ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · PDF file... insider trading, dan pencucian uang. Di samping itu,...
-
Upload
duongthuan -
Category
Documents
-
view
235 -
download
12
Transcript of ABSTRAK - sinta.unud.ac.id · PDF file... insider trading, dan pencucian uang. Di samping itu,...
ABSTRAK
PERLINDUNGAN YURIDIS TERHADAP KONSUMEN LEMBAGA
PERBANKAN
Nasabah selaku konsumen di bidang perbankan, kedudukannya cenderung
lebih lemah dari pihak bank sehingga perlu adanya perlindungan hukum bagi
konsumen terutama dalam hal terjadinya sengketa perbankan. Bagaimanakah
perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi konsumen lembaga perbankan?
Bagaimanakah penyelesaian sengketa perbankan pasca pergeseran kewenangan
dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan?
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan berangkat
dari adanya ketidakjelasan atau kekaburan norma (vague van normen) dari
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen lembaga
perbankan oleh Bank Indonesia selaku Bank Sentral dan Otoritas Jasa Keuangan,
secara prinsip pengaturan dari dua otoritas perbankan tersebut adalah sama,
dimana ketentuan-ketentuan yang ada didalam Peraturan Bank Indonesia dan
Surat Edaran Bank Indonesia tersebut dimuat pula dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan dan Surat Edaran Bank Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) perlindungan yuridis terhadap
konsumen lembaga perbankan terlihat dari pengaturan dan pengawasan terhadap
lembaga perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan
dan Lembaga Penjamin Simpanan selaku Otoritas Perbankan. (2) Penyelesaian
sengketa perbankan pasca pergeseran kewenangan dari Bank Indonesia kepada
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebagai upaya untuk melindungi kepentingan
masyarakat selaku konsumen perbankan lebih efektif dan maksimal. Otoritas Jasa
Keuangan dapat memfasilitasi pelaksanaan penyelesaian sengketa perbankan guna
melindungi kepentingan masyarakat selaku konsumen perbankan. Otoritas Jasa
Keuangan bersama dengan Asosiasi Perbankan Indonesia membentuk Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia atau LAPSPI.
Kata kunci : perlindungan hukum, konsumen, perbankan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………. i
PRASYARAT GELAR ………………………………………......... ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………. . iii
LEMBAR PANITIA PENGUJI …………………………………… iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………… v
UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………….. vi
ABSTRAK …………………………………………………………. ix
ABSTRACT ………………………………………………………… . x
RINGKASAN ……………………………………………………... .. xi
DAFTAR ISI ……………………………………………………….. xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 11
1.3 Orisinalitas Penelitian ………………………………………........... 12
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 13
1.4.1 Tujuan Umum ...................................................................... 14
1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................. 14
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 14
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................. 14
1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................. 15
1.6 Landasan Teoritis ............................................................................. 15
1.6.1 Teori Negara Hukum ........................................................... 16
1.6.2 Teori Negara Kesejahteraan ................................................. 20
1.6.3 Konsep Perlindungan Hukum oleh Negara .......................... 28
1.6.4 Asas Perlindungan Konsumen ............................................. 31
1.6.5 Konsep Otoritas Jasa Keuangan .......................................... 34
1.7 Metode Penelitian ..................................................................... 37
1.7.1 Jenis Penelitian .................................................................... 37
1.7.2 Jenis Pendekatan ................................................................. 38
1.7.3 Sumber Bahan Hukum ........................................................ 39
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................. 42
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................... 43
BAB II PEMAHAMAN TENTANG PERBANKAN, OTORITAS
PERBANKAN, DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
PERBANKAN
2.1 Perbankan dan Otoritas Perbankan …………………………........... 44
2.1.1 Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan
Bukan Bank …………………………………………....... ... 44
2.1.2 Jenis dan Usaha Perbankan …………………………....... ... 53
2.1.3 Pelayanan Jasa Perbankan …………………………......... ... 59
2.1.4 Konsumen Perbankan ………………………………........... 62
2.1.5 Bank Indonesia ………………………………………...... ... 63
2.1.6 Otoritas Jasa Keuangan ………………………………......... 66
2.1.7 Lembaga Penjamin Simpanan ………………………........... 71
2.2 Perlindungan Konsumen Lembaga Perbankan …………………....... 77
2.2.1 Perlindungan Konsumen ………………………………........ 77
2.2.2 Perlindungan Konsumen Perbankan ……………………...... 87
2.2.3 Perlindungan Konsumen Perbankan oleh Notaris ……......... 95
BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN LEMBAGA PERBANKAN
3.1 Hubungan Hukum Antara Lembaga Perbankan dengan Konsumen 100
3.1.1 Hubungan Hukum Antara Bank dengan Konsumen
Penyimpan Dana ………………………………………....... 103
3.1.2 Hubungan Hukum Antara Bank dengan Konsumen
Peminjam Dana ………………………………………........ 105
3.1.3 Hubungan Hukum Antara Bank dengan Konsumen
Pengguna Jasa Perbankan Lainnya ……………………...... 108
3.2 Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan Sebagai Upaya
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen ………………………........ 110
3.2.1 Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan oleh
Bank Indonesia ………………………………………....... 115
3.2.2 Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Perbankan oleh
Otoritas Jasa Keuangan ………………………………...... 122
3.2.3 Pengaturan dan Pengawasan Penjamin Simpanan Dalam
Rangka Perlindungan Konsumen Perbankan ………......... 130
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN LEMBAGA
PERBANKAN
4.1 Pengaturan Mekanisme Penyelesaian Sengketa oleh Lembaga
Jasa Keuangan di Sektor Perbankan …………………………........ 133
4.2 Penyelesaian Sengketa Perbankan Pasca Pergeseran Kewenangan
dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan ………........ 139
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………...... 154
5.2 Saran …………………………………………………………........ 156
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh
peranan lembaga perbankan dalam suatu negara, sehingga lembaga perbankan
memiliki fungsi sebagai agen pembangunan (agent of development) yang berarti
lembaga perbankan memiliki tujuan dalam mendukung pelaksanaan
pembangunan nasional. Kemajuan lembaga perbankan dapat pula dijadikan
ukuran kemajuan atau keberhasilan ekonomi suatu negara.1 Disamping memiliki
peran dalam mewujudkan pembangunan nasional, peranan lembaga perbankan
juga sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi secara keseluruhan, dimana kegiatan
utama dari lembaga perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
kemudian menyalurkan kembali dana masyarakat tersebut dalam bentuk
pinjaman serta memberikan jasa-jasa bank lainnya, atau sering disebut juga
sebagai lembaga intermediasi.
Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya adalah:2
1. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan, yang
artinya bahwa bank sebagai tempat menyimpan uang atau sarana investasi
bagi masyarakat;
2. Menyalurkan dana ke masyarakat, artinya bank memberikan atau
menyalurkan kredit atau pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan
1 Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
(selanjutnya disebut Kasmir I) 2 Ibid, hal. 3-4.
dana dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan kegiatan usahanya;
dan
3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya seperti pengiriman uang (transfer),
penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing),
penagihan surat-surat berharga yang berasal dari luar kota maupun luar
negeri (inkaso), Letter of Credit (L/C), Bank Guarantee, Bank Notes, Safe
Deposit Box, dan jasa-jasa lainnya.
Sentralnya peran lembaga perbankan dalam kegiatan perekonomian
tersebut maka akan berbanding pula dengan resiko-resiko yang ditimbulkan dalam
kegiatan lembaga perbankan itu sendiri. Salah satunya pelanggaran potensial yang
sering terjadi seperti laporan yang tidak transparan, insider trading, dan pencucian
uang. Di samping itu, masih banyak permasalahan lain sebagai akibat dari
aktivitas yang bersifat lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang antara lain
meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa
keuangan, perkembangan jaringan konglomerasi dalam kepemilikan industri jasa
keuangan, serta makin maraknya praktik-praktik arbitrase peraturan (regulatory
arbitrage) oleh entitas bisnis jasa keuangan.
Selama ini fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga
perbankan berada di bawah kewenangan Bank Indonesia (selanjutnya disingkat
dengan BI) yang merupakan Bank Sentral yang mempunyai tugas untuk
pembinaan, pengaturan dan mengawasi bank, sebagaimana tercantum dalam Pasal
8 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut
sebagai UU BI) dan sebagaimana tercantum pula dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disingkat sebagai UU Perbankan) ,
dan pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan non bank seluruhnya
berada dibawah kewenangan Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (selanjutnya disingkat sebagai Bappepam LK) yang bernaung dibawah
Kementerian Keuangan.
Sejak lahirnya BI berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968,
dimana BI diposisikan sebagai bank sentral yang berfungsi sebagai pengelola
kebijakan moneter nasional, BI tidak diposisikan sepenuhnya menjadi bank yang
menjalankan fungsi dan tugasnya secara mandiri dan independen. Dalam beberapa
dekade BI dilibatkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah
sebagai salah satu agen pembangunan, sampai dengan puncaknya ketika
terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998 intervensi dari pemerintah
tersebut terutama menyangkut nilai tukar rupiah, perbankan dan kebijakan kredit.
Dengan kondisi kritis dan semakin kompleks pada saat itu BI tidak mampu
mengatasi krisis ekonomi, sehingga menjadi krisis tersebut berubah menjadi krisis
yang multidimensional, dimana bank-bank mengalami kesulitan likuiditas dan BI
tidak dapat menjalankan perannya sebagai lender of the last resort.3
Disamping keadaan tersebut di atas, lemahnya pengawasan BI terhadap
perbankan menjadi salah satu penyebab munculnya kasus-kasus kejahatan
perbankan, seperti penggelapan dana nasabah prioritas Citibank oleh Senior
3 Jimly Asshiddiqie, 2016, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Nusantara, Jakarta,
hal.227. (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I)
Relationship Managernya, konspirasi kecurangan deposito milik PT. Elnusa
antara Direktur Keuangan PT Elnusa dengan Kepala Cabang Bank Mega
Jababeka4 dan tewasnya nasabah kartu kredit Citibank oleh debt collector yang
disewa Citibank.5 Dalam kasus-kasus tersebut BI kurang memberikan perhatian
dan perlindungan kepada para konsumen yang menjadi korban. Lemahnya
pengawasan Bapepam LK terhadap perusahaan sekuritas dan perusahaan asuransi
juga menyebabkan munculnya kasus penggelapan dana nasabah Sekuritas
Antaboga dan kasus asuransi Bakrie Life yang gagal membayar nasabahnya.
Sejauh ini BI tidak sepenuhnya dapat memberikan perlindungan yang memadai
kepada para konsumen yang menjadi korban dalam kasus-kasus tersebut.
Kasus terbaru dalam bidang jasa keuangan adalah terkuaknya penipuan
berkedok investasi yang dilakukan oleh PT. Exist Assctindo pada Maret 2014
yang lalu. Penipuan yang dilakukan pemilik perusahaan sangat menjanjikan
sehingga membuat banyak nasabah yang tertarik. Kerugian dalam kasus ini
ditaksir mencapai Rp. 1,3 triliun dan tidak kurang dari 800 nasabah.6 Belajar dari
pengalaman Indonesia sebelumnya, khususnya pada saat stabilitas keuangan
terguncang, tentunya permasalahan-permasalahan tersebut haruslah mendapat
perhatian yang lebih serius dalam menghadapinya.
Disamping kejahatan-kejahatan perbankan yang notabene dilakukan oleh
oknum pejabat atau pegawai bank secara internal, sampai dengan saat ini masih
banyak terdapat pengaduan-pengaduan dari nasabah perbankan terhadap pelaku
4 Agus Budianto, 2011, “Mengkaji Kejahatan Korporasi di Bidang Perbankan Dalam
Sistem Perbankan Indonesia”, UPH Law Review, Vol. 11, No. 2, hal. 263-264. 5 Jonker Sihombing, 2011, “Aspek Hukum Kartu Kredit dan Dilema Penagihannya”,
UPH Law Review, Vol. 11, No. 2, hal. 209. 6 www.kompas.com, diakses 28 November 2014.
usaha jasa perbankan yang berujung di pengadilan yang apabila dicermati dalam
putusan-putusan pengadilan tersebut diawali dengan tidak menggunakan jalur
penyelesaian sengketa perbankan, akan tetapi menggunakan mekanisme dasar
hukum Undang-Undang Perlindungan Konsumen melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) maupun melalui jalur peradilan umum dan berlanjut
ke pengadilan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa perkara antara lain: Drs.
Ariyanto Thaib melawan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, dalam Perkara Nomor:
314 K/Pdt.Sus/2009 tertanggal 20 November 2009; Wahyudi Prasetio melawan
PT. Bank Century Tbk. (sekarang PT. Bank Mutiara Tbk., dalam Perkara Nomor:
94 K/Pdt.Sus/2012 tertanggal 2 Mei 2012; Muhajidin Taher,S.E., melawan PT.
Bank Mandiri (Persero) Tbk. Dan PT. Advantage CSM, dalam Perkara Nomor:
190 PK/Pdt.Sus/2012 tertanggal 11 Maret 2009; Triana Widiastuti melawan PT.
Bank BRI Syariah dalam Perkara Nomor: 56 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 tertanggal 30
September 2014; dan Ahmad Zaelani melawan PT. Bank Danamon Indonesia
Tbk., dalam Perkara Nomor: 353 K/Pdt.Sus-BPSK/2014 tertanggal 18 Agustus
2014.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, agar kegiatan di dalam sektor jasa
perbankan dan keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, seyogyanya dibutuhkan suatu sistem pengaturan dan pengawasan yang
baik terhadap lembaga keuangan. Di Indonesia, setelah disahkan dan diundangkan
pada tanggal 22 November 2011, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai UU OJK), terjadi
transformasi yang menyeluruh dan sistematis dalam sistem pengaturan dan
pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu pengalihan fungsi pengaturan dan
pengawasan tersebut yang semula berada dalam kewenangan BI beralih kepada
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat dengan OJK). OJK sebagai sebuah
lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang untuk
melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap
industri jasa keuangan di Indonesia. Dengan demikian seluruh kegiatan jasa
keuangan dalam sektor perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya menjadi kewenangan OJK.
