Fermentasi Substrat Padat Fermentasi Kecap_Toni Hartanto_12.70.0151_C2

27
FERMENTASI SUBSTRAT PADAT: FERMENTASI KECAP LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI Disusun oleh: Nama: Toni Hartanto NIM: 12.70.0151 Kelompok C2 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

description

toni 12.70.0151C2

Transcript of Fermentasi Substrat Padat Fermentasi Kecap_Toni Hartanto_12.70.0151_C2

2

FERMENTASI SUBSTRAT PADAT: FERMENTASI KECAPLAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:

Nama: Toni HartantoNIM: 12.70.0151Kelompok C2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

20151. HASIL PENGAMATANHasil uji sensori kecap dalam praktikum ini tersaji dalam tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Uji Sensoris Kecap

KelPerlakuanAromaKekentalanRasaWarna

C1250 g kedelai + 0,5% ragi +1 g cengkeh++++++++

C2250 g kedelai + 0,5% ragi +1 g cengkeh----

C3250 g kedelai + 0,75% ragi +1 batang serai++++++++

C4250 g kedelai + 0,75% ragi +1 batang serai++++++++++

C5250 g kedelai + 1% ragi + 1 biji pala++++++++++++

Keterangan :

Aroma

KekentalanRasa Warna

+++: sangat kuat sangat kentalsangat kuatsangat hitam

++: kuatkentalkuathitam

+: kurang kuatkurang kentalkurang kuatkurang hitamBerdasarkan data hasil uji sensori terhadap kecap pada setiap kelompok, dilihat dari aromanya kecap C4 memiliki aroma terkuat, kecap C5 memiliki kekentalan paling kental, kecap C3, C4 dan C5 memiliki rasa sama sama kuat, kecap C1 dan C5 memiliki warna paling hitam, dan pada data kecap C2 tidak ada data karena tidak berhasil saat penumbuhan kapang.2. PEMBAHASAN

Menurut Rahman (1992), kecap adalah produk fermentasi kedelai hitam atau kacang-kacangan Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan fermentasi terhadap substrat padat dimana produk fermentasi yang dihasilkan adalah kecap. Dalam fermentasi kecap ini, substrat padat yang digunakan ialah kedelai. Menurut Rahman (1992), kecap merupakan salah satu jenis makanan tradisional yang berbentuk cairan berwarna coklat hingga hitam dan dihasilkan melalui proses fermentasi kedelai hitam atau jenis kacang lainnya. Sedangkan menurut teori dari Ta Yeong Wu et al., (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with intermittent aeration, kecap merupakan suatu cairan yang berwarna coklat gelap yang memiliki aroma dan rasa yang khas. Kecap merupakan salah satu jenis bahan pendukung yang sering digunakan dalam pembuatan masakan oriental. Kecap dapat dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan kekentalan dan rasanya yaitu kecap manis dan kecap asin. Dalam praktikum ini, praktikan melakukan proses pembuatan kecap manis melalui fermentasi dengan substrat padat berupa kedelai kuning. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Kasmidjo (1990) yang mengatakan bahwa bahan dasar yang digunakan dalam proses pembuatan kecap adalah kedelai dimana kedelai yang dapat digunakan adalah kedelai kuning ataupun kedelai hitam dalam bentuk yang utuh / hancur. Menurut Winarno et al (1980), proses pembuatan kecap dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu fermentasi, hidrolisis kimia, dan kombinasi antara fermentasi dengan hidrolisis kimia.Menurut Santoso (1994), proses pembuatan kecap terdiri dari 4 tahapan, yaitu tahapan pertama adalah proses perebusan biji kedelai, tahapan kedua adalah tahapan penjamuran, selanjutnya adalah tahapan penggaraman, dan proses perebusan akhir. Tahapan perebusan dan tahapan penjamuran merupakan proses yang terjadi dalam fermentasi koji, sedangkan tahapan penggaraman dan perebusan akhir termasuk dalam proses fermentasi moromi.Pada praktikum ini, proses pembuatan kecap dilakukan melalui proses fermentasi. Menurut Hardjo (1964), pada prinsipnya pada proses pembuatan kecap akan terjadi proses pemecahan senyawa-senyawa makromolekul kompleks yang terdapat dalam kedelai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Senyawa makromolekul tersebut diantaranya adalah protein yang akan dipecah menjadi peptida dan asam amino; lemak akan dipecah menjadi asam lemak; serta karbohidrat yang akan dipecah menjadi monosakarida. Berdasarkan dari pemecahan senyawa-senyawa makromolekul tersebut maka akan dapat menghasilkan aroma, rasa, flavor, dan komposisi kecap yang dihasilkan. Zhang Yanfang and Tao Wenyi (2009) dalam jurnalnya yang berjudul Flavor and taste compounds analysis in Chinese solid fermented soy sauce juga menambahkan bahwa kecap yang dihasilkan dari proses fermentasi memiliki cita rasa serta aroma yang lebih disukai oleh konsumen daripada kecap yang dihasilkan dari proses hidrolisis kimia.

