Abstrak -...

12
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598 http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online) 587 KERETA API SEBAGAI SARANA TRANSPORTASI MILITER KOLONIAL BELANDA DALAM PERANG ACEH (Suatu Kajian Historis dan Ekonomi di Pantai Timur Aceh Tahun 1900-1942) Drs. Usman, M.Pd dan Drs. Rachmatsyah, M.Pd Universitas Samudra 2017 Email: [email protected] Abstrak Perintisan kereta api Aceh pada tahun 1874 bagian dari usaha penaklukkan wilayah Aceh untuk menjadi wilayah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Walaupun berbagai reaksi dari gerilyawan Aceh pada masa-masa awalnya, transportasi kereta api satu-satunya sarana penting di bidang angkutan militer kolonial dan bersamaan dengan sistem Lini Konsentrasi. Ruang lingkup kegiatan kereta api masih terbatas yaitu Ulee Lheue, Kutaraja, Lam Nyong, Keutapang dan Indrapuri hingga Seulimuem. Pada tahun 1898, sewaktu Van Heutsz menjadi Gubernur Militer dan Sipil Aceh jalu rel kereta api diperlebar dari Seulimuem ke Padang Tiji, Sigli (1900), Lhokseumawe (1901), Idi dan Langsa (1903) sampai Kuala Simpang (19012). Pembukaan dari jalur barat ke pantai Timur Aceh merupakan bagian dari politik pasifikasi Belanda, selain usaha untuk penaklukkan wilayah atau penguatan kekuasaan Belanda juga kereta api lebih berfungsi menjadi sarana angkutan hasil perkebunan, perdagangan dan militer serta transportasi umum bagi masyarakat. Beberapa rumusan masalah yaitu (1) bagaimana usaha pemerintah kolonial Belanda merintis pembangunan transportasi jalan (rute) kereta api di masa konsentrasi lini dan pasifikasi di Aceh?, (2) bagaimana peran dan atau fungsi kereta api militer dalam pengembangan transportasi hasil bumi maupun angkutan umum di bidang ekonomi di masa pemerintah kolonial Belanda di Aceh (1900-1942)? dan (3) bagaimana dampak dari aktivitas perkeretaapian di Aceh bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di masa pemerintah kolonial Belanda (1900-1942)?. Penelitian ini untuk mengkaji peran penting keserta sebagai transportasi militer pada masa kolonial Belanda (1900-1942) dengan scoup adalah wilayah pantai Timur Aceh (Idi, Langsa, Tamiang dan Pangkalan Susu). Komponen yang akan dikaji meliputi; (1) kereta api Aceh Tram sebagai sarana transportasi angkutan hasil perkebunan dan industri, (2) kereta api Aceh Tram sebagai sarana angkutan barang dan penumpang umum, dan (3) dampak perkembangan kereta api Aceh Tram di masyarakat. Penelitian ini menggunakan metoda analisis historis dengan studi mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, monomen atau peninggalan sejarah. Juga melalui teknik mewawancara dan studi kepustakaan atau dokumentasi akan dikaji dan ditafsirkan dengan masalah penelitian. Secara detail analisis data adakan dilaksanakan beberapa tahapan. Pertama reduksi data merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhaaan, abstraksi data kasar yang ada dalam catatan lapangan. Reduksi data ini akan berlangsung terus selama pelaksanaan penelitian. Kedua sajian data adalah suatu kegiatan untuk menyajikan data yang diperoleh dalam bentuk cerita yang sistematis, kronologis dan mudah untuk dimengerti serta dipahami. Ketiga verifikasi/ penarikan simpulan merupakan komponen analisis yang memberikan ekspanasi secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan. Hasil penelitian menunjukkan bawa kereta api salah satu dari bagian transportasi darat pada masa pemerintah kolonial Belanda menjadi transportasi angkutan hasil perkebunan getah, sawit dan angkutan perdagangan antar kota dan wilayah dengan basisnya adalah sejumlah stasiun-stasiun yang menjadi pusat bongkar-muat barang dan naik turun penumpang. Di bidang angkutan hasil bumi seperti pada tahun 1939 tercatat kereta api Aceh Tram mengangkut ekspor minyak sawit yaitu 244.000 ton dan petroleum 4.000 ton, kayu arang 6.000 ton. Barang dagangan pada 1940 menjadi 24.000 ton dan tahun 1941 mencapai 36.000 ton. Sedang angkutan penumpang pada tahun 1914 sekitar 3.000 orang dan tahun 1926 berkisar 4.378 orang penumpang umum untuk wilayah Aceh Demikian hal dampak dari kereta api yaitu sudah melahirkan kota-kota perdagangan baru di pantai Timur Aceh Idi, Langsa dan Kuala Simpang. Berdasarkan hasil penelitian, diajukan beberapa sarata. Pertama harapkan kepada pemerintah Pusat dalam rangka menyusun perencanaan transportasi darat, seyogianya tetap memperhatikan faktor tata guna lahan/ jalan yang berkaitan dengan akses jaringan, lokasi/ tempat tujuan perjalanan, distribusi perjalanan penentuan alternatif moda/ jenis angkutan, pengaturan alternatif rute lalulintas transportasi, dan arus pada jaringan transportasi. Kedua untuk pemerintah Propinsi Aceh bahwa kereta api bagian dari transportasi darat mampu mendukung perkembangan ekonomi rakyat Aceh, karena moda/ jenis angkutan ini mampu merangsang pertumbuhan perdagangan ke arah yang lebih baik dan mampu mensejahterakan penduduk daerah-daerah terpencil dengan harga terjangkau, bila menggunakan kereta api hendak berpegian antara kota dan propinsi. Keywords: Kajian Transportasi Kolonial Belanda di Pantai Timur Aceh.

