acara 4 fermentasi
-
Upload
vivi-fitria -
Category
Documents
-
view
131 -
download
5
Transcript of acara 4 fermentasi
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PANGAN
ACARA IV
PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN PANGAN DENGAN
FERMENTASI
Disusun oleh :
Nama :
NIM :
Kelompok :
Shift :
Tanggal :
Asisten : 1.
2.
PROGRAM STUDI GIZI KESEHATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Acara : Pengolahan dan Pengawetan Pangan dengan Fermentasi.
B. Hari/tanggal :
C. Tujuan :
1. Menyebutkan prinsip-prinsip pembuatan tape, tempe dan yoghurt.
2. Mengetahui mikroorganisme yang berperan dalam pembuatan tape, tempe
dan yoghurt.
3. Menerangkan proses yang terjadi selama fermentasi tape, tempe dan
yoghurt.
2
BAB II
METODE PERCOBAAN
A. Alat dan bahan
1. Tape
a. Alat
1) Talenan 3 buah
2) Pisau 3 buah
3) Panci 3 buah
4) Timbangan digital 1 buah
5) Mangkuk 7 buah
6) Kompor 1 buah
7) Cup plastik 15 buah
8) Kertas label 15 buah
9) Selotip 1 gulung
10) pH stick 15 buah
11) Sendok 10 buah
b. Bahan
1) Singkong 300 gram
2) Beras ketan putih 200 gram
3) Ragi tape 3,25 gram
4) Air secukupnya
2. Tempe
a. Alat
1) Baskom 5 buah
2) Kompor 5 buah
3) Saringan 5 buah
4) Dandang 5 buah
5) Panci 5 buah
6) Mangkuk aluminium 5 buah
7) Timbangan digital 1 buah
8) Sendok 5 buah
9) Plastik 9 buah
10) Daun pisang secukupnya
b. Bahan
1) Kacang kedelai 500 gram
2) Ragi tempe 8 gram
3) Air secukupnya
3. Yoghurt
a. Alat
1) Panci 6 buah
2) Kompor 2 buah
3) Sendok 5 buah
4) Timbangan digital 1 buah
5) Piring kecil 5 buah
6) Gelas ukur 1000 ml 5 buah
7) Gelas ukur 10 ml 1 buah
8) Pipet ukur 10 ml 1 buah
9) Micropipet 1 buah
10) pH stick 10 buah
3
11) Cup plastik 5 buah
12) Kertas label 5 buah
13) Gunting 1 buah
14) Selotip 1 gulung
15) Inkubator 1 buah
b. Bahan
1) Susu skim 75 gram
2) Susu UHT 500 ml
3) Starter “Biokul” 1 botol
4) Gula Pasir 18 gram
5) Air secukupnya
B. Cara Kerja
1. Tape
100 gram beras ketan putih / singkong
Pembagian kelompok perlakuan tape:
Kelompok Perlakuan Tape1 Singkong Ragi 0,5%2 Singkong Ragi 1%3 Beras ketan Ragi 0,5%4 Beras Ketan Ragi 1%
4
Mengupas dan mencuci bersih singkong
Merebus beras ketan hingga sedikit mengembang (5 menit sejak air mendidih)
Mendinginkan beras ketan/singkong hingga hangat-hangat kuku
Menaburi ragi tape dengan konsentrasi 0,5-1% BDD
Mengaduk rata dan membiarkan selama 30 menit dalam wadah (membagi dalam 3 wadah)
Menginkubasi pada suhu ruang selama 3 hari
Menutup wadah dan memberi selotip
Mengukus beras ketan/singkong hingga hampir matang
5 Singkong Ragi 0,25%
2. Tempe
100 gram kacang kedelai
Pembagian kelompok perlakuan tempe:
Kelompok Perlakuan Tempe1 Ragi 0,5% Bungkus plastik2 Ragi 1% Bungkus plastik3 Ragi 1% Bungkus plastik tanpa ditusuk4 Ragi 0,5% Bungkus daun pisang5 Ragi 1% Bungkus daun pisang
5
Mengukus selama 30 menit dari air mendidih
Memisahkan kulit kacang kedelai dari kotiledonnya dan menimbang berat kacang kedelai tanpa kulit
Merendam kacang kedelai dengan air bersih selama satu malam
Membersihkan dari kotoran dan mencuci hingga bersih
Merebus kacang kedelai bersama air rendaman selama 15 menit dari air mendidih
Mencuci bersih kacang kedelai tanpa kulit
Mendinginkan hingga hangat-hangat kuku
Membagi menjadi tiga bagian dan membungkus dengan daun pisang/plastik yang telah ditusuk
Menginkubasi selama 3 hari
Menginokulasikan dengan ragi tempe 0,5-1% berat tanpa kulit
3. Yoghurt
15 gram susu skim
Pembagian kelompok perlakuan yogurt:
Kelompok Perlakuan Yogurt1 Tidak diberi gula Starter 10%2 Gula 4% Starter 5%3 Gula 4% Starter 10%4 Gula 5% Starter 5%5 Gula 5% Starter 10%
6
Menambahkan susu cair hingga mencapai volume 100 ml
Menginkubasi selama 24 jam pada suhu 37-40°C
Menambahkan gula pasir sebanyak 4-5%
Memasukkan starter sebanyak 5-10% lalu menutup wadah dan memberi selotip
Memanaskan hingga bersuhu ±80°C lalu mendinginkan hingga hangat-hangat kuku
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Pustaka
1. Fermentasi
Fermentasi merupakan suatu proses metabolisme yang menghasilkan energi
dengan cara menguraikan karbohidrat, lemak, dan juga protein tanpa kehadiran O2
bebas (Sarwono, 2010). Proses fermentasi merupakan suatu proses pemecahan
senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang dalam proses mikrobiologinya,
dilakukan oleh mikrobia yang menghasilkan atau mempunyai enzim yang dibutuhkan
dalam proses tersebut (Rukmana, 2005).
Prinsip proses fermentasi adalah mengubah zat yang terdapat dalam bahan
pangan sehingga didapatkan makanan fermentasi dengan mengaktifkan
pertumbuhan dan metabolisme beberapa mikroorganisme yang diinginkan (Ray,
1996). Tujuan dilakukannya proses fermentasi adalah terutama untuk mengubah
bahan pangan asal menjadi suatu produk baru dengan karakteristik berbeda dari
bahan asalnya (Anggoro, 2011).
Dalam menentukan keberhasilan proses fermentasi, faktor-faktor yang
berperan di dalamnya antara lain macam mikroba yang digunakan dalam fermentasi,
kondisi lingkungan fermentasi yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme
mikroba seperti komposisi nutrisi media fermentasi, suhu dan pH (Tisnadjaja, 2008).
