Agar Luh tak Sekedar Peluh - · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1...

27
Suara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

Transcript of Agar Luh tak Sekedar Peluh - · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1...

Page 1: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

Suara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011

Agar Luh tak Sekedar Peluh

Page 2: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

2 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 3

IndeksBerita

Hal 3 Apa Kabar?

Hal 4 Forum MDGs

Hal 12 Laporan Utama: Agar Luh tak Hanya

Peluh (Keputusan MUDP Bali soal Hak

Waris Perempuan)

Hal 22 Opini:

- I Ketut Sudantra: Pembaruan Hukum

Adat dan Angin Segar bagi Perempuan

- Gek Ela Kumala Parwita: Sangkar

Diskriminasi Dibalik Hukum Adat

Hal 28 Dialog Interaktif di RRI tentang MDGs

Hal 30 Profil

Hal 36 Album

Hal 40 Resensi Buku

Hal 43 Opini:

Sita van Bemmelen/Luh Anggreni:

Sudahkah Hukum Berempati?

Hal 48 Cerpen: Perempuan yang Kawin

dengan Keris

Kabardari Redaksi

MDGs sebagai sebuah cita-cita be-sar tentu harus diterjemahkan dalam langkah-langkah kecil un-

tuk mencapainya. Adalah menjadi keharu-san bagi setiap komponen masyarakat un-tuk mendialogkan berbagai informasi yang mendorong pencapaian cita-cita mulia itu. Menjadi komitmen kami untuk menghadir-kan ruang tersebut pada lembar-lembar hala-man di media ini.

Adapun pada edisi pertama ini, kami mengangkat topik mengenai Keputusan Ma-jelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali yang merubah posisi perempuan dalam masa-lah hak waris serta berbagai masalah lainnya. Kami meyakini, keputusan itu adalah sebuah langkah strategis untuk memajukan posi-si kaum perempuan di Bali. Dalam konteks MDGs,kami percaya bahwa penguatan posisi itu akan mempercepat upaya-upaya pencapa-ian tujuan MDGs.

Untuk memperdalam pemahaman me-ngenai soal MDGs, pada setiap edisinya kami akan membuka sebuah forum tanya jawab yang akan diasuh oleh LSM Bali Sruti. Pada rubrik tersebut, pembaca dapat menanyakan seputar pengertian MDGs serta penerapannya di lapangan.

Kami juga berusaha merekam berba-gai aktivitas yang relevan dengan program MDGs baik di tingkat lokal maupun nasional. Harapannya tentu saja agar informasi tersebut menjadi inspirasi serta catatan untuk melang-kah lebih baik di masa depan.

Pada setiap edisi, kami juga akan berusa-ha menampilkan tokoh perempuan berpresta-si sebagai pendorong untuk partisipasi yang lebih besar dari kalangan perempuan dalam-pencapaian MDGs. Di sisi lain, kami juga memberi kesempayan kepada teman-teman sastrawan untuk menampilkan karya yang relevan dengan topik MDGs. Hal itu sebagai sebuah cara untuk melakukan pencatatan dan penafsiran dengan cara yang berbeda.

Pemimpin UmumLuh Riniti Rahayu

SekretariatSuharyati

Koordinator RedaksiFiqi Hasan

Redaktur KhususMade Sukaja, Luh Anggreni

Pembantu UmumSri Sulandari

DesainFX

[email protected]

Jl. Pulau Serangan I No. 2 Denpasar, Bali

Telp/fax: 0361 222 464, Hp: 0811 396 646Email: [email protected]

Website: www.balisruti.co.id

Suara Millenium Development Goals (MDGs)

Majalah Bali Sruti yang merupakan suara nurani perempuan, ter-bit bulan Januari 2006. Seiring perjalanan waktu, majalah yang dibidani para pegiat LSM Bali Sruti, tidak mampu lagi terbit ka-

rena permasalahan klasik, masalah dana. Namun permasalahan perempuan tidaklah pernah berhenti, semakin hari permasalahan perempuan semakin terkuak. Pemberdayaan perempuan terus dilakukan para pegiat melalui berbagai cara. Ide-ide pemberdayaan melalui media massa seperti media elektronik dan media cetakpun terus dikuatkan.

Di Penghujung tahun 2010 Bali Sruti bekerja sama dengan Kemitraan untuk memperkuat Kepemimpinan Perempuan dalam rangka pencapaian Milenium Development Goals (MDGs). Akhirnya bara api yang sempat me-redup itu memerah lagi, kontak-kontak kembali terjalin dan disepakati un-tuk menerbitkan kembali majalah ”Bali Sruti”. Hanya formatnya berubah, ukuran majalah diperkecil, direncanakan terbit per triwulan dengan tema setiap edisi akan menyangkut persoalan-persoalan MDGs di Bali. MDGs merupakan penjabaran resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 55/2 ”Milenium Declaration” yang disepakati 8 September tahun 2000 oleh para pemimpin dunia dari 189 negara, termasuk Presiden Abdur-rahman Wahid dari Indonesia. Fokus utama dalam MDGs adalah pemba-ngunan manusia, target MDGs adalah menurunkan besaran angka kemiski-nan hingga setengahnya pada tahun 2015.

Rapat redaksi segera digelar, disepakati untuk edisi perdana hidupnya kembali majalah Bali Sruti adalah mengangkat permasalahan MDGs yang ketiga dari delapan point tujuan pembangunan milenium, yaitu ”Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan”. Menyangkut kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bali maka, kesepakatan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali tentang hak-hak waris perem-puan Bali sangat relevan untuk diangkat dan disosialisasikan. Pesamuan Agung MUDP telah berlangsung pada tanggal 15 Oktober 2010, bersukur para anggota MUDP kini terdiri dari laki-laki dan perempuan, meskipun dalam pengambil keputusan adat di tingkat Desa Pekraman hanya laki-laki yang berhak. Kini para anggota laki-laki MUDP juga terdiri dari para tokoh-tokoh Bali dan ilmuan yang paham akan kesetaraan gender.

Selama 2 minggu ini tim inti redaksi yakni Riniti, Rofiqi, Titik, Anggre-ni dan Sri Sulandari mempersiapkan segala sesuatunya. Hunting materipun segera bergerak cepat, kontak penulis, wawancara, persiapan artistikpun segera digarap. Terima kasih kepada para nara sumber yang telah bersedia diwawancarai, dan para penulis yang memberikan kontribusi tulisannya. Dan akhirnya dengan segala kerendahan hati, kami menyapa Anda dengan meng hadirkan kembali media majalah Bali Sruti.

Kembalinya Majalah Bali Sruti

APA KAbAR?

Luh Riniti Rahayu

Page 3: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

4 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 5

Forum MDGs

Millenium De-velopment Goals

(MDGs) sudah sering diucapkan

oleh banyak tokoh melalui berbagai

media. Namun banyak pihak yang

sejatinya belum mengetahui secara

persis seluk beluk serta implikasi

dari komitmen itu. Apalagi mengenai

langkah-langkah riil yang harus

dilakukan.Karena itu,

majalah Bali Sruti pada setiap

edisinya membuka forum tanya jawab

yang memberi kesempatan kepa-

da para pembaca untuk menyampai-

kan pertanyaan. Forum ini diasuh

oleh LSM Bali Sruti, Pertanyaan bisa disampaikan

melalui email ke lsm_balisruti@

yahoo.com atau melalui kontak ibu Titik 0811396646.

Pada edisi pertama ini, kami memuat

paparan mengenai MDGs.

Millenium Development Goals (MDGs)

Komitmen Mengakhiri Kemiskinan Dunia

Komitmen MDGs su-dah diluncurkan pada bulan September

2000 pada Konferensi Ting­kat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) di New York, Ameri-ka Serikat yang dihadiri oleh 189 kepala negara dan kepala pemerintahan. Para kepa-

la pemerintahan dan kepala negara negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan ter-sebut kemudian sepakat un-tuk menandatangani Dekla-rasi Milenium atau kemudian dikenal sebagai Tujuan Pem-bangunan Milenium (Millen-nium Development Goals).

Dalam KTT tersebut selu-ruh perwakilan negara yang hadir sepakat untuk menu-runkan proporsi penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 1 per hari menjadi setengahnya antara periode 1990-2015, menemukan so-lusi untuk: mengatasi kelapa-ran, masalah gizi buruk dan

penyakit, mempromosikan kesetaraan gender dan pem-berdayaan perempuan, men-jamin pendidikan dasar bagi setiap orang dan mendukung prinsip-prinsip Agenda 21 mengenai pembangunan ber-kelanjutan serta dukungan langsung dari negara-negara maju kepada negara-negara

berkembang dalam bentuk bantuan, perdagangan, pem-bebasan utang dan investasi.

Fokus utama dalam MDGs adalah pembangunan manu-sia, dengan meletakkan dasar pada konsensus dan kemitraan global untuk pembangunan. Diharapkan, negara-negara yang lebih kaya dapat men-dukung negara-negara miskin dan berkembang dalam melak-sanakan tugas pembangu nan mereka. Tujuan Pembanguan Millenium ini terdiri dari 8 (delapan) goals yaitu:

Menanggulangi kemiski-1. nan dan kelaparanMemenuhi pendidikan 2. dasar untuk semua

FoRUM MDGsFoRUM MDGs

Mendorong kesetaraan gender dan 3. pemberdayaan perempuan Menurunkan angka kematian balita4. Meningkatkan kualitas kesehatan ibu 5. melahirkanMemerangi HIV/AIDS, malaria dan 6. penyakit menular lainMenjamin kelestarian fungsi lingku-7. ngan hidupMengembangkan kemitraan global 8. untuk pembangunanSetiap tujuan memiliki satu atau bebe-

rapa target beserta indikatornya. MDGs ini menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan, me-miliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. Selain itu MDGs didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara ber-kembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut. Disepakati bahwa kedelapan goals terse-but akan tercapai pada tahun 2015.

Fokus utama dalam MDG adalah pembangunan manusia, dengan meletakkan dasar pada konsensus

dan kemitraan global untuk pembangunan.

balebengong.net

kampanye: kalangan aktivis lSm di bali juga bersemangat menyuarakan pentingnya mDgs. Seperti kegiatan “Stand Up for mDgs” yang juga dihadiri Sekda provinsi bali nyoman yasa.

Page 4: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

6 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 7

DenGAn menandata-ngani Deklarasi Milenium, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk me-nempatkan MDG menjadi referensi penting dalam pe-laksanaan pembangunan di Indonesia. Hal ini ditun juk-kan dengan menggunakan MDG sebagai bahan acuan dalam pembangunan, mu-lai dari tahap perencanaan seperti yang dinyatakan da-lam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sampai tahap im-plementasi.

MDG bahkan telah menjadi dasar perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di tingkat na-sional dan daerah. Me-ski demikian, tampaknya

pencapaian tersebut masih jauh dari harapan. Hingga pertengahan dekade Mil-

lenium, BPS (Maret 2006) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin di In-donesia mencapai 39 juta orang (17,75%) dari total penduduk sebesar 220 juta

orang. Sedangkan Laporan Perkembangan MDGs In-donesia, 2005, menunjuk-kan bahwa sasih ada 28% balita di seluruh Indonesia yang belum memperoleh akses terhadap imunisasi. Ini artinya, ada sekitar 1 juta balita yang rentan terhadap penyakit menular yang da-pat mengakibatkan kema-tian. Sementara itu Sensus Kesehatan tahun 2002-2003 menunjukkan bahwa 48,7 % masalah akses pelayanan kesehatan disebabkan kare-na kendala biaya, jarak dan transportasi.

Ketidaksetaraan jen-der dalam pendidikan dan lapangan kerja pun masih

berlangsung. Perempuan masih merupakan minori-tas dalam angkatan kerja di sektor non pertanian di Indonesia yakni hanya sebesar 28% (Laporan Perkembangan MDG In-donesia, 2005). Dari segi pendidikan, hingga tahun 2003 ada sekitar 57,2% gedung SD/MI dan sekitar 27,3% gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Alokasi anggaran pemerintah bagi pendidikan baru mencapai 1,3% untuk kurun waktu 1999-2001. Sebaliknya, Malaysia, Thailand dan Filipina telah mengaloka-sikan sebesar 7,9%, 5,0%

dan 3,2% (RPJM 2004-2009).

Kemitraan global dalam goal kedelapan pun sejauh ini masih perlu mendapat-kan dorongan lebih jauh. Perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki kon-sep favorit Company Social Responsibility (CSR) dalam pelaksanaannya ternyata masih menerapkan prinsip sukarela sehingga kemung-kinan untuk berkompromi dengan keuntungan sering-kali mengalahkan konsep CSR itu sendiri. Padahal kemitraan merupakan salah satu prasyarat dalam men-capai tujuan kesatu hingga ketujuh.

SetelAh era otonomi daerah, daerah mendapatkan kewenangan untuk menge-lola termasuk program dan kebijakan bagi daerah-

nya. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa hampir semua tantangan MDGs berlangsung di tingkat lokal misalnya berkaitan dengan program penanggulangan

kemiskinan dengan pende-katan komprehensif untuk mencegah pemiskinan le-bih lanjut. Dalam konteks MDGs, pendekatan proyek

tidak pernah bisa menye-babkan seluruh masyarakat terjangkau padahal semua program pencapaian MDGs perlu mencapai seluruh In-donesia. Hal ini dikarena-

kan juga pemenuhan tujuan MDGs memprioritaskan wi-layah-wilayah yang masih tertinggal, daerah terpencil di pegunungan, pulau-pulau kecil, daerah perbatasan, dll.

Dengan demikian, pe-nanggulangan intensif harus difokuskan pada wilayah-wialyah khusus seperti “kantong-kantong kemiskinan”, daerah rawan bencana, pasca konflik, “kantong-kantong” mala-ria, TBC dan HIV/AIDS, wilayah dengan angka ke-matian balita / ibu melahir-kan yang tinggi, dsb.

Karenanya proses dan

tantangan di tingkat lokal

Karenanya proses dan target pencapaian MDGs memang amat tergantung bagaimana

daerah memaknai mandat yang diberikan dalam MDGs.

Sekitar 1 juta balita yang rentan terhadap penyakit menular yang dapat mengakibatkan

kematian.

MDGs di Indonesia

zUl t eDUarDo

Stop kemiSkinan: musuh bersama masyarakat dunia yang telah disepakati adalah kemiskinan.

FoRUM MDGsFoRUM MDGs

Page 5: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

8 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 9

tIDAK dapat dipungkiri bahwa ke-berhasilan pencapaian MDGs mensya-ratkan sinergitas kerja antara pemerintah dan masyarakat sipil. Namun demikian, kerjasama tersebut dapat terjalin dengan baik apabila keduanya ada dalam posi-si yang sama-sama setara dan berdaya. Pemberdayaan masyarakat diperlukan agar mampu mendorong perubahan/per-baikan kebijakan/program pembangunan dan memastikan adanya rencana penca-paian MDGs, terutama di tingkat lokal. Pemberdayaan pemerintah (lokal) penting supaya dapat melahirkan program dan ke-bijakan yang kondusif untuk pencapaian MDGs.

