Bertindak, Bukan Sekedar Berwacana

127

Transcript of Bertindak, Bukan Sekedar Berwacana

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pada tahun 2013 ini Pendidikan Tinggi Farmasi Universitas Airlangga

memasuki usia emasnya, yaitu ke-50 tahun. Proses panjang pembangunan dan pengembangan yang sudah dimulai sejak 50 tahun lalu tentunya telah berhasil mencetak alumni yang menyebar ke berbagai tempat, baik nasional maupun internasional.Kiprah alumni tersebut telah banyak mewarnai dunia kefarmasian di Indonesia, berupa tindakan nyata, pandangan maupun gagasannya.

Oleh karena itu, maka Panitia Tahun Emas Pendidikan Tinggi Farmasi Universitas Airlangga telah menerbitkan buku yang berisikan pandangan, gagasan dan bukti tindakan nyata yang telah mereka lakukan. Kita berharap, bahwa penerbitan buku itu dapat menjadi tonggak yang menandai, bahwa pada Tahun Emasnya Fakultas Farmasi telah menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia kefarmasian dan masyarakat.

Mengingat terdapatnya keterbatasan, maka hanya bagian kecil dari alumni saja yang tulisannya dapat kami muat di dalam buku tersebut. Karena masih terdapat banyak alumni yang patut ditampilkan, maka insya Allah kami bermaksud untuk melanjutkan penerbitan buku serupa sesegera mungkin. Kami berharap buku pertama ini dapat bermanfaat bagi dunia kefarmasian, kesehatan, dan pendidikan bagi mahasiswa dan masyarakat.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan bimbingannya kepada kita semua.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ketua PanitiaDr. Suko Hardjono, MS., Apt.

I.

Pengantar: Menyongsong Masa Depan yang Lebih BaikDekan Fakultas Farmasi Universitas AirlanggaDr. Hj. Umi Athiyah, MS., Apt.

The mission of pharmacy is to serve society as the profession responsible for the appropriate use of medications, devices and services to achieve optimal therapeutic outcomes

Berbagai pendapat dan pandangan para ahli tentang peran dan tanggung jawab

seorang farmasis telah dilahirkan. Berbagai peraturan perundangan telah dihasilkan untuk memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan profesi farmasis. Demikian pula, dunia pendidikan menghadapi kenyataan menjamurnya sekolah menengah kejuruan dan pendidikan tinggi farmasi sebagai antisipasi tingginya peminat.Pertanyaannya adalah, apakah pandangan, peraturan dan meningkatnya jumlah anak didik itu telah mampu memacu tekad menata dan memantapkan peran sarjana farmasi dan apoteker di masyarakat? Jawaban atas pertanyaan itu dapat ditegakkan melalui fakta rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi apoteker. Sampai sekarang apoteker belum diperhitungkan sebagai sebuah profesi kesehatan yang mampu secara intelektual dan skill untuk berkolaborasi dengan dokter di rumah sakit. Jumlah apoteker yang berperan langsung dalam pelayanan komunitas secara profesional masih dapat dihitung dengan jari saja. Keadaan itu tentu memprihatinkan, karena apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan dituntut berperan secara nyata pada keberhasilan program pemerintah di bidang kesehatan. Apoteker lah yang bertanggung jawab atas ketepatan obat yang diserahkan kepada konsumen, yaitu jenis, takaran, aturan pemakaian, efek samping yang mungkin terjadi dan cara mengatasinya, serta efek terapi yang akan diperoleh. Tanggung jawab tersebut dilaksanakan melalui serangkaian aktivitas komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan selama praktek.Berbagai keilmuan yang diperoleh melalui pendidikan formal, diberikan dengan tujuan agar apoteker mampu melaksanakan tanggung jawab itu, termasuk yang

ii

berkaitan dengan general mechanism of drug action.Kekhawatiran akan belum maksimalnya peran apoteker itu menjadi makin besar tatkala kita sedang bersiap menghadapi era ASEAN community yang dicanangkan pada tahun 2015. Rendahnya kemampuan tenaga kesehatan Indonesia, termasuk apoteker, tentu bermuara pada sektor pendidikan. Oleh sebab itu Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bertekad meningkatkan kualitas pendidikan tersebut melalui sebuah proyek bernama Health Professional Education Quality (HPEQ) yang mendapatkan dana Bank Dunia. Dalam pelaksanaannya, proyek HPEQ tersebut melibatkan peran organisasi profesi terkait, yaitu Ikatan Apoteker Indonesia dan Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia APTFI, untuk menyusun naskah akademik pendidikan tenaga kesehatan yang akan dihasilkan, yaitu apoteker . Dengan adanya naskah akademik tersebut, maka ada standarisasi proses pendidikan . Standarisasi diharapkan akan membuka jalan untuk dihasilkannya lulusan yang kualitasnya memenuhi syarat sebagai tenaga kesehatan, dengan kompetensi yang peran dan fungsinya sudah dituangkan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36/2009 dan Peraturan Pemerintah No. 51/2009. Dengan demikian harapan profesionalisme tenaga kesehatan Indonesia, khususnya apoteker ,menjadi semakin kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah kesehatan yang berpotensi melemahkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.Profesionalisme yang sesuai dengan harapan itu diwujudkan melalui penataan kembali sektor pendidikan sebagai strategi penyiapan lulusan. Dalam hal ini, early clinical exposure akan segera dirancang dalam kurikulum, agar mahasiswa Fakultas Farmasi mempunyai pengalaman belajar berinteraksi dengan tenaga profesi kesehatan lain untuk mendapatkan pengalaman belajar dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan terapi obat yang dialami pasien. Melalui interaksi itu akan tercipta hubungan professional yang harmonis dalam penyelesaian masalah kesehatan secara utuh dan komprehensif. Dalam bidang profesi apoteker, langkah pemerintah itu harus disikapi secara positip, terutama dengan memperhatikan dua hal penting yang sudah ada, yaitu (i) kesiapan pranata dan peraturan hukum yang menguatkan peran dan tanggung jawab profesi apoteker (ii) kesiapan Komite Farmasi Nasional Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam penyiapan standar praktek, standar sumpah, pembinaan dan pengawasan, serta sertifikasi apoteker.Dukungan organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia memperkuat tekad dan kekuatan berbagai unsur yang harus terlibat aktif pada penguatan peran apoteker. Oleh karena itu, sudah tiba saatnya perdebatan panjang tentang peran apoteker diakhiri. Inilah saatnya kita melangkah bersama melaksanakan semua tanggung jawab, baik di sektor pendidikan maupun pelayanan. Hal itu terutama mengingat proses pendidikan yang terus berlangsung dan tidak dapat kita hentikan begitu saja. Kita bertanggung jawab atas baik buruknya kualitas luaran yang

iii

dihasilkan melalui setiap institusi pendidikan. Marilah kita ayunkan langkah untuk menata kembali pendidikan tinggi farmasi, agar dapat menyongsong masa depan yang lebih baik, dengan harapan profesionalisme tenaga kesehatan Indonesia menjadi semakin kuat untuk menyelesaikan berbagai masalah kesehatan yang berpotensi melemahkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Marilah kita memanfaatkan pandangan, pengalaman dan keilmuan para alumni yang tertulis di dalam buku “Bertindak, Bukan Sekedar Berwacana” ini sebagai bekal untuk melanjutkan perjuangan.

.........................................

iv

Daftar Isi

Pendidikan Tinggi Farmasi Sebagai Center of ExcellenceProf. Dr. H. Fasich, Apt.

1

Eksistensi Pendidikan Tinggi Farmasi di Lingkungan Medical Center Universitas AirlanggaProf. Dr. H. Achmad Sjahrani, MS., Apt.

3

Reduksionisme dan Holisme Dalam Farmasi.Prof. Dr. Gde Nyoman Astika, Apt.

5

Penelitian Farmasi di Indonesia dan Efektivitas Implementasi Konsep A-B-GProf. Dr. rer.nat. Wahono Sumaryono, Apt., APU

12

Manajemen Farmasi Untuk Peningkatan Kinerja Farmasis di KomunitasDrs. Soerjono Seto, MM, Apt.

16

Pengalaman Pengabdian Profesi Melalui Usaha ApotekDra. Setyarini

19

Pendidikan

Perapotikan

Aplikasi Bioteknologi untuk Industri Farmasi di Indonesia. (Prospek, kendala, mimpi dan harapan)Prof. Dr. Gunawan Indrayanto, Apt.

23

Obat ( bioteknologi, penjaminan mutu, perancangan, narkotika dan obat berbahaya,)

Kata Pengantar Ketua PanitiaDr. Suko Hardjono, MS., Apt.

I

Pengantar: Menyongsong Masa Depan yang Lebih BaikDekan Fakultas Farmasi Universitas AirlanggaDr. Hj. Umi Athiyah, MS., Apt.

ii

I

Aspek Mutu dan Keamanan Obat, Makanan dan KosmetikaProf. Dr. rer. Nat. H.M. Yuwono, MS., Apt.

27

Aplikasi Kimia Medisinal Untuk Perancangan Obat Yang AmanProf. Dr. Siswandono, MS., Apt.

33

Indonesia Bebas Narkoba…., Bersama Kita Wujudkan!!!Kuswardani, SSi, M.Farm, Apt

37

Mempertahankan Eksistensi Jamu di Negeri SendiriProf. Dr. H. Sutarjadi, Apt.

41

Prospek Tanaman Obat Indonesia Sebagai Obat KankerProf.Dr.Sukardiman, MS., Apt.

44

Peningkatan Angka Partisipasi Pria Pada Program Keluarga Berencana melaluiPemanfaatan Obat Bahan Alam IndonesiaProf. Dr. Bambang Prajogo E.W., MS., Apt.

51

Obat Tradisional Indonesia untuk Kesehatan WanitaProf. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt.

Manfaat Produk Farmasi Berbasis Bahan Alam Yang Berkhasiat Sebagai ImunomodulatorDr. Suprapto Ma’at Drs. MS., Apt.

60

68

Obat Tradisional

Pengembangan diriCommunication Skill: Kunci Kesuksesan Apoteker Drs. Harry Bagyo, Apt.

Pendidikan Farmasetika Untuk Mempersiapkan Lulusan Pendidikan Tinggi FarmasiDrs. Kuncoro Foe, G.Dip.Sc., Ph.D., Apt.

Menuju Indonesia sehat 2015: Suka Duka Berkiprah di Badan POMDra. Antonia Retno Tyas Utami, Apt., MEpid.

Pengalaman Pengabdian Profesi di Pulau CendrawasihMenuju Masyarakat Sehat Yohanes Wahyu Waluyo, S.Si., Apt.

94

97

102

108

Data Pribadi Penulis 113

Pendidikan Tinggi Farmasi Sebagai Center of ExcellenceProf. Dr. H. Fasich, Apt.

Dalam sebuah kuliah umum di Universitas Airlangga, Presiden Republik Indonesia

Susilo Bambang Yudoyono mengajak sivitas akademika untuk menjadikan universitas ini sebagai Center of Excellence ( Pusat keunggulan ). Menurut presiden, ajakan tersebut merupakan cara yang terpilih bagi sebuah perguruan tinggi untuk mampu berkiprah di dunia internasional dan memperoleh pengakuan dunia.

Menjadi pusat keunggulan adalah tanggung jawab semua perguruan tinggi di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini merupakan tantangan yang harus ditanggapi secara serius karena erat berkaitan dengan tugas sebuah perguruan tinggi dalam menghasilkan anak didik yang unggul. Oleh sebab itu jawaban yang diberikan oleh Universitas Airlangga sebagai sebuah komunitas akademik atas pertanyaan itu adalah “siap”.

Realisasi atas jawaban tersebut tentu melalui penyelenggaraan aktivitas pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat dengan bantuan perangkat keras dan lunak serta manajemen yang cocok. Anak didik yang unggul hanya dapat dihasilkan melalui proses belajar – mengajar yang dirancang dengan sangat teliti sehingga dapat memberikan bekal cahaya yang akan menerangi jalan kehidupan mereka ketika memasuki kehidupan nyata kelak. Seiring dengan perkembangan yang dahsyat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kepada mereka harus diberikan rangsangan untuk selalu berpikir secara kreatif agar selanjutnya mampu menciptakan inovasi sebagai bukti kemampuan berprestasi. Hal itu hanya akan dapat terwujud melalui perubahan mekanisme interaksi dosen dan mahasiswa, seperti misalnya perubahan metode pembelajaran yang interaktif.

Bagaimana bentuk metode pembelajaran yang cocok dan hasil apa yang dapat diharapkan melalui perubahan itu? Kunci utama adalah perubahan mindset para dosen, yaitu secara sadar menganggap mahasiswa sebagai teman belajar, tidak hanya sebagai obyek dari semua kegiatan belajar mengajar. Perubahan ini secara otomatis akan mengganti metode komunikasi satu arah menjadi dua arah pada

1

2

setiap interaksi dosen - mahasiswa. Metode itu diharapkan mampu menggugah semangat anak didik untuk menggunakan akal dan daya mereka secara aktif dan ini adalah kunci bagi terwujudnya anak didik yang mampu berkreasi dan berinovasi. Kreativitas yang melahirkan inovasi itu seharusnya dapat dilihat melalui hasil penelitian mahasiswa peserta program pendidikan magister dan doktor. Skripsi dan tugas akhir peserta program S1 adalah bagian dari kegiatan untuk mengasah kemampuan berpikir kreatif dan inovatif melalui bimbingan dosen. Dalam hal ini kita perlu merenungkan kembali filosofi dibalik kegagalan demi kegagalan yang dialami Thomas Alfa Edison sebelum akhirnya ia berhasil menemukan listrik. Melalui penemuan yang fantastis dan sangat berarti bagi kehidupan manusia di dunia ini kita menjadi semakin yakin bahwa optimisme adalah kunci keberhasilan sebuah usaha. Oleh sebab itu marilah kita bangun di kampus ini sebuah sikap kreatif untuk melakukan inovasi dengan semangat penuh optimis.

Keunggulan Pendidikan Tinggi Farmasi Universitas AirlanggaSebagai bagian dari Universitas Airlangga, Pendidikan Tinggi Farmasi mempunyai tanggung jawab moral untuk menjadi center of excellence. Berbagai perubahan perlu direncanakan saat menginjak usia lima puluh tahun pada tahun 2013.

Perubahan mendasar yang diperlukan adalah yang berkaitan dengan pengembangan Ilmu Kefarmasian itu sendiri. Pengembangan Ilmu Kefarmasian ini tentu harus sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan pada umumnya, khususnya bidang ilmu kesehatan, dan pemahaman posisi kita di masa depan. Jadi, perlu ada kajian secara mendalam tentang peran dan tanggungjawab apoteker pada masa mendatang. Kajian itu diharapkan dapat membantu mengklasifikasi perdebatan panjang tentang eksistensi sains dan pelayanan. Peran profesi dalam pelayanan harus berjalan seiring dengan perkembangan sains kefarmasian, agar pelayanan kefarmasian memperoleh dasar pijakan yang kokoh, sehingga terhindar dari posisi terpinggirkan. Pergulatan pemikiran bagi pengembangan sains justru menjadi cara yang utama untuk menjaga eksistensi farmasis. Sains yang senantiasa berkembang diperlukan untuk memberikan basis teknologi yang kuat dalam menjalankan fungsi pelayanan. Disinilah peran dan tanggung jawab para dosen senior sebagai inspirator, sebagai pencerah, penyadar dan penggerak yang memberikan arah pengembangan pendidikan tinggi dan kefarmasian.

Dengan memahami arah tersebut, maka kita akan dapat menetapkan dan menyesuaikan content pendidikan tinggi farmasi secara benar. Ini adalah langkah utama bagi pencapaian cita-cita menjadikan pendidikan tinggi sebagai sebuah center of excellence yang unggul, yaitu yang mampu menghantarkan anak didiknya mencapai keunggulan akademik. Semoga melalui Peringatan Tahun Emas Pendidikan Tinggi Farmasi Universitas Airlangga, kita dapat memantapkan diri untuk melakukan pengembangan dan perubahan mencapai keunggulan.

Eksistensi Pendidikan Tinggi Farmasi di Lingkungan Medical Center Universitas AirlanggaProf. Dr. H. Achmad Sjahrani, MS., Apt.

Tahun 2013 usia Pendidikan Tinggi Farmasi Universitas Airlangga sudah mencapai

setengah abad. Usia yang cukup untuk melakukan perenungan tentang kiprah selama ini dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Perenungan itu diharapkan akan menghasilkan luaran yang bermanfaat bagi upaya perbaikan dan penyempurnaan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan citra sarjana farmasi apoteker di tengah tenaga profesi kesehatan lainnya. Bila menengok kembali pada sejarah berdirinya berbagai fakultas pada Universitas Airlangga, maka dipastikan bahwa pendirian Fakultas Farmasi memang dirancang untuk melengkapi Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi dalam mewujudkan sebuah medical center. Ini adalah gagasan yang sangat brilian, karena melalui langkah tersebut Universitas Airlangga sudah secara tegas menempatkan diri sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi yang mempunyai pusat medik. Pendekatan medik tersebut selanjutnya harus terselenggara melalui aktivitas pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, sedemikian sehingga para lulusan terlatih untuk melakukan “kolaborasi” dalam menjalankan profesi mereka kelak. Artinya, terdapat “pembagian” tugas dan tanggung jawab profesi yang tegas dan tepat, sehingga masing-masing profesi dapat mengeksplorasi diri secara optimal.

Dalam konteks ini, seorang sarjana farmasi apoteker yang sudah mendapatkan berbagai keilmuan obat, diharapkan mampu bekerjasama dengan dokter dalam pelayanan di Rumah Sakit.Dokter dapat memberikan perhatian yang lebih teliti dan komprehensif dalam menegakkan diagnosis yang diperlukan seorang sarjana farmasi apoteker dalam menetapkan jenis obat, takaran, aturan pemakaian, dan KIE (komunikasi, informasi, edukasi) yang perlu dilakukan. Praktek nyata tentang kolaborasi dokter-apoteker itu sudah dapat dilihat di Rumah

3

Sakit Dr. Saiful Anwar di Kota Malang. Terdapat lebih kurang 50 orang tenaga apoteker , yang mayoritas adalah lulusan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, yang handal dan sudah memperoleh kepercayaan dokter untuk memutuskan berbagai obat yang diperlukan pasien berdasarkan hasil diagnosis dokter.

Potensi “kolaborasi” antara fakultas dalam lingkungan medis tersebut menjadi semakin kuat melalui berdirinya dua buah rumah sakit di Universitas Airlangga, yaitu Rumah Sakit Universitas Airlangga sebagai rumah sakit pendidikan dan Rumah Sakit Penyakit Tropik Infeksi sebagai research hospital. Kelengkapan ke dua rumah sakit tersebut makin mendekatkan impian Universitas Airlangga untuk menjadi sebuah National Health Science Center (Pusat Ilmu Kesehatan Nasional). Misi dari pusat tersebut adalah mempelajari berbagai masalah kesehatan melalui berbagai pendekatan disiplin ilmu, yaitu social, life and health sciences. Hasilnya sudah barang tentu akan disampaikan kepada pihak pemerintah bagi penyelesaian masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat.Sebuah contoh nyata adalah prestasi yang sudah diraih peneliti flu burung dalam menghasilkan vaksin flu burung, yang telah diserahkan kepada pihak Pemerintah Indonesia untuk memenuhi kebutuhan vaksin bagi pemberantasan penyakit tersebut secara nasional. Capaian ini tentu dapat membuktikan kemampuan sumber daya manusia Indonesia, dan sebagai konsekuensinya dapat berakibat pada munculnya upaya untuk menghalangi capaian demi capaian yang dikhawatirkan mengancam eksistensi bangsa lain. Upaya tersebut akan makin kuat manakala komunitas ASEAN sudah terwujud pada tahun 2015. Oleh karena itu diperlukan kualitas sumber daya manusia lulusan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang lebih tangguh, baik dalam penguasaan hard skill maupun soft skill. Kebijakan dalam pemberian penghargaan kegiatan ekstra kurikuler dalam bentuk satuan kredit prestasi (SKp) yang sudah berlangsung di Universitas Airlangga sangatlah tepat sebagai sebuah langkah menuju peningkatan penguasaan soft skill, yang memberikan pendidikan karakter. Sementara itu, sudah tiba saatnya bagi Pendidikan Tinggi Farmasi untuk melakukan pengembangan kurikulum pendidikan yang memberikan kesempatan mahasiswa memperoleh praktek pelayanan kepada pasien secara maksimal. Kemampuan pelayanan adalah bagian dari pemantapan kompetensi hard skill . Nah, kita semua boleh merasa optimis, bahwasanya penguasaan soft skill dan hard skill yang bersifat dinamis mengikuti perubahan kebutuhan dan keilmuan akan meningkatkan eksistensi Pendidikan Tinggi Farmasi Universitas Airlangga. Eksistensi yang kuat dalam lingkungan medical center Universitas Airlangga tersebut dipastikan akan menciptakan simbiosis mutualistis di antara sesama tenaga profesi kesehatan.

Marilah kita bersama berjalan menuju arah yang sama untuk mewujudkan cita-cita terselenggaranya harmonisasi kiprah setiap tenaga profesi kesehatan demi tercapainya masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera.

4

Reduksionisme dan Holisme Dalam Farmasi.Prof. Dr. Gde Nyoman Astika, Apt.

Ilmu farmasi adalah ilmu interdispliner yang mempelajari rancangan, aktivitas,

penyebaran, penyusunan dan penggunaan obat. Bidang ini melibatkan baik ilmu dasar maupun ilmu terapan, seperti kimia (organik,anorganik, biokimia, analitik), biologi (anatomi dan fisiologi, biokimia, biologi sel dan biologi molekuler ), matematika, fisika dan berbagai ilmu sosial.Sebagai sebuah ilmu, perkembangan Ilmu Farmasi dipengaruhi oleh paradigma reduksionisme maupun holisme, yang secara serta merta juga akan mempengaruhi pelaksanaan profesi kefarmasian.

Reduksionisme Dalam FarmasiPengaruh reduksionisme dalam pengobatan sangat luas. Pengobatan dengan paradigma ini dinamakan evidence-based medicine. Dalam pandangan ini pasien mengambil peran yang pasif dalam proses penyembuhan, karena lebih merupakan representasi penyakit. Tujuan pengobatan semacam ini lebih diutamakan untuk menghilangkan gejala penyakit dari pada memperoleh kondisi kesehatan yang optimum. Sifatnya adalah intervensi dan simptomatik, dan hampir tidak mempunyai sifat preventif. Tujuan pengobatan ini dapat dicapai terutama dengan pemberian obat penghilang gejala penyakit, operasi untuk menghilangkan atau mengganti organ atau jaringan.

Dalam paham reduksionisme manusia tidak lagi dilihat sebagai manusia utuh dan holistik, yang memiliki kesatuan jiwa, perasaan, pikiran serta tubuh. Tubuh diidentikkan sebagai sebuah mesin arloji yang rumit. Apa yang dinamakan “drug oriented” adalah manifestasi dari faham saintisme. Faham ini menganggap, bahwa dalam proses penyembuhan obatlah yang memegang peran utama, sedangkan pasien bersifat pasif. Kesembuhan hanya diukur dari hilangnya gejala penyakit yang terukur secara laboratoris. Implikasinya adalah, pengembangan ilmu kefarmasian lebih kearah penemuan obat-obat baru yang bersifat materialistik-reduksionistik. Salah satu contoh misalnya apa yang

5

dikatakan Landis: "In pharmacognosy, the scientific principles of the West are applied to herbal medicine. All substances are analyzed and broken down by their components, which are studied for their individual effects. This is usually done in the absence of the context that gives herbal medicine its rich dimensions. The herbs are plucked out of the healing system of origin, leaving behind all of the accompanying wisdom, observation, and intuition that made them most useful, understandable, and safe in their native culture. Orthodox scientists like this approach to herbs, and even insist upon it, saying that it is the only "scientific" way to approach any kind of medicine. Thus herbs are treated like drugs in an attempt to wedge them into more familiar concepts and filter them through the current scientific paradigm, so that they can be understood in terms of modern scientific thought."Lebih lanjut Holmes mengatakan :The reductionist, theoretical and abstract nature of the analytical approach to herbs is clear. In scientific biochemistry the key "active" substances are chemically defined, isolated and then synthetically reproduced; experimented with in laboratories to understand their action on living tissue; and finally neatly classified according to these findings. The net result today is a form of herbal therapy based on biochemistry. It originates entirely in the theoretical experimental activities of chemical compounds in isolation............ The logical end result of this way of thinking is to use the supposed biochemically "active ingredient" of a botanical alone, stripped of its buffering components, which are considered worthless. Based on this premise, synthetic chemistry has succeeded wildly in doing just this. In this mechanistic, reductionist, analytical approach, therapeutics is defined simply as a knowledge of the physically quantifiable properties and effects of an herb, called its "activity."

Ilmu telah berkembang dengan pesat. Dibidang pengobatan terjadi hal serupa, dimana obat yang telah ditemukan dapat mengobati berbagai macam penyakit. Satu hal yang pasti, penyakit seperti kanker dan hipertensi misalnya, belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya. Dalam hal hipertensi telah dicapai kemajuan yang sangat berarti. Namun walaupun telah berhasil dilakukan penurunan tekanan darah, penyembuhan hipertensi belum dapat dilakukan karena belum seluruh mekanisme yang terlibat di dalamnya dapat dipahami. Hal yang sama terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup. Oleh karenanya obat-obat modern belum dapat dikatakan berhasil mengobati penyakit secara tuntas. Ini berarti, bahwa ilmu belum dapat memecahkan semua masalah pengobatan yang dihadapi manusia.Pengobatan yang merupakan evidence-based medicine adalah jenis pengobatan allopathy, yang cenderung mengarah pada polifarmasi. Satu kelemahan dari ilmu adalah kebenarannya yang bersifat sementara. Hal ini berdampak kepada banyaknya obat-obat yang di tarik karena dianggap “tidak berkhasiat” dan bahkan membahayakan.

6

Holisme Dalam FarmasiPengobatan holistik adalah sistem asuhan kesehatan yang mendasarkan pada hubungan kooperatif diantara semua aspek terkait dalam rangka mencapai kesehatan fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual. Holisme memandang bahwa ada hubungan erat yang tak terpisahkan antara tubuh, pikiran/perasaan dan spiritualitas. Dengan demikian, tanggung jawab atas kesehatan diri seseorang terletak pada diri manusia itu sendiri. Holisme mengajarkan, bahwa kesehatan dan vitalitas ditentukan baik oleh lingkungan maupun bagaimana seseorang memilih cara hidupnya dalam lingkungan itu sendiri.

Prinsip dasar dari pengobatan holistik adalah berdasarkan hukum alam, yaitu bahwa keseluruhan terbentuk dari bagian-bagian yang saling tergantung satu dengan yang lain. Dengan pengertian ini manusia adalah suatu kesatuan yang utuh dari bagian-bagian yang saling terkait yaitu, fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual. Pengobatan holistik, yang juga dinamakan cause-based medicine, memandang bahwa gejala adalah petunjuk untuk mencari penyebab yang tersembunyi dibaliknya, yang selanjutnya memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh untuk mengatasinya. Pengobatan holistik lebih bersifat preventif dan pemeliharaan kondisi kesehatan yang optimal, dan juga merupakan pengobatan dengan prinsip homeopathy.

Spiritualitas seseorang akan memberi keuntungan kepada ketenangan jiwa, peningkatan hubungan sosial, dan gaya hidup yang lebih sehat. Faktor lingkungan, baik yang berupa fisik seperti udara, suara, air, maupun yang berdampak psikologis ataupun informasi/ sosial akan mempengaruhi pikiran, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kesehatan. Telah dibuktikan secara ilmiah bahwa ada keuntungan keefektifan medis, baik dalam pencegahan maupun dalam pengobatan, yang dapat diperoleh dengan memberi empati kepada seseorang seiring dengan pengobatan penyakitnya.

Jalur yang menghubungkan emosi dengan sistem kekebalan adalah melalui pengaruh hormon yang dilepaskan bila seseorang merasa tertekan. Dalam keadaan demikian, hormon adrenalin, noradrenalin, kortisol, prolaktin, beta-endorfin dan enkefalin dilepaskan. Masing-masing hormon tersebut mempunyai pengaruh kuat terhadap sel kekebalan. Meskipun hubungan itu rumit, pengaruh utamanya adalah ketika hormon-hormon itu menyebar keseluruh tubuh, dan menghambat fungsi sel kekebalan. Perasaan tertekan akan menghambat perlawanan sistem kekebalan.

Aspek sosial dari ilmu kefarmasian yang bersifat holistik kurang mendapatkan perhatian, misalnya bidang ilmu yang mempelajari bagaimana perilaku dan hubungan sosial mempengaruhi kesehatan dan kesakitan. Studi dalam bidang ini merupakan studi multidisiplin yang melibatkan psikolog kesehatan dengan ilmuwan bidang kesehatan lain, termasuk ilmuwan farmasi. Salah satu penemuan yang menarik adalah kasus peptic ulcer yang menjadi perdebatan cukup panjang, yang ternyata berkaitan dengan status psikis seseorang .

7

Manusia modern tertantang untuk menghadapi zat-zat beracun yang berasal dari lingkungannya, yaitu yang berasal dari makanan (bahan pewarna, pembau, pengawet, pemanis, pestisida, herbisida,antibiotik, penyubur, hormon ), kosmetik ( pasta gigi, bahan pencuci rambut, cat rambut, lipstik, spray, cat kuku dan lain-lain), serta polusi lingkungan. Dengan demikian tubuh akan dijejali berbagai zat toksik yang terutama akan mempengaruhi kinerja hati dan ginjal. Pada akhirnya kondisi yang demikian ini akan mempengaruhi kesehatan seseorang. Oleh karenanya kepedulian terhadap kesehatan lingkungan sekaligus merupakan upaya menjaga kesehatan manusia itu sendiri.

Layaknya bumi, tubuh manusia terdiri dari sekitar 73% air. Semua mineral yang ada di bumi juga terdapat di dalam tubuh manusia. Bekerja sama dengan ginjal, air membuang zat toksik dan hasil buangan proses metabolisme sel. Air membantu ginjal dalam pengaturan keasaman (pH) tubuh agar tetap terjaga dalam keadaan seimbang. Bila keseimbangan ini terganggu akan terjadi kesakitan.

Oleh karenanya, seseorang harus mendapatkan air yang cukup agar semua aktivitas yang dilakukan oleh air dapat berlangsung dengan baik. Sementara itu, ginjal sendiri tersusun atas dua juta nefron, yang adalah merupakan micro-chip dari organ tersebut.Selain membersihkan tubuh, air juga mempunyai peranan yang penting dalam membersihkan pikiran /perasaan.Nutrisi mempengaruhi semua kehidupan manusia, baik badan maupun vitalitas dan psiko-spiritualnya. Pengobatan ortomolekuler; adalah pendekatan pengobatan yang didasarkan kepada premis bahwa banyak penyakit dan ketidak-normalan di dalam tubuh disebabkan oleh berbagai kebutuhan biokimia/kimia spesifik seseorang. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat mencegah, memelihara dan bahkan mengobati penyakitnya bila tubuhnya mendapatkan zat kimia alamiah yang dibutuhkan secara optimal. Zat alamiah tersebut umumnya terdapat di dalam makanan yang berupa vitamin,mineral asam amino, asam lemak esensial dan trace elements.Bersama udara dan air, protein, lipid, karbohidrat, vitamin dan mineral yang terkandung di dalam makanan merupakan zat yang diperlukan untuk mempertahankan eksistensi tubuh. Secara filsafati, holisme dan reduksionisme tidak mungkin disatukan, karena merupakan dua kutub yang berlawanan satu sama lain. Namun di dalam realita, manusia berada di antara dua kutub tersebut, sehingga dalam mengatasi kesakitan, menjaga dan memelihara kesehatan, kedua paradigma tersebut dapat diintegrasikan sesuai dengan kondisi objektif kesehatan orang itu sendiri. Pengintegrasian kedua paradigma ini dalam asuhan kesehatan diistilahkan sebagai asuhan kesehatan berlandaskan patient-oriented.

Asuhan kefarmasian (pharmaceutical care ) merupakan bagian dari asuhan kesehatan (health care ). Melihat apa yang ingin dicapai dalam asuhan kefarmasian, tampak jelas terdapatnya

8

Sumber Daya - Keterbatasan modal

- Keterbatasan waktu- Keterbatasan ruangan- Keterbatasan perangkat lunak untuk mengakses obat-obatan- Tidak tersedianya data klinis pasien

dua hal pokok, yaitu aspek pengobatan/ penyembuhan dan pencegahan. Hal ini merupakan indikasi, bahwa asuhan kefarmasian merupakan implementasi pengobatan terintegrasi, yaitu pengobatan berdasarkan paradigma reduksionisme dan holisme. Dengan demikian asuhan kefarmasian merupakan asuhan kesehatan yang menggunakan pendekatan pasien ( patient-oriented ) .

Farmasi menuju masa depanFarmasi sedang mematangkan dirinya sebagai profesi klinik yang melakukan transformasi dirinya dari filsafat product oriented menuju patient oriented. Profesi sebagai suatu keseluruhan sekarang harus mendedikasikan dirinya kepada filsafat asuhan yang secara jelas memandang kemudahan dalam mendapatkan obat, dimana keamanan dan keberhasilan pengobatan si pasien merupakan hal paling utama dan menjadi tanggung jawabnya, yang sekaligus merupakan value dari asuhan kefarmasian. Oleh karenanya asuhan kefarmasian bukan saja knowledge-based, tetapi juga value-based.

Filsafat yang melandasi suatu profesi perlu dipahami dengan baik, serta diartikulasikan secara jelas, agar dapat memecahkan problema sulit yang dihadapi. Sangat disadari, bahwa profesi kefarmasian dalam melaksanakan asuhannya di masyarakat melibatkan dua macam perangkat, yaitu perangkat keras berupa barang (obat) dan perangkat lunak berupa jasa. Di sinilah diperlukan kecerdasan sang farmasis untuk dapat menentukan titik imbang sebagai seorang “pedagang’ (medication dispenser) dan sebagai patient care provider, agar asuhan kefarmasian dapat dilaksanakan secara baik sesuai nilai yang dianut dan berlangsung lestari.

Pergeseran dari satu paradigma ke paradigma yang baru jelas membawa tantangan bagi profesi itu sendiri untuk dapat mengatasi keterbatasan/ hambatan yang ada.Berdasarkan kondisi objektif profesi yang ada, hambatan/keterbatasan yang ada dapat dituliskan seperti yang diungkapkan pada tabel di bawah .

- Keterbatasan tenaga terlatih - Keterbatasan protokol dan konsensus laporan pengobatan

Sikap dan opini- Sikap/opini para karyawan

- Sikap/opini professional yang lain - Sikap/opini para farmasis sendiri ( product oriented )

9

- Keterbatasan visi pada pengembangan profesi

Pendidikan- Keterbatasan pendidikan klinis

- Keterbatasan pendidikan ketrampilan berkomunikasi- Keterbatasan dalam pendidikan sosio farmasi

- Keterbatasan dalam pendidikan sistem kesehatan/ kesehatan masyarakatKetrampilan

- Keterbatasan dalam ketrampilan mengakses obat-obatan- Keterbatasan ketrampilan berkomunikasi para farmasis

- Keterbatasan ketrampilan dalam melakukan dokumentasi para farmasis - Keterbatasan ketrampilan managemen

- Hambatan hukum/perundangan

Lingkungan

- Struktur asuhan kesehatan nasional secara umum

- Dalam lingkungan farmasis sendiri sebagai sebuah organisasi- Masalah pribadi

- Sikap pemilik Apotik

Pengobatan yang berlandaskan patient-oriented mempunyai makna, bahwa pasien memegang peran utama dalam proses mencegah, mengobati penyakit dan memelihara kesehatannya, sedangkan obat berperan sebagai penunjang. Dengan demikian, disamping mengubah sikap dan perilaku, pengembangan ilmu nutrisi, farmasi klinik, bio-farmasi/ budidaya organik tumbuhan obat, teknologi pengadaan obat dan sediaan obat, kesehatan lingkungan, kesehatan masyarakat, pengembangan ilmu-ilmu sosial seperti psiko-farmasi, sosio-farmasi, managemen dan ilmu komunikasi, perlu mendapatkan perhatian. Melalui usaha yang bersifat kontinu, maka diharapkan proses transformasi profesi kefarmasian akan berlangsung pada arah yang benar, sehingga mampu memberikan jaminan bagi keberhasilan asuhan kefarmasian dalam memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah kesehatan di Indonesia.