Suhu optimum untuk proses fermentasi adalah 31°-33°C. Selain itu, jenis bahan
makanan yang difermentasi juga mempengaruhi proses fermentasi (Murdjito, 2001).
Selama fermentasi terjadi aktivitas metabolisme anaerob mikroba yang
dikehendak. Mikroba tersebut menggunakan zat gizi dalam makanan sebagai sumber
energi metabolisme. Zat gizi yang paling utama adalah glukosa. Dengan adanya
oksigen, mikroba mencerna glukosa dan menghasilkan air, CO2 dan sejumlah besar
ATP. Namun, dalam fermentasi, proses metabolisme berjalan tanpa adanya oksigen.
Proses tersebut menghasilkan asam laktat, asam asetat, etanol serta alkohol dan
ester alkohol disamping sejumlah kecil energi, air dan CO2. Kadar zat yang dihasilkan
dipengaruhi oleh mikroba yang ditambahkan. Bakteri asam laktat akan menghasilkan
sebagian besar asam laktat. Sedangkan, kandungan hasil fermentasi khamir
didominasi oleh etanol (Buckle, 2010).
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari proses fermentasi. Menurut
Anggoro (2011), beberapa manfaat fermentasi diantaranya adalah :
7
a. Mengawetkan dan meningkatkan keamanan pangan, misalnya saja dengan
pemecahan substrat menjadi asam sehingga mikrobia pembusuk dan patogen
tidak dapat tumbuh.
b. Meningkatkan nilai gizi, sebab mikroba memecah komponen makanan menjadi
senyawa yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna atau diserap
tubuh.
c. Menambah citarasa produk, karena proses fermentasi akan memecah substrat
menjadi senyawa2 yang berpengaruh terhadap citarasa produk sehingga
menjadi lebih kaya citarasa yang dihasilkan.
Menurut Winarno (2004), kerugian proses fermentasi adalah terbentuknya
toksin sebagai bentuk metabolisme mikroba, seperti pada tempe bongkrek dan
oncom. Selain itu, produk hasil fermentasi memiliki perubahan tekstur dan lebih
permeable terhadap air.
Selain keuntungan yang telah disebutkan sebelumnya, fermentasi dapat
meningkatkan nilai gizi bahan yang bergizi rendah karena sifat katabolik mikroba
yang dapat mencerna zat gizi menjadi bentuk yang lebih sederhana (Winarno, 2004).
Seperti, kandungan protein dan asam amino tempe meningkat hingga sembilan kali
lipat daripada protein dan asam amino kedelai (Wariyono, 2008). Fermentasi dapat
meningkatkan mineral, antioksidan, serta dapat meningkatkan kadar protein produk
karena kemampuan mikroba untuk mensintesis beberapa vitamin (Planck, 2007).
Seperti, kandungan vitamin B12 pada tempe juga meningkat, yakni mencapai 3,9µg –
5 µg/100 gram tempe kering (Susianto, 2010). Hasil fermentasi yang berupa asam
dan alkohol dapat mencegah pertumbuhan dan produktifitas mikroba yang tidak
diinginkan seperti Clostidium botulinum (Winarno, 2004).
2. Singkong
Singkong termasuk umbi akar yang termasuk dalam kelompok bahan pangan
sumber energi. Singkong merupakan bahan pangan yang sering dikonsumsi di
Indonesia. Bahkan, di beberapa daerah, singkong dikonsumsi sebagai makanan
pokok atau pengganti nasi. Singkong yang telah dipanen, sulit untuk disimpan dalam
waktu yang lama. Oleh karena itu, singkong yang telah dipanen dari pohonnya perlu
diolah,. Produk olahan singkong di Indonesia antara lain keripik singkong, gaplek,
tepung singkong dan tape singkong (Sediaoetama, 2009).
Singkong mengandung suatu zat glukosida cyanogenik, yang dapat
menghasilkan produk samping HCN, yaitu suatu zat yang toksik. Zat tersebut dapat
dihilangkan dengan proses perebusan dan membuang air rebusannya (Sediaoetama,
8
2009). Nilai gizi singkong adalah 154 kkal energi, 1,0 gram protein, 0,3 gram lemak,
36,8 gram karbohidrat, 77 mg kalsium, 24 mg fosfor dan 1,1 mg zat besi (Mahmud,
dkk., 2009).
3. Beras Ketan
Beras ketan merupakan bahan makanan kelompok serealia. Menurut Yasa Boga (2005),
beras ketan merupakan beras yang berasal dari tanaman padi tertentu. Beras ketan mentah
bersifat keras dan tidak mengkilat apabila dibandingkan beras putih biasa. Beras ketan
matang bersifat lengket. Beras ketan terdiri dari dua jenis, yaitu beras ketan hitam dan beras
ketan outih. Pada praktikum ini, digunakan beras ketan putih.
Secara umum, beras ketan memiliki nilai gizi yang sama dengan beras putih
biasa. Namun, beras ketan memiliki kandungan amilopektin yang lebih tinggi
daripada beras putih biasa. Kandungan amilopektin yang tinggi menyebabkan sifat
lengket pada beras ketan (Almatsier, 2009). Beras ketan putih berdasarkan pada
berat keringnya mengandung senyawa pati sebanyak 90 %, berupa amilosa 1-2 %
dan amilopektin 88-89% (Haryadi, 2006). Nilai gizi beras ketan adalah 361 kkal
energi, 7,4 gram protein, 0,8 gram lemak, 78,4 gram karbohidrat, 13 mg kalsium, 157
gram fosfor, 3,4 gram zat besi dan 0,28 µg thiamin (Mahmud, dkk., 2009).
4. Kedelai
Kacang kedelai merupakan kacang dengan kualitas kandungan protein
terbaik di golongan kacang-kacangan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai NPU dan
PER kacang kedelai yang tinggi, yaitu 72 dan 2,3. Sehingga, kacang kedelai
termasuk bahan makanan dengan kualitas protein lengkap. Kacang kedelai dapat
diolah menjadi beberapa produk, seperti tempe, tahu, tauco, kecap, dan susu kedelai
(Sediaoetama, 2009).
Kacang kedelai tidak baik apabila dikonsumsi dalam keadaan mentah karena
mengandung beberapa zat toksik. Zat tersebut dalam dihilangkan dengan proses
pemanasan (Winarno, 2009). Nilai gizi kacang kedelai adalah 381 kkal energi, 40,4
gram protein, 16,7 gram lemak, 24,9 gram karbohidrat, 222 mg kalsium, 682 mg
fosfor, 10 mg zat besi, 31 µg karoten dan 0,52 µg thiamin (Mahmud, dkk., 2009).
5. Susu Sapi
Susu sapi segar adalah susu yang didapatkan melalui pemerasan sapi secara
langsung, tanpa ditambah zat-zat atau mengalami pengolahan (Sediaoetama, 2009).
