855-1352-2-PB

12
300 KONSEP DADI WONG MENURUT PANDANGAN WANITA JAWA Atik Triratnawati * * Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta PENGANTAR alam kehidupan yang terus-menerus mengalami perubahan, selalu ada nilai-nilai budaya masyarakat yang masih tetap lekat di hati para pendukungnya. Ada banyak konsep dan pengertian di masyarakat yang sudah tidak dipakai lagi, tetapi ada pula warga masyarakat yang tetap menggunakan konsep lama itu dalam kehidupan sekarang ini. Salah satu konsep yang tetap relevan dibicarakan pada saat ini adalah nilai kesuksesan seseorang. Selama ini sering diperbincangkan dalam kehidupan sehari-hari bahwa seseorang dikatakan telah sukses jika hartanya bendanya berlimpah, jabatannya tinggi, gelar akademiknya banyak, dan nama- nya populer di mata masyarakat luas. Konsep Barat mengenai sukses umumnya banyak menggunakan alat ukur seperti material/ ekonomi, kebahagiaan, dan kepuasan hidup pribadi. Karena aspek ekonomi sering dijadi- kan patokan kesuksesan seseorang, banyak negara berlomba-lomba meningkatkan per- tumbuhan ekonomi agar pendapatan per kapita penduduknya meningkat sehingga negaranya termasuk dalam kriteria negara makmur. Menurut Krugman (Diener dan Oishi, 2000:185), pada akhirnya ekonomi tidak hanya menyangkut kemakmuran, tetapi usaha untuk mencapai kebahagiaan. Apakah semakin makmur semakin bahagia? Per- ABSTRACT A successful person is always related with wealth and life satisfaction. Meanwhile the term successful person in different ethnic groups has different meaning and interpretation.Theconceptabout dadi wong (being successful person) exists in Javanese culture which is always mentioned to describe the success of person in his or her life. The article will discuss this .The research was conducted in Yogyakarta on 1995 using a qualitative research method with in-depth interview. The research was held among selected (20) Javanese women aged 17-68 years, which had different education and socio economic status. Dadi wong requires economic, religious, moral, psychological and physical aspects. Other aspects includes gender ideology and culture. According to the Javanese concept dadi wong means merely economic aspect. The ideal concept of Dadi wong should be combined with economic (economic independence, income), culture(socio-status,marriage,familylife,education,goodinsocialrelation,meaningful to other), morality/religion (religiosity, good moral) and psychology (independence, happiness). Key words: success, Javanese culture, concept, aspects of success, economic success HUMANIORA VOLUME 17 No. 3 Oktoberz 2005 Halaman 300 - 311

description

l

Transcript of 855-1352-2-PB

Page 1: 855-1352-2-PB

300

Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 300–311

KONSEP DADI WONG MENURUTPANDANGAN WANITA JAWA

Atik Triratnawati*

* Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

PENGANTAR

alam kehidupan yang terus-menerusmengalami perubahan, selalu adanilai-nilai budaya masyarakat yang

masih tetap lekat di hati para pendukungnya.Ada banyak konsep dan pengertian dimasyarakat yang sudah tidak dipakai lagi,tetapi ada pula warga masyarakat yang tetapmenggunakan konsep lama itu dalamkehidupan sekarang ini.

Salah satu konsep yang tetap relevandibicarakan pada saat ini adalah nilaikesuksesan seseorang. Selama ini seringdiperbincangkan dalam kehidupan sehari-haribahwa seseorang dikatakan telah sukses jikahartanya bendanya berlimpah, jabatannya

tinggi, gelar akademiknya banyak, dan nama-nya populer di mata masyarakat luas. KonsepBarat mengenai sukses umumnya banyakmenggunakan alat ukur seperti material/ekonomi, kebahagiaan, dan kepuasan hiduppribadi. Karena aspek ekonomi sering dijadi-kan patokan kesuksesan seseorang, banyaknegara berlomba-lomba meningkatkan per-tumbuhan ekonomi agar pendapatan perkapita penduduknya meningkat sehingganegaranya termasuk dalam kriteria negaramakmur.

Menurut Krugman (Diener dan Oishi,2000:185), pada akhirnya ekonomi tidakhanya menyangkut kemakmuran, tetapiusaha untuk mencapai kebahagiaan. Apakahsemakin makmur semakin bahagia? Per-

ABSTRACT

A successful person is always related with wealth and life satisfaction. Meanwhilethe term successful person in different ethnic groups has different meaning andinterpretation. The concept about dadi wong (being successful person) exists in Javaneseculture which is always mentioned to describe the success of person in his or her life.The article will discuss this .The research was conducted in Yogyakarta on 1995 usinga qualitative research method with in-depth interview. The research was held amongselected (20) Javanese women aged 17-68 years, which had different education andsocio economic status. Dadi wong requires economic, religious, moral, psychologicaland physical aspects. Other aspects includes gender ideology and culture. Accordingto the Javanese concept dadi wong means merely economic aspect. The ideal concept ofDadi wong should be combined with economic (economic independence, income),culture (socio-status, marriage, family life, education, good in social relation, meaningfulto other), morality/religion (religiosity, good moral) and psychology (independence,happiness).

Key words: success, Javanese culture, concept, aspects of success, economic success

HUMANIORAVOLUME 17 No. 3 Oktober 2005 Halaman 300 - 311

Page 2: 855-1352-2-PB

301

Atik Triratnawati, Konsep Dadi Wong Menurut Pandangan Wanita jawa

tanyaan tersebut banyak menggelitik ahli-ahliilmu sosial, khususnya psikologi dan antro-pologi, untuk menelitinya. Namun, kenyataanmasyarakat kapitalis sekarang ini banyakmengandalkan kapital/ekonomi untuk me-wujudkan kebahagiaan dan kesuksesanhidup.

Sebaliknya, pada masyarakat Timurkesuksesan mungkin berbeda ukurannya, iadapat menjadi sangat luas, bahkan abstrak.Dikemukakan oleh Suryadi (dalam Endras-wara, 2002:29) bahwa pada masa lalumasyarakat Jawa, misalnya, mengukurkesuksesan seorang laki-laki berdasar padalima hal yang dimiliki, yaitu: wisma ‘rumah’,turangga ‘kuda’, curiga ‘pusaka’, kukila‘burung’, dan wanita ‘istri’. Artinya, seorang laki-laki akan dianggap sukses jika ia memilikibenda-benda material seperti itu. Ukuran yangsifatnya materi menjadi sangat dominan dalammasalah ini. Namun, seringkali kelima halyang melekat pada laki-laki ini juga merupa-kan stereotype sebagai kesatria Jawa 100persen atau sering pula dianggap sebagaisimbol kejantanan mereka. Terkait denganhal tersebut, apabila ada parameter mengenainilai sukses laki-laki Jawa, apakah nilai yangsama ber-laku bagi perempuan? Pertanyaanitu kemudian meluas dan dapat dikembang-kan menjadi bagaimana konsep perempuanJawa mengenai dadi wong (menjadi manusiasukses, berhasil)? Tulisan ini ingin men-jelaskan konsep dadi wong menurut pandang-an wanita Jawa serta paramater-parameteryang mereka gunakan untuk membuatkriteria seseorang disebut dadi wong sertaimplikasi teoretis yang relevan dengan teorifeminis.

