung

(UKJ). Land Equivalent Ratio (LER) lebih tinggi dari 1 mengindikasikan bahwa produktivitas

per unit luas lebih tinggi dicapai dengan penanaman secara bersama-sama (tumpangsari)

dibandingkan dengan tanaman yang ditanam secara terpisah (monokultur). Nilai LER yang

lebih tinggi pada tanaman tumpangsari dari pada tanaman monokultur juga dilaporkan

oleh Haymes and Lee (1999); Adeniyan and Ayoola (2006); Banik et al. (2006); Shehata et al.

(2009); Megawer et al. (2010).

5.4.2 Evaluasi Kebutuhan Air dengan Program CropWat for Windows

Analisis data dilakukan dengan menggunakan Model CropWat for Windows. Model ini

dapat menghitung kebutuhan air tanaman, yang memungkinkan untuk evaluasi produksi

Page 74: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

67

tanaman di bawah kondisi lahan tadah hujan. Kebutuhan air dan curah hujan efektif hasil

evaluasi Model CropWat disajikan pada Tabel 5.13 .

Pola tanam ubikayu monokultur (UK) mempunyai kebutuhan air 1041,20 mm,

tumpang sari ubikayu + jagung (UKJ) kebutuhan airnya 1050,50 mm dan tumpangsari ubikayu

+ jagung - kacang tanah (UKJKT) kebutuhan airnya 1070,00 mm, dengan curah hujan efektif

yang sama yaitu sebesar 1076,65 mm (Tabel 5.13).

Tabel 5.13 Kebutuhan Air Tanaman dan Curah Hujan Efektif pada Perlakuan Pola Tanam dan

Waktu Tanam pada Periode Penelitian.

Perlakuan Periode Tumbuh Curah Hujan Efektif (mm)

Kebutuhan Air Tanaman (mm)

Perlakuan Pola Tanam

UK 22 Okt 2010- 21Jun 2011 1076,65 1041,20

UKJ 22 Okt 2010- 21Jun 2011 1076,65 1050,50

UKJKT 22 Okt 2010- 21Jun 2011 1076,65 1070,00

Perlakuan Waktu Tanam

Kacang tanah

KT3 3 Peb 2011-4 Mei 2011 453,77 356,70

KT10 10 Pen 2011-11 Mei 2011 440,03 350,80

KT17 17 Peb 2011-18 Mei 2011 423,18 346,40

KT24 24 Peb 2011-25 Mei 2011 403,22 311,20

Perlakuan Waktu Tanam

Ubijalar

UJ3 3 Peb 2011-28 Jun 2011 570,97 543,30

UJ10 10 Peb 2011-5 Jul 2011 536,59 496,10

UJ17 17 Peb 2011-12 Jul 2011 502,51 457,30

UJ24 24 Peb 2011-19 Jul 2011 427,22 398,90

Tanaman Kacang Tanah pada perlakuan KT3, KT10, KT17, KT24 masing-masing mempunyai

kebutuhan air sebesar 356,70 mm, 350,80 mm, 346,40 mm dan 311,20 mm, curah hujan

efektifnya masing-masing 453,77 mm, 440,03 mm, 423,18 mm dan 403,22 mm. Pada

perlakuan waktu tanam ubijalar UJ3, UJ10, UJ17 dan UJ24 kebutuhan airnya masing-masing

sebesar 543,30 mm, 496,10 mm, 457,30 mm dan 398,90 mm, curah hujan efektifnya masing-

masing 570,97 mm, 536,59 mm, 502,51 mm dan 427,22 mm.

Kebutuhan air tanaman selama periode penelitian di lapangan dari hasil evaluasi dengan

CropWat for Windows kebutuhan airnya lebih kecil dibanding kebutuhan air selama periode

eksperimen di lapangan yang dihitung dengan metode Hartman (Tabel 5.14). Pada tanaman

ubikayu (UK) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat yaitu sebesar 1041,20 mm dan

perhitungan Hartman sebesar 1087,34 mm, pada tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ)

kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1050,50 mm dan hasil perhitungan

Hartman sebesar 1088,89 mm, sedangkan pada tanaman tumpangsari ubikayu + jagung –

kacang tanah UKJKT) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1070,00 mm dan

hasil perhitungan Hartman sebesar 1109,99 mm. Perlakuan waktu tanam pada tanaman

kacang tanah yang ditanam 3 Februari (KT3), 10 Februari (KT10), 17 Februari (KT17) dan 24

Februari (KT24) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat masing-masing sebesar 356,70

Page 75: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

68

mm, 350,80 mm, 346,40 mm dan 311,20 mm sedangkan hasil perhitungan Hartman yaitu

masing-masing sebesar 453,29 mm, 421,82 mm, 402,96 mm dan 381,29 mm. Perlakuan

waktu tanam pada tanaman Ubijalar yang ditanam 3 Februari (UJ3), 10 Februari (UJ10), 17

Februari (UJ17) dan 24 Februari (UJ24) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat masing-

masing sebesar 543,30 mm, 496,10 mm, 457,30 mm dan 398,90 mm sedangkan hasil

perhitungan Hartman yaitu masing-masing sebesar 570,08 mm, 515,08 mm, 540,31 mm dan

496,30 mm. Besarnya kebutuhan air pada hasil perhitungan metode Hartman kemungkinan

disebabkan karena tidak memperhitungkan perkolasi dalam yang terjadi.

Tabel 5.14 Kebutuhan Air Tanaman pada Perlakuan Pola Tanam dan Waktu Tanam Periode

Penelitian menurut perhitungan Hartman dan CropWat for Windows

Perlakuan Periode Tumbuh

Kebutuhan Air

Tanaman (mm)

(Hartman)

Kebutuhan Air

Tanaman (mm)

(CropWat for

Windows)

Perlakuan Pola Tanam

UK 22 Okt 2010-21 Jun 2011 1087,34 1041,20

UKJ 22 Okt 2010-21 Jun 2011 1088,89 1050,50

UKJKT 22 Okt 2010-21 Jun 2011 1109,99 1070,00

Perlakuan Waktu Tanam Kacang Tanah

KT3 3 Peb 2011-4 Mei 2011 453,29 356,70

KT10 10 Peb 2011-11 Mei 2011 421,82 350,80

KT17 17 Peb 2011-18 Mei 2011 402,96 346,40

KT24 24 Peb 2011-25 Mei 2011 381,29 311,20

Perlakuan Waktu tanam Ubijalar

UJ3 3 Peb 2011-28 Jun 2011 570,08 543,30

UJ10 10 Peb2011-5 Jul 2011 515,08 496,10

UJ17 17 Peb 2011-12 Jul 2011 540,31 457,30

UJ24 24 Peb 2011-19 Jul 2011 496,30 398,90

Waktu tanam yang paling tepat ditentukan berdasarkan kebutuhan air tanaman dan

ketersediaan air hujan selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada

umumnya kekurangan air pada waktu tanam, terjadi kalau penanaman dilakukan pada awal

musim hujan dan pada akhir musim hujan. Hal yang terpenting adalah distribusinya yang

merata sepanjang pertumbuhan tanaman mengingat masing masing jenis tanaman memiliki

fase-fase pertumbuhan yang berbeda dimana masing-masing fase pertumbuhan

membutuhkan ketersediaan air yang bervariasi. Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat

spesifik terhadap kondisi kekurangan air (water stress) dan pada periode pertumbuhan tertentu

tanaman sangat peka terhadap kondisi kekurangan air yang biasanya terjadi saat tanaman

Page 76: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

69

mencapai periode kritisnya. Waktu tanam yang tepat ditentukan dengan mempertimbangkan

periode kritis tanaman, yaitu dengan mengusahakan agar kebutuhan air tanaman terpenuhi

saat tanaman berada pada periode kritisnya.

5.5 Analisis Pola Tanam

5.5.1 Nilai Ekonomi

Hasil analisis keuntungan usahatani untuk setiap pola tanam yang dicoba disajikan

pada Tabel 5.15 dan Tabel 5.16.

Tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah (UKJKT) mempunyai nilai

ekonomi paling tinggi yaitu dengan pendapatan sebesar Rp. 11.385.00 ha-1. (Tabel 5.15).

Kemudian disusul oleh tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ) Rp. 11.190.500 ha-1 dan yang

paling kecil adalah ubikayu

Tabel 5.15. Pendapatan Petani per Hektar dari Setiap Seri Pola Tanam

Tanaman Varietas Periode Tumbuh

Tanaman Hasil (t ha-1)

Pendapatan Petani (Rp.)

Pola tanam 1 : Monokultur

Ubikayu Adira-1 22 Okt-21 Jun 24,19 2.833.000

Pola tanam 2 : Tumpangsari Ubikayu + Jagung

Ubikayu Adira-1 22 Okt-21 Jun 22,94 11.190.500

Jagung Pertiwi-3 22 Okt-26 Jan 5,44

Pola tanam 3 : Tumpangsari Ubikayu + Jagung - Kacang Tanah

Ubikayu Adira-1 22 Okt-21 Jun 22,54

11.385.500 Jagung Pertiwi-3 22 Okt-26 Jan 5,44

Kacang Tanah

Kancil 3 Peb-5 Mei 0,17

Tabel 5.16. Pendapatan Petani per tahun per luas tanam dari Setiap Pola Tanam

No. Pola Tanam Luas tanam (Ha)

Periode (Hari)

Pendapatan petani (Rp.)

1 Ubikayu 38 242 107.654.000

2 Ubikayu + Jagung 38 242 425.239.000

3 Ubikayu + Jagung - K. Tanah 38 242 432.649.000

Page 77: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

70

monokultur (UK) sebesar Rp. 2.833.000 ha-1. Perhitungan selengkapnya disajikan pada

Lampiran 37, Lampiran 38 dan Lampiran 39.

Pada Tabel 5.16 terlihat bahwa pola tanam yang ke tiga Ubikayu + jagung – kacang

tanah (UKJKT) keuntungannya tertinggi yaitu sebesar Rp. 432.649.000, kemudian disusul oleh

pola tanam yang ke dua (UKJ) sebesar Rp. 425.239.000, dan yang terendah keuntungannya

adalah pola tanam monokultur ubikayu (UK) hanya Rp. 107.654.000. Jika dihitung keuntungan

per hari untuk pola tanam ke tiga sebanyak Rp. 299.038 untuk areal luas tanam seluas 38

ha, untuk pola tanam ke dua sebanyak Rp. 1.181.219 dan untuk pola tanam monokultur

ubikayu sebanyak Rp. 1.201.802. Dengan demikian pola tanam tumpangsari yang ke tiga dan

yang kedua dapat dipilih karena memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan

pola tanam monokultur.

