Adakah+bid'ah+hasanah

21
Mengenal Kata Bid’ah Penyusun: Ummu Hafidz Muroja’ah: Ust. Abu Muslih Banyak orang yang berkerut keningnya ketika pertama kali mendengar kata ini. Bermacam reaksi muncul dari seseorang ketika diingatkan tentang masalah ini. Ada yang menerimanya dan memperbaiki amalan ibadahnya dengan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Ada pula yang terlalu cepat menutup diri untuk memahaminya sehingga lebih sering berkata, “Ah… bisanya cuma membid’ah-bid’ahkan.” Adapula yang memang sudah tidak asing dengan kata ini, tapi ternyata memiliki pemahaman yang salah dalam memaknainya. Ketahuilah saudariku! Pembahasan tentang bid’ah bukanlah milik golongan tertentu. Bahkan setiap muslim harus mempelajarinya dan mewaspadainya dan tidak menutup diri dari pembahasan ini. Karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, دعة ب ة حدث مَ ّ ل ك ها، و ت ا حدب م ور م الأّ ر ش و“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867) Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, ألة ض دعة بّ ل ك و دعة ب ة حدث مَ ّ ل كّ $ ا;pma& ن ق“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud). Sama seperti pembahasan tentang kata sunnah pada artikel yang lalu, maka sungguh pembahasan ini sangat (sangat) penting, karena jika tidak memahaminya atau bahkan salah memaknainya, maka dapat mengakibatkan kesalahan dalam beramal dan beribadah. Semoga Allah memberikan kelapangan dalam dada-dada kita, untuk menerima kebenaran yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam. Makna Bid’ah Secara Bahasa Makna bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Penggunaan kata bi’dah secara bahasa ini di antaranya ada dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

description

pengertian bidah

Transcript of Adakah+bid'ah+hasanah

Page 1: Adakah+bid'ah+hasanah

Mengenal Kata Bid’ah

Penyusun: Ummu Hafidz

Muroja’ah: Ust. Abu Muslih

Banyak orang yang berkerut keningnya ketika pertama kali mendengar kata ini. Bermacam reaksi

muncul dari seseorang ketika diingatkan tentang masalah ini. Ada yang menerimanya dan

memperbaiki amalan ibadahnya dengan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Ada pula yang terlalu

cepat menutup diri untuk memahaminya sehingga lebih sering berkata, “Ah… bisanya cuma

membid’ah-bid’ahkan.” Adapula yang memang sudah tidak asing dengan kata ini, tapi ternyata

memiliki pemahaman yang salah dalam memaknainya. Ketahuilah saudariku! Pembahasan tentang

bid’ah bukanlah milik golongan tertentu. Bahkan setiap muslim harus mempelajarinya dan

mewaspadainya dan tidak menutup diri dari pembahasan ini. Karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi

wa sallam bersabda,

بدعة محدثة كَّل. و محدثاتها، األمور شّر: و

“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no.

867)

Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

ضاللة بدعة كَّل: و بدعة محدثة كَّل. قإّن:

“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah

sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud).

Sama seperti pembahasan tentang kata sunnah pada artikel yang lalu, maka sungguh pembahasan

ini sangat (sangat) penting, karena jika tidak memahaminya atau bahkan salah memaknainya,

maka dapat mengakibatkan kesalahan dalam beramal dan beribadah. Semoga Allah memberikan

kelapangan dalam dada-dada kita, untuk menerima kebenaran yang diajarkan oleh Rasulullah

shollallahu’alaihi wa sallam.

Makna Bid’ah Secara Bahasa

Makna bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.

Penggunaan kata bi’dah secara bahasa ini di antaranya ada dalam firman Allah Subhanahu wa

Ta’ala,

Kَّل Lُس Nالّر OْنQم R KدOعا ب LنُتL ك مUا OَّلLق

Page 2: Adakah+bid'ah+hasanah

“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (Al Ahqaf

[46]: 9)

Dan juga firman-Nya,

KِضOرU وUاأل KاِتUاوUَم الَّس. LيُعKدU ب

“Dialah Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqoroh [2]: 117)

Makna Bid’ah Secara Istilah

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, makna bid’ah secara istilah adalah suatu

cara baru dalam agama yang menandingi syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat

nilai lebih dalam beribadah kepada Allah.

Dari definisi ini, kita perlu memperjelasnya menjadi beberapa poin.

Pertama, ’suatu cara baru dalam agama’. Hal ini berarti cara atau jalan baru tersebut

disandarkan kepada agama. Adapun cara baru yang tidak dinisbatkan kepada agama maka itu

bukan termasuk bid’ah. (akan dibahas lebih rinci di bawah).

Kedua, ‘menandingi syari’at’. Maksudnya amalan bid’ah mempersyaratkan amalan tertentu yang

menyerupai syari’at, sehingga ada beban yang harus dipenuhi. Seperti misalnya puasa mutih,

yasinan setiap hari kamis (malam jum’at), puasa nisyfu sya’ban dan lain-lain, Perlu diperhatikan

pula bahwa pada umumnya, setiap bid’ah juga memiliki dalil. Namun, janganlah terjebak dengan

dalil yang diberikan, karena ada dua kemungkinan dari dalil yang diberikan. Pertama, dalil tersebut

bersifat umum namun digunakan dalam amalan khusus. Kedua, bisa jadi dalil yang digunakan

adalah palsu. Oleh karena itu, wahai saudariku, menuntut ilmu agama sangat penting melebihi

kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Ilmu agama dibutuhkan di setiap tarikan nafas kita

karena dalil dibutuhkan untuk setiap ibadah yang kita lakukan. Merupakan kesalahan ketika kita

melakukan ibadah terlebih dahulu baru mencari-cari dalil. Inilah yang membuat pengambilan dalil

tersebut menjadi tidak tepat karena sekedar mencari pembenaran pada amalan yang sebenarnya

bukan termasuk syari’at.

Ketiga, ‘tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada

Allah’. Artinya, setiap bid’ah merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam agama, sehingga dengan

adanya bid’ah tersebut maka beban seorang muslim (mukallaf) akan bertambah. Salah satu

contohnya mengkhususkan puasa nisyfu sya’ban, padahal puasa ini tidak disyari’atkan dalam

Islam. Sungguh merugi bukan? Kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan sia-sia.