Studi tentang konsep orang Jawa dalammemandang kesuksesan hidup seseorang(dadi wong) merupakan kajian etnografi Jawadengan pendekatan teori feminis. Teorifeminis adalah generalisasi dari pelbagaisistem gagasan mengenai kehidupan sosialdan pengalaman manusia yang dikembang-kan dari perspektif yang terpusat pada wanita.Titik tolak pendekatan ini adalah situasi danpengalaman wanita dalam masyarakat;wanita merupakan sarana sentral, artinyamelihat dunia khusus dari sudut pandang

wanita terhadap dunia sosial (Ritzer danGoodman, 2004:403).

Studi mengenai wanita ini dilakukanmelalui wawancara terhadap 20 wanita Jawa.Informan dipilih yang bertempat tinggal diYogyakarta. Mereka dipilih berdasarkankriteria umur dan variasi pekerjaan. Kompo-sisi informan meliputi wanita usia sekitar 20-an, 30-an, 40-an, 50-an dan 60-an. Pengelom-pokan umur ini dipakai untuk mengkategori-kan usia muda (20-30 tahun) dan tua (40 keatas). Pekerjaan dibedakan antara yangbelum/tidak bekerja (ibu rumah tangga,pelajar/mahasiswa) dan mereka yangbekerja. Tingkat pendidikan bervariasi antaratidak lulus SD (1), SMP (2), SMA (7), SarjanaStrata Satu/S1 (7) dan Dua/S2 (3). Pekerjaandan tingkat pendidikan dipakai untuk me-ngetahui latar belakang sosial budaya infor-man, apakah mereka termasuk kriteria kelasbawah, menengah, atau atas.

Pengumpulan data dilakukan padatahun 1995. Karena data itu masih relevandengan kondisi sekarang ini, topik ini diangkatkembali. Hasil wawancara yang direkamdengan tape recorder kemudian ditranskripdan dilakukan koding data. Analisis datadilakukan dengan pendekatan teori budaya,khususnya teori feminis.

PENGERTIAN DADI WONG

Setiap masyarakat, suku bangsa, danbangsa mengenal karya yang kelak akanmenjadi pedoman antara hubungan manusiadan manusia lain. Nilai sebuah karya akansangat berbeda antara masyarakat satudengan yang lain. Karya atau buah pikiranyang diwujudkan dalam kerja yang apabiladimiliki oleh individu berubah menjadi sebuahkemandirian dalam banyak masyarakat di-anggap sebagai pencapaian tertinggi seorangmanusia.

Orang Jawa mengenal bahwa seseorangakan diperhitungkan dan dinilai keberada-annya berdasar pada apa yang dimilikinya,terutama terkait dengan pekerjaan. MenurutKoentjaraningrat (1985:38), karya merupakantujuan hidup. Hasil karya akan mewujudkankebahagiaan-kebahagiaan dalam hidup ini.

Page 3: 855-1352-2-PB

302

Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 300–311

Menurut konsepsi orang priyayi, kebahagiaan-kebahagiaan itu, misalnya, adalah keduduk-an, kekuasaan, dan lambang-lambang lahiri-ah dari kemakmuran. Ukuran kesuksesanpada seorang individu dalam budaya Jawatentu berbeda dengan ukuran budaya baratyang menekankan nilai material (kebendaan)dan hal-hal lain yang bersifat fisik semata.

Asal usul istilah dadi wong berasal darikata dadi yang artinya ‘menjadi’ dan wong(manusia hewani) yaitu ‘manusia yang belumatau tidak mengetahui budi pekerti’ (Endras-wara, 2003:133). Istilah dadi wong kemudianmemiliki arti baru yang luas seperti berhasilatau sukses seseorang dalam hidup. Pe-mikiran orang Jawa mengenai dadi wong ataumenjadi orang sukses merupakan konsepyang bersifat totalitas. Konsep tersebut ti-dakberharga mati, tetapi lentur dan adaptif menurutstrata sosial atau tingkat ekonomi yangmemperbincangkannya. Ukuran dadi wongwalau ada standarnya, tetapi standar itu bisadisesuaikan menurut persepsi orang Jawayang selalu melihat sesuatu berdasarkanhierarki seseorang di masyarakat yang sifat-nya bertingkat.

Menurut pandangan wanita Jawa, dadiwong memiliki pengertian yang sangat dalamdan luas. Pengertian itu meliputi totalitas darinilai-nilai dasar budaya Jawa yang masihdipegang teguh oleh para pendukung budayaJawa. Dadi wong kemudian memiliki arti yanglebih tinggi dari sekadar sukses dalam hidupatau makmur. Konsep dadi wong mengandungpengertian yang komprehensif karena di situada aspek ekonomi/material/fisik, moral/agama/etika, psikologis, dan sosial budayayang terjalin menjadi satu membentuk pengerti-an/konsep dadi wong tersebut. Syarat yangtidak mampu dipenuhi secara lengkap akanmengurangi arti dadi wong tersebut. Dengankata lain, konsep dadi wong secara umumtidak bersifat fisik/lahiriah/ekonomi semata,melainkan gabungan dari aspek-aspek lainyang lebih menitikberatkan aspek budaya,khususnya budaya Jawa. Dengan demikian,pengertian dadi wong lebih menitikberatkanatribut budaya daripada sekadar atributekonomi saja.

Paduan antara aspek ekonomi/non-ekonomi atau jasmani dan rohani dalam

pengertian dadi wong tidak terlepas daritujuan budaya Jawa yang memiliki orientasipada aspek lahir dan batin yang meliputisemua aspek kehidupan (Suratno danAstiyanto, 2004:xxv). Budaya Jawa yang selalumenjaga keseimbangan, tidak pernah me-nempatkan sesuatu pada posisi yang ekstremkarena hal itu akan menimbulkan kekacauan(Handayani dan Novianto, 2004: 181).