Pola tanam yang berpeluang dipilih tentunya yang mempunyai keuntungan yang tinggi

dengan biaya produksi yang dapat dijangkau oleh petani setempat dengan harapan pola

tanam itu dapat diterapkan agar dapat meningkatkan hasil usaha tani mereka dan untuk

menjaga ketahanan pangan. Sementara ini petani di desa Pecatu menanam tanaman pangan

dengan cara monokultur dan hanya menanam satu kali dalam setahun saat musim hujan,

selebihnya lahan dibiarkan begitu saja ditumbuhi rumput dan gulma. Untuk itu perlu kiranya

diadakan demplot-demplot percobaan di lapangan sebagai sarana sosialisasi agar petani

dapat melihat dan mengetahui teknik budidaya secara baik dan tertarik untuk ikut berusaha

tani dengan cara tumpangsari sehingga hasil usaha taninya mempunyai nilai ekonomi yang

tinggi.

5.5.2 Kalender Tanam

Percobaan waktu tanam dilakukan di lapangan lahan kering untuk mengevaluasi

pengaruh waktu tanam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil analisis simulasi

menunjukkan bahwa ubikayu hanya dapat ditanam dari 22 - 29 Oktober (Tabel 5.17), dari

pendugaan didapatkan persamaan regresi linier Ŷ=0,093x+0,289 dengan R2 = 0,99 (Gambar

5.13). Dari persamaan tersebut didapatkan tanaman yang ditanam tanggal 22 Oktober

evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar 1070,0, evapotranspirasi maksimum (ETm)

sebesar 1133,5 mm, kekurangan air sebesar 63,5 mm untuk memenuhi kebutuhan

evapotranspirasi maksimumnya, terjadi reduksi hasil sebesar 6,2%. Jika

Tabel 5.17 Neraca air tanah dan reduksi hasil pada musim hujan (MH) dengan

memundurkan waktu tanam.

Pola Tanaman

Tanam Hujan efektif (mm)

ETc (mm) ETc/ETm

(%)

SMD akhir (mm)

Reduksi Hasil

Ke 1 (%)

UK +(J-KT) Ubikayu 22/10 1022,3 1070,0 94,4 47,7 6,2

29/10 990,0 1047,4 91,7 57,5 9,1

+ 5/11 955,2 1019,3 88,5 64,0 12,7

12/11 919,5 987,5 85 67,9 16,5

Jagung 22/10 337,7 348,5 100 10,8 0

29/10 340,0 342,7 100 2,7 0

5/11 331,0 339,7 100 8,7 0

Page 78: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

71

12/11 324,7 340,1 100 15,4 0

JG+(KT-KT) Jagung 29/10 309,8 320,1 100 10,3 0

29/10 312,5 315,1 100 2,6 0

+ 5/11 304,5 312,8 100 8,3 0

12/11 299,0 313,7 100 14,7 0

19/11 311,8 317,5 100 5,8 0

26/11 311,8 323,9 100 12,1 0

K Tanah 22/10 290,6 300,9 100 10,3 0

29/10 293,2 295,7 100 2,5 0

5/11 285,0 293,3 100 8,3 0

12/11 279,2 294,3 100 15,1 0

19/11 292,0 298,0 100 5,7 0

26/11 291,7 304,1 100 12,4 0

UJ+(J-KT) Ubijalar 22/10 495,2 504,5 100 9,3 0

29/10 503,0 505,2 100 2,2 0

+ 5/11 500,1 506,9 100 6,8 0

12/11 498,4 510,0 100 11,6 0

19/11 510,3 514,6 100 4,4 0

26/11 511,6 520,6 100 9,0 0

Jagung 22/10 301,1 309,1 100 8,0 0

29/10 301,6 303,5 100 2,0 0

5/11 294,0 300,4 100 6,4 0

12/11 288,7 300,2 100 11,5 0

19/11 298,7 303,1 100 4,4 0

26/11 299,1 308,5 100 9,4 0

JG+(KT-J) Jagung 22/10 309,8 320,1 100 10,3 0

29/10 312,5 315,1 100 2,6 0

+ 5/11 304,5 312,8 100 8,3 0

12/11 299,0 313,7 100 14,7 0

19/11 311,8 317,5 100 5,8 0

26/11 311,8 323,9 100 12,1 0

K Tanah 22/10 290,6 300,9 100 10,3 0

29/10 293,2 295,7 100 2,5 0

5/11 285,0 293,3 100 8,3 0

12/11 279,2 294,3 100 15,1 0

19/11 292,0 298,0 100 5,7 0

26/11 291,7 304,1 100 12,4 0

Page 79: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

72

Gambar 5.13. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Ubikayu +

Jagung (UKJ)

waktu tanamnya dimundurkan menjadi 29 Oktober, evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc)

menurun mencapai 1047,4 mm dan evapotranspirasi maksimumnya (ETm) 1142,2 mm;

kekurangan air sebesar 94,8 mm untuk memenuhi evapotranspirasi maksimumnya (ETm),

sehingga reduksi hasilnya 9,1%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 5

Nopember evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) sebesar 1019,3 mm, evapotranspirasi

maksimum (ETm) sebesar 1151,8 mm, kekurangan air sebesar 132,5 mm dan reduksi

hasilnya sudah melewati ambang batas yaitu di atas 10% yaitu 12,7%. Hal ini disebabkan

oleh dampak dari tingkat defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang semakin meningkat

dimana hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin rendah. Rendahnya nilai

rasio ETc/ETm menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak mencukupi kebutuhan air

tanaman.

Tanaman ubijalar jika ditanam pada musim hujan 22 Oktober – 12 Nopember reduksi

hasilnya 0%, Ubijalar yang ditanam pada musim kering I hanya dapat ditanam tanggal 3 –

17 Februari (Tabel 5.18), dari pendugaan

Tabel. 5.18 Neraca air tanah dan reduksi hasil pada musim kering (MK)

Tanaman

Tanam

Hujan Efektif (mm)

ETc ETc/ETm (%)

SMD akhir (mm)

Reduksi hasil

Ke 2 (mm) (%)

Kacang Tanah 3/2 348,6 356,7 100 8,2 0

10/2 336,6 350,8 100 14,2 0

17/2 340,7 346,4 100 5,7 0

24/2 299,3 311,2 100 12,0 0

3/3 602,1 333,7 100 18,1 0

10/3 564,7 329,7 97,9 36,0 1,5

17/3 526 313,9 91,9 44,6 5,7

24/3 445,9 293,1 84,3 46,0 11

Jagung 3/2 408,1 417,3 100 9,2 0

6,2

9,1

12,7

16,5

y = 0,093x + 0,289R² = 0,99

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

0 50 100 150 200

Red

uksi

Hasil (

%)

Kekurangan Air (mm)

Page 80: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

73

10/2 402,3 418,4 100 16,2 0

17/2 413,2 419,6 100 6,4 0

24/2 398,7 412,2 100 22,5 0

3/3 385,9 423,9 100 38,0 0

10/3 356,7 427,9 100 71,2 0

17/3 325,3 423,4 97,6 98,0 2,9

24/3 294,3 395,7 89,8 101,5 12,7

Ubijalar 3/2 483,1 543,3 95,2 60,3 5,3

10/2 433,4 496,1 92,5 62,7 8,3

17/2 391,2 457,3 91 66,1 9,9

24/2 329,9 398,0 88,2 68 13

didapat persamaan regresi linier Ŷ=0,294x-3,075 dengan R2=0,98 (Gambar 5.14). Tanaman

yang ditanam tanggal 3 Februari evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar 543.3

evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar 27,4 mm,

terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober

evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc) sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi

maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air sebesar 40,2 reduksi hasilnya sebesr 8,3

%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 5 Nopember evapotranspirasi

tanaman aktual (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3 mm evapotranspirasi maksimum (ETm)

juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm, kekurangan air sebesar 45,2 mm untuk memenuhi

evapotranspirasi maksimum (ETm) dan

Gambar 5.14. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Ubijalar

reduksi hasilnya sebesar 9,9%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24

Februari evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm

evapotraspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan

air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya yaitu 13%. Hal ini disebabkan oleh dampak dari tingkat

5,3

8,3

9,9

13

y = 0,294x - 3,075R² = 0,98

0

2

4

6

8

10

12

14

0 10 20 30 40 50 60

Red

uksi

Hasil (

%)

Kekurangan Air (mm)

Page 81: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

74

defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang semakin meningkat dimana hal ini ditunjukkan

dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin rendah. Rendahnya nilai rasio ETc/ETm

menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak mencukupi kebutuhan air tanaman.

Kacang tanah dapat ditanam pada musim kering I (MK I) dari 3 Februari sampai 17

Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan regresi Ŷ=0,20x+0,052 dengan R2 =

0,99 (Gambar 5.15). Untuk tanaman musim kering I selain tanaman kacang tanah dicoba

mengevaluasi tanaman jagung, dari hasil simulasi ternyata tanaman jagung juga dapat

ditanam dari 3 Februari sampai 17 Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan

regresi Ŷ=0,283x-0,019 dengan R2 = 0,99 (Gambar 5.16).

Tanaman yang ditanam tanggal 3 Februari evapotranspirasi tanaman aktual (ETc)

sebesar 543.3 evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar

27,4 mm, terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29

Oktober evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc) sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi

maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air sebesar 40,2 mm reduksi hasilnya sebesr

8,3 %. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 5 Nopember Evapotranspirasi

tanaman aktualnya (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3 mm evapotranspirasi maksimumnya

(ETm) juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm, kekurangan air sebesar 45,2 mm untuk

memenuhi evapotranspirasi maksimum (ETm) nya dan reduksi hasilnya sebesar 9,9%. Kalau

waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24 Februari evapotranspirasi aktualnya (ETc)

tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm evapotranspirasi maksimum (ETm) juga menurun

yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya yaitu 13%.

Hal ini disebabkan oleh dampak dari tingkat defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang

semakin meningkat dimana hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin

rendah. Rendahnya nilai rasio ETc/ETm menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak

mencukupi kebutuhan air tanaman. Kalender tanam menurut hasil evaluasi neraca air tanah

dan kemungkinan penurunan hasil yang paling aman disajikan dalam Tabel 5.19, apabila

dilakukan pengunduran saat tanam kemungkinan resiko defisit lengas tanah akan semakin

mengancam (Prijono, 2010)

Susunan perencanaan pola tanam ini dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian

berikutnya. Penyusunan pola tanam ini merupakan alternatif pilihan dari kemungkinan pola

tanam yang berpeluang untuk dicoba dengan tingkat reduksi hasil yang paling aman sehingga

dapat meningkatkan daya guna lahan kering, yang terpenting tanaman yang dipakai adalah

varietas tanaman yang tahan kering, umur pendek serta produksinya tinggi.

Page 82: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

75

Gambar 5.15. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Kacang

Tanah Musim Kering I

Gambar 5.16. Grafik Hubungan Antara Kekurangan Air dan Reduksi Hasil Pada Jagung

Musim Kering I

Kalender tanam menurut hasil evaluasi neraca air tanah dan kemungkinan penurunan

hasil yang paling aman disajikan dalam Tabel 5.19, apabila dilakukan pengunduran saat tanam

kemungkinan resiko defisit lengas tanah akan semakin mengancam (Prijono, 2010)

Susunan perencanaan pola tanam ini dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian

berikutnya. Penyusunan pola tanam ini merupakan alternatif pilihan dari kemungkinan pola

tanam yang berpeluang untuk dicoba dengan tingkat reduksi hasil yang paling aman sehingga

dapat meningkatkan daya guna lahan kering, yang terpenting tanaman yang dipakai adalah

varietas tanaman yang tahan kering, umur pendek serta produksinya tinggi.

