Abstract 1 2006ajn

25
49 PENGARUH POLARITAS DAN KONSENTRASI EKSTRAK ANDALIMAN TERHADAP PERTUMBUHAN Bacillus cereus ABSTRAK Ekstraksi andaliman secara bertingkat dengan heksana, etilasetat dan metanol, dan masing-masing menghasilkan ekstrak nonpolar, semipolar dan polar. Ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol andaliman dapat menghambat pertumbuhan Bacillus cereus, sedangkan ekstrak heksana tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan. Secara umum ekstrak etilasetat menghasilkan penghambatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan ekstrak metanol. Fase pertumbuhan eksponensial B. cereus adalah fase yang paling peka terhadap ekstrak etilasetat dibandingkan fase adaptasi dan stasioner. Konsentrasi ekstrak etilasetat 10-50% (w/w) pada fase eksponensial menunjukkan diameter penghambatan terhadap B. cereus berkisar 12.42-19.22 mm. Nilai MIC dan MBC ekstrak etilasetat terhadap B. cereus sebesar 0.20 dan 1.20%. Aktivitas penghambatan ekstrak etilasetat lebih tinggi baik terhadap spora maupun sel vegetatif. Bila dibandingkan dengan antibiotik (penisilin G, streptomisin dan polimiksin) aktivitas antibakteri ekstrak andaliman terhadap B. cereus hanya ¼ kali lebih rendah. PENDAHULUAN Pemilihan pelarut organik yang digunakan dalam ekstraksi komponen bioaktif tanaman merupakan faktor penting dan menentukan untuk mencapai tujuan dan sasaran ekstraksi komponen. Dengan mengetahui sifat senyawa yang akan diekstraksi dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan polaritasnya. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar lebih mudah larut dalam pelarut nonpolar, sedangkan semipolar dapat larut diantara pelarut polar dan nonpolar. Derajat polaritas tergantung pada ketetapan dielektrik, semakin besar tetapan dielektrik, maka pelarut semakin polar (Houghton dan Raman 1998). Houghton dan Raman (1998) lebih lanjut mengemukakan bahwa secara umum terdapat tiga metode ekstraksi, yaitu metode maserasi, refluks dan perkolasi. Selain itu dapat dilakukan ekstraksi bertingkat dengan menggunakan pelarut yang berbeda, secara berturut-turut mulai dengan pelarut nonpolar (n-heksana, sikloheksana, toluena dan kloroform) lalu menggunakan pelarut yang semipolar (etilasetat, diklorometan dan dietileter), kemudian dengan pelarut polar (metanol, etanol dan air). Dari proses ekstraksi bertingkat seperti ini akan

Transcript of Abstract 1 2006ajn

  • 49

    PENGARUH POLARITAS DAN KONSENTRASI EKSTRAK ANDALIMAN TERHADAP PERTUMBUHAN Bacillus cereus

    ABSTRAK

    Ekstraksi andaliman secara bertingkat dengan heksana, etilasetat dan metanol, dan masing-masing menghasilkan ekstrak nonpolar, semipolar dan polar. Ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol andaliman dapat menghambat pertumbuhan Bacillus cereus, sedangkan ekstrak heksana tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan.

    Secara umum ekstrak etilasetat menghasilkan penghambatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan ekstrak metanol. Fase pertumbuhan eksponensial B. cereus adalah fase yang paling peka terhadap ekstrak etilasetat dibandingkan fase adaptasi dan stasioner. Konsentrasi ekstrak etilasetat 10-50% (w/w) pada fase eksponensial menunjukkan diameter penghambatan terhadap B. cereus berkisar 12.42-19.22 mm. Nilai MIC dan MBC ekstrak etilasetat terhadap B. cereus sebesar 0.20 dan 1.20%. Aktivitas penghambatan ekstrak etilasetat lebih tinggi baik terhadap spora maupun sel vegetatif. Bila dibandingkan dengan antibiotik (penisilin G, streptomisin dan polimiksin) aktivitas antibakteri ekstrak andaliman terhadap B. cereus hanya kali lebih rendah.

    PENDAHULUAN

    Pemilihan pelarut organik yang digunakan dalam ekstraksi komponen

    bioaktif tanaman merupakan faktor penting dan menentukan untuk mencapai

    tujuan dan sasaran ekstraksi komponen. Dengan mengetahui sifat senyawa yang

    akan diekstraksi dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan polaritasnya.

    Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar lebih

    mudah larut dalam pelarut nonpolar, sedangkan semipolar dapat larut diantara

    pelarut polar dan nonpolar. Derajat polaritas tergantung pada ketetapan dielektrik ,

    semakin besar tetapan dielektrik, maka pelarut semakin polar (Houghton dan

    Raman 1998).

    Houghton dan Raman (1998) lebih lanjut mengemukakan bahwa secara

    umum terdapat tiga metode ekstraksi, yaitu metode maserasi, refluks dan

    perkolasi. Selain itu dapat dilakukan ekstraksi bertingkat dengan menggunakan

    pelarut yang berbeda, secara berturut-turut mulai dengan pelarut nonpolar

    (n-heksana, siklo heksana, toluena dan kloroform) lalu menggunakan pelarut yang

    semipolar (etilasetat, diklorometan dan dietileter), kemudian dengan pelarut polar

    (metanol, etanol dan air). Dari proses ekstraksi bertingkat seperti ini akan

  • 50

    dihasilkan ekstrak awal (ekstrak kasar) yang mengandung berturut-turut senyawa

    nonpolar, semipolar dan polar (Hostettmann et al. 1997).

    Hasil penelitian Ardiansyah (2001) yang menggunakan ekstraksi

    bertingkat metode maserasi dan refluks dengan pelarut heksana, etilasetat, dan

    metanol menunjukkan bahwa konsentrasi 5% ekstrak etilasetat andaliman mampu

    menghambat B. cereus sebesar 7.1 mm. Selanjutnya Yasni (2001) menyatakan

    bahwa ekstrak andaliman mengandung minyak atsiri yang dapat menyebabkan

    penghambatan terhadap bakteri patogen. Hasil pengujian ekstrak yang diperoleh

    dengan metode refluks menunjukkan aktivitas penghambatan lebih rendah

    dibandingkan dengan metode maserasi (Ardiansyah 2001). Penelitian ini

    bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam pengaruh polaritas dan konsentrasi

    ekstrak andaliman terhadap aktivitas antibakteri pada beberapa fase pertumbuhan

    B. cereus dengan menggunakan metode difusi sumur.

    METODOLOGI

    Bahan dan alat

    Bahan yang digunakan adalah buah andaliman Varietas S imanuk, yang

    berasal dari Medan dan diperoleh dari Pusat Pasar Senen Jakarta. Kultur Bacillus

    cereus FNCC 134 diperoleh dari koleksi kultur Pusat Antar Universitas Pangan

    dan Gizi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

    Analisis Proksimat (Apriyantono et al. 1989)

    Pengujian proksimat yang dilakukan adalah kadar air (metode oven), kadar

    protein (metode Kjeldhal-mikro), kadar lemak (metode soxhlet), kadar abu total,

    kadar karbohidrat (by difference).

    Ekstraksi dengan Metode Maserasi (Harbone 1996)

    Ekstraksi dilakukan dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:4 (w/v).