Transcript of Abstrak -...

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

587

KERETA API SEBAGAI SARANA TRANSPORTASI MILITER

KOLONIAL BELANDA DALAM PERANG ACEH

(Suatu Kajian Historis dan Ekonomi di Pantai Timur Aceh Tahun 1900-1942)

Drs. Usman, M.Pd dan Drs. Rachmatsyah, M.Pd

Universitas Samudra 2017

Email: [email protected]

Abstrak

Perintisan kereta api Aceh pada tahun 1874 bagian dari usaha penaklukkan wilayah Aceh untuk

menjadi wilayah Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Walaupun berbagai reaksi dari gerilyawan Aceh pada

masa-masa awalnya, transportasi kereta api satu-satunya sarana penting di bidang angkutan militer kolonial dan

bersamaan dengan sistem Lini Konsentrasi. Ruang lingkup kegiatan kereta api masih terbatas yaitu Ulee Lheue,

Kutaraja, Lam Nyong, Keutapang dan Indrapuri hingga Seulimuem. Pada tahun 1898, sewaktu Van Heutsz

menjadi Gubernur Militer dan Sipil Aceh jalu rel kereta api diperlebar dari Seulimuem ke Padang Tiji, Sigli

(1900), Lhokseumawe (1901), Idi dan Langsa (1903) sampai Kuala Simpang (19012). Pembukaan dari jalur barat

ke pantai Timur Aceh merupakan bagian dari politik pasifikasi Belanda, selain usaha untuk penaklukkan wilayah

atau penguatan kekuasaan Belanda juga kereta api lebih berfungsi menjadi sarana angkutan hasil perkebunan,

perdagangan dan militer serta transportasi umum bagi masyarakat. Beberapa rumusan masalah yaitu (1)

bagaimana usaha pemerintah kolonial Belanda merintis pembangunan transportasi jalan (rute) kereta api di masa

konsentrasi lini dan pasifikasi di Aceh?, (2) bagaimana peran dan atau fungsi kereta api militer dalam

pengembangan transportasi hasil bumi maupun angkutan umum di bidang ekonomi di masa pemerintah kolonial

Belanda di Aceh (1900-1942)? dan (3) bagaimana dampak dari aktivitas perkeretaapian di Aceh bagi kehidupan

sosial dan ekonomi masyarakat di masa pemerintah kolonial Belanda (1900-1942)?.

Penelitian ini untuk mengkaji peran penting keserta sebagai transportasi militer pada masa kolonial

Belanda (1900-1942) dengan scoup adalah wilayah pantai Timur Aceh (Idi, Langsa, Tamiang dan Pangkalan

Susu). Komponen yang akan dikaji meliputi; (1) kereta api Aceh Tram sebagai sarana transportasi angkutan hasil

perkebunan dan industri, (2) kereta api Aceh Tram sebagai sarana angkutan barang dan penumpang umum, dan

(3) dampak perkembangan kereta api Aceh Tram di masyarakat. Penelitian ini menggunakan metoda analisis

historis dengan studi mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat

kabar, majalah, prasasti, monomen atau peninggalan sejarah. Juga melalui teknik mewawancara dan studi

kepustakaan atau dokumentasi akan dikaji dan ditafsirkan dengan masalah penelitian.

Secara detail analisis data adakan dilaksanakan beberapa tahapan. Pertama reduksi data merupakan

proses seleksi, pemfokusan, penyederhaaan, abstraksi data kasar yang ada dalam catatan lapangan. Reduksi data

ini akan berlangsung terus selama pelaksanaan penelitian. Kedua sajian data adalah suatu kegiatan untuk

menyajikan data yang diperoleh dalam bentuk cerita yang sistematis, kronologis dan mudah untuk dimengerti

serta dipahami. Ketiga verifikasi/ penarikan simpulan merupakan komponen analisis yang memberikan ekspanasi

secara sistematis sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan.

Hasil penelitian menunjukkan bawa kereta api salah satu dari bagian transportasi darat pada masa

pemerintah kolonial Belanda menjadi transportasi angkutan hasil perkebunan getah, sawit dan angkutan

perdagangan antar kota dan wilayah dengan basisnya adalah sejumlah stasiun-stasiun yang menjadi pusat

bongkar-muat barang dan naik turun penumpang. Di bidang angkutan hasil bumi seperti pada tahun 1939 tercatat

kereta api Aceh Tram mengangkut ekspor minyak sawit yaitu 244.000 ton dan petroleum 4.000 ton, kayu arang

6.000 ton. Barang dagangan pada 1940 menjadi 24.000 ton dan tahun 1941 mencapai 36.000 ton. Sedang

angkutan penumpang pada tahun 1914 sekitar 3.000 orang dan tahun 1926 berkisar 4.378 orang penumpang

umum untuk wilayah Aceh Demikian hal dampak dari kereta api yaitu sudah melahirkan kota-kota perdagangan

baru di pantai Timur Aceh Idi, Langsa dan Kuala Simpang.

Berdasarkan hasil penelitian, diajukan beberapa sarata. Pertama harapkan kepada pemerintah Pusat

dalam rangka menyusun perencanaan transportasi darat, seyogianya tetap memperhatikan faktor tata guna lahan/

jalan yang berkaitan dengan akses jaringan, lokasi/ tempat tujuan perjalanan, distribusi perjalanan penentuan

alternatif moda/ jenis angkutan, pengaturan alternatif rute lalulintas transportasi, dan arus pada jaringan

transportasi. Kedua untuk pemerintah Propinsi Aceh bahwa kereta api bagian dari transportasi darat mampu

mendukung perkembangan ekonomi rakyat Aceh, karena moda/ jenis angkutan ini mampu merangsang

pertumbuhan perdagangan ke arah yang lebih baik dan mampu mensejahterakan penduduk daerah-daerah

terpencil dengan harga terjangkau, bila menggunakan kereta api hendak berpegian antara kota dan propinsi.

