Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

151
1 LAPORAN PENELITIAN POLITIK DI DESA BAJULAN, KABUPATEN NGANJUK VARIAN BUDAYA I Oleh : Retno Purwaningtias (071211331010) Retno Safitri (071211331012) Heru Prasetya (071211331015) Ainur Rahmatin (071211331068) Istianatul Mauliddia (071211332003) Reza Putri dewanti (071211332012) Anas Herlambang K (071211332045) Arif Bagus Permadi (071211333029) M. Irfan Nuryadin (071211333048) Bayu Aditya Amang (071211333072) PRODI S1-ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AIRLANGGA 2014

description

Penelitian Politik Desa tentang pembelahan variasi budaya di Desa Bajulan, Nganjuk

Transcript of Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

Page 1: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

1

LAPORAN PENELITIAN

POLITIK DI DESA BAJULAN, KABUPATEN NGANJUK

VARIAN BUDAYA I

Oleh :

Retno Purwaningtias (071211331010)

Retno Safitri (071211331012)

Heru Prasetya (071211331015)

Ainur Rahmatin (071211331068)

Istianatul Mauliddia (071211332003)

Reza Putri dewanti (071211332012)

Anas Herlambang K (071211332045)

Arif Bagus Permadi (071211333029)

M. Irfan Nuryadin (071211333048)

Bayu Aditya Amang (071211333072)

PRODI S1-ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2014

Page 2: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

2

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan,

kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada penulis untuk

menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa

banyak hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi dalam rangka menyelesaikan tugas

akhir ini. Namun, atas bantuan dan dukungan yang diberikan berbagai pihak, penulis

mampu melewati hambatan dan kesulitan tersebut.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan pada penyusunan laporan tugas

politik di desa ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis

harapkan dari pembaca sekalian. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat

bagi siapa saja yang membacanya.

Surabaya, 22 Juni 2014

Penulis

Page 3: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

3

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................

1.1 Latar belakang .............................................................................................

1.2 Pertanyaan Penelitian ..................................................................................

1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................................

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................

1.5 Kerangka Teori ............................................................................................

1.6 Metode dan Prosedur Penelitian ..................................................................

1.6.1 Fokus Penelitian ........................................................................

1.6.2 Tipe Penelitian ...........................................................................

1.6.3 Subyek Penelitian ......................................................................

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data ........................................................

1.6.5 Teknik Analisis Data .................................................................

BAB II GAMBARAN UMUM DESA BAJULAN .........................................

2.1 Sejarah Singkat Desa ...................................................................................

2.2 Keadaan dan perkembangan penduduk .......................................................

2.3 Keadaan dan perkembangan ekonomi desa ................................................

2.4 Keadaan dan perkembangan politik desa ....................................................

2.5 Struktur Pemerintahan Desa ........................................................................

2.6 Peta Desa .....................................................................................................

BAB III Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik, dan Hindu Pada Masyarakat

Desa Bajulan

..................................................................................................

3.1 Nilai-nilai Tradisi Masyarakat Desa Bajulan ..............................................

3.1.1 Variasi Pembelahan Komunitas Sosial-Kultural di Desa Bajulan .....

3.2 Kontestasi Varian Budaya di Desa Bajulan ................................................

3.2.1 Kontestasi Antara Abangan Ndara dan Abangan

Page 4: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

4

Wong Cilik ................................................................................

3.3 Arah Kebijakan Pemerintahan Desa Bajulan ..............................................

3.3.1 Struktur Pemerintahan Desa Bajulan ...........................................

3.3.2 Proses Pembuatan Kebijakan ......................................................

3.3.3 Dominasi Abangan-Ndara Dalam Memutuskan Kebijakan .......

BAB IV PENUTUP ...........................................................................................

4.1 Kesimpulan .................................................................................................

4.2 Saran ...........................................................................................................

Daftar Pustaka

Lampiran-lampiran

Page 5: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dinamika politik di desa kian memberikan keragaman fenomena yang menarik

untuk dikaji, salah satunya yakni yang mengarah pada hubungan antar kelompok

komunitas yang mendiami suatu wilayah tertentu (Varian Budaya). Hubungan varian

budaya merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti, mengingat adanya keterkaitan

antara varian budaya dengan pemerintahan desa. Karena desa merupakan unit bagian

terkecil dari sistem pemerintahan desa yang dinamika perpolitikannya masih erat kaitannya

dengan nilai-nilai, norma-norma serta tradisi masyarakat setempat, sehingga hal-hal

tersebut memiliki pengaruh besar terhadap pengambilan kebijakan dalam suatu

pemerintahan desa.

Dalam pendekatan varian budaya politik merupakan interaksi antara pemerintah

dengan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang

mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa varian budaya di desa jauh berbeda dengan di kota

dengan adanya variasi sosio-kultural. Fenomena tersebut dapat dikembangluaskan melalui

hasil penelitian Clifford Geertz.

Menurut Clifford Geertz dalam karya bukunya yang berjudul “The Religion Of

Java; ABANGAN, SANTRI, PRIYAYI Dalam Masyarakat Jawa”, yang memiliki

signifikansi secara detail mencakup praktek keagamaan orang Jawa. Geertz mengambil

penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto yang didasarkan pada

kepercayaan, prefensi etnis dan pandangan politik. Yang kemudian ia menemukan tiga inti

struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah, dimana ketiga struktur sosial

tersebut dapat mencerminkan tipe-tipe kebudayaan, diantaranya: Abangan, Santri, Priyayi.

Page 6: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

6

Geertz memberikan penjabaran dari ketiga struktur sosial tersebut beserta tipe-tipe

kebudayaannya, antara lain struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani,

pengrajin dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan,

kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan magic menunjuk

kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Sementara pasar terlepas dari penguasaan etnis

Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz, melainkan diasosiasikan kepada petani kaya

dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial di mana

agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataan yang menguasai

ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri. Yang

terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan

dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan

birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni

tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial

Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.

Selain fenomena di atas, Hubungan antar varian budaya di desa juga dapat

diidentifikasi pada beberapa fenomena yang menggambarkan nilai-nilai tradisi dari suatu

desa dapat mempengaruhi kebijakan/keputusan dalam suatu pemerintahan di desa.

Fenomena tersebut diantaranya dapat diilustrasikan pada fenomena pertama, yaitu tradisi

wiwitan di Jelok sebagai upacara slametan atas panen, yang kian pudar kini dilestarikan

kembali melalui kebijakan pemerintah yang menjadikan tradisi tersebut sebagai paket

wisata pedesaan. Kemudian, adapula pengaruh konsep pemikiran jawa tentang mitologi-

mitologi kekuasaan sangat kuat mengakar dalam perspektif masyarakat pedesaan di Jawa.

Kemudian fenomena selanjutnya menggambarkan eksistensi pengaruh suatu

kelompok komunitas dalam suatu desa, yang saling menguntungkan guna membangun

desa bersama-sama. Fenomena ini dapat dilihat di desa Bawean. Ketua pengurus cabang

Page 7: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

7

NU Bawean yang dengan tegas menyampaikan pesan moral kepada para kepala desa

terpilih, menunjukkan bahwa kelompok komunitas tersebut memiliki kekuatan pengaruh

yang besar di daerah tersebut. Sedangkan di desa Kemasan, Kepala desa Kemasan yang

juga seorang petani, berkonsultasi mengenai ancaman gagal panen akibat hama bukan

kepada dinas pertanian setempat melainkan pada kelompok komunitas Muhammadiyah

yang diyakini mampu mengatasi masalah tersebut. Berbagai peristiwa-peristiwa diatas

menunjukkan keberagaman varian budaya dalam mempengaruhi proses pembuatan dan

keputusan maupun perilaku para pemimpin di desa.

Berbagai fenomena di atas menunjukkan bagaimana varian kelompok komunitas

berdasarkan struktur sosial tersebut memiliki pengaruh besar bagi kehidupan warga sekitar

di desa tersebut. Karena setiap kelompok komunitas sama-sama memiliki kekuatan dan

pengaruh yang besar, serta keinginan untuk tetap mempertahankan keyakinan mereka.

Sehingga tak jarang terjadi ketegangan antar kelompok komunitas yang memiliki

perbedaan pandangan dan dapat memicu konflik. Serta bagaimana pengaruh besar melalui

tradisi rutin yang diselenggarakan setiap kelompok komunitas tersebut digunakan untuk

kepentingan lain yang di luar konteks tradisi sesuai keyakinan setiap kelompok komunitas

tersebut.

Adanya fenomena yang beragam dalam konteks varian budaya di pedesaan

menjadikan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan dikaji secara mendalam. Dalam

politik desa dengan struktur pemerintahan yang sederhana serta dengan adanya nilai-nilai

tradisi kemasyarakatan, varian budaya menciptakan donaminasi yang signifikan bagi

jalannya pemerintahan di desa.

Atas dasar berbagai macam fenomena/peristiwa yang telah diuraikan diatas, kita

mencoba mendalami fenomena yang mungkin dapat kita temukan dalam penelitian ini

sehingga dapat memastikan fenomena apa yang terjadi di desa yang akan di teliti, tentunya

Page 8: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

8

penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan varian budaya. Dengan

memperhatikan kekhasan serta corak kharakteristik yang ada pada desa tersebut, kita dapat

mengetahui bahwa varian budaya juga dapat member suatu pengaruh bagi

kebijakan/keputusan yang dibuat oleh pemerintah desa.

1.2 Pertanyaan Penelitian

1.2.1 Bagaimana variasi pembelahan komunitas sosial-kultural yang ada di Desa

Bajulan yang berada di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk?

1.2.2 Bagaimanakah kontestasi komunitas-komunitas sosial-kultural yang ada dalam

mendominasi struktur pemerintahan di desa Bajulan, Kecamatan Loceret,

Kabupaten Nganjuk?

1.2.3 Bagaimanakah komunitas sosial-kultural yang dominan tersebut mampu

mempengaruhi kebijakan/keputusan pemerintahan di desa Bajulan, Kec.Loceret,

Kab.Nganjuk?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengetahui variasi pembelahan komunitas sosial-budaya yang terbentuk di Desa

Bajulan yang berada di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.

1.3.2 Mengetahui bagaimana kontestasi komunitas-komunitas sosial-kultural yang ada

untuk mendominasi struktur pemerintahan di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret,

Kabupaten Nganjuk.

1.3.3 Mengetahui sejauh mana komunitas sosial-kultural yang dominan mampu

mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan di Desa Bajulan,

Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.

Page 9: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

9

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

1.4.1.1 Hasil dari penelitian ini nanti diharapkan dapat memberikan kontribusi

menambah khasanah pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang sosial

dan politik.

1.4.1.2 Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi literatur yang

bermanfaat sebagai bahan kajian ilmu politik, terutama dalam politik desa.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi peneliti

Penelitian ini merupakan tugas kuliah lapangan mata kuliah Politik di Desa

Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Dengan penelitian ini, peneliti

dapat mengetahui beragam variasi budaya dan tradisi yang masih kental di

pedesaan dengan melakukan observasi secara berkelompok di Desa Bajulan,

Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Dengan demikian kami sebagai peneliti

dapat mengetahui sejauh mana peran tokoh-tokoh yang berasal dari komunitas

yang berbeda tersebut di dalam proses pengambilan keputusan yang ada ditingkat

desa. Dari pemahaman tentang peran serta tokoh-tokoh komunitas sosial yang

berasal dari background yang berbeda itu peneliti dapat memahami sebarapa besar

pengaruh variasi komunitas sosial budaya yang ada di desa dalam mempengaruhi

keputusan-keputusan yang diambil di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret,

Kabupaten Nganjuksebagai tempat kuliah lapangan kami.

Page 10: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

10

1.4.2.2 Bagi pembaca

Pembaca dapat dengan mudah memperoleh informasi dan pengetahuan

mengenai variasi budaya yang ada di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten

Nganjuk. Masyarakat dapat menilai dan mengkritisi hasil penelitian yang sudah

dilakukan agar data yang di peroleh menjadi sempurna.

1.4.2.3 Bagi Desa secara umum

Penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap

masyarakat desa mengenai adanya pembelahan sosial kultural di desa. Dengan

pemahaman yang lebih komprehensif ini diharapkan masyarakat pedesaan dapat

memanfaatkan pembelahan sosial kultural ini sebagai faktor integratif masyarakat

pedesaan demi kemajuan dan pengembangan desa walaupun berasal dari

komunitas yang berbeda.

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Konseptualisasi Teori

1.5.1.1 Varian Budaya

Cifford Geertz mengkonsepsikan masyarakat Jawa menjadi 3 jenis budaya

utama yaitu, abangan, santri dan priyayi. Abangan mewakili sikap yang

menitikberatkan pada segi-segi sinkritisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas

berhubungan dengan unsur petani diantara penduduk. Abangan dalam kacamata

Geertz menampilkan sosok yang cukup menarik. Di satu sisi abangan mewakili

kelompok yang abai dengan pelaksanaan doktrin keagamaan yang ketat bahkan

dalam banyak kesempatan menentangnya di sisi lain abangan menampilkan

wujud kasar dari perilaku priyayi. Dalam hal ini beberapa contoh diajukan Geertz

Page 11: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

11

antara lain kesenian-kesenian tinggi priyayi yang di tangan kelompok abangan

menjadi seni kasar, praktek mistik yang oleh priyayi sangat dijunjung tinggi di

tangan abangan berubah menjadi praktik perdukunan, minat kepada pengalaman

keagamaan individual di tangan abangan menjadi minat kepada keagamaan

kelompok.1

Santri mewakili sikap menitikberatkan pada segi islam dalam sinkritisme

tersebut dan pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang. Dalam lapangan

politik, kalangan santri juga terbelah ke dalam afiliasi politik yang diwakili partai-

partai baik tradisional maupun moderen. Nahdlatul Ulama (NU) mewakili haluan

santri konservatif sedangkan Masyumi (Muhammadiyyah cenderung berafiliasi di

dalamnya) merupakan saluran bagi kalangan santri yang lebih berorientasi

moderen. Di samping itu ada juga partai kecil Partai Serikat Islam Indonesia (PSII)

yang juga berhaluan modernis.

Priyayi menitikberatkan pada kebudayaan kelas atas yang pada umumnya

golongan bangsawan baik itu berpangkat tinggi atau rendah. Geertz

mengidentifikasi priyayi sebagai "orang yang bisa menyelusuri asal-usul

keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa jaman sebelum penjajahan; yang

setengah mitos; tetapi sejak Belanda mempekerjakan kaum ini sebagai instrument

administrasi kekuasaanya, pengertian priyayi meluas termasuk orang kebanyakan

yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristocrat asli sudah habis.2

Sejak perang dunia kedua, terjadi perubahan dalam stratifikasi horizontal

yang ada dalam masyarakat Jawa. Priyayi sebagai orang terdidik secara akademis

naik ke atas dalam tingkat demokrasi. Mereka menduduki kedudukan tertinggi

1 Cliford Geertz, Abangan, satri dan Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983),

hlm. 315

2 Ibid, hlm. 308

Page 12: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

12

dalam pemerintahan. Disisi lain, ada kelompok santri saudagar yang mempunyai

penghasilan lebih besar dari kebanyakan priyayi. Namun adanya endogami

(perkawinan sesama golongan), menjadikan priyayi dan ndara tidak dapat

disepadankan dengan kekuasaan yang lain atau dengan kelebihan kekayaan.

Berbeda dengan stratifikasi social secara horizontal, masyarakat Jawa juga

diklasifikasikan pada ukuran kebaktian dan pengamalan terhadap agama islam.

pertama adalah golongan santri, yaitu sebagai orang muslim yang menjalankan

perintah agama dan berusaha membersihkan diri dari syirik. Kedua adalah

golongan abangan. Istilah yang digunakan pada orang muslim Jawa yang tidak

seberapa memperhatikan atau menjalankan perintah dan kewajiban beragama.cara

hidup mereka banyak dikuasai oleh tradisi pra-Jawa. Tradisi itu memadukan unsure

islam, Hindu-Budha dan unsur asli yang mereka kenal dengan agama Jawa.

Santri dan abangan terdapat pada setiap lapisan masyarakat Jawa. Dari

lapisan yang disebut wong cilik sampai pada tingkat ndara. Di tingkat wong cilik,

terdapat santri wong cilik dan abangan wong cilik. Disini doktrin keagamaan

kurang tegas sedangkan etikanya lebih dekat pada abangan, sebab para petani yang

tingggal di desa mayoritas sama dalam status politik, social dan ekonomi.

Sedangkan di daerah yang lebih kota, terdapat saudagar santri dan saudagar

abangan. Kelompok suadagar ini, baik santri ataupun abangan dianggap sebagai

kelas menengah yang bukan berasal dari bangsawan melainkan dari kalangan orang

desa. Ada juga kelompok santri ndara diantara bangsawan Jawa yang masuk islam

khususnya dikeraton pesisisr utara dan kemudian diikuti oleh bangsawan di

pedalaman. Penggolongan secara vertical dan horizontal masyarakat Jawa

hendaknya dianggap sebagai kelas yang terbuka. Dalam hal ini pendidikan

Page 13: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

13

memberikan kemudahan naiknya wong cilik menjadi priyayi dan dari sudagar

menjadi priyayi serta ndara melalui perkawinan antar golongan.

Menurut Clifford Geertz, ada lima hal yang dapat diajukan sebagai ciri antar

golongan kolot dan modern. Pertama, dalam hubungan manusia dengan Tuhan.

Santri kolot cenderung menganut pandangan yang berpasrah pada nasib atau atas

semua yang didarkan pada takdir dan kehendak Tuhan. Sedangkan santri modern,

menegaskan kebaikan usaha manusia.; kedua, kolot menyangkal perbedaan

kehidupan dunia (sekuler) dan kehidupan beragama serta berkeras bahwa agama

merasuk ke dalam semua bagian kehidupan. Sedangkan modern, berpandangan

bahwa kehidupan agama dan dunia masing-masing mandiri. Ketiga, terhadap

kepercayaan dan uapacara pra islam yang ada. Kolot lebih bersedia menerimanya

secara bijaksana. Sedangkan modern, lebih berusaha untuk memurnikan agama.

Keempat, kolot cenderung menekannkan penghayatan realigi sedangkan seorang

modernis menekankan perilaku religious lahiriah. Kelima, kolot lebih bersikap

tradisional dan berpegang pada ajaran dalam menghalalkan amal dan tafsir agama,

sementara modernis lebih menekankan nalar dan alas an praktis untuk

menghalalkan tindakan tertentu.3

Dalam membahas golongan santri dan abangan sebagai kekuatan social dan

politik di Indonesia, khususnya di Jawa, tidak lepas dari adanya kebangkitan

nasional yang melahirkan perkumpulan politik baru dan munculnya para pemikir

politik yang sadar diri. Akibat dari kebangkitan nasional itu mulai ada perdebatan

dan persengketaan ideology. Di tahun 1920-an antagonisme politik terjadi anatar

islam dan komunisme. Dan pada tahun 1930-an polemic berjalan anatara islam dan

sekuler. Pertentangan politik para santri dan abangan sesekali juga meletus menjadi

3 Ibid, hlm. 203

Page 14: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

14

kekerasan.4 Perbedaan antara santri dan abangan sebagian besar disebabkan oleh

munculnya gerakan-gerakan sosial nasionalis Indonesia pada abad ke 20.

Tahap awal dari nasionalisme ini hanya memiliki efek yang kecil. Tetapi ketika

gerakan tersebut telah bersatu dan bergerak ke arah kemenangan, massa yang

terlibat mulai dipengaruhi terutama melalui pengantaraan symbol-simbol religious.

Elite yang bersifat ke-kotaan menjalin ikatan-ikatan dengan kaum petani tidak

dengan sarana teori politis dan ekonomis yang kompleks, yang hanya memiliki

sedikit makna dalam konteks pedesaan, melainkan dengan sarana konsep-konsep

dan nilai-nilai yang telah ada di sana. Garis batas utama diantara elite sendiri yaitu

1) mereka yang mengambil ajaran islam sebagai dasar menyeluruh dari daya tarik

massa (santri), dan 2) mereka yang mengambil kehalusan filosofis umum dari

tradisi sinkretis pribumi sebagai basis massa mereka (abangan). Sehingga di daerah

pinggiran kota, santri dan abangan tidak sekedar menjadi kategori-kategori

religious melainkan juga politis. Perkembangan ini menyebabkan perdebatan

diantara makna politis dan bujukan religious. Hal ini tercermin ketika sebuah

pengajian Qur’an menjadi sebuah pengakuan atas kesetiaan politis sekaligus pujian

kepada Allah. Sebuah pembakaran kemenyan mengungkapkan ideology sekuler

seseorang sekaligus kepercayaan-kepercayaan sakralnya. Slametan cendrung

ditandai dengan diskusi-diskusi panas tentang berbagai unsure upacara dan apa

makna sesungguhnya dari upacara itu. Para abangan akan merasa gelisah ketika

orang-orang santri mengangkat mata untuk berdoa, sedangkan santri pun akan

merasa gelisah ketika orang-orang abangan membawakan sebuah pidato

4 Muchtarom Zaini, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba

Diniyah, 2002)

Page 15: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

15

pembelaan. Di sini lah timbul ketegangan dan kontestasi sendiri baik para elite

santri maupun abangan melalui ritual-ritual sacral tersebut.5

Dari penelitian yang dilakukan M.M Billah tahun 1974, muncul tipologi

aliran baru yang merupakan pengembangan dari tipologi aliran yang dikemukakan

oleh Clifford Geertz. Penelitian ini menunjukkan bahwa golongan priyayi sudah

semakin tidak tampak dalam kehidupan masyarakat, tinggal tipologi aliran santri

dan abangan yang masih menampakkan diri dalam kehidupan masyarakat.

Disamping itu juga diperhatikan dimensi sosial lain, yakni modern dan kolot.

Namun demikian penggolongan santri abangan dan modern kolot dipergunakan

tidak dalam arti penggolongan yang mempertentangkan (dichotomy), akan tetapi

lebih kepada letakknya dari suatu garis-lanjut (continuum)6. Oleh karenanya

sekarang nampakkah empat ramuan kelompok masyarakat (Jawa), yakni : santri

modern, santri kolot, abangan modern, dan abangan kolot.

Proses pergeseran tipologi aliran ini tidak terlepas dari adanya perubahan-

perubahan yang terjadi dalam sikap masyarakat. Perubahan-perubahan dalam

masyarakat ini dipengaruhi oleh faktor modernisasi dan pembangunan desa. Proses

modernisasi ditandai dengan masuknya teknologi-teknologi modern seperti

televisi, radio, dan lain-lain yang turut mempengaruhi perubahan perilaku

masyarakat di pedesaan. Selain itu, semakin meluasnya program-program

pembangunan masyarakat seperti menguatnya birokrasi pedesaan, masuknya

proses nasionalisasi pun juga turut serta mempengaruhi perubahan-perubahan

perilaku masyarakat pedesaan. Kuatnya birokrasi sebagai akibat pelembagaan

demokrasi, membuka jalan bagi masuknya lembaga-lembaga nasional ke dalam

5 Cliford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992). Hlm. 101-102

6 M.M. Bilah, Beberapa Masalah Penelitian Metodologis di Seputar Pengusahaan Penelitian

Kuliah Lapangan, hlm 46

Page 16: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

16

desa. Hal tersebut membuat perubahan pola hubungan dalam masyarakat desa yang

dulunya hanya bersifat sederhana berupa hubungan satu urusan (single stranded)

dengan orang-orang diluar pertanian menjadi hubungan banyak urusan (many

stranded).7 Masuknya proses nasionalisasi mengubah perilaku masyarakat desa

yang dulunya bersifat lokal menjadi nasional. Budaya nasional menggantikan

budaya lokal, simbol-simbol nasional menggusur simbol-simbol lokal.

Pemerintahan orde baru dikenal dengan pemerintahan yang sangat otoriter.

Seluruh potensi negara berusaha dimaksimalkan dengan atas nama pembangunan.

Kebijakan ini sering disebut-sebut sebegai ideologi developmentalisme oleh

beberapa peneliti. Pemerintahan orde baru sangat menganggap penting teori

Rostow tentang bagaimana negara berkembang akan berubah menjadi negara maju.

Atas tujuan tersebut banyak terjadi pemutusan sejarah di desa-desa, dimana

pembangunan tidak berdasarkan budaya setempat tetapi memutus budaya yang

sudah sangat lama dan memiliki sejarah tersebut demi pembangunan. Hal ini

menjadikan pembangunan di era orde baru ahistoris, karena mencabut budaya dari

akarnya demi efisiensi ekonomi.

Beberapa alasan yang dilakukan untuk melakukan percepatan

pembangunan, antara lain adalah tertinggalnya ekonomi Indonesia di masa

pemerintahan Soekarno. Pemerintahan orde lama di kesankan membuat

pembangunan Indonesia tertinggal dari negara-negara lain di dunia. Dengan alasan

tersebut Soeharto memiliki alasan untuk melakukan pembangunan yang

menggunakan cara sangat otoriter, demi mengejar ketertinggalan.

S7 Kuntowijoyo, Artikel: Desa Dalam Perspektif Perubahan Sosial dan Kultural, hlm. 114

Page 17: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

17

Pembangunan masa orde baru pun menyetuh desa-desa desa kecil di daerah

Jawa Timur tidak terkecuali di Desa Setaman. Revolusi hijau yang dilakukan untuk

intensifikasi hasil padi dilakukan di daerah-daerah pedesaan penghasil padi tersebut.

Adapun beberapa dampak yang terjadi didalam pelaksanaan kebijakan revolusi yang

merubah struktur masyrakat didalam daerah tersebut.

Sebelum adanya kebijakan tersebut, masyarakat desa setaman merupakan

masyrakat yang berbasis religio santri. Dimana mereka terbagi dalam beberapa

varian didalamnya. Peneliti membagi varian santri tersebut kedalam Religio santri

varian rasa dan Religio santri varian rasio. Religio santri varian rasa adalah Santri

yang menggunakan rasa ketika bercocok tanam, santri tipe ini tidak menginginkan

hasil yang maksimal dalam menanam tetapi cenderung selalu meresapi dalam

menanam, santri varian ini yang nantinya akan di tertindas negara. Religio Santri

varian rasio adalah orang-orang orang yang mengadalkan rasionya dalam bercocok

tanam dan tidak meresapi apa yang mereka lakukan. Mereka akan bersikap rasional

untuk memaksimalkan hasil mereka, varian santi tipe ini lah yang nantinya akan

diberikan keuntungann oleh penguasa.8

1.5.1.1.1 Santri Baru

Pergeseran dan mobilitas wacana terjadi, dari wacana Islam di masa lalu yang

berkutat diantara dua kutub santri, pemurnian dan non-pemurnian, dan dalam tingkat

tertentu Muhammadiya-Persis dan NU-Perti. Baru-baru ini terdapat beberapa wacana

baru mengenai Islam di kalangan santri baru, di antara beberapa wacana yang

berkembang di kalangan santri baru yang dapat dicatat adalah sbb: Pertama, Islam di

Indonesia dikejutkan dengan serangan bom bali oleh kalangan santri yang rata-rata

8 Zainuddin Maliki, Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi Resistensi Petani Berbasis Religio

Politik Santri Negaranisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1991)

Page 18: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

18

masih muda dengan jargon jihad. Kedua, santri di Indonesia juga dikejutkan ketika

sebagian santri muda di Indonesia, tiba-tiba mendirikan organisasi yang bernama

KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Di antara beberapa ideologi

yang diusung oleh KAMMI adalah: kemenangan Islam adalah jiwa perjuangannya,

kebathilan adalah musuhnya, solusi Islam adalah tawarannya, perbaikan adalah tradisi

perjuangannya, kepemimpinan umat adalah strategi perjuangannya dan persaudaraan

adalah watak dari muamalahnya. Ketiga, Islam di Indonesia juga dikejutkan dengan

tiba-tiba munculnya anak-anak muda yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal

(JIL). Di antara tema dan konsen yang digelutinya adalah soal: pluralism agama,

demokrasi, emansipasi wanita, absahnya kawin campur, dst. Ide-ide ini berkebalikan

seratus derajat dengan kelompok-kelompok seperti KAMMI dan kelompoknya

Amrozi-Imam Samudra yang mengentalkan ideologi formal Islam. Keempat, Islam

Indonesia juga disemarakkan dengan tiba-tiba munculnya wacana-wacana

dekonstruksi atas teks-teks agama. Misalnya ini diwakili oleh kelompok yang ingin

mempribumikan Islam, melakukan kebebasan atas kaum tertindas, wacana-wacana

post-tradisionalis, dst. Di jalur ini, mereka yang menamakan diri post-tradisionalis

hanyalah salah satu di antara banyak yang lain yang mencoba memaknai ulang Islam

dan Indonesia dengan cara kritis. Kelima, Islam Indonesia juga digencarkan dengan

munculnya kelompok-kelompok muda santri yang berusaha berbicaratentang Islam

lokal dan kesenian local, disamping mereka juga tiba-tiba membicarakan Islam

moderat dan pembebasan. Mereka inilah yang lagi-lagi sedang sibuk menyediakan

fondasi soal Islam, lokalitas dan Islam moderat di bumi Indonesia di tubuh Indonesia.

Istilah santri disini merujuk pada terminology Greetz yang dibinarkan dengan

abangan, tetapi disini bukan dalam artian yang satu saleh (santri) dan yang satu lagi

Page 19: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

19

tidak saleh (abangan), namun lebih kepada kelompok sosial keagamaan yang

dibedakan dengan kelompok sosial abangan.

Sekarang ini muncul santri baru di kalangan Muhammadiyah yang telah

melewati beberapa generasi Muhammadiyah sebelumnya: generasi Ahmad Dahlan,

generasi Mas Mansyur, generasi Ahmad Azhar Basyir. Santri baru di kalangan

Muhammadiyah ini, membawa sebuah perubahan wacana yang berkaitan dengan dua

hal. Dua hal yaitu: Pertama, jalan baru kalangan santri muda pemurnian, dalam

konteks apresiasi budaya lokal dan Islam moderat muncul, misalnya dari Sidang

Tanwir Muhammadiyah di Bali pada tanggal 24-27 Januari 2002. Kedua, masalah

“jalan baru" kalangan santri baru di muhammadiyah selanjutnya adalah soal “tauhid

sosial” dan pembebasan. “Tauhid sosial” di sini maksudnya adalah gagasan tentang

tauhid, dimana penyucian atas Tuhan mestilah diwujudkan dalam implementasi

tindakan-tindakan sosial untuk membela manusia.

Pada fenomena kelompok Usroh yang diwakili oleh KAMMI lalu ber-

metamorfosa menjadi sebuah langkah politik praktis yang ideologi mereka bersatu

pada Partai Keadilan. Kelompok Usroh yang sangat kental akan pem-formalan

hukum-hukum Islam mempunyai beberapa ideologi-ideologi seperti kelompok-

kelompok santri yang lainnya juga, di antaranya sebagai berikut: Pertama,inti

pandangan kelompok santri baru Usroh adalah cara memandang Islam sebagai suatu

totalitas. Kedua, ideologi kelompok dakwah kampus juga bisa dilihat dari fenomena

ideologi KAMMI (lihat paragraf 1 baris 8). Inti dari ideologikelompok santri baru

Usroh ini adalah berislam secara kaffah atau menyeluruh (total).

Dalam tulisan ini terdapat pula santri baru teroris yang didalangi oleh Amrozi

Cs. Santri-santri baru kelompok ini memiliki keterkaitan dengan beberapa kejadian

peledakan bom di tanah air, seperti kasus Bom Bali dan beberapa kasus-kasus lain.

Page 20: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

20

Seperti kelompok santri-santri baru yang lainnya pula, kelompok santri baru teroris

juga memiliki beberapa ciri-ciri, antara lain: Pertama, ideologiyang mengabsahkan

kekerasan dan pengeboman di kalangan Islam Indonesia, bisa dilihat dari bangunan

ideologiIslam model garis keras. Kedua, dari sisi asal keagamaannya, dari versi IGC

tampak sekali bahwa kelompok santri muda yang melakukan aksi-aksi kekerasan

dengan mengebom fasilitas umum ini merupakan anggota JI (Jama’ah Islamiyah)

sebuah anak organisasi Al-Qaedah di daerah Asia Tenggara.

Model santri baru yang terakhir dibahas dalam buku ini adalah Islam Liberal.

Dilihat dari tokoh-tokoh yang menjadi pentolannya mereka merupakan tokoh-tokoh

yang fasih mengusung ayat-ayat Al-Qur’an selain juga memiliki strata pendidikan yang

cukup tinggi. Kelompok ini mengusung kritik terhadap keradikalan dan konservatisme

Islam. Mereka umumnya memperjuangkan kebebasan di setiap individu. Diantara yang

mereka perjuangkan antara lain: Pertama, mereka menyebut dirinya Islam Liberal

karena menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka anut, yaitu yang menurut mereka

adalah “Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur

sosial-politik yang menindas. Kedua, Islam liberal memilih tafsir tertentu atas Islam

dengan landasan membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Ketiga, tujuan

utama JIL adalah menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya pada masyarakat.

Keempat, dengan sendirinya misi JIL ingin mengembangkan penafsiran Islam yang

liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya, serta menyebarkan seluas

mungkin pada khalayak, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari

tekanan konservatisme.

Lalu mengenai hubungan santri dengan para kaum petani miskin yang nantinya

berubah menjadi pergerakan G30S PKI ataupun GESTOK, mereka saling memiliki

keterkaitan. Pemahaman agama yang sempit dari kelompok santri lama untuk

Page 21: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

21

menangkal paham komunis yang kuat pada masa orla menjadikan kaum tani di

pedesaan, terpengaruh paham komunis yang menggerakkan dan meradikalisasi kaum

tani. Ini terlihat dari para pelaku pembunuhan dan pembantaian yang berlatarkan petani

miskin mayoritas mereka adalah Muslim. Mereka mendukung kudeta dan pembunuhan

terhadap orang-orang yang tidak setuju terhadap PKI.

Disini, santri baru memiliki tanggung jawab moral sebagai pengganti santri

lama yang ada di pedesaan waktu itu. Mereka memiliki peran rekonsiliasi antara kaum

petani miskin yang mayoritas adalah Muslim dengan korban pembantaian GESTOK

yang juga adalah Muslim. Menurut penulis ada beberapa hal mengapa santri-santri baru

memiliki tanggung jawab moral: Pertama, Al-Qur’an tidak membenarkan sama sekali

adanya sebuah pembantaian missal, lebih-lebih tanpa perlakuan manusiawi atas korban

dan lebih-lebih jika korbannya adalah sesama seorang Muslim. Kedua, Al-Qur’an

menyuruh umat Islam untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dengan jalan

musyawarah.9

1.5.1.2 Kontestasi Antar Varian Budaya

Dalam penelitian ini konteks pemerintahan desa akan dikaitkan dengan

pendekatan varian budaya dimana pada masyarakat desa terbentuk komunitas-

komunitas sosial kultural yang saling berkompetisi untuk menduduki jabatan di

pemerintahan desa. Pada suatu desa yang identitas santri dan abangan nya terlihat

kental, interkasi keduanya akan mengarah bukan hanya pada kontestasi yang bersifat

struktural, namun pada saat yang sama bertumpang–tindih dengan identitas dan

budaya sebagai sebuah konteks kultural.