Sayangnya pada titik tertentu, kapasi-tas pemerintah terutama lokal dan masya-rakat sipil masih harus diperkuat. Oleh karena itu fokus pemberdayaan adalah pe-

ningkatan kapasitas masyarakat sipil utk memantau kebijakan / program serta ki-nerja pemerintahan & komitmen pemiha-kan pada si miskin (pro-poor) para politisi daerah. Dan kapasitas pemerintah daerah diperkuat untuk menyediakan data yang komprehensif serta program dan kebija-kan yang kondusif. MDGs bisa menjadi rumusan sasaran & kerangka kerja pem-berdayaan dan partisipasi masyarakat, maupun daftar “check-list” kebijakan / program yang masuk ke masyarakat

Sumber rujukan:

Witoelar, Erna, “Pencapaian MDGs melalui Tata Pemerintahan yang Baik”,

makalah, 2006www.standupindonesia.org

www.forumdesa.org

Penguatan Peran Masyarakat di Daerah

target pencapaian MDGs memang amat tergantung bagaimana daerah memak-nai mandat yang diberikan dalam MDGs. Keberha-silan pencapaian MDGS amat tergantung pada da-erah-daerah yang bersang-kutan. Target & indikator MDGs dapat disesuaikan menurut konteks kondisi & tantangan daerah, misalnya : a) Sasaran bukan hanya menurunkan separuh, teta-pi sebanyak mungkin; b) Target waktu bisa lebih ce-pat, atau sesuai masa bakti pemerintah daerah; c) Indi-kator tambahan yang apli-katif bagi daerah.

Tentu saja hal ini juga ti-dak terlepas dari data yang tersedia. Mencermati bah-wa salah satu kelemahan pencapaian MDGs adalah data maka daerah perlu meningkatkan penggalan-gan data lebih akurat pada tiap program yang telah berjalan maupun yang khusus dikembangkan bagi pencapaian MDGs. Selain itu perlu melakukan revi-talisasi institusi pelayanan dasar yang sudah menurun dan mengoptimalkan yang sudah baik

Pada sisi lain, komitmen MDGs seharusnya dituang-kan dalam rencana aksi

dengan alokasi anggaran yang “pro-poor”, berbasis kinerja dan berkelanjutan. Tertuju pada program pe-mecahan masalah secara terpadu (bukan hanya pro-yek-proyek sektoral)“pro-poor” tidak berarti menekan pertumbuhan, “pro-poor budget” tidak selalu berar-ti peningkatan anggaran pengeluaran publik, tapi diprioritaskan bagi program pemberdayaan masyarakat miskin. Investasi publik bagi infrastruktur dasar seperti listrik, transportasi darat/laut/sungai, dll diran-cang khusus untuk menghi-langkan kesenjangan.

FoRUM MDGsFoRUM MDGs

tUJUan

Tujuan 1: Menanggulangi kemiski-nan dan kelaparan

Tujuan 2: Mencapai pendidikan dasar bagi semua

Tujuan 3: Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

target

Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar per hari menjadi setengahnya anta-ra 1990 -2015

Target 2: Menurunkan pro-porsi penduduk yang men-derita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990- 2015Target 3: Menjamin semua anak perempuan dan laki-laki di area menyelesaikan jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP)

Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.

inDikator

- Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan na-sional

- Proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari $1 per hari

- Kontribusi kuartil pertama penduduk berpendapatan te-rendah terhadap konsumsi na-sional

- Prevalensi balita kurang gizi- Proporsi penduduk yang bera-

da di bawah garis konsumsi mi-nimum (2.100 kkal/kapita/hari)

- Angka partisipasi murni di SD- Angka partisipasi murni di

SMP- Proporsi murid yang berhasil

mencapai kelas 5- Proporsi murid di kelas 1 yang

berhasil menamatkan SD- Proporsi murid di kelas 1 yang

berhasil menyelesaikan sembi-lan tahun pendidikan dasar

- Angka melek huruf usia 15-24 tahun

- Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidi-kan dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka par-tisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki

- Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki

- Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian

Page 6: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

10 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 11

Tujuan 7:Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Tujuan 8: Mengembangkan kemi-traan global untuk pem-bangunan

FoRUM MDGsFoRUM MDGs

Tujuan 4:Menurunkan angka kema-tian anak

Tujuan 5:Meningkatkan kesehatan ibu

Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, ma-laria dan penyakit lain

Target 9: Memadukan prin-sip pembangunan berke-lanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hi-lang.

Target 10: Penurunan sebe-sar separuh, proporsi pen-duduk tanpa akses terha-dap sumber air minum yang aman dan berkelan-jutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015. Target 11: Mencapai per-baikan yang berarti dalam kehidupan penduduk mis-kin di pemukiman kumum pada tahun 2020. Target 12: Pengembangan sistem perdagangan di dae-rah yang terbuka, berbasis aturan, dapat diprediksi ser-ta tidak diskriminatif (terma-suk membangun komitmen untuk menerapkan tata pe-merintahan yang baik).

Target 18: Bekerja sama dengan pihak swasta un-tuk memastikan peseba-ran keuntungan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.

Target 5: Menurunkan an-gka kematian balita sebe-sar dua-pertiganya antara tahun 1990 dan 2015. Target 6: Menurunkan an-gka kematian ibu antara tahun 1990 dan 2015 sebe-sar tiga-perempatnya. Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jum-lah kasus baru pada tahun 2015.

Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lain-nya pada tahun 2015.

- Proporsi luas lahan yang tertu-tup hutan

- Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan

- Energi yang dipakai (setara barel minyak) per PDB (juta rupiah)

- Emisi CO 2 perkapita- Jumlah konsumsi zat perusak ozon- Proporsi penduduk berdasarkan

bahan bakar untuk memasak- Proporsi penduduk yang

menggunakan kayu bakar dan arang untuk memasak

- Proporsi penduduk dengan ak-ses terhadap air minum yang terlindungi dan berkelanjutan

- Proporsi penduduk dengan akses terhadap sanitasi yang layak

. - Proporsi rumah tangga dengan

status rumah milik atau sewa

- Kemudahan dan kejelasan da-lam memperoleh izin usaha bagi siapa saja

- Perlindungan terhadap wirau-saha mikro dan kecil (termasuk yang bersifat informal)

- Terdapat kerjasama dengan swasta di bidang teknologi in-formasi dan komunikasi yang manfaatnya dapat dirasakan oleh penduduk secara luas.

- Proporsi kursi DPR yang didu-duki perempuan

- Angka kematian balita- Angka kematian bayi- Presentase anak di bawah 1

tahun yang diimunisasi campak - Angka kematian ibu- Proporsi pertolongan persalinan

oleh tenaga kesehatan terlatih- Angka pemakaian kontrasepsi- Prevalensi HIV di kalangan ibu

hamil yang berusia antara 15-24 tahun

- Penggunaan kondom pada hu-bungan seks berisiko tinggi

- Penggunaan kondom pada contraceptive prevalence rate

- Presentase anak muda usia 15-24 tahun yang memiliki penge-tahuan komprehensif tentang HIV & AIDS

- Prevalensi malaria dan angka kematiannya

- Presentase penduduk yang menggunakan cara pencega-han yang efektif untuk meme-rangi malaria

- Presentase penduduk yang mendapat penanganan mala-ria secara efektif

- Prevalensi TBC dan angka ke-matian penderita TBC dengan sebab apapun selama pengo-batan OAT

- Angka penemuan penderita tuberkulosis BTA positif baru

- Angka kesembuhan penderita tuberkulosis

tUJUan target inDikatortUJUan target inDikator

Page 7: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

12 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 13

Penggalan puisi dari karya Oka Rusmi-ni itu menjadi pe-

gangan bagi Ni Luh Terik Dianti, salah-satu peserta “Pelatihan Kesadaran Gen-der bagi Perempuan Muda” di Denpasar, akhir 2010 lalu. Sebagai anak perem-puan pertama di keluarga sederhana dengan dua sau-dara laki-laki, dia harus se-lalu mengalah, Anak laki-laki selalu dianggap lebih istimewa karena menjadi pewaris keluarga.

Mereka mendapat prio-ritas untuk pendidikan yang lebih baik meskipun dalam pekerjaan sehari-hari justru anak perempuan yang lebih banyak membantu.

Anak laki-laki adalah anak yang dipersiapkan untuk tanggungjawab yang lebih besar dalam peran

di masyarakat dan hanya kepadanyalah orang tua akan menggantungkan hi-dup. Meski terlihat mereka menjadi lebih manja diban-ding anak perempuan.

Tapi Ni Luh tak menge­luh. Seringkali ia ingin memprotes keadaan itu na-mun akhirnya hanya disim-

LAPoRAN UtAMALAPoRAN UtAMA

Tapi Ni Luh tak mengeluh. Seringkali ia ingin memprotes keadaan itu namun akhirnya hanya

disimpannya dalam hati.

Agar luh tak Sekedar Peluh

Majelis Utama Desa Pekraman Bali (MUDP) memberikan hak waris kepada kaum perempuan.

Sebuah kemajuan setelah 110 tahun.

Upacara: perempuan

bali berperan besar dalam

pelaksanaan upacara

zUl t eDUarDo rofiki haSan

Page 8: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

14 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 15

LAPoRAN UtAMALAPoRAN UtAMA

pannya dalam hati. Pilihan pun ditegaskannya untuk bekerja mencari nafkah sendiri untuk membiayai sekolahnya hingga di Per-guruan Tinggi dan mem-buat orang tuanya bangga. Seringkali tubuh ringkih nya memprotes dan ia pun ja-tuh sakit. Namun se mangat yang kuat mengalahkan se-mua rintangan itu.

Baru setelah ia berha-sil meraih gelar sarjana, keluarga menjadikannnya sebagai teladan bagi adik-adik prianya. “Saya tak menyimpan rasa benci, saya hanya ingin membuk-tikan bisa berprestasi dan menjadi contoh bagi adik-adik,” tulisnya.

Kisah-kisah semacam

itu gampang ditemukan da-lam pergaulan sehari-hari.Posisi pria dalam hukum adat Bali memang jauh le-bih berkuasa dengan garis Purusa yang diberikan ke-padanya. Purusa yang di-lekatkan kepada pria Bali berakar pada aturan yang ditetapkan pada masa ko-lonial.Tepatnya melalui Lavering Adat Bali yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 13 Oktober 1900. Status Puru-sa berarti kemampuan un-tuk mengurus dan menerus-kan Swadharma (tanggung jawab) keluarga. Yakni, da-lam masalah parahyangan (hubungan dengan Tuhan), pawongan (hubungan sosial) dan palemahan (pengaturan lingkungan). Kaum perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk memikul tanggungja-wab itu. Konsekuensinya, mereka tak diberi swadika-

ra (hak waris) sedikit pun.Ekses dari konsep itu

melebar kemana-mana. Ketika perempuan masuk dalam sebuah keluarga melalui perkawinan, po-sisinya menjadi sangat le-mah. “Apalagi kalau tidak memiliki pekerjaaan dan penghasilan sendiri,” kata aktivis perempuan Luh Anggreni. Itu sebabnya, rata-rata perempuan Bali adalah pekerja keras dan bahkan mau mengerja-kan pekerjaan fisik yang di tempat lain dikerjakan oleh para pria. Di sisi lain, kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kerap terjadi. Anak laki-laki pun men-dapat keistimewaan untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi.

Yang paling berat ada-lah ketika terjadi percerai-an. Pihak perempuan sama sekali tidak mendapat pem-

anggreni

Wayan p Windia

Khusus mengenai masalah perceraian,

MUDP memutuskan bahwa, harta

gunakaya harus dibagi secara merata antara laki-laki dan

perempuan.

rofiki haSan

rofiki haSan

zUl t eDUarDo

Page 9: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

16 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 17

pihak perempuan bisa men-dapatkannya tanpa berarti memutus status purusa. “Jadi tetap ada kewajiban untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga besar si anak,” ujar Windia. Di pihak lain, keluarga puru-sa diwajibkan untuk tetap memberi jaminan hidup bagi anak itu.

Keputusan MUDP itu selanjutnya akan disosia-lisasikan melalui Majelis Madya Desa Pekraman (MMDP) di tingkat Kabu-paten yang akan menerus-kannya sampai ke Desa-de-sa Adat di wilayahnya. Bila terjadi sengketa, keputusan itu yang akan menjadi acuan. Pihak MUDP Bali juga akan menyampaikan-nya ke instansi penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan agar menjadi acuan dalam mengatasi masalah terkait dengan adat. “Ini kita do-rong akan menjadi hukum positif yang berlaku di Bali,“ujarnya.

Perubahan itu jelas me-rupakan pengakuan terha-dap eksistensi perempuan yang sudah sejak lama me-miliki peran besar. “Dalam berbagai upacara adat pun, mereka sangat penting,“ ujar Anggreni. Adalah pe-rempuan yang menyiapkan berbagai sesaji dan keper-luan upacara lannya ser-ta membawanya ke Pura.

Hanya kemudian saat upa-cara, kaum prialah yang berdiri di muka.

Bagi dia, konsep purusa-pradana mestinya diletakkan dalam keseimbangan antara peran dan hak laki-laki ser-ta perempuan. Hal itu yang diperjuangkan para aktivis perempuan di Bali dalam 10 tahun terakhir. Setelah menunggu cukup lama, mo-

mentum perubahan terasa tepat karena justru dimulai dari lembaga adat yang me-rupakan jantung kehidupan warga Bali.

Keputusan pun diambil tanpa perdebatan yang ter-lalu alot. Sebab sebelumnya sudah didahului dengan proses panjang untuk ber-diskusi dan saling mema-hami. “Selalu kita tekan-kan, kita semua lahir dan dibesarkan oleh seorang perempuan,” tegas nya.

Pendekatan ini rupanya cukup manjur. Apalagi kemudian diakui, dalam penga laman sehari-hari ter-lihat anak perempuan lebih dekat hubungan emosio-nalnya dengan orang tua dibanding anak laki-laki.

Satu-satunya yang po-lemik keras adalah konsep perkawinan pada gelahang

yang ditolak oleh perwaki-lan dari MMDP Karanga-sem. Sebab, dianggap bisa mengacaukan garis ketu-runan dan aturan tentang hak waris. Karena tak dite-mukan titik temu, akhirnya disepakati untuk membe-rikan pengakuan terhadap adanya perkawinan sema-cam itu sambil melihat ma-salah yang timbul. Sebab,

kenyataannya sejumlah keluarga memang telah mempraktekkannya.

Bagi Ketut Widi, 34, (bukan nama sebenarnya-red), keputusan MUDP itu memberi harapan untuk kembali berkumpul dengan kedua anaknya. Pada akhir Desember lalu, Pengadilan Negeri Denpasar mengabul-kan permohonannya untuk bercerai dengan suaminya yang jarang pulang ke ru-mah dan tak bertanggun-gjawab. Namun hakim juga memutuskan, hak asuh anak jatuh ke tangan pihak suami dengan alasan purusa. Pa-dahal selama ini, anak-anak itu berkumpul dengan dirin-ya. “Akan saya ajukan ban-ding dengan melampirkan keputusan ini,”ujarnya.

tim Bali Sruti

Bagi dia, konsep purusa-pradana mestinya diletakkan dalam keseimbangan antara peran dan

hak laki-laki serta perempuan.

bagian dari harta gunakaya alias harta dari usaha ber-sama. Hak asuh atas anak-anak umumnya jatuh ke tangan suami, apalagi bila anaknya adalah laki-laki.

Anggreni yang menja-di pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali sudah menangani pu-luhan kasus semacam itu. “Hakim selalu berpegang pada konsep Purusa itu,” ujarnya. Bila pengadilan memutuskan hak asuh dibe-rikan kepada ibunya, sang suami umumnya kemudian menolak bertanggungjawab membiayai anaknya.