Secara yuridis, lahirnya OJK sebagai lembaga pengawas di sektor jasa
keuangan diamanatkan dari ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU BI, yang menentukan
bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan akan dibentuk dengan undang-undang.
Adapun yang melatarbelakangi lahirnya UU OJK tersebut, yaitu:7
1. Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang
menjalankan fungsi intermediasi bagi kegiatan produktif dalam
perekonomian nasional merupakan salah satu unsur utama dalam
sistem perekonomian nasional.
2. Sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling
keterkaitan antar subsektor keuangan, baik dalam produk maupun
kelembagaan.
3. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan
di berbagai subsektor keuangan yang menambah kompleksitas
7 Rudy Hendra Pakpahan, 2012, Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa
Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia
Vol. 9 No. 3 Oktober 2012, hal. 416.
transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan di dalam sistem
keuangan.
4. Berbagai permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang
meliputi tindakan moral hazard (kecerobohan atau ketidakpedulian
terhadap kerugian), belum optimalnya perlindungan konsumen jasa
keuangan, dan terganggunya stabilitas keuangan.
Pembentukan OJK bertujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa
keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, serta
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil. Hal yang tidak kalah penting adalah agar seluruh kegiatan di sektor jasa
keuangan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK
berwenang untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan
konsumen dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau
penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan terhadap ketiga sektor jasa keuangan
tersebut. OJK juga berwenang menetapkan sanksi administratif terhadap pihak
yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.8
Sebagai tindak lanjut atas komitmen perlindungan konsumen keuangan,
pada tanggal 6 Agustus 2013, OJK telah menerbitkan Peraturan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan
selanjutnya sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
8 Hesty D. Lestari, 2012, ”Otoritas Jasa Keuangan: Sistem baru dalam Pengaturan dan
Pengawasan Sektor Jasa Keuangan”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12, No. 3, hal. 558.
Nomor 1/POJK.07/2013 tersebut, maka pada tanggal 23 Januari 2014, OJK telah
menerbitkan kembali Peraturan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut
sebagai POJK). Sebagai tindak lanjut dari POJK ini, OJK kemudian menerbitkan
2 (dua) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut sebagai
SEOJK) yaitu Surat Edaran Nomor 1/SEOJK.07/2014 tentang Pelaksanaan
Edukasi dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan kepada Konsumen
dan/atau Masyarakat dan Surat Edaran Nomor 2/SEOJK. 07/2014 tentang
Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan. Kedua SEOJK merupakan peraturan pelaksana POJK No.1/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang berlaku efektif sejak
6 Agustus 2014.
Ketentuan tentang Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK) dibentuk
OJK dengan tujuan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dari
tindak pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan, seperti manipulasi maupun
berbagai bentuk penggelapan. Hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Namun
melalui SEOJK tersebut, OJK berupaya mendorong Edukasi dan Perlindungan
Konsumen sebagai usaha untuk terus meningkatkan pemahaman masyarakat dan
konsumen tentang perusahaan jasa keuangan serta produk dan jasa yang
ditawarkan. Dengan asumsi, jika pemahaman masyarakat memadai, tingkat
utilitas dan kepercayaan masyarakat serta konsumen terhadap lembaga dan produk
jasa keuangan akan ikut meningkat.
OJK juga telah menyiapkan dua program strategis dalam kaitan
perlindungan konsumen. Kedua program meliputi Pembentukan Sistem Pelayanan
Konsumen Keuangan Terintegrasi (Financial Customer Care/FCC) dan Cetak
Biru Program Literasi Keuangan Nasional. Program FCC yang menjadi prioritas
adalah ketersediaan informasi bagi masyarakat dan pelayanan pengaduan
konsumen keuangan.
Namun demikian, fungsi dan tugas yang diemban OJK bukanlah suatu hal
yang ringan atau mudah. Berkaca dari pengalaman negara lain, lembaga semacam
OJK tidak selalu berhasil dalam menjalankan fungsinya. Saat ini kehadiran OJK
masih relatif baru dan nantinya sejarah yang akan mencatat berhasil tidaknya OJK
dalam menjalankan fungsinya dan apakah OJK mampu berfungsi lebih baik dari
BI dan Bapepam-LK. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai
keberhasilan OJK adalah kemampuannya dalam mencegah dan menangani krisis,
independensinya dan kemampuannya dalam memberikan perlindungan kepada
konsumen di sektor jasa keuangan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti masih melihat adanya
ketidakjelasan atau kekaburan norma (vague van normen) dalam peraturan
perundang-undangan terkait perlindungan konsumen lembaga jasa keuangan oleh
BI melalui Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disebut PBI) dan Surat Edaran
Bank Indonesia (selanjutnya disebut SEBI) dengan OJK. Sebelum dan sesudah
lahirnya OJK, BI telah pula mengeluarkan beberapa aturan terkait dengan
perlindungan konsumen lembaga perbankan, diantaranya melalui Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Konsumen
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/10/PBI/2008 (“PBI No.10/10/2008”); Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 (“PBI No.10/1/2008”); Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 7/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Konsumen sebagaimana telah diubah dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 10/13/DPNP tanggal 6 Maret 2008 (“SEBI
No.10/2008”); dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tanggal 1
Juni 2006 tentang Mediasi Perbankan (“SEBI No. 8/2006”), dan terakhir melalui
Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tanggal 16 Januari 2014 tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran yang diikuti dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 16/16/DKSP tanggal 30 September 2014 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.