Keywords: Kajian Transportasi Kolonial Belanda di Pantai Timur Aceh.

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

588

PENDAHULUAN

Perkembangan transportasi kereta api di Aceh bersamaaan dengan usaha

Belanda meluaskan wilayah dan daerah takluknya yang sekaligus merintis transportasi

moderen yaitu kereta api Atjeh Tram sebagai alat logistik perang untuk menaklukkan Aceh

berdasarkan perjanjian Korte Verklaring. Dalam kajian Yati Nurhayati (2014), dikemukakan

bahwa pada masa pemerintahan Belanda, kereta api memiliki peran penting untuk

mengangkut barang maupun orang, dan juga kereta api berkembang sangat pesat. Belanda

bukan saja membangun rel kereta api di Pulau Jawa saja, melainkan di berbagai daerah

lainnya di Indonesia termasuk Aceh. Menurut Kartodirdjo (1978: 687), mengatakan bahwa

rancangan pembangunan jalur kereta api di Aceh (1874) ada hubungannya dengan

didirikannya Naamlooze Venootschap de Netherlandsche Spoorweg Maatschapij (N.V.

NISM), di Batavia dari pencangkulan pertama dibuka jalan rel kereta api oleh Gubernur

Jenderal Belanda Mr. LA. J. Baron Sloet van der Beele di Semarang, Pulau Jawa pada tanggal

17 Juni 1864.

Pembangunan jalur Atjehtram (Atjeh Staats Spoorweg), yaitu setelah mendapat

kosensi atau izin dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon di Batavia (pulau

Jawa: sekarang Jakarta) mengumumkan rencana pembangunan jalur kereta api dengan lebar

lintasan dari 1.067 mm, pada jalur Ulee Lheue sebagai debarkasi kereta api yang akan

dibangun di laut dengan Kutaraja, yang diprakarsa oleh Gubernur Jenderal J.L.J.H. Pel

dengan pangkat Civiel en Militair Bevelhebber (menggantikan van Swieten) berkuasa di

Aceh (Sufi, 2001: 26 dan Jacob, 1960: 37).

Kereta api Aceh dikenal tempo dulu namanya Atjehtram selama masa periode

1874-1885, hal mana aktivitas sosial ekonomi dan kemasyarakat belumlah nampak

fungsinya. Tetapi kereta api sangat berperan penting dalam kegiatan sarana pengangkutan

militer menjadi perioritas utama sebagai alat perang bagi pemerintah Belanda. Namun kereta

api Deli Spoorweg Maaschappij (DSM) dibawah perusahaan pihak swasta difasilitasikan

sebagai transportasi angkutan hasil perkebunan termbakau di Deli pada tahun 1886.

Demikian halnya dengan kereta api di Pulau Jawa bahwa peran perkeretaapian sebagai alat

pengangkutan hasil bumi (teh dan gula dan tembakau).

Dalam perkembangannya perkeretaapian Aceh sekitar tahun 1886-1900, di masa

Gubernur Jenderal Van Huetz, ditandai oleh kegiatan pembangunan jalur sambungan dari

Kutaraja ke Indrapuri, dan untuk kelancaran rute atau jalan rel Aceh Besar dan Seulimuem.

Rel sambungan dari Lembah Seulawah ke Pidie, Gubernur Aceh Van Huetz terus

membangun jalan rel kereta api ke pantai Utara dan Timur Aceh (Idi, Langsa dan Tamiang).

Dalam masa ini juga, aktivitas gerilyawan Mujahidin masih sering mengganggu atau

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

589

membongkar sepur kereta api disepanjang rel-rel. Seperti tercatat 1903 di Keuereutoe Lhok

Sukon oleh gerakan Chik di Tunong Aceh Utara (Sou’yb, 1962: 10). Tetapi peran penting

Atjeh Tram, masih tetap sebagai alat angkutan amunisi dan militer, dalam upaya penyatuan

wilayah dibawah kekuasaan Belanda dan angkutan komoditas hasil perkebunan rakyat di

pantai Timur Aceh (lada, beras, dan arang) dan bersamaan dengan pelaksanaan pasifikasi

untuk mensejahterakan rakyat Aceh di bidang perekonomian.

Dengan dibangunnya jalur transportasi kereta di Aceh, tentu sudah membuka

babak baru yang dikenal adalah “Politik Pasifikasi” (perdamaian Aceh). Fungsi kereta api

selain angkutan logistik perang Belanda, juga dapat dijadikan sarana angkutan hasil

perkebunan dan transportasi umum untuk masyarakat untuk pemulihan keamanan dan

percepatan ekonomi rakyat Aceh (Langsa, 2014: 180). Dengan meningkatnya ekspor hasil

perkebunan pantai Timur Aceh yang dipasarkan ke Eropa, dan telah mendorong laju

percepatan jaringan kereta api yang menghubungkan antara daerah-daerah perkebunan di

pantai Timur Aceh-Sumatera (Kartodirdjo, 1978: 687).