    Proses ekstraksi dilakukan secara bertingkat dengan metode maserasi,

    menggunakan pelarut heksana untuk memperoleh ekstrak nonpolar; ampas

    diekstraksi lebih lanjut dengan pelarut etilasetat untuk memperoleh ekstrak

    semipolar; dan kemudian ampas yang diperoleh diekstraksi dengan pelarut

    metanol untuk memperoleh ekstrak polar. Secara rinci dapat dilihat pada diagram

    alir proses ekstraksi menggunakan metode maserasi (Gambar 4.1).

  • 51

    Buah Andaliman (pencucian, sortasi, pengeringan beku)

    Gambar 4.1 Diagram Alir Proses Ekstraksi Andaliman Dengan Metode Maserasi

    Ekstraksi dengan pelarut nonpolar (heksana)

    Sonikasi (15 menit)

    Ampas

    Inkubasi bergoyang suhu 370C, 24 jam

    Filtrat

    Ekstraksi dengan pelarut semipolar (etilasetat)

    Evaporasi (450C), 45 menit

    Sonikasi (15 menit)

    Inkubasi bergoyang suhu 370C, 24 jam

    Ekstrak no npolar

    Filtrat

    Evaporasi (450C), 1.5 jam

    Ekstraksi dengan pelarut polar ( metanol)

    Sonikasi (15 menit)

    Inkubasi bergoyang suhu 370C, 24 jam

    Ampas

    Filtrat

    Evaporasi (450C), 2 jam

    Ampas

    Ekstrak polar

    Ekstrak semipolar

    di ulangi

    di ulangi

    di ulangi

  • 52

    Penentuan Fase Pertumbuhan B. cereus (Lin et al. 2000)

    Sebanyak 10 l suspensi diinokulasikan ke dalam 10 ml NB (nutrient

    broth) dan diinkubasi pada suhu 370C selama 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 12, 16, 20,

    25 jam (Harrigan 1998); Lin et al. 2000). Pada setiap waktu inkubasi dilakukan

    penghitungan jumlah sel dengan metode pour plate menggunakan media NA

    (nutrient agar) (Harrigan 1998).

    Pengujian Antibakteri Ekstrak Andaliman Menggunakan Metode Difusi Sumur (Garriga et al. 1993)

    Pengujian ini menggunakan ekstrak etilasetat dan metanol masing-masing

    sebanyak 60 l ekstrak dengan konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, dan 50% (w/w). Cara

    pembuatan konsentrasi masing-masing ekstrak andaliman dapat dilihat pada

    Lampiran 2, sedangkan kontrol menggunakan pelarutnya masing-masing.

    Penentuan aktivitas antibakteri berdasarkan zona penghambatan yang ditunjukkan

    dengan diameter areal bening.

    Pengujian Kualitatif Komponen Fitokimia Ekstrak Andaliman (Harbone

    1996)

    Pengujian ini dilakukan untuk menentukan penggolongan ekstrak

    andaliman nonpolar, semipolar dan polar pada komponen alkaloid, fenol

    hidrokuinon, terpenoid, steroid, flavonoid dan saponin.

    Penentuan MIC dan MBC Ekstrak Andaliman (Kubo et al. 1995)

    Ke dalam 14 tabung ekstrak andaliman dengan konsentrasi 0.0, 0.2, 0.4,

    0.8, 1.2, 1.6, 2.0, 2.4, 2.8, 3.2, 3.6, 4.0, 5.0, dan 6.0% (w/w) diinokulasikan 30 l

    suspensi B. cereus, lalu diinkubasi 370C selama 24 dan 48 jam. Nilai MIC (%)

    yaitu konsentrasi minimum ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri

    uji sebanyak 90% selama 24 jam. Nilai MBC diperoleh dengan menentukan

    konsentrasi terendah dari 14 seri tabung uji yang menunjukkan penurunan

    pertumbuhan bakteri uji secara drastis (> 99.9%) setelah diinkubasi 48 jam

    dibandingkan dengan jumlah bakteri uji awal (nol jam).

  • 53

    Pengaruh pH terhadap Aktivitas Ekstrak Andaliman (Carson dan Riley 1995)

    Sebanyak 25 ml agar yang mengandung B. cereus pada fase eksponensial

    (106 cfu/ml) dituangkan ke dalam cawan petri hingga ketebalan 4 mm. Setelah

    agar membeku, dibuat sumur dengan diameter 6 mm dan dimasukkan 60 l

    ekstrak yang telah diatur pHnya masing-masing pada pH 4, 5, 6 dan 7. Penentuan

    pengaruh pH berdasarkan zona penghambatan yang efektif, ditunjukkan dengan

    diameter areal bening.

    Pembandingan Potensi Bakterisidal Ekstrak Andaliman dengan Streptomisin, Polimiksin B dan Penisilin G (Lin et al. 2000)

    Pengujian dilakukan dengan metode difusi sumur (Garriga et al. 1993)

    pada konsentrasi antibiotik masing-masing sebesar 10, 100, 1000 g/l (Lewis

    et al. 2004) untuk polimiksin B, streptomisin dan penisilin G, sedangkan

    konsentrasi ekstrak andaliman 4000 g/l (Ardiansyah 2001). Penentuan potensi

    bakterisidal dari ekstrak terhadap B. cereus didasarkan pada zona penghambatan

    yang ditunjukkan dengan diameter areal bening untuk masing-masing antibiotik

    dan ekstrak andaliman.

    Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Andaliman terhadap Spora (Nuraida et al. 1999)

    Suspensi B. cereus mengandung 106 cfu/ml spora/sel vegetatif diuji

    dengan metode difusi sumur (Garriga et al. 1993) dengan ekstrak uji sebanyak

    60 l. Untuk mengetahui pembentukan spora pada B. cereus terlebih dahulu

    bakteri ditumbuhkan pada suhu 37OC dan diamati pembentukan sporanya setelah

    diinkubasi 24, 48, 72 dan 96 jam.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Rendemen, Proksimat dan Sifat Fisiko Kimia Andaliman

    Hasil analisis proksimat andaliman dan rendemen minyak atsiri yang

    dihasilkan dapat disimak pada Tabel 4.1. Kadar lemak buah andaliman (2.58%)

    lebih tinggi daripada kadar protein (1.93%) sehingga hasil ekstraksi yang

  • 54

    diperoleh dengan pelarut nonpolar juga leb ih tinggi dibandingkan dengan ekstrak

    semipolar maupun polar. Rendemen ekstrak bubuk andaliman berdasarkan

    polaritas pelarut dan hasil analisis kualitatif komponen aktif dari masing-masing

    jenis ekstrak andaliman dapat dilihat pada Tabel 4.2.