Dadi wong selalu menunjuk pemahamanyang diberikan oleh masyarakat sekitar, yaituwilayah tempat tinggal individu termasuk didalamnya kelas sosial/strata lingkungansekitarnya. Oleh karena itu, konsep dadi wongkemudian adaptif sifatnya karena parameteryang dipakai sifatnya tidak kaku, tetapi luwessesuai dengan tempat tinggal dan kelassosial masyarakat penuturnya. Sebagaicontoh, seorang tukang becak yang hanyatamat SD, tetapi mampu menyekolahkan,memberi sandang, pangan, dan papan seluruhkeluarganya, dapat dipandang sebagai wis dadiwong. Hal ini karena parameter yang dipakaiadalah untuk kelas sosial bawah sepertimereka kemandirian ekonomi, berkeluargadengan rukun, mencukupi kebutuhan ekonomikeluarga termasuk pendidikan adalah suatuprestasi yang luar biasa bagi masyarakat dikelompoknya. Kondisi ekonomi pekerjabawah seperti tukang becak tidak semuanyadapat seperti contoh tersebut, yaitu mampumencukupi ekonomi keluarga dengan baik.Oleh karena itu, untuk pekerja sekelasnya ataulingkungan sosial ekonomi yang sederajatdengannya tukang becak tersebut telahmelampaui garis-garis batas di atas kemiskin-an masyarakatnya.

Apabila orang Jawa mengenal konsepdadi manungsa (manusia insani), yaitu menjadimanusia yang telah memahami dan men-jalankan hidup budi pekerti luhur (Endraswara,2003:133) yang menitikberatkan segalaatribut rohaniahnya ataupun dadi Jawa (men-jadi manusia Jawa), yaitu sebutan yangdiberikan pada individu manusia Jawa yangtelah mampu bersopan santun (unggahungguh), dan basa-basi ala orang Jawa(Geertz, 1985:115), maka dadi wong tingkat-nya lebih luas lagi dari sekedar kedua haltersebut. Dadi manungsa kemudian menitik-beratkan unsur rohaniah, yaitu budi luhur atau

Page 4: 855-1352-2-PB

303

Atik Triratnawati, Konsep Dadi Wong Menurut Pandangan Wanita jawa

tabiat/moral/ahlak yang dimilikinya, sedang-kan dadi Jawa juga hanya menunjuk ke-mampuan seseorang dalam berperilakumenurut adat istiadat orang Jawa. Semen-tara itu, dadi wong memiliki kompleksitas artiyang lebih dalam dari sekedar dadi manungsamaupun dadi Jawa.

Pengertian dadi wong umumnya melekatpada pasangan suami-istri atau keluargakarena ukuran/syarat sudah berkeluargaakan menjadi salah satu syarat dan acuandari pengertian yang sifatnya totalitas.Pengertian dadi wong yang diungkapkan olehinforman-informan perempuan ini dititiberatkanpada yang berlaku bagi perempuan yang telahberkeluarga atau perempuan sebagai istri danibu. Informan, sebagai individu, kemudianmengemukakan pendapatnya mengenaikelompoknya. Apa yang mereka kemukakanten-tu saja selalu dalam koridor atau kontekshidup perempuan dalam keluarga. Syaratyang berlaku agar perempuan disebut dadiwong akan menunjuk diri perempuan yangtelah berkeluarga, karena syarat berkeluargaini dianggap syarat yang terberat. Hal inikarena pada masa sekarang ini banyakperempuan yang melebihi laki-laki baik dalamhal ekonomi, pekerjaan, maupun kemandirian,tetapi mereka belum berkeluarga. Akibatnya,ada satu syarat yang tidak dapat dipenuhioleh perempuan tersebut untuk disebut dadiwong. Meskipun demikian, umumnya merekamenyatakan bahwa konsep dadi wong tidakdapat dianggap berlaku bagi individuperempuan atau laki-laki saja, melainkanberlaku dalam konteks keluarga (suami-istri).Dengan kata lain, dadi wong unit analisisnyaselalu dalam konteks pasangan suami-istri.Namun, titik berat maupun syarat dadi wongterlihat lebih berat bagi perempuan daripadalaki-laki. Hal ini terkait dengan konsep patriarkimasyarakat Jawa yang memandang perem-puan sebagai sosok ibu, istri, yang memilikitugas dan tanggung jawab yang cukup beratdi keluarga dan masyarakat (Ritzer danGoodman, 2004:433). Wanita digambarkanseperti pelayan yang selalu mengalah.Ketahanan wanita untuk menderita dianggapsebagai bagian dari hidup wanita (Handayanidan Novianto, 2004:167).

SYARAT DAN KRITERIA DADI WONG

Seseorang dikatakan dadi wong jikahidupnya tidak lagi menjadi tanggungan ataumembebani siapa pun, termasuk keluargasendiri. Artinya, orang itu harus berdikari dalamarti mampu berdiri di atas kakinya sendiri.Mandiri memiliki pengertian telah lepas dariorang tua dengan memiliki kehidupan sendiriyang ditopang dari penghasilan yangdimilikinya. Mandiri juga memiliki pengertiania telah mampu mengelola kehidupankeluarganya sendiri tanpa turut campur oranglain. Dengan demikian, pengertian mandiridiartikan juga sebagai telah hidup terpisahdari orang tuanya. Dengan kata lain, ia telahberkeluarga sehingga secara ekonomi,psikologi, dan sosial tidak lagi menjadi bebanorang lain.

Seseorang memiliki kehidupan yangmandiri jika ia telah mampu mencukupikebutuhan dasar seperti sandang, pangan,dan papan atas jerih payah sendiri. Secarahukum adat, mandiri juga berarti telah lepasdari dukungan orang tua atau keluarga.Sebagai contoh apabila seseorang masihmenyewa rumah untuk hidupnya, tetapi sewarumah itu diperoleh melalui cara bekerja, makaia dikatakan telah mandiri. Kepemilikan rumahsecara pribadi tidak lagi menjadi syarat, tetapibagaimana ia mengusahakan papan lewatkemampuan dirinya sendiri itulah yang men-jadi batasan kemandirian. Dengan kata lain,mandiri artinya segala sesuatu diusahakansendiri melalui cara bekerja dengan keringat-nya sendiri.

Aspek kemandirian dituturkan olehinforman N (47 tahun, S1, kelas atas):

“Saya melihat seseorang itu dadi wongberdasarkan kemandirian dia dalammenghadapi hidup. Tidak peduli siapamereka. Sebagai contoh, seorang tukangbecak dengan seorang istri dan beberapaanak tetapi ia mampu menyewa rumahsendiri walaupun sederhana, mencukupikebutuhan keluarga walaupun padatingkat minimal, serta keluarganya baik,bagi saya dia sudah dadi wong”.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwanilai dadi wong tidak harus menunjuk orang

Page 5: 855-1352-2-PB

304

Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 300–311

yang kaya harta benda, tetapi disesuaikandengan tingkat pengetahuan/pendidikan dankondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Disini terlihat munculnya nilai etos kerja yangtinggi pada seseorang seperti tukang becak,misalnya, walaupun penghasilannya pas-pasan, tetapi ia mampu mandiri dan tidak men-jadi beban bagi orang lain atau lingkungannya.