Setelah lebih dari 110 tahun berlaku, sebuah perubahan besar telah terjadi. Tepatnya keti-ka Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) yang menghimpun Desa Adat di seluruh Bali menggelar Pasamuhan Agung III pada 15 Oktober 2010. Dalam keputusan dengan Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 disepakati adanya hak waris bagi perempuan. “Karena situasi sudah be-rubah dan perempuan pun bisa meneruskan swadhar-ma keluarga,” kata Ketua Nayaka (Dewan Penasehat) MUDP Wayan P Windia.

Sebelum harta keluarga diwariskan kepada anak-anak, harta itu dipilah menjadi dua. Pertama, har-ta pusaka yang diwariskan

turun temurun sebagai har-ta bersama yang tidak bisa dibagi karena merupakan sarana memelihara warisan immaterial. Penguasaannya bukan kepemilikannya di-serahkan kepada anak ke purusa. Kedua, harta guna-kaya atau harta hasil usaha orang tua yang bisa dibagi dengan proporsi ategen-asuwun (sepikul-segen-dongan) atau 1 : 2 antara anak perempuan dan laki-laki. Namun harta yang di-bagi itu sebelumnya harus

dikurangi dulu oleh harta duwe tengah (harta bersa-ma) sebesar sepertiga dari gunakaya untuk kepentin-gan bersama keluarga .

Warisan itu berhak di-dapatkan oleh semua anak termasuk perempuan yang sudah menikah dan mengi-kuti suaminya. Demikian pula dengan anak laki-laki yang melangsungkan per-kawinan nyentana atau diangkat oleh keluarga lain. Satu-satunya yang kehilan-gan hak adalah anak yang berpindah agama atau dise-but ninggal kedaton penuh. “Sebab mereka tidak mun-gkin melanjutkan swadhar-ma orang tua secara agama

Hindu,” kata Windia yang juga adalah Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hu-kum Universitas Udayana. Keputusan itu diharapkan akan meningkatkan keber-samaan dalam memikul kewajiban adat istiadat ser-ta agama Hindu.

Keputusan penting lain-nya adalah diakuinya jenis perkawinan pada gelahang. Yakni, perkawinan yang ti-dak menghilangkan garis keturunan pihak pria mau-pun wanita. Status purusa

atau garis keturunan anak-anak ditentukan berdasar-kan kesepakatan orang tua. Menurut Windia, jenis per-kawinan ini adalah untuk mengantisipasi kecende-rungan keluarga-keluarga di Bali yang kini memilih hanya memiliki satu atau dua orang anak saja. Bila mengikuti perkawinan biasa atau nyentana bisa berakibat putusnya garis keturunan salah-satu keluarga.

Khusus mengenai ma-salah perceraian, MUDP memutuskan bahwa, harta gunakaya harus dibagi se-cara merata antara laki-laki dan perempuan. Adapun mengenai hak asuh anak,

Warisan itu berhak didapatkan oleh semua anak termasuk perempuan yang sudah menikah

dan mengikuti suaminya.

Page 10: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

18 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 19

LAPoRAN UtAMALAPoRAN UtAMA

A. Kedudukan Wanita Bali dalam Keluarga dan Pewarisan

Sistem kekeluargaan patrilineal (pu-rusa) yang dianut oleh orang Bali-Hindu menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun pale-

mahan (pelestarian lingkungan alam se-suai dengan keyakinan Hindu). Konseku-ensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa sajalah yang memiliki swadika-ra (hak) terhadap harta warisan, semen-tara keturunan yang berstatus pradana (perempuan), tidak mungkin dapat mene-ruskan swadharma, sehingga disamakan dengan orang yang meninggalkan tang-gung jawab keluarga (ninggal kadaton), dan oleh karena itu, dianggap tidak ber-hak atas harta warisan dalam keluarga.

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDP) Bali

Dalam perkembangannya, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa ada orang ninggal kadaton tetapi da-lam batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton terbatas), dan ada pula kenyataan orang ninggal kadaton yang sama sekali tidak memungkinkan lagi bagi mereka melaksanakan swadhar-ma sebagai umat Hindu (ninggal kadaton

penuh). Mereka yang dikategorikan ning-gal kadaton penuh, tidak berhak sama se-kali atas harta warisan, sedangkan mereka yang ninggal kadaton terbatas masih di-mungkinkan mendapatkan harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding satu). Mereka yang tergolong ninggal kadaton terbatas adalah sebagai berikut.

a. Perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa.

b. Laki-laki yang melangsungkan per-kawinan nyentana/nyeburin.

c. Telah diangkat anak (kaperas sen-tana) oleh keluarga lain sesuai den-gan agama Hindu dan hukum adat Bali.

d. Menyerahkan diri (makidihang raga) kepada keluarga lain atas ke-mauan sendiri.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan mengenai kedudukan suami istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya sebagai berikut.

1. Suami dan istrinya serta saudara laki-laki suami dan istrinya, mem-punyai kedudukan yang sama da-

lam usaha untuk menjamin bahwa harta pusaka dapat diteruskan ke-pada anak dan cucunya untuk me-melihara atau melestarikan warisan immateriil.

2. Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunaka-ya-nya (harta yang diperoleh sela-ma dalam status perkawinan).

3. Anak kandung (laki-laki atau pe-rempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) yang belum kawin, pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya orangtuanya.

4. Anak kandung (laki-laki atau pe-rempuan) serta anak angkat (laki-laki atau perempuan) berhak atas harta gunakaya orangtuanya, se-sudah dikurangi sepertiga sebagai duwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orangtuanya.

5. Anak yang berstatus kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kadaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa.

6. Dalam hal pembagian warisan, anak yang masih dalam kandungan mempunyai hak yang sama dengan anak yang sudah lahir, sepanjang dia dilahirkan hidup.

7. Anak yang ninggal kadaton penuh tidak berhak atas harta warisan, teta-pi dapat diberikan bekal (jiwa dana) oleh orangtuanya dari harta gunaka-ya tanpa merugikan ahli waris.

Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010, tanggal 15 Oktober 2010, tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung III Majelis Utana Desa Pakraman (MUDP) Bali. Diseleng-garakan 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha, Kantor Gubernur Prov. Bali.

Mereka yang dikategorikan ninggal kadaton penuh, tidak berhak

sama sekali atas harta warisan

zUl t eDUarDo

perempUan: perempuan bali penggerak perekonomian rakyat.

Page 11: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

20 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 21

LAPoRAN UtAMALAPoRAN UtAMA

B. Pelaksanaan Perkawinan dan Perceraian

Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wani-ta menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus prada-na dan menjadi keluarga istri). Dalam per-kembangan selanjutnya, adakalanya pasa-ngan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut per-kawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera disikapi.

Selain perkembangan mengenai ben-tuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak ta-hun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawi-nan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apa-bila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pa-sal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawi-nan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu,

sedangkan perceraian baru dapat dikata-kan sah apabila dilaksanakan di pengadi-lan negeri sesuai ketentuan Undang-Un-dang Perkawinan.

Apabila diperhatikan uraian di atas, tampak jelas bahwa Undang-Undang Per-kawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan deng-an pelaksanaan perkawinan dan perce-raian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tem-pat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian

dikatakan sah setelah ada putusan penga-dilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah ber-dasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menen-tukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.

Berdasarkan fakta-fakta di atas maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.

1. Upacara patiwangi tidak dilaksana-kan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.

2. Bagi calon pengantin yang karena ke-adaannya tidak memungkinkan me-langsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada ge-lahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.

3. Agar proses perceraian sejalan den-gan proses perkawinan, maka per-ceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut.

a. Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib membe-rikan nasihat untuk mencegah ter-jadinya perceraian.

b. Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesai-kan melalui proses adat, kemudian dilan jutkan dengan mengajukan-nya ke pengadilan negeri untuk

memper oleh keputusan. c. Menyampaikan salinan (copy)

putusan perceraian atau akte per-ceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang ber-samaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.

d. Prajuru mengumumkan (nyoby-ahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah ber-cerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, se-kalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri terse-but di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.

4. Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.

a. Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam per-kawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadhar-ma berikut swadikara-nya di ling-kungan keluarga asal.

b. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata).

c. Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibu-nya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidika-ran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

zUl t eDUarDo

kerJa keraS: perempuan bali

terkenal dengan etos kerja kerasnya.

Page 12: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

22 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 23

oPiNioPiNi

Memang, hukum adat Bali yang bersistem keke-

luargaan kapurusa (patri-lineal) menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga, sementara perempuan hanya mem-punyai hak untuk meni-kmati harta peninggalan orang tua atau harta pe-ninggalan suami.

Penempatan anak laki-laki sebagai ahli waris ter-kait erat dengan pandangan bahwa laki-laki Bali mem-punyai tanggungjawab yang besar dalam keluarga, sementara tanggungjawab anak perempuan terhadap keluarga berakhir dengan

kawinnya anak tersebut yang selanjutnya akan masuk dan menunaikan tanggungjawabnya secara total di lingkungan keluar-ga suami.

Itu sebabnya, harapan yang sangat besar digan-tung kan kepada anak laki-laki, mulai dari harapan sebagai penerus generasi, memelihara dan memberi nafkah ketika orang tuanya sudah tidak mampu; mela-ksanakan upacara agama, seperti menyelenggarakan upacara kematian, pengu-buran atau pembakaran je-nazah (ngaben) anggota ke-luarganya yang meninggal serta menyemayamkan dan

memuja roh leluhur mereka di tempat persembahyangan keluarga (sanggah/mera-jan); menggantikan ke-dudukan bapaknya dalam masyarakat melaksanakan kewajiban (swadharma) sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat, seperti krama banjar/desa pakraman) atau krama da-dia ketika anak tersebut su-dah kawin.

Bahkan, tanggung ja-wab anak laki-laki tidak berhenti pada kewajiban-kewajiban di dunia nyata (alam sekala), tetapi juga merambah ke alam niska-la (dunia gaib), di mana kaum laki-laki (melalui

cucu laki-laki) diharapkan akan mengantarkan roh le-luhur keluarga tersebut ke alam sorga, seperti sering diungkapkan dalam keper-cayaan Bali yang menyata-kan “i cucu nyupat i kaki“. Sebagai penghargaan atas tanggung jawab yang be-sar itulah kemudian anak laki-laki diberikan hak (swadikara) sebagai ahli waris, sedangkan anggota keluarga yang meninggal-kan tanggung jawabnya dalam keluarga baik kare-na perkawinan, diangkat anak, pindah agama, dise-but ninggal kedaton (me-ninggalkan tanggung ja-wab) sehingga digugurkan haknya atas harta warisan.

Angin Segar Bagi Perempuan

Sistem kekeluargaan kapurusa yang diterapkan selama ini dalam masya-rakat Bali memang telah memberi perlakuan ber-beda antara anak laki-laki dan perempuan di bidang pewarisan. Beberapa ka-langan berpendapat bahwa perlakuan berbeda itu wajar karena esensi pewarisan da-lam hukum adat Bali adalah keseimbangan antara hak (swadikara) dan kewaji-ban (swadharma). Dalam hal ada kenyataan bahwa salah satu pihak (laki-laki) tetap melaksanakan kewa-

jibannya dalam keluarga dan ada pihak lain (perem-puan) meninggalkan kewa-jibannya, maka logis bila hak mereka masing-masing terhadap harta orang tuanya juga menjadi berbeda. Be-lakangan ini, berkembang

pemikiran bahwa swadhar-ma seorang anak (perem-puan) kepada orang tuanya tidak selalu putus walaupun anak tersebut telah kawin. Bahkan tidak jarang, rasa tanggung jawab anak pe-rempuan yang sudah ka-win terhadap orang tuanya tetap berlangsung, ia tetap memperhatikan kehidupan orang tuanya, memberikan nafkah, dan merawat orang tuanya dikala orang tuanya sakit atau sudah tua ren-ta. Bahkan kadang-kadang rasa tanggung jawab anak perempuan lebih besar dari rasa tanggungjawab anak laki-laki. Dalam kondi-si demikian, apakah anak perempuan tetap dianggap ninggal kedaton sehingga kehilangan haknya atas har-ta warisan orang tuanya?

Berdasarkan fakta bah-wa anak yang telah kawin masih dapat melaksanakan

kewajibannya terhadap orang tuanya (ninggal ke-daton terbatas), maka ber-kembang pemikiran yang mengarah kepada adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pewarisan. Pemiki-

ran tersebut sesungguhnya sudah mulai berkembang sejak lama.

Paling tidak, gagasan itu telah disuarakan di du-nia akademis pada tahun 1971 ketika di Denpasar diselenggarakan Seminar Hukum Adat Waris atas prakarsa Lembaga Pem-binan Hukum Nasional. Dalam seminar yang di-selenggarakan selama dua hari, 5-6 Maret 1971, itu dibahas beberapa makalah yang membahas persoalan hukum waris, khususnya hukum waris yang berlaku di Bali. Pada hasil seminar, khususnya pada bagian rekomendasi, peserta se-minar telah menyarankan: “supaya hukum waris Bali dimodernisir sehingga hak perempuan sama dengan hak laki-laki dengan tidak mengabaikan norma-nor-ma agama“.

Pembaruan hukum Adat Bali Mengenai Pewarisan

Angin Segar Bagi Perempuan

Oleh: I Ketut Sudantra*)

Selama ini norma-norma hukum adat Bali mengenai pewarisan sangat kental dengan dominasi budaya

patriarki sehingga dianggap kurang menguntungkan bagi perempuan. Seperti diketahui, sudah menjadi

pengetahuan umum dalam masyarakat, bahwa perempuan bukanlah ahli waris, baik atas harta

peninggalan orang tuanya maupun harta peninggalan almarhum suaminya.

Peserta seminar telah menyarankan: “supaya hukum waris Bali dimodernisir sehingga hak

perempuan sama dengan hak laki-laki dengan tidak mengabaikan norma-norma agama

Dok pribaDi

Page 13: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

24 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 25

Terlahir menjadi pe-rempuan adalah karunia yang begi-

tu besar dari Tuhan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pe-rempuan mempunyai peran yang begitu penting dalam menjalankan kehidupan. Tugas sebagai seorang ibu yang mengandung, menyu-sui serta melahirkan men-jadikan perempuan adalah makhluk yang istimewa dan perlu diberikan penghorma-tan khusus. Dari rahim se-orang perempuanlah lahir benih-benih baru yang akan melanjutkan kehidupan ini nantinya. Begitu besar pe-ranan seorang perempuan seharusnya membuat ke-dudukan perempuan lebih dihormati dan dihargai. Namun disisi lain masih ba-nyak ditemuai kasus-kasus yang berhubungan dengan diskriminasi terhadap kaum perempuan.

Pendiskriminasian ter-hadap perempuan terjadi meluas diseluruh daerah di Nusantara. Diskrimina-

si perempuan disadari atau tidak juga sudah terjadi di Bali. Sebagai pulau Dewa-ta, Bali mempunyai begitu banyak kebudayaan dan adat yang dipegang ku-kuh oleh masyarakatnya. Adat Bali yang dimaksud meliputi nilai, norma dan perilaku dalam masyara-kat Bali. Adat inilah yang membuat beberapa orang Bali mempunyai pikiran kolot tentang adanya anak perempuan di tengah-te-ngah keluarga mereka.

Beberapa keluarga di Bali khususnya yang be-ragama Hindu melakukan berbagai macam cara untuk bisa mempunyai anak laki-laki. Biasanya meski mere-ka telah mempunyai anak perempuan, orang-orang Bali cendrung merasa tidak mempunyai anak. Ini dika-renakan anak perempuan dipandang tidak akan bisa meneruskan purusa dan garis keturunan keluarga. Adanya fenomena seperti inilah yang membuat be-

berapa keluarga Hindu di Bali sering merasa sedih, putus asa dan seperti tidak mempunyai harapan un-tuk masa depan jika tidak mempunyai anak laki-laki.