10

.........................................

DAFTAR PUSTAKA

Brown,L.J.,(2007), What is Holistic Health ?Gersten,D., (2002), Amino acids PowerGoleman,D., (2001 ), Emotional IntelligenceHigby G.J. (1995) Evolution of Pharmacy------------ , ( 2007 ) Holistic Health, Holistic Web WorksKarin,W., Sammers,R.S., Gous, A.G.S., Everard,M., Tromp,D., (2006 ) ,Developing Pharmacy Practice, A Focus on Patient CareMaddux,M.S.; Doug,B.J.; Miller,W.A.; Nelson,K.M.; Raebel,M.A.; Raehl,C.L., and Smith,W.E., (2000), Pharmacotherapy, Pharmacotherapy PublicationMil,J.W.van, (2000),Pharmaceutical Care,The Future of Pharmacy; Theory,Research and PracticeMurakami,K., (2007 ) The Divine Massage of the DNAParaki,J.G., (2007 ), Holistic Medicine------------- , ( 2007 ), Spirituality May Be Good for Health, Prevent Disease.comStrand ,L.M., (1989) Oportunities and Responsibilities in Pharmaceutical CareWalter,J.D., (2003), Crises in Modern ThoughtZohar,D. dan Marshall,I., (2007) Kecerdasan Spiritual

11

Penelitian Farmasi di Indonesia dan Efektivitas Implementasi Konsep A-B-GProf. Dr. rer.nat. Wahono Sumaryono, Apt., APU

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi (6.2-6.5%),

perkembangan bisnis farmasi Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 13% pada tahun 2012, sehingga Indonesia dikelompokkan sebagai “Pharma Emerging Market”. Nilai pasar farmasi Indonesia pada tahun 2012 menurut data dari Spire Research & Consulting diperhitungkan mencapai sekitar Rp.62.5 Triliun.Peluang tersebut seharusnya dimanfaatkan oleh “Masyarakat Farmasi Indonesia” , termasuk Komunitas Pendidikan Tinggi Farmasi melalui implementasi Tri-Dharma-nya.

Meskipun peluang pertumbuhan pasar relatif tinggi, namun industri farmasi Indonesia yang telah eksis lebih dari 45 tahun (bila dihitung sejak diberlakukan UU PMA & PMDN tahun 1967) strukturnya masih lemah, karena lebih dari 90% kebutuhan bahan baku (obat dan bahan pembantu) masih tergantung impor. Upaya untuk memenuhi kebutuhan bahan obat dari industri kimia domestik yang ada saat ini sulit diwujudkan karena jenis produknya bukan untuk kimia farmasi, melainkan untuk agrokimia, plasticizer, polimer sintetik, maupun bahan kimia dasar lainnya. Di satu sisi, Indonesia dikaruniai sumber daya dan keanekaragaman hayati yang melimpah , namun belum didayagunakan melalui proses nilai tambah yang tepat , baik dalam bentuk program kongkrit menumbuhkembangkan industri bahan obat melalui proses fermentatif maupun proses ekstraktif yang terstandar.

Dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, dimana profil demografi menunjukkan penduduk usia balita mencapai sekitar 50 juta, sedangkan penduduk dengan usia diatas 45 tahun mencapai lebih dari 54 juta jiwa, disertai kondisi lingkungan hidup yang belum baik, perubahan iklim global yang menambah “stress lingkungan”, serta pola hidup yang kurang sehat maka secara prediktif dapat disampaikan bahwa prevalensi penyakit infeksi dan degeneratif cukup tinggi. Indikasi tersebut dapat dijadikan arah penelitian dan pengembangan farmasi di Indonesia.

12

Atas dasar uraian tersebut, secara ringkas, arah riset farmasi di Indonesia untuk jangka waktu 5 tahun kedepan dapat difokuskan pada 3 ruang lingkup sebagai berikut :

1. Pengembangan formulasi obat konvensional yang ada di pasaran saat ini ke arah perbaikan Bioavailabilitas dan Bioeqivalensi (BA/BE).

2.Pengembangan bahan dari tanaman untuk obat herbal/ kosmetik/ suplemen makanan melalui proses yang terstandar dan klaim khasiat yang terbukti.

3. Pengembangan produk-produk biologika (sera, vaksin, protein hasil fraksionasi darah) untuk indikasi penggunaan yang tepat, serta penelitian sel punca (stem cells) untuk “tissue engineering” yang sesuai (misal bedah kosmetik terapi luka bakar), atau terapi gangguan/kerusakan fungsi organ (misal stemcell pankreas untuk terapi diabetes).

Dari pengalaman pribadi selama ini, baik dalam kapasitas tugas sebagai Profesor Riset di BPPT, Anggota Dewan Riset Nasional Bidang Kesehatan (1999-2011), Reviewer Proposal Penelitian-Program SINAS Kementerian Ristek, Dewan juri RISTEK-Kalbe Award, maupun sebagai Guru Besar di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, dapat dikemukakan bahwa sebagian besar proposal penelitian bidang kesehatan/kefarmasian berstatus Penelitian Dasar dan Penelitian Terapan. Sangat sedikit jumlah proposal yang dikategorikan Penguatan Iptek Sistem Industri (hasil riset yang sudah berstatus “proven” untuk peningkatan kapasitas iptek di suatu perusahaan farmasi/obat herbal/kosmetik/pangan fungsional), apalagi yang berstatus Diseminasi Iptek untuk Industri (sudah proven dan layak disebarluaskan).Kondisi seperti itu tentu harus disikapi secara konstruktif-sistematis melalui langkah-langkah terpadu. Langkah tersebut dimulai dari refocusing program penelitian dengan roadmap yang jelas (substansi maupun time-frame) dengan memperhatikan profil demografi, pola penyakit, perkembangan iptek, perkembangan ekonomi dan bisnis, regulasi kesehatan/farmasi serta dinamika dan pergeseran nila-nilai sosio-kultural yang mempengaruhi gaya hidup (life style), dalam konteks Analisis Lingkungan Eksternal (ALE). Disamping itu, kemauan dan kemampuan introspeksi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pada tingkat individual peneliti/dosen maupun tingkat institusi mutlak diperlukan agar dapat selalu berproses menjadi ”The Learning Organization”.

Berbagai ”titik lemah” dalam program penelitian yang sering ditemukan dalam konteks Analisis Lingkungan Internal (ALI) adalah kurang/tidak dilaksanakannya kajian menyeluruh terhadap bahan dari tanaman yang diteliti, terutama tentang ketersediaan dan jaminan kontinuitas pasokan bahan baku dalam volume besar karena terkait ketergantungan musim atau sampel diperoleh

13

dari ekosistem yang ekstrim. Selain itu, titik lemah juga dijumpai dalam hal optimasi dan standarisasi proses, untuk menjamin ” reproducibility” pada skala produksi komersial maupun kajian kelayakan ekonomi dan prospek bisnis produk yang dikembangkan. Alhasil, setelah ”susah payah” diteliti dan dikembangkan tetapi tidak ”laku jual”, karena tidak didasarkan pada analisis kebutuhan pasar.Disamping upaya perbaikan berkelanjutan yang bersifat introspektif, atas ”kelemahan” tersebut diatas, diperlukan juga upaya promotif dan membangun kepercayaan (trust building) kepada stakeholders seperti kalangan perusahaan farmasi, penyedia dana penelitian, termasuk institusi penelitian lainnya bila diperlukan pola kerja konsorsium.Pada tataran nasional, khususnya dalam kajian aspek kebijakan dan regulasi, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga perlu lebih proaktif dan intensif mendorong universitas agar mampu mempengaruhi perumus dan penentu kebijakan di sektor keuangan serta riset & teknologi pada berbagai forum yang tepat. Upaya itu diharapkan akan meningkatkan akselerasi dalam penciptaan iklim yang kondusif melalui berbagai skema insentif (fiskal dan non fiskal) bagi terciptanya sinergi A-B-G (Academician-Business Community-Government) yang efektif. Upaya tersebut sangat perlu dilaksanakan, karena secara faktual alokasi dana riset dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) relatif sangat kecil dan berada pada peringkat terendah diantara negara-negara ASEAN dihitung sebagai prosentase terhadap Produk Domestik Bruto (Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina atau bahkan Vietnam).

Sementara itu, untuk menarik kontribusi dana riset dari dunia usaha diperlukan insentif fiskal dan non fiskal. Dari pengalaman pribadi sewaktu masih bertugas membantu Menristek/Kepala BPPT dan sebagai anggota Dewan Riset Nasional, dari berbagai forum diskusi lintas sektoral, terdapat kesan bahwa para penentu kebijakan di sektor keuangan memandang riset (penelitian dan pengembangan) seolah-olah sebagai expenditure dan bukan sebagai investasi. Insentif fiskal dalam bentuk pengurangan pajak perusahaan (tax deduction) atau dalam bentuk kredit pajak dipandang sebagai ”revenue foregone” sehingga bila insentif tersebut diberikan, maka dalam jangka pendek harus ada kepastian pengembalian pendapatan pajak yang berkurang melalui komersialisasi hasil riset (income generating) guna memastikan pemasukan pajak. Oleh karena itu implementasi sinergi A-B-G selain memerlukan kualitas hasil riset yang prospektif, juga memerlukan jaminan reformasi sistem perpajakan, khususnya tentang pemberian insentif fiskal (pengurangan pajak) bagi perusahaan yang mengalokasikan dana riset untuk pengembangan produk sendiri ataupun sebagai hibah dana riset untuk universitas. Selain insentif fiskal sebagai daya tarik bagi dunia usaha untuk berkontribusi dalam alokasi dana/riset, diperlukan pula skema pembiayaan pengembangan hasil riset menjadi ”proven prototype” menggunakan ”modal ventura” (Venture Capital).

14

Dukungan dana riset melalui skema insentif fiskal (pengurangan pajak) dan non-fiskal (kemudahan proses administratif) atau kredit pajak (pengurangan pajak perusahaan farmasi yang lebih besar dari norma umum untuk mendorong pengembangan obat-obat bagi penyakit yang prevalensinya sangat rendah, namun tetap dibutuhkan pasien tertentu, misalnya penyakit Thalasemia) serta modal ventura merupakan sistem insentif yang lazim diberlakukan di negara industri maju. Berdasarkan fakta di lapangan, peraturan perundang-undangan tentang modal ventura yang efektif mutlak diperlukan sebagai komponen regulasi dalam sistem pendanaan riset, mengingat alokasi dana riset dari APBN relatif terbatas. Apabila upaya-upaya tersebut tidak dilaksanakan secara konkrit,sistematis, sinergis dan terpadu, maka kita ibarat melakukan treadmill (lari ditempat dengan energi penuh, tetapi tidak menambah kemajuan jarak tempuh!). Selamat berkarya putra-putri Airlangga! Semoga ilustrasi singkat ini ada manfaatnya.

15

.........................................

Manajemen Farmasi Untuk Peningkatan Kinerja Farmasis di KomunitasDrs. Soerjono Seto, MM, Apt.

Ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa berkembang, dan demikianlah

seharusnya peran sarjana farmasi apoteker, baik di komunitas maupun tempat pekerjaan lain.

Sebagaimana telah kita ketahui, pendidikan yang diselenggarakan di Fakultas

Farmasi Universitas Airlangga memberikan peluang lulusannya untuk bekerja pada

sektor industri, rumah sakit dan komunitas (ump. apotek). Adalah kabar yang

menggembirakan bahwa mereka yang bekerja pada sektor industri farmasi mampu

menunjukkan kinerja intelektual dan ketrampilan yang dapat bersaing dengan

lulusan perguruan tinggi lainnya. Jadi keprihatinan selama ini bahwa lulusan dari

Surabaya adalah “jago kandang” tidaklah beralasan.

Selanjutnya bagaimana dengan mereka yang berkiprah di sektor

komunitas, seperti apotek, puskesmas, sebagai pejabat struktural /fungsional di

dinas kesehatan kota dan dinas kesehatan propinsi? Jawaban atas pertanyaan ini

mungkin adalah: belum sesuai dengan harapan.

Berbagai teori yang dikemukakan menyebutkan tentang peran sarjana farmasi

apoteker sebagai decision maker bagi pemilihan jenis, takaran, aturan pemakaian

obat yang perlu digunakan untuk tujuan kesehatan. Jadi, harapannya, mereka

mampu melaksanakan tanggung jawab yang tidak kalah pentingnya dengan profesi

kesehatan lain, seperti dokter dan perawat. Sayang, harapan itu masih belum

terwujud.

Terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab seorang farmasis

belum dapat berperan optimal di sektor farmasi komunitas, yaitu (i) peraturan

perundang-undangan yang belum sepenuhnya memihak kepada profesi apoteker,

(ii) pelaksanaan dan pengendalian peraturan yang belum dilakukan secara tegas, (iii)

performa institusi pendidikan, (iv) kemampuan individual, yaitu yang berkaitan

16

dengan pribadi. Ke semua faktor tersebut saling berkaitan dan harus senantiasa berkedudukan sama kuat dalam pengertian selaras, serasi dan seimbang.

Peraturan yang berlaku menyebutkan bahwa apotek adalah tempat

pengabdian profesi seorang apoteker. Artinya, disitulah seorang apoteker dapat

melakukan aktivitas profesinya secara total sebagaimana harapan pemerintah dan

masyarakat. Pengalaman di lapangan membuktikan, bahwa hanya apoteker yang

memiliki dan mengelola apotekya sendiri akan mampu mengekspresikan

kompetensi dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dapat dipahami apabila pelaksanannya tidaklah mudah , terutama bila dikaitkan

dengan kebutuhan investasi modal dalam jumlah besar untuk mendirikan sebuah

apotek. Oleh karena itu keluarlah Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 yang

mengatur, bahwa apotek dapat didirikan oleh seorang pemilik sarana apotek (PSA)

yang selanjutnya memerlukan seorang apoteker pengelola apotek (APA) untuk

menjalankannya.

Berbagai pengalaman pada implementasi peraturan itu menunjukkan, bahwa

harmonisasi PSA dan APA masih belum terjadi, dimana penyebab utama adalah

sudut pandang bisnis yang selalu ada di dalam benak setiap PSA. Namun, saya berpandangan bahwa APA dapat meyakinkan PSA tentang

kemampuannya mendongkrak pendapatan dan keuntungan apotek. Caranya adalah melalui penguasaan manajemen farmasi secara umum. Artinya, seorang apoteker harus senantiasa sadar menjaga tertib administrasi karena ia bertanggung jawab atas pengelolaan obat sebagai komoditas yang bernilai mahal. Ia harus memahami dan mampu melakukan pengarsipan, pencatatan dan pelaporan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku, seperti laporan keuangan, perpajakan, serta laporan lain yang dikehendaki.

Hal itulah yang mengilhami saya untuk menerbitkan berbagai buku tentang Pharmacy Management, dimana diuraikan berbagai hal yang perlu dipahami seorang apoteker pengelola dan atau pemilik apotik, seperti accounting, logistic management dan inventory control, planning dimana requirement,forecasting termasuk di dalamnya, budgeting, procurement, storage, distribution (institution & patient) dan controlling. Secara logika, pemahaman seorang apoteker tentang manajemen farmasi diperlukan untuk mendukung perannya dalam berkomunikasi dengan masyarakat secara profesional. Melalui langkah itu, maka saya merasa pasti setiap APA akan mampu menjaga, mempertahankan dan meningkatkan sustainabilitas apotik. Ini karena pasien puas terhadap pelayanan yang diterima, termasuk pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi, serta ketersediaan obat dengan kualitas yang prima dan harga yang pantas.

Jadi, melalui pemahaman tentang manajemen farmasi, maka terjawablah keraguan akan kesanggupan seorang apoteker dalam mengelola administrasi dan

17

pembukuan apotek saat PP No. 25 tahun 1980 diberlakukan sampai dengan PP No.51 tahun 2009. Melalui buku pertama tentang akuntansi apotik pada tahun 1983 sampai dengan buku Manajemen Farmasi,untuk Apotek –Farmasi Rumah Sakit- Pedagang Besar Farmasi- Industri Farmasi tahun 2012, saya telah menyampaikan semua informasi yang perlu dikuasai seorang apoteker di sebuah apotek khususnya dan ditempat lain pada umumnya. Penguasaan itu dipastikan akan meningkatkan kemampuan manajerial apoteker di apotek. Dengan cara ini, maka PSA sudah tidak perlu lagi terlibat dalam penentuan harga obat, rekrutmen karyawan dan kebijakan-2 lain yang berhubungan dengan apotek. Akan lebih baik lagi kalau ada peraturan perapotikan yang mengatur peran PSA agar tidak mencampuri operasional sebuah apotek. Tentu saja semua itu harus berlangsung di dalam suasana dimana fungsi pengawasan dan pengendalian dengan sanksi yang tegas berjalan dengan baik. Fungsi pengawasan harus melibatkan organisasi profesi yang mendampingi institusi resmi, seperti Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan Kota.Semoga para apoteker muda sebagai generasi penerus akan mampu berjuang guna meningkatkan peran profesi kita.

18

.........................................

Pengalaman Pengabdian Profesi Melalui Usaha ApotekDra. Setyarini

Dalam hingar-bingar persoalan politik di Indonesia, pertumbuhan ekonomi seolah

tak terpengaruh. Hal itu terlihat melalui pertumbuhan yang berada diatas 6 persen, dan ini adalah prestasi yang cukup menggembirakan di tengah situasi krisis ekonomi dunia. Konon pertumbuhan ini ditunjang oleh kekuatan pengusaha kelas kecil dan menengah. Mungkin kekuatan ini merupakan pengaruh dari terjadinya perubahan nilai dalam masyarakat, dimana masyarakat mulai memberikan value yang positif pada dunia usaha. Banyak fenomena yang dapat menunjukkan hal ini, misalnya menjamurnya institusi pendidikan yang mengkhususkan pada pendidikan bisnis/kewirausahaan, dan meningkatnya jumlah generasi muda yang sukses dalam mengembangkan usaha.

Bidang usaha apotek menunjukkan perubahan dan perkembangan yang cukup dinamis, antara lain yang dapat dilihat melalui kemunculan apotek jaringan dari luar dan dalam negeri. Fenomena itu tentu sangat menggembirakan bagi saya sebagai seorang pengusaha apotek. Perkembangan demi perkembangan harus diikuti dan diantisipasi secara cermat, sebab tanpa upaya itu, maka mungkin akan timbul kesulitan dan bahkan kemunduran.

Pada saat ini, usaha apotek saya boleh dikatakan cukup solid, karena merupakan jaringan beberapa apotek. Sistem itu memungkinkan dilangsungkannya sinergi pada pengadaan obat maupun sumber daya manusia nya. Namun, persaingan sekarang cukup berat dan perlu upaya secara terus menerus untuk tetap eksis. Keadaan itu berbeda dengan saat saya memulai mendirikan apotek yang pertama pada tahun 1992, yaitu ketika deregulasi apotek baru saja diberlakukan, sehingga jumlah apotek tidak terlalu banyak. Diperkirakan terdapat lebih kurang 21 apotek di seluruh Kota Gresik, dimana sekarang sudah mencapai lebih dari 100 dan di komplek perumahan saya saja ada lebih dari sepuluh apotek.

Usaha apotek bermula saat saya telah berumah tangga dengan suami yang bekerja sebagai karyawan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Secara

19

ekonomi sebenarnya kehidupan kami telah mencukupi, tetapi hal itu tetap tidak mematikan keinginan saya untuk mengamalkan ilmu yang telah saya peroleh dari bangku kuliah. Sebenarnya sebelum mendirikan apotek sendiri, saya telah bekerja sebagai apoteker pengelola apotek selama dua tahun. Namun karena banyak keinginan yang tidak dapat saya laksanakan, timbul keinginan untuk membuat apotek sendiri, dimana saya dapat melaksanakan ide-ide secara lebih bebas.Tentu saja pada waktu awal banyak kendala, terutama keterbatasan modal dan lokasi. Beruntung suami mendukung niat saya tersebut, sehingga kami berdua akhirnya mendapat kontrakan lokasi di dekat rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gresik. Jangan dibayangkan keadaan apotek waktu itu seperti sekarang, karena kondisinya serba minimalis, baik stok obat, sumber daya manusia, tanpa bantuan asisten apoteker. Tempat usaha yang kami pakai bekas toko peracangan. Satu-satunya sumber daya manusia hanya lah saya seorang diri, sementara toko tidak mengalami perubahan sedikit pun. Perjuangan menjadi cukup berat, karena pihak pedagang besar farmasi hanya mampu datang ke apotek satu minggu sekali, mengingat Gresik dianggap terletak di luar kota. Hal itu menyebabkan saya harus mengambil obat sendiri ke Surabaya melewati kemacetan jalan Gresik – Surabaya selama berjam-jam karena belum ada jalan tol. Stok obat pun belum banyak karena modal yang terbatas, padahal saya berharap pasien yang datang selalu mendapatkan obat. Apabila saya tidak mempunyai obat, maka saya nempilkan ( UP ) ke apotek lain, dan antarkan sendiri kerumah pasien. Pada awal beroperasi, keadaan ini sering terjadi, dimana jarak apotek dari rumah pasien bisa lebih dari 10 kilometer, tetapi saya kirim tanpa tambahan ongkos. Walaupun begitu, masa itu saya jalani dengan penuh gairah tanpa kenal lelah, dan hal itu terjadi mungkin karena passion yang kuat. Jadi kata kunci yang utama bagi saya adalah passion.

Berbekal modal yang minim kala itu, jelaslah saya tidak mampu mempekerjakan karyawan, dan apotek harus saya tunggui sendiri. Namun keadaan itu merupakan hal yang positif bagi saya, karena saya bisa berinteraksi dengan pasien secara langsung sehingga hubungan pribadi dengan mereka pun terjalin. Dan, ternyata pasien sangat senang mendapat penjelasan tentang obat yang mereka beli. Bahkan tak jarang beberapa dari mereka tidak hanya berkonsultasi mengenai obat, tetapi juga masalah pribadi lain, misalnya problem rumah tangga.

Melalui perjalanan pengalaman itu, saya sadar bahwa knowledge memegang peran yang sangat penting. Karena memang sudah menjadi passion saya, maka pasien saya layani dengan “hati”, yaitu dengan membayangkan seolah pasien adalah keluarga sendiri. Saya bersyukur, karena seiring dengan berjalannya waktu, jumlah pelanggan semakin bertambah. Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah, bahwa masyarakat sangat membutuhkan dan merasa senang jika apoteker mau terjun langsung melayani masyarakat.

20

Perkembangan apotek ternyata memerlukan penambahan jumlah tenaga asisten apoteker dan lulusan sekolah lanjutan atas yang membantu pekerjaan apoteker. Peningkatan jumlah karjawan menimbulkan permasalahan baru yang cukup kompleks dan sulit, terutama yang timbul karena persoalan attitude.

Dari hasil keuntungan Apotek dan tabungan keluarga, saya akhirnya mampu membeli tanah yang harganya relatif murah dan terletak di dekat lokasi apotek pertama. Di atas tanah berukuran 8 x 18 m itu kami dapat membangun sebuah apotek milik sendiri.

Demikianlah waktu berjalan terus, dan ketika apotek benar-benar ramai, saya berpikir untuk melakukan pengembangan. Suami dan saya memutuskan menunda pengeluaran yang bertujuan menikmati hasil usaha. Uang tabungan dari laba usaha dan gaji suami diinvestasikan untuk membeli lokasi baru untuk pengembangan, dan akhirnya sekarang saya mempunyai enam apotek dalam satu jaringan. Saya benar-benar memperoleh pengalaman berharga melalui sebuah usaha keluarga, yaitu pentingnya kesamaan visi keluarga. Adalah tidak mungkin sebuah usaha keluarga dapat berjalan dengan baik jika terjadi perbedaan visi dalam keluarga.

Persaingan semakin ketat yang disertai peraturan regional dan nasional yang terus berubah, menimbulkan dampak positif dan negatif bagi apotek saya. Beberapa kebijakan di rumah sakit yang baru diberlakukan cukup membuat kelabakan, seperti kebijakan satu pintu dan pelayanan asuransi kesehatan. Kebijakan satu pintu mengatur resep obat dari rumah sakit yang tidak dapat dibeli di apotik lain, kecuali jika rumah sakit tidak mempunyai obat. Pada mulanya pelayanan asuransi kesehatan untuk rawat jalan dan inap semuanya saya yang melayani menyebabkan apotek saya harus merekrut tenaga kerja dalam jumlah banyak.,seiring dgn bertambahnya wkt jumlah peserta makin banyak, namun tiba-tiba pelayanan itu diambil alih pihak rumah sakit, dan tentu menyebabkan penurunan pendapatan apotek, sementara saya harus mengeluarkan biaya gaji karyawan. Kekhawatiran utama adalah karena beberapa dari mereka menggantungkan nafkah hidupnya pada apotek, sehingga harus ada jalan keluar. Akhirnya saya berhasil menemukan beberapa jalan keluar yang dapat meningkatkan kembali pendapatan apotek, yaitu dengan menjual perlengkapan dan kebutuhan bayi dan anak. Ide itu datang melalui pengamatan terhadap perilaku konsumen yang berdiam di kawasan perumahan, yang selalu membawa anak mereka saat berkunjung di apotek yang berada di perumahan itu. Karena respons yang baik, maka saya pun membeli lagi sebuah lokasi yang berada di depan apotek. Omzet yang melonjak memungkinkan saya sekarang mampu mempersiapkan pembukaan toko yang ke dua.

Usaha lain yang saya kembangkan adalah café dan toko buku. Ini juga merupakan langkah untuk meningkatkan pendapatan. Ide nya datang melalui pengamatan terhadap pasien yang harus menanti dalam waktu cukup lama saat

21

pengerjaan obat racikan. Kegelisahan dan kejenuhan para pasien saya coba atasi melalui penyediaan café dan toko buku, yang akhirnya sudah menjadi bisnis mandiri setelah melampau serangkaian kesulitan.

Perjalanan malang melintang dalam dunia usaha yang saya tempuh selama ini benar-benar tanpa didasari ilmu pengetahuan dari sekolah, sehingga seolah-olah meraba dalam kegelapan. Oleh karena itu pengetahuan kewirausahaan yang diperoleh mahasiswa Fakultas Farmasi saat ini merupakan modal dasar yang terutama bermanfaat dalam menyiapkan pendirian apotek. Tentu saja mereka masih memerlukan penyempurnaan melalui pengalaman di lapangan.

Hal penting lain adalah perlunya pendidikan berkelanjutan dan berbagai seminar yang untuk memperbaharui keilmuan apoteker, mengingat kebanyakan mereka sudah “jauh” dari kehidupan kampus. Updating keilmuan perlu untuk meningkatkan rasa percaya diri apoteker dalam menjalankan profesi mereka.

Program ke depan berkaitan dengan usaha saya adalah konsolidasi kedalam untuk membenahi sistem yang saat ini saya rasakan masih jauh dari memadai. Salah satu usaha yang saya tempuh adalah merekrut programer komputer untuk menyempurnakan program lama buatan suami saya. Penyempurnaan program itu perlu dilakukan sebagai bagian dari penataan sistem untuk memudahkan para penerus usaha. Saya berharap para generasi penerus tahan menghadapi gelombang persaingan yang semakin dahsyat. Dan yang paling saya harapkan adalah agar usaha ini tidak hanya bermanfaat bagi pemilik usaha, tetapi juga bagi kesejahteraan karyawan, dan kepuasan masyarakat.

22

.........................................

Aplikasi Bioteknologi untuk Industri Farmasi di Indonesia.(Prospek, kendala, mimpi dan harapan)Prof. Dr. Gunawan Indrayanto, Apt.

Menurut laporan OECD tahun 2011 (http://dx.doi.org/10.1787/9789264126633-

en) industri yang berbasis bioteknologi akan mempunyai peranan sangat vital dalam pengembangan ekonomi dunia di abad ke 21 ini. Jadi pada abad ini aplikasi bioteknologi yang eko-efisien akan banyak dipakai pada berbagai sektor industri, misalnya untuk produksi, prosesing bahan kimia (termasuk juga bahan baku obat dan obat jadi) dan energi.

Seperti diketahui, bioteknologi mengaplikasikan kemampuan luar biasa dari sel/jaringan hidup dan enzim yang terkandung didalamnya. Teknologi pada sistim hidup ini dapat dimanfaatkan untuk pelbagai sektor industri dari bahan obat, makanan, tekstil, kertas, elektronik, energi dan lain sebagainya. Keuntungan utama dari aplikasi proses biologis adalah sangat ramah lingkungan, tidak memerlukan temperatur dan tekanan tinggi, input energy minimal dan emisi gas rendah (lower green house emission). Industri yang memakai bioteknologi dapat digolongan jadi lima, yaitu: red biotechnology (obat2an, diagnostik), green biotechnology (non drug molecular farming, biomass, bio-pestisida), white biotechnology (proses industri, remidiasi, energi), GEPT technology (genomic, proteomic and enabling technology) dan multicore technology (campuran dari teknologi yang telah disebutkan). Dari ke lima jenis industri bioteknologi tersebut, ternyata pangsa pasar red biotechnology relatif merupakan pangsa paling besar dibandingkan yang lain. Secara umum red biotechnology dapat didefiniskan sebagai produksi bahan farmasi aktip dengan menggunakan proses bioteknologi, termasuk teknologi rekayasa genetika. (http:ebpf-uae.com/pdf/3rd-Speaker-Mr-Jay-Kim-Bioindustry.pd; GAIN report IT 1224, 2012, USDA foreign agriculture service)Ruang lingkup red biotechnology meliputi antara lain produksi antibiotika, transformasi stereo-spesifik, produksi metabolit sekunder dan vaksin dari (sel)

Rtanaman, produksi insulin, eritropoitin, monoklonal antibodi. Menurut EropaBio pada tahun 2014, 50 % dari top drugs berasal dari produk bioteknologi; pada saat ini

23

hampir 650 obat baru bioteknologi sedang diuji untuk 100 macam penyakit. Melalui kemajuan ilmu genetika yang sangat pesat diharapkan pada masa mendatang obat dapat diarahkan sangat spesifik untuk individu pasien masing masing, sehingga akan

Rada “tailor made medicine for the right patient and the right time”. EropaBio meramalkan, pada tahun 2015 pengembangan obat baru akan relatip sangat banyak berdasarkan studi bioteknologi.

Industri bioteknologi obat2an (red biotechnology) dapat dikelompokan menjadi: (GAIN report IT 1224, 2012, USDA foreign agriculture service):

1. Therapeutic: pengembangan obat dan cara terapi yang lain seperti terapi gen dan terapi sel

2. Vaccines: pembuatan vaksin3. Drug delivery: optimasi absorpsi dan distribusi obat target reseptor spesifik

(liposom, antibody,adavance materials etc.)4. Molecular diagnostic by DNA or RNA5. Drug discovery: pengembangan obat baru dengan sintetik biologi, kultur

jaringan.

Secara umum, jenis obat yang diproduksi secara bioteknologi pada saat ini meliputi bio-pharmaceutics, therapeutic protein, pharmaceuticals, dan chiral compounds. Bio-pharmaceutics adalah golongan obat yang diproduksi secara bioteknologi modern (rekayasa genetika, protein engineering, teknologi hibridoma), asam n u k l e a t ( u n t u k t e r a p i g e n d a n a n t i s e n s e t e c h n o l o g i ) d a n diagnostics.(http:www.europabio.org/sites/.../elmar-shcnee-benefits-of-red-biotech.pdf ). Contoh beberapa obat bioteknologi yang sudah ada dipasar untuk terapi penyakit kronis misalnya insulin (diabetes), eritropoitin (anemia), interferon (multiple skelerosis) dan banyak lainnya. Taxol, obat anti kanker yang ditemukan pada tahun 1967 dari tanaman Taxus breviola membutuhkan 1200 kg kulit batang untuk menghasilkan 10 g taxol murni. Untuk itu Phyton Biotech Inc pada tahun 2005 dapat memproduksi taxol dengan metoda bioteknologi tanaman (pangsa pasar 2-3 M USD). (bel.kaist.ac.kr/extfiles/lecture/.../Commercialization%20by%20biotech.ppt). Shikonin, ginseng, berberina juga sekarang diproduksi secara komersial dengan menggunakan teknologi kultur jaringan.

Menurut IMAP's Pharma & Biotech Global Industrial Report tahun 2011, terdapat 5 negara yaitu USA, Germany, India, China dan Brazil yang sangat maju dalam industri obat berdasarkan bioteknologi.(www.imap.com/imap/.../IMAP_PharmaReport_8_272B8752E0FB3.pdf) Dilaporkan bahwa industri farmasi di Indonesia yang mengaplikasikan bioteknologi masih sangat tertinggal dibanding negara-negara lain. Riset aplikasi bioteknologi untuk obat-obatan yang ada hanya dilakukan pada beberapa perguruan tinggi besar,

24

dan inipun masih bersifat riset laboratoris, belum sampai ke produk komersial. Hampir 90 % bahan baku untuk industri farmasi di Indonesia masih diimport dari luar negeri (http://nationalgeographic.co.id/berita/2011/12/industri-farmasi-indonesia-masih-tertinggal). Karena itu mudah dipahami, bahwa industri farmasi di Indonesia sangat tergantung dari bahan baku obat dari luar negeri, dan harga obat di Indonesia sangat tergantung pula pada nilai tukar mata uang rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika.

Mengapa dapat demikian? Sangat ironis bukan? Kekayaan alam dan diversitas biota Indonesia adalah paling besar di dunia setelah Brazilia! Jadi sebetulnya Indonesia sangat kaya raya akan bahan alam, yang merupakan sumber dari bahan obat. Flora, fauna, mikroba (termasuk endofit) yang ada di hutan, tanah, sungai maupun lautan di Indonesia merupakan sumber atau dapat dikatakan “pabrik” bahan kimia alam yang “tidak terhingga” nilainya. Menurut seorang peneliti, yang laboratoriumnya berada dipedalaman Kalimantan, ada ribuan bahkan puluhan ribu tanaman di hutan Kalimantan yang belum tersentuh, dalam arti kata belum diteliti kandungan kimia bahan alam yang terkandung didalamnya. Diversitas genetik dan enzim-enzim yang terkandung didalam biota di alam Indonesia juga pasti menyimpan kemampuan yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jadi bila riset bioteknologi dan riset lainnya dapat “berkembang dengan baik”, pastilah industri di Indonesia dapat menjadi salah satu top pada abad 21 ini. Semuanya tentunya pasti dapat dimanfatkan untuk kesejahteraan negara dan bangsa. Indonesia sangat kaya, sayang mungkin banyak dari kita “tidak tahu” kalau kita kaya raya!