Informan di atas memberi keteranganlagi sebagai berikut:

“Ingatase ming tukang becak, nanginguripe cukup, anake iso sekolah kabeh lankeluargane rukun. Wong kuwi uga apikkaro tangga-teparo.

Artinya: meskipun kepala keluargahanyalah seorang tukang becak, tetapihidupnya dapat cukup, anaknya sekolahsemua dan keluarganya rukun. Orangtersebut juga baik hubungannya dengantetangga sekitar.

Hal tersebut menjelaskan bahwa kelasbawah pun memiliki konsep dadi wongdengan menggunakan persyaratan yang lebihluwes, tanpa melupakan hal-hal yang pokokseperti kemandirian, kecukupan sandang,pangan, papan, keharmonisan rumah tangga,dan perilaku keseharian yang baik dengansekitar.

Tugas utama seorang kepala keluargaadalah nyambut gawe (bekerja). Denganbekerja, ia akan mendapatkan penghasilanyang mampu untuk menopang ekonomikeluarga. Kemandirian seseorang tentunyaharus ditopang oleh syarat adanya penghasilanyang tetap (ajeg). Penghasilan kemudiandiukur berdasarkan uang yang diperolehnya.Ukuran ekonomi kemudian menjadi barometerutama. Uang sebenarnya bukan apa-apa,melainkan hanyalah tanda atau simbol darikemakmuran (Mead, 1967:292). Penghasilanyang tetap ini dapat diperoleh melalui jalanyang bermacam-macam sepert menjadipegawai negeri, swasta, wiraswasta ataulainnya. Artinya, kebutuhan sandang, pangan,dan papan dapat dipenuhi dari penghasilanyang diperolehnya secara tetap. Penghasilanyang sifatnya tetap akan memungkinkanseseorang untuk mencukupi kebutuhan ke-luarganya. Mereka yang termasuk ber-

penghasilan besar, tetapi tidak tetap atauhanya kadang kala dianggap tidak termasukdalam kriteria dadi wong karena jika seseoranghidupnya masih belum tercukupi sandang,pangan, dan papan, berarti ia masih dalamtaraf hidup menderita atau belum ber-kecukupan. Mereka yang hidupnya secaraekonomi serba tidak pasti, artinya hari ini dapatmakan, tetapi besok pagi masih memikirkanapa yang dapat dimakan juga tidak termasukdalam kriteria ini. Keajegan dan keserba-pastian mengenai hidup hari ini dan hari esokkemudian menjadi tolok ukur penghasilanyang tetap ini.

Memiliki penghasilan yang tetap akanmemungkinkan seseorang memenuhi ke-butuhan keluarga, termasuk pendidikan dankesehatan. Hal ini karena kriteria tercukupinyakebutuhan dasar manusia seperti sandang,pangan, dan papan memang harus ditopangoleh penghasilan yang dapat dipastikanperolehannya.

Terpenuhinya kebutuhan akan sandang,papan, dan pangan haruslah terlihat secarakasat mata, artinya secara riel atau dapatdibuktikan secara lahiriah. Aspek lahiriah iniumumnya tetangga sekitarnyalah yang akantahu dan dapat mengukurnya. Tetangga akanmembandingkan keluarga satu dengankeluarga lain yang ada di sekitarnya sebabtetangga terdekat biasanya yang lebih tahukeseharian sebuah keluarga. Tetanggaumumnya akan melihat dan menyaksikandengan mata kepala sendiri apa yangdikonsumsi oleh rumah tangga tetanggasekitarnya. Dengan demikian, ukuran dadiwong umumnya tetangga sekitar merekalahyang mampu menyebutnya.

Aspek sosial budaya di sini memiliki artidan peran yang sangat menentukan sebagaiunsur-unsur yang menyumbang konsep dadiwong secara luas. Aspek sosial budaya inimerupakan ciri yang melekat pada pandanganhidup Jawa. Ungkapan yang tepat untukmenggambarkan dadi wong adalah pangkat,semat, drajat. Artinya, seseorang dikatakanwis dadi wong jika ia telah memiliki pangkat(kedudukan, golongan, derajat/tingkat, kelas)yang tinggi di masyarakat (Poerwodarminto,1934:469), semat (kumat, angot, artinya sete-lah seseorang menduduki jabatan tertentu

Page 6: 855-1352-2-PB

305

Atik Triratnawati, Konsep Dadi Wong Menurut Pandangan Wanita jawa

akan kuat dan tidak menjadi edan gi-lakarenanya) (Poerwodarminto, 1934:554).Orang tersebut harus kuat terhadap godaanyang ada di sekitarnya, dan drajat (pangkatkaluhuran atau kehormatan) (Poerwodar-minta, 1939:74).

Sementara informan menyatakan bahwakonsep dadi wong itu menyangkut aspekekonomi yang kuat/tinggi, sedangkan yanglain menyatakan bahwa ekonomi itu sifatnyarelatif. Oleh karena itu, yang lebih pentingadalah kecukupan ekonomi. Kecukupanekonomi ini digambarkan sebagai cukupkehidupannya. Kehidupan yang cukup seringdiistilahkan dengan kehidupan yang mapan.Kehidupan yang mapan bagi orang Jawaselalu terkait dengan kedudukan/pangkat/jabatan kepala keluarga/suami di tempatkerja. Bagi masyarakat, kedudukan/pangkat/jabatan yang baik/tinggi umumnya akandiikuti dengan penghasilan yang meningkatpula.

Kedudukan/status seseorang dianggapbaik/tinggi jika di lingkungan sekitarnya iaterlihat paling berhasil dalam bekerja. Hal itubisa diukur dari pangkat/kedudukan yangterus naik atau penghasilan yang semakinmeningkat. Pekerjaan seseorang yang dariwaktu ke waktu meningkat posisinya akanberarti meningkat pula pendapatannya.Pendapatan yang cukup dianggap sebagaibarometer kesuksesan. Seseorang yangmerangkak kariernya dari posisi rendah,kemudian meningkat terus secara wajartermasuk orang yang sukses, artinya pekerja-an /pangkat/jabatannya selalu meningkat/naiktanpa ada sesuatu kasus yang merintanginya.Perpindahan posisi dari melarat (kurang)menjadi cukup (berlebih) dianggap sebagaisalah satu ukuran keberhasilan secaraekonomi.

Kecukupan ekonomi keluarga me-ngandung aspek fisik, yaitu mereka terlihatsecara nyata serba kecukupan, baik me-nyangkut sandang, pangan, maupun papan.Pada taraf inilah seseorang dikatakan telahmencapai taraf makmur. Hal inilah yang men-jadi salah satu syarat dadi wong. Mereka yangtelah cukup secara ekonomi, apalagi berlebih,dapat dilihat oleh tetangga sekitarnya,kemudian dikatakan hidupnya moncer

(berhasil, enak) dibandingkan orang lain disekitarnya. Istilah lain yang dikemukakaninforman adalah keluarga tersebut uripe wisngglenter (enak, lancar).