Dari permasalahan ini terlihat masyarakat Bali menyepelekan kehadiran anak perempuan karena menganut sistem kekeraba-tan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik keturunan dari garis laki-laki. Dalam sistem kekera-batan patrilinial ini sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Dari si-nilah muncul diskriminasi gender yang terselubung dalam hukum adat di Bali. Anak laki-laki di Bali ber-kedudukan sebagai ahli wa-ris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan ke-luarga maupun masyarakat luas. Peng agungan terhadap

Gagasan tersebut cukup lama tidak muncul lagi se-bagai wacana publik, wa-laupun para aktivis perem-puan di Bali tidak pernah berhenti memperjuangkan-nya. Perjuangan para akti-vis perempuan di Bali bagi persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pewarisan mulai mendapat perhatian serius lagi ketika Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali mengadakan lokakarya dalam rangka menyongsong Pesamuan Agung yang ke-3.

Lokakarya diadakan di Ruang Pertemuan Kantor Dinas Kebudayaan Provin-si Bali dihadiri tokoh-tokoh adat dan para aktivis perem-puan, membahas kertas kerja tunggal yang saya sampai-kan berjudul: “Beberapa Pe-mikiran Kearah Pembaruan Hukum Adat Bali Untuk Pe-rempuan Dan Anak”. Saya ingat betul bagaimana dina-misnya pemikiran-pemiki-ran yang berkembang dalam lokakarya tersebut.

Ketika saya menga-jukan usul yang moderat bahwa orang tua atau sau-dara (dalam hal orang tua sudah meninggal) berhak memberikan bekal harta kepada anak yang ninggal kedaton, yaitu harta yang berupa harta pegunakaya (harta bersama yang dipe-roleh selama perkawinan

berlangsung), dengan ca-tatan pemberian tersebut tidak boleh merugikan ahli waris yang ada, langsung disambut dengan usul yang lebih tegas oleh para akti-vis perempuan yang ha-dir. Mereka mengusulkan, bukan “orang tua berhak memberikan“, melainkan “anak yang telah kawin berhak atas“ harta peguna-kaya orang tuanya.

Usulan tersebut akhir-nya menjadi kesimpulan hasil lokakarya yang ke-mudian di bawa ke Pesa-muan Agung Majelis Uta-ma Desa Pakraman. Pada akhirnya, Pesamuan Agung Ke-3 mengakomodasi perkembangan pemikiran yang dihasilkan oleh loka-karya tersebut, khususnya yang berkaitan dengan hak waris anak perempuan.

Seperti diketahui, Pesa-muan Agung Ke-3 Majelis Utama Desa Pakraman Pro-vinsi Bali yang diselengga-rakan di Denpasar pada 15 Oktober 2010 telah mela-hirkan beberapa keputusan yang membawa angin segar bagi perempuan dan anak.

Barangkali timbul per-tanyaan, apakah keputus-an-keputusan Pesamuan Agung tersebut akan serta merta menjadi pola kela-kuan yang ajeg dalam ma-syarakat sehingga berlaku sebagai hukum adat dalam kenyataan? Tentu kita ha-

rus bersabar untuk sampai pada tahap perkembangan tersebut. Keputusan-ke-putusan Pesamuan Agung MUDP tersebut tentu saja akan menjadi pedoman da-lam revitalisasi hukum adat Bali melalui penyuratan awig-awig desa pakraman, karena salah satu fungsi MUDP adalah melaku-kan pembinanan terhadap awig-awig desa pakraman.

Dengan begitu, akan terjadi sosialisasi dan in-ternalisasi di kalangan ma-syarakat hukum adat Bali mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Keputu-san MUDP tersebut. Lebih dari itu, keputusan Pesam-uan Agung MUDP tersebut akan memudahkan bagi ha-kim untuk melakukan pene-muan hukum adat dalam tu-gasnya menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, ketika hakim di Pengadilan-pengadilan yang ada di Bali mengadili kasus-kasus pewarisan.

*) Penulis adalah dosen Hukum Adat pada Fakul-

tas Hukum Universitas Udayana. Saat ini, penulis

juga menjadi Pengurus Harian (Prajuru) pada

Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali

disamping sebagai Sekre-taris Pusat Studi Wanita dan Perlindungan Anak

Universitas Udayana.

Diskriminasi Dibalik hukum Adat

Penulis: Gek Ela Kumala Parwita

oPiNioPiNi

Page 14: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

26 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 27

anak laki-laki menyebabkan anak perempuan dianggap sebagi nomor dua dan tidak mendapat perhatian lebih. Bahkan di beberapa wila-yah di Bali ada orang tua yang sengaja tidak mem-berikan pendidikan yang layak untuk anak perem-puannya karena mempu-nyai pikiran nantinya anak perempuan itu tidak bisa memberikan apa-apa ka-rena akan dibawa keluarga dari pihak suaminya. Se-kalipun orang tua mempu-nyai dana untuk membiayai pendidikan anaknya pasti yang lebih diutamakan ada-lah menyekolahkan anak

laki-laki dibandingkan anak perempuan. Oleh karena itu banyak anak perempuan di Bali yang tidak me ngenyam pendidikan secara layak. Mereka cendrung dibiarkan dirumah untuk membantu pekerjaan rumah atau di-biarkan bekerja mencari uang tambahan untuk mem-bantu ekonomi keluarga. Hal inilah yang merupakan contoh kecil namun meru-pakan masalah besar yang harus segera dicari jalan ke-luarnya.

Dari segi hukum sebe-narnya pemerintah telah menciptakan kesetaraan antara perempuan dan laki-

laki di Bali. Salah satu con-tohnya dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 4766K/Pdt/1998 tertanggal 16 November 1999 yang menyatakan bahwa anak perempuan di Bali berhak atas harta peninggalan dari pewaris. Namun seperti tidak mem-pedulikannya, beberapa masyarakat Bali masih saja menggunakan dalih hu-kum adat untuk menging-kari hukum yang berlaku di negara ini. Hukum adat Bali secara fungsional te-lah menggeser keberadaan hukum nasional yang aki-batnya menciptakan suatu

sangkar diskriminasi bagi perempuan Bali.

Diskriminasi ini dapat membuat seorang anak perempuan menjadi me-rasa kehadirannya tidak dianggap dan diperlukan ditengah keluarga. Keada-an seperti ini nantinya bisa menjadikan psikologis anak tersebut menjadi terganggu. Adanya ketidakadilan stru-ktural serta sobordinasi ini menyebabkan secara tidak langsung masyarakat Bali telah melakukan diskrimi-nasi psikologis terhadap anak perempuan. Memang adanya pengkotak-kotakan gender ini dilakukan tidak

secara nyata, namun hal ini sebenarnya berlangsung terus menerus dan telah menjadi bagian dari rahasia umum di Bali.

Adanya diskriminasi dibalik hukum adat Bali harus segera diselesaikan. Jangan sampai nantinya timbul masalah baru yang diakibatkan adanya diskri-minasi terselubung di balik adat yang sudah tertanam di Bali. Pada keadaan se-perti inilah orang tua-orang tua di Bali harus lebih ber-sikap netral agar nantinya tidak menyinggung perasa-an si anak perempuan. Me-reka harus siap dan rela jika

nantinya diberikan karunia seorang anak perempuan. Sikap ini setidaknya juga dilakukan mengingat anak adalah titipan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang harus dijaga apapun bentuk dan keadaanya. Selain itu dalam beberapa kitab suci agama Hindu disebutkan kita harus menghorma-ti keberadaan perempuan sama halnya dengan meng-hormati keberadaan laki-laki. Misalnya saja dalam Kitab Suci Manawa Dhar-macastra Bab.III. sloka 58 dan 59 serta Manawa Dar-macastra IX, 96.

58: “ Bagi setiap keluar-

ga yang tidak menghormati kaum perempuan, niscaya ke-luarga itu akan hancur lebur berantakan. Rumah di mana perempuannya tidak dihor-mati sewajarnya, mengung-kapkan kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib”

59: “ Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera, harus selalu menghorma-ti perempuan, kitab suci mewajibkan semua orang menghormati perempuan”.

96:”Tidak ada perbe-daan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama” .

Sementara untuk masa-lah purusa dan melanjut-kan keturunan, seharusnya masyarakat Bali bisa men-carikan solusi baik-baik tanpa adanya diskriminasi. Sebenarnya pada masyara-kat patrilinial di Bali dike-nal lembaga sentana rajeg di mana anak perempuan dirubah statusnya mela-lui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga men-jadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Anak perempuan yang dirubah statusnya dengan perkawi-nan nyeburin, status dan

kedudukannya sama de-ngan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kai-tan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedang-kan dalam hal yang lain-nya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masya-rakat adat tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan

kewajibannya sebagai pe-rempuan pada umumnya.

Memang susah jika melihat permasalahan dis-kriminasi perempuan di Bali. Adanya pembelokan terhadap kepatuhan hukum adat menjadikan muncul diskriminasi kepada kaum perempuan. Begitu be-ratnya diskriminasi yang ada dibalik hukum adat ini membuat perempuan su-lit melakukan perlawanan. Kekakuan masyarakat Bali terhadap adat yang berkem-bang menjadikan anak pe-rempuan yang lahir di Bali menjadi pasrah tanpa mam-pu berbuat apa-apa. Adat dan budaya adalah sesuatu yang dibuat manusia dan tidak mengandung kebena-ran mutlak. Memang adat diperlukan untuk menjaga tradisi yang ada tapi untuk menjaga kesetaraan struktu-

ral dimasyarakat diperlukan suatu keadilan tanpa me-mandang atau melecehkan seseorang hanya karena ia perempuan atau laki-laki.

Permasalahan kecil yang berdampak begitu besar ini harus dicarikan solusi dan jalan keluarnya. Oleh ka-rena itu persoalan menge-nai diskriminasi ini jangan dijadikan sekedar wacana

saja. Harusnya ada keje-lasan yang berhubungan dengan hukum adat di Bali sehingga nantinya tidak ada dampak negatif yang terjadi bagi anak-anak perempuan yang lahir di Bali. Adat yang merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Bali (Hindu) seharusnya menjadi aturan yang mem-berikan kemudahan bagi masyarakatnya dan bukan malah mempersulit atau me-nimbulkan masalah baru. Ini tantangan bersama masyara-kat Bali ke depannya!

Penulis adalah siswa SMA 3 Denpasar. Tulisan

ini memenangkan “Lomba Essay Nasional” Alian-

si Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nopember 2010 dan dimuat pada

buku “ Ktika Asa Masih Ada”

Diskriminasi ini dapat membuat seorang anak perempuan menjadi merasa kehadirannya tidak dianggap dan diperlukan ditengah keluarga.

Adanya pembelokan terhadap kepatuhan hukum adat menjadikan muncul diskriminasi

kepada kaum perempuan.

oPiNioPiNi

Page 15: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

28 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 29

iNtERAKtiFiNtERAKtiF

Untuk membahas berbagai langkah dan kemajuan dalam pencapaian MDGs, LSM Bali Sruti secara

rutin menggelar Dialog Interaktif di Ra-dio Republik Indonesia (RRI) Denpasar. Dialog ini berlangsung setiap hari Sabtu, minggu kedua setiap bulannya pada pk. 08.00 - 09.00 Wita. Berikut kami sajikan kembali transkruip dari acara tersebut.

Pengantar moderator (luh Putu Anggreni)

Pada pertemuan kali ini, kami akan menghadirkan Ibu Luh Arjani, Ketua Pu-sat Studi Wanita Universitas Udayana. Adapun topik yang dibahas adalah Kese-taraan Gender yang merpakan salah-satu dari tujuan MDGs.

narasumber (luh Arjani)Sekedar mengingatkan, MDGs adalah

singkatan dari Milenium Development Go-al’s, atau prioritas pembangunan utama yg akan dilakukan. Sesuai dgn kesepakatan dalam konferensi PBB di tahun 2000. Ada 8 goal yg akan diunggulkan diselesaikan permasalahannya di thn 2015. Adapun 8 goal itu yaitu :

1. Kemiskinan (pengentasan kemiski-nan)

2. Pendidikan (pendidikan utk semua/PUS

3. Mendorong kesetaraan bagi perem-puan/gender, tema ini menjadi fo-cus bagi PSW juga Bali Sruti.

4. Menurunkan angka kematian bayi5. Menurunkan angka kematian ibu6. Penanganan HIV/AID7. Pelestarian lingkungan hidup

8. Membangun jaringan globalIndonesia ikut juga dlm menyetujui

MDGs, target hrs tercapai di 2015. Terkait dgn fokus ke 3 program MDGs, targetnya adalah pencapaian IPG (indeks pemban-gunan gender) setinggi-tingginya. Kondi-si kesetaraan gender di Bali tentu terkait dengan budaya Bali. Karena itulah hasil Pesamuan MUDP itu merupakan bagian dari tercapainya target MDG’s, yaitu ten-tang hak waris bagi perempuan Bali.

Seperti diketahui, bahwa budaya Bali menganut paham patrilinial, yang meng-akibatkan perempuan Bali, sebagian be-sar tidak dapat memiliki hak waris se-cara adat. Memang di beberapa daerah, dimung kinkan perempuan dalam perka-winan berkedudukan sebagai purusa, tapi tidak berlaku di seluruh daerah Bali.

Diharapkan juga dgn adanya kesepa-katan MUDP juga, keluarga Bali yg fanatik dengan idiologi patriarkhi yg menempatkan nilai anak laki-laki lebih utama, dapat beru-bah. Karena konsep seperti itu berimplikasi kepada kesempatan menempuh pendidikan bagi anak perempuan yg lebih rendah dari-pada anak laki-laki. Karena itu diharapkan perempuan Bali akan mendapat kesempatan pendidikan yg sama dengan laki-laki, se-hingga akan mendorong kesetaraan gender. Terkait dengan itu, untuk mewujudkan ke-setaraan gender dalam keluarga Bali, dapat diberikan hak yg sama bagi anak laki2 & pe-rempuan. Yaitu terutama dalam hak waris.

Pertanyaan pendengar ;Ibu titin : terkait dengan budaya Bali

yg menganut patrilinial, hasil kesepakatan MUDP memberi angin segar bagi perem-puan, tapi diperlukan sosialisasi yg luas.

Apa yg akan dilaksanakan jika ada perem-puan yg menjadi korban? Sebenarnya apa isi keputusan itu?

Jawab : Perempuan berhak mendapat warisan

yang berasal dari harta gunakaya orang tuanya. Ini merupakan revolusi sosial pada budaya bali yang perlu diperbaiki, karena merupakan buatan manusia, memang se-harusnya hukum adat bisa diperbaiki jika nilai-nilai itu sudah kurang pas dgn kondi-si dan 2 jaman yang sudah berubah. Tentu diperlukan sosialisasi dan advokasi bagi perempuan yang mengalami masalah.

Bapak Maya : Harta warisan yang mana yg dimaksud untuk bisa diperoleh bagi perempuan Bali?

