Adverse Drug Reaction Editan Gus Adit
-
Upload
goez-aditya-nugraha -
Category
Documents
-
view
401 -
download
4
Transcript of Adverse Drug Reaction Editan Gus Adit
Adverse drug reaction (ADR) adalah efek obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis
yang digunakan pada manusia untuk propilaksis, diagnosis, atau pengobatan (WHO). Secara
Epidemiologi terjadi pada 15% penggunaan obat, Resikonya meningkat dua kali jika terjadi di
RS, Reaksi obat yang fatal terjadi pada 0,1% pasien rawat inap medis dan 0,01% pada pasien
rawat inap bedah, Alergi obat meliputi 5-10% dari semua ADR.
Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi farmakologis, membagi ADR ini menjadi dua subtipe yaitu reaksi tipe A
dan reaksi tipe B.1
Reaksi tipe A merupakan suatu efek farmakologis yang dapat diprediksi dan sangat tergantung
dosis obat yang diberikan. Reaksi ini mungkin terjadi pada setiap orang. Sebagian ADR (lebih
kurang 80%) merupakan reaksi tipe A, seperti toksisitas digoksin, serta serotonin sindrom yang
disebabkan oleh suatu penghambat dalam uptake serotonin yang selektif). Selain jenis tersebut
reaksi tipe A juga mencakup efek samping, efek sekunder seperti antibiotika yang berkaitan
dengan diare, serta interaksi obat. Overdosis obat adalah efek farmakologi toksik dari sebuah
obat (kelebihan dosis dan/gagngguan ekskresi). Efek samping obat adalah efek farmakologi yang
tidak diinginkan pada dosis rekomendasi. Interaksi obat adalah kerja sebuah obat pada
keefektifan atau toksisitas obat lain.1
Reaksi tipe B merupakan reaksi hipersensitivitas yang tidak dapat diprediksi dan tidak
tergantung dosis. Reaksi ini hanya terjadi pada subjek atau orang yang beresiko. Reaksi ini
menunjukkan gejala atau tanda sama halnya dengan dosis yang diberikan pada orang normal.
Reaksi tipe B ini mencakup 10%-15% dari keseluruhan ADR. Terdiri dari : intoleransi obat,
idiosinkrasi obat, alergi obat, serta Pseudo-allergic reaction/anaphylactoid. Intoleransi obat
adalah ambang yang rendah untuk kerja farmakologi normal dari obat. Idiosinkrasi obat adalah
respon abnormal terhadap sebuah obat yang berbeda dari farmakologi efeknya. Pseudo-allergic
reaction/anaphylactoid adalah reaksi dengan manifestasi klinis sama dengan reaksi alergi, tetapi
kekurangan immunological specificity (non IgE mediated).1
Alergi obat
Alergi obat merupakan salah satu bentuk ADR. Alergi obat adalah reaksi yang dimediasi
imunologi (immunologic mediated reaction), terjadi pada orang yang rentan/beresiko, ditandai
dengan specificity, transferability by antibody atau limfosit, dan kambuh pada paparan ulang.
1
Reaksi alergi obat didefinisikan sebagai Reaksi yang disebabkan mekanisme imunologi yang
diakibatkan dari produksi antibody dan/ sel T sitotoksik yang secara langsung melawan obat,
metabolitnya, a soluble/cell bound carrier protein, serta sebagai respon paparan terhadap obat
sebelumnya atau selanjutnya.
Alergi obat yang mencakup sekitar 5%-10% dari total ADR, merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas yang melibatkan mekanisme immunologi dengan melibatkan ig-E atau sel T
yang termediasi, atau dapat juga melibatkan komplek imun atau reaksi sitotoksik namun hal ini
jarang terjadi). Reaksi hipersensitivitas tanpa adanya suatu mekanisme imun atau tidak dapat
dibuktikannya suatu proses imunologis diklasifikasikan sebagai reaksi hipersensitivitas non
imun/non alergi.1
High Molecular Weight (HMW) drugs dapat menyebabkan produksi antibodi antiobat tanpa
kebutuhan berpasangan dengan karier protein. Sebagaian besar obat adalah LMW dan tidak
dapat menginduksi respon imun. LMW harus berpasangan dengan karier protein di tubuh untuk
menginduksi respon imun. Alergennya mungkin hapten itu sendiri, komplek hapten-protein,
protein jaringan yang telah berubah karena interaksi dengan obat. Jadi HMW drug lebih
mungkin menyebabkan reaksi alergi daripada LMW drug.
Reaksi alergi terhadap obat diklasifikasikan menurut klasifikasi Gell dan Coombs
Faktor resiko untuk terjadinya reakasi alergi dapat dibedakan menjadi 3 dari pasien, obat, serta
faktor aggravatingnya. Dari faktor pasien bisa dilihat umur, jenis kelamin, genetic, atopi, AIDS.