Mewaspadai Bid’ah

Dari definisi yang telah disebutkan menunjukkan bid’ah tidak lain merupakan perbuatan yang

bertujuan menandingi syari’at. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

R ِدKينا UَمU ال OُسK اِإل LُمL Uُك ل LيُتKض UرUو Kي KْعOَمUِت ِن OُمL Oُك Uي عUَل LُتOَمUَمO تU وUَأ OُمL Uُك ِدKين OُمL Uُك ل LُتOَلUَمO ك

U َأ UَمOوU Oي ال

Page 3: Adakah+bid'ah+hasanah

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu

ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maaidah [5]: 3)

Maka tidak perlu lagi bagi seseorang untuk membuat cara baru dalam agama atau mencari ibadah-

ibadah lain yang itu adalah kesia-siaan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رِد: فهو Uمّرِنا ا عَليه ليس عَمال عَمKَّل Oمْن

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

yفهورِد مKنه ليس ما هذا َأمّرِنا في َأحدث مْن

“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya maka

tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits ini, ada tiga unsur yang membuat sesuatu dapat dikatakan sebagai bid’ah.

Pertama, mengada-adakan. Ini diambil dari lafadz man ahdatsa. Akan tetapi membuat sesuatu

yang baru bisa terjadi dalam perkara dunia ataupun agama. Maka diperlukan unsur yang kedua.

Kedua, perkara baru tersebut disandarkan pada agama. Ini diambil dari lafadz fii amrina.

Unsur kedua ini perlu dilengkapi unsur ketiga. Karena jika tidak, akan timbul pertanyaan atau

keraguan, “Apakah semua perkara baru dalam agama tercela?”

Ketiga, perkara tersebut bukan bagian dari agama. Ini diambil dari lafadz ma laisa minhu (ما

مKنه ليس ). Artinya, tidak ada dalil yang sah bahwa hal tersebut pernah ada.

Setiap Bid’ah Adalah Sesat

Ketahuilah saudariku. Setiap bid’ah adalah sesat. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi

shollallahu ‘alaihi wa sallam,

بدعة محدثة كَّل. و محدثاتها، األمور شّر: و

“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no.

867)

Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

ضاللة بدعة كَّل: و بدعة محدثة كَّل. قإّن:

“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah

sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

Page 4: Adakah+bid'ah+hasanah

Adapun pembagian yang ada pada bid’ah, maka tetap menunjukkan kesesatan bid’ah tersebut.

Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah adalah sebuah kesalahan

sebagaimana penulis jelaskan sebab-sebabnya dalam artikel sebelumnya.

Imam Syathibi rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya pembagian bid’ah (yang tetap

menetapkan kesesatan seluruh bid’ah) yang dapat memperjelas kerancuan yang ada di

masyarakat. Yang pertama adalah bid’ah hakiki yang perkaranya lebih jelas (kecuali bagi orang-

orang yang taklid dan tidak mau belajar) karena bid’ah hakiki tidak memiliki sandaran dalil syar’i

sama sekali. Semisal menentukan kecocokan seeorang untuk menjadi suami atau istri dengan

tanggal lahir atau melakukan ritual-ritual khusus dalam acara pernikahan yang tidak ada

landasannya dalam syari’at sama sekali. Adapun jika berkaitan dengan bid’ah idhofi maka sebagian

orang mulai rancu dan bertanya-tanya. Misalnya, bid’ah dzikir berjama’ah, atau tahlilan. Banyak

orang terburu-buru dengan mengatakan, “Masa dzikir dilarang sih?” atau “Kok membaca Al Qur’an

dilarang?” Maka kita perlu (sekali lagi) memahami lebih dalam tentang bid’ah ini.

Bid’ah idhofi ini mempunyai dua sisi, sehingga apabila dilihat pada salah satu sisi, maka seakan-

akan itu sesuai dengan sunnah karena berdasarkan dalil. Namun bila dilihat dari sisi lain, amalan

tersebut bid’ah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada dalil atau tidak disandarkan

kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari sisi makna, maka bid’ah idhofi ini secara asal

memiliki dalil. Akan tetapi dilihat dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang digunakan

tidak mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut membutuhkan dalil. (Majalah Al-Furqon

edisi 12 tahun V). Maka jelas yang dilarang bukanlah dzikir atau membaca Al-Qur’an untuk contoh

dalam masalah ini. Akan tetapi, kebid’ahan tersebut terletak pada tata cara, sifat atau perincian

pada ibadah tersebut yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu

dengan melafadzkan dzikir bersama-sama dipimpin satu imam atau membaca Al-Qur’an untuk

orang mati. Semuanya ini adalah cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shollallahu

‘alaihi wa sallam.

Catatan penting dalam masalah ini adalah dalam perkara ibadah (yaitu apa-apa yang kita niatkan

untuk mendekatkan diri kita pada Allah Subhanahu wa Ta’ala), kita harus memenuhi dua syarat,

yaitu ikhlas hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan yang dicontohkan dan

diperintahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah saudariku, sedikit pengantar untuk memahami tentang kata bid’ah dan bahayanya.

Pembahasan tentang bid’ah memiliki lingkup yang sangat luas – yang dengan keterbatasan penulis

– tidak dapat dituangkan seluruhnya dalam tulisan kali ini. Untuk memperdalam pembahasan,

silakan melihat kembali kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan. Semoga Allah Ta’ala

mempermudah kita dalam memahami pembahasan ini dan menerimanya dengan lapang dada

serta menjadikan kita orang-orang yang berusaha kuat menjauhi perkara baru dalam agama.

Aamiin ya mujibas saailin.

Maraji’:

1. Majalah Al Furqon edisi 12 tahun V/rajab 1427

Page 5: Adakah+bid'ah+hasanah

2. Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Ustadz Aris Munandar

3. Ringkasan Al I’tisham – terj –, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf, Media Hidayah, Cet I, thn 2003.

[Diambil dari http://muslimah.or.id/2007/05/31/mengenal-kata-bidah/]

Adakah Bid’ah Hasanah?

Setelah kita mengenal bid’ah ada baiknya kita mengetahui juga beberapa syubhat tentang bid’ah

sehingga pemahaman kita tentang bid’ah menjadi lebih sempurna. Kali ini kita akan membahas

tentang syubhat “Bid’ah Hasanah” yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk melegalkan

perbuatan bid’ah mereka. Ana menganggap penting masalah ini karena syubhat ini telah menyebar

dan telah ‘mengecoh’ sebagian awam dari kaum muslimin, sehingga seringkali ketika kita

membantah sebuah amalan bid’ah serta merta mereka mengatakan ” Inikan Bid’ah Hasanah.. ”

Benarkah perkataan mereka [?] mari kita telaah lebih jauh … [ الَّسَلفي َأوفى [ َأبو

Syubhat Pertama: perkataannya ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu: “Sebaik-baik bid’ah

adalah ini”.