9 Nur Khalik Ridwan, Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideologi dan Kritik,(Yogyakarta: Gerigi

Pustaka, 2004)

Page 22: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

22

Pemerintahan ialah segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan,

bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan pada dasar negara demi tercapainya

suatu tujuan.10 Menurut kamus besar bahasa Indonesia desa adalah kesatuan wilayah

yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri,

dan pemerintahan itu dipimpin oleh seorang kepala desa. Desa merupakan bentuk

pemukiman tertua yang mempunyai tatanan atau aturan hidup tersendiri di dalam

menata kehidupan para pemukim.11 Pemukiman dijadikan oleh sekelompok orang

sebagai tempat tinggal masyarakat desa. Pemukiman memiliki beranekaragam

bentuk atau pola sesuai dengan kondisi lingkungan, sistem sosial yang berlaku dan

kebutuhan. Dengan kata lain, pola pemukiman itu ditentukan oleh karakteristik yang

khas, seperti faktor geografis, faktor sosial, disamping sistem kepercayaan yang

dianut para pemukim.12

Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintahan desa adalah

penyelenggaraan urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat desa setempat

dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.13 Pemerintahan

desa adalah alat pemerintahan terendah yang berdasarkan asas dekonsentrasi

ditempatkan dibawah dan bertanggung jawab langung kepada pemerintahan wilayah

kecamatan yang bersangkutan.14

Desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri atas Pemerintah Desa (yang

meliputi kepala desa dan perangkat desa), serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Dalam menjalankan pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangkat desa

10 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010). Hlm. 215

11 Bahrein Sugihen, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), hlm. 72

12 Ibid. hlm. 71

13 Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa pasal 1

14 Talizidhu Ndraha, Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa, (Jakarta: PT. Bina Aksara. 1981). Hlm.

35

Page 23: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

23

untuk melaksanakan tugasnya. Tugas-tugas kepala desa meliputi beberapa hal, yang

diantaranya mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa, memegang kekuasaan

pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, menetapkan Peraturan Desa, menetapkan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.15 Sedangkan fungsi dari Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu membentuk panitia pemilihan kepala desa yang

tidak memihak dan bersifat mandiri. BPD turut membahas dan menyepakati berbagai

kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggotanya merupakan wakil

dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara

demokratis. Untuk meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat desa, memperkuat

kebersamaan serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,

pemerintah desa dan/atau BPD memfasilitasi penyelenggaraan musyawarah desa.

Peraturan desa yang mengatur kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan

kewenangan lokal desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat desa dan BPD. Hal

ini dimaksudkan agar pelaksanaan peraturan desa senantiasa dapat diawasi secara

berkelanjutan oleh warga masyarakat desa setempat. Apabila terjadi pelanggaran

terhadap pelaksanaan peraturan desa yang telah ditetapkan, BPD berkewajiban

mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran yang dimaksud sesuai dengan

kewenangan yang dimiliki.

Desa memiliki karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia,

sedangkan desa adat memiliki karakteristik yang berbeda dari desa pada umumnya,

terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal,

pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa.

Desa adat pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan

masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan

15 Undang-undang nomor 6 tahun 2014 pasal 26 bagian kedua tentang kepala desa

Page 24: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

24

diperjuangkan oleh pemimpin dan masyarakat desa adat agar dapat berfungsi

mengembangkan identitas sosial budaya lokal. Desa adat memiliki hak asal usul yang

lebih dominan daripada hak asal usul desa sejak desa adat itu lahir sebagai komunitas

asli yang ada di tengah masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan desa adat merupakan

sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara hostoris mempunyai batas

wilayah dan identitas budaya yang membentuk atas dasar teritorial yang berwenangn

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul.16

Jabatan kepala desa adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi desa adat. Bila

terjadi kekosongan jabatan desa adat, pemerintah daerah/kabupaten kota dapat

menetapkan pejabat yang berasal dari masyarakat desa adat yang bersangkutan.

Kontestasi struktural-kultural muncul akibat dari adanya interaksi sosial.

Kesadaran beridentitas muncul ketika orang berhubungan atau berinteraksi dengan

orang lain. Identitas-identitas ada kalanya bersifat sangat cair dan mengeras ketika

dihadapkan dengan kontestasi. Hal ini disebabkan konteks interaksi yang

menghasilkan beragam momentum dan respon dari kedua entitas. Ketika masuk

dalam kelompok, identitas-identitas personal ditanggalkan sementara untuk

kemudian digantikan dengan identitas kelompok. Kemudian bagaimana identitas-

identitas tersebut membuahkan aksi dapat ditelusuri dengan menggunakan beberapa

pendekatan. Identitas dalam konteks varian budaya menjadi faktor pemicu konflik

untuk memperoleh kekuasaan di pemerintahan desa.

Fenomena kontestasi struktural-kultural dapat kita lihat pada sebuah desa yang

merupakan desa adat. Pemilihan kepala desa yang telah diatur dalam Undang-undang

nomor 6 tahun 2014 tentang desa bersifat demokratis dimana calon kepala desa dipilih

16 Joglo.tv/berita/penjelasan-uu-nomor-6-tahun-2014, diakses pada Rabu, 28 Mei 2014 pukul 20.08

WIB

Page 25: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

25

langsung oleh warga desa setempat. Masa jabatan kepala desa 6 tahun terhitung sejak

tanggal pelantikan dan dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara

berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Sedangkan desa adat jabatan kepala

desa berdasarkan ketentuan yang berlaku pada desa adat. Jika terjadi kekosongan

jabatan kepala desa adat, pemerintah daerah/kabupaten kota menetapkan pejabat yang

berasal dari desa adat setempat sebagai kepala desa adat.17

Seperti yang terjadi pada masyarakat desa adat di Banyumas yang senantiasa

menaruh perhatiannya terhadap pulung. Tradisi pulung, digambarkan sebagai bola

cahaya yang berpijar, diyakini akan muncul pada saat pemilihan kepala daerah dan

kepala desa. Ke rumah siapa bola cahaya itu mengarah, pemilik rumah itulah yang

diyakini mendapatkan wahyu untuk memimpin desa atau daerahnya. Pulung adalah

sebuah mitos yang muncul dari proses kebudayaan. Keyakinan terhadap pulung ini

tak bisa dilepaskan dari konsep pemikiran Jawa tentang kekuasaan. Bahwa dalam

masyarakat Jawa masa silam, ketika teks yang mendominasi ruang khalayak dikuasai

sepenuhnya oleh raja dan kaum ningrat, kekuasaan yang dianggap absah adalah

kekuasaan yang berkonsep adikodrati. Artinya legitimasi kekuasaan didasarkan pada

wahyu Tuhan.

Dari contoh kasus tradisi pulung dapat kita lihat adanya sebuah kesempatan

bagi para pemegang teguh tradisi untuk bisa menjaga tradisi dengan memanfaatkan

undang-undang desa yang mengatur mengenai desa adat. Dengan adanya kesempatan

yang diberikan untuk membentuk desa adat, maka mereka yang mengupayakan

eksistensi tradisi dan adat (dalam kasus ini tradisi pulung adat Jawa) memiliki jalan

untuk mewujudkan keinginannya. Upaya-upaya dari abangan yang berusaha

mendapatkan kekuasaan akan semakin termudahkan dengan adanya undang-undang

17 Ibid

Page 26: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

26

baru ini. Ketika desa menjadi desa adat, maka segala proses pemerintahan desa akan

berkiblat pada adat setempat. Dan jika memang desa adat berhasil diwujudkan akan

menjadi kabar baik bagi para abangan. Abangan akan menjadi pemain kuat dalam

perpolitikan desa melalui desa adat karena seluruh proses pemerintahan bertumpu

pada mereka baik dalam struktur maupun dalam proses pembuatan kebijakan.

1.5.1.3 Kebijakan Desa

Kebijakan ialah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku

atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan

itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai

kekuasaan untuk melaksanakannya.18 Sehingga kebijakan desa ialah keputusan-

keputusan yang diambil oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam

pemerintah desa untuk mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan desa dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara BPD dan

pemerintah desa melalui musyawarah desa. Hasil musyawarah desa dalam bentuk

kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh

BPD dan pemerintah desa dalam menetapkan kebijakan pemerintahan desa.

Meskipun demikian, masyarakat desa juga memiliki hak untuk mengusulkan atau

memberikan masukan kepada kepala desa maupun BPD dalam proses penyusunan

peraturan dan kebijakan desa.

Arah kebijakan suatu desa dapat terlihat dari formulasi struktur pemerintahan

desa dimana dalam struktur yang berisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan desa

merepresentasikan aktor dari komunitas varian tertentu. Aktor-aktor yang berasal dari

18 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.

20

Page 27: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

27

komunitas dominan ini akan tarik menarik dengan masyarakat yang berbeda

komunitas untuk penentuan kebijakan desa. Terkadang komunitas minor akan

melawan komunitas yang memiliki dominasi didalam proses pembuatan kebijakan

desa.

Hubungan antar varian budaya di desa juga dapat diidentifikasi pada beberapa

fenomena yang menggambarkan nilai-nilai tradisi dari suatu desa sehingga dapat

mempengaruhi kebijakan/keputusan dalam suatu pemerintahan di desa. Fenomena

tersebut diantaranya dapat diilustrasikan pada fenomena tradisi wiwitan di Jelok

sebagai upacara slametan atas panen, yang kian pudar kini dilestarikan kembali

melalui kebijakan pemerintah yang menjadikan tradisi tersebut sebagai paket wisata

pedesaan. Kemudian, adapula pengaruh konsep pemikiran jawa tentang mitologi-

mitologi kekuasaan sangat kuat mengakar dalam perspektif masyarakat pedesaan di

Jawa.

Kemudian fenomena yang kedua menggambarkan eksistensi pengaruh suatu

kelompok komunitas dalam suatu desa, yang saling menguntungkan guna membangun

desa bersama-sama. Fenomena ini dapat dilihat di desa Bawean. Ketua pengurus

cabang NU Bawean yang dengan tegas menyampaikan pesan moral kepada para

kepala desa terpilih, menunjukkan bahwa kelompok komunitas tersebut memiliki

kekuatan pengaruh yang besar di daerah tersebut. Sedangkan di desa Kemasan,

Kepala desa Kemasan yang juga seorang petani, berkonsultasi mengenai ancaman

gagal panen akibat hama bukan kepada dinas pertanian setempat melainkan pada

kelompok komunitas Muhammadiyah yang diyakini mampu mengatasi masalah

tersebut.

Berbagai peristiwa-peristiwa diatas menunjukkan keberagaman varian budaya

dalam mempengaruhi proses pembuatan dan keputusan maupun perilaku para

Page 28: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

28

pemimpin di desa. Arah kebijakan yang diterapkan merupakan representasi dari varian

yang mendominasi struktur pemerintahan desa. Ditunjang dengan adanya peraturan

undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 yang mengatur tentang pembuatan peraturas

desa dibuat berdasarkan kesepakatan antara pemerintah desa (mencakup kepala desa

serta perangkat desa) dan BPD.19 Jika struktur dalam pemerintahan desa didominasi

oleh salah satu komunitas varian, tentu saja akan semakin memudahkan dominasi

varian tersebut dalam menentukan arah kebijakan desa karena dilegitimasi dengan

adanya undang-undang yang mengatur tentang desa.

1.5.2 Hubungan Antar Konsep

Suatu desa terdapat masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok yang

berbasis variasi budaya. Masyarakat yang memiliki latar belakang kelompok yang

berbeda tersebut membentuk sebuah pemerintahan desa. Dalam menjalankan roda

pemerintahan desa tentu saja kebijakan yang dikeluarkan tidak menguntungkan semua

pihak yang mewakili kepentingan dari masing-masing kelompok variasi budaya.

Sehingga tokoh-tokoh yang merepresentasikan kelompok-kelompok dominanlah yang

berhasil ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Tokoh-tokoh ini biasanya

memiliki jabatan tinggi dalam pemerintahan desa, seperti pemegang jabatan kepala

desa, perangkat desa maupun badan permusyawaratan desa (BPD).

1.6 Metode dan Prosedur Penelitian

1.6.1 Fokus Penelitian

19 Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa dalam pasal yang mengatur wewenang kepala desa

Page 29: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

29

Realitas sosial dalam perspektif peneliti kualitatif bermacam-macam dan dapat

dimaknai berbeda-beda. Begitu juga gejala sosial yang terjadi yang merupakan bagian

dari rangkaian gejala dari realitas sosial lain yang mana bersifat holistik. Realitas sosial

seperti itu akan ditemui peneliti ketika melakukan penelitian kualitatif sehingga agar

peneliti bisa membatasi diri agar konsentrasi penelitiannya tidak terpecah. Adapun cara

untuk menjaga konsentrasi peneliti yaitu dengan menetapkan fokus penelitian.

Fokus penelitian ini yaitu melihat bagaimana varian budaya yang ada pada

masyarakat desa Bajulan. Adapun yang dimaksud melihat yaitu dengan mengetahui

variasi budaya yang ada. Tidak hanya sampai pada variasi yang ada, peneliti juga ingin

melihat bagaimana tiap varian budaya yang ada memperjuangkan dan

mempertahankan nilai-nilai serta karakter budaya masing-masing. Dalam usaha

memperjuangkan dan mempertahankan tersebut tiap varian akan mencari jalan untuk

mewujudkannya, misalnya melalui bantuan-bantuan maupun program-program yang

masuk atau tercipta di desa. Dari bantuan yang masuk ataupun program yang dibuat itu

akan terlihat varian mana yang berjuang dan mendapatkan apa yang mereka cari. Maka

adanya tokoh-tokoh yang hadir ataupun mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan

desa menunjukkan sebuah usaha dari varian. Tokoh-tokoh inilah yang

merepresentasikan varian mereka dan memperjuangkan keberlangsungannya.

1.6.2 Tipe Penelitian

Tipe penelitian berperan dalam menentukan apakah hasil penelitian sesuai dengan

pertanyaan penelitian. Penelitian terhadap varian budaya desa Bajulan menggunakan

metodologi penelitian kualitatif-deskriptif. Penggunaan metodologi kualitatif-

deskriptif ditujukan agar didapat data-data yang nantinya bisa menjawab pertanyaan-

pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan varian budaya yang ada di desa Bajulan.

Tidak hanya itu, dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat menemukan

Page 30: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

30

temuan-temuan baru yang dapat memperkaya jawaban dari pertanyaan penelitian.

Temuan-temuan tersebut tidaklah spesifik terhadap suatu persoalan, karena memang

permasalahan sosial yang diteliti pada penelitian ini tidak terfokus sehingga menerima

segala data yang sesuai dengan fokus penelitian.

Penelitian kualitatif dipilih karena secara umum metode tersebut dapat digunakan

untuk menghadapi kondisi penelitian dimana masalah yang akan ditemui belum jelas

dimana pertanyaan penelitian yang ada belum memiliki masalah. Selain itu penelitian

kualitatif mampu melingkupi permasalahan berbagai bidang kehidupan masyarakat

sehingga dapat mengakomodasikan kebutuhan peneliti untuk meneliti seluruh

permasalahan yang ada pada masyarakat sesuai dengan fokus varian budaya.

1.6.3 Subyek Penelitian

Subyek penelitian yaitu pihak-pihak yang menjadi narasumber yang akan

memberikan data kepada peneliti. Adapun subyek penelitian yang diteliti yaitu

kelompok-kelompok yang ada pada masyarakat yang menunjukkan ciri varian budaya

masyarakat Jawa. Namun secara spesifik ada subyek-subyek lain yang dapat

memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, yaitu:

Tokoh masyarakat pada masing-masing segementasi kehidupan masyarakat untuk

mengidentifikasi problem utama yang di hadapi masyarakat persegmentasi;

Ketua lembaga-lembaga budaya untuk mengidentifikasi luas cakupan

kekuasaannya.

Pemerintah Desa (Kepala Desa, aparatur desa dan kepala dusun)

Anggota BPD untuk mengidentifikasi proses-proses pembuatan keputusan desa.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Page 31: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

31

Teknik pengumpulan data menentukan data yang didapat saat penelitian. Adapun

teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu:

Wawancara, yaitu dengan melakukan komunikasi langsung dengan informan.

Adapun wawancara yang dilakukan terbagi lagi menjadi dua, yaitu wawancara

mendalam yang dilakukan terhadap narasumber kunci yang biasanya merupakan

elit dalam sebuah kelompok maupun dalam pembuatan keputusan di desa sehingga

bisa didapat data yang mendalam untuk menjelaskan suatu permasalahan dan jalan

keluar menurutnya. Sedangkan wawancara kedua yaitu wawancara bertahap

dimana narasumber berganti-ganti dan tidak harus dari elit kelompok sosial

tertentu. Dari kalangan narasumber inilah didapat berbagai macam masalah dan

mungkin juga didapati opini terhadap permasalahan tersebut dari narasumber selain

elit.

Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan yang

berlangsung di desa tersebut maupun kegiatan-kegiatan yang berlangsung secara

eksklusif dalam suatu kelompok saja. Adapun peneliti bisa melaksanakan observasi

partisipasi maupun observasi tak berstruktur agar didapat data yang dalam dan juga

luas.

Metode documenter, yaitu dengan melakukan pencarian terhadap data-data historis

yang sesuai dengan fokus penelitian. Adapun data-data historis tersebut bisa berupa

otobiografi tokoh-tokoh penting, surat, catatan, buku, kliping, dokumen pemerintah

(desa) ataupun swasta, cerita roman dan cerita rakyat, dan lain-lain.

1.6.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian kali ini yaitu metode analisis

tema-tema budaya yang merupakan penggolongan oleh Burhan Bungin. Dalam

Page 32: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

32

penggolongan analisis tema-tema budaya terdapat delapan macam analisis (Bungin,

2007:201-223). Namun peneliti hanya menggunakan empat jenis analisis data saja.

Adapun empat jenis analisis data yang dipilih karena berkaitan dengan fokus

penelitian.

Adapun keempat analisis data tersebut yaitu:

Analisis Domain.

Pada analisis ini peneliti berusaha untuk memperoleh gambaran-gambaran

objek secara umum atau di tingkat permukaan, namun relatif utuh tentang

objek-objek penelitian tersebut (Bungin, 2007:204). Analisis ini digunakan

untuk mengidentifikasi secara umum bagaimana pola-pola varian budaya yang

ada di desa Bajulan secara umum sehingga peneliti bisa mendalami tiap varian

melalui analisis berikutnya.

Analisis Taksonomik

Analisis taksonomik digunakan untuk mendapatkan gambaran objek penelitian

yang lebih mendalam hingga ke domain atau sub-sub domain. Dari analisis ini

nantinya didapat pengorganisasian domain yang serumpun. Pada analisis ini

peneliti mulai mendalami tiap-tiap varian budaya yang ada di desa tersebut.

Analisis Komponensial

Analisis komponensial mirip dengan analisis taksonomik. Perbedaannya yaitu

analisis komponensial digunakan untuk menganalisis unsur-unsur yang

memiliki hubungan-hubungan yang kontras satu sama lain dalam domain-

domain yang telah ditentukan untuk dianalisis secara lebih terperinci (Bungin,

2007:211). Dengan analisis komponensial peneliti dapat menemukan

perbedaan-perbedaan dari tiap varian budaya yang ada di desa tersebut.

Teknik Analisis Tema Kultural

Page 33: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

33

Teknik analisis tema digunakan untuk menemukan hubungan-hubungan yang

terdapat pada domain-domain yang dianalisis sehingga akan membentuk suatu

kesatuan yang holistis, terpola dalam suatu complex pattern yang akhirnya akan

menampakkan kepermukaan tentang tema-tema atau faktor yang paling

mendominasi domain tersebut dan mana yang kurang mendominasi (Bungin,

2007:213). Dengan analisis ini peneliti berusaha mencari benang merah dari

analisis-analisis sebelumnya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan

penelitian.

Page 34: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

34

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA BAJULAN

2.1 Sejarah Singkat Desa

Bajulan merupakan nama sebuah desa di lereng Gunung Wilis yang berada

di kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur. Sejarah mengenai Desa

Bajulan secara singkat kami dapatkan dari seseorang sesepuh desa yang bernama Pak

Tumirang (95 tahun) yang juga termasuk mantan seorang LKMD (Lembaga Ketahanan

Masyarakat Desa).

Desa Bajulan pada awalnya telah diberi nama sejak zamannya para wali. Namun

ketika itu ada wali yang singgah disana yang bajunya kecantol (baca: tersangkut),

kemudian daerah tersebut dinami “baju ilang”, disingkat menjadi bajulang dan sampai

sekaran dikenal dengan nama Bajulan.

Di Desa Bajulan pernah disinggah oleh Jendral Soedirman saat memimpin perang

gerilya dan bermalam di daerah Kediri. Bajulan menjadi basis pertahanan beliau saat

melawan penjajah. Rute yang sama juga dilakukan tokoh sosialis Tan Malaka yang

dikabarkan meninggal di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Rute

gerilya tersebut hingga kini masih diperingati setiap tahun dengan menggelar gerak jalan

Kediri – Bajulan.20

Bajulan juga terdapat monumen Jendral Soedirman dimana monumen tersebut

didirikan sebagai tanda bahwa di desa Bajulan pernah disinggahi Panglima Besar Jendral

Soedirman selama 9 hari dalam rute perjalanannya memimpin perang gerilya melawan

Belanda pada tahun 1949. 3 km dari monumen ke arah selatan terdapat padepokan yang

20 Sumber data berasal dari internet, tersedia dalam

www.tempo.co.id/read/news/2011/04/11/180326658/Rumah-Singgah-Jenderal-Sudirman-Diduga-

Disewakan, diakses pada Hari Senin 23 Juni 2014 pukul 05.28 WIB

Page 35: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

35

sekarang dijadikan museum, juga tempat wudlu, tempat perundingan, serta tempat shalat

yang pernah dipakai beliau selama tinggal di desa Bajulan.21

2.2 Keadaan dan Perkembangan Penduduk

Demografi

Berdasarkan data administrasi pemerintah desa tahun 2010, jumlah penduduk desa

Bajulan adalah terdiri dari 1865 KK, dengan jumlah total 5654 jiwa, dengan rincian 2792

laki – laki dan 2862 perempuan. Seperti pada tabel berikut ini :

No. Usia Laki – laki Perempuan Jumlah Prosentase

1 0 – 4 218 201 419 orang 7,6 %

2 5 – 9 276 251 527 orang 9,1 %

3 10 – 14 267 274 541 orang 9,2 %

4 15 – 19 243 227 470 orang 8,7 %

5 20 - 24 235 267 502 orang 9,00 %

6 25 – 29 215 232 447 orang 7,8 %

7 30 – 34 230 241 471 orang 7,8 %

8 35 – 39 229 271 500 orang 9,00 %

9 40 – 44 207 219 426 orang 7,6 %

10 45 – 49 193 175 368 orang 6,4 %

11 50 – 54 179 183 362 orang 6,4 %

12 55 – 58 181 194 375 orang 6,6 %

13 >59 119 127 246 orang 4,8 %

Jumlah Total 2792 2862 5654 orang 100,00 %

21Sember berasal dari internet, tersedia

http://nilaaudina0202.blogspot.com/2013_06_01_archive.html, diakes pada hari Senin, 23 Juni 2014 pukul

05.39 WIB

Page 36: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

36

Dari data diatas nampak bahwa penduduk usia produktif pada usia 15 – 6422 tahun

desa Bajulan sekitar 4167 atau mencapai 74,1 % . Hal ini merupakan modal berharga bagi

pengadaan tenaga produktif dan SDM.

Tingkat kemiskinan di desa Bajulan termasuk tinggi. Dari jumlah 1983 KK diatas,

sejumah 983 KK tercatat sebagai pra sejahtera, 875 KK tercatat keluarga sejahtera, 125

KK sebagai sejahtera plus. Jika KK golongan pra sejahtera dan KK keluarga sejahtera 1

digolongkan sebagai KK golongan miskin, maka lebih 50 % KK desa Bajulan adalah

keluarga miskin.

Secara administratif, desa Bajulan terletak di wilayah Kecamatan Loceret

Kabupaten Nganjuk dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa – desa tetangga.

Batas wilayah desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Macanan Kecamatan Loceret

2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Kediri

3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan RPH Kediri

4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Klodan Kecamatan Ngetos

Jarak tempuh Desa Bajulan ke Ibukota Kecamatan adalah 15 KM, yang dapat ditempuh

dengan waktu sekitar 30 menit. Sedangkan jarak tempuh ke Ibukota Kabupaten adalah 25

KM, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 45 menit.

Mayoritas penduduk Desa Bajulan hanya mampu menyelesaikan sekolah di jenjang

pendidikan wajib belajar Sembilan tahun (SD dan SMP ). Dalam hal kesediaan sumber

daya manusia (SDM) yang memadai dan mumpuni, keadaan ini merupakan tantangan

tersendiri.

22 Sumber undang-undang ketenagakerjaan

Page 37: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

37

Rendahnya kualitas tingkat pendidikan di Desa Bajulan, tidak terlepas dari

terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada, di samping tentu masalah ekonomi

dan pandangan hidup masyarakat.sarana pendidikan di Desa Bajulan baru tersedia di

tingkat pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP), sementara untuk pendidikan timgkat

menengah ke atas berada di tempat lain yang relatif jauh. Berikut data tentang jenjang

pendidikan masyarakat Bajulan :

No Keterangan Jumlah Presentase

1 Buta Huruf Usia 10 Tahun ke atas 98 4,51%

2 Usia Pra Sekolah 471 15,15%

3 Tidak Tama SD 113 11,90%

4 Tamat Sekolah SD 994 23,43%

5 Tamat Sekolah SMP 663 17, 7%

6 Tamat Sekolah SMA 479 15,25%

7 Tamat Sekolah PT/Akademi 241 12,06%

Jumlah Total 3059 100%

Sebenarnya ada solusi yang bisa menjadi alternatif bagi persoalan rendahnya

Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa Bajulan yaitu melalui pelatihan dan kursus. Namun

sarana atau lembaga ini ternyata juga belum tersedia dengan baik di Desa Bajulan bahkan

beberapa lembaga bimbingan belajar dan pelatihan yang pernah ada tidak bisa

berkembang.

Page 38: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

38

2.3 Keadaan dan Perkembangan Ekonomi Desa

Keadaan Ekonomi

Tingkat penapatan rata-rata penduduk Bajulan masih sangat rendah. Secara umum

mata pencaharian warga masyarakat Desa Baujulan yaitu pertanian, jasa/perdagangan,

industri dan lain-lain. Berdasarkan data yang ada, masyarakat yang ada di sector pertanian

berjumlah 126 orang, yang bekerja di sektor jasa berjumlah 660 orang, yang bekerja di

sektor industri 14 orang. Dengan demikian jumlah penduduk yang mempunyaimata

pencaharin berjumlah 800 orang.berikut ini adalah jumlah table jumlah penduduk

berdasarkan mata pencaharian.

Mata Pencaharian dan Jumlahnya

No Mata Pencaharian Jumlah Persentase

1 Pertanian 126 orang 30, 4%

2 Jasa/Perdagangan

1. Jasa Pemerintahan

2. Jasa Perdagangan

3. Jasa ngkutan

4. Jasa Ketrampilan

5. Jasa Lainnya

387 orang

199 orang

- orang

73 orang

1 orang

5,8%

2,4%

0,5%

0,6%

0,4%

3 Sektor industry 14 orang 1,8%

4 Sektor Lain - orang 58,1%

Jumlah 800 orang 100%

Dengan melihat data di atas, maka angka pegangguran maka angka pengangguran di Desa

Bajulan masih cukup tinggi

Page 39: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

39

Adapun Asumsi Pendapatan Desa Tahun Anggaran 2015 Antara Lain:

No Sumber Pendapatan Jumlah

1 Pendapatan Asli Desa Hasil Usaha Desa 90.867.000

Hasil Pengelolaan Kekayaan Desa 85.000.000

Lain-lain Pendapatan Desa yang Sah 5.867.000

Total

2 Pos Bantuan Dari

Kabupaten

Tunjangan Aparatur Pemerintah

Desa

149.292.000

Alokasi Dana Desa (ADD) 115.22.000

Bagi Hasil PBB 8.633.000

Tunjangan BPD 6.600.000

Total

3 Pos Bantuan

Pemerintahan

Provinsi

Biaya Operasional Peningkatan

Kinerja

0

Total 0

4 Pos Bantuan

Pemerintahan Pusat

PNPM Mandiri Perdesaan 128.680.000

Page 40: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

40

PNPM Generasi Sehat dan Cerdas 66.155.000

Total

JUMLAH TOTAL 0

Kondisi ekonomi rumah tangga masyarakat Bajulan juga masih banyak yang

dikatakan miskin (masyarakat pra sejahtera). Di tiap dusun menggambarkan bahwa rumah

tangga masyarakat miskin di Desa Bajulan jumlah prosentasenya paling banyak.23

Pada peta Dusun Nglarangan didapat data rumah tangga masyarakat di dusun

tersebut paling banyak berasal dari kalangan miskin (pra sejahtera) sebanyak 79,8 persen,

dan yang paling sedikit jumlahnya adalah rumah tangga kaya yang hanya sebesar 5,4

persen, sedangkan yang menengah berjumlah 14,77 persen rumah tangga.

Dusun kedua yaitu Dusun Semanding. Jumlah rumah tangga miskin adalah jumlah

rumah tangga yang paling banyak dengan prosentase sebesar 78, 44 persen, dan jumlah

rumah tangga yang paling sedikit adalah rumah tangga yang berasal dari kalangan kaya

dengan prosentase 7,76 persen. Untuk rumah tangga dari kalangan menengah dengan

prosentase 13,7 persen.

Selanjutnya yaitu Dusun Plangkat, yang sama seperti Dusun Nglarangan dan

Dusun Semanding dengan jumlah terbanyak adalah jumlah rumah tangga yang berasal dari

kalangan miskin dengan prosentase 77,43 persen, jumlah yang paling sedikit ialah dari

keluarga menengah dengan prosentase hanya sebesar 11,05 persen dimana prosentase ini

tidak jauh dengan prosentase keluarga kaya dengan prosentase 11,53 persen.

Dusun keempat yaitu Dusun Pogoh dimana rumah tangga yang berasal dari

kalangan miskin adalah rumah tangga prosentase terbanyak dengan prosentase sebesar 67

persen, disusul urutan kedua yaitu keluarga menengah sebesar 20 persen dan terakhir

keluarga kaya dengan prosentase 13 persen.

23 Berdasarkan data sekunder peta dusun yang di dapat dari kantor kepala desa dari jumlah rumah

tangga yang ada, terlampir di lampiran

Page 41: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

41

Dusun selanjutnya yaitu Jati yang juga sama dengan dusun-dusun diatas total

prosentase keluarga miskin mencapai 80 persen, keluarga menengah sebanyak 16 persen

dan yang paling sedikit total keluarga kaya dengan prosentase hanya sebesar 4 persen.

Dusun terakhir adalah Dusun Sumbernongko dimana keluarga miskin juga

keluarga yang paling banyak prosentasenya, yaitu sebesar 63 persen, keluarga menengah

sebanyak 31 persen dan untuk keluarga kaya hanya sebesar 6 persen.

Dari data-data sekunder yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa Desa Bajulan

kondisi ekonominya masih sangat rendah. Dara enam dusun angka keluarga miskin rata-

rata mencapai 75 persen.

2.4 Keadaan dan Perkembangan Politik Desa

Untuk informasi mengenai perkembangan politik di Desa Bajulan, peneliti hanya

mendapatkan informasi tentang total pada jumlah pemilih pada pemilihan legislatif dan

pemilihan kepala desa. Dari total pemilih yang berjumlah 4350 orang, pada pemilihan

legislatif jumlah pemilih mencapai 2154 orang dan pemilihan kepala desa mencapai 2196

orang.

Informasi ysng di dapat dari perangkat desa mengatakan bahwa partisipasi politik

masyarakat desa cukup tinggi. Hal ini dilihat dari partisipasi masyarakat yang mencapai

setengah dari total penduduk yang ikut memilih, adapun untuk sisanya yang tidak memilih

dikarenakan merantau keluar desa.

Data lain yang bersumber dari penduduk desa mengatakan partisipasi penduduk

desa pada pemilihan kepala desa. Partisipasi dalam pilkades distimulus oleh uang yang

dibagikan poleh calon kepala desa kepada masyarakat. Calon yang paling banyak

mengeluarkan uang dia yang akan dipilih paling banyak, dan kemungkinan besar yang

akan terpilih menjadi kepala desa.

Page 42: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

42

2.5 Struktur Pemerintahan Desa

Kepala desa yang pernah menjabat hingga adalah sebagai berikut:

No Periode Nama Kepala Desa Keterangan

1 1912 s/d 1943 TRUNO TIRTO Kades pertama

2 1943 s/d 1960 KARSO DIMEDJO Kades kedua

3 1960 s/d 1990 SUEPONO Kades ketiga

4 1990 s/d 1999 DARKONI Kades keempat

5 1999 s/d 2013 Drs. JOKO PRANOTO Kades kelima

6 2013 s/d sekarang MADIN Kades keenam

Page 43: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

43

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Bajulan

Keterangan :

= garis komando

= garis koordinasi

SEKRETARIS DESA

KEPALA DESA BPD

URUSAN URUSAN URUSAN

MODIN

KAMITUWO

PLANGKAT

JOGOTIRTO JOGOBOYO KEBAYAN

KAMITUWO

POGOH

KAMITUWO

SEMANDING

KAMITUWO

JATI

KAMITUWO

NGLARANGAN

KAMITUWO

SB. NONGKO

Page 44: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

44

Nama Pejabat Pemerintahan Desa Bajulan

No. Nama Jabatan

1 Madin Kepala Desa

2 - Sekretaris Desa

3 Samaun Ahmad Jogoboyo

4 Sutaji Jogotirto

5 Soimun Modin

6 Suwito Kebayan

7 Listiyono Kamituwo Semanding

8 Santoso Kamituwo Pogoh

9 Suparno Kamituwo Nglarangan

10 Sumijo Kamituwo Jati

11 Jamin Kamituwo Plangkat

12 - Kamituwo Sb.Nongko

Nama Badan Permusyawaratan Desa Bajulan

No. Nama Jabatan

1 Martono Ketua

2 Jumadi Wakil Ketua

3 Roch Edi S Sekretaris

4 Rachmad R Anggota

5 Waiman Anggota

6 Markum Anggota

Page 45: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

45

7 Mulyono Anggota

8 Imam Tohuri Anggota

9 Lamidi Anggota

Nama-nama LPMD Desa Bajulan

No. Nama Jabatan

1 Suryono Ketua

2 Jarwo Sekretaris

3 Sutomo Bendahara

4 Lami Anggota

5 Muh. Yasin Anggota

6 Sumarji Anggota

7 Said Anggota

8 Yatinem Anggota

9 Niken Diah Anggota

Tim Penggerak PKK Desa Bajulan

No. Nama Jabatan

1 Wiji Astutik S.Pd Ketua

2 Juwarti Sekretaris I

3 Siti Amirah Sekretaris II

4 Niken Dyah S Bendahara I

5 Mujiani Bendahara II

Page 46: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

46

Secara umum pelayanan pemerintahan desa bajulan kepada masyarakat cukup

memuaskan dan kelembagaan yang ada berjalan sesuai tugas dan fungsinya masing-

masing (Data dari buku profil Desa)

6 Jariyem Pokja I

7 Purnanik Pokja II

8 Eni Winarsih Pokja III

9 Yarinem Pokja VI

10 Jarmini Anggota

11 Yatini Anggota

12 Damini Anggota

13 Endang Anggota

14 Sumarni Anggota

15 Jami Anggota

16 Masinem Anggota

17 Rinem Anggota

18 Inzana Anggota

Page 47: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

47

2.6 Peta Desa

Page 48: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

48

BAB III

Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik, dan Hindu

di Masyarakat Desa Bajulan

3.1 Nilai-nilai Tradisi Masyarakat Desa Bajulan

Penjelasan Geertz yang sangat detail mengenai upacara slametan di

kalangan abangan membawa kepada penyimpulan bahwa di mata Geertz slametan

bagi kelompok abangan adalah segala-galanya dan menempati posisi sentral. Lebih

jauh Geertz mengidentifikasi jenis-jenis slametan yang menurutnya terbagi dalam

empat jenis : (1) yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan kelahiran, khitanan,

perkawinan, dan kematian; (2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam,

Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya; (3) yang ada kaitannya dengan

integrasi social desa, bersih desa; (4) slametan Selo yang diselenggarakan dalam

waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami

seseorang keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama,

sakit, terkena tenung, dan sebagainya.24

Nilai-nilai tradisi yang dominan di Desa Bajulan adalah nilai-nilai yang

berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa atau yang disebut dengan

kejawen. Nilai-nilai tersebut tertumpahkan pada kegiatan-kegiatan yang ada pada

masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya yaitu slametan,

Nyadran dan pengajian rutin. Untuk slametan sendiri di Desa Bajulan ada tiga

macam, yaitu slametan pasca panen (wiwitan), slametan untuk kirim doa, dan

slametan untuk memenuhi nazar.