Dalam proses pembuatan kecap terjadi 2 tahap fermentasi yaitu fermentasi kapang (tahap fermentasi koji) dan fermentasi dalam larutan garam ( tahap fermentasi moromi). Hal ini telah sesuai dengan pernyataan menurut Chancharoonpong et al. (2012) yang menyatakan bahwa tahapan pertama yang dilakukan dalam proses pembuatan produk fermentasi seperti kecap adalah fermentasi koji. Selanjutnya, menurut Tjahjadi Purwoko dan Noor Soesanti Handajani (2007) dalam jurnalnya yang berjudul Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus , kecap dapat dibuat melalui 2 proses tahapan yaitu fermentasi koji dan fermentasi moromi. Dalam praktikum ini, pada tahapan fermentasi koji, campuran kedelai yang telah disiapkan sebelumnya dilakukan inokulasi dengan penambahan ragi komersial untuk tempe yang mengandung kultur Aspergillus oryzae. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Anton Apriyantono dan Gono Dewi Yulianawati (2004) yang tertuang dalam jurnalnya yang berjudul Perubahan Komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap menyatakan bahwa pada tahapan fermentasi koji dalam pembuatan kecap, jenis kapang yang dapat digunakan adalah jenis Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. Astawan & Astawan (1991) juga menambahkan bahwa ada beberapa jenis kapang yang dapat digunakan dalam fermentasi koji pada proses pembuatan kecap yaitu Aspergillus soyae, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger dan Rhizopus sp dimana jenis kapang tersebut dapat menghasilkan enzim protease yang berperan dalam pemecahan senyawa makromolekul protein. Zhang Yanfang et al (2009) dalam jurnalnya yang berjudul Biochemical changes in low-salt fermentation of solidstate soy sauce mengemukakan bahwa ketika proses fermentasi kapang (tahapan koji) berlangsung, maka senyawa protein dan karbohidrat dalam kedelai akan didegradasi oleh enzim protease, enzim peptidase dan enzim amylase turunan dari koji.

Pada tahapan fermentasi koji, pertama-tama yang harus dilakukan adalah kedelai yang masih memiliki kulit ari direndam selama 1 malam hingga kedelai mengembang. Proses perendamaan kedelai ini dilakukan dengan tujuan agar dapat membantu proses pelepasan kulit ari kedelai dan biji kedelai bisa memiliki tekstur yang lebih lunak. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Kasmidjo (1990) yang menyatakan bahwa proses perendaman biji kedelai diperlukan sehingga penghilangan kulit ari dari biji kedelai menjadi lebih mudah. Selain itu, Tortora et al (1995) juga menambahkan bahwa dengan adanya proses perendaman kedelai maka biji kedelai akan menjadi lebih lunak dan proses perebusan kedelai menjadi lebih singkat. Setelah proses perendaman, biji kedelai akan mekar, maka selanjutnya kedelai dapat dicuci, lalu dibuang kulit arinya. Setelah dibuang kulit arinya, selanjutnya dilakukan proses perebusan biji kedelai hingga matang, lalu biji kedelai dapat ditiriskan. Berikut gambar perebusan kedelai dan setelah ditiriskan.