Pada praktikum digunakan susu sapi yang telah mengalami proses pengolahan, yaitu
9
susu sterilisasi UHT dan susu bubuk skim. Proses sterilisasi bertujuan membunuh
semua bakteri, baik phatogen maupun non-phatogen. Suhu yang digunakan adalah
104oC-140oC dengan waktu singkat sekitar 1-4 detik. Alat yang digunakan adalah
otoklav, untuk kapasitas kecil, dan retort, untuk kapasitas besar (Hadiwiyoto, 2007).
Susu mengandung gula khusus yang disebut laktosa. Jenis gula tersebut
hanya terdapat dalam susu (Sediaoetama, 2009). Menurut Almatsier (2009), nilai gizi
susu dikatakan hampir sempurna. Sebagian besar zat gizi essensial ada di dalam
susu, yaitu protein bernilai biologi tinggi, kalsium, fosfor, vitamin A, dan thiamin. Susu
merupakan sumber kalsium yang baik, disamping itu juga kadar laktosa susu
membantu absorpsi susu di saluran cerna. Zat-zat tersebut baik untuk pertumbuhan
tubuh. Akan tetapi, kandungan zat besi dan vitamin C susu sedikit sekali.
6. Mikroorganisme Fermentasi
Pada praktikum ini, dilakukan pembuatan tape, tempe dan yoghurt. Pada
pembuatan tape singkong digunakan ragi tape. Menurut Mahdiyah (2003), umumnya,
ragi tape terdiri dari banyak mikrobia, antara lain Candida, Endomycopsis,
Hansenula, Amylomyses, Aspergillus, Fusarium, Mucor, serta Rhyzopus. Yang
terpenting adalah jenis kapang Amylomyses rouxii dan khamir Endomycopsis butonii.
Kapang akan menguraikan molekul karbohidrat menjadi glukosa dan gula sederhana
lainnya sehingga membuat tape terasa manis. Sedangkan enzim yang dihasilkan
khamir mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2 sehingga timbul alkohol dan
aroma khas tape.
Pada pembuatan tempe, paling sedikit diperlukan 4 jenis kapang, yaitu
Rhyzopus oligosporus, Rhyzopus stolonifer, Rhyzopus arrhizius, dan Rhyzopus
oryzae. Miselium dari kapang tersebut akan mengikat keping-keping biji kedelai
sehingga timbul benang-benang putih hifa yang mengisi diantara kacang-kacang
kedelai dan memfermentasikannya menjadi tempe (Wariyono, 2008).
Yoghurt adalah susu asam yang merupakan hasil fermentasi susu oleh
bakteri asam laktat (BAL). Yoghurt biasanya dibuat dengan menggunakan dua jenis
BAL yaitu Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus sebagai starter.
Selain itu, ada juga yoghurt yang ditambahkan dengan BAL yang bersifat probiotik,
misalnya L. acidophillus, L. casei, dan Bifidobacterium. Secara umum, fungsi utama
dari bakteri asam laktat dalam fermentasi ini adalah untuk memproduksi asam laktat
(lactic acid) hasil metabolisme gula yang ada dalam susu (laktosa). Asam laktat
tersebut akan menurunkan nilai pH dan menimbulkan rasa asam. Selain itu, kultur
dapat digunakan juga untuk mengatur rasa, aroma dan tingkat produksi alkohol,
10
aktivitas proteolitik dan lipolitik, serta penghambat organisme yang tidak diinginkan
(Ardhyanti, 2009 dan Buckle, 2010).
11
B. Hasil dan Pembahasan
1. Tape
Tabel 1. Hasil Uji Organoleptik Tape Singkong dan Tape Beras Ketan
BahanBerat Kotor
(g)
BDD (g)
Ragi (g)
Pengamatan OrganoleptikSebelum
FermentasiHari
1 2 3
Singkong 158 100 0,5
pH 6 5 5 4Rasa + ++ +++ ++++Kadar Alkohol + ++ +++ ++++Kadar Air + ++ +++ ++++
Singkong 124 100 1
pH 6 5 5 4Rasa + ++ +++ ++++Kadar Alkohol + ++ +++ ++++Kadar Air + ++ +++ ++++
Beras Ketan Putih
100 100 0,5
pH 6 5 3 3Rasa + + +++ +++Kadar Alkohol + ++ +++ ++++Kadar Air + ++ +++ ++++
Singkong 158 100 0,5
pH 6 5 3 3Rasa + ++ +++ ++++Kadar Alkohol + ++ +++ ++++Kadar Air + ++ +++ ++++
Beras Ketan Putih
100 100 1
pH 6 5 5 4Rasa + ++ +++ ++++Kadar Alkohol + ++ +++ ++++Kadar Air + ++ +++ ++++
Keterangan :
(Skala : Rasa / Kadar Alkohol / Kadar Air)
+ : Tidak berasa khas tape / Tidak berakohol / Tidak Berair
++ : Agak berasa khas tape / Agak beralkohol / Agak berair
+++ : Berasa khas tape / Beralkohol / Berair
++++ : Sangat berasa khas tape / Sangat beralkohol / Sangat Berair
Pada praktikum ini, dilakukan pembuatan tape singkong dan tape beras
ketan. Pertama-tama, singkong dan beras ketan dibersihkan dari kulit atau kotoran
dengan pisau dan dicuci bersih. Setelah itu, singkong dan beras ketan ditimbang
sebanyak 100 gram dengan timbangan digital. Kemudian, beras ketan direbus dalam
panci selama 5 menit setelah air mendidih atau hingga agak mengembang.
Perebusan bertujuan untuk membunuh bakteri pyang tidak dikehendaki dan
menciptakan kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhan kapang (Buckle, 2010).
Singkong dan beras ketan yang telah direbus tersebut dikukus hingga hampir
matang. Pengukusan tersebut bertujuan mengempukkan terkstur, menghilangkan
mikrobia pengganggu dan menurunkan kadar sianida pada singkong. Sianida
12
merupakan zat racun yang ada dalam singkong. Sianida dapat dihilangkan dengan
perendaman, pembersihan, serta perebusan/pengukusan (Sediaoetama, 2009).
Singkong dan beras ketan yang telah selesai dikukus, didinginkan dengan cara
diangin-anginkan hingga hangat. Singkong dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan.
Sedangkan, beras ketan dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan. Lalu, singkong dan
beras ketan ditaburi ragi dan diaduk hingga merata dengan sendok dalam mangkok.
Konsentrasi ragi yang diberi pada singkong berbeda setiap kelompok perlakuan,
yaitu 0,5%, 1% dan 0,25% dari berat awal. Konsentrasi ragi yang diberikan pada
beras ketan adalah 0,5% dan 1% dari berat awal. Singkong dan beras ketan tersebut
dimasukkan ke dalam cup plastik dan didiamkan selam 30 menit sebelum ditutup dan
direkatkan dengan selotip. Pendiaman selama 30 menit bertujuan untuk memberikan
waktu bagi ragi untuk benar-benar meresap. Setelah itu, singkong dan beras
diinkubasi selama 3 hari. Pengamatan organoleptik tapem meliputi pH, rasa, kadar
alkohol dan kadar air, dilakukan setiap harinya selama 3 hari.