Kita semua mengetahui bahwa hampir semua industri farmasi di Indonesia “hanya merakit” obat tetapi “tidak”membuat (bahan baku) obat, produknya sebagian besar merupakan “me too drugs”, hampir semua industri farmasi mengharapkan “profit yang instan”, industri “enggan” untuk mengivestasikan dana untuk pengembangan obat yang “betul-2” baru. Dengan kata lain dana penelitian di industri farmasi “sangat minim”. Yang banyak dilakukan adalah “riset (=?)” untuk mengembangkan formula dari obat yang sudah dipasarkan, pengembangan metoda analisa dan validasinya, dan studi stabilitas, but nothing more! Sepengetahuan saya,mungkin hanya beberapa saja (=sangat minim) indutri farmasi di Indonesia yang melaksanakan riset “betulan”.

Mengapa juga riset di Perguruan tinggi (PT) di Indonesia “idem”, yaitu sangat jarang menghasilkan temuan obat baru yang dapat dikomersialkan oleh industri farmasi nasional, baik obat yang berbasis bioteknologi maupun tidak? Jawabannya mungkin juga “sangat mudah dan klasik” yaitu: dana penelitian di PT di Indonesia sangat minim, peralatan tidak memadai, sulitnya (juga mahal) memperoleh bahan kimia/reagen, dan ini “sangat diperparah” dengan adanya sifat “egosentris dari peneliti” di universitas, fakultas bahkan tingkat departemen. Sudah bukan menjadi rahasia umum, kolaborasi riset inter- maupun intra- universitas,

25

fakultas, bahkan departemen di Indonesia “sangat minimal”. Semua peneliti berjalan secara sendiri- sendiri dengan egosentris masing-masing. Dengan kata lain, koordinasi dan kolaborasi inter- dan intra-universitas di Indonesia sangat minimal. “Jika” seandainya ada kolaborasi intensif antar universitas dan/atau universitas dan industri, atau “jika” ada kolaborasi intensif antar fakultas, atau “jika” ada kolaborasi intensif antar peneliti dan “banyak jika-jika” yang lain, mungkin cerita diatas akan “berbeda” atau “sangat berbeda”. Rasanya dana penelitian dapat dengan mudah diperoleh apabila “jika-jika” tadi dapat terlaksana.Akankah mimpi indah yaitu “jika-2” benar akan dapat terjadi suatu waktu kelak nanti?“Is it possible that my dreams come true some day”? Semua ini tentunya tergantung pada kita semua sebagai akademisi. Kita juga tahu para profesional di industri, banyak yang mantan anak didik kita semua. Mungkinkah para profesional di industri dapat melakukan “jika-jika” tadi, jika kita sebagai pendidik belum memberikan contoh yang baik, yaitu masih bersifat egosentris dan tidak mau berkolaborasi? Semoga ini menjadi renungan kita semua. Semoga our (= my) dreams comes true some day in the future!

Akan sangat mudah melaksanakan “jika-jika” di atas bila para pengambil keputusan di tingkat kementrian, direktorat jendral terkait, universitas, fakultas, lembaga penelitian, departemen dapat melakukan koordinasi kongkrit di tingkat masing-masing, sehingga koloborasi dapat berjalan dengan baik. Perguruan tinggi diharapkan mempunyai RIP (Rencana Induk Penelitian) yang tergantung track record masing-masing, dan semua kegiatan penelitian mulai dari skripsi, tesis, disertasi dan penelitian dosen harus dapat mendukung RIP tersebut. Jadi akan ada banyak segitiga-segitiga penelitian,dimana guru besar, post doctoral, mahasiswa peserta program doktor, S2 dan S1 dapat saling bekerja sama. Diatas para guru besar, tentunya para wakil rektor 1, wakil dekan 1, pimpinan lembaga penelitian perlu menyelenggarakan fungsi koordinasi secara menyeluruh. Itulah juga yang menjadi impian saya sejak menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas Tuebingen, Tuebingen, Jerman Tahun 1983 dan kembali ke Indonesia (karena mereka semua di negara maju melaksanakan seperti yang saya impikan tadi sejak puluhan tahun yang lalu).

Viva Fakultas Farmasi Universitas Airlangga!

26

.........................................

Aspek Mutu dan Keamanan Obat, Makanan dan KosmetikaProf. Dr. rer. Nat. H.M. Yuwono, MS., Apt.

Quality is never an accident; it is always the result of intelligent effort. Itulah kata John Ruskin, seorang penulis dan kritikus berbangsa Inggris di awal abad XX.

Mutu yang tinggi memang sama sekali bukan karena kebetulan, melainkan tercapai melalui sebuah usaha yang cerdas, terencana dan sungguh-sungguh serta berkelanjutan. Mutu memang menjadi aspek utama yang melekat pada suatu obyek, apakah itu produk, layanan, proses, organisasi, institusi atau juga manusia. Mutu merupakan karakteristik yang perlu selalu dan harus diperhatikan pada apa saja, di mana saja, oleh siapa saja dan pada saat kapan saja.

Bagi setiap produk dan jasa, mutu diyakini merupakan aspek penting, baik bagi produsen atau pemberi jasa, maupun lebih-lebih bagi konsumen. Tetapi mutu ini menjadi aspek yang sangat penting dan istimewa manakala mutu produk dan layanan tersebut bersinggungan dengan obat, makanan dan kosmetika, karena mutu sediaan farmasi ini berkaitan langsung dengan mutu kehidupan dan kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Disamping itu, mutu tidak dapat dilepaskan dari aspek keamanan selain aspek khasiat atau manfaat. Oleh karena itu, terminologi Quality, Efficacy and Safety sangat mendasar dan diyakini sudah masuk ke dalam jiwa kita sebagai farmasis.

Di negara-negara yang sudah maju, mutu dan keamanan obat, makanan dan kosmetika dalam praktiknya telah dirancang dan dimanifestaikan ke dalam sediaan/produk. Kesadaran mutu telah dimulai pada tahap awal, yaitu sejak dimunculkannya gagasan konsep produk, yang kemudian dilanjutkan melalui tahap pengembangan dan produksi sampai distribusi produk kepada konsumen. Berbagai standar mutu telah diberlakukan dan pelaksanaannya telah diawasi secara ketat. Jika ada penyimpangan atau pelanggaran, sanksi atau hukuman memang dilaksanakan secara konsekuen. Ketika mengikuti studi doktoral di Jerman, saya juga menyempatkan waktu untuk

27

mengamati mutu serta mempelajari budaya dan perilaku sehari-hari orang dan masyarakat di sana. Terkait dengan sediaan farmasi, saya mengamati bagaimana produk makanan, obat dan kosmetika diproduksi dan diperjual-belikan, bagaimana perilaku konsumen dalam memilih produk tersebut, bagaimana komitmen Pemerintah, dan bagaimana standar mutu diterapkan secara ketat di sana. Suatu ketika saya ingin mengetahui fasilitas dan kebersihan dapur kantin mahasiswa di universitas yang di Jerman dikenal dengan sebutan “Mensa”. Berbeda dengan kantin mahasiswa di Indonesia, Mensa dapat melayani dan menampung ratusan hingga ribuan mahasiswa sekaligus. Biasanya yang makan di situ tidak hanya mahasiswa, melainkan para dosen, pegawai bahkan tamu-tamu universitas. Pelayanan relatif cepat karena pada saat itu saja sudah menggunakan sistem magnet card, antri secara teratur dan telah disediakan beberapa menu pilihan setiap harinya. Saya mengamati bahwa para mahasiswa program S1, S2 dan S3 seringkali duduk dalam satu meja besar bersama para dosen dan pegawai, dimana mereka berinteraksi dengan baik. Dari sini saja kita dapat menyaksikan bahwa hubungan mahasiswa, pegawai dan dosen diberi sarana agar berlangsung sedemikian akrab. Pada umumnya mereka melakukan istirahat pada waktu bersamaan antara fakultas satu dan lainnya, sehingga kantin merupakan suatu media interaksi yang baik.

Sekembali dari Jerman, saya pernah berangan-angan bahwa Universitas Airlangga memiliki kantin dengan kapasitas besar. Waktu istirahat di kampus bisa ditetapkan pada jam yang sama, sehingga mahasiswa beristirahat dan makan siang bersama. Apalagi, akan lebih baik kalau sebagian waktu tersebut digunakan untuk melakukan ibadah sholat berjamaah yang melibatkan civitas akademika berbagai fakultas. Harapannya, suasana kampus lebih terasa dinamis sembari lebih memupuk semangat persatuan dan kesatuan civitas akademika.

Bagaimana dengan mutu makanan yang disediakan di Mensa? Suatu ketika saya mengajukan ijin kepada pimpinan pengelola Mensa untuk diberi kesempatan mengunjungi dapur mereka agar dapat mengetahui fasilitas peralatan dan kebersihannya. Saya sangat kagum, karena dapur Mensa sudah dilengkapi dengan peralatan yang serba stainless steel dan sangat bersih. Para juru masak mengenakan seragam laiknya koki di hotel berbintang. Dari fakta itu kita menjadi yakin, bahwa makanan bagi mahasiswa telah disediakan dengan memperhatikan aspek mutu. Hal itu sudah barang tentu menjadi faktor pendukung utama bagi penyiapan mahasiswa menjadi generasi masa depan. Ini senada dengan pepatah Jerman yang berbunyi: Essen und Trinken hält Leib und Seele zusammen, yang artinya makanan dan minuman berkaitan sangat erat dengan jasmani dan rohani. Mutu makanan dan minuman sangat penting, mungkin laksana pentingnya mutu bahan bakar mobil bagi “kesehatan” mesin mobil dan jiwa penumpangnya.

Jika melihat kondisi tersebut dibandingkan dengan kantin di tempat kita, maka fakta yang didapat akan berbeda seratus delapan puluh derajat. Oleh karena itu, sudah saatnya diberikan perhatian yang serius terkait persyaratan mutu kantin di sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi. Audit terhadap kebersihan dan mutu

28

Audit tersebut akan menjauhkan siswa dan mahasiswa dari makanan dan jajanan kurang bermutu karena mengandung bahan kimia berbahaya, serta cemaran mikroba yang membahayakan kesehatan.

Pengalaman lain yang saya peroleh dari Jerman adalah, saat terlibat pada kegiatan pameran dan gelar makanan khas Indonesia dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-50. Di luar dugaan kami, ternyata penyediaan makanan yang dijual kepada publik harus melalui perijinan tertentu, melalui suatu tes dan audit oleh pihak yang berwewenang. Itu berarti, bahwa komitmen penyediaan makanan yang bermutu benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah setempat. Bentuk pengawasan seperti itu menurut saya sangat baik untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang menimpa masyarakat sebagai konsumen. Jelas di sini pencegahan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan lebih baik daripada kita semua baru heboh dan panik setelah kejadian tersebut menimpa masyarakat banyak.

Selama di Jerman, saya pun pernah membaca sebuah majalah karya mahasiswa yang memuat evaluasi mutu dan harga makanan yang beredar. Konsumen dapat membaca daftar dan peringkat mutu berbagai produk yang beredar di pasaran. Melalui evaluasi itu dapat diketahui, bahwa produk yang murah tidak selamanya bermutu rendah hanya karena dijual di supermarket kelas lebih rendah.

Standar kebersihan dan sanitasi juga dipenuhi oleh penjaja makanan di pinggir jalan di Jerman, dimana produksi dan penyajinan umumnya memenuhi persyaratan higienis. Demikian pula dengan pedagang buah dan sayur di pinggir jalan. Mereka memiliki budaya bersih, dan ternyata rata-rata mengendarai mobil mewah, dan hal itu menandakan tingkatan profesi ini yang sederajat dan terpenuhinya kesejahteraan hidup yang memadai. Masalah yang harus dicarikan solusi bersama, bagaimana budaya mutu itu juga dapat ditiru oleh pedagang kaki lima (PKL) dan Usaha berskala mikro di tempat kita?

Dalam bidang obat, negara-negara maju sejak awal telah berkomitmen untuk menyediakan obat yang memenuhi standar quality, efficacy and safety. Komitmen mereka itu secara mudah dapat dilihat antara lain melalui Farmakope yang diterbitkan setiap negara. Volume pertama USP terbit pada tahun 1820, sementara Inggris, Perancis dan Jerman menerbitkan pertama kali berturut-turut pada tahun 1864, 1837 dan 1872. Farmakope Jepang terbit pertama kali pada tahun 1874.Masalah jaminan mutu merupakan kunci penting dalam produksi dan penyediaan obat, makanan dan kosmetika. Perencanaan dan pelaksanaan penjaminan mutu mencerminkan sikap pencegahan terhadap terjadinya kesalahan sedini mungkin oleh setiap personil di dalam dan di luar bagian produksi. Area yang diawasi meliputi semua aspek pada produk dan kondisi penanganan, pengolahan, pengemasan, distribusi dan penyimpanan.Berdasarkan monografi yang diuraikan di Farmakope, terhadap bahan dan sediaan

29

obat dilakukan serangkaian pengujian kualitatif (identification), kemurnian (drug purity), kadar atau kekuatan secara kuantitatif (drug assay), serta persyaratan-persyaratan lain seperti kecepatan melarut (dissolution) dan keseragaman kandungan (content uniformity). Para produsen obat diarahkan untuk memenuhi standar cara pembuatan obat yang baik (GMP) dan standar-standar lain yang untuk memenuhi persyaratan mutu tersebut. Demikian pula halnya dengan produsen makanan yang dituntut untuk memenuhi standar cara pembuatan makanan yang baik dan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point).

Standar-standar tersebut saat ini sudah diterapkan di negeri kita. Hanya saja topik yang perlu mendapatkan perhatian lebih serius bukan hanya sekadar pemenuhan persyaratan disolusi dan rentang kadar sesuai spesifikasi, tetapi perlu diarahkan kepada ketidakmurnian (impurities), senyawa sejenis (related substances) atau produk hasil degradasi (degradants). Bahan obat saat ini dapat diperoleh dari berbagai sumber atau berbagai negara yang menawarkan perbedaan harga yang relatif signifikan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa bahan-bahan obat tertentu memang memenuhi syarat dalam hal kadar, tetapi mengandung cemaran yang membahayakan kesehatan. Perhatian terhadap persyaratan cemaran yang berupa isomer, khususnya enantiomer, perlu diberikan secara lebih serius. Tujuannya untuk menghindari efek yang tidak diinginkan dari obat akibat perbedaan struktur molekul. Kasus bayi lahir cacat akibat Thalidomide pada tahun 1960-an perlu dijadikan pelajaran untuk ini, dimana Thalidomide aktif adalah dalam bentuk S, namun yang beredar adalah campuran bentuk R dan S (rasemat). Bentuk S berkhasiat untuk mengatasi morning sickness pada ibu hamil, sedangkan bentuk R memiliki efek teratogenik. Peristiwa yang terjadi di Pakistan baru-baru ini menewaskan sekitar 60 orang peminum obat batuk. Mereka meminum obat batuk yang mengandung dextromethorphan dalam takaran dosis berlebihan dengan tujuan mencapai keadaan “fly”.Ternyata hasil investigasi menunjukkan, bahwa sediaan obat batuk tersebut terkontaminasi levomethorphan. Levomethorphan merupakan enantiomer dari dextromethorphan yang memiliki efek analgesik narkotik yang cukup kuat.Sebenarnya obat batuk tersebut sudah biasa disalahgunakan oleh para korban, namun selama itu belum teramati efek yang fatal. Melalui hasil investigasi terhadap produsen obat batuk diketahui, bahwa kasus tersebut terjadi setelah produsen merubah supplier tempat perolehan bahan dextromethorphan dari suatu tempat ke tempat lain di India.

Mutu obat sebenarnya memang terkait dengan harga obat. Untuk dapat melakukan penjaminan mutu yang baik, industri farmasi harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pengendalian mutu harus dilakukan sejak bahan awal datang sampai obat selesai dikemas dan dipasarkan. Uji kualitatif dan kuantitatif terkait kemurnian dan kadar obat bukan hal yang murah dan mudah. Salah satu contoh adalah obat atau suplemen yang mengandung berbagai vitamin dan

30

mineral.Terkandung berbagai jenis vitamin, yaitu yang larut dalam air (Vitamin B komplek dan vitamin C) dan larut dalam lemak (Vitamin A, D, E dan K). Hal yang menyulitkan adalah ternyata diantara berbagai vitamin dan mineral tersebut saling berinteraksi satu sama lain dan berada dalam matrik sampel yang rumit. Kadar vitamin C sangat tinggi, sementara vitamin lainnya relatif rendah dan bahkan sangat rendah, misalnya Vitamin B12. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi farmasis yang bekerja di bagian Analytical Development.

Identifikasi cemaran enantiomer (bentuk R dan S) bukan pekerjaan sepele dan murah, karena bentuk R dan S memiliki sifat fisika dan kimia yang sama, tetapi efek dan khasiat yang berbeda. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC) memang dapat memisahkan dua senyawa isomer tersebut, tetapi perlu memakai fase diam kolom yang mengandung Chiral selector, yang harganya jelas tidak murah. Belum lagi baku pembanding yang diperlukan umumnya tidak tersedia di dalam negeri sehingga sulit diperoleh dan harganya sangat mahal. Ini memang sebuah problema, dimana pada satu sisi Pemerintah Indonesia menginginkan harga obat yang murah dengan mutu tidak murahan, tetapi di sisi lain industri obat semakin sulit mengembangkan penjaminan mutu karena kendala besarnya biaya.Saya termasuk salah seorang yang tidak setuju jika harga obat selamanya harus murah. Harga obat harus berbeda dengan harga produk lainnya, karena di dalamnya ada sentuhan Farmasis sehingga terkandung muatan mutu, khasiat dan kemanan. Sistem asuransi yang semakin baik akhir-akhir ini diharapkan menjadi salah satu alternatif mengatasi masalah ini.

Perhatian yang seksama mestinya juga kita arahkan kepada para pengusaha mikro/kecil produk makanan, obat tradisional dan kosmetika. Mereka ini bukan berskala industri. Bagaimana mutu dan keamanan produk mereka? Sudahkah kita pernah menengok fasilitas, kebersihan dan sanitasi di lingkungan produksi mereka? Semoga kita tidak takjub! Pada saat ini telah beredar berbagai jenis produk karya pengusaha mikro/kecil yang secara sengaja atau tidak mencampurkan berbagai bahan kimia berbahaya. Ada di antara mereka yang berpikiran “kreatif dan inovatif” dengan menggunakan cara-cara yang kurang atau tidak wajar dari sisi kefarmasian. Permasalahannya adalah, bagaimana pembinaan dan penjaminan mutunya? Apakah ini hanya dibebankan kepada tugas Dinas Kesehatan saja? Hal ini mengingat kenyataan, bahwa praktek semacam itu juga menyangkut aspek mental. Pihak BPOM dan Dinkes tampaknya masih merasa kewalahan dan belum mampu sepenuhnya menjangkau pengawasan peredaran produk yang tidak memenuhi persyaratan tersebut karena jumlahnya yang tidak sedikit. Peran akademisi dan paraksi Farmasi dalam hal ini sangat diharapkan. Mutu produk obat, makanan dan kosmetika untuk konsumsi dalam negeri seringkali berbeda dengan produk untuk ekspor. Ironisnya, produsen akan mematuhi semua

31

ketentuan yang ditetapkan ketika membuat produk yang akan diekspor ke luar negeri, dan mengabaikan ketentuan itu saat membuat produk yang hanya akan dilemparkan ke pasaran dalam negeri saja.

Era globalisasi dewasa ini telah menjangkau berbagai aspek kehidupan, yang ditandai melalui persaingan yang makin tajam, dimana bisnis produk farmasi termasuk salah satu bagiannya. Perusahaan yang dahulu hanya bersaing pada tingkat lokal atau regional, kini harus pula bersaing dengan perusahaan lain dari seluruh dunia. Dampak ini juga sangat dirasakan oleh para pengusaha skala industri, usaha mikro dan usaha kecil. Dalam hal ini, pengawasan memegang peran yang sangat strategis. Mengingat sediaan farmasi yang beredar demikian banyak, yang tersedia dalam berbagai bentuk sediaan yang beragam, dengan kandungan bahan aktif tunggal atau campuran, dengan kemurnian dan stabilitas yang berbeda-berbeda, maka pengawasan merupakan aspek yang senantiasa “challenging”. Pemerintah mestinya memberikan komitmen yang jauh lebih tinggi untuk ini. Sarana, peralatan dan SDM Laboratorium Pengujian di Badan POM sebagai pengawas harus benar-benar memenuhi standar laboratorium pengawasan dengan memperhatikan tantangan yang selalu muncul. Pengembangan dan validasi metode analisis yang diperlukan dalam pengujian juga memegang peran yang sangat penting, yang hal ini mestinya ditopang oleh instrumen yang lengkap dan membutuhkan kualifikasi SDM yang tinggi. Jika kemampuan kita dalam hal ini belum memadai, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa negeri kita menjadi sasaran empuk masuknya produk-produk asing yang kurang bertanggungjawab. Berkaitan dengan ini, yang perlu mendapat perhatian berlebih adalah pengawasan obat palsu dan produk yang diedarkan secara on-line yang semakin marak akhir-akhir ini.

Dalam situasi mutu dan keamanan obat, makanan dan kosmetika seperti sekarang ini, peran dan sumbangsih farmasis secara terpadu dan berkelanjutan sangat dinantikan. Semoga ini menjadi salah satu faktor yang dapat lebih mendongkrak peran dan eksistensi farmasis di Indonesia. Jika dibandingkan dengan situasi di Jerman, masyarakat di sana memberikan penghargaan yang tinggi terhadap profesi apoteker. Pada saat di Jerman, saya sering dipanggil masyarakat dengan sebutan Herr Apotheker (Herr = Tuan atau Mr). Demikian pula ketika saya memperkenalkan diri sebagai seorang apoteker dengan memakai bahasa Jerman “Hochdeutsch”, maka mereka secara spontan dan antusias banyak mengajukan berbagai pertanyaan tentang pemakaian obat, karena para farmasis di sana adalah orang yang dianggap paling kompeten tentang obat. Sikap ingin tahu tentang informasi obat itu mengingatkan saya pada kata bijak yang berbunyi: “Quality questions create a quality life. Successful people ask better questions, and as a result, they get better answers.” Semoga perjuangan kita di bidang kefarmasian pada akhirnya akan lebih mengangkat harkat dan martabat profesi kita. Vivat Farmasi Airlangga!

32

Aplikasi Kimia Medisinal Untuk Perancangan Obat Yang AmanProf. Dr. Siswandono, MS., Apt.

Kimia medisinal adalah disiplin ilmu berbasis kimia, yang melibatkan aspek-aspek

biologis, medis dan ilmu kefarmasian. Melalui ilmu tersebut dipelajari berbagai hal yang berkaitan dengan penemuan, desain, identifikasi dan sintesis senyawa biologis aktif, studi metabolisme, interpretasi mekanisme aksi obat pada tingkat molekuler, dan studi hubungan struktur-aktivitas (IUPAC, 1998).Adapun ruang lingkup bidang kimia medisinal adalah:1. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif dalam tanaman yang secara empirik telah

digunakan untuk pengobatan.2. Sintesis struktur analog dari bentuk dasar senyawa yang mempunyai aktivitas

pengobatan potensial.3. Mencari senyawa induk baru, yang berasal dari hasil sintesis maupun dari

bahan alam. 4. Menghubungkan struktur kimia obat dengan mekanisme aksinya pada tingkat

molekuler.5. Mengembangkan rancangan obat yang rasional.6. Mengembangkan hubungan struktur kimia dan aktivitas biologis melalui sifat

kimia fisika dengan bantuan statistik.Rancangan obat merupakan bagian dari Ilmu Kimia Medisinal, yaitu usaha

untuk mengembangkan obat yang telah ada, yang sudah diketahui struktur molekul dan aktivitas biologisnya, atas dasar penalaran yang sistematik dan rasional, dengan mengurangi faktor coba-coba seminimal mungkin. Rancangan obat merupakan langkah pertama dalam pengembangan obat, dimana tujuannya adalah untuk mendapatkan obat baru dengan aktivitas yang lebih baik, dengan biaya yang layak secara ekonomi, efek samping yang minimal (aman digunakan), bekerja lebih selektif, masa kerja yang lebih lama, dan meningkatkan kenyamanan pemakaian obat.

Kimia Medisinal merupakan mata kuliah wajib pada Pendidikan Tinggi Farmasi, dan salah satu mata kuliah spesifik yang hanya diajarkan di Fakultas Farmasi

33

Bagi seorang farmasis, kimia medisinal mempunyai beberapa kegunaan. Pertama, untuk memberikan penjelasan tentang obat pada sejawat kesehatan lain, ditinjau dari hubungan perubahan struktur, sifat kimia fisika dan aktivitas/toksisitas/stabilitas dari serangkaian turunan obat, tinjauan molekuler (3D) proses interaksi obat dengan reseptornya, dan untuk memilih obat terbaik dari suatu turunan senyawa.Kedua, untuk penelitian pengembangan obat, yaitu merancang obat baru dengan aktivitas yang lebih baik, dengan biaya yang layak secara ekonomi, untuk mendapatkan obat dengan efek samping yang minimal (aman digunakan), bekerja lebih selektif, masa kerja yang lebih lama, dan meningkatkan kenyamanan pemakaian obat. Ketiga, menjelaskan sifat obat dan memprediksi sifat kimia fisika, aktivitas, ADME (absorption, distribution, metabolism, excretion) dan toksisitas suatu senyawa obat dengan menggunakan bantuan program komputer.

Dalam menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan obat (KIE), seorang farmasis harus menonjolkan kemampuan keilmuan spesifik yang dimilikinya, yang tidak diberikan kepada sejawat kesehatan yang lain melalui pendidikan akademik, yaitu antara lain kimia medisinal, ilmu resep, farmakokinetik dan farmakoterapi. Apabila penjelasan tentang aktivitas, ADME dan toksisitas obat dilakukan melalui rangkuman keilmuan tersebut, maka seorang farmasis akan mampu memperlihatkan keunggulan terhadap penguasaan obat bila dibandingkan sejawat kesehatan yang lain.

Seorang farmasis memahami tentang sifat obat yang bagaikan pisau bermata dua, atau madu dan racun. Yaitu, pemberian dalam dosis tepat dapat menyembuhkan penyakit, dosis yang kurang menjadi tidak bermanfaat, dan dosis berlebih menimbulkan keracunan. Filosofi inilah yang harus dipegang oleh seorang apoteker dalam menjalankan praktek profesinya.

Seorang sarjana farmasi apoteker harus mampu berperan sebagai mitra dokter, untuk yaitu memberikan saran atau koreksi pada keadaan dimana terjadi kesalahan penulisan dosis dalam resep, atau terjadinya interaksi kimia atau fisik dalam campuran obat.

Dosis adalah “kata kunci” dalam praktek profesi apoteker, karena pasien yang berbeda pasti membutuhkan dosis obat yang berbeda pula. Dosis bagi pasien bayi, anak, dewasa dan lanjut usia pasti tidak sama. Demikian pula mereka dengan berat badan dan jenis penyakit yang berbeda. Selain itu, ketepatan pemilihan obat untuk jenis penyakit tertentu sangat menentukan kesembuhan pasien. Untuk itu lah diperlukannya pemahaman seorang apoteker tentang mekanisme kerja obat pada reseptornya masing-masing pada tingkat molekuler. Dengan alasan itulah maka mata kuliah yang mendukung peran tersebut perlu diberikan dalam jumlah jam pembelajaran yang cukup agar lulusan sarjana siap melaksanakan pekerjaan profesinya segera setelah menyelesaikan pendidikan.

34

Selain itu, pengenalan tentang obat harus dilakukan sejak awal perkuliahan. Berbagai teori yang diberikan melalui semua mata kuliah harus berujung pada obat. Mengingat banyaknya jenis dan macam obat, maka harus ada pembatasan dalam pemilihan golongan dan jenis obat pada proses pembelajaran, yaitu disesuaikan dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), atau Formularium Obat di Rumah Sakit tipe C atau B.

Diterbitkannya Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, akan menyebabkan terjadinya perubahan mendasar dari profesi apoteker untuk memenuhi kebutuhan masa depan. Peraturan itu mengatur pemberian jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia oleh BPJS , dengan one stop services system. Artinya apotek, praktek dokter, dan laboratorium klinik harus berada dalam satu manajemen pengelolaan dalam rangka melayani kebutuhan kesehatan masyarakat. Apoteker turut berperan dalam jaminan kesehatan tersebut untuk melakukan pelayanan kefarmasian. Dalam hal ini, apoteker yang dibutuhkan adalah yang siap pakai dan siap bekerja di apotek. Keadaan itu tentu akan mengubah sistem pendidikan farmasi menjadi lebih profesional dan terfokus, yaitu melalui penyesuaian kurikulum pendidikan tinggi farmasi. Pendidikan S1 dan Apoteker harus terintegrasi, saling mendukung, tidak terkotak-kotak untuk memastikan dihasilkannya sarjana farmasi apoteker dengan kompetensi yang memadai. Hal ini selaras dengan perkembangan pendidikan tinggi farmasi di dunia yang mengarah pada pendidikan farmasis yang profesional, tanpa mengabaikan pengembangan ilmu kefarmasian. Oleh karena itu Fakultas Farmasi Universitas Airlangga seyogyanya berbenah dan berani melakukan terobosan untuk membagi pendidikan tinggi farmasi menjadi dua minat yang terpisah, yaitu minat profesi dengan masa studi 4-6 tahun, dan minat akademik berupa pendidikan strata 1 Ilmu Farmasi selama 4 tahun yang condong pada pengembangan bahan alam dan teknologi farmasi. Ganjalan yang terjadi saat ini adalah peraturan perundangan yang menyatakan bahwa industri farmasi harus mempekerjakan seorang apoteker yang memimpin bagian produksi dan kontrol kualitas. Untuk itu harus ada pendekatan pada Departemen Kesehatan Republik Indonesia untuk mengubah peraturan, atau menambah masa pendidikan sarjana strata 1 minat akademik sebanyak 1- 2 tahun untuk menghasilkan lulusan yang bergelar Apoteker Industri.

Fakultas Farmasi Universitas Airlangga harus berani mengambil langkah itu bila ingin menjadi trend setter pendidikan farmasi di Indonesia. Perubahan kurikulum harus segera dilakukan dan diberlakukan, karena pada tahun 2019 semua penduduk Indonesia sudah tersantuni oleh BPJS, sehingga lulusan pendidikan tinggi farmasi pada tahun tersebut harus benar-benar “siap kerja”.Selain itu, Ikatan ApotekerIndonesia (IAI) juga harus berbenah diri dengan menyempurnakan standar kompetensi apoteker, kode etik apoteker beserta penjabarannya. Komite Farmasi Nasional (KFN) harus dapat berfungsi seperti Konsil

35

Kedokteran Indonesia, dalam mempersiapkan uji kompetensi, dan pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang mendukung.

Untuk mencapai hal di atas diperlukan kerja sama yang erat antara Organisasi Profesi (IAI), Pendidikan Tinggi Farmasi melalui Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia APTFI), Pemerintah (Departemen Kesehatan, Binfar, KFN) dan pihak swasta melalui gabungan pengusaha farmasi(GP Farmasi) beserta organ-organ di bawahnya.Kalau hal-hal di atas dapat dilaksanakan dengan konsekuen, insya Allah profesi Apoteker akan maju dan berkembang sesuai dengan keadaan zaman, dan menjadi profesi yang dihargai di masyarakat.

36

.........................................

Indonesia Bebas Narkoba…., Bersama Kita Wujudkan!!!Kuswardani, SSi, M.Farm, Apt

Keprihatinan melanda kehidupan masyarakat Indonesia manakala kita

menyinggung mengenai masalah narkoba. Media massa tidak henti-hentinya

memuat pemberitaan tentang tumbuh suburnya mafia narkoba, yang melibatkan

jaringan dari negara lain, seperti negara di kawasan Benua Afrika, Malaysia, Timur

Tengah khususnya Iran, Hong Kong, Golden Tri-Angle dan Golden Peacock. Badan

Narkotika Nasional, Kepolisian Republik Indonesia, dan Imigrasi (bea cukai) bahkan

berhasil mengungkap jaringan Iran-Hong Kong-Malaysia-Indonesia. Yang paling

mengkhawatirkan adalah terungkapnya bisnis narkoba yang dilakukan oleh ayah

dan ibu dalam sebuah keluarga yang melibatkan anak-anak mereka. Tidak

terbayangkan masa depan macam apa yang menyongsong mereka, terutama anak

muda yang dilahirkan dari keluarga dengan kehidupan berlatar belakang narkoba.

Keuntungan yang menggiurkan melalui bisnis narkoba itu rupanya dengan mudah

dan cepat dapat menutup pintu rasio sistem saraf pusat, akal dan hati para pelaku

bisnis. Mereka tidak peduli akan kerusakan kesehatan fisik dan mental yang akan

melemahkan, menghancurkan dan memusnahkan sumber daya manusia Indonesia.

Sejak awal tahun 2007, masalah narkoba menjadi erat dengan tanggung

jawab saya, yaitu sejak bertugas pada Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai

Kepala Sub Bidang (Kasubbid) Laboratorium Uji Narkoba Pusat Terapi dan

Rehabilitasi Narkoba BNN. Tugas tersebut berawal dari pekerjaan yang saya terima

sebagai seorang perwira kesehatan selepas lulus apoteker pada tahun 1996 di Dinas

Kedokteran dan Kepolisian Polda Metro Jaya. Pekerjaan lapangan yang bertanggung

jawab mendukung kesehatan di lapangan semasa reformasi itu telah

mendewasakan cara berpikir, bersikap, bertindak dan memberikan pelayanan

langsung kepada petugas Polri serta masyarakat di lapangan. Peningkatan performa

kerja itu telah menghantarkan saya menjadi perwira kesehatan dalam bidang

37

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian sarana prasarana serta materiil kesehatan

lainnya sejajaran Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dari tahun 1999

hingga 2007.

Pada tahun pertama sejak penugasan di BNN itu, fokus pekerjaan yang saya

garap adalah system pelayanan laboratorium dan upaya pengembangan organisasi

sub bidang laboratorium uji narkoba menjadi sebuah satuan kerja tersendiri, yaitu

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Uji Narkoba BNN. Terbentuknya Satuan

Kerja tersendiri bertujuan untuk mengurangi birokrasi dalam upaya peningkatan

pelayanan. Saat ini sedang dilakukan telaah lebih lanjut untuk penguatan organisasi

bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dalam membangun dan

memperkuat laboratorium kewilayahan/daerah. Peran laboratorium adalah

mendekatkan jangkauan pelayanan pengujian sampel kasus penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkoba di wilayah dan daerah seluruh Indonesia.

UPT Laboratorium Uji Narkoba BNN dirancang untuk dapat memberikan

pelayanan prima pada pengujian sampel-sampel kasus penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor narkotika, zat adiktif dan

derivatnya. Diharapkan, UPT kelak menjadi pusat rujukan, pengembangan dan

penelitian bidang laboratorium uji narkoba.

Peredaran narkoba di Indonesia

Faktor utama yang memicu peningkatan kasus penyalahgunaan narkoba di

Indonesia adalah tingginya angka kekambuhan (relaps) dikalangan pecandu narkoba

meskipun sudah menjalani rehabilitasi. Angka relaps ini sangat dipengaruhi

lingkungan pasca rehabilitasi. Sementara di sisi lain, bisnis peredaran gelap narkoba

merupakan bisnis yang menggiurkan.

Faktor lain yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah rendahnya tingkat

kewaspadaan (awareness) masyarakat terhadap lingkungan dari bahaya peredaran

gelap dan penyalahgunaan narkoba.

Mengingat tingginya ancaman narkoba yang dapat menghancurkan

generasi, maka perlu dilakukan pendekatan yang tepat dalam penanganannya.

Pendekatan tersebut baru akan berhasil bila kita memahami dua pilar penting pada

pencegahan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba yang

harus berjalan beriringan, yaitu Demand reduction dan Supply Reduction.