24Cliford Geertz, Abangan, satri dan Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.

38

Page 49: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

49

Slametan yang pertama yaitu wiwitan. Biasanya tradisi ini dilaksanakan

dirumah masing-masing warga pasca panen. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang

tokoh adat yang diberi sebutan bhujangga. Bhujangga ini merupakan orang yang

dapat menentukan kapan acara slametan dilaksanakan dan biasanya juga sebagai

tokoh yang memimpin doa slametan. Biasanya doa yang dibacakan kebanyakan

berbahasa Jawa daripada yang berbahasa Arab. Dalam konteks desa Bajulan,

Bhujangga merupakan orang yang dianggap mengetahui atau paham tentang tradisi

wiwitan ini.

Selain slametan untuk tradisi wiwitan, masyarakat desa Bajulan juga

melakukan slametan untuk tujuan-tujuan lain. Ada slametan yang dilakukan untuk

mengirimi doa orang-orang yang telah meninggal. Pada slametan untuk tujuan

kirim doa ini,masyarakat menyelenggarakan tahlilan dirumah warga yang

mengadakan acara slametan dan kemudian mengundang para tetangga dan kerabat

dekat untuk menghadiri tahlilan tersebut.

Disamping itu slametan juga dilakukan untuk membayar nazar. Slametan

yang untuk membayar nazar ini dilakukan oleh masyarakat muslim yang ketika

telah terpenuhi nazarnya mereka melakukan slametan diatas punden. Slametan

dilakukan disana sebagai rasa syukur atas pencapaian yang didapat, karena apa

yang telah dicapai juga tak terlepas dari leluhur mereka. Punden ini merupakan

tempat yang disucikan menurut kepercayaan masyarakat hindu maupun

masyarakat islam setempat.

Menurut kepercayaan orang hindu punden merupakan tempat leluhur

mereka yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat pada zaman dahulu.

Punden dijadikan tempat oleh masyarakat hindu untuk melakukan upacara diatas

Page 50: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

50

punden dilakukan menjelang Sedangkan punden menurut kepercayaan masyarakat

islam, di punden tersebut terdapat sebuah makam.

Kegiatan kedua yaitu tradisi Nyadran atau Ruwat desayang merupakan

ritual yang dilaksanakan pada bulan suro. Nilai penting tradisi Nyadran bagi

masyarakat Desa Bajulan adalah sebagai ritual untuk membersihkan diri dari hal-

hal yang negatif, tolak balak menghindari dari hal-hal yang buruk dan juga kirim

doa untuk para leluhur.

Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancaran dengan guru TK terkait tradisi

Nyadran seperti dibawah ini.

Tradisi Nyadran ini biasanya dilakukan ditiap dusun-dusun yang ada di

Desa Bajulan dan teknis bagaimana acara tersebut dilakukan tergantung otoritas

dari masing-masing dusun, misal untuk menentukan berapa sumbangan dari

masyarakat dusun tersebut. Di Desa Bajulan terdapat enam dusun dimana di semua

dusun tersebut serentak melaksanakan tradisi Nyadran setiap setahun sekali.

Kegiatan selanjutnya yaitu kegiatan pengajian rutin yang diadakan setiap

malam Jumat untuk bapak-bapak dan hari Jumat (jam 3 siang) untuk ibu-ibu. Setiap

dusun di Desa Bajulan pasti ada perkumpulan pengajian yang diadakan rutin.

Pengajian dilakukan secara bergilir di rumah-rumah warga desa. Bagi masyarakat

Nek menurutku yo ajane sebenere ya yang penting itu kalo pribadi yadoa. Tapi itu

kan yang buat orang Jawa. Jawa kuno itu masih kental sekali disini. Ya mungkin

tujuannya untuk keselamatan diri, menghindari dari hal-hal yang negatif, gangguan

dari makhluk-makhluk, ya kemungkinan besar gitu. Tapi ya kalo menurut saya sendiri

ya untuk doa. Tapi gimana ya menurut saya pribadi ya gimana lagi umumnya gitu, tapi

disini semuanya gitu (sambil tertawa). Ya untuuk menjaga lingkungan, untuk

kebersamaan. Jadi adat Jawa kan ya gitu masih kuat disini, biasanya kan sulit untuk

dihilangkan, sudah menjadi semacam budaya

Page 51: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

51

setempat arti penting pengajian rutin ialah untuk sekedar menjali silaturahmi antar

warga.

Tidak ada masjid di Desa Bajulan. Fungsi masjid di Desa Bajulan

digantikan dengan mushola, atau yang lebih sering disebut langar oleh masyarakat

sekitar. Setiap dusun di Desa Bajulan paling tidak terdapat satu langgar, namun

langgar yang menggantikan fungsi masjid tidak dijadikan pusat kegiatan

keagamaan. Ini terlihat dari kegiatan pengajian yang dilakukan dirumah-rumah

warga, tidak di langgar. Isi bangunan langgar juga sangat sederhana, tidak terlihat

masyarakat setempat antusias dalam pengembangan langgar yang ada. Bahkan

sosok kyai atau ustadz juga tidak ditemukan dalam desa ini, yang ada hanyalah

warga yang memimpin kegiatan pengajian, imam dan takmir langgar. Selebihnya

tidak ada sosok tokoh yang dijadikan rujukan tokoh agamis.

Di Desa Bajulan juga terdapat satu Pure yang terdapat di dusun Semanggi,

dimana didaerah sekitar Pure terdapat penduduk yang beragama Hindu. Pure ini

juga mengadakan kegiatan keagamaan yang diadakan hampir setiap hari. Pura

Kerta Bhuwana Giri Wilis sebagai tempat sembahyang orang yang beragama hindu

dan juga salah satu dari tempat wisata yang ada di kota nganjuk .pura ini terletak

di kaki gunung wilis tepatnya Dusun Curik Desa Bajulan, Kecamatan Loceret,

Nganjuk, Jawa Timur. Pemeluk agama hindu di dusun ini sudah ada sejak dulu,

mereka merupakan sisa-sisa dari jaman kerajaan Kediri pada masa pemerintahan

Prabu Airlangga.25

25 Data bersumber dari internet, tersedia www.balipost.co.id, diakses pada hari Minggu, 22 Juni

2014 pukul 10.37 WIB

Page 52: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

52

3.1.1 Variasi Pembelahan Komunitas Sosial-Kultural di Desa Bajulan

Varian budaya dapat diartikan sebagai suatu model atau ragam budaya yang

sudah berkembang dan beradab pada suatu daerah. Varian budaya merupakan

sebuah studi komunal dengan unit analisis kelompok yang mencoba memetakan

kekuasaan masyarakat desa dari segi budayanya (culture). Pendekatan varian

budaya sangat erat hubungan dengan nilai – nilai tradisi, budaya dan agama. Nilai

tradisi disini merupakan nilai – nilai tradisi yang telah berkembang sejak lama

didalam masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Didalam nilai tradisi ini

biasanya masih ditemukan nuansa kehinduan yang merupakan bentuk pengaruh

atau peninggalan nilai – nilai kerajaan - kerajaan hindu yang pernah berkuasa di

tanah Jawa.

Bila Cifford Geertz mengkonsepsikan masyarakat Jawa menjadi 3 jenis

budaya utama yaitu, abangan, santri dan priyayi, di Desa Bajulan terdapat tiga

pembelahan kultural, yaitu abangan dan hindu. Eksistensi santri di Desa Bajulan

terlihat samar karena perilaku dan kebiasaan masyarakat Bajulan lebih cenderung

mengarah pada abangan. Nilai-nilai kejawen yang sangat kental didorong oleh

adanya komunitas hindu Jawa yang telah menetap paling lama disana. Tidak heran

jika masyarakat Bajulan lebih dekat pada karakteristik abangan dibandingkan

santri, meskipun jumlah agama islam mayoritas disana.

Golongan Santri menekankan pada tindakan keagamaan dan upacara-

upacara sebagaimana digariskan dalam ajaran islam. Kecenderungan varian santri

lebih menekankan pada aspek-aspek ajaran agama Islam, seperti sembahyang,

sholat Jumat, puasa, tarawih, tadarus, naik haji, pondok pesantren, dan lain

sebagainya. Selain itu, kecenderungan varian santri juga dapat dilihat dari semakin

Page 53: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

53

melemahnya aspek-aspek abangan dalam perilaku masyarakat. Artinya, semakin

jarang orang melakukan slametan, tidak percaya adanya makhluk halus, tidak

percaya terhadap petungan dalam penentuan hari-hari baik, tidak percaya pada

dukun, tabib, sihir, dan dunia magic, maka orang tersebut dapat dikategorikan ke

dalam varian santri.

Varian santri di Desa Bajulan tidak terlihat, meskipun masyarakat setempat

mengidentifikasi dirinya sebagai seorang santri, namun dari sikap dan kebiasaan

yang ditunjukkan telah mengidentifikasi kalau dirinya adalah abangan. Hal ini

dapat dilihat dari fungsi masjid yang tidak dijadikan sebagai pusat keagamaan.

Kegiatan pengajian tidak pernah dilaksanakan di masjid, masyarakat setempat

melaksanakan kegiatan pengajian bergilir ke rumah-rumah. Bangunan masjid juga

terlihat sangat sederhana, tidak ada antusisme dari masyarakat setempat untuk

meramaikan masjid maupun mengadakan pembangunan masjid. Kecenderungan

varian abangan juga dapat dilihat dari beberapa indikasi berikut, antara lain :

budaya slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, kepercayaan terhadap

petungan dalam penentuan hari-hari baik, kepercayaan pada dukun, tabib, sihir,

dan dunia magic.Kedua, yaitu dilihat dari adanya slametan yang diadakan di atas

punden dimana slametan ditujukan untuk membayar nazar. Slametan tersebut

bertujuan untuk mengucapkan terima kasih pada roh leluhur karena masyarakat

setempat percaya bahwa segala sesuatu yang telah mereka capai juga tidak lepas

dari bantuan para leluhur. Dengan demikian slametan diadakan disana dalam upaya

melakukan harmonisasi antara desa dengan roh leluhur.

Priyayi asal mulanya hanya diistilahkan bagi kalangan aristokrasi turun-

temurun yang oleh Belanda diambil dengan mudah dari raja-raja pribumi yang

ditaklukkan untuk kemudian diangkat sebagai pejabat sipil yang dikaji. Elit pejabat

Page 54: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

54

ini, yang berujung akar-akarnya terletak pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa

kolonial, memelihara dan mengembangkan etiket keraton yang sangat halus dengan

kesenian yang sangat kompleks.

Komunitas priyayi di Desa Bajulan mungkin bisa direpresentasikan dengan

adanya varian abangan ndara. Hal ini dapat dilihat dari perilaku abangan ndara

yang terlihat seperti bangsawan dan menguasai birokrasi pemerintahan desa.

Dalam teorinya Geertz mengatakan bahwa priyayi menitikberatkan pada

kebudayaan kelas atas yang pada umumnya golongan bangsawan baik itu

berpangkat tinggi atau rendah. Geertz mengidentifikasi priyayi sebagai "orang

yang bisa menyelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar Jawa

jaman sebelum penjajahan; yang setengah mitos; tetapi sejak Belanda

mempekerjakan kaum ini sebagai instrument administrasi kekuasaanya, pengertian

priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat

persediaan aristocrat asli sudah habis.26 Di desa Bajulan sendiri abangan ndara

terdiri dari golongan orang-orang yang memiliki jabatan penting di pemerintahan

desa.

Abangan dalam konsep Geertz mewakili sikap yang menitikberatkan pada

segi-segi sinkritisme27 Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan

dengan unsur petani diantara penduduk. Pada Desa Bajulan abangan terlihat sangat

kental, hal ini dapat dilihat dari berbagai macam tradisi yang terdapat disana, mulai

dari slametan wiwitan, slametan orang meninggal, slametan nazar, nyadran dan

tradisi kultural lainnya.

26Ibid, hlm. 308 27Sinkretisme adalah aliran yang memadukan beberapa aliran yang berbeda dengan tujuan mencari

keserasian atau keseimbangan

Page 55: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

55

Analisis mengenai eksistensi abangan di Desa Bajulan tidak terlepas dari

teori Geertz mengenai persembahan yang mereka (abangan) berikan ditujukan

demi harmonisasi dengan para roh leluhur yang diyakini terkadang melakukan

gangguan-gangguan atau bisa juga ditujukan untuk keselamatan yang dalam istilah

Geertz digunakan frase "gak ono apa-apa".28

Mengidentifikasi seseorang termasuk abangan atau santri dapat dilihat dari

tujuan dan penafsiran atau makna dari kegiatan yang dilakukan, misal seperti

slametan. Jika tujuan slametan untuk menjauhkan dari hal-hal gaib atau lebih

mengarah pada syirik, orang tersebut bisa dikatakan abangan. Kaum abangan tidak

memperdulikan doktrin agama, mereka lebih senang melarutkan diri dalam detail

ritual. Namun bagi kalangan santri slametan lebih ditujukan sebagai upaya berdoa

memohon keselamatan kepada Allah SWT.

Abangan di Desa Bajulan terbagi menjadi dua, yaitu abangan wong cilik

dan abangan ndara. Abangan wong cilik disimbolkan dengan masyarakat yang

berasal dari kelompok petani, buruh tani, dan pedagang kecil. Mereka ini tidak

jarang yang masih mengontrak rumah, bangunan rumah juga masih sangat

sederhana sekali. Abangan wong cilik sangat rutin dalam mengikuti kegiatan-

kegiatan keagamaan, seperti kegiatan-kegiatan slametan yang telah dijelaskan

sebelumnya.

Abangan ndara terlihat seperti bangsawan yang memiliki kedudukan dan

jabatan di pemerintahan desa. Mereka berasal dari kalangan perangkat desa yang

memiliki kehidupan sangat berkecukupan. Abangan ndara diidentifikasi dari

mereka yang memiliki rumah yang bagus, memiliki sawah yang luas, dan mereka

28Cliford Geertz, Abangan, satri dan Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm.

18

Page 56: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

56

jarang mengikuti kegiatan kultural desa. Abangan ndara juga dapat terlihat dari

mereka yang bisa disebut orang-orang kaya yang bisa membayar sepeda motor

secara cash. Abangan ndara fokus pada pemerintahan desa dan mengurusi

program-program dari pemerintah daerah.

Di Desa Bajulan juga terdapat umat hindu yang tinggal di dusun

Semanding. Disana juga terdapat pura yang bernama Pura Kerta Bhuwana Giri

Wilisyang digunakan sebagai tempat sembahyang dan juga salah satu dari tempat

wisata yang ada di kota Nganjuk. Pendirian pura pertimbangnya berdasarkan

alammnya, karakteristik umatnya, dan fisiknya pura berisi roh Gunung Wilis

dengan struktur bangunannya sama seperti pura di puncak Wilis.

Seorang Pemangku pura yang bernama Pak Damri adalah 1 dari 6 orang

pemangku Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis. Beliau sudah diresmikan sebagai

pemangku sejak saat pura tersebut diresmikan dan dioperasionalkan. Menurut

beliau, keberadaan umat Hindu di Jawa sendiri sudah sejak Jaman Majapahit. Dan

semakin berkembangnya jaman, pemikiran manusia semakin berkembang dan juga

keyakinan-keyakinan baru dapat diterima oleh masyarakat. Sehingga umat Hindu

Jawa memberikan istilah “Sirno Ilang Kertaning Bumi” yang pada intinya memiliki

arti dengan semakin berkembangnya jaman, keyakinan Agama Hindu semakin

terkikis keberadaannya.

Untuk pembangunan pure sendiri, Pak Damri memberikan penjelasan

bahwa sebelum adanya Pura sekitar tahun 80an, umat Hindu di desa ini telah

menggunakan lahan tempat berdirinya pura tersebut sebagai tempat ibadah

meskipun secara sederhana. Namun karena dirasa perlu adanya Pura sebagai

Page 57: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

57

tempat beribadah sekaligus tempat suci maka pada tahun 1998 didirikan dan

diresmikan pada tahun 2001.

Pada saat mendirikan Pura umat Hindu menemukan berbagai macam

kendala, mulai dari perizinan, dana, hingga masalah sosial. Perizinan sulit didapat

pada masa orde baru sehingga perencanaan pembangunan yang sudah ada sejak

tahun 1994 baru terealisasi pada tahun 1998. Pada tahun 2001 Pura telah

diresmikan dan diakui oleh Bupati Nganjuk -Bapak Sutrisno- yang sangat

mendukung pendirian tempat ibadah dari agama apapun. Sedangkan masalah dana

yang dialami pada saat itu dikarenakan memang masyarakat Hindu disana tidak

mampu mendanai sendiri sehingga dibantu oleh umat Hindu lain (seperti dari Bali)

dan juga dari lembaga persatuan umat Hindu.

Masalah terakhir yaitu adanya kecemburuan sosial dimana pembangunan

Pura mendapatkan tekanan dari luar desa. Masalah ini merupakan sebuah isu

awalnya. Berdasarkan informasi yang di dapat dari kamituwo Dusun Pogoh, ada

isu yang mengatakan bahwa pembangunan pura harus melalui persetujuan 27 kyai

Nganjuk. Isu tersebut berlawanan dari informasi yang didapat dari perangkat desa

yang mengatakan justru pembangunan pura tersebut sangat didukung para kyai

Nganjuk. Kemudian isu-isu tersebut telah di klarifikasi oleh pemangku pure yang

mengatakan bahwa isu-isu tersebut diprovokasi dari orang-oran luar desa seperti

yang dijelaskan sebelumnnya.

Dalam perkembangannnya Pura yang merupakan tempat beribadah kini

juga dianggap sebagai cagar budaya karena dalam peribatan umat Hindu juga

menampilkan tarian-tarian. Pura tersebut dijaga oleh juru kunci yang disebut

“pemangku” yang sudah menjabat sejak Pura didirikan. Adapun saat ini pemangku

Page 58: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

58

Pura tersebut berjumlah 6 orang dimana pertambahannya bertambah berpasang-

pasangan.

Adapun tempat yang disakralkan yang berada di Dusun Pogoh merupakan

tempat pembakaran mayat umat Hindu dan disana juga dimakamkan (dibakar)

seorang sesepuh dari umat Hindu. Hingga saat ini tanah punden terebut masih

digunakan baik oleh umat Hindu (untuk meminta restu ketika melakukan kegiatan)

maupun oleh masyarakat setempat untuk melakukan syukuran ketika “nazar”

mereka terpenuhi.

Salah satu hal yang terlihat dari umat Hindu di Bali yaitu adanya kasta.

Namun dalam umat Hindu desa Bajulan tidak terdapat kasta. Bagi pemangku kasta

merupakan status sosial yang diberlakukan oleh organisasi merupakan suatu bentuk

tingkatan seseorang yang disesuaikan dengan kemampuan ataupun tugasnya. Kasta

dapat diibaratkan tubuh manusia dimana Brahmana dianggap sebagai kepala

sehingga fungsinya sebagai pemikir (dalam negara sebagai DPR), Ksatria sebagai

tangan (dalam negara sebagai pemerintah), Waisya sebagai perut (dalam negara

sebagai pelaku ekonomi) dan kasta syudra sebagai kaki (dalam negara sebagai

rakyat). Adapun konsep kasta dalam kitab Wedha yaitu catur warna jiwa yang

menerangkan tentang kemampuan suatu manusia dalam membidangi suatu

pekerjaan.

Ritual-ritual yang sering dijalankan oleh umat hindu selalu memiliki makna

filosofis di setiap komponennya. Hal ini pula berlaku untuk upacara yang rutin

dilakukan oleh umat hindu di desa Bajulan. Menurut Pak Damri (salah satu

pemangku di Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis) umat Hindu dalam melakukan setiap

upacara harus didasarkan pada suatu hukum/aturan, hukum tersebut bernama desa

Page 59: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

59

kala patra. Desa yang berarti tempat, sedangkan kala yang merujuk pada waktu,

dan patra yang berarti situasi. Jadi upacara tersebut harus mempertimbangan

situasi tempat dan yang paling penting adalah kemampuan manusia yang

menjalankannya. Tidak kaku dan lebih fleksibel disesuaikan dengan kondisi yang

ada tetapi juga tidak lepas dari ajaran kitab sucinya. Desa kala patra di setiap desa

yang berbeda pasti memiliki cara-cara yang berbeda pula. Misal dapat dicontohkan

melalui persembahan sesaji,jika di desa Bajulan ini tidak ditemukan buah apel

maka sesajinya tidaklah harus buah apel, kemudian bisa digantikan dengan buah

jeruk atau mangga yang mudah ditemukan di desa ini, dan hal tersebut tidak

menjadi masalah karena menyesuaikan pada kemampuan yang ada.

Pada hakikatnya upacara sendiri merupakan konsep untuk menyeimbangan,

baik itu keseimbangan alam maupun untuk ikatan sosial, bukan hanya sebatas

untuk sarana beribadah. Jika hanya menyangkut masalah ibadah itu bagian dari

urusan manusia sebagai individu masing-masing. Tetapi melalui ritual upacara ini

diharapkan dapat menyeimbangkan manusia, bagaimana hubungan dengan sang-

Pencipta yang membuat kehidupan, bagaimana hubungannya dengan sesama

mahluk hidup dalam menjalin kerukunan, serta bagaimana hubungan antara

manusia dengan alamnya. Jadi pada intinya upacara merupakan perwujudan dari

konsep sarana beribadah sekaligus sebagai sarana untuk mengevalusi diri manusia

sendiri dan kondisi alam sekitar. Itulah tujuan upacara bukan hanya sekedar

masalah hidangan / persembahan sesaji tetapi sebagai sarana untuk evaluasi, sarana

ikatan dan menerjemahkan ajaran.

Acara besar yang biasa diadakan di Pura Kerta Bhuwana Giri Wilis adalah

wedaran. Dari acara wedaran ini umat-umat hindu dari luar daerah juga ikut

terlibat, termasuk umat hindu yang ada di Bali. Umat hindu di Bali masih mengakui

Page 60: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

60

bahwa leluhurnya berasal dari tanah jawa, dan pada kesempatan acara wedaran ini

mereka bermaksud mendatangi asal leluhurnya. Sama seperti di ajaran islam yang

dikenal dengan ziarah kepada pendahulunya.

Bagan Pembelah Kultural di Desa Bajulan

3.2 Kontestasi Varian Budaya di Desa Bajulan

Pembelahan budaya di desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten

Nganjuk terdiri dari abangan ndara, abangan wong cilik, dan Hindu. Terkait

dengan ketiga varian tersebut, tentunya tidak terlepas adanya kekuatan-kekuatan

dominan dari salah satu varian tersebut yang mempengaruhi pembuatan kebijakan

di desa Bajulan Tersebut. Berdasarkan data-data hasil penelitian, kontestasi antar

Variasi Pembelahan di

Desa Bajulan

ABANGAN HINDU

Merupakan

peduduk Dusun

Semanding,

memiliki pura yang

bernama Pura Kerta

Bhuwana Giri

Wilis

ABANGAN

NDARA

Simol-simbol :

Perangkat desa,

orang kaya, jarang

mengikuti kegiatan

kultural desa

ABANGAN

WONG CILIK

Simbol-simbol :

Kelompok tani,

pedagang kecil,

rutin mengikuti

kegiatan kultural

desa

Page 61: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

61

varian tersebut lebih nampak pada dua kelompok yaitu abangan ndara dan abangan

wong cilik. Kontestati antara keduanya itulah yang kemudian akan kami

deskripsikan lebih lanjut.

Kontestasi struktural-kultural muncul akibat dari adanya interaksi sosial.

Kesadaran beridentitas muncul ketika orang berhubungan atau berinteraksi dengan

orang lain. Identitas-identitas ada kalanya bersifat sangat cair dan mengeras ketika

dihadapkan dengan kontestasi. Hal ini disebabkan konteks interaksi yang

menghasilkan beragam momentum dan respon dari kedua entitas. Ketika masuk

dalam kelompok, identitas-identitas personal ditanggalkan sementara untuk

kemudian digantikan dengan identitas kelompok. Kemudian bagaimana identitas-

identitas tersebut membuahkan aksi dapat ditelusuri dengan menggunakan

beberapa pendekatan. Identitas dalam konteks varian budaya menjadi faktor

pemicu konflik untuk memperoleh kekuasaan di pemerintahan desa.

Dalam teori, kontestasi yang bersifat sosial kultural dimana tiap varian

budaya yang saling berkompetisi untuk menduduki jabatan di pemerintahan desa.

Hal ini dikarenakan jika pada suatu desa yang identitas santri dan abangan nya

terlihat kental, interkasi keduanya akan mengarah bukan hanya pada kontestasi

yang bersifat struktural, namun pada saat yang sama bertumpang–tindih dengan

identitas dan budaya sebagai sebuah konteks kultural.

Tidak demikian yang terjadi pada Desa Bajulan. Kontestasi yang terlihat

terjadi diantara sesama varian abangan, yaitu antara abangan ndara dan abangan

wong cilik. Abangan ndara yang disimbolkan seperti bangsawan dan memiliki

jabatan di pemerintahan desa dengan status ekonomi yang tinggi. Sedangkan

abangan wong cilik disimbolkan mereka-mereka yang berasal dari kalangan

Page 62: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

62

kelompok tani dan para pedagang keci yang status ekonominya rendah atau dengan

kata lain kalangan rumah tangga miskin.

Kontestasi yang terjadi bukan untuk memperebutkan kekuasaan desa, namun

lebih pada bagaimana para abangan ndara yang berasal dari perangkat desa dapat

mendistribusikan program-program kesejahteraan agar sampai pada abangan wong

cilik. Banyak hal-hal yang menunjukkan bahwa interaksi keduanya sangat kaku

yang akhirnya menimbulkan konflik latent bagi para abangan wong cilik.

Meskipun di Desa Bajulan abangan wong cilik mendominasi dari segi

jumlah, mereka tetap menjadi orang-orang yang pasif untuk ikut berpartisipasi

dalam pembangunan desa. Hal ini dikarenakan abangan ndara sebagai perangkat

desa jarang, bahkan tidak perna sama sekali melibatkan para abangan wong cilik

dalam musyawarah desa. Dan yang lebih penting lagi karena para abangan wong

cilik tidak memiliki jabatan-jabatan penting untuk bisa menyalurkan aspirasi

mereka.

3.2.1 Kontestasi Antara Abangan Ndara dan Abangan Wong Cilik

Abangan ndara adalah varian yang terdiri dari perangkat desa baik itu

kepala desa, kamitua, jagabaya, jaga tirta, para petani pemilik lahan yang luas, dan

warga yang mempunyai status social yang tinggi. Sedangkan untuk abangan wong

cilik meliputi warga desa yang tidak termasuk dalam perangkat desa atau

mempunyai jabatan penting di desa tersebut. Kontestasi antar varian abangan ini

terlihat jelas dari tidak adanya komunikasi yang jelas antar keduanya. Sehingga,

seringkali timbul kesalahpahaman atas informasi yang diperoleh oleh kedua

komunitas abangan tersebut.

Page 63: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

63

Perangkat desa sebagai komunitas abangan ndoro berupaya untuk

merebutkan kekuasaan atau tetap mempertahankan kekuasaan, jabatan dan status

sosialnya dengan berbagai macam cara. Salah satu kasus yang kami temui di desa

bajulan adalah banyaknya politik uang (money politics) yang dilakukan oleh calon

kepala desa untuk dapat menduduki jabatan kepala desa. Hal ini juga didukung oleh

tingginya respon warga terkait dengan pembagian uang yang diberikan.

Selain itu, terkait dengan alokasi atau akses program dari pemerintah,

kelompok abangan ndoro lebih memperioritaskan pada komunitasnya. Mereka

yang menduduki jabatan perangkat desa, akan lebih mudah pula dalam mengakses

program-program baru dari pemerintah yang bisa memberikan keuntungan bagi

diri mereka. Misalnya saja program BPJS. Perangkat desa mengaku telah

memberikan sosialisasi kepada warga terkait dengan program kesehatan baru

tersebut. Mereka juga memberikan penjelasan bahwa respon dari warga masyarakat

atau komunitas abangan wong cilik cenderung rendah. Akibatnya, BPJS hanya

mampu diikuti oleh komunitas perangakat desa. Terlepas dari itu, ada juga program

bantuan dari pemerintah berupa bibit-bibit tanaman. Namun tetap saja, pembagian

bibit-bibit tanaman cenderung tidak merata dan hanya menguntungkan beberapa

kelompok atau komunitas tertentu saja yang dekat dengan perangkat desa.

Warga desa sebagai kelompok varian abangan wong cilik mendapatkan

posisi yang termarjinalkan. Mereka yang berlatarbelakang pendidikan rendah

menjadikan pemahaman mereka terhadap proses politik di desa mereka juga

cenderung rendah. Banyak sekali kecurigaan yang dilontarkan oleh kelompok

abangan cilik terhadap kelompok abangan ndoro. Mereka memperlihatkan perilaku

yang kurang menyenangkan terhadap komunitas abangan hanya dengan ucapan-

ucapan sindirian.

Page 64: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

64

Kelompok abangan wong cilik tidak begitu responsif terkait dengan

keluhan-keluhan atau permasalahan yang mereka hadapi, dikarenakan sikap

mereka yang cenderung pasrah. Permasalahan yang ada di tengah mereka baik itu

terkait dengan keluhan politik atau tidak, mereka hanya sebatas membicarakannya

pada lingkup komunitas mereka sendiri. Seperti saja terkait dengan masalah

program pemerintah di desa Bajulan. BPJS misalnya, meskipun kelompok atau

komunitas abangan ndoro telah mengaku memberikan informasi atau sosialisasi

terkait dengan kemudahan akses, ternyata di sisi lain, mereka tidak pernah tahu

tentang adanya program baru dari jaminan kesehatan tersebut. Mereka hanya

sebatas tahu tentang program jaminan kesehatan yang lama yang gratis seperti

jamkesmas.

Selanjutnya terkait dengan bantuan bibit-bibit tanaman untuk perkebunan,

mereka para petani mengaku tidak pernah menerima pembaruan tanaman berupa

bibit dari pemerintah. Ini didapat dari informasi Ibu Saikem seorang petani pemilik

lahan, namun tidak luas. Berikut cuplikan wawancaranya :

Bahkan tanaman yang mereka miliki rata-rata berusia puluhan tahun dan sudah

tidak produktif lagi. Peran serta komunitas abangan wong cilik terutama untuk

kelompok petani memang juga cenderung kurang dilibatkan. Hal ini terkait dengan

pengolahan lahan dan pemberantasan hama. Mereka banyak mengeluhkan

produksi hasil pertanian atau perkebunan mereka menurun diakibatkan oleh

biasane yo wit wit-an opo ngunu, tapi yo ra tau di ewehin og mbak, di gawe

dewe gawe kami tuwo e, sek disik e yo oleh bantuan cengkeh uwakeh kok mbak,

yo ra tau di ewehi. (biasanya ya pepohonan gitu, tapi ya gak pernah dikasihkan

kok mbak, di pakai sendiri sama kami tuwo nya, waktu dulu, ya dapet bantuan

cengkeh banyak mbak, ya tidak dikasihin)

Page 65: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

65

serangan hama, baik itu hama tikus atau jamur. Diantara permasalahan yang

mereka hadapi itu, tidak ada orang atau lembaga yang menjadi mediator untuk

pemecahan masalah tersebut.

Tingkat komunikasi antar kedua kelompok abangan baik itu abangan ndoro

dan abangan wong cilik memang cenderung kurang intensif. Keduanya jarang

sekali dan hampir tidak pernah terlibat dalam satu pembicaraan atau musyawarah

untuk merumuskan kebijkan atau menyelesaikan permasalahan. Data dapat

didukung dari salah satu pedagang yang tidak tahu apa itu PNPM. Berikut cuplikan

wawancaranya :

Hal ini juga didukung dari keberadaan Badan Permusyawaratan Desa

(BPD) yang sudah lama tidak aktif. Lembaga ini baru saja diaktifkan kurang lebih

satu tahun dari jabatan kepala desa yang baru. Namun keberadaanya hanya sebatas

formalitas saja.

Di sisi lain ada juga Himpunan Tani di desa Bajulan. Himpunan Tani ini

juga sebagai komunitas atau lembaga yang diadakan dengan tujuan membicarakan

persoalan-persoalan pertanian. Namun tetap saja, himpunan tani ini lebih

didominasi oleh para petani yang memiliki lahan yang luas. Jadi orientasi

keputusan juga lebih diarahkan bagi mereka kelompok abangan ndoro. Hal inilah

Narasumber : nggak . kalo yang dapat ada, kalo yang jualan tapi

nga jelas. ini malah nga dikasih

Pewawancara 1 : uang gitu pak?

Narasumber : ya dapat pinjaman, PNPM . nggak tau PNPM Itu

apa.

Pewawancara 2 : Simpan pinjam gitu ya pak?

Narasumber : katanya PNPM itu apa, saya nggak tau.

Page 66: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

66

yang menjadikan mereka kelompok abangan wong cilik cenderung sulit mengakses

informasi terkait dengan persoalan yang mereka keluhkan. Akibatnya, kelompok

abangan wong cilik cenderung lebih intensif berkomunikasi dengan sesama

komunitasnyasehingga interaksi antar kedua komunitas tersebut cenderung

tertutup.

Terlepas dari kontestatasi antara kelompok abangan ndara dan abangan

wong cilik, kelompok Hindu yang juga sebagai pembelahan yang ada di desa

Bajulan, cenderung tidak memunculkan kontestasi yang dominan. Komunitas

warga Hindu cenderung membangun interaksi dalam komunitasnya dengan cukup

baik. Komunikasi dan interaksi dalam kelompok mereka lebih intensif daripada

kelompok diluar mereka. Begitu juga halnya hubungan mereka dengan komunitas

diluarnya seperti komunitas abangan.

Mengenai keterlibatan dalam pemerintahan desa, kelompok Hindu yang

merupakan kelompok minoritas sadar akan hal itu. Mereka para kelompok hindu

cenderung menerima apapun segala keputusan yang telah ada atau dibuat oleh para

pemerintah Desa atau yang disebut sebagai abangan ndoro itu. Kelompok Hindu

cenderung berfokus pada kegiatan-kegiatan acara yang ada pada komunitasnya

sendiri sebagai cara mereka menghormati para leluhurnya. Mereka akan tetap

mempertahankan tradisi yang mereka anggap sebagai tradisi leluhur yang tidak

boleh punah, seperti cara mereka dalam mempertahankan komunitasnya.

Kelompok Hindu yang ada di desa Bajulan ini dapat dikatakan kelompok

yang paling tangguh dalam mempertahankan adat istiadatnya sebagai kelompok

minoritas. Sebagai agama yang paling sedikit penganutnya serta dapat dikatakan

sebagai agama baru yang diresmikan oleh Pemerintah setelah runtuhnya Kerajaan

Page 67: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

67

Majapahit dulu, para penganut agama ini sebelumnya adalah islam, yang mana

islam nya hanyalah sebuah status keagamaan saja. Setelah pemerintah meresmikan

kembali agama ini, para penganut agama ini seketika itu mengganti status

keagamaannya menjadi Hindu.

Kontestasi antara agama Hindu terkait tradisi yang ada di Desa Bajulan ini

adalah dimana tradisi yang dipegang oleh seluruh umat di desa Bajulan ini pada

dasarnya merupakan tradisi yang berakar dari kaum Hindu yang masih

dipertahankan hingga saat ini. Seperti sedekah bumi, upacara bersih desa, upacara

untuk setiap kelahiran dan kematian serta upacara lainnya yang terkait dengan

peninggalan leluhur di Desa Bajulan ini. Para kelompok, baik abangan ndoro

ataupun abangan wong cilik meyakini bahwa setiap tradisi yang ada dan dilakukan

hingga saat ini merupakan tradisi bersama yang tidak akan pernah ditinggalkan

sampai kapan pun. Karena, mereka meyakini apabila tradisi itu tidak dilakukan

maka akan timbul suatu musibah yang akan menimpa dirinya atau desa nya.