Menurut Rukmana (2005), dalam pembuatan tape, diperlukan singkong dan
beras ketan yang masih segar. Singkong yang digunakan hendaknya berasal dari
varietas yang tidak banyak mengandung HCN, seperti varietas Valenca, Mangi,
Betawi, Mentega, Adira dan Malang. Ketan yang digunakan juga masih baik dan tidak
berbau langu. Kualitas ragi juga sangat mempengaruhi hasil fermentasi, semakin
baik ragi yang digunakan maka semakin baik tape (produk) yang dihasilkan
(Rukmana, 2005). Pada pembuatan tape, ada beberapa hal yang harus dihindari
agar hasil yang didapat maksimal, yaitu menghindari pemberian ragi yang berlebihan,
menggunakan ragi dengan kualitas tinggi, menutup dengan baik bahan tape yang
difermentasi, dan memeriksa tingkat kematangan sehingga tidak terlalu matang atau
masih mentah (Mahdiyah, 2003). Dalam praktikum, singkong dan beras ketan yang
digunakan masih dalam keadaan baik. Namun, tidak diketahui varietas bahan yang
digunakan. Kualitas ragi yang digunakan dalam praktikum pun tidak diketahui dengan
jelas.
Salah satu komponen penting dalam proses fermentasi adalah ragi. Dalam
praktikum ini, dilakukan perbedaan perlakukan berupa perbedaan kadar ragi.
Menurut Sofianingsih (2007), semakin tinggi dosis ragi yang diberikan pada proses
pembuatan tape, semakin tinggi kadar alkohol yang dihasilkan. Hasl tersebut
disebabkan semakin banyak mikroba penghasil alkohol yang ditambahkan dalam
media fermentasi, terutama Saccharomyces cereviseae. Tingginya konsentrasi ragi
terbukti akan menghasilkan tape dengan karakteristik kadar air yang lebih tinggi, pH
13
lebih rendah, tekstur sangat lunak, rasa asam dengan aroma tajam dan alkoholik
(Santoso, 2010).
Pengamatan pH dilakukan dengan menggunakan pH stick. Berdasarkan hasil
pengamatan, didapatkan bahwa terjadi penurunan pH pada seluruh tape singkong
dan tape ketan. Penurunan pH disebabkan karena terbentuknya asam organik
sebagai hasil oksidasi alkohol. Keberadaan alkohol pada tape sendiri muncul sebagai
hasil metabolisme gula (glukosa) oleh khamir (Astawan, 2004).
Berdasarkan hasil pengamatan rasa, didapatkan hasil yang sama pada
seluruh tape singkong dan tape beras, yaitu semakin lama waktu inkubasi, semakin
tajam rasa khas tape. Rasa khas tape tersebut didominasi oleh rasa asam serta
sedikit rasa manis. Seluruh tape berasa sangat asam sedikit manis pada hari
inkubasi ketiga dibandingkan rasa sebelum fermentasi. Hasil tersebut tidak sesuai
dengan pustaka. Tape mempunyai tekstur yang lunak, rasa manis sedikit masam dan
sedikit mengandung alkohol. Mahdiyah (2003), tape memiliki rasa manis yang lebih
dominan karena terjadi penguraikan molekul karbohidrat menjadi glukosa dan gula
sederhana lainnya oleh khamir sehingga membuat tape terasa manis. Glukosa
sendiri berasal dari hasil perombakan pati dan karbohidrat oleh kapang kapang
Amylomyses rouxii (Ardana, 2002). Rasa masam yang timbul juga dapat disebabkan
oleh penambahan ragi yang berlebihan, kontaminasi bakteri yang tidak dikehendaki,
penutupan bahan saat terjadi fermentasi, dan waktu fermentasi yang terlalu lama
(Rukmana, 2005). Sedangkan enzim yang dihasilkan khamir mengubah glukosa
menjadi alkohol dan CO2 sehingga timbul alkohol dan aroma khas tape (Mahdiyah,
2003).
Pengamatan kadar alkohol tape dilakukan dengan merasakan tape.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan hasil, baik tape singkong atau tape beras
ketan, semakin lama waktu inkubasi, semakin tinggi kadar alkohol yang dirasakan.
Hasil tersebut sesuai dengan pustaka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Sofianingsih (2007), semakin lama waktu inkubasi fermentasi tape, semakin tinggi
kadar alkohol yang dihasilkan Alkohol pada tape dihasilkan dari proses metabolisme
glukosa oleh khamir (Astawan, 2004).
Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan semakin lama waktu inkubasi,
semakin berair tape yang dihasilkan. Kadar air tape ketan terlihat lebih banyak
daripada tape singkong. Air pada tape timbul sebagai hasil metabolisme mikroba
(Buckle, 2010).
Apabila dilakukan perbandingan antara kelompok perlakuan, tidak ditemukan
perbedaan yang bermakna pada setiap perbedaan kadar ragi. Hasil tersebut tidak
14
sesuai dengan pustaka, yaitu semakin banyak ragi yang digunakan, maka kecepatan
fermentasi yang berlangsung akan semakin cepat (Rukmana, 2005). Hal tersebut
ditandai oleh dihasilkannya tape dengan karakteristik kadar air yang lebih tinggi, pH
lebih rendah, tekstur sangat lunak, rasa asam dengan aroma tajam dan alkoholik
(Santoso, 2010 dan Sofianingsih, 2007).