5.6 Pembahasan Umum

Secara umum petani di kawasan Bali Selatan khususnya di Desa Pecatu hanya

menanam sekali dalam setahun ketika musim hujan, umumnya mereka menanam tanaman

pangan secara monokultur, petani sedikit bahkan hampir tidak melakukan pengolahan tanah,

lahannya berbukit dan ada beberapa areal berbatu karang (limestone), tanahnya liat berdebu

0

1,5

5,7

11

y = 0,201x + 0,052R² = 0,99

0

2

4

6

8

10

12

0 10 20 30 40 50 60

Red

uksi

Hasil (

%)

Kekurangan Air (mm)

0

2,9

12,7

y = 0,283x - 0,019R² = 0,99

0

2

4

6

8

10

12

14

0 10 20 30 40 50

Red

uksi

Hasil (

%)

Kekurangan Air (mm)

Page 83: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

76

– liat, kandungan hara dan bahan organik tanahnya rendah. Tipologi lahannya termasuk tipe

A dimana sumber airnya berasal dari curah hujan. Dalam beberapa dekade terakhir terjadi alih

fungsi lahan yang sangat pesat yang dulunya lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non

pertanian seperti properti, hotel, villa dan penunjang pariwisata lainnya. Hal ini dominan

disebabkan karena terbatasnya ketersediaan air sehingga petani setempat enggan

melakukan kegiatan usaha tani.

Selama waktu penelitian dari data klimatologi yang didapat di stasiun klimatologi

Ngurah Rai terlihat bahwa penyinaran, radiasi dan evapotranspirasi polanya yaitu rendah

diwaktu musim hujan dan meningkat pada waktu musim kemarau, sebaliknya untuk

kelembaban, kecepatan angin, curah hujan dan hari hujan polanya terbalik. Rerata besarnya

evapotranspirasi harian selama periode penelitian antara 3,32 - 5,17 mm hari-1, jumlah

evapotranspirasi selama periode penelitian 1266,2 mm dan jumlah curah hujannya 2109,6

mm. Hal ini menunjukan bahwa selama periode penelitian jumlah curah hujan yang masuk ke

wilayah penelitian lebih besar dibandingkan dengan air yang keluar melalui evapotranspirasi.

Hasil perhitungan neraca air wilayah dari Thorntwaite-Mather dari data selama kurun

waktu sepuluh tahun yaitu dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009 dengan jelas nampak

dari bulan Januari sampai dengan bulan April terjadi surplus air, sedangkan dari bulan Mei

sampai dengan bulan Nopember terjadi defisit air. Jumlah curah hujan rerata dalam setahun

1723,9 mm dan evapotranspirasinya 1833,7 mm. Nampak curah hujan tinggi hanya

berlangsung selama lima bulan (Desember – April) sebesar 1394,5 mm, sedangkan (Mei –

Nopember) curah hujan sangat rendah 329,4 mm, jumlah evapotranspirasi selama 7 bulan

mencapai 1126,4 terjadi defisit air sebesar 797 mm. Menurut Doorenbos dan Kassam (1986)

defisit air jika terjadi pada tanaman akan mengakibatkan water stres, yang memiliki efek pada

evapotranspirasi tanaman dan hasil panen. Disebutkan juga bahwa pengaruh defisit air pada

pertumbuhan dan hasil tanaman sangat bervariasi tergantung pada spesies tanaman dan

periode pertumbuhan tanaman. Air merupakan bahan alami yang mutlak diperlukan oleh

tanaman dalam jumlah yang cukup dan pada saat yang tepat. Kelebihan ataupun kekurangan

air mudah menimbulkan bencana. Tanaman yang mengalami kekeringan akan berdampak

pada penurunan kualitas ataupun bisa jadi gagal panen. Kelebihan air dapat berdampak

leaching, erosi, banjir yang pada akhirnya juga beresiko gagal panen.

Hasil simulasi neraca air dengan menggunakan model CropWat for windows dengan

data klimatologi sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000 – 2009 didapatkan bahwa neraca air

pada tanaman Ubikayu monokultur, Tumpangsari ubikayu+jagung dan tumpangsari

ubikayu+jagung-kacang tanah yang ditanam pada musim hujan (MH) kebutuhan airnya sangat

bervariasi, demikian juga pada tanaman Kacang tanah dan ubijalar yang ditanam secara

monokultur pada musim kering I (MKI) dengan empat waktu tanam yang berbeda. Pada

Neraca air dan terjadinya reduksi hasil juga tampak tidak semua pola dan saat tanam

kondisinya sama. Evapotranspirasi pada tanaman ubikayu monokultur sebesar 911,6 mm,

pada tumpangsari ubikayu+jagung sebesar 938,4 m dan pada tumpangsari ubikayu+jagung-

kacang tanah sebesar 949,6 mm. Nampak penyerapan air tanah untuk dapat memenuhi

permintaan penguapan tertinggi yaitu pada tumpangsari tanaman ubikayu+jagung-kacang

tanah, ini berarti bahwa potensi terjadinya defisit air paling tinggi pada tumpangsari tanaman

ubi kayu+jagung-kacang tanah yang akan dapat menyebakan terganggunya perkembangan

dan hasil tanaman.

Page 84: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

77

Hasil simulasi pada tanaman yang ditanam pada musim hujan tidak mengalami

masalah karena reduksi hasilnya dibawah 10% yaitu 7,3% untuk Ubikayu monokultur, 8,3%

pada tumpangsari ubikayu+jagung dan 8,8% pada tumpangsari ubikayu+jagung-kacang

tanah. Sedangkan tanaman yang ditanam pada musim kering I (MK I), tanaman kacang tanah

masih mampu memberikan hasil yang baik jika ditanam pada minggu ke dua bulan Februari

reduksi hasilnya 6,1%, jika ditanam pada minggu ke tiga Februari reduksi hasilnya sebesar

10,3% dan jika ditanam pada minggu ke 4 Februari reduksi hasil sudah sebesar 15,2%.

Sedangkan tanaman ubijalar semua perlakuan waktu tanam reduksi hasilnya di atas 10% itu

berarti tanaman ubijalar tidak cocok ditanam pada musim kering I karena dengan penanaman

diawal Februari saja sudah terjadi penurunan hasil sebesar 35,6%, berarti untuk ubijalar lebih

cocok jika ditanam pada pada musim hujan (MH).

Model CropWat for Windows dapat menstimulasikan phenomena tanaman-tanah-iklim

yang rumit di atas lahan, untuk dapat menduga evapotranspirasi tanaman dan penjadwalan

irigasi, dengan pemecahan kebutuhan air tanaman pertanian pada berbagai pola tanam.

Dinamika kandungan air tanah dan defisit air tanah di mintakat perakaran menjadi informasi

yang penting guna pengambilan keputusan pada pengelolaan sumberdaya air. Model

menghitung evapotranspirasi acuan tanaman, kebutuhan air tanaman, estimasi penurunan

hasil tanaman sehubungan dengan stress air tanaman. Ambang penurunan hasil

diperhitungkan maksimum 10% (Santosa, 2006).

Penelitian menunjukkan bahwa rerata simpanan air tanah pada mintakat perakaran

tanaman ubikayu dengan pola tanam monokultur (UK) menunjukkan bahwa selama periode

pertumbuhannya, terjadi curah hujan sebesar 2416,50 mm, run-off 507,96 mm, dan total

perubahan simpanan air tanah (S) 821,20 mm (Tabel 5.7). Total evapotranspirasi sebesar

1087,34 mm merupakan selisih dari total curah hujan, run-off dan perubahan simpanan air

tanah selama pertumbuhan ubikayu pada pola tanam monokultur (UK). Total evapotranspirasi

tersebut menggambarkan besarnya kebutuhan air tanaman ubi kayu dengan pola tanam

monokultur (UK) di lokasi penelitian. Hasil panen umbi tanaman ubikayu dengan pola tanam

monokultur (UK) sebesar 24,19 t ha-1 (Tabel 5.12). Jika dibandingkan dengan potensi hasil

tanaman ubikayu varietas Muara dengan rerata umbi basahnya sebesar 38,2 t ha-1, maka

hasil umbi segar dalam percobaan ini lebih rendah (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

Hortikultura Kabupaten Badung, 2009).

Total simpanan air tanah pada mintakat perakaran tanaman ubikayu dengan perlakuan

kontrol adalah sebesar 7,30 cm pada 60 hst, 8,76 cm pada 83 hst dan 11,88 cm pada akhir

tanam (late season) di Nigeria (Kehinde et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Odubanjo

et al. (2011), menunjukkan bahwa rerata simpanan air tanah tertinggi di mintakat perakaran

tanaman ubikayu terjadi pada mid season yaitu 144 hst. Tanaman ubikayu merupakan

tanaman yang tahan terhadap cekaman air. Menurut Nassar dan Ortiz (2007), apabila

kelembaban tanah menurun akan direspon oleh tanaman ubikayu dengan menggugurkan

daunnya, sedangkan apabila air mulai tersedia maka tanaman ubikayu akan bertunas kembali

dan memproduksi daunnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertumbuhan vegetatif tanaman ubi

kayu berlangsung selama 5 bulan, selanjutnya akan terjadi perkembangan akar dan pengisian

umbi dan akan berhenti pada umur tanaman 7-9 bulan.

Page 85: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

78

Kebutuhan air tanaman ubikayu relatif rendah (Omonona dan Akinpelu, 2010;

Odubanjo et al., 2011), karena air yang berlebih dapat menyebabkan pembusukan pada umbi

tanaman ubikayu (Fasinmirin dan Reichert, 2011). Omonona dan Akinpelu (2010)

menyebutkan bahwa tanaman ubikayu umumnya ditanam pada daerah dengan curah hujan

<800 mm tahun-1 dengan bulan kering 4-6 bulan. Meskipun tanaman ubikayu tergolong

tanaman yang toleran terhadap cekaman air, namun hasil panen umbi akan menurun apabila

terjadi cekaman air yang cukup lama. Tingkat penurunan hasil umbi tergantung pada lamanya

cekaman air serta pada fase saat terjadinya cekaman air. Periode kritis terjadinya cekaman air

pada tanaman ubikayu adalah 1-5 bulan setelah tanam (Alves, 2002 dalam Omonona dan

Akinpelu, 2010). Cekaman air yang terjadi selama 2 bulan pada pertumbuhannya dapat

menurunkan hasil umbi tanaman ubikayu sebesar 32-60% (Connor et al., 1981) Penelitian lain

menyebutkan cekaman air yang tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan

generatif tanaman ubikayu (Laban et al., 2013). Selanjutnya disebutkan cekaman air lebih

berpengaruh terhadap penurunan berat segar umbi daripada pertumbuhan vegetatifnya.