    Tabel 4.1 Analisis Proksimat dan Kandungan Minyak Atsiri Andaliman

    Variabel pengamatan Jumlah (%)

    Kadar air 67.71 Kadar protein 1.93 Kadar lemak 2.58 Kadar abu total 1.80 Kadar karbohidrat 25.98 Kadar air andaliman setelah kering beku (dry basis) 6.23 Rendemen andaliman kering beku 32.29 Kadar minyak atsiri andaliman segar (wet basis) 8.01

    Tabel 4.2 Rendemen dan Hasil Analisis Kualitatif Komponen Aktif

    Ekstrak Andaliman

    Komponen aktif Ekstrak Heksana

    Ekstrak Metanol

    Ekstrak Etilasetat

    Rendemen (%) 6.30 4.15 3.17 Alkaloid + + + Tanin - + - Fenol Hidrokuinon - + + Flavonoid + + + Triterpenoid + + + Saponin - + + Steroid + + +

    Keterangan: + : mengandung komponen - : tidak mengandung komponen

    Kadar air bubuk andaliman cukup rendah (6.23%) dan rendemen buah

    setelah pengeringan beku relatif tinggi (32.29%). Demikian pula rendemen

    minyak atsiri andaliman segar yang diperoleh cukup tinggi, (8.01% w/w)

    dibandingkan dengan minyak atsiri biji atung sebanyak 1.79% (Murhadi 2002),

    sereh segar sebanyak 0.25 -0.50% (Oyen dan Nguyen 1999) atau minyak atsiri

    kunyit segar sebanyak 3 5% (Purseglove 1981). Rendemen yang relatif tinggi

    dan tingginya kandungan minyak atsiri buah andaliman ini merupakan potensi

  • 55

    untuk pemanfaatannya sebagai pengawet pangan alami. Profil komponen aktif

    minyak atsiri andaliman yang dilaporkan Yasni (2001) menyatakan terdapat 11

    komponen dengan 5 komponen utama yaitu a-pinen, limonen, geraniol, sitronella

    dan geranil asetat. Komponen minyak atsiri tersebut dapat menghambat

    pertumbuhan bakteri patogen (E. coli, Pseudomonas, B. cereus, dan S. aureus)

    dan kapang (Fusarium sp , Penicillium sp dan Aspergillus flavus).

    Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa rendemen dengan pelarut heksana,

    etilasetat dan metanol berturut-turut sebesar 6.30, 4.15 dan 3.17%. Menurut

    Houghton dan Raman (1998), ekstrak heksana (nonpolar) mengandung

    komponen yang bersifat nonpolar seperti lilin, lemak dan minyak atsiri,

    sedangkan ekstrak etilasetat (semipolar) sebagian besar mengandung senyawa-

    senyawa alkaloid, aglikon-aglikon, dan glikosida. Ekstrak metanol (polar)

    terutama mengandung kelompok senyawa gula, asam-asam amino, glikosida dan

    kelompok senyawa yang juga larut dalam petroleum eter, heksana, kloroform,

    etilasetat, etanol dan air dalam jumlah dan proporsi berbeda-beda.

    Tingginya rendemen ekstrak nonpolar andaliman menunjukkan bahwa

    komponen yang dapat larut dalam heksana lebih banyak dibandingkan komponen

    semipolar (etilasetat) maupun komponen polar (metanol). Selain itu rendemen

    ekstrak nonpolar yang tinggi dapat juga disebabkan karena pelarut yang

    digunakan pertama adalah heksana. Kemampuan pelarut heksana untuk

    melarutkan banyak kelompok senyawa organik terutama dalam bentuk senyawa

    nonpolar suatu campuran organik dapat menghasilkan rendemen lebih besar.

    Pada penelitian ini penghilangan pelarut dilakukan dengan menggunakan

    vakum rotavapor pada suhu 450C dan dikeringbekukan hingga terbentuk

    konsentrat pekat. Penghilangan pelarut pada suhu 450C kemungkinan komponen

    aktif andaliman masih belum mengalami perubahan, hal ini merupakan salah satu

    penyebab tingginya rendemen ekstrak yang diperoleh.

    Komponen-komponen alkaloid dalam jaringan tanaman dapat diekstrak

    melalui beberapa metode, diantaranya dengan metode maserasi menggunakan

    aseton (Ramsewak et al. 1999); metode homogenisasi menggunakan pelarut

    etanol (polar) dalam etilasetat (Holstege et al. 1995); dan metode soxhlet

  • 56

    menggunakan metanol yang diakhiri dengan ekstraksi menggunakan diklorometan

    (Brooke et al. 1996).

    Pada Tabel 4.2 dapat dilihat pula bahwa komponen aktif yang terdapat

    pada ekstrak etilasetat dan metanol adalah alkaloid, fenol hidrokuinon, flavonoid,

    triterpenoid, saponin, steroid, sedangkan tanin hanya terdapat pada ekstrak

    metanol. Puuponen-Pimia et al. (2001) melaporkan bahwa komponen fenolik

    yang terkandung pada ekstrak berry mampu menghambat beberapa bakteri Gram

    negatif, diantaranya adalah Salmonella enterica SH-5014 dan E. coli CM871.

    Dari beberapa hasil penelitian dapat diketahui bahwa senyawa-senyawa

    fenolik tanaman yang telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri diantaranya

    adalah turunan dari p-benzekuinon sepert i: 2,3-dimetoksi-5-metil-p-benzokuinon,

    2,6-difenil-p-benzekuinon, dan 2,6-dimetoksi-p-benzokuinon (Nishina et al.

    1991). Ekstrak metanol dari tanaman Mitracarpus scaber yang mempunyai

    komponen asam galat dan asam 3,4,5-trimetoksi asam benzoat, dapat

    menghambat pertumbuhan S. aureus (MIC 3.90 dan 0.97 g/ml), sedangkan

    senyawa 4-metoksiasetofenon dan 3,4,5-trimetoksiasetofenon sangat efektif

    menghambat Candida albicans (MIC 1.95 g/ml), serta komponen kaemferol-3-

    o-rutinosida, rutin dan psoralen mempunyai aktivitas rendah terhadap bakteri dan

    kapang, hal ini ditunjukkan dengan nilai MIC 125-500 g/ml (Bisignano et al.

    2000). Selain itu ekstrak nonpolar rosemary yang termasuk dalam komponen

    fenolik mampu menghambat bakteri Gram positif seperti B. cereus, S. aureus dan

    Streptococcus pyogenes (Campo et al. 2000).

    Senyawa-senyawa tanin yang telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri

    terutama yang berasal dari ekstrak teh hijau yang mempunyai kemampuan untuk

    menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Senyawa aktif dari tanin

    tersebut adalah galokatekin, epigalokatekin, dan epigalokatekin galat. Diantara

    ketiga senyawa aktif tersebut galokatekin mempunyai aktivitas antibakteri paling

    tinggi dengan nilai MIC 250 g/ml. Penghambatan oleh ketiga senyawa aktif

    tersebut diduga karena adanya gugus hidroksil (Sakanaka et al. 1989). Tanin

    bersifat dapat menggumpalkan protein, dan membentuk kompleks dengan

    beberapa polisakarida, asam nukleat dan alkaloid, dan juga dapat mempengaruhi

    warna, serta berkontribusi terhadap rasa dan aroma (Shahidi dan Naczk 1995).

  • 57

    Steroid merupakan subklas dari triterpenoid dengan komponen C30

    (Banthorpe 1996). Ekstrak metilen diklorida tanaman R. apicula mengandung tiga

    komponen steroid, yaitu kampesterol (4.61%), stigmaterol (18.47%) dan sitosterol

    (76.92%). Keller et al. (1998) melaporkan bahwa kandungan steroid yang

    mempunyai aktivitas antibakteri merupakan senyawa metabolit sekunder yang

    dihasilkan oleh fungi Fomitopsis pinicola.

    Daun kedaung mengandung saponin dan antosianin yang keduanya

    berhubungan dengan antibakteri dan antiparasit (Zuhud et al. 2001). Senyawa

    saponin dan flavonoid dilaporkan memiliki daya antibakteri terhadap beberapa

    spesies bakteri, sedangkan senyawa terpen merupakan senyawa antibakteri utama

    dalam rempah (Naidu dan Davidson 2000).