Dalam budaya Jawa, kecukupan ekonomiyang diraih tidak secara tiba-tiba lebihdianggap bernilai tinggi daripada yang men-dadak. Mereka yang awalnya hidup susah,dalam arti ekonomi, kemudian meningkat danmeningkat terus sehingga menjadi makmurdianggap cara memperoleh hartanya secarawajar. Mereka menjadi makmur karena usahadan kerja keras yang mereka lakukan, bukankarena mereka menggunakan cara-cara yangtidak semestinya (korupsi atau memeliharatuyul). Kehidupan yang merangkak daribawah atau dari tidak punya (miskin) menjadipunya (cukup, kaya) itulah yang menyertaiindividu/keluarga disebut dadi wong.

Pemahaman mengenai kedudukan danstatus di kalangan orang Jawa juga dike-mukakan oleh Brener (1998:140) yang menelitimasyarakat Laweyan, Solo. Dikatakan olehBrener bahwa status tidak hanya diukur darifaktor kemakmuran, pekerjaan, pendidikan,atau garis keturunan tetapi juga oleh sesuatuyang tidak terukur seperti kehalusan budaya,kemampuan menggunakan bahasa, etiket,kemampuan sosial, dan reputasi ataskemampuan spiritualnya.

Cita-cita hidup adalah suatu harapanyang hendak dicapai oleh seseorang di masadepan. Cita-cita ada yang tinggi, ada pula yangsederhana tergantung pada latar belakangsosial ekonomi atau budaya penuturnya. Saatseseorang telah mampu meraih apa yangdicita-citakan, pintu kesuksesan sudahmendekatinya. Dalam percakapan sehari-hari,seseorang yang telah mampu menyelesaikanpendidikan tertingginya dianggap cita-citanyatelah tercapai. Tercapai cita-cita atau lulusdalam pendidikan ini seringkali menjadi tolokukur kesuksesan seseorang di bidang aka-demik/pendidikan.

Aspek yang sering diperhatikan sebagaialat ukur kemandirian adalah seseorang tidaklagi menjadi beban siapapun, termasuk orangtuanya. Sebagai seorang anak, apabila telahmenyelesaikan pendidikan tertingginya, di-anggap akan cepat mandiri. Sekolah/pen-didikan di sini adalah pendidikan tertinggi

Page 7: 855-1352-2-PB

306

Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 300–311

yang telah ditempuh seseorang sesuaidengan kemampuan orang tua atau stratasosialnya. Pada masa sekarang, umumnyapendidikan sarjana (S1) menjadi barometerpendidikan seseorang dari kelas menengah/atas. Namun, pada kelas bawah bisa jadilulus SD, SMP, SMA merupakan pendidikantertinggi yang mereka cita-citakan. Tidakheran jika seseorang yang hanya lulus SD,SMP, SMA tetapi memiliki kehidupan yangberlimpah, bahkan mengalahkan yanglulusan sarjana, dapat disebut wis dadi wong.Tentu saja, syarat-syarat lain akan menyertaisehingga ia bisa memenuhi kriteria dadiwong.

Perkawinan bagi orang Jawa merupakankewajiban agama (Soeratno dkk. 2002:4).Orang yang telah kawin kemudian dijadikanukuran kedewasaan. Melalui hidup perkawinanpasangan suami-istri akan merasakan tang-gung jawab dan beratnya beban meng-hidupikeluarga. Pasangan itu sekaligus akanmerasakan bagaimana menjadi bapak, ibu,dengan tugas mendidik anak dan membesar-kannya. Melalui cara itu, seseorang akanmerasakan lengkapnya kehidupan di duniaini karena ia akan memainkan peran di masya-rakat sebagai bapak, ibu, atau orangtua.

Syarat hidup berkeluarga ini dikemuka-kan oleh semua informan. Khususnya,informan kelompok tua, mereka benar-benarmenekankan pentingnya persyaratan ini.Sementara itu, informan kelompok mudacenderung berpendapat bahwa ukuranberkeluarga tidak mutlak, asalkan syaratyang lain telah dipenuhi. Bahkan, kelompokini juga menyatakan bahwa konsep dadi wongberlaku sama antara pria dan wanita tidakmempertimbangkan apakah mereka sudahberkeluarga atau belum. Kondisi ini menyirat-kan bahwa kelompok muda memaknaisesuatu sesuai dengan perubahan zaman,yaitu adanya kemajuan bagi perempuan,baik dalam pendidikan, karir, maupunkehidupan material, tetapi mereka belummenikah sehingga bisa dianggap sukseshidupnya. Namun, kelompok tua tetapberpendapat bahwa perkawinan adalah unsurpenting persyaratan dadi wong. Bahkan,seorang informan S (68 tahun) menyebutkan:

“Nek dereng omah-omah niku mbotensaget disebut wis dadi wong sebab derengsaget ngraosake tiang omah-omah.Piyambake tetep disebut bocah sinaosawujude wis dewasa lan uripe moncer.”Artinya: Jika seseorang itu belum ber-keluarga maka ia tidak bisa disebut dadiwong karena belum merasakan hidupberkeluarga. Ia akan tetap dianggapsebagai anak walaupun umurnya telahdewasa dan hidupnya sukses.

Berkeluarga memiliki arti bahwa sese-orang itu telah genap hidupnya. Hal inimenunjuk pada kewajiban agama bahwamenikah adalah melengkapi setengah dariibadah. Orang yang belum menikah dianggapsebagai belum sempurna karena ia belummelaksanakan setengah dari ibadah yanglain. Dalam Islam, ada ayat yang menegas-kan bahwa semua jenis mahluk hidup memilikikodrat berpasang-pasangan. Pernikahanadalah satu-satunya bentuk berpasanganyang benar (Hamid, 2000:237). Denganberkeluarga seseorang menjadi lumrah(umum) sebagai orang hidup. Ia akanmerasakan kehidupan berkeluarga dengansegala suka dukanya. Sementara itu, jikabelum berkeluarga sering dianggap barumerasakan senangnya saja dan belummengalami dukanya hidup dalam mahligaiperkawinan.

Sumber utama dari sosialisasi adalahkeluarga karena melalui keluarga seorang anakmempelajari norma, nilai, simbol-simbol, danmakna (Ihromi, 2004: 277). Peran ibu menjadisangat penting karena dialah orang pertamayang mengajarkan pendidikan terhadapanak-anaknya. Peran ibu membesarkan anakhanya bisa ditempuh melalui lembagaperkawinan. Oleh karena itu, perkawinanmenjadi penting artinya bagi perempuan.