Terjadinya cekaman air, direspon oleh ubikayu dengan menutup stomata daun sehingga

transpirasi menurun (Ogutundea dan Alatisea, 2007; Odubanjo et al., 2011; El-Sharkawy,

2012)

Neraca air tanah di mintakat perakaran Jagung dengan pola tanam tumpangsari

ubikayu+jagung ( UKJ) (Lampiran 5) menunjukkan total curah hujan sebesar 1073,30 mm,

run-off 239,81 dan total perubahan simpanan air tanah sebesar 385,59 mm. Dari data tersebut

dihasilkan kebutuhan air tanaman jagung (ET) dengan pola tanam tumpangsari

ubikayu+jagung (UKJ) sebesar 447,90 mm. Frimpong et al. (2011) menyebutkan bahwa

kebutuhan air tanaman jagung selama pertumbuhannya antara 350-450 mm. Periode kritis

tanaman jagung adalah pada saat fase tasseling dan fase pengisian biji pada tongkol jagung

(Thimme et al., 2013). Neraca air tanah di mintakat perakaran tanaman ubikayu dengan pola

tanam tumpangsari ubikayu+jagung (UKJ) (Lampiran 5) menunjukkan total curah hujan dan

run-off sama dengan pola tanam ubikayu monokultur (UK), namun total perubahan simpanan

air tanah (S) lebih rendah yaitu 819,65 mm, sehingga kebutuhan air tanaman ubikayu (ET)

dengan pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung (UKJ) lebih rendah daripada pola tanam

ubikayu monokultur (UK) yaitu 1088,89 mm. Simpanan air tanah dipengaruhi oleh komponen

presipitasi, irigasi, isapan air pori kapiler ke mintakat perakaran, run-off, perkolasi ke dalam,

evaporasi dan transpirasi (Hartman, 1983). Pola tanam tumpangsari akan menyebabkan

terjadinya persaingan dalam penggunaan air sehingga simpanan air tanah menjadi lebih

rendah apabila dibandingkan dengan pola tanam monokultur (Daellenbach et al., 2005).

Hasil umbi segar tanaman ubikayu pada pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung

(UKJ) sebesar 23,94 t ha-1 (Tabel 5.12), hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan pola

tanam ubikayu monokultur (UK) yaitu sebesar 24,19 t ha-1 (Tabel 5.12). Penelitian yang

dilakukan oleh Daellenbach et al. (2005) menyimpulkan terjadi penurunan hasil umbi segar

tanaman ubikayu dan total produksi bio massa pada pola tanam tumpangsari ubikayu

dibandingkan dengan pola tanam monokultur di Rio Cabuyal. Sedangkan Hartojo dan Widodo

(1991) melaporkan bahwa Jagung hibrida yang ditumpangsarikan dengan ubikayu tidak

mempengaruhi hasil umbi segar tanaman ubikayu di Indonesia. Sedangkan hasil berat kering

pipilan jagung ka12% yaitu sebesar 5,44 t ha-1 (Tabel 5.12). Hasil tersebut sedikit lebih rendah

apabila dibandingkan dengan rerata produksi jagung varietas Arjuna di Badung yaitu sebesar

Page 86: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

79

5,64 t ha-1 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Badung, 2009).

Pola tanam tumpangsari dapat menimbulkan terjadinya persaingan dalam penggunaan unsur

hara, air dan cahaya (Daellenbach et al., 2005) yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan hasil

tanaman. Cekaman air dapat mengurangi produksi jagung sebesar 50-60% (Banziger et al.,

1997 dalam Sahindomi et al., 2013). Cekaman air yang terjadi selama fase pembungaan dan

tasseling dapat mengurangi produksi jagung sebesar 40%, sedangkan cekaman air yang

terjadi pada masa pengisian biji pada tongkol dapat mengurangi produksi jagung sebesar 66-

93% (Bruce et al., 2002; Cakir, 2004)

Neraca air tanah di mintakat perakaran jagung (Lampiran 6) dengan pola tanam

tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) sama dengan pola tanam tumpangsari

ubikayu+jagung (UKJ) (Lampiran 5). Neraca air tanah di mintakat perakaran kacang tanah

dengan pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) (Lampiran 6)

menunjukkan bahwa total curah hujan sebesar 1169,40 mm, run-off 250,52 mm dan total

perubahan simpanan lengas tanah (S) sebesar 439,14 mm. Kebutuhan air tanaman kacang

tanah (ET) di lokasi penelitian sebesar 479,74 mm. Menurut Idinoba et al. (2008) kebutuhan

air tanaman Kacang tanah adalah sebesar 302,5 mm selama pertumbuhannya. Neraca air

tanah di mintakat perakaran tanaman ubi kayu dengan pola tanam tumpangsari

ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) (Lampiran 6) menunjukkan bahwa besarnya curah

hujan dan run-off sama dengan pola tanam ubikayu monokultur (UK) (Lampiran 4) dan UKJ

(Lampiran 5). Sedangkan total perubahan simpanan air tanah (S) di mintakat perakaran

tanaman ubikayu dengan pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT)

lebih rendah daripada pola tanam ubikayu monokultur (UK) dan tumpangsari ubikayu+jagung-

kacang tanah (UKJ) yaitu 798,55 mm. Sehingga kebutuhan air tanaman ubikayu (ET) dengan

pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) sebesar 1109,99 mm. Tabel

5.7 dan Lampiran 6 menunjukkan bahwa kebutuhan air tanaman mengalami peningkatan

pada pola tanam tumpangsari baik pada UKJ dan UKJKT apabila dibandingkan dengan pola

tanam monokultur UK. Pola tanam tumpangsari mempunyai kelebihan dan kekurangan, salah

satu dampak dari pola tanam tumpangsari adalah terjadi persaingan dalam penggunaan unsur

hara, cahaya dan air tanah (Daellenbach et al., 2005).

Hasil umbi segar tanaman ubikayu dengan pola tanam UKJKT sebesar 22,54 t ha-1

(Tabel 5.12). Hasil umbi pada perlakuan UKJKT ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil

umbi pada perlakuan UK dan UKJ. Tumpangsari ubikayu+kacang tanah di India juga

menyebabkan penurunan hasil umbi tanaman ubikayu (Amanullah et al., 2007). Pola tanam

tumpangsari bergilir mempunyai dampak terhadap penurunan hasil tanaman ubikayu. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian Moriri et al. (2010) yang menunjukkan bahwa pola tanam

bergilir terbukti meningkatkan pertumbuhan tanaman Cowpea sebagai tanaman sekunder

namun menghambat pertumbuhan tanaman utama Jagung. Hasil penelitian Njoku dan

Muoneke (2008) menunjukkan bahwa hasil panen umbi segar tanaman ubikayu yang

ditumpangsarikan dengan Cowpea di Nigeria ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan hasil

panen umbi segar ubikayu yang ditanam secara monokultur. Hal ini diperkirakan karena

Cowpea dapat memfiksasi N sehingga dapat meningkatkan ketersediaan N dalam tanah.

Amanullah et al. (2007) juga menyimpulkan bahwa tumpangsari ubikayu dan jenis legume

dapat meningkatkan status hara dalam tanah. Hasil berat kering pipilan Jagung pada

tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT) sama dengan perlakuan tumpangsari

Page 87: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

80

ubikayu+jagung (UKJ) (Tabel 5.12). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada hasil penelitian

Adeniyan dan Ayoola (2006), dimana hasil panen ubikayu dan jagung tidak berbeda nyata

terhadap perlakuan beberapa pola tanam tumpangsari jagung+ubikayu+kedelai. Selanjutnya

dijelaskan bahwa perbedaan fase pemasakan (maturity time) dan karakter pertumbuhan

masing-masing tanaman sangat menentukan produktivitas hasil pada sistem tanam

tumpangsari. Hasil berat kering jemur biji Kacang tanah dengan pola UKJKT adalah sebesar

0,17 t ha-1 (Tabel 5.12). Hasil tersebut lebih rendah apabila dibandingkan rerata hasil Kacang

tanah varietas Kancil yaitu sebesar 2 t ha-1 (Balitkabi, 2010). Hal ini diperkirakan karena

adanya persaingan penggunaan unsur hara, cahaya dan air tanah (Daellenbach et al., 2005)

pada pola tanam tumpangsari. Hasil produksi Kacang tanah sangat dipengaruhi oleh lengas

tanah. Menurut Rahmianna et al,. (2007) produksi kacang tanah akan menurun 15% apabila

Kacang tanah kecukupan air selama fase vegetatif namun mengalami cekaman air pada

pengisian polong hingga akhir tanam. Selanjutnya ditambahkan bahwa kacang tanah akan

mengalami penurunan produksi 41% apabila kacang tanah mengalami cekaman air setelah

masa pengisian polong hingga akhir tanam. Hal ini didukung oleh Aboamera (2010) yang

menjelaskan bahwa fase kritis pada Cowpea jenis tanaman legume adalah pada fase

pembungaan dan pengisian polong dengan potensi penurunan hasil sebesar 35-69%.

Land Eqiuvalen Ratio (LER) untuk tanaman tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ)

didapat yaitu sebesar 1,49 sedangkan hasil perhitungan Land Eqiuvalen Ratio (LER) untuk

tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah (UKJKT) yaitu sebesar 1,56, dari hasil

perhitungan Land Eqiuvalen Ratio (LER) ini dapat dilihat bahwa tumpangsari ubikayu + jagung

– kacang tanah (UKJKT) mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari

tanaman ubikayu + jagung (UKJ). Land Eqiuvalent Ratio (LER) lebih tinggi dari 1

mengindikasikan bahwa produktivitas per unit luas lebih tinggi dicapai dengan penanaman

secara bersama-sama (tumpangsari) dibandingkan dengan tanaman yang ditanam secara

terpisah (monokultur). Nilai Land Eqiuvalen Ratio (LER) lebih tinggi pada penanaman

tumpangsari daripada tanaman monokultur juga dilaporkan oleh Haymes and Lee (1999);

Adeniyan and Ayoola (2006); Banik et al. (2006); Shehata et al. (2009); Megawer et al. (2010).

Islami et al. (2011) melaporkan bahwa semua sistem tumpangsari yang dicoba memiliki Land

Eqiuvalen Ratio (LER) lebih besar dari 1, dari hasil penelitiannya diperoleh Land Eqiuvalen

Ratio (LER) bervariasi antara 1,35 (tumpangsari ubikayu + padi gogo) dan 1,60 ( tumpangsari

ubikayu + kacang tanah dan jagung + kacang tanah), dengan demikian efisiensi penggunaan

lahan pada tumpangsari lebih menguntungkan khususnya tumpangsari tanaman legume

seperti kacang tanah. Tingginya nilai Land Eqiuvalen Ratio (LER) pada tumpangsari tanaman

legume mungkin disebabkan karena rendahnya kompetisi Nitrogen di dalam tanah (Dapaah et

al., 2003).