Selain itu, tidak hanya hasil perkebunan tetapi produksi minyak sawit dan

pertanian pada dua dasawarsa di pantai Timur Aceh (Idi, Peureulak, Langsa dan Tamiang),

juga masih memperoleh keuntungan untuk pemerintah kolonial Belanda dan mengalami

peningkatan yang signifikan. Hal ini juga sebagaimana dikemukakan oleh Ismail (1989: 18)

bahwa pada tahun 1939 karet mencapai 15,634596 ton, minyak 13,052,009 ton serta kelapa

sawit 2,626,950 ton diangkut dengan kereta api ke Sumatera Timur. Selama dua puluh tahun

(1922-1942) adalah masa kejayaan kereta api di Aceh dengan Deli trans Sumatera.

Perusahaan kereta api Aceh (Atjehram) berada dibawah koordinasi Straat Spoort (SS)

berpusat di Bandung dikelola sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda (Hasjim, 2015: 72).

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

590

PEMBAHASAN

A. Kereta api Aceh Tram sebagai sarana Transportasi Angkutan Hasil Perkebunan

dan Industri

Berdasarkan sumber data penelitian bahwa Pasca tertawannya sultan

Muhammad Daudsyah 1903, Gubernur Aceh van Heutsz berhasil merangkul para uleebalang

untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah Belanda di bidang transportasi kereta api

sebagai sarana angkutan hasil bumi Aceh untuk kepentingan pemerintah kolonial, disamping

itu juga difungsikan alat penyatuan kekuasaan maupun kekuasaan politik dan daerah

takluknya. Sekalipun kereta api masih digunakan sarana vital di bidang angkutan militer,

tetapi sudah dibuka untuk umum dan sarana transportasi Angkutan Hasil Perkebunan dan

Industri.

Bersamaan dengan sudah lancar jalan atau rute kereta api di pantai Timur Aceh

pada tahun 1910, di sisi lainnya Pemerintah Belanda juga memusatkan perhatian untuk

membuka lokasi perkebunan karet dan kelapa sawit di daerah pantai Timur Aceh dan tumbuh

berdampingan dengan tanaman perkebunan tradisional rakyat. Peran angkutan transportasi

kereta api di wilayah pantai Timur Aceh berpeluang besar terutama hasil perkebunan rakyat

yaitu lada, pala dan cengkeh. Mula-mula kereta api Aceh Tram memuat hasil perkebunan

rakyat dari pusat stasiun Idi, kemudian diangkut ke stasiun pelabuhan Lhokseumawe untuk

dkirik ke luar negeri (Eropa). Hasil kajian dari Nazaruddin Syamsuddin (1999: 21)

dikemukakan bahwa kereta api Aceh Tram di pantai Timur Aceh menjadi sarana angkutan

hasil perkebunan rakyat, seperti lada, yang merupakan komoditi tradisional bagi rakyat Aceh

yang pernah jaya dahulu, pada tahun 1918 sebesar 4.000 ton mendekati 2.700 ton, pada tahun

1921 dan tahun 1937 sekitar 990 ton, di ekspor ke luar negeri. Di samping hasil perkebunan

tradisional rakyat, transpostasi kereta api Aceh Tram mengangkut pula hasil perkebunan

modern (getah dan sawit) serta hasil industri seperti minyak dan arang.

Gambar: 12. Transportasi Atjeh Staats Spoorwegen (ASS) Tahun 1912-1939

Sumber: Meuseum Aceh dan Photo Koleksi Peneliti (2017). Kereta api Aceh Tram sebagai

angkutan hasil perkebunan (getah, sawit, lada), industri (minyak bumi/petroleum

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

591

dan arang) pertanian (beras dan pinang, kayu, kopra). Pusat pelaksanaan

manajemen komoditi perkebunan untuk mendistribusikan hasilnya yaitu pada

kantor pusat administrasi perkebunan swasta kolonial Belanda “Het

Kantoorgebouw Der Atjehsche Handel Maatschappij Te Langsa 1912-1939”,

terletak di kota Langsa (sekarang Balai Juang/Kantor Perencanaan),

berdampingan dengan stasiun kereta api Langsa dan kantor itu pusat dari segala

aktivitas hasil perkebunan getah dan sawit berasal dari wilayah Simpang Ulim,

Idi, Peureulak sampai ke Tamiang di bawah koordinasi Kebun Lama dan Baru.

Selain pusat pendistribusian dari Kota langsa, ada gudang-gudang kecil lainnya

untuk penyimpanan karet/ getak di pantai Timur Aceh yaitu di Bukit Tinggi

Tualang Cut (Lhok Medang Ara), yang terletak di belakang SMAN Unggul

Tualang Cut-Tamiang. Gudang ini berdekatan dengan hatle kereta api Bukit

Tinggi dan pusat langsir barang-barang dari Matang Ara Jawa, Paya Keutenggar,

dan Manyak Payet pada masa kolonial Belanda (1900-1942). Di gudang ini

menyimpang karet/ getah juga tempat pembuat latek, yang diangkut oleh kereta

api ke Pangkalan Susu yang dikapalkan dan dikirim ke Eropah. Ada juga melalui

pelabuhan Langsa Bay.

Berdasarkan hasil kajian selama penelitian bahwa terutama angkutan

transportasi hasil perkebunan tradisional rakyat, serta perkebunan modern. Kereta api

angkutan getah dimuat dalam jumlah set atau bal masing-masing beratnya 3 kg dan 150-200

kg. Getah tersebut, yang diambil dari kebun baru wilyahnya mencakup; Geudubang Aceh,

Sidodadi, Bukit Tiga di bawah kontrol Aleu Canang dan Aleu Buloih. Kantor pusat

administrasi perkebunan swasta kolonial Belanda terletak di kota Langsa (sekarang Balai

Juang/Kantor Perencanaan), dan kantor itu pusat dari segala aktivitas hasil perkebunan getak

dan sawit berasal dari wilayah Simpang Ulim, Idi, Peureulak sampai ke Tamiang di b. awah

koordinasi Kebun Lama dan Baru (Wawancara dengan Usman Hamid, 25 September 2017).