Arti berkeluarga di sini juga memilikimakna bahwa bukan hanya kedua pasangansuami-istri telah diikat dalam perkawinansaja, melainkan keduanya harus mampumembina rumah tangga dengan baik. Rumahtangga yang baik artinya hubungan suami-istri berjalan harmonis serta orang tua dengananak-anak bisa saling komunikasi sehinggademokrasi berjalan baik di keluarga tersebut.

Page 8: 855-1352-2-PB

307

Atik Triratnawati, Konsep Dadi Wong Menurut Pandangan Wanita jawa

Hubungan suami-istri tidak dibumbui denganpercekcokan, perselingkuhan, atau ketidak-jujuran. Keluarga yang baik dianggap sebagaicermin utuhnya keharmonisan di antarasuami-istri maupun anak-anaknya.

Tugas mendidik anak walaupun merupa-kan tugas suami istri, namun kenyataannyaistrilah yang lebih berat bebannya. Apabilaterjadi ketidakharmonisan atau cacat moraldari anggota keluarga, biasanya istrilah yangdianggap tidak becus mendidik anak. Bebanistri akan semakin berat karena ia pun harusnjaga praja, mengemban tugas menjagakehormatan suami dari orang-orang di luarkeluarganya (Hakimi, dkk., 2001:19).

Selain itu, sebuah keluarga dianggapmemenuhi kriteria dadi wong jika antara suami-istri bisa mendidik anak sesuai dengan normabudaya dan agama sehingga menghasilkananak-anak yang berbudi luhur. Anak-anakyang bermoral jelek atau cacat secara moraldianggap merupakan cerminan kegagalanorang tua dalam mendidiknya. Oleh karenaitu, kondisi moral orang tua yang baik harustercermin di dalam cara mendidik anak-anaknya. Mendidik itu tidak mudah sehinggamemang persyaratan dadi wong seperti yangditetapkan masyarakat setempat tidaksemuanya mampu dipenuhi oleh setiapkeluarga.

Salah satu syarat dadi wong adalahhidup orang tersebut membawa manfaat bagikeluarga dan orang sekitarnya. Orang yangberguna memiliki arti yang luas, tidak hanyabersifat material (kebendaan), yaitu kayaatau kecukupan hidupnya, tetapi dapat pulaber-sifat nonmaterial, yaitu tenaga, ilmu, danpikirannya banyak dipakai untuk membantumaupun meringankan beban orang lain.Berguna di sini tidak terbatas pada keluargadekatnya, melainkan juga secara umum,yaitu masyarakat sekitarnya. Hidup yangberguna ini kemudian sangat relatif sifatnya,tetapi secara umum masyarakat sekitarnyadapat menilai bahwa seseorang itu hidupnyaberguna atau merugikan sekitarnya.

Kutipan N (27 tahun, penghuni komplekslokalisasi) berikut akan menegaskangambaran tersebut di atas:

“Selama saya masih menghuni kompleksini, maka saya merasa belum dadi wong.

Hal ini karena saya masih mencari nafkahdengan cara seperti ini serta anak-anaksaya diasuh oleh simbahnya di desa.Saya sendiri telah bercerai dengansuami saya beberapa tahun yang lalu”.

Dalam pernyataan informan tersebutterkandung arti bahwa ia merasa hidupnyabelum berguna bagi masyarakat walaupunbagi keluarga ia merupakan penopangekonomi utama. Selain itu, ia merasa bahwapekerjaannya sebagai pekerja seks komersialdirasakan sebagai pekerjaan yang melanggarnorma, etika, bahkan aturan agama. Olehkarena itu, ia merasa jauh dari persyaratandadi wong. Ia pun merasa belum mampumembentuk keluarga yang bahagia akibatperceraiannya. Akibatnya, mendidik anak-anak pun ia serahkan kepada orang tuanyadi desa. Ia merasa sangat tidak mungkinmembawa anak-anak untuk tinggal ber-samanya.

Pergaulan memiliki arti yang penting bagiorang hidup. Sikap hidup orang Jawa yangmengerti etika dan taat pada adat-istiadatserta selalu mengutamakan kepentinganumum daripada kepentingan pribadi ini harusdipraktikkan dalam pergaulan di masyarakat(Herusatoto, 2000:74).

Dalam konsep dadi wong terkandungsyarat bahwa seseorang itu pergaulannyadapat menyesuaikan diri dengan sekitar.Dalam srawung (bergaul), ia juga harusmampu menjauhkan sifat negatif sepertisombong, suka dipuji, iri hati, merugikan pihaklain, dan sebagainya. Dengan kata lain, dalamsrawung, ia harus menjaga mulut, perbuatan,atau penampilan sesuai dengan kedudukan-nya.

Srawung yang baik dengan lingkungansekitarnya tanpa memandang kelas sosialadalah hal yang diidealkan masyarakat.Sesukses atau sekaya apa pun seseorang,tetapi tidak baik hubungan pergaulannyadengan tetangga sekitar, akan mengurangimakna dadi wong tersebut. Pergaulan yangbaik haruslah dilakukan oleh kedua pasangansuami-istri yang memenuhi persyaratan dadiwong sebab jika hanya salah satu pihak,suami-atau istri saja yang baik pergaulannyadengan tetangga dan keluarga, kriteria itutidak bisa dimilikinya.

Page 9: 855-1352-2-PB

308

Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 300–311

Aspek psikologis termasuk dalam salahsatu kriteria yang harus dipenuhi untukdisebut dadi wong. Unsur kepribadian dansikap dianggap akan mempengaruhi perilakuseseorang. Emosi yang dimiliki seseorangpun harus dijaga karena hal itu termasukdalam aspek psikologis yang akan mem-pengaruhi pergaulan antar manusia. Aspekpsikologis ini walaupun bersifat kejiwaan atauabstrak dan tidak mudah dilihat namun harusditemui pada pasangan yang mendapatsebutan wis dadi wong.

Sifat kemandirian memiliki dimensi yangluas. Ia dapat diartikan mandiri secaraekonomi, budaya, atau psikologis. Secarapsikologis, seseorang yang memiliki prinsipberdiri di atas kaki sendiri termasuk pribadi-pribadi yang mandiri. Ini berarti bahwaseseorang telah mampu mengatasi segalaproblem yang menimpa dirinya tanpa perlumelibatkan banyak pihak. Pribadi yangmandiri akan membentuk pribadi yang kuatsehingga mereka mampu menjalani hiduptanpa tekanan pihak lain.

Keluarga batih sebagai bentuk keluargaJawa kemudian semakin mandiri melakukanperan-perannya terlepas dari dari kerabat luaspihak suami atau istri. Secara ekonomi,keluarga batih itu berdiri sendiri, punya tempattinggal sendiri, dan tidak bersatu dengankeluarga luas. Secara psikologis, keluargabatih menjadi semakin berdikari. Ini berartibah-wa hubungan emosional antara suamidan istri menjadi akrab (Ihromi, 2004:287).