Gambar 1. Perebusan kedelai dan penirisan

Pada tahapan perebusan ini, jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi kedelai dapat dihilangkan dan bau langu dari biji kedelai dapat dihilangkan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Tortora et al (1995) yang mengemukakan bahwa proses perebusan biji kedelai bertujuan untuk menginaktifkan zat-zat antinutrisi, melunakkan biji kedelai serta dapat menghilangkan bau langu dari biji kedelai. Selain itu, dengan adanya proses perebusan ini maka akan mengurangi sebagian besar jumlah mikroorganisme yang terdapat pada permukaan biji kedelai. Adanya penghilangan bau langu dari kedelai akibat adanya proses perebusan juga didukung oleh pernyataan Fukushima (2004) yang mengatakan bahwa selama proses perebusan maka enzim lipoksigenase yang menimbulkan bau langu pada kedelai tersebut akan diinaktivasi sehingga bau langu pada kedelai dapat dihilangkan. Setelah biji kedelai matang maka biji kedelai dapat ditiriskan dan didiamkan beberapa saat hingga suam-suam kuku. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Santoso (1994) yang mengatakan bahwa proses penirisan setelah perebusan dapat dilakukan dengan tujuan dapat mengurangi kandungan air pada kedelai dan menurunkan suhu biji kedelai sehingga ketika dilakukan penambahan inokulum maka inokulum yang ditambahkan tidak mati akibat tingginya suhu biji kedelai. Proses penirisan ini juga tidak dilakukan hingga biji kedelai kering dengan tujuan agar biji kedelai masih dalam kondisi yang lembab dimana kondisi lembab ini merupakan media tumbuh yang baik bagi kapang. Selain itu, Atlas (1984) juga menambahkan bahwa biji kedelai dalam kondisi yang lembab akan dapat membantu pertumbuhan jamur pada permukaan kedelai dan dapat mengakumulasi enzim seperti enzim protease dan enzim amylase. Peran dari enzim protease adalah untuk memecah protein menjadi asam amino sedangkan enzim amylase berperan dalam pemecahan karbohidrat menjadi monosakarida sehingga proses fermentasi yang berlangsung menjadi lebih mudah. Setelah biji kedelai ditiriskan, selanjutnya biji kedelai tersebut dapat diletakkan di atas tampah, dan dilakukan penambahan inokulum komersial untuk tempe lalu diaduk hingga rata. Berikut merupakan gambar pemberian inokulum (ragi tempe) pada kedelai dan pengadukan hingga rata.

Gambar 2. Pemberin Inokulum (ragi)

Dalam praktikum ini, konsentrasi penambahan inokulum berbeda-beda untuk setiap kelompok. Untuk kelompok C1 ditambahkan 0,5% inoculum, C2 dan C3 dilakukan penambahan inokulum sebanyak 0,75%, untuk kelompok C4 dan C5 dilakukan penambahan sebanyak 1% inokulum. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Santoso (1994) yang menyatakan bahwa pada fermentasi kecap dilakukan penambahan ragi tempe yang selanjutnya dilakukan pengadukan secara merata agar inokulum tersebar meratra diseluruh permukaan biji kedelai. Setelah dilakukan penambahan inokulum, tampah yang berisi kedelai dan inokulum dapat ditutup dan dilakukan inkubasi selama 3 hari pada suhu ruang. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Santoso (1994) yang mengatakan bahwa biji kedelai yang telah diberi inokulum dapat diinkubasi pada suhu ruang (25-30C) selama 3 hari hingga pertumbuhan kapang dapat terlihat dengan terbentuknya miselia/hifa pada permukaan kedelai. Berikut merupakan gambar kedelai yang akan diinkubasi didalam besek selama 3 hari.