    Senyawa antibakteri alkaloid tanaman, diantaranya dilaporkan oleh

    Bhattacharyya et al. (1993) dari kulit kayu tanaman Clausena heptaphylla,

    Chakraborty et al. (1995) dari daun tanaman Clausena heptaphylla, dan

    Ramsewak et al. (1999) dari daun tanaman Murraya koenigii.

    Pola Pertumbuhan B. cereus

    Hasil pengamatan pola pertumbuhan bakteri B. cereus dapat dilihat pada

    Gambar 4.2.

    Gambar 4.2 Kurva Pola Pertumbuhan B. cereus

    4

    6

    8

    10

    0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 16 20 25

    Lama Inkubasi (jam)

    Jum

    lah

    Bak

    teri

    (log

    cfu/

    ml)

  • 58

    Fase adaptasi B. cereus berlangsung pada interval waktu 1-3 jam,

    sedangkan fase eksponensial berlangsung sekitar 9 jam mulai dari jam ke 3

    sampai dengan jam ke 12, dan stasioner berlangsung mulai dari jam ke 16 sampai

    dengan jam ke 25.

    Berdasarkan data tersebut ditetapkan bahwa untuk mewakili fase adaptasi

    dipilih 1 jam, sedangkan fase eksponensial dan fase stasioner masing-masing

    8 jam dan 16 jam. Jumlah sel B. cereus selama fase adaptasi belum meningkat,

    yaitu pada jam ke-3 sebesar 104 cfu/ml. Fase eksponensial mulai jam ke-3 sampai

    jam ke-12 meningkat pesat sampai 10 6 cfu/ml dan setelah jam ke-16 sampai jam

    ke-25 jumlahnya tetap (fase stasioner), yaitu 108 cfu/ml. Jumlah sel B. cereus

    setelah 1 jam inkubasi sebanyak 5.6x104 cfu/ml, setelah 8 jam inkubasi meningkat

    sampai 7.4x106 cfu/ml dan mencapai jumlah tetap yaitu 3.4x108 cfu/ml setelah

    16 jam inkubasi. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 1. Fase adaptasi

    B. cereus berlangsung selama 3 jam dan merupakan persiapan untuk fase

    berikutnya. Menurut Madigan et al. (2003) fase eksponensial pertumbuhan bakteri

    sangat cepat, teratur, dan semua bahan dalam sel berada dalam keadaan seimbang.

    Ultee et al. (2000) melaporkan bahwa kisaran fase pertumbuhan B. cereus adalah

    fase adaptasi 1-3 jam, fase eksponensial 8-10 jam sedangkan fase stasioner

    berkisar 16-20 jam.

    Pengaruh Polaritas dan Konsentrasi Ekstrak Andaliman terhadap B. cereus

    Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak heksana (nonpolar), etilasetat

    (semipolar) dan metanol (polar) terhadap B. cereus dengan metode difusi sumur

    dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4. Secara umum ekstrak etilasetat

    (semipolar) memiliki daya penghambatan lebih tinggi dibandingkan ekstrak

    metanol (polar) terhadap B. cereus pada masing-masing fase pertumbuhan.

    Ekstrak heksana (nonpolar) andaliman tidak menunjukkan efek penghambatan

    terhadap sel B. cereus.

    Ekstrak Nonpolar

    Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak nonpolar andaliman terhadap

    sel vegetatif B. cereus dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, dan 4. Ekstrak nonpolar

  • 59

    andaliman tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri pada fase adaptasi, fase

    eksponensial maupun fase stasioner. Hal ini dapat dijelaskan bahwa media NA

    yang digunakan bersifat polar, sedangkan ekstrak nonpolar lebih dominan

    mengandung komponen minyak atsiri, dimana ekstrak dalam media NA tidak

    mampu berdifusi secara baik sehingga tidak menunjukkan aktivitas

    penghambatan.

    Polaritas yang rendah pada ekstrak heksana disebabkan karena

    mengandung minyak atsiri, bahan non minyak seperti lilin, sterol dan sedikit

    senyawa fenolik. Menurut Nychas (1995) komponen bioaktif yang berperan

    sebagai antibakteri dalam ekstrak heksana adalah minyak atsiri dan fenolik.

    Ekstrak heksana mengandung minyak atsiri yang relatif tinggi (Ozean dan

    Erkmen 2001) dan minyak atsiri ini mempunyai aktivitas antibakteri, namun

    keberadaan minyak atsiri dalam ekstrak tersebut tidak menunjukkan

    penghambatan pada B. cereus. Hasil analisis identifikasi komponen aktif ekstrak

    heksana pada Tabel 4.2 menunjukkan adanya kandungan alkaloid, flavonoid,

    triterpenoid dan steroid yang relatif rendah dibandingkan dengan ekstrak etilasetat

    dan ekstrak metanol. Ekstrak heksana ini ternyata tidak mengandung tanin, fenol

    hidrokuinon dan saponin. Kemungkinan komponen aktif yang terdapat pada

    ekstrak heksana tersebut pada konsentrasi 10-50% masih belum dapat

    menghambat pertumbuhan B. cereus, sedangkan pada ekstrak etilasetat dan

    metanol pada konsentrasi tersebut sudah menunjukkan penghambatan.

    Hasil penelitian Kanazawa et al. (1995) melaporkan bahwa ekstrak

    heksana (senyawa minyak atsiri dan lipida lainnya) yang mempunyai ukuran

    molekul besar tidak dapat masuk berpenetrasi dalam dinding sel. Ukuran molekul

    besar tersebut akan menjadi penghalang masuknya komponen minyak atsiri

    maupun senyawa fenolik ke dalam sel akibatnya sel tetap akan tumbuh.

    Ekstrak Semipolar

    Senyawa yang bertanggungjawab sebagai antibakteri dalam ekstrak

    etilasetat adalah senyawa semipolar yang merupakan senyawa fenolik (Hiserodt,

    1998), steroid, alkaloid, triterpenoid, flavonoid dan saponin (Tabel 4.2). Aktivitas

    ekstrak etilasetat andaliman pada setiap fase pertumbuhan (fase adaptasi, fase

  • 60

    eksponensial dan fase stasioner) berpengaruh sangat nyata (p

  • 61

    Terutama dengan adanya ekstrak etilasetat yang banyak mengandung komponen

    antibakteri seperti alkaloid, fenol hidrokuinon, steroid, flavonoid, triterpenoid dan

    saponin akan dapat mengganggu proses pertumbuhan dan pembelahan sel,

    menyebabkan terjadinya kerusakan sel.

    Konsentrasi fenolik, alkaloid dan steroid dalam ekstrak etilasetat cukup

    tinggi untuk berdifusi dan menghambat pertumbuhan bakteri. Kemampuan

    senyawa semipolar untuk menghambat pertumbuhan bakteri berkaitan dengan

    komponen dinding sel bakteri yang tidak bersifat absolut hidrofobik maupun

    absolut hidrofilik. Kanazawa et al. (1995) menyatakan bahwa suatu senyawa

    semipolar mempunyai aktivitas antibakteri yang maksimum, karena untuk

    interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan

    hidrofilik-lipofilik (HLB: hydrophilic-lipophilic balance). Kemungkinan senyawa

    semipolar mempunyai afinitas lebih tinggi untuk berinteraksi dengan dindin g sel,

    sehingga ekstrak semipolar lebih efektif menghambat pertumbuhan B. cereus

    daripada ekstrak metanol (polar) dan heksana (nonpolar).