Gambar 1.1 Tape Singkong (Ragi 0,5%) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3 (kiri-kanan)
Gambar 1.2 Tape Singkong (Ragi 1%) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3 (kiri-kanan)
Gambar 1.3 Tape Ketan (Ragi 0,5%) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3 (kiri-kanan)
Gambar 1.4 Tape Ketan (Ragi 1%) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3 (kiri-kanan)
15
Gambar 1.5 Tape Singkong (Ragi 0,25%) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3 (kiri-kanan)
16
2. Tempe
Tabel 2. Hasil Uji Organoleptik Tempe
Sebelum FermentasiPengamatan (Hari)
1 2 3Kelompok 1
Berat setelah direbus (g)
241 Warna +++ Warna hifa + +++ ++
Berat bersih (tanpa kotiledon) (g)
210 Aroma ++ Ketebalan hifa + +++ +++
Berat ragi (g) 1,05Rasa + Aroma ++ +++ +++Tekstur +++ Rasa + +++ ++++
Bungkus PlastikKelembaban +++ ++ ++Tekstur +++ ++ +
Kelompok 2Berat setelah direbus (g)
252 Warna ++ Warna hifa + ++ +++
Berat bersih (tanpa kotiledon) (g)
192 Aroma ++ Ketebalan hifa + ++ ++++
Berat ragi (g) 1,92Rasa + Aroma ++ +++ ++++Tekstur +++ Rasa ++ +++ ++++
Bungkus PlastikKelembaban +++ ++ +Tekstur ++ +++ ++++
Kelompok 3Berat setelah direbus (g)
285 Warna ++ Warna hifa + ++ ++
Berat bersih (tanpa kotiledon) (g)
204 Aroma ++ Ketebalan hifa + ++ +++
Berat ragi (g) 2,04Rasa + Aroma ++ +++ ++++Tekstur +++ Rasa + +++ +++
Bungkus Plastik (tanpa ditusuk)Kelembaban +++ ++ +Tekstur +++ +++ +++
Kelompok 4Berat setelah direbus (g)
253 Warna ++ Warna hifa + ++++ ++++
Berat bersih (tanpa kotiledon) (g)
193 Aroma ++ Ketebalan hifa ++ +++ +++
Berat ragi (g) 0,965Rasa ++ Aroma +++ +++ ++++Tekstur +++ Rasa +++ +++ ++++
Bungkus Daun pisangKelembaban +++ ++++ ++++Tekstur ++ + +
Kelompok 5Berat setelah direbus (g)
276 Warna ++ Warna hifa + -* -*
Berat bersih (tanpa kotiledon) (g)
203 Aroma ++ Ketebalan hifa + -* -*
Berat ragi (g) 2Rasa ++ Aroma ++ ++++ -*Tekstur ++ Rasa ++ -* -*
Bungkus Daun pisangKelembaban ++ + -*Tekstur ++ + -*
Keterangan :
*) Tidak dilakukan pengamatan karena kondisi tempe telah busuk
17
(Skala : Warna /Aroma /Rasa /Tekstur)
+ : Putih /Tidak beraroma /Hambar /Lunak
++ : Kuning pucat /Sedikit beraroma /Agak berasa /Agak lunak
+++ : Kuning /Menyengat /Berasa /Padat
++++ : Sangat kuning /Sangat menyengat /Sangat berasa /Sangat padat
(Skala : Warna hifa /Ketebalan /Kelembaban)
+ : Putih bening /Tipis /Sangat basah
++ : Putih agak pekat /Agak tebal /Basah
+++ : Putih pekat /Tebal /Agak basah
++++ : Sangat putih /Sangat tebal /Kering
Pada pembuatan tempe ini digunakan bahan baku berupa kacang kedelai
sebanyak 100 gram. Kacang ini dibersihkan dari kotoran dan dicuci hingga bersih.
Kemudian, kacang direndam selama 24 jam dalam baskom berisi air. Perendaman
tersebut bertujuan melunakkan kacang kedelai serta untuk mengurangi kadar asam
fitat di dalam kedelai. Asam fitat adalah asam anorganik yang terdapat pada biji-bijian
serta gandum, dimana adanya asam fitat ini dapat menghambat penyerapan besi
(Devi, 2010). Lalu, kedelai direbus dengan air rendamannya dengan panci selama 15
menit dari air mendidih. Fungsi perlakuan tersebut adalah untuk menciptakan
suasana asam, mempermudah hidrasi biji kedelai, dan mematikan bakteri yang
didapat saat perendaman (Firmansyah, 2007). Setelah itu, kedelai disaring dan
dipisahkan dari kotiledonnya. Pengupasan ini bertujuan untuk memudahkan kapang
saat tumbuh sehingga miselium kapang dapat menembus biji kedelai. Selain itu
sebaiknya dipisahkan juga tunas kedelai pada pembersihan ini karena tunas kedelai
yang tidak dipisahkan akan menimbulkan rasa pahit (Sarwono, 2010). Lalu, kedelai
bersih tersebut ditimbang dengan timbangan digital. Berat bersih kedelai ini
digunakan sebagai dasar penentuan jumlah ragi yang digunakan. Kedelai tersebut
dicuci dan dikukus kembali selama 30 menit sejak air mendidih dengan panci
dandang. Pengukusan bertujuan menghilangkan bakteri. Setelah itu, kacang
diletakkan dalam piring agar mudah dalam proses pendinginan, kemudian diinokulasi
dengan ragi tempe. Sebelumnya, kacang kedelai tersebut dibagi menjadi 5 kelompok
perlakuan, yaitu ragi 0,5% dengan bungkus plastik, ragi 1% dengan bungkus plastik,
ragi 1% dengan bungkus plastik tanpa ditusuk, ragi 0,5% dengan bungkus daun
pisang dan ragi 1% dengan bungkus daun pisang. Setelah itu, kedelai dibungkus
sesuai dengan kelompok perlakuan dan diinkubasi selama 3 hari agar jamur tumbuh
18
dengan baik. Pengamatan organoleptik, meliputi warna hifa, ketebalan hifa, aroma,
rasa, kelembaban dan tekstur, dilakukan setiap hari selama 3 hari waktu inkubasi.
Bahan baku tempe adalah kacang kedelai. Supaya tempe yang dihasilkan
bermutu baik, kacang kedelai yang dipilih hendaknya memiliki mutu yang baik. Syarat
kacang kedelai yang baik adalah bebas dari kotoran (kulit polong, kerikil atau biji
lain), tidak luka dan bebas dari bekas serangan hama atau penyakit, tidak memar
atau retak, kulit biji tidak keriput (Santoso, 2012). Kacang kedelai yang digunakan
dalam praktikum dalam keadaan baik dan telah direndam selama satu malam. Ragi
yang digunakan juga harus yang bermutu baik. Ragi tempe dapat berasal dari daun
atau bungkus bekas pembungkus tempe yang masih baik atau irisan tempe yang
dihaluskan dan dikeringkan menjadi tepung (Santoso, 2012). Dalam praktikum ini
digunakan ragi dalam bentuk tepung. Selain itu, untuk mendapatkan tempe yang
baik, harus digunakan pembungkus yang bersih dan memiliki celah sirkulasi udara
untuk pertumbuhan mikrobia (Dahlia, 2007).
Jumlah ragi yang ditambahkan dapat mempengaruhi sifat organoleptik tempe
yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah ragi yang ditambahkan, maka semakin
cepat proses pembentukan tempe. Hal tersebut terlihat dari kerapatan dan kepadatan
misellium kapang yang lebih tinggi pada tempe dengan jumlah ragi yang tinggi
(Suyitno A., 2008). Menurut Astuti (2009), penggunaan bahan kemasan yang
berbeda akan menghasilkan tempe dengan sifat organoleptik yang berbeda pula.