Peraturan OJK yang terkait dengan perlindungan konsumen lembaga perbankan
diantaranya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (“POJK No.1/2013”);
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa (“POJK No.1/2014”); dan Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang
Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan (“SE OJK No. 2/2014”). BI dan OJK yang sama-sama berperan sebagai
otoritas perbankan dan juga memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengawasi lembaga perbankan, secara prinsip di dalam aturan-aturan hukum
antara PBI dan SEBI dengan POJK dan SEOJK tersebut mengatur hal-hal yang
sama, seharusnya perlindungan terhadap konsumen perbankan yang menjadi satu
kesatuan dengan kegiatan usaha lembaga perbankan tersebut BI dan OJK didalam
melaksanakan tugasnya seyogyanya harus selalu berkoordinasi dan bekerja sama,
termasuk didalam membuat peraturan yang terkait dengan pengawasan di bidang
perbankan. Hal tersebut sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 39 huruf d UU
OJK, sehingga tidak menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan mengenai
pengaturan terkait perlindungan konsumen perbankan. Dengan adanya ketentuan
dari dua otoritas perbankan yang berbeda tersebut tentunya dapat mengakibatkan
kebingungan dan ketidakpastian hukum bagi konsumen perbankan dalam hal
terdapat sengketa dikemudian hari dengan lembaga perbankan. Kekaburan atau
ketidakjelasan pengaturan tersebut terkait dengan lembaga dimana seharusnya
ditujukan bilamana terdapat pengaduan oleh konsumen perbankan akibat adanya
sengketa perbankan dengan lembaga perbankan. Oleh sebab itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Perlindungan
Yuridis Terhadap Konsumen Lembaga Perbankan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk research questions sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan yuridis terhadap konsumen dalam transaksi
perbankan di Indonesia?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa perbankan pasca pergeseran
kewenangan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan?
1.3 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelitian kepustakaan terdapat beberapa penelitian yang
berkaitan dengan Otoritas Jasa Keuangan yaitu :
1. Yustina Wahyu Kusumaningsih dengan judul “Telaah Kritis Pengaturan
dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan”. Tesis dari Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas
Mada, Yogyakarta, Tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh
Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan?
b. Bagaimana independensi pengawasan sektor jasa keuangan oleh
Otoritas Jasa Keuangan?
2. Penelitian Hesty D. Lestari dengan judul ”Otoritas Jasa Keuangan: Sistem
Baru dalam Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan”. Tesis
dari Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah
Jakarta, Tahun 2012, yang dimuat dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
12, No. 3, September 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah pengaturan lembaga OJK berdasarkan UU No. 21
Tahun 2011?
b. Bagaimanakah pelaksanaan lembaga sejenis OJK di Inggris dan di
Jepang?
c. Apakah OJK akan ber-fungsi lebih baik dibandingkan dengan BI dan
Bapepam- LK dalam hal pencegahan dan penanganan krisis keuangan,
independensinya, dan pemberian perlindungan konsumen di sektor jasa
keuangan?
3. Penelitian Reka Dewantara dengan judul ”Tinjauan Yuridis Pengalihan
Pengawasan Perbankan dari Bank Sentral Kepada Otoritas Jasa
Keuangan”. Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya Malang,
Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah mekanisme pembentukan dan wewenang dari lembaga
yang bernama Otoritas Jasa Keuangan.?
b. Bagaimana mekanisme pengalihan pengawasan perbankan dari Bank
Sentral kepada Otoritas Jasa Keuangan?
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa penelitian mengenai perlindungan konsumen dalam sektor jasa keuangan
khususnya lembaga perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan
penulis teliti belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, oleh karenanya penelitian
ini dapat dipertanggungjawabkan kebaharuannya baik dari isi, substansi maupun
topiknya.
1.4 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas sebagai
pedoman dalam melaksanakan suatu penelitian, dan sekaligus menunjukkan
kualitas dari suatu penelitian. Berdasarkan permasalahan yang telah diidentifikasi
di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini terdiri dari tujuan
umum, dan tujuan khusus sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk
pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process (ilmu sebagai
suatu proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan terhenti dalam
penggalian atas suatu kebenaran, khususnya terkait dengan topik Upaya
Perlindungan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen Perbankan.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis perlindungan
hukum yang dapat diberikan bagi konsumen lembaga perbankan.
2. Untuk menelaah dan menganalisis penyelesaian sengketa Perbankan pasca
pergeseran kewenangan Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini
yaitu sebagai berikut:
1.5.1 Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran berupa konsep, metode atau teori
dalam studi ilmu hukum, khususnya yang menyangkut konsep hukum
perlindungan konsumen lembaga jasa keuangan dan penyelesaian sengketa
perbankan pasca beralihnya kewenangan dari Bank Indonesia kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
1.5.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang hendak dicapai dari penelitian tesis ini yaitu
sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran atau
bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam arti luas dalam hal hukum
perlindungan konsumen khususnya konsumen lembaga jasa keuangan
pasca beralihnya kewenangan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Penelitian ini diharapkan akan mampu memberikan sumbangan pemikiran
atau bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan pada lembaga-
lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi yang berhubungan dengan
kegiatan usaha perbankan, baik kepada Bank Indonesia, kepada Otoritas,
maupun kepada Lembaga Penjamin Simpanan Jasa Keuangan (OJK) demi
tercapainya perlindungan konsumen lembaga perbankan yang efektif dan
maksimal.
1.6 Landasan Teoritis
Teori berasal dari kata theoria yang berarti pandangan atau wawasan, pada
umumnya teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran
tanpa dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis. Disamping itu, teori
dapat diartikan sebagai pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan atas
suatu peristiwa atau kejadian.9 Sudikno Mertokusumo, dengan mengutip pendapat
Gijssels, mengemukakan bahwa teori hukum diartikan sebagai suatu kesatuan
pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian yang berhubungan dengan
kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan
hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji.10
Lebih lanjut JJ. H. Bruggink mendefinisikan teori hukum sebagai suatu
keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut
untuk bagian yang penting dipositifkan. Dalam definisi teori hukum tersebut
terkandung makna ganda yaitu teori hukum sebagai suatu produk dimana
keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan tersebut merupakan hasil dari
kegiatan teoritik dalam bidang hukum, dan teori hukum sebagai suatu proses,
yang mana perhatiannya diarahkan pada kegiatan teoritik tentang hukum atau
pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri, tidak pada hasil dari
kegiatan-kegiatan tersebut.11
Disamping menggunakan teori hukum tersebut, konsep hukum juga akan
dipergunakan dalam penelitian ini. Konsep berasal dari kata kerja concipere
bahasa Latin yang berarti mencakup, mengandung, menyedot, menangkap. Kata
bendanya conceptus yang secara harfiah diartikan sebagai tangkapan, sehingga
9 Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 4. 10 Ibid, hal. 5. 11 JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar dalam
Teori Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 159-160.
konsep diartikan sebagai hasil tangkapan intelek atau akal budi manusia, dan
persamaannya katanya adalah idea (ide) yang dalam bahasa Yunani berarti yang
orang lihat, yang menampakan diri, betuk, gambar, rupa dari sesuatu.12
Oleh
karenanya konsep dapat diartikan sebagai suatu perwakilan universal dari
sejumlah obyek yang memiliki kemiripan unsur-unsur dasarnya, unsur-unsur
tersebut dicirikan dengan kualitas primer (yang diperoleh dari pengamatan,
pengukuran atau penghitungan), dan kualitas sekunder (yang diperoleh dari
hubungan subyek dengan obyek yang menghasilkan presepsi subyek terhadap
obyek tersebut).13
Dengan demikian konsep hukum dapat diterjemahkan sebagai suatu
persepsi atau pandangan yang berasal dari pengamatan, dan hubungan antara
subyek dengan obyek yang terkandung unsur-unsur hukum didalamnya. Konsep
hukum dapat pula dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan
dalam kerangka berjalannya aktivitas hidup bermasyarakat secara tertib.14
Teori
hukum dan konsep-konsep hukum tersebut akan dipergunakan sebagai pisau
analisis dalam menjawab rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian
ini.