Jawab :Harta hasil pernikahan atau gono gini,

akan diberikan kepada semua anak tanpa melihat jenis kelamin secara sama rata (hal tersebut sudah mulai umum dilakukan saat ini karena secara hukum juga dimung-

kinkan pelaksanaannya seperti itu). Praktek seperti ini, akan membuat posisi

perempuan lebih baik dimata keluarga suami, sehingga lebih dihormati dan dihargai di keluar-ga laki-laki. Diharapkan dengan kondisi seperti itu, dapat mengurangi terjadinya kasus2 KDRT bagi perempuan. Juga akhirnya mendukung tercapainya MDGs jika keputusan MUDP ini benar2 dilaksanakan tidak hanya tertulis saja, karena itu butuh disosialisasikan secara luas. Pada kenyataannya, sesuai penelitian yang dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) sejak 3 tahun lalu, ditemukan kondisi, bah-wa dalam rapat-rapat banjar mulai meli-batkan perempuan, suara dan pendapat perempuan mulai didengarkan dan di-berikan hak untuk berpendapat untuk menentukan keputusan-keputusan banjar. Tapi yang perlu digarisbawahi, kesetara-an gender bukanlah bermaksud membalik peran dalam rumah tangga. Namun ada komitmen untuk kesetaraan dalam peran dalam rumah tangga.

Forum Diskusi di RRI

MDGs dan Penguatan Perempuan

Dok bali SrUti

Dialog: para pengasuh dialog publik mDgs di rri Denpasar.

Page 16: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

30 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 31

PRoFiLPRoFiL

Birokrasi adalah sebuah mesin rak-sasa dengan berbagai jenjang ke-pangkatan serta fungsi yang terin-

tegrasi. Kesempatan untuk mendakinya itu hanya dimiliki oleh sejumlah kecil pega-wai saja. Lebih sedikit lagi oleh kaum perem-puan karena masalah-masalah internal yang dihadapinya.

Dari yang sedikit itu, Luh Putu Haryani termasuk yang berun-tung. Ia kini mendu-duki jabatan Ketua Badan Pemberdaya-an Perempuan dan Perlindungan Anak. Perempuan cantik kelahiran Luwus, Ta-banan, 9 April 1961 ini memulai karirnya pada tahun 1986 ke-tika diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). “Jadi sekarang sudah hampir 20 tahun,” ujarnya.

Ia pertama kali ditempatkan di Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) dan saat itu Dewa Beratha (mantan Gubernur Bali) sebagai Ketua BKPMD. Seiring waktu, pengalaman saya berkembang. Saya pernah ditarik ke Biro Bina Sosial dengan jabatan Kepala Bagian Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Bi-dang Tehnis Fungsional di Balai Diklat, Kepala Sub Dinas Kesenian Dinas Kebu-

dayaan dan Kepala Biro Kesra sebelum ditugaskan sebagai Kepala BP3A.

Bagi Haryani, posisinya sebagai ibu rumah tangga sama sekali tidak pernah menjadi hambatan. “Saya sejak kecil di-didik untuk mandiri dan tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan,” ungkap-nya. Seperti soal setir mobil, semua anak-anak harus bisa. Da-lam keluarganya, juga ada pelajaran untuk kebebasan dan ke-beranian berpenda-pat dalam segala hal dengan prinsip saling menghormati.

Adapun di ling-kungan birokrasi, ia memang merasakan adanya intrik-intrik karena laki-laki me-rasa tersaingi dan ada

juga perasaan kalah. Karena itu kemudian ada juga tanggapan miring terhadap pres-tasinya. Tapi hal itu ditepisnya dengan keyakinan bahwa semua posisi yang di-perolehnya adalah karena berpijak pada kemampuan dan kerja kerasnya.

“Saya pegang pernyataan suami bahwa semakin tinggi karir ini nanti akan banyak persoalan yang dihembuskan mulai soal ti-dak mampu yang bisa saya lawan dengan kerja keras, soal suap yang bisa ditepis dengan menjaga integritas dan transparan-

luh Putu haryani

Prestasi Berawal dari Keluarga

si. Kalau itu tak mempan, saya pasti akan diisukan selingkuh atau dipengaruhi partai politik. Semua sudah pernah saya alami,” papar-nya.

Awalnya, berbagai in-trik itu membuatnya sakit hati. “Kok tega sekali, pa-dahal saya bekerja keras dengan tulus” sesal dia. Tapi lama kelamaan dia terlatih untuk mengha-dapinya dengan tenang dan menerimanya sebagai

sebuah resiko pekerjaan. “Saya ambil hikmahnya, kalau di awal karir saya tak mendapat pengalaman itu, mungkin sekarang saya akan lemah dan gampang jatuh. Sekarang tak per-nah saya pikirkan , kapan kerjanya kalau saya pikir-kan itu,” tegasnya.

Di lingkungan kerja, ia menerapkan prinsip kese-taraan dan tidak ada pem-bedaan berdasarkan gender. Semuanya berdasarkan

fungsi dan kewenangan-nya. Bukan karena tugas yang enak kemudian di-berikan kepada perempu-an. Kalau ada pertemuan diluar kota dan memang pegawai perempuan yang harus jalan ya itulah yang dia perintahkan.

Ibu Nanik- begitu dia akrab dipanggil- mengakui jumlah perempuan yang bisa memiliki kepangkatan cukup tinggi di birokrasi masih sedikit. Hal itu kare-

Dok hUmaS pemprov

Dok hUmaS pemprov

aktif: Sebagai birokrat perempuan, luh putu hariani (tengah) juga aktif dalam aktifitas bersama kalangan aktifis perempuan.

Page 17: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

32 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 33

na prosentase laki-laki di birokrasi memang lebih banyak. Dari perempuan sendiri ada hambatan dimana ba-nyak yang tidak terlalu ingin berkarir karena konsekuensinya kalau dipindah-pindah malas. “Apalagi yang suami-nya cukup mapan,“ ka-tanya.Hal itu dinilanya sebagai bias Patriark-hi dimana perempuan selalu mengalah dan lebih mengutamakan keluarga. “Saya sendiri merasa beruntung karena suami seorang dosen yang tidak merasa kalah kalau jenjang kepangkatan istri lebih tinggi,“ ujarnya.

Di luar birokrasi, dia menilai, peran perempuan sudah jauh lebih maju. Terutama di Partai Politik dan lembaga legistatif. Kesan bahwa dunia politik itu keras dan bukan tempat kaum perempuan pelan-pelan terkikis. Di bidang lain juga begitu, sudah banyak pengusaha dan profesional perempuan yang merubah stereotype tentang perempuan.

Tapi dia berharap perubahan itu berbasis pada keluarga kecil yang harus sudah di-terapkan perlakuan yang sama antara laki-laki dan perempuan. “Beri kesempatan yang sama untuk belajar, me nyampaikan pendapat dan berbagi peran. Demikian pula di ling-kungan banjar,“ ujarnya. tim

DiALoGPRoFiL

Sebuah momentum yang jarang terja-di berlangsung, Selasa (25/1). Yak-ni saat Bali Sruti bersama Kaukus

Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Fo-rum Mitra Kasih, dan sejumlah LSM Per-empuan lainnya mendatangi Kantor DPD Partai Demokrat Bali. Rombongan yang terdiri dari para aktivis perempuan itu bukan karena ingin berdemonstrasi. Tapi sekedar berdialog menjelang penyusuna pengurus PD setelah dilakukan Musya-warah Daerah partai itu.

Berikut adalah dialog para aktivis dengan dengan Ketua Terpilih DPD Par-tai Demokrat Bali Made Mudarta

Made Mudarta :Terima kasih sudah bersedia hadir di

kantor kami. Saat ini kami sedang mela-kukan penjaringan pengurus DPD Partai Demokrat Periode 2011-2015. Sebagai Partai Modern kami selalu membuat me-kanisme yang terbuka dengan sistim fit and propper test, kemudian ada kontrak kerja dan semua harus menandatangani

Pakta Integritas. Selanjutnya kami persi-lahkan dari KPPI untuk menyampaikan hal-hal yang ingin dibicarakan.

nyoman Masni :Saat ini saya menjabat sebagai Ke-

tua KPPI dan disini kami hadir bersama sejumlah teman yang merupakan tokoh-tokoh organisasi perempuan yang inde-penden. Ada ibu Luh Riniti Rahayu dari Bali Sruti yang menjadi insiator pertemu-an, Luh Anggreni dari Forum Mitra Kasih, Putu Suwartini dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dll. Secara umum misi kami adalah untuk mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar di dunia poli-tik karena saat ini masih sangat minim dan kami merasa itu kurang baik bagi kita se-mua, bukan hanya bagi perempuan.

Karena itu dalam kaitannya dengan pembentukan kepengurusan Partai Demo-krat, kami berharap adanya kesempatan bagi kaum perempuan untuk masuk dalam struktur di segala lini, tentunya dengan melihat kualitas yang ada. Memang tidak

Partai harus Wadahi Kaum PerempuanDok bali SrUti

aSpiraSi: aktivis perempuan memberikan aspirasi kepada ketua DpD partai Demokrat bali.

bioDataNama : Luh Putu Haryani, SE.MMPanggilan : NanikTTL : Luwus, 9 April 1961Jabatan : Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi BaliPendidikan : - S1 Ekonomi Perusahaan Fakultas Ekonomi UNUD - S2 Magister Manajemen UNUDPendidikan Penjenjangan : Dikat Pimpinan I Tahun 2008Suami : Prof.Dr.W.G Supartha SE.SU

Page 18: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

34 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 35

DiALoGDiALoG

harus 30% sesuai amanat UU, tapi ke-mungkinan harus dibuka selebar-lebanya.

Pada akhirnya nanti, kami juga akan membantu memberikan dorongan kepada kaum perempuan yang berkiprah terma-suk dengan memberikan pelatihan-pelati-han apabila memang diperlukan. Hal yang sama akan kami suarakan kepada partai-partai yang lain.

luh Riniti Rahayu : Kami ucapkan selamat sebelumnya,

apalagi ini sesuai dengan moto Demokrat untuk memilih pemimpin muda. Adapun aspirasi kami agar perempuan masuk ke kepengurusan partai itu juga untuk meng-antisipasi Pemilu 2014 agar nantinya tidak terkesan partai politik hanya merekrut pe-rempuan beberapa saat menjelang penca-legan. Itu kurang baik karena perem puan sendiri menjadi kurang siap dan mereka belum ada pengetahuan maupun pengala-man untuk terjun ke politik.

Sampai saat ini keterwakilan perempu-an masih terlalu rendah dimana hanya 28 orang di seluruh lembaga legistatif di Bali atau 7,5 %. Akibatnya, meskipun mereka

berkualitas, suara mereka jarang terdengar . Ini pun masih jauh dari amanah UU yang mendorong keterwakilan hingga 30 %. Namun kami realistis saja, di pemilu 2014 nanti minimal bisa naik sampai 10 % .

Ini bukan tuntutan. Tapi mohon dipa-hami bahwa laki-laki dan perempuan kan bersama-sama membangun rumah tangga, nah ibaratnya masyarakatnya itu kan ter-diri dari laki-laki dan perempuan juga. Jadi mestinya bersama-samalah berada di rumah rakyat untuk kepentingan bersama.

Kami yakin sebagai partai besar, demo-krat bisa memahami keinginan ini. Kami harapkan ke depannya juga ada proporsi yang seimbang sampai di tingkat kabupa-ten dan kecamatan.

Made Mudarta :Terima kasih atas aspirasi tadi. Kami sam-

paikan juga bahwa Demokrat ini juga adalah Partai Perempuan, Ibu lihat yang sekarang dari 4 anggota DPRD Bali yang perempuan, 2 adalah Demokrat dan kami berusaha juga agar di Kabupaten lebih banyak.

Untuk kepengurusan kami di DPD, ka-mai berkomitmen bahwa dari 111 personil

DPD , paling tidak 33 adalah dari kaum perempuan atau minimal 30 % . Posisi perempuan ini sangat strategis baik un-tuk kepentingan eskternal maupun inter-nal. Saya sendiri percaya Surga di bawah telapak kaki ibu, kalau situasi panas ada perempuan biasanya lebih sejuk dan se-mua mau menahan diri. Jadi kami memi-liki komitmen yang jelas sehingga suatu saat nanti tidak perlu ada lagi Departemen Pemberdayaan Perempuan.

titik :Kami berharap juga agar jangan sam-

pai perempuan hanya ditempatkan di posi-si terbawah. Hanya sekedar untuk meme-nuhi kuota 30 % tapi benar-benar sesuai dengan kemampuannya dan loyalitasnya.

Made Mudarta :Kami memastikan hal itu dan perem-

puan berhak untuk menduduki posisi ma-napun. Kami sesuaikan juga dengan tugas dan fungsi, misalnya untuk Tanggap daru-rat yang perlu gerak cepat ya prioritasnya kaum laki-laki, kecuali kalau ada perem-puan yang bersedia dan mampu.

Putu Suwartini :Mohon disesuaikan pula agar mekanisme

yang kecil tidak sampai menghambat peran perempuan. Misalnya, soal rapat. Kalau bisa siang kenapa harus di malam hari yang si-tuasinya kurang baik bagi perempuan.

Putu Anggreni :Mohon diungkapkan pula agenda poli-

tik ke depan yang berkaitan dengan peran perempuan?

Made Mudarta :Kalau soal rapat , kami aturannya je-

las. Harus mulai pukul 2 siang dan tidak boleh belama-lama kalau tidak jelas uru-

sannya. Soal agenda, untuk perempuan kami

punya lembaga Perempuan Demokrat yang merupakan jejaring nasional untuk kaderisasi di kalangan perempuan.

Tentu langkah kongkrit untuk pening­katan Caleg perempuan itu akan kami programkan, misalnya soal nomor urut yang sering jadi masalah. Nah, nanti kalau setelah diurutkan berdasarkan matrik po-tensi ternyata ada kader pria yang nilainya tinggi dan kemungkinan terpilih besar, maka bisa saja kader perempuan yang kita taruh di angka kecil untuk meyakinkan pemilih akan kualitasnya.

luh Riniti :Soal matrik itu, biasanya perempuan

itu akan kalah dalam soal pengalaman, karena memang selama ini terjunnya ke politik belakangan. Jadi mohon untuk di-pertimbangkan juga, tidak begitu saja di-bandingkan sama dengan kaum laki-laki. Ini juga bentuk Affirmative Action.

Made Mudarta :Kita pastikan komitmen itu. Kami pun

akan jauh-jauh hari meyiapkan Caleg. Jadi pada pertengahan 2012 sudah akan mulai ada seleksi. Ini penting karena, pada 2014, pemi-lih pemula itu akan 40 % sehingga perlu stra-tegi yang baru. Berkaitan dengan penyusunan pengurus, kami mempersilahkan kalau ada dari ibu-ibu yang akan bergabung atau me-rekomendasikan perempuan calon pengurus.

luh Riniti :Kami ini dari kelompok independen

dan masih akan diluar untuk jadi kompor. Tapi kami akan membantu sosialisasi ke jaringan-jaringan. Kami juga akan me-mantau sejauh mana komitmen itu akan dilaksanakan oleh Partai ini, juga oleh Partai-Partai yang lain.

rofiki haSan

Dialog: aktifis perempuan yang ikut dalam pertemuan dengan partai Demokrat. nyoman masni (kppi), ida ayu Widnyani (kpUD), Siti Safurah (bbS), putu Suartini (kpaiD), luh riniti (bali Sruti), titik Suhariyati (bali Sruti), luh putu anggreni (forum mitra kasih), Dayu pradnyani (bbS).

Page 19: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

36 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 37

ALbUM

Untuk memperingati hari HAM se-dunia, LSM Mitra Kasih bersa-ma kalangan aktivis perempuan

menggelar sejumlah kegiatan. Diantaranya adalah Dialog Publik mengenai isu HAM dan Kekerasan pada Perempuan dan Anak pada 16 Desember 2010.