Gambar 3. Inkubasi Kedelai

Pada kelompok C2 dalam tahap pertumbuhan kapang ini gagal karena yang tumbuh adalah kapang pembusuk, hal ini dapat terjadi karena saat penambahan inoculum tidak aseptis (Rahayu et al., 1993). Faktor lain yang menyebakan kerusakan ini adalah penjemuran biji kedelai setelah direndam semalaman tidak sampai kering sehingga biji kedelai sudah ditumbuhi oleh kapang pembusuk. Menurut Rahayu et al (1993), terlalu lama biji kedelai ditempat terbuka setelah direbus dapat menyebabkan kontaminasi lain sehingga kapang yang diharapkan tidak tumbuh dan kapang pembusuk yang tumbuh.Pada tahapan moromi, kedelai yang sudah berjamur dari tahapan koji akan dipotong-potong menjadi ukuran kotak kecil dan dikeringkan dengan menggunakan dehumidifier selama 2-4 jam. Tujuannya untuk menghambat pertumbuhan kapang karena pertumbuhan kapang pada kedelai ini sudah tidak dibutuhkan lagi. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Peppler & Perlman (1979) yang mengatakan bahwa dengan adanya proses pengeringan maka dapat menurunkan kadar air yang terkandung dalam kedelai sehingga pertumbuhan kapang akan terhambat. Tortora et al (1995) juga menambahkan bahwa dengan adanya proses pengeringan maka kapang yang melekat pada permukaan kedelai dapat lebih mudah dihilangkan dikarenakan kapang tersebut sudah tidak digunakan lagi pada proses selanjutnya.Berikut dibawah ini merupakan gambar kedelai yang sudah ditumbuhi jamur dan kedelai yang didehumifier.

Gambar 4. Kedelai yang sudah Berjamur dan Pemotongan

Gambar 5. Kedelai yang dimasukkan kedalam dehumifierSelanjutnya, kedelai yang sudah kering tersebut dapat dimasukkan ke dalam toples plastik lalu dilakukan penambahan larutan garam 20% dan dilakukan perendaman selama 1 minggu, tujuan untuk membentuk citarasa kecap. Hal ini telah sesuai dengan teori menurut Tortora et al (1995) yang mengatakan bahwa proses perendaman kedelai dengan larutan garam diperlukan agar dapat mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahapan fermentasi koji. Pada proses perendaman dengan larutan garam ini, maka bakteri halofilik akan tumbuh dan akan membentuk flavor khas pada kecap. Dalam praktikum ini, larutan garam yang ditambahkan dalam proses perendaman adalah 20%. Tujuan dilakukannya penambahan larutan garam sebanyak 20% ini adalah untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada kecap yang dihasilkan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Astawan & Astawan (1991) yang mengatakan bahwa dengan menggunakan larutan garam pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan tekanan osmotik yang tinggi pula sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, larutan garam yang ideal ditambahkan dalam proses pembuatan kecap adalah sekitar 15-20%. Jika kadar garam yang ditambahkan kurang dari 15%, maka pada kecap yang dihasilkan masih dapat ditemukan adanya mikroorganisme. Berikut dibawah ini merupakan gambar perendaman kedelai dalam larutan garam.