Selain sejumlah kriteria di atas adafaktor psikologis lain yang menyertai konsepdadi wong, yaitu orang atau pasangan suami-istri hidupnya harus merasa senang/bahagia,tidak dalam keadaan tertekan oleh siapa punserta merasa ayem-tentrem (aman danbahagia). Ada banyak fenomena di masyara-kat bahwa kelebihan harta atau tingginyapangkat dan kedudukan kepala keluargaternyata tidak membawa kedamaian darianggota keluarganya. Hal itu disebabkancara memperoleh semua yang dimilikimungkin tidak melalui jalan yang benar.Sebaliknya, cacat moral dari salah satupasangan, baik suami maupun istri, jugaanggota keluarga akan mempengaruhiketentraman keluarga.

Hidup yang senang akan tercermindalam hati dan perilaku sehari-hari mereka.Ketentraman di keluarga ini menjadi barom-eter harmonisnya hubungan suami-istri dananggota keluarga lainnya. Ketentraman itudapat diciptakan asalkan ada kerjasama yangharmonis antara seluruh anggota keluarga.

Budaya sebagai pedoman hidup masya-rakat merupakan garis/arah penuntun menujuhidup yang dicita-citakan. Baik aturan yangsifatnya moral, etika, maupun agama, padaumumnya, menuntun warga masyarakatuntuk berperilaku baik dan berbudi luhur.Unggah-ungguh atau norma pedoman tinggahlaku Jawa merupakan keharusan bagima-syarakat. Oleh karena itu, syarat dadiwong juga mengandung arti bahwa orangtersebut harus taat pada aturan agama, etika,atau moral. Seseorang maupun suami istriharus menjauhi malima (madat, main,madon, maling, dan minum). Hal ini dilarangkarena merupakan aturan moral/etiket selainperintah agama.

Etiket atau tata krama merupakanaturan yang baik untuk mendidik kesopananmasyarakat. Kesopanan termasuk hal yangpenting dalam hubungan kemasyarakatan.Melalui tata krama yang tepat akan dapatdiketahui pula budi pekerti seseorang(Endraswara, 2003:17). Bagi orang Jawa,sopan santun merupakan bentuk kepribadianJawa yang esensial. Orang yang memahamisopan santun, sikap, dan perilakunya selaludiwarnai oleh moralitas Jawa.

Konsep baik buruk menurut agama,etika, dan moral haruslah menjadi landasanhidup jika ingin disebut sebagai orang baikatau berbudi luhur. Orang yang ramah,pandai, bahasanya halus, dan giat bekerja,tetapi moralnya tidak dapat dipertanggung-jawabkan, tidak termasuk dalam berbudiluhur (Herusatoto, 2000:82). Orang yangberbudi luhur digambarkan pula sebagai or-ang yang tidak suka melanggar perintahagama atau norma kesusilaan. Oleh karenaitu, ukuran spiritual atau nonmateriil ini harusdipenuhi oleh seseorang agar termasukkriteria dadi wong.

Dari konsep dadi wong menurutpandangan wanita Jawa di atas tergambarjelas peran wanita di keluarga/masyarakat.

Page 10: 855-1352-2-PB

309

Atik Triratnawati, Konsep Dadi Wong Menurut Pandangan Wanita jawa

Wanita dapat dilihat posisinya berdasarkanpengalaman di dalam kebanyakan situasiyang berbeda dengan laki-laki. Di sini terlihatbagaimana wanita Jawa menempatkan peransebagai istri, ibu bagi anak-anak, sebagaiposisi sentral di keluarga dan masyarakat.Persyaratan berkeluarga bagi wanita yangdikemukakan sebagian besar informansebagai persyaratan mutlak untuk dadi wongmenunjukkan bahwa ideologi gender yangmenempatkan bahwa perempuan itu harusmenjadi istri dan ibu sangat kuat dalambudaya Jawa. Satu-satunya jalan memeran-kan peran sebagai istri dan ibu adalahberkeluarga.

Di Jawa, gender secara menarik di-kombinasikan antara peran ideal yang kakudengan peran praktis yang luwes. Akibatpengaruh Islam, dengan peraturan yangketat, menempatkan seorang bapak sebagaikepala keluarga. Bidang kerja antara laki-lakidan perempuan dibagi dengan jelas. Meski-pun demikian, dalam pengambilan keputusanperempuan tetap memiliki kekuatan (Will-iams, 1995:223).

Kesetaraan antara pria dan wanita dalamperkawinan belum terlihat dengan nyata.Padahal, sebuah perkawinan pada dasarnyaadalah kesetaraan hubungan antara suamidan istri. Bernard (Ritzer dan Goodman,2004:423) menyatakan bahwa perkawinansering diartikan sebagai sistem budayabersama tentang kepercayaan, cita-citasebuah tatanan kelembagaan peran dannorma, serta kompleks pengalaman ber-interaksi secara individual antara laki-laki danperempuan. Perkawinan secara budayadiidealkan sebagai takdir dan sumberpemenuhan bagi wanita; sebuah berkahberumah tangga dan bertanggung jawabbersama. Perkawinan menggabungkangagasan tentang wewenang laki-laki dengankejantanan seksual dan kekuatan laki-laki;dan memberi mandat bahwa istri harusmengalah, bergantung pada suami, meng-hambakan diri, dan pada dasarnya istri harusmemusatkan perhatian pada aktivitas dantugas di dalam rumah tangga.

Pranata sosial mengenai keluarga telahdikenalkan sejak individu menjadi anggotakeluarga yaitu sejak lahir, lewat pendidikan,melalui budaya remaja, dalam dunia kerja,dalam perkawinan atau saat membentukkeluarga sehingga perilaku seseorang akanmenjadi normal sesuai dengan peran jender-nya (Mosse, 2003:63). Perempuan Jawasejak kanak-kanak telah dikenalkan dengantanggung jawab sebagai anggota keluarga.Oleh karena itu, secara tidak sadar merekatelah memahami tugas perempuan sebagaiistri dan ibu sejak dulu. Peran-peran tersebutmemaksa seorang perempuan untuk selalumenomorsatukan keluarga dan menghilang-kan individualitas dirinya.

Dari konsep dadi wong di atas terasabahwa perempuan tetap menempatkandi-rinya di bawah laki-laki dan mereka tetapdalam penguasaan suaminya. Apalagi,perempuan Jawa menyadari sekali bahwakewajiban berumah tangga sebagai kewajib-an agama yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.Tugas dan peran yang diemban wanita dirumah tangga menunjukkan bahwa merekaharus banyak mengalah demi kekuasaan,posisi, dan kedudukan suami di matamasyarakat tetap baik. Tugas menjagakehormatan suami (njaga praja) harus tetapdilaksanakan oleh istri.