Berkisar dari hasil tanaman perkebunan modern yang diangkut dengan kereta

api Aceh Tram milik militer pemerintah kolonial Belanda, yaitu sejak tahun 1920 sudah

dibuka 25 perusahaan untuk menanam sawit di Deli Sumatera Timur, dan 8 di pantai Timur

Aceh (Tamiang, Langsa, Idi dan Simpang Ulim. Pada tahun 1939 tercatat 66 perkebunan

dengan luas areal 100.000 hektar. Dari sejumlah perusahaan tersebut sudah menghasilkan

ekspor minyak sawit Aceh dan Deli yaitu 1.000 ton (1920); 50.000 ton (1930) dan 244.000

ton (1939). Tidak hanya kereta api membawa minyak kelapa sawit, juga mengangkut hasil

tanaman teh yang mampu memproduksi hasilnya adalah 48.000 ton tahun 1920, 72.000 ton

tahun 1930 dan 83.000 ton tahun 1939 (Abdul Ghani, 2016: 29). Di samping itu kereta api

Aceh, juga berfungsi mengangkut hasil indusri minyak bumi dan kayu, serta arang.

Diantaranya petroleum 4.000 ton, kayu 11.000 ton, dan kayu arang 6.000 ton Caspersz, 1927:

36).

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

592

B. Kereta Api Aceh Tram sebagai sarana Angkutan Barang dan Penumpang Umum

Hasil penelitian fungsi kereta api Aceh Tram, dibawah koordinasi zeni militer di

bidang angkutan barang dan penumpang umum, dalam rangka percepatan pertumbuhan

ekonomi rakyat dan bersamaan dengan pelaksanaan politik pasifikasi (percepatan

perdamaian dan keamanan Aceh), pemerintah kolonial Belanda membangun proyek irigasi

pertanian diperuntukkan seluas 140.000 hektar sawah dan 6.000 hektar huma, yang

kesemuanya menghasilkan 216.000 ton beras. Diantara 2.000 ton beras dikirim ke Sumatera

Timur (Deli) dengan menggunakan transportasi kereta api Atjehtram, yang diambil dari

Pidie, Aceh Utara, Gayo Lues dan Aceh Timur. Pada tahun 1940 menjadi 24.000 ton dan

tahun 1941 mencapai 36.000 ton (Syamsuddin, 1999: 21). Adapun angkutan barang lainnya

yang diangkut dengan kereta api Aceh Tram yaitu biji pinang 12.000 ton, kopra 3.000 ton,

ternak 3.000 ton, gula 2.000 ton, dan lada 2.000 ton (Sufi, 2001: 30).

Gambar: 13. Kereta Api Angkutan Barang dan Penumpang (1900-1942)

Sumber: Pustaka Kuala Simpang dan Meseum Aceh (10 September 2017). Gerbong kereta

api di wilayah pantai Timur Aceh terdiri gerbong barang dan gerbong penumpang

umum yang sedang memuat barang-barang dan angkutan penumpang untuk

melakukan perjalanan, dan salah seorang machines lokomotif (berdiri di tengah

jalan rel kereta api dan berpakaian putih serta memakai topi.

Di samping sarana angkutan barang, kereta api Aceh Tram berfungsi sebagai

sarana angkutan para penumpang umum. Data hasil penelitian diperoleh bahwa sebagai

sarana angkutan penumpang pada tahun 1914 mengangkut sekitar 3.000 orang penumpang.

Sedangkan pada tahun 1926, kereta api Aceh Tram mengangkut sejumlah 4.378 orang

penumpang umum untuk wilayah Aceh (Syamsuddin, 1999: 20). Mengenai aturan dalam

perjalanan kereta api angkutan umum ditentukan oleh gubernur militer dan sipil Aceh dan

daerah takluknya. Di pantai Timur Aceh untuk lintas pelabuhan Langsa-Kuala langsa

berlangsung dengan 4 kereta api pulang pergi. Dari Langsa menuju Kuala Simpang orang

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

593

bisa menempuh dengan kereta api kira-kira ½ jam dengan kereta api cepat selama lima belas

menit. Penumpang pada jalur ini bisa lima kali berangkat dan pergi (Sufi, 2001: 27).

Untuk setiap penumpang bila naik kereta api berkewajiban memperoleh karcis

dari stasiun yang hendak berangkat. Tiap-tiap penumpang yang berangkat dari sesuatu

tempat menjual karcis, yaitu stasiun ada dijual karcis dan berkewajiban sebelum ia menaiki

kereta api (trein), membeli karcis di loket, karcis mana yang laku buat penumpang yang akan

dijalaninya, klass yang akan didudukinya dan kereta api yang akan diberangkatnya. Bila

penumpang naik pada stasiun yang tidak dijula karcis, hendaklah membeli karcis itu dalam

kereta api pada kondektur.

Gambar: 14. Model Karcis Treim zaman Hindia Belanda tahunn 1930.

Sumber: Wetseb Elektronic, 11 September 2017. Karcis penumpang bila naik kereta api antar

kota dan daerah ada model kelas I, III dan III. Kalau seseorang penumpang yang

tidak mempunyai karcis yang laku, untuk menaiki kereta api pada suatu tempat

mennjual karcis, maka hendaklah ia membanyar harga vracht (muatan) mulai dari

stasiun dimana ia menaiki kereta api itu hingga pada tempat yang ditujukannya,

ditambah lagi dengan f 0 25 buat kelas tiga dan “Kelas 3 Bumiputra”. Kalau

penumpang itu waktu naik lekas dengan kemauan sendiri memberikan tahukan

kepada kondektur, bahwa ia tidak mempunyai karcis yang laku, maka banyaklah

tambahan itu hanya f 0.25 dan f 0.10 (Den, 1931: 4).