    Ekstrak Polar

    Ekstrak polar andaliman memberikan pengaruh sangat nyata (p

  • 62

    sifat antibakteri yaitu yang termasuk dalam 3 grup fenolik yaitu asam fenolik,

    flavonoid dan diterpenoid fenolik.

    Gambar 4.4 Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Metanol Andaliman pada Fase Pertumbuhan B. cereus

    Komponen yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan bersifat

    polar antara lain senyawa dari golongan fenolik. Mekanisme komponen

    antibakteri fenolik pada umumnya akan berinteraksi dengan protein yang ada pada

    dinding sel atau sitoplasma melalui ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik

    (Naidu dan Davidson 2000). Mekanisme lain dari ekstrak polar andaliman dalam

    menghambat pertumbuhan bakteri kemungkinan adalah dengan mengganggu

    aktivitas enzim dalam sel. Penelitian yang dilakukan oleh Wendaken dan

    Sakaguchi (1995) menunjukkan bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol dari

    cengkeh, kayu manis dan saga yang bersifat polar akan menghambat enzim

    dekarboksilase khususnya histidin, lisin dan ornitin dekarboksilase dari bakteri

    E. aerogenes.

    Selanjutnya Hiserodt et al. (1998) melaporkan bahwa polaritas suatu

    senyawa mempengaruhi aktivitas antibakteri, seperti 6-gingerol yang mempunyai

    rantai alkil lebih polar daripada 10-gingerol yang memberikan penghambatan

    yang lebih rendah terhadap Mycobacterium avium. Fenomena ini menunjukkan

    bahwa senyawa polar cenderung mempunyai aktivitas antibakteri yang lebih

    rendah. Pada pengujian tahap selanjutnya digunakan hanya ekstrak etilasetat dan

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    Fase adaptasi Fase eksponensial Fase stasioner

    Dia

    met

    er P

    engh

    amba

    tan

    (mm

    )

    10% 20% 30% 40% 50%

    `

  • 63

    ekstrak metanol, karena hasil pengamatan aktivitas ekstrak heksana terhadap

    B. cereus dengan metode difusi sumur tidak menunjukkan adanya penghambatan.

    Ekstrak metanol memiliki aktivitas lebih rendah daripada ekstrak

    etilasetat. Moshi dan Mbwambo (2005) menyatakan bahwa ekstrak semipolar

    (etilasetat) mampu menghambat bakteri E. coli dan B. anthracis dengan diamater

    hambat lebih besar daripada ekstrak polar (etanol). Demikian juga penelitian

    Springfield et al. (2003) ekstrak etilasetat tanaman Carpobrotus muirii dan C.

    quadrifidus lebih berpotensi dalam menghambat S. aureus dan Mycobacterium

    smegmatis daripada ekstrak air.

    Potensi Aktivitas Ekstrak Andaliman Dibandingkan dengan Antibiotik

    Hasil pengamatan diameter penghambatan ekstrak etilasetat, ekstrak

    metanol dan beberapa jenis antibiotik pada beberapa konsentrasi terhadap bakteri

    B. cereus dapat dilihat pada Tabel 4.3.

    Tabel 4.3 Diameter Penghambatan Beberapa Antibiotik dan Ekstrak

    Andaliman terhadap B. cereus

    Antibiotik Konsentrasi Rataan (mm) Standar Deviasi Streptomisin 10 g/ml 19.75 0.92

    100 g/ml 27.55 1.77 1000 g/ml 33.65 0.78

    Penisilin G 10 g/ml 16.00 0.71 100 g/ml 17.45 0.49 1000 g/ml 19.85 0.49

    Polimiksin B 10 g/ml 14.75 0.21 100 g/ml 15.60 0.57 1000 g/ml 16.65 1.48

    Etilasetat 4000 g/ml 18.81 0.21 Metanol 4000 g/ml 15.98 0.14

    Antibiotik streptomisin menunjukkan penghambatan tertinggi (33.65 0.78

    mm), selanjutnya diikuti oleh penisilin G (19.85 0.49 mm) dan polimiksin B

    (16.65 1.48 mm) masing-masing pada konsentrasi 1000 g/ml. Konsentrasi

    yang digunakan untuk melarutkan ekstrak etilasetat dan metanol adalah 4000

    g/ml (Ardiansyah 2001). Pada konsentrasi 4000 g/ml pengaruh ekstrak

    etilasetat dan ekstrak metanol terhadap B. cereus masing-masing sebesar

    18.81 0.21 mm dan 15.98 0.14 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak

  • 64

    etilasetat memiliki potensi penghambatan yang setara dengan penisilin G, dan

    ekstrak metanol pada konsentrasi 4000 g/ml memiliki potensi penghambatan

    yang setara dengan polimiksin B pada konsentrasi 1000 g/ml. Potensi

    penghambatan ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol pada konsentrasi 4000 g/ml

    sekitar 1/8 dari kekuatan penghambatan streptomisin, dan sekitar 1/4 dari

    kekuatan penghambatan antibiotik penisilin G dan polimiksin B. Hal ini

    menunjukkan bahwa kekuatan ekstrak etilasetat dan metanol juga efektif

    menghambat bakteri Gram positif dan Gram negatif terutama S. aureus dan dapat

    di duga mekanisme aktivitas antibakteri serupa dengan polimiksin B, yaitu

    mengganggu keutuhan membran sel bakteri

    Penisilin G merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan biasanya

    efektif terhadap kebanyakan bakteri Gram positif dan Gram negatif terutama

    strain Staphylococcus aureus dan enterokokus yang biasanya menimbulkan

    penyakit infeksi pencernaan, kardiovaskular, kulit, dan lain sebagainya.

    Streptomisin dapat menghambat sintesis protein pada bakteri Gram positif dan

    Gram negatif seperti enterokokus pada penyakit endokarditis, tuberkulosis

    terutama pada sub unit ribosom 30S. Polimiksin bersifat bakterisidal terhadap

    bakteri Gram negatif berbentuk basil biasanya digunakan untuk mengobati infeksi

    pada permukaan kulit dan mata.

    Penisilin G merupakan antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel

    bakteri. Dinding sel bakteri, terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks

    polimer mukopeptida (glikopeptida). Penisilin G menghambat reaksi yang paling

    dini dalam proses sintesis dinding sel. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel

    bakteri lebih tinggi daripada di luar sel, maka kerusakan dinding sel bakteri akan

    menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada

    bakteri yang peka.

    Mekanisme penghambatan antibiotik penisilin G dengan cara

    penggabungan gugus amino bebas asam penisilanat pada gugus-gugus karboksil

    bebas dari berbagai jenis radikal. Berbagai radikal (R) yang terikat pada asam

    amino penisilanat menentukan sifat-sifat farmakologik. Penisilin memiliki daya

    kerja tertinggi terhadap bakteri Gram positif tetapi tidak aktif terhadap bakteri

    Gram negatif (Jawetz et al. 1996).

  • 65

    Polimiksin B merupakan antibiotik yang mengganggu keutuhan membran

    sel bakteri. Polimiksin B sebagai senyawa amonium kuaterner dapat merusak

    membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel bakteri.