Gambar 6. Perendaman Kedelai dalam Larutan GaramSelama perendaman tersebut, setiap siang hari toples tersebut dapat dijemur selama 1 jam dan sesekali dilakukan pengadukan. Ketika kedelai direndam dalam larutan garam selama 1 minggu, maka setiap harinya pada siang hari dilakukan pula proses penjemuran dimana tujuannya adalah untuk memberikan udara pada kedelai dan sesekali dilakukan proses pengadukan pula dengan tujuan untuk menghomogenkan larutan. Hal tersebut telah sesuai dengan teori menurut Tortora et al (1995) yang mengemukakan bahwa proses penjemuran dan pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk memberikan aerasi dan menghomogenkan larutan. Selain itu, dengan adanya proses pengadukan maka pertumbuhan kapang juga akan semakin meningkat dikarenakan adanya kontak garam denga substrat yang semakin banyak.. Setelah 1 minggu perendaman, kedelai dapat dipress, dan disaring untuk diambil filtratnya. Menurut Santoso (1994), proses penyaringan dilakukan dengan tujuan agar dapat menghasilkan kecap yang bebas pengotor/kontaminan. Setelah dilakukan penyaringan, selanjutnya filtrat akan dimasak dengan penambahan beberapa bumbu seperti gula jawa dan rempah-rempah lainnya. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam proses pemasakan kecap ini adalah gula jawa sebanyak 1 kg dan bumbu sebagai variable bebas seperti pada kecap C1 dan C2 ditambahkan 1 gram cengkeh, kecap C3 dan C4 ditambahkan 1 batang daun serai dan kecap C5 ditambahkan 1 biji pala.. Berikut merupakan gambar penyaringan kedelai lalu diambil filtratnya untuk kemudian dimasak menjadi kecap.

Gambar 7. Penyaringan KedelaiSelanjutnya filtrat yang dihasilkan dapat diambil sebanyak 250 ml dan ditambahkan dengan air putih sebanyak 750 ml, lalu dilakukan pemasakan dengan penambahan beberapa rempah-rempah. Bahan-bahan yang ditambahkan diantaranya adalah gula jawa, kayu manis, ketumbar, bunga pekak, dan laos. Berikut dibawah ini merupakan gambar bahan-bahan yang diperlukan untuk proses pemasakan kecap.

Gambar 8. Bahan-Bahan (Rempah-Rempah)Dalam praktikum ini, tujuan penambahan bumbu dalam pemasakan kecap adalah agar dapat menghasilkan rasa dan flavor yang baik pada kecap yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan peran dari bumbu yang sangat berpengaruh terhadap karakteristik sensori yang dihasilkan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Kasmidjo (1990) yang mengatakan bahwa peran rempah rempah dalam proses pemasakan kecap bertujuan dalam pembentukan flavor yang khas pada kecap dan aroma dari kecap. Dengan penambahan gula jawa berperan sebagai pembentukan warna kecap menjadi coklat caramel dan meningkatkan kekentalan dari kecap dimana hal ini didukung oleh pernyataan Judoamidjojo (1987) yang mengatakan bahwa gula jawa berperan dalam reaksi maillard dan karamelisasi yang terjadi selama proses pemasakan kecap dimana dari reaksi tersebut maka akan terbentuk flavor dan karakteristik khas kecap manis.Setelah bahan disiapkan, bahan dimasukkan kedalam masakan kecap yang sudah mendidih dan ditunggu hingga mengental. Setelah proses pemasakan selesai, kecap yang dihasilkan dapat ditempatkan dalam wadah dan siap dilakukan uji sensoris yang meliputi aroma, kekentalan, rasa dan warna. Berikut merupakan gambar kecap yang siap untuk diuji sensorisnya.