Dalam konteks mengenai pembangunan Pura di Desa Bajulan ini, pada

awalnya terjadi pro dan kontra didalamnya, yang mana kontra tersebut malah

datang dari luar desa Bajulan sehingga menyebabkan tersendatnya pembangunan

Pura. Banyak kabar yang mengatakan bahwasannya untuk pembangunan Pura

terebut harus ijin kepada beberapa kyai sehingga dapat mendirikan Pura, namun

hal itu ditampis oleh pak Sami’un selaku jogoboyo di desa Bajulan tersebut. Terkait

masalah pembangunan Pura dulu, sebenarnya sah-sah saja didirikan karena

bagaimanapun juga pendirian Pura tersebut merupakan tempat ibadah yang mau

tidak mau, kita akan selalu hidup berdampingan. Dengan tidak mempedulikan

agama, ras, etnis, atau lain sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan bahwasannya para

Page 68: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

68

warga di desa Bajulan tersebut menyetujui dengan dibangunnya tempat peribadatan

tersebut.

Komunitas hindu dapat hidup berdampingan dengan kelompok abangan

yang Bergama islam karena latarbelakang budaya mereka yang sama. Selain itu,

komunitas Hindu tidak berorientasi untuk terlibat dalam proses politik di desa

Bajulan termasuk untuk menduduki jabatan-jabatan perangkat desa. Mereka hanya

kelompok minoritas yang menjalankan rutinitasnya dan hanya terlibat dalam

kegiatan bersama di desa terkait dengan ritual-ritual yang bersifat sacral.

Kelompok-kelompok mereka menjadi dominan ketika mereka dilibatkan untuk

menjadi pimpinan yang membaca puji-pujian (Pujangga) dalam upacara panen

(Wiwit), Nyadran dan kegiatan sacral lainnya di desa Bajulan.

3.3 Arah Kebijakan Pemerintahan Desa Bajulan

3.3.1 Struktur Pemerintahan Desa Bajulan

Desa memiliki pemerintahan sendiri yang terdiri atas Pemerintah Desa

(yang meliputi kepala desa dan perangkat desa), serta Badan Permusyawaratan

Desa (BPD). Dalam menjalankan pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh

perangkat desa untuk melaksanakan tugasnya. Tugas-tugas kepala desa meliputi

beberapa hal, yang diantaranya mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa,

memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa, menetapkan

Peraturan Desa, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.29

29Undang-undang nomor 6 tahun 2014 pasal 26 bagian kedua tentang kepala desa

Page 69: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

69

Pemerintahan desa Bajulan saat ini dikepalai oleh seorang warga di dusun

Semanding – dukuh Pathuk yang bernama Madin. Bapak Madin ini kurang lebih

baru selama setahun menjabat sebagai kepala desa Bajulan, setelah

memenangkan pilkades di tahun 2013. Selain kepala desa juga ada sosok

Jogoboyo yang membantu segala urusan dan kepentingan di pemerintahan desa.

Nama asli Jogoboyo ini adalah Samaun Ahmad, tetapi warga masyarakat sekitar

lebih mengenalnya dengan sebutan Pak yo. Pak yo bisa dikatakan sebagai tangan

kanan dari Kepala Desa yang cenderung lebih dominan dalam menangani

permasalahan yang ada di desa. Untuk sekretaris desanya sendiri belum lama ini

meninggal dunia, dan untuk mencari posisi penggantinya dibutuhkan kualifikasi

standart PNS tetapi karena di desa Bajulan susah mencari orang yang memiliki

standart tersebut akhirnya sampai saat ini posisi tersebut dibiarkan kosong.

Nama Pejabat Pemerintahan Desa Bajulan

No. Nama Jabatan

1 Madin Kepala Desa

2 - Sekretaris Desa

3 Samaun Ahmad Jogoboyo

4 Sutaji Jogotirto

5 Soimun Modin

6 Suwito Kebayan

7 Listiyono Kamituwo Semanding

8 Santoso Kamituwo Pogoh

9 Suparno Kamituwo Nglarangan

10 Sumijo Kamituwo Jati

11 Jamin Kamituwo Plangkat

12 - Kamituwo Sb.Nongko

Page 70: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

70

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa

Keterangan :

= garis komando

= garis koordinasi

3.3.2 Proses Pembuatan Kebijakan

Kebijakan yang ada di Desa Bajulan sebagian besar merupakan

perpanjangan tangan dari kebijakan pemerintahan pusat (dekonsentrasi). Bisa

dikatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak lah lahir dari pemerintahan

desanya sendiri, melainkan lebih pada menjalankan program yang dicanangkan

pemerintah pusat, dan pemerintah desa tinggal menjalankan kebijakan yang berasal

dari pemerintah pusat. Apalagi ditambah dengan “mandek”nya fungsi BPD di Desa

BPD KEPALA DESA

SEKRETARIS DESA

URUSAN URUSAN URUSAN

MODIN

KAMITUWO

PLANGKAT

JOGOTIRTO JOGOBOYO KEBAYAN

KAMITUWO

POGOH

KAMITUWO

SEMANDING

KAMITUWO

JATI

KAMITUWO

NGLARANGAN

KAMITUWO

SB. NONGKO

Page 71: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

71

Bajulan ini yang semakin membuat pemerintah desa kurang produktif dalam

membuat kebijakan yang menampung aspirasi masyarakat. Jadi, dapat dikatakan

bahwa pembangunan dan perkembangan di desa ini hanya bertumpu pada

kebijakan dan program-program dari pemerintah pusat.

Dalam undang-undang pemerintahan desa menyebutkan fungsi dari Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) yaitu membentuk panitia pemilihan kepala desa

yang tidak memihak dan bersifat mandiri. BPD turut membahas dan menyepakati

berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggotanya

merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan

ditetapkan secara demokratis. Untuk meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat

desa, memperkuat kebersamaan serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan

masyarakat, pemerintah desa dan/atau BPD memfasilitasi penyelenggaraan

musyawarah desa.

BDP yang seharusnya berperan sebagai lembaga pemusyawaratan desa,

yang menampung aspirasi masyarakat dan mewujudkannya dalam bentuk

kebijakan. Akan tetapi menurut banyak pihak di Desa Bajulan justru lembaga ini

serasa “mati” tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam bentuk fisik

keanggotaanya memang ada, tetapi dalam bentuk hasil kinerjanya yang sama sekali

tidak ada. Hal ini dikarenakan Sumber Daya Manusia anggota-anggota BPD

tersebut yang dinilai tidak memadai. Untuk kegiatan musyawarah sendiri menurut

keterangan Pak Jogoboyo biasanya dilakukan melalui ketua RT dan nanti ketua RT

akan menyampaikan aspirasi atau keluhan-keluhan kepada Kepala Desa, secara

teknisnya seperti itu. Akan tetapi pada kenyataannya, sekali lagi proses tersebut

tidak dapat dilakukan secara maksimal karena keterbatasan Sumber Daya Manusia

dikalangan para Ketua RT.

Page 72: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

72

Selain melalui ketua RT, terdapat pula kelompok tani yang menampung

masalah pertanian dan biasa dilakukan pertemuan satu bulan sekali di hutan yang

terletak di dusun Semanding. Pertemuan ini pada umumnya membahas tentang

keluhan-keluhan warga terhadap serangan hama di lahan pertanian mereka serta

menentukan jenis tanaman yang cocok untuk ditanam di suatu kurun waktu

tertentu. Namun tidak semua masyarakat dapat ikut serta dalam musyawarah

tersebut hanya para petani yang masuk ke dalam kelompok tani saja yang bisa

mengikuti segala kegiatan yang ada. Dan yang tergabung dalam kelompok tani

tersebut adalah para pemilik lahan pertanian yang luas, biasanya didominasi oleh

para perangkat desa sendiri beserta kerabatnya.

Berikut adalah kutipan wawancara dari Pak Jogoboyo mengenai BPD di

Desa Bajulan:

Page 73: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

73

Dan di bawah ini merupakan penjelasan Pak Jogoboyo mengenai kegiatan

musyawarah dengan masyarakat:

Jogoboyo : BPD itu sebetulnya sudah lama orang – orangnya juga lama. Semua

buku disana tadi yang periksa sama BAWASDA itu yang 7 buku

semuanya punya BPD tapi kalo kita serahkan ke BPD ya gitu juga

gak jalan mas. Makanya kami yang membantu untuk pengisiannya,

contoh kegiatan BPD itu bulan ini kemana misal enjang sono

(silahturahmi) ke dusun jati mereka punya kegiatan kunjungan,

kunjungan ke dusun jati terus disana mengangkat apa. Kan dia disana

juga sebagai wakilnya masyarakat nanti dibawa ke kantor terus

dimusyawarahkan bersama perangkat desa apa aspirasi masyarakat

dusun Jati. Terus kita serahkan ke Lurah, ikilo pak lurah masyarakat

Jati pengen ngene ngene ngene terus ditulis di buku, tapi ya

kenyataannya bukunya juga kosong ( hehehe ). Akhirnya juga kami

sendiri yang merekayasa ngisi bukunya itu mas, ditulis masyarakat

Jati pengennya ini kan akhirnya bohong mas ( hehehe )

Pewawancara : Jadi BPD itu masih aktif ya pak?

Jogoboyo : Kalo masih sih sebenarnya tidak ya mas, kembali lagi pada SDM.

Kalau gak ditutuk tok ya gak jalan

Pewawancara: Kalo ada perintah baru mau jalan ya pak?

Jogoboyo : Iya mas , seperti keuangannya BPD kan 9 juta. Sebetulnya SPJ itu ya

kita serahkan BPD dan kita tinggal terima SPJ tapi itu ya gak jalan

Musyawarah biasanya lewat ketua RT. Dalam satu bulan itu saya menampung

aspirasi, apa kendala yang ada di masyarakat biasanya Pak RT itu datang dan

dilaporkan kepada Pak Lurah. Tapi karena Pak RT disini SDMnya kurang mampu dan

kalau ketemu malah guyonan jadi ya kita repot juga. Terus kelompok tani berkaitan

dengan pertanian kalo disini itu 14 malam 15 biasanya ada pertemuan untuk

menampung khusus masalah pertanian misalnya ada kendala padinya terserang hama,

ini umpamanya loh ya itu nanti ada wadahnya untuk menyelesaikannya. Pertemuannya

setiap bulan sekali di hutan sana di semanding, biasanya juga bahas masalah

pertanian missal kalau musim kemarau enaknya menanam apa ya, itu juga

dimusyawarahkan.

Page 74: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

74

3.3.3 Dominasi Abangan-Ndara Dalam Memutuskan Kebijakan

Kebijakan desa dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara BPD dan

pemerintah desa melalui musyawarah desa. Hasil musyawarah desa dalam bentuk

kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar

oleh BPD dan pemerintah desa dalam menetapkan kebijakan pemerintahan desa.

Meskipun demikian, masyarakat desa juga memiliki hak untuk mengusulkan atau

memberikan masukan kepada kepala desa maupun BPD dalam proses

penyusunan peraturan dan kebijakan desa.

Arah kebijakan suatu desa dapat terlihat dari formulasi struktur

pemerintahan desa dimana dalam struktur yang berisi jabatan-jabatan dalam

pemerintahan desa merepresentasikan aktor dari komunitas varian tertentu.

Aktor-aktor yang berasal dari komunitas dominan ini akan tarik menarik dengan

masyarakat yang berbeda komunitas untuk penentuan kebijakan desa. Terkadang

komunitas minor akan melawan komunitas yang memiliki dominasi didalam

proses pembuatan kebijakan desa.

Kebijakan yang cukup kami jadikan sorotan dalam penelitian kali ini adalah

mengenai program PNPM Mandiri Pedesaan. Ada 3 sektor yang menjadi fokus

realisasi program PNPM di desa Bajulan. Sektor pertama adalah pendidikan

dimana program dari PNPM ini diwujudkan melalui bentuk pembangunan

sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Sektor kedua adalah infrastruktur jalan diwujudkan dengan perbaikan jalan rabat

beton di dusun Semanding dan dusun Plangkat. Dan yang ketiga adalah sector

kewirausahaan, yaitu dengan program simpan pinjam yang diberikan kepada

usaha-usaha kecil menengah yang ada di desa Bajulan.

Page 75: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

75

Salah satu kebijakan adalah pembangunan desa wisata dengan menjadikan

pasar yang dulunya gagal berkembangn dijadikan pasar buah untuk dijadikan

kembali sentral buah yang para tengkulak bisa membeli dari sana denan harga

yang bersaing daripada dijual perorangan. Namun masyarakat kemudia kurang

meiliki kesadaran atau perhatia terhadap pembangunan pasar buah. Yang

membuat kebijakan tersebut tidak ada andil dari BPD dikarenakan yang membuat

kebijakan seperti itu adalah perangkat desa sendiri. BPD telah lama ada namun

kinerjanya kosong, tidak menghasilkan apa-apa. Ketika BPD itu bertugas

mengunjungi dusun-dusun untuk mencari keluhan masyarakat mungkin hal itu

memang dilakukan tetapi tidak ada tindak lanjut untuk menyampaikan aspirasi

masyarakat tersebut, laporan yang seharusnya dibuat oleh BPD untuk

disampaikan ke kepala desa pun selalu kosong.

Untuk kegiatan musyawarah sendiri, lebih cenderung dihadiri oleh para

perangkat desa secara struktural karena segala kebijakan berasal dari pemerintah

pusat, sedangkan pemerintah desa lebih pada agen yang menjalankan kebijakan

dari pusat tersebut. namun pemerintah desa tetap diberikan wewenang untuk

mengajukan aspirasi sesuai kebutuhan desa yang harus diutamakan sehingga

didirikanlah kelompok-kelompok dengan harapan mempermudah aspirasi rakyat

sesuai profesi dan bidang masing-masing, untuk diajukan kepada pemerintah.

Namun ternyata SDM masyarakat termasuk perangkat desa sendiri di struktural

bagian bawah belum mencukupi untuk menjalankan program tersebut. Sehingga

Pihak kepala desa dan juga perangkat di struktural atas susah mendapatkan

aspirasi langsung, dan memberikan gambaran aspirasi secara umum sesuai sudut

pandang mereka sendiri. Jadi, dapat dikatakan bahwa pembangunan dan

Page 76: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

76

perkembangan di desa ini hanya bertumpu pada kebijakan dan program-program

dari pemerintah pusat.

Kebijakan yang cukup kami jadikan sorotan dalam penelitian kali ini adalah

mengenai program PNPM Mandiri Pedesaan. Ada 3 sektor yang menjadi fokus

realisasi program PNPM di desa Bajulan. Sektor pertama adalah pendidikan

dimana program dari PNPM ini diwujudkan melalui bentuk pembangunan

sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Sektor kedua adalah infrastruktur jalan diwujudkan dengan perbaikan jalan rabat

beton di dusun Semanding dan dusun Plangkat. Dan yang ketiga adalah sektor

kewirausahaan, yaitu dengan program simpan pinjam yang diberikan kepada

usaha-usaha kecil menengah yang ada di desa Bajulan.

PNPM sendiri mempunyai prinsip bahwa seluruh anggota masyarakat dapat

ikut serta dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif, mulai dari proses

perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan pengelolaan dana

sesuai kebutuhan yang menjadi prioritas di desanya, sampai pada pelaksanaan

kegiatan dan pelestariannya. Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan, banyak

warga di desa Bajulan yang tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan

maupun sampai tahap pelaksanaan kegiatan.

Untuk program SPP (Simpan-Pinjam) sendiri ternyata banyak dari

masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang tidak medapatkan bantuan dari

program ini. Program-program bantuan dari pemerintah tersebut cenderung

dinikmati oleh kalangan-kalangan tertentu saja yang berada di lingkup para

perangkat desa (abangan ndara). Hal ini di dapat dari keterangan salah satu

pedagang mie ayam di dusun Pogoh, beliau sudah lama mengajukan permohonan

Page 77: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

77

untuk mendapat dana simpan-pinjam tersebut tetapi sampai saat ini belum ada

respon dari pihak terkait. Dan menurut keterangan beliau juga yang mendapat

dana SPP tersebut hanya “orang-orang itu saja” (maksudnya adalah orang-orang

yang dekat dengan para perangkat desa). Berikut adalah kutipan dari percakapan

kami dengan pedagang tersebut:

Selain itu, sebenarnya masyarakat di desa ini mayoritas belum mengetahui

secara jelas tentang apa program PNPM itu sendiri. Mereka merasa pemerintah

desa tidak pernah memberikan sosialisasi kepada warganya. Dari keterangan

pedagang tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada komunikasi dua arah (adanya

missing link) antara pemerintah desa (abangan ndara) dan masyarakat (abangan

wong cilik). Hal ini terlihat bagaimana tidak pernah dilakukannya

pertemuan/musyawarah antara warga masyarakat dengan pemerintah desa, baik itu

kepala desa maupun BPD nya. Masyarakat hanya sekedar mengetahui hasil akhir

dari setiap program-program yang dijalankan aparat pemerintah desa tanpa ikut

terlibat dalam prosesnya.

Di sisi lain, menurut penuturan Pak Jogoboyo sebagai salah satu perangkat

desa di Bajulan, program SPP (Simpan Pinjam) sebagai salah satu program kerja

PNPM bukanlah wewenang para perangkat desa Bajulan, melainkan ada tim

Pewawancara 1 : Dapat bantuan dari Kepala Desa pak?

Pewawancara 2 : Bantuan Modal atau apa gitu?

Penjual: Nggak ada. PNPM? Tapi saya nga dapet dek. Sebelah sini nga ada yang

dapat.

Pewawancara 3 : itu yang dapet yang gimana pak?

Penjual: Kalo nga minta ya nga dikasih, Padahal saya mengajukan tapi nga dikasih.

Biasanya bisa tidak diberikan kepada orang-orang,untuk modal sendiri. paling-paling

ngutang kalo yang baik ya dikasih.

Page 78: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

78

tersendiri dari pihak PNPM untuk melakukan uji penelitian sebelum memberikan

dana SPP tersebut kepada suatu usaha. Berikut adalah kutipan percakapan kami

dengan Pak Jogoboyo mengenai program SPP tersebut:

Dalam pelaksanaan program SPP tersebut terjadi kesalah pahaman antara

masyarakat dengan perangkat desa dimana pihak masyarakat memberikan keluhan

atas minimnya peran mereka dalam pembangunan desa serta kurang bisa

menikmati program-program, yang menurut masyarakat adalah hak mereka.

Sedangkan di pihak perangkat desa semua keluhan masyarakat tersebut bukanlah

tidak beralasan. Menurut para perangkat desa segala program yang diberlakukan

di desa tersebut merupakan program dari pemerintah pusat. Jadi ketika ada rapat

mengenai program-program tersebut pemerintah desa tidak mempunyai

wewenang, sehingga masyarakat tidak dapat dihadirkan dalam rapat. Wewenang

perangkat desa lebih pada sosialisasi mengenai program-program tersebut kepada

masyarakat.

Pewawacara: Program PNPM Mandiri itu kan ada yang apa itu pak, yang pinjam-

pinjaman ?

Jogoboyo :SPP.

Pewawancara : Itu apa pak?

Jogoboyo : Simpan Pinjam mas.

Pewawancara : Oh iya simpan pnjam, itu apa semua warga berhak meminjam uang

itu atau bagaimana pak?

Jogoboyo :Sebetulnya berhak tapi, PNMP Generasi itu selektif sekali, tidak semudah

yang kita bayangkan. Administrasi yang sekarang ini sebagai percontohan itu baru

PNMP, selain itu tidak pernah berkecimpung dengan PNPM. Nantinya mereka survey

harga di 3 toko, dan diambil yang terendah. PNPM itu ya sampai sedetail itu mas,

tidak semudah yang dibayangkan. Yang survey dari pihak tim PNPM sendiri yang

beranggotakan 10 orang itu sudah aturannya. PNPM memang sulit mas.

Page 79: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

79

Di luar dari konteks kebijakan PNPM, ada pula yang sering dikeluhkan oleh

masyarakat sekitar, yaitu masalah yang melingkupi pertanian, mulai dari gangguan

hama hingga pendistribusian pupuk dan bibit dari pemerintah pusat. Akan tetapi

keluhan-keluhan tersebut kurang diperhatikan oleh perangkat desa. Untuk

pendistribusian pupuk dan bibit sendiri juga cenderung diberikan kepada orang-

orang “nduwur” saja yang memiliki lahan pertanian luas, dan mayoritas pemilik

lahan luas tersebut adalah para perangkat desa itu sendiri. Jadi dengan kata lain,

bantuan-bantuan tersebut dimanfaatkan sendiri oleh para perangkat desa dan

kerabat/orang terdekatnya. Masyarakat dengan lahan pertanian terbatas tidak dapat

merasakan bantuan tersebut. Hal ini diperkuat dengan bukti percakapan kami

dengan petani di desa Bajulan:

Pewawancara 1 : kalau bantuan untuk lahan pertanian sendiri apa buk? Dari

kelurahan?

Ibu Saikem (Petani) : biasane yo wit wit-an opo ngunu, tapi yo ra tau di ewehin og

mbak, di gawe dewe gawe kami tuwo e, sek disik e yo oleh bantuan cengkeh uwakeh

kok mbak, yo ra tau di ewehi. (biasanya ya pepohonan gitu, tapi ya gak pernah

dikasihkan kok mbak, di pakai sendiri sama kami tuwo nya, waktu dulu, ya dapet

bantuan cengkeh banyak mbak, ya tidak dikasihin)

Pewawancara 1 : oh iya buk, tadi kan pupuk kan dari kepala desa ya buk? Kira kira

harga pupuk nya mahal gak buk?

Ibu Saikem (petani) : leg pupuk pupuk ngunu kuwi urusanne pak-e mbak, aku ra tau

ngurusi mbak. Hehehe.... se-sak piro? Aku yo ra tau ero mbak, iku pak.e kabeh. Sak

njukuk e pak e engkuk di bayar pak e ngunu.. biasa ne sing melok kelompok kuwi sing

sawah e omboh-omboh kuwi (menunjuk ibu Wiyatun) sing sawah e sa ithik yo tuku e

sing eceran. (kalau pupuk gitu urusannya suami ku mbak, aku tidak pernah mengurusi

mbak. Heheheh.... se karung berapa? Aku ya gak pernah tahu mbak, itu suami saya

semua. Se-ambilnya ae, suami saya entar yang bayar.. biasanya kalau ikut kelompok

tani gitu yang mempunyai sawah yang luas-luas itu)

Pewawancara 2 : kira-kira ibu tahu gak yang punya lahan gede gitu yah?

Ibu Saikem (Petani) : (sambil menunjuk) iku loh, mbah wiyatun, pak woh kuwi iku lak

sawah e yo omboh, pak RT kuwi, sing genteng e abang kuwi... hehehe (itu loh, mbah

wiyatun, pak woh itu mempunyai sawah yang luas, pak RT itu, yang gentengnya merah

itu... hehehe)

Page 80: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

80

Jika kita perhatikan kutipan percakapan diatas, terlihat ada sedikit rasa

kekecewaan yang ingin petani tersebut sampaikan. Program bantuan yang

ditujukan untuk kalangan masyarakat miskin justru tidak sampai ke tangan mereka.

Hanya segelintir orang yang dapat merasakan efek dari bantuan tersebut. Segelintir

orang tersebut merupakan orang-orang yang berada dekat dengan lingkup aparat

desa. Contohnya seperti yang petani tersebut katakan, hanya orang-orang yang

memiliki lahan pertanian yang luas diakomodasi oleh kelompok/perhimpunan tani.

Dan kebanyakan orang-orang tersebut adalah perangkat desa seperti pak RT, Pak

Kamituwo dan Ibu Wiyatun yang kebetulan atau tidak ibu wiyatun ini adalah

kerabat dari pak Kamituwo sendiri.

Berkenaan tentang kebijakan pendidikan, keluhan dari pihak pengajar salah

satu SD di Desa Bajulan yaitu tentang murid yang kurangnya motivasi dari pihak

orang tua murid, karena dari pihak orang tua tidak memperhatikan anaknya,

alasannya adalah karena sang anak Ikut Bekerja bersama orang tuanya ke ladang.

Bahkan orang tua telah lepas tangan dan menyerahkan pada pihak sekolah. Sampai

pernah murid kelas enam tidak bisa membaca sama sekali pada tiga tahun yang lalu

dan akhirnya tidak diluluskan

Keluhan terhadap sekolah yaitu mengenai bangunan yang belum di perbaiki

pada ruang kelas satu sampai kelas lima. Selain runag kelas keluhan juga dirasakan

pada fasilitas lapangan olahraga yang tidak memadai. Pak Wut salah satu guru

menceritakan bahwa beliau sudah mengajukan untuk pembangunan Kelas satu

sampai lima, namun tidak ada tanggapan dari dinas terkait.

Tentang dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah ) tidak 100% diberikan

oleh Pihak sekolah kepada murid, hal ini karena untuk kebutuhan sepatu, baju dan

Page 81: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

81

lain-lain itu merupakan tanggung jawab wali murid. Maka dari itu tidak

sepenuhnya diberikan agar sisa uang yang ada bisa dibelikan oleh sekolah untuk

kebutuhan seperti seragam dan lain lain. Dana BOS yang didapat Sebesar Rp.

380.000 per anak. Namun untuk siswa yang baru pindah sulit mendapatkan bantuan

karena KK yang digunakan bukan asli dari daerah Nganjuk, Pada tahun kemaren

Presentase kelulusan adalah 100%

Pihak sekolah selalu mengadakan rapat rutin terhadap orang tua murid saat

perganttian seragam dan saat kenaikan kelas saat mengambil rapot. Partisipasi

orang tua hanya dalam kegiatan rapat rutinan tersebut. Mengenai kesuksesan

belajar di sekolah, rata-rata orang tua murid menyerahkan tanggung jawab

sepenuhnya kepada pihak sekolah

Pengajar di SD tersebut terdapat empat PNS , Status K1 1 Orang, dan K2

1 Orang. (Gaji yang diberikan Status K1 diberikan langsung oleh Pihak Pemerintah

Nganjuk) dan semua pengajar sudah mendapatkan gelar S1. Peserta ajar di SD

Bajulan tersebut 100% Merupakan beragam Muslim,

Kami sebagai peneliti melihat bahwa ada jurang pemisah antara masyarakat

kecil (abangan wong cilik) dengan para penguasa di pemerintahan desa (abangan

ndara). Jika kita melihat dari kacamata orang-orang yang ada di pemerintahan desa

Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya kesadaran atau kurang responsifnya

masyarakat kecil akan berbagai perkembangan yang terjadi di desanya sehingga

tidak adanya control terhadap aparat desa dalam menjalankan program-program

yang ada. Dan hal tersebut berimplikasi pada pembentukan pola pikir masyarakat

(abangan wong cilik) yang kurang respek terhadap pemerintah desanya sendiri

(abangan ndara).

Page 82: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

82

Sedangkan jika dilihat menurut sudut pandang masyarakat (abangan wong

cilik), justru ketidak-tahuan/kekurangsadaran masyarakat ini disebabkan oleh

kurang aktifnya pemerintah desa untuk terjun langsung ke dalam masyarakat, tidak

ada komunikasi yang nyata sehingga aspirasi mereka terkesan tidak didengar oleh

elit penguasa yang berada di atas sehingga mereka menyimpulkan bahwa

kebijakan-kebijakan yang dijalankan lebih mengarah demi keuntungan

sekumpulan orang-orang yang memiliki kepentingan saja.

Page 83: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

83

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan selama tiga hari di Desa

Bajulan, kami menemukan terdapat dua pembelahan di Desa tersebut, yakni varian

abangan yang terbelah menjadi dua, yaitu abangan ndara dan abangan wong cilik

serta varian Hindu.

Pertama yaitu abangan ndara yang terlihat seperti bangsawan yang

memiliki kedudukan dan jabatan di pemerintahan desa. Mereka berasal dari

kalangan perangkat desa yang memiliki kehidupan sangat berkecukupan. Abangan

ndara diidentifikasi dari mereka yang memiliki rumah yang bagus, memiliki sawah

yang luas, dan mereka jarang mengikuti kegiatan kultural desa, mereka pada

pemerintahan desa dan mengurusi program-program dari pemerintah daerah.

Varian abangan lainnya yaitu abangan wong cilik yang disimbolkan dengan

masyarakat yang berasal dari kelompok petani, buruh tani, dan pedagang kecil.

Mereka ini tidak jarang yang masih mengontrak rumah, bangunan rumah juga

masih sangat sederhana sekali. Abangan wong cilik sangat rutin dalam mengikuti

kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti kegiatan-kegiatan slametan yang telah

dijelaskan sebelumnya.

Kedua, yaitu hindu yang menempati Dusun Semanding. Masyarakat Hindu

di Desa Bajulan bisa dibilang paling sedikit, namun merupakan penduduk tertua

disana. Umat Hindu disana juga memiliki sebuah pura yang bernama Pura Kerta

Bhuwana Giri Wilis yang digunakan sebagai tempat sembahyang dan juga salah

satu dari tempat wisata yang ada di kota Nganjuk.

Page 84: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

84

Kontestasi yang terlihat di Desa Bajulan terjadi diantara sesama varian

abangan, yaitu antara abangan ndara dan abangan wong cilik. Kontestasi yang

terjadi bisa dibilang kontestasi secara horizontal. Abangan wong cilik tetap menjadi

orang-orang yang pasif untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa. Hal ini

dikarenakan para abangan wong cilik tidak memiliki jabatan-jabatan penting di

pemerintahan desa untuk bisa menyalurkan aspirasi mereka, terutama dalam bidang

pertanian, perdagangan (yang berhubungan dengan modal) serta penyaluran

program kesejahteraan desa yang tidak merata. Meskipun bukan komunitas

dominan, namun abangan ndara di Desa Bajulan mampu mempengaruhi arah

kebijakan yang dibuat. Hal ini dikarenakan karena tidak aktifnya BPD desa serta

peran masyarakat yang tidak dilibatkan secara langsung maupun tidak langsung

dalam pemerintahan desa. Setiap kebijakan maupun keputusan desa secara sepihak

dibuatkan sendiri oleh orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintahan desa

dimana para pemegang jabatan tersebuat adalah orang-orang abangan ndara

Tidak terjadi kontestasi antara abngan dan komunitas hindu di Desa

Bajulan. Hal ini dikarenakan karena latar belakang budaya keduanya samasama.

Selain itu, komunitas Hindu tidak berorientasi untuk terlibat dalam proses politik

di desa Bajulan termasuk untuk menduduki jabatan-jabatan perangkat desa. Mereka

hanya kelompok minoritas yang menjalankan rutinitasnya dan hanya terlibat dalam

kegiatan bersama di desa terkait dengan ritual-ritual yang bersifat sakral.

Kelompok-kelompok mereka menjadi dominan ketika mereka dilibatkan untuk

menjadi pimpinan yang membaca puji-pujian (Bhujangga) dalam upacara panen

(Wiwit), Nyadran dan kegiatan sacral lainnya di desa Bajulan.

Page 85: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

85

4.2 Saran

Dengan melihat beberapa permasalahan yang kami temukan di lapangan saat

pelaksanaan kuliah lapangan di Desa Bajulan, kami sebagai peneliti bermaksud

memberikan beberapa saran atau masukan yang meliputi sebagai berikut:

1. Perangkat desa harus mampu membangun interaksi dan komunikasi yang baik dengan

para warga masyarakatnya, perlu adanya transparansi di setiap kegiatan yang

berkenaan dengan pemerintahan desa agar masyarakat juga mengetahui perkembangan

apa yang tengah berlangsung di desa mereka sendiri.

2. Untuk warga masyarakatnya juga harus ikut berperan aktif dalam setiap kegiatan

pembangunan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan desa. Menumbuhkan

kesadaran akan pentingnya partisipasi, meningkatkan rasa keingin-tahuan terhadap

informasi-informasi terbaru yang menyakut kepentingan mereka sebagai warga

masyarakat.

Kedua hal tersebut sangat lah penting mengingat dalam sebuah pemerintahan baik

itu pemerintahan pusat maupun pemerintahan desa memerlukan sebuah check and

balances untuk mengontrol satu sama lain agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan.

Adapun teknis pelaksanaan secara real yaitu dengan menghidupkan kembali BPD

sesuai fungsinya. BPD merupakan penghubung antara pemerintah desa dengan

masyarakat desa. Tidak berfungsinya BPD di desa Bajulan mengakibatkan terganggu

bahkan hilangnya komunikasi antara pemerintah desa dengan masyarakat desa. Hal

inilah yang menjadikan golongan abangan wong cilik menjadi kesulitan dalam

mengawasi pemerintah desa dan memunculkan kesempatan bagi pemerintah desa

untuk mempertahankan dominasinya. Dengan berfungsinya BPD kembali masalah

desa yang selama ini belum ataupun sudah terselesaikan tanpa keterlibatan pemerintah

atau sebaliknya tanpa keterlibatan masyarakat dapat terselesaikan secara bersama-sama

Page 86: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

86

oleh keduanya. Dominasi abangan ndara pun juga bisa berkurang sehingga abangan

wong cilik dapat menemukan jalan kesejahteraan mereka melalui jalan pemerintahan

desa.

Sedangkan saran bagi teknis pelaksanaan kuliah lapangan mata kuliah Politik di

Desa ini, waktu yang diberikan guna terjun di lapangan sangat lah minim. Akan lebih

baik jika waktu pelasanaanya bisa diperpanjang agar peneliti dapat melakukan

penelitian lebih dalam mengingat bahwa penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

Page 87: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

87

DAFTAR PUSTAKA

Buku Teks

Geertz, Cliford. 1983. Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat

Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya

Geertz, Cliford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius

Maliki, Zainuddin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi

Resistensi Petani Berbasis Religio Politik SantriNegaranisasi.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Zaini, Muchtarom. 2002. Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan

Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah

Ridwan, Nur Khalik. 2004. Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideologi

dan Kritik. Yogyakarta: Gerigi Pustaka

Sugihen, Bahrein. 1996. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: PT. Rajagrafindo

Persada

Ndraha, Talizidhu. 1981. Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta:

PT. Bina Aksara

Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.

Page 88: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

88

Gramedia Pustaka Utama

Artikel

Kuntowijoyo. Desa Dalam Perspektif Perubahan Sosial dan Kultural.

Proposal Penelitian

M.M. Bilah, Beberapa Masalah Penelitian Metodologis di Seputar Pengusahaan Penelitian

Kuliah Lapangan dalam Proposal Penelitian Politik di Desa Ngawi tahun 2013

Internet

afrikenz.blogspot.com, diakses pada Rabu, 14 mei 2014 pukul 18.10 WIB

Joglo.tv, diakses pada Rabu, 28 Mei 2014 pukul 20.08 WIB

www.balipost.co.id, diakses pada hari Minggu, 22 Juni 2014 pukul 10.37 WIB

www.tempo.co.id, diakses pada Hari Senin 23 Juni 2014 pukul 05.28 WIB

nilaaudina0202.blogspot.com, diakes pada hari Senin, 23 Juni 2014 pukul 05.39 WIB

Page 89: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

89

LAMPIRAN – LAMPIRAN

TRANSKRIP WAWANCARA

Page 90: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

90

Lokasi : TK Pertiwi 1, Desa Bajulan, Kec. Loceret (hasil program

PNPM)

Pukul : 10.00 – 10.20 WIB/Jumat, 6 Juni 2014

Suasana : Duduk di ruang kepala sekolah di jam istirahat

Narasumber : Ibu Satinah (Kepala sekolah TK. Bajulan)

Pewawancara : Retno Purwaningtias

Pewawancara : Ibu tinggalnya juga dari Bajulan sini?

Narasumber : Iya di Bajulan sini juga

Pewawancara : Sudah lama ngajar di TK ini Bu?

Narasumber : Mulai tahun ‘86

Pewawancara : Oh tahun ’86? Lama ya Bu..

Narasumber : Gak trimo lama lah (sambil tertawa)

Pewawancara : (hahahaha) iya Bu lama banget..

Terus disini ada berapa pengajar Bu?

Narasumber : Ada tiga, iya ada tiga. Kelompok A sama kelompok B, kelompok

1, kelompok 2.