Menurut Willey (1979), bahwa dalam penerapan pola tanam tumpangsari perlu

memperhatikan kepekaan tanaman terhadap persaingan selama hidupnya. Banyak tanaman

pada periode tertentu dalam hidupnya sangat sensitif dan peka terhadap kompetisi sehingga

dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Agar persaingan antara jenis tanaman

yang ditumpangsari dapat ditekan sekecil mungkin, maka perlu diatur agar sumberdaya yang

diperlukan untuk masing-masing tanaman tidak terjadi pada saat yang bersamaan. Dalam pola

tanam tumpangsari salah satu faktor utama yang dapat menghambat pertumbuhan dan hasil

tanaman ialah adanya persaingan cahaya matahari untuk kegiatan fotosintesis. Islami (1999)

Page 88: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

81

menyatakan bahwa suatu tanaman yang ternaungi, maka intensitas cahaya yang diterima

akan berkurang sehingga menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung secara maksimal.

Kondisi ini akan mempengaruhi jumlah fotosintat yang dihasilkan. Bila jumlah fotosintat tidak

terpenuhi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan mempengaruhi produksi.

Ashadi dan Arsyad (1991) melaporkan bahwa penurunan intensitas cahaya menjadi 40%

mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong dan kadar

protein pada kedelai. Buhaira (2007) menyatakan bahwa pada pola tanam tumpangsari

kacang tanah dan jagung, tinggi tanaman kacang tanah melebihi tinggi tanaman yang ditanam

secara monokultur (rata-rata 68 cm). Hal ini dikarenakan dalam pertanaman tumpangsari,

tanaman yang mengalami naungan akan memberikan respon memperbesar luas daun dan

batang lebih tinggi (etiolasi) (Somaatmadja et al. (1985).

Evaluasi kebutuhan air dan curah hujan efektif dengan menggunakan CropWat for

Windows (Tabel 5.13) terlihat bahwa dari pola tanam tanaman ubikayu monokultur (UK)

kebutuhan airnya 1041,20 mm, tumpang sari ubikayu + jagung (UKJ) kebutuhan airnya

1050,50 mm dan tumpangsari ubikayu + jagung - kacang tanah (UKJKT) kebutuhan airnya

1070,00 mm, dengan curah hujan efektif yang sama yaitu sebesar 1076,65 mm.

Kebutuhan air tanaman selama periode penelitian di lapangan dari hasil evaluasi

dengan CropWat for Windows kebutuhan airnya lebih kecil dibanding kebutuhan air selama

periode eksperimen di lapangan yang dihitung dengan metode Hartman (Tabel 5.14). Pada

tanaman ubikayu (UK) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat yaitu sebesar 1041,20 mm

dan perhitungan Hartman sebesar 1087,34 mm, pada tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ)

kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1050,50 mm dan hasil perhitungan Hartman

sebesar 1088,89 mm, sedangkan pada tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang

tanah UKJKT) kebutuhan air hasil perhitungan CropWat sebesar 1070,00 mm dan hasil

perhitungan Hartman sebesar 1109,99 mm. Besarnya kebutuhan air pada hasil perhitungan

dengan metode Hartman kemungkinan disebabkan karena tidak diperhitungkan perkolasi

dalam yang terjadi.

Perimbangan kebutuhan air tanaman dan persediaan air dari curah hujan yang didapat

selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman kita dapat menentukan waktu tanam

yang paling tepat. Dari perimbangan kebutuhan air tanaman dan persediaan air yang berasal

dari curah hujan pada umumnya kekurangan air terutama pada waktu tanam, menjelang serta

diakhir musim hujan. Dibutuhkan distribusi curah hujan yang merata sepanjang pertumbuhan

tanaman karena masing masing jenis tanaman memiliki fase-fase pertumbuhan yang berbeda

dimana masing-masing fase pertumbuhan membutuhkan ketersediaan air yang bervariasi.

Setiap periode pertumbuhan tanaman bersifat spesifik terhadap kondisi kekurangan air (water

stress) dan pada periode pertumbuhan tertentu tanaman sangat peka terhadap kondisi

kekurangan air yang biasanya terjadi saat tanaman mencapai periode kritisnya. Untuk

menentukan waktu tanam yang tepat kita perlu mempertimbangkan periode kritis tanaman

yaitu dengan mengusahakan agar kebutuhan air tanaman terpenuhi saat tanaman berada

pada periode kritisnya (Agung, 2005).

Kandungan air tanah semakin menurun secara eksponensial menuju daerah serapan

dan kembali naik secara eksponensial dengan semakin jauh dari daerah perakaran dan pada

akhirnya menurun kembali. Penurunan kandungan air pada tanah liat lebih landai apabila

Page 89: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

82

dibandingkan dengan tanah berpasir. Hal ini terjadi karena tanah liat mempunyai banyak pori

mikro yang meretensi air dengan kuat, sehingga kemampuan akar menyerap air pada tanah

liat lebih tinggi. Perkolasi-dalam pada tanah liat berdebu lebih rendah dibandingkan dengan

tanah berpasir, sehingga kehilangan air akibat perkolasi lebih rendah (Saleh, 2000).

Pada Tabel 5.15 terlihat tanaman tumpangsari ubikayu + jagung – kacang tanah

(UKJKT) mempunyai nilai ekonomi paling tinggi yaitu dengan pendapatan sebesar Rp.

11.385.500 ha-1. Kemudian disusul oleh tumpangsari ubikayu + jagung (UKJ) Rp.11.190.500

ha-1 dan yang paling kecil adalah ubikayu monokultur (UK) sebesar Rp. 2.833.000 ha-1.

Dengan demikian pola tanam tumpangsari yang ke tiga dan yang kedua dapat dipilih karena

memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Hal ini

sejalan dengan hasil penelitian Tsay et al. (1988) and Fukai et al. (1990) tumpangsari ubikayu

legume lebih produktif daripada penanaman secara monokultur karena legume dapat dipanen

sebelum kompetisi tinggi kedua tanaman terjadi sehinggi ubikayu dapat mempunyai cukup

waktu untuk merecover. Abit (1979) menemukan bahwa tumpangsari dengan sorghum atau

jagung tidak memberikan pengaruh pada hasil ubikayu ketika tanaman cereals ditanam pada

waktu yang sama atau satu atau dua minggu setelah tanam ubikayu.

Pola tanam yang berpeluang dipilih tentunya yang mempunyai keuntungan yang tinggi

dengan biaya produksi yang dapat dijangkau oleh petani setempat dengan harapan pola

tanam itu dapat diterapkan agar dapat meningkatkan hasil usaha tani mereka dan untuk

menjaga ketahanan pangan. Untuk itu perlu kiranya diadakan demplot-demplot percobaan di

lapangan sebagai sarana sosialisasi agar petani dapat melihat dan mengetahui teknik

budidaya secara baik dan tertarik untuk ikut berusaha tani dengan cara tumpangsari sehingga

hasil usaha taninya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi

Dari hasil simulasi pengembangan waktu tanam, ternyata ubikayu hanya dapat

ditanam dari 22 - 29 Oktober (Tabel 5.17), dari pendugaan didapatkan persamaan regresi linier

Ŷ=0,093x+0,289 dengan R2 = 0,99 (Gambar 5.13). Dari persamaan tersebut didapatkan

tanaman yang ditanam tanggal 22 Oktober evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar

1070,0, evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 1133,5 mm, kekurangan air sebesar 63,5

mm untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi maksimumnya, terjadi reduksi hasil

sebesar 6,2%. Jika dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober evapotranspirasi

tanaman aktualnya (ETc) menurun mencapai 1047,4 mm dan evapotranspirasi maksimumnya

(ETm) 1142,2 mm, kekurangan air sebesar 94,8 mm untuk memenuhi evapotranspirasi

maksimumnya (ETm), reduksi hasilnya 9,1%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai

tanggal 5 Nopember evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) sebesar 1019,3 mm,

evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 1151,8 mm, kekurangan air sebesar 132,5 mm

dan reduksi hasilnya sudah melewati ambang batas yaitu di atas 10% yaitu 12,7%. Hal ini

disebabkan oleh dampak dari tingkat defisit air tanah dalam mintakat perakaran yang semakin

meningkat dimana hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio ETc/ETm yang semakin rendah.

Rendahnya nilai rasio ETc/ETm menunjukkan bahwa ketersediaan air tanah tidak mencukupi

kebutuhan air tanaman (Islami at al., 1995).

Penelitian waktu tanam ubikayu di Thailand (Tongglum et al., 2001) di Indonesia

(Wargiono et al., 2001) ditemukan bahwa ubikayu yang ditanam pada awal musim hujan

mempunyai hasil umbi segar yang lebih tinggi (Mei-Juni dibeberapa negara tetapi untuk

Page 90: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

83

Indonesia Oktober-Nopember). Penelitian (Zhang Weite et al., 1998) mengindikasikan bahwa

hasil umbi berkorelasi positif dengan curah hujan yang diterima selama bulan ke 3-5.

Dari hasil perhitungan ternyata ubijalar jika ditanam pada musim hujan 22 Oktober –

12 Nopember reduksi hasilnya 0%, Ubijalar yang ditanam pada musim kering I hanya dapat

ditanam tanggal 3 - 17 Februari (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan regresi linier

Ŷ=0,294x-3,075 dengan R2=0,98 (Gambar 5.14). Tanaman yang ditanam tanggal 3 Februari

evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) sebesar 543.3 evapotranspirasi maksimum (ETm)

sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar 27,4 mm, terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika

dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc)

sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air

sebesar 40,2 reduksi hasilnya sebesr 8,3 %. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai

tanggal 5 Nopember evapotranspirasi tanaman aktual (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3 mm

evapotranspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm, kekurangan air

sebesar 45,2 mm untuk memenuhi evapotranspirasi maksimum (ETm) dan reduksi hasilnya

sebesar 9,9%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24 Februari

evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm

evapotraspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan

air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya sudah melewati ambang batas yaitu di atas 10% yaitu

13%.

Kacang tanah dapat ditanam pada musim kering I (MK I) dari 3 Februari sampai 17

Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan regresi Ŷ=0,20x+0,052 dengan R2 =

0,99 (Gambar 5.15). Untuk tanaman musim kering I selain tanaman kacang tanah dicoba

mengevaluasi tanaman jagung, dari hasil simulasi ternyata tanaman jagung juga dapat

ditanam dari 3 Februari sampai 17 Maret (Tabel 5.18), dari pendugaan didapat persamaan

regresi Ŷ=0,283x-0,019 dengan R2 = 0,99 (Gambar 5.16).