Bantahan:

Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim sebagai

berikut :

فصَلى عْن ليَلة ذاِت الَمَّسجد في صَلى وُسَلُم عَليه الَله صَلى الَله رُسول َأّن بصالته عائشةَأو الثالثة الَليَلة مْن اجِتَمْعوا ثُم الناس فُكثّر القابَلة مْن صَلى ثُم يخّرج ِناس فَلُم الّرابْعة

قد قال َأصبح فَلَما وُسَلُم عَليه الَله صَلى الَله رُسول يَمنْعني إليهُم فَلُم صنْعِتُم الذي رَأيُتعَليُكُم تفّرِض َأّن خشيُت َأِني إال إليُكُم الخّروج رمضاّن مْن في وذلك قال

Dari ‘Aisyah (ia berkata): Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar shalat di

masjid pada suatu malam. Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau yang di hari selanjutnya

bertambah banyaklah orang (yang shalat bermakmum) di belakang beliau. Di malam ketiga atau

keempat, mereka (para shahabat) berkumpul namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak

keluar kepada mereka (untuk shalat tarawih berjama’ah sebagaimana malam-malam sebelumnya).

Di pagi harinya, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sungguh aku telah melihat

semangat kalian, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat tarawih tadi malam)

bersamamu kecuali aku takut (ibadah) ini akan diwajibkan bagi kalian”. (Perawi) berkata: “Hal itu

terjadi di bulan Ramadlan” (HR. Muslim nomor 761).

Dan silakan simak pula hadits yang lain :

ليَلة قياَم له حَّسب ينصّرف حِتى اِإلماَم مُع صَلى إذا الّرجَّل إّن

Page 6: Adakah+bid'ah+hasanah

“Sesungguhnya seseorang yang mengerjakan shalat bersama imam (untuk shalat tarawih

berjama’ah) hingga selesai, maka dihitung baginya shalat sepanjang malam” (HR. Ibnu Abi Syaibah

2/90/2, Abu Dawud 1/217, Tirmidzi 2/72-73, Nasa’I 1/237, dan lainnya; dengan sanad shahih. Ini

merupakan lafadh Abu Dawud).

Dengan adanya 2 riwayat di atas, apakah kita mengatakan bahwa ‘Umar melakukan bid’ah ?

Padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

النار في ضاللة وكَّل ضاللة، بدعة وكَّل بدعة، محدثة وكَّل

“Dan setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di

neraka”

Sekali lagi, “hal baru” apa yang dilakukan oleh ‘Umar sehingga disebut bid’ah lagi sesat ? Tentu ini

bukan dalil adanya bid’ah hasanah, karena dalam hadits di atas telah disebut dengan “kullu”

(setiap) yang di dalam ilmu Ushul-Fiqh maknanya umum. Tidak ada pengecualian.

Adapun ucapan Umar: “Sebaik-baik bid’ah, adalah yang seperti ini”, yang beliau maksudkan

bukanlah bid’ah dalam pengertian istilah; yang berarti: Mengada-ada dalam menjalankan ibadah

tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan

sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bid’ah adalah dalam salah satu

pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum

beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama’ah belumlah dikenal dan

belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar

sendiri Radhiyallahu anhuma –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian

begini, ia memang bid’ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid’ah. Hanya dengan alasan itulah

beliau memberikan tambahan kata “baik”.

Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan

ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang

berupa kumpulan fatwa (I: 168) menyatakan: “Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hal itu Umar tidak

sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan

diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa

sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya.

Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar

mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib

tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian

itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi

beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk

melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum-

Page 7: Adakah+bid'ah+hasanah

daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah

keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”. As-Subki menyatakan: “Kalau melakukan

tarawih berjama’ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid’ah yang tercela ;

sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya’ban, atau di Jum’at pertama bulan Rajab. Itu

harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat

tarawih berjama’ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku

dalam pandangan Islam”.

Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan: “Mengeluarkan orang-

orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent) adalah

perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak

termasuk katagori bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan

ucapan Umar berkenaan dengan tarawih: “Sebaik-baiknya bid’ah…” yang dimaksud adalah bid’ah

secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan

Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kَّل Lُس Nالّر OْنQم R KدOعا ب LنُتL ك مUا OَّلLق

“Artinya: Katakanlah: “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul…” [Al-Ahqaf: 9]

Jadi yang dimaksud bukanlah bid’ah secara istilah. Karena bid’ah secara istilah menurut syari’at

adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian

ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka

bagi hanyalah bid’ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid’ah itu sesat

maksudnya adalah bid’ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat

Radhiyallahu ‘anhum dan juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga

menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak

ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di

Masjidil Haram), atau shalat seusai sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat

seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ;

sementara mengamalkannya menjadi bid’ah yang tercela. Maka seperti: Mengusir orang-orang

Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam

konteks pembicaraan kita tentang “yang mungkin” dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena adanya

penghalang seperti shalat tarawih berjama’ah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang

pasti, berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut (Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24).

Kesimpulan: Kata “bid’ah” yang diucapkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu adalah dalam pengertian

bahasa. Bukan dalam pengertian syari’at.

Syubhat Kedua:

Pemahaman terhadap Hadits :

Page 8: Adakah+bid'ah+hasanah

مْن مْن ينقص َأّن غيّر مْن بْعده بها عَمَّل مْن وَأجّر َأجّرها فَله حَّسنة ُسنة اِإلُسالَم في ُسْنمْن بها عَمَّل مْن ووزر وزرها عَليه كاّن ُسيئة ُسنة اِإلُسالَم في ُسْن ومْن شيء بْعده َأجورهُم

شيء َأوزارهُم مْن ينقص َأّن غيّر مْن

“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan

pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-

pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia

mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya

tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim)

Sebagian orang memahami kata حَّسنة [?] sebagai bid’ah hasanah. betulkah ُسنة

Bantahan :

1. Bahwasanya Makna ُسْن مْن adalah “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai

penerapan suatu dari syariat yang ada, bukan orang yang melakukan suatu amalan sebagai

penetapan suatu syari’at yang baru.” Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah

beramal sesuai sunnah Nabawiyah yang ada. Yang menunjukkan hal ini adalah asbabun nuzul

hadits itu sendiri:

عَليه الَله صَلى الَله رُسول عند كنا قال َأبيه عْن جّريّر بْن الَمنذر النهار عْن صدر في وُسَلُم

الْعباء َأو النَمار مجِتابي عّراة حفاة قوَم فجاءه بَّل قال مضّر مْن عامِتهُم الَّسيوف مِتقَلدي

الَله صَلى الَله رُسول وجه فِتَمْعّر مضّر مْن فدخَّل كَلهُم الفاقة مْن بهُم رَأى لَما وُسَلُم عَليه

فصَلى وَأقاَم فأذّن بالال فأمّر خّرج خَلقُكُم } ثُم الذي ربُكُم اتقوا الناس َأيها يا فقال خطب ثُم

إّن { } واحدة ِنفس ولِتنظّر { } مْن الَله اتقوا الحشّر في الِتي واآلية رقيبا عَليُكُم كاّن الَله

ما بّره { ِنفس صاع مْن ثوبه مْن ِدرهَمه مْن ِديناره مْن رجَّل تصدق الَله واتقوا لغد قدمُت

كفه كاِدِت بصّرة األِنصار مْن رجَّل فجاء قال تَمّرة بشق ولو قال حِتى تَمّره صاع تْعجز مْن

وثياب طْعاَم مْن كوميْن رَأيُت حِتى الناس تِتابُع ثُم قال عجزِت قد بَّل وجه عنها رَأيُت حِتى

رُسول فقال مذهبة كأِنه يِتهَلَّل وُسَلُم عَليه الَله صَلى الَله وُسَلُم رُسول عَليه الَله صَلى الَله

عَمَّل مْن وَأجّر َأجّرها فَله حَّسنة ُسنة اِإلُسالَم في ُسْن مْن مْن ينقص َأّن غيّر مْن بْعده بها

كاّن ُسيئة ُسنة اِإلُسالَم في ُسْن ومْن شيء بْعده َأجورهُم مْن بها عَمَّل مْن ووزر وزرها عَليه

شيء َأوزارهُم مْن ينقص َأّن غيّر مْن

Dari Mundzir bin Jarir dari ayahnya ia berkata: Adalah kami di sisi Rasulullah shallallaahu ’alaihi

wasallam pada permulaan siang. Lalu datang kepadanya kaum bertelanjang kaki dan berpakaian

kain bergaris atau mantel dengan pedang terhunus. Pada umumnya mereka adalah dari Kabilah

Page 9: Adakah+bid'ah+hasanah

Mudlar, bahkan semuanya dari Kabilah Mudlar. Maka berubahlah wajah Rasulullah shallallaahu

’alaihi wasallam kasihan/iba melihat keadaan mereka yang miskin. Lalu beliau masuk rumah

kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamat. Lalu beliau shalat, kemudian

berkhutbah seraya bersabda :

”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang

satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan

laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan

silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisaa’: 1).

”Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah

diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah” (QS. Al-Hasyr: 18).

Hendaklah seseorang mensedekahkan dinarnya, dirhamnya, bajunya, satu sha’ gandumnya, satu

sha’ kurmanya, (hingga beliau mengatakan), dan walaupun hanya sepotong kurma”.

Ia (perawi) berkata,”Maka seseorang dari kaum Anshar datang membawa karung yang berat,

hampir tangannya tidak kuat, bahkan akhirnya tidak kuat. Kemudian manusia saling bergantian

bersedekah hingga saya melihat dua tumpukan makanan dan baju, dan saya melihat wajah

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berseri-seri seakan-akan emas yang disepuh. Lalu

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Barangsiapa mempelopori dalam Islam

perbuatan yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukan

setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa mempelopori dalam

Islam perbuatan yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang

melakukan setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka” (HR. Muslim nomor 1017)

2. Bahwasanya orang yang mengatakan حَّسنة ُسنة اِإلُسالَم في ُسْن adalah Rasululllah مْن

Alaihi Sholatu Wa Sallam, beliau juga yang mengatakan ضالل بدعة .كَّل Tidak mungkin akan

muncul dari mulut beliau perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri.

3. Bahwasanya Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam mengatakan ُسْن Barangsiapa) مْن yang

menerapkan Sunnah pertama kali) dan beliau tidak mengatakan ابِتدع Barangsiapa yang) مْن

mengadakan suatu yang baru dalam agama) dan beliau mengatakan اِإلُسالَم ,(dalam Islam) في

sedangkan bid’ah itu bukan dari Islam. Beliau mengatakan حَّسنة (yang baik) sedangkan bid’ah

bukan merupakan sesuatu yang baik

Syubhat Ketiga :

Ada Sebuah Atsar yang sering dijadikan hujjah akan adanya bid’ah hasanah yaitu :

حَّسْن الَله عند فهو :ا حَّسن الَمَّسَلَموّن ماراه

‘Apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka baik pula menurut pandangan

Allah.” (Al Furuusiyyah oleh Ibnul Qayyim hal 167)

Bantahan :

Page 10: Adakah+bid'ah+hasanah

1. Bahwasanya tidak benar kalau atsar tersebut sampai kepada Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam, itu

hanyalah perkataan Abdullah bin Mas’ud yang mauquf dari Ibnu Mas’ud saja.

Ibnul Qayyim berkata: “Sesungguhnya atsar ini bukanlah dari sabda Rasulullah Alaihi Sholatu Wa

Sallam, hanya orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits sajalah yang menyandarkan

perkataan tersebut kepada beliau Atsar itu hanya merupakan pandangan Ibnu Mas’ud” (Kasyful

Khafaa’ oleh Al Ajaluuny 2/245).