Perbedaan gender di atas lebih meng-arah ke faham teori feminisme kultural, yaitulaki-laki dan perempuan tidak sama dalamhal perilaku dan pengalamannya. Perempuandi-gambarkan memiliki posisi inferior dantunduk pada laki-laki (Ritzer dan Goodman,2004:415). Perbedaan jender umumnyadidasarkan pada adanya perbedaan peranantara laki-laki dan perempuan. Kondisiseperti ini umumnya bersifat tahan lama, dansulit untuk berubah (Ritzer dan Goodman,2004:420).

Dari dasar feminisme kultural terlihatbahwa posisi dan pengalaman wanita Jawadalam kebanyakan situasi berbeda dari yangdialami laki-laki dalam situasi itu. Posisiwanita Jawa dalam kebanyakan situasi tidakhanya berbeda, tetapi juga kurang meng-

Page 11: 855-1352-2-PB

310

Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 300–311

untungkan karena tidak setara dengan laki-laki. Selanjutnya, situasi wanita Jawa haruspula dipahami dan dilihat dari sudut hubungankekuasaan langsung antara laki-laki Jawa danwanita Jawa. Wanita Jawa merasa ditindas,dalam arti dikekang, disubordinasikan,dibentuk, digunakan, dan disalahgunakanoleh laki-laki. Wanita mengalami perbedaandan penindasan berdasarkan posisi totalmereka dalam susunan stratifikasi berdasar-kan kelas, ras, etnisitas, umur, status per-kawinan, dan posisi secara global (Rizter danGoodman, 2004:415-416). Dalam masyarakattineliti rupanya diskriminasi dan ketimpangangender masih terasa. Hal ini terlihat nyatadalam peran perempuan dalam keluargayang selalu mengedepankan kepala keluargadan cenderung mengambil posisi inferior didepan suami.

SIMPULAN

Pengertian dadi wong memilikikompleksitas arti yang luas. Ia tidak sekedarmemiliki atribut fisik tetapi juga ekonomi,sosial budaya, psikologis, dan moral. Param-eter yang harus ada pada konsep dadi wongtersebut mengakibatkan nilai sukses sese-orang harus dilihat secara totalitas dalamkehidupannya. Apabila salah satu syarattidak terpenuhi akan mengakibatkan kriteriadadi wong kurang atau tidak sempurna.

Orang Jawa memandang nilai suksesseseorang berdasar pada kelengkapan hidupyang dimiliki seseorang di mata masyarakat.Artinya, seseorang, baik itu pria maupunwa-nita, sesukses apa pun dalam pekerjaan,termasuk pangkat, jabatan dan status, tetapibelum berkeluarga, nilai suksesnya akandipandang kurang. Terlebih lagi, bagi perem-puan, jika perempuan itu masih lajang, harta,pangkat, dan statusnya tidak dapat menjadiukuran bahwa dia telah dadi wong. Kehidup-an berumah tangga, termasuk rumah tanggayang bahagia, menjadi kunci kesuksesandan kemapanan hidup seseorang. Merekamemandang bahwa orang yang telah ber-keluarga merupakan orang yang telah mampu

melaksanakan tugas kemasyarakatan sekali-gus memenuhi perintah agama (Tuhan). Olehkarena itu, nilai sukses merupakan totalitasantara individu dengan keluarga batih (suami,istri, dan anak-anak) dan cara kedua individuatau suami-istri itu membangun diri dankeluarganya sehingga mencapai martabatsebagai orang yang berguna baik bagi dirimaupun keluarga dan masyarakat.

Nilai sukses didasarkan pada beberapaaspek seperti ekonomi (mandiri secaraekonomi, punya penghasilan tetap), budaya(kedudukan/pangkat/status, berkeluarga,pendidikan, pergulan sosial, berguna bagiorang lain), psikologis (mandiri secara psiko-logis, pribadi yang kuat, bahagia), sertamoral/agama/etiket (berbudi luhur dan tidakmelanggar aturan agama). Keseluruhanaspek tersebut harus dimiliki oleh pasangansuami dan istri secara bersama.

Secara teoretis peran dan kedudukanperempuan Jawa seperti tercermin dalamkonsep dadi wong menunjukkan bahwafeminisme kultural masih kuat karenamendasarkan peran perempuan dan laki-lakiberdasarkan perbedaan pengalaman antarkeduanya.

DAFTAR RUJUKAN

Brenner, Suzanne April. 1998. The Domesticationof Desire. New Jersey: Princeton UniversityPress.

Chamamah-Soeratno dkk. 2002. Kraton Jogja, TheHistory and Cultural Heritage. Jakarta: KaratonNgayogyakarta dan Indonesia MarketingAsossiasion.

Diener, E. and Shigehiro Oishi. 2000. “Moneyand Happiness: Income and Subjective Well–Being Across Nation” in Diener and Oishi(eds.). Culture and Subjective Well-being.London : The MIT Press, hal. 183-199.

Endraswara, S. 2002, Seksologi Jawa. Jakarta:Wedatama Widya Sastra.

______. 2003. Budi Pekerti dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Geertz, H. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: GrafitiPres.

Page 12: 855-1352-2-PB

311

Atik Triratnawati, Konsep Dadi Wong Menurut Pandangan Wanita jawa

Hakimi, M, E.N. Hayati, V.U. Marlinawati, A.Winkvist, dan M.C. Ellsberg. 2001. Membisudemi Harmoni, Kekerasan terhadap Istri danKesehatan Perempuan di Jawa Tengah,Indonesia. Yogyakarta: LPKGM-UGM - RifkaAnnisa WCC - Umea University - WomenHealth Exchange.

Hamid, S.R. 2000. Buku Pintar Agama Islam. Jakarta:Penebar Salam.

Handayani, CS dan Ardhian Novianto. 2004.Kuasa Wanita Jawa, Yogyakarta: PT LKiS.

Herusatoto, B. 2000. Simbolisme dalam BudayaJawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Ihromi, T.O (eds.). 2004. Bunga Rampai SosiologiKeluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitasdan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

Mead, G.H. 1967. Mind, Self and Society. London:The University of Chicago Press.

Mosse, J.C. 2003. Gender dan Pembangunan(terjemahan). Yogyakarta: Rifka AnnisaWomen’s Crisis Center - Pustaka Pelajar.

Poerwodarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa.Groningen: JB Wolters Uitgevers MaatschappijNV.

Ritzer, G. dan D.J. Goodman. 2004. Teori SosiologiModern. Jakarta: Prenada Media.

Suratno, P. dan Astiyanto H. 2004. Gusti Ora Sare:65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa.Yogyakarta: Adiwacana.

Williams, W. L. 1995. Mozaik Kehidupan OrangJawa: Pria dan Wanita dalam MasyarakatIndonesia Modern. Jakarta: Pustaka BinamanPressindo.