Tanaman yang ditanam tanggal 3 Februari evapotranspirasi tanaman aktual (ETc)

sebesar 543.3 evapotranspirasi maksimum (ETm) sebesar 570,7 mm, kekurangan air sebesar

27,4 mm, terjadi reduksi hasil sebesar 5,3%. Jika

dimundurkan waktu tanamnya tanggal 29 Oktober evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc)

sebesar 496,1 mm dan evapotranspirasi maksimumnya (ETm) 536,3 mm, kekurangan air

sebesar 40,2 mm reduksi hasilnya sebesr 8,3 %. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai

tanggal 5 Nopember Evapotranspirasi tanaman aktualnya (ETc) menurun yaitu sebesar 457,3

mm evapotranspirasi maksimumnya (ETm) juga menurun yaitu sebesar 502,5 mm,

kekurangan air sebesar 45,2 mm untuk memenuhi evapotranspirasi maksimum (ETm) nya dan

reduksi hasilnya sebesar 9,9%. Kalau waktu tanam dimundurkan lagi sampai tanggal 24

Februari evapotranspirasi aktualnya (ETc) tambah menurun yaitu sebesar 398,0 mm

evapotranspirasi maksimum (ETm) juga menurun yaitu sebesar 451,2 mm, terjadi kekurangan

air sebesar 53,2 mm, reduksi hasilnya yaitu 13%.

Kalender tanam menurut hasil evaluasi neraca air tanah dan kemungkinan penurunan

hasil yang paling aman disajikan dalam Tabel 5.19, apabila dilakukan pengunduran saat tanam

kemungkinan resiko defisit lengas tanah akan semakin mengancam (Prijono, 2010).

Page 91: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

84

Susunan perencanaan pola tanam ini dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian

berikutnya. Penyusunan pola tanam ini merupakan alternatif pilihan dari kemungkinan pola

tanam yang berpeluang untuk dicoba dengan tingkat reduksi hasil yang paling aman sehingga

dapat meningkatkan daya guna lahan kering, yang terpenting tanaman yang dipakai adalah

varietas tanaman yang tahan kering, umur pendek serta produksinya tinggi.

Page 92: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

85

BAB VI

PENUTUP

Wilayah Bali Selatan khususnya Desa Pecatu kondisi lahannya berbukit dan tanahnya liat.

Sebagai lahan pertanian memiliki kendala kesuburan tanah rendah dan airnya hanya bersumber

dari curah hujan. Jenis tanaman yang diusahakan tanaman jagung, ubikayu, kacang-kacangan,

turi, pisang, pepaya, kelapa, mangga, jeruk, srikaya, jati. Neraca air untuk wilayah Bali Selatan

dengan metode Thornwaite dan Mather surplus terjadi dari bulan Januari sampai April, defisit terjadi

dari bulan Mei sampai dengan Nopember. Jumlah curah hujan dalam setahun 1723,9 mm dan

evapotranspirasi 1833,7 mm. Curah hujan yang tinggi terjadi bulan Desember sampai bulan April

(1394,5 mm), Mei sampai November curah hujannya rendah (329,4 mm). Kebutuhan air tanaman

pada mintakat perakaran monokultur ubikayu (UK) 1087,34 mm lebih rendah dibanding dengan

tumpangsari ubikayu+jagung (UKJ) 1088,89 mm dan ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT)

1109,99 mm. Pola pergiliran tanaman ubikayu+jagung-kacang tanah dapat ditanam dari 22 Oktober

sampai 21 Juni. Hasil panen umbi segar pada pola tanam ubikayu+jagung-kacang tanah (UKJKT)

22,54 t ha-1. Tanaman ubikayu dapat ditanam 22 - 29 Oktober, ubijalar dapat ditanam 3 – 17

Februari, sedangkan kacang tanah dan jagung dapat ditanam 3 Februari - 17 Maret. Hasil

pendapatan ha-1 pola tanam tumpangsari ubikayu+jagung-kacang tanah lebih besar 25,3%

dibanding dengan pendapatan monokultur ubikayu (UK).

Pola tanam tumpangsari Ubikayu+Jagung–Kacang Tanah dapat direkomendasi untuk

ditanam oleh petani di daerah Bali Selatan khususnya di Kuta Selatan, Desa Pecatu. Perlu

dilakukan penelitian lanjutan untuk mencoba peluang pola tanam yang berbeda dengan memilih

tanaman yang tahan kekeringan, umur pendek dan mempunyai produksi tinggi.

Page 93: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

86

DAFTAR PUSTAKA

Aboamera, M.A. 2010. Response Of Cowpea To Water Deficit Under Semi-Portable Sprinkler Irrigation System. Misr J. Ag. Eng., 27 (1): 170- 190.

Adeniyan, O. N. dan Ayoola, O. T. 2006. Growth And Yield Performance Of Some Improved Soybean Varieties As Influenced By Intercropping With Maize And Cassava In Two Contrasting Locations In Southwest Nigeria. African Journal of Biotechnology,5(20):1886-1889.

Adisarwanto, T., A.A. Rahmianna dan Suhartina. 1993. Budidaya Kacang tanah. Penyunting Kasro, T., A. Widarto dan Sunardi. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang.

Agung, I G.A.M.S. 2005. Pertanian Lahan Kering, Potensi yang Terabaikan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Budidaya Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana (orasi ilmiah). Denpasar: Universitas Udayana, 05 Maret 2005.

Agung, I G.A.M.S. 2006. Konsep dan Strategi Pengembangan Pertanian Lahan Kering. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Pengembangan Pertanian Lahan Kering Menuju Petani Sejahtera” di denpasar tanggal 22 Julli 2006 dalam rangka HUT PS Magister Pertanian Lahan Kering VII, HUT Program Pascasarjana Unud dan Dies Natalis Unud. 24 halaman.

Ahmad, B. dan L. Irsal. 1991. Strategi Pendekatan Iklim dalam Usaha Tani. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Direktort Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Al-Jamal M.S., T.W. Sammis, S. Ball dan D. Smeal. 1999. Yield-Based, Irrigated onion crop coefficients, Applied Engineering in Agriculture, 15(6):656-668

Al-Jamal, M.S.; T.W. Sammis; S. Ball and D. Smeal. 2000. Computing the Crop Water Production Function for Onion. Agric. Water Manag.; 46 (2000) : 29-41

Al-Kaisi, M.M. dan I. Broner. 2009. Crop Water Use and Growth Stages. Colorado State University Extension. Fact Sheet No.4.715.

Allen, .R.G., L.S. Pereira, D. Raes dan M. Smith. 1998. Crop Evapotranspiration : Guidelines for computing crop water requirements. Irrigation and Drainage Paper 56, Rome, Italy. 300 halaman.

Amanullah M.M., E. Somasundaram, K. Vaiyapuri dan K. Sathyamoorthi. 2007. Intercropping In Cassava – A Review. Agricultural Review., 28(3):179-187.

Anonim. 2006. Peningkatan pemahaman informasi iklim. BMG. Jakarta Anonim. 2007. Pemanasan Global dan Variabilitas Iklim Wilayah Bali. Makalah disajikan dalam

Seminar Regional Pertanian Organik dan Perubahan Iklim Program Studi Magister Pertanian Lahan Kering Universitas Udayana 12 Desember 2007. BMG Wilayah III Denpasar. 11 halaman.

Anonim. 2008. Laporan Statistik. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Propinsi Bali. Anonim. 2009. Kecamatan Kuta Selatan Dalam Angka 2009. Bappeda Litbang Kabupaten Badung.

Badan Pusat Statistika Kabupaten Badung. 91 halaman. Anonim. 2009. Laporan Statistik. Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Pemerintah

Kabupaten Badung. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Anonim. 2010. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang tanah, Kacang hijau, Ubi kayu & Ubi jalar. Balai

Penelitian Tanaman Kacang-kacangan & Umbi-umbian. Pusat Penelitian & Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian & Pengembangan Pertanian. Retrived from : www.balitkabi.litbang.deptan.go.id/publikasi/teknologi-inovasi.html, Accessed 30-5-2013

Ariffin, 2001. Dasar Klimatologi. Unit Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang Asadi, D.M dan H.Z.Arsyad. 1997. Pemuliaan Kedelai untuk Toleran Naungan dan Tumpangsari.

Bulletin Agrobio.1 (2): 15-20.

Page 94: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

87

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 571 halaman.

Baharuddin, A.B. 1997. Sistem Usahatani Terpadu di Lahan Kering NTB. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Teknologi Perbaikan Sub Sektor Tanaman Pangan di Mataram 12-14 Maret 1997.

Banik, P., A. Midya, B.K. Sarkar dan S.S. Ghose. 2006. Wheat and chickpea intercropping systems in an additive series experiment: Advantages and weed smothering. Europ. J. Agronomy 24: 325–332.

Bauer, A. dan A. L. Black. 1992. Organic Carbon Effects on Available Water Capacity of Three Soil Textural Groups, Soil Science Society of America Journal. 56 (1): 248 - 254.

Bergamaschi, H. 2007. Maize yield and rainfall on different spatial and temporal scales in Southern Brazil, Pesq. agropec. bras. 42 (5): 603-613.

Bergamaschi, H; G.A.Dalmago; F.Comiran; J.I.Bergonci; A.G.Müller; S. França; A.O.Santos; B.Radin; C.A.M. Bianchi dan P.G.Pereira. 2006. Water deficit and yield in maize crop, Pesq. Agropec. Bras. 41 (2): 243-249.

Bey, A. dan I.Las. 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usaha tani. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. http://id.wikipedia.org/. Diakses 25 Juli 2013.

Blair, G., D. Macleod, A. Amdrews, P. Sale, P. Searle dan R. Aitken. 1984. Soil Fertility and Plant Nutition. Training Course Notes. AUIDP – Udayana University. Denpasar Bali.

Blum, A. 2009. Effective use of water (EUW) and not water-use efficiency (WUE) is the target of crop yield improvement under drought stress, Field Crops Research 112 (2009) 119–123.

Bono, A. dan R. Alvarez. 2012. Use of Surface Soil Moisture to Estimate Profile Water Storage by Polynomial Regression and Artificial Neural Networks, Agronomy Journal. 104 (4): 934 - 938

Brocca, L., T. Moramarco, F. Melone, W. Wagner. 2013. A new method for rainfall estimation through soil moisture observations, Geophysical Research Letters. 40 (5): 853 - 858.

Buckman, H.O. dan N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Prof. Dr. Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 787 halaman.

Cakir R. 2004. Effect of water stress at different development stages on vegetative and reproductive growth of corn. Field Crops Research 89 (1), 1-16.

Clarke D., M. Smith dan K.E. Askari. 1998. CROPWAT for Windows: User Guide, Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome, Italy.

Condon, A.G., R. A. Richards, G. J. Rebetzke dan G. D. Farquhar. 2002. Improving Intrinsic Water-Use Efficiency and Crop Yield, Crop Science. 42 (1): 122 - 131.

Critchley, W., K. Siegert dan C. Chapman. 1991. A Manual for the Design and Construction of Water Harvesting Schemes for Plant Production, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

Daellenbach, P.C.K., M.S. Wolfec, E. Frossardb, dan M.R. Finckhd. 2005. Plant Productivity In Cassava-Based Mixed Cropping Systems In Colombian Hillside Farms. Agriculture, Ecosystems and Environment, 105:595–614.