Adapun teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Teori Negara
Hukum (Rechtstaat) dan Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State Theory)
Selain kedua teori tersebut, penelitian ini juga menggunakan konsep Perlindungan
12 B. Arief Sidharta, 2012, Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan
Medan Telaah, Refiika Aditama, Bandung, hal. 21. 13 Ibid, hal. 21-22. 14 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup,
Jakarta, hal. 112.
Konsumen dan Otoritas Jasa Keuangan. Berikut disampaikan teori dan konsep
yang digunakan dalam penelitian ini:
1.6.1 Teori Negara Hukum (Rechtstaat)
Teori ini dicetuskan oleh Plato yang merupakan filsuf besar Yunani Kuno
yang mengemukakan bahwa terdapat dua bentuk pemerintahan yang dapat
dijalankan dalam suatu Negara. Secara lebih riil, Plato merumuskan teorinya
tentang Negara Hukum :
(i) hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang
penuh situasi ketidakadilan,
(ii) aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak
muncul kekacauan hukum
(iii) Setiap undang-undang harus didahului preambule tentang motif dan tujuan
undang-undang tersebut, Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui
dan memahami kegunaan mentaati hukum itu
(iv) tugas hukum adalah membimbing melalui Undang-undang
(v) orang yang melanggar undang-undang harus dihukum.15
Teori Negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Plato menghimbau kepada
yang mempelajari hukum agar faktor manusia (aparat hukum) menjadi bagian
integral dalam studi hukum.
Aristoteles juga mengemukakan pendapatnya mengenai Negara hukum.
Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu Negara bukanlah manusia,
melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik atau
15 Bernard L. Tanya, Yoan N Simanjuntak, Markus Y. Hage,2010, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan III, Genta Publishing, Yogyakarta,
hal 41-42.
buruknya suatu hukum. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah negara
yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aristoteles
menyatakan:
Constitutional rule in a state is closely connected,also with the requestion
whether is better to be rulled by the best men or the best law,since a
goverrment in accordinace with law,accordingly the supremacy of law is
accepted by Aristoteles as mark of good state and not merely as an
unfortunate neceesity.16
(Aturan konstutitusional dalam suatu Negara berkaitan secara erat, juga
dengan mempertanyakan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia yang
terbaik sekalipun atau hukum yang terbaik, selama pemerintahan menurut hukum.
Oleh sebab itu, supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai pertanda
Negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak).
Ketentuan bahwa Indonesia adalah Negara hukum tidak dapat dilepaskan
dari Pembukaan UUD 1945 sebagai citanegara hukum, kemudian ditentukan
dalam batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 (sebelum diamandemen). Alinea I
Pembukaan UUD 1945 mengandung kata perikeadilan; dalam alinea II terdapat
kata adil; dalam alinea III terdapat kata Indonesia; dalam alinea IV terdapat kata
keadilan sosial dan kata kemanusiaan yang adil. Semua istilah tersebut merujuk
pada pengertian Negara hukum, karena salah satu tujuan Negara hukum adalah
untuk mencapai keadilan.17
Hal senada juga dikemukakan oleh Van Apeldoorn,
bahwa tujuan hukum tidak lain adalah mewujudkan keadilan, artinya hukum
semata-mata menghendaki hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya
16 George Sabine, 1995, A History of Political Theory, George G.Harrap & CO.Ltd.,
London, hal.92, sebagaimana dikutip oleh Dahlan Thaib, 1996, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum
dan Hak-Hak Asasi Manusia, Tulisan Dalam Rangka 70 Tahun Sri Soemantri Martosoewignjo,
Media Pratama, Jakarta, hal. 22. 17 Ibid, h. 22.
gunanya.18
Dalam negara hukum tersebut terkandung pula kepastian hukum yang
merupakan salah satu dari tiga ide hukum, oleh karenanya asas legalitas menjadi
salah satu kriteria dari negara hukum.
Teori Negara hukum dalam kaitannya dengan permasalahan yang diangkat
dalam tesis ini yaitu bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
konsumen perbankan. Negara hukum memberikan aturan-aturan yang mengatur
mengenai perbankan di Indonesia.
1.6.2 Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State Theory)
Perlindungan konsumen mutlak dilakukan oleh negara sesuai dengan
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di Indonesia,
signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui undang-undang merupakan
bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-
Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut
konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide sebagai negara
kesejahteraan sehingga dapat tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme
sejak abad sembilan belas.19
Sementara itu, industri keuangan modern melekat dengan fungsi
perlindungan konsumen. Hal ini sudah menjadi kelaziman global. Ada mekanisme
standar yang disepakati, dengan pelaksanaannya diawasi langsung oleh otoritas
industri keuangan. Berdasarkan hal ini maka dalam penelitian ini digunakan Teori
Kesejahteraan (Welfare State Theory).
18 L.J. van Apeldoorn, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, Hal.16. 19 Jimly Asshiddiqie, 1988, Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara
Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
hal. 53. (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II)
Sejarah kelahiran Teori Negara Kesejahteraan20
menjadi landasan dan
kedudukan dan fungsi pemerintahan dalam konsep negara modern. Negara
kesejahteraan merupakan antitesis dari negara hukum formal (klasik), yang
dilandasi pemikiran untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap
penyelenggaraan kekuasaan negara.
Konstruksi intelektual yang menandai sebuah teori negara kesejahteraan
memiliki tujuan pokok antara lain: pertama, mengontrol dan mendayagunakan
sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik; kedua, menjamin
pendistribusian kekayaan secara adil dan merata; ketiga, mengurangi kemiskinan;
keempat, menyediakan asuransi sosial bagi masyarakat miskin; kelima,
menyediakan subsidi untuk layanan sosial bagi disadvantage people; keenam,
memberikan proteksi bagi setiap warga negara.21
Dari tujuan negara modern
tersebut, dapat dimaknai bahwa teori negara kesejahteraan tidak semata-mata
berorientasi untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, akan tetapi lebih
menekankan pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan negara kesejahteraan, Spicker menyatakan bahwa
welfare state adalah a state which benefits its citizen in accordance with certain
set of principles, from cradle to grave.22
Fungsi negara semacam itulah yang
menjadi keharusan bagi peran kontekstual negara-negara modern. Pergeseran
konsep ini sekaligus mengubah skema peran sosial pemerintah yang semula
20 Sejak turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, lapangan pekerjaan
pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahkan kewajiban untuk
menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg). Diberinya tugas “bestuurszorg” itu
membawa suatu konsekuensi yang khusus bagi administrasi negara. Lihat E. Utrecht, 2008,
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 28-29. 21 Amien Alhumami, “Negara Sejahtera” Artikel Harian Kompas, 16 Oktober 2005. 22 Paul Spicker, 2000, The Welfare State: A General Theory, Sage, London, hal. 6.
sekedar subordinat terhadap legislasi parlemen, menjadi berperan aktif untuk
mampu mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan melalui kebijakan regulasi
operasional dan berbagai diskresi untuk tujuan mencegah menajamnya
kesenjangan sosial serta mengupayakan terwujudnya social welfare.
Berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan yang merupakan revisi dari
konsep negara pasif, Asshiddqie23
menguraikan bahwa dalam konsep negara
kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada
masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan
inilah yang memberikan legalisasi bagi negara intervensionis abab ke-20. Negara
justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah
sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam
masyarakat. Melalui intervensi ini, fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan
yang sebelumnya berada di luar jangkuan fungsi negara, seperti memperluas
ketentuan pelayanan sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus,
seperti social security, kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan dan pelatihan
serta perumahan. Di samping itu, kegiatan intervensi negara itu juga meluas
sampai pada pengaturan terhadap berbagai aktivitas masyarakat, baik secara
individual maupun badan-badan koletif (corporate bodies) untuk maksud
mengubah kondisi hidup dan kehidupan individu dan kelompok penduduk secara
relatif cepat.
23 Jimly Asshiddiqie, 2004, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia-Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme
dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,
1945-1980an, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal. 223. (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie
III)
Mengomentari konsep negara pengurus versi Bung Hatta, Asshiddiqie24
lebih jauh berpendapat bahwa kecenderungan intervensionistis ini muncul dan
berkembang di mana-mana, termasuk di negara-negara baru yang muncul sebagai
akibat proses dekolonisasi global pada abad ke-20. Indonesia, tak terkecuali, juga
dipengaruhi oleh gagasan negara kesejahteraan ini. Seperti dikemukakan oleh
Hatta dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, negara Indonesia yang akan
didirikan dengan konstitusi yang sedang mereka rumuskan dalam sidang BPUPKI
itu adalah negara pengurus. Apa yang dimaksudkan oleh Hatta dengan negara
pengurus itu, tidak lain adalah negara kesejahteraan atau welfare state. Hal ini
tercermin dalam rumusan UUD 1945, yaitu dalam Bab XIV mengenai
kesejahteraan sosial. Dengan demikian, pada abad ke-20 ini konsep negara
kesejahteraan ini menjadi populer, dan secara cepat mempengaruhi cara kerja
berbagai pemerintah di seluruh penjuru dunia.
Perspektif teori negara kesejahteraan lebih menekankan kepada negara
agar berperan secara aktif dalam mengelola dan mengorganisasi dan mengelola
perekonomian yang di dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk
menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi
warga negara. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan konsep kesejahteraan umum
sebagai ”keseluruhan prasyarat-prasyarat sosial yang memungkinkan atau
mempermudah manusia untuk mengembangkan semua nilainya”, atau sebagai
”jumlah semua kondisi kehidupan sosial yang diperlukan agar masing-masing
24 Ibid.
individu, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat dapat mencapai
kebutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih utuh dan cepat”.25
Berdasarkan uraian tentang teori negara kesejahteraan, jika dihubungkan
dengan cita-cita negara Indonesia yang menjatuhkan pilihan pada negara
kesejahteraan. Hal tersebut tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 menegaskan
bahwa “...Pemerintahan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Para pendiri negara dalam menjatuhkan pilihan negara kesejahteraan,
dilandasi alasan-alasan yang sekaligus menjadi alat ukur kesuksesan dalam
menjalankan sistem negara kesejahteraan, sebagai berikut: pertama, untuk
mempromosikan efisiensi ekonomi; kedua, untuk mengurangi kemiskinan; ketiga,
mempromosikan kesamaan sosial (social equality); keempat, mempromosikan
integritas sosial atau menghindarkan eksklusif sosial; kelima, mempromosikan
stabilitas sosial; dan keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian
individu.26
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri utama
negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan
kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata lain, ajaran welfare state27
merupakan bentuk konkrit dari peralihan prinsip staatsonthouding, yang
25 Frans Magnis Suseno, 2009, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 314. 26 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, 2008, Negara Kesejahteraan dan
Globalisasi, Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman, PSIK Universitas
Paramadina, Jakarta, hal.21-22. 27 Pemikiran perihal tercapainya imbangan kegiatan ekonomi yang menguntungkan
semua warga bangsa telah menjadi wacana yang menghasilkan sistim Negara kebangsaan yang
bersifat Negara kesejahteraan. Lazimnya dengan berbagai variant definisi karena perbedaan sudut
pandang terhadap unsur-unsurnya akan tetapi tidak berbeda dalam substansi dari berbagai Negara
tersebut akan disebut sebagai social welfarestate atau sociale rechtsstaat.
membatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi
dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan
pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai
langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, disamping menjaga ketertiban
dan keamanan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam teori negara kesejahteraan (welfare
state), hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak
pasif dimana hukum mampu diterapkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan
bermasyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-
kewenangan di berbagai bidang.
Indroharto mengemukakan, bahwa kewenangan diperoleh secara atribusi,
delegasi dan mandat.28
Dalam hal ini OJK memiliki kewenangan mengatur dan
mengawasi lembaga keuangan yang diperoleh secara atribusi. Kewenangan yang
diperoleh secara atribusi berarti pemberian wewenang pemerintahan yang baru
oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dengan
aturan hukum dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru.
Tugas dan kewenangan OJK dalam membina dan mengawasi lembaga
keuangan tersebut meliputi:
1. Power and Right to Licence (kewenangan untuk memberi izin), yaitu
kewenangan OJK menetapkan ketentuan dan persyaratan sebuah lembaga
keuangan yang merupakan seleksi awal terhadap kehadiran sebuah
lembaga keuangan baru yang mengacu pada aspek yaitu kemampuan
28 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , hal. 90.
menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal lembaga keuangan
serta kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus
lembaga keuangan dalam melaksanakan kegiatan usaha lembaga
keuangan, termasuk memberikan izin pendirian lembaga keuangan,
pendirian kantor cabang sampai dengan pencabutan izin. Kewenangan ini
merupakan kewenangan yang pertama dan mendasar serta merupakan
pengawasan lembaga keuangan yang paling awal, sebab ini
memungkinkan dapat ditetapkannya operasional suatu lembaga keuangan.