Untuk lintas pelabuhan Langsa-Kuala Langsa, sesuai dengan keadaan bahwa

penduduk yang tinggal disekitar Kuala Langsa bekerja di Langsa, maka berlaku tarif khusus

yang rendah bagi mereka. Sedangkan tarif barang dikenakan bagi barang-barang yang

pengirimannya dihitung berdasarkan daya muat di dalam gerbong maupun barang-barang

yang ongkos pengangkutannya dihitung berdasarkan jumlah barang. Dasar tarif untuk

angkutan barang terbatas untuk daya muat 4 ton, Sebagai tarif minimum ditetapkan £ 3,;

untuk jarak angkutan minimal 13 km, £ 15 28,- untuk 60 km, £ 21,- untuk 100 km, £ 25 untuk

150 km, £ 27,- untuk 200 km, £ 28,- untuk 225 km (Sufi, 2001: 28).

Sementara di dalam penelitian Van Den diterangkan tarif Aceh-Deli seperti

halnya lintas Langsa-Kuala Simpang tarif angkutan £ 11,35 sen untuk klas II. Untuk lintas

Langsa-Besitang tarifnya £ 2,16 sen, dan lintas Langsa-Pangkalan Susu £ 11,27 sen.

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

594

Sedangkan lintas Deli-Pangkalan Brandan-Tanjung Pura masing-masing adalah £ 11,5 sen

dan £ 10,34 sen (van Den, 1931: 20).

Angkutan kereta api Aceh Tram antara tahun 1920-1942, menjadi transportasi

primadona baik angkutan umum maupun jasa lainnya. Selain angkutan penumpang umum/

sipil, sarana kereta api tidak terbatas pada angkutan hasil bumi dan umum hanya hanya untuk

angkutan militer dan kepentingan politik kolonial Belanda. Seperti di masa Gubernur

Sipil/Militer H.N.A. Swaart tetap memfungsikan kereta api sarana transportasi pemerintah

dan umum di bawah koordinasi Dinas Zeni militer Belanda. Sebagai alat kekuasaan bahwa

peran penting kereta api sarana angkutan pasukan militer yang ditempatkan diseluruh Aceh

sampai perbatasan Deli. Sebanyak 154 perwira dan 4.359 tentara bawahan yang diangkut

dengan kereta api dan ditempat pada setiap korps-korps departemen penerangan militer pada

tahun 1918. Terutama di antara wilayah-wilayah pantai utara dan pantai timur Aceh dengan

rute yang dilalui kereta api ditempat 14 pos (bivak) dan diperkuat kekuatan militer yaitu 54

perwira tinggi dan 1.408 serdadu/prajurit bawahan ditempatkan di Aceh. Sedangkan untuk

100 orang perwira dan 2.951 prajurit bawahan tersebut memperkuat wilayah pantai barat,

selatan dan pedalaman Aceh (Bakar, 1979:12-13).

C. Dampak Perkembangan Kereta Api Aceh Tram di Masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa pembangunan rute kereta api di pantai Timur

Aceh bersamaan dengan perkembangan perkebunan dan perusahaan milik swasta kolonial

Belanda di Tamiang, Langsa, Idi dan Simpang Ulim tahun 1910. Kereta api sebagai alat

transportasi darat telah mendorong perkembangan ekonomi dari pola tradisional berubahan

menjadi transportasi modern di bidang angkutan hasil bumi di pantai Timur Aceh. Lintasan

re kereta api yang dibangun sepanjang 210 km di daeran ini untuk memperlancar distribusi

hasil perkebunan dan perusahaan dari pedalaman dengan Langsa Bay sebagai pusat

perdagangan internasional ekspor ke luar negeri. Menurut kajian Langsa (2014: 180)

dikemukakan bahwa “pemberdayaan ekonmi masyarakat Langsa melalui pembangunan

modernisasi bagi infrastruktur perkeretaapinan dan pelabuhan untuk kepentingan kolonial

dengan program Langsa Bay, membuka investasi yang seluas-luasnya dibidang perkebunan

karet khususnya untuk investor swasta Eropa”

Penanaman modal swasta asing dan pembangunan jaringan jalan kereta api

tersebut di pantai Timur Aceh, tentunya akan membawa dampak yang sangat mendasar pada

pola modernisasi pemukiman kota, dan program itu beriringan dengan pelaksanaan politik

pasifikasi tujuannya adalah untuk percepatan pertumbuhan ekonomi rakyat Aceh. Terutama

dari kalangan para uleebalang, pedagang, pejabat pemerintah kolonial Belanda dan semua

orang kecuali para nelayan yang tinggal di pesisir pantai, mulai bangkit membuka lahan-

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

595

lahan baru dan perdagangan ala modern antara kota di pantai Timur Aceh. Di samping itu

telah mendorong terjadinya perpindahan penduduk yang pada mulanya bermukim di dekat

ke kota-kota strategis yang terletak sekitar di rute atau jalan kereta api dan sudah membaur

antara masyarakat dari luar Aceh dengan penduduk asli yang berada di kota-kota

perdagangan. Juga lahir pemukiman baru seperti di kota langsa muncul perkampungan etnis

jawa yaitu Gampong Kebun Lama dan Kebun Baru (Wawancara Usman Hamid, 25

September 2017). Proses urbanisasi (perpindahan penduduk) sebagai akibat kemajuan

transportasi rute kereta api, dan dampak perpindahan penduduk dari desa ke kota dan

transmigrasi dari luar Aceh. Proses ini melahirkan kota-kota perdagangan baru di pantai

Timur Aceh. Kota-kota perdagangan yang ada sebelum pembukaan rute atau jalan rel kereta

api mulai berubah dan pindah ke tempar sekitar jalan yang dilalui kereta api. Etnis dari luar

Aceh dari Pulai Jawa dan Sumatera Barat membangun pemukiman baru di Kuala Simpang

ada gampong perdamaian, dan di Idi ada gampong Jawa.