    Polimiksin B dapat mengubah tegangan permukaan (surface active agents)

    sehingga merusak permeabilitas selektif dari membran sel bakteri. Kerusakan

    membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel

    seperti protein, asam nukleat, nukleotida dan lain -lain (Setiabudy dan Gan 1999).

    MIC dan MBC Ekstrak Andaliman

    Hasil pengujian nilai MIC dan MBC ekstrak andaliman terhadap bakteri

    B. cerus berbeda-beda. Ekstrak etilasetat dan metanol mengandung komponen

    aktif yang dapat menghambat dan membunuh B. cereus. B. cereus lebih peka

    terhadap ekstrak etilasetat dengan nilai MIC sebesar 0.20%, sedangkan ekstrak

    metanol memiliki nilai MIC sebesar 0.80% (w/w). Nilai MBC ekstrak etilasetat

    terhadap B. cereus adalah 1.20% dibandingkan ekstrak metanol sebesar 1.60%

    (w/w) (Lampiran 29).

    Tingkat kepolaran mempengaruhi penghambatan terhadap sel. Meurut

    Davidson dan Branen (1993), semakin menurun polaritas (mendekati nonpolar)

    akan semakin efektif menghambat bakteri Gram positif dibandingkan dengan

    bakteri Gram negatif (). Hal ini sejalan pula dengan hasilhasil penelitian dari

    Farag et al. (1989) dan Kim et al. (1995) yang membuktikan bahwa komponen

    komponen minyak atsiri yang bersifat semipolar sampai nonpolar, lebih kuat daya

    antibakterinya terhadap kelompok bakteri Gram positif dibandingkan kelompok

    bakteri Gram negatif (Friedman et al. 2004a). Bakteri Gram positif mempunyai

    kecenderungan lebih peka terhadap senyawa semipolar dibandingkan dengan

    bakteri Gram negatif. Hal ini disebabkan karena perbedaan struktur dinding sel

    bakteri. Pada bakteri Gram positif sebagian besar dinding selnya terdiri dari

    lapisan peptidoglikan dan asam teikoat sehingga mudah dilewati komponen

    ekstrak yang bersifat hidrofilik.

    Ekstrak etilasetat memberi pengaruh peka B. cereus d ibandingkan dengan

    ekstrak metanol. Setiap zat yang dapat menghambat salah satu langkah dalam

    biosintesis peptidoglikan akan menyebabkan dinding sel bakteri yang tumbuh

  • 66

    menjadi lemah dan sel akan mengalami lisis (Jawetz et al. 1996). Komponen-

    komponen ekstrak etilasetat dan metanol diduga berikatan dengan a-karboksil

    residu alanin ujung dari satu rantai peptidoglikan yang menghambat sintesis

    dinding sel sehingga sel akan mengalami kerusakan dan lisis.

    Pengaruh pH terhadap Aktivitas Antibakteri Ekstrak Andaliman

    Ekstrak etilasetat dan ekstrak metanol memiliki daya hambat yang

    berpengaruh tidak nyata (p>0.01) pada tingkat keasaman atau pH ekstrak. Kisaran

    diameter penghambatan ekstrak etilasetat terhadap B. cereus secara berurutan

    adalah (18.23-17.15 mm) (Lampiran 32). Diameter penghambatan ekstrak

    etilasetat andaliman pada pH 4 paling tinggi terhadap sel B. cereus (sebesar

    18.23 mm), sedangkan rataan diameter penghambatan ekstrak metanol pada

    pH 4 - pH 7 adalah sebesar 11.75-10.55 mm (Lampiran 33). Hasil ini

    menunjukkan bahwa pada kisaran pH 4 sampai dengan pH 7 ekstrak metanol

    memiliki daya penghambatan relatif sama, sedangkan penghambatan ekstrak

    metanol lebih rendah dibandingkan ekstrak etilasetat.

    Perbedaan kemampuan penghambatan ekstrak etilasetat dibandingkan

    ekstrak metanol diduga bahwa kandungan komponen senyawa antibakteri lebih

    banyak terdapat pada ekstrak etilasetat dibandingkan dengan ekstrak metanol.

    Pada ekstrak etilasetat komponen hidrofobik dan hidrofilik masing-masing

    terdapat dalam ekstrak dan memiliki aktivitas antibakteri yang tinggi. Akibatnya

    daya hambat tertinggi diperoleh pada ekstrak etilasetat karena komponen yang

    bersifat hidrofobik dan hidrofilik mampu masuk dalam membran sel dan

    menghambat metabolisme sel.

    Mekanisme penghambatan pada pH rendah disebabkan oleh kondisi asam

    sel yang bereaksi untuk mempertahankan pH konstan dalam sel. Jika pH

    diturunkan maka proton yang terdapat dalam jumlah tinggi dalam medium akan

    masuk ke dalam sel. Proton (ion H+) dari asam masuk dalam sel melalui gradien

    proton transmembran (Ray 2001), hal ini menyebabkan pH sitoplasma menurun.

    Penurunan pH sitoplasma menyebabkan enzim-enzim bekerja untuk

    mengembalikan pH intern al sel menjadi pH normal (Booth 1985). Proton ini harus

    dikeluarkan untuk mencegah terjadinya pengasaman dan denaturasi komponen-

  • 67

    komponen sel. Aktivitas mengembalikan pH internal sel menjadi pH normal

    memerlukan banyak energi. Bila energi yang dibutuhkan dalam jumlah tinggi,

    maka metabolisme sel akan mengganggu sehingga lama kelamaan sel akan

    mengalami kematian (Fardiaz 1992).

    Aktivitas Antibakteri Ekstrak Andaliman terhadap Spora B. cereus

    Pengujian aktivitas antibakteri spora bakteri B. cereus dilakukan untuk

    mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak andaliman dibandingkan dengan sel

    vegetatif. Pengujian ini dilakukan pada kultur cair yang berumur 24, 48, 72 dan 96

    jam, karena pada interval umur tersebut hampir semua sel vegetatif telah

    membentuk spora. Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat dan ekstrak

    metanol terhadap spora dan sel vegetatif B. cereus disajikan pada Gambar 4.5 dan

    Gambar 4.6. Selanjutnya dapat dilihat perbedaan aktivitas antibakteri ekstrak

    etilasetat dan ekstrak metanol terhadap spora bakteri, dan bila dibandingkan

    dengan sel vegetatifnya. Pada Gambar 4.5 diameter penghambatan meningkat

    dengan bertambahnya lama inkubasi hingga 96 jam sedangkan pada sel vegetatif

    sebaliknya (Gambar 4.6). Diameter penghambatan terhadap sel vegetatif

    umumnya lebih tinggi bila dibandingkan penghambatan terhadap spora B. cereus

    (Lampiran 36 dan 37) dengan perbedaan sekitar 7.83 mm selama 24 jam.

    12.43 13.7314.63

    16.05

    11.43 12.05 12.15 12.60

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    24 48 72 96

    Lama Inkubasi (jam)

    Dia

    met

    er P

    engh

    amba

    tan

    (mm

    )

    Etilasetat

    Metanol

    Gambar 4.5 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Andaliman terhadap Spora B. cereus

    Hal ini menunjukkan bahwa spora mempunyai ketahanan yang lebih tinggi

    dibandingkan dengan sel vegetatifnya. Lama inkubasi B. cereus hingga 24-96 jam

  • 68

    akan menyebabkan terbentuknya spora yang semakin banyak untuk

    mempertahankan diri, sehingga dengan adanya ekstrak andaliman pertumbuhan

    spora akan terhambat.