Demand reduction merupakan program pengurangan kebutuhan, di mana para

pecandu/penyalahguna “wajib” dirangkul untuk menjalani terapi-rehabilitasi hingga

sembuh dan dijauhkan dari lingkungan lamanya melalui pendampingan. Mereka

perlu diberi akses aktualisasi diri dalam bentuk pemberian pekerjaan, ketrampilan,

38

dan lain sebagainya, sehingga menekan angka kekambuhan. Dalam kerangka

penyembuhan pecandu dan korban penyalahguna narkoba ini, Undang-Undang No.

35/2009 dan Peraturan Pemerintah No. 25/2011 telah mengatur “Wajib Lapor”.

Kewajiban itu merupakan upaya untuk “menjangkau” anggota masyarakat dan

menjauhkan pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba selama proses

penyembuhan. Institusi pelaksana wajib lapor yang telah ditunjuk Menteri

Kesehatan Republik Indonesia adalah rumah sakit dan puskesmas, serta panti

rehabilitasi sosial yang ditunjuk Menteri Sosial Republik Indonesia. Pecandu dan

korban penyalahgunaan narkoba yang lapor diri/dilaporkan keluarga atau wali, akan

direhabilitasi di institusi yang sudah ditetapkan tersebut, dan “bebas dari tuntutan

pidana” penyalahgunaan narkoba.

Supply reduction merupakan program pemberantasan para sindikat pengedar

narkotika yaitu, melalui membangun kesamaan visi-misi (cara pandang) aparat

penegak hukum dalam peradilan penjahat sindikat dan pengedar narkotika dengan

memberikan hukuman berat dan eksekusi yang cepat.

Sarjana farmasi-apoteker adalah profesi yang perlu memainkan peran

penting dalam pencegahan, penyalahgunaan dan pemberantan peredaran gelap

narkoba (P4GN). Mereka sudah didasari berbagai keilmuan, yaitu antara lain

farmakologi, kimia farmasi, kimia medisinal dan QSAR. Bekal keilmuan itu diperlukan

sebagai titik dasar untuk memahami pengembangan senyawa narkoba yang

berkaitan erat dengan QSAR dan farmakologi senyawa.

Peran komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) sarjana farmasi-apoteker pada lini

terdepan, yaitu farmasi komunitas, diperlukan dalam upaya pencegahan terhadap

masyarakat, serta menghindarkan diri/seseorang dari penjualan obat yang

mengandung prekursor narkotika dalam skala besar, misalnya efedrin dan obat flu.

Sedangkan pada kegiatan terapi rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan

narkoba, sarjana farmasi-apoteker dapat berperan dalam monitoring dosis dan efek

samping selama terapi.

Agar dapat menjalankan misi tersebut, maka lulusan pendidikan S1 Ilmu Farmasi

perlu diberi pengetahuan dasar tentang narkoba secara komprehensif, baik dari

aspek kimia-fisika, farmakologi, dan pengetahuan perundang-undangan. Keilmuan

itu diperlukan guna memahami sediaan obat golongan narkotika, psikotropika dan

zat adiktif (zat berbahaya) lainnya secara utuh, sehingga dapat memunculkan sikap

“awareness”. Kewaspadaan tersebut diperlukan, antara lain dalam mengantisipasi

penemuan psikostimulan yang baru berupa derivate/turunan dari yang telah ada

maupun sintesis zat baru.

Melalui pendekatan peran tersebut, maka saya ingin mengajak para sarjana

39

farmasi apoteker untuk menghindarkan para remaja dari penyalahgunaan,

peredaran, dan pengaruh buruk narkotika melalui “campaign” dan dukungan

partisipasi aktif remaja dalam kegiatan anti narkoba, serta pembekalan

pengetahuan tentang narkoba dan bahayanya.

Lakukan sekarang juga, karena keterlambatan aksi kampanye hanya akan

menggiring kita kepada kehancuran karena kerusakan generasi. Marilah kita

wujudkan Indonesia bebas narkoba.

40

.........................................

Mempertahankan Eksistensi Jamu di Negeri SendiriProf. Dr. H. Sutarjadi, Apt.

Jamu adalah ramuan obat tradisional yang sudah menyatu dalam kehidupan

masyarakat Jawa sejak berabad lamanya. Sedemikian kuatnya pengaruh jamu, sehingga setiap anggota keluarga akan memanfaatkannya untuk berbagai gejala gangguan kesehatan. Khasiat ramuan yang dibuat dari campuran berbagai macam bahan alam, yaitu tumbuhan, hewan dan mineral, itu diperoleh secara empiris.

Secara naluriah, orang akan bergegas mencari bahan alam yang mudah didapat disekeliling tempat tinggal mereka setiap kali tubuh merasakan gangguan kesehatan, seperti sakit perut, sakit kepala, gangguan saluran napas, demam, sakit pada persendian. Bila berhasil, maka pengalaman itu akan ditularkan kepada orang lain. Demikianlah yang terjadi, tanpa kesadaran bahwasanya seringkali gejala itu adalah sinyal yang diberikan oleh tubuh terhadap gangguan kesehatan yang lebih serius.

Pengalaman itu lah yang juga mewarnai kehidupan saya sejak kecil bersama ibu dan kakak kandung di Magetan, di Jawa Tengah. Dapur rumah kami dilengkapi dengan berbagai peralatan untuk menumbuk dan memipis bahan jamu, yang pasti digunakan ibu saat mengatasi gangguan kesehatan anak-anak nya. Berbagai bahan jamu dalam bentuk kering tersimpan di dalam kotak jamu, sementara minuman beras kencur dan cabe puyang sudah sangat erat di telinga kami. Selain membuat sendiri, berbagai macam ramuan jamu seringkali dibeli di sebuah pasar terdekat, termasuk ramuan untuk anggota keluarga sehabis melahirkan. Kebiasaan yang cukup berkesan adalah ketika ibu meminta saya sebagai anak terkecil untuk menyiram lima buah tanaman sirih yang tumbuh di halaman rumah. Daun sirih yang tumbuh sehat dan subur itu adalah media bersosialisasi yang sangat ampuh antara ibu dan teman-teman wanita nya, yaitu melalui kebiasaan yang terkenal dengan nama “nginang”. Khasiat daun itu untuk kesehatan adalah menghentikan pendarahan hidung (mimisan) dan mengatasi luka yang tidak dalam di kulit. Saya juga tahu bahwa getah pohon pisang dapat dipakai untuk mengobati luka baru.

Interaksi saya dengan bahan alam dan jamu semasa kecil itu tidaklah

41

menjadikan alasan utama bagi saya saat memilih Fakultas Farmasi sebagai tempat menimba ilmu. Maklum, karena pada masa perjuangan itu pengambilan keputusan harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk jarak tempuh antara rumah dan tempat bersekolah, biaya dan lain-lain. Namun, ketertarikan terhadap jamu ternyata tumbuh kembali ketika saya mendapatkan kepercayaan sebagai asisten pada Ilmu Botani Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada di Yogyakarta. Sejak saat itu, pengalaman dan pengetahuan tentang khasiat bahan alam yang mengendap di alam bawah sadar mulai muncul kembali ke permukaan. Selain itu, saya memang selalu mengagumi keberadaan berbagai macam tanaman yang tumbuh di berbagai tempat, misalnya pohon kina yang tumbuh di Kawasan Gunung Sindoro – Sumbing dan Kaliurang, Jawa Tengah.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta, saya melanjutkan pendidikan ke Kota Semarang untuk menyelesaikan pendidikan apoteker. Disini lah awal keterlibatan saya dengan dunia Ilmu Farmakognosi sebagai asisten. Memang saya menengarai bahwa dibandingkan dengan Obat Tradisional Cina, jamu belum dapat berkembang pesat. Besar dugaan, bahwa salah satu penyebabnya adalah keterkaitan antara jamu dengan istilah dukun sebagai pengobat, sementara dukun sendiri terdiri atas dukun pijat, dukun sangkal putung, dukun bayi, santet dan dukun tenung. Jadi, selain dukungan pengetahuan yang sangat sedikit, keengganan untuk mempertimbangkan pemakaian jamu bagi kesehatan erat berhubungan dengan adanya ilmu santet dan tenung.

Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Pokok Kesehatan No. 1 tahun 1960 tidak menggunakan istilah jamu, dan menggantinya dengan obat asli Indonesia. Demikian pula dengan istilah yang digunakan di dalam Undang-Undang Kefarmasian Tahun 1963. Perhatian pihak pemerintah baru terlihat lebih besar setelah diselenggarakannnya Seminar Nasional Penggalian Sumber Alam Indonesia tahun 1964 di Yogyakarta. Kemudian Departemen Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan berbagai buku tentang tanaman berkhasiat obat, seperti Materia Medika Indonesia, Pemanfaatan Tanaman Obat Indonesia, dan lain-lain. Selanjutnya pemerintah mulai memberikan dukungan pada pemakaian Obat Tradisional Indonesia dalam sistem kesehatan. Ini adalah fenomena yang menjanjikan bagi perkembangan jamu.

Sejak saat itu, istilah jamu mulai bergema di beberapa bagian dunia. Ketika ikut serta dalam sebuah Kongres Internasional Fitokimia di Swiss tahun 1963 , saya mendapatkan kesempatan untuk berceramah tentang Obat Tradisional Indonesia, berbagai penelitian obat tradisional Indonesia dan kemanfaatan kerjasama antara Universitas Airlangga dan Institut Farmakognosi dan Fitokimia Lausanne, Swiss. Salah satu pertanyaan yang saya terima pada waktu itu adalah apakah saya mempercayai khasiat jamu. Jawaban yang saya berikan didasarkan atas pengalaman

42

pemakaian ramuan jamu untuk mengatasi batu ginjal, dan ternyata batu berhasil keluar. Pengalaman lain adalah pemakaian minuman temulawak yang dapat menghilangkan rasa mual yang saya alami. Selain itu, ternyata dengan minum temulawak, saya mendapatkan efek samping, yaitu berupa hilangnya sariawan yang sebelumnya datang mengganggu secara rutin.

Berdasarkan berbagai pengalaman pemakaian secara empiris dan hasil penelitian yang sudah mulai berkembang, maka saya menjadi optimis bahwa jamu akan bertumbuh menjadi besar sebagai Obat Tradisional Indonesia, seperti halnya Obat Tradisional Cina. Keyakinan itu semakin kuat jika kita merenungkan bagaimana bangsa Indonesia dapat bertahan dari masa “pagebluk” sejak zaman kuno sampai masuknya tentara Belanda abad 16. Kemampuan bertahan dari serangan penyakit menular itu pasti berkat pemakaian obat berbahan alam, karena obat kimiawi memang belum tersedia, dan barulah masuk ke Indonesia segera setelah pendaratan orang Belanda.

Oleh karena itu, buanglah keraguan akan manfaat jamu dan tanaman obat. Ciptakan mekanisme komunikasi yang efektif dengan semua tenaga profesi kesehatan, terutama pendekatan dengan dokter. Melalui komunikasi yang baik, maka hasil penelitian akan dapat digunakan untuk memberikan landasan ilmiah bagi pemakaian jamu oleh profesi kesehatan, termasuk dokter. Generasi muda perlu berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan eksistensi jamu di negeri sendiri, seperti halnya di negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Selamat berjuang.

43

.........................................

Prospek Tanaman Obat Indonesia Sebagai Obat Kanker

Prof.Dr.Sukardiman, MS., Apt.

Sejarah penemuan dan perkembangan obat anti kanker dari tanaman

Penelitian dan penelusuran tanaman yang berkhasiat antikanker sudah dilakukan

sejak jaman dahulu. Skrining dan penapisan senyawa bioaktif antikanker dari tanaman telah banyak dikembangkan oleh National Cancer Institute (NCI) Amerika , mulai tahun 1960 – 1981, yang awalnya dilakukan secara acak terhadap berbagai tanaman. Melalui program Cancer Chemotheraphy National Science Center (NSC) Screening Program, telah berhasil dikumpulkan dan dilaksanakan skrining aktivitas antikanker dari 114.000 ekstrak yang berasal dari 35.000 jenis tanaman yang dikoleksi dari beberapa tempat.

Uji aktivitas antikanker ekstrak tanaman hingga akhir tahun 1980 dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan yang ditransplantasi dengan kanker leukemia P388 atau LH1210. Setelah tahun 1989 digunakan metode yang lebih rasional, yaitu dengan pendekatan ” disease-oriented screening”, yaitu uji secara in vitro terhadap sekitar 60 jenis biakan sel kanker manusia. Hasil skrining dan penapisan National Cancer Institute (NCI) selama kurang lebih 30 tahun itu hanya memperoleh paling tidak 3 senyawa molekul senyawa aktif antikanker yakni taxol yang berasal dari ekstrak kortek (kulit batang) Taxus brevifolia (Familia Taxaceae), senyawa alkaloid campothecine dari ekstrak kulit batang Campotheca acuminata (Familia Nyssaceae) dan podofilotoksin dari Podophyllum peltatum L (Familia Podophylaceae) yang menunjukkan sifat sitotoksik dan aktif pada beberapa jenis sel kanker pada uji kliniknya .

Penemuan senyawa bioaktif antikanker dari tanaman pada awal perkembangannya hanya dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni pendekatan eksplorasi tanaman secara acak, pendekatan etnobotani dan pendekatan kemotaksonomi. Pendekatan etnobotani didasarkan pada pengetahuan dan penggunaan secara empiris sebagai antikanker pada kelompok masyarakat tertentu,dan biasanya telah digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Pendekatan kemotaksonomi didasarkan pada teori yang menyebutkan, bahwa

44

tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan pada tingkat famili, genus atau spesies, diduga memiliki kandungan kimia yang sejenis dan diharapkan memiliki aktivitas yang sama pula. Contohnya adalah senyawa taxol yang pertama kali diisolasi dari Taxus brevifolia, namun saat ini sudah dapat diisolasi dari spesies Taxus yang lain seperti Taxus baccata, Taxus cuspida, Taxus chinensis, Taxus canadensis dan Taxus sumatrana dari daerah Pulau Sumatra. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi, fraksinasi dan isolasi senyawa bioaktif yang semua tahapan dipandu dengan uji aktivitas (bioassay) dan diteruskan dengan uji identitifikasi senyawa aktif untuk mendapatkan ” lead compound ”. Monitoring tersebut diharapkan dapat menjadi pelacak atau penuntun senyawa yang mempunyai aktivitas, sehingga kekeliruan dalam mengisolasi atau mengambil senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas anti kanker tersebut dapat dihindari. Data WHO-TRM (World Health Organisation Traditional Medicine Program ) juga menunjukkan terdapatnya lebih kurang 80% dari 122 senyawa yang berasal dari 94 spesies tanaman yang memiliki aktivitas yang identik dengan data etnobotani. Cara atau metode ini biasanya lamban dan memerlukan proses yang sangat panjang.

Seiring dengan perkembangan peran biologi molekuler dalam penemuan obat antikanker baru, maka diharapkan bukan hanya akan mampu mempersingkat waktu penemuan obat, akan tetapi juga mampu menjelaskan mekanisme aksinya. Dengan demikian, teori reseptor obat dan target molekul lain, seperti gen yang berperan dalam proses transformasi sel normal menjadi sel kanker, proliferasi sel kanker, kematian sel secara terprogram (apoptosis) , metastase kanker , dapat memberikan dampak yang luar biasa dalam dunia farmasi, sebab molekul tersebut dapat digunakan sebagai molekul target. Dengan metode ini diharapkan akan diperoleh senyawa antikanker yang mempunyai selektivitas lebih tinggi, dan akhirnya dapat membedakan sel normal dari sel kanker, dan ujung-ujungnya dapat meminimalisasi efek samping yang sering ditimbulkan oleh obat kemoterapi pada umumnya. Beberapa molekul target yang dapat digunakan untuk penemuan obat antikanker antara lain growth factor, growth factor receptor yang mempunyai domain tyrosine kinase , siklus sel, apoptosis, angiogenesis dan enzim DNA Topoisomerase. Target biologi ini dapat digunakan untuk penapisan senyawa baru secara besar-besaran dengan metode High Throughput Screening (HTS) dan teknologi combinatorial chemistry.

Potensi obat herbal Indonesia sebagai antikankerBeberapa tanaman obat herbal Indonesia yang secara empiris digunakan untuk pengobatan antikanker oleh masyarakat sebagai obat tradisional dan prospektif untuk dikembangkan menjadi bentuk sediaan obat herbal, seperti tersaji pada tabel 1.

45

NO Nama Daerah Nama Latin Kandungan Kimia

Bagian Tanaman yang digunakan

Tabel 1. Tanaman Obat Herbal yang Digunakan Sebagai Obat Antikanker oleh Masyarakat Indonesia ( Sukardiman, Pidato Guru Besar , Juni 2009)

46

Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Hal itu terbukti melalui adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan seseorang yang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. World Health Organization (WHO) merekomendasikan penggunaan obat tradisional, termasuk herbal, dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukkan dukungan WHO terhadap tren back to nature, yang dalam hal tertentu lebih menguntungkan dibandingkan pengobatan modern. Indonesia dikenal secara luas sebagai mega center keaneka ragaman hayati (biodiversity) yang terbesar di dunia, yang terdiri dari tumbuhan tropis dan biota laut. Di wilayah Indonesia terdapat sekitar 30.000 jenis tumbuhan dan 7.000 di antaranya ditengarai memiliki khasiat sebagai obat. Sekitar 90% tumbuhan obat di kawasan Asia, tumbuh di Indonesia. Kekayaan alam berupa tumbuhan obat ini belum dikelola dengan baik, termasuk budi daya, penelitian dan pemanfaatannya. Tumbuhan tertentu yang selama ini telah dieksploitasi tanpa dibarengi dengan budidaya, telah menjadi tumbuhan langka yang diprediksikan pada suatu saat akan mengalami kepunahan. Sementara itu, di negara-negara maju, biodiversity prospecting, yaitu upaya pencarian sumber daya hayati yang mempunyai potensi untuk masa depan, terus digiatkan, termasuk penelitian berbagai tumbuhan sebagai

47

sumber bahan obat. Upaya itu sejalan dengan himbauan dan permintaan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono, pada saat mengunjungi Kebun Riset Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Departemen Kesehatan di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, tanggal 8 Maret 2009. Presiden meminta agar penelitian dan pengembangan obat herbal Indonesia terus dilakukan, karena dapat memberikan sumbangsih bagi bangsa Indonesia dan dunia internasional yang ditargetkan akan mencapai swasembada bahan baku obat paling lambat tahun 2011.

Strategi Pengembangan Obat Herbal untuk Antikanker

Berbagai upaya untuk mewujudkan percepatan pengembangan tanaman obat asli Indonesia yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat herbal untuk antikanker yang potensial dan selektif perlu ditetapkan. Tujuannya adalah agar dapat diperoleh sediaan obat herbal terstandar maupun obat fitofarmaka yang memenuhi kualifikasi dan persyaratan yang berlaku dan akhirnya dapat digunakan dalam sistem pengobatan formal. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sistematis perlu dipertimbangkan, antara lain :

1. Perlunya menentukan tanaman unggulan nasional sebagai bahan baku obat antikanker, dengan usulan tanaman sambiloto, temu kunci, kunyit, lengkuas, lempuyang dan lidah ular sampai uji klinik. Hal itu juga sudah dicanangkan oleh Badan POM melalui kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi , yaitu menentukan sembilan tanaman obat unggulan nasional yakni : salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati belanda, temulawak, jambu biji, cabe jawa dan mengkudu. Dewan Riset Nasional dan KMNRT tahun 2009 melalui Program Insentifnya juga mencanangkan produk target unggulan dari bahan tanaman Indonesia yaitu temulawak, jahe, kencur, pegagan, dan sambiloto untuk penyakit metabolik degeneratif dan penyakit infeksi.

2. Bahan obat herbal untuk antikanker seyogyanya tidak digunakan dalam bentuk simplisia, namun dalam bentuk ekstrak. Dalam pandangan ilmu kefarmasian dan kedokteran, bentuk ekstrak dapat dijamin keajegan/konstannya kandungan kimia atau senyawa bioaktifnya. Metode standarisasi ekstrak yang terbaru adalah dengan analisis profil ”finger print” dengan menggunakan KLT –Densitometri, HPLC, FTIR, GC-MS maupun LC-MS . Ke depan juga harus mulai dikembangkan bentuk sediaan bahan obat herbal bukan hanya bentuk ekstrak, namun sudah dalam bentuk ekstrak terpurifikasi atau bentuk fraksi aktif yang dipandu dengan aktivitas antikanker, dengan tujuan untuk mendapatkan efek farmakologis yang lebih kuat dibanding bentuk sediaan ekstrak.

3. Formula obat herbal antikanker seharusnya dalam bentuk campuran atau kombinasi dari beberapa ekstrak atau fraksi aktif. Hal ini mengacu pada pendekatan

48

filosofis pengobatan Traditional Chinese Medicine (TCM) , yakni dalam susunan formula obat herbal TCM yang terdiri dari komponen-komponen yang memiliki fungsi dan khasiat yang saling mendukung ( sinergisme), atau saling mengurangi efek samping. Formula obat herbal TCM (Traditional Chinese Medicine) terdiri dari monarch drug yang berisi bahan aktif utama , ministery drug yang berisi bahan aktif pendukung dan adjuvant drug yang berisi bahan aktif yang dapat mengurangi efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh monarch dan ministery drug.

Contoh pengembangan produk obat herbal antikanker prostat di Amerika Serikat yang telah memasuki tahapan uji klinik, ternyata memiliki komposisi formula yang terdiri dari 8 ekstrak terstandar dari beberapa tanaman yang berasal dari Amerika Serikat dan Cina. Ekstrak terstandar tersebut secara mandiri atau terpisah juga telah terbukti memiliki aktivitas antikanker secara in vitro maupun in vivo.

Hal ini sesungguhnya selaras dengan formula jamu tradisional Indonesia yang selalu dibuat dalam bentuk campuran beberapa bahan obat herbal, seperti ramuan beras-kencur , kunyit-asem dan lain lain.

4. Perlunya pembuatan formula dan manufaktur sediaan obat bahan alam (dosage form) dengan pendekatan konsep DDS (drug delivery system), sehingga senyawa bioaktif dalam ekstrak harus dijamin akan dihantarkan menuju target terapi, yaitu dalam rancangan formulasi dan manufaktur dengan penambahan bahan pendukung yang mendukung tercapainya bioavailabilitas yang optimal dan tercapainya tujuan terapi. Ekstrak kering untuk tujuan manufaktur sediaan obat padat (tablet atau kapsul) sudah berbentuk dispersi solida yang didukung dengan penambahan bahan pengaturan “liberation” (pengatur pelepasan dan stabilisator), “absorption” (pengatur laju kelarutan dan pengatur absorpsi dll.). Untuk sediaan semi-solida dan sediaan solida dilakukan inovasi analogi yang sesuai dengan parameter farmasetik yang diperlukan.

5. Sebelum percobaan klinik wajib dilakukan percobaan pra-klinik, yaitu berbagai jenis uji bioaktivitas (farmakodinami dan farmakologi) dan uji keamanan (toksisitas). Selain pada tingkat hewan percobaan (in-vivo), pengujian pra-klinik dalam hal tertentu harus dilakukan pada tingkat seluler dan molekuler, sehingga data untuk jenis pengujian klinik sudah lengkap untuk memberikan prediksi tentang dosis, cara (jadwal) penggunaan, indikasi, kontra indikasi, toksisitas dan efek samping.

6. Pengujian manfaat terapi pada tingkat manusia (klinik) untuk sediaan fitofarmaka harus dilakukan sesuai dengan pedoman dan protokol standar yang dikeluarkan oleh pemerintah serta WHO, khusus untuk obat bahan alam. Tahapan uji klinik Phase-1, Phase-2 dan Phase-3 juga diberlakukan seperti obat modern, sehingga sediaan fitofarmaka mendapat jaminan safety dan efficacy selama penggunaan dimasyarakat. Melalui hasil percobaan klinik, diharapkan sediaan fitofarmaka mendapat dukungan dari profesi apoteker dan dokter untuk

49

penggunaannya dalam sistem layanan kesehatan informal dan formal untuk masyarakat.

7. Kerjasama penelitian dan pengembangan obat herbal untuk antikanker perlu terus ditingkatkan dengan memperkuat jalinan kerjasama dengan beberapa stakeholders, seperti jalur tridaya ABG (Academic, Business and Governance) yang mengatur kerjasama antara perguruan tinggi dengan sektor industri dan pemerintah. Kerjasama dengan Dinas Pertanian, bagian penelitian dan pengembangan dinas terkait dari Pemerintah Sementara itu, keberadaan lembaga penelitian seperti Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (Balittro) Bogor , Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu dan UPT (Unit Pelaksana Teknis) Materia Medika di Kota Batu, diperlukan bagi penyediaan bahan baku simplisia yang berkualitas, yaitu mempunyai kandungan aktif yang tinggi dan kadar yang ajeg. Kerjasama dengan dokter dan rumah sakit untuk melakukan uji klinik. Kerjasama yang harmonis perlu dilakukan dengan pihak industri farmasi dan organisasi profesi, seperti Kelompok Kerja Nasional Tanaman Obat Indonesia (Pokjanas TOI), dan Perhimpunan Peneliti Bahan Alami (Perhipba). Aliansi penelitian dan pengembangan antara industri obat herbal dan perguruan tinggi ini perlu dikembangkan dalam suasana yang saling menguntungkan. Di satu pihak industri akan dapat memproduksi dan memasarkan produk-produk unggulan hasil riset pada perguruan tinggi , sementara pihak perguruan tinggi memperoleh dana untuk melakukan riset unggulan yang bermanfaat bagi masyarakat.

.

50

.........................................

Peningkatan Angka Partisipasi Pria Pada Program Keluarga Berencana melaluiPemanfaatan Obat Bahan Alam IndonesiaProf. Dr. Bambang Prajogo E.W., MS., Apt.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada sensus penduduk tahun 2010,

jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 237.641.326 jiwa yang terdiri dari 50,17% pria dan 49,83% wanita. Sedangkan pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 206.264.595 jiwa. Dari data tersebut dapat dilihat adanya peningkatan jumlah penduduk yang signifikan.

Kenaikan jumlah penduduk ini perlu diwaspadai karena akan berdampak pada pembangunan. Pertumbuhan jumlah penduduk secara kuantitas tanpa disertai perimbangan kualitas manusia dan sempitnya lapangan kerja merupakan akar permasalahan kemiskinan. Kemiskinan membuat pendidikan dan keterampilan menjadi hal yang sulit diraih masyarakat. Tingkat pendidikan yang rendah, salah satunya akan berdampak pada banyaknya pernikahan di usia yang sangat muda, sehingga hal ini akan memperpanjang usia reproduksi dan berakibat pada banyaknya anak yang dilahirkan. Secara nasional, wanita berusia 10-59 tahun yang melahirkan 5-6 anak sebanyak 8,4% dan wanita pada usia yang sama melahirkan anak lebih dari 7 anak sebanyak 3,4%. Dengan demikian, panjangnya usia reproduksi wanita menyebabkan pentingnya pengaturan kehamilan.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengimbangi laju pertumbuhan jumlah penduduk, yaitu penambahan dan penciptaan lapangan kerja, meningkatkan kesadaran dan pendidikan penduduk, mengurangi kepadatan penduduk dengan program transmigrasi, serta meningkatkan produksi dan pencarian sumber makanan. Selain beberapa cara tersebut, dibutuhkan pula upaya untuk menekan pesatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk, yaitu dengan melaksanakan suatu program untuk membatasi jumlah angka kelahiran anak dalam satu keluarga dan juga menunda masa perkawinan agar dapat mengurangi jumlah angka kelahiran yang tinggi. Salah satu upaya untuk membatasi jumlah angka kelahiran anak dalam satu keluarga dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB) melalui penggalakan penggunaan alat kontrasepsi. Namun, keterlibatan pria dalam keluarga berencana, khususnya

51

dalam pengaturan jumlah anak selama ini masih dirasakan kurang. Program keluarga berencana selama ini masih memfokuskan kepada alat KB untuk wanita dan penekanan agar wanita bertanggung jawab atas jumlah keluarga yang diinginkan oleh pasangan tersebut. Keadaan itu menyebabkan tanggung jawab sebagian besar dibebankan kepada wanita yang pada akhirnya melenakan pria untuk ikut bertanggung jawab. Oleh karena itu sudah selayaknya bila pria ikut berperan dalam pengaturan kehamilan.

Pemanfaatan Bahan Alam Indonesia sebagai Obat KontrasepsiKontrasepsi berasal dari kata kontra yang berarti mencegah atau melawan, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dan sel sperma yang mengakibatkan kehamilan, Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur matang

dengan sel sperma tersebut(BKKBN, 2013) Penggunaan alat kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama pria dan

wanita sebagai pasangan suami istri, sehingga pemilihan metode kontrasepsi mencerminkan kebutuhan serta keinginan pasangan tersebut. Suami dan isteri harus saling mendukung dalam penggunaan metode kontrasepsi karena kontrasepsi dan kesehatan reproduksi bukan hanya urusan wanita atau pria saja. Di masa lalu, persoalan pengaturan kelahiran masih terfokus pada wanita, namun belakangan KB juga telah menjadi urusan pria.

Upaya peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB selama ini diukur melalui tingkat kesertaan pria dalam penggunaan alat kontrasepsi kondom dan metode operatif pria (MOP). Kondom adalah alat kontrasepsi dual protection yang mampu mencegah kehamilan di satu sisi dan mencegah penularan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS di sisi lainnya. Sementara itu, MOP sebagai vasektomi merupakan salah satu bentuk sterilisasi pada pria.

Upaya peningkatan partisipasi pria telah mendapat perhatian serius pemerintah sejak isu kesetaraan gender dalam ber-KB. Peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB merupakan wujud dari peningkatan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi sehingga dapat mempercepat terwujudnya keluarga berkualitas dan juga dapat meningkatkan kesehatan reproduksi pria itu sendiri, pasangan serta kesehatan reproduksi keluarganya. Dengan demikian akan terbentuk keluarga yang berlandaskan kesetaraan dan keadilan gender di mana terbentuk keseimbangan secara harmonis dalam hubungan kerjasama antara pria dan wanita yang mampu menjadi benteng utama dalam pencegahan HIV dan AIDS serta penularan IMS.

Dari data yang dikeluarkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2013 disebutkan, bahwa penggunaan kontrasepsi pada pria hanya sebanyak 6,4% dari jumlah keseluruhan pria pada usia reproduksi. Angka tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan dengan penggunaan kontrasepsi wanita. Upaya mendongkrak kesertaan KB pria tentu banyak sekali

.

52

tantangannya. Rendahnya keikutsertaan pria dalam menggunakan KB disebabkan antara lain:

1. Kurangnya promosi, sosialisasi dan komunikasi, informasi, edukasi (KIE) KB pria

2. Terbatasnya sarana prasarana, dana, dan sumber daya manusia untuk pelayanan

KB pria khususnya MOP

3. Kurang optimalnya dukungan stakeholder dan shareholder (kemitraan) untuk

program KB Pria

4. Masih banyaknya hambatan dari sisi sosial, budaya dan agama dalam upaya

lebihmemasyarakatkan kondom dan MOP sebagai alat kontrasepsi andalan pria.

Salah satu hambatan pengupayaan penggunaan kondom di kalangan para suami adalah masih adanya pandangan negatif terhadap alat kontrasepsi. Kondom dirasa sebagai alat kontrasepsi yang kurang nyaman dipakai, dan rumit penggunaannya. Terlebih kondom selama ini dianggap dekat dengan pandangan miring masyarakat, yaitu identik dengan pelacuran, kenakalan pria, seks bebas dan sebagainya. Selain itu, terdapat anggapan bahwa kondom telah gagal dalam mencegah kehamilan. Padahal, kegagalan kondom lebih sering disebabkan pemakaiannya yang tidak benar, dan bukan karena mutu kondom itu sendiri. Sementara itu, vasektomi sudah banyak diketahui oleh masyarakat di daerah-daerah, namun para pria di Indonesia masih jarang yang menggunakan cara ini. Dalam praktiknya, prosedur vasektomi melalui penyumbatan dengan cara mengikat saluran vas deferens pada pria akan mencegah spermatozoa bertemu sel telur. Prosedur ini digunakan tergantung pada risiko, seperti preferensi dan pengalaman dari dokter dan pasien. Karenanya, dokter menjadi titik penting dari keberhasilan kontrasepsi ini. Permasalahannya, tim ahli yang memiliki kemampuan tersebut di Indonesia masih sangat terbatas.

Banyaknya masalah dan keterbatasan pada penggunaan dan penilaian masyarakat terhadap alat kontrasepsi pria baik kondom maupun vasektomi menjadikan obat tradisional kembali dipilih daripada obat-obatan modern. Penggunaan bahan alam ini berkembang karena adanya anggapan masyarakat bahwa obat tradisional biasanya memberikan efek samping yang kecil. Selain itu, obat tradisional merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya bangsa kita, karena obat tradisional telah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat (Dzulkarnain dkk., 1996).

Kekayaan akan tanaman obat yang dimiliki Indonesia baru sebagian kecil dimanfaatkan. Peluang ini telah ditangkap sebagian ilmuwan Indonesia untuk mencoba menggali tanaman obat sebagai bahan obat kontrasepsi. Sudah banyak bukti tanaman obat asli Indonesia akhirnya berpindah tangan kepada peneliti asing yang lebih didukung oleh dana dan peralatan penelitian yang lebih canggih dan

53

Tabel 1. Daftar Nama Tanaman sebagai Obat Kontrasepsi

kemudian dipatenkan oleh perusahaan farmasi asing. Jika berlanjut Indonesia hanya berperan sebagai konsumen yang harus membayar mahal obat berbahan tanaman obat asli negeri sendiri (Handayani, 2007).

Beberapa tanaman Indonesia yang digunakan secara tradisional sebagai obat kontrasepsi seperti Kapaa-apa (Hoya sp.), dan Daru (Costus speciosus (Koenig) J.E. Smith) telah banyak digunakan oleh masyarakat lokal Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara (Rahayu dkk., 2006). Selain itu ada pula tanaman Rangan (Ricinus communis L.) dan Serempuli (Galearia filiformis Boerl.) yang juga digunakan secara tradisional sebagai obat kontrasepsi oleh masyarakat lokal suku Dayak Tunjung, Kalimantan Timur (Setyowati, 2010). Tabel 1 memuat tanaman yang digunakan sebagai obat kontrasepsi.

54

Usaha menemukan bahan kontrasepsi pria dari bahan alam telah banyak dilaksanakan di beberapa negara, termasuk Indonesia, dengan memanfaatkan bahan alam yang berasal dari tumbuhan. Beberapa penelitian dari tanaman Indonesia menggunakan hewan coba telah banyak dilakukan, antara lain daun gandarusa, biji klabet, daun beluntas, biji papaya, buah pare, dan herba meniran (tabel 2).

55

Pada penelitian terhadap Gandarusa (Justicia gendarussa), selain uji menggunakan hewan coba di Indonesia, juga telah dilakukan uji klinik untuk menjadikan sediaan fitofarmaka, dengan hasil yang menunjukkan efek positif dan mendukung potensi sebagai kontrasepsi pria. Hingga saat ini telah dilakukan uji fase I, dan fase II klinik. Hasil uji fase I klinik dilakukan pada 36 pria normospermatozoa, memberi hasil analisis fisik, fungsi dan kimia darah tetap berada dalam kondisi aman dan sehat. Kemudian pada uji klinik fase II dengan 10 subyek pasangan usia subur (PUS) diperoleh hasil bahwa terhadap paparan, 100 % tidak terjadi kehamilan setelah pria pasangan tersebut mendapat perlakuan selama 72 hari. Sekarang ini tahapan uji telah memasuki fase III klinik, yang dilakukan terhadap 350 voluntee/subyek dengan rincian kelompok perlakuan 175 volunteer dan kelompok kontrol 175 volunteer (Prajogo, 2011).