Berkata Syaikh Albany: “Ia tidak punya dasar riwayat secara marfu, riwayat itu hanyalah mauquf

kepada Ibnu Mas’ud” ( As Silsilah Ad Dha’iifah no 553)

2. Bahwasanya huruf ال pada perkataan الَمَّسَلَموّن berfungsi sebagai Al ‘Ahd (yang harus

kembali kepada sosok yang jelas), dan dalam hal ini kembali kepada Sahabat sendiri, merekalah

yang dimaksud oleh atasar tersebut sebagai Al Muslimun, sebagaimana yang bisa dipahami dari

alur kalimat atsar tersebut yang berbunyi :

, إّن الْعباِد قَلوب Oّر خي مLحUَم.د قَلب فوجد الْعباِد قَلوب فKي ِنظّر تْعالى ,, الَله لنفَّسه فاصطفاهَأصحابه قَلوب فوجد قَلوب, وابِتْعثه فKي ِنظّر Lُم. ث قَلوب بّرُسالِته خيّر مLحUَم.د قَلب بْعد الْعباِد

, عَلى, يقاتَلوّن ِنبيه وزراء فجْعَلهُم , الْعباِد حَّسْن, الَله عند فهو R حَّسنا OَمLَّسَلَموّن ال رآه فَما ِدينهعند فهو R ُسيئا رَأوه ُسيء وما الَله

Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:“Sesungguhnya Allah Ta’ala melihat hati para

hamba-Nya dan Ia mendapatkan hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang paling baik,

maka Ia memilihnya untuk diri-Nya dan Ia mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Ia melihat

hati para hamba-Nya setelah melihat hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ia

mendapatkan hati para sahabat adalah yang paling baik. Maka Ia menjadikan mereka (para

sahabat) sebagai pendamping nabi-Nya untuk menampakkan agama-Nya.Apa yang dipandang baik

oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk

oleh mereka, maka buruk di sisi Allah” (Dikeluarkan oleh: Ahmad dalam Musnad-nya 1/379; At-

Thiyalis dalam Musnad-nya no. 246. Di-hasan-kan oleh Al-Albani dan di-Shahih-kan oleh Al-Haakim

dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ‘kaum muslimin” dalam atsar

tersebut adalah para sahabat. Dan sebagai tambahan penjelasan adalah bahwa Imam Al Hakim

memasukkan atsar tersebut pada bab Marifatus Shahabah dalam kitab beliau Al Mustadraknya. Hal

ini menunjukkan bahwa Abu Abdillah Al Hakim memahami bahwa yang dimaksud dengan kaum

muslimin pada atsar tersebut adalah para sahabat.

Kalau memang demikian, maka telah diketahui bahwa para sahabat seluruhnya telah bersepakat

mencela dan memandang buruk setiap bid’ah. Dan tidak pernah diriwayatkan dari salah

seorangpun dari mereka menganggap baik salah satu bid’ah tersebut.

3. Kalaulah huruf ال pada perkataan الَمَّسَلَموّن bukanlah Alif Laam Al ‘Ahd maka akan berfungsi

sebagai ‘Istighraaq’ yakni meliputi keseluruhan kaum muslimin, maka yang dimaksud adalah ijma

Page 11: Adakah+bid'ah+hasanah

para ulama dan ijma adalah hujjah. Dan telah diketahui bahwa tidak ada satupun bid’ah yang telah

disepakati oleh kaum muslimin sebagai bid’ah hasanah. Walhamdulillah.

4. Bagaimana mereka berdalil dengan atsar sahabat yang mulia ini tentang adanya bid’ah hasanah

padahal beliau adalah seorang yang paling tegas melarang dan memperingatkan tentang bid’ah

كفيِتُم فقد عوا تبِتد وال :بْعوا ات

Berittiba’lah kamu kepada rasulullah dan janganlah berbuat bid’ah sesungguhnya kamu telah

dicukupkan (HR Ahmad).

Syubhat Keempat :

Ada sebuah riwayat yang oleh sebagian orang dipergunakan untuk melegalkan istilah bid’ah

hasanah, yaitu :

Dari Ghudaif bin Al Harits berkata: “Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepadaku. Dalam

suratnya beliau berkata kepadaku: “Wahai Abu Asma’, Sesungguhnya kami telah mengumpulkan

manusia untuk memasyarakatkan dua perkara.” Ghudaif bertanya: “Apa itu ?” Beliau menjawab:

“Yakni mengangkat tangan diatas mimbar pada hari jum’at dan menceritakan kisah-kisah pada

setiap selesai sholat subuh dan ashar.” Maka Ghudaif berkata: “Ketahuilah bahwa kedua hal

tersebut merupakan bid’ah yang terbaik menurutku namun aku tidak dapat menyambut perintah

Anda untuk memasyarakatkan kedua budaya tersebut.” Ibnu Marwan bertanya: “Mangapa

demikian ?” Jawab Ghudaif “Sebab Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :

:ة الَّسن مْن مثَلها رفُع : إال بدعة قوَم ث َأحد ما

“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar

dengannya pula.”

[Lihat Tahdziibul Kamaal 33/108]

Bantahan :

Pertama: Bahwasanya riwayat diatas adalah Dho’if karena dalam sanadnya terdapat dua cacat,

yaitu :

a. Ada perawi bernama Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam, Ia Dho’if, dilemahkan

oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma;in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Nasa’i dan Daruquthni (At

Taqrib no 7974). Ibnu Hajar berkata dalam At Taqriib: Dia Dho’if.

b. b.Ada perawi yang bernama Baqiyyah bin Al Walid dan dia telah melakukan tadlis dengan

riwayat ‘an-anah. Ibnu Hajar berkata: “Ia banyak meriwayatkan hadits dengan tadlis

daripada perawi yang dhaif dan majhul (Asadul Ghaabah 4/340)

Kedua: Seandainya riwayat tersebut shahih, maka sesungguhnya tidak boleh sabda Rasulullah

Shollallahu Alaihi Wa Sallam dikonfrontasikan dengan perkataan seorang manusipun siapapun dia.

Page 12: Adakah+bid'ah+hasanah

Ketiga: Bahwasanya Ghudaif bin Al-Harits ini diperselisihkan statusnya sebagai sahabat. Sebagian

ulama menghitungnya dalam kelompok sahabat dan yang lain menghitungnya dalam kelompok

tabi’in (Fathul Baary 13/254)

Keempat: Ghudaif Al Harits menolak penerimaan terhadap bid’ah tersebut, beliau membantah

bidah hasanah tersebut dimana beliau tidak mau memasyarakatkannya dan diakhir riwayat beliau

membawakan sabda Nabi:

:ة الَّسن مْن مثَلها رفُع : إال بدعة قوَم ث َأحد ما

“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar

dengannya pula.”

Oleh karena itu jika sekiranya bidah tersebut adalah bid’ah hasanah maka tidak mungkin dengan

keberadaannya akan menghilangkan suatu sunnah yang semisalnya.