    19.25

    16.03 15.80 16.3318.03

    14.20 15.0516.98

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    24 48 72 96

    Lama Inkubasi (jam)

    Dia

    met

    er P

    engh

    amba

    tan

    (mm

    )

    Etilasetat

    Metanol

    Gambar 4.6 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Andaliman terhadap Sel Vegetatif B. cereus

    Pengaruh ekstrak etilasetat pada spora B. cereus yang diinkubasi 96 jam

    dapat menghambat sebesar 16.05 mm, sedangkan diameter penghambatan ekstrak

    metanol lebih rendah, yaitu sebesar 12.60 mm. Berbeda dengan diameter

    penghambatan pada sel vegetatif B. cereus, lama inkubasi 24 jam pertama sudah

    menunjukkan penghambatan tertinggi dibandingkan dengan lama inkubasi

    96 jam. Diameter penghambatan ekstrak etilasetat andaliman pada sel vegetatif

    dengan lama inkubasi 24 jam menunjukkan penghambatan lebih tinggi

    (19.25 mm), sedangkan pada ekstrak metanol diameter penghambatannya lebih

    rendah (18.03 mm).

    Ultee et al. (1998) melaporkan bahwa spora bakteri lebih tahan terhadap

    aktivitas senyawa antibakteri alami dibandingkan dengan sel vegetatif. Hal ini

    ditunjukkan pada karvakrol yang mempunyai aktivitas sporosidal terhadap spora

    B. cereus, baik pada konsentrasi 1.75 maupun 2.0 mmol/l. Spora lebih tahan

    terhadap ekstrak metanol andaliman dibandingkan dengan sel vegetatif. Pada

    konsentrasi 2 mmol/l diperlukan waktu inkubasi 37 menit untuk membentuk spora

    sebanyak 2 log (cfu/ml), sedangkan untuk sel vegetatif diperlukan waktu inkubasi

    selama 20 menit. Nuraida et al. (1999) melaporkan bahwa ekstrak biji picung

    mampu menghambat spora B. cereus dengan areal penghambatan sebesar 1.0 mm,

    sedangkan terhadap sel vegetatif ekstrak tersebut mampu menghasilkan areal

  • 69

    penghambatan yang lebih besar (4.2 mm). Perbedaan ketahanan ini diduga karena

    perbedaan struktur fisik dan kimia antara spora dengan sel vegetatifnya (Cano dan

    Calome 1986; Friedman et al. 2004b).

    Pada spora terdapat lapisan terluar yang tipis dan lembut yang disebut

    eksosporium. Di bawah lapisan eksosporium terdapat suatu lapisan lagi yang

    disebut dengan bungkus spora (coat spore) yang terdiri dari satu lapisan atau

    berlapis-lapis yang membentuk struktur yang mirip dengan dinding sel. Adanya

    struktur yang berlapis-lapis pada spora akan mengakibatkan terhambatnya

    penetrasi ekstrak etilasetat maupun ekstrak metanol andaliman, disamping

    kandungan air yang lebih rendah (15%) bila dibandingkan dengan sel vegetatif

    (75%) juga akan menyebabkan spora lebih tahan dibandingkan dengan sel

    vegetatifnya (Cano dan Colome 1986). Selain itu kandungan asam dipikolinat dan

    tingginya kandungan ion kalsium yang hanya dimiliki oleh spora ju ga merupakan

    faktor yang dapat menyebabkan spora tahan terhadap perlakuan kimia (Fardiaz

    1992).

    SIMPULAN

    Konsentrasi dan polaritas ekstrak andaliman mempengaruhi aktivitas

    antibakteri. Ekstrak etilasetat (semipolar) menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi

    daripada ekstrak metanol (polar) terhadap B. cereus. Aktivitas antibakteri ekstrak

    andaliman dipengaruhi oleh fase pertumbuhan B. cereus. Ekstrak etilasetat lebih

    menghambat pada fase eksponensial (19.22 mm), sedangkan ekstrak metanol

    lebih efektif pada fase adaptasi (14.15 mm). Nilai MIC ekstrak etilasetat terhadap

    B. cereus adalah 0.2% dan nilai MBC 1.20%.

    Ekstrak etilasetat dan metanol berpotensi sebagai antibiotik, yaitu pada

    konsentrasi 4000 g/ml sekitar 1/8 dari streptomisin, dan sekitar 1/4 dari penisilin

    G dan polimiksin B masing-masing pada konsentrasi 1000 g/ml. Dengan

    demikian ekstrak andaliman dapat menghambat spora dan sel vegetatif B. cereus.

    Ekstrak etilasetat dan metanol pada pH 4-7 menunjukkan tidak berpengaruh

    nyata (p>0.01) terhadap B. cereus. Kemampuan ekstrak etilasetat dalam

    menghambat spora B. cereus cukup baik, dimana diameter penghambatannya

  • 70

    setelah 96 jam lebih besar (16.05 mm) dibandingkan ekstrak metanol (12.60

    mm). Demikian pula pada sel vegetatif, penghambatan ekstrak etilasetat

    andaliman dengan lama inkubasi 24 jam menunjukkan penghambatan lebih tinggi

    (19.25 mm) dibandingkan ekstrak metanol (18.03 mm).

    DAFTAR PUSTAKA

    Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, dan Budiyanto S. 1989.

    Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

    Ardiansyah. 2001. Teknik ekstraksi komponen antimikroba buah andaliman

    (Zanthoxylum acanthopodium DC) dan antarasa (Litsea cubeba). [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

    Banthorpe DV. 1996. Terpenoids. Di dalam: Mann J, Davidson RS, Hobbs JB,

    Banthorpe DV, Harbone JB, editor. Natural Product Their Chemistry and Biological Significance. Harlow: Longman. Hlm 289-359.

    Bhattaacharyya P, Biswas GK, Barua AK, Saha C, Poy IB, dan Chowdhury BK.

    1993. Clausenalene, a carbazole alkaloid from Clausena heptaphylla. Phytochemistry. 33(1):248-250.

    Bisignano G, Sanogo R, Marino A, Aquino R, DAngelo V, Germano MP, De

    Pasquale R dan Pizza C. 2000. Antimicrobial activityof Mitracarpus scaber extract and isolated constituents. Letter Appl Microb 30: 105-108.

    Brooke P, Harris DJ dan Longmore RB. 1996. Isolation of minor lupin alkaloids.

    A simple procedure for the isolation of angustifoline from lupinus angustifollius (Cv. Fest) seeds, with application to other lupin alkaloids. J Agric Food Chem 44(8):2129-2133.

    Chakraborty A, Saha C, Podder G, Chowdhury BK, dan Bhattacharyya. 1995.

    Carbazole alkaloid with antimicrobial activity from Clausena heptaphylla. Phytochemistry 38(3): 787-789.

    Campo JD, Amiot MJ dan Christophe NT. 2000. Antimicrobial effect of rosemary

    extracts. J Food Prot 10: 1359-1368 Cano RJ dan Colome JS. 1986. Microbiology. West Publishing Company. New

    York. Carson CF dan Riley TV. 1995. Antimicrobial activity of the major components

    of the essential oil of Melaleuca alternifolia . J Appl Bacteriol 78: 264-269.