56

HarapanUpaya peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB selama ini diukur dengan tingkat kesertaan pria melalui penggunaan alat kontrasepsi kondom dan Metode Operatif Pria (MOP). Salah satu hambatan pengupayaan penggunaan kondom dan MOP di kalangan para suami adalah masih adanya pandangan negatif terhadap alat kontrasepsi. Oleh karena itu perlu adanya alternatif kontrasepsi lain yang lebih dapat diterima oleh kaum pria.

Salah satu usaha untuk mendapatkan alternatif kontrasepsi pria yaitu dengan pemanfaatan pengetahuan lokal masyarakat di suatu daerah mengenai obat tradisional (etnomedichine). Sampai saat ini telah banyak dilaksanakan usaha menemukan bahan kontrasepsi pria dari bahan di Indonesia dengan memanfaatkan bahan alam yang berasal dari tumbuhan. Gandarusa (Justicia gendarussa) merupakan tumbuhan yang sangat potensial digunakan sebagai kontrasepsi pria. Uji klinik terhadap Gandarusa (Justicia gendarussa) untuk menjadikan sediaan fitofarmaka telah dilakukan, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan efek positif yang mendukung potensinya sebagai alat kontrasepsi pria.

Melalui capaian tersebut, maka diharapkan pemanfaatan sumberdaya alam yang berupa bahan obat alam di Indonesia mampu mengurangi ketergantungan terhadap obat-obat dari luar negeri. Selain itu, hasil penelitian terhadap potensi gandarusa diharapkan dapat merangsang penelitian-penelitian lain mengenai manfaat bahan alam di Indonesia untuk tujuan pengobatan.

Penelitian gendarusa bisa berhasil sampai saat ini berkat bantuan dan kerjasama dosen dan peneliti yang berasal dari lintas Departemen, fakultas maupun antar perguruan tinggi nasional dan internasional. Mahasiswa S1, S2 dan S3 pun terlibat untuk keperluan tugas akhir skripsi, tesis dan disertasi.

Penelitian gendarusa belum berakhir dan tidak akan berakhir sampai diperoleh produk yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan dunia. Untuk itu perlu dukungan dana riset, baik dari sektor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Badan Usaha Milik Negara, maupun pendanaan internasional.

57

.........................................

Daftar Pustaka

Bagia, Nita L., Lestari, Fetri, dan Choesrina, Ratu. 2011. Efek ekstrak Etanol daun gandarusa (Justicia gendarusa Burm.f) Terhadap Sistem Reproduksi dan Kualitas Spermatozoa serta Reversibilitasnya pada Mencit jantan Galur Swiss Webster. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sains, Teknologi dan Kesehatan, Volume 2, No. 1, hlm: 63-70.

BKKBN. 2013. Laporan Umpan Balik Hasil Pelaksanaan Sub Sistem Pencatatan dan Pelaporan Pelayanan Kontrasepsi.

BPS. Sensus Penduduk Tahun 2000 dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) Tahun 1995.

Christijanti, Wulan. 2009. Penurunan Jumlah dan Motilitas Spermatozoa Setelah Pemberian Ekstrak Biji Pepaya (Kajian Potensi Biji Papaya sebagai bahan Kontrasepsi Alternatif). Biosaintifika Volume 1, No.1, hlm : 19-26.

Dzulkarnain, B.Y. Astuti, dan P.S. Nurendah. 1996. Keamanan atau daya Racun Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Cermin Dunia Farmasi, hlm: 5-16.

Harlis, Wa Ode. 2012 Uji Potensi Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri, L.) terhadap Spermatogenesis Tikus (Rattus norvegicus, L.). WD Harlis //Paradigma, Vol. 16 No.1. hlm: 39-46.

Hernawati. 2010. Potensi Buah Pare (Momordicha charantia L.) sebagai herbal Antifertilitas.

Prajogo, Bambang., Ifadotunnikmah, Farida., Febriyanti, Alifia P., dan N, Jusak. 2008. Efek Fase Air Daun Gandarusa (Justicia gendarussa Burm,f) pada Fungsi Hati dan Fungsi Ginjal Kelinci Jantan (Uji Toksisitas Fase Air Daun Gandarusa Sebagai bahan Kontrasepsi Pria). Veterinaria Medika, Volume 1, No.3, hlm : 79-82.

Prajogo, Bambang.,. Indera dan Muzaki. 2011. Model bioskrening afrodisiaka, profil ekstrak Justicia gendarussa Burm.f., Pimpinella pruatjan Molkemb dan Pangium edule Reinw pada otot polos katak. Veterinaria Medika vol.4, No. 3, hlm: 229-238

Handayani, Lestari. 2007. Pil Kontrasepsi Pria dengan Bahan Dasar Gandarusa (Justicia gendarussa Burm.F). Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 57, No. 8, hlm. 279-184.

58

Rahayu, Mulyati., Sunarti, Siti., Sulistriani, Dian., dan Prawiroatmodjo, Suhardjono. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Biodeversitas Volume 7, No. 3, hlm: 245-250.

Setyowati, Francisca Murti. 2010. Etnofarmakologi dan Pemakaian Tanaman Obat Suku Dayak tunjung di Kalimantan Timur, Artikel Media Litbang Kesehatan Volume XX No. 3, hlm: 104-102.

Susetyarini, Eko. 2010. Efek Senyawa Aktif Daun Beluntas (Pluchea indica) Terhadap Kadar Testosteron Tikus Putih (Ratus norwegicus) Jantan. Jurusan P. MIPA-Biologi Universitas Muhammadiyah Malang, hlm:1-11.

Winarno, M. Wien, dan Sundari, Dian. 1997. Informasi Tanaman Obat untuk Kontrasepsi Tradisional. Cermin Dunia Kedokteran No. 120. hlm: 25-28.

Wiryawan, IGN Sri dan Wahyuniari, IAI. 2009. Ekstrak Biji Kelabet Menurunkan Jumlah sel Spermatozoa pada Kelinci. Jurnal Veteriner, Volume 10, No.2, hlm : 71-76.

59

Obat Tradisional Indonesia untuk Kesehatan WanitaProf. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt.

60

Ramuan obat tradisional Indonesia, yang populer dengan sebutan jamu, sudah

menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Seperti halnya obat tradisional Asia, yaitu Cina, Ayurveda India, Kampo dari Jepang, obat tradisional Indonesia tumbuh seiring dengan pertumbuhan kebudayaan bangsa. Pengetahuan yang lengkap tentang hal itu dapat dipelajari melalui peninggalan tertulis dan praktek penggunaan oleh keturunan keluarga keraton yang pernah berjaya pada masa lalu. Dalam perjalanan karier sebagai dosen, saya memutuskan untuk mempelajari dan mengkaji secara lebih mendalam mengenai ramuan obat tradisional khusus untuk wanita. Ketertarikan itu terutama adalah karena terdapatnya ramuan obat untuk wanita yang sangat lengkap, yang digunakan pada berbagai tahapan dalam setiap fase dalam kehidupan seorang wanita.

Melalui catatan peninggalan tertulis pakar keilmuan dan pujangga ternama pada zamannya, yaitu dari Keraton Surakarta, Jogyakarta dan Sumenep, kita dapat mempelajari cara dan tindakan yang harus dipatuhi seorang wanita agar selalu berada dalam keadaan sehat. Petunjuk yang berkaitan dengan kesehatan selalu disertai ramuan yang dianjurkan untuk digunakan, yaitu yang dibuat dari campuran berbagai bahan alam. Keterlibatan seorang wanita pada penggunaan ramuan dimulai sejak memasuki masa puber. Dalam kebudayaan Jawa masa puber itu selalu akan disambut dengan berbagai upacara selamatan yang dipahami orang awam hanya sebagai sarana berbagi sukacita. Namun sesungguhnya, ada makna yang lebih dalam yang juga dapat kita peroleh melalui pengetahuan kedokteran modern, bahwasanya masa puber adalah saat dimana sistem hormonal di dalam tubuh seorang gadis mengalami perubahan yang sangat menentukan bagi kemampuannya dalam menjalankan tugas sebagai seorang wanita dan ibu. Berbagai proses yang terselenggara dalam rangkaian yang sangat rapi terjadi di dalam saluran reproduksi yang melibatkan hormone wanita, termasuk estrogen dan progesterone, dibawah koordinasi hipofisis. Proses yang terjadi meliputi ovulasi, fertilisasi dan implantasi.

Dengan berakhirnya ovulasi, hormone estrogen dan progesteron akan bekerjasama dalam menjaga proses kehamilan dengan cara menciptakan suasana tertentu yang diperlukan bagi kelangsungan kehamilan yang sehat di dalam uterus. Proses yang berlangsung melalui berbagai tahapan tersebut harus terselenggara secara lancar karena merupakan salah satu faktor penentu bagi kemampuan seorang wanita untuk mendapatkan keturunan setelah memasuki kehidupan perkawinan.

Berbagai ritual dan upacara yang diselenggarakan secara tradisional dalam fase kehidupan wanita selanjutnya mempunyai makna dan tujuan serupa. Upacara dan selamatan menjelang dan pada saat pernikahan sebenarnya mempunyai makna tersembunyi, sebagai early warning system, akan makin dekatnya seorang wanita pada tugas yang sangat penting itu. Berbagai ramuan obat untuk wanita dalam kehidupan berumah tangga dibuat dari campuran bahan tanaman yang diyakini secara turun temurun dapat menjaga kesehatan saluran reproduksi, saluran cerna, saluran pernapasan dan lain-lainnya. Kehebatan keilmuan pada zaman itu membuat dunia ilmu pengetahuan modern makin terpesona, karena terbukti, bahwa komponen bahan dalam setiap ramuan memang berkhasiat seperti yang sudah dibuktikan secara empiris. Contoh yang patut mendapatkan apresiasi adalah penggunaan bahan rimpang tanaman suku Zingiberaceae, atau dalam bahasa daerah disebut dengan empon-empon, dalam frekuensi dan jumlah yang tinggi. Penelitian ilmiah membuktikan bahwa di dalam rimpang itu terkandung senyawa kimia kurkumin. Kurkumin adalah senyawa golongan flavonoid yang mendapat perhatian dari banyak peneliti karena efeknya yang menguntungkan, termasuk antioksidan, analgesik, antiinflamasi, antikarsinogenik dan antibakteri. Khasiat analgesik dan antiinflamasi membantu mengatasi rasa sakit akibat kram pada masa menstruasi. Penelitian ilmiah terhadap aktivitas biologik kurkumin sebagai pencegah kanker berkaitan erat dengan aktivitas antioksidan dan antiinflamasi senyawa tersebut. Melalui penelitian terbukti kontribusi senyawa tersebut terhadap pencegahan kerusakan sel akibat pengaruh buruk radikal bebas. Hal itu menunjukkan bahwa kurkumin dapat berperan sebagai pencegah terjadinya pembelahan sel yang tidak terkendali pada tumor dan kanker. Aktivitas anti kanker kurkumin memberikan justifikasi yang kuat terhadap pemanfaatan bahan alam yang mengandung kurkumin secara luas pada ramuan wanita. Dengan pendekatan khasiat biologik kurkumin sebagai antioksidan, maka tidak diragukan manfaat berbagai jamu dalam memelihara kesehatan sel.

Kenyataan itu membuat saya sampai pada kesimpulan bahwa ramuan utk wanita semasa menikah dirancang untuk mempertahankan keadaan sehat yang sudah diperolehnya sejak masa puber dan tentu saja juga untuk mempertahankan kecantikannya. Filosofi yang saya peroleh yang terkandung didalam ramuan dan tradisi itu adalah, bahwa seorang wanita harus senantiasa sehat secara jasmaniah dan rohaniah agar ia dapat melaksanakan tugasnya di dalam keluarga maupun masyarakat.

61

Kehebatan etnomedisin yang menurut saya spektakuler adalah berbagai ramuan untuk wanita pasca melahirkan. Ketika memulai melakukan penelitian terhadap ramuan obat tradisional khusus wanita Keluarga Keraton Sumenep pada tahun 2005, saya menjadi makin tahu bahwa aneka ragam ramuan yang dikonsumsi dalam rangkaian berbagai tata cara dan adat istiadat yang mendukung itu memang bertujuan utama utk mempercepat dan melancarkan proses pemulihan kembali seperti sediakala. Pemulihan tersebut tentu diperlukan untuk mempersiapkan seorang ibu agar mampu melaksanakan tugas barunya, yaitu mengasuh bayi mereka. Melalui penelitian terhadap bahan ramuan selanjutnya diketahui, bahwa senyawa kandungan di dalamnya memang terbukti berkhasiat, yaitu antara lain sebagai antiinfeksi, anti radang, menjaga tonus otot polos uterus, dan analgesik. Hasil penelitian tersebut saya harapkan dapat meyakinkan masyarakat bahwa jamu Madura mempunyai khasiat yang sangat luar biasa bagi kesehatan dan bukan semata untuk kepentingan seksual belaka.

Bukti peninggalan tertulis lain adalah Serat Kawruh Bab Jampi – Jampi Jawi yang memuat berbagai jamu. Ramuan untuk wanita dapat tersusun atas lebih dari satu bahan rimpang tanaman suku Zingiberaceae. Dalam sebuah ramuan untuk ibu sesudah 40 hari melahirkan, yaitu Jampi Tiyang rencang rare sasampunipun 40 dinten, terdapat bahan kunyit, kunci, kunci pepet, kencur, laos, lempuyang, jahe, temulawak, temu hitam dan temu giring. Dengan komposisi tersebut, maka melalui kekayaan zat kandungan, seperti kurkumin, gingerol, minyak atsiri, panduratin, flavonoid, saponin glikosida dan lain-lain, pemulihan kondisi kesehatan sehabis melahirkan dapat berlangsung lancar. Beberapa bahan tanaman, seperti rimpang dringo (Acorus calamus), daun jung rahap (Baeckea frutesecens), rimpang bengle (Zingiber cassumunar), kulit kayu pulasari (Alyxia stellata) digunakan dalam campuran ramuan obat tersebut, yang secara empiris berkhasiat mempercepat penyembuhan luka pada saluran reproduksi.

Dalam sistem pengobatan tradisional Jawa, praktek pemakaian ramuan jamu pelancar pengeluaran air susu ibu adalah manifestasi terhadap pemberian paling sedikit dua macam persembahan bagi kelahiran bayi. Persembahan pertama adalah kasih sayang, dukungan dan respek bagi sebuah kelahiran. Persembahan ke dua adalah nutrisi yang berkualitas yang diperlukan bagi pertumbuhan tubuh yang sehat. Air susu ibu adalah makanan alamiah yang paling sehat yang diperlukan bagi seorang bayi selama paling sedikit tahun pertama dalam kehidupannya. Penelitian ilmiah yang dilakukan terhadap bahan penyusun ramuan tersebut, seperti daun katu, memberikan landasan yang semakin kuat terhadap pemanfaatannya bagi kelancaran proses tumbuh kembang bayi. Pada penelitian terhadap hewan percobaan tikus dan mencit menyusui, pemberian ekstrak daun katu dalam berbagai pelarut terbukti meningkatkan sekresi dan pengeluaran air susu (Mangestuti, 2000). Hasil serupa juga diperoleh melalui penelitian terhadap relawan ibu menyusui. Penelitian tersebut membuktikan terdapatnya senyawa golongan steroid yang

62

bekerja dengan cara meningkatkan proliferasi sel saluran kelenjar susu, vitamin dan serat yang diperlukan bagi pertumbuhan bayi (Padmavathi P and Rao MP, 1990). Penelitian katu juga membuktikan khasiat ekstrak daun katu dalam meningkatkan kadar hormon prolaktin hewan percobaan tikus dan sel neuroglial anak tikus, yang berperan pada pertumbuhan kecerdasan.

Kehidupan pasca menopauseBagi seorang wanita, menopause adalah masa yang sangat sulit, terutama saat harus menerima kenyataan, bahwa ia sudah tidak dapat lagi menjalankan peran dan fungsinya sebagai seorang wanita sejati. Keadaan itu menyebabkan stres yang berdampak pada timbulnya berbagai gejala, seperti gelisah, sulit tidur, depresi, sakit kepala, palpitasi, menstruasi yang tidak teratur disertai pendarahan hebat. Stres tersebut makin mengganggu hipotalamus sistem saraf pusat yang mempengaruhi produksi hormon yang mengendalikan kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin yang mengendalikan berbagai sistem tubuh, seperti suhu, sirkulasi, pencernaan, struktur tulang, emosi, perubahan mood, keseimbangan air, tidur, berat badan, juga mengalami gangguan selama masa menopause.

Sebagai bagian dari siklus hidup, maka seharusnya tubuh seorang wanita dapat menerima keadaan itu, sehingga secara perlahan mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai perubahan karena fluktuasi hormonal yang terjadi. Survei yang dilakukan terhadap wanita keturunan keluarga Keraton Sumenep yang minum ramuan jamu secara teratur menunjukkan fakta, bahwa menopause berlangsung lancar pada usia di atas 55 tahun tanpa gangguan kesehatan yang berarti, seperti gelisah, sulit tidur, berkeringat berlebihan dan timbulnya rasa panas dari dalam tubuh. Dengan pengetahuan yang terbatas, mereka menerima perubahan dalam fase hidup tersebut sebagai bagian akhir dari satu di antara banyak tanggung jawab dan tugas di dunia. Pemakaian jamu pada fase ini, seperti galian singset, jamu pakak dan selokarang, semata-mata bertujuan untuk menjaga kesehatan agar tidak mudah jatuh sakit.

AromaterapiPemakaian bahan alam aromatik, yaitu yang mengandung minyak atsiri, sudah sejak lama merupakan bagian dari kebiasaan yang bersifat turun menurun. Sampai saat ini kebiasaan tersebut masih diselenggarakan dalam kehidupan sehari-hari kaum wanita, seperti pemakaian dupa sebagai pewangi tubuh, pakaian, tempat istirahat dan lain-lain. Ternyata komponen minyak atsiri yang mudah menguap dan terhirup melalui indera penciuman akan langsung berinteraksi dengan susunan saraf pusat. Efek selanjutnya adalah rangkaian perintah bagi tercapainya keseimbangan hormonal, yang menjadi dasar dari tercapainya keadaan senang, dan itulah awal dari penguatan imunitas tubuh (Anne McIntyre, 1994).

Sebuah penelitian terhadap pemakaian minyak atsiri pada praktek timung

63

mandi uap tradisional Indonesia) menemukan komponen minyak yang dapat menembus kulit hewan percobaan tikus (Budiastuti, Mangestuti A, Esti H,2008).

Pendekatan etnomedisin Melalui uraian tersebut, maka melalui pendekatan etnomedisin kita mendapatkan kepastian, bahwa perkembangan sistem pengobatan Indonesia memberikan pengakuan terhadap pentingnya kesehatan seorang wanita sebagai modal utama untuk menjalankan peran dan tanggung jawabnya.

Dukungan atas pengakuan tersebut dapat kita peroleh melalui perkembangan ilmu yang meyatakan, bahwa pola kesehatan seorang anak dimulai sejak terjadinya konsepsi. Di tangan para orang tua terletak tanggung jawab untuk menyediakan benih yang memuat “genetic blueprint” bagi masa depan anak yang mereka lahirkan. Oleh karena itu orang tua harus memahami pentingnya penyediaan benih yang sehat, sebagai jaminan untuk dapat menghasilkan keturunan yang sehat dan mempunyai vitalitas yang optimum (Anne McIntyre, 1994).

Dunia ilmu pengetahuan menyatakan, bahwa kondisi kesehatan jasmani dan rohani seorang ibu sangat menentukan kesehatan mental dan fisik bayi yang dilahirkannya. Status nutrisi seimbang, pengendalian racun dan kuman penyebab penyakit menentukan pertumbuhan normal embrio.

Melalui pendekatan tersebut, maka bangsa Indonesia tidak perlu lagi meragukan peran dan tanggung jawab wanita dalam membangun sebuah masyarakat yang sehat. Langkah konkrit untuk mewujudkannya harus dirumuskan dalam waktu tidak terlalu lama. Dalam hal ini, tindakan yang paling tepat adalah peningkatan peran organisasi wanita dan pusat perawatan kesehatan, termasuk Dharma Wanita, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Organisasi dan unit perawatan kesehatan masyarakat memegang peran kunci dalam meningkatkan status kesehatan wanita yang akan merawat dan menjaga kesehatan anggota keluarga masing-masing. Pemahaman peran wanita itu tidak harus diterjemahkan sebagai pemakaian bahan alam saja. Metode apapun dapat dipilih yang dipastikan memberikan hasil seperti harapan. Khusus untuk pemakaian bahan alam dalam bentuk tunggal dan ramuan untuk tujuan kesehatan perlu mendapatkan perhatian khusus dari para pemimpin dan pengelola bidang kesehatan agar tidak terjadi kesalahan akibat pemahaman yang belum tuntas.Pemahaman peran ramuan obat bahan alam hendaknya dilakukan dengan memerhatikan perjalanan sejarah, bahwa penemuan metode pengobatan tersebut berlangsung dalam suasana kebatinan yang khusus, yaitu sebagai rangkaian tindakan pengobatan untuk mencapai keseimbangan.

64

Oleh sebab itu, pemanfaatannya pada masa kini pun sebagai bagian dari langkah “back to nature” harus bersifat holistik. Artinya, setiap tenaga kesehatan perlu memahami secara komprehensif metode pengobatan dan pencegahan penyakit, sehingga tidak melakukan pekerjaannya hanya untuk mendapatkan keuntungan semata.

Oleh karena itu, adalah menjadi kewajiban tenaga medis dan kesehatan untuk membantu wanita mencapai keadaan sehat melalui upaya pencegahan dan tidak mengobati penyakit akibat pola hidup yang tidak seimbangDalam hal ini, dituntut peran sarjana farmasi apoteker secara aktif dalam bekerjasama dengan unsur tenaga kesehatan, termasuk dokter dan perawat, untuk mempertimbangkan pemakaian obat tradisional sebagai obat alternatif dan komplementer. Peran yang paling penting adalah memberikan keyakinan akan kontribusi obat tradisional Indonesia, seperti halnya obat tradisional dari negara Asia, yaitu Cina, Ayurveda dari India, Kampo dari Jepang dan lain sebagainya. Kalau obat tradisional negara di Asia tersebut berhasil mendapatkan pengakuan dari negara Barat, maka mengapa hal itu tidak terjadi dengan obat yang berkembang dari budaya Bangsa Indonesia? Kesempatan untuk pengembangan sudah tiba dan oleh karena itu tidak perlu ditunda lagi. Bangsa Indonesia harus tumbuh sebagai bangsa yang sehat berkat kekayaaan biodiversitas negerinya. Modernisasi dalam berbagai bidang tidak boleh menyebabkan kelemahan daya tahan fisik dan psikis yang menggiring kepada ketidakberdayaan.Hal itu hanya dapat dicapai melalui peran yang optimal dari wanita Indonesia yang sehat jasmani dan rohani. Semoga apoteker semakin terlihat kontribusinya bagi pemantapan peran wanita guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat.

65

.........................................

DAFTAR PUSTAKAAnne McIntyre: The complete woman's herbal. A manual of healing herbs and nutrition for personal wellbeing and family care, Gaia Books Ltd, London, 1994.

Aratanechemuge Y, Komiya T, Moteki H, Katsuzaki H, Imai K, Hibasami H: Selective induction of apoptosis by ar-turmerone isolated from turmeric (Curcuma longa L) in two human leukemia cell lines, but not in human stomach cancer cell line. Int J Mol Med 9:481-4, 2002.

Araújo CC, Leon LL. : Biological activities of Curcuma longa L. Mem Inst Oswaldo Cruz 96:723-8, 2001. . Beers, Susan – Jane : Jamu : The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing, Periplus Edition ( HK ) Ltd., Singapore, 2001.

Cheryl L. : Ethnomedicines used in Trinidad and Tobago for reproductive problems. Ethnobiol Ethnomed J. 3, 2007.

Chirangini P, Sharma GJ, Sinha SK: Sulfur free radical reactivity with curcumin as reference for evaluating antioxidant properties of medicinal zingiberales. J Environ Pathol Toxicol Oncol 23:227-36, 2004.

Choi MA, Kim SH, Chung WY, Hwang JK, Park KK: Xanthorrhizol, a natural sesquiterpenoid from Curcuma xanthorrhiza, has an anti-metastatic potential in experimental mouse lung metastasis model. Biochem Biophys Res Commun 326:210-7, 2005.De Guzman, C.C. and Siemonsma, J. S. ( Editors ) : Plant Resources of South – East Asia No. 13. Spices, Backhuys Publishers, Leyden, the Netherlands. 1999. Farrer-Halls, Gill:The Aromatherapy Bible. The Definitive Guide to Using Essential Oils. Godsfiled Press, Great Britain, 2009.

Grzanna R, Lindmark L, Frondoza CG. : Ginger – an herbal medicinal product with broad anti – inflammatory actions. J. Med. Food. 8: 125 – 132, 2005.

Han AR, Kim MS, Jeong YH, Lee SK, Seo EK: Cyclooxygenase-2 inhibitory phenylbutenoids from the rhizomes of Zingiber cassumunar. Chem Pharm Bull (Tokyo) 53:1466-8, 2005.Harya Tjakraningrat: Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Soemodidjojo Mahadewa, Yogyakarta, 2001.Heyne, K.: Tumbuhan Berguna Indonesia, Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta, 1987.Jurenka JS. : Anti-inflammatory properties of curcumin, a major constituent of Curcuma longa: a review of preclinical and clinical research.Altern Med Rev. 14: 277, 2009.

66

Lim CS, Jin DQ, Mok H, Oh SJ, Lee JU, Hwang JK, Ha I, Han JS: Antioxidant and antiinflammatory activities of xanthorrhizol in hippocampal neurons and primary cultured microglia. J Neurosci Res 82:831-8, 2005.Mangestuti : Isolasi senyawa kandungan daun Sauropus androgynus ( L. ) Merr. yang berkhasiat laktagogum. Disertasi, Universitas Airlangga, 2000.Mangestuti Agil: Prospect of Traditional Medicines of the Philippines and Indonesia for Complementary and Alternative Therapy in the Era of Globalization. Power, Purpose, Process, and Practice in Asia: 223- 230, 2004.Mangestuti Agil: Women's health and beauty care in Indonesian traditional medicine: empowerment through enablement. Annual Report. Institute of Natural Medicine University of Toyama 33: 19 – 33, 2006.Mangestuti, et al: Traditional medicine of Madura Island in Indonesia. J.Trad.Med 24: 90-103, 2007Mangestuti, Neny Purwitasari: Kandungan kimia minyak atsiri dan aktivitas antimikroba rimpang jahe gajah berasal dari Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia 6: 213 – 216, 2009.

Ojewole JA: Analgesic, antiinflammatory and hypoglycaemic effects of ethanol extract of Zingiber officinale (Roscoe) rhizomes (Zingiberaceae) in mice and rats. Phytother Res 20:764-72, 2006. Padmavathi P, Rao MP. : Nutritive value of Sauropus androgynus leaves.Plant Foods Hum. Nutr. 40: 107-113, 1990.

67

Manfaat Produk Farmasi Berbasis Bahan Alam Yang Berkhasiat Sebagai ImunomodulatorDr. Suprapto Ma’at Drs. MS., Apt.

Pendahuluan

Imunomodulator adalah obat-obatan yang dapat memodulasi sistem imun tubuh

manusia, sedangkan imunomodulasi adalah cara untuk memperbaiki dan mengembalikan fungsi dan aktivitas sistem imun yang terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan, tepatnya mengembalikan ketidakseimbangan sistem imun. Menurut cara kerjanya, obat golongan imunomodulator digolongkan dalam 3 golongan yaitu: (1) imunorestorator, (2) imunostimulator, (3) imunosupresor. Imunorestorasi adalah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan cara memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti: plasma, timus, plasmaferesis, cangkok sumsum tulang, imunoglobulin dalam bentuk immune serum globulin atau hyperimmune serum globulin dan lain-lain. Imunostimulator adalah bahan atau obat yang dapat meningkatkan fungsi dan aktivitas komponen sistem imun, sedangkan imunosupresor adalah bahan atau obat yang dapat menekan fungsi dan aktivitas komponen sistem imun. Suatu imunomodulator bukan merupakan imunogen atau antigen, akan tetapi suatu bahan obat yang mampu memodulasi komponen sistem imun (menekan atau meningkatkan aktivitas sistem imun) tanpa bereaksi atau berikatan secara imunologis, bekerja melalui reseptor karbohidrat yang ada di permukaan masing-masing sel imunokompeten, melalui TLR (toll-like receptor) atau melalui cara lain yang belum diketahui.

IMUNOSUPRESOR Imunosupresor atau imunosupresan digunakan pada transplantasi organ, penyakit otoimun dan infeksi yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi berlebihan. Pada transplantasi organ, seperti transplantasi ginjal, hati, pankreas, jantung, dan lain-lain., imunosupresan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penolakan organ transplan (rejeksi), sedangkan pada pengobatan penyakit otoimun,

68

seperti ITP (idiopathic trombocytopenia purpura), SLE, artritis rematoid, imunosupresan dimaksudkan untuk mengendalikan aktivitas reaksi otoimunitas dari sistem imun. Pada infeksi dengan inflamasi berlebihan, misalnya pada infeksi H1N1 (flu babi) H5N1 (flu burung), imunosupresan dimaksudkan untuk mengendalikan reaksi inflamasi kembali ke keadaan normal dengan cara menekan sekresi sitokin inflamasi, seperti IL-1β, TNF-α, IL-6 yang berlebihan yang dikenal sebagai badai sitokin (cytokine storm).

Contoh imunosupresan dalam transplantasi organ:Glukokortikoid (prednison, prednisolon, metil prednisolon, triamsinolon) Glukokortikoid masih merupakan komponen penting (cornerstone) dari kombinasi obat imunosupresif bagi hampir semua pasien transplan. Efek samping steroid sudah banyak dikenal, seperti hiperlipidemia, hipertensi, intoleran glukosa dan osteoporosis. Sayangnya untuk menghapus sama sekali steroid dari regimen imunosupresif ternyata berhubungan erat dengan terjadinya rejeksi serta disfungsi organ baik jangka pendek maupun jangka panjang. Untungnya dengan diketemukannya imunosupresif baru MMF (mycophenolate mofetil) dan tacrolimus, dosis steroid dapat diperkecil. Protokol dengan steroid dosis rendah diberikan pada pasien yang memiliki sejarah (sebelum transplantasi) osteoporosis, sedangkan menghilangkan sama sekali steroid, diberikan pada pasien yang mengalami toksisitas steroid, misalnya seketika timbul diabetes melitus. Glukokortikoid termasuk dalam kelas hormon steroid yang ditandai khusus dari kemampuannya mengikat reseptor glukokortikoid. Perbedaannya dengan mineralkortikoid dan steroid seks terletak pada reseptor spesifik, sel target dan efek yang ditimbulkan. Dalam istilah teknik, dinamakan kortikosteroid untuk menyebutkan glukokortikoid dan mineralokortikoid, tetapi seringkali dianggap sinonim bagi glukokortikoid. Glukokortikoid terpenting bagi manusia adalah kortisol (hidrokortison). Reseptor glukokortikoid dijumpai pada hampir semua sel dari jaringan vertebrata.

Mekanisme imunosupresif Glukokortikoid menekan imunitas seluler (cell-mediated immunity) dengan cara menghambat gen yang mengkode sitokin, seperti IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8 dan IFN-γ. Hambatan terhadap IL-2 akan menurunkan proses proliferasi limfosit T. Glukokortikoid menekan imunitas humoral sehingga mengakibatkan limfosit B hanya sedikit mengekspresikan IL-2 dan reseptor IL-2. Dampak selanjutnya adalah terjadinya pengurangan ekspansi klonal limfosit B, yang berarti menekan sintesis antibodi. Glukokortikoid sebagai steroid memiliki kemampuan meregulasi berbagai faktor, di antaranya menurunkan regulasi ekspresi reseptor Fc pada makrofag, dan mengakibatkan penurunan fagositosis terhadap sel yang telah teropsonisasi.

69

Gambar 1 . Jalur metabolik azathioprine, melalui 3 tahapan.

Ciclosporin Merupakan peptida siklik nonribosomal yang terdiri dari 11 asam amino, dan diisolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams yang berasal dari tanah di Norwegia (Januari 1972). Nama dagang: Sandimmun® Novartis (dahulu Sandoz) atau Neoral® (formulasi mikroemulsi), Cicloral® Sandoz/Hexa dan Gengraf® Abbot.

Mekanisme kerja Ciclosporin berikatan dengan protein sitosolik cyclophilin (imunophilin) pada limfosit, terutama limfosit T. Kompleks ciclosporin dan cyclophilin akan menghambat calcineurin yang dalam keadaan normal bertanggung jawab atas transkripsi dari IL-2. Disamping itu juga terjadi penghambatan sintesis serta pelepasan/sekresi sitokin (interleukin), sehingga secara keseluruhan menghambat fungsi efektor dari limfosit T (Lichtiger S, 1994)

Efek samping Pemberian ciclosporin dapat mengakibatkan ADR (adverse drug reaction) serius, meliputi: hiperplasia gusi, konvulsi, tukak peptik, pankreatitis, demam, muntah, diare, bingung, kesulitan bernapas, pruritis, peningkatan tekanan darah, retensi kalium, nefrotoksik dan hepatotoksik, termasuk juga terjadinya infeksi oportunistik jamur dan viral.

Azathioprine Merupakan derivat dari merkaptopurin, dengan nama kimia 6(3-methyl-5-nitro-imidazol-4-yl)sulfanyl-7H-purin. Azathioprin dipasarkan dengan nama Azasan® Salix di Amerika Serikat, dan Imuran® GlaxoSmithKline di Kanada, Australia dan UK.

Mekanisme kerja Azathioprine bekerja dengan cara menghambat sintesis purin yang diperlukan dalam proliferasi sel, terutama leukosit dan limfosit. Metabolit aktif dari azathioprine diperoleh melalui 3 tahapan metabolisme, seperti gambar 1 di bawah.

70

Di dalam organ hati, azathioprine (AZA) dipecah secara nonenzimatik menjadi 6-MP (6-mercaptopurine) yang merupakan metabolit aktif dari AZA. 6-MP oleh enzims xanthine oxidase dipecah menjadi 6-thiouracil yang inaktif, atau dipecah oleh enzim thiopurine methyltransferase (TMPT) menjadi 6-methylmercaptopurine (6-MMP) yang inaktif. Metabolit aktif dari 6-MP diperoleh dari hasil pemecahan oleh HPRT menjadi TIMP (thioiosinic acid) dan selanjutnya dikonversi menjadi 6-thioguanine yang aktif.Enzim thiopurine S-methyltransferasi (TPMT) menginaktivasi 6-mercaptopurine (6-MP), dimana kelainan genetik (genetic polymorphisms) dari TPMT berakibat toksisitas AZA yang berlebihan. Oleh karenanya pengamatan rutin terhadap TPMT diperlukan guna menghindari komplikasi tersebut.

Tacrolimus Diketemukan pada 1987 oleh tim riset Jepang. Seperti halnya siklosporin, tacrolimus berasal dari jamur tanah yang diproduksi oleh bakteri Streptococcus tsukubaensis, oleh karenanya juga dikenal sebagai 'Tsukuba macrolide immunosuppressant', atau FK-506. Oleh FDA pertama kali disetujui sebagai imunosupresan pada transplantasi hati. Nama dagang: Prograf®, Advagraf dan Protopic®.