Pewawancara : Tiga itu termasuk Ibu juga?

Narasumber : Iya, termasuk saya

Pewawancara : Oh iya Bu begini, tujuan penelitian kita disini kan ingin

mengetahui masyarakat yang berasal dari kalangan guru, petani,

pedagang melihat sebenarnya di desa ini ada masalah apa saja dan

bagaimana para masyarakat yang berbeda latar belakang itu

merespon masalah tersebut. Nah ini kan ibu bisa dibilang yang

berasal dari tokoh akademisi. (sambil tertawa bersama). Menurut

Ibu yang berasal dari tokoh akademisi apa yang menjadi masalah

utama di Desa ini?

Narasumber : (Diam sebentar) Apa ya.. Kebanyakan kan yang disini itu petani

ya, buruh tani, petani. Mungkin ya penyuluhan-penyuluha untuk apa

ya.. Ya hasil tani itu supaya meningkat, mungkin kan masih kurang.

Ini nih salah satu tokoh petani (menunjuk salah satu guru TK), itu

nanti jenengan tanyain aja, pasti tau apa yang jadi masalah petani.

Nanti jenengan tanyain langsung juga ke kepala desa, perangkat

desa tanya langsung aja kesana, kan yang lebih tau masalah di desa

ini. Nanti kan kalo dari saya langsung ga enak kalo salah ngomong.

Yang terjun langsung kan kepala desa, perangkat desa, kan tau

Page 91: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

91

persis apa masalahnya apa. Saya tau sih, cuman kan ga enak kalo

saya yang bilang. Dari kelompok tani, buruh tani.

Pewawancara : Iya Bu.. Nah itu kan dari kelompok tani, buruh tani, nah ini Ibunya

kan yang berasal dari kalangan akademisi seenggaknya kan juga

pasti mengamati. Iki sakjane koyok ngene, tapi kok koyok ngono?

(sambil tertawa).

Narasumber : Iya ya.. (sambil tertawa)

Pewawancara : Oh iya Bu, mungkin dari segi pendidikan.?

Narasumber : Oh kalo dari pendidikan alhamdulillah sudah baik dari tahun-tahun

yang lalu. Dari wali murid juga uda ada perhatian, ya mungkin dari

segi ekonomi ya yang buat kadang anak-anak itu bisa sekolah. Ya

begini ini Tk nya. Mau menarik yang lebih tinggi lagi masih kasian

sama orangtua murid, soalnya kan disini aja rata-rata penduduk

kamar mandi aja belum punyak. Ya itu mungkin masalah ekonomi.

Tapi kalo masalah yang lain ya nanti bisa tanya sendiri lah ke

perangkat desanya.

Pewawancara : Oh gitu ya Bu.. terus kalau anak-anaknya disini tu uda sekolah

semua ya Bu?

Narasumber : Iya Insya Allah disini sekolah semua. Tapi mungkin ada ya

beberapa yang gak sekolah. Mungkin bisa tanyak ke kantor kepala

desa, pasti ada data-data anak yang sekolah dan yang gak sekolah.

Kan yang data desa, pasti ada, tanyain aja mbak. Di TK kan gak

mendata itu

Pewawancara : Oh iya Bu.. Itu kan dari segi pendidikan. Kalo dari masyarakat

sendiri disini biasanya ada kegiatan apa saja? Kalo kemarin kata Bu

kamituwo disini ada kegiatan pengajian

Narasumber : Iya iya disini ada pengajian, PKK. Aku juga ikut, kan gantian

dirumahnya sapa gitu. Tapi dulu, kalo sekarang uda gak ikut lagi

(sambil tertawa). Agak vacum yang untuk kegiatan PKK. Mungkin

yang uda tua kayak gini ya ikut kagiatan ngaji mungkin(sambil

tertawa). Rutinan lingkungan lah

Pewawancara : Setiap hari apa itu Bu pengajiannya?

Narasumber : Setiap malam Jumat, hari Jumat.ini nanti ada jam 3 pengajian.

Nanti kalo gak salah yang ngadain di rumah yang deket sungai itu

Pewaancara : Kalo pengajian itu isinya apa Bu? Kayak yasinan gitu apa gimana?

Narasumber : Iya yasinan aja

Pewawancara : Terus itu ada yang mimpin atau gantian gitu Bu?

Narasumber : Ya sementara ini ya ada ibu-ibu yang mimpin, gantian kalo misal

ga bisa hadir diganti sapa gitu yang bisa mimpin

Page 92: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

92

Pewawancara : Berarti disini gak ada tokoh keagamaan, kayak kyai, ustadz, yang

misal kayak ditokohkan sebagai tokoh agama gitu?

Narasumber : Kalau disini mungkin, ada di belakang, Pak Tohuri itu. Ya kan kalo

disni ya sama-sama lah dimasjid itu. Di masjid sini orangnya itu,

kalo dimasjid sana ya tergantung sana siapa. Tapi mungkin kalo

keseluruhan ya Pak Tohuri itu yang tinggal di belakang

Pewawancara : Oh gitu ya.. terus kalo disini itu masih ngadain kayak slametan gitu

ya Bu?

Narasumber : Iya masih ada. Untuk orang-orang yang udah meninggal itu kan..

Pewawancara : Oh gitu ya Bu. Masyarakat sebagian besar ngadain itu ya Bu?

Narasumber : Iya, semuanya rata-rata disini gitu

Pewawancara : Oh gitu. Ada gak Bu masyarakat disini yang gak ngelakuin

slametan? Maksudnya mereka yang mikirnya apa sih pentingnya

slametan itu?

Narasumber : Kalo yang saya tau, gak ada ya mbak. Disini itu yang kayak gitu

kuat.

Pewawancara : Berarti uda kentel banget ya Bu.. terus Bu disini katanya juga ada

upacara Nyadran?

Narasumber : He’em,, disini kalo Nyadran itu ada. Tiap setahun sekali bulan

suro;. Bersih desa

Pewawancara : Terus sebenernya Nyadran itu buat apa ya Bu? Saya kan bukan

berasal dari desa ya.. jadi kan ga paham sama yang begituan

(hehehe)

Narasumber : (sambil tertawa). Kalo yang bisa jelasin gitu ya tokoh-tokoh yang

udah tua disini itu mungkin bisa jelasin, yang paham

Pewawancara : Kalo menurut ibunya sendiri?

Narasumber : Nek menurutku yo ajane sebenere ya yang penting itu kalo pribadi

ya doa. Tapi itu kan yang buat orang Jawa. Jawa kuno itu masih

kental sekali disini. Ya mungkin tujuannya untuk keselamatan diri,

menghindari dari hal-hal yang negatif, gangguan dari makhluk-

makhluk, ya kemungkinan besar gitu. Tapi ya kalo menurut saya

sendiri ya untuk doa. Tapi gimana ya menurut saya pribadi ya

gimana lagi umumnya gitu, tapi disini semuanya gitu (sambil

tertawa). Ya untuuk menjaga lingkungan, untuk kebersamaan. Jadi

adat Jawa kan ya gitu masih kuat disini, biasanya kan sulit untuk

dihilangkan, sudah menjadi semacam budaya

Pewawancara : Iya Bu bener. Terus di desa ini Ibu mungkin pernah mengikuti

semacam musyawarah desa gitu? Mungkin pernah memberi

masukan apa gitu

Page 93: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

93

Narasumber : Oh untuk sementara ini saya vacum ya. Hanya fokus di TK ini

(sambil tertawa). Kalo dulu ya apa aja ikut, tapi sekarang uda tua,

diganti dengan yang muda-muda

Pewawancara : Oh gitu.. terus kegiatan besar desa disini selain Nyadran apalagi

Bu? Yang melibatkan satu desa?

Narasumber : kalo kegiatan yang kumpul-kumpul bareng, kan aku sekarang uda

agak vacum ya. Mending tanyakan langsiung ke kepala desanya aja

atau perangkat desa, apa kegiatannya

Pewawancara : Oh iya Bu, nanti rencana juga mau ke kantor kepala desa. Disini

TK nya ada berapa ya Bu?

Narasumber : Disini TK ada 3. TK Pertiwi 1, Pertiwi 2, Pertiwi 3.

Pewawancara : Terima kasih Bu ya, sudah mau meluangkan waktunya

Narasumber : Oh iya iya.

Pewawancara : Ini mau langsung ke kantor kepala desa

Narasumber : Oh gitu, iya iya

Lokasi : Warung Mie ayam dan bakso

Pukul : 16.00 WIB/Jumat, 6 Juni 2014

Page 94: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

94

Suasana : Duduk santai, di warung

Narasumber 1 : Pak Mursidi (Pedagang Mie Ayam dan Bakso)

Pewawancara 1 : Istianatul Maulidia

Pewawancara 2 : Ainur Rahmatin

Pewawancara 3 : Arif Bagus Permadi

Pewawancara 1 : Buka jam berapa ini pak?

Narasumber : Jam 12

Pewawancara 1 : kok tadi lewat masih tutup, mau beli padahal ya.

Narasumber : Owww, sudah matang tapi biasanya, sore atau kalo mau jam 10

juga sudah bisa mesan. sudah masak tapi belum dibuka.

Pewawancara 1 : belum dipersiapin?

Narasumber : He’ehh tapi biasanya, saya masak dibelakang, kalo ada yang mesen

dibelakang.

Pewawancara 1 : Boleh ya pak?

Narasumber : Boleh

Pewawancara 2 : dianter berarti

Pewawancara 1 : gak kalo mau pesen, boleh ke belakang?

Narasumber : Boleh, maksudnya disini belum buka ya.

Pewawancara 2 : memang rumahnya disini ya pak?

Narasumber : Yang satu di roro kuning sana jualannya.

(Suara Motor )

Pewawancara 1 : Sama pak jualannya?

Narasumber : Ya Mie Ayam Sama Bakso.

Pewawancara 1 : Bakso

Narasumber : Di Wisata, bawahnya patung itu.

(Suara Motor)

Pewawancara 1 : Sudah berapa lama?

Narasumber : Lama, dari 1991

Pewawancara 2 :1991 sampai sekarang ya pak

Narasumber : Saya belum kawin, sudah dagang mie ayam.

Page 95: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

95

Pewawancara 2 : anaknya berapa pak ?

Narasumber : Dua

(Penjualnya lagi bicara sama anaknya )

(Suara Motor)

Narasumber : Dari Surabaya, dari Mana?

Pewawancara 1 : Dari UNAIR Pak.

Narasumber : Owww, Surabaya Ya?

Pewawancara 1 : Iya

Narasumber : Ini yang depan dari unair, Mas Ikhsan.

Pewawancara 1 : Jurusan apa pak?

Peawawancara 2 : Jurusan Apa Pak?

Narasumber : Perkapalan

Pewawancara 2 : Owww Perikanan dan Kelautan

Narasumber : enggak.

Pewawancara 3 : ITS?

Pewawancara 2 : ITS?

Narasumber : Nah ya ITS ITS.

Pewawancara 1 : Oww. ITS

Pewawancara 3 : Kalo ITS Ada.

Narasumber : Iya ITS, ini rumahnya (menunjuk ke arah rumahnya), Penelitian?

Pewawancara 2 : Iya Penelitian Pak.

Pewawancara 1 : Semester berapa pak?

Narasumber : Semester akhir kayaknya

Pewawancara 1 : Skripsi berarti

Narasumber : empat Tahun

Pewawancara 2 : Nggak punya kerja sampingan gitu?

Narasumber : Siapa?

Pewawancara 2 : Bapak

Narasumber : Belum.

Pewawancara 1 : Jualan Mie Tok

Page 96: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

96

Pewawancara 2 : Iya Mie Ayam sama Bakso

Narasumber : Nambal Ban

Pewawancara 3 : Dapat bantuan dari Kepala Desa?

Narasumber : Apanya?

Pewawancara 1 : Bantuan Modal atau apa gitu?

Pewawancara 2 : Simpan Pinjam, Pinjam di Koperasi?

Narasumber : Nggak ada.

Pewawancara 2 : itu lumayan pak, dari tahun tahun sebelumnya, sebelum bantuan

itu diturunkan.

Narasumber : PNP, PNPM? Tapi saya nga dapet dek. Sebelah sini nga ada yang

dapat. yang dapat itu?

Pewawancara 1 : Dipilih itu pak?

Narasumber : Haa?

Pewawancara 1 : Dipilih?

Pewawancara 2 : itu yang dapet yang gimana pak?

Narasumber : gak tau yang dapet yang gimana

Pewawancara 3 : Kebijakan mayoritas PNPM?

Narasumber : Pedagang ada yang dapat, tergantung minta e.

Pewawancara 2 : Owalah

Narasumber : Kalo nga minta yang nga dikasih, Padahal saya mengajukan tapi

nga dikasih

(Suara Motor)

Pewawancara 2 : Apa namanya, kalo misalnya ngeluh ke siapa pak? Ke pak kades

kah? menyampaikan keluhan itu

Narasumber : Ya ke kelompok

Pewawancara 1 : Kelompok? Kelompok Pedagang?

Narasumber : bukan ,kelompok yang memberi.

Pewawancara 3 : yang memberikan kebijakan itu, kepala desanya?

Narasumber : Kelompoknya

Pewawancara 1 : Kelompoknya tadi, Dipilih gitu pak? dipilih langsung?

Pewawancara 3 : Berdasarkan apa pak? bapak kok nga dapat?

Narasumber : Kalo ngutang oleh, yo wes

Page 97: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

97

Pewawancara 2 : Bapaknya asli sini?

Narasumber : nggak . kalo yang dapat ada, kalo yang jualan tapi nga jelas. ini

malah nga dikasih

Pewawancara 1 : uang gitu pak?

Narasumber : ya dapat pinjaman, PNPM . nggak tau PNPM Itu apa.

Pewawancara 2 : Simpan pinjam gitu ya pak?

Narasumber : katanya PNPM itu apa, saya nggak tau.

Pewawancara 1 : PNPM

Narasumber : Paling-paling nga dapat ya sudah. Urusan dewe-dewe

Pewawancara 2 : Padahal kan tujuan utamanya itu koperasi simpan pinjam itukan

kembali ke Masyrakat. Untuk modal nah, harapan bapak, apa

perlu, kelompok bapak itu kenapa nggak dikasih. sementara itu kita

punya hak untuk itu.

Pewawancara 1 : Bapak punya hak ini, sementara kembali pada tujuanya tadi,

untuk masyrakat kembali ke masyrakat. Kira-kira kelompoknya itu

sebelah mana pak ?

Narasumber : Itu Pak RT, Bu RT

Pewawancara 2 : Owww.

Narasumber : Biasanya bisa tidak diberikan kepada orang-orang,untuk modal

sendiri. paling-paling ngutang kalo yang baik ya dikasih.

Narasumber : Selama jadi Kades, belum pernah mengumpulkan warga

Pewawancara 2 : Sama sekali belum? pertemuan semacam?

Pewawancara 1 : Belum ada?

Narasumber : Hampir Setahun

Pewawancara 2 : BPD Belum terealisasikan?

Narasumber : Kemungkinan sudah tapi saya belum tahu

Pewawancara 2 : belum terasa, nah itu kalo kepala desanya mengumpulkan

masyrakat ...

(Suara Motor)

Narasumber : Tidak pernah di Undang, ada pertemuan apa-apa ga pernah di

undang. biasanya ditinggal saya sekrang, kalo saya bicara benar

saya nya tidak suka

Pewawancara 2 : kalo bantuan pemerintah gimana pak ?

Narasumber : Beras merata lah, Merata 4 KG

Page 98: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

98

Pewawancara 2 : Perbulanya berapa pak

Pewawancara 1 : 1 Kantong?

Narasumber : 4kg, semua dapat

Pewawancara 2 : Pake kupon?

Narasumber : minta langsung. 4 KG itu 9 ribu

(Suara Motor)

Pewawancara 3 : bapak tidak pernah ketemu pak kades untuk ngomongin apa,

ngomongin apa gitu?

Narasumber : gak pernah

Pewawancara 2 : Kalo kades yang dulu Pak

Narasumber : Ya Sama malah parah

Pewawancara 2 : jadi mending sekarang berarti?

Narasumber : Kalo sekarang belum

Pewawancara 2 : kalo sekarang lumayan berkembang ya pak?

Narasumber : ya belum ada perkembangan apa-apa

Pewawancara 2 : Tapi untuk Insfraktuktur jalan sudah lama ta.

Pewawancara 1 : jalan ini loh pak, jalan aspal

Narasumber : ini jalan negara.

Pewawancara 2 : kalo yang beton itu pak

Narasumber : Itu baru

Pewawancara 2 : Itu programnya pak kades yang sekrang atau yang lama?

Narasumber : Kemungkinan yang lama, yang mengajukan orang yang lama, kalo

yang sekrang mengjukan kayanya ga diterima.

Narasumber : Kades yang dulu malah parah, gak pernah mgnumpulkan rakyat

Pewawancara 2 : dua Periode itu ya?

Narasumber : dua Periode gak pernah

Pewawancara 2 : tapi kok menang lagi ya pak?

Narasumber : uang nya orang-orang itu

Pewawancara 2 : Pake uang ya pak?

Narasumber : Kemungkinan begitu, 100% ya pake uang orang- orang itu,.

Pewawancara 1 : Biasanya dikasih berapa pak

Page 99: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

99

Narasumber : Gak tentu, kalo menang banyak, ya dikasih banyak.

Pewawancara 2 : itu dikasihnya sampai 50 ribu?

Narasumber : ya bisa juga, bisa lebih

Pewawancara 2 : gitu ya?

Narasumber : kalo dikaish uang, ya milih yang dikasih uang, sedikit ya ga dipilih.

kemungkinan yang meratnya sedikit, kalo 10 ribu emrata gitu

Tpewawancara 2 : kemungkinan besar ga jadi?

Narasumber : ga jadi. bakal milih yang besar. kalo di itung itung semuanya

korupsi

Narasumber : Mulai Rakyat

Pewawancara 2 : kalo dipikir-pikir memang benar?

Narasumber : ya memang benar.

Page 100: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

100

Lokasi : Rumah Pak Damri

Pukul : 17.00 WIB

Suasana : Formal, di Ruang tamu

Narasumber : Pak Damri (Pemangku Pure)

Pewawancara 1 : Bayu Aditya Amang

Pewawancara 2 : Anas Herlambang

Pewawancara 1 : anu pak kulo dalem mahasiswa saking unair surabaya. Wonten PKL

penelitian tentang tradisi budaya di desa bajulan. Ngih termasuk kalean

nopo masyarakat agamane teng mriki kan beragam ngoten lo pak. Terus

kalean pak yo disanjangi kalau untuk masyarakat Hindunya monggo ke

pak Damri. La niki bade tanglet-tanglet sekedik pak mengenai

masyarakat hindu disini. Ngih niku pak, sejarahnya masyarakat hindu

disini niku masuknya bagaimana. Kapan masuknya pak dan bagaimana

prosesnya di desa bajulan?

Narasumber : ouuh ngih pada dasare umat Hindu di tanah jawa pada umumnya ibarate

“sirno ilang kertoning bumi”. Jadi Hindu sudah tidak ada kabar

semenjak surute kerajaan Mojopahit. Nah terus tapi ada istiadat ajaran

hindu kan masih menyebar. Nah dasarnya umat hindu di desa bajulan

yang dilaksanakan sehari-hari memang dari ajaran hindu. Nah pada

akhirnya setelah hindu sudah diakui oleh pemerintah lagi, sudah

mendirikan lembaga, lembaga agamnya sudah diresmikan. Nah terus

masyarakat yang disini akhirnya juga identitasnya masuk ke hindu.

Dulu juga islam, Cuma islam-islam KTP. Tiap hari yang dilakukan juga

ajaran hindu , hindu kan punya dasar yang namanya kerangka dasar

agama “ fatwa susila upacara”. nah pelaksanaan upacara inilah yang

setiap hari dilaksanakan. Termasuknya upacara

budayatnya,manusiatnya,hikayatnya ,sosiatnya. Upacara itu selalu

dilaksanakan. Budayatnya suatu contoh upacara bersih desa, terus

sedekah bumi itu kan termasuk budayatnya. Terus ngopeni tanduran ,

metil ,segala macam itu kan hikayatnya, kalau manusiatnya mulai

bobot sampe nikah sampe meninggal niku kan di upacarai, lahir dan

segala macem memang itu sumbernya dari hindu.

Pewawancara 1 : terus niki kan wonten pure bade tanglet-tanglet pembangunane awal

mulanya bagaimana pak prosesnya terus bagaimana?

Narasumber : intine dulu ngih pure niku sawah, pada tahun 80an dibentuk tempat suci

sederhana teng mriku. Pada akhirnya pada tahun 1994 niku berencana

membuat tempat suci. Ngih tanah niku dihibahkan. awal mulane ngih

tanah pribadi, jadi dihibahkan ke yayasan untuk dibuat tempat suci.

Kemudian tahun 94 dimulai pembangunan, tapi karena kendala

macem-macem kan namane tempat suci, prosese melewati berbagai

Page 101: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

101

hal, tersendat-sendat baru tahun 1998 niku saget dimulai. Tahun 2001

niku bisa diresmikan, difungsikan sebagai tempat suci. Peresmian pure

lewat ritual-ritual ngih dipandu pendeta yen lewat pemerintah ngeh

lewat bupati. Bupati meresmikan pendeta mengupacarai beserta umat

hindu tahun 2001. terus berkembang-berkembang akhire pembangunan

terus bertambah karena sejarah pembangunan tempat suci kan enggak

hanya harus mendirikan tempat suci hindu pure saja. Tempat suci hindu

pure dibangun berdasarkan satu lokasi lingkungan, alamnya

terpengaruh. Kedua, karater umat, ketiga sejarah. itu disatukan pada

akhire ndak sama tempat suci. Termasuk pure iki identitase tempate

gunung wilis. Sing jaman dulu semasa leluhur digunakan tempat suci.

Kan ndak mungkin sekarang sembayang di puncak wilis, kan ndak

mungkin. Nah pada akhirnya inilah ditumbuhkan, diperbarui wujude.

Tapi isi sejarah dan lain sebagainya istilae fisiknya pure tapi rohnya

gunung wilis. Gampangane termasuk puncak wilis itu tempat suci,

persis kok struktur bangunane persis ngih anehe niku, begitu pura jadi

naik ke puncak lo kok struktur bangunananya kok sama.

Pewawancara 1 : padahal mboten direncanaaken ngih pak?

Narasumber : mboten, mbonten pelajari teng mriko mboten. (suara tidak jelas karena

ada suara sapi) ngih mung bimbingan-bimbingan, berbagai tempat suci

itu harus bagaimana. Ya ada dari kitab istilahe, terus ditambah wahyu

istilahe ngih dari petunjuk-petunjuk, terus sejarah. makane tempat suci

iku dibangun berdasarkan situasi alam, sejarah terus karakter

masyarakatnya terus disatukan. Kalau tidak manyatu tidak bisa jadi

puranya. Pasti hancur

Pewawancara 2 : kendalanya itu apa saja pak? Kendala mengenai pembangunan pura ini?

Narasumber : kendala itu kan pertama juga karena ijin, ijin pembangunan. Yang

kedua, juga masalah pendanaan. Yang ketiga masalah macam-macam

lah, masalah sosial juga. Ngih termasuk kecemburuan yang lain.

Mungkin karena belum tau toh tempat suci itu seperti apa. Jadi ada

yang merasa dirugikan. Pada akhirnya ngih kita tetep menyadari, biasa

kan perbedaan itu harus, tanpa perbedaan kan ngak ada kemajuan, ngak

ada keseimbangan.

Pewawancara 1 : jadi niku kecemburuan niku sejak pura itu dibangun siapa yang

cemburu pak?

Narasumber : gampangane, terus terang ngih mas, umat sanes sing mayoritas

istilahemboten trimo dan sebagian orang wonten dadi provokator

wonten. Cuma kan pripun, niku biasa ngih pada akhire tetep sadar

meskipun bangun gerejo, masjid lan segala macem pasti ada

kecemburuan. Karena itu bentuk keseimbangan, penunjang, pemicu.

Tanpa dipicu perbedaan mboten saget berkembang.

Pewawancara 2 : niku pas bangun pure niku wonten bantuan saking kepala desa nopo

mbonten pak?

Page 102: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

102

Narasumber : ouh ngih mbantune ngih mbantu, mbantu masalah menyelesaikan

utowo menengahi permasalahan di desa bajulan. Tapi Masalah

pendanaan ngih saking umat umat hindu mriki dan umat hindu sing

merasa terpanggil. Ngih lumayan, tapi pada akhirnya tahun 2010 ada

bantuan dari gubernur. Riyen-riyen ngih saking pemerintah daerah

ngih sulit . memang ngih teng pemerintah nganjuk mboten gadah akses.

Pemerintah nganjuk kan paling kecil keuangannya. yen kanggo

pembangunan tempat suci kesulitan.

Pewawancara 1 : anu pak kalian emh misalkan tradisi khasnya umat Hindu, di tengah

perbedaan masyarakat disini masalah agama niku, mungkin apakah

mulai terkikis atau mereka juga bisa menghargai.

Narasumber : yah bisa wong upacara niku nggeh upacara niku lancar mboten enten

masalah. Nggeh mung membangunan niku tok. Tapi lak masalah

kehidupan sehari-hari tetep rukun enggak ada

Pewawancara 2 : nggeh sampek sekarang mboten wonten masalah nggeh?

Narasumber : mboten. Nggeh kecemburuan niku mboten saking umate mriki mboten.

Nek sekitare mriki kiyambak rukun-rukun.

Pewawancara 2 : oh jadi niku saking luar?

Narasumber : nggeh njawihe mriki ngeroso pripun ngoten nggeh akhire masuk.

Nggeh biyasa niku iku neror. Umat mriki kiyambak mboten masalah.

Yah termasuk pura kan nggeh boten lamung tempat ibadah. Pura niku

wadah pembinaan, termasuk cagar budaya sebenarnya, karena dengan

upacara kan budaya masyarakat itu akan muncul. Budaya tradisi di sini

kan seni karya terus budaya kesenian termasuk tari niku tradisi orang

hindu pasti.

Pewawancara 2 : jadi di sini niku wonten kelompok-kelompok tarine niku?

Narasumber : nggeh, setiap upacara besar niku pasti wonten tariane nggeh niku reog.

Niki lain dari yang lain

Pewawancara 2 : ngajeng nikiwonten seni kuda nopo niku?

Narasumber : oh niku damel latihan lak niku.

Pewawancara 1 : oooh

Narasumber : damel latihan, nek reogke nggeh wonten.. niku reog kan nggeh

termasuk seni sakral niku seng rumiyen didamel ngajarake agama

hindu niku.. sebenarnya reog, tari reog niku sejarah tuntunan,

pengetahuan tapi karena ketidaktahuan lah akhire konsepe sebagai anu

bedo-bedo .tapi sejatine konsepe resi anom. Lah termasuk petilasane

ten gunung wilis. Wonten padepokan

Pewawancara 1 : niku pak menawi punden niku senes saking umat hindu ten dusun

pogoh niku?

Page 103: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

103

Narasumber : oh pogoh niku punden niku kan nggene tiang seng berpengaruh jaman

rumiyen..

Pewawancara 1 : oh ngoten...

Narasumber : tapi kebanyakan punden niku tempat pembakaran mayat jaman dulu.

Tapi katah seng mboten paham. Nggeh tiang ten punden mesti

diarteake makam. Niku nggene mpu. Nggeh jelas niku leluhure hindu..

mpu niku termasuk penganut ajaran syiwa. Nek resi penganut ajaran

wisnu. Termasuk ten mriki nggeh syiwa., ngeh wisnu nggeh macem-

macem.hindu niku nggeh kadose islam ngoten niku.enten NU enten

Muhammadiyah.. tapi nggeh ajarane, kitabe nggeh tetep sami. Cuma

bedo leluhur. Masih islam kan ngoten nggeh islam NU kerono leluhure

wong jowo. Muhammadiyah kerono leluhure arab. Turunane jowo kale

turunane arab lak ngoten. Gampangane kan ngoten.

Page 104: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

104

Lokasi : Rumah Pak Damri

Pukul : 17.00 WIB

Suasana : Formal, di Ruang tamu

Narasumber : Pak Damri (Pemangku Pure)

Pewawancara 1 : Bayu Aditya Amang

Pewawancara 2 : Anas Herlambang

Pewawancara 1 : begini pak, saya dari mahasiswa unair surabaya. Ada PKL penelitian

tentang tradisi budaya di desa bajulan. ya termasuk bagaimana

masyarakat agamanya di sini kan beragam begitu lo pak. Terus sama

pak yo dibilangin kalau untuk masyarakat Hindunya silahkan ke pak

Damri. La disini ingin bertanya sedikit pak mengenai masyarakat hindu

disini. Ya itu pak, sejarahnya masyarakat hindu disini itu masuknya

bagaimana. Kapan masuknya pak dan bagaimana prosesnya di desa

bajulan?

Narasumber : ouuh iya pada dasarnya umat Hindu di tanah jawa pada umumnya

ibaratnya “sirno ilang kertoning bumi”. Jadi Hindu sudah tidak ada

kabar semenjak runtuhnya kerajaan Mojopahit. Nah terus tapi ada

istiadat ajaran hindu kan masih menyebar. Nah dasarnya umat hindu di

desa bajulan yang dilaksanakan sehari-hari memang dari ajaran hindu.

Nah pada akhirnya setelah hindu sudah diakui oleh pemerintah lagi,

sudah mendirikan lembaga, lembaga agamnya sudah diresmikan. Nah

terus masyarakat yang disini akhirnya juga identitasnya masuk ke

hindu. Dulu juga islam, Cuma islam-islam KTP. Tiap hari yang

dilakukan juga ajaran hindu , hindu kan punya dasar yang namanya

kerangka dasar agama “ fatwa susila upacara” . nah pelaksanaan

upacara inilah yang setiap hari dilaksanakan. Termasuknya upacara

budayatnya,manusiatnya,hikayatnya ,sosiatnya. Upacara itu selalu

dilaksanakan. Budayatnya suatu contoh upacara bersih desa, terus

sedekah bumi itu kan termasuk budayatnya. Terus mengurus tanaman ,

metil ,segala macam itu kan hikayatnya, kalau manusiatnya mulai

bobot sampe nikah sampe meninggal niku kan di upacarai, lahir dan

segala macem memang itu sumbernya dari hindu.

Pewawancara 1 : terus ini kan ada pura ingin tanyak-tanyak pembangunannya awal

mulanya bagaimana pak prosesnya terus bagaimana?

Narasumber : intinya dulu ya pura itu sawah, pada tahun 80an dibentuk tempat suci

sederhana disana. Pada akhirnya pada tahun 1994 itu berencana

membuat tempat suci. ya tanah itu dihibahkan. awal mulannya ya tanah

pribadi, jadi dihibahkan ke yayasan untuk dibuat tempat suci.

Kemudian tahun 94 dimulai pembangunan, tapi karena kendala

macem-macem kan namanya tempat suci, prosesnya melewati berbagai

Page 105: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

105

hal, tersendat-sendat baru tahun 1998 itu bisa dimulai. Tahun 2001 itu

bisa diresmikan, difungsikan sebagai tempat suci. Peresmian pura lewat

ritual-ritual ya dipandu pendeta kalau lewat pemerintah ya lewat

bupati. Bupati meresmikan pendeta mengupacarai beserta umat hindu

tahun 2001. terus berkembang-berkembang akhirnya pembangunan

terus bertambah karena sejarah pembangunan tempat suci kan tidak

hanya harus mendirikan tempat suci hindu pura saja. Tempat suci hindu

pura dibangun berdasarkan satu lokasi lingkungan, alamnya

terpengaruh. Kedua, karater umat, ketiga sejarah. itu disatukan pada

akhirnya tidak sama tempat suci. Termasuk pura ini identitasnya

tempatnya di gunung wilis. yang jaman dulu semasa leluhur digunakan

tempat suci. Kan tidak mungkin sekarang sembayang di puncak wilis,

kan tidak mungkin. Nah pada akhirnya inilah ditumbuhkan, diperbarui

wujudnya. Tapi isi sejarah dan lain sebagainya istilanya fisiknya pura

tapi rohnya gunung wilis. Gampangannya termasuk puncak wilis itu

tempat suci, persis kok struktur bangunannya persis ya anehnya itu,

begitu pura jadi naik ke puncak lo kok struktur bangunananya kok

sama.

Pewawancara 1 : padahal tidak direncanakan ya pak?

Narasumber : tidak, tidak dipelajari disana. (suara tidak jelas karena ada suara sapi)

ya cuma bimbingan-bimbingan, berbagai tempat suci itu harus

bagaimana. Ya ada dari kitab istilahnya, terus ditambah wahyu

istilahnya ya dari petunjuk-petunjuk, terus sejarah. makannya tempat

suci itu dibangun berdasarkan situasi alam, sejarah terus karakter

masyarakatnya terus disatukan. Kalau tidak manyatu tidak bisa jadi

puranya. Pasti hancur

Pewawancara 2 : kendalanya itu apa saja pak? Kendala mengenai pembangunan pura ini?

Narasumber : kendala itu kan pertama juga karena ijin, ijin pembangunan. Yang

kedua, juga masalah pendanaan. Yang ketiga masalah macam-macam

lah, masalah sosial juga. Ngih termasuk kecemburuan yang lain.

Mungkin karena belum tau toh tempat suci itu seperti apa. Jadi ada

yang merasa dirugikan. Pada akhirnya ngih kita tetep menyadari, biasa

kan perbedaan itu harus, tanpa perbedaan kan ngak ada kemajuan, ngak

ada keseimbangan.

Pewawancara 1 : jadi itu kecemburuan iyu sejak pura itu dibangun siapa yang cemburu

pak?

Narasumber : gampangannya, terus terang ya mas, umat selain yang mayoritas

istilahya tidak terima dan sebagian orang ada yang jadi provokator.

Cuma kan bagaimana ya, itu biasa ya pada akhirnya tetap sadar

meskipun bangun gereja, masjid dan segala macem pasti ada

kecemburuan. Karena itu bentuk keseimbangan, penunjang, pemicu.

Tanpa dipicu perbedaan tidak bisa berkembang.

Page 106: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

106

Pewawancara 2: waktu pembangunan pura itu ada bantuan dari kepala desa apa tidak

pak?

Narasumber : ouh iya membantunya ya membantu, membantu masalah

menyelesaikan oatau menengahi permasalahan di desa bajulan. Tapi

Masalah pendanaan ya dari umat hindu disini dan umat hindu yang

merasa terpanggil. ya lumayan, tapi pada akhirnya tahun 2010 ada

bantuan dari gubernurdulu-dulu ya dari pemerintah daerah ya sulit .

memang ya dig pemerintah nganjuk tidak ada akses. Pemerintah

nganjuk kan paling kecil keuangannya. kalau buat pembangunan

tempat suci kesulitan.

Pewawancara 1 : begini pak emh misalkan tradisi khasnya umat Hindu, di tengah

perbedaan masyarakat disini masalah agama itu, mungkin apakah

mulai terkikis atau mereka juga bisa menghargai.

Narasumber : yah biasa upacara itu ya upacara lancar tidak ada masalah. ya cuma

pembangunan itu saja. Tapi kalau masalah kehidupan sehari-hari tetep

rukun

Pewawancara 2 : ya sampai sekarang tidak ada masalah ya?

Narasumber : tidak. yah kecemburuan itu bukan dari umatdisini tapi dari umat luar

desa bajulan. Kalau sekitar sini ya rukun-rukun.

Pewawancara 2 : oh jadi itu dari luar?

Narasumber : ya luar sini merasa bagaimana gitu.ya biasa itu teror. Umat disini

sendiri tidak masalah. Yah termasuk pura kan ya tidak hanya tempat

ibadah. Pura itu wadah pembinaan, termasuk cagar budaya sebenarnya,

karena dengan upacara kan budaya masyarakat itu akan muncul.

Budaya tradisi di sini kan seni karya terus budaya kesenian termasuk

tari itu tradisi orang hindu pasti.

Pewawancara 2 : jadi di sini itu ada kelompok-kelompok tarinnya itu?