Tempe yang dikemas dengan plastik memiliki sifat organoleptik yang baik, yaitu
berwana putih bersih, kompak, kering dan beraroma serta berasa khas tempe. Plastik
memiliki pori-pori yang lebih kecil untuk sirkulasi udara daripada daun pisang. Aliran
udara yang cukup diperlukan dalam proses pembuatan tempe yang baik, karena
pertumbuhan kapang sangat memerlukan adanya udara yang cukup. Oleh karena itu,
umumnya, pengemasan tempe dengan plastik dilubangi kecil-kecil dengan cara
ditusuk dengan lidi. Tempe yang dikemas dengan plastik rapat tanpa celah udara
akan menghasilkan tempe yang kurang disukai. Tempe dengan bungkus plastik
memiliki waktu simpan yang lebih singkat, sehingga lebih cepat busuk dibandingkan
dengan tempe daun (Sare, 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan seluruh tempe, didapatkan semakin lama
waktu inkubasi, semakin putih warna hifa, semakin tebal hifa, semakin menyengat
dan tajam aroma dan rasa khas tempe. Perbedaan terjadi pada segi kelembaban dan
tekstur. Pada tempe yang dibungkus dengan plastik, semakin lama waktu inkubasi,
semakin basah tempe. Sedangkan, pada tempe yang dengan bungkus daun pisang
terjadi hal sebaliknya, yaitu semakin lama waktu inkubasi, semakin kering tempe.
19
Dari segi tekstur, kedua tempe berbungkus plastik dengan ragi 1% bertekstur
semakin padat pada hari ketiga inkubasi. Sedangkan, tempe dengan kadar ragi
0,5%, baik bungkus plastik maupun bungkus daun pisang, bertekstur semakin lunak
setelah inkubasi hari ketiga. Menurut Astuti (2009), tempe yang baik berwarna putih
bersih serta merata, bertekstur kompak dan homogen, kering dan tidak lembab serta
beraroma dan berasa khas tempe. Warna putih dan kompaknya tekstur tempe
disebabkan tumbuhnya miselia kapang yang berwarna putih pada permukaan kedelai
dan menghubungkan antara kedelai membentuk tekstur yang kompak. Aroma dan
rasa khas tempe yang kuat timbul dari adanya degradasi komponen kacang kedelai
selama proses fermentasi. Penyimpangan hasil pengamatan tempe terjadi pada
tekstur dan kelembaban. Kelembaban tempe berbungkus plastik terjadi karena
plastik kurang dapat menciptakan sirkulasi udara yang baik daripada daun pisang
(Dahlia, 2007). Tekstur tempe dengan ragi 0,5% yang tidak kompak dapat
disebabkan terjadinya kontaminasi mikroba yang tidak dikehendaki sehingga
pertumbuhan misellia tidak maksimal.
Apabila dibandingkan antara perbedaan bungkus tempe, tempe berbungkus
daun memiliki progress fermentasi lebih cepat daripada tempe berbungkus plastik.
Tempe dengan bungkus plastik mencapai hasil optimal pada hari ketiga, sedangkan
tempe dengan bungkus plastik telah mencapai hasil optimal pada hari kedua. Tempe
berbungkus plastik tanpa ditusuk mengalami progress yang lebih lambat daripada
tempe berbungkus plastik yang ditusuk dan tempe berbungkus daun pisang. Hasil
optimal tersebut didasarkan oleh ciri tempe yang sudah jadi, yaitu kedelai yang
terbungkus bulu-bulu putih yang menutupi kedelai dan terasa hangat jika dipegang
(Dahlia, 2007). Hasil tersebut sesuai dengan pustaka. Menurut Sare (2008), tempe
yang dibungkus daun memiliki hifa yang tumbuh dengan baik dan merata. Hal ini
dapat disebabkan karena sirkulasi udara pada plastik lebih terbatas dibandingkan
pada daun pisang sehingga hifa tidak dapat tumbuh dengan maksimal (Dahlia, 2007).
Namun, pada hasil pengamatan juga ditemukan bahwa tempe dengan ragi 1%
berbungkus daun sudah dalam kondisi busuk pada hari ketiga sehingga tidak dapat
dilakukan uji organoleptik. Hal tersebut dapat disebabkan waktu inkubasi yang terlalu
lama disertai dengan kadar ragi yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan tempe
busuk, sebab tempe yang sudah jadi tetap mengalami fermentasi (tidak berhenti),
sehingga dapat membusuk (Aryulina, 2004).
Secara umum, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok
perlakuan ragi 0,5% dengan 1%. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori. Semakin
banyak jumlah ragi yang ditambahkan, maka semakin cepat proses pembentukan
20
tempe. Hal tersebut terlihat dari kerapatan dan kepadatan misellium kapang yang
lebih tinggi pada tempe dengan jumlah ragi yang tinggi (Suyitno A., 2008).
Penyimpangan hasil tersebut dapat disebabkan proses pencampuran ragi yang tidak
sempurna, terjadinya kontaminasi karena proses yang kurang aseptis atau kekeliruan
dalam pengamatan yang bersifat subjektif.