Farmakologi Berdasarkan rumus kimianya, tacrolimus digolongkan dalam makrolida. Tacrolimus mengurangi aktivitas enzim peptidyl-prolyl isomerase dengan cara mengikat FKBP12 (FK506-binding protein) membentuk kompleks yang baru FKBP12-FK506 dan selanjutnya berinteraksi dan menghambat calcineurin, jadi menghambat transduksi signal limfosit T dan transkripsi IL-2. Walaupun aktivitasnya sama dengan siklosporin, tetapi insiden terjadinya rejeksi akut pada tacrolimus lebih kecil dibandingkan pada siklosporin (Liu J, 1991). Sifat imunosupresif Memiliki sifat imunosupresif sama dengan siklosporin, tetapi pada dosis yang sama potensi imunosupresif lebih tinggi. Karena memiliki sifat yang sama dengan siklosporin, kombinasi keduanya dapat meningkatkan level tacrolimus dalam plasma. Begitu juga dengan antijamur yang lain terutama kelas azole, seperti fluconazole dan posaconazole. Derajad rejeksi akut oleh tacrolimus dibandingkan dengan siklosporin adalah sebesar 30,7% dibanding 46,4%.

Efek samping Pemberian per-oral maupun intravenus dapat menimbulkan efek samping, seperti pandangan kabur, hepatotoksik, nefrotoksik, tremor, hipertensi, hipomagnesemia, diabetes melitus, hiperkalemia, gatal, insomnia, konfusi,

71

kehilangan nafsu makan, hiperglikemia, lemah badan, depresi, kram dan neuropati. Terjadi peningkatan keparahan bagi penderita infeksi jamur, seperti herpes zoster atau virus pyeloma.

Tacrolimus untuk pencegahan rejeksi akut pada transplantasi ginjal Tacrolimus dibandingkan dengan siklosporin untuk mencegah rejeksi pada transplantasi ginjal di Eropah (4 senter), dimana 31 pasien mendapat tacrolimus dan 21 pasien mendapat siklosporin. Kedua kelompok menerima kortikosteroid dan azathioprin yang sama dan pengamatan dilakukan sampai 6 minggu pasca transplantasi. Kelompok tacrolimus tidak ada yang kehilangan graf (ginjal), sedangkan pada kelompok siklosporin dijumpai satu pasien yang kehilangan graf karena trombosis vena ginjal. Rejeksi akut pada kelompok tacrolimus berjumlah 6 pasien (6/31 = 19,4%) dan pada kelompok siklosporin 5 pasien (5/21 = 31,3%). Penelitian yang lebih besar yang melibatkan 15 senter di Eropah dan pengamatan dilakukan sampai 12 bulan pasca transplantasi melibatkan 303 pasien penerima tacrolimus dan 145 pasien penerima siklosporin. Dari hasil biopsi yang menunjukkan rejeksi akut, 25,9% terjadi pada kelompok tacrolimus dan 45,7% pada kelompok siklosporin. Rejeksi karena resistensi kortikosteroid (corticosteroid-resistant rejection) pada kelompok tacrolimus sebesar 11,3% dan pada kelompok siklosporin 21,6%. Patient survival setelah 12 bulan sebesar 93,0% pada kelompok tacrolimus dan 96,5% pada kelompok siklosporin. Graft survival (kombinasi antara karena kematian pasien dan karena gagal ginjal) adalah 82,5% versus 86,2%, sementara derajad rejeksi kronik adalah 5,2% versus 9,3%. Pengamatan dilanjutkan sampai 30 bulan, dimana perbandingan hasil antara kelompok tacrolimus :dan kelompok siklosporin meliputi patient survival : 90,2% : 94,1%, graft survival: 76,4% : 82,5% (Knoll GA, 1999).

Sirolimus Merupakan imunosupresan yang relatif baru untuk transplantasi organ, terutama transplantasi ginjal, dan dikenal juga sebagai rapamycin. Sirolimus adalah makrolida yang diperoleh dari bakteri Streptococcus hygroscopicus dalam tanah dari daerah yang dinamakan Rapa Nui atau Easter Island pada tahun 1975. Nama dagangnya Rapamune®Wyeth. Sebelumnya sirolimus dikenal sebagai antijamur (anti fungal), tetapi dalam perkembangannya ternyata memiliki aktivitas sebagai imunosupresif dan antiproliferatif. Sirolimus menghambat respons IL-2, oleh karenanya memblokir aktivasi limfosit T dan B (siklosporin dan tacrolimus menghambat produksi IL-2). Mekanisme kerja sirolimus mengikat protein sitosolik FK-binding protein 12 (FKBP12) (sama dengan tacrolimus), akan tetapi berbeda dengan tacrolimus, kompleks tacrolimus-FKBP12 menghambat calcineurin, sedangkan kompleks sirolimus-FKBP12 menghambat jalur

72

mTOR (mammalian target of rapamycin). mTOR juga dikenal sebagai FRAP (FKBP-rapamycin associated protein) atau RAFT (rapamycin and FKBP target). Sebetulnya nama FRAP dan RAFT lebih tepat, karena rapamycin pertama kali harus berikatan dengan FKBP12, dan hanya kompleks FKBP12-rapamycin yang dapat berikatan dengan FRAP/RAFT/mTOR (Kay JE, 1991).

Pemakaian dalam transplantasi Dibanding CI (calcineurin inhibitor), sirolimus memiliki kelebihan yaitu tidak toksik terhadap ginjal. Pasien transplan yang di'maintenance' dengan CI dalam waktu yang lama dapat mengalami penurunan fungsi ginjal atau gagal ginjal kronik, namun hal ini dapat dicegah dengan pemakaian sirolimus. Kelebihan ini dapat dimanfaatkan bagi pasien transplan dengan sindroma hemolitik-uremik, karena bila memakai CI sindroma ini dapat kambuh kembali. Tetapi terakhir Food Drug Administration (FDA) menganjurkan untuk melabel sirolimus berkaitan dengan resiko penurunan fungsi ginjal pada pemakaiannya. Sirolimus dapat digunakan sebagai obat tunggal atau dikombinasikan dengan CI dan/atau MMF guna menghindari pemakaian steroid. Salah satu efek samping sirolimus adalah terhambatnya proses penyembuhan luka (impaired wound healing), oleh karenanya beberapa senter transplantasi lebih suka tidak memakai sirolimus segera setelah proses pembedahan, dan baru mulai diberikan setelah beberapa minggu atau bulan setelah operasi.

Mycophenolate mofetil (MMF) Diperkenalkan untuk terapi pada tahun 1996 sebagai terapi pasca transplantasi ginjal (post-renal transplantation immunosuppressive therapy). Semula dipasarkan sebagai mycophenolate mofetil dengan nama dagang CellCept® Roche, diformulasi sebagai tablet, kapsul, suspensi oral dan infus intravenus, selanjutnya juga dipasarkan dalam bentuk garam natrium (mycophenolate sodium) dengan nama dagang Myfortic®Novartis.

Farmakologik Mycophenolate diperoleh dari jamur Penicillium stoloniferum. Mycophenolate mofetil dimetabolisir dalam hati menjadi mycophenolic acid (asam mikofenolat) yang aktif. Asam mikofenolat menghambat enzims inosin monofosfat dihidrogenase, yaitu suatu enzim yang mengontrol derajad sintesis dari guanin monofosfat dalam jalur sintesis purin yang diperlukan oleh limfosit T dan B untuk berproliferasi.

Indikasi MMF digunakan untuk mencegah rejeksi pada transplantasi organ pasien dewasa dan transplantasi ginjal pasien anak (> 2 tahun). Sedangkan natrium mikofenolat

73

dapat digunakan untuk pencegahan rejeksi transplantasi hati, jantung, paru pasien anak > 2 tahun. Dikatakan MMF dapat menurunkan secara drastis insiden rejeksi akut pada transplantasi organ padat. Kombinasi bersama steroid banyak digunakan untuk pengobatan kelainan sistem imun, seperti nefropati imunoglobulin A, small vessel vasculitides dan psoriasis. Untuk pengobatan lupus nefritis, MMF memberikan respon yang lengkap serta komplikasi yang rendah dibandingkan dengan memakai siklofosfamid (Sinclair A, 2006)

Efek samping

Efek samping yang banyak terjadi (≥ 1%) adalah diare, mual, muntah, infeksi, leukopenia dan/atau anemia. Natrium mikofenolat dapat menimbulkan fatigue, sakit kepala dan/atau batuk. Karena diberikan secara iv, seringkali dijumpai terjadinya tromboflebitis dan trombosis, dan walaupun tidak sering (0,1-1%) dapat terjadi esofagitis, gastritis, perdarahan traktus digestivus serta infeksi invasif dari sitomegalovirus (Sweeney MJ, 1972)

Dibandingkan dengan imunosupresan yang lain Dibandingkan dengan azathioprine (AZA), MMF dianggap lebih limfosit spesifik dan penekanan terhadap sumsum tulang, terjadinya infeksi oportunistik dan insiden rejeksi akut, jauh lebih kecil. Beberapa senter memakai MMF sebagai pengganti AZA terutama bagi pasien dengan resiko tinggi atau pasien yang telah mengalami transplantasi dengan episoda rejeksi akut. Untuk pemakaian jangka panjang, MMF dipakai guna menghindari pemakaian CI (calcineurin inhibitor) atau steroid.

Secara keseluruhan, imunosupresan yang digunakan dalam transplantasi organ bekerja seperti terlihat pada gambar 2 di bawah.

Gambar 2. Titik tangkap dan cara kerja imunosupresan

74

Efek samping pemakaian imunosupresan Efek samping yang nyata hubungannya dengan penurunan aktivitas sistem imun adalah konsekuensi dari penurunan fungsi dan aktivitas komponen sistem imun tertentu sehingga pasien akan mudah terkena infeksi, terutama infeksi oportunistik, misalnya: infeksi jamur Candida albicans pada mulut dan vagina, infeksi oleh Escherichia coli pada traktus digestivus.

IMUNOSTIMULATOR Imunostimulator adalah suatu bahan yang dapat menstimulasi kerja atau aktivitas komponen sistem imun. Pemakaian imunostimulator dimaksudkan agar sistem imun lebih siap atau lebih aktif dalam melaksanakan fungsinya sebagai sistem pertahanan tubuh, sebagai sistem homeostasis tubuh maupun sistem perondaan (surveillance) tubuh. Semula imunostimulator dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu hormon timik, DLE (dialyzable leukocyte extract), interferon, obat dan produk bakterial. Kemungkinan pembagian tersebut sudah tidak tepat, karena dekade terakhir ini banyak penelitian tentang imunomodulator. Penelitian meliputi imunostimulator dan imunosupresor yang berasal dari bahan kimia sintetik atau peptida sintetik walaupun masih dalam tahap uji klinik fase I dan II, dan juga imunostimulator yang berasal dari herbal. Gencarnya penelitian imunomodulator tersebut dikarenakan semakin dirasa perlu pengobatan melalui mekanisme modulasi sistem imun terhadap penyakit yang sulit diatasi menggunakan pengobatan konvensional. Sebagai contoh adalah infeksi viral, infeksi bakteri intraseluler dan kanker, baik sebagai pengobatan langsung (terapi imun) maupun sebagai adjuvan guna memperkuat kerja pengobatan konvensional. Secara umum suatu imunostimulator digunakan untuk pengobatan kasus-kasus imunodefisiensi primer, imunodefisiensi sekunder, gangguan regulasi imun yang mengakibatkan terjadinya penyakit anergi, penyakit imun kompleks, infeksi kronis dan kanker. Gangguan respon imun dapat terjadi karena berbagai macam faktor, diantaranya: genetik (primary immunodefisiences), faktor lingkungan (obat, sinar-X, bahan toksik), fisiologik (umur, kehamilan), patologik (infeksi viral, bakterial, limfoma dan tumor padat). Pada dekade terakhir ini mulai banyak diaplikasikan penatalaksanaan pengobatan yang dikenal sebagai 'chemoimmunotherapy', yaitu suatu cara pengobatan yang mengkombinasikan pengobatan konvensional dengan terapi imun untuk memperoleh hasil pengobatan maksimal.

Hormon timik Faktor timik (thymic factor = ThF) dapat diisolasi dan melalui sifat biokimianya dapat dibedakan satu dengan lainnya dan memiliki aktivitas imunologik yang berbeda pula baik in vitro maupun in vivo. ThF yang berbeda dapat memberikan efek yang sama dalam pengujian imunologik,

75

misalnya dalam menginduksi molekul permukaan limfosit T dalam protimosit. Beberapa sifat dari limfosit T dapat diuji secara in vitro maupun in vivo yang sebelumnya diinkubasi bersama dengan ThF (Fabre RA et al, 2004). Dalam pengobatan banyak digunakan ekstrak timus yang berasal dari sapi, babi atau kambing. Ekstrak timus berupa hormon aktif yang dikelompokkan dalam: 1) thymulin, dikenal juga sebagai FTS (facteur thymique serique), thymopoietin dan thymosin alpha 1. 2) thymosin fraksi V, 3) thymostimulin (TP-1) (Scotnicki AB et al, 1989).

Imunostimulasi oleh ekstrak timus Imunostimulasi ekstrak timus terutama ditujukan terhadap respon imun seluler, walaupun ada beberapa peneliti yang membuktikan bahwa ekstrak timus juga merangsang fungsi limfosit B dalam memproduksi antibodi (respon imun humoral).

+Ekstrak timus mempengaruhi aktivitas limfosit T, baik limfosit T-helper (CD4 ) +maupun limfosit T-sitotoksik (CD8 ). Ekstrak timus memodulasi produksi, maturasi

dan aktivasi limfosit T dan makrofag, dan juga menstimulasi konversi timosit immature menjadi sel T mature di dalam sumsum tulang manusia. Ekstrak timus meningkatkan respon proliferasi limfosit yang distimulasi menggunakan mitogen concanavalin-A (Con-A) maupun phytohemagglutinin (PHA) dari pasien kanker traktus gastrointestinal yang diobati dengan cyclophosphamide. Limfosit dari pasien kanker ganas yang diobati cyclophosphamide umumnya tidak memberikan respon terhadap stimulasi mitogen (Wilson JL, 1999)

DLE (dialyzable lrukocyte extract).DLE atau faktor transfer (TF = transfer factors) diproduksi oleh limfosit melalui aktivitas imunitas seluler (cell-mediated immunity). Sebagai peptida dengan berat molekul rendah, DLE memiliki kemampuan mentransfer ekspresi imunitas seluler atau hipersensitivitas tipe lambat dari donor yang imun ke resipien yang non-imun. Penelitian tentang TF dimulai oleh H. Sherwood Lawrence dengan mengekstraksi leukosit dari donor yang memiliki reaksi kulit (skin test) positif, selanjutnya menginjeksikan ekstrak tersebut ke resipien dengan reaksi kulit negatif (immune compromized). Injeksi tersebut ternyata menjadikan resipien menunjukkan reaksi kulit positif, sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi transfer imunitas sistemik maupun spesifik (Sinanni MC, 1984).Beberapa peneliti menggolongkan DLE/TF sebagai imunoregulator, karena pada prinsipnya DLE/TF tidak meningkatkan aktivitas sistem imun, tetapi lebih meregulasi sistem imun melalui transfer imunitas. Salah satu contoh TF yang banyak diperdagangkan adalah colustrum yang kaya akan TF dan diindikasikan sebagai suplemen. Colustrum adalah produk susu yang diambil setelah kelahiran sampai hari ketujuh. TF adalah peptida molekul kecil yang disusun oleh sejumlah residu asam amino, dimana pola kombinasi asam amino tersebut menjadikan banyak variasi dari

76

TF. Secara umum TF terdiri dari antigen-dependent dan antigen-independent transfer factors, atau imunostimulator atau enhancer factors (LiE), dan dalam jumlah kecil faktor yang menghambat mitogen-dependent lymphocyte transformation (LiF). LiE memiliki berat molekul 300-600, sedangkan LiF mempunyai berat molekul 800-1000 (Montecucchi PC et al, 1990). Penelitian oleh Fabre RA et al (2004) dilakukan untuk mempelajari kegunaan TF terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis pada hewan coba mencit. Setelah diijeksi dengan TF, terjadi pergeseran respon imun menuju ke Th-1 (limfosit T-helper 1), yang ditandai dengan meningkatnya sekresi TNF-α dan aktivitas iNOS (isoform nitric oxide synthase) sehingga menghambat proliferasi M. tuberculosis, serta meningkatkan reaksi DTH (dilayed type hypersensitivity). Sebagai enhancer respon imun, TF banyak diaplikasikan untuk pengobatan infeksi berbagai macam virus, seperti hepatitis B, hepatitis C, herpes, cytomegalovirus, dan juga berbagai macam infeksi bakteri. Walaupun telah banyak publikasi tentang TF serta aplikasinya, akan tetapi FDA (Food and Drug Administration) belum memberikan rekomendasi pemakaian TF karena struktur kimia maupun mekanisme kerjanya belum jelas.

Interferon Interferon adalah protein natural yang diproduksi oleh sel imun yang terdapat pada hampir semua vertebrata dalam memberikan respon terhadap rangsangan bahan asing, termasuk virus, parasit dan sel tumor. Interferon membantu sistem imun dalam menghambat replikasi viral, mengaktivasi sel NK, meningkatkan ekspresi antigen terhadap limfosit dan menginduksi resistensi sel tubuh terhadap infeksi viral. Berdasarkan reseptor yang digunakan, interferon terbagi atas: interferon tipe I, II dan III. Tipe I dengan reseptor IFN-α (IFNAR) dan terdiri atas IFN-α, IFN-β dan IFN-ω. Tipe II dengan reseptor IFNGR, dengan contoh IFN-γ. Tipe III dengan reseptor berupa kompleks yang terdiri dari IL10R2 (disebut juga CRF2-4) dan IFNLR1 (disebut juga CRF2-12) (Liu YJ et al, 2005). Terdapat 3 macam interferon, yaitu interferon α atau interferon leukosit yang menginduksi aktivitas antiviral, meningkatkan aktivitas sel NK, serta meningkatkan ekspresi antigen HLA di permukaan limfosit. Interferon β atau interferon fibroblas meningkatkan aktivitas sel NK, menginduksi aktivitas antiviral dan menghambat pertumbuhan sel fibroblas. Interferon γ atau interferon imun meningkatkan aktivitas makrofag, menginduksi aktivitas antiviral, meningkatkan aktivitas limfosit T-sitotoksik dan meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas II.

Sintesis dan fungsi alamiah interferon Dalam keadaan tubuh normal, interferon berfungsi sebagai antiviral dan antionkogenik, mengaktivasi makrofag, sel NK dan limfosit, meningkatkan ekspresi

77

molekul MHC kelas I dan II. Interferon diproduksi tubuh sebagai respon terhadap invasi mikroba, seperti virus dan bakteri, serta produk yang dihasilkan, misalnya glikoprotein viral, RNA viral, endotoksin bakteri, flagela bakteri dan CpGDNA, termasuk juga mitogen. Sintesis interferon berlangsung bersamaan dengan sintesis berbagai macam sitokin yang lain, seperti IL-1, IL-2, IL-12, TNF dan CSF (colony-stimulating factor) (Dianzani F, 1993). Jika sel tubuh terinfeksi virus, maka di dalam sel tersebut akan mengandung dsRNA dalam jumlah besar dan memicu produksi interferon melalui TLR 3 (Toll-like receptor 3) dalam sistem imun natural, sehingga mengaktivasi faktor transkripsi IRF3, dan selanjutnya mengaktivasi NF-κB. Bila gen yang mengkode sintesis interferon di dalam sel yang terinfeksi dihidupkan (switch on), maka interferon disintesis dan disekresikan ke sel-sel di sekitarnya. Sel normal hanya mengandung interferon dalam jumlah kecil.

Interferon sebagai antiviral dan imunostimulator Sebagai antiviral interferon bekerja melalui berbagai mekanisme, yaitu antara lain:

1. interferon yang disintesis secara alamiah seperti yang disebutkan di atas, akan mengingatkan sel sekitar yang belum terinfeksi bahwa 'there is a wolf in the flock of sheep'. Artinya, bagi sel tetangga yang belum terinfeksi akan segera tertular dan interferon mencegah penularan kepada sel tetangga tersebut.

2. Interferon meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I pada sel yang terinfeksi, sehingga ekspresi antigen viral bersama dengan molekul MHC kelas I ditingkatkan. Akibat dari keadaan ini adalah makin banyak limfosit T-

+sitotoksik (CD8 ) yang mengenali dan melisis nya.

3. Interferon meningkatkan aktivitas p53 dalam sel yang terinfeksi virus dan berakibat sel tersebut akan mengalami apoptosis.

4. Walaupun belum banyak dipublikasikan, interferon mengaktivasi sel NK dan akan melisis secara langsung sel-sel yang terinfeksi virus, karena sel NK dapat mengenalinya melalui molekul asialo GM-10 di permukaan sel yang terinfeksi virus tersebut.

Keterbatasaan pemakaian interferon sebagai antiviral di antaranya adalah terjadinya resistensi viral terhadap interferon, terjadinya kekambuhan, timbulnya rasa nyeri dan demam pada pemberian secara intramuskuler, produksi antibodi netralisasi anti-interferon yang dapat menginaktivasi pemberian interferon selanjutnya pada pemakaian jangka panjang. Contoh kekambuhan yang dapat terjadi adalah pada pasien hepatitis B yang

78

menerima interferon sebesar 35%. Oleh karenanya pemakaian interferon pada pengobatan hepatitis B masih diberikan dalam kombinasi dengan antiviral lain, seperti lamivudin (3TC).

Obat Yang dimaksud dengan imunostimulator kelompok obat adalah yang berasal dari bahan kimia sintetik maupun bahan alami, terutama dari herbal. Imunostimulator dari bahan kimia sintetik yang banyak digunakan antara lain levamisol dan methisoprinol.

Imunostimulator dari bahan kimia sintetikLevamisol Levamisole (LMS) adalah isomer dari tetramizole yang sejak 1966 digunakan sebagai antihelmintik, namun pada 1971 Renoux G dan Renoux M membuktikan aktivitasnya sebagai imunostimulator yang poten. Symoens J et al (1979) membuktikan, bahwa LMS dapat meningkatkan aktivitas limfosit T, makrofag dan neutrofil, serta meningkatkan cGMP dan derajad polimerisasi tubulin (microtubules) sehingga meningkatkan mitogenesis limfosit.

Pasien anak dengan imunodefisiensi yang diberi LMS menunjukkan perkembangan imunologik yang baik. Pada pasien dengan infeksi kronis yang sering kambuh, misalnya RAS (recurrent aphthous stomatitis), herpes labialis dan progenitalis, pemberian imunostimulator LMS dapat menurunkan frekuensi kekambuhan, menurunkan keganasan serta mempercepat proses penyembuhan. Dalam hal ini perlu penekanan, bahwa pemakaian LMS saja tidak dapat menghilangkan infeksi, tetapi memperbaiki respon imun untuk kembali kepada kondisi normal.

LMS digunakan pada pengobatan berbagai macam kanker, seperti melanoma malignan, paru, kanker payudara, kolorektal dan kolon, kepala leher, leukemia dan limfoma. Pada pengobatan kanker, LMS berperan sebagai terapi imun maupun adjuvan. Pemberiannya dilakukan setelah berakhirnya pengobatan konvensional, yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. Tujuan utamanya adalah untuk membersihkan sel tumor sisa yang tidak teratasi melalui pemberian pengobatan konvensional. Komponen sel imun yang telah teraktivasi LMS dapat menghancurkan sisa sel tumor.

Methisoprinol (Inosiplex, Isoprenosine, Viruxan)Methisoprinol adalah senyawa yang mengandung inosine yang telah terbukti memiliki sifat imunomodulator terhadap hewan coba dan manusia. Diperkirakan pelepasan inosine ke dalam jaringan atau cairan tubuh mengakibatkan terjadinya aktivitas biologik yang dapat mempengaruhi fungsi dan aktivitas komponen sistem imun.

Pada penelitian terhadap respon proliferasi pada hewan coba mencit

79

Disamping respon proliferatif limfosit, pengujian imunologis yang lain dari methisoprinol seperti tertera pada tabel 2 .

maupun sel imun manusia, ternyata pemberian methisoprinol dapat meningkatkan respon proliferasi limfosit T dan B sampai 3,8 kali, seperti terlihat pada tabel 1 .

80

Uji in vivo (tepatnya ex vivo) methisoprinol terhadap fungsi sel imun dilakukan terhadap berbagai macam antigen atau mitogen dengan hasil seperti tabel 3 .

81

Vitamin dan mineralTerdapat hubungan erat antara status nutrisi dan sistem imun, dimana banyak dilaporkan penurunan respon imun akibat nutrisi buruk. Imunodefisiensi dapat terjadi karena rendahnya asupan energi, macronutrients dan/atau defisiensi micronutrient spesifik tertentu, termasuk di antaranya adalah vitamin dan mineral. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa vitamin bukan merupakan imunostimulator, tetapi lebih tepat sebagai immune support. Vitamin A diperlukan dalam imunitas adaptif serta perkembangan limfosit B dan subset limfosit T-helper. Defisiensi vitamin A dapat berakibat menurunnya respon imun natural, melemahnya fungsi barrier mukosal dan fungsi leukosit. Vitamin E membantu diferensiasi limfosit T dalam timus dan diperkirakan berperan dalam fungsi signaling limfosit T dan aktivitas sel NK. Studi klinik membuktikan bahwa vitamin E berperan dalam memelihara kemampuan sistem imun pada usia lanjut. Vitamin B berperan penting dalam pertumbuhan sel imun. Defisiensi vitamin B erat hubungannya dengan menurunnya sekresi IL-2, suatu sitokin yang berperan dalam proliferasi limfosit T. Asam folat meningkatkan proliferasi limfosit T dan produksi sitokin. Vitamin C bersifat antioksidan dan membantu dalam pertumbuhan leukosit. Vitamin C diperlukan dalam membantu produksi antibodi dan interferon. Peran vitamin C sebagai pencegahan terhadap demam influenza masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Zinc (Zn), berfungsi membantu regulasi berbagai aktivitas sistem imun. Defisiensi berat zinc dapat menurunkan fungsi imun, seperti menurunnya proliferasi limfosit T dan menurunnya produksi IL-2. Salah satu contoh akibat defisiensi zinc adalah atropi timus dan menurunnya respon seluler maupun humoral.

Imunostimulator berasal dari herbalEchinaceaEchinacea telah lama digunakan oleh penduduk asli Amerika sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit. Di antara spesies Echinacea yang banyak digunakan sebagai obat adalah E. Agustifolia, E. Purpurea, dan E. Pallida. Sejak 20 tahun terakhir penelitian tentang Echinacea banyak ditekankan terhadap

82

kemampuannya sebagai imunomodulator (Painter FM, 2001). Ekstrak alkohol Echinacea menstimulasi produksi leukosit, meningkatkan aktivitas fagositosis dan meningkatkan aktivitas sitotosisitas sel NK, termasuk juga aktivitas sel NK melalui antibody-dependent cellular cytotoxicity. Terhadap sistem komplemen, Echinacea meningkatkan aktivitas sistem komplemen melalui jalur alternatif (Melchart D et al, 1995; Kim LS et al, 2002). Penelitian Burger RA (1997) menggunakan kultur makrofag membuktikan Echinacea dapat meningkatkan sekresi IL-1, IL-6, TNF-α dan IL-10. Bahkan pada dosis yang rendah sekalipun Echinacea dapat meningkatkan sekresi IL-10. IL-10 adalah sitokin antiinflamasi yang disekresi oleh subset limfosit T-helper 2 (Th-2). Apabila IL-10 disekresi dalam jumlah besar berarti respon imun bergeser ke Th-2 dan berarti pula respon imun Th-1 (respon imun seluler) dihambat (fenomena switch on-switch off dari keseimbangan Th-1 dan Th-2 sistem imun). Disamping itu, meningkatnya sekresi IL-10 dapat menghambat aktivitas monosit/makrofag, baik sebagai sel fagosit, sel penyaji antigen (APC = antigen presenting cells) maupun aktivitasnya dalam melisis sel. Oleh karena itu pemakaian Echinacea untuk demam influenza (common cold) tidak dianjurkan lebih dari 7 hari. Hasil serupa diperoleh dalam penelitian Rininger JA (2000) menggunakan sel mononuklear yang diisolasi dari darah perifer manusia, dimana stimulasi Echinacea akan meningkatkan sekresi TNF-α, IL-1α, IL-1β, IL-6, IL-10 dan nitric oxide.

Terapi imun dan terapi adjuvan Terapi imun adalah cara pengobatan dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas dan atau fungsi komponen sistem imun agar dapat melakukan eradikasi atau perbaikan pada bagian tubuh yang sakit. Sebagai contoh adalah untuk kasus pasien yang mengalami imunodefisiensi, pasien pasca pengobatan kanker konvensional yaitu pembedahan, kemoterapi atau radioterapi. Terapi imun dimaksudkan juga sebagai usaha preventif agar orang tidak mudah terkena infeksi pada saat terjadi wabah atau memasuki daerah endemik suatu penyakit. Terapi adjuvan adalah terapi yang diberikan bersamaan dengan terapi utama. Tujuan terapi ini untuk lebih mengoptimalkan kerja dan meningkatkan keberhasilan terapi utama, yaitu melalui mekanisme kerja secara aditif, potensiasi, atau kemungkinan hanya untuk mengurangi efek samping obat utama. Contoh pemakaian imunomodulator sebagai adjuvan adalah pada pengobatan infeksi yang sulit untuk ditanggulangi, misalnya infeksi virus, jamur dan bakteri intraseluler (tbc dan lepra). Adjuvan pada pengobatan kanker bekerja dengan cara mendapatkan efek potensiasi bersama obat kanker (kemoimunoterapi) atau sekedar menghilangkan efek samping dari obat kanker tersebut.

83

Phyllanthus niruriImunomodulator natural atau herbal yang dihasilkan oleh peneliti dari Universitas

® ®Airlangga adalah ekstrak Phyllanthus niruri/ekstrak phyllanthi (Divens /STIMUNO ). Uji imunologis menggunakan hewan coba mencit membuktikan bahwa ekstrak Phyllanthus niruri sebagai imunostimulator (tabel 4), sedangkan pada manusia (pasien hepatitis B dengan HBsAg persisten > 6 bulan) efek imunologis yang ditimbulkan seperti terlihat pada tabel 5 (pre-post test design).

84

Sebelum dinyatakan sebagai fitofarmaka, ekstrak Phyllanthi harus melalui berbagai uji klinik yang dilakukan di beberapa rumah sakit terkemuka di Indonesia, dan melibatkan berbagai macam kasus. Pada tahap uji klinik inilah penelitian obat herbal untuk mencapai status fitofarmaka memerlukan biaya yang sangat besar serta kegigihan yang luar biasa, karena masih banyak rumah sakit (tepatnya dokter) yang masih enggan untuk melaksanakan uji klinik obat herbal. Khusus obat herbal yang telah melewati status obat herbal terstandar (melewati uji khasiat dan toksisitas pada hewan coba), uji klinik dapat langsung dilakukan pada fase III. Uji klinik ekstrak Phyllanthus niruri di berbagai rumahsakit dengan beberapa kasus terlihat pada tabel 6.

85

Imunomodulator herbal yang lain. Garlic (Allium sativum L) dilaporkan menstimulasi aktivitas makrofag dan sel NK dan meningkatkan produksi IL-2, TNF-α, dan IFN-γ. Aktivitas imunologis tersebut terutama ditimbulkan oleh komponen S-allylcysteine dan S-allylmercaptocysteine. Peran garlic dalam sistem imun terutama untuk homeostasis (fungsi sistem imun adalah: pertahanan, surveillance dan homeostasis). Noni (Morinda citrifolia), digunakan secara luas di Amerika dan Eropa. Komponen aktifnya berupa polisakarida dan glikosida. Noni memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan jamur patogen, mikroflora oral patogen, seperti Streptococcus mutans dan S. Ginggivalis, serta patogen yang resisten terhadap antibiotika. Aloe (Aloe barbadensis), dimana kandungan polisakarida mengaktivasi makrofag dan menstimulasi pertumbuhan fibroblas. Fraksi karbohidrat Aloe vera yang dikenal sebagai acemannan meningkatkan aktivitas makrofag dan limfosit T-

+sitotoksik (CD8 ), serta mengaktivasi sel dendritik. Maitake, dimana fraksi D dari maitake menghambat aktivasi sel B, tetapi

+meningkatkan aktivitas limfosit T-helper (CD4 ) memperbesar produksi sitokin dan meningkatkan aktivitas sitotoksisitas makrofag dan sel NK. AHCC (Active Hexose Correlated Compound) yang diisolasi dari mushroom dengan bahan aktif berupa glucan-α dan glucan-β (acetylated) meningkatkan proliferasi sel-sel limpa dan produksi sitokin. Dalam studi dengan hewan coba yang diinfeksi virus influenza, AHCC menurunkan keganasan virus dan meningkatkan derajad survival hewan coba, dengan cara meningkatkan respon imun natural, terutama aktivitas sitotoksisitas sel NK. Masih banyak lagi obat herbal yang dilaporkan memiliki aktivitas sebagai imunomodulator, terutama sebagai imunostimulator.

Produk bakterial Komponen sel bakteri yang berbeda dapat memberikan respon imunologis yang berbeda. Komponen bakteri gram positif, misalnya Staphylococcus aureus,

86

terdiri dari: kapsul, clumping factors, protein A, protein B, asam teikhoat (teichoic acid), dan peptidoglikan. Sedangkan komponen bakteri gram negatif terutama yang memiliki aktivitas imunomodulator adalah endotoksin atau lipopolisakarida. Telah banyak dilakukan penelitian imunomodulator dari komponen bakteri tersebut, terutama terhadap respon antibodi, namun belum banyak produk imunostimulator yang diproduksi dari komponen bakteri yang diaplikasikan untuk pengobatan, kebanyakan untuk tujuan penelitian. Berbagai macam mikroorganisme telah diteliti aktivitasnya sebagai imunomodulator. Produk bakterial yang pertama digunakan sebagai imunomodulator berasal dari micobacterium yang dikenal sebagai BCG (Bacillus Calmette-Guerin) berasal dari Mycobacterium bovis. BCG digunakan untuk vaksinasi terhadap tuberkulosis. Keberhasilan vaksinasi sangat tergantung pada faktor genetik dan lingkungan. Telah dibuktikan oleh Young SL et al (2002), bahwa vaksinasi BCG dapat meningkatkan sekresi IL-2 dan menggeser respon imun ke arah Th1 yang dibuktikan dengan meningkatnya sekresi IFN-γ yang merupakan salah satu limfokin yang disekresi oleh subset limfosit T-helper 1 (Th1). Hasil serupa diperoleh dari hasil penelitian Ota MOC et al (2002) melalui vaksinasi BCG pada anak. BCG menginduksi respon tipe Th1 terhadap tuberkulosis, tetapi juga meningkatkan respon Th2 (humoral) terhadap polio yang dibuktikan dengan meningkatnya titer antibodi terhadap polio apabila vaksinasi polio didahului dengan pemberian BCG (Machteld N et al, 2002). Terhadap neutrofil menurut Suttmann H et al (2003), BCG meningkatkan regulasi ekspresi gen untuk sitokin proinflamasi (IL-1α, IL-1β, IL-8, MIP-1α, MIP-1β, transforming growth factor β), dan ekspresi gen untuk berbagai reseptor, seperti: IL-2Rγ, IL-10Rα, IL-6R.. Sebaliknya, terhadap ekspresi gen untuk IL-9, IL-12α, IL-15, IL-5Rα dan IL-13Rα justru malah ditekan. Terhadap sel stromal endometrial, BCG 1

+meningkatkan aktivitas sitotoksisitas sel NK (CD56 ) sehingga diperkirakan BCG dapat digunakan sebagai terapi imun untuk kasus endometriosis (Clayton RD et al, 2004).