Danarti dan S. Najiyati. 1997. Palawija, Budidaya dan Analisa Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. 116 halaman.

Dapaah, H.K., J.N.Asafu-Agyei, S.A.Ennin dan C.Yamoah. 2003. Yield stability of Cassava, maize, soya bean and cowpea intercrops. J. Agric. Sci. (Cambridge), 140: 73–82.

Djaenuddin, D., H.Marwan., H.Subagyo., A. Mulyani dan N. Suharta. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. 254 halaman.

Doorenbos, J. dan A.H Kassam. 1986. Yield Response to Water. Irrigation and Drainage. Paper 33, FAO, Rome, Italy. 193 halaman.

Doorenbos, J. dan W.O.Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirement. FAO irrigation drainage paper no. 24. Rome. 144 halaman.

El-Sharkawy. 2012. Stress-Tolerant Cassava: The Role of Integrative Ecophysiology-Breeding Research in Crop Improvement. Open Journal of Soil Science, 2:162-186.

Ervin, E.H. dan A.J. Koshi. 1998. Drought Avoidance Aspects and Crop Coefficient of Kentucky Bluegrass and Tall Fescue Turfs in the Semiarid West. Crop. Sci. 38 : 788 – 795.

Page 95: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

88

Evans, R., D.K. Cassel dan R.E. Sneed. 1996. Soil, Water and Crop Characteristic Important to Irrigation Schedulling. North Carolina Cooperative Extension Service. Number AG. 452 – 1 (1996); 1 – 13.

Farahani, H.J., G. A. Peterson, D. G. Westfall, L. A. Sherrod dan L. R. Ahuja. 1998. Soil Water Storage in Dryland Cropping Systems: The Significance of Cropping Intensification, Soil Science Society of America Journal. 62 (4): 984-991.

Fasinmirin J.T. dan J.M.Reichert. 2011. Conservation Tillage For Cassava (Manihot esculenta crantz) Production In The Tropics. Soil & Tillage Research, 113:1–10.

Franzluebbers, A.J., J. A. Stuedemann dan D.H. Franklin. 2012. Water infiltration and surface-soil structural properties as influenced by animal traffic in the Southern Piedmont USA. Renewable Agriculture and Food Systems. 27 (04): 256-265.

Frimpong, J.O., H.M. Amoatey, E.O. Ayeh, dan D.K. Asare. 2011. Productivity And Soil Water Use By Rainfed Maize Genotypes In A Coastal Savannah Environment. International Agrophysics, 25:123-129.

Gregory, J.H,, M.D. Dukes, P.H. Jones dan G.L. Miller. 2006. Effect of urban soil compaction on infiltration rate, Journal of Soil and Water Conservation. 61 (3), 117 - 124.

Guo,R., Lin Z, Mo X dan Yang C. 2010. Responses of crop yield and water use efficiency to climate change in the North China Plain, Agricultural Water Management 97 (2010) 1185 - 1194.

Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha, G.B. Hong, dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung. 488 halaman.

Hanzen, V.E., O.W. Israelsen dan G.E. Stringham. 1979. Irrigation Principles and Practices. 4th. ed. Cacho Hermanos. Inc. New York.

Hartman, D. 1983. Water Balance in the Field. S2 Program Soil Science. Gajah Mada Universty. Yogyakarta.

Hatibu, N., M. D. B. Young, J. W. Gowing, H. F. Mahoo dan O. B. Mzirai. 2003. Developing improved dryland cropping systems for maize in semi-arid tanzania. Part 1: experimental evidence for the benefits of rainwater harvesting, Experimental Agriculture. 39 (03): 279-292.

Haymes, R. dan H.C. Lee. 1999. Competition between autumn and spring planted grain intercrops of wheat (Triticum aestivum) and field bean (Vicia faba). Field crop Res., 62:167-176.

Hillel, D. 1980. Application of Soil Physics. Academic Press. New York. 385 halaman Hoque, M.Z. 1984. Cropping System in Asia. On-Farm Research and Management. IRRI. Los

Banos, Laguna, Philippines. 196 halaman. Hudson, B.D., 1994. Soil organic matter and available water capacity, Journal of Soil and Water

Conservation. 49 (2): 189 - 194 Idinoba, M.E., P.A. Idinoba, A.Gbadegesin dan S.S. Jagtap. 2008. Growth And Evapotranspiration

Of Groundnut (Arachis hypogaea) In A Transitional Humid Zone Of Nigeria. African Journal of Agricultural Research, 3(5):384-388.

Irianto, G. 2003. Drought manegement untuk meminimalkan resiko kekeringan. Harian Kompas 8 Agustus 2003.

Islami, T. 1999. Manipulasi Tajuk Tanaman Jagung Terhadap Hasil Tanaman Jagung dan Ubi Jalar dalam Pola Tumpang Gilir. Agrivita 21 (1) : 20-24.

Islami, T., B. Guritno dan W.H. Utomo. 2011. Performance of cassava (Manihot esculenta Crantz) based cropping systems and associated soil quality changes in the degraded tropical uplands of East Java. Indonesia. Journal of Tropical Agriculture 49 (1-2): 31-39.

Jackson,J. 1989. Climate, Water and Agriculture in the Tropics. Second Edition. Longman Scientific & Technical Copublished in the United State with John Wiley and Sons, Inc. New York. 377 halaman.

Kakde, J.R. 1985. Agricultural Climatology. Metropolitan Book. Co. Pvt. Ltd. New Delhi. 387 halaman

Kammer, P.M., C. Schöb, G. Eberhard, R. Gallina, R. Meyer dan C. Tschanz. 2013. The relationship between soil water storage capacity and plant species diversity in high alpine vegetation, Plant Ecology & Diversity. April 2013. DOI: 10.1080/17550874.2013.783142.

Ke Jin, W. M. Cornelis, W. Schiettecatte, Lu J, Yao Y, Wu H, D. Gabriels, S. D. Neve, Cai D, Jin J. dan R. Hartmann. 2007. Effects of different management practices on the soil–water

Page 96: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

89

balance and crop yield for improved dryland farming in the Chinese Loess Plateau, Soil & Tillage Research. 96 (2007) 131–144.

Kehinde O., O. Yahaya, A.J. Oloruntade dan G.G. Afuye. 2011. Effect Of Supplemental Irrigation On Growth, Development And Yield Of Cassava Under Drip Irrigation System In Akure, Ondo State Nigeria. Journal of Sciences and Multidisciplinary Research, 3:62-73.

Laban T.F., E.B. Kizito, Y. Baguma dan D. Osiru. 2013. Evaluation Of Ugandan Cassava Germplasm For Drought Tolerance. International Journal of Agriculture and Crop Sciences, 5(3):212-226.

Lakitan, B. 1997. Dasar-Dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 175 halaman. Lal, R. 1991. Current Research On Crop Water Balance And Implications For The Future. IAHS

Publ., 199:31-44. Lehane, J.J., dan W. J. Staple. 1965. Influence of soil texture, depth of soil moisture storage, and

rainfall distribution on wheat yields in southwestern Saskatchewan, Canadian Journal of Soil Science. 45 (2): 207 - 219, 10.4141/cjss65-029

Loaiciga, H. A. 2005. On the Probability of Droughts: The Compound Renewal Model. Journal of Water Resources Research, Vol. 41, W01009m doi: 10, 1029/2004/WR003075

Mamedov, A.I., G. J. Levy, I. Shainberg dan J. Letey. 2001. Wetting rate, sodicity, and soil texture effects on infiltration rate and runoff, Australian Journal of Soil Research. 39 (6): 1293 - 1305.

Marica, A. 2010. Short description of the CROPWAT model. http://agromet-cost.bo.ibimet.cnr.it/fileadmin/cost718/repository/cropwat.pdf. Diakses, 1 Juli 2010.

Maynard, G.H. dan D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plants Under Stress. John Willey dan Sons, Inc, New York. 206 halaman.

Mazaheri, M.R. dan M. Mahmoodabadi. 2012. Study on infiltration rate based on primary particle size distribution data in arid and semiarid region soils, Arabian Journal of Geosciences. 5 (5): 1039 - 1046.

McGee, E.A., G. A. Peterson dan D. G. Westfall. 1997. Water storage efficiency in no-till dryland cropping systems, Journal of Soil and Water Conservation. 52 (2): 131-136.

Megawer, E.K., A.N. Sharaan dan A.M. EL-Sherif. 2010. Effect of Intercropping Patterns on Yield and its Components of Barley, Lupin or Chickpea Grown in Newly Reclaimed Soil. Egypt. J. of Appl. Sci., 25(9): 437-452.

Michael, A.M. 2008. Irrigation: Theory and Practice. Vikas Publishing House. New Delhi. 768 halaman.

Milly, P.C.D. 1994. Climate, interseasonal storage of soil water, and the annual water balance, Advances in Water Resources. 17 (1-2): 19 - 24.

Moriri, L.G. Owoeye dan I. K. Mariga. 2010. Influence of component crop densities and planting patterns on Maize production in dry land Maize/Cowpea intercropping systems. African Journal of Agricultural Research, 5(11):1200-1207.

Morison,J.I.L., N.R Baker, P.M Mullineaux dan W.J Davies. 2008. Improving water use in crop production, Phil. Trans. R. Soc. B 12 February 2008. 363 (1491): 639 - 658.

Mulebeke, R., G. Kironchi dan M.M. Tenywa. 2010. Enhancing water use efficiency of cassava and sorghum based cropping systems in drylands. Second RUFORUM Biennial Meeting 20 - 24 September 2010, Entebbe, Uganda

Munandar, S. 1994. Pengembangan Tataguna Air pada Lahan Kering sebagai Alternatif Penanggulangan Kekeringan. Prosiding Diskusi Panel. Antisipasi Kekeringann dan Penanggulangan Jangka Panjang. Sukamandi, 26 – 27 Agustus 1994. p. 49-66

Nassar N.M.A. dan R. Ortiz. 2007. Review Cassava Improvement: Challenges And Impacts. Journal Of Agricultural Science, 145:163–171.

Nel, A.A. 2009. Grain yield and rainfall use efficiency responses of maize and alternative rotating crops under marginal production conditions in the western Highveld of South Africa, South African Journal of Plant and Soil. 26 (3): 164 - 169.

Nielsen, D.C., M. F. Vigil, dan J.G. Benjamin. 2009. The variable response of dryland corn yield to soil water content at planting, Agricultural water management 96 (2009) 330–336

Nielsen, D.R., D. Kirkham dan W. R. van Wijk. 1959. Measuring Water Stored Temporarily Above the Field Moisture Capacity, Soil Science Society of America Journal. 23 (6): 408 - 412.

Page 97: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

90

Njoku D.N. dan C.O. Muoneke . 2008. Effect Of Cowpea Planting Density On Growth, Yield And Productivity Of Component Crops In Cowpea/Cassava Intercropping System. Journal of Tropical Agriculture, Food, Environment and Extension, 7 (2):106 -113.