Pada dialog tersebut, anggota Komisi I DPRD Bali, Ni Made Sumiati berjanji akan mengusulkan Perda Inisiatif Dewan terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak. “Diperlukan langkah nyata agar perlindu ngan tidak sebatas wacana,” tega-snya. Ketua DPRD Bali AA Ngurah Oka Ratmadi pun berjanji untuk memberikan dukungan.

Selain, acara dialog, pada 14 Desember, para aktivis perempuan juga me ngunjungi

tahanan anak-anak dan perempuan di LP Kerobokan. Kunjungan itu diharapkan memberi semangat dan inspirasi, agar me-reka yang pernah terlibat tindak pidana ti-dak berputus asa akan nasibnya. tim Menjadi pecandu narkoba ternyata

menyakitkan. 90 % diantaranya , bahkan ingin mendapat kesem-

patan untuk menyembuhkan dirinya. Na-mun beratnya biaya rehab sering menjadi penghambat. Untuk itu para mantan pecan-du narkotika di Bali, Senin (23/1) menda-tangi DPRD Bali. Mereka yang tergabung dalam Ikatan Korban Narkotika (IKON) Bali meminta penyaluran dana APBD Bali untuk membantu melakukan rehabilitasi serta mendirikan panti rehab.

“Kami ini juga anak bangsa yang sah. Meskipun pernah melakukan kesalahan, kami berharap bisa memperbaiki diri di masa depan,“ kata Koordinator IKON Made Petradi. “Sebab, menjadi pecandu itu sakit, kesepian dan tak bisa melakukan apa-apa kalau tidak mendapat obat,“ ujar-nya. Namun untuk dapat menyembuhkan diri adalah hal yang tidak mudah karena mahalnya biaya perawatan.

Kebutuhan akan panti rehab menjadi lebih mendesak setelah Pengadilan Negeri (PN) saat ini mulai menetapkan vonis re-

hab bagi pecandu yang tertangkap polisi. Sebab, untuk rehabilitasi itu, pecandu harus membiayai dirinya sendiri. Biaya untuk re-hab sendiri berkisar antara Rp 1 juta hingga 3 juta tergantung fasilitas serta jenis obat yang diberikan. Sementara kesembuhan minimal setelah 3 bulan perawatan.

Adapun IKON yang memiliki sekitar 120 anggota menghimpun mantan pecan-du serta pecandu yang sedang berusaha me nyembuhkan dirinya. “ Untuk pengurus harus benar-benar yang sudah sembuh,“ kata Petradi. Mereka membantu mengurus mereka sampai mendapat tempat rehat yang tepat. Menanggapi desakan itu Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Komang Kariyasa menyebut, kemungkinan mengalokasikan dana itu cukup terbuka. “Kami melihat ada semangat untuk sembuh dari kecanduan dan harus didorong oleh semua pihak,” ujarnya. Alternatif lainnya adalah dengan menggunakan dana Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang memberikan pengobatan gratis bagi penduduk Bali yang mengalami masalah kesehatan. tim

Peringatan hari hAMALbUM

Dana Rehab untuk Pecandu narkoba

Kurangnya jumlah Lembaga Pemas-yarakatan (Lapas) Anak memaksa 3.916 atau 57 % narapidana anak

harus berkumpul dengan narapidana dewa-sa. Akibatnya, napi anak rentan dieksploi-tasi dan terpengaruh kondisi kejiwaannya.

Alasan itu pula yang mendorong Lem-baga Perlindungan Anak Indonesia (LPA) Bali menggelar Lokakarya Restoratif Jus-tice di Hotel Shanti Denpasar, Kamis (23/12). Dalam acara itu, Ketua LPAI Bali Nyoman Masni meminta, agar SKB Resto-ratif Justice lebih cepat diterapkan. ”Anak-anak adalah masa depan bangsa, jangan sampai mereka rusak karena kesalahan kita dalam menangani mereka,“ ujarnya.

Selama tahun 2010, LPAI BALI men-catat, terdapat 118 anak di Bali yang terli-

bat kasus hukum. Sebanyak 45 anak ada-lah sebagai pelaku dan 73 anak sebagai korban. Sebanyak 41 anak yang menjadi pelaku telah diadvokasi oleh LPAI dan mendapat penempatan di Lapas Anak atau di RSPA serta mendapat bantuan bersyarat agar dapat melanjutkan sekolahnya.

Restoratif Justice adalah pendekatan dalam penanganan masalah hukum denga n mempertimbangkan masa depan pelaku maupun korban dalam sebuah kasus pe-langgaran hukum. Pendekatan ini layak diterapkan kepada anak-anak karena me-reka harus tetap mendapat kesempatan un-tuk memperbaiki dirinya di masa depan. Dasar hukum penerapannya adalah ratifi-kasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990.tim

Restoratif Justice

Alternatif bagi Bocah terpidana

rofiki haSan

ham: tokoh-tokoh perempuan tampil dalam peringatan hari ham. rofiki haSan

pecanDU: pecandu minta diperlakukan manusiawi dan diberi kesempatan menjalani rehab.

Page 20: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

38 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 39

ALbUMALbUM

Komitmen untuk meningkatkan kualitas kesehatan melalui Ka-wasan Bebas Rokok (KWR) be-

lum bisa sepenuhnya diterapkan di Bali. Meski telah diajukan oleh Dinas Keseha-tan sejak 7 bulan lalu, Perda tentang KWR masih terganjal di Biro Hukum Pemprov Bali. Padahal DPRD Bali berharap, Perda itu segera diajukan.

“Alasannya, mereka masih bingung, apakah Perda ini kewenangan Provinsi atau Kabupaten,“ kata Anggota Komisi IV DPRD Bali Utami Dwi Suryadi di sela-sela pertemuan Jaringan Forum Nasional Aliansi Total Ban, Sabtu (22/1).

Kondisi itu jelas sangat disayangkan. Sebab, Perda KWR akan dapat menekan kebiasaan untuk merokok sembarangan. Utamanya juga adalah agar generasi muda menghindari kebiasaan merokok yang ti-dak baik bagi kesehatan mereka dan juga mengganggu orang lain yang tak merokok.

Secara nasional, kondisi bahaya merokok itu makin menjadi keprihatinan. Gara-gara di-

temukannya sejumlah anak berusia dibawah 11 bulan yang sudah mengisap rokok, Indone-sia kini dijuluki ‘Negeri Baby Smooker’ oleh kalangan aktivis anti rokok internasional.

Koordinator Forum Nasional Aliansi Total Ban Arist Merdeka Sirait menegas­kan, masih banyak orang tua yang kurang peduli akan bahaya merokok. „Tahun lalu ada 12 kasus baby smokers yang kita te-mukan,“ ujarnya dalam pertemuan dengan jaringan forum itu di Denpasar, Sabtu (22/1).

Sebelumnya, Indonesia sudah dijulu-ki sebagai negara “Kid Smookers” karena banyaknya anak-anak berusia 5-15 yang sudah terbiasa merokok. Jumlahnya men-capai 24,5 persen dari total populasi anak laki laki dan 2,3 persen pada anak perem-puan Kebiasaan itu terbentuk terutama karena promosi iklan rokok yang sangat gencar menyasar usia tersebut. Perusaha-an rokok membutuhkan mereka, karena perokok dari golongan dewasa cenderung bertahan pada satu merk saja. tim

Kawasan Bebas Rokok terganjalrofiki haSan

Menteri Pemeber-dayaan Perem-puan dan Perlin-

dungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar menolak usulan melakukan morato-rium atau penghentian se-mentara pengiriman Tena-ga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Alasannya, keberangkatan warga ne-gara untuk mencari kerja adalah bagian dari Hak Asazi Manusia.

“Lagipula kalau ke-inginan sangat tinggi dan peluangnya memang terbu-ka, moratorium justru akan mendorong peningkatan TKI illegal,” katanya dalam dia-log dengan pelajar serta akti-vis organisasi perempuan di Denpasar, Senin ( 3/1).

Dia menyebut fakta bahwa jumlah TKI saat ini sudah mencapai seki-tar 4 juta orang. Dari jum-lah itu, TKI yang terlibat kasus hanya 4.000 orang saja setiap tahunnya. “Mari kita lihat juga mereka yang sukses agar bisa seimbang memberi penilaian,” tega-snya. Kasus-kasus umum-nya terjadi karena kurang-nya persiapan TKI sebelum dikirim atau pun karena kesalahan dalam prosedur pengiriman.

Bagi dia, langkah yang terbaik adalah dengan me-

maksimalkan perlindungan bagi TKI melalui revisi UU Nomor 39 tentang Penem-patan dan Perlindungan TKI. UU itu, menurutnya, masih terlalu dominan pada sisi Pe-nempatan dan sangat lemah pada sisi perlindungan.

Dia mencontohkan, kondisi TKI di negara­negara Timur Tengah yang rata-rata adalah perempuan.Mereka dipekerjakan de-ngan alamat yang tercatat

di Konsulat RI hanya be-rupa nomor Kotak Pos ma-jikannya. Akibatnya, bila terjadi suatu kasus akan sangat sulit dipantau dan diketahui. “Sekarang harus dipastikan bahwa alamat lengkap mereka diketahui dan mereka harus memiliki alat komunikasi,”tegasnya.

Pemerintah, menurut-nya, juga akan mendorong pengiriman tenaga kerja yang memiliki ketrampilan dibandingkan tenaga kasar.Karena itu peran Seko-lah Menengah Kejuruan

(SMK) diharapkan akan makin dominan mewarnai sistim pendidikan Indone-sia. Selain itu, pemerintah telah mengucurkan Kre-dit Usaha Rakyat (KUR) yang bisa digunakan untuk modal bekerja di luar ne-geri. Selama ini dicurigai banyaknya TKI yang be-rangkat dengan meminjam uang pada rentenir.

Sementara itu Walikota Denpasar Ida Bagus Rai

Mantra menegaskan, pem-berian ketrampilan serta modal kepada kaum pe-rempuyan adalah cara yang effektif agar nmereka dapat bekerja di lingku ngannya sendiri. “Tapi lebih pen-ting lagi adalah sikap kre-atif menghadapi masalah dan tantangan,” ujarnya. Posisi perempuan di ruang publik, menurutnya, sudah tidak lagi diragukan apala-gi dalam sisi industri kratif yang membutuhkan kepe-kaan dann ketekunan.

tim

Moratorium tKI Belum Saatnya

Page 21: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

40 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 41

RESENSi bUKURESENSi bUKU

Mulai diputarnya film “Eat, Pray, Love” yang dibinta-ngi oleh Julia Robert mem-

buat Bali dikenal de ngan julukan baru sebagai “The Island of Love”. Sebutan ini seperti melanjutkan tradisi untuk mengimajinasikan Bali sebagai sebuah daerah yang aman, damai dan sejahtera dengan keindahan alam yang mempe-sona.

Sebuah gambaran tentang Bali yang sudah dipromosikan sebelumnya dalam brosur-brosur pariwisata dengan istilah “The Island of Paradise”.

Namun di bawah selapis tipis kulit ari pariwisata itu Bali senyatanya adalah

daerah yang terus bergelut dengan berba-gai persoalan. Konflik dan harmonisasi menandai pergulatan warga Bali dalam merespon perkembangan politik nasional maupun interaksi dengan kekuatan eko-nomi dan budaya global. Reformasi 1998 membuat dinamika itu menjadi semakin kasat mata dengan munculnya kekua-tan-kekuatan baru setelah kekalahan Partai Golkar dan dominasi kekuatan militer.

Buku yang disarikan dari penelitian Henk Schulte Nordholt mengenai dampak

desentralisasi dan otonomi daerah ini menya jikan g a m b a r a n yang utuh mengena i masa tran-sisi itu. Pe-neliti dari Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV) Leiden merangkai fakta-fakta yang menunjukkan bahwa pergolakan di Bali tak kalah keras-nya dengan daerah-daerah lain.

Perumusan identitas bersama dalam wacana “Ajeg Bali” pada akhirnya harus

berhadapan dengan realitas politik nasio-nal yang mewariskan sentralisasi kekua-saan di tangan partai politik. Identitas itu pun harus berhadapan de ngan diaspora kekuatan sosial, ekonomi dan budaya lo-kal yang seringkali tidak sejalan dengan tafsir utama atas wacana itu.

***

Nordholt membuka bukunya dengan tulisan tentang perayaan Ulang Tahun Bali Post ke 55 pada 16 Agustus 2003

dimana koran tertua dan terbesar di Bali itu menya jikan liputan khusus mengenai seminar “Menuju Strategi Ajeg Bali”. Se-buah seminar yang berusaha merumus kan Bali sebagai daerah yang memiliki keuni-kan secara sosial, ekonomi dan budaya. Keunikan yang harus dipertahankan di tengah keprihatinan atas dampak pariwi-sata seperti kerusakan lingkungan, ser-buan pendatang luar, kriminalitas, bisnis narkoba dan sikap materialistis yang me-ng ancam Bali.

Ajeg Bali menjadi semacam ren-cana induk baru yang menghormati keseimbangan dalam hubungan manusia dengan para Dewa, dengan manusia dan lingkungannya. Tersirat di dalamnya ada-lah upaya revitalisasi spiritual dan pengu-atan rasa percaya diri kultural seraya me-nekankan pentingnya pengetahuan lokal dan peran lembaga adat.

Namun Nordholt mencatat, seminar yang dihadiri oleh kalangan cendekiawan, praktisi pariwisata dan pemimpin lokal lainnya itu hanya sedikit sekali menya-jikan solusi praktis. Terutama solusi un-tuk dua masalah yang sangat nyata, yakni perpecahan administratif lokal akibat ke-bijakan desentralisasi yang bertumpu di kabupaten/kota. Masalah lainnya adalah, bagaimana menangkal pengaruh luar dan pendatang yang tak diinginkan sementa-ra Bali membutuhkan pengunjung asing, investor dan tenaga kerja murah untuk menjaga ekonominya. Bab-bab selanjut-nya memberikan gambaran yang detail menge nai dilema-dilema itu.

Nordholt menelusuri akar masalahnya

sejak tahun 70-an saat pertama kalinya pa-riwisata Bali dirancang. Gagasan yang ada saat itu adalah, bagaimana mengundang sebanyak mungkin turis seraya menjaga agar kebudayaan Bali berada dalam jarak yang aman.

Strategi yang ditempuh adalah de ngan memusatkan pariwisata massal di kawasan Nusa Dua, Badung. Dalam perkemban-gannya, Gubenur Bali kemudian membuat kawasan-kawasan wisata untuk merespon protes atas ketidakseimbangan ekonomi

serta mening katnya minat untuk berinve-stasi. Pada akhirnya, perkembangan yang membuat Bali bukan lagi suatu daerah agraris itu mengundang protes berbagai pihak khususnya setelah dinilai melampaui batas-batas adat dan spiritual. Seperti yang terjadi pada protes atas pemba ngunan Bali Nirwana Resort (BNR) di Tabanan yang dianggap terlalu berdekatan dengan Pura Tanah Lot. Meskipun kemudian dapat di-redam, protes atas proyek yang didanai oleh Grup Bakrie itu pada 1993 menjadi penanda dimana pariwisata dianggap mu-lai meresahkan Bali. Kemakmuran Bali sebagai daerah wisata juga menghadirkan dampak yang lain seperti membanjirnya pendatang lokal pasca kerusuhan Mei 1998 serta ancaman terorisme di tengah rapuhnya keamanan Bali. Ancaman teroris kemudian terbukti oleh adanya serangan bom pada 12 Oktober 2002.