  • 71

    Davidson PM dan Brannen AL. 1993. Antimicrobials in Food. Marcel Dekker. New York.

    Farag RS, Daw ZY, Hewedl FM dan El-Baroty GSA. 1989. Antimicrobial activity

    of some Egyption spice essential oils. J Food Prot 52(9):665-667. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: PAU Pangan

    dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Friedman M, Henika PR, Levin CE dan Mandreil RE. 2004a. Antibacterial

    activities of plant essential oils and their components against Escherichia coli O157:H7 and Salmonella enteritica in apple juice. J Agric Food Chem 52: 6042-6048.

    Friedman M, Buick R dan Elliott CT. 2004b. Antibacterial activities of naturally

    occuring coumpounds against antibiotic -resistant Bacillus cereus vegetative cells and spora, Escherichia coli, and Staphylococcus aureus. J Food Prot 67:1774-1778

    Garriga M, Hugas M, Aymerich T dan Monfort JM. 1993. Bacteriocinogenic

    activity of Lactobacilli from fermentor sausages. J Appl Bacterio 75: 142-148.

    Harbone JB. 1996. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis

    tumbuhan. Padmawinata K, Sudiro I, Penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. 3 rd edition. San

    Diego. Hiserodt RD, Franzblau SG dan Rosen RT. 1998. Isolation of 6-,8- and 10-

    Gingerol from ginger rhizome by HPLC and preliminary evaluation of inhibition of Mycobacterium avium and ycobacterium tuberculosis. J Agric Food Chem 3: 477-480.

    Holstege DM, Seiber JN, dan Galey FD. 1995. Rapid multiresidue screen for

    alkaloids in plant material and biological samples. J Agric Food Chem 43(3): 691-699.

    Hostetmann K, Wolfender JL dan Rodrigue ZS. 1997. Rapid detection and

    subsequent isolation of bioactive constituents of crude plant extracts. Planta Med 63:2-10

    Houghton PJ dan Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractination of

    Natural Extracts. Thomson Science, London. Jawetz E, Melnick J dan Adelberg E. 1996. Medical Microbiology. Appleton &

    Lange. San Fransisco.

  • 72

    Kanazawa A, Ikeda T dan Endo T.1995. A novel approach to mode of action of cationic biocides morphological effect on antibacterial activity. J Appl Bacteriol 78: 55-60.

    Kim JM, Marshal MR, Cornell JA, Boston JF dan Wei CI. 1995. Antibacterial

    activity of carcacrol, citral and geraniols againts Salmonella typhimurium in culture medium and fish cubes. J Food Sci 60 (6): 1365-1368.

    Kubo A, Lunde CS, Kubo I. 1995. Antimicrobial activity of the olive oil flavor

    compounds. J Agric Food Chem. 40(6):999-1003. Lewis K, Salyers AA, Taber HW, Wax RG. 2004. Bacterial Resistance to

    Antimicrobials. Marcel Dekker, Inc. Lin CM, Preston JF III dan Wei CI. 2000. Antibacterial mechanism of allyl

    isothiocyanate. J Food Prot Vol 63 (6): 727-734. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock Biology of Microorganisms.

    Tenth Edition. Southern Illinois University Carbondale. Murhadi. 2002. Isolasi dan karakterisasi komponen-komponen antibakteri dari biji

    Atung (Parinarium glaberimum Hassk). [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

    Naidu AS dan Davidson PM. 2000. Phyto-phenols. Di dalam Naidu AS, editor.

    Natural Food Antimicrobial Systems. New York: CRC Press. Nishina AK, KinaichiH, Uchibori T, Seino H dan Osawa T. 1991. 2,6-dimethoxy-

    p-benzequinone as an antimicrobial substance in the bark of Phyllostachys heterocyclavar. Pubscens a species of thick-stemmed bamboo. J Agric Food Chem 39:266-269.

    Nuraida L, Andarwulan N dan Kristikasari E. 1999. Aktivitas antimikroba biji

    picung (Pangium edule Reinw.) segar dan terfermentasi terhadap bakteri patogen dan perusak makanan. J Ilmu dan Tek Pangan 4 (2): 18-26.

    Nychas GJE.1995. Natural antimicrobials from plants. Di Dalam: Gould GW.

    (Eds). New Methods of Food Preservation. Blackie Academic and Profesional. London.

    Nychas GJE dan Tassou CC. 2000. Traditional preservatives-oils and spices. Di

    dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. Volume 1. :ondon: Academic Press.

    Oyen LPA dan Nguyen XD. 1999. Plant resources of South-East Asia No. 19.

    Essential oil plants. Bogor: Prosea Bogor Indonesia.

  • 73

    Ozean M, dan Erkmen O. 2001. Antimicrobial activityof the essential oils of Turkish plant spices. Eur Food Res Technol 212: 658-660.

    Purseglove JW.1981. Spices. Volume II. New York: Longman Inc.

    Puupponen-Pimia R, Nohyyenk L. Meier C, Kahkonen M, Heihonen M. 2001. Antimicrobials properties of phenolic compound from berries. J Appl Microbiol 90:494-507.

    Ramsewak RS, Nair MG, Strasburg GM, Dewit DL dan Nitiss JL. 1999.

    Biologically active carbazole alkaloids from Murraya koeniglii. J. Agric Food Chem 47 (2) 444-447.

    Sakanaka S, Kim M, Tan iguchi M, Yamamoto T. 1989. Antibacterial substances

    in Japanese green tea extract against Streptococcus mutan , a cariogenic bacterium. Agric Biol Chem 53(9):2307-2311.

    Setiabudy R. dan Gan VHS. 1995. Antimikroba. Di Dalam: Ganiswarna SG,

    Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti dan Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Gaya Baru. Jakarta.

    Shahidi F dan Naczk M. 1995. Foods Phenolics. Technomic Co., Inc. Lancaster. Ultee A, Gorris LGM dan Smid EJ. 1998. Bacterial activity of carvacrol towards

    the food-borne pathogen Bacillus cereus. J App Microbiol 85: 213-218. Ultee A, Slump RA, Steging G dan Smid EJ. 2000. Antimicrobial activity of

    carvacrol toward Bacillus cereus on rice. J Food Prot Vol 63. No.5:620-624.

    Ultee A, Slump RA, Steging G dan Smid EJ. 2000. Antimicrobial activity of

    carvacrol toward Bacillus cereus on rice. J Food Prot Vol 63. No.5:620-624.Wendaken CN dan Sakaguchi M. 1995. Inhibition of amino acid decarboxylase activity of Enterobacter aerogenes by active components in spices. J Food Prot 58(3): 280.

    Yasni S. 2001. Aktivitas antimikroba minyak atsiri buah andaliman

    (Zanthoxyllum acanthopodium DC) dan antarasa (Litsea cubeba) terhadap bakteri dan kapang serta profil deskriptif komponen aktif penyusunnya.Di dalam: Nuraida L, Dewanti-Hariyadi R, editor. Pangan Tradisional: Basis Bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB. Bogor. Hal 130-138.

    Zuhud EAM, Rahayu WP, Wijaya CH dan Sari PP. 2001. Aktivitas antimikroba ekstrak kedawung (Parkia roxburghii G. Don) terhadap bakteri patogen. Jurnal Teknologi & Industri Pangan XII (1): 6-12.