Noellemeyer, E., R. Fernández dan A. Quiroga. 2013. Crop and Tillage Effects on Water Productivity of Dryland Agriculture in Argentina, Agriculture 2013, 3: 1-11.

Noggle, G.R. dan G.J. Fritz.1993. Introductory Plant Physiology. Second Edition. Prentice Hall, Inc. New Jersey. 627 halaman.

Obalum S.E., U.C. Amalu, M.E.Obi dan T. Wakatsuki. 2011. Soil Water Balance And Grain Yield Of Sorghum Under No-Till Versus Conventional Tillage With Surface Mulch In The Derived Savanna Zone Of Southeastern Nigeria. Expl Agric., 47(1):89–109.

Odofin A.J., N.A. Egharevba, A.N. Babakutigi dan P.C. Eze. 2012. Drainage Beyond Maize Root Zone In An Alfisol Subjected To Three Land Management Systems At Minna, Nigeria. Journal of Soil Science and Environmental Management, 3(9):216-223.

Odubanjo O.O., A.A. Olufayo dan P.G. Oguntunde. 2011. Water Use, Growth, and Yield of Drip Irrigated Cassava in a Humid Tropical Environment. Soil & Water Res., 6 (1):10–20.

Oguntundea dan M.O. Alatisea. 2007. Environmental Regulation And Modelling Of Cassava Canopy Conductance Under Drying Root-Zone Soil Water. Meteorological Applications, 14: 245–252.

Oldeman, L. R. 1975. An agroclimate map of java. Contribution Central Research Institute for Agriculture. Bogor. Indonesia. 17: 22

Oldeman, L. R., 1980: The agroclimatic classification of rice-growing environments in Indonesia. World Meteorological Organization; International Rice Research Institute: Proceedings of a symposium on the agrometeorology of the rice crop: 47-55.

Omonona, B.T dan A.O.Akinpelu. 2010. Water, Environment And Health: Implications On Cassava Production. Continental J. Agricultural Science, 4:29-37.

Pascale, S.D., L. D. Costa, S. Vallone, G. Barbieri dan A. Maggio. 2011. Increasing Water Use Efficiency in Vegetable Crop Production: From Plant to Irrigation Systems Efficiency, Hort Technology 21 (3): 301 - 308.

Pirastru, M. dan M.Niedda. 2013. Evaluation of the soil water balance in an alluvial flood plain with a shallow groundwater table, Hydrological Sciences Journal, 58 (4): 898 - 911.

Prijono, S. 2008. Evaluasi Kebutuhan Air Tanaman di 12 Kecamatan Wilayah Kabupaten Malang dengan CropWat for Windows. Jurnal Agritek. 16 (4): 600-780.

Prijono, S. 2009. Agrohidrologi Praktis. Cakrawala Indonesia. 168 halaman. Prijono, S. 2010. Model Neraca Lengas Lahan Kering: Penetapan Kalender Tanam Lahan Kering.

http://sugengprijono.files.wordpress.com/2010/01/makalah-das.pdf. Diakses 10 Agustus 2011.

Rahmianna, A.T. dan E. Yusnawan. 2009. Pod Yield And Kernel Quality Of Peanut Grown Under Two Different Irrigations And Two Harvest Times. Indonesian Journal Of Agriculture, 2(2):103-109.

Rawls,W.J., Y.A. Pachepsky , J.C. Ritchie, T.M. Sobecki, H. Bloodworth. 2003. Effect of soil organic carbon on soil water retention, Geoderma 116 (2003): 61–76.

Reichert, J. M., j.A. Albuquerque, D.R. Kaiser, D.J. Reinert, F.L. Urach dan R. Carlesso. 2009. Estimation of water retention and availability in soils of Rio Grande do Sul, Rev. Bras. Ciênc. Solo [online]. 33 (6): 1547 - 1560.

Reinhart, K. G. dan R.E.Taylor. 1954. Infiltration and available water storage capacity in the soil, Transactions, American Geophysical Union. 35 (5): 791 - 795

Rockstron, J. 2001. On food and nature in water scarce Tropical countries, Journal of Land and Water International. 99: 4-6.

Sahindomi, B., S.Prijono, Ariffin Ms. dan Soemarno. 2013. The Effect of Soil Management on the Availability of Soil Moisture and Maize Production in Dryland. International Journal of Agriculture and Forestry, 3(3):77-85.

Saleh, E. 2000. Perubahan kadar air tanah sebagai fungsi kedalaman dan waktu. Artikel. http://www.ilmutanah.unpad.ac.id. Diakses 10 Mei 2011.

Santosa, I G.N., 2006. Perencanaan Pola Tanam Berdasarkan Kebutuhan dan Persediaan Air pada Lahan Kering di Bali Utara. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.

Page 98: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

91

Santosa, I G.N., G.M. Adnyana dan I K.K. Dinata, 2011.Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Ketahanan Pangan Beras. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian. Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Bengkulu 7 Juli 2011.

Saxton, K.E. dan W. J. Rawls. 2006. Soil Water Characteristic Estimates by Texture and Organic Matter for Hydrologic Solutions, Soil Science Society of America Journal. 70 (5) 1569-1578.

Scholes, R. J., R. Dalal dan S. Singer. 1994. Soil Physic and Fertility. The Effect of Water, Temperature and Texture. The Biological Management of Tropical Soil Fertility. h. 117-136

Setyana, S. 1983. Perkembangan penerapan pola tanam dan pola usaha tanam dalam usaha intensifikasi. Risalah Lokakarya Teknologi dan Dampak Pola Tanam Usaha Tani, Bogor 20-21 Juni 1983. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Seyaningsih, E. dan Soemarno. 2009. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air menunjang ketahanan pangan.PPSUB. Malang. 47 halaman.

Shehata, S.M., A. M. Safaa dan S. S. Hanan. 2007. Improving calcareous soil productivity by integrated effect of intercropping and fertilizer. Res. J. Agric. and Biolo. Sci. 3(6): 733-739.

Shiklomadov, I.A., V.I. Babkiu dan Z.A. Balouishukov. 2011. Water Resources,Their Use, and Water Availability in Rusia: Current Estimates and Forecasts. Journal of Water Resources (38) no. 2, p 139-148

Singa, R.M. dan P.R. Prabhu. 1998. Profile Water Storage Capacity of Soils of Scarce Rainfall Zone of Andhra Pradesh, Journal of the Indian Society of Soil Science. 46 (3): 351 - 353.

Singh, A., N. Aggarwal, G. S. Aulakh dan R. K. Hundal. 2012. Ways to Maximize the Water Use Efficiency in Field Crops – A review, Greener Journal of Agricultural Sciences. 2 (4): 108 - 129.

Sir Elkhatim H. A., A.W Abdelhadi dan S.A. Hussein. 2007. Water Requirements of the Main Crops in the Gezira. Proceedings of the Meetings of the National Crop Husbandry Committee 41th (2007) pp. 45 - 61.

Smith M. 1992. CROPWAT, a computer program for irrigation planning and management, Irrigation and Draenage Paper 46, FAO, Rome, Italy. 133 halaman.

Smith, M. 2000. The Application of Climatic Data for Planning and Management of Sustainable Rainfed and Irrigated Crop Production. Agricultural and Forest Meteorology. 103 (2000) : 99 -108.

Soekartawi. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Managemen PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 234 halaman.

Somaatmadja, S., M. Ismunadji, Sumarno, S. Mahyudin, S. O. Manurung dan Yuswadi. 1985. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Sosiawan, H. 2012. Optimalisasi Penggunaan Air Hujan Dan Sistem Pemanenan Aliran Permukaan. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=164. Diakses 15 Agustus 2013.

Stroosnijder, L. dan Widianto. 1985. Agrohydrology, Komunikasi Ilmu Tanah. Unibraw Nr. 4. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 190 halaman.

Suhardi, S. S., S.A. Sodjoko, D.H.D. Minarningsih dan A. Widodo. 1999. Hutan dan kebun sebagai sumber pangan nasional. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Pertanian. Kantor Menteri Negara dan Hortikultura. Jakarta. 147 halaman

Sulliva, P. 2003. INTERCROPPING PRINCIPLES AND PRODUCTION PRACTICES. NCAT Agriculture Specialist. http://attra.ncat.org/attra-pub/PDF/intercop.pdf Diakses 20 Agustus 2013.

Thimme G. P., S.B.Manjunaththa , T.C.Yogesh dan S.A. Satyareddi. 2013. Study on Water Requirement of Maize (Zea mays L.) using CROPWAT Model in Northern Transitional Zone of Karnataka, Journal of Environmental Science, Computer Science and Engineering & Technology. 2 (1): 105 -113 .

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Kerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertananian.

Page 99: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

92

Timm, L.C., D. Dourado-Neto , O. O. S. Bacchi, W. Hu, R. P. Bortolotto, A. L. Silva, I. P. Bruno dan

K. Reichardt. 2011. Temporal variability of soil water storage evaluated for a coffee field, Soil Research. 49 (1): 77 - 86.

Utomo, W.H. 1985. Dasar-Dasar Fisika Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Van Duivenbooden,N., M. Pala, C. Studer, C.L. Bielders, D.J. Beukes. 2000. Cropping systems and crop complementarity in dryland agriculture to increase soil water use efficiency: a review, NJAS - Wageningen Journal of Life Sciences. 48 (3): 213 - 236.

Van Hoof, W.C.H. 1987. Mixed Cropping of Groundnut and Maize in East Java. UPT. Perpustakaan Universitas Brawijaya. 156 halaman

Weldeslassie,T. A., W. Cornelis, J. Nyssen, B. Govaerts, D. Raes, M. Haile dan J. Deckers. 2011. Effect of conservation agriculture on soil water balance and crop yield for improved dryland farming on vertisols in Northern Ethiopia. International congress Water 2011 : Integrated water resources management in tropical and subtropical drylands. Mekelle, Ethiopia.

Willey, R.W. 1979. Intercropping-its importance and research needs part-1 competition and yield advantages Field Crops Res. 32: 1-10.

Wright, E. , M. K. V. Carr dan P. J. C. Hamer . 1997. Crop production and water-use. IV. Yield functions for sugarbeet, The Journal of Agricultural Science. 129 (01): 33 - 42.

Yonky I., I.B.Pramono dan S.A. Cahyono. 2003. Konservasi Air Lahan Kering sebagai Alternatif Pengembangan Lahan Kering. Prosiding Hasil Litbang Rehabilitasi Lahan Kering. Banjarnegara, 6 Desember 2003. h. 97-111

Zhao, B. Z., Xu F. dan Zhao Q. G. 1997. Influences of soil physical properties on water-supplying capacity, Pedosphere. 7 (4): 367 - 374.

Zhao, C dan Nan Z. 2007. Estimating water needs of maize (Zea mays L.) using the dual crop coefficient method in the arid region of northwestern China, African Journal of Agricultural Research 2(7): 325-333.

Page 100: PENGEMBANGAN PERTANIAN TUMPANGSARI PADA LAHAN …

93