Narasumber : ya, setiap upacara besar itu pasti ada tariannya ya itu reog. ini lain dari

yang lain

Pewawancara 2 : depan sini ada seni kuda apa itu?

Narasumber : oh itu untuk latihan.

Pewawancara 1 : oooh

Narasumber : untuk latihan, kalau reognya ya ada.. itu reog kan ya termasuk seni

sakral itu yang dulu dibuat mengajarkan agama hindu itu.. sebenarnya

reog, tari reog itu sejarah tuntunan, pengetahuan tapi karena

ketidaktahuan lah akhirnya konsepnya sebagaian berbeda-beda. tapi

sebenarnya konsepnya resi anom. Lah termasuk petilasannya di

gunung wilis. ada padepokan

Pewawancara 1 : itu pak bilamana punden itu bukan dari umat hindu di dusun pogoh itu?

Page 107: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

107

Narasumber : oh pogoh itu punden itu kan punyaknya orang yang berpengaruh jaman

dulu.

Pewawancara 1 : oh begitu

Narasumber : tapi kebanyakan punden itu tempat pembakaran mayat jaman dulu.

Tapi banyak yang tidak paham. ya orang di punden selalu diartikan

makam. itu tempatnya mpu. ya jelas itu leluhurnya hindu.. mpu itu

termasuk penganut ajaran syiwa. kalau resi penganut ajaran wisnu.

Termasuk disini ya syiwa., ya wisnu ya macam-macam. hindu itu ya

sama halnya islam begitu itu. ada NU ada Muhammadiyah, tapi ya

ajarannya, kitabnya ya tetep sami. Cuma beda leluhur. Masih islam kan

begitu ya islam NU karena leluhurnya orang jawa. Muhammadiyah

karena leluhurnya arab. turunan jowo sama turunan arab kan begitu.

Gampangannya kan begitu.

Page 108: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

108

Lokasi : Balai Desa

Pukul : 10.00 WIB/Jumat, 6 Juni 2014

Suasana : Formal

Narasumber 1 : Pak Sama’un Ahmad (Jogoboyo)

Narasumber 2 : Pak Soimun (Mudin)

Narasumber 3 : Pak Jarwo

Pewawancara 1 : Anas. H. Pewawancara 6 : Istianatul Maulidia

Pewawancara 2 : Bayu Aditya. A Pewawancara 7 : Reza Putri D

Pewawancara 3 : Arif Bagus. P Pewawancara 8 : Retno Safitri

Pewawancara 4 : Heru Prasetya Pewawancara 9 : Retno

Purwaningtias

Pewawancara 5 : M. Irfan. N pewawncara 10 : Ainur Rahmatin

Pewawancara 2 : ini pak kita dari mahasiswa unair mengadak penelitian di desa ini.

Narasumber 1 : oh ya ini informasi apa aja yang di butuhkan?

Pewawancara 6 : nah itu pak kami perlu data sekunder tentang desa ini.

Narasumber 1 : datanya gag ada mbak ini di pinjem anak unesa belum di kembalikan

saya buat lagi ini belum selesai paling dua hari uda selesai tapi

tenang perangat desa siap membantu, ini mau tak prinkan peta

petanya dulu.

Narasumber 1 : kalau peta desanya sudah ada ini. Cuma tiga mas konputernya gag

bisa kalo mau nanti sore dateng lagi kesini gag papa, kantor desa

dibuka terus kok, kalau mau pake kantor desa buat rapat silahkan.

Narasumber 2 : asssalamualaikum

Pewawancara : waailaikumsalam

Narasumber 2 : dari mana?

Pewawancara 1 : ini pak dari unair Surabaya yang kebetulan lagi penelitian di

bajulan

Narasumber 2 : oh ya ya

Narasumber 1 : bapak disni menjabat sebagai apa pak?

Narasumber 2 : saya, disini sebagai mudin

Pewawancara 3 : itu kerjanya di bagian apa pak, ngurusu perkawinan ta?

Page 109: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

109

Narasumber 2 : ya gag cuman itu saja, di samping ngurusi perkawinan juga ngurusi

kematian.

Pewawancara 6 : ohya pak sejauh ini di desa bajulan sendiri ada permasalahan apa

pak

Narasumber 2 : oh gak ada, meskipun ada paling ya cuman masalah ekonomi, biasalah

mbak masalah ekonomi ya....wajar

Narasumber 3 : ada program apa ini dek?

Pewawancara 1 : PKL pak

Narasumber 3 : oalah sekarang ganti ya dulu kan KKN

Pewawancara 1 : oh bukan pak ini pkl (kuliah lapangan) semacam penelitian gitu,

kalo KKN kan ada program ngajar atau yang lainya, ini cuman

PKL pak.

Narasumber 3 : oh yayaya

Pewawancara 1 : oh ya pak terkait PNPM sendiri itu progrmnya apa saja pak?

Narasumber 3 : PNPM itu sudah jalan tapi sejauh ini hanya bergerak di bidang

pembangunan seperti halnya pembangunan jalan /betton terus

yang satunya pembangunan sekolah PAUD

Narasumber 1 : sudah? ini perlu informasi apa lagi? hehe

Pewawancara 8 : ohya pak terkait dengan kesehatan, dulu kan ada program

jamkesmas sekarang yang baru kan BPJS, itu masyarakat disini

mengguanakan program itu gag pak?

Pewawancara 3 : disini itu ada BPD gag pak trus kalau misalkan ada BPD itu ikut

bermusyawarah dengan masyarakat gak pak?

Narasumber 1 : disini itu ada BPD tapi baru di fungsikan selama setahun ini selama

kades yang sekarang menjabat kalau sebelum sebelumnya itu

BPD itu sendiri kurang di jalankan

Pewawancara 10 : terkait dengan kondisi masyarakat disini kan beda beda pak,ada

masyarakat islam dan masyarakat hindu , nah itu selama ini

masalah apa pak yang di rasa oleh masyarakat setempat

dengan adanya dua perbedaan agama tersbut.

Narasumber 1 : ya, kalau masalah itu rukun rukun saja mbk, disini ka nada langgar

mabk nah dalam pembangunan langgar itu masyarakat hindu

antosias untuk bantu bantu kayak semisal ngankat batu

dll,begitu juga sebaliknya

Pewawancara 7 : oya pak katanya kalo pembangunan pure sendiri itu isunya harus

mendapatkan persetujuan dari 27 santri di desa ini?

Page 110: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

110

Narasumber 1 : ohhhhhh….. klo masalah itu ya kayak gini mbak awalnya itu,

Cuma isu sja, jadi waktu itu ada pembangunan pure, lurah

yang dulu itu minta izin kepada kyai jombang yaitu gus tom

beliau menanggapinya masak membangun pure aja harus

dapat izin 27 kyai… membangun masjid aja gag perlu minta

izin, jadi monggo di bangun saja. Pure itu pada awalnya hanya

sebatas bangunan kecil itu mbak tapi namanya bukan pure,

nah setelah mendapat izin itu baru di bangun jadi besar seperti

sekarang ini mbak

Pewawancara 7 : ohhh……..gtu….

Pewawancara 8 : rata-rata berapa KK (Kepala Keluarga) Pak yang dihitung? Per

kepala apa per KK?

Narasumber 3 : per kepala.

Pewawancara 8 : per kepala?

Narasumber 3 : iya per kepala.

Pewawancara 8 : per kepala berapa pak?

Narasumber 3 : 20rb

Pewawancara : 20rb. Oooo

Pewawancara 3 : calonnya kades kemarin ada berapa orang Pak?

Narasumber 3 : Kepala desa?

Pewawancara 1 : Iya.

Narasumber 3 : Kepala desa ada dua orang.

Pewawancara 6 : Baru menjabat berapa lama Pak itu kepala desa yang

sekarang?

Narasumber 3 : baru belum dua tahun. Baru satu tahun. Yang naik pangkat bukan

kepala desa, kepala dusun.

Pewawancara 6 : pak Kami Tuwo?

Narasumber 3 : Iya Pak Kami Tuwo.

Pewawancara 8 : Kalau Pak Kami Tuwonya sekarang itu diangkat seumur hidup

katanya ya Pak?

Narasumber 3 : Iya.

Pewawancara 6 : itu katanya pakai tes ya Pak?

Narasumber 3 : Iya pakai tes.

Pewawancara 6 : Tes Tulis gitu Pak?

Page 111: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

111

Narasumber 3 : Iya tes tulis. Semua mata pelajaran. Kayak PNS. Terus tambahan

kayak kompetensi bidang gitu.

Pewawancara 3 : Calonnya kades itu darimana Pak yang satu lagi? Dari dusun

mana?

Narasumber 3 : Dari dusun Plangkat.

Pewawancara 3 : Kalau dari dusun semanding yang mayoritas beragama Hindu

enggak punya calon kepala desa Pak?

Narasumber 3 : Enggak ada. Adanya Pak Kami Tuwonya Pak Istiyono. Paling

banyak penduduknya desa Semanding. Diatas 400 KK lebih.

Pewawancara 3 : Sebelum ini kepala desanya dari mana Pak?

Narasumber 3 : Dari dusun Semanding. Pak Joko

Pewawancara : Oooo Pak Joko.

Narasumber 3 : Eh 3 tadi calon kepala desanya. Ada 3 orang. Yang plangkat satu

istrinya Pak Joko. Jadi sudah dua periode ingin digantikan

istrinya.

Pewawancara 3 : Gak pernah ada kandidat dari yang agama Hindu.

Narasumber 3 : Belum ada.

Hening sejenak . . . . . . . . . . . . . .

Narasumber 3 : Kalau disini orang-orangnya mayoritas sudah tergolong mampu.

Ya secara ekonomi.

Pewawancara 8 : Kalau pendidikan gimana Pak?

Narasumber 3 : Kalau pendidikan ya disini lumayan. Rata-rata sudah lulusan

SMA.

Pewawancara 8 : Selama ini kepala desanya berasal dari desa ini juga apa pernah

dari luar Pak?

Narasumber 3 : Sejauh ini asli semua.

Pewawancara 9 : Kalau kandidat calon kepala desa yang dari luar sini ada enggak

Pak?

Narasumber 3 : ada kemaren ada yang dari Kediri. Enggak lolos. Sudah disini

puluhan tahun.

Pewawancara : Oh pendatang.

Narasumber 3 : Iya pendatang.

Pewawancara 3 : Tapi disini rata-rata jalannya sudah bagus semua ya Pak?

Page 112: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

112

Narasumber 3 : sudah. Sudah sudah sudah.

Pewawancara 6 : Itu dari program-program sebelumnya Pak? Seperti

APBDes atau APBD.

Narasumber 3 : oh itu jalan dari pemerintah. Yang jelek di daerah Jati. Dulu

itu sudah di aspal. Tapi karena aspalnya jelek belum ada satu

tahun sudah rusak.

Pewawancara 3 : Oh jadi itu yang di kebun-kebun cengkeh itu.

Narasumber 3 : Iya disitu.

Pewawancara 3 : Oh jadi disitu.

Narasumber 3 : Kebun cengkeh kadang jadi kebun duren kalau musim.

Sekarang lagi ga musim.

Pewawancara 1 : Wah enak kalau musim duren.

Narasumber 3 : Iya baru aja sebulan kemaren akhir musimnya.

Pewawancara 8 : Untuk mudin itu tersebar di setiap dusun Pak?

Narasumber 3 : Satu desa Cuma ada satu mudin aja. Tapi ada perwakilan mudin

kalau sewaktu-waktu mudinnya lagi ga ada ada yang

menggantikan.

Pewawancara 3 : Pak mudin kalau berdo’a itu pakai bahasa jawa apa arab Pak?

Narasumber 3 : bahasa arab.

Pewawancara : Oh bahasa arab.

Narasumber 3 : Kalau pujonggo itu kebanyakan masih pakai bahasa Jawa.

Pewawancara 3 : Kalau pujonggo itu dimana biasanya Pak?

Narasumber 3 : Kalau pujonggo adanya di setiap acara slametan. Tiap dusun ada.

Mungkin ya dianggap orang mendalami ilmu jawa. Kejawen.

Kalau disini seperti panen itu kebanyakan yang digunakan bahasa

jawanya. Doanya tetap ada tapi yang bahasa jawa yang utama.

Pewawancara 8 : itu biasanya dilakukan dimana acaranya Pak?

Narasumber 3 : Di rumah masing-masing.

Pewawancara 3 : Saya lihat banyak anak kecil-kecil ngaji. Yang ngajar itu siapa

Pak?

Narasumber 3 : Yang ngajar itu sukarela Mas.

Pewawancara 3 : Itu yang sukarela lulusan dari pesantren gitu Pak?

Page 113: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

113

Narasumber 3 : Bukan Mas. Itu yang ngerti al-qur’an aja. Enggak lulusan

pesantren.

Pewawancara 3 : Kalau pengajian kayak yasinan itu ada Pak?

Narasumber 3 : kalau yasinan itu rutin tiap jum’at ada.

Pewawancara 8 : hari jum’at hari ini Pak?

Narasumber 3 : Bukan. Malam jum’at maksudnya.

Pewawancara 8 : itu ibu-ibu apa bapak-bapak pengajiannya?

Narasumber 3 : bapak-bapak. Kalau ibu-ibu itu nanti habis jum’atan.

Pewawancara 8 : jam 3 sore itu Pak?

Narasumber 3 : Iya jam 3.

Pewawancara 9 : Di masjid Pak?

Narasumber 3 : bukan. Itu di rumah. Bergilir. Itu kan semacam arisan. Nanti

arisannya dikocok siapa yang dapat berarti berikutnya gentian di

rumahnya.

Pewawancara 8 : perbulan ya Pak?

Narasumber 3 : Bukan. Per minggu. Itu di setiap kedukuhan ada.

Pewawancara 8 ; Itu biasanya pengajian saja apa ada yang ceramah?

Narasumber 3 : Pengajian saja.

Pewawancara 9 : itu yang mimpin ada beberapa apa satu orang aja Pak? Kayak bu

nyai gitu?

Narasumber 3 : Enggak ada bu nyai. Tapi yang mimpin Cuma satu.

Pewawancara 3 : Orang pintar disini masih ada Pak?

Narasumber 3 : Orang pintar gimana?

Pewawancara 3 : Orang pintar kayak dukun atau paranormal Pak.

Narasumber 3 : Masih ada. Kebanyakan orang-orang sini ga cocok. Tapi malah

orang dari luar datang kesini.

Pewawancara 3 : yang ada dukunnya dimana Pak?

Narasumber 3 : Di dusun semanding ada. Kedukuhannya magersari. Dekat roro

kuning. Disini dulu ada tapi orangnya sudah meninggal.

Pewawancara 3 : kalau disini banyak yang mempelajari ilmu jawa Pak?

Narasumber 3 : Sebenarnya disini banyak yang mendalami ilmu kejawen. Tapi

kalah sama orang biasa. Jadi ga patek dianggep.

Pewawancara 3 : Jum’atan dimana Pak disini?

Page 114: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

114

Narasumber 3 : disini (sambil menunjuk arah musholla depan balai desa) sama

disebelah sana (sambil menunjuk arah dukuh pogoh). Kalau disini

nyebutnya langgar.

Pewawancara 9 : Ada berapa langgar di desa ini Pak?

Narasumber 3 : Banyak Mas. Di semua kedukuhan ada. Tapi kalau jum’atan

orang-orang pilih masjid yang dekat.

Pewawancara 8 : Kalau kita mau ke Pure mau cari tau tentang isinya itu boleh Pak?

Narasumber 3 : Boleh.

Pewawancara 8 : itu izinnya dimana Pak?

Narasumber 3 : Langsung masuk aja enggak apa-apa.

Pewawancara 8 : Oh langsung masuk aja.

Narasumber 3 : nanti kan ada juru kuncinya disana. Itu untuk umum. Gak apa-apa

langsung masuk aja.

Pewawancara 8 : itu katanya purenya ditengah-tengah. Jadi yang diatas hindu yang

dibawah islam.

Narasumber 3 : Iya. Ini kan dusun semanding yang banyak hindunya sampai

perbatas jalan. Sisanya dibawah jalan yang islam (sambil

menunjuk ke Peta).

Pewawancara 8 : persebaran hindunya Cuma disitu aja?

Narasumber 3 : Iya.

Pewawancara 8 : kalau dibawah-bawah enggak ada?

Narasumber 3 : ada karena pernikahan. Cuma ya seikit. Ada yang di luar-luar dusun.

Kalau ibadah tetap di pure itu.

Hening selama 30 detik.......

Narasumber 3 : Lha terus ini nginepnya dimana?

Pewawancara 3 : Di depannya Pak Kami Tuwo Pak.

Narasumber 3 : Oh iya ada rumah kosong itu. Di rumahnya Pak Kami Tuwo

sendiri apa?

Pewawancara : Di depannya.

Narasumber 3 : Pak Kami Tuwo rumahnya dua. Itu yang disebelahnya sama yang

di depannya.

Pewawancara 5 : Rumahnya yang merah Pak.

Page 115: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

115

Narasumber 3 : Itu rumahnya saudaranya. Kebetulan kosong. Orangnya lagi ke

Kalimantan.

Pewawancara : Oh gitu.

Narasumber 3 : Kalau rumah saya pas pertigaan.

Pewawancara 3 : Yang warung-warung itu Pak?

Narasumber 3 : Iya warung-warung terus ada puskesmas. Selatan puskesmas pas.

Pewawancara 3 : Ada billiardnya juga Pak disini.

Narasumber 3 : Iya pas. Pas billiard’nya. Ngarep’e pas.

Pewawancara 8 : Kalau puskesmasnya itu dokternya dari mana Pak?

Narasumber 3 : Bukan dokter itu. Mantri.

Pewawancara 8 : Oh mantri. Jadi ga ada istilah dokter disini Pak?

Narasumber 3 : Enggak ada.

Pewawancara 8 : Itu dari desa sini juga Pak mantrinya?

Narasumber 3 : Bukan. Itu dari luar. Dari dinas kesehatan.

Pewawancara 8 : Oh pendatang. Itu sukarela atau gimana Pak?

Narasumber 3 : Ditugaskan.

Pewawancara 8 : Oh ditugaskan.

Narasumber 3 : Sebenarnya bukan mantra yang ditugaskan disini. Bidan.

Berhubung bidannya enggak ada diisi mantri. Sekarang setelah ada

bidan mantrinya ga mau pulang.

Pewawancara 10 : Disana berarti ga ada bidannya Pak?

Narasumber 3 : Bidan satu nding. Setelah ada bidan orangnya ga mau. Tetap nempati

puskesmasnya.

Pewawancara 8 : Kalau jaman dulu kan di dukun beranak gitu. Sekarang kayaknya

udah ga ada. (sambil terkekeh).

Narasumber 3 : Masih ada.

Pewawancara : Oh masih ada Pak.

Narasumber 3 : Masih. Tapi rata-rata kerjasama sama bidan.

Pewawancara 8 : Jadi ilmunya tukeran gitu Pak.

Page 116: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

116

Narasumber 3 : Iya. Tapi tetep di rumahnya bidan. Pembantunya itu dukun

beranaknya.

Pak Mudin datang sambil membawa kopi dan mempersilahkan pewawancara untuk

minum.

Page 117: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

117

Lokasi : Di depan rumah ibu Wiyatun, dusun Pogoh, desa Bajulan.

Pukul : 15.30 WIB/ Jumat, 6 Juni 2014

Suasana : santai, berdiri di depan rumah

Narasumber : Ibu Wiyatun (Petani pemilik lahan)

Pewawancara 1 : Istianatul Maulidia

Pewawancara 2 : Ainur Rahmatin

Pewawancara 3 : Retno Safitri

Pewawancara 4 : M. Irfan Nuryaddin

Pewawancara 2 : apakah di sini ada semacam kaya selamatan gitu bu?

Narasumber : yah enggak ngerti mbak, yh sudah enggak ada selametan enggak

ada apa.

Pewawancara 1 : hmm mksudnya misalnya enggak ada selametan hasil panen gitu

bu?

Narasumber : oh tradisine kalo sini mbak, kalo mau petik padi, yah selametane

ya sederhana

Pewawancara 2 : berarti tetep selametan yah bu yah

Narasumber : iyah mbak kalo disini namanya wiwit

Pewawancara : ooh wiwit

Narasumber : itu selametannya di rumah, tapi yah sederhana. Pake ember gitu

yah gak banyak di lingkungan sini aja ke tetangga tetangga

Pewawancara 3 : lah ini kegiatannya lagi ngapain ibu tadi ?

Narasumber : itu ada kopi diladang

Pewawancara 1 : oh nanem kopi juga yah ibu.

Pewawancara 2 : itu ditanam dipinggiran gitu yah bu

Narasumber : enggak mbak, di ladang yang tengah itu ditanami kopi.

Pewawancara 2 : selain itu tanemannya apa aja bu selain kopi?

Narasumber : yah ada cengkeh, kenongo, kaya ini mbak (sambil menunjuk

tanaman bunga kenanga di depan rumah),

Pewawancara 1 : kaya ini yah bu (sambil menunjuk bunga kenanga), buat apa yah

bu kembang kenongonya?

Narasumber : yah disuling mbak, kalo diladang di sana ada dua ratus pohon,

dibuat minyak.

Pewawancara 1 : oh minyak wangi.

Page 118: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

118

Narasumber : minyak wangi ituloh mbak

Pewawancara 1 : iya bu minyak wangi itu yah ooh

Pewawancara 3 : kalo boleh tau luas lahannya itukira-kira berapa?

Narasumber : sedikit hanya setengah hektar. Ho.o

Pewawancara 3 : tapi itu milik ibu sendiri?

narasumber : tapi disana itu sebagian ada yang ditanemi padi, jagung, sebagian

ada yang belimbing, ada kopi, ada cengkeh gituloh mbak. Jadi

enggak semua ditanemi padi jagung. Jadi sepertiganya. Hehehehe

pewawancara 3 : terus hasilnya didistribusikan?

Pewawancara 1 : dijual gitu bu maksudnya

Narasumber : yah dijual nanti ada tengkulak kesini. Tapi itu tanah diberi pupuk,

tapi pupuknya pinjem. Nanti kalo sudah panen, disetori panennya

sambil dijual, nanti berapa anu hutangnya berapa nanti ada berapa.

Pewawancara 1 : terus ini bu, kira-kira ibu keluhannya apa, masalah nenemnya,

produksinya, atau pupuknya

Narasumber : kalo pupuknya ada yang nyetoki ya mbak tapi kalo keluhane padi

itu banyak hama, jagung itu juga banyak hama. Ya kaya tikus gitu

mbak

Pewawancara 2 : kalo banyak tikus gitu terus dikasih apa bu?

Narasumber : ada obatnya mbak tapi jarang yang..

Pewawancara 2 : pake

Narasumber : ho.oh. sulit pemberantasane tikus itu. Sulit, seluruh bajulan itu

hamanya tikus sekarang.. ada kacang ada padi itu tikus semua

Pewawancara 1 : ini katanya ada padi yang memutih itu kenapa bu?

Narasumber : ini juga ada, ini lo mbak kalo namanya njebul kalo padinya mau

keluar ituloh namanya njebul itu sudah putih semua namanya potong

leher. Sudah tidak bisa memberantas. ppl juga pernah kesini katanya

gini-gini tapi orang tani ini yah nurut tapinya tetep gitulah mbak.

enggak ada perbedaan

Pewawancara 3 : sejauh ini kalo ada masalah yang menangani atau yang menjadi

orang ketiga itu siapa? Misalkan keluhannya di kepala desa atau

kemana gitu bu?

Narasumber : sebenernya ada kelompok tani mbak. Nanti kelompok tani itu nanti

itu ada pplnya

Pewawancara 3 : pplnya disni dmn bu?

Narasumber : kalo disini adanya diloceret mbak. Kalo disini Cuma ada kelompok

tani.

Pewawancara 1 : untuk ketuanya kelompok tani itu siapa bu?

Page 119: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

119

Narasumber : kalo kelompok tani disini itu pak taji

Pewawancara 2 : rumahnya dimana bu?

Narasumber : rumahnya didusun semanding yah mbak. Dipinggir jalan.

Pokoknya namanya pak taji ketua kelompok tani. Namanya apa gak

tau kalo disini dlu ada namanya fajar wilis

Pewawancara 1 : apa itu bu?

Narasumber : namanya kelompok ituloh mbak namanya fajar wilis

Pewawancara : ooh

Narasumber : ketuanya pak bambang, sekarang ganti apa tidak, saya ora, enggak

tau hihihi

Pewawancara 3 : ini lahannya ibu garap sendiri atau sama anak-anaknya atau sama

bapaknya atau ada buruhnya?

Narasumber : yah hanya sama bapak

Pewawancara 2 : mungkin ada penghasilan lain kaya apa gitu

Narasumber : kalo alpukat enggak punya. Klo cengkeh sudah tua mbak, sudah

tua tiga puluh tahun, sudah ngarang gituloh, sudah gak ada daunnya

Pewawancara 1 : ini cengkeh buk yah (sambl menunjuk pohon di samping rumah)?

Bukan?

Narasumber : itu randhu mbak. Cengkeh ituloh mbak, yah gitu itu mbak (sambil

menunjuk tanaman cengkeh di depan rumah).

Pewawancara 3 : Itu sudah tiga puluh tahun yah bu?

Narasumber : kalo itu duapuluh lima tahun. Sudah enggak berbuah.

Pewawancara 2 : terkait masalah itu yah bu, harapannya itu ehm semua kaitannnya

masalah lahan itu mungkin harapannya hama-hama bisa diberantas

kan buk yah. mungkin ibu punya usulan di berantas dengan ini-ini

itu bu?

Narasumber : tapi kalo bapaknya itu Tanya sama teman-teman aja gitu, anu kaya

disawahku banyak hama apa obatnya, terus temen-temen lahanku

tak berantas pake ini. Terus bapake beli gitu aja. Saya enggak pernah

ke kelompok tani

Pewawancara 1 : hemh jadi enggak pernah dibicarain gitu yah bu sama kelompok

tani?

Narasumber : bapak itu enggak pernah ke kelompok tani

Pewawancara 2 : itu karena apa bu? Mungkin gara-gara jauh ta apa keluhannya

enggak sampe kekelompok tani?

Pewawancara 1 : atau lebih mudah pake cara kaya gitu mungkin bu yah?

Narasumber : wong bapaknya itu loh mbak mungkin yang ditanya itu deket sama

kelompok tani to mbak namanya sudah tua

Page 120: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

120

Pewawancara 3 : kelompok tani itu kan untuk mengumpulkan tani-tani yang ada kan,

perkumpulan itu membicarakan apa?

Narasumber : disini itu ada mbak. Tapi bapaknya itu ada keluhan sakit. Apaknya

itu sakit jantung. Jadi enggak pernah ikut kumpul.

Pewawancara 2 : yah mungkin ada perwakilan anak?

Narasumber : anak mudah yah enggak pernah mau mbak ahahahahha

Pewawancara 4 : Pak taji tadi disemanding mana?

Pewawancara 1 : semanding sebelah pure yah bu?

Narasumber : disini loh mbak. Jalan yang ke sana kekiri jembatan ituloh kebalai

desa lurus

Pewawancara : ooooh yah yah yah

Narasumber : hehehehe. Belum pernah ke atas to? Ke roro kuning? Sudah

Pewawancara 3 : oh belum kalo ke roro kuning

Pewawancara 2 : ibu juga punya ternak juga ya?

Narasumber : enggak punya mbak

Pewawancara 2 : ini tambak ta (sambil menunjuk kolam di depan rumah)?

Narasumber : ini dulunya ternak ikan lele tapi ini dikosongkan karena airnya

kurang. Kalo kemarau enggak bisa.

Pewawancara 2 : jadi ini kosong laan?

Narasumber : iyah masih kosong. Barusan dipanen lelenya. Tapi yah prihatin,

enggak banyak dikit soalnya kena virus banyak yang mati. Separuh

yang mati

Pewawancara 1 : oh iyah kalo gitu terimakasih buat informasinya maaf kalo

ngerepotin yah buk yah

Narasumber : engggak-enggak mbak saya malah terima kasih.

Narasumber : kotor ini mbak

Pewawancara 1 : enggak kok buk

Narasumber : dari surabaya yah ini?

Pewawancara : iyah dari Surabaya bu

Narasumber : anak saya itu yah di tuban. Yang sulung. Lakinya anak saya terus

istrinya bidan di tuban tapi di desa. Di palang kecamatan palang

ituloh mbak

Pewawancara 2 : jarang pulang buk yah kesini?

Narasumber : yah tiga bulan sekali. satunya suaminya marinir di Surabaya. Terus

anak saya itu wiraswasta di salon ituloh mbak. Kalo yang ragil itu

yah buka bengkel itu mbak.

Page 121: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

121

Narasumber : ini unair to mbak?

Pewawancara : iya bu

Narasumber : ini mbak keponakan saya juga kerjanya di unair.. dulu

perpustakaan ituloh mbak. Dulu pertama kali di perpustakaan. Kalo

sekarang enggak tau lagi mbak. Hehehhehe

Pewawancara 1 : yah sudah ibu kami mau pamit dulu

Narasumber : mampir masuk dlu mbak?

Pewawancara : enggak bu makasih ini kita mau jalan lagi.

Narasumber : pak wo itu keponakan saya loh mbak, yang pak wo nya

Pewawancara : ooh pak wo buk?

Pewawancara 1 : sekali lagi kita makasih buk yah

Narasumber : sama-sama mbak hehehe

Page 122: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

122

Lokasi : Di depan rumah ibu Saikem, Dusun Pogoh, Desa Bajulan.

Pukul : 16.00 WIB/ Jumat, 6 Juni 2014

Suasana : santai, berdiri di depan rumah bu Saikem

Narasumber : Ibu Saikem (Petani pemilik lahan)

Pewawancara 1 : Istianatul Maulidia

Pewawancara 2 : Ainur Rahmatin

Pewawancara 3 : Retno Safitri

Pewawancara 4 : M. Irfan Nuryaddin

Pewawancara 1 : Ibu, maaf mengganggu waktunya, kami dari mahasiswa UNAIR

sedang melakukan penelitian kepada para petani yang ada di Desa

Bajulan ini.

Narasumber : oh iya mbak..

Pewawancara 2 : wah, rumah ibu ini ada pohon alpukatnya ya?

Narasumber : iya mbak, pohon-e kuwi wes di borong bakul pas isih mentil kuwi

lo mbak. (pohonnya itu udah di beli semua sama tengkulak waktu

buahnya masih kecil-kecil)

Pewawancara 3 : langsung satu pohon gitu ya buk?

Narasumber : iya

Pewawancara 2 : itu kira-kira panen nya tiap berapa bulan sekali buk?

Narasumber : setahun pindo, rolas peng pindo. Hehehe (satu tahun dua kali,

dua belas bulan dua kali ambil)

Pewawancara 3 : kalau boleh tahu, luas lahan ibu kira-kira berapa hektar yah?

Narasumber : saitik, hehehe... (sedikit)

Pewawancara 3 : Kira-kira, ada satu hektar?

Narasumber : paling seprapat (seperempat)

Pewawancara 3 : oh, seperempat hektar....

Pewawancara 4 : maaf, ibu nama nya siapa buk?

Narasumber : saya Saikem

Pewawancara 2 : ini anaknya buk yah?

Narasumber : he’eh, iki nomer limo. Tapi enek putu wes-an. (iya, ini yang

nomer lima, tapi ada cucu sudahan)

Pewawancara 2 : huhuhuu, udah gede gede berarti ya buk?

Narasumber : iki sitok-e wes kerjo nag Suroboyo. (ini satunya sudah kerja di

surabaya)

Page 123: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

123

Pewawancara 3 : selama ibu jadi petani itu punya keluhan-keluhan apa gitu?

Pewawancara 1 : lahannya, produksinya atau pupuknya atau bibitnya atau hama?

Narasumber : homo e opo? Paling yo uler, hehehehe (hama nya apa? Paling

juga ulat)

Pewawancara 3 : terus katanya tadi, hamanya yang sekarang itu lagi tikus?

Narasumber : iyo tikus, hama pari (iya tikus, hamanya padi)

Pewawancara 2 : nah, itu biasanya dikasih obat apa ya buk yah?

Narasumber : obat.e yo obat tikus, tukue sing botole cilik kuwi. (obatnya ya

obat tikus, belinya yang botol kecil itu)

Pewawancara 3 : tapi itu mempan buk?

Narasumber : mempan, yo di mur sego opo, opo di uleg-i. (mempan, ya di

campurin nasi, atau di ulenin)

Pewawancara 2 : biasanya itu, obat tadi itu biasanya beli di kelompok tani atau

mana buk?

Narasumber : beli di toko

Pewawancara 3 : oh, di toko ada?

Pewawancara 2 : tempat nya dekat?

Narasumber : dekat

Pewawancara 2 : daerah sini juga ya buk berarti?

Narasumber : he’eh

Pewawancara 2 : terus ini ada kelompok tani gitu yah?

Pewawancara 1 : ibu, ibu jadi anggotanya buk?

Narasumber : egak (tidak)

Pewawancara 2 : sering ikut kumpul-kumpul?

Narasumber : arang. Lek arep e tuku yo tuku sing eceran mbak, kan sawah.e

saithik. Hehehe... leg sing sawah e kuwi biasane sing omboh-

omboh ngoten. (jarang. Kalau mau beli ya beli yang eceran mbak,

kan sawahnya kecil. Hehehee.... kalau sawahnya yang luas-luas

itu yang biasanya)

Pewawancara 3 : kalau boleh tahu, lahane ibu itu ditanami apa aja?

Narasumber : pari. (padi)

Pewawancara 3 : selain itu gak ada?

Pewawancara 2 : pinggirannya mungkin buk?

Pewawancara 1 : lainnya gitu mungkin buk?

Pewawancara 2 : kopi atau cengkeh gitu, kacang?

Page 124: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

124

Narasumber : ora, kuwi sawah galang leg ngarani. Galang.. cengkeh yo wes ra

ono, yo alpukat. sawah e mung pari tok. (tidak, itu sawah galang

kalau dibilang orang sini. Cengkeh nya sudah tidak ada, ya

alpukat. Sawah saya cuman padi saja)

Narasumber : jagung, pari, yoh opo maneh kuwi.. katah... (jagung, padi, ya apa

lagi ya... yah banyak)

Pewawancara 3 : itu digarap ibu sendiri sama suaminya?

Narasumber : digarap dewe, mung saithik wae kok. (digarap sendiri, kan cuman

sedikit saja lahannya)

Pewawancara 3 : biasanya kalau ada masalah-masalah lahan gitu mengeluhnya ke

siapa buk?

Pewawancara 1 : maksudnya mengeluh nya ke siapa kalau ada masalah pada

lahannya gitu? Masalah hama? Masalah pupuk?

Pewawancara 2 : mungkin pakai obat tikus udah gak mempan atau mungkin tanya

langsung ke temannya?

Narasumber : yo wes, leg gak mempan, yo diumbar wae ngunu. (ya sudah,

kalau sudah gak mempan, ya di biarkan saja gitu)

Pewawancara 2 : gak ngomong ke Kades atau ke kelompok tani gitu?

Narasumber : (geleng-geleng)

Pewawancara 1 : jadi gak perlu mengeluh ke kelurahan gitu yah?

Narasumber : ora (geleng-geleng) (tidak)

Pewawancara 3 : jadi sejauh ini ibu bisa mengatasi sendiri gitu yah?

Narasumber : yah

Pewawancara 2 : biasanya kalau pupuk itu dari kota, disalurkan ke kepala desa gitu

ya biasanya?

Narasumber : he’eh

Pewawancara 2 : nah, itu dapat potongan harga atau gimana? Kan kadang ada

bantuan untuk lahan.

Narasumber : nah, kuwi biasane gae sawah sing mung gede, nggon ku kan

mung saithik toh. (nah, itu biasanya untuk sawah yang luas-luas,

punyak saya kan cuman sedikit)

Pewawancara 2 : yah mungkin selama ini bantuan dari desa itu apa aja bu?

Narasumber : bantuan paling yo beras, petang kilo lo dek, mbak yo mung ora

akeh. (bantuan mungkin ya beras, empat kilo gitu lo dek, mbak

ya gak banyak)

Pewawancara 3 : itu perbulan atau per berapa?