Dampak lainnya di bidang infrastruktur dengan adanya pembangunan jalan

kereta api sudah mempermudah angkutan hasil perkebunan di Medang Ara, Sungai Yu,

Sungai Liput, Langsa dan Idi sampai Simpang Ulim. Sehingga wilayah ini menjadi

perkebunan besar yang berperan penting sebagai pusat transportasi kereta api Aceh Tram,

sehingga perusahaan Atjeh Staats Spoorwegen(ASS) sebagai satu-satunya perusahaan

transportasi pada waktu itu berkembang cepat menjadi jaringan kereta api perdagangan Aceh

yang menghubungan dengan Deli dalam sektor perkonomian pemerintah di Hindia Belanda.

Selain itu juga membawa dampak dalam aspek sosial yaitu masyarakat mengenal sistem

manajemen perusahaan kereta api, machines, kondektur, kerani dan kuli (buruh) yang bekerja

pada perusahaan perkeretaapian. Bahkan hilangnya pekerjaan kerajian masyarakat di bidang

transportasi tradisonal rakyat (rakit dan jembatan kayu serta angkutan kuda) beralih ke sistem

yang lebih maju dan modern dengan menggunakan jalur angkutan darat melalui transportasi

kereta api yang berjalan di atas jalan baja.

Akibat dari bebasnya jalur kereta api Aceh sampai ke Deli membawa dampak

buruk kepada pemerintah kolonial Belanda sendiri yaitu masuknya pengaruh pergerakan

kebangsaan dari Pulau Jawa dan sekaligus bangkitnya gerakan “Persatuan Ulama Seluruh

Aceh” (PUSA) pada tahun 1939, yang anti terhadap pemerintah Belanda dan melakukan

perlawanan. Pihak PUSA dan pemuda PUSA di pantai Timur Aceh bersama rakyat Aceh dan

organisasi Syarikat Islam (SI) cabang Idi, Langsa dan Kuala Simpang pada tahun 1942,

melakukan pemberontak terhadap pemerintah Belanda dan serdadu-serdadunya dari Groot

Aceh (Aceh Besar) dan Aceh utara dengan jalan melakukan pembunuhan terhadap Kepala

Exploitasi ASS (Atjeh Staats Spoorwegen/ Kepala Kereta Api Negara Aceh) di Kutaraja,

Controleur di wilayah Seulimuem dan Asisten Residen di Sigli (Ismuha, 1969: 36). Pejabat

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

596

Belanda meninggalkan Aceh dan Deli, sementara kereta api beralih ke tangan rakyat dan

dijadikan sarana angkutan umum dan bekerjasama dengan pendudukan Jepang.

PENUTUP

Pembangunan rute atau jalan rel kerta api di Aceh bersamaan dengan perluasan

kekuasaan dan daerah takluknya oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1874, di masa

Gubernur Aceh Pel yang berawal dari Ulee Lheue-Kutaraja. Perintisan untuk kepentingan

pengiriman militer Belanda ke kantong-kantong gerilyawan dengan membentuk Konsentrasi

Lini, tujuannya adalah untuk menahan aksi penyerangan dari kelompok Chik Di Tiro sampai

1897. Dalam rangka mengejar kelompok gerilyawan di seluruh Aceh, sejak tahun 1900 pada

masa Gubernur Aceh Van Heutsz menggagaskan rute atau jalan rel kereta api sejalan dengan

pelaksanaan politik pasiifikasi (percepatan keamanan dan pertumbuhan ekonomi rakyat)

sampai ke pantai Timur Aceh.

Van Heutsz sesudah memaksa para uleebalang dengan Korte Verklarig

(perjanjian singkat), baru membangun jalan kereta api mulai dari Sigli, Lhokseumawe, Idi,

Langsa sampai berhasil menawan sultan Aceh Muhammad Daud Syah tahun 1903. Jalan

kereta api dibangun bersamaan dengan pembangunan stasiun, hatle dan jembatan serta

pelabuhan pantai yang fungsinya untuk memperlancar lalulintas militer, pengusaha asing

guna membuka perkebunan-perkebunan besar, dan juga dibuka untuk umum di pantai Timur

Aceh, yang diresmikan 29 Desember 1919.

Peranan penting perkeretaapian Aceh Tram di pantai Timur Aceh disamping

kepentingan poliitik dan militer, kereta api diperuntukkan pula sebagai sarana angkutan hasil

perkebunan rakyat, hasil tanaman modern (getah dan sawit), industri (pretroleum), kayu,

arang dan hasil pertanian beras, kopra, dan kopi. Segala hasil produksi perkebunan, industri

dan pertanian dari stasiun-stasiun besar, dan hatle di pantai Timur Aceh diangkut ke

pelabuhan Kuala Langsa, dan Pangkalan Susu dan selanjutnya diekspor ke luar negeri untuk

mengisi kas pemerintah Hindia Belanda, yang berlandaskan kepada kepentingan kolonial dan

modus tujuan politik pasifikasi untuk percepatan ekonomi rakyat Aceh.

