KTI Xviii Abstract

31
MAKALAH TUGAS AKHIR PENDIDIKAN DASAR BAKAL CALON ANGKATAN XVII TBM- Cs ”APENDISITIS” OLEH ARUNI AN’UMILLAH ULYA I1A013017 KELOMPOK 4 PEMBIMBING 1. Emma Rahmadania TBM-Cs / E / XVI / 05 2. Nadia Muslimah Annisa TBM-Cs / N / XVII / 11

description

adf

Transcript of KTI Xviii Abstract

MAKALAHTUGAS AKHIR PENDIDIKAN DASAR BAKAL CALON ANGKATAN XVII TBM-Cs APENDISITIS

OLEH ARUNI ANUMILLAH ULYAI1A013017KELOMPOK 4PEMBIMBING1. Emma Rahmadania

TBM-Cs / E / XVI / 052. Nadia Muslimah Annisa

TBM-Cs / N / XVII / 11PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2014LEMBAR PENGESAHANKarya Ilmiah berjudul : APENDISITIS

Disusun dalam rangka tugas akhir mengikuti Pendikan Dasar Bakal Calon Angkatan XVII TBM-Cs Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Universitas Lambung Mangkurat

OlehARUNI ANUMILLAH ULYA

I1A013017

KELOMPOK 4

Tanggal Persetujuan : 23 Januari 2014 Pembimbing I, Pembimbing II,

Emma Rahmadania Nadia Muslimah Annisa

TBM-Cs/E/XVI/05

TBM-Cs/N/XVII/11

ABSTRACT

Appendicitis is an inflammation of the verformis appendix and its the most common cause of acute abdomen which often need a surgery procedure. The peak incidence of appendicitis with average age 20-30 years and declining after it. Its not easy to diagnose appendicitis, especially in atypical cases. Appendicogram is an imaging study as a diagnostic procedure. Appendicogram is an examination as a radiologic examination of appendix after barium swallow which can help to see the obstruction or the fecalith (skibala) in appendix lumen.

Keyword: AppendicitisABSTRAKApendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen akut yang paling sering membutuhkan tindakan bedah. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Untuk mendiagnosis apendisitis akut bukanlah hal mudah, terutama dalam kasus dengan temuan yang atipikal. Salah satu pemeriksaan radiologi sebagai penunjang diagnostik apendisitis adalah appendicogram. Appendicogram merupakan pemeriksaan berupa foto barium apendiks yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) di dalam lumen apendiks.Kata Kunci: ApendisitisKATA PENGANTAR

Saya mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya kita dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini disajikan dalam bentuk penjelasan, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan sekaligus mengenai asuhan keperawatan tentang penyakit Apendisitis.

Kami menyadari bahwa dengan menyusun atau menulis makalah ini masih banyak kekuranganya, kritik dan saran kami harapkan dari teman-teman dan Dosen pembimbing kami.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa mengembangkan pengetahuan kita tentang Apendisitis.

Banjarmasin, 23 Januari 2015

Aruni Anumillah Ulya

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .. i

LEMBAR PENGESAHAN. ii

ABSTRAK .iii

KATA PENGANTAR . v

DAFTAR ISI vi

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penulisan 2BAB II. PEMBAHASAN

A. Definisi dan klasifikasi . 4B. Etiologi ...................4C. Patofisiologi..........5D. Manifestasi Klinis. 6E. Diagnosis ..7F. Penatalaksanaan .13G. Komplikasi.14BAB VI. PENUTUP

15A. Kesimpulan

15 B. Saran

17DAFTAR PUSTAKA

16BAB I

PENDAHULUAN1.1. LATAR BELAKANG.

Apendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang sering terjadi. Apendisitis paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa muda. Insiden apendisitis akut dinegara maju lebih tinggi daripada negara berkembang, namun pada tiga empat dewasa ini menurun secara bermakna. Kejadian ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari [1].

Apendiks disebut juga umbel cacing, apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang berlokasi dekat katub ileosecal. Peradangan dimulai oleh obstruksi dari fekalit (suatu masa yang seperti batu yang terbentuk dari feces). Atau infeksi bacterial supuratif. Sebagian kecil apendiks dapat menjadi membengkak atau nekrosis mengenai seluruh apendiks. Bila ditemukan apendisitis maka satu-satunya pengobatan adalah operasi apendiktomi [1].

Insiden keadaan bedah akut abdomen yang paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga, sejajar dengan jumlah jaringan limfoid pada apendiks. Rasio pria dibanding wanita adalah 2 dibanding 1. Usia antara 10 tahun sampai 25 tahun insiden rupture terjadi 15% sampai 25% pasien pada saat datang, dengan insiden yang lebih tinggi pada anak-anak dan lansia[1].Gejala dan tanda-tanda lokal dari serangan adalah leukosit PMN meningkat, obstruksi fekalit atau masa fekal dapat terjadi, sakit perut yang sering kembali, mual dan muntah, rasa ngilu dan nyeri tekan, suhu kurang lebih 37,5C-38,5C, konstipasi, kaki kanan fleksi karena nyeri [2].Jika apendiks mengalami perforasi paling tinggi pada orang lanjut usia komplikasi utama adalah sepsis luka. Hal ini berkembang sekitar 20% pasien dengan apendiks perforasi, terapi dapat dikurangi sampai sekitar 5% yaitu dengan teknik operasi yang cermat, pembilasan dengan tetrasiklin dan antibiotik profilaksis. Apabila apendisitis tidak mendapat pengobatan yang baik tidak menutup kemingkinan muncul komplikasi antara lain: abses, sumbatan usus akut, ileus dan peritonitis, serta fistula tinja. Oleh karena itu dalam perawatan pada pasien apendiktomi perlu diperhatikan cara perawatan luka dengan teknik aseptik dan septik [5].Sebagai salah satu tim kesehatan mempunyai tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah baik bio, psikososial, kulturan, spiritual, maupun dampak dari penyakit yang dialami pasien apendisitis [2].