Gambar 2.1 Tempe (Ragi 0,5% dan Bungkus Plastik) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3 (kiri-kanan)
Gambar 2.2 Tempe (Ragi 1% dan Bungkus Plastik) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3 (kiri-kanan)
Gambar 2.3 Tempe (Ragi 2% dan Bungkus Plastik Tidak Ditusuk) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3
(kiri-kanan)
Gambar 2.4 Tempe (Ragi 0,5% dan Bungkus Daun Pisang) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3
(kiri-kanan)
21
Gambar 2.5 Tempe (Ragi 1% dan Bungkus Daun Pisang) Hari 1, Hari 2 dan Hari 3
(kiri-kanan)
3. Yoghurt
Tabel 3. Hasil Uji Organoleptik Yoghurt
Kel. Sebelum Fermentasi Gula Starter Sesudah Fermentasi
1
Warna Putih susu
0 g 10 ml
Warna Putih kekuninganAroma Gurih susu Aroma AsamRasa Manis Rasa ++++Viskositas + Viskositas +++pH 6 pH 5
2
Warna Putih susu
4 g 5 ml
Warna Putih kekuninganAroma Gurih susu Aroma Asam, khas susuRasa Gurih agak manis Rasa +++Viskositas + Viskositas +++pH 6 pH 5
3
Warna Putih susu
4 g 10 ml
Warna Putih kekuninganAroma Gurih khas keju Aroma Asam sedikit gurihRasa Gurih agak manis Rasa ++Viskositas ++ Viskositas ++++pH 6 pH 5
4
Warna Putih susu
5 g 5 ml
Warna Putih susuAroma Gurih susu Aroma Khas susu basiRasa Manis Rasa +Viskositas + Viskositas ++pH 6 pH 6
5
Warna Putih susu
5 g 10 ml
Warna Putih kekuninganAroma Gurih susu Aroma AsamRasa Manis agak gurih Rasa ++Viskositas ++ Viskositas ++++pH 6 pH 4
Keterangan :
(Skala : Aroma (setelah fermentasi) / Viskositas)
+ : Tidak asam / Tidak kental
++ : Agak asam / Agak kental
+++ : Asam / Kental
++++ : Sangat asam / Sangat kental
22
Yoghurt yang dibuat dalam praktikum berbahan dasar susu skim bubuk dan
susu cair. Dalam pembuatan yoghurt ini, seluruh alat yang digunakan melalui proses
sterilisasi terlebih dahulu, yaitu dengan mencelupkan alat yang akan digunakan ke
dalam panci berisi air panas bersuhu ±80°C. Pertama, dilakukan pengukuran susu
skim sebanyak 15 gram dengan timbangan digital. Setelah itu, susu skim tersebut
dilarutkan dengan susu cair hingga mencapai volume 100 ml dalam gelas ukur dan
diaduk hingga tercampur dengan sendok. Lalu, dilakukan penambahan gula pasir
sebanyak 4-5% dari volume total dan kemudian, dipanaskan hingga bersuhu ±80°C
dengan panci. Pemanasan tersebut bertujuan membunuh mikroba yang tidak
dikehendaki dan menghasilkan faktor atau kondisi yang menguntungkan untuk
perkembangan bakteri inokular. Penamasan tidak dilakukan pada susu yang terlalu
tinggi karena dapat penyebabkan denaturasi protein yang berlebihan sehingga
konsistensi yoghurt kurang baik (Buckle, 2010). Pada praktikum ini, terdapat 5
kelompok perlakuan, yaitu tidak diberi gula dengan starter 10%, gula 4% dengan
starter 5%, gula 4% dengan starter 10%, gula 5% dengan starter 5% dan gula 5%
dengan starter 10%. Kemudian, dilakukan penambahan starter yang dilakukan
secara aseptis untuk meminimalisir terjadi pencemaran. Pengambilan starter
dilakukan dengan menggunakan pipet ukur dan mikropipet dan diukur dengan gelas
ukur 10 ml agar didapatkan jumlah starter yang akurat. Kemudian, susu dimasukkan
ke dalam cup plastik yang telah disterilisasi sebelumnya dan ditutup dengan perekat
selotip. Susu diinkubasi selama 24 jam agar starter tumbuh maksimal. Pengamatan
organoleptik, meliputi warna, aroma, rasa, viskositas dan pH, dilakukan 24 jam
setelah inkubasi selesai. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH stick.
Menurut Surajudin (2008), syarat utama dalam pengolahan yoghurt adalah
keadaan sanitasi yang baik. Seluruh peralatan yang digunakan hendaknya bersih,
telah dicuci dan melalui proses sterilisasi. Pada praktikum, proses sterilisasi
dilakukan dengan proses pencelupan alat yang hendak digunakan ke dalam air
panas. Praktikan juga menggunakan masker supaya proses tetap berjalam secara
aseptis. Umumnya, susu yang digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah susu
murni, susu skim, susu skim kondensat, susu bubuk tanpa lemak atau kombinasi
diantaranya (Septiana, 2002). Susu yang digunakan hendaknya mengandung kasein
yang baik dan tidak menggumpal. Pada pembuatan yoghurt, juga tidak dianjurkan
menggunakan susu full cream. Pada praktikum ini, digunakan susu steril UHT
kemasan dan susu skim bubuk. Susu yang digunakan pada praktikum dalam kondisi
baik. Menurut Buckle (2010), penambahan susu skim pada yoghurt bermanfaat untuk
menambah nilai gizi, terutama protein. Bahan lain yang dibutuhkan dalam pembuatan
23
yogurt adalah starter. Starter yang digunakan hendaknya mengandung paling tidak
dua bakteri, yaitu S. thermophilus dan L. bulgaricus. Starter yang digunakan dapat
berupa cair maupun padat atau berasal dari produk yoghurt lainnya (Surajudin,
2008). Pada praktikum ini, digunakan starter dari produk yoghurt lain, yaitu ‘Biokul’.
Menurut Surajudin (2008), penambahan gula akan mengurangi sensasi asam
yang dirasakan pada yoghurt. Sebaliknya, rasa manis menjadi lebih terasa.
Pembuatan yoghurt membutuhkan starter berupa bakteri asam laktat. Bakteri
tersebut menghasilkan asam laktat, sehingga semakin banyak starter yang
ditambahkan, semakin banyak asam laktat yang dihasilkan, sehingga rasa dan
aroma yang dihasilkan juga semakin asam (Surajudin, 2008). Peningkatan nilai asam
pada yoghurt membuat kasein semakin tidak stabil dan akhirnya menggumpal dan
membentuk gel serta meningkatkan kekentalan yoghurt (Purwaningsih, 2007).
Semakin banyak jumlah starter, semakin cepat proses koagulasi protein dan semakin
kental yoghurt yang dihasilkan (Darmajana, 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui yoghurt yang dihasilkan memiliki
perbedaan sifat organoleptik dengan sifat organoleptik susu sebelum
difermentasikan. Secara keseluruhan, yoghurt memiliki warna putih kekuningan,
beraroma dan berasa asam, berviskositas lebih kental dan memiliki nilai pH yang
lebih rendah (asam). Susu mempunyai warna putih kebiru-biruan sampai kuning
kecoklatan. Warna yoghurt yang putih kekuningan timbul akibat dari penyebaran
butiran-butiran koloid lemak, kalsium kaseinat, dan gula (Buckle, 2010). Tekstur dan
viskositas yoghurt disebabkan terbentuknya gel yoghurt yang bersifat kental.
Penurunan pH menjadi <4,6 menyebabkan protein susu, yaitu kasein, menjadi tidak
stabil dan terkoagulasi dan membentuk komponen yang bersifat semi-solid atau gel
(Purwaningsih, 2007). Flavor dan aroma asam khas yogurt disebabkan asam laktat,
asetildehida, diasetil dan lain-lain yang merupakan hasil fermentasi bakteri (Buckle,
2010). Menurut Gaman (2007), asam juga menyebabkan koagulasi protein susu dan
membantu mengawetkan yogurt. Kandungan asam susu yang meningkat akibat
adanya pemecahan laktosa menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat
menyebabkan nilai pH yang menurun (Buckle, 2010).