Di samping itu, juga lancarnya lalulinitas transportasi kereta api dan sudah

membawa perubahan besar di kalangan masyarakat Aceh, yaitu berdampak pola transportasi

transional menjadi modern, berkembangannya kota-kota strategis dalam kegaiatan

perdagangan, munculnya pemukiman baru serta bangkit gerakan anti pemerintah kolonial

Belanda dibawah pimpinan PUSA tahun 1939, sehingga Belanda pada tahun 1942

meninggalkan Aceh dan seluruh Kepulauan Indonesia, setelah itu dikuasai oleh Jepang

(keluar aning masuk babi).

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

597

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo, 2010. Dasar-Dasar Ekonomi Transportasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Anon, 1978. Kereta api Indonesia, Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Bakar, Aboe. 1979, Arsip. Memori Umum Daerah Aceh oleh Gubernur H.N.A. Swart dan

Memori Serah terima jabatan Gubernur A.H. Philips. Banda Aceh: PDIA.

Broersma, R,. 1925. Atjeh Als Voor Handel en Berdrijf. Utrecht-Gebrs. Cohen.

Seminar Nasional Masa Depan Perkeretaapian di Indonesia. Universitas Soegijopranoto,

Semarang, 17 Februari 2004.

Depdikbud, 1977/1978. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh:

Proyek Penelitian dan pencatatan Kebudayaan Daerah.

Direktorat Perkeretaapian (2008), Kinerja Perkeretaapian 2003-2007. Jakarta: Direktorat

Perkeretaapian Departemen Perhubungan.

Gade Ismail, Muhammad, 1989. The Sosio-Economic Foyntions of Late Colonial in

Indonesia,1880-1930: towards an explanation and The Economic Position of the

Uleebalang in the Late Colonial State Aceh (East Aceh, 1900- 1942). Netherlans:

Institute for Advanced Study Wassenaar.

Gani, Muhammad. 1978. Kereta Api Indonesia. Jakarta: Departemen Penerangan Republik

Indonesia.

Gottschalk, Louis, 1975. Mengerti Sejarah. UI

Hasjim, Ibrahim, 2015. Merajuk Kejayaan Idi Rayeuk: Idi Lon Sayang: Bintang Satu Media.

Hidayat, H. & Rachmadi, 2001. Rekayasa Jalan Rel. Catatan Kuliah. Penerbit ITB. Bandung.

Jan, Bremen. 1997. Menjinakan sang Kuli: Politik kolonial pada awal abad ke-20, Jakarta:

PT Pustaka Utama Grafiti

Jakub, Ismail. 1960. Teungku Tjhik Di Tiro (Muhammad Saman) Pahlawan Besar Dalam

perang Atjeh (1881-1891). Djakarta: Bulan Bintang.

Kereta Api Indonesia, 1978. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Lexy Moleong, 2010. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Lubis, Harun Al Rasyid (2002). Studi Mobilisasi Sumber Daya dalam Pengembangan

Perkeretaapian Indonesia. Bandung: PT KAI.

Miles, M.B dan Huberman, A.M, 1992. Qualitative Data Analisys, a.b. Tjejep Rohendi R,

Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Morlok, E.K. 1988. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. (alih bahasa : Ir. John

Kelana Putra Hainim). Erlangga. Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 587-598

http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)

598

Mulyana, Wdy, 2008. Menekan Kembali Saudagar Aceh. Banda Aceh: Badan Arsip dan

Perpustakaan Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.

Nurhayati, Yati, 2014. Sejarah Kereta Api Indonesia. Bandung: CV. Sahabat.

Rani, Muhammad, 1978. Sejarah Perkeretaapian Indonesia Departemen Penerangan

Republik Indonesia.

Said, Muhammad. 1995. Aceh Sepanjang Abad, Medan: PT. Percetakan Prakarsa Abadi

Press.

Sekda Kota Langsa, 2014. Menelusuri Jejak Sejarah Langsa. Langsa: Pememrintah Kota

Langsa.

Setijowamo, D, Mengembangkan Kereta Api Wisata, Dinamika Transportasi, Penerbitan

Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, 2000

Subarkah, Imam. 1981. Jalan Kereta api. Bandung : Idhea Darma.

Sufi, Rusdi, dkk, 2001. Sejarah Perkeretaapian di Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah

dan Nilai Tradisional.

Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sou’yb, Joesoef. 1962. Dipinggir Krueng Sampojnit, Medan: CV. Pustaka Aida.

Surakhmad, Winarno. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik. Bandung:

Tarsito.

Sutopo, HB, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar teori dan terapannya dalam

Penelitian). Surabaya: UNS Presss.

Thamrin Z, H.M, 2003. Aceh Melawan Penjajahan Belanda. Banda Aceh: CV. Wahana

Tim Telaga Bakti Bekerja sama dengan APKA, Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I.

Gubernur Jenderal J.L.J.H. Pel Bandung : Angkasa, 1997.

Tri Utomo, Suryo Hapsoro. jalan rel, (Yogyakarta: beta offset : 2008).

Usman, A. Rani, 2009. Etnis Cina Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan 0bor Indonesia

Van Heurn, JHR. Frans Cornelis, 1931. De Gronden van Het Cultuurgebied van Sumatra’s

Oostkust en Hunne Vruchtbaarheid Voor Cultuurgewassen. Amsterdam: J.H.

de Bussy.

Veer, Paul van't, 1969. De Atjeh-Oor log. Amsterdam: Uitgeverij De Arbeiderspres.

Widjijanto, Yudi Prasetyo. 1989. Jurnal. Perkembangan Transportasi Kereta Api di

Perkebunan Deli (Sumatera Utara) Tahun 1880-1891.Surabaya: STKIP

Sidoarjo.