Sehubungan dengan lutar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil topik dalam studi Karya Tulis Ilmiah dengan judul Apendisitis [5].

1.2. TUJUAN PENULISAN.

Untuk lebih konkritnya apa yang ingin dicapai dalam karya tulis ini, penulis mengemukakan pokok tujuan penulisan sebagai berikut :

1. Tujuan umum.

Mempelajari dan mengetahui tentang dermatitis atopik

2. Tujuan khusus.

Setelah menyelesaikan karya tulis ini diharapkan penulis mampu :

a. Melakukan pengkajian selama memberikan Asuhan Keperawatan kepada klien dengan masalah dermatitis atopik (DA).

b. Merumuskan diagnosa keperawatan selama memberikan Asuhan Keperawatan kepada klien dengan masalah dermatitis atopik (DA).

c. Merumuskan rencana tindakan selama memberikan Asuhan Keperawatan kepada klien dengan masalah dermatitis atopik (DA).

d. Menyelesaikan masalah keperawatan yang dialami oleh klien dengan masalah dermatitis atopik (DA).

e. Melakukan perencanaan tindak lanjut pada klien dengan masalah dermatitis atopik (DA).

BAB I

PENDAHULUANA. Definisi dan Klasifikasi ApendisitisApendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001 dalam Docstoc, 2010). Apendisitis adalah kondisi dimana infeks terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetap banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur [3].Apendisitis akut , dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010). Apendisitis kronis dibagi atas apendisitis fokalis atau parsial, setalah sembuh akan timbul struktur lokas. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).

B. Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut [4].Morfologi Apendisitis : Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan di seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap menjadi membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini menandakan apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik untuk diagnosis apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa [7].C. Patofisiologi

Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah. Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal. Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi [9]. D. Gambaran Klinis

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya [8]. E. Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010). Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010). Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah: Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis [7].

Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.

Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiksterletak pada daerah hipogastrium.

(Departemen Bedah UGM, 2010)

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik

normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010). Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:

Skor Alvarado :Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan ( 1 )Anoreksia (1)

Mual atau Muntah ( 1 )Nyeri di fossa iliaka kanan (2)

Nyeri lepas (1)

Peningkatan temperatur (>37,5 C) (1)

Peningkatan jumlah leukosit 10 x 10 9/L (2)

Neutrofilia dari 75% (1)

Total 10

Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007). Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007). Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).

Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, seperti:

Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.

Demam Dengue

Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat.

Kelainan ovulasiFolikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Infeksi panggul

Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah

perut lebih difus.

Kehamilan di luar kandungan

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Kista ovarium terpunt ir

Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal.

Endometriosis ovarium eksterna

Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar.

Urolit iasis pielum/ ureter kanan

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.

Penyakit saluran cerna lainnya

Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel apendiks. (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). F. Tata Laksana

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan. Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik [6].

G. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus. Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian. Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intra-abdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut , ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik [9]. BAB III

PENUTUP

A. KesimpulanAppendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum.Panjang apendiks rata-rata 6 9 cm. Lebar 0,3 0,7 cm.Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.

Apendiksitis adalah radang apendiks, suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi (Wilson & Goldman, 1989).

Appendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor-faktor prediposisi yang menyertai. Faktor tersering yang muncul adalah obtruksi lumen.

1.Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena :

a.Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.

b.Adanya faekolit dalam lumen appendiks.

c.Adanya benda asing seperti biji bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.

d.Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya

2.Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus

Tanda dan gejalanya adalah nyeri terasa pada abdomen kuadran kanan bawah menembus kebelakang (kepunggung) dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan.

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obst tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengannyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.

Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikutiganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.

Pada apendisitis akut, pengobatan yang paling baik adalah operasi appendiks. Dalam waktu 48 jam harus dilakukan. Penderita di obsevarsi, istirahat dalam posisi fowler, diberikan antibiotik dan diberikan makanan yang tidak merangsang peristaltik, jika terjadi perforasi diberikan drain diperut kanan bawah.

Komplikasinya :

1.Perforasi dengan pembentukan abses

2.Peritonitis generalisata

3.Pieloflebitis dan abses hati (jarang terjadi)

Cara memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan apendisitis meliputi pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

B. Saran

Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa maupun dosen pembimbing untuk melakukan kebiasaan hidup sehat, karena pola hidup tidak sehat tentu tidak benar dan harus dihindari, pengetahuan tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas utama untuk menanamkan pola hidup sehat. Salah satu penyakit yang timbul pada sistem pencernaan adalah apendisitis.DAFTAR PUSTAKA1. Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, volume 2. Jakarta: EGC. 2. Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi, edisi 2. Jakarta: EGC.3. Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.4. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9 . Jakarta: EGC.5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC.6. Rothrock, J.C. (2000), Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC.7. Sjamsuhidajat, R. & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi. Jakarta: EGC.8. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, volume 2. Jakarta: EGC.9. Sylvia A Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4 buku. Jakarta: EGC.