Gambar 9. Kecap (C1 C5)2.1. Hasil Pengamatan 2.1.1. Aroma Berdasarkan pada hasil pengamatan dapat hasil bahwa aroma kecap yang dihasilkan berbeda-beda untuk setiap kelompok. Pada kelompok C1 ditambahkan 0,5% inoculum menghasilkan aroma kuat, C3 ditambahkan inokulum sebanyak 0,75% menghasilkan aroma kurang kuat, pada kelompok C4 dan C5 yang menggunakan inokulum sebanyak 1% menghasilkan aroma sangat kuat dan kuat. Untuk hasil kecap C4 menunjukkan hasil yang kurang sesuai dengan teori yang ada. Menurut Rahayu et al (1993), ketika jumlah kapang yang diinokulasikan pada kedelai terlalu banyak maka flavor kecap yang dihasilkan akan menjadi tidak baik. Sehingga seharusnya semakin banyak inokulum yang digunakan maka aroma kecap yang dihasilkan akan semakin tidak kuat. Menurut Astawan & Astawan (1991), jumlah inokulum yang ditambahkan pada kedelai dapat mempengaruhi kecepatan penguraian protein dan karbohidrat yang terkandung pada kedelai dimana protein dan karbohidrat akan didegradasi oleh enzim protease, enzim peptidease dan enzim amilase yang dihasilkan oleh kapang yang ditambahkan. Sehingga semakin banyak jumlah inokulum yang ditambahkan pada kedelai, maka degradasi protein dan karbohidrat akan berlangsung semakin cepat dan ketika proses penguraiannya berlebihan maka akan menghasilkan flavor yang tidak baik. Namun, aroma kecap yang dihasilkan ini juga dipengaruhi pula oleh adanya penambahan bumbu-bumbu selama proses pemasakan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Kasmidjo (1990) yang mengatakan bahwa flavor khas yang dihasilkan oleh kecap ini dapat pula dipengaruhi karena adanya penambahan berbagai bumbu selama pemasakan, khususnya penambahan gula jawa. Selain itu, aroma kecap yang dihasilkan ini juga dipengaruhi oleh senyawa-senyawa organic yang terkandung didalam kecap.Selain itu, senyawa nitrogen yang diperoleh karena adanya proses degradasi selama proses fermentasi berlangsung juga dapat mempengaruhi pembentukan aroma kecap yang dihasilkan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Armstrong (1995) yang mengatakan bahwa pembentukan aroma dan flavor kecap juga dapat ditentukan oleh adanya beberapa komponen nitrogen pendukung yaitu diantaranya kadaverin, arginin, histidin, dan ammonia. Senyawa-senyawa nitrogen tersebut akan bereaksi dengan asam suksinat dan asam glutamate sehingga dapat membentuk flavor kecap yang enak. Terutama asam glutamate yang merupakan hasil degradasi dari protein yang menyumbang dalam pembentukan flavor khas dari kecap yang dihasilkan. Dalam teori Muangthai et al (2007) menyatakan bahwa dalam kecap terdapat banyak asam amino khususnya asam amino glutamate yang berperan dalam pembentukan flavor dan aroma khas pada kecap. 2.1.2. Warna Berdasarkan pada hasil pengamatan dapat diperoleh informasi bahwa warna yang dihasilkan kecap pada setiap kelompok sedikit berbeda. Untuk kelompok C1 menghasilkan kecap yang berwarna kurang hitam. Kecap C3 dan C4 menghasilkan kecap yang berwarna hitam dan pada kecap C5 menghasilkan warna sangat hitam. Adanya perbedaan warna kecap yang dihasilkan ini dikarenakan adanya perbedaan lama pemasakan kecap Adanya gula jawa selama proses pemasakan menyebabkan gula jawa tersebut mengalami reaksi browning sehingga menghasilkan warna hitam kecoklatan pada kecap yang dihasilkan. Hal ini telah sesuai dengan pendapat menurut Astawan & Astawan (1991) yang mengatakan bahwa kecap yang berwarna coklat kehitaman dapat dihasilkan karena adanya reaksi pencoklatan (browning) antara gula pereduksi dengan asam amino.