Syubhat Kelima:

Perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah :

الَّسنة خالف وما محَموِد فهو الَّسنة وافق فَما مذمومة وبدعة محَموِدة بدعة بدعِتاّن البدعةمذموَم فهو

“Bidaah itu ada dua , yaitu bid’aah yang di puji dan bidaah yang keji. Sesuatu yang menyamai

sunnah, maka ia adalah bidaah yang di puji, dan yang menyalahi sunnah, maka ia adalah bidaah

yang keji (Manaaqibus Syaafi’I oleh Al Baihaqi 1/468)

الضالل: الَمحدثاِت بدعة فهذه إجَماعا َأو َأثّرا َأو ُسنة َأو كِتابا يخالف َأحدث ما وما ضّرباّن

مذمومة غيّر محدثة فهذه ذلك مْن شيئا يحالف ال الخيّر مْن َأحدث

“Perkara yang diada-adakan itu terbagi menjadi dua macam: (pertama) Perkara yang diada-adakan

yang bertentangan dengan Al Qur’an, atau as sunnah, atau kesepakatan ulama’ (ijma’), maka ini

adalah bid’ah dholalah (sesat), dan (kedua): kebaikan yang diada-adakan yang tidak bertentangan

dengan salah satu dari dasar-dasar tersebut, maka ini adalah muhdatsah (suatu hal baru/diada-

adakan) yang tidak tercela.” [Ibid, dan Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 267].

Bantahan :

Pertama: Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa

Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah adalah Hujjah terhadap

perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam

dibantah oleh perkataan selainnya. Abdullah bin Abbas berkata :

وُسَلُم عَليه الَله صَلى النبي خال ما ؛ ويِتّرك رَأيه مْن ويؤخذ اال َأحد ليس

Page 13: Adakah+bid'ah+hasanah

‘Tidak ada seorangpun melainkan perkataannya dapat ditolak dan diterima kecuali perkataan Nabi

Alaihi Sholatu Wa Sallam ” (Jaami’ul Ulum Wal Hikam 6/28)

Kedua: Jika kita memperhatikan perkataan Imam Syafi’i dengan seksama, maka tidak diragukan

lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah mahmudah itu adalah makna secara bahasa

bukan menurut Syara’ dengan dalil bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama maka sudah

tentu ia akan bertentangan dengan Al Qur’aan dan Sunnah. Karena Imam Syafi’i telah membatasi

kata bid’ah mammudah dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan

setiap bid’ah yang terjadi terhadap agama pasti menyelisihi firman Allah Ta’ala :

OُمL Uُك ِدKين OُمL Uُك ل LُتOَلUَمO كU َأ UَمOوU Oي ………ال

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu ………..”(Al Maidah :3)

Dan juga bertentangan dengan Sabda Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam:

: عْن الَله صَلى الَله رُسول قال قال عنها الَله رضي عائشة عبدالَله َأَم الَمؤمنيْن عَليه َأَم

ومَّسَلُم ” ” البخاري رواه رِد فهو منه ليس ما هذا َأمّرِنا في َأحدث مْن وُسَلُم

Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah

Alaihi Sholatu Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan

agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim)

Ibnu Rajab berkata :

- والَمّراِد الشّرع – عّرف في ويَّسَمى الشّرع، في َأصَّل له وليس َأحدث ما الَمحدثاِت َأي بها

الشّرع. عّرف في فالبدعة ببدعة، فَليس الشّرع عَليه يدل َأصَّل له كاّن وما مذمومة، بدعة

كاّن ُسواء بدعة، يَّسَمى مثال عَلى ال َأحدث شيء كَّل فإّن الَلغة، مذموما بخالف َأو محَموِدا

“Dan yang dimaksud dengannya (Al Muhdatsah/perkara yang diada-adakan) ialah setiap perkara

yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya dalam syari’at, dan dalam istilah syari’at disebut bid’ah.

Dan setiap perkara yang memiliki dasar dalam syari’at, tidak disebut bid’ah. Dengan demikian

bid’ah dalam pengertian syariat pasti tercela. Beda halnya dengan pengertian bahasa karena

setiap hal yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, baik hal itu terpuji atau

tercela.” [Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, 267].

Ketiga: Bahwasanya yang diketahui dari Imam Syafi’i Rahimahullah bahwasanya beliau adalah

orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dan

sangat marah terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam,

sebagaimana yang disebutkan dari beliau ketika beliau ditanya tentang sebuah masalah. Beliau

Page 14: Adakah+bid'ah+hasanah

berkata: “Telah diriwayatkan dalam masalah ini begini dan begini dari Nabi Alaihi Sholatu Wa

Sallam maka bertanyalah sipenanya: “Wahai Abu Abdillah apakah kamu mengatakan sebagaimana

yang dikatakan oleh hadits tersebut ? Maka Imam Syafi’I pun terperanjat dan bergetar seraya

berkata :

وُسَلُم عَليه الَله صَلى الَله رُسول عْن رويُت إذا تظَلنى ُسَماء وَأى تقَلنى َأرِض َأى هذا يا

والبص الَّسَمُع عَلى ِنْعُم به َأقَّل فَلُم ّرحديثا

“Aduhai bumi yang mana yang akan kupijak dan langit manalagi yang akan menaungiku jika aku

riwayatkan dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam suatu hadits lalu tidak aku berfatwa dengannya,

tentu akan aku junjung sabda beliau. (Siyaru A’laamin Nubalaa’ 10/34)

Ditempat yang lain beliau berkata: “Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Alaihi

Sholatu Wa Sallam dan mengikutinya. Apapun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku

katakan itu berasal dari Rasulullah tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang

disabdakan oleh Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam itulah yang menjadi pendapatku.1

“Seluruh Kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari

Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat

seseorang.”2

“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah Alaihi

Sholatu Wa Sallam , peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu.”3

“Bila suatu hadits Shahih, itulah Madzhabku.”4

“Kalian5 lebih tahu tentang Hadits, dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu

Shahih, beritahukanlah kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah atau Syam,

sampai aku pergi menemuinya.”

“Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam menurut

kalangan ahlul hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama

aku hidup maupun setelah aku mati.”6

1 HR Hakim dengan sanad bersambung kepada imam Syafi’i, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu Asakir (XV/1/3). I’lam Al-Muwaqqi’in ( II/363-364), Al-Iqazh hal 100).2 Ibnul Qayyim (II/361) dan Al Filani hal 68.3 Harawi dalam kitab Dzamm al-kalam (III/47/1), Al-Khatib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi’i (VIII/2) dan lain-lain.4 Nawawi dalam Al-Majmu’ Sya’rani (I/57).5 Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i hlm 94-95. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX-106) dan lain-lain.6 Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (IX/107), Al Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam (II/363) dan Al Filani hlm 104.