Produk bakterial yang dikembangkan di Jepang adalah OK-432 (Picibanil) dari bakteri Streptococcus pyogenes untuk pengobatan kanker (Nakayama F et al 1998). Pengujian in vitro terhadap OK-432 menggunakan sel mononuklear darah perifer pasien kanken lambung menunjukkan bahwa OK-432 meningkatkan aktivitas sel NK terhadap sel target K562, meningkatkan produksi IFN-γ, TNF-α dan IL-2. Uji klinik terhadap pasien kanker lambung dikombinasikan dengan obat kanker sintetik (chemoimmunotherapy) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang hanya diberi khemoterapi.

Phyllanthus niruri sebagai terapi adjuvan pengobatan kankerPenelitian preklinik (disampaikan sebagai presentasi oral pada kongres kanker Internasional ke-18 / 18th International Cancer Congress Oslo Norway, 2002) tentang pemakaian ekstrak Phyllanthus dalam pengobatan kanker, dimulai dengan

87

Cisplatin diberikan secara i.p, ekstrak Phyllanthus niruri diberikan per oral selama 6 hari sebelum pemakaian cisplatin. Pada hari 14, darah diambil untuk mengukur berat badan, angka leukosit dan kadar hemoglobin

Mencit yang menerima terapi cisplatin saja mengalami penurunan berat badan sampai 4,0 ± 0,8 g, penurunan Hb sebesar 6.8 ± 0,4 g/dl dan penurunan leuosit

9sebesar 4,6 ±0,21 (x 10 /L). Sementara, yang menerima kombinasi cisplatin dan ekstrak phyllanthi mengalami penurunan berat badan hanya 0,6 ± 0,1 g, penurunan

9Hb hanya 0,4 ± 0,01 g/dl dan penurunan jumlah leukosit hanya 0,4 ± 0,11 (x 10 /L). Disimpulkan bahwa ekstrak Phyllanthi dapat meningkatkan fungsi imun dan menurunkan efek samping pengobatan kanker dengan cisplatin. Penelitian serupa tetapi dengan pengamatan efek samping cisplatin terhadap BUN dan kreatinin terlihat pada tabel 8 dan 9.

percobaan menggunakan hewan coba mencit terhadap efek samping obat kanker sintetik cisplatin. Dalam penelitian tersebut ekstrak Phyllanthus bertindak sebagai terapi adjuvan. Ternyata kelompok mencit yang mendapat pengobatan cisplatin bersama dengan ekstrak Phyllanthus memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak disertai dengan pemberian Phyllanthus, seperti pada tabel 7 (Ma'at S, 2002)

88

Disimpulkan bahwa pemberian ekstrak Phyllanthus dalam pengobatan kanker menggunakan cisplatin dapat menurunkan resiko kenaikan level BUN dan kreatinin (Adityo WP, 2004 )

Penelitian oleh Wijanarko H (2009) di Departemen Radiologi RSUD Dr. Soetomo tentang pemakaian ekstrak Phyllanthus niruri sebagai radioprotektif pada penderita karsinoma serviks stadium local advanced menyimpulkan bahwa:

1) Terapi kombinasi radiasi ekstrak Phyllanthus niruri pada karsinoma serviks stadium local advanced (IIB, IIIA dan IIB) dapat meningkatkan respon terapi dibandingkan dengan hanya terapi radiasi saja.

2) Terdapat perbedaan pengecilan volume tumor primer pada pasien yang diberikan radiasi dan ekstrak Phyllanthus niruri dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan radiasi saja.

3) Didapatkan kategori respon terapi yang lebih baik (respon parsial dan minimal) pada pasien yang diberikan terapi kombinasi radiasi dan ekstrak Phyllanthus niruri pada semua stadium tumor (IIB dan IIIB) dan tidak ada pasien dengan respon progresif.

4) Didapatkan kategori respon terapi yang lebih baik (respon parsial dan minimal) pada pasien yang diberikan terapi kombinasi radiasi dan ekstrak Phyllanthus niruri pada pasien dengan histo-PA squamous cell carcinoma dan adeno carcinoma.

Penelitian serupa dilakukan oleh Jannah LM (2009), dimana potensi radioprotektif yang diamati meliputi toksisitas akut radiasi pada hematopoietic, kulit, bowl dan bladder. Disimpulkan bahwa didapatkan derajad toksisitas yang lebih rendah, baik pada sumsum tulang, kulit, intestin, rektum, dan bladder pada penderita yang mendapatkan kombinasi radiasi dan pemberian ekstrak Phyllanthus niruri, dibandingkan dengan yang tanpa pemberian ekstrak.

89

Tantangan, hambatan dan polemik terkait produk imunomodulatorTantanganProduk imunomodulator memiliki prospek cerah dalam dunia pengobatan. Aktivitasnya berupa imunosupresor untuk penyakit autoimun dan transplantasi organ, maupun imunostimulator untuk mengatasi infeksi yang sulit diatasi dengan antibiotika konvensional, terutama dengan semakin banyaknya kasus resistensi antibiotika. Perkembangan obat untuk infeksi viral, misalnya untuk pengobatan hepatitis B dan C juga terbatas. Keadaan ini menjadi peluang bagi imunostimulator untuk berperan sebagai terapi adjuvan, lebih-lebih dengan seringnya terjadi mutasi virus yang menginfeksi manusia, seperti SAR dan flu burung.

HambatanProduk imunomodulator, terutama imunostimulator, sementara ini masih didominasi produk herbal dan Indonesia semestinya berpeluang untuk menghasilkan. Hambatan yang terjadi adalah minimnya pengetahuan imunologi pada hampir semua farmasis Indonesia, sehingga riset berbasis imunologi tidak tersentuh. Belum dimasukkannya mata kuliah imunologi dalam pendidikan kefarmasian di Indonesia menjadi salah satu penyebabnya. Penyebab lainnya adalah biaya yang harus dikeluarkan dalam riset berbasis imunologi yang sangat mahal, termasuk juga biaya dalam uji klinik, sehingga industri farmasi tidak berani masuk ke dalamnya.

Polemik Walaupun sudah dibekali dengan hasil uji klinik di berbagai rumah sakit terkemuka di Indonesia, tidak semua dokter dapat menerima produk imunomodulator. Beberapa di antara mereka masih meragukan kegunaannya, dan baru menoleh kepada produk imunomodulator ketika menghadapi jalan buntu saat mengobati pasien. Di kalangan para dokter sendiri pengetahuan terhadap imunologi sangat bervariasi, walaupun hal yang berkaitan dengan imunologi hampir selalu ada pada semua cabang ilmu kedokteran. Masih terdapat keengganan para dokter untuk mendalami masalah tersebut karena dianggap terlalu rumit.

Prospek di masa mendatangProspek imunomodulator sangat cerah, baik yang bersifat imunostimulator maupun imunosupresor. Keadaan itu juga berlaku bagi Indonesia, mengingat hingga saat ini imunomodulator banyak dihasilkan dari produk herbal. Alasan utamanya adalah di Indonesia hanya produk herbal yang dapat dikembangkan sebagai obat baru, sementara untuk produk obat sintetik kita ketinggalan seratus tahun dari negara maju.

90

PenutupImunomodulator yang tergolong kelompok imunosupresor digunakan dalam transplantasi organ guna mencegah rejeksi, penyakit otoimun dan infeksi dengan proses inflamasi yang berlebihan (overreact), dengan efek samping terjadinya infeksi oportunistik akibat menurunnya fungsi dan aktivitas sistem imun. Imunomodulator yang tergolong dalam imunostimulator digunakan sebagai terapi imun dalam menghadapi pasien imunodefisiensi dan sebagai terapi adjuvan pengobatan kanker, infeksi menahun atau infeksi yang sulit disembuhkan.

91

.........................................

Daftar Pustaka

1) Adityo WP. Efek ekstrak etanol meniran (Phyllanthus niruri L) terhadap penurunan nefrotoksik akibat cisplatin pada mencit. Skripsi. Fakultas Farmasi UBAYA. 2004.

2) Dianzani F. 1993. Biological basis for the clinical use of interferon. Gut.; 34 (2 suppl): S74-6.

3) Fabre RA, Perez TM, Aguilar MD, Rangel MJ, Estrada-Garcia I, Hernandez-Pando R, Estrada-Parra S. 2004. Transfer factors as immunotherapy and supplement of chemotherapy in experimental pulmonary tuberculosis. Clinical & Experimental Immunology.; 135(2): 215-223.

4) Jannah LM. Potensi radoprotektif ekstrak Phyllanthus niruri pada penderita karsinoma serviks stadium local advenced. Laporan Penelitian. Program pendidikan dokter spesialis I. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2009.

5) Kay JE, Kromwel L, Doe SE, Denyer M: Inhibition of T and B lymphocyte proliferation by rapamycin. Immunology. 1991;72 : 544-549

6) Kim LS, Waters RF, Burkholder PM. 2002. Immunological activity of Larch arabinogalactan and Echinacea: a preliminary randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Altern Med Rev. ; 7(2): 138-149.

7) Knoll GA, Bell RC. Tacrolimus versus cyclosporin for immunosuppression in renal transplantation: meta-analysis of randomized trials. British Medical Journal. 1999; 318(7191): 1104-1107.

8) Lichtiger S, Present D, Kornbluth A, Gelernt I, Bauer J, Michelassi F, Hanauer S. Cyclosporin in severe ulcerative colitis refractory to steroid therapy. N Engl J Med. 1994; 330(26): 1841-5.

9) Liu J, Farmer J, Lane W, Friedman J, Weissman I, Ascreiber S.”Calcineurin is common target of cyclophilin-cyclosporin A and FKB-FK506 complexes. Cell. 1991; 66(4): 807-15.

10) Liu YJ. 2005 ."IPC: professional type 1 interferon-producing cells and plasmacytoid dendritic cell precursors". Annu Rev Immunol ;23: 275-306.

11) Ma'at S. Protective and Immunomodulating effect of Phyllanthus niruri thextract in the treatment of Cancer. 18 UICC International Cancer Congress.

Oslo-Norway, 30 June-5 July 2002.12) Ma'at S. Toll-like Receptor. 2009. Airlangga University Press.13) Melchart D, Linde K, Worku F, Sarkady L, Holzmann M, Jurcic K, Wagner H.

1995. Result of five randomized studies on the immunomodulatory avtivity of preparation of Echinacea. J Altern Complement Med; 1(2): 145-160.

14) Montecucchi PC, Caldarin R, Sanso M, Bertolaso AM, Secondo RS, Piccolo G, Sirchia G. 1990. Purification of immunomodulatory molecules from peripheral blood leukocytes. J. Chromatogra.; 512: 139-147.

92

15) Painter FM. Echinacea monograph. Alternative Medicine Review. 2001; 6(4): 411-414.

16) Rininger JA, Kickner S, Chigurupati P, McLaren A, Franck Z. Immunopharmacological activity of Echinacea preparation following stimulated digestion on murine macrophages and human peripheral blood mononuclear cells. Journal Leukocyte Biology. 2000; 68 503-510.

17) Sinclair, A, Baildon, R . Mycophenolate mofetil: an overview. Lupus 2006; 15: 70-77

18) Sirianni MC, Paganelli R. 1984. In vitro and in vivo effects of dialyzable leukocyte extract. In: Fudenberg HH, Whitten HD, Ambrogi F. Immunomodulation, New frontier and advances. Plenum Press New York and London. : 85-105.

19) Skotnicki AB. 1989.Therapeutic application of calf thymus extract (TFX). Medical Oncology & Tumor Pharmacotherapy. , 6(1):31.

20) Suprapto Ma'at. 1997. Phyllanthus niruri L sebagai imunostimulator pada mencit. Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.

21) Sweeney MJ, Hoffman DH, Esterman MA: Metabolism and biochemistry of mycophenolic acid. Cancer Res. 1972;32 : 1803-1809

22) Wijanarko H. Evaluasi respon radioterapi pada penderita karsinoma serviks stadium local advanced dengan pemberian ekstrak Phyllanthus niruri. Laporan penelitian. Program Pendidikan dokter spesialis I radiologi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2009.

23) Wilson JL. 1999. Thymus extracts; an international literature review of clinical studies. Foundation for Immunology and Nutrition, Development, Education and Research.

93

Communication Skill : Kunci Kesuksesan Apoteker Drs. Harry Bagyo, Apt.

Non solum flos, non solum spes, sed etiam radix patriae. (Artinya: "jangan hanya sebagai bunga (yang hanya bagus dilihat), jangan hanya sebagai dahan (yang selalu bergantung pada pihak lain), namun jadilah akar (yang menunjang kuat semua yang ada diatasnya).

Kalimat itu tidak pernah hilang dari dalam diri saya, terutama saat merenungkan

kiprah dalam dunia kerja yang saya lakoni setelah menyelesaikan pendidikan pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Sebenarnya, dunia kerja sudah mulai saya geluti ketika belum lulus pendidikan sarjana farmasi, dengan alasan keterbatasan ekonomi. Pada waktu itu, saya telah bekerja di sebuah pabrik farmasi sebagai seorang analis laboratorium sambil menyelesaikan tugas akhir. Konsultasi dengan dosen pembimbing terpaksa dilakukan setelah selesai bekerja., dimana sebagian besar dilakukan dirumah dosen pembimbing mulai jam 21:00 sampai jam 23:00. Tentu hal itu terlaksana karena bimbingan seorang dosen yang sangat suportif sehingga bersedia memberikan waktu sampai larut malam. Ketika berhasil lulus sarjana farmasi tahun 1976, saya meneruskan kerja, dan baru pada akhir 1980 melanjutkan pendidikan profesi sampai tahun 1981.

Dari sekian banyak pengalaman yang diperoleh selama bekerja, saya mengamati pentingnya penguasaan kemampuan berkomunikasi para tenaga professional sebagai salah satu faktor terpenting bagi peningkatan karir. Apapun jenis pekerjaan dan profesi yang ditekuni, ternyata key success factor yang terpenting adalah communication skill dan hal lain yang terkait dengan people skill. Sayang mata kuliah tentang topik itu tidak diperoleh saat berkuliah. Jadi, selain ilmu-ilmu farmasi, seorang sarjana farmasi perlu dibekali keilmuan communication skill, leadership dan followership, pengetahuan tentang tipe-tipe personalitas, serta rasa percaya diri dan citra diri yang positif (positive self image).

94

95

Beberapa referensi, seperti yang ditulis oleh Brian Tracy, Ken Blanchard, John Maxwell menyebutkan, bahwa dalam dunia kerja, kontribusi technical knowledge dan technical skill adalah 10%, conceptual skill 10%, sementara people skill 80%.Artinya, seorang eksekutif yang memiliki intelegensi cukup tinggi kemungkinan besar tidak dapat mencapai puncak karier hanya karena kurang mampu memberikan perhatian kepada bawahannya, kurang bisa membina teamworkship, kurang peka terhadap aspirasi bawahan, kurang bisa menghargai dan berkomunikasi dengan peers dan bawahan. Sementara, sosok eksekutif dengan intelegensi yang sedang-sedang saja memiliki peluang lebih besar mencapai karir puncak karena ketrampilan berkomunikasi dan membina kerjasama tim secara baik. Melalui kemampuan itu, maka bawahan dan rekan2-nya merasa nyaman bekerja dan mampu mengekspresikan seluruh kompetensi mereka secara optimal.Pendidikan pada Fakultas Farmasi telah memberikan bekal keilmuan teknis yang lebih dari cukup. Mata kuliah yang terkait penguasaan communication skill belum mendapat perhatian karena padatnya jadual perkuliahan dan praktikum yang dirasakan jauh lebih penting. Kegiatan praktikum yang bersifat individual dikhawatirkan makin menutup peluang mahasiswa mengasah kemampuan berkomunikasi secara umum, dan hal itu bukan tidak mungkin akan menghambat karier lulusan yang bekerja di berbagai sektor seperti industri, rumah sakit dan farmasi komunitas. Oleh sebab itu, sudah saatnya pendidikan tinggi farmasi mempertimbangkan pemberian bekal pengembangan diri kepada lulusan melalui kegiatan intra dan ekstra kurikuler, agar mampu berkiprah sebagai tenaga profesi yang diakui masyarakat.

Hal penting lain yang perlu memperoleh perhatian adalah kemampuan memandang diri sendiri secara positip, atau yang disebut positive self image (citra diri yang positif). Ini adalah persepsi atau paradigma tentang diri kita sendiri. Cara memandang dan menilai diri sendiri sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam mengekspresikan profesinya , Apakah kita menilai diri kita sebagai seorang yang sukses, atau sebagai orang yang biasa-biasa saja, atau bahkan hanya sebagai orang yang gagal? Orang yang berpandangan positif lebih banyak kemungkinan untuk mencapai keberhasilan.Beberapa contoh dapat dikemukakan untuk lebih memahami hal itu, antara lain (i) Aktor Charlie Chaplin saat masih terlunta-lunta tanpa tempat tinggal dan kelaparan sambil mengais sia-sisa makanan, selalu memandang diri sendiri sebagai aktor terbesar sepanjang sejarah, dan ia membuktikannya. (ii) Jim Carey, seorang aktor dengan penghasilan besar yang membintangi film The Mask, selalu memandang diri sendiri sangat positif sebagai seorang aktor terkemuka dengan penghasilan besar, dan dia mendapatkannya ketika bermain difilm tersebut.

(iii) Tukul Arwana tidak pernah melihat keterbatasan fisiknya, mulut yg terlalu "mancung" sebagai suatu kelemahan, ia malah memakainya sebagai salah satu individual trademark yang membanggakan. Ia juga menggunakan aksen “medhok"-nya sebagai diferensiasi dan membuatnya justru "stand out of the crowd".

Ketiga contoh tersebut juga mengindikasikan tentang perlunya seseorang untuk melakukan show – off atau sell ourselves (menjual kemampuan diri).Keberhasilan beberapa alumni Fakultas Farmasi Universitas Airlangga “menjual kemampuan diri” dan mencapai karir/ prestasi puncak, seperti sejawat Retno Tyas Utami, Suprapto Maat, Ahaditomo, Wahono Sumaryono, Suharno, Muntaha, Imam Faturrohman, Amarina, Farida, Basuki Mulya Rahardjo (dan masih banyak sejawat lain yang belum disebutkan disini), mereka memiliki kesamaan atribut personalitas yang menonjol, yaitu percaya diri sehingga memiliki citra diri positif, berambisi secara positif, kemampuan leadership dan followership yang kuat, mampu membina teamworkship, memiliki network yang luas, ulet, gigih dan bersungguh-sungguh.Mereka telah berhasil mencapai posisi yang sangat strategis baik di pemerintahan sampai di tingkat Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Deputi Kepala Badan POM, Kepala PPOM, dan direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Farmasi. Di sektor swasta banyak yang telah berhasil mencapai posisi puncak sebagai direktur dan komisaris.

Semua contoh tersebut membuktikan, bahwa lulusan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga telah membuktikan kemampuannya menjadi “akar” yang menopang bagian tubuh tanaman di atasnya, dan tidak sekedar menjadi “bunga” atau “dahan” saja. Semoga kiprah mereka dapat dijadikan tambahan bekal bagi pencapaian kesuksesan generasi selanjutnya.Terima kasih Fakultas Farmasi, terima kasih Almamater.

.........................................

96

Saya dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang, namun latar belakang karir ibu

yang pernah berkarya sebagai guru Sekolah Dasar kemungkinan besar telah melahirkan cita-cita saya untuk menjadi pendidik formal. Keinginan itu tumbuh sangat kuat sejak masa kecil, sebagai pilihan karir hidup dan karya pelayanan saya di kemudian hari.

Pilihan karir menjadi seorang apoteker sebagai jalan hidup mulai muncul saat saya menempuh pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) setelah berjumpa dengan salah seorang anggota keluarga besar yang berkarir sebagai apoteker. Ketika itu saya menilai nya sebagai sosok yang tekun bekerja dan sangat mencintai kehidupan profesinya. Keadaan itu lebih diperkuat lagi dengan kegemaran saya pada disiplin ilmu kimia, fisika, biologi dan matematika sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama. Oleh sebab itu setelah menuntaskan studi di SMA pada tahun 1984, saya memilih Fakultas Farmasi Universitas Airlangga sebagai pilihan pertama dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga sebagai pilihan kedua melalui jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). Reputasi dan nama besar Universitas Airlangga telah saya kenal sejak lama, sehingga tidak ada keraguan sedikit pun untuk memilih institusi pendidikan ini sebagai tempat menempuh pendidikan tinggi yang akan menunjang kesuksesan saya dalam meniti kehidupan karir di kemudian hari. Puji Tuhan yang telah menjawab doa saya, dimana pada akhirnya saya diterima di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang menjadi impian dan dambaan.

Selama belajar di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, saya memperoleh pengalaman belajar yang luar biasa. Selain pengembangan hard skills (ilmu-ilmu kefarmasian yang mendukung karir apoteker) saya mendapatkan banyak pengetahuan soft skills, antara lain nilai-nilai kedisiplinan, ketekunan, kerja keras, kerja sama, menghargai waktu, tangguh, jujur, peduli, reflektif, kreatif, antusias. Saya yakin bahwa semua itu sangat mendukung kemajuan karir saya dewasa ini.Semua pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku tersebut saya peroleh melalui

97

Pendidikan Farmasetika Untuk Mempersiapkan Lulusan Pendidikan Tinggi FarmasiDrs. Kuncoro Foe, G.Dip.Sc., Ph.D., Apt.

keterlibatan saya di dalam berbagai kegiatan intra dan ekstra kurikuler. Kegiatan intra-kurikuler adalah sebagai asisten mahasiswa pada praktikum preskripsi, sementara kegiatan ekstra-kurikuler diperoleh melalui keterlibatan di dalam kegiatan kemahasiswaan sebagai Ketua Seksi Pendidikan Senat Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dan anggota aktif di dalam tim Paduan Suara, Vocal Group, olah raga basket.Nilai yang dihayati melalui partisipasi aktif di dalam seluruh kegiatan tersebut saya rasakan sangat mendukung dan memberikan kontribusi yang positif pada pembentukan kepribadian. Hal tersebut pada gilirannya sangat mendukung perjalanan kehidupan karir saya, khususnya dalam bidang kepemimpinan organisasi.

Setelah lulus studi jenjang program S-1 Farmasi pada tahun 1989 dan profesi apoteker di Universitas Airlangga pada tahun 1990, saya merintis karir pekerjaan sebagai seorang dosen di Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya terhitung sejak 1 Agustus 1990. Selain itu saya sempat berkarir di dunia profesi farmasi komunitas, sebagai Apoteker Pengelola Apotek di Apotek L'AFIAT pada kurun waktu tahun 1991-1994.Sejak tahun 1994 saya mengembangkan karir di dunia pendidikan melalui studi lanjut pada jenjang postgraduate diploma dan doktoral di Fakultas Farmasi, Sydney University, Australia hingga menuntaskan studi pada tahun 1999. Dasar ilmu kefarmasian yang saya peroleh di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga sangat mendukung kelancaran, keberhasilan dan prestasi studi lanjut di Australia itu dengan hasil yang sangat memuaskan. Hal ini menunjukkan tingginya kualitas pembelajaran dan kompetensi para dosen yang dengan tulus hati senantiasa membimbing dan mengembangkan diri saya selama studi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

Selama perjalanan kehidupan karir saya di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, saya memperoleh amanah untuk menduduki beberapa posisi jabatan struktural, antara lain Ketua Laboratorium Farmasi Fisika, Ketua Laboratorium Formulasi dan Teknologi Sediaan Likuida, Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Wakil Dekan bidang Akademik di Fakultas Farmasi, Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat tingkat Universitas, Wakil Rektor bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama, hingga pada akhirnya saya diberi amanah untuk menjabat sebagai Rektor selama 4 tahun ke depan terhitung mulai 1 November 2012.

Berkaitan dengan kepedulian saya terhadap pengembangan soft skills mahasiswa, saya telah mempublikasikan dua buah buku terkait pengembangan karakter mahasiswa melalui model pengukuran soft skills, yaitu (1) Foe, K., Adi, K. (2011). Pedoman Monitoring dan Evaluasi: Capacity Building Kegiatan Kemahasiswaan, Jaringan Akademik dan Kemahasiswaan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), Yogyakarta, dan (2) Foe, K., Hindiarto, F., Istono, M., Kuswandono, P. (2010). Instrumen Monitoring dan Evaluasi: Pengembangan Karakter Mahasiswa,

98

Jaringan Akademik dan Kemahasiswaan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), Yogyakarta.

Selain aktivitas yang dinamis di dunia kampus, saya juga terlibat aktif di dalam kepengurusan asosiasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia) pada beberapa periode, antara lain sebagai Sekretaris, Wakil Ketua Bidang Hubungan Kelembagaan, Wakil Ketua Bidang Kesejahteraan dan Pengabdian kepada Masyarakat, untuk bersama sejawat apoteker lainnya memperjuangkan eksistensi dan pencitraan profesi apoteker di tengah masyarakat.

Kualifikasi sumber daya manusiaPergumulan kehidupan karir dan studi saya lalui dengan penuh suka cita dan hal ini telah membuat saya dapat menerima dan merespon segala tantangan pekerjaan dengan lebih mudah. Saya meyakini bahwa Tuhan senantiasa akan memberi kemudahan dalam menghadapi berbagai permasalahan apabila setiap amanah telah dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab.Melalui berbagai pengalaman selama berkarir, saya ingin mengusulkan agar proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa dan melibatkan mahasiswa secara lebih aktif dengan pendekatan nilai kewirausahaan perlu terus ditingkatkan di masa mendatang. Proses pembelajaran harus dirancang secara holistik yang menginternalisasikan pengetahuan, sikap, keterampilan, kompetensi, dan akumulasi pengalaman kerja dalam upaya membentuk seorang pribadi manusia yang berkarakter dan cerdas komprehensif, yang unggul pada ranah kognitif, psikomotor dan afektif.Selain itu proses pembelajaran membutuhkan sinergi dan kerjasama yang baik antar berbagai pihak terkait, yaitu orang tua/wali mahasiswa, mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan mitra kerja perguruan tinggi yang menjadi tempat pemagangan para mahasiswa di dalam proses pembelajaran tersebut.

Dalam rangka menyambut terbentuknya komunitas UNI ASEAN (Association of Southeast Asia Nations ) pada tahun 2015, telah diterbitkan Peraturan Presiden RI nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Peraturan perundangan ini menekankan pentingnya pengintegrasian antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja dari sumber daya manusia Indonesia sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Peraturan itu menyatakan, bahwa setiap jenjang kualifikasi sumberdaya manusia memiliki tiga unsur utama, yaitu kemampuan di bidang kerja, pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai, dan kemampuan manajerial.Sarjana Farmasi sebagai lulusan Pendidikan Tinggi Farmasi ditetapkan paling rendah setara dengan jenjang kualifikasi level 6, sedangkan apoteker sebagai lulusan pendidikan profesi minimum setara dengan jenjang kualifikasi level 7. Sumber daya manusia dengan jenjang kualifikasi level 6 harus

99

(I) mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi, (ii) menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah secara prosedural, dan (iii) mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok, serta bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.Sejalan dengan hal tersebut, sumber daya manusia dengan jenjang kualifikasi level 7 harus (i) mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi, (ii) mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan mono disipliner, dan (iii) mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawab penuh atas semua aspek yang berada di bawah tanggung jawab bidang keahliannya.Dengan demikian, setiap sarjana farmasi dan Apoteker Indonesia berturut-turut sebagai tenaga teknis kefarmasian dan tenaga kefarmasian dapat disandingkan dan disetarakan dengan sumberdaya manusia asing yang ingin bekerja di Indonesia atas dasar kualifikasi kompetensinya.

Untuk mendukung pencapaian kualifikasi kompetensi sarjana farmasi dan apoteker Indonesia di masa mendatang, materi pengajaran farmasetika harus senantiasa mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi kefarmasian terkini dalam perancangan dan/atau pengembangan sistem penghantaran (delivery system design) obat baru yang berukuran makromolekul dan target specific gene (genomic dan proteomic) therapy. Regulasi kefarmasian di tingkat nasional dan global yang mengatur Good Manufacturing Practices dan studi bioavailabilitas dan bioekivalensi tentunya juga sangat menentukan arah perancangan dan pengembangan sistem penghantaran obat.Dunia pengobatan di masa mendatang akan mengarah pada pengembangan personalized medicine therapy yang aman, efektif, stabil dan bermutu. Untuk mendukung hal tersebut, mutlak dibutuhkan ilmu-ilmu dasar farmasetika, seperti dispensing, compounding, farmasi fisika, formulasi dan teknologi sediaan farmasi, yang senantiasa up-to-date dan mampu menjadi landasan yang kokoh untuk penguasaan ilmu dan teknologi kefarmasian. Dalam konteks itu, keterampilan belajar sepanjang hayat (life-long learning skills) yaitu kemampuan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan diri secara berkelanjutan, serta

100

kemampuan beradaptasi dalam lingkungan yang dinamis dan kultur budaya yang beragam perlu terus dilatih dan dikembangkan melalui partisipasi aktif di dalam continuing education dan continuing professional development programmes. Terlebih lagi, kita semua dihadapkan pada perubahan kondisi yang berjalan sangat cepat di berbagai bidang kehidupan, termasuk ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi, baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Di masa mendatang, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dituntut untuk terus dapat menghasilkan sarjana farmasi dan apoteker yang kompeten dalam pengelolaan farmasi komunitas yang berfokus pada pasien untuk menangani kesehatan masyarakat secara langsung.

Dengan karya yang berkualitas dan sikap tata nilai pribadi yang bermoral, saya yakin setiap alumni Fakultas Farmasi Universitas Airlangga akan menjadi pioner di segala bidang pekerjaan yang membuat kehidupan mereka menjadi lebih berarti dan berdampak besar bagi orang lain.Hidupilah nilai-nilai keutamaan Universitas Airlangga, yaitu “Excellence with Morality” sehingga pencitraan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga di hadapan publik semakin tampak nyata melalui kesaksian hidup para alumninya.Hidup dan Jayalah Fakultas Farmasi Universitas Airlangga !

101

.........................................

Menuju Indonesia Sehat 2015:Suka Duka Berkiprah di Badan POMDra. Antonia Retno Tyas Utami, Apt., MEpid.

102

Perjalanan meniti karierSetelah menyelesaikan pendidikan apoteker tahun 1982, saya harus

mencari tempat untuk melaksanakan wajib kerja profesi guna mendapatkan Surat Izin Kerja ( SIK) sebagai apoteker. Lamanya wajib kerja adalah 3 tahun ditambah utang sebanyak 1 tahun yang belum diselesaikan sebagai asisten apoteker sebelum menempuh pendidikan tinggi Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Beruntung saya dapat menjalankan wajib kerja di Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (sekarang Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan) Bandung sejak bulan Maret 1983. Disinilah saya merasakan sekolah yang sebenarnya, yaitu bagaimana menerapkan ilmu dari kampus di lapangan kerja.

Tugas awal saya sebagai penyelia di laboratorium mikrobiologi obat membuat ilmu yang saya aplikasikan selama penyusunan skripsi, yaitu mikrobiologi analitik, seperti dewa penolong. Banyak hal baru tentang pengujian mutu obat saya pelajari, baik yang terkait mikrobiologi maupun kimia. Disamping itu ada juga tugas untuk menganalisa sampel dari kepolisian dan kandungan bahan kimia yg diduga ada dalam jamu, sangat relevan dengan mata kuliah dan praktikum kimia analitik. Pindah ke Jakarta karena mengikuti suami, saya ditugaskan di Sub Direktorat Registrasi Obat. Disini saya belajar melakukan evaluasi dokumen mutu yang diserahkan oleh industri farmasi untuk mendapatkan izin edar bagi produknya. Saya juga belajar tentang ilmu regulatori obat ( Drug regulatory) yang tidak ada mata kuliahnya di kampus. Pengetahuan yang harus dikuasai adalah peraturan dan perundangan yang terkait dengan obat di Indonesia, kemudian bagaimana melakukan penilaian yang obyektif terhadap data yang disajikan, untuk membuat laporan dan rekomendasi dapat tidaknya obat tersebut diberi izin edar. Dalam proses belajar menilai tersebut saya dikenalkan dengan risk and benefit ratio, dimana semua risiko dari sebuah produk dikaji manfaatnya mulai dari mutu, keamanan dan khasiat bila digunakan sesuai dosisnya, sampai kepada informasi yang perlu disertakan agar produk tersebut dapat digunakan dengan benar oleh profesi maupun pasien. Obat yang baik

103

adalah bila mempunyai benefit yang jauh melampaui risikonya. Tiga tahun lamanya saya bekerja sebagai evaluator pada bagian registrasi

obat, kemudian harus mengikuti suami pindah ke Makassar dan pindah pekerjaan di Balai POM Makassar. Di tempat ini saya kembali bekerja di laboratorium mikrobiologi, yang dasar ketrampilannya saya punyai. Sampel yang diuji meliputi obat, makanan, kosmetika, dan obat tradisional, yang semuanya makin memperkaya ilmu saya terhadap aspek mikrobiologi dan karakteristik produk obat dan makanan.

Di sela kesibukan sebagai analis di laboratorium, saya juga membantu administrasi tata operasional di Balai POM. Disinilah saya mempelajari manajerial dan tata hubungan kerja pemerintah di propinsi dan antar kantor balai dengan kantor pusat di Jakarta. Genap enam tahun di Makassar saya kembali pindah ke Jakarta dan masuk lagi ke bagian registrasi obat sebagai evaluator. Tugas awal saya adalah evaluator obat generik, dan sebagai bentuk apresiasi dari atasan, saya mendapatkan jabatan sebagai Kepala seksi Pengawasan Promosi dan Penandaan Obat. Ilmu sebagai evaluator sangat menunjang tugas baru saya untuk dapat menilai rancangan iklan obat dan memeriksa penandaan obat yang sudah beredar, sebelum memberikan keputusan memenuhi peraturan yang berlaku atau tidak. Ilmu tambahan yang harus saya pelajari adalah komunikasi massa, komunikasi audio visual supaya bisa melihat script iklan dan bagaimana tampilan apabila sudah menjadi film maupun rekaman suara, bahasa promosi yang layak atau tidak layak untuk produk obat. Sedangkan sebagai evaluator saya diberi tugas tambahan menjadi evaluator produk biologi. Tugas itu membutuhkan banyak tambahan ilmu sain tentang aktifitas biologik suatu molekul/protein yang didaftarkan sebagai obat, termasuk vaksin. Rupanya ilmu mikrobiologi saya sangat membantu mempercepat proses belajar ini, mulai dari aspek mutu sampai klinis suatu produk. Saya juga mendapat kesempatan mengikuti pelatihan di dalam dan di luar negeri terkait GMP (Good Manufacturing Practice) dan Drug evaluation. Lima tahun melakukan tugas ganda di dua unit kerja, yaitu sebagai Kepala Seksi Pengawasan pada Sub Direktorat Pengawasan Obat dan evaluator pada Sub Direktorat Registrasi Obat membuat saya makin kaya ilmu meskipun tugas itu tidak ringan. Kemudian saya diangkat sebagai Kepala Sub Direktorat Perizinan dan Standarisasi Obat, Produk Biologi dan Diagnostik. Jabatan ini sarat dengan tugas administrasi, tetapi ada hal baru lagi yang saya pelajari, yaitu standarisasi. Standarisasi adalah sebuah fungsi yang penuh dengan pekerjaan kajian dan ilmu pengetahuan untuk menetapkan standar dan kebijakan dalam pengawasan obat, seperti buku Kompendia Farmakope Indonesia, standar obat generik, peraturan tentang sarana produksi, distribusi, dan masih banyak lagi.

Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 31 Januari 2000, institusi Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia yang

104

independen. Saya mendapat jabatan baru sebagai Kepala Sub Direktorat PenilaianObat Copy dan Produk Biologi. Tanggung jawab saya adalah memastikan seluruh proses evaluasi obat copy dan produk biologi sesuai dengan kriteria Good Review Practice. Kesesuaian kriteria itu diperlukan untuk memperoleh rekomendasi keputusan kelayakan pemberian izin edarnya sebelum diserahkan ke Direktur untuk dibahas dalam Komite Nasional Penilai Obat jadi mejadi keputusan final oleh Kepala Badan. Seluruh ilmu dan pengalaman yang sudah saya dapat harus dimanfaatkan maksimal, dan saya mulai banyak terlibat dengan kegiatan di Badan Kesehatan Dunia /WHO (World Health Organization) sehubungan dengan makin aktifnya Badan POM di organisasi itu. Selain menghadiri pertemuan dan loka karya yang diselenggarakan oleh WHO, saya juga terlibat dalam pembahasan standar pedoman internasional, asesor untuk fungsi regulatori negara lain maupun sebagai fasilitator pelatihan yang disponsori WHO di beberapa negara. Enam tahun dalam jabatan tersebut saya dipindahkan lagi sebagai Kepala Sub Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT). Disini ilmu saya tentang GMP / CPOB diperdalam dan saya mulai aktif sebagai inspektur CPOB. Pada masa itu tahun 2007, rencana Badan POM akan menjadi anggota PIC/ S ( Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme) sudah dimulai, dan unit tempat saya bekerja harus bersiap diri menjadi lebih profesional dengan menerapkan sistem mutu dan melatih seluruh inspektur CPOB agar mempunyai kompetensi setara dengan negara anggota yang kebanyakan adalah Eropa dan Australia. Berbagai pelatihan dan persiapan sistem manajemen mutu di Unit direktorat dan Balai POM yang memiliki industri farmasi harus dilakukan. Sistem ini akan diaudit oleh Tim dari PIC /S yang akan menentukan layak atau tidaknya Badan POM Indonesia menjadi anggota. Disamping itu WHO juga melakukan audit secara berkala setiap 2 - 3 tahun sekali terhadap semua sistem yang terkait dengan regulatori obat dan vaksin, sehingga kesiapan untuk selalu menjaga sistem agar tetap profesional sudah menjadi komitmen.

Tahun 2010 saya mendapat amanah baru sebagai Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT, perjuangan menjadi anggota PIC/ S baru sampai pada tahap pre audit. Saya beruntung mendapat tim yang solid di unit dan bersemangat tinggi sehingga tahun 2012 cita-cita menjadi anggota PIC/S tercapai, dan juga audit berkala WHO mendapat angka diatas 97 dari nilai 100 jika sempurna. Bulan Agustus tahun 2012 saya kembali mendapat amanah baru yang jauh lebih berat yaitu sebagai Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA pada Badan POM RI. Disini saya harus memimpin lima direktorat untuk meraih capaian Rencana Strategis Badan POM, dan menjaga konsistensi prestasi yang telah dicapai seraya meningkatkan kinerja Badan POM untuk melindungi masyarakat dari risiko produk obat yang membahayakan kesehatan.

Dengan demikian, secara singkat perjalanan karir saya selama 30 tahun terbagi atas 9 tahun bekerja di laboratorium dan sisanya di sektor kebijakan dan

105

administrasi. Jenjangnya adalah 12 tahun sebagai staf, 5 tahun di eselon 4, 9 tahun di eselon 3, 2 tahun di eselon 2, selanjutnya eselon satu. Saya bersyukur dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara baik. Capaian itu tidak lepas dari motto yang saya pilih, yaitu: Belajar secara kontinyu karena ilmu selalu berkembang dan ada yang baru, pengetahuan harus didampingi kebijaksanaan untuk memimpin diri sendiri maupun orang lain.

Tanggung jawab utama sebagai Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza adalah melindungi masyarakat Indonesia dari risiko produk obat yang membahayakan kesehatan. Tanggung jawab itu meliputi upaya penapisan pre market sebelum produk diedarkan, dan post market ketika obat yang diedarkan berada bersama dengan produk lain yang legal dan ilegal. Pre market terdiri dari fungsi registrasi, standarisasi, pemastian sarana produksi memenuhi CPOB dan standar yang digunakan dalam penilaian, serta produksi sesuai dengan tatanan internasional. Disamping itu ada fungsi pengawalan uji klinik yang dilakukan di Indonesia untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam registrasi yang memenuhi Cara Uji Klinik yang Baik ( CUKB). Post market meliputi kepatuhan produsen terhadap CPOB, kepatuhan rantai distribusi memenuhi CDOB dan keamanan produk yang diprediksi maupun yang belum diprediksi terpantau dalam sistem farmakovigilans. Masyarakat mendapat informasi produk yang benar , akurat dan lengkap, serta terhindar dari produk yang tidak memenuhi ketentuan dan berbahaya bagi kesehatan, termasuk di sini penyalah gunaan obat dan pemberantasan obat palsu. Peran aktif saya dalam jabatan sebagai koordinator harus memimpin lima direktorat agar dapat melakukan fungsinya dengan baik, akuntabel, efektif, efisien dan ekonomis dalam pembiayaan.

Peredaran obat dan makananMelalui perjalanan karier di Badan POM, saya berkesimpulan bahwa permasalahan dalam peredaran obat dan makanan yang begitu banyak itu tidak dapat diatasi secara sepihak oleh Badan POM. Oleh karena itulah, maka salah satu misi institusi menyebutkan, bawa Badan POM harus menjalin dan mengutamakan kerja sama berbagai pihak, karena problem masyarakat sangat kompleks.

Badan POM mempunyai tiga lapis pengawasan obat dan makanan yang menjadi kerangka kerja agar dapat mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat, yaitu: pengawasan oleh pemerintah dalam hal ini Badan POM, pengawasan oleh pelaku usaha dengan kontrol terhadap kepatuhan persyaratan dan regulasi, pengawasan oleh masyarakat yang telah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup untuk membentengi dirinya dari risiko produk obat dan makanan yang berbahaya bagi kesehatan.

Agar dapat mengawasi dengan baik, maka Badan POM harus mempunyai kompetensi yang baik, integritas yang tinggi dan sistem yang handal. Untuk itu upaya meningkatkan kompetensi secara terus menerus diupayakan dan senantiasa

106

berpacu dengan perkembangan permasalahan di masyarakat. Pengawasan pemerintah terhadap kepatuhan pelaku usaha untuk memenuhi persyaratan dan regulasi dilakukan sebagai upaya penegakan hukum dengan tujuan produk obat dan makanan yang beredar aman, bermanfaat dan terjamin mutunya. Pelaku usaha wajib melakukan kontrol terhadap produk sebagai kewajiban atas izin edar yang dimilikinya.

Pemerintah wajib memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mampu bersikap kritis dan cermat dalam memilih produk yang akan dikonsumsi. Program KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) dilaksanakan oleh Badan POM diseluruh Indonesia melalui berbagai kegiatan seperti GN WOMI (Gerakan Nasional Waspada Obat dan Makanan Ilegal), PJAS (Pengamanan jajanan Anak Sekolah), Pasar aman bebas bahan berbahaya, forum masyarakat BPOM sahabat ibu dan sebagainya.Masyarakat yang menemukan produk yang diragukan atau ingin bertanya tentang obat, makanan, kosmetika, obat tradisional dan suplemen dapat menghubungi Unit layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) di Badan POM seluruh Indonesia. Wilayah Jakarta di Badan POM gd A, lt1, tilp &fax 021- 4263333; tilp/SMS 021-32199000; email [email protected], [email protected], web: www.pom.go.id,

PemalsuanBanyaknya obat palsu dikarenakan demand pasar yang masih tinggi dan konsumen kebanyakan hanya mempertimbangkan segi harga dan kemudahan memperoleh, tanpa perlu berkonsultasi dengan petugas kesehatan. Penanggulangan obat palsu dilakukan secara koordinatif dalam Satuan Tugas Pemberantasan Obat dan Makanan Ilegal yang terdiri dari (i) kelompok Tugas Pencegahan dan Penangkalan yang mendalami pemeriksaan dan membuat peringatan publik dan menyuluh masyarakat, (ii) kelompok Tugas Penegakkan Hukum yang bertugas melakukan operasi pemberantasan dengan koordinasi secara nasional dan internasional. Contoh kegiatan kelompok (i) adalah Public awareness seperti GN WOMI yang bertujuan untuk menurunkan demand terhadap obat ilegal sehingga bila masyarakat makin sadar maka rantai suplai akan diputuskan. Sedangkan contoh kegiatan kelompok (ii) adalah operasi PANGEA secara nasional dan internasional, khusus untuk penelusuran dan operasi perdagangan ilegal farmasi secara online, yang hasilnya dapat di lihat di web www.pom.go.id.

Tentang penyiapan makanan yang tidak sehat, Badan POM harus bekerjasama secara lintas sektor, mengingat yang wajib didaftarkan di Badan POM adalah kategori pangan olahan. Sebagian besar pelaku bisnis makanan adalah pengusaha industri rumah tangga (PIRT) yang diawasi dan diberi izin oleh pemerintah daerah. Badan POM menfasilitasi kegiatan penyuluhan dan pembinaan untuk menggunakan bahan makanan yang aman. KIE ini dilakukan oleh Balai POM di seluruh Indonesia yang dilengkapi dengan Laboratorium keliling yang dapat menguji cepat adanya risiko bahan berbahaya

dalam produk makanan. Kegiatan lain seperti Pasar aman bebas bahan berbahaya dan PJAS adalah upaya peran serta Badan POM dalam melindungi masyarakat.

Penyiapan sumber daya manusiaPengalaman kerja yang saya peroleh memberikan pemahaman, bahwasanya pendidikan tinggi Farmasi haruslah mengikuti perubahan zaman, terutama dalam ilmu terapan. Teori dasar memang sangat penting, seperti kimia analitik dan kimia farmasi, biologi dan fitofarmaka, farmakologi, fisiologi.

Cakupan pengawasan mutu obat sangat luas dan terus maju seiring dengan pengembangan bentuk sediaan dan teknologi formulasi (teknologi matriks, teknologi nano, radiofarmaka dan lainnya), dan pengembangan obat sediaan biologis (rekayasa genetik, monoklonal antibodi, gen terapi, sel punca dan masih banyak lagi). Lagi pula, obat tidak hanya harus dijaga dalam aspek mutu, tetapi juga keamanan dan manfaatnya. Ilmu terapan, seperti drug management, pemastian mutu, farmasi klinis, teknologi farmasi dan turunan terapannya hendaknya dapat dipilih sebagai peminatan, meskipun ada sisi negatifnya, yaitu profesi pilihan di lapangan kerja agak terbatas.

Ada satu hal penting yang perlu diajarkan di perguruan tinggi, yaitu manajemen risiko. Bila bekal ini diberikan, maka seorang lulusan pendidikan tinggi farmasi akan siap berkarya di tempat kerja. Karena tingkatan apoteker pada organisasi/ institusi ketika baru masuk adalah setara dengan supervisor, maka kepemimpinan merupakan prasyarat yang penting.Seorang mahasiswa farmasi harus dilatih menjadi pembelajar, multi tasking dan adaptif terhadap lingkungan.Di lingkungan Badan POM, seorang apoteker yang baru masuk membutuhkan jam terbang dan pelatihan intensif selama 5 tahun untuk dapat menjadi evaluator, inspektur CPOB atau CDOB, penyidik, penyelia laboratorium yang kompeten.

Setelah berkiprah bertahun-tahun dalam dunia profesi, maka saya berusaha untuk menetapkan target pribadi, yaitu menuntaskan semua tugas sesuai dengan rencana strategis yang telah ditetapkan dengan penuh tanggung jawab dan integritas tinggi. Hal itu sudah barang tentu sejalan dengan target institusi, yang sesuai dengan visi dan Misi BPOM, bahwa kompetensi pengawasan yang tinggi harus juga dapat dibuktikan melalui kepatuhan pelaku usaha di bidang obat dan makanan untuk ikut serta melindungi masyarakat dari produk yang berbahaya bagi kesehatan, serta kemampuan masyarakat yang tinggi untuk melindungi dirinya dari produk obat dan makanan yang merugikan kesehatan. Intinya, tiga lapis pengawasan, yaitu pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat hendaknya berada pada tingkat yang saling mendukung. Oleh karenanya diperlukan sebuah dasar hukum yang kuat yang dapat mengatur keseimbangan tersebut.

Semoga kiprah dan pemikiran yang saya peroleh melalui dunia kerja berbekal pendidikan yang ditempuh pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dapat menjadi bahan kajian para lulusan yang akan memasuki lapangan kerja.

107

Pengalaman Pengabdian Profesi di Pulau CendrawasihMenuju Masyarakat SehatYohanes Wahyu Waluyo, S.Si., Apt.

Yohanes Wahyu Waluyo, itulah nama yang diberikan oleh orang tua saya. Saya

dilahirkan di Banyuwangi, 26 Juni 1972 yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Bapak adalah seorang guru Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Sampai lulus SMP saya tinggal dengan orang tua di desa Yosomulyo, Banyuwangi yang mayoritas masyarakatnya bertani.

Kehidupan keluarga yang terbiasa tertata telah mendidik saya menjadi pribadi yang berdisiplin. Bapak sangat berperan dalam membentuk watak dan perilaku untuk menjadi orang berguna bagi masyarakat, dengan cara disiplin dan tekun untuk mempelajari semua hal, baik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Kemandirian hidup dipraktekan sejak lulus SMP, yaitu ketika saya melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Malang dan harus berpisah dengan orang tua. Masa SMA adalah masa pergolakan untuk penemuan jati diri. Ketika itu diri saya terinspirasi oleh kata – kata kepala sekolah, bahwasanya kalau ingin menjadi sukses dan berguna untuk orang banyak maka jadilah wirausaha yang baik, jujur dan bermoral.

Dengan melihat kehidupan orang tua yang menjadi guru dan bertani, maka saya ingin menjadi lebih sukses, dengan bercita – cita menjadi pengusaha yang sukses. Untuk menjadi pengusaha yang sukses diperlukan usaha dan belajar yang giat. Ketika akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, saya mencari jurusan yang bisa memberikan bekal untuk bekerja mandiri, dan akhirnya pilihan jatuh pada jurusan farmasi. Sebelum pilihan jatuh pada jurusan itu, banyak informasi yang menyebutkan, bahwa kuliah farmasi susah, namun bagi saya tidak ada sesuatu yang didapat dengan mudah tanpa perjuangan dan usaha.

Kehidupan Semasa MahasiswaMelalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) tahun 1991, saya di terima sebagai mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga sesuai dengan

108

harapan untuk mengantar menjadi wirausaha kelak. Memang tidak mudah berkuliah di Fakultas Farmasi, namun dengan usaha dan belajar yang tekun, maka semester demi semester bisa saya lalui. Akhirnya saya lulus pendidikan S1 tahun 1996 dan profesi tahun 1997.

Semua mata kuliah di Fakultas Farmasi penting dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu Farmakognosi mengajarkan untuk mencintai tanaman bermanfaat yang ada di sekitar kita. Mata kuliah kimia dan farmasetika mengajarkan bahwa kedisiplinan dalam hidup, ketelitian dan kejujuran pasti membawa kehidupan menjadi baik. Biofarmasetika dan farmakokinetika mengajarkan bahwa obat adalah sekaligus racun bagi tubuh kita bila tidak dikelola dengan baik, yaitu berkaitan dengan bahan aktif, dosis, Mata kuliah formulasi dan teknologi mengajarkan, bahwa sesuatu itu tidak ada gunanya kalau kita tidak tahu cara pengelolaan agar bermanfaat bagi kehidupan. Kuliah manajemen mengajarkan pengelolaan ilmu yang sudah kita terima menjadi sesuatu yang berguna dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Adalah kurang lengkap bila seorang mahasiswa tidak terlibat kegiatan ekstra kurikuler, dan karena itu saya memilih di antara banyak kegiatan ekstra kurikuler di Universitas Airlangga. Untuk menjaga kesehatan, maka saya ikut kegiatan ju-jitsu untuk berolah raga dan sekaligus melatih disiplin serta tanggung jawab. Melalui berbagai kegiatan itulah saya belajar berorganisasi, antara lain cara dipimpin dan memimpin, kesetiakawanan, dan lain-lain. Kegiatan kerohanian agama Katolik yang saya ikuti mengajarkan cara menempatkan diri di masyarakat dengan keragaman agama maupun suku bangsa, untuk saling mengasihi tanpa batas agama maupun suku, dan saling meguatkan dalam doa.

Sistem pendidikan di tingkat perguruan tinggi berbeda dengan pendidikan di SMA, yang lebih menekankan kemandirian dan keaktifan mahasiswa. Mahasiswa sendirilah yang menentukan cepat lambatnya masa studi, dan menentukan kegiatan ekstrakurikuler sebagai modal untuk menunjang kelancaran pekerjaan setelah menyelesaikan studi. Disinilah mahasiswa digembleng untuk mampu menentukan pilihan, prioritas yang akan diselesaikan, teman dalam bergaul, berorganisasi dan membina relasi. Jadi seorang mahasiswa harus cermat dan seimbang dalam mengisi masa kuliah di perguruan tinggi antara aktivitas belajar dan kegiatan ekstrakurikuler. Selama masa kuliah inilah kita harus mencari dan melengkapi semua kebutuhan yang diperlukan sebagai bekal kerja kelak, karena universitas memang sudah menyiapkan semua itu.

Kehidupan Masa BerkaryaDunia kerja saya geluti segera sesudah menyelesaikan pendidikan, yaitu tahun 1997. Ini adalah merupakan masa sulit karena deraan krisis moneter yang berdampak pada kesempatan lapangan pekerjaan. Sebagai lulusan baru, ternyata pekerjaan di sekitar Jawa Timur dan Bali menawarkan gaji per bulan yang lebih rendah daripada

absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME).

109

kiriman orang tua semasa kuliah. Tetapi satu hal yang pastli, yaitu saya tidak ingin bekerja di sektor industri, mengingat kebutuhan akan berhubungan dengan orang lain dan keinginan pemenuhan hasrat berpetualang

Pucuk dicinta ulam tiba. Seorang pengusaha membutuhkan apoteker untuk membuka apotek baru di Timika, Papua. Ini adalah kesempatan yang baik, terutama dalam mewujudkan keinginan berkeliling Indonesia. Setelah mendapatkan informasi yang cukup, maka saya pun melamar, segera berangkat dan langsung bekerja. Bagi seorang Apoteker Penanggung Jawab Apotik yang baru lulus, ini merupakan pengalaman berharga untuk berkenalan dengan birokrasi pemerintah yang diperlukan saat mengurus kelengkapan administrasi apotek. Di apotek saya adalah orang yang paling tahu tentang obat dan harus selalu siap menjawab semua pertanyaan, sehingga tuntutan belajar tidak pernah berhenti. Saya pun mendapatkan peluang untuk mempraktekan ilmu dengan memberikan KIE (komunikasi, informasi, edukasi) bagi pelanggan dan pasien.

Untuk lebih mengembangkan ilmu dan mencari tantangan baru, saya mencoba melamar di rumah sakit swasta baru yang ada di Timika. Disinilah ilmu kefarmasian yang saya kuasai benar – benar di uji. Di rumah sakit itu belum ada panduan apapun mengenai macam dan tindakan yang harus dilakukan. Saya harus membuat sistem sirkulasi obat, Standar Operating Procedure (SOP) untuk semua kegiatatan yang berhubungan dengan obat, membuat draf formularium rumah sakit sebagai panduan dokter, perawat atau apoteker untuk perencanaan obat. Semangat dan dorongan dokter di rumah sakit menyakinkan saya bahwa semua dapat di lakukan dengan baik.Hal ini penting, mengingat interaksi dan komunikasi yang baik dengan tenaga kesehatan rumah sakit menjadi persyaratan bagi keberhasilan. Untuk itu, maka saya belajar lebih keras berbagai hal yang berkaitan dengan obat, manajemen, administrasi, keuangan, komunikasi dan banyak lagi. Dengan belajar keras dan percaya diri bahwa saya bisa kerja sama atau berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lain, maka saya dapat mewujudkan satu sistem yang dibutuhkan oleh sebuah rumah sakit. Kendala komunikasi tentu ada, terutama saat berhubungan dengan penduduk setempat yang tidak dapat berbicara dalam bahasa Indonesia. Saya pun harus belajar bahasa daerah setempat, sehingga penyerahan obat dan keterangan lain dapat lebih mudah dipahami melalui metode gambar ,dan bukan dengan angka atau huruf.

Setelah sistem pelayanan di rumah sakit berjalan dengan baik, saya mencoba tantangan baru, yaitu memenuhi ajakan seorang dokter di rumah sakit untuk ikut melakukan visite pasien rawat inap, walaupun waktu itu saya belum mengerti tugas apoteker selama ikut visite. Harus diakui pekerjaan itu sangat berat, karena dibutuhkan penguasaan berbagai ilmu farmasi, sehingga saya perlu belajar lagi ilmu farmakologi, patofisiologi, farmakokinetika dan terapi untuk dapat menyelesaikan perrmasalahan di rumah sakit.

Ternyata jiwa petualangan saya belum terpuaskan, terutama berkaitan

110

Ternyata jiwa petualangan saya belum terpuaskan, terutama berkaitan dengan tantangan pelayanan masyarakat. Saya mencoba melamar menjadi tenaga pegawai negeri sipil dan diterima sebagai calon pegawai negeri sipil di Gudang Farmasi,Kabupaten Merauke. Sejak tahun 2000 saya mulai bekerja sebagai PNS, dan di sinilah saya belajar untuk memahami pola penyakit, dan manajemen perbekalan farmasi meliputi perencanaan sampai penggunaan.

Di tengah semua kesibukan, saya adalah seorang pengelola apotik di sebuah apotek swasta di Merauke, pada malam hari. Di Kota Rusa Merauke ini saya menemukan jodoh dan menikah. Dia lah pemberi semangat mewujudkan cita – cita untuk mempunyai apotek sendiri, dan akhirnya pada tahun 2006 saya dapat mendirikan apotek sendiri. Dengan mempunyai apotek sendiri saya bisa menggali lebih banyak kemampuan dalam pelayanan kefarmasian dan manajemen apotek, serta lebih banyak yang bisa diperbuat untuk ikut memajukan kesehatan masyarakat. Hasil dari pelayanan kefarmasian yang baik adalah meningkatnya omzet apotek, yang berarti meningkat pula penghasilan. Sebagai ilustrasi, dalam sebulan apotek mendapatkan omzet sebesar Rp 150.000.0000,- dengan keuntungan antara 30%-50%. Ini berarti keuntungan bersih mencapai tidak kurang dari Rp 50.000.000,- per bulan di Merauke. Bandingkan dengan Rp 25.000.000,- per bulan di Jawa dengan margin keuntungan 10% - 20%. Dengan hanya menjadi apoteker pengelola apotik atau pekerjaan yang lain, akan sulit untuk mendapatkan penghasilan sebesar itu.

Pertengahan tahun 2004 saya pindah ke Kabupaten Boven Digoel yang merupakan pemekaran Kabupaten Merauke. Tantangan baru harus saya hadapi, yaitu membuat sistem baru untuk Dinas Kesehatan pada umumnya dan Gudang Farmasi Kabupaten pada khususnya. Kebanggaan dan kesenangan meliputi diri saya waktu itu, karena menjadi apoteker pertama di sebuah kabupaten baru dan menjadi tempat bertanya tentang ihwal obat. Keadaan itu juga memantapkan tekad untuk terus belajar mengenai obat dan manajemennya demi kelancaran pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.

Melalui pengalaman bekerja yang sudah saya peroleh, maka saya berkesimpulan bahwa bekal ilmu semasa kuliah di Fakultas Farmasi sudah cukup untuk pembentukan sikap disiplin, teliti, tekun, kritis, pantang menyerah dalam menghadapi tantangan. Hal yang masih saya rasakan kurang adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan rasa percaya diri bahwa kita mampu dan tidak kalah dengan profesi kesehatan lain, sehingga mengakibatkan profesi apoteker kurang dikenal masyarakat. Oleh karena itu, khusus pelayanan farmasi rumah sakit atau komunitas farmasi perlu ditambahkan ilmu kesehatan masyarakat dan perilaku kesehatan, karena selain memberi pelayanan kefarmasian kita harus bisa merubah perilaku seseorang terhadap penyakit atau pengobatan.

111

112

Mata kuliah filsafat ilmu perlu ditambahkan, supaya kita mampu memahami inti dari ilmu – ilmu yang sudah kita pelajari, dan dapat digabungkan menjadi napas atau kehidupan dari setiap apoteker dan bukan sebagai ilmu yang terpisah-pisah.

Harapan untuk Masa DepanProfesi apoteker, khususnya yang bekerja di rumah sakit dan komunitas farmasi, perlu lebih menyadari, bahwa obat adalah sarana untuk praktek kefarmasian dan bukan hanya sebagai produk. Apoteker seyogyanya lebih menunjukkan jati dirinya di masyarakat dengan lebih aktif melaksanakan pelayanan kefarmasian di apotek. Profesi apoteker menjadi sangat penting dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dan Undang – Undang atau Peraturan lain, sehingga dapat dikatakan pemerintah sangat memperhatikan profesi apoteker. Peran organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sangat besar untuk pengembangan kompetensi apoteker di masyarakat, tinggal bagaimana apoteker melaksanakan peraturan yang sudah ada di apotek.

Sistem pendidikan yang diselenggarakan di Fakultas Farmasi Universirtas Airlangga yang sudah baik dari segi ilmu dan disiplin perlu diperbanyak dengan praktek pelayanan langsung ke masyarakat. Perlu pula di ciptakan suasana kuliah yang menyenangkan dan tidak membuat takut mahasiswa, agar potensi mereka dapat tumbuh. Organisasi profesi IAI harus bisa mendorong, meningkatkan dan menciptakan kondisi agar apoteker dapat melaksanakan praktek pelayanan kefarmasian di apotek.

Saya juga mengusulkan agar para alumni bersedia mengumpulkan dana, yang selanjutnya dikelola fakultas atau badan, menjadi dana bergulir yang diberikan kepada apoteker sebagai modal pendirian apotek. Dengan cara ini apoteker tidak hanya menjadi seorang apoteker penanggung jawab apotek saja, tetapi kelak menjadi pemilik apotek dengan penghasilan seperti ilustrasi di atas.Dengan demikian, praktek pelayanan kefarmasian dapat berlangsung, dimana peran apoteker menjadi semakin dihargai dan berkibar di masyarakat.

.........................................

1. Prof. Dr. H. Fasich, Apt.

Riwayat pekerjaan/jabatan:

- Guru Besar dalam Bidang Ilmu Biofarmasetika dan Farmakokinetika- Pembantu Rektor Univ. Bangkalan – Madura, tahun 1987 – 1990 - Rektor Univ. Bangkalan – Madura, tahun 1990 – 1994- Pjs. Ketua Program Studi Ilmu Farmasi, Program Pascasarjana, tahun 1993- Asisten Direktur I Bidang Akademik Program Pascasarjana

Universitas Airlangga, tahun 1994 – 1998- Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tahun 1998 – 2002 - Pembantu Rektor I Universitas Airlangga, tahun 2002 - 2006- Rektor Universitas Airlangga, tahun 2006 – 2010- Rektor Universitas Airlangga 2010 - 2015

2. Prof. Dr. H. Achmad Sjahrani, MS., Apt.Riwayat pekerjaan/jabatan : - Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kimia Organik/Biosintesis- Pembantu Dekan II Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tahun 1998-

2002- Pembantu Dekan II Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tahun 2002-

2006- Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga tahun, 2007-2010- Wakil Rektor I Universitas Airlangga, tahun 2010-2015- E-mail : [email protected] - No. Telepon: +62-(0)8123224483

3. Dr. Hj. Umi Athiyah, MS., Apt.Riwayat pekerjaan/jabatan:- Sekretaris Jurusan Farmasetika, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga,

tahun 1995-2000- Sekretaris Bagian Farmasi Praktis, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tahun 2003-2007- Wakil Dekan II Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tahun 2007-2010- Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tahun 2010-2015- No. Telepon: +62-(0)8123249338

4.Prof. Dr. Gde Nyoman Astika, Apt.Riwayat pekerjaan/jabatan:- Guru Besar dalam Bidang Ilmu Farmasi- Kepala Laboratorium Sintesis Farmasi Fakultas Farmasi Universitas

Airlangga- Ketua Program Studi S-3 MIPA, Program Pascasarjana Universitas Airlangga,

tahun 2002-2004

113

Data Pribadi

5. Prof. Dr. rer.nat. Wahono Sumaryono, Apt., APURiwayat pekerjaan/jabatan:- Profesor Riset – Peneliti Utama di Pusat Teknologi Farmasi & Medika-

BPPT- Guru Besar Kimia Bahan Alam & Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Pancasila- Komisaris PT.Kimia Farma (Persero) TbkNo. Telepon : +62-(0)8121067825

6. Drs. Soerjono Seto, Apt., MM.Angkatan tahun : 1963 ( angkatan pertama ffua)Riwayat pekerjaan / jabatan : - Pensiunan PNS, dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Instalasi Farmasi

RSUD.Dr.Sutomo Surabaya- Dosen tetap dan Pengajar Mata Kuliah Manajemen Farmasi dan Akuntansi

Apotek pada Fakultas Farmasi Universitas Surabaya dan Universitas Katolik - Widya Mandala

- Dosen tetap dan Pengajar Mata Kuliah Akuntansi Apotek di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

- APA/PSA Apotik Savira di Surabaya (berdiri th.1984 untuk menyongsong PP no.25/th 1980), yang dipakai sebagai PKP profesi mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Universitas Surabaya dan Universitas Katolik Widya Mandala.

No. telepon rumah: +62-(0)31-8436643No. telepon seluler: +62-(0)818501907

7.Dra. SetyariniAngkatan tahun : 1978Apotik Mida FarmaJl. Wahidin Sudiro Husodo no 800 Gresik,No. telepon: +62-( 0)31-3951258.

- Pensiun dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga tahun 2013

Riwayat pekerjaan/jabatan:- Guru Besar dalam Bidang Ilmu Biologi Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Airlangga- Anggota Dewan Pendidikan Tinggi Direktorat Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2009-2011)- Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (2009-2013)No. telepon: +62-(0)81330542324

8. Prof. Dr. Gunawan Indrayanto, Apt.Alumni angkatan S-5 (No Mhs 237)

114

115

9. Prof. Dr. rer. Nat. H.M. Yuwono, MS., Apt.Riwayat pekerjaan/jabatan- Guru Besar dalamBidang Ilmu Analisis Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga

- Direktur Unit Layanan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas Airlangga- Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas - Tenaga Ahli Badan POM/PPOMN- Auditor Halal LPPOM MUI.No. telepon: +62-(0)8123262087

10. Prof. Dr. Siswandono, MS., Apt.Riwayat pekerjaan/jabatan :- Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kimia Medisinal- Ketua Program Studi Doktor Ilmu Farmasi No. Telepon Rumah : Tilp. +62-(0)31-8280967No. telepon seluler: +62-(0)8123206328Alamat email: [email protected] dan [email protected]

11.Kuswardani, SSi, M.Farm, AptAngkatan tahun : 1989Riwayat pekerjaan/jabatan : Kepala UPT Laboratorium Uji Narkoba BNNAlamat kantor : Badan Narkotika Nasional cq. UPT Lab Uji Narkoba, Jl. MT. Haryono No. 11, Cawang, Jakarta Timur

12. Prof. Dr. Sutarjadi, Apt.Guru Besar dalam Bidang Ilmu FarmakognosiRiwayat pekerjaan/jabatan:- Pensiun dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga tahun 2000- Dosen tetap khusus Fakultas Farmasi Universitas Surabaya- Ketua Pusat Informasi dan Pengembangan Obat Tradisional Universitas Surabaya- Wakil Ketua Dewan Pertimbangan DHD 45 Jawa TimurNo. Telepon: +62-(0)8175092615

13. Prof. Dr. Sukardiman, MS., Apt.Riwayat pekerjaan/jabatan : Guru Besar dalam Bidang Ilmu Botani Farmasi-Farmakognosi- 2009-2010 Sekretaris Prodi S2 Ilmu Farmasi - 2010-sekarang Ketua Departemen Farmakognosi-Fitokimia - 2008-sekarang : Ketua Komisi Penelitian Fakultas Farmasi - 2008-sekarang : Ketua Komisi Pengembangan Obat Tradisional LPM Unair. No. telepon: +62-0818525342.

116

16. Dr. Suprapto MaatRiwayat pekerjaan/jabatan:Dosen dan peneliti pada Departemen Patologi KlinikFakultas Kedokteran Universitas Airlangga

15. Prof. Dr. Mangestuti Agil, MS., Apt.

Riwayat pekerjaan/jabatan:

Guru Besar dalam Bidang Ilmu Botani Farmasi-Farmakognosi

No. telepon: +62-(0)81331921251

17. Drs. Harry Bagyo, AptkAngkatan tahun: masuk tahun 1970Riwayat pekerjaan/jabatan saat ini: 1. OTSUKA INDONESIA, Managing Director2. AMERTA INDAH OTSUKA, Komisaris3. MERAPI UTAMA PHARMA, Komisaris4. OTSUKA PAKISTAN LTD, KARACHI, Chairman5. GLG (GERSON LEHRMANN GROUP), USA: Board MemberAlamat kantor:OTSUKA INDONESIA, Perkantoran Hijau Arkadia lt-3 Jl TB Simatupang kav-88JAKARTA 12520Alamat email: [email protected]@harrybagyo.org

14. Prof. Dr. Bambang Prajogo, EW., MS., Apt.

Riwayat pekerjaan/Jabatan:

- Guru Besar dalam Ilmu Botani-Farmakognosi

- Ketua Departemen Farmakognosi dan Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas

Airlangga, tahun 2007-2010

- Wakil Dekan 3 Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tahun 2010-2015

No. telepon: +62-(0)818584756

18.Drs. Kuncoro Foe, G.Dip.Sc., Ph.D., Apt.Pendidikan terakhir : S-3, Faculty of Pharmacy, The University of Sydney, NSW, AustraliaRiwayat pekerjaan : Dosen bidang minat Farmasetika, Fakultas Farmasi,

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (1990 – sekarang)Alamat kantor : Jalan Dinoyo 42, Surabaya 60265, IndonesiaTelepon kantor : +62-(0)31-5622942Telepon rumah : +62-(0)31-7403673

117

19. Dra. Antonia Retno Tyas Utami, Apt., MEpid.Angkatan tahun : 1975Riwayat pekerjaan/jabatan: Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza,Badan Pengawas Obat dan Makanan R.I.

Alamat kantor : Badan Pengawas Obat dan Makanan R.I. Jl.

Percetakan Negara 23, Jakarta 10560

20. Yohanes Wahyu Waluyo, S.Si., AptPendidikan terakhir : Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, SurabayaAlamat rumah : Apotek “Apotek Sumber Rejeki Farma” Jln. Raya Mandala No. 161 Merauke, PapuaTelp : 0971-321934; HP : 082143211888Alamat Kantor : Dinas Kesehatan Kabupaten Boven Digoel, Jln. Trans Papua KM 5 Tanah Merah, PapuaRiwayat Pekerjaan:

§ Apoteker Penanggung Jawab Apotek Youtefa, Timika, Papua, 1998

§ Kepala Instalasi Farmasi RS Mitra Masyarakat, Timika, Papua, 1998 -2000

§ Staf Gudang Farmasi Kabupaten Merauke,Papua, 2000-2004

§ Apoteker Penanggung Jawab Apotek Barata, Merauke,Papua, 2000-2005

§ Kepala Seksi Upaya Pelayanan Kesehatan, Kabupaten Boven Digoel, Papua,

2004 – 2008

§ Apoteker Penanggung Jawab Aptek Ambe Farma, Tanah Merah, Boven

Digoel, Papua,2007-2008

§ Kepala Seksi Pengendalian dan Pengawasan Farmasi, Makanan dan

Minuman, Kabupaten Boven Digoel, 2008 –