Narasumber : perbulan

Page 125: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

125

Pewawancara 3 : oh, dapet jatah yah buk?

Narasumber : jatah

Pewawancara 3 : diambil langsung di kelurahan sana yah buk?

Narasumber : di pak RW

Pewawancara 3 : oh, pak RW?

Narasumber : yah pak RW.

Pewawancara 3 : sampai bulan ini juga masih dapet?

Narasumber : dapet

Peawawancara 3 : empat kilo ya buk, per kepala keluarga?

Narasumber : empat kilo per kepala keluarga

Pewawancara 1 : kalau bantuan untuk lahan pertanian sendiri apa buk? Dari

kelurahan?

Narasumber : biasane yo wit wit-an opo ngunu, tapi yo ra tau di ewehin og

mbak, di gawe dewe gawe kami tuwo e, sek disik e yo oleh bantuan

cengkeh uwakeh kok mbak, yo ra tau di ewehi. (biasanya ya

pepohonan gitu, tapi ya gak pernah dikasihkan kok mbak, di pakai

sendiri sama kami tuwo nya, waktu dulu, ya dapet bantuan cengkeh

banyak mbak, ya tidak dikasihin)

Pewawancara 2 : kalau di luar pertanian ya buk yah, gak papa.. kalau misalnya,

kesehatan seperti jamkesmas?

Narasumber : iyah masih ada

Pewawancara 2 : terus kan ada yang baru ya buk, seperti BPJS gitu, nah ibu itu

sudah bergabung disitu belum?

Pewawancara 1 : nah ini kan ganti dari jamkesmas ya buk ya, ibu ikut gak?

Narasumber : melu (ikut)

Pewawancara 2 : yang per bulannya yang berapa?

Narasumber : aku gak oleh mbak, nag loroh tok engkuk oleh bantuan. (aku gak

ikut mbak, cuman waktu sakit saja dapat bantuannya)

Pewawancara 1 : oh iya buk, tadi kan pupuk kan dari kepala desa ya buk? Kira kira

harga pupuk nya mahal gak buk?

Narasumber : leg pupuk pupuk ngunu kuwi urusanne pak-e mbak, aku ra tau

ngurusi mbak. Hehehe.... se-sak piro? Aku yo ra tau ero mbak, iku

pak.e kabeh. Sak njukuk e pak e engkuk di bayar pak e ngunu..

biasa ne sing melok kelompok kuwi sing sawah e omboh-omboh

kuwi (menunjuk ibu Wiyatun) sing sawah e sa ithik yo tuku e sing

eceran. (kalau pupuk gitu urusannya suami ku mbak, aku tidak

pernah mengurusi mbak. Heheheh.... se karung berapa? Aku ya

gak pernah tahu mbak, itu suami saya semua. Se-ambilnya ae,

Page 126: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

126

suami saya entar yang bayar.. biasanya kalau ikut kelompok tani

gitu yang mempunyai sawah yang luas-luas itu)

Pewawancara 1 : oh, jadi di kelompok tani itu juga jual-jual gitu yah buk?

Narasumber : yo tuku toh mbak (ya beli loh mbak)

Pewawancara 3 : oh, di toko itu yah buk?

Narasumber : he’eh di toko itu mbak, mbak ninik iku. (itu)

Peawancara 2 : itu emang jual alat pertanian semua ya buk?

Narasumber : pupuk organik yo, pupuk urea. Yo nek sawah e saithik yo lek

tumbas yo eceran nek tuku, paling se-sak. (pupuk organik ya

pupuk urea. Ya kalau sawahnya kecil belinya ya eceran, mungkin

satu karung)

Pewawancara 3 : kira-kira ibu tahu gak yang punya lahan gede gitu yah?

Narasumber : (sambil menunjuk) iku loh, mbah wiyatun, pak woh kuwi iku lak

sawah e yo omboh, pak RT kuwi, sing genteng e abang kuwi...

hehehe (itu loh, mbah wiyatun, pak woh itu mempunyai sawah

yang luas, pak RT itu, yang gentengnya merah itu... hehehe)

Pewawancara 1 : ya udah buk, makasih yah... maaf ganggu waktunya yahh

Narasumber : hehee,,, oraa (tidak)

Pewawancara 1 : Monggo buk, (mari buk)

Narasumber : nggeh (iya)

Pewawancara 3 : Assalamu’alaikum

Narasumber : wa’alaikumsallam

Page 127: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

127

Lokasi : Ruang tamu sekretariat SDN 1 Bajulan

Pukul : 10.00 WIB/ sabtu, 7 Juni 2014

Suasana : santai, tetap formal dengan posisi duduk

Narasumber 1 : Ibu Wiji Astutik

Narasumber 2 : Bapak Wit

Narasumber 3 : Bapak Ali

Pewawancara 1 : Retno Purwaningtias

Pewawancara 2 : Reza Putri Dewanti

Pewawancara 3 : M. Irfan Nuryaddin

Pewawancara 1 : bagaimana perkembangan sekolah ini dari awal mula berdiri hingga

sekarang ini?

Narasumber 1 : sekolah ini berdiri pada tahun 1994, merupakan SDN pertama yang

ada di desa Bajulan dan hasil pecahan dari Sekolah induknya yang

ada di tingkat kecamatan.

Pewawancara 1 : Kok kenapa bisa di pecah gitu ya pak/bu?

Narasumber 2 : ya karena letak sekolahnya yang ada di kecamatan kurang

strategis untuk anak-anak di desa Bajulan ini. medan yang

ditempuh sangat berat.

Narasumber 1 : karena kondisi itu ya anak-anak di sini jadi malas pergi ke

sekolah, Iya kalo sekarang jalan sudah enak lah pas dulu anak-anak

itu kalo berangkat sekolah harus jalan kaki puluhan kilo akses

jalannya juga ndak bagus seperti sekarang jadinya ya mereka malas

buat sekolah. terus dengan dibangunnya SD ini membuat anak-

anak yang putus harapan untuk sekolah jadi lebih semangat lagi

untuk belajar.

Pewawancara 1 : untuk kendala / masalah yang sering dihadapi apa ya pak seiring

dengan berkembangnya sekolah ini?

Narasumber 2 : kalo kendala utama ya itu mbak pengertian dari orang tua siswa

itu kurang untuk memberikan motivasi ke anaknya bahwa

pendidikan itu penting, untuk bentuk perhatiannya pun sangat

kurang contohnya kalo anak itu tidak masuk sekolah tidak ada

perhatian dari orang tua, si anak itu malah pergi ke ladang/ke

Page 128: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

128

sawah membantu orang tuannya ya gitu dianggap wes biasa dan

dibiarkan saja, kalo lebih dari 3 hari guru itu mencari ada

permasalahan apa

Pewawancara 1 : sampai datang kerumah anak itu ya?

Narasumber 2 : iya di datangi ke rumah, kalo anak sekolah itu di sesuaikan

dengan cocok tanam orang tuanya, kan ladang di sini tanamannya

macacm-macam dan kalo pas panen cocok tanamnya itu lama ya

berarti gak sekolah nya juga lama. Kasus-kasus gitu ya masih ada

sampai sekarang tapi ya gak banyak.

Narasumber 2 : untuk pengajar sendiri mayoritas dari pendatang luar wilayah

Bajulan. Tapi lama kelamaan ngajar akhirnya “kecantol” sama

orang sini, akhirnya ya menetap di sini.

Pewawancara 2 : Kalo bapak sendiri asalnya dari mana?

Narasumber 2 : kalo saya dari nganjuk tapi badut, dari… belok selatan. Sekolah ini

juga gak kalah dengan SD yang ada di bawah. Tenaga pendidiknya

rata-rata juga sudah S1 semua.

Narasumber 1 : anak-anak lulusan sini juga sudah banyak melanjutkan ke SMA

atau sampai Perguruan tinggi, di ITS juga ada…..

Narasumber 2 : di IPB

Narasumber 1 : iya di IPB

Narasumber 2 : yang kemaren ini juga ada di UNIBRAW. Siswa-siswa sekarang

juga sudah banyak kemajuan, mereka sudah tahu arti belajar itu

apa, ya meskipun masih susah buat menjalankannya.

Narasumber 1 : ya mungkin karena perhatian orang tua yang masih kurang

Pewawancara 1 : dan untuk anak-anak yang gak sekolah buat bantu orang tuanya

bertani itu gimana ya bu?

Narasumber 1 : gak ada ya pak

Narasumber 2 : Ya dulu ada seperti itu, gak masuk berhari-hari pas di cari

rumahnya ternyata lagi di lading. Ya kalo sekarang ada yang bantu

tapi ya dari pihak orang tuanya itu sebenarnya yang penting

sekolah jadi kadang-kadang tidak ada perhatian

Narasumber 1 : sekarang ini ya masih ada mbak tapi meski bantu orang tua

anaknya juga tetep sekolah

Page 129: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

129

Narasumber 2 : anak-anak itu sebenernya sudah kami masukan ke program BSM

tapi karena lambatnya respon dari pemerintah jadinya ya

sementara kita ikutkan di dana BOS. Tapi kan itu Cuma bantuan

untuk dana operasional sekolahnya aja, lah kalo lks/seraga itu kan

diluar biaya BOS nah itu orang tua sering ngeluh “katanya sekolah

gratis tapi kok bayar”, hehehehehe

Pewawancara 2 : kalo komite sekolahnya juga aktif bu di sini?

Narasumber 2 : ya aktif, sangat aktif malah, wong semuanya diawasi meskipun

bukan kewenangannya. Hehehehehe tapi ya gak apa-apa mbak

kami persilahkan wong memang tidak ada yang disembunyikan.

Pewawancara 1 : apa komite tidak mengadakan rapat dengan wali murid gitu bu?

Narasumber 1 : ya pernah, itu setahun sekali nanti kalo ada keluhan apa dari orang

tua sekolah nanti membantu. Yang paling sering biasanya pas akhir

tahun kelulusan, jadi ada serah terima antara sekolah kepada orang

tua. Sebenernya ini sih mbk, kesadaran orang tua untuk

mendukung anaknya sekolah ini yang perlu ditingkatkan

Narasumber 2 : orang tua sering beranggapan kalo anaknya tidak sekolah itu tidak

apa-apa yang penting kasih modal buat usaha/dagang

Narasumber 1 : ya meskipun ada modal kan yang penting itu otak, hehehehehe

harta benda banyak kalo otaknya gak ada isinya kan ya percuma,

hehehehehe diteruskan ya mbak ini saya sama ibu-ibu di sini mau

ada acara dharma wanita (ibu wiji pamit meninggalkan obrolan)

Pewawancara 3 : kalo di sini ada gak pak kegiatan-kegiatan selain akademik?

Narasumber 2 : kegiatannya ya pramuka, itu masuk di materi pengembangan diri

siswa

Pewawancara 2 : oh ya di desa Bajulan ini kan juga ada yang beragama hindu ya

pak? sekolah/siswa-siswa di ini bagaimana pak?

Narasumber 2 : kebetulan untuk di sekolah ini tidak ada yang beragama hindu,

mungkin di SDN Bajulan II/III/VI itu ada tapi kalo di sini tidak

ada. Gurunya juga ada dulu tapi sekarang sudah pindah. Ada

pengajarnya tapi orangnya bukan beragama hindu.

Pewawancara 2 : untuk pembangunan infrastruktur sekolah ada bantuan/perhatian

dari pemerintah pak? Mungkin untuk pembangunan gedung apa

gitu pak?

Page 130: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

130

Narasumber 2 : untuk ruang kelas 6 dan secretariat sekarang ini memang

pembangunannya berasal dari bantuan pemerintah, tapi ada 5

ruang kelas lagi yang sudah kami ajukan ke pemerintah karena

kondisinya yang sudah tidak layak tetapi sampai sekarang belum

ada tanggapan.

Pewawancara 1 : untuk data kelulusan sd ini boleh kami lihat pak?

Narasumber 2 : oh ya boleh-boleh, sebentar saya panggilkan pak Ali dulu beliau

yang mengurusi masalah ini

(Pak Wit memanggil Pak Ali)

Narasumber 3 : wah dari mana ini?

Pewawancara : kami dari unair pak

Narasumber 3 : ini data-data tentang kelulusan tahun kemarin, Alhamdulillah

SDN 1 Bajulan lulus 100%. Untuk sekarang sudah banyak yang

melanjutkan sekolah ke tingkat smp, bahkan SMA sampai kuliah.

Pewawancara : Oh gitu ya pak,

Pewawancara 1 : boleh kami melihat-melihat kondisi sekolah ini pak?

Narasumber 3 : oh boleh-boleh silahkan

(setelah keliling sekitar sekolah, kami kembali ke secretariat untuk berpamitan)

Page 131: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

131

Lokasi : Di rumah Pak Sama’un Ahmad

Pukul : 18.45 WIB/ Jumat, 6 Juni 2014

Suasana : santai, di ruang tamu.

Narasumber : Bapak Sama’un Ahmad (Jogoboyo)

Pewawancara 1 : Anas Herlambang

Pewawancara 2 : Bayu Aditya Amang

Pewawancara 3 : Arif Bagus Permadi

Pewawancara 4 : Heru Prasetya

Pewawancara 1 : Bagaimana pembangunan desa di Bajulan ?

Narasumber : Untuk perkembangan pembangunan memang saya rasa cukup saja,

untuk Roro Kuning sendiri kan rencananya memang langsung

bukan dari desa. Desa cuma menjembatani saja dan menambah

tambahan yang ada tambah usulan saja tapi penentunya sebetulnya

sudah masuk dalam pengelolaan kabupaten. (1:00 – 1:20) *gak

jelas. Cuman sejak tahun 2012 kami sering kordinasi dengan pihak

pariwisata dalam hal penambahan–penambahan wisata itu

memang kurang tapi ini kelihatannya, tapi tahun ini juga belum

diadakan dan belum maksimal. (1:40–2:16) *gak jelas (Intinya

bahas jembatan yang rusak dan rencana besok berita jembatan

rusak itu akan dimuat di Koran Jawa Pos). Itu sampai sekarang

mulai dari tahun 2010, 2011, 2012 sudah ada pembebasan tanah

tapi sampai sekarang belum terealisasikan, saya kemarin itu

menyuruh konco saking jawa pos untuk memuat berita jembatan

itu, kalo gak salah sabtu besok beritanya akan keluar. Kita tadi

sudah dibel ‘besok kalo gak salah keluar pak yo. Enggak, saya

cuman ingin mengingatkan saja karena jembatan itu selain

memang sudah rawan, sudah ngesong dibawahnya itu, sudah gak

layak lah.

Pewawancara 1 : Jembatan mana pak ?

Narasumber : Yang pertigaan itu *gak jelas*

Pewawancara 2 : Oh itu sudah lama pak ?

Narasumber : Sudah lama, sudah tiga tahun gak direalisasikan. Nanti dari begini

( ) menjadi 5 – 6 meter gini ( )

Pewawancara 3 : Oh dilebarkan gitu pak ?

Narasumber : Iya, sudah itu lahan sudah beres semua

Pewawancara 3 : oh gitu, kalo masalah pendidikan pak ?

Page 132: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

132

Narasumber : Kalo pendidikan, saya kira tidak ada masalah. Untuk pendidikan

semua disini sudah baik, kemarin juga desa sudah mengusulkan ke

dispora lewat wakil pak bupati untuk penambahan lahan untuk *

juga sudah. Untuk SMP * SD itu langsung dari DAK Dana Alokasi

Khusus pengajuannya bukan lewat desa tapi langsung dari kepala

sekolah lalu diajukan ke dinas. Tapi itu gak ada masalah (menit ke

3-4). Harapan kami untuk 1 M (pengajuan proposal dll) (menit ke

4– 4.45) Gak serta merta turun lah kalau kita gak bisa mengelak ya

kembali uang itu

Pewawancara 2 : Jadi gak langsung dikasih gitu ya pak ?

Narasumber : Enggak, ini jadi Bajulan ada uang 1 M dibank * kita cari lahan

mana yang harus dibangun berupa apa berupa proposal layak

untuk dibangun baru keluar. Jadi enggak serta merta turun, gak

gitu. Jadi mengelola uang itu gak gampang kalo teledor sedikit ya

berurusan sama KPK. Jadi uang itu sebetulnya bukan hanya

untuk mempermudah desa tapi itu juga berbahaya. Bagi desa yg

sembrono ya bahaya loh, Karena dalam pelaksanaannya ada

pengawasan dan pengSPJnya. Banyak pendampingannya Jadi

gak semudah apa yang dibayangkan, kalo satu tahun desa hanya

bisa menyerap 500 ya 500 sisanya kembali.

Pewawancara 2 : Oh ya pak masalah ekonomi juga, disini itu termasuk luas gak

sawah-sawahnya ?

Narasumber : Luasnya 273 kalo gak salah di * ada ( 6.16 ) luas area sawah.

Kalo tegalan itu 99 ( gak jelas ). Untuk perekonomian sekarang

ini Bajulan sudah mengarah pada perkebunan terutama cengkeh,

mangga, ada juga pala wijo.

Pewawancara 1 : Kalo untuk distribusinya, kayak penjualannya itu gimana pak ?

Narasumber : Kalo untuk masalah penjualan sebenarnya desa ini punya

perencanaan gini mas, desa berencana membuat desa wisata.

Pengertiannya begini kalo desa wisata itu, jadi desa kalo bisa

mengelola sendiri dan menggunakan tempat tempat yang

nantinya akan menambah penghasilannya sendiri *(7:17 – 7:20).

Karena pasar desa gak jalan, bisa digunakan untuk pasar buah

tempat penampungan buah. Jadi disitu nanti tertata bakul bakul

ijon jadi bakul ijon itu gak datang langsung kepetani gitu maksud

saya, jadi tengkulah nanti datangnya kepasar itu untuk

mendongkrak harga . Harapan kami tidak semua dijual,

disepanjang jalan nanti ada angkring - angkring yang sifatnya

nanti jualan buah – buahan tetapi kelihatannya masyarakat karena

kebutuhan yang sifatnya mendesak dan saat itu juga dibutuhkan

kadang kadang ( 8:05 – 8:07 ) anak’e jaluk motor itukan juga

kendala, maksudnya kita juga sudah kesulitan untuk

mengarahkan masyarakat itu buat untuk ke desa wisatanya itu.

Page 133: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

133

Makanya desa wisata itu masyarakat harus betul – betul sadar.

Aku tak dol buah, lek tak dol buah nek payu 8 gede hasil’e aku

tak dol buah nang pasar buah kalo di ijon seperti ini kira” satu

kwintalnya hanya sekian tapi kalo ke pasar langsung ditimbang

dengan harga sekian sebetulnya gitu tapi kenyataannya

masyarakat ( 8:45 – 9:00 *gak jelas ) Kalo lahan hutan itu ada

sebagian yang sudah menjadi lahan dikuasai oleh lembaga.

Lembaga masyarakat desa hutan itu kerjasama dengan perhutani

tapi penggarapannya oleh masyarakat dengan cara membayar

sharring. Yang 70 ke masyarakat dan yang 30 ke perhutani terus

yang tegakkannya nanti yang 70 ke perhutani terus 30 masyarakat

jadi dibalik. Itu juga termasuk menambah perekonomian

masyarakat.

Pewawancara 1 : Nah iya pak, kalo mengambil kebijakan seperti pelebaran

jembatan dan desa wisata itu dalam pengambilan kebijakan itu

BPD dan masyarakat itu apa ikut musyawarah atau gimana pak ?

Narasumber : Oh tidak mas, jadi gini kalo jalan ini kan sudah dikuasai oleh

jalan kabupaten, jadi teknis sudah lewat PU Bina Marga dan

wilayah jalan ini sudah tanggung jawab PU mas. Termasuk

masalah jembatan itu Pak bupati sudah menurunkan timnya,

pembebasan lahan juga sudah beres ya cuman penggarapannya

saja yang belum. Sebetulnya sudah dog itu DPR sudah didog

sudah selesai bahkan pembebasan lahan juga sudah selesasi tapi

kok belum terealisasikan. Makanya itu saya minta teman Jawa

Pos memuat berita ini.

Pewawancara 2 : Tapi sering ya pak disini ada musyawarah – musyawarah ?

Narasumber : Musyawarah biasanya lewat ketua RT. Dalam satu bulan itu

saya menampung aspirasi, apa kendala yang ada di masyarakat

biasanya Pak RT itu datang dan dilaporkan kepada Pak Lurah.

Tapi karena Pak RT disini SDMnya kurang mampu dan kalau

ketemu malah guyonan jadi ya kita repot juga. Terus kelompok

tani berkaitan dengan pertanian kalo disini itu 14 malam 15

biasanya ada pertemuan untuk menampung khusus masalah

pertanian misalnya ada kendala padinya terserang hama, ini

umpamanya loh ya itu nanti ada wadahnya untuk

menyelesaikannya. Pertemuannya setiap bulan sekali di hutan

sana di semanding, biasanya juga bahas masalah pertanian missal

kalau musim kemarau enaknya menanam apa ya, itu juga

dimusyawarahkan.

Pewawancara 1 : Kalo BPDnya itu apa baru aktif satu tahun ini ya pak ?

Narasumber : Kalo BPD sebenarnya tidak, BPD itu sebetulnya sudah lama orang

– orangnya juga lama. Semua buku disana tadi yang periksa sama

* itu yang 7 buku semuanya punya BPD tapi kalo kita serahkan

Page 134: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

134

ke BPD ya gitu juga gak jalan mas. Makanya kami yang

membantu untuk pengisiannya, contoh kegiatan BPD itu bulan

ini kemana misal *enjang sono* ( 13:28) ke dusun jati mereka

punya kegiatan kunjungan, kunjungan ke dusun jati terus disana

mengangkat apa. Kan dia disana juga sebagai wakilnya

masyarakat nanti dibawa ke kantor terus dimusyawarahkan

bersama perangkat desa apa aspirasi masyarakat dusun Jati. Terus

kita serahkan ke Lurah, ikilo pak lurah masyarakat Jati pengen

ngene ngene ngene terus ditulis di buku, tapi ya kenyataannya

bukunya juga kosong ( hehehe ). Akhirnya juga kami sendiri yang

merekayasa ngisi bukunya itu mas, ditulis masyarakat Jati

pengennya ini kan akhirnya bohong mas ( hehehe )

Pewawancara 1 : Jadi BPD itu masih aktif ya pak?

Narasumber : Kalo masih sih sebenarnya tidak ya mas, kembali lagi pada SDM.

Kalau gak ditutuk tok ya gak jalan

Pewawancara 3 : Kalo ada perintah baru mau jalan ya pak?

Narasumber : Iya mas , seperti keuangannya BPD kan 9 juta. Sebetulnya SPJ itu

ya kita serahkan BPD dan kita tinggal terima SPJ tapi itu ya gak

jalan * ( 14:37 – 15:00 ) yang penting jalan aja lah ( hehehe )

Pewawancara 4 : PNPM Mandiri niku kan wonten program nopo niku pak seng

pinjam – pinjaman?

Narasumber : SPP

Pewawancara 4 : Niku nopo pak?

Narasumber : Simpan Pinjam mas

Pewawancara 4 : Oh simpan pinjam, niku semua warga berhak meminjam uang itu

atau gimanapak?

Narasumber : Sebetulnya berhak tapi, PNMP Generasi itu selektif sekali, gak

semudah yang kita bayangkan. Administrasi yang sekarang ini

sebagai percontohan itu baru PNMP, selain itu tidak pernah

berkecimpung dengan PNPM. Tahun ini saya menjadi (15:58 –

16:06) seperti contoh kalau Bina Marga mengadakan proyek di

Bajulan untuk skala harga gak mau dia menggunakan harga di

Toko (16:13 - 16:18) untuk semen maksimal sekian 57 paling

bawah 53 itu pasti milih harga paling tinggi untuk mendongkrak

jumlah uang, ternyata gak begitu mas. Nanti mereka survey harga

di 3 toko, toko A itu berapa toko B itu berapa toko C itu berapa dan

yang ditentukan itu harga terendah

Pewawancara 1 : Harga terendah untuk ?

Page 135: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

135

Narasumber : Harga dari toko itu, seumpama toko 1 54000, toko 2 54500, toko

3 harganya 55 ya yang 54 ini yang diambil mas. PNMP itu ya

sampai sedetail itu. Jadi gak semudah yang dibayangkan.

Pewawancara 1 : 54 maksudnya pak ?

Narasumber : Ya harga itu mas berdasarkan survey. Seng kene seqet papat seng

iki seqet papat setengah lah seng iki seqet limo. Yo seqet papat iki

seng dijupuk mas harga paling bawah, tapi ya gitu harapannya

harus SNI seperti besi juga gitu mas harga yang paling terendah itu

yg digunakan tapi ya harus ada label SNI. Nek wesine elek terus

kroyak kabeh piye mangkane yang tersulit yo iku mas. Makanya

dikantor tadi kan ada tulisan anti korupsi

Pewawancara 4 : ini kalo misalnya ada orang yang pas mau pinjem berarti *gak

jelas (17:51)

Narasumber : Ya yang mandiri pedesaan. Nah yang itu tadi kan generasi.

Kalau generasi itu di cek mas jadi PNMP itu petugasnya datang

ke desa sini. Nah iki desa opo didelok nek * (18:03 – 18:05)

Pewawancara 3 : Kalo ada tapi gak,misalnya punya usaha pak mengajukan PNPM

itu ada yang gak itu gimana pak misalnya ada yang gak dikasih

atau gimana gitu?

Narasumber : Dibatasi mas, untuk pertama kali 10 orang itu 10 juta, 1 orang

1 juta tapi kalo baik 2 bisa 2 juta balik lagi 3 bisa 3 juta itu PNMP

jadi tidak gampang percaya. Itu orangnya dipanggil di situ

diwawancarai

Pewawancara 1 : berarti yang survey itu dari PNPM nya sendiri ya pak ?

Narasumber : iya dari PNMP sendiri mas, jadi ada kelompok cari 10 orang

dan itu ketuanya pun gak boleh pinjem mas. Misalnya mas jadi

ketua PNMP itu mencari 10 anggota, ketuanya gak boleh pinjem

supaya kesepuluh ini nanti runtut bayarnya itu aturannya PNMP

mas sulit memang mas. Tapi ya perkembangan uangnya PNMP

* ( 19:01 – 19:10 ) saya salut sebenarnya sama PNMP bagus. Tapi

mungkin setelah ini saya gak mau jadi kader PNMP.

Pewawancara 1 : Kenapa pak?

Narasumber : Gini mas, saya dari sini ke kabupaten jaraknya 15 km. kalau ada

sms kumpul untuk PNMP sekarang dan itu harus datang itupun

setiap saat mas dan uangnya gak ada mas.*(20:00–20:32).

sebetulnya sudah dilakukan, tetapi karena saat itu juga… kalo

wabah lah jadi sudah diputuskan semua bencana para petani, itu

sudah masuk ke (missing word) DPR nya, bukan berarti kinerja

kami tidak mau tapi memang pada saat itu memang mewabah, dia

sendiri cari solusi menggunakan sistem, yang saya kenal itu

begini…kalo tahun ini menanam padi itu (missing word) alangkah

Page 136: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

136

baiknya dialihkan dulu dengan tanaman yang lain, itu kalo mutus

rantai tapi kalo ingin berkesinambungan penyakit itu nyambung ke

padi, tapi kalo kita putus dari padi kita nanam jagung atau nnam

kacang ini akan putus, selain untuk memutus rantai itu juga

menyarankan untuk mencari bibit unggul, tapi kalo untuk

pengurangan wabah itu tidak ada, wabah dikasih obat itu yo gak

mampu…… minum kopi dulu mas

Pewawancara : hehehehehe iya pak

Pewawancara 1 : trus sekarang gak ada pengiriman lagi kayak orde baru dulu kan

dikasih benih gitu pak?

Narasumber : jarang mas, gimana ya…. Sebetulnya sih ada seperti itu tapi ya

kadang orang pintar gak mikirin masalah kayak gini mas, fokusnya

tidak di pertanian, kalo masyarakat sini ya berharapnya meskipun

yang “atas” (pemerintah pusat) itu berubah gak masalah tapi yang

“bawah” ini tetap diperhatikan. Waktu dulu itu banyak acara dari

PTWT saat itu misalnya, UDT itu ada lagi, bantuan bibit, bantuan

sapi, bantuan pupuk itu komplit mas, sekarang gak ada. Kalo pun

ada ya paling pupuk itu mas, gak tau itu pupuk apa yg tanahnya

difermentasi (tersenyum miris), ya repot

Krikrikrikrikrik……..

Pewawancara 1 : oh ya pak untuk data profil desa kira-kira bisa pinjam kapan ya

pak?

Narasumber : ini besok itu saya mau kundur sebetulnya, ini mau lembur apa

emmmm profil desanya karena ada mahasiswa darimana itu juga

membutuhkan profil

Pewawancara 2 : anu pak buat skripsi atau apa?

Narasumber : bukan bukan, gak tau saya… apa ya… untuk ini loh pendataan

masyarakat cuma ambil sample kok. Ya nanti segera saya garap.

Pewawancara 1 : kalo untuk informasi desa itu kan sulit pak, pasti susah ketemu beda

kalo itu informasi kota, jadi ya kami Cuma berharap dari profil desa

itu toh kami minggu pagi juga sudah pulang kembali ke kampus.

Narasumber : minggu pagi?

Pewawancara : iya pak

Narasumber : kok cepet men, buat itu juga susah loh mas, mesti rinci betul dari

tiap RT/RW/Dusun itu sekian….

Pewawancara 1 : ya minimal kan ada data-data yang kita cari itu kayak data-data

kependudukan

Narasumber : kalo jumlah penduduk RT itu aja masih mungkin belum lengkap,

kalo detailnya langsung itu satu tahun belum tentu selesai. Atau

Page 137: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

137

gini saja, data-data yang penting aja dulu nanti kami usahakan

kami bantu, tapi kalo detailnya saya jamin gak selesai

Pewawancara 1 : ada standartnya gitu pak untuk bikin profil desa?

Narasumber : ada, biayanya pun ada, karena dibiayai oleh pemerintah itu kalo gak

salah 150 dari pemerintah, harus detail itu mas,

Pewawancara 1 : ngelibatin dari luar juga gitu pak?

Narasumber : oh ya iya

(ada orang datang mengabarkan sesuatu ke pak yo)

Narasumber : ini mas program PNPM, kalo rapat ndadak-ndadak, besok ada

sosialisasi buat air minum termasuk penanggulangan air bersih

untuk masyarakat sini, ini dapat 150juta tapi ya harus

menyiapkan uang 11juta dimuka dan tenaga kerja, harus ada

swadayanya

Pewawancara 3 : airnya dari mana pak air bersih itu?

Narasumber : ya dari sumber tapi di check sama laborat, penge-check-annya tiga

kali. Itu juga dana dari APBN pusat. Dari se-kabupaten itu yang

dapat baru 28 desa. Itu satu rumah dengan PNPM, satu sistem

tapi dirut nya sendiri-sendiri.

Pewawancara 1 : jadi prosesnya juga sama?

Narasumber : iya sama, sama-sama sulitnya, untuk menghindari masalah KKN

jadi 9 orang yang bertanggung jawab itu semuanya warga desa

Bajulan dan ikut menentukaan pilihan sendiri. Tiap RT itu 3

orang, 3 dikali 28 itu sudah berapa trus disaring lagi jadi 9 orang

itu betul-betul dari masyarakat. Dan kebetulan ini pengalaman

yang ada di Bajulan, jujur ya mas pemerintah desa itu penguasa

tapi nek ditinggal ngunu wae yo nyuwun sewu, silahkan hak

masing-masing, nek iso yo mlakuo tak dukung, tapi dilepas

bingung, diserahi uang 11 juta aja yang aturannya harus dari

masyarakat swadaya gak bisa juga, kalo ada kebijakan nanti

ujung-ujungnya bilang kalo programnya gak jalan. Di sini

mahasiswa juga dibutuhkan mas sebenarnya untuk hal-hal

tertentu, pertama karena pinter yang kedua karena belum terbawa

arus. Jadi bisa menyampaikan seperti PNPM itu ke masyarakat.

Pewawancara 3 : biasanya juga ada mahasiswa pak?

Narasumber : dulu pernah ada mahasiswa, dari mana ya tapi jurusan teknik kalo

gak salah mas… ada yang ingin ditanyakan lagi?

Pewawancara 1 : kalo program PNPM itu baru ada di program PAUD itu ya pak?

Narasumber : oh ya ndak, ada TK ada rabat beton

Page 138: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

138

Pewawancara 3 : sampai mana pak rabat beton itu?

Narasumber : TK nya di sini, kalo rabat beton itu di dusun Semanding, rabat

beton lagi di Dusun Plangkat, trus Paud. Dan itu pun setiap

kegiatan harus bener-bener bersinambungan, gak oleh mas kalo

duit iku gae bangun gerdu yo gak oleh mas, gak boleh. Jadi

PNPM itu memang untuk hal-hal yang sangat dibutuhkan, seperti

di bidang pendidikan atau infrastruktur jalan.

Pewawancara 3 : besok itu saya mau ke itu pak, ke pure itu boleh?

Narasumber : tadi sudah saya sampaikan ke (missing word) nek misale neng pure

piye pak, wes kon langsung ae neng pure metuk i pemangku pak

Damri. Mau apa boleh, mau masuk masuk boleh yang penting

kan tidak di dalam pintunya itu kalo naik dua trap kan sudah jadi

tempatnya para dewa jadi ya gak sembarangan orang boleh

masuk

Pewawancara 2 : makanya ini minta sarannya pak yo dulu, sebetulnya kita juga mau

wawancara kayak gini juga pak

Narasumber : oh gitu, langsung ke pemangkunya Pak Damri. Kalo ada penjelasan

saya yang kurang jelas seperti kenapa masyarakat disini kok

rukun-rukun gak ada konflik nanti bisa ditanyakan langsung ke

masyarakat sana.

Pewawancara 3 : ya disini kan memang tugasnya penelitian tentang budaya kayak

gitu, trus di sini pembelahan kulturalnya seperti santri,

abangan…. Abangan-santri tau pak ya?

Narasumber : oh iya tau-tau

Pewawancara 3 : disini mayoritas apa ya pak? Lebih ke dominan santri atau apa?

Narasumber : yang di sini di Bajulan itu mayoritas muslim, tapi muslim yang

KTP atau muslim yang abangan kan kita tidak bedakan lagi, tapi

Alhamdulillah desa Bajulan udah bagus mas untuk kesadaran ke

agama sekarang sering ada rutinitas setiap malem jumat itu

rutinan, kalo jumatan di sini juga penuh berarti kan masyarakat

sadar agama

Pewawancara 3 : terus ten mriki masih ada tradisi nyadran masih wonten nggeh

pak?

Narasumber : oh ya masih, di sini tradisi nyadran tiap tahun harus wayang

Pewawancara 3 : oh harus wayang ya pak?

Narasumber : harus wayang, kalo gak wayang gak mau orang-orang sini, dulu

pernah gak nanggap wayang tapi jaranan yo enek ae mas, kalo

kita gak usah nanggap juga gak apa-apa Cuma selametan aja tapi

ya itu

Page 139: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

139

Pewawancara 3 : biaya buat nanngap itu dari mana pak?

Narasumber : ya dari masyarakat, ini aja masih sisa 40juta, nanti dikelola

Pewawancara 3 : itu berapa pak biasanya rata-rata urunannya masyarakat ?

Narasumber : yang pertama itu kelas donatur setelah itu kelas 1,2,3. Yang paling

kecil kemaren itu 15ribu trus lupa saya… kalo kelas donator ini

diatas kelas 1 lah, kalo kelas 1 ini 60ribu kelas donator bisa

200rb bisa 300rb sampai 400rb. Panitianya langsung dari

masyarakat mas

Pewawancara 1 : siapa panitianya pak?

Narasumber : ada lima orang, lupa saya… ada pak saiful, pak sugeng ditambah

6 RT

Pewawancara 3 : jadi panitianya itu tetep orang-orang itu aja atau nanti ganti?