2.1.3. Rasa Berdasarkan pada hasil pengamatan dapat diperoleh informasi bahwa rasa kecap yang dihasilkan adalah berbeda. Kecap C1 menghasilkan kecap yang memiliki rasa kuat sedangkan pada kecap C3, C4 dan C5 menghasilkan rasa kecap yang sangat kuat. Adanya perbedaan rasa manis yang dihasilkan oleh kecap dari setiap kelompok ini dikarenakan adanya perbedaan lama pemasakan tiap kecap. Semakin lama pemasakan, maka kecap yang dihasilkan akan memiliki rasa yang semakin kuat karena kadar air semakin sedikit dan bumbu bumbu yang ditambahkan semakin pekat. Selain karena pengaruh dari kadar gula jawa, aktivitas bakteri ternyata juga akan mempengaruhi pembentukan rasa kecap. Menurut Astawan & Astawan (1991) mengatakan bahwa pembentukan rasa kecap akan dipengaruhi oleh penggunaan bumbu-bumbu dan aktivitas bakteri asam laktat seperti Lactobacillus delbrueckii dimana bakteri asam laktat ini akan tumbuh selama proses fermentasi moromi berlangsung. Selama proses fermentasi moromi, bakteri Lactobacillus delbrueckii akan menghasilkan asam-asam organik yaitu diantaranya asam asetat, asam laktat, asam suksinat, dan asam fosfat. Asam-asam organic tersebut selanjutnya akan menurunkan pH kecap. Dengan begitu, rendahnya nilai pH ini dapat menstimulasi pertumbuhan kapang yang berperan dalam pembentukan rasa kecap. 2.1.4. Kekentalan Berdasarkan pada hasil pengamatan dapat diperoleh informasi bahwa kekentalan kecap yang dihasilkan untuk setiap kelompok berbeda-beda. Untuk kelompok C1 dan C5 menghasilkan kecap yang sangat kental. Untuk kelompok C3 dan C4 menghasilkan kecap yang kental. Adanya perbedaan kekentalan kecap yang dihasilkan ini dipengaruhi karena adanya perbedaan lama pemasakan dari setiap kecap. Semakin lama kecap dimasak maka kekentalannya semakin bertambah Berdasarkan pada hasil praktikum, dapat dilihat bahwa perbedaan konsentrasi inokulum yang ditambahkan pada setiap kelompok ternyata mempengaruhi karakteristik kecap. Teori menurut Masashi (2006) mengatakan bahwa jumlah/konsentrasi ragi yang ditambahkan akan dapat mempengaruhi komponen-komponen yang terdapat dalam kecap, seperti asam laktat dan etanol dimana semakin banyak konsentrasi inokulum yang ditambahkan, maka proses fermentasi dapat berjalan semakin cepat sehingga produksi etanol dan asam laktat akan semakin banyak pula. Namun, ketika jumlah inokulum yang ditambahkan terlalu banyak jumlahnya, maka kualitas sensori dari kecap yang dihasilkan akan kurang baik. Hal ini dikarenakan adanya jumlah/konsentrasi asam laktat dan etanol yang tinggi. Dalam praktikum ini, karakteristik sensoris kecap yang dihasilkan selain dari penambahan inoculum juga dipengaruhi karena adanya penambahan gumbu-bumbu selama proses pemasakan kecap dibandingkan pengaruh dari penambahan jumlah inokulum. 3. KESIMPULAN

Dalam praktikum ini, substrat padat yang digunakan adalah kedelai kuning.

2 tahapan fermentasi yang terjadi selama pembuatan kecap adalah tahap koji (fermentasi kapang) dan tahap moromi (fermentasi larutan garam).

Beberapa jenis kapang yang berperan dalam fermentasi koji yaitu Aspergillus soyae, Aspergillus oryzae, Aspergillus niger dan Rhizopus sp. Tujuan dilakukannya perendaman kedelai selama 1 malam adalah untuk dapat membantu melepaskan kulit ari kedelai dan melunakkan biji kedelai.

Tujuan perebusan kedelai adalah untuk menginaktifkan zat-zat antinutrisi, melunakkan biji kedelai serta dapat menghilangkan bau langu dari biji kedelai.

Inkubasi dilakukan pada suhu ruang (25-30C) selama 3 hari hingga pertumbuhan kapang dapat terlihat dengan terbentuknya miselia/hifa pada permukaan kedelai.

Tujuan dilakukannya pengeringan dengan menggunakan dehumidifier adalah untuk menghambat pertumbuhan kapang yang sudah tidak dibutuhkan untuk proses selanjutnya.