Page 15: Adakah+bid'ah+hasanah

“Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi

Alaihi Sholatu Wa Sallam yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak

berguna.”7

“Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam,

hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.”8

“Setiap hadits yang datang dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam berarti itulah pendapatku, sekalipun

kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.”9

Syubhat Keenam :

Perkataan Al ‘Izz bin Abdisalam tentang bid’ah bahwa:

“Bid’ah itu terbagi kepada bid’ah wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah, bid’ah yang

makhruh dan bid’ah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bid’ah

dikembalikan kepada kaidah-kaidah Syariat. Maka jika bid’ah tersebut masuk ke dalam kaidah yang

wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bid’ah wajibah, apabila ia masuk ke dalam kaidah yang

haram, maka itulah bid’ah muharramah. Jika ia masuk ke dalam kaidah sunnah, maka itulah bid’ah

mandubah dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bid’ah yang mubah.” (Al I’tisham

1/246)

Bantahan :

Pertama : Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa

Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam

adalah Hujjah terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah

Alaihi Sholatu Wa Sallam dibantah oleh perkataan selainnya

Kedua : Berkata Imam Asy Syathiby : ” Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian

yang diada-adakan, tidak ada satupun dalil syar’I yng mendukungnya, bahkan pembagian itu

sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil

yang syar’I, tidak berupa dalil dari nash-nash syar’I, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-

kaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syari tentang wajibnya, atau sunnahnya atau

bolehnya, niscaya tidak mungkin bid’ah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk ke dalam

amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka

mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah dan antara keberadaan dalil-dalil yang

menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya atau bolehnya maka semua itu merupakan pengumpulan

antara dua hal yang saling menafikan.” (Al I’tisham 1/246)

Ketiga : Bahwasanya bid’ah yang dimaksudkan oleh Al ‘Izz bin Abdisalam adalah bidah menurut

pengetian bahasa bukan menurut pengertian Syar’i hal yang menunjukkan hal tersebut adalah

contoh-contoh yang dipaparkan terhadap pembagian bid’ah tersebut:

7 Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’i hlm 93.8 Ibid.9 Ibid.

Page 16: Adakah+bid'ah+hasanah

Bid’ah wajib beliau contohkan dengan menekuni ilmu nahwu yang dengannya firman Allah Azza

Wa Jalla dan sabda Rasul-Nya Alaihi Sholatu Wa Sallam dipahami. Apakah menekuni ilmu nahwu itu

merupakan bid’ah ? ataukah ia termasuk ke dalam kaidah yang mengatakan:

واجب فهو :به اال الواجب :ُم مااليِت

“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu tersebut,

maka sesuatu itu hukumnya wajib.”

Bid’ah Sunnah beliau contohkan dengan sholat tarawih dan pembangunan sekolah-sekolah.

Sholat tarawih telah ada contoh perbuatan dari Nabi, sebagaimana telah dibahas dimuka

(Perkataan Umar tentang Sholat Tarawih-Abu Aufa) sedangkan pembangunan sekolah-sekolah

adalah wasilah untuk menuntut ilmu dan keutamaan ilmu serta mengajarkannya tidak dapat kita

pungkiri.

Bid’ah Mubah beliau contohkan dengan kelezatan-kelezatan dan hal itu bukanlah merupakan

bid’ah menurut agama, bahkan jika ia sampai kepada derajat israf (berlebihan), maka ia termasuk

kepada hal yang diharamkan, yang masuk ke dalam suatu bentuk kemaksiatan bukan termasuk

bid’ah. Dan ada perbedaan antara kemaksiatan dan bid’ah (silahkan lihat di

http://www.almanhaj.or.id/content/1203/slash/0 - Abu Aufa)

Keempat : Bahwasanya telah ada riwayat mengenai Al ‘Izz bi Abdisalam Rahimahullah bahwa

beliau adalah orang yang dikenal sebagai pemberantas bid’ah dan orang yang sangat melarang hal

tersebut serta mentahdzir dari bahaya bid’ah. Beberapa contohnya :

Syahibuddin Abu Syaamah-Murid Al ‘Izz- berkata : Beliau adalah orang yang paling berhak

menjadi khatib dan imam, beliau telah menyingkirkan banyak bid’ah yang pernah dilakukan oleh

para khatib dengan pukulan pedang diatas mimbar dan lain-lain, beliau pernah mengungkapkan

kebathilan dua shalat pada pertengahan bulan Sya’ban (Nishfu Sya’ban) dan beliau melarang

keduanya.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 46 no 15 Cet Daarul Baaz)

Bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bersalam-salaman setelah selesai shalat subuh dan

ashar, maka beliaupun berkata : “Bersalam-salaman setelah sholat subuh dan ashar adalah

merupakan salah satu dari bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang yang belum sempat

bertemu dan berjabat tangan dengannya sebelum sholat, sebab bersalam-salaman disyariatkan

oleh agama ketika baru bertemu. Dan adalah nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam biasanya setelah sholat

berdzikir dengan dzikir-dzikir yang syar’i dan beristighfar 3x kemudian bubar dari sholatnya.”

(Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)

” Dan tidaklah disukai (disunnahkan) mengangkat kedua tangan ketika berdoa, kecuali pada

tempat-tempat yang padanya Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam mengangkat kedua tangannya,

dan tidak ada orang yang mengusap kedua tangannya kewajahnya setelah berdoa melainkan

orang yang jahil.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)

Page 17: Adakah+bid'ah+hasanah

Dan sebagainya………

Kesimpulan tentang Bid’ah Hasanah

Berikut adalah beberapa kesimpulan tentang bid’ah Hasanah :

Pertama : Bahwasanya dali-dalil tentang celaan terhadap bid’ah sangat banyak, dan semuanya

datang dalam bentuk mutlaq (umum), tidak terdapat didalamnya pengecualian sedikitpun dan

tidak pula terdapat didalamnya sesuatu yang menghendaki bahwa dalam bid’ah itu ada yang

bid’ah hasanah dan ada pula yang merupakan bid’ah syayiah dan tidak terdapat pula perkataan :