Di ranah politik lokal, buku ini mengu-raikan akar dukungan kepada Megawa-ti sebagai ekspresi sentimen anti Orde Baru yang korup. Ketika Partai Demo-krasi Indonesia (PDI) pecah pada 1996,

Menelisik Sejarah Kontemporer BaliJudul : Bali Benteng Terbuka, 1995­2005Penulis : Henk Schulte NordholtPenerbit : Pustaka Larasan, Denpasar dan KITLV JakartaCetakan : Juni 2010Tebal : 120 Halaman

Perumusan identitas bersama dalam wacana “Ajeg Bali” pada akhirnya harus berhadapan dengan realitas politik nasional yang mewariskan

sentralisasi kekuasaan di tangan partai politik.

Gagasan yang ada saat itu adalah, bagaimana mengundang sebanyak mungkin turis seraya menjaga agar kebudayaan Bali berada dalam jarak

yang aman.

Page 22: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

42 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 43

Bali menyambut Mega dengan berbagai aksi dukungan. Puncak nya adalah ketika Mega menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa PDI yang melahirkan PDI Perjuangan . Puluhan ribu orang memban-jiri lokasi untuk menunjukkan dukungan-nya. Munas itulah yang mengantar PDIP memenangi Pemilu Nasional dan di Bali berhasil mengu asai 80 % suara.

Menariknya, ketika terjadi kerusuhan masal pasca kegagalan Mega untuk menduduki kursi Presiden pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rak-yat (MPR) 1999, Nordholt mencatatnya bukan sebagai ekspresi spontan rakyat (hal 20). Dia me ngutip sumber sumber yang menyatakan adanya truk-truk tak teridentifikasi yang datang dari Jawa di Bali Utara. Di Denpasar, kerusuhan di-mainkan oleh orang-orang tak dikenal. Kemenangan mutlak PDIP sendiri a tidak memberikan jaminan atas kestabilan po-litik dan arah masa depan Bali. Nordholt mencatat, para birokrat Golkar berhasil mempertahankan posisinya. Sementara itu di tingkat Kabupaten, muncul wirau-sahawan politik yang berhasil memecah suara PDIP seperti di Kabupaten Jembra-na dan Buleleng.

PDIP juga tidak mampu menjadi kekua-tan yang effektif dengan agenda yang jelas dan bahkan terus dibayangi konflik inter-nal. Puncaknya adalah pada pemilihan Gubernur tahun 2003 dimana pada tingkat lokal menginginkan tokoh Puri Satria Co-korda Ratmadi sebagai calon mereka. Du-kungan ini bertabrakan dengan keinginan Megawati untuk tetap mempertahankan Dewa Made Beratha. Pemilihan pun ke-

mudian berlangsung dengan kemenangan Beratha tetapi isu suap hingga milyaran rupiah melanda partai itu. Sementara itu Bali Post kemudian memanfatakan slogan “Ajeg Bali” untuk mengambil peran se-bagai rekonsiliator.

***

Buku ini menarik untuk dibaca kare-na penjelasannya yang gamblang dengan menggunakan kacamata desentralisasi dan demokratisasi dalam perspektif lokal. Jalinan kejadian bahkan berani mengung-kap hal-hal yang sensitif dan tak pernah dikuak di media massa. Sebutlah, kaitan antara PDIP dengan kelompok preman di Denpasar dan Karangasem guna menge-fektifkan jalannya pemerintahan. Keke-rasan juga menjadi bahasa yang kerap di-gunakan khususnya pada saat menjelang Pemilu.

Nodholt pun membongkar aneka ke-pentingan dibalik “Ajeg Bali’ sehingga motivasi untuk mempromosikannya bisa dianggap tak lagi murni. Pada akhir-nya, seperti dilambangkan oleh sam-pul buku ini yang menggantungkan botol Coca-Cola di sebuah pintu berukir tradisional Bali, pulau ini adalah sebuah daerah yang mau tak mau harus berinte-raksi dengan berbagai petanda nasional dan global. Nordholt mengkritik para cen-dekiawan dan kelas menengah Bali yang terlalu menekankan keotentikan dan cen-derung hegemonik. Padahal perekonomi-an yang terbuka sama sekali tidak cocok dengan identitas yang tertutup itu.

tim

Nodholt pun membongkar aneka kepentingan dibalik “Ajeg Bali’ sehingga motivasi untuk mempromosikannya bisa dianggap tak lagi murni.

oPiNiRESENSi bUKU

Kalau ingin menem-puh jalan hukum, siapapun akan

berhadapan dengan tiga un-sur yang ikut menentukan nasibnya di pengadilan dan di kemudian hari. Perta-ma, isinya undang-undang (substansi hukum). Un-dang-undang nasional dan juga hukum adat meng atur perkawinan dan juga per-ceraian. Kedua, aparat pe-negak hukum: polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Dan tentunya ada orang yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam kasus per-ceraian: suami-istri yang bersangkutan, keluarga masing-masing dan masya-rakat sekitarnya. Masing-masing mempunyai gam-baran mengenai apa yang adil dan apa yang tidak bila terjadi perceraian. Norma mengenai keadilan yang dianut masyarakat juga di-sebut budaya hukum.

Antara Hukum Nasional dan Adat

Undang-undang yang mengatur perceraian ada-lah UU Perkawinan No.1 tahun 1974. Di situ dijela-skan sejumlah alasan per-ceraian yang bisa diterima

hakim. Hak masing-masing pasangan atas separoh harta bersama dan hak asuh anak juga diatur. Khususnya un-tuk kasus­kasus KDRT ada UU Penghapusan KDRT, No.23 Tahun 2004. Ka-lau kejadian KDRT bisa

dibuktikan, maka itu bisa dipakai sebagai alasan per-ceraian dan hakim akan mengabulkan permohonan. Dua undang-undang sudah cukup melindungi hak pe-rempuan. Hanya, masih ada beberapa kendala.

Misalnya, para perem-puan yang dapat meman-faatkan kedua UU tersebut, harus mempunyai akte per-kawinan. Sedangkan, masih sangat banyak perempuan Bali – begitu pula laki-laki

- yang belum memilikinya. Bagi mereka undang-un-dang ini hanya bisa diberla-kukan bila ingin cerai apa-bila akte perkawinan diurus sebelumnya. Seandainya, salah satu pihak tidak ber-sedia, maka proses perce-

raian menjadi sulit. Perlu diketahui, klian adat tidak berwenang me ngeluarkan surat putusan cerai.

Persoalan ini menunju-kkan adanya kemajemukan hukum di Indonesia. Di samping hukum nasional, Negara mengakui hukum adat setempat. Susahnya, hukum nasional dan hu-kum adat tidak selalu sin-kron. Contohnya, hukum nasional dan hukum adat Bali bertentangan soal hak

Substansi, Penegak Dan Budaya hukum

Sudahkah hukum Berempati?

Page 23: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

44 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 45

oPiNioPiNi

perempuan atas harta go-no-gini dan hak asuh anak. Hukum nasional menjamin hak perempuan, sedangkan hukum adat tidak. Hakim di pengadilan negeri dia-manatkan untuk menegak-kan hukum. Tetapi hukum yang mana?

Peraturan hukum juga menentukan bahwa per-mohonan atas keputusan perceraian dan permoho-nan tentang harta gono-gini harus diajukan secara terpisah. Ini menyebabkan proses memperoleh hak ini cenderung lama.

Hakim Yang Kurang Peka

Bila perempuan berupa-ya mencari keadilan dalam perceraian, keadilan itu ada di tangan hakim. Hakim tentunya harus melihat la-tar belakang masalah yang timbul dalam perkawinan dan mengambil keputusan yang terbaik bagi semua pihak bersangkutan. Ada di antaranya yang sungguh-sungguh mencoba untuk menegakkan hukum sesuai dengan undang-undang nasional, berpihak pada perempuan yang tidak ber-salah atas kehancuran per-kawinannya dan berupaya agar perempuan itu dapat hak gono-gini dan hak asuh anak demi keadilan.

Tetapi ada juga yang

serta-merta mengacu pada hukum adat dalam putu-sannya. Seringkali, begi-tu muncul perebutan hak asuh anak, para hakim terpaku pada apa yang di-minta oleh para pengacara pihak suami: sesuai hukum adat purusa, sang anak harus diasuh oleh bapakn-ya. Tidak jarang hak asuh juga diberikan pada pihak bapak dengan pertimban-gan dialah yang mampu untuk membiayai anak. Dengan demikian, masa depan istri, yang perkawi-nannya sudah dihancurkan oleh sang suami (misalnya karena kekerasan, selin-gkuh, penelantaran), ke-mudian dihancurkan lebih dalam lagi oleh hakim. Sungguh menyedihkan, tidak adil dan belum tentu yang terbaik bagi anak. Si ibu setelah perceraiannya biasanya tidak habis pikir nasib anak nya yang tinggal dengan bapaknya yang ter-bukti tidak layak sebagai suami dan ayah.

Ada juga jenis kasus lain yang cenderung mem-perlihatkan ketidakadilan bagi perempuan. Ada ha-kim yang begitu mudah me-mutuskan perceraian atas permintaan suami. Misaln-ya, hakim terima saja bila suami mengatakan istrinya sudah pergi dan tidak tahu dimana keberadaannya, sehingga keputusan dapat

diambil tanpa menghadir-kan istri. Padahal, sang sua-mi sebenarnya tidak punya alasan yang sah untuk ber-cerai dan hanya ingin se-cepatnya mengawini selin-gkuhannya secara sah.

Tentunya kebanyakan hakim masih bersih. Teta-pi kadang-kadang „keadi-lan” bisa dibeli. Seorang klien perempuan LBH, namanya Dewi, yang ingin mendapatkan hak asuh un-tuk anaknya mengaku dia ikut main uang. Karena dia tahu suaminya juga mela-kukannya. Bukan hukum yang bisa dibeli, tetapi ada hakim yang bisa. Karena kaum laki-laki rata-rata le-bih banyak duit, maka me-rekalah yang lebih sering bisa menang.

Ada Pengacara Mata Duitan dan

Berpihak

Selain hakim, penga-cara juga ikut berperan dalam mencapai sebuah keputusan. Ibarat namanya pengacara, mereka diha-rapkan membela kepen-tingan kliennya. Untuk itu ada pengacara yang minta fee yang tinggi demi se-buah kemenangan. Kese-pakatannya dengan klien juga bisa berupa persen dari harta yang direbutkan. Khususnya kalau pasangan memiliki harta yang ban-

yak, ini bisa mendorong pengacara untuk bekerja ekstra keras memenangkan pihak kliennya. Karena seringkali harta dipegang pihak lelaki, maka klien perempuan perlu pengaca-ra yang pintar agar dapat hak atas harta gono gini.

Khususnya pengacara yang „mata duitan” juga bisa mengeksploitasi lahan yang tercipta oleh keingi-nan kedua bela pihak untuk mendapatkan anak. Seper-ti disinggung di atas, ada yang memperjuangkan hak asuh untuk pihak suami atas nama hak purushanya, tanpa mempertimbangkan apakah anak lebih pantas sama ibunya atau kepen-tingan anak itu sendiri.

Masyarakat Memojokkan

Masyarakat Bali pada umumnya masih menem-

patkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Karena laki-laki sebagai ahli waris, laki-laki sebagai penerus nama keluar-ga. Laki-laki juga mempunyai peran lebih besar dalam pen-gambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat.

Kondisi demikian me-warnai norma yang dianut masyarakat seputar per-ceraian. Perempuan tidak pantas minta cerai, tidak diakui hak atas harta ber-sama, begitu pula hak atas anaknya. Kalau dia tidak bersalah, keluarga dan masyarakat kadang-kadang masih mau terima bila dia minta cerai dan dapat ha-knya. Tetapi kalau salah, pantaslah dia tidak dapat apapun. Bahkan seringkali seorang ibu tidak diizinkan bertemu dengan anaknya setelah perceraian. Ke-mungkinan besar ini me-nimbulkan stres berat pada

anaknya yang tetap cinta sama ibunya.

Mari Kita Mulai..

Perempuan yang ingin bercerai sungguh berhada-pan dengan banyak tantan-gan dan resiko. Peraturan hukum belum mendukung sepenuhnya hak perempuan, para penegak hukum belum semua mau peka, dan masya-rakat masih menomorduakan haknya. Lagipula, banyak perempuan belum melek hukum dan tidak kuat eko-nominya. Sehingga mudah dikalahkan haknya bila tidak ada pembelaan yang baik.

Tetapi yang paling utama, perempuan takut berpisah dengan anak. Sebaiknya bagi pasangan Hindu yang bercerai, kepu-tusan hakim tetap berpato-kan pada prinsip apa yang terbaik bagi anak, sesuai dengan UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002. Dan mari masyarakat kita mulai mengaku hak asuh anak seorang ibu, khusu-snya apabila suaminya me-mang terbukti tidak layak sebagai suami dan ayah.

Anak paling dirugikan biar terjadi perceraian. Mari kita mulai sungguh-sungguh menjamin kepen-tingannya agar tetap dekat sama kedua orang tuanya.

(Anggreni/Sita)

Page 24: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

46 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 47

PUiSi

Aku mendapat bunga hari inimeski hari ini bukan hari istimewa dan bukan hari ulang tahunkusemalam untuk pertama kalinya kami bertengkardan ia melontarkan kata-kata menyakitkanaku tahu ia menyesali perbuatannyaKarena hari ini ia mengirim aku bunga

Aku mendapat bunga hari inimeski hari ini bukan ulang tahun perkawinan kami atau hari istimewa kamisemalam ia menghempaskan aku ke dinding dan mulai mencekikkuAku bangun dan rasa sakit sekujur tubuhkuaku tahu ia menyesali perbuatannyaKarena ia mengirim bunga padaku hari ini

Aku mendapat bunga hari inimeski hari ini bukan hari ibu atau hari istimewa lainsemalam ia memukuli aku lebih keras dibanding waktu-waktu yang laluaku takut pdanya tapi aku takut meninggalkannyaaku tidak punya uangLalu bagaimana aku bisa menhidupi anak-anakkuNamun aku tahu ia menyesali perbuatannya semalamKarena hari ini ia kembali mengirimi aku bunga

Ada bunga untukku hari iniHari ini adalah hari istimewa, inilah hari pemakamankuIa menganiayaku sampai mati tadi malamKalau saja aku punya cukup keberanian dan kekuatan u/ meninggalkannyaaku tidak mendapat bunga lagi hari ini

Oleh: Warih Wisatsana

Tanganmu seperti senja hilang cahayatanganmu seperti dua bayang bersilangdi petang yang lengang

Setiap kali kata punya goa dan jejak rahasiaTanganmu menuliskannya, menulisnya sambil mengenang aku Laki-laki sia-siayang datang padamu di usianya yang hampa

Tanganmu seperti gerimis yang ingin menghapus tangisyang ingin mengusap pilu langit biru

Tanganmu seperti mata si mati di pagi hariyang menembus hutan bayangyang menggemakan gaung murung di dinding-dinding, di puing-puing kota masa tua ibumu

Aku laki-laki yang membaca semua sajakmu, mendatangimumengigaukan tangan yang lebih lembut dari maut mengigaukan tangan yang lebih lengang dari petang

Aku laki-laki yang sesat di baris pertama, tak percayasungguh tak percaya, kenapa di akhir kata seseorang terbawa rasa hampa; kenapa cerita tentang sorga tak membuatnya bahagia tak menjadikannya suka citaseperti ketika kecil dulu terlena seharian di sisi ibu

Tanganmu buah­buah kenari yang berjatuhan sepanjang haritanganmu senyap batu beradu di dasar kolam yang menungguTanganmu,tanganku, tangan waktukah yang lunglai hilang lambai

Aku dan maut datang dengan wangi bunga yang samaMaut dan aku berbagi derita rahasia kecupan pertama;tapi bukan dalam sajakmu.