TypeType
II
Immediate hypersensitivity, IgE mediatedImmediate hypersensitivity, IgE mediated
the onset ; seconds to minutes for drugsthe onset ; seconds to minutes for drugs
parenterally, up to 1 hr for drugs taken orallyparenterally, up to 1 hr for drugs taken orally
Anaphylaxis ; urticaria/Anaphylaxis ; urticaria/
Angioedema, bronchospasm, shock,Angioedema, bronchospasm, shock,
HypotensionHypotension
Type
II
Antibody-dependent cytotoxic hypersensitivity /
IgG & IgM-dependent complement mediated
cytolysis
Hemolytic anemia, vasculitis, rashes,
interstitial nephritis
TypeType
IIIIII
Immune complex-mediated hypersensitivityImmune complex-mediated hypersensitivity Serum sickness, rashes, fever,Serum sickness, rashes, fever,
vasculitisvasculitis
TypeType
IVIV
Delayed type hypersensitivity,Delayed type hypersensitivity,
T cell mediatedT cell mediated
Contact dermatitis,Contact dermatitis,
Granulomatous reactionGranulomatous reaction
2
Dari faktor obat bisa dilihat beberapa faktor seperti HMW, bivalensi, hapten, rute, dosis, lama
pengobatan, serta dari faktor aggravatingnya dapat dilihat contoh pada kehamilan yang disertai
asma, atau pada kehamilan yang diberikan beta bloker.
Diagnosis
Dalam mendiagnosis ADR didasarkan pada tiga pilar utama yaitu dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan dari test diagnostik.
A. Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu langkah terpenting dalam penegakan diagnosis ADR. Dengan
anamnesis yang baik dapat diketahui kausa atau penyebab ADR, bagaimana mekanisme
terjadinya kemudian bisa menentukan apakah memang terdapat riwayat alergi pada pasien
tersebut. Beberapa pertanyaan yang sangat penting untuk diajukan seperti: apakah terdapat
hubungan yang temporal antara makan atau minum obat tersebut dengan onset terjadinya reaksi,
apakah terdapat underlying condition yang berkaitan dengan reaksi tersebut, kira kira obat apa
yang mampu menyebabkan ADR tersebut.1
Gejala klinis yang muncul dan waktu munculnya serta lamanya gejala tersebut setelah paparan
dengan obat.
Onset yang mungkin muncul:
- Segera (detik-menit/<6 jam), contohnya anaphilaksis, urtika, angioedema, broncospasm
- Accelarated ( 6-72 jam), contohnya urtika, bronkospasm, eritema multiformis,
maculopapular rash, serum sickness
- Delayed (>72 jam), contohnya maculopapular rash, drug fever, serum sickness, recurrent
urtika.
Selain itu perlu juga dicari riwayat penyakit terdahulu dan riwayat keluarga.
Manifestation Clinical features Examples of drugs
Anaphylaxis Urticaria,
angioedema,
rhinitis, asthma,
abd. pain, CV
collaps
Penicillin, neuromuscular blocking drugs
Pulmonary Interstitial
pneumonitis
asthma
Amiodarone, nitrofurantoin, chemotherapiutic agent
Aspirin, NSAID, β blockers
3
Hepatic Acute or chronic
hepatitis
Halothane, chlorpromazine,carbamazepine
Haematological Haemolytic
anaemia
Thrombocytopenia
Neutropenia
Agranulocytosis
Aplastic anaemia
Penicillin, a-methyldopa, mephenamicacid
Furosemide,thiazide, gold salts
Penicillin
Phenylbutazone, Chlorampenicol
NSAID, sulphonamides
Renal Interstitial
nephritis, NS
Cimetidine
Cardiac Eosinophylic
myocarditis
a-methyldopa
Other Serum Sickness,
drug fever,
vasculitis,
lymphadenopathy
Anticonvulsants,diuretics,antibiotics,hydralasine
procainamide, penicillamine
Tabel manifestasi klinis ADR
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan untuk menemukan tanda tanda hipersensitivitas,
dengan jalan melakukan inspeksi. Pada reaksi hipersensitivitas beta laktam akan ditemukan
gejala bibir akan menebal dan wajah tampak angioedema. Pada beberapa tipe hipersensitivitas
seperti pada tipe hipersensitivitas segera yang dipicu oleh penyuntikan Antibiotika akan timbul
bercak-bercak merah atau rash yang disebut urtikaria.1
C. Tes diagnostik:
1. SPT (skin prick test) mungkin membantu mendiagnosis reaksi obat yang dimediasi IgE (in
vivo)
2. RAST (radio allegro sorbent test) mungkin mendeteksi serum IgE terhadap obat tertentu (in
vitro)
3. Tes provokasi, dimana provokasi oral mungkin sebagai gold standard
Penatalaksanaan
1. Hindari allergen dalam hal ini stop pengunaan obat yang diduga sebagai pemicu reaksi alergi
2. Premedikasi
4
3. Desensitasi dipertimbangkan pada pasien yang mengalami reaksi alergi yang dimediasi IgE
terhadap penisilin dan yang membutuhkan penisilin untuk pengobatan infeksi yang serius
(seperti bakterial endocarditis dan meningitis).
Sumber:
Thien, Francis T.K. 3. Drug Hypersensitivity. MJA.2006; 185(6): 333-338
5