“Setiap bid’ah itu sesat”, kecuali yang begini dan begini, dan tidak pula perkataan yang semakna

dengannya. Seandainya ada bid’ah yang dipandang oleh syara’ sebagai bid’ah hasanah niscaya

akan disebutkan dalam suatu ayat ataupun dalam hadits.. namun tidak ada, maka hal ini

menunjukkan bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan pada hakikatnya bersifat umum dan

menyeluruh yang seorangpun tidak dapat menyelisihi tuntutannya. [Al I’tishaam 1/187]

Kedua : Bahwasanya telah ditetapkan dalam ushul ilmiyah bahwa setiap kaidah kulliyah atau dalil

syar’i kulliyah jika terulang pada banyak tempat dan waktu berbeda-beda serta bermacam-macam

kondisi dan belum dihubungkan dengan sutu qarinah atau pengkhususan, maka dalil tersebut tetap

pada apa yang dikehendaki oleh lafadznya yang bersifat umum dan mutlaq. [Al I’tishaam 1/187]

Ketiga : Salafus Shalih dari para Sahabat, Tabiin dan orang-orang shalih setelahnya mereka telah

sepakat mencela, menjelekkan dan lari dari bid’ah orang-orang yang melakukan bid’ah. Mereka

tidak pernah berhenti dan tidak pernah memberikan pengecualian terhadap masalah tersebut,

sehingga ijma’ tersebut –sesuai dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam- merupakan

ijma’ yang kuat yang menunjukkan secara jelas bahwasanya bid’ah itu seluruhnya buruk dan tak

ada satupun yang baik. [Al I’tishaam 1/188]

Keempat : Bahwasanya hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah dengan sendirinya menghendaki

demikian [keburukan-Abu Aufa], sebab ini merupakan bahagian dari bab penentangan terhadap

pembuat syariat dan membuat syariat baru, dan setiap apa yang terkumpul didahal hal seperti ini

mustahil akan terbagi menjadi baik dan buruk dan ada diantaranya sesuatu yang dipuji dan dicela,

sebab akal sehat dan dali syariat tidak ingin menganggapnya baik [Al I’tishaam 1/188]

Kelima : Bahwasanya perkataan tentang bid’ah hasanah membuka peluang bagi perbuatan bid’ah

terhadap pelakunya, dan tidak mungkin bersamaan dengan hal itu orang tersebut akan menolak

suatu bid’ah apapun, sebuah setiap ahlul bid’ah itu pasti akan menganggap baik bid’ah yang

dilakukannya. Sehingga orang-orang Rafidhah akan mengatakan bahwa bid’ah mereka itu ‘bid’ah

hasanah’ demikian pula Mu’tazilah, Jahmiyah, Khawarij dll. Karena itulah maka wajib bagi kita untuk

membantah mereka semua dengan hadits yang artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”

Keenam : Apakah Standar untuk mengatakan bahwa bid’ah itu baik [?] dan siapakah yang menjadi

rujukannya [?] Jika dikatakan bahwasanya standartnya adalah kesesuaian dengan Syariat, maka

kita katakan bahwa pada asalnya apa yang sesuai dengan syariat itu bukanlah bid’ah. Dan jika

Page 18: Adakah+bid'ah+hasanah

dikatakan bahwa yang menjadi rujukan adalah akal, maka kita katakan bahwa akal itu berbeda-

beda dan bertingkat-tingkat. Kalau begitu apa yang menjadi rujukan dalam masalah tersebut dan

akal yang mana yang diterima hukumnya [?]

Ketujuh : Dikatakan kepada orang yang menganggap baik bid’ah : “Jika penambahan dalam

agama itu dibolehkan atas nama bid’ah hasanah, maka orang yang menghapus atau mengurangi

sesuatu dari agama ini juga dianggap baik dengan mengatasnamakan bid’ah hasanah tersebut.

Dan tidak ada bedanya antara dua hal tersebut, sebab bid’ah itu terkadang berupa perbuatan atas

sesuatu atau meninggalkan sesuatu, sehingga nantinya agama ini akan dihilangkan disebabkan

penambahan dan pengurangan tersebut dan cukuplah hal ini dikatakan sebagai suatu kesesatan.

[Tahdziirul Muslimiin ‘Anil Ibtida’ Fiddiin oleh Ahmad bin Hajar Ali Buthamy hal 76]

Kedelapan : Bahwasanya perkataan tentang adanya bid’ah hasanah akan membawa kepada

penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, sebab setiap kali datang suatu kelompok,

mereka akan menambah-nambah ibadah dalam agama dan mereka akan menamakannya dengan

bid’ah hasanah dan dengan perkataan tersebut bid’ah-bid’ah akan menjadi banyak dan semakin

bertambah dalam ibadah-ibadah yang disyariatkan, sehingga agama ini akan berubah dan akan

rusak sebagaimana rusaknya agama-agama terdahulu. Karena itu wajib bagi kita untuk menutup

semua pintu-pintu bid’ah sebagai usaha pemeliharaan terhadap agama dari berbagai

penyimpangan.

Kesembilan : Barangsiapa yang mengetahui bahwasanya Rasul Alaihi Sholatu Wa Sallam adalah

orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam berbicara dan

menjelaskan sesuatu, maka dia akan tahu pula bahwasanya sungguh telah terkumpul pada diri

beliau Alaihi Sholatu Wa Sallam kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran, bahwa beliau

memiliki kemampuan yang sempurna untuk menjelaskan kebenaran dan kesempurnaan kehendak

untuk itu. Dan bersamaan dengan kesempurnaan ilmu. Dengan Kemampuan dan kehendak

tersebut maka wajib adanya apa yang diinginkan/dituntut dalam bentuk yang paling sempurna.

Dengan demikian orang tersebut akan tahu bahwasanya perkataan beliau adalah perkataan yang

paling ‘baliiqh’ (jelas), paling lengkap dan merupakan penjelas yang paling agung terhadap urusan

agama ini [Majmuu’ul Fataawaa 17/129]

Maraji’:

1. Al Ibdaa’ fii Kamaalis Syar’i Wakhatharil Ibtidaa’ oleh Syaikh Utsaimin.

2. Al Luma’ fil Rudd ‘Alaa Muhassiny Al Bida’ oleh Abdul Ayyum bin Muhammad As Sahibany

yang telah diterjemahkan menjadi buku “Mengapa menolak bid’ah hasanah”

3. Mukaddimah Shifat Sholat Nabi oleh Syaikh Albani.

[Diambil dari http://aliph.wordpress.com/2007/07/02/adakah-bidah-hasanah-seri-4/]