PUiSi

Pujian Bagi tanganmuBunga, luka dan Kematian

Page 25: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

48 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 49

cERPENcERPEN

pir kepala tiga, namun belum juga mene-mukan pasangan hidup, atau lebih tepatnya belum menemukan lelaki yang mau kuajak menikah. Cemooh dan sindiran bahwa aku dianggap tidak laku seringkali mampir di telinga orang tuaku yang membuat mereka terus mendesakku untuk segera menikah. Namun, seperti yang telah kuungkapkan, mencari pacar jauh lebih mudah bagiku ketimbang mencari seorang calon suami. Sungguh susah mencari lelaki yang sudi nyentana di keluargaku.

Tahukah kamu, kebanyakan lelaki

Bali sangat menghindari jenis perkawinan yang disebut nyentana itu. Sedangkan bagi perem puan Bali yang tidak memiliki saudara lelaki, justru nyentana merupakan perkawinan yang sangat diharapkan. Ba-gaimanapun juga, di Bali, kelahiran anak lelaki merupakan suatu berkah tak terkira yang harus dirayakan. Anak lelaki adalah penerus garis keturunan suatu keluarga. Maka keluarga yang tidak memiliki anak lelaki, terpaksa mengawinkan anak perem-puannya dengan tradisi nyentana.

Maka aku pun mengemban amanat be-rat dari orang tuaku untuk mencari lelaki yang mau diajak nyentana. Boleh kukata-kan berat karena memang susah mencari calon suami yang sudi nyentana. Ini me-nyangkut harga diri dan kehormatan kelu-arga si lelaki. Sebab lelaki yang memilih untuk nyentana akan tinggal dan menjadi milik keluarga mempelai perempuan. Se-cara spiritual status lelaki akan berubah menjadi perempuan dan pihak keluarga si lelaki tidak lagi berhak terhadap anaknya. Pendek kata, dalam tradisi nyentana, lela-ki dipinang oleh perempuan.

Pada banyak kasus yang pernah ku-

dengar , keluarga besar si lelaki biasanya akan menentang keras keinginan anaknya untuk nyentana. Bagi sebagian masyarakat Bali, pernikahan ini dianggap suatu yang memalukan dan penuh dengan cemooh dan sindiran. Si lelaki biasanya akan disindir ha-nya ingin mengeruk kekayaan orang tua si perempuan, ingin menadah warisan dengan mudah. Bahkan sering pula terjadi kasus si lelaki dilecehkan dan menjadi bulan-bulanan dalam keluarga si perempuan. Menghindari kejadian-kejadian seperti itulah yang me-nyebabkan lelaki enggan nyentana meski ia

mencintai perempuan pujaannya itu. Hal itu pula yang membuatku cukup

maklum kenapa para mantan pacarku mun-dur teratur ketika kuajak menikah. Inilah persoalan yang menderaku akhir-akhir ini. Pernah aku mencoba melupakan perso-alan pernikahan dengan menyibukkan diri mengu rus hotel melati yang kukelola. Tapi nyaris setiap malam ketika aku tidak mam-pu memejamkan mata, bayang-bayang per-nikahan muncul menghantui pikiranku.

Hingga tiba pada suatu hari, aku ber-kenalan dengan seorang lelaki dalam sua-tu pesta peresmian galeri lukisan di Ubud. Aku merasakan debar yang lain ketika mata kami saling bersitatap. Aku kira lela-ki itu pun merasakan hal yang serupa. Le-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai seorang pelukis. Pada pesta itu kami bany-ak bicara tentang seni lukis, suatu bidang yang belum kupahami, tapi sungguh me-narik perhatianku. Pelukis yang lumayan ganteng dengan rambut setengah gon-drong itu berasal dari Ubud. Ia tiga tahun lebih tua dariku dan menurut pengakuan-nya belum berkeluarga.

Perkenalan kami terus berjalin le-

Hal itu pula yang membuatku cukup maklum kenapa para mantan pacarku mundur teratur ketika kuajak menikah.

Berdebar-debar aku menantikan hari yang membahagiakan itu. Hari yang akan menyelamatkan marta-

bat keluargaku dari cemooh dan sindiran orang-orang sedesa. Cemooh dan sindiran yang seringkali menyakitkan hati orang tuaku, meski belakangan mereka tidak menghiraukannya lagi. Atau lebih tepat-nya menyimpannya diam-diam dalam lu-buk hati paling dalam sebagai suatu nasib yang mesti dijalani.

Karena aku perempuan, sungguh berat rasanya menjadi anak tunggal yang harus menanggung sendiri kecemasan orang tua. Duh, seandainya aku memiliki seorang adik, kalau bisa mesti adik lelaki. Tapi Hyang Widhi berkehendak lain, karena sua-tu alasan medis ibuku tidak bisa lagi mela-hirkan. Maka jadilah aku pewaris tunggal segala kekayaan keluargaku: sehektar tanah sawah di desaku di Tabanan, sebuah rumah cukup mewah di Denpasar, dua mobil se-dan terbaru, sebuah hotel melati di Kuta. Mungkin ini pula yang membuat beberapa teman perempuanku seringkali iri padaku. Mereka sering menyebutku perempuan beruntung! “Sudah cantik, kaya, berpen-didikan tinggi, wanita karier dan terkenal lagi!” begitulah rata-rata komentar mereka. Pendek kata, di mata mereka, aku perem-puan yang sempurna! Tapi sayang, mereka tidak pernah paham, apa yang sedang ber-gejolak dalam batinku akhir-akhir ini.

Aku selalu gagal menjalin percintaan. Kisah cintaku selalu berakhir tragis justru pada saat menjelang pernikahan. Sebenar-nya tidak sulit bagiku untuk mendapat-kan lelaki yang setara denganku. Seperti ucap beberapa temanku, aku cantik, kaya,

berpendidikan tinggi, dikenal luas. Lelaki mana yang tidak bertekuk lutut di hada-panku? Tapi, seperti jamaknya laki­laki, mereka mirip penjual obat keliling. Me-reka, mantan-mantan pacarku yang ke-banyakan eksekutif muda itu, juga suka mengobral janji-janji cinta penuh bunga-bunga harapan. Janji-janji pernikahan yang kuidam-idamkan selalu mereka bi-sikkan di kupingku sembari mereka men-cumbuiku di kamar-kamar hotel mewah yang kami sewa. Namun, setelah menge-tahui keadaanku yang sebenarnya, mereka

segera mundur teratur.Pada mulanya jelas aku kecewa dengan

sikap laki-laki seperti itu. Sampai aku per-nah berpikiran bahwa lelaki yang mendeka-tiku atau yang hendak memacariku hanya kedok untuk mengeruk keuntungan dariku: menikmati tubuhku sekaligus mencicipi kekayaan orang tuaku. Tapi lama kelamaan aku berusaha maklum mengapa setiap le-laki yang pernah menjadi kekasihku akan mundur teratur ketika aku membicarakan masalah pernikahan secara serius. Dan ini pula yang menjadi kecemasan orang tuaku dan yang membebani perasaanku.

Sebagai anak yang mencoba berbakti, aku pun memaklumi harapan dan kecema-san orang tuaku. Tentu mereka ingin segera momong cucu yang akan meneruskan ketu-runannya kelak. Lagi pula kini usiaku ham-

Perempuan yang Mengawini KerisCerpen: Wayan Sunarta

Karena aku perempuan, sungguh berat rasanya menjadi anak tunggal

yang harus menanggung sendiri kecemasan orang tua.

Page 26: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

50 | Februari - April 2011 Februari - April 2011 | 51

cERPENcERPEN

Sekitar jam sembilan, para undangan mulai berdatangan. Keluargaku menjamu mereka dengan berbagai jenis hidangan pembuka yang lezat-lezat dan mengun-dang selera. Terlihat wajah­wajah mereka dihiasi senyum dan tawa ceria. Aku duduk dengan anggun di pelaminan, menunggu kedatangan mempelai lelaki. Pendeta yang akan memimpin upacara telah da-tang dan menunggu dengan sabar. Renca-nanya, setelah upacara adat selesai, akan disambung dengan pesta resepsi pernika-han sampai malam.

Ayah dan ibuku terlihat sibuk menyam-but para undangan. Tapi beberapa saat kemudian, Ayah dipanggil oleh seorang kerabat kami. Aku melihat mereka berca-kap-cakap dengan wajah serius. Sebentar kemudian wajah ayahku berubah pucat dan tegang. Wajah bahagia ayahku seketika sirna. Aku belum paham apa yang sedang terjadi. Tapi aku juga melihat ketegangan dan keganjilan yang serupa pada wajah para kerabat dekat. Mereka menatapku dengan sorot mata yang memancarkan rasa iba.

Aku penasaran dengan perubahan sua-sana yang mendadak itu. Aku bangkit dari pelaminan dan menghampiri Ayah yang langsung menggiringku ke dalam kamar. Di luar, undangan semakin banyak berda-tangan. Sekilas kulihat mereka saling ber-tegur sapa dan berbincang-bincang penuh tawa canda. Tentu mereka juga merasakan kebahagiaan karena pada akhirnya aku menikah.

“Ada apa, Ayah? Mengapa nampak murung?” aku langsung menumpahkan rasa penasaranku pada Ayah.

“Betul-betul malang nasibmu, putri-ku…” Ayah tidak kuasa meneruskan kata-katanya. Aku semakin penasaran. Suara gamelan Semarpegulingan mengalun la-mat-lamat, begitu syahdu dan romantis.

“Apa yang terjadi, Ayah?” aku mera-

sakan ketegangan menjalari syaraf-syaraf halus pada wajahku. Perasaanku campur aduk. Aku teringat si pelukis kekasihku, calon suamiku, pangeran pujaanku.

Ayah menatapku dengan trenyuh. Nam-pak kepedihan mengambang pada mata tuanya. “Putriku, perkawinanmu harus te-tap berlangsung, meski Ayah menanggung malu di hadapan para undangan,” Ayah terdiam, wajahnya nampak tegang, “kamu akan Ayah kawinkan dengan keris…”

“Keris!? Saya akan kawin dengan ke-ris!? Maksud Ayah bagaimana?” Aku tidak kuasa menyembunyikan kekagetanku.

Aku bingung. Mengapa aku harus ka-win dengan sebilah keris? Ayah menunduk. Nampak Ayah juga kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan masalah pernikahanku yang mendadak menjadi rumit dan menyedihkan ini.

“Ya, kamu akan kawin dengan sebilah keris, putriku! Keris itu sebagai simbol, pengganti calon suamimu yang ingkar jan-ji. Ia minggat dari rumahnya. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya.”

Mendadak mataku berkunang-kunang mendengar penjelasan Ayah. Aku tidak sanggup berkata­kata lagi. Tapi aku be-rusaha untuk tabah dan menguasai diri. Musnah sudah impianku. Aku tidak habis mengerti, mengapa lelaki itu mengingkari janjinya? Rasa cintaku perlahan menjelma kebencian pada lelaki itu. Dan kenyataan pahit ini harus kujalani bersama keluarg-aku. Bagaimanapun juga, upacara perka-winan sudah tidak bisa dibatalkan.

Kini, di hadapan para undangan dan ke-rabat yang saling berbisik, di tengah gema genta dan mantra pendeta yang terasa sumbang, aku melangsungkan upacara perkawinan dengan sebilah keris. Menje-lang siang upacara usai, tapi hatiku masih terasa perih disayat-sayat keris hitam yang dingin itu.***

wat sms dan telpon-telpon mesra. Entah menga pa aku bisa tertarik dan jatuh hati dengan lelaki itu. Mungkin gaya bicaranya yang terdengar matang dan dewasa, atau sikapnya yang begitu lembut dan mesra terhadapku. Beberapa kali ia berkunjung ke kantorku dan lebih sering lagi menga-jakku melihat-lihat pameran lukisan. Ia juga suka mengundangku ke studionya yang sederhana di Ubud. Aku pun telah diperkenalkan sebagai pacar pada keluar-ganya yang ramah. Begitu pun sebaliknya, aku perkenalkan ia pada keluargaku yang menyambutnya dengan hangat pula.

Suatu kali pelukis itu mengutarakan isi hatinya untuk mengajakku menikah. Dari mimiknya yang serius aku merasa ia sung-guh -sungguh dengan keinginannya itu. Aku merasa pelukis itulah pelabuhan dan harapan terakhirku untuk mencari lelaki yang berse-dia nyentana. Sebelumnya aku telah mence-ritakan keadaanku, juga harapan orang tua-ku. Di luar dugaanku, ia bersedia nyentana, dan orang tuanya pun tidak keberatan. Aku girang alang kepalang mendengar itu se-mua. Aku memeluk dan menciumnya. Aku merasa bunga-bunga serentak mekar dan se-merbak mewangi dalam taman hatiku.

Aku pun segera menceritakan kabar gembira itu pada orang tuaku. Mereka

sangat suka cita dan terharu mendengarnya. Mereka segera mencari hari baik untuk me-langsungkan pernikahan kami. Undangan dicetak mewah dan telah disebar ke sanak saudara, kenalan, kolega bisnis, pejabat lo-kal, tetangga, kerabat desa. Pesta pernika-han akan dirayakan secara meriah di rumah keluargaku yang berhalaman luas.

***

Berdebar-debar aku menunggu hari yang menobatkan aku menjadi mempelai itu. Besok pagi upacara perkawinan kami akan digelar secara adat Bali. Malam ha-rinya aku tidak bisa memejamkan mata. Besok pihak keluargaku akan meminang lelaki pujaanku. Dari jendela kamarku, aku mengintip kesibukan para kerabat mempersiapkan upacara untuk esok pagi. Wajah-wajah mereka nampak sumringah. Kursi pelaminan telah pula dihias dengan kain prada dan bunga warna-warni, ter-lihat indah dan megah.

Aku bangun sebelum ayam sempat ber-kokok menyambut pagi. Juru rias pilihan telah sibuk mempersiapkan segala sesua-tunya. Hampir dua jam aku dirias. Pagi ini aku bagai putri dari Kahyangan yang akan menyambut pangeran impiannya.

Page 27: Agar Luh tak Sekedar Peluh -  · PDF fileSuara Millenium Development Goals (MDGs) Edisi No.1 Januari-Maret 2011 Agar Luh tak Sekedar Peluh

8 tujuan millenium Development goals (mDgs) di indonesia

Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan EkstrimDengan usaha yang lebih keras, Indonesia akan dapat mengurangi kemiskinan dan kelaparan hingga setengahnya pada 2015

Mendukung Kesetaraan Gender dan Memberdayakan PerempuanIndonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam mengatasi persoalan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan

Meningkatkan Kesehatan IbuYang sangat diperlukan oleh ibu adalah peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas untuk ibu dan anak

Memastikan Kelestarian LingkunganMengintegritasikan prinsip pembangunan berkelanjutan kedalam kebijakan dan program pemerintah Indonesia

Mengembangkan Kemitraan Global untuk PembangunanMengembangkan Kemitraan lebih lanjut yang terbuka, berdasarkan aturan, prediksi,

non-diskriminatif perdagangan dan sistem keuangan

Memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnyaKesadaran dan pengetahuan yang benarmengenai HIV dan AIDS juga masih

merupakan persoalan besar di Indonesia

Mengurangi Tingkat Kematian AnakProgram Nasional Anak Indonesia menjadikan issue kematian bayi dan balita

sebagai salah satu bagian terpenting

Mencapai Pendidikan Dasar untuk semuaSemua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, akan dapat

menyelesaikan pendidikan dasar