Proses perendaman kedelai dengan larutan garam diperlukan agar dapat mengekstrak senyawa-senyawa hasil hidrolisis pada tahapan fermentasi koji.

Penambahan larutan garam yang ideal dalam proses pembuatan kecap adalah sekitar 15-20%.

Penjemuran dan pengadukan kedelai dilakukan dengan tujuan untuk memberikan aerasi dan menghomogenkan larutan.

Proses penyaringan filtrat dilakukan dengan tujuan agar dapat menghasilkan filtrate yang bebas pengotor/kontaminan.

Tujuan penambahan bumbu-bumbu dalam pemasakan kecap adalah agar dapat menghasilkan rasa dan flavor yang baik pada kecap yang dihasilkan.

Peran gula jawa dalam proses pemasakan kecap bertujuan dalam pembentukan flavor yang khas pada kecap dan dapat meningkatkan viskositas dari kecap.

Aroma kecap yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh jumlah inokulum, bumbu, dan senyawa organik.

Semarang, 24 Juni 2015Praktikan,Asisten Dosen:

Abigail Sharon Frisca MeliaToni Hartanto12.70.01514. DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, S.B. 1995. Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Apriyanto, Anton dan Dewi Yuliana, Gono. (2004). Perubahan komponen Volatil Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XV, no 2 tahun 2004.Astawan, M. dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor. Atlas, R.M. 1984. Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York. Chancharoonpong, C.; Pao-Chuan Hsieh, Shyang-Chwen Sheu.Enzyme production and growth of Aspergillus oryzae S. on soybean koji fermentation.(2012). Elsevier B.V. Selection and/or peer review under responsibility of Asia-Pacific Chemical, Biological & Environmental Engineering Society. Fukushima, D. 2004. Industrialization of Fermented Soy Sauce ProductionCentering Around Japanese Shoyu. Di dalam: Steinkraus, K. H. (ed.). Industrialization of Indigenous Fermented Foods Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York. Hardjo, S. 1964. Pengolahan dan Pengawetan Kedelai untuk Bahan Makanan Manusia. Bagian Gizi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Judoamidjojo, R.M. 1987. The Studies on Kecap - Indigenous Seasoning of Indonesia. Thesis Doktor pada University of Agriculture, Japan. Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta. Masashi, K. 2006. Method of Brewing Soy Sauce. Diakses di http://osdir.com/patents/Food-processes/Method-brewing-soy-sauce-07056543.html. Diakses pada tanggal 24 Juni 2015. Muangthai, P.; Upajak, P.; and Patumpai, W. 2007. Study of Protease Enzyme and Amino Acid Contents in Soy sauce Production from Peagion Pea and Soy bean. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 7 No. S2 Peppler, H.J. and Perlman, D. 1979. Microbial Technology. Fermentation Technology. Academic Press. San Fransisco. Rahayu, A.; Suranto, dan Purwoko, T. 2005. Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro gung (Leucaenaleucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi 2(1): 14-20. Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta. Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta. Santoso, H.B. 1994. Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta. Tjahjadi Purwoko dan Noor Soesanti Handajani. (2007). Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus. Surakarta.Tortora, G.J.; Funke, R. and Case, C.L. 1995. Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA. Winarno, F.G.; Fardiaz, S. dan Fardiaz, D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wu, Ta Yeong, Mun Seng Kan, Lee Fong Siowand Lithnes Kalaivani Palniandy.(2010). Effect of temperature on moromi fermentation of soysauce with intermittent aeration.African Journal of Biotechnology Vol. 9(5), p. 702-706.Yanfang, Zhang and Wenyi, Tao. (2009). Flavor and taste compounds analysis in Chinese solid fermented soy sauce. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673-681.Yanfang, Zhang dan Wenyi, Tao dan lijuan, Wang. (2009). Biochemical changes in low-salt fermentation of solidstate soy sauce. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (24), pp. 7028-7034

5. LAMPIRAN

5.1. Abstrak Jurnal

5.2. Laporan sementara