Dengan demikian tidak setiap orang atau badan hukum dapat mendirikan
dan mengoperasikan lembaga keuangan.
2. Power and Right to Regulate (kewenangan untuk mengatur), yaitu
kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek
kegiatan usaha lembaga keuangan yang sehat dan mampu memenuhi jasa
lembaga keuangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kewenangan ini
memungkinkan otoritas pengawas mengatur kegiatan operasi lembaga
keuangan berupa regulasi dan kebijakan sehingga dapat mendorong
terciptanya sistem lembaga keuangan yang sehat.29
3. Power and Right to Control (kewenangan untuk mengawasi), yaitu
kewenangan untuk melakukan pengawasan lembaga keuangan melalui
pengawasan langsung (on-site supervision), dan pengawasan tidak
langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa
pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus, yang bertujuan untuk
29 Kewenangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, www.bi.go.id, diakses tanggal 23
Januari 2015.
mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan lembaga keuangan dan
untuk memantau tingkat kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan
yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang
tidak sehat yang dapat membahayakan kelangsungan usaha lembaga
keuangan. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat
pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan lembaga keuangan,
laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya.
4. Power and Right to Impose Sanction (kewenangan untuk memberikan atau
menjatuhkan sanksi), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan terhadap lembaga keuangan
apabila suatu lembaga keuangan kurang atau tidak memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan. Tindakan ini mengandung unsur
pembinaan agar lembaga keuangan beroperasi sesuai dengan asas lembaga
keuangan yang sehat, dalam hal ini berupa sanksi administratif, sedangkan
sanksi untuk yang dapat dikenakan pidana diteruskan dan ditindaklanjuti
kepada pihak yang berwenang. Kewenangan ini dimaksudkan agar
lembaga keuangan melakukan perbaikan atas kelemahan dan
penyimpangan yang dilakukannya yang mengandung fungsi pembinaan
agar lembaga keuangan taat aturan.
Teori Negara Hukum Kesejahteraan dalam kaitannya dengan perlindungan
hukum nasabah perbankan yaitu pemerintah berperan untuk menciptakan
instrumen berupa aturan-aturan hukum yang nantinya dapat memberikan jaminan
kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat selaku konsumen perbankan.
Adanya peraturan terutama di bidang perbankan tentunya dapat memberikan rasa
aman dan nyaman bagi nasabah perbankan.
1.6.3 Konsep Perlidungan Hukum oleh Negara
Konsep perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra
berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan
antisipatif.30
Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan
untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik
untuk memperoleh keadilan.31
Oleh sebab itu, perlindungan hukum perlu
diberikan kepada konsumen lembaga jasa keuangan, dimana konsumen hampir
selalu berada di pihak yang lemah kedudukan hukumnya. Perlindungan hukum
yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum kepada
konsumen lembaga jasa keuangan dari segala bentuk penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh lembaga jasa keuangan tersebut.
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi, yang
salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap
Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-
30
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,
Bandung, hal. 178. 31 Sunaryati Hartono, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29.
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu
setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan
jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap
aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal
tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan
kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam
konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu
bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk
memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada
proses litigasi dan/atau non litigasi.
Dengan demikian perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
bertujuan untuk melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:32
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan Hukum Represif
32 Musrihah, 2000, Dasar dan Teori Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila
sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Dalam perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif melalui peraturan perundang-
undangan, sebaliknya dalam perlindungan represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa33
atau dengan kata lain untuk memulihkan keadaan (sengketa) yang telah
timbul melalui lembaga peradilan ataupun melalui lembaga penyelesaian sengketa
alternatif.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti berpendapat bahwa salah satu
sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat termasuk konsumen lembaga jasa keuangan.
Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap konsumen lembaga jasa keuangan
tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya
hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam masyarakat
konsumen lembaga jasa keuangan.
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini digunakan perlindungan hukum
preventif dan represif melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan jasa keuangan perbankan yaitu perlindungan hukum dari otoritas
keuangan yang diberikan kepada konsumen lembaga jasa keuangan sebelum
33 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hal.2
timbulnya sengketa perbankan dan perlindungan hukum dalam hal telah terjadi
sengketa perbankan antara konsumen dengan lembaga perbankan.
1.6.4 Asas Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:34
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan;
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil;
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
dan spiritual;
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan;
34 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, hal. 26.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan tersebut, bila diperhatikan substansinya,
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:35
1. asas kemanfaatan, yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
2. asas keadilan, yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3. asas kepastian hukum.
Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3
(tiga) kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian
hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,
kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum
disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan
dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa: “Hukum yang berwibawa
adalah hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat
melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa
penyimpangan”.36
Mengingat luasnya objek material (pokok bahasan) hukum perlindungan
konsumen itu, maka sangat sulit memberikan sistematika yang lengkap. Objek
material hukum perlindungan konsumen mencakup semua lapangan hukum pada
umumnya. Pembagian bidang-bidang hukum perlindungan konsumen dan
35 Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 33. 36 Ibid.
beragam jenis peraturan yang melingkupi, menurut adanya konsistensi, baik
dalam dalam substansi maupun penerapannya dilapangan. Untuk mencegah hal itu
sangat diperlukan adanya umbrella act. Adapun aturan-aturan lain, baik yang
setungkat dengan Undang-Undang maupun yang dibawahnya, merupakan
pengaturan yang bersifat lebih sektoral. Peraturan yang disebut sebagai umbrella
act adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disingkat dengan UUPK), yang disahkan pada tanggal 20
April 1999, tetapi baru diberlakukan satu tahun kemudian (tanggal 20 April
2000). Penundaan ini dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum
yang diberlakukan.
Esensi dari diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
(UUPK) Tentang Perlindungan Konsumen ini adalah untuk mengatur perilaku
pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen dapat terlindungi secara hukum. Hal
ini berarti bahwa upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang dilakukan
melalui perangkat hukum diharapkan mampu menciptakan norma hukum
perlindungan konsumen. Pada sisi lain diharapkan dapat menumbuh kembangkan
sikap usaha yang bertanggung jawab, serta peningkatkan harkat dan martabat
konsumen.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dalam upaya memberikan
perlindungan kepada konsumen menetapkan enam pokok materi yang menjadi
muatan Undang-Undang yaitu mengenai larangan-larangan, tanggungjawab
produsen, tanggung gugat produk, perjanjian atau klausula baku, penyelesaian
sengketa dan tentang ketentuan pidana.37
1.6.5 Konsep Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Setelah adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan yang diundangkan tanggal 22 November 2011, pengaturan dan
pegawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia sebagai
bank sentral Indonesia dialihkan pada otoritas jasa keuangan. Otoritas Jasa
Keuangan, yang selanjutnya (OJK), adalah lembaga yang indpenden dan bebas
dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.
Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan
fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga
yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan
tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
menyatakan: (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Wujud pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap bank dan perusahaan-
perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun,
37
Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Perundang-undangan Tentang Perlindungan
Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal. 31.
sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain
yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat
independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar
pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya lembaga
ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-Undang
pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat
mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan
Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari
Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.
Ke-independenan OJK berkaitan dengan beberapa hal: yaitu pertama
independen yang berkait dengan pemberhentian anggota lembaga yang hanya
dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang
pembentukan lembaga yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya
administrative agencies yang dapat sewaktu-waktu oleh Presiden karena jelas
merupakan bagian dari eksekutif.
Kedua, selain masalah pemberhentian yang terbebas dari intervensi
Presiden, sifat independen juga tercermin dari:
1. Kepemimpinan lembaga yang bersifat kolektif, bukan hanya satu orang
pimpinan. Kepemimpinan kolegial ini berguna untuk proses internal dalam
pengambilan keputusan-keputusan, khususnya menghindari kemungkinan
politisasi keputusan sebagai akibat proses pemilihan keanggotaannya;
2. Kepemimpinan tidak dikuasai atau tidak mayoritas berasal dari partai
politik tertentu; dan
3. Masa jabatan para pemimpin lembaga tidak habis secara bersamaan, tetapi
bergantian (staggered terms).38
Dalam Undang-Undang tentang OJK, pimpinan tertinggi terletak pada
Dewan Komisioner. Mengenai struktur Dewan Komisioner terdiri dari 9
(sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dengan
susunan sebagai berikut:
1. Seorang ketua merangkap anggota;
2. Seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
3. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
4. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;
5. Seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap
anggota;
6. Seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
7. Seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen;
8. Seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
9. Seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan
pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
38 Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, 2009, Efektivitas Sistem Penyeleksian
Pejabat Komisi Negara di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 3, hal. 152.
Calon Dewan Komisioner diusulkan oleh Presiden yang pemilihan dan
penentuannya dilaksanakan oleh Panitia Seleksi. Panitia Seleksi tersebut dibentuk
dengan Keputusan Presiden dan beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri
atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat.
Setelah melakukan pengumuman calon anggota Dewan Komisioner
kepada masyarakat, Panitia Seleksi melakukan penyaringan administrasi terhadap
para calon yang telah mendaftar dan kemudian hasilnya disampaikan kepada
Presiden untuk dipilih dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pola
rekrutmen Dewan Komisioner OJK seperti ini menimbulkan pertanyaan, yaitu
siapa saja yang menjadi Panitia Seleksi untuk mencari calon-calon yang memang
qualified mengisi jabatan Dewan Komisioner OJK. Meskipun telah disebutkan
Panitia Seleksi terdiri atas unsur Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat,
tetapi semua bergantung pada Presiden yang berwenang membentuk panitia
Seleksi tersebut. Kualitas Dewan Komisioner yang akan dibentuk sangat
bergantung pada proses awal seleksi oleh Panitia Seleksi. Selain itu permasalahan
lain yang timbul adalah mengenai kewenangan OJK itu sendiri yang sangat besar,
melebihi apa yang diamanatkan oleh Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 sebagai lembaga independen yang melakukan pengawasan terhadap
perbankan di Indonesia
1.7 Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Berangkat dari adanya ketidakjelasan atau kekaburan norma (vague van
normen) dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen
lembaga jasa keuangan oleh BI dan OJK, maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum
tertentu yang dalam hal ini adalah permasalahan tentang perlindungan konsumen
lembaga jasa keuangan oleh BI, OJK dan LPS.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma
dalam hukum positif.39
Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik
dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang
otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.40
1.7.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi
hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa
pendekatan yaitu :41
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
39
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, hal. 295. 40
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni,
Jakarta, hal 13-14. 41 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan Historis (historical approach).
5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan 3 (tiga) metode pendekatan
yaitu: pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perundang-undangan
(statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach), mengingat
permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai
perlindungan konsumen lembaga jasa keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan
hukum sekunder dan bahan-bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan hukum
tersebut terdiri dari :42
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji, yang terdiri dari:
42 Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 18.
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia;
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
d. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
e. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
f. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan;
g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang
Lembaga Penjaminan Simpanan Menjadi Undang-Undang;
h. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
Tentang Lembaga Penjaminan Simpanan Menjadi Undang-Undang;
i. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan;
j. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
k. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;
l. Peraturan Bank Inonesia Nomor 10/10/PBI/2008 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah;
m. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah;
n. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan
Peraturan Bank Inonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan;
o. Peraturan Bank Inonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan;
p. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan
Konsumen Jasa Sistem Pembayaran;
q. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;
r. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan;
s. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/13/DPNP tentang Perubahan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/24/DPNP tentang Penyelesaian
Pengaduan Konsumen;
t. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 7/24/DPNP tentang Penyelesaian
Pengaduan Konsumen;
u. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP tentang Mediasi
Perbankan;
v. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/16/DKSP tentang Tata Cara
Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran;
w. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/SEOJK.07/2014
tentang Pelaksanaan Edukasi dalam Rangka Meningkatkan Literasi
Keuangan Kepada Konsumen dan/atau Masyarakat; dan
x. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK. 07/2014
tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada
Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta
simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian
penelitian hukum ini.43
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum,44
Surat kabar, majalah mingguan, bulletin
dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum
ini.45
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum ini ditegaskan permasalahan mengenai
jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan hukum yang
43 Johny Ibrahim, Op.Cit, hal. 392. 44 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15. 45 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy,
Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
diperoleh. Tujuannya agar pengumpulan bahan hukum dan penganalisaan
terhadap bahan hukum tersebut dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum yang
berkaitan dengan obyek penelitian yang diteliti berupa bahan-bahan hukum
bersifat normatif-preskriptif, dilakukan dengan cara penelusuran, dan
pengumpulan dilakukan baik secara konvensional maupun dengan menggunakan
teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh, selanjutnya diinventarisir,
dikelompokkan dan disusun secara sistematis dan selanjutnya bahan hukum
tersebut kemudian dikaji, dipaparkan, diinterpretasi dan dianalisis secara yuridis,
yaitu analisis yang mendasarkan pada teori-teori, konsep dan peraturan
perundang-undangan.
Penggunaan teori-teori dan konsep-konsep penelitian dalam menafsirkan
hasil analisis bahan-bahan hukum bersifat normatif-preskriptif, bertujuan
menghasilkan, menstrukturkan dan mensistematisasi teori-teori yang menjadi
dasar untuk pengambilan kesimpulan,46
sehingga tujuan akhir penelitian hukum
ini dapat tercapai, yaitu ditemukannya jawaban permasalahan mengenai
perlindungan konsumen lembaga jasa keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).
46 M. Van Hoecke, dan Bernard Arief Sidharta, 2001, Refleksi tentang Struktur Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 154-155.