Narasumber : panitia ketua, sekretaris,bendahara itu ganti-ganti tapi untuk

pencari dana itu tetep, istilahnya panitia penyandang dana

Pewawancara 3 : Oh ya satu lagi pak, tadi kan lihat di peta tadi itu kan banyak

yang pra sejahtera tapi kok mayoritas sepeda motornya masih

bagus-bagus, itu maksudnya dikatakan dalam prasejahtera itu

seperti apa pak?

Narasumber : kalo motor itu kredit mas, apa bisa dikatakan orang kaya? Belum

tentu kan, karena kebutuhanan dia harus membelikan anaknya,

dia harus menyisihkan sebagian hasilnya, kalo tuku sepeda

motor cash tanpa beban itu namanya kaya. Tapikalo menurut

saya ya mas, sepeda motor itu bukan barang mewah karena

disini tidak ada lagi kendaraan umum, ada dulu tapi sekarang

gak ada, sehingga kendaraan itu sudah menjadi kebutuhan

pokok, nek gak nduwe sepeda motor aku neng nganjuk

kebingungan, dengan kebingungan itu masyarakat itu nekat

mas, kredit, kalo gak percaya coba Tanya aja di bank mas

berapa orang di desa bajulan yang namanya ada di sana mas,

berapa orang yang macet, apa itu bisa dikatakan kaya?

Pewawancara 2 : jadi karena kebutuhan ya pak?

Narasumber : iya karena kebutuhan tadi, ada lagi? Menurut data itu masyarakat

di sini sebanyak 983 terjaring dengan jamkesmas, BLT, dan

raskin dari total KK kurang lebih ya seribu Sembilan ratus koma

berapa kalo jiwa enam ribu lebih, 983 termasuk keluarga pra

sejahtera yang mendapat bantuan BLT, raskin sama jamkesmas

Page 140: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

140

Page 141: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

141

Lokasi : Rumah Pak Damri

Pukul : 17.00 WIB

Suasana : Formal, di Ruang tamu

Narasumber 1 : Pak Damri (Pemangku Pure)

Narasumber 2 : Istri pak Damri

Pewawancara 1 : Bayu Aditya Amang

Pewawancara 2 : Anas Herlambang

Pewawancara 1 : Kalo misale ngadakan acara-acara kegiatan niku wonten kesulitan

nopo mboten pak? (Kalo misalnya mengadakan acara-acara

kegiatan begitu ada kesulitan atau tidak pak?)

Narasumber 1 : mboten. Nggih termasuk sing penting ijin teng pemerintah niku

wonten. Sakniki kan era kebebasan. Termasuk ritual-ritual

keagamaan niku kan sangat-sangat dibutuhkan oleh pemerintah.

Nggih kadose selalu harus didukung oleh pemerintah. Malah justru

kehadirane pura niki malah pemerintah daerah niku luwih luwih

sreg, nggih termasuk damel ngangkat wisata segala macem pada

akhire upacara keagamaan niku nggih dianggep budaya, padahal

niku upacara keagamaan. Nggih termasuk budaya sendiri nggih

sumbere kan sing jelas pengetahuan, budi daya. (Tidak. Ya

termasuk yang penting ijin ke pemerintah itu ada. Sekarang kan era

kebebasan. Termasuk ritual-ritual keagamaan itu kan sangat-

sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Ya seperti selalu harus

didukung oleh pemerintah. Malah justru kehadirannya pura ini

malah pemerintah daerah itu lebih-lebih mantap, ya termasuk

untuk mengangkat wisata segala macam pada akhirnya upacara

keagamaan itu ya dianggap budaya, padahal itu upacara

keagamaan. Ya termasuk budaya sendiri kan sumbnya kan yang

jelas pengetahuan, dari budi dan daya)

Pewawancara 1 : nggih berarti niku menawi wonten kegiatan nopo acara-acara teng

pura ngaten niku, ijinipin niku pun gampil nggih? (Ya berarti itu

kalau ada kegiatan atau acara-acara di Pura begitu itu, ijinnya

sudah gampang ya?)

Narasumber 1 : Nuwun? (Bagaimana?)

Pewawancara 1 : Ijinipun sampun gampil nggih? (Ijinnya sudah gampang ya?)

Narasumber 1 : Inggih gampil. (Iya gampang)

Pewawancara 2 : Tapi persiapan peralatan-peralatan nopo kebutuhan kangge acarane

niku mboten wonten kendala? (Tapi persiapan peralatan-peralatan

atau kebutuhan untuk acaranya begitu tidak ada kendala?)

Page 142: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

142

Narasumber 1 : Mboten. Menawi masalah saking pemerintah kan namung

ndukung masalah ketertiban. Tapi nek masalah kebutuhan niku kan

sesuai kemampuan umat. Hindu kiambak upacara niku kan

didasarkan hukum, desa kala patra. Desa itu tempat, kala itu waktu,

patra itu situasi. Jadi situasi tempat, kemampuan manusiane. Dadi

mboten kaku, nggak harus begini tapi tetep didasarkan pada kitab

sucinya. Desa kala patra seje deso corone seje-seje wesan. Sing

seje niku kemampuane, jadi kembali pada karakter manusiane,

pengetahuane. Nggih suatu contoh persembahan yatnya sesaji.

Sesaji nek nek umpamane teng mriki mboten wonten apel kan

nggih mboten kok harus apel kan ngaten, lha lek entene jeruk,

entene buah mangga kan mboten masalah intine kan nggih buah.

Niku suatu contoh jadi disesuaikan kita punyanya. Tapi sebenarnya

upacara sendiri itu konsep, konsep keseimbangan alam dadi

konsep kangge ikatan sosial, bukan hanya sarana untuk beribadah

mboten, konsep untuk menyeimbangkan, suatu sarana. Lek

masalah cumak ibadah manusia ki individu. Manusia kan individu

to, tapi terus dikemas dikonsep dikemas menjadi upacara kangge

supoyo menungso niku seimbang, dos pundi hubungane teng

nggene sing nggawe urip, ditingali king meriku, dos pundi

hubungane sakpadane urip teng kerukunane, dos pundi hubungane

teng alame. Dadi konsep sarana niki diajukan, diwujudne king

upacara, dados upacara niku sarana kangge evaluasi, mboten

namung sarana kangge istilahe kangge suguhan mboten, Gusti

mboten merlokne suguhan nggih to wong ora mangan hehe (sambil

tertawa). Wong sumbere king mriko kok disuguhne kan, tapi etika,

sarane kangge kumpul makane umat Hindu saranane lengkap, niku

kangge evaluasi alame. Nek ngumpulne sarana niku cepet

gampang berarti alame kan kabeh subur kabeh seimbang. Nek

kesulitan nggih berarti perlu penanganan khusus kan ngoten.

Nggih suatu contoh umpamane pados pisang pun kangelan lho

berarti alame niki kinging nopo kok pisang mboten saget tumbuh

kan ngoten. Perlu dipelajari niku gampangane ngoten. Tur nggih

merlokne kerukunan tanpa kerukunan jelas mboten saget terwujud.

Nggih niku lah tujuane upacara, mboten mboten namung suguhan,

mboten namung persembahan maksud kulo, tapi sarana kangge

evaluasi, sarana ikatan, nerjemahne ajaran. (Tidak. Kalau masalah

dari pemerintah kan hanya mendukung masalah ketertiban. Tapi

kalau masalah kebutuhan itu kan sesuai kemampuan umat. Hindu

sendiri upacara itu kan didasarkan hukum, desa kala patra. Desa itu

tempat, kala itu waktu, patra itu situasi. Jadi situasi tempat,

kemampuan manusianya. Jadi tidak kaku, tidak harus begini tapi

tetap didasarkan pada kitab sucinya. Desa kala patra beda desa

sudah beda-beda caranya. Yang beda itu kemampuannya, jadi

kembali pada karakter manusianya, pengetahuannya. Ya suatu

contoh persembahan yatnya sesaji. Sesaji kan misalnya disini tidak

Page 143: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

143

ada apel kan ya tidak harus apel kan begitu. Kalau adanya buah

jeruk, adanya buah mangga kan tidak masalah intinya kan ya buah.

Itu suatu contoh jadi disesuaian kita punyanya. Tapi sebenarnya

upacara sendiri itu konsep, konsep keseimbangan alam jadi konsep

untuk ikatan sosial, bukan hanya untuk sarana beribadah tidak.

Konsep untuk menyeimbangkan, suatu sarana. Kalau hanya

masalah ibadah manusia kan individu. Manusia individu kan, tapi

terus dikemas dikonsep dikemas menjadi upacara untuk agar

manusia dapat seimbang, bagaimana hubungannya dengan yang

membuat kehidupan, dilihat dari situ, bagaimana hubungannya

dengan sesama makhluk hidup menjalin kerukunan, bagaimana

hubungannya dengan alamnya. Jadi konsep sarana itu diajukan,

diwujudkan dengan upacara, jadi upacara itu sebagai sarana untuk

evaluasi, bukan untuk sarana untuk istilahnya untuk

menghidangkan tidak, Tuhan tidak membutuhkan hidangan yak

kan, kan tidak makan hehe (sambil tertawa). Kan sumbernya

berasal dari sana kenapa dihidangkan kembali, tapi etika, sarana

untuk kumpul maka dari itu Umat Hindu sarananya lengkap, itu

untuk evaluasi alamnya. Kalau mengumpulkan sarana itu cepat

gampang berarti kan alamnya semua subur semua seimbang. Kalau

kesulitan ya berarti perlu penanganan khusus kan begitu. Ya suatu

contoh misalnya mencari pisang pun kesulitan lho berarti alamnya

ini kan kenapa kok pisang tidak bisa tumbuh kan begitu. Perlu

dipelajari itu, sederhananya begitu. Toh juga membutuhkan

kerukunan tanpa kerukunan jelas tidak bisa terwujud. Ya itulah

tujuan upacara, bukan bukan hanya hidangan, bukan cuma

persembahan maksud saya, tapi sarana untuk evaluasi, sarana

ikatan, menerjemahkan ajaran)

Pewawancara 2 : Pak anu ngapunten, Pak Damri niki kan anu nggih, selaku

pemangku dateng meriki (Pak sebelumnya mohon maaf, Pak

Damri ini kan itu ya, selaku pemangku di sini)

Narasumber 1 : Nggih, (iya)

Pewawancara 2 : Ee Pak Damri niki sampun pinten tahun dados pemangku

meniko? (Ee Pak Damri ini sudah berapa tahun menjadi pemangku

itu?)

Narasumber 1 : Nggih kulo mulai tahun dua ribu satu, begitu pura diresmikan

kulo langsung diresmikan (Ya saya mulai tahun dua ribu, begitu

pura diresmikan saya langsung diresmikan)

Pewawancara 1 : Oo ngaten (Oo begitu)

Narasumber 1 : Inggih. Nggih nek nurut, nurut nopo niku, istilahe aturan nggih

sebenarnya nggih belum layak wong tasik umur dua lima (Iya. Ya

kalau menurut, nurut apa itu, istilahnya aturan ya sebetulnya ya

belum layak orang masih umur dua lima)

Page 144: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

144

Pewawancara 1 : Waktu diresmikan niku? (Waktu diresmikan saat itu)

Narasumber 1 : Inggih. Tapi karena diperlukan, kan begitu hadire tempat suci kan

memerlukan orang-orang sing… nggih disucikan istilahe, karena

merawat tempat suci. Pada akhire yo mau tidak mau karena

mengawali hehehe (sambil tertawa) kan tempat suci awal (Iya.

Tapi karena diperlukan, kan begitu hadirnya tempat suci kan

memerlukan orang-orang yang… ya istilahnya disucikan, karena

merawat tempat suci. Pada akhirnya yam au tidak mau karena

mengawali hehehe (sambil tertawa) kan tempat suci awal)

Pewawancara 2 : Inggih pak (Iya pak)

Narasumber 1 : Dados tahun dua ribu satu nggih sampek sekarang (Jadi tahun dua

ribu satu ya sampai sekarang)

Pewawancara 2 : Jadi Pak Damri niki termasuk ingkang pertama nggih? (Jadi Pak

Damri ini termasuk yang pertama ya?)

Narasumber 1 : Dadi termasuk nang tempat suci pertama, tapi rumiyen sebelum

wonten tempat suci niku Pak Nyoman Supratnyo Pak Katemen

niku nggih termasuk sing gadah tanah niku, nggih riyen ee…

pimpinan lembagane, mulai tahun delapan puluh sampek Sembilan

ee… tahun dua ribu….. nggih dua ribu satu niku, dua ribu dua

terakhir. Riyen tiang kalih terus tahun dua ribu lima tambah maleh

kalih terus tahun dua ribu tujuh tambah maleh kalih, dados

pemangkune enem sakniki. Nggih sesuai kebutuhan dua orang, dua

orang, dua orang, tempat sucine ageng nek namung tiang kalih

kuwalahan nek pas acara. (Jadi termasuk di tempat suci yang

pertama, tapi dulu sebelum ada tempat suci itu Pak Nyoman

Supratnyo pak Katemen itu ya termasuk yang punya tanah itu, ya

dulu ee… pimpinan lembaganya, mulai tahun delapan puluh

sampek sembila ee… tahun dua ribu… ya dua ribu satu itu, dua

ribu dua terakhir. Dulu orang dua terus tahun dua ribu lima tambah

lagi dua terus tahun dua ribu tujuh tambah lagi dua, jadi

pemangkunya enam sekarang. Ya sesuai kebutuhan dua orang, dua

orang, dua orang, tempat sucinya besar kalau cuma dua orang

kerepotan kalau pas acara)

Pewawancara 1 : Oo inggih (Oo iya)

Narasumber 1 : Monggo kalihan diunjuk (Mari sambil diminum)

Pewawancara 2 : Inggih pak (minum teh suguhan) (Iya pak) (minum teh suguhan)

Pewawancara 2 : Oo nggih niki ngapunten nggih pak, niki sengerti kulo kan dateng

Bali niku umat Hindune nggih mayoritas. Dateng meriku kan enten

kasta niku (Oo iya ini mohon maaf ya pak, ini setau saya kan di

Bali itu umat Hindunya ya mayoritas. Disana kan ada kasta itu”

Narasumber 1 : Inggih mas, (Iya mas,)

Page 145: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

145

Pewawancara 1 : Enten meriki wonten nopo mboten pak? (Disini ada atau tidak

pak?)

Narasumber 1 : Mboten. Nggih sebenarnya kasta niku ngaten lho. Kasta niku kan

organisasi dadose termasuk kasta niku, (berfikir sejenak) (Tidak.

Ya sebenarnya kasta itu begini lho. Kasta itu kan organisasi jadinya

termasuk kasta itu, (berfikir sejenak)

Narasumber 2 : Golongan (menambahkan) (Golongan) (menambahkan)

Narasumber 1 : Aa.. golongan professional. Proffesionale golongane tiang sing,

niki disesuaikan kemampuan sebenarnya. Tapi karena politik, pada

akhire kasta niku istilahe didamel keturunan. Tapi sebenarnya

tidak, kasta I organisasi, ibarat badan nggih kasta niku Brahmana

niku kan saking guru to, guru niku pemikir, pemikir kan kepala.

Kan mboten mungkin kepala niku macem-macem. Ksatria, ksatria

niku pelindung. Pelindung kan… tangan. Niku lek ibarat organ lho

niki. Terus Waisha. Waisha niku ibarate perut. Terus Syudra niku

ibarate kaki. Nah niki sebenarnya niki tasik berkembang. Niki

sebenarnya niki suatu konsep, konsep keseimbangan bahwa

manusia ki harus sesuai dengan karmanya, kemampuan, bidang.

Bidang kemampuan, bidang professionalnya. Kalo Brahmana, niki

tasik berkembang di Indonesia. Brahmana sebenarnya nggih, nggih

DPR, Dewan. Niki bidange pemikir yang memikirkan formula-

formula untuk kesejahteraan rakyat. Ksatria nggih pemerintah.

Waisha niki investor, pengusaha. Niki nggih nguripi pemerintah

nggih nguripi Brahmana nggih nguripi Syudra ibarate perut. Nah

terus Syudra nggih rakyat, kan penyangga sedanten. Sebenarnya

niku organisasi kelompok , anu kelompok professional, bidang

professional. Nggih sinten mawon bisa menjadi Brahmana asalkan

mampu. Nggih to? (Nada bertanya) (Aa.. golongan professional.

Golongan professionalnya orang yang, ini disesuaikan

kemampuan sebenarnya. Tapi karena politik, pada akhirnya kasta

itu istilahnya dugunakan keturunan. Tapi sebenarnya tidak, kasta

itu organisasi, ibarat badan ya kasta itu Brahmana itu kan berasal

dari guru kan, guru itu pemikir, pemikir kan kepala. Kan tidak

mungkin kepala itu macem-macem. Ksatria, ksatria itu pelindung.

Pelindung kan… tangan. Itu kalau ibarat organ lho ini. Terus

Waisha. Waisha itu ibaratnya perut. Terus Syudra itu ibaratnya

kaki. Nah ini sebenarnya ini masih berkembang. Ini sebenarnya ini

suatu konsep, konsep keseimbangan bahwa manusia ini harus

sesuai dengan karmanya, kemampuan, bidang. Bidang

kemampuan, bidang profesionalnya. Kalau Brahmana, ini masih

berkembang di Indonesia. Brahmana sebenarnya ya, ya DPR,

Dewan. Ini bidangnya pemikir yang memikirkan formula-formula

untuk kesejahteraan rakyat. Ksatria ya pemerintah. Waisha ini

investor, pengusaha. Ini ya menghidupi pemerintah ya menghidupi

Brahmana ya menghidupi Syudra ibaratnya perut. Nah terus

Page 146: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

146

Syudra ya rakyat, kan penyangga semua. Sebenarnya itu organisasi

kelompok, itu kelompok professional, bidang professional. Ya

siapa saja bisa menjadi Brahmana asalkan mampu. Ya kan?) (Nada

bertanya)

Pewawancara 2 : Inggih leres pak (Iya betul pak)

Narasumber 1 : Nah nek mampu pengetahuane, mampu napa-napane bisa. Tapi

karena dulu memang dimanfaatne kaleh penjajah makane dikotak.

Dadi keturunan Brahmana iku keturunan Ksatria diadu lha terus

bade pripun ngaten lho. Lha termasuk teng Bali nggih ngaten pada

akhire gaiso tego. Mboten purun to nisto karepe meneng thok

hehehe (sambil tertawa). Karepe levele pun level pemimpin, orang

suci. Kerjane niku berfikir, dengan kemampuan ilmu

pengetahuannya. Nah lek Ksatria melindungi, sing ndamping,

ndamping ngamanne Brahmana, ndamping ngamanne Waisha,

ndamping ngamanne Syudra kan ngoten melindungi. Pemerintah

tugase pelindung. Lha masi pelindung sing dikerjakne kan nggih

lewat pemikirane Brahmana ehehehe (sambil tertawa). Dadose

enten legislative enten eksekutif enten investor enten, masyarakat

niku jane, niku kedah bersatu niku mboten enten salah siji teng

organisasi gunjing. Organisasi mboten enten pemikire sing

dihormati sing di anu, tetep ngerusak organisasi, akhire ontok-

ontokan. Mboten enten pelindunge nggih mboten nyaman. Mboten

enten donature, investore nggih mboten saget bergerak hahaha

(sambil tertawa) sama seperti itu. Sebenarnya niku nek kasta, niku

namine nek teng “Wedha” niku catur warna jiwa, dadi warna jiwa,

jiwa seseorang, warnane, kemampuane dalam membidangi. Dadi

kemampuan dalam membidangi suatu pekerjaan atau karma, swa

dharmane. Namine nek pekerjaan kan bahwa intelek’e teng Wedha

kan swa dharma swa dharma masing-masing dharmane nopo.

Sesuai tugas, fungsinya. Dateng meriki mboten nggih niku mung

prono, Brahmanane sinten, Waishane sinten wong pancen

masyarakat’e nembe muncul nggih, nggih entene sami. Tapi pada

akhir’e tetep terbentuk niku mangke. Nggih suatu contoh teng

lembaga. Lembaga Hindu kan, sing kepemimpinan lembaga kan

enten tigo pun’e. Dadose wonten Brahmana nggih termasuk niku

“paruman pandita” golongan orang-orang suci. Terus “paruman

malaka” niki golongan ilmuan. Terus “paruman parisada”, niku

golongan ksatrione sing membidangi teng hukum, teng

pemerintahan. Dadose tetep, lha niki mboten saget nggih

memutuskan. Parisada niki memustuskan sendiri mboten pareng.

Setiap keputusan yang diambil berdasarkan musyawarah tiga

lembaga, paruman pandita, paruman malaka dan paruman

parisada. Parisada istilahe MUI, istilahe sami. Lek mutusne dhewe

nggih mangke mboten enten sing ngimbangi. Ngimbangi nggih

lewat ilmuan, lewat Brahmana, musyawarah. (Nah kalau mampu

Page 147: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

147

pengetahuannya, mampu apa-apanya bisa. Tapi karena dulu

memang dimanfaatkan oleh penjajah maka dari itu digolongkan.

Jadi keturunan Brahmana itu keturunan Ksatria diadu domba lah

terus mau bagaimana begitu lho. Lah termasuk di Bali kan begitu

pada akhirnya tidak bisa tega. Tidak mau bekerja kan maunya diam

saja hehehe (sambil tertawa). Maunya levelnya sudak level

pemimpin, orang suci. Kerjanya itu berfikir, dengan kemampuan

ilmu pengetahuannya. Nah kalau Ksatria melindungi, yang

mendampingi, mendampingi mengamankan Brahmana,

mendampingi mengamankan Waisha, mendampingi

mengamankan Syudra kan begitu melindungi. Pemerintah

tugasnya sebagai pelindung. Nah meskipun pelindung yang

dikerjakan kan ya lewat pemikirannya Brahmana ehehehe (sambil

tertawa). Jadinya ada legislative ada eksekutif ada investor ada,

masyarakat itu sebetulnya, itu harus bersatu itu tidak ada salah satu

dalam organisasi akan goyah. Organisasi tidak ada pemikirnya

yang dihormati atau yang apa lah, tetap merusak organisasi,

akhirnya saling hujat. Tidak ada pelindungnya juga tidak nyaman.

Tidak ada donaturnya, investornya juga tidak bisa bergerak hahaha

(sambil tertawa) sama seperti itu. Sebenarnua itu kalau kasta,

namanya itu kalau dalam “Wedha” itu catur warna jiwa, Jadi warna

jiwa, jiwa seseorang, warnanya, kemampuan dalam membidangi.

Jadi kemampuan dalam membidangi suatu pekerjaan atau karma,

swa dharmanya. Namanya kalau pekerjaan kan bahwa

intelektualnya di Wedha kan swa dharma swa dharma masing-

masing dharmanya apa. Sesuai tugas, fungsinya. Disini tidak, ya

itu hanya tahu, Brahmanya siapa, Waishanya siapa kan memang

masyarakatnya baru saja muncul, ya adanya sama. Tapi pada

akhirnya itu nanti akan tetap terbentuk. Ya suatu contoh pada

lembaga. Lembaga Hindu kan, yang kepemimpinan lembaga sudah

ada tiga. Jadinya ada Brahmana ya termasuk itu “paruman pandita”

golongan orang-orang suci. Lalu “paruman malaka” ini golongan

para ilmuan. Lalu “paruman parisada”, itu golongan Ksatrianya

yang membidangi dalam hukum, dalam pemerintahan. Jadinya

tetap, nah ini tidak bisa langsung memutuskan. Parisada ini

memustuskan sendiri tidak boleh. Setiap keputusan yang diambil

berdasarkan musyawarah tiga lembaga, paruman pandita, paruman

malaka dan paruman parisada. Parisada istilahnya MUI, istilahnya

sama. Kalau memutuskan sendiri ya tidak mungkin ada yang

menyeimbangkan. Menyeimbangkan ya melalui ilmuan, melalui

Brahmana, musyawarah.)

Pewawancara 1 : Nggih niki pak menopo menawi wonten acara teng pura, acara

dateng meriki biasane niku sing terllibat teng acara niku sinten

mawon pak? Nopo umat Hindune mawon, nopo wonten saking

kepala desa nopo, (Ya ini pak kalau ada acara di pura, acara di sini

Page 148: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

148

itu yang terlibat dalam acara itu siapa saja pak? Apakah umat

Hindunya saja, apakah ada yang dari kepala desa apakah,

Narasumber 1 : Nggih mboten enten saking kepala desa mboten. Nggih intine

nggih namung warga umat Hindu. Tapi nek acara besar niku sing

terlibat kathah. Nek acara besar khusus nggih termasuk biasane

niku, wedaran menawi, melati ngoten mangke nggih umat Hindu

luar daerah nggih masuk, termasuk saking mbali. Saking mbali

niku dengan sukarela tanpa diminta niku rawuh nek’e pas acara

wedaran. Nggih masalahe termasuk mengakui nek’e orang-orang

Bali niku leluhure kan wong Jowo ngoten. Dadose mengakui

bahwa leluhurnya ada di sini makane tetep, istilahe coro tiang

Islam ngoten ziarah teng nggene eyang’e, eyang dalam niku sing

kesempatan khusus. Niku nggih bagi sing pun mangartosi sing

dereng ngertosi kan nggih, dereng. Ngaten sing meyakini. (Ya

tidak ada yang dari kepala desa tidak. Ya intinya ya hanya warga

uat Hindu. Tapi kalau acara besar begitu yang terlibat banyak.

Kalau acara besar khusus ya termasuk biasanya itu, misalnya

wedaran, melati begitu nanti juga umat Hindu luar daerah juga

masuk, termasuk dari Bali. Dari Bali itu dengan sukarela tanpa

diminta turut hadir ketika acara wedaran berlangsung. Ya

masalahnya termasuk mengakui kalau orang-orang Bali itu

leluhurnya orang Jawa kan begitu. Jadinya mengakui bahwa

leluhurnya ada di sini maka dari itu tetap, istilahnya pada orang

Islam begitu seperti Ziarah kepada pendahulunya, pendahuludalam

itu yang kesempatan khusus. Itupun bagi yang sudah mengetahui

yang belu mengetahui kan ya, belum. Begitu itu yang meyakini.)

Pewawancara 1 : Tapi nopo niku pak, menawi dateng desa, balai desa menawi

gadhah acara niku umat Hindune nopo diundang dateng meriku,

(Tapi apa itu pak, apabila dalam desa, balai desa apabila punya

acara begitu umat Hindunya apakah diundang kesana,)

Narasumber 1 : Nggih tetep, tetep nek’e acara besar nggih termasuk temo

kelantikan nopo nopo niku teko, agama nggih tetep dihadirkan.

Nggih termasuk teng pemerintah Nganjuk nopo, pun lumayan.

Wong wingi nggih pelantikan teng kejaksaan kulo nggih tumut.

(Iya tetap, tetap kalau acara besar ya termasuk temu kelantikan apa

apa itu hadir, agama juga tetap dihadirkan. Ya termasuk di

pemerintah Nganjuk juga begitu, sudah lumayan. Kemarin juga

pelantikan di kejaksaan saya juga ikut.)

Pewawancara 2 : Tapi menawi misale wonten rapat-rapat desa niku tetep nggih sing

diundang niku BPDne, (Tapi kalau misalnya ada rapat-rapat desa

itu tetap ya yang diundang itu BPDnya,)

Narasumber 1 : Ooo nggih nek rapat desa. Nek rapat desa kan tiang agama

mboten cawe-cawe. Mboten cawe-cawe niku kan enten BPD enten

pamong kan RT, RW cukup. (Ooo iya kalau rapat desa. Kalau rapat

Page 149: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

149

desa kan orang agama tidak ikut campur. Tidak ikut campur itu kan

ada BPD ada perangkan kan RT, RW cukup.)

Pewawancara 2 : Berarti teng desa niki Hindu niku pun dados bagian dari sebagian

besar nggih pak? (Berarti di desa ini Hindu itu sudah menjadi

bagian dari sebagian besar ya pak?)

Narasumber 1 : Inggih, nggih termasuk lek teng deso niki pun jadi sebagian besar

niku. Dua RT sing jan pemeluk Hindu niku pun dua RT. (Iya, ya

termasuk kalai di desa ini sudah menjadi sebagian besar itu. Ada

dua RT yang benar-benar menjadi pemeluk Hindu itu sudah dua

RT.)

Pewawancara 2 : Oo nggih berarti dateng meriki pun dianggep persaudaraan ngaten

nggih pak? (Oo ya berarti disini sudah dianggap persaudaraan

begitu ya pak?)

Narasumber 1 : Inggih. Masio anu, kalih tiang Muslim inggih sami mbah’e ngih

tunggale mawon. Biasa teng meriki mangke enten sing colok

Muslim colok Hindu biasa mboten masalah. Kang mas’e

umpamane Hindu mangke adik’e Muslim biasa ngoten. Mboten

enten pertentangan niku mboten enten hehe (sambil tertawa) (Iya.

Meskipun itu, dengan orang Muslim juga sama kakek-neneknya

juga sama saja. Disini sudah biasa nanti ada yang terlihat muslim

terlihat Hindu biasa tidak masalah. Misalnya kakaknya Hindu lalu

adiknya Muslim biasa begitu. Tidak ada pertentangan itu tidak ada

hehe (sambil tertawa).)

Pewawancara 1 : Berarti golongan tuwo, wong tuwone niku nopo sampun ngertos,

saget maklum? (Berarti golongan tetua, orang tuanya begitu

apakah sudah paham, bisa memaklumi?)

Narasumber 1 : Puun sampun. Nek teng meriki kiambak ngoten. Nggih cuma sing

kulo aturne teng riyen niku kan kelompok tiang luar to, sing istilahe

niku karepe niku ngadu domba, dimanfaatne niku kersane mboten

dadi ahaha (sambil tertawa) biasa to niku lumrah. Tapi nggih

pemerintah daerah’e kan lumayan itungane termasuk Bupatine

niku paling antusias, nggih jaman, tahun dua ribu niku paling

antusias Bupatine. Nggih kerono Bupatine kiambak kan ngertos.

Pandangane pak Sutrisno niku sae tentang agama. Tiap

pembangunan tempat suci didukung. Lha nek sakniki kan pun

wonten undang-undang khusus tentang pendirian tempat suci riyen

kan mboten enten. Inggih mboten enten ijine lewat sospol. Nek

sakniki nggih lewat SKUB sing berwenang mangke kan wakil

bupati sebagai pengendali niku enten SKB menteri , tiga menteri.

Menteri dalam negeri , menteri agama dan menteri nopo niku

ketahanan. Pun jelas sakniki mbangun tempat suci kan mboten

engkel-engkelan sing penting syarat’e pun memenuhi pun. Nggih

econe teng meriku syarat pun memenuhi pun jelas melampah.

Page 150: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

150

(Sudah sudah. Kalau di sini sendiri begitu. Ya Cuma yang saya

jelaskan tadi dahulu itu kan kelompok orang dari luar, yang

istilahnya itu ingin mengadu domba, dimanfaatkan supaya itu tidak

jadi ahaha (sambil tertawa) biasa kan itu lumrah. Tapi juga

pemerintah daerahnya kan cukup membantu, termasuk Bupatinya

itu paling antusias, ya jaman, tahun dua ribu itu paling antusias

Bupatinya. Ya karena Bupatinya sendiri kan tahu. Pandangan Pak

Sutrisno mengenai agama itu bagus. Setiap pembangunan tempat

suci didukung. Nah kalau sekarang kan sudah ada undang-undang

khusus tentang pendirian tempat suci dulu kan tidak ada. Iya tidak

ada ijinnya melalui Sospol. Kalau sekarang ya melalui SKUB yang

berwenang nanti kan Wakil Bupati sebagai pengendali itu ada SKB

menteri, tiga menteri. Menteri dalam negeri, menteri agama dan

menteri apa itu ketahanan. Sudah jelas sekarang membangun

tempat suci kan tidak eyel-eyelan yang penting syaratnya sudah

memenuhi cukup. Ya enaknya di situ syarat sudah memenuhi

sudah jelas berjalan.)

Pewawancara 2 : Anu pak nopo, menawi pundene niku kiambak kan nggih sami-

sami saking leluhur’e Hindu, tapi aa.. masyarakat Hindu dateng

meriki niku nopo nggih menggunakan punden niku? (Begini pak,

tentang punden itu sendiri kan juga sama-sama berasal dari

leluhurnya Hindu, tapi aa.. masyarakat Hindu di sini itu apakah

juga menggunakan punden itu?)

Narasumber 1 : Inggih tetep, tetep nghormati. Setiap bade upacara besar nggih

sami. Niku kan penghormatan teng leluhur, bahwa menyadari nek

leluhur niku punya peran, kerono ilmune, kerono tinggalan

lokasine. Kan termasuk sing babat alas riyen pomo niki riyen alas

gede terus dados deso kan nggih sing kentun niki kan pun kari

penak’e ahaha (sambil tertawa) nah niku kan perlu. Peran’e besar

mas punden niku perane besar. Tanpa wonten ngaten-ngaten niku

tanah Jowo niku mboten roso (Iya tetap, tetap menghormati. Setiap

akan upacara besar juga sama. Itu kan penghormatan kepada

leluhur, bahwa menyadari kalau leluhur itu memiliki peran, karena

ilmunya, karena peninggalan daerahnya. Kan termasuk yang

membersihkan rawa dahulu missal ini dulu rawa yang luas lalu bisa

menjadi desa kan juga yang hidup sekarang ini kan tinggal enaknya

ahaha (sambil tertawa) nah itu kan perlu. Perannya besar mas

punden itu perannya besar. Tanpa ada seperti-seperti itu tanah

Jawa itu tidak berwarna)

Pewawancara 1 : Inggih leres pak hehehe (sambil tertawa) (Iya betul pak hehehe

(sambil tertawa).)

Narasumber 1 : Tiap punden niku, minimal tiga punden niku sing magersari,

bajulan sing, sing termasuk tiap acara dipamiti. Dadose kuburan

niko dadose istilahe nggih punden. Nggih kelentune niku punden

Page 151: Abangan Ndara, Abangan Wong Cilik dan Hindul dalam Masyarakat Desa Bajulan

151

dingge kuburan tiang mbahe riyen. Kudune punden niku nggih pun

suci, tempat suci. Tiap acara besar dateng meriki niku nggenahne,

pamit teng punden-punden niku, candi termasuk candi loceret,

candi ngetos sowan meriko pamit. Niku kan penghargaan teng

leluhur, karyane leluhur. (Tiap punden itu, minimal tiga punden

yang di magersari, bajulan, yang termasuk tiap acara dimohonkan

pamit. Jadinya makam tu jadinya istilahnya ya punden. Ya

kesalahannya itu punden digunakan menjadi makamnya para

leluhur dahulu. Seharusnya punden itu ya sudah suci, tempat suci.

Tia acara besar di sini itu membenarkan, berpamitan ke punden-

punden itu, canti termasuk canti locret, candi ngetos berkunjng

kesana pamit. Itu kan penghargaan kepada leluhur, karyanya

leluhur.)

(Diam sejenak sambil menghabiskan teh suguhan)..................

Pewawancara 1 : Nggih sampun cekap semanten pak niki pun lengkap. Nyuwun

pangapunten menawi ngerepoti bapak ehehe (sambil tertawa) (Ya

sudah cukup begitu pak ini sudah lengkap. Mohon maaf apabila

merepotkan bapak ehehe (sambil tertawa).)

Narasumber 1 : Mboten nopo-nopo mas pun biasa, kulo pun sering wawancara

saking mahasiswa-mahasiswa (Tidak apa-apa mas sudah biasa,

saya sudah sering wawancara dari mahasiswa-mahasiswa)

Pewawancara 2 : Oo ngaten.. inggih-inggih pak (Oo begitu.. iya-iya pak)

Narasumber 1 : Nggih wonten saking IAIN niku nopo, king Unesa, king, kathah

maleh. (Iya ada yang dari IAIN itu apa, dari Unesa, dari, banyak

lagi.)

Pewawancara 2 : Inggih pak, nggih sampun cekap semanten, matur nuwun pak, bu,

pareng.. (Iya pak, iya sudah cukup begitu, terima kasih pak, bu,

mari..)

Narasumber 1 : Inggih monggo mas (Iya mari mas)