Apabila dilakukan perbandingan antara kelompok perlakuan, diketahui
semakin besar jumlah gula yang ditambahkan, semakin tajam rasa manis pada
yoghurt. Rasa manis tersebut hampir menyamai rasa asam yang ditimbulkan sebagai
efek fermentasi. Hasil tersebut sesuai dengan teori. Penambahan gula akan berefek
mengurangi rasa asam pada yoghurt (Surajudin, 2008). Selain itu, semakin besar
jumlah starter yang ditambahkan, semakin kental tekstur dan semakin kuat aroma
24
asam yoghurt. Hasil tersebut sesuai dengan teori bahwa semakin banyak starter
yang ditambahkan, semakin banyak asam laktat yang dihasilkan, sehingga yoghurt
semakin asam dan kental (Purwaningsih, 2007 dan Surajudin, 2008). Yogurt dengan
gula 5% dan starter 5% gagal atau tidak terbentuk dengan baik. Hal tersebut dapat
disebabkan proses pembuatan yoghurt yang tidak aseptis.
Gambar 3.1 Yogurt (0. Starter 10%; 1. Gula 4% dan Starter 5%; 2. Gula 4% dan Starter 10%; 3. Gula 5% dan Starter 5%; 5. Gula 5% dan Starter 10%)
25
0
KESIMPULAN
1. Pada prinsipnya pembuatan tempe, tape, dan yoghurt adalah menggunakan prinsip
fermentasi, yaitu mengaktifkan pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme
pembentuk alkohol dan asam serta menekan pertumbuhan mikroorganisme
proteolitik (pemecah protein) dan mikroorganisme lipolitik (pemecah lemak). Prinsip
fermentasi tempe adalah menumbuhkan hifa / miselium pengikat kedelai dengan
penambahan jamur. Prinsip pembuatan tape adalah mengubah karbohidrat menjadi
gula dan alkohol akibat aktivitas khamir. Prinsip pembuatan yoghurt adalah
memproduksi asam laktat dari laktosa oleh aktivitas bakteri asam laktat.
2. Pada pembuatan tempe, paling sedikit diperlukan 4 jenis kapang untuk fermentasi,
yaitu Rhyzopus oligosporus, Rhyzopus stolonifer, Rhyzopus arrhizius, dan Rhyzopus
oryzae. Sedangkan pada fermentasi tape, yang terpenting adalah jenis kapang
Amylomyses rouxii dan khamir Endomycopsis butonii. Streptococcus thermophilus
dan Lactobacillus bulgaricus merupakan mikrobia yang digunakan pada fermentasi
susu menjadi yoghurt.
3. Pada pembuatan tempe, terjadi pengikatan hifa / miselium yang dihasilkan oleh jamur
terhadap kedelai. Pada tape, kapang akan mengubah karbohidrat menjadi gula dan
khamir akan mengubah gula tersebut menjadi alkohol. Sedang pada yoghurt, bakteri
asam laktat akan memfermentasikan asam laktat dari laktosa.
Yogyakarta,
Asisten Praktikan
26
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anggoro, Kuno. 2011. Pengolahan Pangan secara Fermentasi. Surabaya: Universitas
Airlangga.
Ardana, Made M dan Graham H. Fleet. 2001. The Microbiological Ecology of Tape Ketan
Fermentation. International Journal of Food Microbiology, volume 9, nomor 3; 157-
165.
Ardhyanti, Rahma. 2009. Aspek Mutu dalam Pembuatan Yoghurt. diakses dari http://rahma-
alchemist.blogspot.com/2009/11/aspek-mutu-dalam-pembuatan-yoghurt.html pada
21 Desember 2012 pukul 20.30 WIB.
Aryulina, Dyah, dkk. 2004. Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Astawan, M. 2004. Tetap Sehat Dengan Makanan Olahan. Solo: Tiga Serangkai.
Astuti, Nurita Puji. 2009. Sifat Organoleptik Tempe Kedelai yang Dibungkus Plastik, Daun
Pisang dan Daun Jati. Karya Tulis Ilmiah. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Buckle, K.A et.al. 2009. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Dahlia, Mutiara dan Rusilanti. 2007. Membuat Tahu dan Tempe. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Darmajana, Doddy A. 2011. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Konsentrasi Karagenan
Terhadap Mutu Yoghurt Nabati Kacang Hijau. Jurnal SnaPP-LPPM Universitas
Islam Bandung, volume 2, nomor 1; 267-275.
Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Firmansyah, Ricky. 2007. Mudah dan Aktif Belajar Biologi. Bandung: Setia Purna Inves.
Gaman, P. M. 2007. Ilmu Pangan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Hadiwiyoto, Soewedo. 2007. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging, dan Telur. Yogyakarta:
Liberty.
Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mahdiyah. 2003. Rempeyek Popeye: Rekreasi Masak dengan Si Kecil. Jakarta: Penerbit
Republika.
Mahmud, Mien K. dkk. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta: PT.Elex Media
Komputindo.
Murdjito, Bambang Agus. 2001. Pedoman Meramu Pangan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
Planck, Nina. 2007. Real Food. Yogyakarta: B-First.
Purwaningsih, Eko. 2007. Cara Pembuatan Tahu dan Manfaat Kedelai. Jakarta: Ganeca
Exact.
27
Ray, Bibek dan Arun Bhuna. 1996. Fundamental Food Microbiology. Florida: CRC Press.
Rukmana, Rahmat dan Yuyun Yuniarsih.2001.Aneka Olahan Ubi Kayu.Yogyakarta :
Kanisius.
Santoso, Agus dan Cucut Prakosa. 2010. Karakteristik Tape Buah Sukun Hasil Fermentasi
Penggunaan Konsentrasi Ragi yang Berbeda. Jurnal Magistra, volume 22, nomor
73, tahun XXII; 48-55.
Santoso, Hieronimus Budi. 2012. Bisnis Tempe. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sare, Yuni dan P. Citra. 2008. Antropologi. Jakarta: Grasindo.
Sarwono, Bambang. 2010. Usaha Membuat Tempe dan Oncom. Jakarta: Penebar Swadaya.
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2009. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta:
Dian Rakyat.
Septiana, Yepi. 2002. Peningkatan Aktivitas Sistem Laktoperoksidase Pada Susu Serta
Pengaruhnya Terhadap Susu Pasteurisasi dan Yoghurt.
Sofianingsih, Rahmani. 2007. Pengaruh Waktu Fermentasi dan Dosis Rragi Terhadap Kadar
Alkohol Hasil Fermentasi Sari Umbi Ganyong. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Surajudin, Fauzi, dkk. 2008. Yoghurt: Susu Fermentasi yang Menyehatkan. Jakarta:
AgroMedia Pustaka.
Suyitno A. dan Sukirman. 2008. Biology for Junior High School Year IX. Jakarta: Yudhistira.
Tisnadjaja, Djadjat. 2008. Bebas Kolesterol dan Demam Berdarah. Jakarta: Niaga Swadaya.
Wariyono, Sakis dan Yani Muharomah. 2008. Mari Belajar Ilmu Alam Sekitar. Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yasa Boga. 2005. Nasi Komplit: Cepat Saji, Mengenyangkan, Istimewa. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
28